Anda di halaman 1dari 13

MENANGKAL RADIKALISME DALAM DUNIA

PENDIDIKAN
Maisun Nurotul Jannah1, Gunawan2, Asyrofatun Nisa3, Dianatu Zuhroh4
1234
UIN Sultan Mulana Hasanuddin Banten
Maisunnurr11@gmail.com Diatuzuhroh03@gmail.com

Abstrak:

Dunia pendidikan saat ini sering diwarnai oleh tindak kekerasan, tawuran
antar sekolah, perkelahian siswa, bahkan pembunuhan siswa. Ironisnya, masalah ini
terjadi di institusi pendidikan formal, yang menjadi tempat budaya dan karakter
peserta didik dibentuk. Padahal Tujuan dari pendidikan adalah memanusiakan
manusia dengan cara yang manusiawi sehingga terwujud tatanan saling menghormati
dan menghargai. Idealisme tersebut belum sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Maka
dari itu beberapa cara untuk Untuk mencegah radikalisme dalam pendidikan, sekolah
harus memperkuat jaringan kerjasama masyarakat dan orang tua. Ketentuan yang
terapan dalam Undang-Undang Guru dan Dosen, terutama yang berkaitan dengan
perlindungan guru dalam menjalankan tugas profesinya, adalah salah satu metode
untuk mengurangi penyebaran radikalisme dalam Pendidikan

Kata Kunci : Radikalisme, Pendidikan

LATAR BELAKANG

Akhir-akhir ini, radikalisme muncul, termasuk kekerasan, tawuran sekolah,


tawuran antar siswa, dan bahkan pembunuhan antar siswa karena hal-hal kecil.
Masalah-masalah di atas memengaruhi opini publik melalui media cetak dan
elektronik.

Problem kekerasan yang terjadi antara siswa tingkat dasar dan siswa tingkat atas
di perguruan tinggi, bahkan di sekolah dasar, menyebabkan kematian. Radikalisme
dalam pendidikan baru-baru ini dikaitkan dengan kasus tawuran antar siswa di
sekolah menengah, penganiayaan, perusakan, dan pembunuhan antar siswa. Sangat
menyedihkan bahwa hal-hal seperti itu terjadi di dunia pendidikan. Dunia pendidikan
di Indonesia mungkin menjadi salah satu tempat di mana budaya menghukum dan
kekerasan sering didengar, dibaca, atau bahkan ditonton di media, termasuk situasi di
mana siswa ditampar, dipukul, atau mengalami kekerasan lainnya. Ini adalah salah
satu contoh bagaimana para pendidik memperlakukan siswa mereka dengan buruk.

Tidak hanya tindakan yang menghukum dan memberikan kejutan kekerasan


yang menentukan kepatuhan dan ketaatan pada aturan, tetapi juga tindakan yang dapat
dilakukan dengan cara yang berbudaya dan santun. Meskipun pendidik tidak selalu
melakukan tindakan kekerasan atau menetapkan budaya menghukum terhadap
siswanya, hal ini tampaknya merugikan kemajuan dan kemajuan dunia pendidikan di
Indonesia.

Namun, hal-hal seperti itu seharusnya tidak ada di dunia pendidikan. Kemudian
muncul pertanyaan: siapa yang bertanggung jawab? Apakah dia bekerja sebagai guru?
Siswa? Kurikulum? atau bahan pelajaran? Setiap orang memiliki peran yang
signifikan dalam mengantisipasi hal itu.

Pada dasarnya, tempat pendidikan adalah tempat di mana manusia


dimanusiakan. Artinya, pola pikir dan pola pikir seseorang yang terdahulu buruk atau
bahkan buruk terus diubah menjadi lebih baik, lebih baik, dan luar biasa melalui
upaya nyata, sadar, dan sistematis. Dalam rangka humanisasi, Konsep pendidikan
dasar inilah yang seharusnya menjadi acuan dan pedoman utama bagi guru. Kekerasan
demi kekerasan akan menghentikan kreativitas dan semangat belajar siswa. Institusi
pendidikan dimaksudkan untuk mengubah budaya yang dipenuhi dengan kekerasan
dan hukuman menjadi budaya yang membantu siswa mengembangkan potensi
mereka. Ini bertentangan dengan prinsip dan gagasan dasar pendidikan.

KAJIAN TEORITIS.

