Anda di halaman 1dari 22

Moderasi Islam Berbasis Tasawuf 47

MODERASI ISLAM BERBASIS TASAWWUF


Nadhif Muhammad Mumtaz1
Nadhifmuhammad35@gmail.com1

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah1

Abstrak

Moderasi Islam adalah salah satu upaya pemberantasan radikalisme yang


ada di Indonesia. Akan tetapi sampai saat ini fakta mengatakan bahwa
radikalisme masih bertumbuh kembang. Sedangkan tasawwuf sebagai
pondasi bagi seorang muslim untuk menjalankan ajarannya bergerak ke akar-
akar pemikiran akan pemahaman agama tersebut. Oleh karena itu moderasi
islam berbasis tasawwuf diharapkan dapat memberantas radikalisme
sampai ke akar-akarnya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
pendekatan kepustakaan. Pengumpulan data diperoleh melalui berbagai
literatur. Hasil dari penelitian ini mengatakan bahwa moderasi Islam
berbasis tasawuf adalah moderasi Islam yang Rahmatan lil Alamin, berjalan
di jalan tengah tanpa menindas pihak kiri maupun kanan.

Kata Kunci: Moderasi islam, Radikalisme, Tasawwuf

Abstract

Islamic moderation is one of the efforts to eradicate radicalism in Indonesia.


However, until now the facts say that radicalism is still growing. Meanwhile,
tasawwuf as a foundation for a Muslim to carry out his teachings moves to
the roots of thoughts about understanding the religion. Therefore, Islamic
moderation based on tasawwuf is expected to eradicate radicalism to its
roots. This research is a qualitative research with a literature approach.
Data collection was obtained through various literatures. The results of
this study say that Islamic moderation based on Sufism is the moderation of
Islam that Rahmatan lil Alamin walks in the middle road without oppressing
the left or the right.

Keywords: Islamic moderation, radicalism, Tasawwuf

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


48 Nadhif Muhammad Mumtaz

A. PENDAHULUAN

M
oderasi Islam adalah gagasan yang sangat populer di kalangan
para cendekiawan maupun praktisi agama pada hari ini. Hampir
seluruh komponen masyarakat maupun pejabat membuat berbagai
program kegiatan ditujukan untuk membumingkan gagasan moderasi
beragama. Dalam hal ini, agama yang paling difokuskan adalah agama
Islam. Agama Islam seringkali terpapar radikalisme dan merugikan berbagai
komponen masyarakat sekitar. Upaya yang dilakukan pemerintah seolah-
olah tidak menghasilkan dampak yang signifikan terhadap penanggulangan
radikalisme dan terorisme.

Hal ini dibuktikan dengan hasil survey yang dirilis oleh lembaga
Alvara Research Center dan Mata Air Foundation bahwa terdapat 23,4%
pendapat yang menyatakan mahasiswa setuju dengan tegaknya negara
Islam atau khilafah, 23,1% pelajar SMA setuju dengan jihad untuk
tegaknya negara Islam khilafah, 18,1% pegawai swasta menyatakan tidak
setuju dengan ideologi Pancasila, 19,4 PNS tidak setuju dengan ideologi
Pancasila, 6,7% Pegawai BUMN tidak setuju dengan ideologi Pancasila,
serta 0,1% berindikasi tidak setuju dengan Pancasila.1 Dari data diatas
menggambarkan tentang fenomena peningkatan pemahaman ideologi
yang tidak selaras dengan ideologi Pancasila di tengah-tengah masyarakat,
dan adanya upaya dari pihak kelompok yang menginginkan perubahan
pembaruan sosial dan politik dengan cara apapun, fenomena ini merupakan
ancaman nyata yang terjadi di Indonesia. Salah satu penyebab peningkatan
pemahaman yang tidak selaras dengan ideologi Pancasila tersebut disinyalir
tidak terlepas dari berbagai usaha propaganda kelompok radikal untuk
membentuk suatu jaringan baru dan mengarah secara langsung kepada
masyarakat menggunakan berbagai media yang ada termasuk salah satunya
adalah media sosial secara online.2

1 Lihat Faiq Hidayat, “Peta Pandangan Keagamaan di Kalangan Pelajar”, https://news.


detik.com/berita/d-3707458/begini-peta-pandangan-keagamaan-di-kalangan-pelajar (dakses pada
15 Mei 2020)
2 Menurut data yang dihimpun oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika
(Kemenkominfo) sampai dengan 26 Juni 2018 telah ditemukan sebanyak 5526 konten
propaganda yang mengarah kepada paham radikal di beberapa media sosial. Temuan
tersebut diantaranya melalui Situs/ Forum/ File sharing sebesar 614, Facebook dan
Instagram sebanyak 2986, Youtube dan Google Drive 552, Telegram 502, dan yang terakhir
adalah Twitter sebanyak 872. Hal ini menunjukkan bahwa pengguna media sosial saat
ini menjadi kelompok yang rentan untuk terprovokasi oleh berbagai konten propaganda

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


Moderasi Islam Berbasis Tasawuf 49

Terlepas dari itu semua, tampaknya ada beberapa problem dalam


penanggulan radikalisme yang dilakukan oleh pemerintah maupun
masyarakat sendiri. Radikalisme tidak dibrantas hingga akar-akarnya.
Radikalisme hanya hilang pemukaannya saja namun hakikatnya
eksistensinya masih tumbuh subur di setiap hati para penganutnya.

Pangkal dari ideologi atau keimanan adalah hati seseorang tersebut.


Jika hatinya bersih maka perbuatannya akan benar dan tidak merugikan
orang lain. Tasawwuf berperan untuk membersihkan hati dari sifat-sifat
tercela dan menghiasi diri dari sifat terpuji, atau yang sering kita sebut
dengan takhally dan tajally.3 Oleh karena itu moderasi berbasis tasawwuf
sangatlah bagus untuk menjadi solusi bagi problematika radikalisme yang
terjadi dinegara ini. Karena tasawwuf memperhatikan aspek zhahir dan
bathin sekaligus. Shalat mislanya, jika dipandang dari aspek tasawwuf
maka ada dua dimensi; dimensi pertama adalah dimensi zhahir (‫صورة‬
‫ )ظاهرة‬dan hakikatnya dimensi kedua adalah dimensi bathin (‫)صورة باطنة‬.
Dimensi dhahir dari shalat adalah takbir, ruku’, sujud, membaca fatihah,
dll. Sedangkan dimensi bathin pada ibadah shalat adalah segala hal
yang berkaitan dengan kondisi hati seseorang tersebut, seperti Khusyu’,
tadharru’, dan khudhu’. Dan kedua dimensi tersebut harus sama-sama
ditegakkan terutama pada dimensi bathin jika melihat tantangan Islam di
zaman sekarang khususnya di negara Indonesia.4

Arah dari tasawwuf sendiri adalah dimaksudkan untuk mensucikan


hati dan meningkatkan kualitas ruhaniya, pancaran hati tidak akan berbeda
dengan apa yang akan dilakukan oleh muslim sehari-hari. Jika hatinya
bersih maka dia juga akan memperhatikan aspek-aspek jasmaninya, seperti
kekuatan fisik, kebersihan, kesehata, menolong orang lain, menghargai
sesama, dan menerima perbedaan.5

yang muncul di laman tersebut, Lihat https://www.beritasatu.com/nasional/459687/survei-


alvara-296-kalangan-profesional-ingin-perjuangkan-negara-islam (diakses pada tanggal
16 Mei 2020)
3 Ahmad Yusuf, “Moderasi Islam Dalam dimensi Trilogi Islam (Akidah, yari’ah,
dan Tasawwuf)”, Jurnal Al Murabbi: Pendidikan Agama Islam, Volume (3), Nomor (2),
(2018), 11
4 Al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alawiy al-Haddad, Risalah al Mu’awannah wa al
Muzhaharah wa al Mu’azharah li al Ghibbin min al Mu’minin fi Shuluk Thariq al Akhirah,
(tk.: tp., tt.), 12
5 Agama Islam sendiri juga melarang para penganutnya untuk terus melakukan
ibadah kepada Allah secara berlebihan hingga melupakan kewajiban yang lainnya, seperti

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


50 Nadhif Muhammad Mumtaz

Penelitian ini akan menguraikan dan mendiskripsikan bagaimana


moderasi Islam berbasis tasawwuf. Apakah dengan disandarkannya berbagai
program moderasi Islam kepada basis tasawwuf bisa menyelesaikan
problem radikalisme hingga ke akar-akarnya di negara Indonesia ?. Lantas
bagaimana moderasi Islam yang berbasis tasawwuf ?. Penelitian ini adalah
penelitian kualitatif. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan. Pengumpulan data diperoleh melalui berbagai
literatur.

