Anda di halaman 1dari 22

PENDIDIKAN ISLAM: STRATEGI MENCEGAH

RADIKALISME DAN TERORISME


(Pendekatan local wisdom dan political will)

Makalah Disampaikan Dalam Kegiatan Diskusi Ilmiah Mahasiswa


Program Pascasarjana Strata Tiga (3) Doktor Pendidikan Agama Islam
Mata Kuliah : Isu-isu Pendidikan Agama Islam Kontemporer

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Ridhahani Fidzi, M.Pd.
Dr. Hamdan, M.Pd.
Prof. Dr. H. A. Khairuddin, M. Ag

OLEH:
MOH. IQBAL ASSYAUQI
210311010184

PROGRAM PASCASARJANA STRATA TIGA (3)


DOKTOR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UIN ANTASARI BANJARMASIN
2022
A. Pendahuluan
Potret Islam nan damai telah tercoreng dengan banyaknya aksi radikalisme dan
intoleran yang dipropagandakan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam.
Terorisme dan radikal merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Sejak pasca teror yang
meluluhkan menara WTC di Amerika Sarikat pada 11 september 2001, menjadi isu dalam
satu dasawarsa terakhir ini.1 Untuk wilayah Indonesia sendiri pengeboman terjadi pada
tahun 2002 di Hotel Marriot Kuningan Jakarta. Selanjutnya Bom Bali II terjadi pada tahun
2005, Bom Tentena 2005, Bom Solo 2011 dan 2012.2 Sedangkan pada tahun 2018 terjadi
kembali Bom di tiga Gereja Surabaya yaitu Gereja Kristen Indonesia, Gereja Santa Maria,
dan gereja Pantekosta yang memakan korban 49 jiwa, ada 9 orang yang mati dan 40 orang
lainnya luka parah.3 Kejadian ini membuat Islam semakin di musuhi dan dianggap
mengajarkan kekerasan dan perpecahan.
Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya terorisme dan aksi radikalisme
yang mengatasnamakan Islam sebagai panji jihadnya yaitu. Pertama, pembelajaran
agama yang setengah-setengah melalui proses doktriner. Kedua, literal pemahaman
agama yang hanya memahami kulit atau dasarnya saja. Ketiga, cenderung
mengharamkan segala hal yang justru membuat umat Islam merasa berat. Memang
menjadi hal yang kecil namun dampaknya bisa mempengaruhi tatanan dan pola
kehidupan masyarakat yang awalnya harmonis menjadi fanatik.
Pasca reformasi yang ditandai dengan terbukanya kran demokratisasi telah
menjadi lahan subur tumbuhnya kelompok Islam radikal. Radikalisme yang berujung
pada terorisme menjadi masalah penting bagi umat Islam Indonesia dewasa ini dan fakta
yang cukup mencengangkan adalah radikalisme telah memasuki dunia pendidikan dan
kalangan muda saat ini. Kalangan muda dipercaya memiliki kecenderungan lebih kuat
dan kemungkinan lebih besar untuk terlibat dalam gerakan sosial radikal dibandingkan

1 Ali Asghar, Menteroriskan Tuhan: Gerakan Sosial Baru (Pensil-324, 2014).


2 Fuad Thohari, ed., Islam & Terorisme: Kumpulan Khutbah Jumat, Cet. 3. (Jakarta: Pustaka
Cendekiamuda : Rahmat Semesta Center, 2010).
3 Fuadi Isnawan, “Program Deradikalisasi Radikalisme Dan Terorisme Melalui Nilai-Nilai Luhur

Pancasila,” Fikri : Jurnal Kajian Agama, Sosial Dan Budaya 3, no. 1 (July 31, 2018): 1–28,
https://doi.org/10.25217/jf.v3i1.275.
dengan orang dewasa karena kalangan muda berada pada fase transisi dalam
pertumbuhan usia yang membuat mereka lebih rentan mengalami krisis identitas.4
Mahasiswa dan siswa yang berada pada masa pencarian identitas diri, aktualisasi diri
dan dalam masa pengenalan beragam kondisi disekelilingnya menjadi target yang
sangat strategis untuk menularkan pemahaman ataupun aksi radikalisme.
Menurut Nur Syam, setidaknya sejak 2001 hingga 2010 berbagai gerakan pro
syari’at muncul, seperti penerapan syariah Islam di Nangroe Aceh Darusalam, lalu
muncul berbagai Perda syariat di antaranya adalah di Tangerang, Sumatera Barat,
Cianjur, Solok, Padang Pariaman, Padang, sampai Enrekang. Munculnya Perda-Perda
tersebut pada masa awal reformasi berkorelasi dengan suburnya berbagai gagasan
praksis mengenai penerapan syariah secara kaffah dan keinginan untuk mendirikan
khilafah Islamiyah dalam negara yang diindikasikan negara belum Islami.5
Nampak bahwa gerakan keagamaan yang mengusung ideologi agama sangat kuat
mempengaruhi realitas empiris politik era reformasi. Sistem cell yang dikembangkan
oleh gerakan ini telah memasuki ruang-ruang di dalam berbagai golongan masyarakat.
Akibatnya terjadi polarisasi di antara umat beragama khususnya umat Islam. Militansi
keagamaan yang tidak didasari oleh semangat mentoleransi perbedaan faham
keagamaan dan truth claimed yang berlebihan seringkali menjadikan mereka terjebak di
dalam kubangan pembenaran diri sendiri secara berlebihan.6
Sebuah lembaga survei, Lazuardi Biru menyebutkan bahwa Indonesia masih rentan
terhadap radikalisme dan terorisme. Survei yang dilakukan pada bulan Juni hingga Juli
tahun 2011 menunjukan indeks kerentanan radikalisme di Indonesia sebesar 43, 6, turun
1,44 dari tahun sebelumnya 45,4. Hasil ini diperoleh setelah dilakukan survei dengan
teknik multistage random sampling terhadap 4.840 responden di 33 provinsi di Indonesia.

4 Muhammad Najib Azca, “Yang Muda, Yang Radikal: Refleksi Sosiologis Terhadap Fenomena
Radikalisme Kaum Muda Muslim Di Indonesia Pasca Orde Baru,” Jurnal Maarif 8, no. 1 (2013): 14–44,
https://doi.org/10.47651/mrf.v16i2.
5 Lkas, “Lembaga Kajian Agama & Sosial (LKAS): Mewaspadai Ideologisasi Agama,” Lembaga Kajian

