Anda di halaman 1dari 16

TUGAS PROYEK KEWARGANEGARAAN

MENCEGAH TIMBULNYA GERAKAN-GERAKAN


RADIKALISME DAN TERORISME DI INDONESIA

Disusun Oleh:

SMA NEGERI 1 GURAH


TAHUN PELAJARAN 2022/2023

KATA PENGANTAR
Selama ini Indonesia dinilai berhasil dalam upaya penegakan hukum terhadap aksi
terorisme. Data terakhir menunjukkan bahwa 900 terduga teroris telah berhasil ditangkap.
Dari kejadian aksi-aksi teror yang terjadi di Indonesia, banyak kasus terorisme terungkap dan
dibawa ke pengadilan. Keberhasilan dalam melakukan penangkapan aktor-aktor terorisme
memang telah mendapat apresiasi dari dunia internasional
Namun demikian keberhasilan dalam penindakan belum diikuti dengan keberhasilan
dalam bidang pencegahan yang dilakukan sebagai upaya pencegahan dini, dalam bentuk
peningkatan kewaspadaan dari semua pihak. Ancaman terorisme masih menghantui
masyarakat. Penangkapan dan serangan terorisme masih terus berlangsung.Beberapa NAPI
teroris yang telah bebas bahkan telah kembali menjadi teroris dan tertangkap. Sementara itu,
berbagai kelompok-kelompok yang mempunyai kedekatan ideologis kepada kelompok
teroris, melakukan kritikan yang gencar kepada pemerintah tertama aparat keamanan
Agar pencegahan terorisme berhasil, masyarakat dan pemerintah perlu melakukan
sinergi sebagaimana telah diatur oleh berbagai peraturan yang ada. Agar koordinasi bisa
berjalan dengan lancar perlu dilakukan pelatihan bersama antara Kementerian dan Lembaga
Pemerintahan dan juga masyarakat. Dalam pelatihan tersebut akan disosialisakan berbagai
aspek yang perlu diketahui dalam melakukan kegiatan pencegahan terorisme.

Kediri, 17 Februari 2023

ii
DAFTAR ISI

iii
PENDAHULUAN

BAB I
1. Latar Belakang
Radikalisme merupakan salah satu paham yang berkembang di masyarakat yang
menuntut adanya perubahan dengan jalan kekerasan. Jika ditinjau dari sudut pandang
keagamaan, radikalisme dapat diartikan sebagai sifat fanatisme yang sangat tinggi
terhadap agama yang berakibat terhadap sikap penganutnya yang menggunakan
kekerasan dalam mengajak orang lain yang berbeda paham untuk sejalan dengan
paham yang mereka anut. Di Indonesia, meningkatnya radikalisme ditandai dengan
berbagai aksi kekerasan dan teror (Mulyadi, 2017). Aksi-aksi teror yang sering terjadi
adalah yang disebut terorisme.

Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan terbentang dari sabang sampai merauke,
yang kaya akan dengan beragam budaya, suku, bahasa dan agama. Indonesia juga
dikenal sebagai masyarakat yang berbudaya, berbudi luhur, ramah, sopan serta santun,
religius, tolong-menolong dan bahu-membahu dalam mewujudkan tujuan berbangsa
dan bernegara tanpa memandang suku, ras, agama, maupun lainya (Muqoyyidin,
2012:132). Hal ini lah yang dipandang para pendiri bangsa menjadi modal besar bagi
pembangunan bangsa dan negara. Namun, disisi lain jika bangsa tersebut tidak
mampu mengelola secara baik, kemajemukan yang ada, malah menimbulkan konflik
serta gesekan sosial di dalamnya.

Indonesia saat ini, bila kita lihat fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, masih banyak
mengalami gejala-gejala konflik yang kemudian menjadi permasalahan disetiap sendi
kehidupan bermasyarakat. Salah satunya adalah konflik keagamaan. Konflik
keagamaan di Indonesia saat ini, sudah mulai memasuki babak baru. Belum lagi,
ditambah dengan adanya konflik sosial yang terjadi ditengah masyarakat menambah
panasnya siatuasi sekarang. Ditambah lagi dengan isu-isu sara, kerawanan sosial yang
terjadi dimasyarakat. Jika kita tilik kembali kasus yang terjadi di Ambon, Aceh
maupun daerah lain, menjadi contoh bahwa kerawanan sosial isu keagamaan bisa saja
dimanfaatkan oleh kelompok radikal.

Radikalisme yang berujung pada terorisme menjadi masalah penting saat ini
khususnya bagi umat Islam. Selain sederet kasus Terorisme yang terjadi
menyebabkan Islam dicap sebagai agama yang penuh kekerasan dan teror. Selain hal
yang telah disebutkan diatas, Radikalisme Islam juga merebak dimana-mana.
Walaupun anggapan itu mudah untuk dimentahkan, faktanya para pelaku teror di
Indonesia adalah beberapa kelompok Muslim garis keras yang kemudian membebani
psikologi umat Islam secara keseluruhan akan dampak hal tersebut (Rohkmad,
80:2012). Sebagian orang berasumsi bahwa beberapa para pelaku aksi radikalisme
dan teror atas nama agama Islam di Indonesia adalah para alumni pendidikan
Madrasah atapun pondok pesantren tertentu. Tentu, tidak semua pondok pesantren
dan madrasah maupun lembaga pendidikan Islam di Indonesia diasosiasikan dengan
gerakan maupun pemikiran Islam radikal (Darmadji, 2011:245). Hal tersebut bisa kita

1
pahami dengan banyaknya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia,
dengan kepentingan-kepentingan tertentu serta memiliki ciri khas dan corak paham
yang berbeda-beda. Namun, bukan berarti semua lembaga pendidikan Islam di
Indonesia mendoktrin para pelajarnya untuk menjadi radikal yang penuh dengan
kekerasan dan memaksakan kehendak demi tujuan tertentu.