B. LANDASAN TEORI

1. Konsep Dasar Moderasi Islam

Ketika kita berbicara mengenai konsep dasar moderasi Islam, maka hal
ini telah menarik atensi banyak ilmuwan di berbagai bidang seperti sosio-
politik, bahasa, pembangunan Islam, sosial-keagamaan, dan pendidikan
Islam. Terminologi ini merupakan terminologi dari sekian terminologi yang
sering digunakan untuk menyebut label-label umat Islam seperti Islam
modernis, progresif, dan reformis.6

Seperti dikatakan El Fadl, bahwa terminologi moderat ini dianggap


paling tepat di antara terminologi yang lain. Meski orang-orang moderat juga
sering digambarkan sebagai kelompok modernis, progresif, dan reformis,
tidak satupun dari istilah-istilah tersebut yang menggantikan istilah moderat.
Hal ini didasarkan pada legitimasi al-Qur’an dan hadist Nabi bahwa umat
Islam diperintahkan untuk menjadi orang moderat. Disinilah istilah moderat
menemukan akarnya di dalam tradisi Islam.7

Moderasi Islam banyak juga dimaknai oleh berbagai kalangan dengan


makna wasathiyyah, konstruksi wasathiyyah dalam beberapa literatur

melupakan anak istri, melupakan tetangganya, melupakan masyarakat di sekitarnya,


dan melupakan negaranya. Hal ini sepertihalnya yang digambarkan oleh Salman al
Farisi melalui dialognya bersama Abu Darda’. Lihat Muhammad bi ‘Ali bin Muhammad
al Syaukaniy, Nail al Authar min Asrar Muntaqa al Akhbar, (Riyadl-Kairo: Dar Ibn Al
Qayyim – Dar Ibnu ‘Affan, 2005), cet. 1, juz. 5, 553-554
6 Günes Murat Tezcür, “The Moderation Theory Revisited;The Case Of Islamic
Political Actors” Jurnal Party Politics, Vol 16. No. (2010), 88. Lihat juga Md Asham bin
Ahmad, “Moderation in Islam: A Conceptual Analysis of Wasatiyyah”, Jurnal Tafhim, Vol.
No. 1 4 (2011 ), 29-46
7 Khlaed Abou El-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi
Mustofa (Jakarta: Serambi, 2005), 27.

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


Moderasi Islam Berbasis Tasawuf 51

ke-Islaman ditafsirkan secara variatif. Misal dalam kajian al-Salabi kata


wasathiyyah memuat beberapa arti. Pertama, dari derivasi dari wasth,
yang berarti baina (antara). Kedua, derivasi dari lafadz wasatha, yang
mengandung banyak arti, diantaranya: (1) berupa isim (kata benda) yang
mengandung pengertian antara dua ujung; (2) berupa sifat yang bermakna
terpilih (khiyar), terutama (khosois), terbaik (ahsan); (3) wasath yang
bermakna al-‘adl atau adil; (4) wasath juga bisa bermakna sesuatu yang
berada di antara yang baik (jayyid) dan yang buruk (radi’).8

Salah satu pakar yang memaknai moderasi Islam dengan wasathiyyah


adalah al-Salabi, selain itu Kamali juga memaknainya dengan wasathiyyah.
Adapun wasathiyyah sebagai sinonim dari kata tawassuṭ, I’tidâl, tawâzun,
iqtiṣâd. Istilah moderasi ini erat kaitannya dengan keadilan, dan ini berarti
memilih posisi tengah di antara ekstremitas. Anonim dari wasathiyyah
adalah tatarruf, yang mempunyai makna “kecenderungan ke arah
pinggiran” “ekstremisme,” “radikalisme,” dan “berlebihan”.9 Sedangkan
Qardhawi mengidentifikasi wasathiyah ke dalam beberapa makna yang
lebih luas, seperti adil, istiqamah, terpilih dan terbaik, keamanan, kekuatan,
dan persatuan.10

Dalam hal ini, karakteristik penggunaan konsep moderasi dalam konteks


Islam Indonesia, seperti yang dikemukakan oleh Hilmy diantaranya; (1).
ideologi tanpa kekerasan dalam menyebarkan Islam; (2). mengadopsi cara
hidup modern dengan semua turunannya, termasuk sains dan teknologi,
demokrasi, hak asasi manusia dan sejenisnya; (3). penggunaan cara berfikir
rasional; (4). pendekatan kontekstual dalam memahami Islam, dan; (5).
penggunaan ijtihad (kerja intelektual untuk membuat opini hukum jika
tidak ada justifikasi eksplisit dari Al Qur’an dan Hadist).11

Berbagai pemaknaan para ahli tentang wasathiyyah di atas menunjukkan


bahwa terminologi ini sangat dinamis dan kontekstual. Terminologi ini juga

8 Ali Muhammad Muhammad al-Salabi, al-Wasathiyyah fi al-Qur’an al-Karim


(Kairo: Maktabah at-Tabi’în, 2001), 13-14
9 Mohammad Hashim Kamali, The Middle Path of Moderation in Islam: the
Qur’ānic Principle of Wasaṭhiyyah (New York: Oxford University Press, 2015), 9.
10 Yusuf Qardhawi, al-Kalimat fi al-Wasathiyah al-Islamiyah wa Ma’alimaha
(Cairo: Dar al-Shuruq, 2011), 34
11 Masdar Hilmy, “Whither Indonesia’s Islamic Moderatism? A Reexamination
on the Moderate Vision of Muhammadiyah and NU,” Journal of Indonesian Islam, Vol. 7,
No. 1 (Juni 2013), 25-27

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


52 Nadhif Muhammad Mumtaz

tidak hanya berdiri pada satu aspek, tetapi juga melibatkan keseimbangan
antara pikiran dan wahyu, materi dan spirit, hak dan kewajiban,
individualisme dan kolektivisme, teks (Alquran dan Sunnah) dan interpretasi
pribadi (ijtihad), ideal dan realita, yang permanen dan sementara,12 yang
kesemuanya terjalin secara terpadu. Maka dari itu wasathiyyah merupakan
pendekatan yang komprehensif dan terpadu. Konsep ini sebenarnya meminta
umat Islam untuk mempraktikkan Islam secara seimbang dan komprehensif
dalam semua aspek kehidupan masyarakat dengan memusatkan perhatian
pada peningkatan kualitas kehidupan manusia yang terkait dengan
pengembangan pengetahuan, pembangunan manusia, sistem ekonomi
dan keuangan, sistem politik, sistem pendidikan, kebangsaan, pertahanan,
persatuan, persamaan antar ras, dan lainnya.13

Untuk dimasa yang sekarang dalam konteks ke-Indonesiaan. Konsep


moderasi Islam dipertegas sebagai arus utama ke-Islaman di Indonesia. Ide
pengarusutamaan ini disamping sebagai solusi untuk menjawab berbagai
problematika keagamaan dan peradaban global, juga merupakan waktu
yang tepat generasi moderat harus mengambil langkah yang lebih agresif.
Jika kelompok radikal, ekstrimis, dan puritan berbicara lantang disertai
tindakan kekerasan, maka muslim moderat harus berbicara lebih lantang
dengan disertai tindakan damai.14

