Anda di halaman 1dari 13

Arah Baru Gerakan dan Studi Keislaman di Indonesia

oleh Machasin

Pendahuluan
Agama dan umat terus bergerak sebagaimana makhluk hidup. Sebagian
anggota pergi karena meninggal atau berpindah keyakinan dsb., sementara
anggota-anggota baru datang. Karena agama mengikuti keadaan umatnya,
perubahan anggota ini mengakibatkan perubahan paham keagamaan. Selain itu,
perubahan keadaan ekonomi, politik, budaya, demografi dan lain sebagainya di
tempat hidup umat itu sedikit banyak menyebabkan perubahan dalam diri mereka
dan seterusnya mengubah agama pada bagian-bagiannya yang terpapar perubahan
luaran itu.
Gerakan keagamaan selalu terkait dengan perubahan-perubahan itu atau
bahkan merupakan respon terhadapnya. Gerakan Bela Islam yang mendorong
orang untuk berduyun-duyun datang ke Jakarta pada 4 November dan 2 Desember
tahun lalu serta pada beberapa Jum’at setelah itu jelas merupakan respon terhadap
apa yang terjadi di sekitar perhelatan pemilihan gubernur DKI. Gerakan khilafah
merupakan respon terhadap hegemoni Barat dan keadaan kepemimpinan umat
Islam yang kelihatan tidak berdaya dalam menghadapi hegemoni itu. Gerakan-
gerakan lain tidak pernah lepas dari keadaan yang dialami umat Islam entah dalam
kaitan dengan persoalan internalnya, entah dengan pihak luar.
Gerakan-gerakan itu kebanyakannya terjadi tanpa rencana dan sporadic:
yang satu datang sebelum yang lain berhenti dan tidak jarang lalu menimbulkan
semacam mazhab atau organisasi, perkumpulan atau bentuk pertubuhan lainnya.
Gerakan pengajian Sopo Nyono di awal abad lalu di Yogyakarta melahirkan
Syarikat Muhammadiyah (1912) ketika gerakan pedagang Muslim di Surakarta
masih berlangsung dan melahirkan Sarekat Islam (sebelumnya Sarekat Dagang
Islam, 1905). Kemudian menyusul gerakan pembelaan sebagian ulama terhadap
praktek keagamaan tradisional yang mendapat serangan dari kaum muda, yang
menyebabkan lahirnya Nahdlatul Ulama (1926).
2

Isu-isu internasional sedikit banyak mendapat perhatian dari sementara


warga umat dan sebagiannya menimbulkan gerakan juga di sini. Gerakan Syi’ah,
Ahmadiyah, HTI, ISIS merupakan contoh yang sangat jelas dari semua itu dan
menyedot perhatian dan tenaga serta melahirkan berbagai jenis pengkajian
keislaman.
Dengan demikian terjadi semacam tumpang tindih dari gerakan keislaman
di Indonesia. Ini bermakna positif dilihat dari banyaknya pilihan yang tersedia,
namun bermakna negatif dilihat dari kesulitan mempersatukan semua gerakan dan
pertubuhan yang mengiringinya itu dan seringnya terjadi persimpangan jalan
bahkan gesekan di antara mereka.
Kajian Islam sebahagian besar mengikuti perubahan dan gerakan yang ada
di dalam Islam dan di luarnya yang terkait dengan Islam dan atau Muslimin.
Meskipun kajian baku mengenai pokok-pokok ajaran Islam—yang bisa jadi dikaji
dengan berbagai pendekatan—tetap akan mendapatkan perhatian yang cukup
besar, perhatian kepada perubahan dan gerakan itu akan cukup besar juga.
Makalah ini akan melihat bagaimana gerakan-gerakan itu berkembang di
masa lampau dan apa yang akan terjadi pada masa-masa yang akan datang. Di
dalam bidang kajian, akan diusulkan persoalan-persoalan yang mesti mendapat
perhatian untuk dikaji agar Islam dapat lebih berperan dalam mengarahkan
perjalanan kehidupan umat manusia. Mengarahkan merupakan misi paling
moderat dari misi minimalis, yakni mengikuti, dan misi ambisius, yakni
merekayasa gerakan bagi kajian Islam di negeri ini.

