Anda di halaman 1dari 18

Faktor Internal dan Eksternal berdirinya Muhammadiyah

Faktor internal berdirinya Muhammadiyah :

1. Merajalelanya Bid'ah, Khurafat, syirik, dan tahayyul, sehingga kehidupan beragama


tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadits

2. Marjalelanya kemiskinan, kebodohan, kekolotan, kemunduran bangsa Indonesia


umumnya dan umat Islam khususnya.

3. Tidak adanya ukhuwah umat Islam serta tidak adanya organisasi Islam yang kuat dan
kompak.

4. Lemah dan gagalnya sistem pendidikan pondok pesantren, sehingga kurang


mencerminkan perkembangan dan kemajuan zaman, dan adanya kehidupan pendidikan
yang mengisolasi diri.

Faktor Eksternal berdirinya Muhammadiyah :

1. Merajalelanya penjajahan Kolonilis Belanda di Indonesia yang harus dihadapi

2. Adanya kegiatan Misionaris Kristen di Indonesia


3. Sikap yang merendahkan pada Islam oleh kaum terpelajar, yang menganggap bahwa
Islam agama yang out of date, tidak sesuai dengan kemajuan zaman.

4. Adanya rencana kristenisasi kolonial Belanda untuk kepentingan politi kolonial.

http://pustka-ilmu.blogspot.co.id/2012/09/faktor-internal-dan-eksternal.html

Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama


organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, sehingga Muhammadiyah
juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad
SAW. Latar belakang dipilihnya nama Muhammadiyah yang pada masa itu sangat
asing bagi telinga masyarakat umum adalah untuk memancing rasa ingin tahu dari
masyarakat, sehingga ada celah untuk memberikan penjelasan dan keterangan
seluas-luasnya tentang agama Islam sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah
SAW.

Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau


18 November 1912 di Yogyakarta. Organisasi ini lahir sebagai perwujudan
keprihatinan karena melihat kenyataan umat Islam di Indonesia dalam cara
menjalankan perintah-perintah agama Islam banyak yang tidak bersumber dari
ajaran Al Quran dan tuntunan Rasulullah SAW. Dalam hal itu KH Ahmad Dahlan
menghendaki agar dengan Muhammadiyah, orang-orang Islam mengamalkan dan
menggerakkan Islam dengan berorganisasi.

Pembahasan mengenai sejarah berdirinya Muhammadiyah tidak bisa terlepas dari


situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Latar belakang berdirinya Muhammadiyah
juga tidak bisa dilepaskan dari aspek sosial-agama di Indonesia, sosio-pendidikan di
Indonesia dan realitas politik Islam hindia Belanda. Oleh karena itu berdirinya
Muhammadiyah berhubungsan erat dengan empat masalah pokok,yaitu: Pemikiran
Islam Ahmad Dahlan, Realitas sosio-religius di Indonesia,dan Realitas sosio-
pendidikan dan Realitas politik Islam hindia-Belanda.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang berdirinya Muhammadiyah ?

2. Bagaimana berdirinya Muhammadiyah ditinjau dari Realitas Sosio-Pendidikan ?


3. Bagaimana berdirinya Muhammadiyah ditinjau dari Realitas Politik Islam Hindia-
Belanda ?

C. Tujuan

Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas group 4 yang
diberikan oleh dosen pembina mata kuliah kemuhammadiyahan. Selain itu penulis
juga ingin mendalaminya.

BAB II

ISI

1. Realitas Sosio-Pendidikan

Ada dua sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia, yaitu pendidikan


pesantren dan pendidikan Barat. Pendidikan yang disebut pertama ini mengajarkan
studi keislaman tradisional, misalnya ilmu kalam, ilmu fiqih, tasawuf, bahasa Arab
berikut variasinya, ilmu hadis, ilmu tafsir, dll. Studi ini banyak diminati orang-orang
yang dalam kategori Geerts disebut dengan santri. Proses belajar mengajar di
lembaga pendidikan ini juga masih tradisional. Banyak alumni lembaga pendidikan
ini memiliki pola pikir yang menjauh dari perkembangan modern.