Distorsi paham keagamaan menjadi salah satu penyebab munculnya para kelompok
radikal. Mereka menafsirkan teks-teks Al- Qur’an dan Hadits secara parsial
(sepotong-potong) yang mengakibatkan kekakuan dalam memahami ajaran agama
termasuk dalam memahami makna Jihad. Ajaran Jihad dalam Islam yang sering kali
dijadikan alasan tuduhan sebagai sumber utama terjadinya kekerasan atas nama Jihad
agama kepada umat Islam sering disalah artikan dalam bentuk tidankan serta
ekspresinya. Sering kali, atas nama agama dalam menegakan dan peneyebaran paham
keagamaanya oleh kelompok tertentu menggunakan cara-cara pemaksaan dan keras.
Hal tersebut menjadi gambaran Islam yang buruk di masyarakat. Islam yang dikenal
sebagai rahmat bagi seluruh alam menjadi tercoreng dengan eksistensi organisasi
Islam radikal yang menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan nilai budaya
dalam masyarakat Inonesia, maupun nilai-nilai ajaran dalam Islam itu sendiri. Hal
tersebut membuktikan bahwa pemahaman atau logika Jihad yang keliru dan sempit
tentang ajaran Islam yang selama ini dipahami atau dianutnya. Sehingga kita dapat
saksikan saat ini, banyak muncul kelompok-kelompok keagamaan yang dalam
memperjuangkan aspirasinya menggunakan cara-cara kekerasan, bahkan melakukan
aksi teror dengan bom bunuh diri maupun bentuk teror lainya. Hal inilah yang pada
akhirnya mensabotase kerukunan umat beragama yang sudah terjalin dengan apik.

Hal di atas tentu menjadi evaluasi bagi kita mengenai paham keagamaan Islam yang
sesungguhnya. Tentu salah satu yang menjadi sorotan sekarang adalah apa yang salah
dalam pendidikan keagamaan khususnya dalam pendidikan islam di sekolah-sekolah
Islam maupun lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Ajaran Islam yang
sebagaimana kita ketahui selalu mengutamakan sikap Moderat dalam segala hal, baik
dalam konsep akidah, ibadah, perilaku, hubungan dengan sesama manusia maupun
dalam perundang-undangan. Kini kita bisa melihat sekarang berdiri ribuan sekolah
Islam terpadu dari jenjang dasar hingga menengah atas yang didirikan oleh ormas-
ormas Islam. Lalu, sejauh mana peranan institusi keagamaan dan lembaga pendidikan
khususnya Pendidikan Agama Islam dalam menanggulangi pengaruh paham
keagamaan radikal di masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut, bahwa acaman radikalisme yang berujung pada bentuk aksi
ekstrim kekerasan dan terorisme memang nyata di Indonesia. Jika hal tersebut tidak
ditanggulangi secara baik maupun tindakan pencegahan yang mampu menanggulagi
penyebaran ideologi radikal, maka bisa jadi, intensitas radikalisme dan terorisme di
Indonesia mempunyai ancaman serius bila tidak ada pencegahan sejak dini (Fanani,
2013:5). Hal ini menjadi buruk bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat yang
aman tentram, dengan munculnya para kelompok atas nama agama. Memunculkan
gesekan-gesekan yang mengakibatkan munculnya permasalahan baru. Tentunya hal

2
tersebut sangat bertentangan dengan konstitusi kita yang menjamin kemerdekaan
beragama, berekspresi, dan berkeyakinan.

Hal diatas menjelaskan pemerintah tentu sulit mengatasi penyebaran paham-paham


radikal dan paham keagamaan yang bersifat destruktif dengan hanya menggandalkan
para pengak hukum. Dari hal tersebut, tentu perlu adanya treatment khusus maupun
pendekatan yang lebih efektif yang harus dilakukan. Baik, dari dalam yaitu para
narapidana terorisme maupun diluar yaitu, masyarakat yang belum terpapar paham
radikal. Maka, pemerintah dengan program deradikalisasi merupakan sebagai bentuk
upaya menanggulangi radikalisasi. Konsep deradikalisasi sendiri masih memiliki
keterkaburan makna serta sisi sudut pandang dari tiap-tiap kalangan tentu yang
memiliki pemahaman yang berbeda-beda. Sejatinya deradikalisasi bukan hanya
treatment terhadap keyakinan seseorang yang mengalami perubahan perilaku maupun
terlibat dalam kelompok radikal. Deradikalisasi juga dapat dipahami sebagai sebuah
cara dalam deteksi maupun tindakan pencegahan terhadap paham radikal yang bisa
saja menyasar kepada masyarakat (Arifin, 2014:397-398). Dalam hal inilah peran
penting lembaga-lembaga kemasyarakatan khususnya ormas Islam seperti
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) ikut berperan penting dalam
menanggulangi dampak radikalisme atau ektrimisme. Tentunya dengan ide-ide serta
metode pendekatan dari kedua ormas tersebut yang memiliki ciri khas masing-
masing, diharapkan mampu berkontribusi dalam penanggulangan paham ektrimis dan
radikal. Memunculkan gesekan-gesekan yang mengakibatkan munculnya
permasalahan baru. Tentunya hal tersebut sangat bertentangan dengan konstitusi kita
yang menjamin kemerdekaan beragama, berekspresi, dan berkeyakinan.

