Anda di halaman 1dari 4

Nama : Achmad Zakky Farizi

Nim : 201810330311083

Fundamentalis Islam Dalam Kehidupan Kampus dan Politik

Lebih dari dua dekade terakhir dinamika keIslaman diramaikan dengan


kemunculan gelombang fundamentalisme Islam di Indonesia. Di Indonesia misalnya arus
gerakan tersebut tidak hanya terlihat pada aktivitas organisasi keagamaan di lingkungan
masyarakat secara umum, tetapi masuk ke lingkaran aktivis kampus. Semakin tahun afiliasi
gerakan aktivitas organisasi ekstra maupun intra kampus di sebagian besar perguruan tinggi
negeri. Berbagai kajian keIslaman fundamentalis diadakan di masjid, mushalla, perpustakaan,
hingga tempat santai. Orang awam mengidentifikasikan universitas Indonesia lah yang menjadi
basis pertumbuhan gerakan fundamentalisme Islam di Indonesia. Lingkungan universitas
Indonesia terinfiltrasi ideologi fundamentalisme Islam. Realitas tersebut disaksikan dengan
model keberagaman mahasiswa yang diwarnai dengan penggunaan simbol-simbol keIslaman
secara mencolok. Mahasiswi memakai penutup muka (cadar atau burqa) dan menutup
komunikasi dengan mahasiswi yang bukan dari kelompoknya. Sedangkan para aktivis pria
mereka terlihat memakai celana tanggung di atas mata kaki (isbal), berbaju koko dan memelihara
jenggot (lihyah). Dan juga diadakanya kultum yang membahas tentang isu-isu persaudaraan
seperti yang terjadi di timur tengah. Dari semua fakta tersebut, tidak dipungkiri bahwa kelompok
Islam fundamentalis tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan di Indonesia. Pada sisi lain,
hal tersebut mengkhawatirkan, karena pemikiran yang mereka anut bertolak belakang dengan
demokrasi yang dipraktekkan oleh bangsa Indonesia.

Para aktivis Islam fundamentalis biasanya berkelompok dan memulai diskusi-diskusi


