oleh Machasin
Pendahuluan
Agama dan umat terus bergerak sebagaimana makhluk hidup. Sebagian
anggota pergi karena meninggal atau berpindah keyakinan dsb., sementara
anggota-anggota baru datang. Karena agama mengikuti keadaan umatnya,
perubahan anggota ini mengakibatkan perubahan paham keagamaan. Selain itu,
perubahan keadaan ekonomi, politik, budaya, demografi dan lain sebagainya di
tempat hidup umat itu sedikit banyak menyebabkan perubahan dalam diri mereka
dan seterusnya mengubah agama pada bagian-bagiannya yang terpapar perubahan
luaran itu.
Gerakan keagamaan selalu terkait dengan perubahan-perubahan itu atau
bahkan merupakan respon terhadapnya. Gerakan Bela Islam yang mendorong
orang untuk berduyun-duyun datang ke Jakarta pada 4 November dan 2 Desember
tahun lalu serta pada beberapa Jum’at setelah itu jelas merupakan respon terhadap
apa yang terjadi di sekitar perhelatan pemilihan gubernur DKI. Gerakan khilafah
merupakan respon terhadap hegemoni Barat dan keadaan kepemimpinan umat
Islam yang kelihatan tidak berdaya dalam menghadapi hegemoni itu. Gerakan-
gerakan lain tidak pernah lepas dari keadaan yang dialami umat Islam entah dalam
kaitan dengan persoalan internalnya, entah dengan pihak luar.
Gerakan-gerakan itu kebanyakannya terjadi tanpa rencana dan sporadic:
yang satu datang sebelum yang lain berhenti dan tidak jarang lalu menimbulkan
semacam mazhab atau organisasi, perkumpulan atau bentuk pertubuhan lainnya.
Gerakan pengajian Sopo Nyono di awal abad lalu di Yogyakarta melahirkan
Syarikat Muhammadiyah (1912) ketika gerakan pedagang Muslim di Surakarta
masih berlangsung dan melahirkan Sarekat Islam (sebelumnya Sarekat Dagang
Islam, 1905). Kemudian menyusul gerakan pembelaan sebagian ulama terhadap
praktek keagamaan tradisional yang mendapat serangan dari kaum muda, yang
menyebabkan lahirnya Nahdlatul Ulama (1926).
2
Islam dalam praktek adalah sebuah proses, proses menjadi Islam. Proses
ini baik pada lingkup individual terus berlangsung sejak orang mengenal Islam
sampai ia meninggal. Prosesnya bisa maju ke arah penambahan pemahaman dan
pengamalan yang lebih lengkap, bisa juga mundur ke arah yang lebih sedikit.
Pada lingkup keumatan pun terjadi proses menjadi Islam mulai dari pengenalan
sampai ke saat umat berhenti berubah atau dapat dikatakan sampai berakhirnya
keberadaan umat. Entah itu karena penghancuran oleh bangsa kekuatan duniawiah
atau karena berakhirnya dunia ini. Proses yang tak pernah berhenti.
Tahapan I: Pengenalan
Tahapan ini terdiri dari tahapan pengenalan ajaran elementer Islam: hal-hal
primer yang mesti diketahui dan diamalkan oleh orang yang masuk Islam atau
mulai (lagi) menjadi pengamal Islam yang relatif intensif. Di antaranya adalah
prinsip-prinsip keimanan dan peribadatan elementer. Hal-hal sekitar syahadat,
bersuci, pesalatan, upacara-upacara keagamaan, hafalan surat-surat pendek dan
kecakapan membaca al-Qur’an. Gerakan pengenalan Islam tahap awal ini
melembaga dalam pengajian-pengajian di musolla, surau, langgar dan majlis
taklim.
Tahapan ini terus berlangsung sampai sekarang dengan intensitas yang
bervariasi sesuai dengan tempat dan ketersediaan pelakunya. Gerakan ini berjalan
begitu saja tanpa campur tangan organisasi pada kebanyakannya dan dilakukan
secara sukarela oleh pelaku yang lebih banyak digerakkan oleh keikhlasan
menyebarkan pengetahuan keagamaan.