Agama & Sosial (LKAS) (blog), Jumat, Agustus 2007,


https://lkassurabaya.blogspot.com/2007/08/mewaspadai-ideologisasi-agama.html.
6 Angel Rabasa et al., “Deradicalizing Islamist Extremists” (RAND Corporation, November 9, 2010),

https://www.rand.org/pubs/monographs/MG1053.html.
Adapun komposisi perbandingan agama responden adalah Islam sebesar 86, 3 persen,
Kristen 11,1 persen, dan agama lainnya 2,6 persen. Meski indeks kerentanan radikalisme
itu turun dari tahun sebelumnya, namun statusnya masih rentan radikalisme. Karena
hasil sebesar 43,6 itu masih jauh dari tingkat aman, yaitu pada level 33,3. Angka-angka
itu mungkin bisa berubah dikarenakan peningkatan eskalasi tindakan radikalisme
agama yang marak terjadi belakangan ini seperti kasus Talikora dan Singkil. Sementara
hasil survei terbaru terkait dengan tindakan radikal adalah hasil survei yang dilakukan
oleh Wahid Foundation bersama Lingkar Survei Indonesia pada tahun 2016 yang
mengungkapkan bahwa 11 juta dari 150 juta penduduk Indonesia siap melakukan
tindakan radikal. Jumlah tersebut mencapai 7,7 persen dari total penduduk Muslim
Indonesia. Sedangkan 600 ribu atau 0,4 persen penduduk Muslim Indonesia pernah
melakukan tindakan radikal.7
Di sisi lain, sejalan dengan menjamurnya ormas-ormas Islam pasca reformasi,
pendidikan (tarbiyah) dianggap pintu efektif bagi penyebaran dakwah Islam. Kini, lahir
ribuan pendidikan Islam terpadu (jenjang PAUD, TK hingga SLTA) yang didirikan oleh
ormas-ormas Islam tertentu dari berbagai jenjang pendidikan. Ormas-ormas Islam itu
memiliki ciri keagamaan tertentu yang ‘berbeda’ dengan yang lain. Ciri-ciri keagamaan
yang mereka anut adalah: (1) Khas Islam Timur Tengah; (2) Leterlek dan harfiah dalam
memahami Islam; (3) Mengenalkan istilah-istilah baru yang bernuansa Arab seperti,
ḥalaqah, dawrah, mabit dan seterusnya. Siswa/siswi sekolah menengah atas
(SMA/SMK) digarap serius oleh ormas-ormas Islam yang bercirikan seperti di atas.
Moment dawrah, ḥalaqah dan mabit di satu sisi sangat positif dan membantu kerja guru
agama untuk menanam akidah dan syariat Islam. Namun di sisi lain, model Islam yang
diajarkan cenderung mendorong peserta didik untuk tidak toleran terhadap pihak lain.8
Keterbatasan seorang tenaga pendidik dalam memberikan pemaham tentang anti

7 Fathiyah Wardah, “Indeks Radikalisme di Indonesia Menurun,” VOA Indonesia, accessed May 10,
2022, https://www.voaindonesia.com/a/indeks-radikalisme-di-indonesia-menurun------
131127008/99010.html.
8 Abu Rokhmad, “RADIKALISME ISLAM DAN UPAYA DERADIKALISASI PAHAM RADIKAL,”

Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 20, no. 1 (May 30, 2012): 79–114,
https://doi.org/10.21580/ws.20.1.185.
radikalisme dikalangan pelajar inilah yang menyebabkan paham radikalisme
berkembang pesat dikalangan remaja.
Berdasarkan riset MAARIF Institute pada tahun 2011 tentang Pemetaan Problem
Radikalisme di SMU Negeri di 4 daerah yang mengambil data dari 50 sekolah
mengkonfirmasi fenomena di atas. Menurut riset ini, sekolah menjadi ruang yang
terbuka bagi diseminasi paham apa saja. Karena pihak sekolah terlalu terbuka, maka
kelompok radikalisme keagamaan memanfaatkan ruang terbuka ini untuk masuk secara
aktif mengkampanyekan pahamnya dan memperluas jaringannya. Hal inilah yang
medasari pentingnya seorang guru dalam memberikan pemahaman tentang anti
radikalisme dikalangan muda.9
Survey yang dilakukan oleh Kementerian Agama (2014) mengemukakan tiga alasan
mengapa gerakan radikal harus diwaspadai oleh negara. Pertama, gerakan radikal
bertujuan mengganti ideologi negara yang mapan dengan ideologi kelompok yang
bersangkutan tanpa mempertimbangkan kepentingan ideologi kelompok lain. Kedua,
kehadiran radikalisme menimbulkan instabilitas dan keserakahan sosial karena sifatnya
yang militan, keras, cenderung anarkhis, tidak mau kompromi dan ketiga, dampak dari
radikalisme dapat mengancam mengancam eksistensi kedudukan para penguasa.
Survey Kompas (Kompas, 26 Januari 2016) memberikan gambaran besarnya tuntutan
publik akan hadirnya negara melindungi warga atas ancaman terorisme. Survey
dilaksanakan di 12 kota, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya,
Medan, Palembang, Denpasar, Banjarmasin, Pontianak, Makasar dan Manado,
melibatkan 488 responden berusia 17 tahun ke atas. Hasil survey menunjukkan
kekhawatian masyarakat menjadi target tindakan teroris (52,5 persen), ini
mengindikasikan bahwa masyarakat mendambakan perlindungan negara dari aksi
terorisme.10

9 Abdul Azis Muslim et al., MENJAGA BENTENG KEBINEKAAN DI SEKOLAH: Studi Kebijakan OSIS
Di Kota Padang, Kab. Cirebon, Kab. Sukabumi, Kota Surakarta, Kota Denpasar, Dan Kota Tomohon. (Jakarta:
MAARIF Institute for Culture and Humanit, 2018).
10 “Survei Wahid Foundation: Indonesia Masih Rawan Intoleransi Dan Radikalisme Halaman All -

Kompas.Com,” accessed May 14, 2022,


https://nasional.kompas.com/read/2016/08/01/13363111/survei.wahid.foundation.indonesia.masih.ra
wan.intoleransi.dan.radikalisme?page=all.s
Fajar Riza Ul Haq sebagaimana dikutip Nur Syam menyebut bahwa fenomena
radikalisme berkorelasi dengan menguatnya gejala konflik sektarian. Pendapat ini
dikuatkan dengan dua alasan: Pertama, terjadi perebutan otoritas atas tafsir ajaran agama
(Islam) yang kian terbuka dan keras di antara kelompok / organisasi Islam, sebagai
contohnya adalah penyerangan dan pengrusakan terhadap fasilitas agama milik
Ahmadiyah. Kedua, model pemahaman Salafisme dan Wahabisme dari jalur penyebaran
Timur Tengah tumbuh subur berproduksi di intitusi-institusi keagamaan dalam negeri.
Arus baru inilah yang menggeser corak Islamisasi akar rumput yang sebelumnya
diarsiteki oleh NU dan Muhammadiyah.11
Indonesia yang memiliki keberanekaragaman dalam kehidupan masyarakatnya,
baik suku, ras dan agama, selain sebagai aset bangsa yang besar, juga dapat menjadi
merupakan sebuah bumerang atau bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak, jika
idak dijaga dan dipelihara dengan baik. Sejatinya melalui semboyannya Bhineka
Tunggak Ika yang termuat dalam Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia,
faham-faham yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancansila dapat diantisipasi
keberadaannya. Paham yang menanamkan nilainilai kebencian dan tidak bisa menerima
perbedaan seharusnya tidak dapat tumbuh subur di bumi Pertiwi, namun pada
kenyataanya, seiring perkembangan teknologi yang terjadi, pahampaham tersebut
tumbuh dan berkembang pesat terutama dikalangan remaja sebagai penerus bangsa,
yang tentu saja membuat keprihatian bagi kita semua komponen lapisaran masyarakat.
Nilainilai kebencian yang tercermin dari perilaku, dan sikap yang mudah terprovikasi
merupakan salah satu contoh nyata yang telah terjadi di Indonesia. Masuknya paham-
paham yang bertentangan dengan budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia tidak
lepas dari pengaruh negatif kemajuan teknologi. Nilai kebaikan, nilai yang dapat
memperkaya keadilan, kemampuan bertanggung jawab, kemandirian, kerukunan,
keteladan serta budi pekerti sebagai nilai luhur kultur budaya dan kearifan lokal
Indonesia diharapkan mampu membendung derasnya paham-paham yang