A. Tujuh Tahapan Gerakan Islam


Gerakan Islam di Indonesia dapat dilihat dalam tahapan-tahapan yang
susul menyusul. Gerakan yang satu berangkat lebih dahulu, gerakan lain
menyusul kemudian, walaupun kepastian waktunya tidak dapat ditunjukkan
dengan pasti dan terjadi berbagai variasi sesuai dengan tempatnya. Gerakan yang
datang kemudian tidak menghentikan gerakan yang datang sebelumnya, bahkan
adakalanya justru memperbesarnya.
3

Islam dalam praktek adalah sebuah proses, proses menjadi Islam. Proses
ini baik pada lingkup individual terus berlangsung sejak orang mengenal Islam
sampai ia meninggal. Prosesnya bisa maju ke arah penambahan pemahaman dan
pengamalan yang lebih lengkap, bisa juga mundur ke arah yang lebih sedikit.
Pada lingkup keumatan pun terjadi proses menjadi Islam mulai dari pengenalan
sampai ke saat umat berhenti berubah atau dapat dikatakan sampai berakhirnya
keberadaan umat. Entah itu karena penghancuran oleh bangsa kekuatan duniawiah
atau karena berakhirnya dunia ini. Proses yang tak pernah berhenti.

Tahapan I: Pengenalan
Tahapan ini terdiri dari tahapan pengenalan ajaran elementer Islam: hal-hal
primer yang mesti diketahui dan diamalkan oleh orang yang masuk Islam atau
mulai (lagi) menjadi pengamal Islam yang relatif intensif. Di antaranya adalah
prinsip-prinsip keimanan dan peribadatan elementer. Hal-hal sekitar syahadat,
bersuci, pesalatan, upacara-upacara keagamaan, hafalan surat-surat pendek dan
kecakapan membaca al-Qur’an. Gerakan pengenalan Islam tahap awal ini
melembaga dalam pengajian-pengajian di musolla, surau, langgar dan majlis
taklim.
Tahapan ini terus berlangsung sampai sekarang dengan intensitas yang
bervariasi sesuai dengan tempat dan ketersediaan pelakunya. Gerakan ini berjalan
begitu saja tanpa campur tangan organisasi pada kebanyakannya dan dilakukan
secara sukarela oleh pelaku yang lebih banyak digerakkan oleh keikhlasan
menyebarkan pengetahuan keagamaan.

Tahapan II: Pendalaman Tingkat I


Gerakan berikutnya adalah pendalaman terhadap ajaran Islam dalam
bentuk Fiqih, Tauhid, Akhlaq/Tasawuf, Bahasa Arab, Tajwid dan sejarah Islam.
Ini dilakukan dalam lembaga-lembaga pendidikan seperti pesantren dan madrasah
serta di sekolah umum. Kitab Kuning dulunya merupakan sarananya yang paling
penting sebelum adanya buku-buku pelajaran agama yang ditulis untuk mereka
yang ingin tahu secara lebih mendalam tentang agama Islam daripada yang
dibutuhkan dalam takaran minimal oleh Muslim terkait kewajiban keagamaannya.
4

Gerakan ini lebih ditangani oleh masyarakat Muslim dan individu-individu


yang terpanggil entah atas dasar keturunan, entah keikhlasan. Campur tangan
pemerintah dalam bentuk peraturan perundingan yang memasukkannya dalam
sistem pendidikan nasional, pengarahan dan pemberian bantuan fisik tidak
menghilangkan sifat suka-relanya dan kebebasannya.

Tahapan III: Gerakan Organisasi


Selanjutnya adalah gerakan organisasi Islam. Sebenarnya sebelum itu
sudah muncul tarekat-tarekat Sufi yang bekerja sebagai organisasi, namun bukan
ini yang dimaksud dengan tahapan organisasi. Yang dimaksud adalah kemunculan
organisasi-organisasi modern untuk menyatukan orang-orang yang mempunyai
yang tujuan atau aspirasi yang sama dalam mencapai cita-cita. Adanya pengurus,
anggota, anggaran dasar dan rumah tangga, serta disiplin organisasi merupakan
ciri penting dari perkumpulan orang-orang Islam yang tergabung dalam organisasi
ini. Syarikat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Tarbiyah
Islamiyah, al-Irsyad dan lain sebagainya muncul dengan tujuan menyatukan
orang-orang dengan tujuan yang sama dalam mencapai cita-cita keislaman.
Persentuhan dengan ide-ide yang berkembang di Barat, terutama melalui
kehadiran kekuasaan penjajah Belanda di negeri ini menjadi penyebab utama
kelahiran organisasi ini.

