3. Tidak adanya ukhuwah umat Islam serta tidak adanya organisasi Islam yang kuat dan
kompak.
http://pustka-ilmu.blogspot.co.id/2012/09/faktor-internal-dan-eksternal.html
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang berdirinya Muhammadiyah ?
C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas group 4 yang
diberikan oleh dosen pembina mata kuliah kemuhammadiyahan. Selain itu penulis
juga ingin mendalaminya.
BAB II
ISI
1. Realitas Sosio-Pendidikan
Sementara itu, pendidikan yang disebut kedua hanya mengajarkan ilmu-ilmu yang
diajarkan di dunia Barat. Metode pengajaran sudah menggunakan metode modern.
Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah colonial ini tidak diajarkan ilmu-
ilmu yang diajarkan di pesantren. Kebanyakan siswa yang bisa masuk dalam
pendidikan yang disebut terakhir ini adalah orang-orang yang dalam kategori
Geerts disebut dengan abangan. Sekola-sekolah yang didirikan oleh kolonial
Belanda di atas, diselenggarakan sangat sekuler, dalam arti pelajaran agama atau
semangat agama tidak diberikan, bahkan pelajaran umum, misalnya sejarah dan
ilmu bumi, bermuatan Belanda sentris, terlepas dari kebudayaan Indonesia.
Akibatnya, sekolah-sekolah tersebut merupakan masyarakat sendiri yang terlepas
dari kehidupan bangsa Indonesia. Sekolah-sekolah itu melahirkan golongan baru
yang disebut golongan intelek. Golongan ini umumnya bersifat negative terhadap
Islam, dan alam pikirannya tercabut dari bangsanya sendiri. Ini hasil dari politik
asosiasi Hurgronje dan politik etis Van Deventer. Bahkan alumni sekolah-sekolah ini
menjadi antek-antek Belanda (Tamimi, 1990:9).
Salah satu faktor penting dari latar historis kelahiran Muhammadiyah adalah
realitas politik Islam Hindia Belanda. Dalam dataran teoritis, politik Islam Hindia
Belanda sebetulnya ingin menerapkan kebijakan netralitas terhadap agama, tidak
memihak kepada agama tertentu dan tidak memandang agama tertentu pula
sebagai sesuatu yang berbahaya (Saifullah, 1997:56). Namun, dalam dataran
realitas, netralitas yang didengunngkan itu hanya omong kosong. Kebijakan
netralitas itu hanya strategi semata untuk mengelabui umat Islamagar umat Islam
bisa menerima kehadirannya sebagai penjajah. Bahkan justru sebaliknya, untuk
maksud kehadirannya, pemerintah Hindia Belanda harus membuat kebijakan
tertentu yang bisa secara efektif mencegah perlawanan umat Islam terhadap
penjajah.
Setidaknya dapat dibagi menjadi dua periode dalam melihat politik Islam Hindia
Belanda. Pertama, periode sebelum kedatangan Snouck Hurgronje dan kedua,
periode setelah Snouck Hurgronje menjadi penasihat Belanda untuk urusan Pribumi
di Indonesia. Dalam periode pertama, Belanda hanya berprinsip agar penduduk
Indonesia yang beragama Islam tidak memberontak. Untuk memenuhi prinsip ini,
Belanda menerapkan dua strategi, di satu pihak, Belanda membuat kebijakan-
kebijakan yang sifatnya membendung, misalnya memantau dan membatasi
berbagai kegiatan pengamalan ajaran Islam, dan di pihak lain, Belanda melakukan
kristenisasi bagi penduduk Indonesia. Dalam pelarangan pengamalan ajaran Islam,
pada periode ini Belanda tidak membedakan aspek-aspek ajaran Islam mana yang
harus dilarang. Pokoknya, kegiatan-kegiatan keislaman harus dieliminir sedemikian
rupa, sehingga dapat mengurangi perlawanan.
Dari pengalamannya itu, Snouck mengecam pembatasan bagi orang Islam yang
menunaikan ibadah haji, seperti dilakukan penasehat Belanda sebelumnya. Yang
perlu dikhawatirkan justru orang Islam yang belajar dan menetap bertahun-tahun di
Mekah,yang akhirnya menumbuhkan dalam diri mereka rasa persatuan dan
kesatuan dengan seluruh kaum muslimin brdasarkan identitas keislaman yang
sama-sama mereka hayati.
