Anda di halaman 1dari 12

VIRUS RADIKALISME SEMAKIN MERSAHKAN BAGI

KAUM ANAK MUDA


Howard Situmorang1
1.Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha
No. 10, Bandung, Jawa Barat 40132, Indonesia

Paper ini adalah bagian dari maraknya radikalisme yang terjadi di Indonesia. Fenomena ini
menjadi masalah serius bagi masyarakat dan pemerintah. Karakter dari bangsa indonesia yang
sudah dikenal di mata dunia disebut religious, ramah, toleran mulai terkikis dan mengalami
degradasi besar-besaran. Radikalisme mulai merambah ke dalam anak muda yang menjadi ujung
tombak dalam kemajuan suatu bangsa. Media sosial memegang peran penting dalam memberikan
informasi ke publik terhadap isu-isu radikalisme sehingga masyarakat terpropa-ganda terhadap
isu-isu radikal yang di sebarkan melalui media tersebut. Fakta ini dibuktikan dengan sejumlah
kelompok teroris yang menggunakan media sosial untuk media dakwah dan membangun situs
khusus sebagai medium untuk melakukan mengkoordinasi semua kegiatan yang terkait dalam
pelaksanaan aksi terror. Aksi Tindakan radikalisme di Indonesia sanagat meresahkan dan dapat
mengganggu kesehatan mental.

I. Pendahuluan
Radikalisme berasal dari bahasa Yunani, radix, yang berarti akar. Adapun orang yang
radikal berarti orang yang memahami sesuatu/ajaran/permasalahan secara mendasar sampai ke
akar-akarnya sehingga akan memegang prinsip secara teguh dibandingkan dengan orang yang
tidak memahami secara mendasar hingga ke akar-akarnya. Dalam kajian filsafat makna berpikir
secara radikal adalah hal yang berkonotasi positif karena seseorang berpikir secara mendalam
hingga ke akarnya [20]. Sejak bergulirnya reformasi di Indonesia tahun 1998, radikalisme dan
terorisme menjadi ramai diperbincangkan. Reformasi membuka kran demokrasi yang tertutup
selama 32 tahun selama rezim orde baru berkuasa. Alhasil, ruang eskpresi yang terbuka lebar
mendorong lahirnya banyak organisasi dan gerakan keagamaan. Dalam masa ini, berbagai macam
kelompok/organisasi baik politik, ekonomi, agama dan sebagainya menemukan tempat untuk
mengekspresikan kepentingannya [11].
Munculnya kelompok radikal di Indonesia diakibatkan oleh disamping euforia demokrasi,
juga karena dicabutnya undang-undang anti-subversi oleh Presiden Habibi yang pada gilirannya
memberikan ruang yang lebar bagi kelompok ekstrimis untuk mengekspresikan gagasan dan
aktifitas mereka [1]. Bahwa jatuhnya rezim soeharto memicu lahirnya kekuatan civil society secara
masif yang pada gilirannya memberikan ruang kepada kelompok tertentu termasuk di dalamnya
kelompok radikal (uncivil) yang mengekspresikan kepentingannya dengan cara menebarkan
kebencian dan intoleransi dengan menggunakan cara-cara kekerasan (violence) [2].