Tahapan IV: Gerakan Politik dan Ideologi


Di dalam organisasi-organisasi ini tersebar kesadaran akan keterpurukan
keadaan umat dan bagaimana cara memperbaikinya. Di antaranya adalah dengan
melawan penjajahan yang merendahkan martabat mereka dan menghisap
kekayaan bumi tempat mereka hidup. Karena itu, tidak lama kemudian partai-
partai Islam yang kebanyakan merupakan perubahan bentuk dari organisasi
kemasyarakatan keislaman yang sudah ada sebelumnya dengan ideologi masing-
masing atau penggabungan beberapa daripadanya. Kehadiran Belanda dengan
dominasi kekuasaannya merupakan faktor yang sangat penting dalam kelahiran
partai-partai dan ideologi ini.
5

Pembentukan Negara Indonesia menunjukkan bagaimana Islam


diperjuangkan sebagai dasar negara melalui partai-partai Islam itu.

Tahapan V: Pendalaman Tingkat II


Peningkatan pengetahuan orang Islam mengenai ajaran agama mereka
secara lebih dalam dan lebih luas terjadi dengan didirikannya pesantren, surau,
dayah dan sejenisnya tempat anak-anak muda Muslim mempelajari ilmu agama
mulai dari Ilmu Tauhid, Fiqih, Usul Fiqih, Akhlaq dan Tasawuf sampai Tafsir al-
Qur’an, Ilmu Hadis, seluk beluk bahasa Arab dan logika. Madrasah. Metode
belajar individual (sorogan) merupakan bagian pokok dari sistem belajar pada
umumnya pesantren ini dengan tambahan metode halaqah (bendungan) dan
kadang-kadang diskusi (munāzharah). Dengan pengetahuan keagamaan yang
diperoleh di sini kebanyakan “pekerja agama”1 melayani umat Islam.
Seiring dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda dalam memberikan
pendidikan bagi pribumi dalam rangka Etische Politiek, muncul madrasah dengan
sistem kelasikal dalam peningkatan pengetahuan keislaman. Walaupun kemudian
madrasah berkembang, dengan “campur tangan” pemerintah, menjadi sekolah
umum bercirikan Islam, fungsinya sebagai tempat untuk belajar agama Islam
secara lebih dalam daripada yang dipelajari di pengajian tidak tergantikan.
Dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, madrasah juga
merupakan tempat yang penting untuk mendidik tenaga birokrasi yang mengurusi
pelayanan negara terhadap warga negara Muslim terkait masalah keagamaan.
Kebutuhan akan petugas agama dengan pengetahuan keagamaan yang
lebih tinggi dan ilmu pendukungnya melahirkan berdirinya perguruan tinggi
Islam. Sekolah Tinggi Islam merupakan bentuknya yang paling tua di negeri ini.
Kemudian menyusul PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri), sementara
Akademi Dinas Ilmu Agama didirikan tidak lama berselang untuk meningkatkan
pengetahuan dan kecakapan tenaga administrasi negara yang berkenaan dengan
pelayanan keislaman memerlukan. Keduanya lalu digabungkan menjadi IAIN

1
Mulai dari guru ngaji, tuan guru, ulama dan sebagainya sampai imam musolla dan
pemimpin upacara keagamaan Islam lain.
6

(Institut Agama Islam Negeri) yang selanjutnya dibangun di beberapa kota besar
dan sebagiannya pada akhirnya berubah menjadi UIN (Universitas Islam Negeri).
Belum ada informasi yang akurat mengenai motif utama maraknya
pendirian PTAI dan banyaknya mahasiswa yang belajar di sana. Akan tetapi,
kelihatannya fungsi penciptaan akses formal ke kehidupan modern dari formalitas
kesarjanaan menunjukkan indikasi yang lebih kuat daripada pendalaman ilmu
keagamaan. Indikatornya dapat dengan mudah ditemukan, namun penelitian yang
cermat mengenai itu perlu dilakukan.