2. Rumusan Masalah
- Apa yang melatar belakangi muncul teorisme dan dan radikalisme?
- Apa upaya untuk mencegah timbulnya gerakan radikalisme dan teorisme yang
terjadi di Indonesia?
- Apa solusi untuk menangkal radikalisme?

3. Tujuan
- Memperkenalkan Ilmu Pengetahuan Dengan Baik Dan Benar
- Meminimalisir Kesenjangan Sosial
- Menjaga Persatuan Dan Kesatuan
- Mendukung Aksi Perdamaian

3
BAB II
TEORI TENTANG RADIKALISME

A. Kajian Teori
Deradikalisasi merupakan strategi dalam mengatasi masalah radikalismeterorisme,
yang bersifat recovery (perbaikan atau penyembuhan) kepada aktor dan pihak lain
yang terlibat dalam gerakan ini. Mereka para pelaku teror seringkali telah
terindoktrinasi atau mengalami ideologisasi atas gerakan radikalisme. Adanya proses
ideologisasi tersebut menyebabkan mereka menjadi orang yang menderita sakit
“radikalisme. Radikalisme yang mengatas namakan agama tidak jarang menggunakan
instrumen kekerasan menjadi fenomena menonjol dan menarik perhatian kembali
dunia internasional saat ini. Radikalisme merupakan fakta yang hangat dibicarakan
dari berbagai belahan dunia dari lokal sampai international. Radikalisme harus lebih
banyak perhatian dan tenaga, karena ini adalah benih-binih munculnya gerakan yang
sangat radikal dari setiap orang yang pemikirannya yang dapat menimbulkan efek
negatif, jika diarahkan kepada hal-hal yang sifatnya negatif ketimbang positifnya. Dan
pendekatan tersebut, berupaya mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan individu
atau kelompok-kelompok tertentu yang dapat bertindak radikal. Ada yang
berpandangan bahwa keyakinan, latar belakang pendidikan, kondisi sosial dan
ekonomi menjadi faktor-faktor yang membentuk proses radikalisasi. Selain itu
tindakan radikal, seringkali dipandang sebagai pilihan rasional bagi sekelompok
orang. Tindakan radikal melibatkan mobilisasi sumber daya dan kesempatan politik
yang dibingkai dengan kerangka tertentu, misalnya agama. Kajian atas radikalisme
memiliki kecenderungan memberi bobot lebih terhadap hubungan antara radikalisme
dengan agama. Tidaklah mudah mencari dasar gerakan radikal dalam kitab suci
agama-agama yang ada didunia ini. Jika dalam Islam ,gerakan radikalisme selalu
dihubungkan dengan gerakan jihadisme. Radikalisme ini adalah paling kuat dan
mengakar dalam setiap kepribadian manusia, dan tergantung manusia itu yang mau
mengoptimalisasikan terhadap radikalisme itu, Hal inilah yang menyebabkan
kesulitan untuk mencari solusi dan cara mengatasinya, dan menyangkut yang bersifaf
keyakinan adalah merupakan masalah yang sulit untuk ditelaah secara ilmiah.
Radikalisme dalam bentuk dimensi sosial, hanya bisa kihat di amati dalam kehidupan
sosialnya sehari-hari dalam bermasyarakat dan juga dalam bekeluarga. Dan
diharapkan dari para tokoh agama untuk meredam berbagai gejolak pemikiran yang
mengarah pada paham radikal dan juga harus ada perhatian khusus lagi dari
lingkungan maupun masyarakat yang mengetahui dampak dan bahayanya paham
radikal yang dianut masyarakartnya. Dibalik paham radikal ini ada aktor radikal dari
kalangan akademis atau non akademis, yang mempunyai tujuan dan harapan untuk
membuat kerusakan di muka bumi ini, karena dia tidak ingin penduduk di dunia ini
hidup harmonis satu sama lain, dan hidup rukun dengan penganut agama lain yang
berbeda agama dan keyakinanannyua. Dampak yang ditimbulkan dari paham radikal
ini banyak yang beranggapan dan asumsi bahwa pelaku teroris itu adalah orang yang
belum secara kaffah memahami aspek ajaran agama Islam itu secara benar dan
menyeluruh, dalam segala lini aspek kehidupan umat manusia. Bahkan ada juga juga

4
yang beranggapan bahwa pesantren melahirkan paham-paham radikal, dan ini adalah
asumsi awal yang terlalu berlebihan, karena pada umumnya pesantren tidak ada yang
mengajarkan paham radikal atau menyuruh para santrinya untuk menjadi teroris. “
Jika ada yang beranggapan keterlibatan pesantren sebagai jaringan radikal, ini tidak
hanya isapan jempol belaka tetapi juga sudah merambah wacana dan juga media
sosial. Pada akhirnya negara haraus mengambil sikap untuk menetralisir respon-
respon negatif terhadap dunia pesantren, maka perlulah pengawasan terhadap
pesantren dengan tujuan tidak ada lagi paham-paham radikal yang muncul dari
pesantren yang dapat melahirkan para pelaku teroris yang sangat meresahkan
masyarakat. Pembahasan yang sangat hangat yang selalu dikaitkan antara pesantren
dan radikalisme, karena beberapa alasan yang pertama . Pertama, keberadaan
pesantrenpesantren yang ada di Indoneisa, hampir rata mengambil pola dan
pengajarannya dari negaranegara Islam yang berada diluar negeri. Kedua, corak
pandanganya terlalu tektual, pada akhirnya pemahaman terhadap teks alquran dan
hadis kurang, hal ini dipengaruhi oleh pemikir-pemikir timur tenggah. Pada intinya
paham radikalisme itu tidak muncul dari pesantren, dan pesantren itu bukan tempat
untuk melahirkan paham-paham radikal yang sangat bertentangan dengan dunia
pesantren, walaupun ada pemberitaan tersebut, pesantren berusaha untuk meluruskan
kembali bahwa pesantren sama sekali tidak ada melahirkan paham-paham yang
radikal yang dapat mengarahkan pelakukunya untuk berbuat teror atau sebagai teroris
yang meledakan dirinya pada kerumuman orang yang banyak di tempat keramaian.
Maka tidak mengherankan jika Pemerintah RI melalui Wakil Presiden RI Muhammad
Yusuf Kalla pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
waktu itu yang akan mengawasi dengan ketat, aktivitas pesantren yang tersebar di
seluruh tanah air. Beberapa aksi teror yang terjadi pada waktu itu di antaranya
peristiwa bom Bali tidak tertutup kemungkinan, para pelakunya santri dari pondok
pesantren yang tersebar di tanah air. Khairul Ghazali menolak bahwa akar terorisme
adalah kemiskinan dalam bukunya sebagai berikut “Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono ada mengemukakan bahwa akar terorisme kemiskinan dan juga
kebodohan, pendapat ini kurang tepat mengingat orang yang dituduh teroris justru
bukan orang bodoh dan miskin. Dr. Azhari, misalnya, seorang Doktor dan dosen
universitas ternama di Malaysia, jelas dia tidak bodoh dan miskin. Di level dunia,
gembong teroris terbesar abad ini, Usamah bin Laden, adalah seorang insiyur dan
konsturksi terkemuka di Timur Tengah yang kaya raya, begitu pula wakilnya DR
Ayman az-Zhawahiri, adalah seorang dokter analisis bedah. Lebih tepat mengatakan
bahwa akar terorisme diakibatkan oleh kesenjangan ekonomi di mana pengangguran
surplus terus menerus, semenatara tingkat kejahatan ekonomi merajalela yang di
tandai dengan gemuknya rekening-rekening pejabat negara. Berdasarkan data dari
Trend Corruption Report, triwulan hingga 2010, korupsi pejabat neara dalam sector
memperkaya diri/orang lain, adalah angka yang tertinggi 57%, menyusul penyalah
gunaan wewenang 15% dan korupsi berjamaah 9% - ketidak adilan seperti rangkaian
bom natal dan bom Bali terjadi salah satu pemicunya adalah serangan non muslim
pada muslim di Ambon dan Poso. Muslim di dizalimi tetap krang mendapat
pembelaan yang memadai dari apparat keamanan, maka pada titik ini pembalasan
menjadi pilihan. Radikalisme dan Anti Radikalisme Pembicaraan yang hangat
dibicarakan pada saat sekarang ini adalah mengenai radikalisme dan anti radikalisme

5
di dunia pesantren, dan ini banyak mengambil perhatian publik, karena semua pondok
pesantren menolak paham-paham radikalisme dan mereka juga anti radikalisme, dan
semua pesantren juga sepakat bahwa radikalisme tidak pernah diajarkan di dalam
pesantren, kalaupun seandainya ada pelaku teroris karena mengikuti paham
radikalisme, sampai sekarang juga belum ada bukti yang kuat mendukung steatmen
tersebut. Pada umumnya paham-paham tersebut tidak pernah diajarkan di pesantren-
pesantren salafi, tradisional maupun modern, karena paham radikalisme itu sangat
menyusahkan masyarakat dan juga dunia pesantren. Berger dan Luckmann
berpendapat bahwa sesuatu yang khusus dan menjadi diskursus masyarakat baik yang
menyangkut praksis merupakan realitas dan keduanya merupakan pengetahuan yang
terlepas dari persoalan, benar atau tidaknya persoalan tersebut berdasarkan kriteria
yang ditetapkan oleh masyarakat lama-kelamaan Khairul Ghazali, Aksi Perampokan
Bukan Fa’i, Jakarta:Grafindo Khazanah Ilmu berita tersebut bisa juga dianggap
benar, karena cerita tersebut terus menrus diceritakan dari berbagai kondisi sosial
lapisan masyarakat, dan dianggap oleh orang yang awam itu yang benar.Untuk
melihat radikalisme dan anti radikalisme di kalangan pesantren adalah dengan
menggunakan beberapa pendekatan salah satunya adalah pendekatan logika dialektik.
Maka tidak bisa keluar dari kerangka pemikiran dialektika Marxisme. Logika
dialektika Marxisme merupakan cara berpikir yang melihat inti segala sesuatu adalah
kontradiksi, baik di dalam alam maupun di dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu
kontradiksi adalah sentral dari segala sesuatu yang ada di alam. Hal ini sebenarnya
untuk memudahkan dan menjelaskan persoalan-persoalan yang relevan atau tidak
relevan di Pesantren. Wacana keduanya dalam ranah praksis menghadapkan dunia
pesantren pada realitas kontradiktif, pada satu sisi publik memahami radikalisme
Islam tumbuh dari pesantren, sisi yang lain anti radikalisme pun sangat kuat datang
dari pesantren yang mewujud dalam berbagai bentuk aksi dan pemikiran. Pemikiran
dialetika yang dibangun oleh Max dan Hegel, itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain,
karena pemikiran kedua tokoh tersebut saling berkaitan antara yang satu dengan yang
lainnya karena kedua tokoh tersebut memahami dunia sosial. Sedangkan menurut
Engels yang sejalan dan pemikiran Max. Dalektika menurut Engels memiliki syarat-
syarat tertentu sebagai berikut:
1. Sesuatu yang ada, ditandai adanya kesatuan dan konflik dengan lawannya. Dalam
istilah lain segala sesuatu yang ada, ditandai oleh adanya kontradiksi. Kontradiksi
menjadi sifat dari alam maupun masyarakat.
2. Jika dalam kehidupan sosial, kontradiksi dan pertentangan dapat dilihat dari
hubungan kekuatan-kekuatan kapitalis yang menguasai daerah tersebut. Dalam
situasi seperti itu, maka kontradiksi merupakan suatu kesatuan dan konflik antara
kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Karena tidak bisa terelakan satu sama lain
bahkan dipersatukan kembali dalam kehidupan masyarakat yang sama, tetapi
saling konflik satu sama lain.
3. Kontradiksi menjadi mekanisme yang menggerakkan perubahan, karena
kontradiksi tidak dapat dipertahan- kan untuk jangka waktu yang tak terbatas.
Dalam pendekatan dialektis kehidupan sosial tidak ada aspek parsial dan tidak ada
fenomena terpencil. Kehidupan sosial selalu terkait dengan keseluruhan historis,
dengan struktur sosial yang dibayangkan sebagai entitas global.

6
Pondok Pesantren Al-Hidayah Deli Serdang juga menolak atau tidak setuju pada
gerakan Islam radikal. Namun Pondok Pesantren al hidayah tidak menyalahkan
pemahaman kelompok garis keras, karena itu pilihannya, adapun respons pondok
pesantren Al-Hidayah terhadap kelompok Islam radikal bukanlah sebagai reaksi,
tetapi memandang Islam pada zaman sekarang sudah tidak sama dengan zamannya.
Misal pada zaman dulu yang menggunakan senjata dalam berperang. Atas dasar
inilah, pengajaran kitab tafsir misalnya, ketika bersinggungan dengan ayat-ayat yang
menjelaskan tentang perang, ustadz Khairul Ghazali meluruskan pemahaman dengan
tafsir yang inklusif. Demikian juga, penjelasan tafsir yang berhubungan dengan
pemberitaan tentang teroris diberbagai media masa, dan juga memberi nasihat kepada
santri agar jangan mengikuti jejak orang tuanya sebagai pelaku teroris dengan bom
bunuh diri. Kemudian ditanamkam pada para santrinya tentang pentingnya pendidikan
karakter, karena Pendidikan karekter ini yang dapat merubah pemikiran para santrinya
supaya tidak terjebak dengan bujuk rayuan dari teman-teman ayah korban yang
mengajaknya untuk menjadi teroris, adapun Pendidikan karekter yang kami lihat
langsung dilokasi Pesantren al Hidayah adalah shalat berjama’ah, membaca alquran,
dan haflah alquran sebelum dan sesudah shalat berjamaah di masjid. Santri juga diberi
nasihat agar berprilaku yang baik, saling menyayangi dan membantu sesama teman.
Dalam rangka mewujudkan Islam rahmatan lil alamin. “Pendidikan karakter secara
kultural juga dilakukan Al-Hidayah dengan memberikan kebebasan para santri untuk
berekspresi sesuai dengan keinginan masing-masing, ada yang ingin bercita-cita
menjadi dokter, guru, pegawai negeri, bahkan ada yang ingin menjadi Polisi dan
tantara.Tujuannya agar guru dapat mengetahui karekter setiap anak didiknya di
lingkungan Pesantren al Hidayah. Nilai yang ingin ditanamkan oleh pesantren adalah
agar santri bisa menjadi orang yang sangat berguna di tenggah-tenggah masyarakat,
selepas mereka menyantri dipondok pesantren tersebut. Di samping itu, pondok
Pesantren al Hidayah juga memberikan pendidikan deradikalisasi tidak hanya di
kalangan santri tetapi juga diluar santri dengan melibatkan masyarakat yang berada di
pondok pesantren atau diluar pondok pesantren, dan pengajaran ini biasanya
dilakukan setiap hari sabtu, dengan tujuan ingin meluruskan dan memberikan
pencerahan tentang bahayanya paham radikal dan teroris yang dapat merusak tatanan
masyarakat banyak. Selain itu juga membiasakan konsep musyawarah yang sangat
dijunjung tinggi dalam Islam. Musyawarah itu mendidik menyelesaikan permasalahan
dengan kepala dingin. Dengan pembiasaan musyawarah, santri akan mudah menerima
perbedaan pendapat tanpa harus menggunakan kekerasan. Upaya lainnya untuk
membentengi santri agar tidak terjerumus dalam pemahaman yang radikal adalah
melalui sinergi pola pendidikan di pesantren dan pendidikan di dalam keluarga.
“Dialektika radikalisme dan anti radikalisme dalam kehidupan pesantren bergerak
pada aras wacana dan praksis. Keduanya saling terkait sebagai realitas yang seringkali
kontradiktif dan saling memperkuat. Wacana radikalisme dipahami masyarakat
pesantren sebagai seuatu diantara realitas nyata dan tidak nyata. Sebagai realitas tidak
nyata radikalisme merupakan sesuatu yang dominan karena menjadi komoditas
pemberitaan media massa, sehingga sangat jauh dari kehidupan pesantren. Sebagai
suatu kenyataan radikalisme merupakan suatu bentuk tindakan dan gerakan yang
harus dicegah, ditolak, dan dilawan. Sifatnya yang destruktif, akan berimplikasi .
Wawancara dengan kepala Sekolah Pondok Pesantren al Hidayah pada kehidupan