Sementara itu, pendidikan yang disebut kedua hanya mengajarkan ilmu-ilmu yang
diajarkan di dunia Barat. Metode pengajaran sudah menggunakan metode modern.
Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah colonial ini tidak diajarkan ilmu-
ilmu yang diajarkan di pesantren. Kebanyakan siswa yang bisa masuk dalam
pendidikan yang disebut terakhir ini adalah orang-orang yang dalam kategori
Geerts disebut dengan abangan. Sekola-sekolah yang didirikan oleh kolonial
Belanda di atas, diselenggarakan sangat sekuler, dalam arti pelajaran agama atau
semangat agama tidak diberikan, bahkan pelajaran umum, misalnya sejarah dan
ilmu bumi, bermuatan Belanda sentris, terlepas dari kebudayaan Indonesia.
Akibatnya, sekolah-sekolah tersebut merupakan masyarakat sendiri yang terlepas
dari kehidupan bangsa Indonesia. Sekolah-sekolah itu melahirkan golongan baru
yang disebut golongan intelek. Golongan ini umumnya bersifat negative terhadap
Islam, dan alam pikirannya tercabut dari bangsanya sendiri. Ini hasil dari politik
asosiasi Hurgronje dan politik etis Van Deventer. Bahkan alumni sekolah-sekolah ini
menjadi antek-antek Belanda (Tamimi, 1990:9).

Kondisi internal pendidikan pesantren di satu pihak, model penyelenggaran,


karakter, dan produk alumni model pendidikan ala Barat di pihak lain, seperti
dijelaskan di atas, mendorong Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Melalui
Muhammadiyah, Ahmad Dahlan ingin mendirikan lembaga pendidikan yang
mengajarkan yang memadukan dua karakter dari dua model lembaga pendidikan
yang berkembang waktu itu, mengajarkan semangat Islam dan semangat modern.
Dengan demikian, umat Islam tidak hanya fasih berbicara tentang Islam, seperti
alumni pesantren, tetapi juga berwawasan luas tentang perkembangan modern.

2. Realitas Politik Islam Hindia-Belanda

Salah satu faktor penting dari latar historis kelahiran Muhammadiyah adalah
realitas politik Islam Hindia Belanda. Dalam dataran teoritis, politik Islam Hindia
Belanda sebetulnya ingin menerapkan kebijakan netralitas terhadap agama, tidak
memihak kepada agama tertentu dan tidak memandang agama tertentu pula
sebagai sesuatu yang berbahaya (Saifullah, 1997:56). Namun, dalam dataran
realitas, netralitas yang didengunngkan itu hanya omong kosong. Kebijakan
netralitas itu hanya strategi semata untuk mengelabui umat Islamagar umat Islam
bisa menerima kehadirannya sebagai penjajah. Bahkan justru sebaliknya, untuk
maksud kehadirannya, pemerintah Hindia Belanda harus membuat kebijakan
tertentu yang bisa secara efektif mencegah perlawanan umat Islam terhadap
penjajah.

Kebohongan publik itu harus dilakukan karena pemerintah Hindia Belanda


mempunyai kepentingan untuk melanggengkan eksistensi kolonialismenya di bumi
Nusantara ini selama mungkin, sementara pemerintah Hindia Belanda menyadari
bahwa negara yang dijajah ini adalah masyarakat Indonesia, yang mayoritas
beragama Islam. Karena itu, bila tidak melakukan kebohongan public, eksistensi
sebagai penjajah tidak berlangsung lama. Dari sini, Belanda mulai menerapkan
kebijakan-kebijakan politik yang dapat menurunkan semangat perlawanan yang
diyakini bersumberkan dari ajaran, yakni ajaran Islam.

Setidaknya dapat dibagi menjadi dua periode dalam melihat politik Islam Hindia
Belanda. Pertama, periode sebelum kedatangan Snouck Hurgronje dan kedua,
periode setelah Snouck Hurgronje menjadi penasihat Belanda untuk urusan Pribumi
di Indonesia. Dalam periode pertama, Belanda hanya berprinsip agar penduduk
Indonesia yang beragama Islam tidak memberontak. Untuk memenuhi prinsip ini,
Belanda menerapkan dua strategi, di satu pihak, Belanda membuat kebijakan-
kebijakan yang sifatnya membendung, misalnya memantau dan membatasi
berbagai kegiatan pengamalan ajaran Islam, dan di pihak lain, Belanda melakukan
kristenisasi bagi penduduk Indonesia. Dalam pelarangan pengamalan ajaran Islam,
pada periode ini Belanda tidak membedakan aspek-aspek ajaran Islam mana yang
harus dilarang. Pokoknya, kegiatan-kegiatan keislaman harus dieliminir sedemikian
rupa, sehingga dapat mengurangi perlawanan.

Kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap Islam banyak mengalami perubahan


setelah penasehat urusan pribumu dijabat oleh Snouck Hurgronje. Dalam hal ini,
tidak seluruh kegiatan pengamalan Islam harus dihalangi, bahkan dalam hal-hal
tertentu harus didukung. Kebijakan ini didasarkan atas pengalaman Snouck,
terutama kunjungannya ke Mekah. Dia menetap selama tujuh bulan di sana, dengan
menyamar sebagai seorang muslim bernama Abdul Ghaffar. Di Mekah, Snouck
sebanyak mungkin bergabung dengan masyarakat Indonesia dan mempelajari
banyak hal mengenai lembaga dan kegiatan keagamaan mereka.

Dari pengalamannya itu, Snouck mengecam pembatasan bagi orang Islam yang
menunaikan ibadah haji, seperti dilakukan penasehat Belanda sebelumnya. Yang
perlu dikhawatirkan justru orang Islam yang belajar dan menetap bertahun-tahun di
Mekah,yang akhirnya menumbuhkan dalam diri mereka rasa persatuan dan
kesatuan dengan seluruh kaum muslimin brdasarkan identitas keislaman yang
sama-sama mereka hayati.

Atas dasar itu, Snouck selalu mencurigai setiap umat Islam yang baru pulang ke
Indonesia setelah menyelesaikan studi di Timur Tengah. Mereka selalu dipersulit,
diinterogasi bahkan barang yang dibawa diperiksa satu demi satu. Buku-buku
tertentu yang membangkitkan perlawanan disita untuk dimusnahkan. Kebanyakan
buku-buku itu adalah karya tokoh-tokoh pembaharu, semisal karya Jamal al-Din al-
Afghani, Muh. Abduh, Ibn Taimiyah, dsb. Karena karya mereka dianggap mempunyai
potensi besar membangkitkan perlawanan terhadap Belanda.

Meskipun demikian, Hurgronje juga menekankan bahwa Islam tidak boleh


diremehkan di Indonesia, baik sebagai kekuatan agama maupun kekuatan politik.
Orang-orang Indonesia, kata Snouck, banyak yang menjadikan Islam sebagai
identitas perjuangan dalam melawan Belanda. Bahkan Islam diyakini sebagai
agama yang terbaik dari agama-agama yang ada di dunia ini, tidak terkecuali
agama yang dikembangkan pemerintah Kolonial Belanda. Pada sisi ini, Snouck
menyadari bahwa kuatnya pengaruh Islam politik dalam kehidupan orang-orang
Indonesia.

Secara umum, kebijakan Islam yang disarankan Hurgronje didasarkan atas tiga
prinsip utama. Pertama, dalam semua masalah ritual keagamaan, misalnya ibadah,
rakyat Indonesia harus dibiarkan bebas menjalankannya. Logika dibalik kebijakan ini
adalah membiarkan munculnya keyakinan dalam pikiran banyak orang bahwa
pemerintah kolonial tidak ikut campur dalam masalah keimanan mereka.

Prinsip kedua bahwa sehubungan dengan lembaga-lembaga sosial Islam, atau


aspek muamalah dalam Islam, seperti perkawinan, waris, wakaf, dan hubungan-
hubungan sosial lainnya, pemerintah harus berupaya mempertahankan dan
menghormati keberadaannya. Meskipun demikian, pemerintah harus berusaha
menarik sebanyak mungkin perhatian orang Indonesia terhadap berbagai
keuntungan yang dapat diraih dari Kebudayaan Barat.

Prinsip ketiga, dan paling penting, bahwa dalam masalah politik, pemerintah
dinasehatkan untuk tidak menoleransi kegiatan apa pun yang dilakukan oleh kaum
muslimin yang dapat menyebarkan seruan-seruan Pan-Islamisme atau
menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah kolonial
Belanda. Lagi-lagi, dalam hal ini Hurgronje menekankan pentingnya kebijakan
asosiasi kaum muslim dengan peradaban Barat. Pendidikan Barat harus dibuat
terbuka bagi rakyat pribumi, agar asosiasi ini berjalan dengan baik dan tujuannya
tercapai.

Hurgronje sangat menekankan pendidikan Barat terutama untuk para bangsawan


dan kaum aristokrat Indonesia. Mereka memiliki tingkat kebudayaan yang lebih
tinggi dibanding rakyat pribumi. Kedekatan mereka terhadap pengaruh Barat, serta
posisi mereka yang relatif bersih dari pengaruh Islam. Para bangsawan dan
aristokrat Indonesia adalah kelompok sosial yang paling cocok untuk pertama-tama
ditarik masuk ke dalam orbit kebudayaan Barat dan dijadikan sebagai rekanan.