2. Konsep Dasar Tasawwuf

Memahami dan menjelaskan pengertian tasawuf merupakan hal yang


amat sulit, sedemikian besar dan luasnya sesuatu yang disebut tasawuf
itu, sehingga seperti gambaran orang buta yang menjelaskan seekor gajah
menurut bagian yang disentuhnya. Kemungkinan yang bisa dilakukan hanya
memberi ciri-ciri yang menunjukkan pada istilah tersebut meskipun tidak
utuh. Dalam ensiklopedi Islam ada beberapa pendapat para sufi tentang
definisi tasawuf. Zakaria al-Anshari (852-925 H) mendefinisikan tasawuf
sebagai cara untuk mengajarkan bagaimana mensucikan diri, meningkatkan
12 Yusuf Qardhawi, Thaqafatuna Bayna Al-Infitah Wa Al-Inghilaq (Cairo: Dar
al-Shuruq, 2000), 30.
13 Mohd Shukri Hanapi, “The Wasatiyyah (Moderation) Concept in Islamic
Epistemology: A Case Study of its Implementation in Malaysia,” dalam International
Journal of Humanities and Social Science, Vol. 4, No. 9, (July 2014), 55
14 Khlaed Abou El-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi
Mustofa (Jakarta: Serambi, 2005), 343

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


Moderasi Islam Berbasis Tasawuf 53

akhlak serta membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai


kehidupan hakiki. Sedangkan menurut al-Junaidi Al-Baghdadi (wafat 289
H) tasawuf adalah proses membersihkan hati dari sifat-sifat kemanusiaan
(basyariyah), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat-sifat
kerohanian, berpegang teguh pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu
yang lebih utama berdasarkan keabadiannya, memberikan nasihat kepada
sesama, benar-benar menepati janji kepada Allah SWT dan mengikuti
syariat ajaran Rasulullah SAW.15

Ilmu tasawuf menjadi disiplin ilmu yang tertulis dalam Islam, sebelum
itu mistisisme hanya merupakan suatu ibadah saja, dan hukum-hukumnya
telah terwujud di dalam hati manusia, hal yang sama terjadi pada kajian
ilmu lainya. Latihan latihan rohani (mujahadah), menyendiri, (khalwat)
dan berzikir ini biasanya didikuti dengan tersingkapnya tutup perasaan
dan melihat dunia ketuhanan: roh adalah salah satu dari dunia ketuhanan.16
Istilah tasawuf sendiri memiliki akar perbedaan yang kuat yang ditinjau
dari bahasa bisa dari akar kata shuf (kain wol), ahl-shuffah (seorang sahabat
yang mengikuti nabi dan hidup di sebelah masjid madinah), shaff (barisan
yang bersaf saf), dan dari shafa yang berarti suci dan bersih.17

Sementara itu ada yang membagi tasawuf menjadi tiga bagian yaitu:
Tasawuf Akhlaqi ialah tasawuf yang menitik beratkan pada pembinaan
akhlak al-karimah. Tasawuf Amali ialah tasawuf yang menitik berat pada
amalan lahiriyah yang didorong oleh qalb (hati). Dan Tasawuf Falsafi,
yakni tasawuf yang dipadukan dengan filsafat.18

Nomenklatur kata tasawuf meskipun tidak disebutkan secara eksplisit


dalam alQur’an dan al-Sunnah,bukan berarti diharamkan penggunaan
nama itu. Namun demikian tasawuf sendiri belum pernah ada pada zaman
Rasulullah Saw.tetapi sisi esensial dari tasawuf itu sudah benar-benar
mengemuka pada waktu itu.Tasawuf disatu sisi juga merupakan sebuah
cabang ilmu yang berbanding lurus dengan cabang-cabang ilmu lain dalam

15 M. Arif Khoiruddin, “Peran Tasawuf Dalam Kehidupan Masyarakat Modern”,


Jurnal Pemikiran Keislaman, Vol. 27, No. 1, (2016), 116
16 Ibnu Khaldūn, Muqoddimah Ibnu Khaldun, Terj. Ahmadie, (Jakarta: Pustaka
Firdaus , 2014), 627
17 Zaprulkan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006), 67
18 Muhammad Anas Maarif, “Tasawuf Falsafi Dan Implikasinya Dalam
Pendidikan Islam”, Vicratina: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 3, No. 1, (2018), 4

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


54 Nadhif Muhammad Mumtaz

khazanah peradaban Islam, seperti: Fiqh, Nahwu, Mantiq, dan Balaghah.


Kalau fikih fungsinya untuk menghukumi perkara-perkara dhahir, maka
fungsi tasawuf adalah untuk menseterilkan hati manusia dari berbagai
macam penyakit hati dan untuk mengantarkan manusia menuju keselamatan
dunia dan akhirat.19

Pencarian akar kata tasawuf sebagai upaya awal untuk mendefinisikan


tasawuf ternyata sulit untuk menarik suatu kesimpulan. Hal itu berpangkal
pada esensi tasawuf sebagai pengalaman rohani yang hampir tidak mungkin
dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan, masing-masing orang berbeda-
beda pengalaman dan penghayatannya sehingga pengungkapannya juga
berbeda.20

C. PEMBAHASAN

1. Moderasi Islam berbasis Tasawuf dan Islam Nusantara

Moderasi Islam sangat erat kaitannya dengan organisasi Nahdhatul


Ulama. Hal ini dikarenakan konsep Islam Nusantara sangat banyak
mengandung unsur Moderasi Islam. Islam Nusantara adalah Islam yang lahir
dan tumbuh dalam balutan tradisi dan budaya Indonesia, Islam yang damai,
ramah dan toleran. Abdurrahman Wahid dengan gagasannya “Pribumisasi
Islam” menggambarkan Islam Nusantara sebagai ajaran normatif yang
berasal dari Tuhan, kemudian diakulturasikan ke dalam kebudayaan yang
berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Islam
Nusantara berdiri di antara dua paham yang bersebrangan yaitu liberalisme
dan fundamentalisme.21

Islam Nusantara memiliki lima karakter khusus yang membedakannya


dengan Islam Arab ataupun Islam lain di dunia. Lima karakter tersebut
yaitu pertama, kontekstual, yaitu Islam dipahami sebagai ajaran yang
bisa disesuaikan dengan keadaan zaman. Kedua, toleran. Islam Nusantara
mengakui segala bentuk ajaran Islam yang ada di Indonesia tanpa membeda-

19 Yusuf Khathar Muhammad, al-Mausu’ah al-Yusufiyah fî bayâni adillah al-


Sufiyah, (Damascus: Dar elTaqwâ, tt), 9
20 Audah Mannan, “Esensi Tasawuf Akhlaki di Era Modernisasi”, Aqidah-Ta:
Jurnal Ilmu Aqidah, Vol. 4, No. 1, (2018), 38
21 M. Imdadun Rahmat, Islam Pribumi : Mendialogkan Agama Membaca
Realitas, (Jakarta: Erlangga, 2007), xx

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


Moderasi Islam Berbasis Tasawuf 55

bedakannya. Ketiga, menghargai tradisi. Islam di Indonesia merupakan hasil


akulturasi antara budaya lokal dengan ajaran Islam. Islam tidak mengahapus
budaya lokal, namun memodifikasinya menjadi budaya yang Islami.
Keempat, Progresif. Yaitu suatu pemikiran yang menganggap kemajuan
zaman sebagai suatu hal yang baik untuk mengembangkan ajaran Islam
dan berdialog dengan tradisi pemikiran orang lain. kelima, membebaskan.
Islam adalah sebuah ajaran yang mampu menjawab problem-problem dalam
kehidupan masyarakat. Islam tidak membeda-bedakan manusia. Dalam
kacamata Islam, manusia dipandang sama, yaitu sebagai makhluk Tuhan.
Islam Nusantara adalah cerminan dari ajaran Islam yang membebaskan
pemeluknya untuk mencari hukum dan jalan hidup, menaati atau tidak,
dengan catatan semua pilihan ada konsekuensinya masing-masing.