7
beragama yang jauh dari tujuan keislaman sebagai raḥmatan lil ‘ālamīn. Juga akan
meruntuhkan keyakinan dan kepercayaan masyarakat akan agama Islam. Cara
pandang radikalisme yang sempit dalam memahami persoalan kehidupan sosial
keagamaan, akan berakibat pada muncul tindakan kekerasan dalam berbagai bentuk di
masyarakat. Oleh karenannya pesantren mengembangkan pola melawan radikalisme
dalam bentuk anti radikalisme. Fakta yang ada seringkali gerakan anti radikalisme di
pesantren bersifat reaktif, sehingga anti radikalisme merupakan bentuk lain dari
resistensi masyarakat pesantren. Gerakan anti radikalisme di pesantren bermuara pada
dua bentuk kontra radikalisme dan deradiklisme. Dalam praksisnya dilakukan dengan
pendekatan kultural melalui caracter building dengan pengenalan hidup
bermasyarakat secara lebih mendalam. Juga menggunakan pendekatan formal dengan
mengintegrasikan dalam sistem pembelajaran, relasi sosial kelembagaan dan tata
kelola pesantren. Pendekatan dialog perlu dibangun kembali dengn tokoh-tokoh
teroris dengan tujuan pemberantasan pemberontakan adalah untuk mencegah, bukan
membunuh mereka dan mengahabisinya sampai keanak cucunya. Ini adalah solusi
untuk mengatasi kemlut persoalan bangsa yang cukup melelahkan dan bahkan
menguras tenaga dan waktu yang panjang, maka peperangan dan pertumpahan darah
dapat dihindari untuk menjadikan bangsa Indonesia yang lebih baik kedepannya,
karena pertempuran tetap menimbulkan kerugian kepada kedua belah pihak. Pilihan
langkah tersebut sesuai dengan kaidah fiqh maslahat mursalah, yakni penyelesaian
sebuah persoalan dengan pertimbangan atau pilihan yang mendatangkan kepada
kebaikan dan menjauhi kerusakan. hal tersebut berdasarkan kaidah yang berbunyi;
‘Menarik Kemaslahatan dan menolak kerusakan’. Selain pertimbangan di atas, sejak
diturunkan di muka bumi, Islam sudah mendeklarasikan diri sebagai ajaran yang
menjadi rahmat bukan hanya bagi pemeluknya atau kelompok tertentu, melainkan
menjadi “rahmatan lil alamin”. Hal itu menunjukkan bahwa sejatinya Islam
merupakan agama yang damai, penuh kasih sayang, anti kekerasan dan bisa menerima
perbedaan yang ada.

8
B. Pembahasan
Berbagai cara mencegah radikalisme dan terorisme agar tidak semakin menjamur,
terutama di bangsa Indonesia ini, antara lain:

1. Memperkenalkan Ilmu Pengetahuan Dengan Baik Dan Benar

Hal pertama yang dapat dilakukan untuk mencegah paham radikalisme dan
tindak terorisme ialah memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar.
Pengenalan tentang ilmu pengetahuan ini harusnya sangat ditekankan kepada
siapapun, terutama kepada para generasi muda. Hal ini disebabkan pemikiran para
generasi muda yang masih mengembara karena rasa keingintahuannya, apalagi
terkait suatu hal yang baru seperti sebuah pemahaman terhadap suatu masalah dan
dampak pengaruh globalisasi. Dalam hal ini, memperkenalkan ilmu pengetahuan
bukan hanya sebatas ilmu umum saja, tetapi juga ilmu agama yang merupakan
pondasi penting terkait perilaku, sikap, dan juga keyakinannya kepada Tuhan.
Kedua ilmu ini harus diperkenalkan secara baik dan benar, dalam artian haruslah
seimbang antara ilmu umum dan ilmu agama. Sedemikian sehingga dapat tercipta
kerangka pemikiran yang seimbang dalam diri.

2. Memahamkan Ilmu Pengetahuan Dengan Baik Dan Benar

Hal kedua yang dapat dilakukan untuk mencegah pemahaman radikalisme dan
tindak terorisme ialah memahamkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar.
Setelah memperkenalkan ilmu pengetahuan dilakukan dengan baik dan benar,
langkah berikutnya ialah tentang bagaimana cara untuk memahamkan ilmu
pengetahuan tersebut. Karena tentunya tidak hanya sebatas mengenal, pemahaman
terhadap yang dikenal juga diperlukan. Sedemikian sehingga apabila pemahaman
akan ilmu pengetahuan, baik ilmu umum dan ilmu agama sudah tercapai, maka
kekokohan pemikiran yang dimiliki akan semakin kuat. Dengan demikian, maka
tidak akan mudah goyah dan terpengaruh terhadap pemahaman radikalisme
sekaligus tindakan terorisme dan tidak menjadi penyebab lunturnya bhinneka
tunggal ika sebagai semboyan Indonesia.

3. Meminimalisir Kesenjangan Sosial

Kesenjangan sosial yang terjadi juga dapat memicu munculnya pemahaman


radikalisme dan tindakan terorisme. Sedemikian sehingga agar kedua hal tersebut
tidak terjadi, maka kesenjangan sosial haruslah diminimalisir. Apabila tingkat
pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme tidak ingin terjadi pada suatu
Negara termasuk Indonesia, maka kesenjangan antara pemerintah dan rakyat
haruslah diminimalisir. Caranya ialah pemerintah harus mampu merangkul pihak
media yang menjadi perantaranya dengan rakyat sekaligus melakukan aksi nyata
secara langsung kepada rakyat. Begitu pula dengan rakyat, mereka harusnya juga
selalu memberikan dukungan dan kepercayaan kepada pihak pemerintah bahwa
pemerintah akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik sebagai pengayom
rakyat dan pemegang kendali pemerintahan Negara.

9
4. Menjaga Persatuan Dan Kesatuan

Menjaga persatuan dan kesatuan juga bisa dilakukan sebagai upaya untuk
mencegah pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme di kalangan
masyarakat, terbelih di tingkat Negara. Sebagaimana kita sadari bahwa dalam
sebuah masyarakat pasti terdapat keberagaman atau kemajemukan, terlebih dalam
sebuah Negara yang merupakan gabungan dari berbagai masyarakat. Oleh karena
itu, menjaga persatuan dan kesatuan dengan adanya kemajemukan tersebut sangat
perlu dilakukan untuk mencegah masalah radikalisme dan terorisme. Salah satu
yang bisa dilakukan dalam kasus Indonesia ialah memahami dan penjalankan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sebagaimana semboyan yang tertera
di sana ialah Bhinneka Tunggal Ika

5. Menjaga Persatuan Dan Kesatuan

Menjaga persatuan dan kesatuan juga bisa dilakukan sebagai upaya untuk
mencegah pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme di kalangan
masyarakat, terbelih di tingkat Negara. Sebagaimana kita sadari bahwa dalam
sebuah masyarakat pasti terdapat keberagaman atau kemajemukan, terlebih dalam
sebuah Negara yang merupakan gabungan dari berbagai masyarakat. Oleh karena
itu, menjaga persatuan dan kesatuan dengan adanya kemajemukan tersebut sangat
perlu dilakukan untuk mencegah masalah radikalisme dan terorisme. Salah satu
yang bisa dilakukan dalam kasus Indonesia ialah memahami dan penjalankan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sebagaimana semboyan yang tertera
di sana ialah Bhinneka Tunggal Ika.

6. Mendukung Aksi Perdamaian

Aksi perdamaian mungkin secara khusus dilakukan untuk mencegah tindakan


terorisme agar tidak terjadi. Kalau pun sudah terjadi, maka aksi ini dilakukan
sebagai usaha agar tindakan tersebut tidak semakin meluas dan dapat dihentikan.
Namun apabila kita tinjau lebih dalam bahwa munculnya tindakan terorisme dapat
berawal dari muncul pemahaman radikalisme yang sifatnya baru, berbeda, dan
cenderung menyimpang sehingga menimbulkan pertentangan dan konflik. Oleh
karena itu, salah satu cara untuk mencegah agar hal tersebut (pemahaman
radikalisme dan tindakan terorisme) tidak terjadi ialah dengan cara memberikan
dukungan terhadap aksi perdamaian yang dilakukan, baik oleh Negara
(pemerintah), organisasi/ormas maupun perseorangan.

7. Berperan Aktif Dalam Melaporkan Radikalisme Dan Terorisme

Peranan yang dilakukan di sini ialah ditekankan pada aksi melaporkan kepada
pihak-pihak yang memiliki kewenangan apabila muncul pemahaman radikalisme
dan tindakan terorisme, entah itu kecil maupun besar. Contohnya apabila muncul
pemahaman baru tentang keagamaan di masyarakat yang menimbulkan keresahan,
maka hal pertama yang bisa dilakukan agar pemahaman radikalisme tindak
berkembang hingga menyebabkan tindakan terorisme yang berbau kekerasan dan
konflik ialah melaporkan atau berkonsultasi kepada tokoh agama dan tokok
masyarakat yang ada di lingkungan tersebut. Dengan demikian, pihak tokoh-tokoh
dalam mengambil tindakan pencegahan awal, seperti melakukan diskusi tentang

10
pemahaman baru yang muncul di masyarakat tersebut dengan pihak yang
bersangkutan.

8. Meningkatkan Pemahaman Akan Hidup Kebersamaan

Meningkatkan pemahaman tentang hidup kebersamaan juga harus dilakukan


untuk mencegah munculnya pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme.
Meningkatkan pemahaman ini ialah terus mempelajari dan memahami tentang
artinya hidup bersama-sama dalam bermasyarakat bahkan bernegara yang penuh
akan keberagaman, termasuk Indonesia sendiri. Sehingga sikap toleransi dan
solidaritas perlu diberlakukan, di samping menaati semua ketentuan dan peraturan
yang sudah berlaku di masyarakat dan Negara. Dengan demikian, pasti tidak akan
ada pihak-pihak yang merasa dirugikan karena kita sudah paham menjalan hidup
secara bersama-sama berdasarkan ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan di
tengah-tengah masyarakat dan Negara.

9. Menyaring Informasi Yang Didapatkan

Menyaring informasi yang didapatkan juga merupakan salah satu cara yang
dapat dilakukan untuk mencegah pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme.
Hal ini dikarenakan informasi yang didapatkan tidak selamanya benar dan harus
diikuti, terlebih dengan adanya kemajuan teknologi seperti sekarang ini, di mana
informasi bisa datang dari mana saja. Sehingga penyaringan terhadap informasi
tersebut harus dilakukan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, di mana
informasi yang benar menjadi tidak benar dan informasi yang tidak benar menjadi
benar. Oleh karena itu, kita harus bisa menyaring informasi yang didapat sehingga
tidak sembarangan membenarkan, menyalahkan, dan terpengaruh untuk langsung
mengikuti informasi tersebut.

10. Ikut Aktif Mensosialisasikan Radikalisme Dan Terorisme

Mensosialisasikan di sini bukan berarti kita mengajak untuk menyebarkan


pemahaman radikalisme dan melakukan tindakan terorisme, namun kita
mensosialisasikan tentang apa itu sebenarnya radikalisme dan terorisme. Sehingga
nantinya akan banyak orang yang mengerti tentang arti sebenarnya dari
radikalisme dan terorisme tersebut, di mana kedua hal tersebut sangatlah
berbahaya bagi kehidupan, terutama kehidupan yang dijalani secara bersama-sama
dalam dasar kemajemukan atau keberagaman. Jangan lupa pula untuk
mensosialisasikan tentang bahaya, dampak, serta cara-cara untuk bisa
menghindari pengaruh pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme. (baca :
cara merawat kemajemukan bangsa Indonesia). Demikian beberapa cara
mencegah radikalisme dan terorisme yang biasanya muncul di kalangan
masyarakat, bahkan Negara, termasuk Indonesia sendiri. Cara pencegahan ini
harus diketahui dan dilakukan oleh siapapun, terlebih generasi muda yang
merupakan ujung tombak penerus bangsa di masa depan. Apalagi mengingat
generasi muda masih mudah terpengaruh dengan pemahaman-pemahaman baru
yang biasanya muncul di tengah-tengah masyarakat sehingga mereka rentang
terpancing untuk terpengaruh ke dalamnya. Sedemikian sehingga mudah tertanam
di pikirannya untuk mengikuti pemahaman-pemahaman radikal yang dapat
memicu tidak kekerasan dan konflik. Oleh karena itu, upaya pencegah juga harus

11
lebih ditetankan dan dilakukan kepada para generasi muda yang merupakan ujung
tombak penerus bangsa di masa depan.

BAB IV

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapatlah dipahami bahwasannya Pesantren alHidayah
dijadikan sebagai barometer dalam menangkal paham-paham radikal, isis, dan teroris,
dan pesantren ini adalah satu-satunya pesantren yang ada di Indonesia dijadikan
sebagai basis untuk menderadikasasikan paham-paham radikal yang menyimpang
dari ajaran Islam. Keunikan Pesantren al Hidayah ini dibandingkan dengan pesantren
lain adalah muatan lokalnya yang mengajarkan deradikalisasi pada para santrinya dan
juga masyarakat di luar pesantren dengan tujuan supaya mereka paham tentang
bahayanya pemikiran yang radikal, isis dan teroris, yang dapat menimbulkan Bahasa
bagi masyarkat yang tidak berdosa Untuk menangkal paham-paham radikal dan
teroris, ustad Khairul Ghazali adalah seorong tokoh yang paham betul tentang
radikal, dan orang yang terpapar paham Isis, maka ustad al-Ghazalilah sosok tokoh
mantan teroris yang bisa mengoptimalkan peran pesantren dalam menangkal gerakan
radikalisme dan terorisme, dengan cara meningkatkan wawasan pesantren melalui
kajian-kajian yang lebih komprehensif yang tidak hanya menyangkut pemikiran
aqidah dan fiqih semata tapi juga menyangkut pemikiran filsafat dan tasawuf.
Pesantren al- Hidayah juga memperkenalkan teologi yang lebih inklusif, akomodatif
dan lebih toleran. Pengembangan budaya demokrasi yang mendapatkan dukungan
tinggi dari pesantren perlu terus dipertahankan dan dikembangkan lebih lanjut dengan
cara memperkuat alasan-alasan teologis yang bisa digunakan untuk deradikalisai
gerakan teroris di Sumatera Utara pada umumnya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Asrori, A. (2015). Radikalisme Di Indonesia: Antara Historisitas dan Antropisitas.


Kalam, 9(2), 253-268.
Damayanti, N. P., Thayibi, I., Gardhiani, L. A., & Limy, I. (2003). Radikalisme
Agama Sebagai Salah Satu Bentuk Perilaku Menyimpang: Studi Kasus Front Pembela
Islam. Indonesian Journal of Criminology, 3(1).
Hilmy, M. (2015). Radikalisme Agama Dan Politik Demokrasi Di Indonesia Pasca-
Orde Baru. MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, 39(2).
Imran Nasri dkk. (2012). Manhaj Gerakan Muhammadiyah Ideologi, Khittah, dan
Langkah. Suara Muhammadiyah: Yogyakarta.
Khamdan, M. (2016). Pengembangan Nasionalisme Keagamaan Sebagai Strategi
Penanganan Potensi Radikalisme Islam Transnasional. Addin, 10(1), 207-232.
Kusumasari, B., & Suyatna, H. Peningkatan Kapabilitas Pemasaran Pascabenca: Bagi
Perempuan Hunian Tetap Pager Jurang, Sleman, Yogyakarta. Jurnal Pengabdian
kepada Masyarakat (Indonesian Journal of Community Engagement), 1(1), 14-23.
Latif, Y. (2015). Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila.
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Lola Loveita. (2017). Radikalisme Agama Di Indonesia: Urgensi Negara Hadir Dan
Kebijakan Publik Yang Efektif. International NGO Forum on Indonesian
Development: Jakarta
Muhammadiyah, P. P. (2015). Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 47.
Berita Resmi Muhammadiyah:
Bagi Perempuan Hunian Tetap Pager Jurang, Sleman, Yogyakarta. Jurnal Pengabdian
kepada Masyarakat (Indonesian Journal of Community Engagement), 1(1), 14-23.
Latif, Y. (2015). Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila.
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Lola Loveita. (2017). Radikalisme Agama Di Indonesia: Urgensi Negara Hadir Dan
Kebijakan Publik Yang Efektif. International NGO Forum on Indonesian
Development: Jakarta
Muhammadiyah, P. P. (2015). Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 47.
Berita Resmi Muhammadiyah: Yogyakarta.
Rokhmad, A. (2012). Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal.
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 20(1), 79-114.
Widjajanti, K. (2011). Model pemberdayaan masyarakat. Jurnal Ekonomi
Pembangunan: Kajian Masalah Ekonomi dan pembangunan 12(1),15-27

13

Anda mungkin juga menyukai