Hal ini didasarkan atas hasil observasi Hurgronje bahwa sebagian besar rakyat lebih
dipengaruhi oleh tradisi-tradisi lokal dibandingkan dengan pengaruh Islam dan
bahwa kelompok bangsawan tampaknya memiliki wewenang dan pengaruh lebih
besar dibandingkan para pemimpin santri. Karena itu, tambah Hurgronje, para
bangsawan Indonesia yang terdidik yang sebagian besar adalah kaum muslim
yang sedang-sedang saja, akan menjauh dari Islam dan akan memainkan besar
dalam mengantarkan Indonesia menuju dunia model Barat. Pandangan Snouck ini
sangat berpengaruh dan menjadi salah satu alasan disediakannya berbagai fasilitas
pendidikan dalam skala besar-besaran oleh pemerintah setelah tahun 1900

Meskipun cukup sukses, kebijakan Islam yang dirancang Hurgronje juga


menemukan banyak kegagalan . salah satu kesalahan Hurgronje adalah pandangan
yang menyepelekan kemampuan Islam sebagai sebuah kekuatan yang dinamis
dalam melakukan reformasi dan modernisasi diri.

Pada masa berlangsungnya kebijakan Islam yang dirancang Hurgronje, Indonesia


mengalami serangkaian perubahan sosial yang penting. Perubahan-perubahan ini
tidak disebabkan oleh para penggagasnya atau merupakan hasil langsung dari
sebuah perencanaan yang sadar, tetapi sebagian besar berlangsung karena
pengaruh tidak langsung kebijakan di atas. Akibat tidak langsung yang tidak
terduga, tetapi juga sangat penting, adalah munculnya sekelompok kecil elit
terdidik yang mampu menyuarakan frustasi massa. Yang mengagetkan Belanda
yang mendidik mereka adalah kelompok kecil elit ini yang dipengaruhi kebudayaan
Barat, belakangan tampil sebagai pemimpin gerakan nasionalis yang sadar diri
Yang juga tidak kalah penting adalah tumbuhnya banyak gerakan modernis yang
dipelopori oleh para sarjana Muslim sebagai respon atas kebijakan kolonial Belanda
dalam bidang pendidikan.

Pemerintah mengembangkan sikap ganda terhadap gerakan rasionalis ini, pada


mulanya toleransi dan represi. Pada awalnya diyakini bahwa tumbuhnya kesadaran
politik merupakan konsekuensi logis kebijakan pendidikan mereka. Meskipun
demikian, karena gerakan-gerakan itu mulai menunjukkan giginya, pemerintah
mengambil sikap lebih keras terhadap mereka. Manifestasi nyata gerakan nasionalis
ini adalah berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908. Organisasi ini segera disusul
oleh sebuah organisasi politik yang lebih merakyat dan kecenderungan Islam yang
kuat: Sarekat Islam. Hampir bersamaan dengan itu, berdiri pula Muhammadiyah.
Pada masa ini, untuk menarik masa, seruan atas nama Islam disuarakan sebagai
ikatan bersama dalam kehidupan orang-orang Jawa. Sementara Budi Utomo
membatasi kegiatannya pada bidang kebudayaan. Sarekat Islam lebih
memfokuskan kegiatan ekonomi dan politik. Sementara itu, Muhammadiyah
mmemgokuskan upayanya untuk mempertahankan Islam pada masa umumnya

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam Realitas sosio-pendidikan, pendidikan di Indonesia terpecah menjadi


dua yaitu pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan ajaran-ajaran
agama dan pendidikan Barat yang sekuler.

2. Dalam Realitas politik hindia-Belanda, Politik Islam hindia Belanda terbagi


menjadi dua periode,yaitu: Periode Pertama (periode sebelum Snouck
Hurgronje) dan Periode Kedua (periode setelah Snouck Hurgronje menjadi
penasihat Belanda untuk urusan pribumi di Indonesia).

B. SARAN

Dari kesimpulan di atas,dapat disarankan hal-hal sebagai berikut :


1. Sebagai warga umat Islam Muhammadiyah, kita harus mempertahankan dan
meneruskan perjuangan Ahmad Dahlan dari segala bentuk yang dapat
menghancurkan agama Islam.

2. Sebagai umat Islam yang beriman dan bertaqwa pada-Nya, kita tidak
seharusnya melakukan hal-hal yang dilarang Islam seperti bidah, khurafat,
kita harus menjalankan dan mengamalkan seperti apa yang diajarkan dalam
al-Quran dan al-hadist.