Atas dasar itu, Snouck selalu mencurigai setiap umat Islam yang baru pulang ke
Indonesia setelah menyelesaikan studi di Timur Tengah. Mereka selalu dipersulit,
diinterogasi bahkan barang yang dibawa diperiksa satu demi satu. Buku-buku
tertentu yang membangkitkan perlawanan disita untuk dimusnahkan. Kebanyakan
buku-buku itu adalah karya tokoh-tokoh pembaharu, semisal karya Jamal al-Din al-
Afghani, Muh. Abduh, Ibn Taimiyah, dsb. Karena karya mereka dianggap mempunyai
potensi besar membangkitkan perlawanan terhadap Belanda.
Secara umum, kebijakan Islam yang disarankan Hurgronje didasarkan atas tiga
prinsip utama. Pertama, dalam semua masalah ritual keagamaan, misalnya ibadah,
rakyat Indonesia harus dibiarkan bebas menjalankannya. Logika dibalik kebijakan ini
adalah membiarkan munculnya keyakinan dalam pikiran banyak orang bahwa
pemerintah kolonial tidak ikut campur dalam masalah keimanan mereka.
Prinsip ketiga, dan paling penting, bahwa dalam masalah politik, pemerintah
dinasehatkan untuk tidak menoleransi kegiatan apa pun yang dilakukan oleh kaum
muslimin yang dapat menyebarkan seruan-seruan Pan-Islamisme atau
menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah kolonial
Belanda. Lagi-lagi, dalam hal ini Hurgronje menekankan pentingnya kebijakan
asosiasi kaum muslim dengan peradaban Barat. Pendidikan Barat harus dibuat
terbuka bagi rakyat pribumi, agar asosiasi ini berjalan dengan baik dan tujuannya
tercapai.
Hal ini didasarkan atas hasil observasi Hurgronje bahwa sebagian besar rakyat lebih
dipengaruhi oleh tradisi-tradisi lokal dibandingkan dengan pengaruh Islam dan
bahwa kelompok bangsawan tampaknya memiliki wewenang dan pengaruh lebih
besar dibandingkan para pemimpin santri. Karena itu, tambah Hurgronje, para
bangsawan Indonesia yang terdidik yang sebagian besar adalah kaum muslim
yang sedang-sedang saja, akan menjauh dari Islam dan akan memainkan besar
dalam mengantarkan Indonesia menuju dunia model Barat. Pandangan Snouck ini
sangat berpengaruh dan menjadi salah satu alasan disediakannya berbagai fasilitas
pendidikan dalam skala besar-besaran oleh pemerintah setelah tahun 1900
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
B. SARAN
2. Sebagai umat Islam yang beriman dan bertaqwa pada-Nya, kita tidak
seharusnya melakukan hal-hal yang dilarang Islam seperti bidah, khurafat,
kita harus menjalankan dan mengamalkan seperti apa yang diajarkan dalam
al-Quran dan al-hadist.
3. Sebagai umat Islam yang berilmu, kita harus memperdalam ilmu dalam
segala bidang seperti IPTEK dan ilmu yang lainnya tanpa membedakan,
dengan syarat kita tahu apa yang kita pelajari sesuai dengan ajaran Islam.
4. Untuk menjaga agama Islam dari pemusnahan orang-orang kafir, kita sebagai
umat Islam harus bersatu melindungi agama Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Sjoeja, M. 1995. K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Versi Baru, eds. Saifullah
dan Mustain (Manuskrip).
Tamimi, M. Jindar. Dalam Tim Penulis UMM, eds., 1990. Muhammadiyah, Sejarah,
Pemikiran dan Amal Usaha, Malang, UMM Press.
BAB I
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
BAB II
PEMBAHASAN
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868, Nama kecil KH.
Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh
orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik
bungsunya.