11 Abdul Aziz, “Memperkuat Kebijakan Negara Dalam Penanggulangan Radikalisme Di Lembaga


Pendidikan,” Hikmah: Journal of Islamic Studies 12, no. 1 (June 15, 2016): 29–58,
https://doi.org/10.47466/hikmah.v12i1.55.
bertentangan tersebut masuk ke Indonesia, dan merasuki generasi muda Indonesia
sebagai penerus Bangsa.
Dalam rangka merespon ancaman yang diakibatkan oleh berkembangnya paham
dan sikap radikal tersebut, lembaga pendidikan dinilai sebagai alat strategis jangka
panjang dalam mengatasi problem kekerasan dan intoleransi ini. Karena itu, lembaga-
lembaga pendidikan formal dan informal harus bisa mencetak generasi yang toleran,
bukan sebaliknya. Selain itu untuk menangani masalah radikalisme di Indonesia bisa
melalui sisi budaya lokal masyarakat Indonesia yang majemuk dan beragam.

B. Pembahasan
1. Konsep Radikalisme
Radikalisme berasal dari bahasa latin yaitu “radix” yang berarti dasar, berlebih-
lebihan, pembaharuan yang menggunakan cara kekerasan. Menurut KKBI radikalisme
adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial
politik dengan kekerasan atau drastis.12 Secara sederhana radikalisme dapat diartikan
sebagai kelompok yang melakukan tindakan kekerasan yang berkedok agama dan
mengaku alirannya paling benar tanpa timbang rasa terhadap kelompok lainnya.
Radikalisme dapat diartikan sebagai sebuah paham atau aliran yang menginginkan
perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan
cara-cara kekerasan. Makna radikalisme dalam sudut pandang keagamaan dapat
diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat
mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang
penganut paham/aliran tersebut menggunakan kekerasan untuk mengaktualisasikan
paham keagamaan yang dianut dan diyakininya.
Radikalisme merupakan paham yang memiliki tujuan pembaharuan baik sosial-
politik, ekonomi maupun pemahaman-pemahaman lainnya yang mereka anggap
melanggar akidah Islam. Selain itu kelompok ini memiliki konsep pemikiran yang rigit,

12“Arti Kata Radikalisme - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online,” accessed May 14, 2022,
https://kbbi.web.id/radikalisme.
sempit dan fanatik. Dari sini Penulis menggambarkan setidaknya kelompok radikalisme
dibagi menjadi dua level yaitu level pemikiran dan aksi. Untuk level pemikiran
kelompok ini memiliki wacana, ide dan gagasan yang mendukung penggunaan
kekerasan untuk pembaharuan. Sedangkan level aksi terdapat pada ranah sosial-politik
dan agama. Pada ranah sosial-politik kelompok ini memaksanakan kehendaknya yang
cenderung inkontitusional dan bisa melakukan mobilisasi massa yang berujung konflik
sosial. Sedangkan pada ranah agama kelompok ini melakukan perbuatan yang
merugikan dirinya dan orang lain dengan mengatasnamakan agama Islam sebagai
modal perjuangan mereka. Sehingga Islam yang damai telah dikecam menjadi agama
yang memberikan ruang perpecahan umat melalui aksi-aksi kelompok yang tidak
bertanggung jawab tersebut.
Proses yang terjadi dalam radikalisme adalah radikalisasi, yang didefinisikan
sebagai proses personal di mana individu mengadopsi idealisme dan aspirasi politik,
sosial, atau agama secara ekstrim, dimana dalam pencapaian tujuannya membenarkan
penggunaan kekerasan tanpa pandang bulu, sehingga mempersiapkan dan memotivasi
seseorang untuk mencapai perilaku kekerasan.13
Terbentuknya radikalisme dicapai melalui proses radikalisasi, dimana terdapat 5
(lima) aspek yang memiliki peranan penting selama proses tersebut berlangsung, yaitu:
Pertama, proses individu. Radikalisasi dipandang sebagai salah satu proses pencarian
identitas bagi individu (anak muda pada umumnya). Bagi anak muda, pencarian
identitas merupakan bagian dari proses mendefinisikan hubungan seseorang dengan
dunia. Dinamika interpersonal memerlukan interaksi interpersonal dengan aktor-aktor
lain untuk merangsang dan mempengaruhi proses pemahaman/pemikiran individu
yang menjadi target radikalisme.
Kedua, pengaruh lingkungan. Narasi dan kosa kata politik organisasi keagamaan
yang memiliki pengaruh besar di lingkungan masyarakat dapat menjadi masukan narasi
bagi kelompok-kelompok radikal.

13 Barry M Rubin, Guide to Islamist Movements (Armonk, N.Y.: M.E. Sharpe, 2010).
Ketiga, faktor emosi keagamaan. Sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya
adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Pada
konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman
realitas yang sifatnya interpretatif.
Keempat, faktor ideologis. Ketidakmampuan dalam memposisikan diri sebagai
pesaing dalam budaya dan peradaban, membuat kelompok radikal menempuh jalur
kekerasan untuk menunjukkan keberadaan/hegemoni kebudayaan mereka. Contoh
ideologi anti Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan bagi
kelompok agama tertentu.
Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah untuk
bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan akibat
dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Di samping itu,
faktor media massa (pers) asing yang selalu memojokkan agama tertentu juga menjadi
faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok radikal.14
Radikalisme di Indonesia muncul tidak dalam ruang hampa. Ummah
mengidentifikasi prakondisi yang memicu tumbuhnya gerakan radikalisme, yaitu:
tekanan politik dan otoritarianisme, adanya emosi keagamaan, faktor kultural dan faktor
ideologis anti westernisasi. Tekanan politik penguasa atau tekanan otoritarianisme pada
masa Orde Baru, dimana negara menumpas gerakan-gerakan radikal dan memandang
radikalisme sebagai common enemy yang harus dilenyapkan. Penangkapan, penyiksaan
dan penculikan terhadap tokoh-tokoh radikalisme kiri semacam Partai Rakyat
Demokratik (PRD) di era 90-an maupun tokoh kalangan radikalisme kanan seperti
Komando jihad di era 80-an. Namun, di era reformasi arus demokratisasi membuka
peluang munculnya gerakan radikal kanan seperti Hizbut Tahrir Indonesia, (HTI),
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Salafi, Laskar
Jundullah, Lasykar Jihad, Gerakan Islam Ahlussunnah wal Jamaah, Jamaah Ansharut
Tauhid (JAT), Negara Islam Indonesia (NII) dan berbagai agama bercorak lokal.15