3. Sebagai umat Islam yang berilmu, kita harus memperdalam ilmu dalam
segala bidang seperti IPTEK dan ilmu yang lainnya tanpa membedakan,
dengan syarat kita tahu apa yang kita pelajari sesuai dengan ajaran Islam.

4. Untuk menjaga agama Islam dari pemusnahan orang-orang kafir, kita sebagai
umat Islam harus bersatu melindungi agama Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Baidhawy, Zakiyuddin. 2001. Studi Kemuhammadiyahan Kajian Historis, Ideologi,


dan Organisasi, Surakarta : LSI.

Shihab, Alwi. 1998. Membendung Arus : Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap


Misi Kristenisasi di Indonesia. Bandung : Mizan.

Sjoeja, M. 1995. K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Versi Baru, eds. Saifullah
dan Mustain (Manuskrip).

Syaifullah, 1997. Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, Jakarta : Gramedia.

Tamimi, M. Jindar. Dalam Tim Penulis UMM, eds., 1990. Muhammadiyah, Sejarah,
Pemikiran dan Amal Usaha, Malang, UMM Press.

BAB I

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang

K.H. Ahmad Dahlan dilahirkan tanggal 1 Agustus 1868 di Kauman Yogyakarta


dan wafat tanggal 23 Februari 1923. Nama kecilnya adalah Muhammad Darwis.
Ayahnya bernama KH. Abu Bakar (seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid
Besar Kesultanan Yogyakarta) dan ibunya Siti Aminah (puteri dari H. Ibrahim yang
menjabat sebagai penghulu kesultanan juga). Ia merupakan anak ke-empat dari
tujuh bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik
bungsunya.

Permulaan pendidikan Muhammad Darwis adalah memperoleh pengajaran dan


pendidikan membaca (mengaji) al-Quraan dari ayahnya, K.H. Abu Bakar di rumah
sendiri, dan pada usia 8 tahun di sudah lancar dan tamat membaca al-Quran.
Seiring dengan perkembangn usia yang semakin bertambah, M. Darwis yang sudah
tambah remaja mulai belajar agama Islam tingkat lanjut. Tidak sekedar membaca
al-Quran, dia jug belajar fiqih dari K.H. M. Soleh dan belajar nahwu dari K.H.
Muhsin.

Muhammadiyah merupakan organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia setelah


NU. Pendidikan telah menjadi trade-merk gerakan Muhammadiyah, besarnya
jumlah lembaga pendidikan merupakan bukti konkrit peran penting Muhammadiyah
dalam proses pemberdayaan umat Islam dan pencerdasan bangsa. Dalam konteks
ini Muhammadiyah tidak hanya berhasil mengentaskan bangsa Indonesia dan umat
islam dari kebodohan dan penindasan, tetapi juga menawarkan suatu model
pembaharuan sistem pendidikan modern yang telah terjaga identitas dan
kelangsungannya.

Diskusi tentang pendidikan Muhammadiyah sebagai salah satu pembaharuan


pendidikan islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pemikiran para
pendirinya. Salah satu tokoh pendidikan Muhammadiyah yang paling menonjol
adalah K.H. Ahmad Dahlan. Oleh karenanya penulis akan membahas makalah yang
berjudul Tokoh Pendidikan Islam K.H Ahmad Dahlan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Biogfari KH. Ahmad Dahlan

Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868, Nama kecil KH.
Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh
orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik
bungsunya.

Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada
periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan
Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama
menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan
menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad
Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia
mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.

Pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo - organisasi yang melahirkan
banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan pelajaran-pelajaran
untuk memenuhi keperluan anggota. Pelajaran yang diberikannya terasa sangat
berguna bagi anggota Boedi Oetomo sehingga para anggota Boedi Oetomo ini
menyarankan agar Kiai Dahlan membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi
dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen. Hal tersebut dimaksudkan
untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang terpaksa tutup bila kiai
pemimpinnya meninggal dunia.[1]

Saran itu kemudian ditindaklanjuti Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah


organisasi yang diberi nama Muhammadiyah pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah
1330). Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui
organisasi inilah beliau berusaha memajukan pendidikan dan membangun
masyarakat Islam.

B. Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah

Ada beberapa faktor berdirinya Muhammadiyah, diantaranya sebagai berikut :

1. Faktor Subyektif
Faktor Subyektif yang sangat kuat, bahkan dikatakan sbagai faktor utama dan
faktor penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil
pendalaman KH Ahmad. Dahlan terhadap Al Qur'an dalam menelaah, membahas
dan meneliti dan mengkaji kandungan isinya. Sikap KH. Ahmad Dahlan seperti ini
sesungguhnya dalam rangka melaksanakan firman Allah sebagaimana yang
tersimpul dalam dalam surat An-Nisa ayat 82 dan surat MUhammad ayat 24 yaitu
melakukan taddabur atau memperhatikan dan mencermati dengan penuh ketelitian
terhadap apa yang tersirat dalam ayat.

Sikap seperti ini pulalah yang dilakukan KHA. Dahlan ketika menatap surat Ali
Imran ayat 104:
"Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang munkar,
merekalah orang-orang yang beruntung ".

Memahami seruan diatas, KH. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk


membangan sebuah perkumpulan, organisasi atau persyarikatan yang teratur dan
rapi yang tugasnya berkhidmad pada melaksanakan misi dakwah Islam amar
Makruf Nahi Munkar di tengah masyarakat kita.

2. Faktor Obyektif

Ada beberapa sebab yang bersifat objektif yang melatarbelakangi berdirinya


Muhammadiyah, yang sebagian dapat dikelompokkan dalam faktor internal, yaitu
faktor-faktor penyebab yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam
Indonesia, dan sebagiannya dapat dimasukkan ke dalam faktor eksternal, yaitu
faktor-faktor penyebab yang ada di luar tubuh masyarakat Islam Indonesia.

3. Faktor obyektif yang bersifat internal

a. Ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya Al-Quran dan as-Sunnah


sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.

b. Lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan


generasi yang siap mengemban misi selaku Khalifah Allah di atas bumi.
4. Faktor obyektif yang bersifat eksternal

a. Semakin meningkatnya Gerakan Kristenisasi di tengah-tengah masyarakat


Indonesia.

b. Penetrasi Bangsa-bangsa Eropa, terutama Bangsa Belanda ke Indonesia.

c. Pengaruh dari Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam..

5. Tujuan berdirinya Muhammadiyah

Tujuan dari berdirinya organisasi ini ialah mengadakan dakwah Islam,


memajukan pendidikan dan pengajaran, menghidupkan sifat tolong-menolong,
mendirikan tempat ibadah dan wakaf, mendidik dan mengasuh anak-anak agar
menjadi umat Islam yang berarti, berusaha ke arah perbaikan penghidupan dan
kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam, serta berusaha dengan segala
kebijaksanaan supaya kehendak dan peraturan islam berlaku dalam masyarakat.
Rumusan tujuan ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam Anggaran Dasar
Muhammadiyah Desenber 1950.

Setelah organisasi ini berdiri, sekolah yang didirikan semakin banyak, karena
pendirian sekolah dan madrasah menjadi prioritas dalam setiap gerakan
Muhammadiyah. Oleh karena itu, di mana ada cabang perkumpulan organisasi ini
dipastikan terdapat sekolah atau Madrasah Muhammadiyah. Hal ini dimungkinkan
karena kalangan pendukung Muhammadiyah kebanyakan berasal dari kaum
pedagang dan pegawai di wilayah perkotaan sehingga mudah untuk
dikoordinasikan.[2]

C. Pola Pemikiran KH. Ahmad Dahlan

Hampir seluruh pemikiran K.H. Ahmad Dahlan berangkat dari keprihatinannya


terhadap situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu yang tenggelam dalam
kejumudan (stagnasi), kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini semakin
diperparah dengan politik kolonial belanda yang sangat merugikan bangsa
Indonesia.

Pemikiran atau ide-ide K.H. Ahmad Dahlan tertuang dalam gerakan


Muhammadiyah yang ia dirikan pada tanggal 18 Nopember 1912. Organisasi ini
mempunyai karekter sebagai gerakan sosial keagamaan. Titik tekan perjuangannya
mula-mula adalah pemurnian ajaran Islam dan bidang pendidikan. Muhammadiyah
mempunyai pengaruh yang berakar dalam upaya pemberantasan bidah, khurafat
dan tahayul. Ide pembaruannya menyetuh aqidah dan syariat, misalnya tentang
uapcara kematian talqin, upacara perkawinan, kehamilan, sunatan, menziarahi
kuburan yang dikeramatkan, memberikan makanan sesajen kepada pohon-pohon
besar, jembatan, rumah angker dan sebagainya, yang secara terminologi agama
tidak dikenal dalam Islam.