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada
periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan
Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama
menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan
menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad
Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia
mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo - organisasi yang melahirkan
banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan pelajaran-pelajaran
untuk memenuhi keperluan anggota. Pelajaran yang diberikannya terasa sangat
berguna bagi anggota Boedi Oetomo sehingga para anggota Boedi Oetomo ini
menyarankan agar Kiai Dahlan membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi
dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen. Hal tersebut dimaksudkan
untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang terpaksa tutup bila kiai
pemimpinnya meninggal dunia.[1]
1. Faktor Subyektif
Faktor Subyektif yang sangat kuat, bahkan dikatakan sbagai faktor utama dan
faktor penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil
pendalaman KH Ahmad. Dahlan terhadap Al Qur'an dalam menelaah, membahas
dan meneliti dan mengkaji kandungan isinya. Sikap KH. Ahmad Dahlan seperti ini
sesungguhnya dalam rangka melaksanakan firman Allah sebagaimana yang
tersimpul dalam dalam surat An-Nisa ayat 82 dan surat MUhammad ayat 24 yaitu
melakukan taddabur atau memperhatikan dan mencermati dengan penuh ketelitian
terhadap apa yang tersirat dalam ayat.
Sikap seperti ini pulalah yang dilakukan KHA. Dahlan ketika menatap surat Ali
Imran ayat 104:
"Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang munkar,
merekalah orang-orang yang beruntung ".
2. Faktor Obyektif
Setelah organisasi ini berdiri, sekolah yang didirikan semakin banyak, karena
pendirian sekolah dan madrasah menjadi prioritas dalam setiap gerakan
Muhammadiyah. Oleh karena itu, di mana ada cabang perkumpulan organisasi ini
dipastikan terdapat sekolah atau Madrasah Muhammadiyah. Hal ini dimungkinkan
karena kalangan pendukung Muhammadiyah kebanyakan berasal dari kaum
pedagang dan pegawai di wilayah perkotaan sehingga mudah untuk
dikoordinasikan.[2]
Menurut K.H. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam
dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui
pendidikan. Memang, Muhammadiyah sejak tahun 1912 telah menggarap dunia
pendidikan, namun perumusan mengenai tujuan pendidikan yang spesifik baru
disusun pada 1936. Pada mulanya tujuan pendidikan ini tampak dari ucapan K.H.
Ahmad Dahlan: Dadiji kjai sing kemajorean, adja kesel anggonu njambut gawe
kanggo Muhammadiyah( Jadilah manusia yang maju, jangan pernah lelah dalam
bekerja untuk Muhammadiyah)[3]
Dahlan merasa tidak puas dengan system dan praktik pendidikan yang ada di
Indonesia saat itu, dibuktikan dengan pandangannya mengenai tujuan pendidikan
adalah untuk menciptakan manusia yang baik budi, luas pandangan, dan bersedia
berjuang untuk kemajuan masyarakat. Karena itu Dahlan merentaskan beberapa
pandangannya mengenai pendidikan dalam bentuk pendidikan model
Muhammadiyah khususnya, antara lain:
a. Pendidikan Integralistik
K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action sehingga sudah pada
tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh
sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan Beliau musti
lebih banyak merujuk pada bagaimana beliau membangun sistem pendidikan.
Namun naskah pidato terakhir beliau yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik
untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Beliau terhadap
pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci
yang menggambarkan tingginya minat Beliau dalam pencerahan akal, yaitu:
3. Ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang
hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt.
Pribadi K.H. Ahmad Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa
yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar sehingga meskipun tidak punya latar belakang
pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran
Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid.
D. Toko-tokoh Muhammadiyah
2. KH. Ibrahim
4. Ki Bagus Hadikusuma
PENUTUP
Kesimpulan
Daftar Pustaka
http://asbarsalim009.blogspot.com/2014/02/latar-belakang-berdirinya-
muhammadiyah.html
Soedja, Muhammad, 1993. Cerita tentang kyiai haji Ahmad Dahlan, Jakarta:
Rhineka Cipta
Ramayulis dan Samsul Nizar, 2009, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam
[3] http://asbarsalim009.blogspot.com/2014/02/latar-belakang-berdirinya-
muhammadiyah.html
[4] Soedja, Muhammad, 1993. Cerita tentang kyiai haji Ahmad Dahlan, Jakarta:
Rhineka Cipta