14 Barry M Rubin and Judith Colp Rubin, Chronologies of Modern Terrorism, 2015.
15 Sun c Ummah, “AKAR RADIKALISME ISLAM DI INDONESIA,” Humanika, Kajian Ilmiah Mata
Kuliah Umum 12, no. 1 (September 1, 2012), https://doi.org/10.21831/hum.v12i1.3657.
Sebagai agama yang rahmatanlil’alamin Islam tentunya mengajarkan perdamaian
dan toleransi terhadap sesama. Selaku muslim sejati hendaklah senantiasa berfikir
sederhana dan tidak mengecam orang lain dengan prasangka tidak baik yang justru
menyebabkan ketimpangan pada persaudaraaan antara sesama baik intenal agama
maupun eksternal agama. Islam juga tidak menganjurkan kekerasan, fanatik,
menganggap diri sendiri paling benar dan berlebih-lebihan dalam persoalan agama,
karena akan menyebabkan kehancuran bagi orang tersebut. Allah SWT Berfiman dalam
(Q.S. an- Nisa’: 171):

‫ﺴﻰ اْﺑُﻦ‬ َ ‫?ِ ِاﱠﻻ اْﻟَﺤۗﱠﻖ ِاﻧﱠَﻤﺎ اْﻟَﻤِﺴْﯿُﺢ ِﻋْﯿ‬ ‫ﻋﻠَﻰ ﱣ‬ َ ‫ﺐ َﻻ ﺗ َْﻐﻠُْﻮا ِﻓْﻲ ِدْﯾِﻨُﻜْﻢ َوَﻻ ﺗ َﻘُْﻮﻟُْﻮا‬ِ ‫ٰﯾٓﺎ َْھَﻞ اْﻟِﻜٰﺘ‬
ُ ‫?ِ َوَﻛِﻠَﻤﺘ ُٗﮫ ۚ ا َْﻟٰﻘَﮭﺂ ِاٰﻟﻰ َﻣْﺮﯾََﻢ َوُرْوٌح ِ ّﻣْﻨﮫُ ۖﻓَٰﺎِﻣﻨُْﻮا ِﺑﺎﱣ[ِ َوُر‬
‫ﺳِﻠ ٖ ۗﮫ َوَﻻ ﺗ َﻘُْﻮﻟُْﻮا‬ ‫ﺳْﻮُل ﱣ‬
ُ ‫َﻣْﺮﯾََﻢ َر‬
ُ ۗ ٌ‫?ُ ِاٰﻟﮫٌ ﱠواِﺣﺪ‬
‫ﺳْﺒٰﺤﻨَ ٗ ٓﮫ ا َْن ﯾﱠُﻜْﻮَن ﻟَٗﮫ َوﻟَﺪٌ ۘ ﻟَٗﮫ َﻣﺎ ِﻓﻰ‬ ‫ﺛ َٰﻠﺜ َﺔٌ ِۗاْﻧﺘ َُﮭْﻮا َﺧْﯿًﺮا ﻟﱠُﻜْﻢ ۗ ِاﻧﱠَﻤﺎ ﱣ‬
‫ض َوَﻛٰﻔﻰ ِﺑﺎﱣ[ِ َوِﻛْﯿًﻼ‬
ۗ ِ ‫ت َوَﻣﺎ ِﻓﻰ اْﻻَْر‬
ِ ‫ﺴٰﻤٰﻮ‬
‫اﻟ ﱠ‬
Artinya: Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan
janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sungguh, Al-Masih Isa
putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang
disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah
kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan, “(Tuhan itu) tiga,”
berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang
Maha Esa, Mahasuci Dia dari (anggapan) mempunyai anak. Milik-Nyalah apa yang ada
di langit dan apa yang ada di bumi. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung.16
Menurut Quraish Shihab menafsirkan ayat ini sebagai peringatan bagi Ahl al- Kitab
agar tidak melampaui batas dalam beragama termasuk dalam sebuah keyakinan yang
belum jelas kebenarannya. Tegasnya lagi kata taghlu berarti berlebih-lebihan mengikuti
hawa nafsu terhadap yang bukan bukan haq, karena itu perbuatan yang tercela atau
tidak dibenarkan. Nabi Muhammad SAW juga memperingatkan umatnya dalam
sabdanya yang dirawatkan oleh Ahmad agar tidak melampaui batas dalam beragama.

16 “An-Nisa’ - ‫اﻟﻨﺴۤﺎء‬ | Qur’an Kemenag,” accessed May 14, 2022,


https://quran.kemenag.go.id/sura/4/171.
“janganlah melampaui batasd alam beragama, karena umat sebelum kamu binasa disebabkan
olehnya”.17
Perlu diketahui, meskipun ayat di atas ditujukan kepada Ahl al-Kitab akan tetapi
konsepnya berlaku kepada semua manusia untuk dijadikan peringatan maupun
petunjuk agar menghindari sikap berlebih-lebihan dalam agama dan hendaklah selalu
berhati-hati dalam menafsirkan segala persoalan yang ada. Hemat penulis seorang
muslim sejati ialah muslim yang senantiasa meletakkan Islam sebagai petunjuk dan
penerang kehidupan baik dalam bersikap, berbicara maupun berpandangan terhadap
segala sesuatu.
Berangkat dari ayat di atas tampak jelas bahwa agama Islam anti kekerasan, karena
pada prinsipnya ajaran utama yang harus diterapkan adalah kedamaian dan
persaudaran agar tercipta kerukunan umat yang moderat. Berdasarkan al-Qur’an, Allah
tidak menyukai tindakan kekerasan dan berlebihan yang fasad (lihat surah al-Baqarah:
205). Karena pada dasarnya tindakan tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada
tatanan sosial, terlebih lagi mencorengkan nama baik agama Islam.18

2. Tinjauan Budaya dan Kearifal Lokal dalam Mengatasi Radikalisme


Budaya atau kebudayaan didefinisikan sebagai pengatur atau pengikat
masyarakat, sebagai hal-hal yang diperoleh manusia melalui belajar dan pendidikan,
sebagai kebiasaan dan perilaku manusia, dan sebagai sistem komunikasi yang
dipergunakan masyarakat untuk memperoleh kerjasama kesatuan dan kelangsungan
hidup manusia.19 Berdasarkan definisi tersebut, dapat dideskripsikan bahwa
kebudayaan merupakan aturan hukum, atau norma yang mengikat manusia sebagai
makhluk hidup dan sosial, yang tentu saja memiliki makna bahwa manusia tidak dapat
bertindak sekehendaknya atau sewenangwenang karena terikat dengan aturan dan