A. Pengertian Radikalisme.
"Radikalisme" berasal dari kata Latin "radix", yang berarti "akar", "dasar",
atau "menyeluruh", "luas", atau "luas". Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), "radikalisme" dapat didefinisikan sebagai "sikap ekstrem dalam
pergerakan politik"; aliran atau paham politik radikal; atau mazhab atau paham
yang mengejar perubahan atau reformasi sosial dan politik melalui
kekerasanSecara terminologis, radikalisme didefinisikan dalam penelitian ilmu
sosial sebagai cara pandang yang ingin menimbulkan perubahan mendasar sesuai
dengan interpretasinya terhadap realitas sosial atau ideologi yang dianutnya.
Di sisi lain, Harun Nasution mengatakan bahwa radikalisme adalah
gerakan dengan sikap lama dan sering menggunakan kekerasan untuk
menyebarkan keyakinannya. Pada saat yang sama, slam adalah agama yang
menganjurkan perdamaian dan mendukung perdamaian. Islam tidak pernah
melarang penggunaan kekuatan untuk menyebarkan agama, kepercayaan politik,
atau pemahaman politik.
Hafid (2020) berpendapat bahwa gerakan radikalisme didefinisikan
sebagai sikap atau semangat yang mendorong tindakan yang bertujuan untuk
melemahkan dan mengubah sistem yang sudah ada dengan menambahkan ide
atau pemahaman baru. Tindak kekerasan kadang-kadang disertai dengan gerakan
perubahan. Menurut Kartodirdjo (1985), radikalisme adalah gerakan keagamaan
yang bertujuan untuk mengubah sistem sosial dan politik yang ada secara
menyeluruh dengan menggunakan kekerasan. Ariwidodo (2017) menjelaskan
radikalisme sebagai gagasan yang dianut oleh sekelompok orang yang berusaha
mengubah atau mereformasi sistem sosial dan politik secara drastis dengan
menggunakan kekerasan.
Sebagaimana dinyatakan oleh Wahid Foundation (2016). Salah satu
definisi dari radikalisme adalah sikap atau tindakan yang diambil atas nama suatu
agama yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar negara. Kelompok yang
berbeda sering berdebat tentang radikalisme. Radikalisme dalam konteks
keagamaan didefinisikan sebagai gerakan keagamaan yang berusaha
memperbaiki sistem menggunakan kekerasan dalam konteks sosial dan politik
saat ini. Dalam kajian "radikalisme" dalam ilmu sosial " didefinisikan sebagai
perspektif yang ingin mengubah fundamental berdasarkan apa yang dia ketahui
tentang ideologi atau realitas sosial. Oleh karena itu, radikalisme adalah
fenomena umumnya dapat terjadi di masyarakat dengan berbagai alasan Bidang-
bidang yang terdampak meliputi aspek sosial, politik, budaya, dan agama, serta
dicirikan oleh tindakan yang drastis, ekstrim, dan anarkis sebagai upaya untuk

menentang fenomena tersebut.


Akhirnya, radikalisme agama masuk ke bidang pendidikan, di mana
beberapa bagian sering menerapkan radikalisme yang menimbulkan ketakutan
atau teror pada bagian pendidikan saat mereka menjalankan tanggung jawab
mereka sebagai guru dan tenaga pendidik. Kepala sekolah dan guru tidak
melakukan yang terbaik dalam menjalankan perannya sebagai guru karena takut
ditekan atau diancam oleh atasannya. Karena ada gangguan bahaya dari pihak
lain di luar pendidikan, Pelaksanaan pendidikan dan kepemimpinan tidak berjalan
sebagaimana yang diharapkan.

B. Karakteristik dan Faktor Penyebab Radikalisme

Perilaku intoleran dan eksklusif biasanya ditunjukkan oleh individu yang


memahami radikalisme. Selain itu, sangat mudah bagi mereka untuk tidak
mempercayai orang lain karena mereka sering percaya bahwa mereka dan kelompok
mereka adalah satu-satunya yang benar. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT) mengatakan akan semakin sulit bagi mereka untuk beribadah jika mereka
tidak bersama kelompoknya.
Analis Kebijakan Divisi Humas Polri Sulistyo Pudjo Hartono membuat
pernyataan yang menarik. Disebutkan bahwa individu yang terpapar paham radikal
dapat menunjukkan empat tanda: intoleransi, fanatisme, eksklusivitas, dan revolusi.
Dalam ulasannya yang dirujuk oleh Budijanto dan Rahmanto (2021), Nur Azizah
menyatakan bahwa pemahaman yang salah tentang empat penanda berikut dapat
berdampak pada masyarakat dan iklim secara keseluruhan:

