Abstrak
Kasus radikalisme atau terorisme di Indonesia banyak terjadi, salah satunya cara untuk menderadikalisasi
melalui bidang pendidikan yaitu dengan pembelajaran Pendidikan Agama Islam sebagai salah satu upaya untuk
mendorong arus radikalisme harus dilakukan dengan cara komprehensif, dimulai dengan desain perencanaan
dan kurikulum melalui proses penyiapan, pengayaan dan atau penguatan terhadap berbagai kompetensi yang
telah ada, mendesain proses pembelajaran yang dapat mengembangkan sikap siswa untuk mampu
menghormati hak-hak orang lain tanpa membedakan latar belakang ras, agama, bahasa dan budaya, dan tanpa
membedakan mayoritas atau minoritas. Nilai-nilai pendidikan anti radikalisme yang diintegrasikan pada
pembelajaran PAI meliputi citizenship, compassion, courtesy, fairness, moderation, respect for other, respect for
the creator, self control, dan tolerance. Dengan demikian pendidik dapat mengembangkan sikap siswa untuk
mampu menghormati hak-hak orang lain tanpa membedakan latar belakang ras, agama, bahasa dan budaya,
dan tanpa membedakan mayoritas atau minoritas.
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara beragama, menempati urutan tertinggi sebagai negara berpenduduk
muslim terbesar di dunia. Indonesia secara politik maupun hukum meneguhkan keberpihakannya
atas kedaulatan negara di dunia ini, dan selalu ikut aktif dalam upaya penciptaan perdamaian dunia.
Berkaitan dengan perdamaian dunia, perhatian dunia sekarang ini tertuju pada isu internasional yang
terkait dengan agama dan terorisme. Meskipun terorisme bukan fenomena baru, yang berarti sudah
terjadi aksi-aksi serupa pada zaman-zaman dahulu, tetapi tertorisme menjadi isu hangat dan menyita
perhatian karena ada konteks radikalisasi agama yang melatarbelakangi aksi-aksi terorisme itu.
Radikalisasi agama yang menyeruak hampir di seluruh dunia sekarang ini, ternyata radikalisasi
paham keagamaan Islam oleh sebagaian orang yang memahami dan menafsirkan tekstualitas agama
secara radikal . Islam menjadi tertuduh yang menanggung dosa sosial terberat dalam sejarah
sekarang ini. Karena itu Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar mempunyai
tanggung jawab besar untuk mengantisipasi dan mengatasinya dengan upaya deradikalisasi paham
keagamaan. Perdebatan panjang tentang relasi negara dan agama telah membentuk konsensus
nasional dalam bentuk principal ideology Pancasila yang menjawab masalah ketegangan hubungan
agama dan negara. (Ali Masykur Musa, 2011:147)
Indonesia bukan negara agama, tetapi menjamin kebebasan warganya untuk beragama dan
melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Karena itu, aksi radikal dan terorisme atas nama agama
sungguh tidak bisa dibenarkan dalam konteks kehidupan keberagamaan di Indonesia. Akhir-akhir ini
kita dikejutkan dengan berbagai macam kejadian yang mengejutkan dengan munculnya kasus-kasus
kekerasan dan terorisme mengatasnamakan agama tersebut dilatarbelakangi oleh fenomena
fanatisme keagamaan yang sempit sebagai dampak dari meluasnya gerakan radikalisme Islam. salah
satunya seperti kasus berikut ini:
KOMPAS.com - Kelompok teroris Negara Islam di Irak dan Suriah ( ISIS) mengaku
bertanggung jawab dengan serangan bom bunuh diri di kawasan terminal bus
Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu malam (24/5/2017). Seperti diberitakan AFP,
Jumat (26/5/2017), melalui kantor berita Amaq, Kamis malam, ISIS menyebut,
serangan yang menewaskan tiga polisi tersebut dilakukan oleh "pejuang" kelompok
ISIS. Publikasi ini dikeluarkan kelompok intelijen SITE yang berkedudukan di Amerika
Serikat. Analis menyebut, klaim tersebut tergolong kredibel dan bisa dipercaya
Sudjana, 2008:100)
Beberapa tahun belakangan ini ormas Islam yang menyuarakan Khilafah Islamiyah
semakin menguat. Melalui seminar, buku, dan bulletin mereka mempromosikan sistem
pemerintahan yang pernah berlaku pada masa Khulafa ar-Rasyidin dan Khalifah Turki Usmani.