17 Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian al-Qur\’an: volume 2: surah al “Imran, surah An-Nisa” / M.
Quraish Shihab (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
http://opac.library.um.ac.id/oaipmh/../index.php?s_data=bp_buku&s_field=0&mod=b&cat=3&id=394
66.
18 Vahiduddin Khan, Islam anti kekerasan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000).
19 Abdul Chaer, Kesantunan berbahasa (Jakarta: Rineka Cipta, 2010).
norma. Hakekat kebudayaan sebagai aturan hidup atau tingkah laku sejatinya dapat
menjadi pedoman dan landasan pijak bagi setiap manusia dalam menangkal segala
bentuk ideologi, aliran atau paham yang bertentang dengan norma dan aturan tersebut.20
Terkait dengan budaya, berbahasa merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan
dalam kebudayaan.
Di wilayah Indonesia khususnya perkembangan jaringan radikalisme semakin
mengkhawatirkan. Ini disebabkan oleh sudut pandang kelompok radikal yang literal-
skripural membuat mereka bersikap eksklusif dalam soal pergaulan yang terkait dengan
keyakinan dan ibadah.21 Contoh sederhana dalam soal budaya lokal mereka
menjustifikasi bahwa budaya yang dipraktikkkan umat Islam banyak melanggar akidah
Islam, disebabkan budaya lokal lebih banyak berkarakter sinkreris yang dapat merusak
akidah Islam.
Sementara itu dilihat dari sifatnya yang relastis budaya lokal dapat ditempatkan
pada posisi yang dibutuhkan keberadaannya, sebab budaya memiliki pengaruh
signifikan dalam menangkal radikalisme. Eksistensi budaya tidak bisa terpisahkan
dengan manusia. Secara harfiah manusia adalah makhluk yang berbudaya. Menurut
Sulasman budaya dapat di artikan sebagai suatu cara hidup yang dimiliki oleh
sekelompok orang dan kemudian menjadi warisan dari generasi kegenerasi.
Di era globalisasi yang penuh dengan ruang keterbukaan dan kebebasan saat ini,
efektivitas kearifan budaya lokal sangat diperlukan sebagai pendekatan untuk
meminimalisir maraknya pengaruh radikalisme. Jika ditelusuri lebih dalam, keberadaan
budaya lokal menjadi suatu yang urgen untuk diterapkan di kembangkan.
Pemahanan akan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap perilaku atau
budaya asli masyarakat seharusnya menjadi alternatif utama dalam memberikan
penguatan bagi masyarakat itu sendiri dalam menghadapi paham radikalisme yang
masuk sebagai akibat dari perkembangan teknologi dan kemajuan zaman yang
berkembang pesat.

20P. W. J. Nababan, Sosiolinguistik: suatu pengantar (Gramedia, 1984).


21 Khamami Zada, “Pemahaman Keagamaan Kelompok Islam Radikal terhadap Pengembangan
Multikulturalisme,” 2006, https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/33004.
Kearifan lokal merupakan pandangan hidup dan gagasan yang berasal dari budaya
lokal. Kearifan lokal sepadan dengan identitas budaya bangsa, yang memiliki pengaruh
terhadap watak dan karakter masyarakatnya serta sebagai ciri jati diri. Dalam proses
membendung paham radikal yang semakin berkembang, kearifan lokal sebagai identitas
budaya bangsa yang bersifat bijaksana, bernilai baik dan penuh kearifan seyogyanya
dapat menjadi senjata ampuh dalam menghalau dan membentengi masyarakatnya.
Al-Qur’an menganjurkan seorang muslim hendaknya menjadi problem solver
bukan problem maker, artinya senantiasa memberikan kenyamanan kepada orang lain
melalui sikapnya yang sederhana dan rendah hati. orang yang tawadhu’ tidak akan
berperilaku diluar ajaran Islam. Ia selalu berupaya semaksimal mungkin untuk bersikap
arif dan bijaksana. Karena ia percaya sikap rendah hati akan melahirkan kedamaian.
Allah Berfirman:

‫طﺒَُﮭُﻢ اْﻟٰﺠِﮭﻠُْﻮَن ﻗَﺎﻟُْﻮا‬ ِ ‫ﻋﻠَﻰ اْﻻَْر‬


َ ‫ض َھْﻮﻧًﺎ ﱠوِاذَا َﺧﺎ‬ ُ ‫َوِﻋﺒَﺎدُ اﻟﱠﺮْﺣٰﻤِﻦ اﻟﱠِﺬْﯾَﻦ ﯾَْﻤ‬
َ ‫ﺸْﻮَن‬
‫ﺳٰﻠًﻤﺎ‬
َ
Artinya: “Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang
berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan
kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam,”22

Ar-Rifa’i dalam menafsirkan ayat ini sebagai gambaran hamba-hamba Allah yang
senantiasa disayangi yaitu mereka yang rendah hati dan tidak sombong dalam segala
hal.23 Dan mereka juga tetap bersikap lemah lembut walaupun dihina agar terhindar dari
sifat tercela. Selanjutnya menjelaskan bahwa tawadhu’ merupakan akhlak yang luhur
dari sifat yang tertinggi, sedangkan kesombongan termasuk akhlak yang tidak baik.
Tegasnya lagi, seorang muslim bertawadhu; untuk dimuliakan agar tidak dicampakkan
dan menjadi problem solver di tengah-tengah masyarakat.24

22 “Al-Furqan - ‫اﻟﻔﺮﻗﺎن‬ | Qur’an Kemenag,” accessed May 15, 2022,


https://quran.kemenag.go.id/sura/25/63.
23 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah Jilid 3 : Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta:

Gema Insani Pres, 2008).


24 Syaikh Abu Bakar Jabir Al-jaza’iri, Minhajul Muslim: Konsep Hidup Ideal Dalam Islam (Jakarta: Darul

Haq, 2015).
Jika dirilis secara umum menangkal radikalisme menurut Al-Qaradhawi
mewariskan pemikiran moderat kepada generasi baru melalu dakwah, pengajaran,
pendidikan dan metode modren lainnnya. Ia menegaskan cara inilah yang bisa
mengantarkan pemahaman moderat tersebut kepada umat Islam.25 Selain dari cara itu,
pemikiran moderat bisa melalui musyawarah dengan melakukan dialog intraktif. Cara
ini secara tidak langsung akan membangun sikap menghargai pendapat orang lain dan
tidak semena-mena mengklaim orang lain salah.
Kemajuan teknologi yang pesat, menghadirkan pula sebuah keterbukaan yang
dapat membuka celah masuknya paham-paham radikal. Infiltrasi (penyusupan) ideologi
merupakan sasaran utamanya yang bertujuan menanamkan nilai-nilai kebencian dan
kekerasan. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar yang tergabung dalam satu
kesatuan NKRI dari Sabang sampai Maureke, yang menganut semboyan Bhineka
Tunggal Ika merupakan modal yang dasar dalam menangkal radikalisme. Bhineka
Tunggal Ika sebagai semboyan Bangsa Indonesia yang tertulis pada lambang Negara
Kesatuan Republik Indonesia, memiliki makna yang mendalam. Memandang
keberagaman dalam satu kesatuan yang utuh. Pada masa penjajahan, Bangsa Indonesia
terpecah karena keberagaam, perbedaan suku, ras, dan agama menjadi senjata paling
ampuh bagi kaum penjajah dalam memecah belah persatuan bangsa. Hal ini pun terjadi
di zaman sekarang, paham radikal yang menanamkan nilai-nilai intoleransi,
mengganggap ideologi atau paham yang berbeda harus disingkirkan. Walaupuan
sejatinya keberagaman dan perbedaan yang ada merupakan modal dan kekayaan yang
besar bagi bangsa Indonesia yang tidak dimiliki bangsa manapun di dunia. Paham
radikal yang menanamkan nilai-nilai kebencian dan kekerasan sejatinya dapat
diantisipasi melalui pendekatan budaya seperti membuka ruang dialog di masyarakat,
pelibatan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh kepemudaan sehingga tidak hanya
mengandalkan peran pemerintah dalam mengantisipasi masuknya radikalisme di
masyarakat. Melalui gerakan revitasilisasi tradisi lokal merupakan salah satu cara yang
dapat dipakai dalam merespon pengaruh yang datang dari luar yang melibatkan