1. Intoleransi: Pemahaman radikal dapat menyebabkan intoleransi terhadap individu


atau kelompok lain yang memiliki pandangan politik, agama, atau keyakinan yang
berbeda. Ini dapat menyebabkan konflik antar kelompok dan memperburuk
keadaan sosial di masyarakat.
2. Fanatisme: Pemahaman radikal sering dikaitkan dengan fanatisme yang kuat
terhadap doktrin atau perspektif tertentu. Jika seseorang atau kelompok terlalu
fanatik, mereka dapat menjadi buta terhadap perspektif dan keyakinan yang
berbeda. Akibatnya, sulit untuk menerima perbedaan dan meresponsnya dengan
cara yang konstruktif.
3. Eksklusivitas: Pemahaman radikal sering membawa pandangan yang eksklusif
dan tidak toleran terhadap orang atau kelompok yang berbeda pandangan atau
keyakinan. Hal ini dapat menyebabkan diskriminasi dan marginalisasi kelompok
tertentu, serta memperburuk keadaan sosial di masyarakat.
4. Salah satu definisi dari "revolusi pemahaman radikal" adalah keyakinan atau
perspektif yang percaya bahwa tindakan kekerasan atau metode ekstrim lainnya
adalah cara terbaik untuk mengubah masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan
konflik yang merugikan semua pihak dan mengancam stabilitas dan keamanan
masyarakat

Salah satu ciri kelompok radikal adalah sebagai berikut:


5. Sering mengatakan kebenaran tunggal dan menipu orang yang tidak setuju. Klaim
kebenaran selalu datang dari mereka yang seolah-olah adalah Nabi yang tidak
pernah melakukan kesalahan besar, meskipun sebenarnya mereka hanyalah
manusia biasa.
6. Radikalisme memperumit agama yang sebenarnya samhah (ringan) dengan
menjadikan ibadah sunnah seolah-olah wajib dan ibadah makruh seolah-olah
haram. Radikalisme juga dicirikan oleh perilaku agama mereka yang lebih
memprioritaskan masalah sekunder daripada masalah primer.

7. Sebagian besar kelompok radikal menggunakan agama yang salah. Mereka


meninggalkan pendekatan gradual yang digunakan Nabi saat berdakwah,
membuat orang-orang yang belum mengenal agama takut dan keberatan.

Kajian Unesco (2016) menemukan bahwa ada banyak hal yang mendorong
radikalisme.

1. Faktor pendorong: mendorong orang ekstrimisme kekerasan seperti


diskriminasi, ketidaksetaraan, marginalisasi, pelanggaran, atau jenis
penganiayaan lainnya; keterbatasan dalam akses dan kualitas Pendidikan yang
sesuai; penolakan hak dan kebebasan sipil; dan isu lingkungan, sejarah, dan
ekonomi lainnya.

2. Faktor penarik: Ekstremisme yang melibatkan kekerasan dapat terjadi karena


ada kelompok ekstrimis yang teratur dan memiliki program dan layanan yang
menyediakan fasilitas, uang, dan/atau pekerjaan kepada anggota mereka.
Dengan menyediakan ruang Untuk aduan dan komitmen eksplorasi dan

kebebasan, kumpulan ini. dapat menarik anggota baru. Tampaknya kelompok-


kelompok ini juga menyediakan kenyamanan spiritual, "tempat untuk dimiliki",
Dikatakan bahwa kelompok radikal yang keras dapat muncul karena adanya
dukungan dari media sosial dan jaringan yang mendukung. Selain itu, faktor-
faktor situasional seperti negara yang tidak stabil, penegakan hukum yang
lemah, korupsi, dan kriminalitas juga dapat menciptakan lingkungan yang
menguntungkan bagi kelompok ekstremis tersebut.
METODE PENELITIAN