Tahapan VI: Gerakan Pemikiran Keagamaan


Pemikiran keagamaan adalah perkembangan yang wajar dari keberadaan
umat beragama: berpikir tentang agama dan berpikir tentang masalah kehidupan
dengan keyakinan dan ajaran keagamaan sebagai rujukan. Akan tetapi gerakan
pemikiran keagamaan selalu muncul setelah kaum beriman melewati waktu yang
cukup panjang dalam mengamalkan ajaran agama. Di negeri ini, isu tasawuf
merupakan obyek pemikiran yang mula-mula muncul ke permukaan. Perdebatan
mengenai paham kesatuan kenyataan-ada (waḥdatul wujūd) menimbulkan karya-
karya baik yang menentang maupun membelanya cukup terkenal. Ajaran
mengenai martabat tujuh yang ditanggapi dan dikembangkan oleh banyak pemikir
di pulau Sumatra dan Jawa masih menunggu penelitian baik mengenai
kandungannya, penyerapannya dan penyebarannya.
Kemudian muncul gerakan pemikiran yang berkaitan dengan masalah-
masalah khilafiah dalam bidang amaliah peribadatan. Gerakan ini cukup marak
pada dekade kedua sampai keempat abad lalu kemudian surut dan akhir-akhir ini
hampir tak terdengar.
Menyusul kemudian pemikiran dalam bidang politik yang cukup menguras
enerji pada tahun 1950, terutama dalam sidang-sidang konstituante 1956-1959.
Setelah itu, ketika politik Orde Baru menutup ketat pintu bagi munculnya politik
Islam, pemikiran mengenai pribumisasi Islam dan komplementarisasi Islam. Islam
ditampilkan bukan sebagai ideologi pesaing bagi Nasionalisme (Pancasila),
melainkan sebagai pelengkap dan/atau salah satu sumber untuk melengkapinya.
7

Lalu merebak pemikiran mengenai sistem ekonomi dan keuangan Syari’ah


yang mengikuti trend yang terjadi di tingkat global. Masih harus ditunggu apa
dampak dari pemikiran ini bagi perkembangan kehidupan umat Islam, namun
sudah pasti bahwa sejalan dengan pemikiran dalam bidang ini muncul industri
keuangan berbasis Syari’ah yang masih dipertanyakan jatidiri keislamannya.
Pemikiran mengenai bagaimana studi Islam dilakukan di perguruan tinggi
Islam juga mendapat perhatian cukup besar dari para pemikir Islam di sini. Islam
mesti dikaji secara rasional dan ilmiah, namun harus memberikan bimbingan
pengamalan bagi para pemeluknya, demikian kesimpulan umum yang dihasilkan
dalam bidang ini.

Tahapan VII: Gerakan Internasional


Tahapan berikutnya—yang sebenarnya dari segi waktu sangat sulit disebut
“berikutnya”—adalah keterlibatan umat Islam di negeri ini di dalam masalah-
masalah terkait umat Islam di luar wilayah Indonesia. Keterlibatan ini ada yang
bersifat positif, seperti pemberian bantuan kepada bangsa Palestina dan Rohingya,
tetapi ada yang bersifat negatif seperti keterlibatan dalam ISIS (Islamic State in
Iraq and Syria) dan gerakan khilafah. Lebih buruk lagi dampak dari kegiatan yang
terakhir ini ketika kecakapan yang diperoleh dalam perang-perang di wilayah
antara Afghanistan dan Sahara ini dipakai untuk melakukan tindak kekerasan di
negeri ini.
Gerakan untuk memasarkan model pengamalan Islam di negeri ini yang
menonjolkan keramahan, kesantunan dan kesediaan untuk bekerja sama dengan
pihak-pihak lain dalam kemajemukan ke seluruh dunia. Penyebaran konsep dan
praktek yang disebut Islam Nusantara—yang bentuknya masih dibincangkan
sebelum mencapai rumusan yang baku—ini masih belum kelihatan tanda-tanda
keberhasilannya. Akan tetapi satu hal cukup jelas: bahwa Muslim negeri ini mulai
sadar untuk perlu tampil ke muka di tingkat antar bangsa, dengan bekal
keislaman, guna mengambil bagian dalam menentukan arah bagi perjalanan
peradaban umat manusia.

Tahap I
8

Tahap II
Tahap III
Tahap IV
Tahap V
Tahap VI
Tahap VII

Bagan tahapan-tahapan gerakan keislaman.


