Hingga mengalami dialektika panjang dengan saudara tuanya, Masyumi dalam pandangan
politik. Serta perbedaan pandangan tajam dengan ideologi komunisme.
Pada fase ini, NU menghadapi mayoritas tantangan zaman dengan diplomasi keras (hard
diplomacy). Terlihat dalam penyeruan fatwa jihad melawan penjajah mempertahankan
kemerdekaan, berselisih paham dalam politik di internal Masyumi. Hingga memutuskan
mendirikan partai politik sendiri. Serta klimaksnya mengalami konfrontasi terbuka dengan
golongan komunisme. Memasuki masa orde baru, NU mulai mengalami transisi menuju soft
diplomacy dalam menghadapi tantangan zaman. Seperti membuka ruang negosiasi dengan
pemerintah dalam menyelamatkan panggung politik Islam dalam kerusuhan Tanjung Priok.
(Kuntowijoyo, 1998: 217).
Memasuki era reformasi, tantangan-tantangan yang semula konvensional berubah bentuk.
Politik semakin tak terbatas, ekonomi mengalami perubahan tatanan menjadi sistem ekonomi
terbuka. Ideologi-idelogi gerakan trans-nasional berdatangan, menjadi terbuka untuk semua.
Serta merta cendekiawan muslim berduyun-duyun merayakan kebebasan yang nyaris lenyap di
masa orde baru. Puncaknya lahir gerakan, ideologi baru, ormas dan partai politik baru.
Perubahan ini memaksa NU bertransformasi menjadi organisasi modern. Salah satunya dengan
kembali meneguhkan konsep Islam Nusantara. Tujuannya agar masyarakat kembali kepada
ideologi-ideologi asli Indonesia yang adaptif terhadap perubahan zaman. Ketika zaman semakin
mengglobal, maka identitas lokal akan semakin ditunjukkan.
Transformasi ini merupakan respon cepat munculnya tantangan-tantangan baru. Di era
reformasi, tantangan bisa muncul hampir setiap saat. Menariknya, tantangan ini terbentuk dari
proses kausalitas (sebab-akibat). Sehingga mudah untuk dicermati dan merumuskan solusi baru.
Seperti munculnya ISIS di Timur Tengah hingga melahirkan kekhawatiran munculnya
radikalisme baru di kalangan generasi muda. Sebab kekhawatiran ini karena semakin terbukanya
masyarakat dengan ideologi-ideologi internasional. Sementara pemahaman atas kebudayaan dan
keislaman di Indonesia cenderung stagnan.
Klimaksnya pemerintah melakukan pemblokiran beberapa media yang dituduh
menyebarkan radikalisme. NU meresponnya dengan menghadirkan konsep Islam Nusantara.
Penegasannya bahwa model Islam di nusantara berbeda dengan model Islam dalam persepsi
ISIS. Selain itu juga, eksodus pengungsi muslim Rohingnya di Pantai Nanggroe Aceh
Darussalam. NU juga menawarkan agar pengungsi-pengungsi Rohingnya ditempatkan di
pesantren-pesantren binaan NU untuk ditampung. Tanda ini bisa dibaca bahwa NU berusaha
menghadirkan solidaritas umat tingkat regional. Sejauh ini NU mampu membaca sebab akibat,
serta mampu merumuskan solusi jangka panjang.
Tantangan Modern Abad Globalisasi
Muktamar ke-33 di Jombang bulan depan akan menjadi momentum NU memasuki abad
penuh tantangan, membutuhkan respon lebih cepat dan solusi jangka panjang. Seperti tantangan
ekonomi Indonesia yang dihadapkan pada pasar bebas ASEAN (MEA 2015). Tantangan sosial
budaya meliputi pengangguran intelektual, ancaman disintegrasi bangsa seperti di Maluku dan
Papua, dan pemerataan kesejahteraan. Serta terpenting menaikkan derajat umat dalam
menghadapi persaingan.
Jika merujuk pada tema muktamar mengenai Meneguhkan Islam Nusantara, dengan
penekanan bahwa pribumisasi Islam adalah model Islam yang cocok untuk ditawarkan kepada
dunia. NU secara organisasi berhasil mengidentifikasi tantangan modern pertama yaitu
menghadapi ancaman radikalisme di generasi muda. Tantangan berikutnya yang menjadi
pekerjaan rumah adalah mengangkat perekonomian dan kualitas sumber daya umat Islam.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia mayoritas belum siap menghadapi
persaingan di tingkat regional. Kualitas pendidikan di Indonesia yang masih rendah, dibuktikan
dengan rangking PISA dan THES yang tidak bersaing. NU dengan sayap-sayap pendidikannya
harus mampu mendorong peningkatan kualitas intelektual umat. Seimbang antara pendidikan
keilmuan dan pendidikan keagamaan. Begitu pun dengan lembaga perekonomian umat yang
belum begitu kokoh. Perkembangan perbankan syariah di Indonesia masih tertinggal jauh dengan
Malaysia. Malaysia mempunyai bank syariah yang disegani. Sementara Indonesia sebagai negara
mayoritas Islam belum memliki.
Terakhir, NU harus semakin meneguhkan diri sebagai institusi perekat keindonesiaan dan
keislaman. NU harus menjadi garda terdepan dalam memediasi konflik-konflik berbasis agama
dan sektarian. Tiga tantangan ini jika diselesaikan dengan baik akan semakin memperkokoh NU
menjadi organisasi kelas dunia. Organisasi yang mampu mengangkat harkat intelektual umat
dalam menghadapi persaingan baru.
Identitas Penulis:
Subandi Rianto adalah Peneliti Sejarah Islam, Alumnus Ilmu Sejarah Universitas
Airlangga-Surabaya. Esai-esainya pernah dimuat di KOMPAS, Jawa Pos, REPUBLIKA,
SURYA, Radar Surabaya dan Tribun Jogja. Menjadi editor buku Sejarah Perkembangan
Perkotaan yang diterbitkan Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga 2014. Penulis
tinggal
di
Taman
KT 1/229
Yogyakarta.
Telepon:
085655221508,
email:
surat@subandirianto.com, Rekening Bank Syariah Mandiri 7047794697 a.n. subandi rianto.