25 Yusuf Al-Qaradhawi et al., Kebangkitan Gerakan Islam : Dari Masa Transisi Menuju Kematangan
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003).
masyarakat luas dalam balutan budaya dan kultur dan semangat pembaharuan dapat
menjadi kunci atau modal utama dalam menumbuhkan kembali semangat toleran dan
dialog yang dapat menetralisir paham radikalime. Luntur dan terkikisnya identitas lokal
yang ada pada generasi muda, disinyalir sebagai faktor penyebab radikalisme
berkembang dan tumbuh. Disinilah peran dan fungsi kearifan local dalam mencegah
paham radikal dideskripsikan sebagai nilai-nilai dan pandangan yang bijaksana, dan
bernilai baik yang dipakai sebagai dasar dalam menyerap dan mengulas kebudayaan
asing. Sikap yang mampu menginternalisasi unsur budaya luar yang masuk ke dalam,
dan memiliki kemampuan mengendalikan dan memberi arah dalam perkembangan
budaya. Masuknya paham-paham yang bertentangan dengan kultur, budaya dan
kearifan lokal bangsa, yang condong menanamkan nilai-nilai kebencian dan radikal di
masyarakat dapat ditangkal dengan menghidupkan kembali tradisi lokal dan
memunculkan kembali local knowledge. Menghidupkan kembali lembagalembaga
masyarakat dan bahkan ritual yang bersifat lokal dan memiliki akar budaya yang kuat
di dalam masyarakat. Langkah ini disamping untuk memperkuat tali budaya bersama
juga untuk menghidupkan kembali “modal sosial” dalam masyarakat, yaitu tumbuhnya
saling bercaya (trust) di dalam masyarakat dan mekanisme sosial yang berbuah sangsi
bagi orang yang melanggar tradisi tersebut. Dengan demikian, tradisi yang hidup di
dalam masyarakat memiliki kontrol yang kuat terhadap perubahan-perubahan yang
justru datangnya dari luar.26

3. Peran Pemerintah dalam Menanggulangi Radikalisme


Menyadari keterbatasan pendalaman tentang penyebab radikalisme yang bersifat
multi wajah dan multi organisasi, maka menurut kami pemerintah perlu menerapkan
langkah strategis untuk pencegahan dan penanganan radikalisme dan aksi-aksi
terorisme di Indonesia yang mencakup: penguatan kebijakan, penguatan institusi
pendidikan formal, penataan pemanfaatan media serta strategi yang tepat untuk
deradikalisasi dan upaya berkelanjutan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.

26 Ahmad Suaedy, “Menangkal Radikalisme Melalui Budaya Lokal,” accessed May 15, 2022,
https://gusdurian.net/id/article/kajian/Menangkal-Radikalisme-dengan-Pendekatan-Lokal/.
a. Revisi UU Anti Terorisme
UU Anti Terorisme mengatur hal-hal beriku: (1) mengatur kegiatan pembinaan,
pencegahan dan deradikalisasipelaku teror; (2) Selain mempertegas juga memperluas
definisi makar, sehingga, WNI yang telah keluar dari wilayah NKRI dan bergabung
dengan NIIS dapat dianggap makar dan dipidana; (3) Aparat keamanan bisa
menindak orang atau organisasi kemasyarakatan yang menyatakan bergabung
dengan kelompok radikal, apalagi jika kelompok radikal telah melaksanakan
pelatihan dan distribusi bahan peledak dan alat elektronik untuk tujuan teror; (4)
Menindak kegiatan kelompok teroris di dunia maya dan internet, dan penaturan
tindakan hukum terhadap hasutan untuk melakukan tindakan terorisme, seperti
seruan berupa tulisan, ceramah dan video; (5) Pengaturan koordinasi antar lembaga
yaitu BNPT, BIN dan Kepolisian; (6) Penguatan posisi kepolisian tidak hanya pada
tahap penanggulangan tetapi juga pada tahapan pencegahan dan deradikalisasi; (7)
Penuntutan dan pengusutan pelaku terorisme tidak hanya pada orang perorang
tetapi juga korporasi; (8) Pencabutan paspor bagi WNI yang bergabung dengan
kelompok radikal di luar negeri termasuk mengikuti pelatihan militer; (9) mengatur
tentang pengawasan terhadap pelaku terorisme berlaku selama enam bulan dan bila
sudah dibebaskan dari penahanan pengawasan dilakukan selama setahun.27
b. Penguatan Institusi Pendidikan
Pemerintah merancang perbaikan sistem pendidikan mulai dari Taman Kanak-
Kanak hingga Perguruan Tinggi. Fenomena radikalisme dengan aksi-aksi teror dan
kekerasan terutama di kalangan kaum muda mengindikasikan kegagalan lembaga
pendidikan menciptakan pendidikan yang menghargai keberagaman dan toleransi.
Maraknya aktifitas ruang publik tanpa pengawasan dan pendampingan di sekolah-
sekolah hingga perguruan tinggi di Indonesia akan menjadi persemaian radikalisme
seandainya gagasan-gagasan tentang radikalisme mendapatkan ruang yang

27 Muhammad Najib Azca, “Yang Muda, Yang Radikal: Refleksi Sosiologis Terhadap Fenomena
Radikalisme Kaum Muda Muslim Di Indonesia Pasca Orde Baru.”
maksimal.28 Oleh karena itu, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan perlu melakukan pembenahan terhadap: (1) Regulasi di perguruan
tinggi dan sekolah- sekolah yang mempersempit munculnya pemikiran radikalisme
yang bermotif kekerasan, (2) Kurikulum pendidikan yang bermuatan kemajemukan
dan toleransi, dengan memastikan bahwa Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika
menjadi bagian dari kurikulum yang diajarkan mulai dari tingkat TK sampai
perguran tinggi. (3) Kompetensi guru agama yang andal mengkampanyekan
pentingnya pemahaman agama yang terbuka dan toleran. (4) Penerapan metode
pembelajaran aktif dimana materi tidak hanya disampaikan melalui hafalan dan
catatan tetapi langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari dengan harapan
tersemainya benih-benih cinta perdamaian dan menghargai keberagaman, (5) Media
belajar dan buku-buku keagamaan yang wajib mengandung konten pembinaan ahlak
dan pemahaman kebhinnekaan disertai pengawasan secara ketatperedaran buku di
masyarakat yang bermuatan paham radikalisme (6) Pendampingan dan pengawasan
terhadap kegiatan ekstra kurikuler, sehingga meskipun lingkungan sekolah
homogeny (siswa dan guru yang berlatar belakang etnis dan keagamaan yang sama)
siswa tetap mendapat pengertian bahwa agama tidak menentang perbedaan dan
menghargai kemajemukan. Selain itu Pemerintah perlu mengawasi secara ketat
peredaran buku di masyarakat yang bermuatan paham radikalisme.
c. Regulasi UU ITE
Termasuk perlunya pemerintah mengatur tindakan hukum terhadap hasutan
untuk melakukan tindakan terorisme (incitement of terrorism), baik berupa tulisan,
ceramah dan video. Kehadiran media sosial seperti Facebook, Twitter, blog, youtube
dan layanan pesan misalnya WhatsApp dan telegram memudahkan kelompok
radikal menyebarkan propaganda dan merekrut orang dari berbagai belahan dunia,
melakukan sosialisasi dan diseminasi ideology ekstrimisme dan radikalisme,
mempublikasi video teror yang efek duplikasinya sangat dahsyat melebihi media
konvensional. Internet juga menjadi sarana bagi kelompok teroris berbagi ilmu mulai