Bagi mereka nasionalisme yang ada dalam konsep negara bangsa modern (modern nation
state) telah menyalahi konsep Khilafah Islam. Konsep Khilafah Islamiyah justru menyatukan
seluruh negara yang dipimpin oleh umat Islam. Mereka tidak dipisahkan oleh kepentingan
politik negara bangsa masing-masing. Kita bisa melihat bahwa fenomena radikalisme agama
semacam itu berakar dari benturan modernitas dan nilai-nilai agama. Kecendrungan itu dapat
dinilai sebagai radikalisme karena mereka berupaya mengganti tatanan negara yang sudah
ada dengan yang lain. apalagi kecendrungan tersebut juga diiringi dengan penolakan secara
menyeluruh terhadap semua pemikiran barat (kafir). ( Syarif Hidayatullah, 2010:72)
Berdasarkan pernyataan diatas bahwasanya Islam radikal merupakan gerakan yang
berpandangan absolutisme dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan
keyakinan mereka. Sementara Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap
damai dan mencari kedamaian. Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan
kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan serta paham politik.
b. Ciri-ciri Islam Radikal
Rubaidi menguraikan lima ciri gerakan radikalisme Islam. Pertama, menjadikan Islam
sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketata negaraan.
Kedua, nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya di Timur Tengah secara apa
adanya tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika Al-Quran dan hadits
hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian. Ketiga, karena perhatian lebih terfokus
pada teks Al-Quran dan hadits, maka purifikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala
budaya non asal Islam (budaya Timur Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal
karena khawatir mencampuri Islam dengan bid’ah. Keempat, menolak ideologi Non-Timur
Tengah termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisasi. Sekali lagi,
segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada Al-Quran dan hadits. Kelima, gerakan
kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Oleh
karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk
pemerintah.( A.Rubaidi:63)
Menurut Zada Khammami, kemunculan radikalisme Agama (Islam Radikal) di Indonesia
ditengarai oleh dua faktor. Pertama, faktor internal dari dalam uat Islam sendiri. Faktor ini
terjadi karena adanya penyimpangan norma-norma agama. Kehidupan sekuler dalam
kehidupan masyarakat mendorong mereka untuk kembali pada otentitas (fundamen) Islam.
Faktor ini ditopang dengan pemahaman agama yang totalistic (kaffah) dan formalistik yang
bersikap kaku dalam memahami teks-teks agama. Kajian terhadapa agama hanya dipandang
dari satu arah yaitu tekstual, tidak melihat dari faktor lain, sehingga tindakan-tindakan yang
mereka lakukan harus merujuk pada perilaku Nabi secara literal. Kedua, faktor eksternal di luar
umat Islam yang mendukung terhadap penerapan syari`at Islam dalam sendi-sendi kehidupan.
( Zada Khammami, 2002:7)
Menurut Alwi Shihab bahwa salah satu penyebab utama ekstremisme adalah kurangnya
pengetahuan dan wawasan tentang tujuan, semangat dan esensi din (ajaran Islam). Abu Ishaq
Al-Syaitibi secara tetap menyinggung dalam bukunya Al-I’tisam “kurangnya pengetahuan
agama dan kesombongan adalah akar bid’ah serta perpecahan umat, dan pada akhirnya dapat
menggiring kea rah perselisihan internal dan perpecahan perlahan-laha.” Untuk mencegah
ekstremisme seperti itu, dan untuk menanamkan keseimbangan beragama, penerimaan
toleransi dalam umat Islam, hal utama diperlukan adalah keefektifan dakwah kaum Muslim
sendiri. Karena bagaimana mungkin kita bisa mengajak orang lain untuk mengikuti ideal-ideal
Islam seperti tasammuh (toleransi), I’tidal (moderasi), ‘adl (keadilan), jika kita sendiri gagal
Selain itu tujuan pendidikan Islam yaitu untuk: (1) menumbuh kembangkan akidah
melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan,
pembiasaan, serta pengalaman npeserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi
manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah swt; (2)
mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang
berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi
(tasamuh), menjagakeharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan
budayaagama dalam komunitas sekolah.