Kelima karakteristik tersebut pada akhirnya akan membentuk sebuah


ajaran Islam yang moderat, yaitu suatu ajaran yang lebih mementingkan
perdamaian, kerukunan, dan toleransi dalam beragama tanpa menghilangkan
nilai-nilai Islam di dalamnya. Islam moderat merupakan ciri khas dari
keberislaman bangsa Indonesia, yang berbeda dengan keadaan Islam di
Arab atau belahan dunia lainnya. Islam di Indonesia adalah Islam yang
aman, damai dan sejahtera. Aman dalam artian tidak terdapat konflik
yang sampai mengancam stabilitas agama dan negara, walaupun tidak
menafikkan adanya gesekan-gesekan yang berujung konflik. Damai dalam
konteks masyarakat Indonesia yang multikultural, terdiri dari berbagai ras,
agama dan budaya yang beragam. Sejahtera yang merupakan manifestasi
dari kehidupan yang aman dan damai tersebut.

Moderasi Islam lahir sebagai solusi anti mainstream Islam yang akhir-
akhir ini kian menghawatirkan dan membahayakan akidah umat Islam,
baik di Indonesia maupun Dunia. Rasulullah saw. pernah bersabda “bahwa
umat Islam akan terpecah ke dalam 73 golongan dan hanya ada satu yang
akan selamat, yaitu ahlusunnah wal jama’ah.22 Hadis Rasulullah saw.
tersebut sudah terbukti kebenarannya dengan terpecahnya umat Islam ke
dalam beberapa golongan yang kita kenal dengan aliran Kalam. Sejarah
perkembangan aliran kalam dimulai sejak pristiwa tahkim23 yang melahirkan

22 Ahlusunnah wal jama’ah adalah sebuah paham yang berpegang teguh terhadap
sunnah yang diajarkan Rasulullah saw. dan para sahabat. Ahlusunnah wal jama’ah adalah
sebuah aliran Kalam yang lahir dari pemikiran Abu Al-Hasan Asy’ari.
23 Tahkim adalah sebuah usaha perdamaian di antara kaum muslimin yang
sedang bertikai dalam perang siffin. Namun peristiwa ini merugikan pihak Ali dan
menguntungkan pihak Mu’awiyah. Akhir dari peristiwa ini, yaitu terpecahnya umat Islam

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


56 Nadhif Muhammad Mumtaz

tiga sekte baru dalam Islam yaitu Khawarij24, Syi’ah25 dan Murji’ah26. Tiga
sekte Islam tersebut dibahas dalam sebuah kajian ilmu, yaitu Ilmu Kalam.

menjadi tiga golongan, pertama Khawarij yang keluar dari barisan tentara Ali, kedua Syi’ah
yang tetap setia dengan Ali, ketiga Murji’ah yang berada di antara paham keduanya, tidak
memihak kepada Ali dan juga Muawiyah, mereka cenderung menyerahkan semua kejadian
tersebut kepada Allah swt. Lihat selengkapnya di Ahmad Agis Mubarok dan Diaz Gandara
Rustam, “Islam Nusantara: Moderasi Islam Di Indonesia”, Journal of Islamic Studies and
Humanities, Vol. 3, No. 2, (2019): 156
24 Aliran Khawarij tumbuh dan berkembang dengan cara yang keras dan
ekstrim dalam memahami ajaran Islam. Kehidupan dan lingkungan yang tidak begitu
kondusif menjadikan mereka memahami ajaran Islam apa adanya tanpa ada usaha untuk
memahami lebih lanjut tentang makna apa saja yang terkandung dalam wahyu Allah
SWT. Pengkafiran yang begitu mudah mereka lontarkan bagi orang-orang yang di luar
paham mereka telah menyulut perpecahan bahkan pertumpahan darah yang tidak sedikit.
Bagaimanapun Islam datang bukan sebagai sebuah aliran yang mengelompokkan manusia
tapi lebih pada menyatukan manusia, tergantung pada masing-masing individu bagaimana
memahami dan mengamalkanya. Lihat selengkapnya di Saleh, “Khawarij; Sejarah Dan
Perkembangannya”, El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis, Vol. 7, No.
2, (2018), 33
25 Syiah dalam bahasa Arab artinya ialah pihak, puak, golongan, kelompok atau
pengikut sahabat atau penolong. Pengertian itu kemudian bergeser mempunyai
pengertian tertentu. Setiap kali orang menyebut syiah, maka asosiasi pikiran orang
tertuju kepada syiah-ali, yaitu kelompok masyarakat yang amat memihak Ali
dan dan memuliakannya beserta keturunannya. Kelompok tersebut lambat laun
membangun dirinya sebagai aliran dalam Islam. Lihat selengkapnya di Eri Susanti,
“Aliran-Aliran Dalam Pemikiran Kalam”, Jurnal Ad-Dirasah, Vol. 1, No. 1, (2018), 28
26 Murjiah berasal dari bahasa Arab irja artinya penundaan
atau penangguhan. Karena sekte yang berkembang pada masa awal islam yang
dapat diistilahkan sebagai “orang-orang yang diam”. Mereka meyakini bahwa dosa besar
merupakan imbangan atau pelanggaran terhadap keimanan dan bahwa hukuman atau
dosa tidak berlaku selamanya. Oleh karena itu, ia menunda atau menahan pemutusan
dan penghukuman pelaku dosa di dunia ini. Hal ini mendorong mereka untuk tidak ikut
campur masalah politik. Satu diantara doktrin mereka adalah shalat berjamaah dengan
seorang imam yang diragukan keadilannya adalah sah. Doktrin ini diakui oleh kalangan
islam sunni namun tidak untuk kalangan syiah. selengkapnya di Eri Susanti, “Aliran-Aliran
Dalam Pemikiran Kalam”, 38

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


Moderasi Islam Berbasis Tasawuf 57

Ada dua aliran Kalam yang sangat mendominasi pemikiran Islam dari
dulu hingga sekarang, yaitu Mu’tazilah27 dan Asy’ariyah28. Mu’tazilah
merupakan aliran kalam terbesar dan tertua dalam sejarah Islam. Aliran
ini berdiri pada permulaan abad ke-2 Hijriyah di Basrah. Nama Mu’tazilah
sendiri sebenarnya bukan berasal dari golongan Mu’tazilah, namun orang-
orang dari golongan lain yang memberi nama Mu’tazilah. Orang Mu’tazilah
sendiri menamai kelompoknya dengan sebutan “Ahli keadilan dan keesaan”
(ahlu adli wa at-tauhid). Adapun alasan kenapa kelompok lain menamainya
dengan sebutan Mu’tazilah, karena Wasil bin Ata’ sebagai pendiri aliran
ini berselisih paham dengan gurunya yaitu Hasan al-Basri, kemudian
Wasil bin Ata’ memisahkan diri dari pemahaman gurunya dan mendirikan
sebuah pemahaman baru. Kemudian Hasan al-Basri berkata “Wasil telah
memisahkan diri dari kami”, maka semenjak itu Wasil bin Ata’ disebut
“Golongan yang memisahkan diri” (Mu’tazilah).29