Penulisan ini menggunakan studi kepusatakaan. Penelitian ini mengacu kepada isi
kajian atau karya tulis. Sehingga data dari karya tulis baik itu buku, jurnal dan artikel
ilmiah yang memiliki keterkaitan dengan masalah dan tujuan artikel akan di telaah lalu di
analisis untuk menemukan jawaban dari penulisan artikel. Studi kepustakaan merupakan
suatu kegiatan yang berhubungan dengan pengumpulan berbagai informasi, melalui
membaca dan menulis data Pustaka, serta mengolah bahan penelitian. Tujuan dari teknik
ini adalah untuk menemukan berbagai teori yang sesuai dengan masalah yang dihadapi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pendidikan
Pendidikan memiliki maksud dan peran yang sangat mulia untuk memanusiakan
individu, yaitu mengajarkan manusia untuk berperilaku sebagai manusia dan
memahami nilai-nilai dan hakikat sebagai manusia. Hal ini krusial karena apabila
manusia tidak memiliki pemahaman akan nilai-nilai kemanusiaan, maka mereka akan

kembali ke naluri hewan atau fauna.


Sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia adalah proses pendidikan.
Menurut Nanang Martono, Pendidikan merupakan subjek yang amat menarik bagi
manusia sebab hal tersebut merupakan. institusi penting yang memberikan
Pengalokasian dana jangka panjang memiliki nilai penting bagi seluruh negara di dunia.
Di samping itu, pendidikan dapat dijadikan indikator kemajuan peradaban sebuah
negara. Pendidikan, Sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah tindakan sadar dan
terencana untuk menciptakan lingkungan dan proses pembelajaran di mana peserta
didik secara aktif mengembangkan bakat dan kemampuan mereka untuk memperoleh
kekuatan rohani, kendali diri, kepribadian, kecerdasan, moralitas yang baik, dan
keterampilan yang dibutuhkan.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah meningkatkan keterampilan dan
membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam pendidikan
kehidupan masyarakat. Tujuan dari pendidikan ini adalah agar peserta didik menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang baik.
Dalam buku yang berjudul Pendidikan yang tidak memiliki kenyataan,
Langeveled menggambarkan pendidikan sebagai proses bimbingan yang dilakukan oleh
orang dewasa untuk membantu orang lain menjadi dewasa. Tiga ciri umum yang
membedakan pendidikan adalah sebagai berikut: (a) stabilitas, yaitu sikap dan
kepribadian yang konsisten dalam semua situasi dan kondisi, baik normal, senang
maupun susah; (b) tanggung jawab, yaitu orang yang mampu berargumentasi kuat; (c)
mandiri, yaitu kemampuan untuk membuat keputusan berdasarkan kemampuan pribadi
daripada alasan dipaksa oleh orang lain.
2. Bentuk – Bentuk Radikalisme Dalam Pendidikan Dan Cara Penangkalan
Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan
Dalam dunia pendidikan, ada fenomena kekerasan yang menyebabkan tujuan
pendidikan tidak tercapai. Dalam pendidikan, radikalisme dapat berasal dari berbagai
aspek. Secara umum, fenomena radikalisme dalam pendidikan berasal dari guru ke
siswa, dari siswa ke guru, dan juga dari orang tua dan masyarakat ke komponen
pendidikan yang sudah ada.
Radikalisme memiliki sejarah yang baik, tetapi dapat dikatakan bahwa itu adalah
ideologi atau cara berpikir yang mendorong kejahatan atau terorisme. Dalam dunia
pendidikan, kejadian kekerasan menyebabkan tujuan pendidikan tidak tercapai.
Radikalisme dapat berasal dari berbagai bidang pendidikan. Secara umum, ekstremisme
di bidang pendidikan berasal dari tindakan guru terhadap siswanya, siswa terhadap
gurunya, dan orang tua atau masyarakat terhadap sektor pendidikan.
Menurut M. Saekan Muchith (2007) di buku Pembelajaran Kontekstual, ada
banyak contoh kekerasan atau kejadian yang dapat dianggap sebagai bentuk
radikalisme. Misalnya, seorang siswa di sebuah sekolah menengah di Magelang
ditempeleng oleh gurunya hanya karena mereka menyela percakapan guru yang
mengumumkan acara sulap. Ada seorang guru olahraga di Tanjung Pinang yang
menendang siswanya selama pelajaran dengan tujuan mengajar. Di Takalar, kabupaten
di Sulawesi Selatan, orang-orang yang mengajar berhenti mengajar karena memukul
siswanya. Salah satu dari pengajar agama di institusi tersebut dijatuhi hukuman penjara
enam bulan. Mogok mengajar adalah protes untuk membebaskan guru agama yang
ditahan. Pendidikan radikasi tidak selalu berarti kekerasan; itu juga dapat berupa ucapan

dan tindakan yang berpotensi memicu tindakan kekerasan yang tidak pantas . standar
pendidikan. Sikap-sikap seperti itu dapat menyebabkan situasi sekolah dan lingkungan
yang tidak menyenangkan bagi siswa.