Tujuan tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dan dituju oleh
kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu (1) dimensi keimanan peserta didik
terhadap ajaran agama Islam, (2) dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual) serta
keilmuan peserta didik terhadap ajaran agama Islam, (3) dimensi penghayatan atau
pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan ajaran Islam, dan (4)
dimensi pengamalannya, dalam arti bagaimana jaran Islam yang telah diimani, dipahami dan
dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya
untuk menggerakkan, mengamalkan dan menaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam
kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt serta
dapat dijadikan sebagai media yang digunakan untuk merealisasikan tujuan dan fungsi pendidikan
anti terorisme.
Untuk merealisasikan dan mengintegrasikan nilai- nilai pendidikan anti terorisme ke dalam
pembelajaran PAI. Nilai-nilai pendidikan anti terorisme tersebut dapat diadopsi dari kurikulum
karakter di Negara Bagian Georgia berikut ini : (1) Citizenship, yaitu kualitas pribadi seseorang
terkait hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan warga bangsa. Misalnya hak dan
kewajiban dalam memanfaatkan dan mengembangkan kemajuan IPTEK dengan prinsip
kemaslahatan bangsa dan negara. (2) Compassion, yaitu peduli terhadap penderitaan atau
kesedihan orang lain serta mampu menanggapi perasaan dan kebutuhan mereka. (3) Courtesy,
yaitu berperilaku santun dan berbudi bahasa halus sebagai perwujudan rasa hormatnya terhadap
orang lain. (4) Fairness, yaitu perilaku adil, bebas dari favoritisme maupun fanatisme golongan. (5)
Moderation, yaitu menjauhi pandangan dan tindakan yang radikal dan eksterm yang tidak rasional.
(6) Respect for other, yaitu menghargai hak-hak dan kewajiban orang lain. (7) Respect for the
creator, menghargai segala karunia yang diberikan oleh Tuhan Sang Maha Pencipta dan merasa
berkewajiban untuk selalu menjalankan perintahNya dan menjauhi segala laranganNya serta
senantiasa bersyukur kepadaNya. (8) Self control, yaitu mampu mengendalikan diri melalui
keterlibatan emosi dan tindakan seseorang. (9) Tolerance, yaitu dapat menerima penyimpangan
dari hal yang dipercayai atau praktik-praktik yang berbeda dengan yang dilakukan atau dapat
menerima hal-hal yang berseberangan dengan apa-apa yang telah menjadi kepercayaan diri. (
Muchlas Samani dan Hariyanto,2011:54)
Tujuan pembelajaran PAI dirumuskan melalui seperangkat kompetensi (kemampuan)
yang terdapat pada Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran (SK-KMP) agama dan akhlaq
mulia, Standar Kompetensi Mata Pelajaran (SK-MP) PAI dan Kompetensi Dasar (KD). Dalam
pengintegrasian nilai-nilai pendidikan anti terorisme ke dalam tujuan pembelajaran, guru
melakukan kegiatan analisis terhadap SK-MP dan KD PAI di SMA yang dapat diintergrasikan
dengan 9 nilai pendidikan anti terorisme. Selanjutnya hasil analisis tersebut digunakan untuk
menentukan materi pembelajaran PAI berbasis pendidikan anti radikalisme terorisme. Misalnya
pada SK-MP dan KD PAI kelas XII berikut ini :
Materi pembelajaran PAI pada Tabel di atas sangat penting dalam mentransformasikan
nilai-nilai pendidikan anti terorisme. Dalam implementasi pembelajaran PAI berbasis pendidikan
anti radikal atau terorisme, materi pembelajaran PAI berbasis pendidikan anti terorisme
merupakan sarana untuk mewujudkan tujuan dan fungsi implementasi pendidikan antiterorisme di
lembaga pendidikan. Materi pembelajaran PAI berbasis pendidikan anti radikalisme atau terorisme
disusun secara sistematis mulai dari aspek konsep, prinsip, definisi, konteks, fakta, nilai, serta
keterampilan.