Sementara itu aliran Asy’ariyah lahir sebagai reaksi dari aliran


Mu’tazilah. Nama Asy’ariyah diambil dari nama pendirinya yaitu Abu
al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 260
Hijriyah. Al-Asy’ari pada mulanya menganut paham Mu’tazilah, ia berguru
pada tokoh Mu’tazilah, yaitu Abu Hasyim Al-Jubba’i yang merupakan
ayah tirinya. Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah sampai pada
usianya yang ke-40 tahun, semenjak itu ia sering merenung sendirian dan
membandingkan pemikiran pemikiran Mu’tazilah dengan pemikirannya.
Tidak lama kemudian Al-Asy’ari mengumumkan di hadapan orang-orang
Mu’tazilah di Basrah, bahwa ia telah meninggalkan aliran Mu’tazilah
dengan menyebutkan kekurangan-kekurangannya.30

27 Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan persoalan


teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dibanding dengan persoalan
persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Selain itu Mu’tazilah merupakan
aliran teologi yang mengedepankan akal sehingga mereka mendapat nama kaum rasionalis
Islam. Lihat selengkapnya di Elpianti Sahara Pakpahan, “Pemikiran Mu’tazilah”, AL-
HADI, Vol. 2, No. 2, (2018), 416
28 Asy’ariah adalah golongan pengikut Abu Hasan ‘Ali ibn Isma’il al Asy’ari,
seorang keturunan Abu Musa Al-Asy’ari, dan salah satu pemuka mutakallimin, pendiri
ilmu kalam sunni dalam Islam. Lihat selengkapnya di Abdus Samad Abdus, “Teologi
Asy’ariyah”, Jurnal Mimbar Akademika, Vol. 3, No. 2, (2019), 68
29 Ahmad Agis Mubarok dan Diaz Gandara Rustam, “Islam Nusantara: Moderasi
Islam Di Indonesia”, 158
30 Wiji Hidayati, Ilmu Kalam : Pengertian, Sejarah, Dan Aliran-Alirannya,
(Yogyakarta: Program Studi Manajemen Pendidikan Islam UIN Yogyakarta, 2017), 134

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


58 Nadhif Muhammad Mumtaz

Perlu diketahu bahwa aliran Asy’ariyah merupakan aliran yang


berdiri di antara golongan rasionalis dan tekstualis. Al-Asy’ari sebagai
pendiri dari aliran Asy’ariyah berusaha mengambil jalan tengah dari dua
pemikiran yang berlawanan itu. Al-Asy’ari menyadari betul bahwa kedua
paham tersebut sangat berbahaya terhadap stabilitas umat Islam waktu itu,
yang bisa menghancurkan mereka kalau tidak segera diakhiri. Ia sangat
menghawatirkan al Qur’an dan Hadis menjadi korban pemahaman aliran
Mu’tazilah yang ditentangnya, karena aliran Mu’tazilah memahami Al-
Qur’an dan Hadis berdasarkan pemujaan terhadap akal-pikiran. Lain hal
nya dengan Mu’tazilah, Al-Asy’ari juga sangat menghawatirkan AlQur’an
dan Hadis dipahami oleh golongan tekstualis, yang memahaminya dengan
pemikiran yang sempit, sehingga dikhawatirkan umat Islam menjadi
taqlid buta yang tidak dibenarkan oleh agama Islam. Al-Asy’ari berusaha
mengambil jalan tengah di antara dua pemikiran tersebut, maka terbentuklah
suatu paham baru yaitu Asy’ariyah, dan ternyata paham ini dapat diterima
oleh mayoritas umat Islam di dunia termasuk Indonesia.31

Islam di Indonesia adalah Islam yang menganut paham Asy’ariyah atau


ahlusunnah wal jama’ah. Ada dua organisasi Islam yang menjadi ciri khas
dari keberislaman di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Kedua organisasi Islam tersebut memiliki ciri khas masing-masing. Nahdlatul
Ulama memiliki ciri khas pesantren dan ulama, sedangkan Muhammadiyah
memiliki ciri khas sebagai lembaga pendidik yang handal dan telah banyak
melahirkan cendekiawan-cendekiawan muslim. Baik Nahdlatul Ulama
maupun Muhammadiyah, keduanya menganut paham Islam yang moderat.
Nahdlatul Ulama dengan basis pesantren dan ulamanya menjadi benteng
pertahanan yang kokoh untuk menangkal paham liberal atau kebebasan.
Sementara Muhammadiyah dengan basis kaum inteleknya diharapkan
mampu membawa Indonesia kepada kemajuan dan kejayaan, serta
meninggalkan paham Fundamentalis yang sangat mengancam kemajuan
suatu bangsa, karena memiliki pemikiran yang sempit dan taklid buta.

Islam di Indonesia juga merupakan Islam yang ramah dan santun. Hal
ini tergambar dalam individu muslim di Indonesia yang senantiasa hidup
bergotong royong dalam masyarakat, saling membantu antar sesama, dan
saling menghargai perbedaan (toleransi), serta menghormati kyai dan
ulama, yang tergambar dalam sosok santri di Indonesia. Itulah beberapa
bukti konkret bahwa Islam di Indonesia adalah Islam yang damai, ramah

31 Ahmada Hanafi, Theology Islam, (Jakarta: Cv. Bulan Bintang, 1982), 67

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


Moderasi Islam Berbasis Tasawuf 59

dan santun, atau dalam kata lain Islam moderat.32

Epistemologi memiliki peran penting dalam ilmu keislaman, yaitu


sebagai metode untuk menggali dan mengetahui sumber ajaran Islam,
bagaimana prosesnya, dari mana asalnya, dan apakah ajaran tersebut dapat
dipertanggungjawabkan, sehingga dengan begitu ajaran Islam akan jelas dan
terbukti kebenarannya tanpa ada keraguan untuk meyakininya. Kebenaran
ajaran Islam dapat diketahui dengan teori pengetahuan (epistemologi) yang
memiliki aspek sebagai berikut :

(1) Aspek etik. Aspek ini termasuk aspek perseptual dalam ilmu
pengetahuan. Aspek ini berkaitan dengan nilai moral atau keyakinan
seseorang maupun kelompok masyarakat terhadap ajaran Islam untuk
mencapai kebahagian hidup di dunia maupun akhirat. (2) Aspek historis.
Merupakan aspek yang berkaitan dengan berbagai sikap atau cara berpikir
manusia yang memengaruhi dan menentukan persepsi mereka terhadap
kebenaran dan realitas. (3) Aspek observatif. Aspek ini menekankan kepada
penelitian sebagai sarana untuk mencari suatu pengetahuan sehingga akan
tercipta sebuah kebeneran yang tentunya berdasarkan fakta dan data yang
diperoleh dari hasil penelitian tersebut.33

Aspek etik memberikan penjelasan bahwa Islam Nusantara adalah


sebuah pengetahuan yang lahir dari unsur nilai atau moral Islam yang
berkembang di masyarakat Indonesia. Moral Islam berpangkal pada tauhid
dan pengakuan terhadap nabi Muhammad saw. sebagai rasul, sebagaimana
terdapat dalam kalimah syahadat.34

Masuknya Islam ke Indonesia tidak merubah budaya lokal, tapi


memodifikasinya sedemikian rupa, sehingga menjadi budaya yang lebih
Islami dan bermoral. Para penyebar Islam di Indonesia secara tidak langsung
menggunakan tiga cara tersebut dalam menyebarkan Islam di Indonesia,
yaitu mengadopsi budaya dan tradisi Indonesia yang tidak bertentangan
dengan spirit Islam (tahmil), menghilangkan budaya yang tidak sesuai
dengan spirit Islam (tahrim), dan merekonstruksi budaya dan tradisi, seperti
sesajen, percaya kepada kekuatan gaib menjadi simbol yang memiliki makna
32 Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia (Yogyakarta: Kanisius,
2009), 48.
33 Idri, Epistemologi : Ilmu Pengetahuan, Ilmu Hadis Dan Ilmu Hukum Islam,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2015), 21.
34 Abdul Karim, Islam Nusantara (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007),
32

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


60 Nadhif Muhammad Mumtaz

untuk megesakan Tuhan (tagyir). Setelah melalui tiga tahapan tersebut, baru
lah Islam di Indonesia dinamakan Islam Nusantara.35

Setelah melalui aspek-aspek di atas dapat disimpulkan bahwa


Islam Nusantara terbentuk dari perpaduan antara budaya lokal dengan
ajaran Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat India dengan
pendekatan tasawuf dan perilaku kesufian. Tahapan selanjutnya,
penyebaran Islam diteruskan oleh Walisongo yang merupakan tokoh
penyebar Islam di Indonesia khususnya di tanah Jawa. Penyebaran Islam
yang dilakukan oleh Walisongo tidak jauh beda dengan penyebaran Islam
oleh para pendahulunya. Walisongo menyebarkan Islam dengan ramah
dan moderat, sehingga masyarakat bisa menerima Islam dengan baik.
Cara yang dilakukan Walisongo ini mampu menarik perhatian masyarakat
Jawa, karena mengakulturasikan budaya lokal dengan ajaran Islam, seperti
kesenian wayang, tarian, dongeng, dan upacaraupacara adat. Walisongo
tidak menghapus budaya lokal, tapi memodifikasinya menjadi lebih Islami.