kecil di selasar masjid, mereka terkadang mengundang penceramah dari luar yang diikuti para
aktivis perempuan dan laki-laki, dengan menggunakan pembatas kain sehingga tidak kelihatan
jika ada yang bertanya dari pihak laki-laki maupun perempuan. Aktivitas keIslaman di kampus
semakin berkembang meski tidak bisa diukur dengan pasti, tetapi berbagai seminar, kajian, dan
pelatihan bertemakan Islam seringkali diselenggarakan dan menjadi sebuah fenomena. Bahkan
seminar dengan tema Indonesia berlandaskan keIslaman sering juga diadakan. Organisasi
keIslaman yang kerap menyeleneggarakan diskusi kelompok, seminar, dan pelatihan seperti ini
adalah Harakah Tarbiyah dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sementara jamaah salafi lebih
memilih untuk tidak ingin menampakan diri dengan berbagai kegiatan berkapasitas besar seperti
seminar. Salah satu mantan aktivis Harakah Tarbiyah Universitas Indonesia sewaktu kuliah, dia
menyaksikan aktivitas keberagaman di lingkungan mahasiswa penganut fundamentalisme Islam
yang tampak ramai. Terlihat di sejumlah jurusan eksak seperti matematika, kimia, fisika, teknik
melakukan aktivitas sholat berjamaah, kuliah tujuh menit dan program tilawah Al-Qur’an tidak
pernah sepi diadakan di setiap mushalla tiap fakultas. Materi yang disampaikan saat kultum tidak
keluar dari pembahasan seputar tauhid dan tata cara peribadahan Islam. Terkadang juga ceramah
berisi tanggapan mengenai isu-isu persaudaraan seperti kekerasan yang menimpah umat muslim
di palestina, syiriah, mesir, dan Tunisia. Para aktivis Islam fundamentalis cenderung
berkelompok dan memulai diskusi-diskusi kecil di selasar masjid ukhuwah Islamiyyah, masjid
pusat UI. Aktivitas yang dilakukan disana ialah berdialektika dan mengaji al-qur’an dan
membaca teks-teks Al-hadist.terkadang juga mereka mengundang penceramah dari luar yang
diikuti para aktivis perempuan dan laki-laki, dengan menggunakan pembatas kain sehingga tidak
terlihat jika ada yang bertanya dari pihak laki-laki maupun perempuan. Aktivitas keIslaman di UI
terus meningkat setiap tahunnya. Berbagai macam seminar, kajian, dan pelatihan bertemakan
Islam sering kali diselenggarakan dan menjadi sebuah fenomena. Bahkan seminar bertemakan
urgensi mendirikan Negara Islam juga sering diadakan disana.
Kemunculan gerakan fundamentalisme Islam di Universitas Indonesia merupakan contoh
bahwa kalangan intelektual muda di kampus yang seharusnya menjadi mahasiswa penerus
bangsa menjadi objek hegemoni organisasi berkekuatan global. Seperti yang dikemukakan oleh
Noorhaidi Hasan, bahwa berbagai gerakan itu mulai memasuki NKRI pada akhir 1970,
Noorhaidi menjelaskan, secara tidak terduga ruang public dipertontonkan dengan munculnya
beberapa pemuda berjenggot (lihyah) dengan jubah (jalaniyah), maupun perempuan-perempuan
dengan baju hitam dan penutup muka (niqab). Keberadaan kelompok ini memunculkan suatu
paradigma baru yang kaku (riqid) dalam upayanya melakukan permurnian (purifikasi) tauhid
serta membentuk bagian-bagian tersendiri. Secara eksplisit gerakan ini menamai dirinya sebagai
salafi yang menarik tegas dengan masyarakat, dan berperan penting dalam kemasyarakatan.
Benih fundamentalisme juga terbentuk pada pola pikir mahasiswa kampus dengan menjadikan
masjid-masjid universitas sebagai basis penyemaian ide salafisme, bahkan radikalisme. Lambat
laun gerakan fundamentalisme Islam semakin bergeliat menyebar hampir di seluruh perguruan
tinggi Indonesia. Di mana fundamentalisme Islam ini menyuarakan Khilafah Is-lamiyah ,
layaknya HTI, sementara aktivis jamaah Salafi lebih menginginkan kembalinya zaman
kehidupan salaf al-shalih.
Pergerakan berbagai organisasi fundamentalisme Islam memiliki perspektif keagamaan
yang berbeda dibanding gerakan-gerakan mahasiswa keIslaman seperti IMM, HMI atau PMII.
Gerakan fundamentalis tidak mengakui konsep atau problem-problem demokrasi layaknya
HAM, kesetaraan gender, dan pluralisme dan menolak ketatanan negara saat ini karena
menganggap bahwa itu berasal dari negara-negara barat. Tentu saja hal ini sangat dikhawatirkan
karena akan sangat disayangkan apabila masa depan kampus-kampus besar di Indonesia menjadi
ancaman bagi integrasi bangsa dengan maraknya penyebaran paham fundamental di lingkungan
mahasiswa. Jika ini tetap dibiarkan, tidak menampik kemungkinan akan terlahir kelompok
intelektual yang anti-demokrasi , mengancam kebutuhan NKRI, bahkan memungkinkan
maraknya aksi terorisme yang mengatasnamakan jihad di Indonesia.
Pasca orde baru tidak ada Islam kontemporer yang lebih menghebohkan daripada
kemunculan gelombang fundamentalisme Islam di Indonesia. Kehadiran berbagai macam
gerakan Islam yang menginterupsi diskursus dan kajian sejumlah organisasi Islam mainstream
seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang dalam perspektif bassam tibi
merupakan fenomena global atas bangkitnya Islam politik. Praktis, spirit menyuarakan
kekhalifahan menyeruak menjadi tema internasional melaluii berbagai organisasi keIslaman
bercirikan fundamentalis. Kejayaan Islam di masa kekhalifahan tidak bisa begitu saja dihapuskan
dari muka bumi. Karena alasan ini berbagai gerakan fundamentalisme Islam tidak segan
melakukan perlawanan terhadap barat. Mereka memiliki rasionalisasi yang cukup karena
Negara-negara adidaya tampak mendominasi politik global dan memposisikan umat Islam
sebagai minoritas serta kelompok subordinatif.
Mencari hal yang mendasari munculnya gelombang fundamentalisme Islam dalam
konteks global menajdi langkah awal dalam mengetahui “Perang Dingin Baru” yang menjadi
persoalan utama masyarakat dunia. Jika dihadapkan pada terminology antara Timur dan Barat.
Fenomena ini seakan membenar-benarkan tesis benturan antara-peradaban (the clash of
civilization) Samuel P. huntington tentang Islam dan barat. Huntington menjelaskan, konflik
antara dua kekuatan besar itu berfokus pada isu-isu mengenai produk senjata, hak asasi manusia
(HAM) dan demokrasi, control minyak, migrasi, terorisme kelompok Islam serta intervensi
Barat. Kejayaan Islam di masa kekhalifahan tidak bisa begitu saja dihapuskan dari muka bumi.
Karena alasan ini berbagai gerakan fundamentalis Islam tidak segan melakukan perlawanan
terhadap Barat. Mereka memiliki kekuasaan sebagai negara adidaya untuk mendominasi politik
global dan menganggap umat Islam sebagai minoritas serta kelompok terrorist. Mereka
menganggap gerakan perlawanan Islam hanyalah nostalgia terhadap kejayaan masa lalu. Tariq
Ali (2002), berpendapat bahwa ancaman dunia baru itu bukan semata didominasi benturan antar
peradaban atau rivalitas fundamentalisme Islam, tetapi akibat benturan antar
fundamentalisme:fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama.