Sejumlah institusi publik, baik di tingkat universitas maupun sekolah dasar, telah
berpartisipasi dalam gerakan radikal ini. Setelah munculnya gerakan radikalisme, muncul
gejala yang menunjukkan bahwa sektor sekolah secara keseluruhan menjadi tempat
monopoli, ketidaktoleranan, dan anti-kebhinekaan, terutama bagi siswa sekolah
menengah atas. Selain itu, dianggap sebagai katalisator untuk munculnya gerakan
ekstremisme dan radikalisme, yang cenderung tidak toleran terhadap perbedaan,
menentang demokrasi, dan menentang hak asasi manusia.

Radikalisme pendidikan tidak selalu berarti kekerasan. muncul dari capan dan
perilaku yang dapat memprovokasi tindakan agresif yang bertentangan dengan standar
pendidikan. Teori-teori yang mungkin menyebabkan kekerasan itu berkontribusi pada
keadaan dan lingkungan pendidikan yang tidak menyenangkan bagi siswa. Sekolah
sekarang menjadi institusi yang menakutkan, khawatir, dan menggelikan, bahkan
menyiksa psikologis dan emosional siswa, dan tidak lagi memiliki tujuan membimbing,
mengarahkan, dan mendidik siswa. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Pendidikan
dulunya merupakan bagian dari proses penyadaran, tetapi sekarang merupakan proses
pemaksaan untuk mengetahui, memahami, dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
3. Membendung Radikalisme Dalam Pendidikan
Pembinaan atau bimbingan perspektif atau cara berpikir tentang suatu fenomena
adalah langkah pertama menuju eliminasi atau penghapusan radikalisme. Dalam buku
Tantangan Multikulturalisme Indonesia, Nur Syam (2009) membahas dengan menarik
bahwa belajar dari empat hal filosofi Ahlussumah wal Jamaah (NU), diperlukan untuk
menciptakan perspektif yang tepat.
1. 1. Tawasuth (sederhana). Doktrin ini menyatakan bahwa meskipun manusia
memiliki kebebasan untuk melakukan apa yang mereka mau, kehendak Tuhan
Yang Maha Kuasa akan mengontrol mereka. Ini berarti bahwa dapam berhasil,
dan orang harus berusaha sebaik mungkin. Namun, Ingatlah bahwa Allah juga
menentukan kesuksesan. Orang harus berdoa dan pasrah kepada Dia. setelah
melakukan upaya.
2. Tawazun, yang berarti keseimbangan. Menurut doktrin ini, manusia tidak
boleh terlalu ekstrim, apakah itu ke kiri atau ke kanan, dalam melihat realitas.
Dengan kata lain, Orang-orang yang tidak terlalu banyak ketika mereka enang
atau benci sesuatu. Berdasarkan sifatnya pada gagasan bahwa apa yang baik
menurut pandangan manusia belum tentu baik menurut Allah swt, dan apa
yang buruk menurut pandangan manusia juga belum tentu buruk menurut
Allah swt.
3. I’tidal adalah keadilan. Menurut doktrin ini, orang harus saling mempercayai
satu sama lain dan kepercayaan ini harus memberikan pers secara
proporsional. Jika semua elemen tidak tahu bagaimana melakukan tugasnya
dunia akan runtuh dengan cepat secara proporsional.
4. Tatharruf, yang berarti universalisme. Doktrin ini mendorong semua orang
untuk meningkatkan pemahaman islam yang universal. Dilihat dari standar
seperti keadilan, kemanusiaan, keamanan dan kesejahteraan , kebenaran Islam
dapat diidentifikasi.
Perkuat jaringan kerja sekolah yang bekerja sama dengan masyarakat dan
orang tua siswa adalah langkah berikutnya yang dapat diambil untuk
menghilangkan atau mencegah radikalisme dalam pendidikan. Kerjasama dalam
organisasi adalah kerjasama yang halus dan teratur antara pendidik dan sesama
pendidik dalam menangani, memahami, dan menyelesaikan masalah yang
dihadapi siswa. Sehingga tidak ada kesan berbeda-beda dalam menangani masalah
siswa, prosedur yang dilakukan oleh guru dan pimpinan harus sama. Jika ada
masalah, sekolah bekerja sama dengan masyarakat dan orang tua secara teratur.
Tidak peduli jenis masalah apa yang dihadapi, kerjasama harus dilakukan untuk
mengantisipasi atau mencegah masalah pendidikan muncul kembali.
4. Upaya Sekolah untuk Mencegah Radikalisme
Dikhawatirkan bahwa gerakan Islam radikal yang baru muncul dapat
menyebar di kalangan remaja, terutama siswa sekolah. Segera tindakan harus diambil
untuk mencegah pemahaman tersebut mencemari pikiran siswa di sekolah. Sekolah
dapat melakukan hal-hal berikut untuk memerangi radikalisme:
1. Memberikan penjelasan Islam Yang Cukup
Dengan memahami Islam secara menyeluruh, seseorang tidak akan
membuat keputusan yang salah dan tidak mudah terpengaruh oleh
kelompok tertentu yang membawa ketidakbenaran.
2. Mengedepankan dialog dalam Pembelajaran Agama Islam.
alah satu cara terbaik untuk mencegah radikalisme di sekolah adalah
dengan mengajarkan siswa berbicara tentang agama. Diskusi ini dapat
terjadi antara siswa dan guru mereka atau antara siswa dan guru mereka.
Ini akan membantu siswa belajar lebih banyak tentang agama dan
bagaimana Islam itu sendiri.
3. Monitor Aktivitas Dan Materi Keagamaan.
Kegiatan monitoring sekolah sangat bermanfaat dalam menyebarkan
ideologi radikal di dalamnya. Mereka yang ingin menyebarkan misi
tertentu akan sangat terbatas oleh pemantauan yang intensif dan
berkelanjutan. Untuk memantau setiap perkembangan atau peristiwa yang
terjadi, sekolah dan pengurus rohani Islam harus bekerja sama dengan
baik. Pengurus Rohis sekolah segera berkomunikasi dengan guru dan
sekolah untuk mengatasi masalah.
4. Perkenalan dan Implementasi Pendidikan Multikultural
Pada dasarnya, Pendidikan multikultural adalah konsep dan metode
pendidikan yang mengutamakan persamaan tanpa mempertimbangkan
perbedaan budaya, sosial-ekonomi, etnis, agama, gender, atau jenis
kelamin. atau latar belakang lainnya. Hak pendidikan sama untuk semua
orang. Pendidikan multikultural diharapkan untuk mencegah konflik
dengan orang lain dan mencegah sikap eksklusif. Seseorang yang benar-
benar multukulturalis adalah orang yang selalu menerima dan menghargai
orang lain tanpa kehilangan identitasnya.
5. Strategi Pencegahan Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan
Pertama, para pendidik harus mengubah diri mereka menjadi pengajar
yang sungguh-sungguh mengajar. semua pengajar mata pelajaran harus memiliki
pengetahuan yang baik tentang kebangsaan karena mereka adalah pengajar yang
tidak terlepas dari tujuan kebangsaan; untuk meningkatkan kehidupan bangsa.

pengajar berperan sebagai contoh teladan bagi murid-murid mereka . Bagaimana


siswa dapat menanamkan nilai-nilai nasional jika contoh mereka menunjukkan
sebaliknya.
Kedua, tidak peduli apa pun, guru harus menyegarkan keterampilan
mengajar mereka. Sebenarnya, pemerintah harus memenuhi tuntutan ini. praktik
pembelajaran yang menarik, inovatif, berpikir kritis, dan berpusat pada siswa.
Guru sekarang harus menangani masalah ini. Selain itu, guru Generasi Z
menggunakan bahasa yang berbeda dari guru Generasi X. Hentikan pembelajaran
yang memungkinkan guru untuk menunjukkan superioritas. Pendidikan bukanlah
doktrinasi. Sebaliknya, mendidik adalah proses membangun karakter melalui
argumentasi dan dialog, bukan monolog.
Ketiga, karena diketahui bahwa sekolah-sekolah di atas memiliki akar
radikalisme, sangat penting bagi kepala sekolah dan ketua yayasan untuk
memberikan pelatihan kepada pendidik yang mungkin sudah beralih menjadi tidak
toleran atau bahkan ekstremis. Kepala sekolah perlu mengevaluasi persepsi

"ideologis" yang dimiliki oleh para guru , terutama untuk para calon guru, dalam
sektor swasta, perekrutan guru baru memerlukan empat keterampilan inti, bersama
dengan kemampuan memahami dan mengapresiasi kebangsaan. Salah satunya
adalah memantau materi pembelajaran guru. Bisa ditempelkan ke siswa. Siswa
juga beranilah untuk melaporkan kepada wali kelas. atau kepala sekolah jika ada
pendidik yang menunjukkan sikap tidak toleran dalam kelas. Siswa tidak perlu
takut untuk menyuarakan atau memprotes tentu saja dengan cara yang baik. Guru,
wali kelas, dan siswa (orang tua) harus terus berkomunikasi satu sama lain. Dalam
mengatur kegiatan siswa, Kepala sekolah juga harus tegas dan ketat jika mereka
sudah mengetahui profil alumni atau pembicara luar, keterlibatan alumni dan
orang luar tidak masalah. Sekolah harus memiliki kontrol yang baik atas aktivitas
dan kreativitas siswa. agar radikalisme tidak menyebar melalui pihak luar.
Keempat, sangat penting untuk Pusat Kurikulum dan Perbukuan
Kemdikbud, Puskurbuk untuk menerapkan Untuk mencegah radikalisme di
sekolah, model pembelajaran bermuatan untuk mencegah radikalisme, intoleransi,
dan terorisme bagi semua guru mata pelajaran dan jenjang, termasuk pelatihan
berjenjang, berkelanjutan, dan berkualitas. adalah tanggung jawab semua guru,
bukan hanya guru PPKn dan Pendidikan Agama.

KESIMPULAN

Kelangsungan kualitas pendidikan dapat diancam oleh radikalisme


pendidikan. Radikalisme dapat muncul dari mana saja dan kapan saja. Oleh karena
itu, radikalisme harus disikapi secara menyeluruh dan menyeluruh, memasukkan
berbagai elemen dan bekerja sama dengan baik. Radikalisme mencakup sikap,
kepribadian, dan cara berpikir. Oleh karena itu, cara untuk mengatasi munculnya
radikalisme harus dimulai dengan memahami fenomena dalam kehidupan sosial.
Untuk mengatasi radikalisme, langkah pertama dan utama adalah berpikir dengan cara
yang tawazun, moderat, dan mengedepankan kebenaran universal.

Untuk melindungi guru, langkah-langkah strategis dan teknis harus segera


diambil oleh langkah-langkah teknis lainnya dari bidang pendidikan yang berwenang.
dari perlakuan yang tidak adil atau ancaman. Dengan adanya peraturan perlindungan,
guru dapam tidak akan sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya terhadap
siapapun, terutama kepada siswa. Untuk memastikan bahwa undang-undang yang
mengatur perlindungan guru benar-benar mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu
memerangi atau menghilangkan radikalisme dalam pendidikan, perlu ada kerja sama
yang intens, konsisten, dan menyeluruh dari berbagai pihak.

DAFTAR PUSTAKA

Muchith, M. Saekan, Ilmu Pendidikan Islam, Kudus: STAIN Kudus Press, 2007

Bahrudin, Ahmad, Pendidikan Alternatif Qaryah Thoyyibah, Yogyakarta: LKiS,


2007.
Prihantoro, Agung, Politik Pendidikan kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan,
REaD, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung:


Rosdakarya, 1995.

Suparno, Paul, Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget, Yogyakarta:


Kanisius,2001.

Syam, Nur, Tangangan Multikulturalisme Indonesia, Yoyakarta: kanisius, 2009.

Turmudzi, Endang dan Riza Sihbudi (ed)., Islam dan Radikalisme Di Indonesia,
Jakarta: LIPI Press, 2005.

Florianus Dus Arifian, Menalar Problem Pendidikan dan Bahasa, PT KANSIUS,


Yogyakarta 2019

Nuria Reny Hariyati, Hespi Septiani, Radikalisme Dalam Prespektif Analisis


Wacana kritis, Graniti Anggota IKAPI (18 /JTI/2017)

Dodi Ilham, Penguatan Nilai Anti Radikalisme Dan Anti Korupsi Dalam
Pembelajaran Di Satuan Pendidikan Dasar, Cipta Media Nusantara (CMN)
2023

Anda mungkin juga menyukai