Adapun Menurut Ushul Fiqih suatu hukum dapat diketahui melalui


ijtihad, yaitu suatu usaha yang dilakukan oleh para ulama untuk menemukan
hukum yang tidak terdapat dalam nas Al Qur’an dan Hadis. Ijtihad terbagi
ke dalam dua pengertian, pertama ijtihad Istinbathi, yaitu suatu ijtihad yang
bertujuan untuk menciptakan hukum baru. Kedua ijtihad tathbiqi, yaitu
ijtihad yang bertujuan untuk menerapkan hukum, bukan untuk menciptakan
hukum.

Perbedaan lain dari kedua jenis ijtihad tersebut terletak pada proses
pengujiannya. Ujian keshahihan ijtihad istinbathi bisa dilihat dari koherensi
23 dalil-dalil yang digunakannya, sementara itu ijtihad tathbiti dapat
diketahui keshahihannya melalui aspek kemanfaatan atau kemaslahatan
dalam penerapannya. Ijtihad tathbiti adalah suatu metode penerapan hukum
yang mempertimbangkan nilai kemaslahatan atau kemafsadatannya.
Seorang mujtahid dituntut untuk menguasai keilmuan yang sangat luas,
tidak cukup dengan menguasai Al Qur’an dan Hadis, melainkan harus bisa
membaca situasi dan kondisi di lapangan.36 Upaya penerapan hukum dalam
perspektif ushul fiqih dibatasi menjadi tiga pembahasan, yaitu mashlahah
mursalah, istihsan, dan urf.

35 Al Maarif, “Islam Nusantara : Studi Epistemologis Dan Kritis,” Analisis 15,


no. 2 (2015): 276.
36 Akhmad Sahal and Munawar Aziz, Islam Nusantara : Dari Ushul Fiqih
Hingga Konsep Historis, (Bandung: Mizan, 2015), 106.

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


Moderasi Islam Berbasis Tasawuf 61

1) Mashlahah mursalah, merupakan suatu metode penerapan hukum


yang melihat kepada kemaslahatan dari suatu perkara. Maslahah
mursalah lebih mementingkan nilai kemaslahatan, keadilan,
kerahmatan, dan kebijaksanaan, karena sejatinya hukum Islam
diterapkan untuk tercapainya kemaslahatan umat. Karena maslahat
dianggap begitu penting, maka para ulama yang mendukung
maslahah sebagai sumber hukum dengan mengatakan tidak ada
pertentangan antara nas syari’at dengan maslahat, karena di mana
ada maslahat di situ ada syariat, begitu pun sebaliknya, di mana ada
syariat, di situ ada maslahat.37

2) Istihsan, Secara etimologi, Istihsan berarti menganggap dan


menyatakan baiknya suatu perkara, sementara itu menurut
terminologi, seperti yang dikatakan ulama Malikiyah bahwa
istihsan adalah upaya untuk meninggalkan hukum kulli (umum)
dan mengambil hukum juz’i (pengecualian) atau mengambil qiyas
khafi (analogi yang samar) dan meninggalkan qiyas jali (analogi
yang terang).38 Islam Nusantara merupakan cerminan dari istihsan,
yaitu ajaran Islam tidak menghapus total nilai budaya lokal, tapi
mengambil yang baik, untuk kemudian dimodifikasi menjadi budaya
yang Islami. Hal ini termasuk ke dalam istihsan bi al-urf , yaitu
istihsan yang didasarkan pada tradisi masyarakat. Beberapa ulama
Indonesia telah menerapkan istihsan dalam berbagai aspek seperti
agama, sosial, ekonomi dan politik. Ini lah yang membedakan antara
keberislaman di Indonesia dengan keberislaman di Dunia. Islam
Indonesia adalah Islam yang moderat, Islam yang mementingkan
nilai-nilai kesatuan dan persaudaraan, nilai moral dan etika, serta
nilai universalitas Islam. Pada akhirnya keadaan Islam seperti ini lah
yang melahirkan istilah Islam Nusantara.

3) Urf, Islam Nusantara terbentuk dari hasil akulturasi budaya


lokal dengan ajaran Islam. Para penyebar Islam di Indonesia,
yaitu Walisongo, mengajarkan Islam dengan memakai media
kebudayaan lokal seperti, wayang kulit, doa, jampi, dan mantera.
Namun yang menarik, Walisongo memodifikasi budaya tersebut
dengan memasukkan nilai-nilai Islam, seperti pada jampi-jampi

37 Akhmad Sahal and Munawar Aziz, Islam Nusantara : Dari Ushul Fiqih
Hingga Konsep Historis, 109
38 Akhmad Sahal and Munawar Aziz, Islam Nusantara : Dari Ushul Fiqih
Hingga Konsep Historis, 110

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


62 Nadhif Muhammad Mumtaz

dan mantera-mantera yang dirubah dengan dua kalimah syahadat,


sehingga kalimah syahadat menjadi terkenal di kalangan masyarakat
Contoh lain, sesajen yang biasa diberikan untuk para dewa atau roh
nenek moyang dibiarkan berjalan untuk kemudian diakomodasi
maknanya menjadi lebih Islami, yaitu sebagai bentuk rasa syukur
terhadap Allah swt. yang telah memberikan banyak kenikmatan.
Kemudian simbol-simbol agama Hindu-Budha yang terdapat di
masyarakat juga tak luput dari perhatian Walisongo. Simbol-simbol
tersebut iadopsi ke dalam bentuk bangunan, seperti masjid dengan
menara yang menyerupai candi atau pura.39

Ketiga cara penerapan hukum tersebut di atas ternyata sangat relevan


dan serasi dengan keadaan Islam di Indonesia. Maka dari sini dapat
diambil kesimpulan bahwa Islam Nusantara menurut sudut pandang ushul
fiqih, sangat relevan dan tidak bertentangan. Islam Nusantara dilihat dari
sudut pandang metodologi melahirkan tiga varian hukum, yaitu maslahah
mursalah, istihsan, dan urf. Maka tidak ada alasan untuk menolak lahirnya
istilah Islam Nusantara di Indonesia, karena lahirnya istilah ini memiliki
dasar hukum yang bisa dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun
hukum.

Konsep Islam Nusantara dan moderasi islam yang di kehendaki di


zaman sekarang sangatlah kurus dan tepat. Islam nusantara terbukti bukanlah
ajaran sesat. Setiap hukum yang dikeluarkan selalu didasar dengan sebuah
landasan. Dan yang terpenting Islam nusantara lahir juga dilandasi atas
dasar tasawwuf. Tanpa adanya dasar tasawwuf maka Islam tidak akan bisa
membaur dengan budaya Indonesia. Tasawwuf mampu menyatukan dan
mengharmonisasikan antara ajaran dogmatis dan normatif dengan budaya
Indonesia yang dulunya mengandung unsur kesesatan. Akulturasi budaya
ini sangat erat kaitannya dengan ajaran taswwuf yang lebih mementingkan
subtansi dari pada eksistensi.