Materi pembelajaran PAI berbasis pendidikan anti radikalisme atau terorisme tersebut
dapat mengantarkan pada tujuan dan fungsi implementasi pendidikan anti terorisme di sekolah
jika guru PAI mampu mendesain pengalaman belajar PAI berbasis pendidikan anti terorisme bagi
peserta didiknya. Dengan demikian pendidik dapat mengembangkan sikap siswa untuk mampu
menghormati hak-hak orang lain tanpa membedakan latar belakang ras, agama, bahasa dan
budaya, dan tanpa membedakan mayoritas atau minoritas.
PENUTUP
Kemunculan radikalisme Agama (Islam Radikal) di Indonesia ditengarai oleh dua faktor.
Pertama, faktor internal dari dalam uat Islam sendiri. Faktor ini terjadi karena adanya penyimpangan
norma-norma agama. Kedua, faktor eksternal di luar umat Islam yang mendukung terhadap
penerapan syari`at Islam dalam sendi-sendi kehidupan
Pendidikan Islam dipandang penting karena merupakan salah satu pendidikan yang diharapkan
mampu membentuk perilaku dan sikap para peserta didik di Indonesia yang multikultur dan
multireligius. Pendidikan agama yang apresiatif terhadap perbedaan agama dan perbedaan kultur
akan memberikan dampak pada peserta didik menjadi manusia yang bersedia menghargai
perbedaan dan menjadikan perbedaan sebagai bagian dari dalam kehidupannya. Nilai-nilai
pendidikan anti radikalisme yang diintegrasikan pada pembelajaran PAI meliputi citizenship,
compassion, courtesy, fairness, moderation, respect for other, respect for the creator, self control, dan
tolerance.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan rasa sukur dan terimakasih kepada Universitas Nurul Huda dan
Pengelola Jurnal Al-I’tibar yang membantu penerbitan artikel yang berjudul “PAI & Radikalisme”
DAFTAR PUSTAKA
Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik : Panduan bagi Orang Tua dan Guru dalam
Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP, dan SMA, Bandung: Rosda, 2009
Dinata, F. R., Qomarudin, M., & Ermayanti, E. (2020). PAI Dan Pendidikan Damai di Indonesia. Al-
I’tibar : Jurnal Pendidikan Islam, 7(2), 96–104. Retrieved from
https://journal.unuha.ac.id/index.php/JPIA/article/view/1198
Hidayatullah, Syarif, Islam “Isme-isme”: Aliran dan Paham Islam di Indonesia Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010
http://internasional.kompas.com/read/2017/05/26/11345421/teroris.isis.klaim.serangan.bom.bunuh.dir
i.di.kampung.melayu diakses pada 3 Juni 2017
Khammami, Zada, Islam Radikal, Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta:
Teraju, 2002
Majid, Abdul, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2012
Mashudi, Imron, Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Mulkulturalisme “Reformasi PAI di Era
Mulkultural”, Jakarta: Balai Litbang Agama, 2009
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004
Novan Ardy, “Pendidikan Agama Islam Berbasis Anti Terorisme di SMA”, Jurnal Pendidikan Islam,
Vol. I No. 2 (2012)
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 64 Tahun 2013,Standar Isi Pendidikan Dasar
dan Menengah
Pusat Bahasa Depdiknas RI, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2008
Rubaidi, A, Radikalisme Islam, Nahdatul Ulama Masa depan Moderatisme Islam di Indonesia
Yogyakarta: Logung Pustaka, 2007
Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1998