Gerakan lain
Tahapan-tahapan yang tersebut di atas mesti ditaruh di muka mata kita
dengan kesadaran mengenai adanya yang—kalau tidak ditangani dengan seksama
dan penuh kesungguhan—dapat mengganggu perjalanan umat Islam ke arah
kedewasaannya dan mengambil peran dalam pembentukan tatanan dunia yang adil
dan memberikan ruang yang cukup bagi semua warganya untuk hidup secara
bermartabat. Tidak mudah untuk menamai gerakan ini, namun dapat disebutkan
ciri-cirinya. Di antaranya adalah paham bahwa hanya ada satu pilihan dalam
beragama secara benar (One option religion), sehingga paham-paham atau tafsir-
tafsir lain mesti dianggap salah dan tindakan reaksioner terhadap isu-isu yang
dianggap merugikan Islam, tanpa penelitian seksama. Syarat-syarat keilmuan
modern yang mengedepankan kecukupan data/fakta, ketajaman analisis,
ketertiban penalaran dan keterbukaan terhadap kritik kelihatan tidak menyentuh
pemahaman keagamaan gerakan ini.
Beberapa variable perlu mendapat perhatian dalam meramalkan arah
gerakan keislaman: (1) kenyamanan hidup, keadilan dan kehormatan bagi Muslim
di negeri ini, (2) keadilan global dan relasi yang saling menghargai di antara
bangsa-negara di seluruh dunia, (3) penyebaran kemakmuran yang relatif merata
dalam arti perbedaan antar negara-bangsa tidak terlalu besar. Jika ketiganya
positif, gerakan Islam akan mudah diarahkan kepada peningkatan peran Muslim
dalam memperbaiki kehidupan umat manusia. Sebaliknya, jika ketiganya negatif,
gerakan Islam lebih banyak ditentukan emosi dan akibatnya tidak akan baik bagi
umat manusia secara keseluruhan.

B. Arah Baru Gerakan Keislaman


9

Setiap gerakan keagamaan selalu muncul sebagai respon terhadap situasi


tertentu yang dirasakan tidak semestinya baik di dalam lingkungan internal,
lingkungan luar yang dekat maupun lingkungan yang jauh. Gerakan pengenalan
Islam tingkat pertama, seperti yang dilakukan Jama’ah Tabligh, lahir sebagai
respon terhadap kenyataan bahwa banyak dari warga umat Islam yang tidak
menjalankan kewajiban-kewajiban keagamaan elementer, terutama salat dan tidak
meninggalkan larangan tindakan-tindakan seperti minum minuman keras.
Gerakan penghidupan kembali khilafah muncul sebagai respon terhadap berbagai
persoalan umat Islam—terutama pendudukan Palestina—yang diyakini lahir dari
kegagalan kepemimpinan yang ada sekarang di negara-negara Islam dan dominasi
Barat.
Karena itu, semestinya kita dapat memperkirakan dan sedikit banyak
menentukan arah gerakan baru Islam dengan melihat trend perubahan yang terjadi
di dalam diri umat Islam dan di tempat-tempat lain yang berkaitan dengan
keadaan umat Islam. Faktor-faktor penggeraknya dapat dikenali dengan
memperhatikan tabiat kaum Muslim dalam merespon berbagai persoalan selam
ini. Di antaranya adalah bahwa mereka sangat mudah terpancing emosi mereka
jika terjadi pelecehan terhadap simbul-simbul keagamaan. Gerakan-gerakan yang
terjadi sebagai respon terhadap pidato Ahok yang dianggap melecehkan Islam
merupakan contoh yang sangat jelas mengenai hal ini.
Akan tetapi, volume dan durasi gerakan yang muncul dari ketersinggungan
itu dipengaruhi oleh tindakan tokoh-pemimpin umat dalam mendorong atau
mengeremnya. Ketersinggungan oleh penyiaran karikatur Nabi Muhammad saw.
oleh surat kabar Denmark, Jyllands-Posten, pada bulan September 2005,
menimbulkan gerakan protes besar-besaran di berbagai negara Eropa dan Timur
Tengah, karena banyaknya tokoh yang mendorongnya. Di Indonesia hanya
muncul sedikit riak demonstrasi karena lebih banyak tokoh yang menenangkan
umat Islam daripada mendorong mereka untuk melakukan protes masa.
Ini menunjukkan bahwa peran tokoh cukup menentukan dalam lahir dan
berkembangnya gerakan.
10