1
Agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang
berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunannya untuk
mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas umumnya [8]. Namun terkadang masih
jauh dari bentuk ideal yang dikehendaki agama tersebut. Seringkali agama manampakkan diri
sebagai sesuatu yang berwajah ganda, dalam arti bahwa wujud dari pengamalan ajaran suatu
agama berbeda jauh dari ajaran yang sebenarnya diinginkan oleh agama itu sendiri. Semua agama
menyerukan perdamaian, persatuan dan persaudaraan. Akan tetapi pada tataran pengamalan,
agama menampakkan diri sebagai kekuatan yang garang, beringas, penyebar konflik, bahkan
terkadang sampai menimbulkan peperangan [5].
Aspirasi-aspirasi berbagai kelompok keagamaan terlihat semakin menguat, dan gesekan-
gesekan antar pemeluk di era global ketika demokratisasi diluaskan semakin mudah melahirkan
konflik. Salah satu negara yang besar dan penuh keberagaman adalah Indonesia yang merupakan
negara dengan jumlah penduduk sebanyak 254,91 juta jiwa, kekayaan yang melimpah, keragaman
etnis, budaya dan agama. Dengan semua keberagaman itu, bangsa Indonesia telah memiliki
pengalaman yang sangat kaya dan menarik yang dapat menjadi pembelajaran yang berharga bagi
masa depan bangsa, sekaligus menjadi model bagi bangsa lain tentang bagaimana mengelola
keragaman etnis, budaya dan agama dalam kehidupan modern yang sangat kompleks [7].
Penggunaan terminologi radikalisme yang berkembang di masyarakat saat ini akan terus
berbeda dan kemungkinan tidak akan mendapatkan kesepahaman di antara anggota masyarakat,
sepanjang mereka tidak berupaya untuk menyepakati. Hal yang sering mempengaruhi makna kata
radikal adalah perbedaan pandangan politik di suatu negara. Sehingga “radikal” akan disematkan
kepada orang-orang yang berseberangan secara politik atau aliran berideologi. Siapa saja yang
berseberangan akan dikatakan radikal, walaupun secara etika, hukum, sangsi sosial tidak memiliki
ketidakwajaran. Sehingga terminologi radikal dimanfaatkan untuk membuat stigma negatif kepada
entitas yang tidak sefaham atau seideologi [21].
Seluruh negara tanpa kecuali Indonesia, sedang menghadapi cobaan baru terorisme yang
terus memanfaatkan teknologi informasi yang berbasis jaringan internet [4]. Kelompok teroris
dalam banyak hal sangat diuntungkan dan menikmati dan dengan hadirnya produk teknologi
berbasis jaringan internet untuk kepentingan rekrutmen, media propaganda, pendidikan pelatihan,
dan pembinaan jaringan mereka informasi berbasis jaringan internet dan hadirnya revolusi
teknologi semakin memban tu kelompok teroris dalam peningkatan jaringan dan propaganda
paham yang mereka usung [6]. Dengan demikian, keberadaan internet telah menjadi bagian
penting dalam membentuk pemikiran, perbuatan, perilaku, sekaligus kebutuhan dasar hidup
manusia kini. Saking pentingnya dunia maya ini radikalisme, aksi teroris bom bunuh diri kerap
menggunakan teknologi mutakhir lengkap dengan berbagai jejaring soasialnya [3].
Paper ini berusaha menjelaskan tentang kuatnya hubungan radikalisme, terorisme dengan
internet. Adanya pergeseran bentuk dan pola penyebaran radikalisme dari buku ke dunia maya
dengan hadirnya penerbitan dan situs-situs radikal yang menggunakan media

2
II. Metode Penelitian
A. Data Penelitian
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah analisis deskriptif kualitatif untuk
menganalisis bagaimana fenomena yang terjadi tentang terorisme yang dihubungkan dengan
perkembangan kelomopok-kelompok radikal di Indonesia yang mulai merabah hingga kau manak
muda dengan media sosial sebagai perantaranya. Selain itu, dianalisis juga langkah-langkah yang
dilakukan pemerintah terhadap kelompok radikal
B. Metode Penelitian.
Metode yang digunakan dalam pencarian data dan informasi yaitu penelitian pustaka dan
menelaah data sekunder yang diperoleh melalui tinjauan kepustakaan serta akses internet dan data
online.
III. Hasil

A. Peta Penyebaran pelaku radikalisme


Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis data penyebaran pelaku
radikalisme berdasarkan usia pelaku radikalisme [17]:
TABLE I. Data Perilaku Radikalisme
No Usia Persentasi
1 <20 Tahun 11.8%
2 21-30 Tahun 47.3%
3 31-40 Tahun 29.1%
4 >40 Tahun 11.3%