28 Sun c Ummah, “AKAR RADIKALISME ISLAM DI INDONESIA,” Humanika, Kajian Ilmiah Mata
Kuliah Umum 12, no. 1 (September 1, 2012), https://doi.org/10.21831/hum.v12i1.3657.
dari cara bergerilya hingga membuat amunisi dan bom hingga senjata rakitan dengan
menggunakan video maupun buku- buku. Cara penyebaran paham radikal
dilakukan melalui perbincangan di media sosial yang sifatnya lebih umum dan
kemudian ditindaklanjuti dengan komunikasi intensif di aplikasi khusus percakapan
lebih privat, seperti WhatsApp, KIK dan Skype yang dapat mempercepat proses
indoktrinasi dan mendekati pola cuci otak jarak jauh.
Langkah pemerintah menutup akun kelompok radikal justru tidak efektif,
berdasarkan pengalaman di Amerika Serikat ketika kebijakan Pemerintah menutup
akun twitter dan facebook NIIS, justru mereka bermetaformosis dengan identitas,
bahkan NIIS menciptakan media sosial “Khelafabook” sebagai bentuk perlawanan.
Ini membuktikan bahwa Pemerintah sulit mematikan aktifitas kelompok radikal di
ranah digital. Sebaliknya, pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan baik
Muhamadiyah dan NU dan para Tokoh Agama dapat mengoptimalkan pemanfaatan
media sebagai sarana kontra wacana, gagasan dan narasi terhadap paham
radikalisme dan terorisme. Internet dan media sosial menjadi sarana berdakwah bagi
para mubaligh. Internet dan media sosial digunakan untuk penyebaran gagasan
multikultural, wacana Islam yang moderat dan aktif melakukan counter attact atas
penyebaran paham radikalisme dengan kekerasan. Upaya kontra wacana dan narasi
dalam bentuk penyajian opini, resensi buku-buku islami dalam dan luar negeri,
khutbah-khutbah hingga “pertarungan” wacana keislaman disertai argumen dan
dalil yang kuat melalui berbagai tulisan disebarkan menggunakan media sosial baik
twitter maupun akun facebook. Kesemuanya itu menjadi menjadi sarana penyebaran
Islam yang moderat dan toleran sekaligus meneguhkan Islam sebagaiagama
rahmatan lil ‘alamin.29
d. Perbaikan ekonomi masyarakat
Guna mengatasi kesenjangan sosial ekonomi dan membuka lapangan kerja.
Seluruh sektor diintegrasikan untuk penanggulangan kemiskinan dan

29 Jaja Zarkasyi et al., Radikalisme agama tantangan kebangsaan, 2014.


pengangguran. Artinya negara harus mempertegas komitmen mewujudkan keadilan
dan kejahteraan. Perhatian khusus harus diberikan kepada kaum muda.
Dengan mendasari pemikiran bahwa sebagian besar penduduk Indonesia
berusia muda, maka salah satu sasaran pembangunan yang penting adalah
menurunkan angka pengangguran yang didominasi jenjang usia muda, sehingga
gejala sosial yang disebut para sosiolog sebagai anak muda ”prekariat” dapat
diminimalisasi. Anak muda perkariat adalah mereka yang relatif berpendidikan,
memiliki mobilitas dan jaringan sosial yang lumayan serta mempunyaimimpi dan
tuntutan hidup yang tinggi, namun karena terbatasnya lapangan kerja, anak muda
prekariat terpaksa mengambil jenis pekerjaan yang tidak memberikan jaminan
memadai untuk memenuhi berbagai tuntutan hidup, bahkan mereka bisa sesewaktu
kehilangan pekerjaan atau memperoleh pendapatan yang tidak sesuai harapan, di
saat yang sama negara pun tak hadir memberikan jaminan hidup kepada mereka.
Kondisi ini memunculkan berbagai dampak psikologis berupa cenderung diliputi
marah, tanpa pegangan hidup yang kukuh, terasing dalam hidup sehingga rentan
terlibat dalam organisasi atau aktivitas ekstrimis.
e. Pengembangan Kemitraan dan Kerja Sama antara Pemerintah dengan Tokoh-Tokoh
Agama dan Organisasi Kemasyarakatan.
NU dan Muhamadiyah dan tokoh-tokohnya termasuk tokoh-tokoh mantan
komando jihad yang telah meninggalkan ideology radikalnya. Mereka harus
dilibatkan secara aktif oleh Pemerintah untuk menghadapi darurat teroris saat ini.
Para tokoh diperankan sebagai “Sang Pencerah” artinya para tokoh harus melakukan
konter wacana dan narasi untuk meluruskan pemahaman yang keliru tentang makna
jihad dan syahid. Misalnya meluruskan pemahaman kelompok radikal bahwa jihad
dan mati syahid akan membawa serta 67 keluargake syurga, sementara faktanya aksi
terror yang dimaknai jihad telah menyebabkan warga sipil terbunuh dan membuat
penderitaan bagi orang lain. Juga meluruskan gagasan- gagasan yang mengkafirkan
orang yang berbeda agama dan menganggap keyakinannya yang paling
benar.Ceramah di masjid dan majelis taklim dioptimalkan untuk menghalau ide-ide
negara Islam dan kekerasan atas nama agama, dengan menggelorakan gagasan
perdamaian, toleransi dan mencintai tanah air sebagai bagian dari iman.
Mensosialisasikan komitmen ulama nusantara untuk untuk membangun negara
damai, sehingga ideology radikal dan NIIS tidak punya tempat di hati umat Islam.30

C. Kesimpulan
Penyebab radikalisme dan terorisme bersifat multi faktor. Dari perspektif sosial
politik, radikalisme timbul karena adanya dominasi kelompok pada suatu sistem dan
kesenjangan tajam yang menimbulkan fatalisme masyarakat. Perspektif sosiologis,
pemicu radikalisme adalah krisis identitas yang menimpa generasi muda,
ketergoncangan moral dan perbedaan ideologi dan jaringan sosial. Pemicu dari
perspektif ekonomi adalah kesenjangan ekonomi yang menimblkan kecemburuan sosial.
Selain itu lemahnya regulasi juga memicu radikalisme dan maraknya aksi- aksi
terorisme. Peran Pemerintah dalam rangka menanggulangi radikalisme dan aksi-aksi
terorisme melalui upaya: penguatan kebijakan, penguatan institusi pendidikan formal,
penataan pemanfaatan media, perubahan pola deradikalisasi, meningkatkan
perekonomian masyarakat dan melakukan strategi pencegahan melalui deteksi dini
Kearifan budaya lokal memiliki kekuatan daya rekat dan sumber kontrol moral
yang berkelanjutan. Budaya lokal sebagai pendekatan dalam pengetasan radikalisme.
radikalisme adalah kelompok yang menginginkan perubahan baik sosial maupun poltik
yang mengatasnamakan Islam melalui propaganda dengan cara kekerasan. Radikalisme
disebabkan oleh faktor pemahaman agama yang setengah-setengah dan literal dalam
menafsirkan ajaran agama Islam.
Budaya merupakan aturan hukum, atau norma yang mengikat manusia sebagai
makhluk hidup dan sosial, yang memiliki makna bahwa manusia tidak dapat bertindak
sekehendaknya atau sewenang-wenang karena terikat dengan aturan dan norma.
Melalui budaya terbentuk berbagai nilai-sosial yang membentuk kearifan lokal seperti
sikap toleransi (tepa selira), gotong royong, kekeluargaan dan musyawarah mufakat
yang mampu menjadi senjata utama dalam menghadapi paham-paham radikal yang

30 Ahmad Syafii Mufid, Executive Summary of Research on Motivation and Root Causes of Terrorism
(Jakarta: Indonesian Institute for Society Empowerment, 2011).
menanamkan nilai-nilai kebencian yang menginginkan perubahan radikal tanpa
mengindahkan pemahaman dan perkembangan yang terjadi disekitarnya.