Menurut Tariq ali, kuasa ekonomi global yang didominasi segelintir pemodal menginisiasi
munculnya ketidakadilan, diskriminasi, ketergantungan ekonomi, serta bencana kemanusiaan
lain yang dialami masyarakat muslim. Dominasi ekonomi gelobal itu dikatakan sebagai
fundamentalisme pasar yang dibumbui dengan propaganda anti Barat atas imajinasi perang salib
dan peminggiran Islam politik oleh satu rezim., sehingga menyulut munculnya berbagai gerakan
fundamentalisme Islam. Esposito mengartikan pilihan terminology “fundamentalisme Islam”
lebih sesuai jika digunakan untuk mendefinisikan berbagai kelompok yang dianggap literatif,
statis dan ekstrimis dalam menafsir teks-teks AL-Quran. Dari itu Esposito lebih menggunakan
terminology “Islam revivalis” daripada “Islam fundamentalis” karena baginya pilihan kata ini
terlalu provokatif, bahkan pejorative yang pernah disandangkan kepada umat Kristen. Namun
demikian revivalisme Islam menguat terutama di banyak negara berpenduduk mayoritas Islam
karena memiliki cita-cita bersama ingin mengembalikan kejayaan umat Islam di bawah bendera
kekhalifahan.
Terminologi ini juga dikenal dengan istilah fundamentalisme Islam ( al-Ushhulihin al-
Islamiyah ), yang mengandung arti kembali kepada fundamen-fundamen keimanan; penegakan
kekuasaan politik umat; dan pengukuhan dasar-dasar otoritas yang absah ( al-Hukm al-
syari’ah ). Pemaknaan tersebut ingin memperjelas gerakan fundamentalisme Islam sebagai
kelompok pergerakan yang memperjuangkan politik Islam. Meski menggunakan simbol-simbol
keagamaan, namun tujuan utama tetap berorientasikan pada tuntutan menjadikan Islam sebagai
dasar negara. Pengertian ini sebenanrnya lebih terlihat dimensi politik daripada aspek agama.
Akibatnya muncul distingsi antara Islam dengan fundamentalisme Islam dalam persoalan ini.
Muhammad Sa’id al-Asymawi berpendapat bahwa fundamentalisme dalam perspektifnya
memiliki 2 bentuk yang berbeda karakter secara radikal. Pertama, kelompok aktivis
fundamentalisme politik(activist fundamentalism politic) yang bergerak mencita-citakan
kejayaan Islam melalui jalan politik praktis. Strategi kelompok aktivis politik fundamentalis ini
terlihat lebih terbuka kepada kelompok lain, karena mereka berpandangan bahwa untuk
mengubah sistem pemerintahan maka yang perlu dilakukan pertama kali adalah menguasai
pemerintahan. Sementara kelomok kedua, yaitu kelompok fundamentalisme rasionalis-spiritualis
(rationalist spiritualist fundamentalism). Pada kelompok yang terakhir ini, strategi yang
diaktualisasikan demi berdirinya kepemimpinan Islam tidak ditempuh melalui jalan politik atau
menguasai pemerintahan, melainkan lewat kesadaran arus bawah. Kekuatan Islam yang kedua
ini ingin mengembalikan kehidupan umat Islam seperti pada masa generasi pertama Nabi
Muhammad dan para sahabat. Mereka terbayang-bayangi cara hidup dan beragama pada masa
generasi pendahulu (salaf al-shalih).
Akan tetapi, kedua pergerakan Islam tersebut dalam perspektif tibi dikatakan sebagai
kelompok yang lebih mengupayakan repolitisasi Islam. Hal tersebut ditujukan untuk
menciptakan tata pemerintahan yang baru dengan maksud menampilkan kejayaan Islam seperti
pada masa kekhalifahan Turki Ustmani. Dari hal tersebut bisa disimpulkan kekuatan dunia ingin
kembali berada ditangan umat Islam baik dari sisi politik, militer, ilmu pengetahuan, budaya,
maupun perekonomiannya. Dengan alasan, kemajuan yang dialami negara-negara barat saat ini
memposisikan umat Islam ke tempat yang paling buruk antara lain kemiskinan, kelaparan,
perang saudara, dan terorisme. Kemunculan berbagai aksi terror yang dipelopori beberapa
kelompok radikalisme Islam selama ini dipandang sebagai reaksi yang paling konkrit dari
kekalahan Islam. Aksi-aksi tersebut merupakan wujud kemunduran umat Islam. Kalangan Islam
mengalami masa krisis yang kerap menggunakan perang-perang berwajah terror untuk
menyerang segala hal berbau barat. Berbagai wajah terror dipertontonkan Islam ekstrimis
semakin memperjelas citra buram Islam. Kaum fundamentalis terus-menerus memakai strategi
tersebut untuk melawan kedigdayaan barat.akibat dari aksi yang dilakukan oleh kaum
fundamentalis tersebut ialah merugikan kelompok Islam yang lain, karena doktrin dalam Islam
tidak sama sekali mengajarkan kekerasan sama sekali.

Anda mungkin juga menyukai