Kelompok radikal menyadari betul strategi untuk merekrut mereka yang tergolong generasi
milenial, mereka menggunakan pendekatan dua arah yaitu memengaruhi melalui dialog-dialog
yang aktif dan berdebat seputar paham yang mereka yakini, selain itu juga melalui tulisan yang
berkembang di media massa. Tujuan dari hal ini yaitu kelompok radikal ingin memengaruhi sikap
kaum milenial agar memiliki paham dan sikap yang sama seperti kelompoknya.
Sikap individu tidak terbentuk begitu saja, menurut secara umum bahwa sikap merupakan
hasil dari proses belajar, seorang anak yang dilahirkan tidak membawa kecenderungan sikap
tertentu terhadap objek sikap yang ada diluar dirinya. Sikap baru terbentuk setelah melakukan
kontak dengan lingkungan sekitarnya. Sedangkan sikap radikalisme sendiri adalah evaluasi atau
respon individu mengenai paham yang bertujuan untuk melakukan perubahan secara mengakar
dengan cara kekerasan atau tindakan teror yang kemudian hal itu diolah kedalam komponen
kognitif berupa benar atau salah, komponen afektif berupa suka tidak suka, dan komponen konatif
yang berupa tindakan melakukan atau tidak melakukan hal tersebut didalam kehidupannya. Tentu
akan sangat berbahaya jika seseorang yang memiliki sikap radikal dan dibiarkan berkembang serta
mempengaruhi orang lain agar ikut bergabung dengannya, hal itu akan menyebabkan kekacauan

3
terjadi ditengah-tengah masyarakat indonesia yang terkenal akan toleransi, keberagaman serta
gotong royong antar kelompok [9].
B. Peta Gerakan Kelompok Radikal di Indonesia.
Lemahnya kondisi keamanan nasional pasca-reformasi dimanfaatkan oleh kelompok radikal
yang berorientasi kepada penggunaan kekerasan, khususnya terorisme, sejak 1999/2000.
Kerusuhan horizontal yang menelan korban jiwa cukup besar terjadi misalnya di Maluku dan
Sampit demikian pula aksi teror di Bali pada 2002 dan berturut-turut di berbagai kota besar di
Indonesia, termasuk Jakarta, Semarang, Bandung, Medan, Poso, dan lain-lain [16]. Organisasi-
organisasi Islam radikal bermunculan dengan memakai nama yang berbeda namun dengan tokoh
yang seringkali sama dan, tentu saja, ideologi radikal yang sama. Narasi anti NKRI, anti-
pemerintahan Thaghut, penguasa kafir, membangun Negara Islam, Negara Khilafah, dan
sebagainya mewarnai wacana dan praksis gerakan mereka. Kelompok radikal yang sangat
mengkhawatirkan Indonesia terutama dengan aksi-aksi terornya adalah kelompok yang berafiliasi
dengan ISIS [15].
Gerakan kelompok radikal di Indonesia yang berafiliasi dengan ISIS sangat dipengaruhi oleh
peran WNI yang menjadi tokoh ISIS di Suriah. Tercatat ada tiga WNI yang menjadi tokoh ISIS di
Suriah. Pertama Abu Jandal, atau Salim Mubarok Attamimi. Abu Jandal sempat mengeluarkan
video yang berisi ancaman kepada Panglima TNI saat itu Jenderal TNI Moeldoko. Abu Jandal
diketahui telah tewas sekitar bulan September 2016. Peran Abu Jandal dalam kelompok radikal
ISIS di Indonesia adalah melakukan rekrutmen dan membantu perjalanan WNI simpatisan ISIS ke
Timur Tengah. Para WNI yang menjadi kombatan ISIS ini diperkirakan tidak semuanya kembali
ke Indonesia, karena sebagian telah tewas dan bergabung dengan kombatan lain untuk tetap
melakukan aksinya. Namun tentu saja dari sebagian WNI yang kembali ke Indonesia pasca
kalahnya ISIS di Irak dan Suriah ada kombatan-kombatan yang patut diwaspadai karena bisa
melakukan aksi teror di Indonesia.
Para simpatisan dan kombatan ISIS akan memilih menjadi sel tidur, atau bahkan tidak
mendukung ISIS lagi karena kekecewaan mereka terhadap situasi yang dialami di Irak dan Suriah.
Peluang untuk melakukan aksi teror semakin kecil karena tidak adanya dukungan teknis dan
finansial seperti yang dilakukan oleh Banhrun Naim pada aksi-aksi teror yang pernah terjadi di
Indonesia. Aksi teror masih tetap berpeluang terjadi namun diperkirakan dilakukan oleh pelaku-
pelaku lone wolf, yang bergerak sendirian dan sulit dideteksi keberadaannya. Aksi yang dilakukan
oleh pelaku lone wolf ini, walaupun nekad, cenderung kecil karena kemampuan dan keterampilan
yang tidak terlatih.Fenomena lainnya adalah adanya adaptasi kelompok radikal yang semakin
mengecil dalam sel-sel keluarga
C. Konten Radikal
Konten radikal adalah informasi atau gagasan yang ada didalam media baik online maupun
cetak yang didalamnya mengandung unsur radikal seperti mengajak dan memperbolehkan
menggunakan kekerasan untuk orang yang berbeda faham dengan kelompoknya, bersikap
intoleran serta melakukan propaganda untuk melakukan perlawanan guna membuat perubahan
sistem yang dianggap sesuai oleh kelompoknya.