Menurut K.H. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam
dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui
pendidikan. Memang, Muhammadiyah sejak tahun 1912 telah menggarap dunia
pendidikan, namun perumusan mengenai tujuan pendidikan yang spesifik baru
disusun pada 1936. Pada mulanya tujuan pendidikan ini tampak dari ucapan K.H.
Ahmad Dahlan: Dadiji kjai sing kemajorean, adja kesel anggonu njambut gawe
kanggo Muhammadiyah( Jadilah manusia yang maju, jangan pernah lelah dalam
bekerja untuk Muhammadiyah)[3]

Bahkan hal tersebut sangat bertentangan dengan Islam, sebab dapat


mendorong timbulnya kepercayaan syirik dan merusak aqidah Islam. Inti gerakan
pemurnian ajaran Islam seperti pendahulunya, Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin
Abdul Wahab cukup bergema. K.H. Ahmad Dahlan dan pengikutnya teguh pendirian
dalam upaya menegakkan ajaran Islam yang murni sesuai al-Quran dan Hadis,
mengagungkan ijtihad intelektual bila sumber-sumber hukum yang lebih tinggi tidak
bisa digunakan, termasuk juga menghilangkan taklid dalam praktik fiqih dan
menegakkan amal maruf nahi munkar.

1 Pemikiran Pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan

Dahlan merasa tidak puas dengan system dan praktik pendidikan yang ada di
Indonesia saat itu, dibuktikan dengan pandangannya mengenai tujuan pendidikan
adalah untuk menciptakan manusia yang baik budi, luas pandangan, dan bersedia
berjuang untuk kemajuan masyarakat. Karena itu Dahlan merentaskan beberapa
pandangannya mengenai pendidikan dalam bentuk pendidikan model
Muhammadiyah khususnya, antara lain:

a. Pendidikan Integralistik

K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action sehingga sudah pada
tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh
sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan Beliau musti
lebih banyak merujuk pada bagaimana beliau membangun sistem pendidikan.
Namun naskah pidato terakhir beliau yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik
untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Beliau terhadap
pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci
yang menggambarkan tingginya minat Beliau dalam pencerahan akal, yaitu:

1. Pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang


dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat
dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci;

2. Akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia;

3. Ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang
hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt.
Pribadi K.H. Ahmad Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa
yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar sehingga meskipun tidak punya latar belakang
pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran
Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid.

Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu memproduksi


ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak. Menurutnya,
sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik
adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren karena di
dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran
mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam pondok
pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang
terbaik. Dalam semangat yang sama, belakangan ini sekolah-sekolah Islam tengah
berpacu menuju peningkatan mutu pendidikan. Salah satu model pendidikan
terbaru adalah full day school, sekolah sampai sore hari, tidak terkecuali di
lingkungan Muhammadiyah.

1. Mengadopsi Substansi dan Metodologi Pendidikan Modern Belanda dalam


Madrasah-madrasah Pendidikan Agama
Yaitu mengambil beberapa komponen pendidikan yang dipakai oleh lembaga
pendidikan Belanda. Dari ide ini, K.H. Ahmad Dahlan dapat menyerap dan kemudian
dengan gagasan dan prektek pendidikannya dapat menerapkan metode pendidikan
yang dianggap baru saat itu ke dalam sekolah yang didirikannya dan madrasah-
madrasah tradisional. Metode yang ditawarkan adalah sintesis antara metode
pendidikan modern Barat dengan tradisional. Dari sini tampak bahwa lembaga
pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan
yang dikelola oleh masyarakat pribumi saat ini. Sebagai contoh, K.H. Ahmad Dahlan
mula-mula mendirikan SR di Kauman dan daerah lainnya di sekitar Yogyakarta, lalu
sekolah menengah yang diberi nama al-Qism al-Arqa yang kelak menjadi bibit
madrasah Muallimin dan Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta. Sebagai catatan,
tujuan umum lembaga pendidikan di atas baru disadari sesudah 24 tahun
Muhammadiyah berdiri, tapi Amir Hamzah menyimpulkan bahwa tujuan umum
pendidikan Muhammadiyah menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah:

1. Baik budi, alim dalam agama

2. Luas pandangan, alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum)

3. Bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya

2. Memberi Muatan Pengajaran Islam pada Sekolah-sekolah Umum Modern Belanda

Sekolah Muhammadiyah mempertahankan dimensi Islam yang kuat, tetapi


dilakukan dengan cara yang berbeda dengan sekolah-sekolah Islam yang lebih awal
dengan gaya pesantrennya yang kental. Dengan contoh metode dan system
pendidikan baru yang diberikannya. K.H. Ahmad Dahlan juga ingin memodernisasi
sekolah keagamaan tradisional.

Untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam, K.H. Ahmad Dahlan


mendirikan sekolah Muallimin dan Muallimat, Muballighin dan Muballighat. Dengan
demikian diharpakan lahirlah kader-kader Muslim sebagai bagian inti program
pembaharuannya yang bisa menjadi ujung tombak gerakan Muhammadiyah dan
membantu menyampaikan misi-misi dan melanjutkannya di masa depan. K.H.
Ahmad Dahlan juga bekerja keras meningkatkan moral dan posisi kaum perempuan
dalam kerangka Islam sebagai instrument yang efektif dan bermanfaat di dalam
organisasinya karena perempuan merupakan unsur penting berkat bantuan istri
dan koleganya sehingga terbentuklah Aisyiah . di tempat-tempat tertentu,
dibukalah masjid-masjid khusus bagi kaum perempuan, seseuatu yang jarang
ditemukan di Negara-negara Islam lain bahkan hingga saat ini. K.H. Ahmad Dahlan
juga membentuk gerakan pramuka Muhammadiyah yang diberi nama Hizbul Watan.
[4]

D. Toko-tokoh Muhammadiyah

1. KH. Ahmad Dahlan

2. KH. Ibrahim

3. KH. Mas Mansyur

4. Ki Bagus Hadikusuma

5. AR. Sutan Mansur

6. KH. Ahmad Badawi

7. KH. Faqih Usman

8. KH. AR. Fachruddin

9. Prof. Dr. H. Amien Rais

10. Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, pemakalah dapat menyimpulkan bahwasanya K.H.


Ahmad Dahlan adalah merupakan tokoh pendidikan yang sangat besar jasanya bagi
dunia pendidikan di Indonesia ini.

Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) lahir di Kauman, Yogyakarta, 1


Agustus 1868, Sebelum mendirikan organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan
mempelajari perubahan-perubahan yang terjadi di Mesir, Arab, dan India, untuk
kemudian berusaha menerapkannya di Indonesia. Ahmad Dahlan juga sering
mengadakan pengajian agama di langgar atau mushola. Pada tahun 1912 beliau
mendirikan Muhammadiyah yang semata-mata bertujuan untuk mengadakan
dakwah Islam, memajukan pendidikan dan pengajaran, menghidupkan sifat tolong-
menolong, mendirikan tempat ibadah dan wakaf, mendidik dan mengasuh anak-
anak agar menjadi umat Islam yang berarti, berusaha ke arah perbaikan
penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam

Ide-ide yang di kemukakan K.H.Ahmad Dahlan telah membawa pembaruan


dalam bidang pembentukan lembaga pendidikan Islam yang semula bersistem
pesantren menjadi sistem klasikal, dimana dalam pendidikan klasikal tersebut
dimasukkan pelajaran umum kedalam pendidikan madrasah. Meskipun demikian,
K.H. Ahmad Dahlan tetap mendahulukan pendidikan moral atau ahlak, pendidikan
individu dan pendidikan kemasyarakatan.

Daftar Pustaka

Junus salam, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, (Tangerang: Al-Wasat


Publising House, 2009), hal.56.

See more at: http://sunrisebw.blogspot.com/2014/05/tokoh-pendidikan-islam-kh-


ahmad-dahlan.html#sthash.ixIusf7f.dpuf

http://asbarsalim009.blogspot.com/2014/02/latar-belakang-berdirinya-
muhammadiyah.html
Soedja, Muhammad, 1993. Cerita tentang kyiai haji Ahmad Dahlan, Jakarta:
Rhineka Cipta

Amir Hamzah Wirjosukarto, 1985, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam,

Jember: Mutiara Offset

Ramayulis dan Samsul Nizar, 2009, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam

Mulia[1] Junus salam, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, (Tangerang: Al-Wasat

Publising House, 2009), hal.56.

[2] See more at: http://sunrisebw.blogspot.com/2014/05/tokoh-pendidikan-islam-kh-


ahmad-dahlan.html#sthash.ixIusf7f.dpuf

[3] http://asbarsalim009.blogspot.com/2014/02/latar-belakang-berdirinya-
muhammadiyah.html

[4] Soedja, Muhammad, 1993. Cerita tentang kyiai haji Ahmad Dahlan, Jakarta:
Rhineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai