Anda di halaman 1dari 9

Al I’tibar : Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9 No.

2,Halaman: 83 – 91, Agustus, 2022

PAI dan Radikalisme


Feri Riski Dinata1, Ali Kuswadi 2 dan Muslih Qomarudin3
123 Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al Hikmah Bumi Agung Way Kanan
*E-mail:feririzqiandinata@stit-alhikmahwk.ac.id / feririzqiandinata@gmail.com

Abstrak
Kasus radikalisme atau terorisme di Indonesia banyak terjadi, salah satunya cara untuk menderadikalisasi
melalui bidang pendidikan yaitu dengan pembelajaran Pendidikan Agama Islam sebagai salah satu upaya untuk
mendorong arus radikalisme harus dilakukan dengan cara komprehensif, dimulai dengan desain perencanaan
dan kurikulum melalui proses penyiapan, pengayaan dan atau penguatan terhadap berbagai kompetensi yang
telah ada, mendesain proses pembelajaran yang dapat mengembangkan sikap siswa untuk mampu
menghormati hak-hak orang lain tanpa membedakan latar belakang ras, agama, bahasa dan budaya, dan tanpa
membedakan mayoritas atau minoritas. Nilai-nilai pendidikan anti radikalisme yang diintegrasikan pada
pembelajaran PAI meliputi citizenship, compassion, courtesy, fairness, moderation, respect for other, respect for
the creator, self control, dan tolerance. Dengan demikian pendidik dapat mengembangkan sikap siswa untuk
mampu menghormati hak-hak orang lain tanpa membedakan latar belakang ras, agama, bahasa dan budaya,
dan tanpa membedakan mayoritas atau minoritas.

Kata kunci: PAI, Radikalisme, Deradikalisasi

PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara beragama, menempati urutan tertinggi sebagai negara berpenduduk
muslim terbesar di dunia. Indonesia secara politik maupun hukum meneguhkan keberpihakannya
atas kedaulatan negara di dunia ini, dan selalu ikut aktif dalam upaya penciptaan perdamaian dunia.
Berkaitan dengan perdamaian dunia, perhatian dunia sekarang ini tertuju pada isu internasional yang
terkait dengan agama dan terorisme. Meskipun terorisme bukan fenomena baru, yang berarti sudah
terjadi aksi-aksi serupa pada zaman-zaman dahulu, tetapi tertorisme menjadi isu hangat dan menyita
perhatian karena ada konteks radikalisasi agama yang melatarbelakangi aksi-aksi terorisme itu.
Radikalisasi agama yang menyeruak hampir di seluruh dunia sekarang ini, ternyata radikalisasi
paham keagamaan Islam oleh sebagaian orang yang memahami dan menafsirkan tekstualitas agama
secara radikal . Islam menjadi tertuduh yang menanggung dosa sosial terberat dalam sejarah
sekarang ini. Karena itu Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar mempunyai
tanggung jawab besar untuk mengantisipasi dan mengatasinya dengan upaya deradikalisasi paham
keagamaan. Perdebatan panjang tentang relasi negara dan agama telah membentuk konsensus
nasional dalam bentuk principal ideology Pancasila yang menjawab masalah ketegangan hubungan
agama dan negara. (Ali Masykur Musa, 2011:147)
Indonesia bukan negara agama, tetapi menjamin kebebasan warganya untuk beragama dan
melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Karena itu, aksi radikal dan terorisme atas nama agama
sungguh tidak bisa dibenarkan dalam konteks kehidupan keberagamaan di Indonesia. Akhir-akhir ini
kita dikejutkan dengan berbagai macam kejadian yang mengejutkan dengan munculnya kasus-kasus
kekerasan dan terorisme mengatasnamakan agama tersebut dilatarbelakangi oleh fenomena
fanatisme keagamaan yang sempit sebagai dampak dari meluasnya gerakan radikalisme Islam. salah
satunya seperti kasus berikut ini:
KOMPAS.com - Kelompok teroris Negara Islam di Irak dan Suriah ( ISIS) mengaku
bertanggung jawab dengan serangan bom bunuh diri di kawasan terminal bus
Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu malam (24/5/2017). Seperti diberitakan AFP,
Jumat (26/5/2017), melalui kantor berita Amaq, Kamis malam, ISIS menyebut,
serangan yang menewaskan tiga polisi tersebut dilakukan oleh "pejuang" kelompok
ISIS. Publikasi ini dikeluarkan kelompok intelijen SITE yang berkedudukan di Amerika
Serikat. Analis menyebut, klaim tersebut tergolong kredibel dan bisa dipercaya

Prodi PAI, Universitas Nurul Huda OKU Timur


84 Al I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9 No. 2,Halaman: 83 – 91, Agustus, 2022

mengingat keberadaan jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), yang merupakan


jaringan lokal teroris ISIS di Indonesia. Salah satu analis yang percaya dengan klaim itu
adalah Al Chaidar, Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh di Provinsi Aceh.
Sebelumnya, JAD telah ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat
pada bulan Januari lalu. Kementerian Luar Negeri AS, pada awal Januari 2017,
mengatakan JAD yang dibentuk pada 2015 beranggotakan puluhan simpatisan teroris
ISIS. Anggota JAD diyakini melakukan serangan di Jakarta pada Januari tahun lalu
yang mengakibatkan empat warga sipil dan empat penyerang tewas. Sejumlah pejabat
AS mengatakan, serangan tersebut didanai seorang anggota ISIS yang kini berada di
Suriah. JAD dikaitkan dengan sejumlah serangan dan rencana serangan teror di
Indonesia, termasuk serangan bom molotov di sebuah gereja di Samarinda, Kaltim
yang menewaskan seorang balita. Kelompok ini juga disebut berencana melakukan
serangan pada hari Natal 2016, namun mampu digagalkan oleh polisi. Sementara itu,
Pengamat Keamanan yang berbasis di Jakarta, Sidney Jones, yang juga mengepalai
Institute for Policy Analysis of Conflict, menyebut klaim ISIS tersebut sangat
kredibel.Dia bahkan meyakini bahwa cabang JAD yang berbasis di Bandung, Jawa
Barat telah melakukan pemboman tersebut.
Melihat kejadian diatas akan menimbulkan pandangan yang kurang baik terhadap agama
Islam, Islam yang tadinya merupakan agama penjamin keselamatan bagi semesta alam menjadi
agama yang terkesan “garang”, simpatisan gerakan radikal Islam pun terkesan sangar dan beringas
di mata masyarakat. Sungguh hal itu sangat disayangkan, masyarakat Indonesia yang sebagian
besar muslim yang terkenal ramah di mata dunia, kini sebagian menjadi masyarakat muslim
Indonesia yang beringas dan mudah menyulut api kerusuhan.
Kasus diatas tentunya tidak bisa dibiarkan begitu saja tentunya harus ada penanganan selain
dari keamanan negara, juga harus ada tindakan dari lembaga pendidikan disini kita akan melihat
peranan pelajaran Pendidikan Agama Islam terhadap meredam atau menderadikalisasi melalui
Pendidikan Islam yang memiliki fungsi sebagai media pembentukan akhlaq, etika, ataupun karakter
peserta didik dapat dijadikan sebagai alternatif solusi untuk mencegah bahkan menghilangkan aksi-
aksi terorisme yang muncul sebagai akibat dari gerakan radikalisme Islam. Dalam makalah ini akan
mencari cara ataupun bagaimana mengimplementasikan pembelajaran PAI terhadap menanggulangi
radikalisasi melalui Pendidikan Agama Islam

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Islam Radikal dan Pendidikan Agama Islam


a. Pengertian Islam Radikal
Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix” yang artinya akar, pangkal, bagian
bawah, atau bisa juga berarti menyeluruh, habis-habisan dan amat keras untuk menuntut
perubahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) radikalisme berarti (1) paham
atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan
atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem
dalam aliran politik. ( Pusat Bahasa Depdiknas RI, 2008:1151)
Dalam lingkup keagamaan, radikalisme merupakan gerakan-gerakan keagamaan yang
berusaha merombak secara total tatanan sosial dan politik yang ada dengan jalan
menggunakan kekerasan. ( A.Rubaidi, 2007:33)
Istilah radikalisme akhir-akhir ini semakin marak dibicarakan di Indonesia. Eggi Sudjana
mengungkapkan jika istilah radikalisme sering disebut dengan istilah reaksioner. Menurutnya
radikalisme merupakan sikap atau tindakan terhadap berbagai perubahan tatanan kehidupan
yang sudah lama dan mapan (established). Perbedaan antara reaksioner dan radikalisme
menurut Eggi Sudjana adalah pada aspek tujuannya. Kaum reaksioner menginginkan
perubahan tatanan masyarakat dalam batas-batas tertentu dan masih mentolerir sebagian
tatanan yang ada, sedangkan kaum radikalis justru mengingingkan perubahan tatanan yang
ada ke akar-akarnya bahkan jika perlu dilakukan dengan kekerasan (revolusi berdarah). (Eggi

Feri Riski Dinata1, Ali Kuswadi2, dan Muslih Qomarudin3


PAI dan Radikalisme 85

Sudjana, 2008:100)
Beberapa tahun belakangan ini ormas Islam yang menyuarakan Khilafah Islamiyah
semakin menguat. Melalui seminar, buku, dan bulletin mereka mempromosikan sistem
pemerintahan yang pernah berlaku pada masa Khulafa ar-Rasyidin dan Khalifah Turki Usmani.
Bagi mereka nasionalisme yang ada dalam konsep negara bangsa modern (modern nation
state) telah menyalahi konsep Khilafah Islam. Konsep Khilafah Islamiyah justru menyatukan
seluruh negara yang dipimpin oleh umat Islam. Mereka tidak dipisahkan oleh kepentingan
politik negara bangsa masing-masing. Kita bisa melihat bahwa fenomena radikalisme agama
semacam itu berakar dari benturan modernitas dan nilai-nilai agama. Kecendrungan itu dapat
dinilai sebagai radikalisme karena mereka berupaya mengganti tatanan negara yang sudah
ada dengan yang lain. apalagi kecendrungan tersebut juga diiringi dengan penolakan secara
menyeluruh terhadap semua pemikiran barat (kafir). ( Syarif Hidayatullah, 2010:72)
Berdasarkan pernyataan diatas bahwasanya Islam radikal merupakan gerakan yang
berpandangan absolutisme dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan
keyakinan mereka. Sementara Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap
damai dan mencari kedamaian. Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan
kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan serta paham politik.
b. Ciri-ciri Islam Radikal
Rubaidi menguraikan lima ciri gerakan radikalisme Islam. Pertama, menjadikan Islam
sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketata negaraan.
Kedua, nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya di Timur Tengah secara apa
adanya tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika Al-Quran dan hadits
hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian. Ketiga, karena perhatian lebih terfokus
pada teks Al-Quran dan hadits, maka purifikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala
budaya non asal Islam (budaya Timur Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal
karena khawatir mencampuri Islam dengan bid’ah. Keempat, menolak ideologi Non-Timur
Tengah termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisasi. Sekali lagi,
segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada Al-Quran dan hadits. Kelima, gerakan
kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Oleh
karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk
pemerintah.( A.Rubaidi:63)
Menurut Zada Khammami, kemunculan radikalisme Agama (Islam Radikal) di Indonesia
ditengarai oleh dua faktor. Pertama, faktor internal dari dalam uat Islam sendiri. Faktor ini
terjadi karena adanya penyimpangan norma-norma agama. Kehidupan sekuler dalam
kehidupan masyarakat mendorong mereka untuk kembali pada otentitas (fundamen) Islam.
Faktor ini ditopang dengan pemahaman agama yang totalistic (kaffah) dan formalistik yang
bersikap kaku dalam memahami teks-teks agama. Kajian terhadapa agama hanya dipandang
dari satu arah yaitu tekstual, tidak melihat dari faktor lain, sehingga tindakan-tindakan yang
mereka lakukan harus merujuk pada perilaku Nabi secara literal. Kedua, faktor eksternal di luar
umat Islam yang mendukung terhadap penerapan syari`at Islam dalam sendi-sendi kehidupan.
( Zada Khammami, 2002:7)
Menurut Alwi Shihab bahwa salah satu penyebab utama ekstremisme adalah kurangnya
pengetahuan dan wawasan tentang tujuan, semangat dan esensi din (ajaran Islam). Abu Ishaq
Al-Syaitibi secara tetap menyinggung dalam bukunya Al-I’tisam “kurangnya pengetahuan
agama dan kesombongan adalah akar bid’ah serta perpecahan umat, dan pada akhirnya dapat
menggiring kea rah perselisihan internal dan perpecahan perlahan-laha.” Untuk mencegah
ekstremisme seperti itu, dan untuk menanamkan keseimbangan beragama, penerimaan
toleransi dalam umat Islam, hal utama diperlukan adalah keefektifan dakwah kaum Muslim
sendiri. Karena bagaimana mungkin kita bisa mengajak orang lain untuk mengikuti ideal-ideal
Islam seperti tasammuh (toleransi), I’tidal (moderasi), ‘adl (keadilan), jika kita sendiri gagal

Feri Riski Dinata1, Ali Kuswadi2, dan Muslih Qomarudin3


86 Al I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9 No. 2,Halaman: 83 – 91, Agustus, 2022

memperlihatkannilai-nilai tersebut dalam hubungan internal kita. ( Alwi Shihab, 1998:257)


Dari keterangan diatas agar menghindari daripada yang menyebabkan adanya paham
ekstremisme maka harus adanya pemahaman agama islam yang inklusif (terbuka) yang
sangat berlawanan dengan pemahaman Islam yang ekslusif (tertutup), dengan adanya
pelajaran yang diberikan kepada peserta didik yang berlatar belakang pendidikan agama Islam
yang inklusif maka hasil yang dituai yaitu peserta didik akan saling menghargai terhadap
keyakinan yang berbeda dengan yang dianutnya, serta adanya tenggang rasa yang tinggi,
saling melindungi, menghormati dan mempunyai rasa toleransi.
c. Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Agama Islam adalah suatu mata pelajaran atau bidang studi yang mengkaji
mengenai hal ihwal ilmu agama Islam yang mencakup materi Akidah-Akhlak, Fikih, Al-Qur’an-
Hadits, dan Sejarah Kebudayaan Islam dll. Sedangkan, pendidikan Islam adalah segala upaya
yang dilakukan secara sadar untuk mengembangkan seluruh potensi manusia sesuai dengan
fitrahnya agar berkembang secara optimal menuju kedewasaan sehingga mampu menjadikan
manusia sebagai Abdullah dan khalifatullah fi al-ardh. ( Andi Prastowo,2014:36)
Pendidikan agama islam memuat materi-materi pokok yang harus di-pelajari oleh siswa.
Mengacu pada Permendikbud No 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi Pendidikan bahwa Materi
pokok PAI dan Budi Pekerti pada tingkat SMA, Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam
meliputi aspek-aspek sebagai berikut. 1) Al-Qur’an dan Hadits, 2) Aqidah, 3) Akhlak, 4) Fiqih,
5) Tarikh dan Kebudayaan Islam
Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta
didik untuk mengenal, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran atau pelatihan yang telah direncanakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. (Abdul Majid,2022:13) Depdiknas merumuskan tujuan Pendidikan
Agama Islam di sekolah, yaitu:
a. Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan
pengetahuan, penghayatan, pembiasaan serta pengamalan siswa tentang agama Islam
sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanannya kepada Allah
SWT.
b. Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia
yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin,
toleransi, menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan
budaya agama dalam komunitas sekolah.

Selain itu tujuan pendidikan Islam yaitu untuk: (1) menumbuh kembangkan akidah
melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan,
pembiasaan, serta pengalaman npeserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi
manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah swt; (2)
mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang
berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi
(tasamuh), menjagakeharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan
budayaagama dalam komunitas sekolah.
Tujuan tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dan dituju oleh
kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu (1) dimensi keimanan peserta didik
terhadap ajaran agama Islam, (2) dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual) serta
keilmuan peserta didik terhadap ajaran agama Islam, (3) dimensi penghayatan atau
pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan ajaran Islam, dan (4)
dimensi pengamalannya, dalam arti bagaimana jaran Islam yang telah diimani, dipahami dan
dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya
untuk menggerakkan, mengamalkan dan menaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam
kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt serta

Feri Riski Dinata1, Ali Kuswadi2, dan Muslih Qomarudin3


PAI dan Radikalisme 87

mengaktualisasikan dan merealisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan


bernegara. ( Muhaimin,2004:78)
Paradigma pendidikan agama Islam yang eksklusif-doktrinal yang selama ini diterapkan
telah menciptakan kesadaran peserta didik untuk memandang agama lain secara berbeda,
bahkan bermusuhan. Penyampaian pendidikan agama Islam kebanyakan juga terlalu
menekankan doktrin "keselamatan" yang didasarkan pada kebaikan hubungan antara diri
dengan Tuhan, dan kurang begitu memberikan tekanan antar sesama individu. Padahal di era
multikulturalisme ini, pendidikan agama Islam mestinya melakukan reorientasi filosofis
paradigmatik tentang bagaimana memunculkan kesadaran peserta didik agar berwajah inklusif
dan toleran. ( Imron Mashudi,2009:53)
Oleh karena itu, pengajaran pendidikan agama Islam yang didapatkan sejak memasuki
bangku sekolah saat ini diharapkan mengalami reformasi pengajaran supaya generasi penerus
bangsa ini bisa memahami agama secara baik dan benar diantaranya melalui.
a) Pendidik yang memiliki pengetahuan agama yang luas dan dapat mengajarkan
pengetahuan agama tersebut secara dinamis
b) Strategi dan metode belajar yang memudahkan peserta didik dalam memahami ajaran
agama
c) Sarana dan prasarana yang bebas dari unsur radikalisme
d) Lingkungan sekolah yang mendukung dalam meminimalisir radikalisme
Jadi, pendidikan Islam dipandang penting karena merupakan salah satu pendidikan yang
diharapkan mampu membentuk perilaku dan sikap para peserta didik di Indonesia yang
multikultur dan multireligius. Pendidikan agama yang apresiatif terhadap perbedaan agama dan
perbedaan kultur akan memberikan dampak pada peserta didik menjadi manusia yang
bersedia menghargai perbedaan dan menjadikan perbedaan sebagai bagian dari dalam
kehidupannya. Hal ini yang menjadikan perspektif multikultur dan pluralisme dalam pendidikan
agama harus dijadikan landasan para pendidik dan pengelola pendidikan agama (Islam) di
seluruh Indonesia, sebab umat Islam Indonesia merupakan umat yang jumlah mayoritas dan
sumbangannya diharapkan juga maksimal dalam pengembangan perspektif multikultur dan
pluralisme. ( Zuli Qodir,2014:116)
Pendidikan multikultural melalui pendidikan agama Islam sebagai salah satu upaya untuk
mendorong arus radikalisme harus dilakukan dengan cara komprehensif, dimulai dengan
desain perencanaan dan kurikulum melalui proses penyiapan, pengayaan dan atau penguatan
terhadap berbagai kompetensi yang telah ada, mendesain proses pembelajaran yang dapat
mengembangkan sikap siswa untuk mampu menghormati hak-hak orang lain tanpa
membedakan latar belakang ras, agama, bahasa dan budaya, dan tanpa membedakan
mayoritas atau minoritas.
2. Integrasi Materi PAI ke dalam Pendidikan Anti Radikalisme
Pendidikan Agama Islam (PAI) di Madrasah berbeda dengan PAI di sekolah umum seperti
SMA dll. Di sekolahan yang berbasis Madrasah, PAI merupakan rumpun mata pelajaran yang
terdiri dari empat mata pelajaran, yaitu Qur’an-Hadis, Fikih, Akhlak, dan Sejarah Kebudayaan
Islam. Sedangkan di SMA atau sekolah umum lainnya, PAI merupakan mata pelajaran yang terdiri
dari aspek Qur’an-Hadis, Fikih, Akhlak, dan Sejarah Islam. PAI di sekolah umum masuk dalam
kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia yang bertujuan untuk membentuk peserta didik
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Tujuan
tersebut dicapai melalui muatan, materi, dan berbagai kegiatan keagamaan di sekolah.
PAI di sekolahan umum sebagai sebuah mata pelajaran menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kurikulum suatu sekolah. Jadi bisa dikatakan bahwa PAI dapat dijadikan sebagai
media yang digunakan untuk mencapai aspek tujuan dan fungsi pendidikan di sekolah, termasuk

Feri Riski Dinata1, Ali Kuswadi2, dan Muslih Qomarudin3


88 Al I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9 No. 2,Halaman: 83 – 91, Agustus, 2022

dapat dijadikan sebagai media yang digunakan untuk merealisasikan tujuan dan fungsi pendidikan
anti terorisme.
Untuk merealisasikan dan mengintegrasikan nilai- nilai pendidikan anti terorisme ke dalam
pembelajaran PAI. Nilai-nilai pendidikan anti terorisme tersebut dapat diadopsi dari kurikulum
karakter di Negara Bagian Georgia berikut ini : (1) Citizenship, yaitu kualitas pribadi seseorang
terkait hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan warga bangsa. Misalnya hak dan
kewajiban dalam memanfaatkan dan mengembangkan kemajuan IPTEK dengan prinsip
kemaslahatan bangsa dan negara. (2) Compassion, yaitu peduli terhadap penderitaan atau
kesedihan orang lain serta mampu menanggapi perasaan dan kebutuhan mereka. (3) Courtesy,
yaitu berperilaku santun dan berbudi bahasa halus sebagai perwujudan rasa hormatnya terhadap
orang lain. (4) Fairness, yaitu perilaku adil, bebas dari favoritisme maupun fanatisme golongan. (5)
Moderation, yaitu menjauhi pandangan dan tindakan yang radikal dan eksterm yang tidak rasional.
(6) Respect for other, yaitu menghargai hak-hak dan kewajiban orang lain. (7) Respect for the
creator, menghargai segala karunia yang diberikan oleh Tuhan Sang Maha Pencipta dan merasa
berkewajiban untuk selalu menjalankan perintahNya dan menjauhi segala laranganNya serta
senantiasa bersyukur kepadaNya. (8) Self control, yaitu mampu mengendalikan diri melalui
keterlibatan emosi dan tindakan seseorang. (9) Tolerance, yaitu dapat menerima penyimpangan
dari hal yang dipercayai atau praktik-praktik yang berbeda dengan yang dilakukan atau dapat
menerima hal-hal yang berseberangan dengan apa-apa yang telah menjadi kepercayaan diri. (
Muchlas Samani dan Hariyanto,2011:54)
Tujuan pembelajaran PAI dirumuskan melalui seperangkat kompetensi (kemampuan)
yang terdapat pada Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran (SK-KMP) agama dan akhlaq
mulia, Standar Kompetensi Mata Pelajaran (SK-MP) PAI dan Kompetensi Dasar (KD). Dalam
pengintegrasian nilai-nilai pendidikan anti terorisme ke dalam tujuan pembelajaran, guru
melakukan kegiatan analisis terhadap SK-MP dan KD PAI di SMA yang dapat diintergrasikan
dengan 9 nilai pendidikan anti terorisme. Selanjutnya hasil analisis tersebut digunakan untuk
menentukan materi pembelajaran PAI berbasis pendidikan anti radikalisme terorisme. Misalnya
pada SK-MP dan KD PAI kelas XII berikut ini :

No Semester Standar Kompetensi Nilai Materi


Kompetensi Dasar Pendidikan Berbasis
Anti Pendidikan
Terorisme Anti
Terorisme
1 I Memahami Membiasakan Tolerance Islam dan
ayat-ayat al- perilaku Toleransi
Qur’an tentang bertoleransi
anjuran seperti
bertolerans terkandung
dalam Q.S. Al-
Kafiruun, Q.S.
Yunus: 40-41
dan Q.S. Al-
Kahfi: 29
2 I Meningkatkan Menerapkan Respect for Kriteria
keimanan pada hikmah the creator Muslim yang
hari akhir beriman Masuk Surga
kepada Hari
Akhir
3 I Membiasakan Membiasakan Fairness Tolong-
berperilaku perilaku adil, Menolong
terpuji rida, dan amal Antar Umat
saleh dalam Beragama
kehidupan
sehari-hari
4 I Memahami Mengambil Moderation Islamisasi di

Feri Riski Dinata1, Ali Kuswadi2, dan Muslih Qomarudin3


PAI dan Radikalisme 89

perkembangan hikmah dari Indonesia


Islam di perkembangan
Indonesia Islam di
Indonesia
5 II Memahami Melakukan Citizenship Pemanfaatan
ayat-ayat Al- pengem- Iptek
Qur’an tentang bangan iptek menurut
pengembangan seperti Islam
iptek terkandung
dalam Q.S.
Yunus: 101
dan Q.S. Al-
Baqarah: 164
6 II Meningkatkan Menerapkan Respect for Bahaya
keimanan hikmah other Sombong
kepada Qadha’ beriman dan Putus
dan Qadar kepada qadha’ Asa bagi
dan qadar Seorang
Muslim
7 II Membiasakan Membiasakan Compassion Kerukunan
perilaku terpuji perilaku Antar Umat
persatuan dan Beragama
kerukunan
dalam
kehidupan
sehari- hari
8 II Menghindari Menghindari Self control Agama
perilaku tercela perilaku isyraf, Fanatisme sebagai
tabzir, ghibah, Sumber
dan fitnah Ghibah dan
dalam Fitnah
kehidupan
sehari-hari
9 II Memahami Mengambil Courtesy Islam
perkembangan hikmah dari sebagai
Islam di dunia perkembangan Agama
Islam di dunia Keselamatan
bagi Umat
Manusia di
Dunia
Tabel 1 Contoh SK dan KD, serta nilai pendidikan anti terorisme dan materi pembelajaran
PAI berbasis pendidikan anti terorisme.

Materi pembelajaran PAI pada Tabel di atas sangat penting dalam mentransformasikan
nilai-nilai pendidikan anti terorisme. Dalam implementasi pembelajaran PAI berbasis pendidikan
anti radikal atau terorisme, materi pembelajaran PAI berbasis pendidikan anti terorisme
merupakan sarana untuk mewujudkan tujuan dan fungsi implementasi pendidikan antiterorisme di
lembaga pendidikan. Materi pembelajaran PAI berbasis pendidikan anti radikalisme atau terorisme
disusun secara sistematis mulai dari aspek konsep, prinsip, definisi, konteks, fakta, nilai, serta
keterampilan.
Materi pembelajaran PAI berbasis pendidikan anti radikalisme atau terorisme tersebut
dapat mengantarkan pada tujuan dan fungsi implementasi pendidikan anti terorisme di sekolah
jika guru PAI mampu mendesain pengalaman belajar PAI berbasis pendidikan anti terorisme bagi
peserta didiknya. Dengan demikian pendidik dapat mengembangkan sikap siswa untuk mampu
menghormati hak-hak orang lain tanpa membedakan latar belakang ras, agama, bahasa dan
budaya, dan tanpa membedakan mayoritas atau minoritas.

Feri Riski Dinata1, Ali Kuswadi2, dan Muslih Qomarudin3


90 Al I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9 No. 2,Halaman: 83 – 91, Agustus, 2022

Dari pengimplementasian pembelajaran PAI berbasis pendidikan anti radikal, ke materi


pendidikan agama Islam maka akan muncul sikap yang saling menghargai, santun, dan
menghormati antara satu sama lainnya. Sikap tasamuh atau toleransi ialah sebuah sikap yang
menghormati perbedaan dan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Sikap toleran dalam
Islam mengharuskan sikap lemah lembut, santun, dan memaafkan.Penghargaan terhadap
perbedaan agama, budaya, bedaan agama, budaya, suku adalah keharus an sebagai bagian dari
sunatullah.Prinsip-prinsip itu terbaca dalam kompetensi yang harus dipelajari siswa (baca :
kurikulum). Ada kompetensi yang menguatkan faktor akidah, akhlak, muamalah, dan ubudiah.
Secara spesifik, kompetensi dalam PAI ada yang menjelaskan tasamuh atau sikap toleran. Inilah
posisi pendidikan agama Islam di Indonesia yang secara jelas dan tegas ingin memerangi paham
radikal dan mengajarkan pendidikan agama yang inklusif.
Meski demikian, sebaik apa pun rumusan kompetensi atau kurikulum yang diinginkan, itu
akan sangat bergantung kepada guru sebagai penyampai pesan dari muatan kurikulum tersebut.
Kemampuan guru memahami konten kurikulum, penguasaan metodologi pembelajaran, dan
terutama kemampuan dalam menanamkan nilai melalui mata pelajaran yang diampunya sangatlah
penting. Daya penyampaian guru dalam menanamkan nilai kepada peserta didik merupakan kunci
utama keberhasilan sebuah pendidikan.
Sesuai dengan teorinya James W. Fowler yaitu Dalam teorinya terungkap bahwa peserta
didik khususnya remaja berada pada tahap ketiga, yaitu tahap kepercayaan sintetik-konvensional.
Pada tahapan ini peserta didik patuh terhadap pendapat dan kepercayaan orang lain. Pada tahap
ini peserta didik cenderung ingin mempelajari sistem kepercayaannya dari orang lain di sekitarnya
dan menerima sistem kepercayaan tersebut tanpa diikuti dengan sikap kritis dalam meyakininya.
Darisini bahwasanya dalam pendidikan yang menginginkan lembaga pendidikannya berlatar
belakang dalam penyampaian pendidikan agama islam yang inklusif maka, yang mempunyai titik
berat terhadap perubahan cara berfikir peserta didik dalam bersikap yaitu adalah guru,
dikarenakan peserta didik akan ikut cara berfikir dan mematuhi tentang apa yang disampaikan
oleh gurunya. Akan baik hasilnya apabila peserta didik diarahkan dengan baik oleh gurunya dan
diberikan pembelajaran keagamaan yang membangun iklim beragama secara sehat. Kemudian di
sisi yang lain perkembangan keagamaan peserta didik bisa menjadi buruk jika mereka bergabung
dengan kelompok radikal dan hal itu dapat membahayakannya.
Dalam konteks ini guru Pendidikan Agama Islam menekankan pendidikan agama yang
mengajarkan paham yang inklusif, moderat, toleran, menghargai perbedaan, dan antikekerasan
dalam proses pembelajaran dan pembudayaan di lingkungan sekolah. Tidak ada niat sedikit pun
dari para pendidik yang ada di Indonesia ingin menyebarkan paham radikal. Bahwa ada fakta
beberapa guru yang berpaham radikal dan mengajarkannya kepada siswa, inilah yang menjadi
tantangan bersama

PENUTUP
Kemunculan radikalisme Agama (Islam Radikal) di Indonesia ditengarai oleh dua faktor.
Pertama, faktor internal dari dalam uat Islam sendiri. Faktor ini terjadi karena adanya penyimpangan
norma-norma agama. Kedua, faktor eksternal di luar umat Islam yang mendukung terhadap
penerapan syari`at Islam dalam sendi-sendi kehidupan
Pendidikan Islam dipandang penting karena merupakan salah satu pendidikan yang diharapkan
mampu membentuk perilaku dan sikap para peserta didik di Indonesia yang multikultur dan
multireligius. Pendidikan agama yang apresiatif terhadap perbedaan agama dan perbedaan kultur
akan memberikan dampak pada peserta didik menjadi manusia yang bersedia menghargai
perbedaan dan menjadikan perbedaan sebagai bagian dari dalam kehidupannya. Nilai-nilai
pendidikan anti radikalisme yang diintegrasikan pada pembelajaran PAI meliputi citizenship,
compassion, courtesy, fairness, moderation, respect for other, respect for the creator, self control, dan
tolerance.

Feri Riski Dinata1, Ali Kuswadi2, dan Muslih Qomarudin3


PAI dan Radikalisme 91

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan rasa sukur dan terimakasih kepada Universitas Nurul Huda dan
Pengelola Jurnal Al-I’tibar yang membantu penerbitan artikel yang berjudul “PAI & Radikalisme”

DAFTAR PUSTAKA
Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik : Panduan bagi Orang Tua dan Guru dalam
Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP, dan SMA, Bandung: Rosda, 2009

Dinata, F. R., Qomarudin, M., & Ermayanti, E. (2020). PAI Dan Pendidikan Damai di Indonesia. Al-
I’tibar : Jurnal Pendidikan Islam, 7(2), 96–104. Retrieved from
https://journal.unuha.ac.id/index.php/JPIA/article/view/1198

Hidayatullah, Syarif, Islam “Isme-isme”: Aliran dan Paham Islam di Indonesia Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010

http://internasional.kompas.com/read/2017/05/26/11345421/teroris.isis.klaim.serangan.bom.bunuh.dir
i.di.kampung.melayu diakses pada 3 Juni 2017

Khammami, Zada, Islam Radikal, Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta:
Teraju, 2002

Majid, Abdul, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2012

Mashudi, Imron, Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Mulkulturalisme “Reformasi PAI di Era
Mulkultural”, Jakarta: Balai Litbang Agama, 2009

Masykur Musa, Ali, Nasionalisme di Persimpangan - Pergumulan NU dan Paham Kebangsaan


Indonesia, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004

Novan Ardy, “Pendidikan Agama Islam Berbasis Anti Terorisme di SMA”, Jurnal Pendidikan Islam,
Vol. I No. 2 (2012)

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 64 Tahun 2013,Standar Isi Pendidikan Dasar
dan Menengah

Prastowo, Andi, Pembelajaran Konstruktif-Scientific Untuk Pendidikan Agama di Sekolah/Madrasah:


Teori, Aplikasi, dan Riset Terkait, Jakarta: Rajawali Pers, 2014

Pusat Bahasa Depdiknas RI, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2008

Qodir, Zuli, Radikalisme Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014

Rubaidi, A, Radikalisme Islam, Nahdatul Ulama Masa depan Moderatisme Islam di Indonesia
Yogyakarta: Logung Pustaka, 2007

Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1998

Sudjana, Eggi, Islam Fungsional, Jakarta : Rajawali, 2008

Feri Riski Dinata1, Ali Kuswadi2, dan Muslih Qomarudin3

Anda mungkin juga menyukai