4
Pertama dari buku ke dunia maya adalah bentuk radikalisme, terorisme selalu menyesuaikan
semangat zaman. Semula tindakan atas nama agama ini dilancarkan untuk melawan umat kristiani,
antek-antek Amerika, Inggris, rumah Ibadah, fasilitas umum (hotel, pusat perbelanjaan), memakai
teror buku. Kini, usaha menebar virus kebencian ini dilakukan dengan menggunakan jejaring
media sosial (facebook, twitter, youtube).
Tren yang berkembang sekarang adalah bahwa penyebaran buku-buku dan tulisan mulai
dilihat menjadi sebuah metode dakwah yang penting, terutama bagi kelompok-kelompok
konsevatif dan berbagai kelompok atau aliran Islam yang mulai mengeluarkan hasil publikasi
mereka, baik berupa buku-buku, majalah, kaset dan belakangan VCD, yang dijual di toko-toko
buku, distributor dan bahkan diunggah (upload) pada situs mereka sendiri. Sebuah katalog penerbit
Salafi memiliki lebih dari ratusan judul buku. Parahnya, sebagian buku, majalah dan portal online
Islam berasimilasi dengan organisasi keagamaan atau individu dengan faham keIslaman yang
berorientasi radikal [10].
Kedua kekuatan internet dan media sosial merupkan hasil penelitian Leni Winarni
menunjukkan radikalisme abad ini menarik agama, khususnya Islam dalam situasi dan kondisi
yang tak terelakkan dan memunculkan konektivitas antara Islam dan kekerasan, sehingga
merugikan dunia Islam padahal ia adalah agama yang rahmatan lil alamin. Kelahiran Islam ribuan
abad silam bahkan tidak diwarnai dengan pedang, melainkan Islam membawa pesan-pesan
perdamaian yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Disatu sisi juga melabelkan bahwa
radikalisme sebagai pemahaman yang sangat negative.
Ada dua hal utama yang dapat disimpulkan:
Pertama bahwa media internet mengambil porsi dan peranan yang sangat besar dalam
memberikan informasi kepada publik, terutama kaum muda akan ideologi radikal. Hal ini
diperparah dengan fakta bahwa perekrutan kaum muda dalam organisasi-organisasi radikal banyak
dilakukan dengan menggunakan media internet. Fakta bahwa organisasi teroris dan yang terafiliasi
dengannya telah memanfaatkan teknologi yang dapat memudahkan mereka menyebarkan
propaganda dan merekrut anggota potensialnya melalui internet adalah hal yang sangat miris dari
kemajuan media massa itu sendiri.
Kedua media massa memegang peran kunci dalam menangkal dan memberikan informasi
ke publik terhadap isu-isu radikalisme sehingga masyarakat dapat melakukan tindakan pencegahan
berkembangnya gerakan-gerakan ekstrimis dimulai dari lingkungannya sendiri. Meskipun pada
dasarnya, Indonesia adalah negara Islam moderat dan radikalisme sulit berkembang di negeri ini,
namun bukan berarti Indonesia tidak luput sebagai target bagi mereka, terutama generasi muda.
Apapun itu, media massa memiliki tanggung jawab moral dan sosial terhadap publik, meskipun
disisi lain pemberitaan itu memang menguntungkan gerakan-gerakan tersebut sebagai bentuk dari
propaganda cuma-cuma, namun ia juga memunculkan gerakan massa dari masyarakat sendiri
untuk aktif berperan serta menjaga lingkungannya dari hal-hal yang dapat mengganggu keamanan
dan ketertiban umum tanpa hanya bergantung pada pemerintah [13].