Moderasi Islam yang sangat di kehendaki adalah moderasi Islam yang


seperti ini. Yaitu moderasi Islam yang mengedepankan hal-hal subtansial dari
pada hal-hal eksistensial atau mengedepankan isi dari pada kulit Islam itu
sendiri. Moderasi Islam yang mengedepankan hal subtansial senada dengan
moderasi Islam yang dimiliki oleh Islam nusantara. Keduanya sama-sama
memiliki landasan tasawwuf dalam proses pergerakannya. Mengutamakan

39 Akhmad Sahal and Munawar Aziz, Islam Nusantara : Dari Ushul Fiqih
Hingga Konsep Historis, 111

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


Moderasi Islam Berbasis Tasawuf 63

kedamaian dan mengambil jalan tengah tanpa menyingkirkan pihak


manapun.

Hal ini juga secara tidak langsung meluruskan anggapan bahwa


moderasi Islam adalah jalan yang di tempuh orang-orang Islam yang berada
di tengah-tengah ekstrimis kanan dan kiri namun di tempuh dengan jalan
ekstrimis pula atau bisa kita sebut dengan ekstrimis tengah. Moderasi Islam
berbasis tasawwuf adalah jalan tengah yang dilampaui dengan jalan damai
tanpa melukai satupun, entah pihak kanan maupun kiri. Hal ini senada pula
dengan dasar agama Islam yaitu Rahmatan Lil Alamin. Jadi moderasi Islam
berbasis tasawuf adalah Islam Nusantara yang berlandaskan asas Rahmatan
Lil Alamin. Jalan yang di tempuh orang Islam di Indonesia, yaitu Islam yang
damai, ramah, dan santun. Itulah asas moderasi silam berbasis tasawwuf.

2. Moderasi Islam berbasis Tasawwuf Dalam Dunia Pendidikan

Dalam dunia pendidikan, moderasi islam juga turut andil angkat suara
dalam mensukseskan pendidikan. Pendidikan tanpa disusupi oleh nilai-
nilai-moderasi akan menghasilkan prodak yang kurang unggul, prodak yang
merusak generasi bangsa dan negara. Kementrian Agama melalui Dirjen
Kurikulumnya, telah mencoba mencanangkan 12 program pengarusutamaan
moderasi Islam di pendidikan Islam. Sebelumnya pada tanggal 12-14
Mei 2016, Direktorat Pendidikan Agama Islam juga menyelenggarakan
sarasehan Nasional Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan tema “Potensi
Pendidikan Islam Indonesia menjadi Rujukan Pendidikan Moderat Dunia”.40

40Lihat,https://kemenag.go.id/berita/read/504842/kemenag-siapkan-12-
program-pengarusutamaan-islam-moderat-di-madrasah . (diakses pada tanggal 20 Mei
2020); selain itu Kemenag juga mempersiapkan 12 program pengarusutamaan Islam
moderat di madrasah. Ke 12 program tersebut dimulai tahun 2017. Pertama, penyususnan
modul pendidikan multikulturalisme untuk siswa MI, MTs, dan MA. Kedua, menggelar
Perkemahan Pramuka Madrasah Nasional (PPMN). Ketiga, penguatan siswa menuju
Madrasah BERSINAR (Bersih, Sehat, Inklusif, Aman, dan Ramah Anak). Keempat,
menyelenggarakan ajang Minat dan Bakat Madrasah untuk mengasah dan menyalurkan
minat dan bakat siswa di berbagai bidang baik akademik maupun seni. Kelima, Sosialisasi
Pendidikan Multikultural kepada Kepala Madrasah. Keenam, menggelar Seminar
Internasional tentang penanggulangan radikalisme global melalui pendidikan dasar dan
menengah. Ketujuh, penyusunan panduan penilaian dan pembinaan sikap dan prilaku
keseharian peserta didik. Kedelapan, penyusunan model Kegiatan Ekstra Kurikuler
Berbasis Nilai Moderasi. Kesembilan, penyusunan Panduan Layanan BK dalam Penanaman
Nilai Rahmatan Lil’alamin bagi Guru Bimbingan dan Konseling. Kesepuluh, penyusunan
panduan layanan BK sebaya bagi guru BK dan peserta didik. Kesebelas, penyusunan

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


64 Nadhif Muhammad Mumtaz

Tawaran model pendidikan agama yang berbasis moderasi Ilsam di


lembaga pendidikan dilakukan dengan merekonstruksi atau mengembangkan
kurikulum dengan pendekatan bidang studi dan rekonstruksionisme.
Dari pengajaran nilai-nilai moderasi Islam dalam pembelajaran PAI yang
mendalam tersebut diharapkan lulusan pesantren mampu mengkap sisi-sisi
moderasi yang ada di dalamnya sehingga menjadi sosok yang berwawasan
moderat yang mempunyai karakter humanis, toleran, inklusif sesuai dengan
wajah Islam Indonesia yang rahmatan lil ‘alamin.41

Selain itu internalisasi moderasi islam juga sudah merambah dalam


dunia universitas. Pola internalisasi nilai-nilai moderasi dilaksanakan
melalui. a). melalui keberadaan mata kuliah PAI, di mana secara konten
berkorelasi langsung dengan pembentukan karakter mahasiswa moderat.
b). Melalui keteladanan yang dilakukan seluruh pemangku kepentingan dan
kebijakan khususnya dosen PAI yang selalu mengedepankan sikap moderat.
Materi±materi yang disampaikan dalam internalisasi nilainilai moderasi PAI
dilakukan: (1). terkait dengan input dari mahasiswa yang menjadi peserta
kuliah PAI. (2). Berkaitan dengan dosen pengampu mata kuliah PAI, baik
terkait kemampuan mengajar, atau kompetensi-kompetensi dosen PAI. (3).
Berkaitan dengan materi dari Mata Kuliah PAI itu sendiri. (4). Berkaitan
dengan dukungan dari lingkungan kampus.42

Moderasi Islam yang dilakukan di dalam dunia pendidikan lalu


diinternalisasikan dengan asas tasawuf, yaitu berbasis Rahmatan lil Alamin.
Tanpa pemaksaan untuk mengikuti jalan tengah ataupun kekerasan dengan
menghalalkan segala cara.

panduan pendeteksian ajaran ekstrim di Lingkungan Madrasah. Keduabelas, sosialisasi


kebijakan pengarusutamaan deradikalisasi melalui inovasi kurikulum.
41 Yunus dan Arhanuddin Salim, “Eksistensi Moderasi Islam Dalam Kurikulum
Pembelajaran PAI di SMA”, Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9. No. 2,
(2018), 193
42 Yedi Purwanto, Qowaid Qowaid dan Ridwan Fauzi, “Internalisasi Nilai
Moderasi Melalui Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum”, Edukasi, Vol.
17, No. 2, (2019), 122

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


Moderasi Islam Berbasis Tasawuf 65

D. KESIMPULAN

Moderasi Islam berbasis tasawuf adalah moderasi Islam yang


mempunyai asas sama halnya dengan Islam Nusantara. Yang mana
mempunyai 5 karakter, yaitu pertama, kontekstual, yaitu Islam dipahami
sebagai ajaran yang bisa disesuaikan dengan keadaan zaman. Kedua,
toleran. Islam Nusantara mengakui segala bentuk ajaran Islam yang ada di
Indonesia tanpa membeda-bedakannya. Ketiga, menghargai tradisi. Islam
di Indonesia merupakan hasil akulturasi antara budaya lokal dengan ajaran
Islam. Islam tidak mengahapus budaya lokal, namun memodifikasinya
menjadi budaya yang Islami. Keempat, Progresif. Yaitu suatu pemikiran
yang menganggap kemajuan zaman sebagai suatu hal yang baik untuk
mengembangkan ajaran Islam dan berdialog dengan tradisi pemikiran
orang lain. kelima, membebaskan. Islam adalah sebuah ajaran yang mampu
menjawab problem-problem dalam kehidupan masyarakat. Islam tidak
membeda-bedakan manusia. Dalam kacamata Islam, manusia dipandang
sama, yaitu sebagai makhluk Tuhan.

Moderasi Islam berbasis tasawwuf adalah jalan tengah yang dilampaui


dengan jalan damai tanpa melukai satupun, entah pihak kanan maupun
kiri. Hal ini senada pula dengan dasar agama Islam yaitu Rahmatan Lil
Alamin. Jadi moderasi Islam berbasis tasawuf adalah Islam Nusantara
yang berlandaskan asas Rahmatan Lil Alamin. Jalan yang di tempuh orang
Islam di Indonesia, yaitu Islam yang damai, ramah, dan santun. Itulah asas
moderasi silam berbasis tasawwuf.

Adapun dalam dunia pendidikan sampai saat ini tawaran model


pendidikan agama yang berbasis moderasi Ilsam di lembaga pendidikan
dilakukan dengan merekonstruksi atau mengembangkan kurikulum dengan
pendekatan bidang studi dan rekonstruksionisme.

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


66 Nadhif Muhammad Mumtaz

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim, Islam Nusantara (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007)

Abdus Samad Abdus, “Teologi Asy’ariyah”, Jurnal Mimbar Akademika, Vol. 3,


No. 2, (2019)

Ahmad Yusuf, “Moderasi Islam Dalam dimensi Trilogi Islam (Akidah, yari’ah,
dan Tasawwuf)”, Jurnal Al Murabbi: Pendidikan Agama Islam, Volume
(3), Nomor (2), (2018)

Ahmad Agis Mubarok dan Diaz Gandara Rustam, “Islam Nusantara: Moderasi
Islam Di Indonesia”, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3,
No. 2, (2019)

Ahmada Hanafi, Theology Islam, (Jakarta: Cv. Bulan Bintang, 1982)

Akhmad Sahal and Munawar Aziz, Islam Nusantara : Dari Ushul Fiqih Hingga
Konsep Historis, (Bandung: Mizan, 2015)

Al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alawiy al-Haddad, Risalah al Mu’awannah wa al Mu-


zhaharah wa al Mu’azharah li al Ghibbin min al Mu’minin fi Shuluk
Thariq al Akhirah, (tk.: tp., tt.)

Al Maarif, “Islam Nusantara : Studi Epistemologis Dan Kritis,” Analisis 15, no. 2
(2015)

Ali Muhammad Muhammad al-Salabi, al-Wasathiyyah fi al-Qur’an al-Karim


(Kairo: Maktabah at-Tabi’în, 2001)

Audah Mannan, “Esensi Tasawuf Akhlaki di Era Modernisasi”, Aqidah-Ta: Jurnal


Ilmu Aqidah, Vol. 4, No. 1, (2018)

Elpianti Sahara Pakpahan, “Pemikiran Mu’tazilah”, AL-HADI, Vol. 2, No. 2,


(2018)

Eri Susanti, “Aliran-Aliran Dalam Pemikiran Kalam”, Jurnal Ad-Dirasah, Vol. 1,


No. 1, (2018)

Günes Murat Tezcür, “The Moderation Theory Revisited;The Case Of Islamic Po-
litical Actors” Jurnal Party Politics, Vol 16. No. (2010)

Ibnu Khaldūn, Muqoddimah Ibnu Khaldun, Terj. Ahmadie, (Jakarta: Pustaka Fir-
daus , 2014)

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


Moderasi Islam Berbasis Tasawuf 67

Idri, Epistemologi : Ilmu Pengetahuan, Ilmu Hadis Dan Ilmu Hukum Islam, (Ja-
karta: Prenada Media Group, 2015)

Khlaed Abou El-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa
(Jakarta: Serambi, 2005)

M. Arif Khoiruddin, “Peran Tasawuf Dalam Kehidupan Masyarakat Modern”,


Jurnal Pemikiran Keislaman, Vol. 27, No. 1, (2016)

M. Imdadun Rahmat, Islam Pribumi : Mendialogkan Agama Membaca Realitas,


(Jakarta: Erlangga, 2007)

Masdar Hilmy, “Whither Indonesia’s Islamic Moderatism? A Reexamination on


the Moderate Vision of Muhammadiyah and NU,” Journal of Indonesian
Islam, Vol. 7, No. 1 (Juni 2013)

Md Asham bin Ahmad, “Moderation in Islam: A Conceptual Analysis of Wasati-


yyah”, Jurnal Tafhim, Vol. No. 1 4 (2011 )

Mohammad Hashim Kamali, The Middle Path of Moderation in Islam: the


Qur’ānic Principle of Wasaṭhiyyah (New York: Oxford University Press,
2015)

Mohd Shukri Hanapi, “The Wasatiyyah (Moderation) Concept in Islamic Episte-


mology: A Case Study of its Implementation in Malaysia,” dalam Inter-
national Journal of Humanities and Social Science, Vol. 4, No. 9, (July
2014)

Muhammad Anas Maarif, “Tasawuf Falsafi Dan Implikasinya Dalam Pendidikan


Islam”, Vicratina: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 3, No. 1, (2018)

Muhammad bi ‘Ali bin Muhammad al Syaukaniy, Nail al Authar min Asrar


Muntaqa al Akhbar, cet. 1, juz. 5, (Riyadl-Kairo: Dar Ibn Al Qayyim –
Dar Ibnu ‘Affan, 2005)

Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2009)

Saleh, “Khawarij; Sejarah Dan Perkembangannya”, El-Afkar: Jurnal Pemikiran


Keislaman dan Tafsir Hadis, Vol. 7, No. 2, (2018)

Wiji Hidayati, Ilmu Kalam : Pengertian, Sejarah, Dan Aliran-Alirannya, (Yog-


yakarta: Program Studi Manajemen Pendidikan Islam UIN Yogyakarta,
2017)

Yedi Purwanto, Qowaid Qowaid dan Ridwan Fauzi, “Internalisasi Nilai Moderasi
Melalui Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum”, Edukasi,

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020


68 Nadhif Muhammad Mumtaz

Vol. 17, No. 2, (2019)

Yunus dan Arhanuddin Salim, “Eksistensi Moderasi Islam Dalam Kurikulum Pem-
belajaran PAI di SMA”, Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9.
No. 2, (2018)

Yusuf Khathar Muhammad, al-Mausu’ah al-Yusufiyah fî bayâni adillah al-Sufiyah,


(Damascus: Dar elTaqwâ, tt)

Yusuf Qardhawi, al-Kalimat fi al-Wasathiyah al-Islamiyah wa Ma’alimaha (Cairo:


Dar al-Shuruq, 2011)

Yusuf Qardhawi, Thaqafatuna Bayna Al-Infitah Wa Al-Inghilaq (Cairo: Dar al-


Shuruq, 2000)

Zaprulkan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006)

Website:

Faiq Hidayat, “Peta Pandangan Keagamaan di Kalangan Pelajar”, https://news.


detik.com/berita/d-3707458/begini-peta-pandangan-keagamaan-di-ka-
langan-pelajar (dakses pada 15 Mei 2020)

https://www.beritasatu.com/nasional/459687/survei-alvara-296-kalangan-profe-
sional-ingin-perjuangkan-negara-islam (diakses pada tanggal 16 Mei
2020)

https://kemenag.go.id/berita/read/504842/kemenag-siapkan-12-program-pengaru-
sutamaan-islam-moderat-di-madrasah (diakses pada tanggal 20 Mei
2020)

Volume III No. 1 Januari-Juni 2020

Anda mungkin juga menyukai