Selain itu, gerakan juga ditentukan oleh intensitas ketidakpuasan umat


terhadap keadaan yang dialami. Di sini pun peran tokoh dal menyebarkan dan
mengembangkan perasaan tidak puas itu cukup penting, namun yang lebih
penting adalah penyebarannya sendiri yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak
dan dengan berbagai macam cara. Di antaranya yang sekarang sedang ngetrend
adalah media sosial.
Itu semua berarti bahwa sesungguhnya gerakan-gerakan itu dapat
direkayasa apakah untuk tujuan yang baik maupun buruk. Perekayasaan itu
mestilah melibatkan tabiat umat, isu-isu yang muncul dan ketersediaan tokoh-
tokoh penggeraknya.
Banyak masalah di dalam negeri yang dapat dikembangkan menjadi isu.
Misalnya, pelecehan terhadap simbul keislaman, relasi antar golongan,
keterwakilan, kepemimpinan, pemilihan, keterpisahan dalam kelompok,
kesenjangan ekonomi dan pengangguran. Kurangnya pengetahuan mengenai
ajaran agama Islam, kewenangan atau otoritas dalam masalah keagamaan dan
masih banyak lagi masalah yang dapat dikembangkan menjadi isu, namun
penguatan jati diri keislaman di dalam masyarakat majemuk perlu mendapat
perhatian serius dari pemimpin umat, termasuk di dalamnya Perguruan Tinggi
Islam.
Isu-isu antar bangsa-negara seperti penjajahan atas Palestina, konflik di
negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim yang menyebabkan banyak orang
terlunta-lunta dan mengungsi, penggunaan kekerasan dan terorisme, dominasi
Barat, ketidakadilan global, kemiskinan, Islamophobia, nasib kaum Rohingya dan
minoritas Muslim di berbagai tempat di dunia, dan masih banyak lagi. Itu semua
mestinya melahirkan gerakan Islam yang positif kalau dikelola dengan baik.
Ke mana gerakan itu mesti diarahkan? Secara ringkas dapat dikatakan,
arah yang mesti dituju adalah pemerkuatan umat—terutama dalam bidang
ekonomi dan budaya—dan keikutsertaan dalam mengarahkan peradaban dunia
yang adil dan bermartabat.

C. Arah Baru Kajian Keislaman


11

Berbagai kajian telah dilakukan dengan obyek Islam dengan berbagai


aspeknya. Yang mula-mula nampak di sini adalah kajian tentang Islam sebagai
tradisi masyarakat pribumi, mulai dari perayaan-perayaan keagamaan, keyakinan,
hukum-hukumnya dan tatanan sosialnya sampai kekuatan-kekuatan politik dan
sistem kenegaraannya. Kajian-kajian ini dilakukan oleh peneliti dari Barat semisal
G. W. J. Drewes, H. H. Juynbol, L. Ch. Damais, Chr. Snouck Hurgronje, L. W. C.
van den Berg, C. Guillot, D. Lombard, Martin van Bruinessen dan M. C. Ricklefs.
Hasil dari kajian-kajian ini masih menjadi rujukan yang penting dalam mengenali
pusaka tradisi Islam di sini, namun masih banyak lagi aspek-aspek dan bagian-
bagian dari masa lampau yang belum tersentuh penelitian dan kajian.
Kajian yang dilakukan oleh pengkaji Muslim dan lembaga-lembaga
keislaman pada awalnya lebih banyak berkenaan dengan ajaran Islam untuk
diamalkan. Hasbi ash-Shiddieqi, Thoib Thohir Abdul Muin, Muhammad Zen dan
Hamka merupakan contoh pelakunya. Kajian yang bertujuan “merekayasa” atau
mengarahkan kehidupan umat muncul kemudian dengan tokoh A. Mukti Ali,
Harun Nasution, Nurkholish Majid dan Abdurrahman Wahid, namun
kelanjutannya belum menunjukkan hasil yang layak diperhatikan.
Dengan munculnya perhatian kepada penggunaan ilmu-ilmu sosial di
dalam kajian Islam, marak kajian baru dengan obyek dan pendekatan yang
berbeda. Gerakan-gerakan keagamaan mulai banyak dikaji. Demikian pula relasi
antar pemeluk agama dan antara kelompok-kelompok yang ada di dalam Islam.
Hasilnya cukup layak untuk diperhatikan, namun ada beberapa catatan yang perlu
diberikan. Di antaranya, kajian-kajian mengenai Islam yang memberikan
bimbingan kepada umat dalam menjalani kehidupan kurang mendapat perhatian.
Meminjam bahasa Pak Mukti Ali, kajian seperti ini baru menghasilkan telaah
ilmiah, tetapi belum menyentuh wilayah doktrin yang dapat diamalkan.
Catatan lain yang perlu dikemukakan adalah kegamangan untuk masuk ke
dalam kajian praktis terhadap pusaka ajaran Islam. Jelas bahwa banyak warisan
masa lalu dalam wilayah ini perlu dikaji dan dikembangkan agar relevan dengan
kebutuhan kehidupan umat Islam. Ketika kita berhadapan dengan pemilu yang
meniscayakan kampanye kepada calon dengan menunjukkan kecakapannya untuk
12

