3) Peran dan Perjuangan Nahdlatul Ulama (NU) Masa Orde Lama (1959-1966)
1. NU menuntut pembubaran PKI
Pada tanggal 30 September 1965, keadaan Jakarta sedang genting dengan adanya
gerakan atau pemberontakan terhadap pemerintah RI oleh Partai Komunis Indonesia
(PKI). Di tengah situasi yang genting ini, NU pada tanggal 2 Oktober 1965
menyatakan kontra terhadap gerakan revolusi yang dilakukan oleh PKI. Tanggal 5
Oktober, NU beserta ormas-ormas lainnya menuntut adanya pembubaran PKI dan
menyerukan agar umat Islam membantu ABRI dalam menumpas Gerakan 30
September 1965. Hingga akhirnya pemerintah menyetujui pelarangan terhadap
keberadaan partai komunis di Indonesia.
Langkah Kaum Muda yang mengubah sistem pendidikan surau menjadi madrasah
ternyata diserap oleh salah satu tokoh Kaum Tua, yakni Syekh Abbas. Pada tahun
1918, ia mendirikan sekolah Arabiyah School di Ladang Lawas, Bukittinggi, dan
enam tahun kemudian, ia mendrikan Islamiyah School di Alur Tajungkang,
Bukittinggi.
Tokoh lain yang menonjol dalam memodernisasi lembaga pendidikan adalah Syekh
Sulaiman Ar-Rasuli (1878-1970). Pada tahun 1926 M, ia mulai memodernisasi Surau
Baru Candung yang telah didirikan sejak tahun 1908 M. Ia merubah cara berhalaqah
di surau menjadi berkelas madrasah. Selain itu, ia juga melengkapai madrasahnya
dengan berbagai sarana pendidikan modern.
Dalam waktu relatif singkat, langkah Syekh Sulaiman Ar-Rasuli diikuti pula
oleh kawan-kawannya sesama Kaum Tua, seperti Syekh A. Wahid Tabek Gadang di
Payakumbuh, Syekh Muhammad Jamil Jaho di Padang Panjang, Syekh Arifin di Batu
Hampar, dan lain-lain. Lembaga Pendidikan Madrasah akhirnya meluas di wilayah
Minangkabau.
Pertumbuhan pesat Madrasah Tarbiyah di Minangkabau, memunculkan
keinginan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli untuk menyatukan ulama-ulama Kaum Tua,
dalam wadah organisasi. Untuk itu, ia memprakarsai sebuah pertemuan besar di
Candung pada tanggal 5 Mei 1928.
Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan untuk membentuk sebuah organisasi
yakni Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Organisasi ini bertanggung jawab
untuk membina, memperjuangkan, dan mengembangkan madrasah-madrasah tarbiyah
di Minangkabau. Selain itu, pertemuan di Candung juga merumuskan kesatuan pola
dari madrasah-madrasah yang ada, baik nama, sistem pengajaran dan kurikulum.
Meskipun organisasi tersebut belum diresmikan secara formal, tetapi organisasi ini
telah mampu mengilhami lahirnya banyak madrasah tarbiyah Islamiyah dan
mengembangkan gerakan Kaum Tua di Minangkabau.
Dengan realitas sedemikian rupa, maka muncullah keinginan Kaum Tua untuk
semakin mengembangkan oranisasi persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Mereka
berharap organisasi tidak hanya sekedar mengurusi sekolah, melainkan juga sebagai
pemersatu segenap ulama tradisional di ranah Minang. Keinginan itu akhirnya
terwujud, dengan diresmikannya organisasi bernama Persatuan Tarbiyah Islamiyah
atau disingkat PTI dalam sebuah rapat di Candung pada tanggal 20 Mei 1930 M,
dengan Sulta’in sebagai ketua pertama.
Penghargaan yang diterima Syekh Sulaiman dirayakan dengan penuh suka cita oleh
anggota lain Perti di suatu pertemuan besar di Batu Hampar. Pertemuan tersebut tidak
hanya sebagai ungkapan rasa syukur, akan tetapi juga dimanfaatkan untuk membenahi
organisasi. Salah satu pembenahan adalah perubahan struktur, jabatan ketua beralih
dari Sulta’in kepada Syekh Abdul Madjid Koto Nan Gadang, dan jabatan sekretaris
dari Gazali P. Tanjung kepada Syahruddin Marajo Dunia.
Satu tahun kemudian atau tahun 1932 M, Persatuan Tarbiyah Islamiyah melaksanakan
kongres yang pertama di Koto Nan Ampek Pakayumbuh. Dalam kongres ini tercetus
lah gagasan untuk mengganti nama organisasi menjadi Persatuan Islam Indonesia.
Gagasan yang diprakarsai oleh angkatan muda Perti itu bahkan telah tertuang dalam
keputusan kongres.
Pada awalnya, para ulama tua Perti tidak keberatan dengan perubahan nama
organisai. Namun, setelah melakukan pertimbangan, mereka khawatir jika nama yang
menonjolkan nasionalisme, justru akan memancing kecurigaan pemerintah kolonial.
Akhirnya mereka mengusulkan agar keputusan tersebut dibatalkan.
Usulan itu pun ditolak angkatan muda yang mendominasi jumlah peserta kongres.
Mereka berpendapat keputusan kongres tidak dapat dibatalkan begitu saja, dan harus
tetap dihormati. Para ulama tua menganggap sikap generasi muda tersebut keras
kepala. Mereka lantas menyampingkan hasil kongres, dan menguasai organisasi
sepenuhnya. Para generasi muda yang segan terhadap generasi tua, terpaksa menerima
keputusan sepihak dari generasi tua.
Selanjutnya, ketidaksepakatan dalam kongres pertama menyebaban disharmoniasai
antara golongan muda dan tua. Disharmoniasai ini lah yang menjadi faktor utama
stagnisasi dalam kehidupan dan aktivitas organisasi.