Daftar Pustaka
Abdul Azis Muslim, Anis F. Fuadah, Benni Setiawan, M. Hafidz Ghazali, Nikmatullah
Syarif, and Saefudin Zuhri. MENJAGA BENTENG KEBINEKAAN DI SEKOLAH:
Studi Kebijakan OSIS Di Kota Padang, Kab. Cirebon, Kab. Sukabumi, Kota Surakarta, Kota
Denpasar, Dan Kota Tomohon. Jakarta: MAARIF Institute for Culture and Humanit,
2018.
Ahmad Suaedy. “Menangkal Radikalisme Melalui Budaya Lokal.” Accessed May 15,
2022. https://gusdurian.net/id/article/kajian/Menangkal-Radikalisme-dengan-
Pendekatan-Lokal/.
Ahmad Syafii Mufid. Executive Summary of Research on Motivation and Root Causes of
Terrorism. Jakarta: Indonesian Institute for Society Empowerment, 2011.
“Al-Furqan - ‫ | اﻟﻔﺮﻗﺎن‬Qur’an Kemenag.” Accessed May 15, 2022.
https://quran.kemenag.go.id/sura/25/63.
“An-Nisa’ - ‫اﻟﻨﺴۤﺎء‬ | Qur’an Kemenag.” Accessed May 14, 2022.
https://quran.kemenag.go.id/sura/4/171.
“Arti Kata Radikalisme - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online.” Accessed May
14, 2022. https://kbbi.web.id/radikalisme.
Asghar, Ali. Menteroriskan Tuhan: Gerakan Sosial Baru. Pensil-324, 2014.
Aziz, Abdul. “Memperkuat Kebijakan Negara Dalam Penanggulangan Radikalisme Di
Lembaga Pendidikan.” Hikmah: Journal of Islamic Studies 12, no. 1 (June 15, 2016): 29–
58. https://doi.org/10.47466/hikmah.v12i1.55.
Chaer, Abdul. Kesantunan berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Isnawan, Fuadi. “Program Deradikalisasi Radikalisme Dan Terorisme Melalui Nilai-
Nilai Luhur Pancasila.” Fikri : Jurnal Kajian Agama, Sosial Dan Budaya 3, no. 1 (July
31, 2018): 1–28. https://doi.org/10.25217/jf.v3i1.275.
Khan, Vahiduddin. Islam anti kekerasan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000.
Lkas. “Lembaga Kajian Agama & Sosial (LKAS): Mewaspadai Ideologisasi Agama.”
Lembaga Kajian Agama & Sosial (LKAS) (blog), Jumat, Agustus 2007.
https://lkassurabaya.blogspot.com/2007/08/mewaspadai-ideologisasi-
agama.html.
Muhammad Najib Azca. “Yang Muda, Yang Radikal: Refleksi Sosiologis Terhadap
Fenomena Radikalisme Kaum Muda Muslim Di Indonesia Pasca Orde Baru.” Jurnal
Maarif 8, no. 1 (2013): 14–44. https://doi.org/10.47651/mrf.v16i2.
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i. Kemudahan Dari Allah Jilid 3 : Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir.
Jakarta: Gema Insani Pres, 2008.
Nababan, P. W. J. Sosiolinguistik: suatu pengantar. Gramedia, 1984.
Rabasa, Angel, Stacie L. Pettyjohn, Jeremy Ghez, and Christopher Boucek.
“Deradicalizing Islamist Extremists.” RAND Corporation, November 9, 2010.
https://www.rand.org/pubs/monographs/MG1053.html.
Rokhmad, Abu. “RADIKALISME ISLAM DAN UPAYA DERADIKALISASI PAHAM
RADIKAL.” Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 20, no. 1 (May 30, 2012):
79–114. https://doi.org/10.21580/ws.20.1.185.
Rubin, Barry M. Guide to Islamist Movements. Armonk, N.Y.: M.E. Sharpe, 2010.
Rubin, Barry M, and Judith Colp Rubin. Chronologies of Modern Terrorism, 2015.
“Survei Wahid Foundation: Indonesia Masih Rawan Intoleransi Dan Radikalisme
Halaman All - Kompas.Com.” Accessed May 14, 2022.
https://nasional.kompas.com/read/2016/08/01/13363111/survei.wahid.foundat
ion.indonesia.masih.rawan.intoleransi.dan.radikalisme?page=all.
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-jaza’iri. Minhajul Muslim: Konsep Hidup Ideal Dalam Islam.
Jakarta: Darul Haq, 2015.
Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian al-Qur\’an: volume 2: surah al “Imran, surah An-
Nisa” / M. Quraish Shihab. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
http://opac.library.um.ac.id/oaipmh/../index.php?s_data=bp_buku&s_field=0&
mod=b&cat=3&id=39466.
Thohari, Fuad, ed. Islam & Terorisme: Kumpulan Khutbah Jumat. Cet. 3. Jakarta: Pustaka
Cendekiamuda : Rahmat Semesta Center, 2010.
Ummah, Sun c. “AKAR RADIKALISME ISLAM DI INDONESIA.” Humanika, Kajian
Ilmiah Mata Kuliah Umum 12, no. 1 (September 1, 2012).
https://doi.org/10.21831/hum.v12i1.3657.
———. “AKAR RADIKALISME ISLAM DI INDONESIA.” Humanika, Kajian Ilmiah Mata
Kuliah Umum 12, no. 1 (September 1, 2012).
https://doi.org/10.21831/hum.v12i1.3657.
Wardah, Fathiyah. “Indeks Radikalisme di Indonesia Menurun.” VOA Indonesia.
Accessed May 10, 2022. https://www.voaindonesia.com/a/indeks-radikalisme-di-
indonesia-menurun------131127008/99010.html.
Yusuf Al-Qaradhawi, Aunul Abied Shah, HM Nandang Burhanuddin, and H Abdullah
Hakam Shah. Kebangkitan Gerakan Islam : Dari Masa Transisi Menuju Kematangan.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003.
Zada, Khamami. “Pemahaman Keagamaan Kelompok Islam Radikal terhadap
Pengembangan Multikulturalisme,” 2006.
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/33004.
Zarkasyi, Jaja, Thobib Al-Asyar, Indonesia, and Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam. Radikalisme agama tantangan kebangsaan, 2014.

Anda mungkin juga menyukai