5
Ciri-ciri konten radikal dideskripsikan sebagai berikut [12].
TABLE II. Ciri-Ciri Umum konten radikal
No Ciri-ciri
1 Mempunyai prinsip penafsiran ajaran kelompok yang
berbeda atau berlawanan dengan tradisi yang sedang berlaku
atau gerakan kelompok yang sudah muncul
2 Menggunakan kekerasan yang dianggap benar dalam ajaran
kelompoknya, kekerasan ini termasuk tindakan melawan
pemerintah atau aparatur dan memperbolehkan membunuh
seseorang yang dianggap menyimpang
3 Menyalahkan orang maupun kelompok lain yang berbeda
paham dengan paham yang diyakini dalam kelompok, serta
mencurigai kelompok lain bahwa kelompok tersebut
mempunyai niatan buruk terhadap kelompoknya
4 Memprovokasi dengan kata-kata yang bertujuan mengajak
orang ain bergabung untuk melakukan propaganda dalam
melakukan perlawanan kepada kelompok lain secara bersama-
sama

Konten radikal juga sering kali di sebar luaskan melalui media sosial tanpa mengetahui kebenaran
dari konten tersebut. Sering kali masyarkat terlalu cepat menanggapi konten yang di bagikan
adalah yang paling benar tanpa menganalisa nya terlebih dahulu kebenaran dari konten tersebut.

FIG. 1. Konten radikal yang tersebar luas di masyarakat


Berdasarkan penelitan yang sudah dilakukan menggunakan populasi pengguna media
sosial baik Facebook maupun Instagram sebanyak 20.000 responden dengan karakteristik: laki-
laki atau perempuan, menyukai atau tertarik dengan paham radikal atau konten radikal, dan
minimal berlangganan 2 tahun atau lebih. Jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus
slovin dan didapatkan sebanyak 393 responden, maka dapat simpulkan [14].

6
TABLE III. Subjek Penelitian
Jenis Kelamin Riwayat Pendidikan Status Pekerjaan Media Yang Diikuti
Jumlah Subjek Rentang Usia
Laki-Laki Perempuan Sma Sarjana Swasta PNS FB IG
393 200 193 20-40 Tahun 255 138 345 48 173 220

Metode analisis data yang digunakan untuk mengetahui pengaruh antar variabel adalah dengan
menggunakan analisis regresi linier sederhana. Sebelum teknik analisis regresi linier sederhana
dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik meliputi: uji normalitas, uji
heteroskesdatisitas, dan uji linier dengan menggunakan SPSS.
TABLE IV. Kategori Berdasarkan Jumlah Subjek
Variabel Skor Kategori Subjek Persentasi
Tinggi 71 18,08%
Sedang 264 67,17%
Konten Radikal Rendah 58 14,75%
Jumlah 393 100%

Bahwa mayoritas responden masuk dalam kategori sedang dalam penelitian ini. Artinya
sebagian besar subjek pada tingkatan kategori sedang ini intensitas dalam membaca konten radikal
masih tergolong sedang. Banyaknya responden dalam kategorisasi sedang ini artinya mayoritas
orang atau responden mengikuti atau membaca konten radikal yang ada di media sosial seperti
facebook dan instagram, namun tidak hanya membaca saja subjek dalam kategori ini juga ikut
serta dalam menyebarkan konten-konten radikal yang mereka lihat dimedia sosial. Hal ini bisa saja
disebabkan oleh beberapa faktor yang membuat banyaknya orang suka membaca konten radikal
dimedia sosial misalnya mudahnya mereka mendapatkan akses ke akun-akun yang menggungah
konten tersebut, selain itu intensitas mengunggah berita atau konten radikal pada media sosial juga
bisa dibilang cukup sering hal ini bisa dilihat dari beberapa akun media yang setiap harinya pasti
mengunggah berita baru atau beberapa jam sekali.
Meskipun responden dalam kategori sedang ini bisa digolongkan hanya sebagai pembaca aktif
tapi tidak menutup kemungkinan dengan banyaknya orang dalam kategori ini yang membaca akan
membuat mereka juga turut serta menyebarluaskan konten-konten radikal yang mereka baca atau
dapat dimedia sosial kedalam lingkungan sekitar atau mengunggah ke akun pribadi media sosial
mereka. Sedangkan pada responden konten radikal dengan tingkat kategori tinggi yang artinya
seseorang dalam kategori ini membaca konten radikal bisa dibilang sering, responden dalam
kategori ini adalah mereka yang membaca dan sering. mengunggah berita-berita yang masuk
kedalam ciri konten radikal mengingat responden dalam kategori ini adalah mereka yang aktif
bergerak di akun-akun media sosial.
Secara umum dilihat dari banyaknya subjek yang mengikuti atau membaca konten radikal akan
sangat bahaya jika dilakukan dalam jangka waktu yang lama mengingat apa yang mereka ikuti ini
berkaitan dengan paham atau pemikiran radikal hal itu juga akan memicu bertambahnya jumlah
pembaca karena subjek ini akan ikut serta menyebarluaskan konten-konten radikal di media sosial

7
pribadi milik mereka sehingga tidak menutup kemungkinan orang atau teman sebagai pembaca
baru akan mengikuti pola yang sama seperti yang terjadi pada mereka yang semula hanya menjadi
pembaca kemudian lama-kelamaan akan ikut serta menyebar luaskan.
TABLE V. Kategori Subjek Berdasarkan Ciri-Ciri konten radikal

Variabel Ciri-Ciri Mean Persentase Kategorisasi


Mempunyai prinsip penafsiran ajaran kelompok yang berbeda atau berlawanan dengan tradisi yang sedang berlaku 11,12 24,74% Renda
Menggunakan kekerasan yang dianggap benar oleh kelompoknya 11,4 25,37% Tinggi
Konten Radikal
Menyalahkan orang maupun kelompok lain yang berbeda paham dengan paham yang diyakini dalam kelompok 11,2 24,92% Sedang
Memprovokasi dengan kaata-kata yang bertujuan mengajak orang lain bergabung 11,21 24,94% Sedang

D. Penyebab dan Indikasi Radikalisme


Secara umum ada tiga kecenderungan yang menjadi indikasi radikalisme. Pertama, radikalisme
merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung, biasanya respons tersebut muncul
dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat
berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan kondisi yang ditolak.
Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti
tatanan tersebut dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukan bahwa di dalam radikalisme
terkandung suatu program atau pandangan dunia tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk
menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang ada. Dengan demikian, sesuai dengan
arti kata “radic”, sikap radikal mengandaikan keinginan untuk mengubah keadaan secara
mendasar.
Ketiga adalah kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau ideologi yang
mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan panafian kebenaran sistem lain
yang akan diganti dalam gerakan sosial, keyakinan tentang kebenaran program atau filosofi sering
dikombinasikan dengan cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan nilai-nilai ideal seperti
kerakyatan atau kemanusiaan. Akan tetapi kuatnya keyakinan tersebut dapat mengakibatkan
munculnya sikap emosional di kalangan kaum radikalis [19].

8
IV. Diskusi dan Penyelesaian
Bila tindakan radikalisme, kekerasan atas nama agama yang mewujud dalam aksi terorisme,
bom bunuh diri untuk mendirikan negara dan khilafah Islam (ISIS/NIIS) terus dibiarkan di bumi
pertiwi, maka akan mengancam keutuhan NKRI. Mengingat tindakan melukai hati nurani dan
kemanusiaan dilakukan oleh generasi muda sebagai penerus bangsa yang memakai media sosial
untuk menyebarluaskan paham radikalisme ini. Biasanya para penganut radikal ini memiliki watak
hitam-putih, non-kompromi, dan cenderung menolak kebenaran dari pihak lain.
Selanjutnya antisipasai radikalisme dapat dilakukan melalui berbagai jalur yang dapat
dicermati berikut ini.
 Peran Pemerintah
Kebijakan pemerintah dalam menanggulangi ekstremisme keagamaan (religious
extremism) dipandang relatif. Secara umum, kebijakan pemerintah tentang pengurangan
kekerasan sudah nampak jelas karena kita punya UU anti terorisme. Namun untuk ekstremisme
keagamaan belum bisa dikatakan jelas karena jika ekstremisme belum mewujud menjadi tindakan
statusnya tidak bisa diapa-apakan oleh hukum kita. Sebetulnya ada mekanisme yang bisa
digunakan untuk menanggulangi masalah ekstremisme keagamaan lewat hate speech (kebencian)
tapi hukum kita belum mengatur masalah itu secara khusus. Meskipun belum berupa tindakan,
namun ujaran kebencian ini yang sering kita jumpai dimana-mana. Kita lumrah menemukan di
banyak pengajian, tabligh akbar, media sosial dan bahkan di tv yang memuatkan ujaran kebencian
atas pihak lain.
Kebijakan negara sudah cukup memadai dengan adanya UU No. 15/2003 yang menetapkan
Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Namun kemampuan institusi negara untuk melaksanakan kebijakan tersebut pada tataran praktik
masih perlu penyempurnaan. Kekurangan yang paling jelas misalnya adalah adanya kesenjangan
antara teori (kebijakan) dan praktik (implementasi) di samping juga persoalan-persoalan seperti
kurangnya sumber daya manusia dan budaya etos kerja yang lemah di kalangan penegak hukum.
Salah satu cetak biru dari pemerintah dalam hal penanggulangan kekerasan berbasis agama adalah
proyek deradikalisasi. Deradikalisasi adalah kebijakan penting yang diambil oleh pemerintah
untuk mengurangi atau mengembalikan radikalisme keagamaan kepada situasi yang normal, tidak
radikal [22].
 Institusi Keagamaan dan Pendidikan
Sesuai dengan wataknya, institusi keagamaan dan pendidikan tidak bisa dituntut di luar
proporsi mereka. Jika mereka berperan dalam menanggulangi dampak ekstremisme keagamaan
maka sifatnya itu adalah sukarela dalam mendukung kebijakan pemerintah dalam menanggulangi
dampak ekstrimisme keagamaan. Institusi keagamaan seperti pesantren dan sekolah-sekolah
agama bisa berperan dalam menanggulangi dampak ekstremisme keagamaan melalui pemberian
materi pembelajaran agama yang mengutamakan gagasan-gagasan keagamaan yang toleran.

9
Perlu penanganan khusus yang harus dilakukan kepada ex-radikalism agar mereka tidak
melakukan tindakan mereka kembali namun pemerintah sampai sejauh ini tidak memiliki kerangka
yang jelas tentang rehabilitasi dan reintegrasi meskipun kedua ide ini hal yang penting dalam
rangka penanggulangan dampak terorisme. Selama ini yang ada adalah pendampingan BAPAS
terhadap para teroris yang sudah dinyatakan bebas bersyarat. Dalam bebas bersyarat ini mereka
boleh kembali kepada masyarakat, namun mereka harus lapor secara periodik ke BAPAS
setempat. Namun ternyata proses rehabilitasi dan reintegrasi tidak semudah yang dibayangkan.
Sering kali mereka mengalami kesulitan dalam rehabilitasi, proses kembali ke masyarakat. Mereka
menghadapi stigmatisasi dari lingkungan sekitar.
Dari Paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa radikalisme muncul di Indonesia
disebabkan seiring perubahan tatanan sosial dan politik. terlebih setelah kehadiran orang-orang
Arab muda ke Indonesia yang membawa ideologi baru ke tanah air, turut mengubah konstelasi
umat Islam di Indonesia. Kehadiran teknologi, internet, media sosial sangat memberikan andil besar
dalam menyebarluaskan paham radikal, menjadi media progapanda untuk melakukan tindakan
intoleran, sebagai ajang rekrutmen, pelatihan, pendidikan, pembinaan jejaring anggota guna
menebar aksi teror dan bom bunuh diri di bumi Nusantara ini. Tindakan tersebut hanya lah menjadi
boomerang bagi negara dimana negara lain sudah mengalami kemajuan dalam berbagai bidang
tetapi negara ini hanya membahas radikalisme yang tidak ada habisnya [18].

[1] Azra and Azyumardi, Bali and Southeast Asian Islam: Debunking the Myths. (Nanyang
Technological University, Singapore, 2003).
[2] Abuza and Zachary, Political Islam and Violence in Indonesia. (Routledge, London and New
York, 2007)
[3] Asghar and Ali, Men-Teroriskan Tuhan Gerakan Sosial Baru. (Pensil, Jakarta, 2014).
[4] M. Piliang and Yasraf, Bayang-Bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi. (Mizan, Bandung, 2011)
[5] Azra and Azyumardi, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan. Fakta dan Tantangan, 1st ed.
(Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999).
[6] Z. Qodir, Radikalisme Agama di Indonesia. (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014).
[7] A. Qurtuby and Sumanto, Era Baru Fiqih Indonesia. (Cermin, Yogyakarta, 1999).
[8] R. George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. (Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003).
[9] R.A Baron and D. Byrne, Psikologi Sosial. (Erlangga, Jakarta, 2012).
[10] M. Afif, Agama dan Konflik Sosial. (Marja, Bandung, 2013)
[11] M. Hikam, Demokrasi dan Civil Society. (Lp3es, Jakarta, 1999)

10
[12] A. Jainuri, Radikalisme dan Terorisme, Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi. (Intrans Publishing,
Malang, 2016).
[13] Winarni and Leni, Media massa dan isu radikalisme islam, J. Kom Massa. 7, 2 (2014).
[14] M. Nuril and setyianingsih, Pengaruh konten radikal terhadap sikap radikalisme,
Personifikasi. 11, 2 (2020).
[15] A. Abdullah, Gerakan Radikalisme Dalam Islam: Perspektif Historis, J. Addin. 10, 1 (2016).
[16] LSI: Ini 5 Kasus Kekerasan Paling Mengerikan di Indonesia”, dalam
https://www.liputan6.com/news/read/473537/lsi-ini-5-kasus-kekerasan-paling-mengerikan-di-
indonesia, diakses pada 30 April 2020.
[17] Data Pelaku Radikalisme dalam https://www.bnpt.go.id.
[18] M. Mualif, Gerakan faham radikal eksklusif dan ekstrim di Indonesia, Prosiding Seminar
Nasional. (2019).
[19] Damayanti and N. Prima, Radikalisme agama sebagai salah satu bentuk perilaku
menyimpang: studi kasus front pembela islam, Indonesian J. Crim. 3, 1 (2003).
[20] R. Widyaningsih, Deteksi dini radikalisme, Monograph. (2019).

[21] Mobit and R.S Aceng, Fenomena penggunaan terminologi radikalisme di indonesia: persepsi
mahasiswa, Prosiding Seminar Nasional. (2018).
[22] Working Group on Security Sector Reform, Kajian kritis paket perundangan di bidang
Pertahanan Keamanan, Monograph. (2006).

11
Bukti Hadir

Foto Kehadiran saya pak.

12

Anda mungkin juga menyukai