1
Mulai dari guru ngaji, tuan guru, ulama dan sebagainya sampai imam musolla dan
pemimpin upacara keagamaan Islam lain.
6
(Institut Agama Islam Negeri) yang selanjutnya dibangun di beberapa kota besar
dan sebagiannya pada akhirnya berubah menjadi UIN (Universitas Islam Negeri).
Belum ada informasi yang akurat mengenai motif utama maraknya
pendirian PTAI dan banyaknya mahasiswa yang belajar di sana. Akan tetapi,
kelihatannya fungsi penciptaan akses formal ke kehidupan modern dari formalitas
kesarjanaan menunjukkan indikasi yang lebih kuat daripada pendalaman ilmu
keagamaan. Indikatornya dapat dengan mudah ditemukan, namun penelitian yang
cermat mengenai itu perlu dilakukan.
Tahap I
8
Tahap II
Tahap III
Tahap IV
Tahap V
Tahap VI
Tahap VII
mendapatkan mandat memimpin, apa yang mesti dilakukan dengan ajaran Islam
yang melarang meminta jabatan? Hal-hal semacam ini mesti mendapatkan
perhatian dalam kajian Islam.
Ringkasnya, kajian Islam mesti memberikan jawaban terhadap problem-
problem yang dihadapi umat Islam. Kajian yang kuat secara akademik mesti
menjadi landasan bagi usaha untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan peran
umat. Bahan-bahan bacaan keagamaan yang menjadi sumber pengetahuan umat
Islam di negeri ini mengenai ajaran agama mereka sudah semestinya ditulis
berdasarkan kajian yang sungguh, mencakup sebanyak-banyak aspek dan
mendalam serta relevan dengan persoalan kehidupan mereka yang khas Indonesia.
Perguruan Tinggi Islam semestinya mempunyai kecakapan dan kesempatan untuk
melakukan itu.
Selanjutnya, kajian seperti itu menghadapi soal lain: pemasaran hasil
kajian. Banyak hasil penelitian dan kajian keislaman yang hanya tersimpan di laci
peneliti, atau, kalau beruntung, di rak perpustakaan. Penyebarannya ke tengah
masyarakat dan pemanfaatannya dalam pembuatan kebijakan terkait kehidupan
umat Islam masih memerlukan perjuangan yang, sayangnya, belum kelihatan
dilakukan.
Salah satu pilihan dalam pemasaran hasil kajian dan penelitian keislaman
membentuk otoritas keagamaan di PTAI. Mengapa? Banyak dari pemegang
otoritas keagamaan Islam—yang menjadi rujukan bagi masyarakat Islam dalam
mengamalkan agama—memperoleh pengetahuan keislaman dari sumber-sumber
populer yang tidak didasari kajian serius, seperti tulisan-tulisan di dalam Internet.
Umat memang memerlukan ajaran yang mudah dicerna dan segera dapat
dilaksanakan, bukan kajian akademik yang memerlukan keseksamaan dan
kecerdasan dalam memahaminya. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa yang
diberikan kepada umat tidak harus berlandaskan kajian serius dan seksama.
Kajiannya harus memenuhi kaidah akademik yang keras nan ketat, namun ketika
disampaikan kepada umat mesti dikemas dalam bentuk yang mudah.
Penutup
13
Gerakan Islam perlu diarahkan dan kalau perlu direkayasa agar tidak
saling berbenturan. Perekayasaan mesti dilakukan secara bertanggung jawab
untuk peningkatan mutu kehidupan, yang berarti juga peningkatan mutu
pengamalan agama. Kajian Islam mesti menyumbang untuk pengarahan dan
rekayasa ini.
PTAI sebagai penyedia intelektual dan peneliti Muslim semestinya ikut
berperan aktif dalam menentukan arah, baik untuk gerakan maupun pengkajian
Islam. Arah gerakan dan penelitian mesti ditentukan dengan pertimbangan
pemikiran mendalam dan luas, tidak dibiarkan ditentukan oleh rangsangan atau
provokasi dari luar dan tujuan-tujuan sesaat seperti dalam pemilihan-pemilihan
dewan perwakilan dan kepala pemerintahan.
Machasin
UIN Sunan Kalijaga