mendapatkan mandat memimpin, apa yang mesti dilakukan dengan ajaran Islam
yang melarang meminta jabatan? Hal-hal semacam ini mesti mendapatkan
perhatian dalam kajian Islam.
Ringkasnya, kajian Islam mesti memberikan jawaban terhadap problem-
problem yang dihadapi umat Islam. Kajian yang kuat secara akademik mesti
menjadi landasan bagi usaha untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan peran
umat. Bahan-bahan bacaan keagamaan yang menjadi sumber pengetahuan umat
Islam di negeri ini mengenai ajaran agama mereka sudah semestinya ditulis
berdasarkan kajian yang sungguh, mencakup sebanyak-banyak aspek dan
mendalam serta relevan dengan persoalan kehidupan mereka yang khas Indonesia.
Perguruan Tinggi Islam semestinya mempunyai kecakapan dan kesempatan untuk
melakukan itu.
Selanjutnya, kajian seperti itu menghadapi soal lain: pemasaran hasil
kajian. Banyak hasil penelitian dan kajian keislaman yang hanya tersimpan di laci
peneliti, atau, kalau beruntung, di rak perpustakaan. Penyebarannya ke tengah
masyarakat dan pemanfaatannya dalam pembuatan kebijakan terkait kehidupan
umat Islam masih memerlukan perjuangan yang, sayangnya, belum kelihatan
dilakukan.
Salah satu pilihan dalam pemasaran hasil kajian dan penelitian keislaman
membentuk otoritas keagamaan di PTAI. Mengapa? Banyak dari pemegang
otoritas keagamaan Islam—yang menjadi rujukan bagi masyarakat Islam dalam
mengamalkan agama—memperoleh pengetahuan keislaman dari sumber-sumber
populer yang tidak didasari kajian serius, seperti tulisan-tulisan di dalam Internet.
Umat memang memerlukan ajaran yang mudah dicerna dan segera dapat
dilaksanakan, bukan kajian akademik yang memerlukan keseksamaan dan
kecerdasan dalam memahaminya. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa yang
diberikan kepada umat tidak harus berlandaskan kajian serius dan seksama.
Kajiannya harus memenuhi kaidah akademik yang keras nan ketat, namun ketika
disampaikan kepada umat mesti dikemas dalam bentuk yang mudah.

Penutup
13

Gerakan Islam perlu diarahkan dan kalau perlu direkayasa agar tidak
saling berbenturan. Perekayasaan mesti dilakukan secara bertanggung jawab
untuk peningkatan mutu kehidupan, yang berarti juga peningkatan mutu
pengamalan agama. Kajian Islam mesti menyumbang untuk pengarahan dan
rekayasa ini.
PTAI sebagai penyedia intelektual dan peneliti Muslim semestinya ikut
berperan aktif dalam menentukan arah, baik untuk gerakan maupun pengkajian
Islam. Arah gerakan dan penelitian mesti ditentukan dengan pertimbangan
pemikiran mendalam dan luas, tidak dibiarkan ditentukan oleh rangsangan atau
provokasi dari luar dan tujuan-tujuan sesaat seperti dalam pemilihan-pemilihan
dewan perwakilan dan kepala pemerintahan.

Yogyakarta, April 2017

Machasin
UIN Sunan Kalijaga

Anda mungkin juga menyukai