Abstrak
A. Pendahuluan
Berubahnya sistem pasca runtuhnya Orde Baru 1998 membawa pengaruh yang
sangat besar bagi perkembangan berbagai elemen bangsa, termasuk di dalamnya
perkembangan Islam. Berbagai kelompok aliran Islam muncul mewarnai
perkembangan Islam pasca Orde Baru ini. Bentuk Islam di Indonesia menjadi
lebih lebih beragam, dari Islam liberal dan moderat dengan penafsiran terbuka
terhadap ajaran Islam sampai dengan Islam radikal atau fundamentalis yang
berfaham penafsiran tertutup. Beberapa kelompok Islam seperti Jaringan Islam
Liberal (JIL), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
(LAKPESDAM) NU, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) adalah
beberapa kelompok Islam yang dapat dikategorikan ke dalam kelompok Islam
yang beraliran terbuka.
Selain Islam liberal, Islam garis keras atau Islam radikal banyak menikmati
perubahan politik di Indonesia ini. Islam radikal ini telah berkembang menjadi
salah satu kelompok gerakan Islam baru yang mempunyai arti penting di
Indonesia. Berbagai kelompok Islam radikal ini muncul. Sebagian adalah gerakan
Islam yang bersekala internasional seperti gerakan salafi dan Hizbut Tahrir.
Sebagian lain adalah gerakan bersekala nasional seperti Front Pembela Islam,
Hizbut Tahrir Indonesia, Lasykar Mujahidin, Ikhwanul Muslimin Indonesia.
Selain itu muncul gerakan Islam radikal lokal sperti Front Pemuda Islam Surakarta
(FPIS) di Surakarta dan Front Thoriqoh Jihad (FTJ) di Kebumen.
Bagi kalangan akademik, perkembangan kelompok Islam radikal ini menarik
untuk diteliti. Berbagai karya ilmiah, mulai dari makalah atau paper sampai tesis
2
1
Lukman Ba’abduh, Mereka Adalah Teroris, Malang: Pustaka Aaulan Sadida, 2005, hlm. 20-25.
2
Quintan Wiktorowicz, The Management of Islamic Activism: Salafis, the Muslim Brotherhood,
a State Power in Jordan. Albany-New York: State University of New York Press, 2001; Noorhaidi
Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militancy and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia.
Utrecht: Faculteit der Letteren en Internatonal Institute for the Study of Islam in the Modern World.
2005, hlm. 143-146.
3
Untuk kasus di Indonesia, kajian mengenai kelompok salafi ini tidak dapat dilepaskan sama
sekali dari aktivitas politik. Kaum salafi pernah berperan penting dalam wilayah politik di Indonesia
dengan memberangkatkan relawan terbanyak ke Maluku melalui Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal
Jama’ah (FKAWJ). Maka, dalam kasus tertentu, kajian salafi tidak dapat dilepaskan dari kajian politik.
2
3
Jihad. Ini karena Laskar Jihad merupakan periode terpenting dari gerakan salafi di
Indonesia. Disertasi Noorhaidi mengenai Laskar Jihad merupakan karya yang
komprehensif mengenai Laskar Jihad yang didirikan oleh kelompok dakwah salafi
melalui lembaga Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jama‘ah (FKAWJ) untuk
mengajak umat Islam Indonesia berjihad ke Maluku.4 Karya ini banyak mengkaji
Laskar Jihad sebagai gerakan politik, dan membataskan objek penyelidikan ini
berakhir pada Laskar Jihad yang berlangsung lebih kurang selama dua tahun
(2000-2002). Sedangkan perkembangan gerakan dakwah salafi pasca Laskar Jihad
bukanlah bagian dari kajian dalam karya ini. Selain karya tersebut, terdapat pula
karya karya Michael Davis (2002),5 dan Sukidi Mulyadi (2003).6 Karya Davis dan
Sukidi membincang tentang peranan Laskar Jihad dalam arena politik praktis di
Indonesia dalam keterlibatannya di kancah konflik di Maluku.
Dalam kenyataannya, gerakan dakwah salafi di Indonesia tidak berhenti pada
Laskar Jihad. Dakwah salafi di Indonesia telah banyak mengalami perkembangan
yang penting pasca Laskar Jihad. Gerakan salafi telah kembali menjadi gerakan
yang apolitical dan berubah menjadi gerakan dakwah dengan organisasi yang
bersifat desentralistik. Selain itu, gerakan salafi pasca Laskar Jihad adalah gerakan
yang lebih kooperatif dengan Negara. Adalah hampir tidak dapat ditemukan
bahwa gerakan ini melakukan aksi penolakan terhadap kebijakan pemerintah
seperti yang dilakukan Laskar Jihad. Kelompok ini juga telah membangun
beragam fasilitas untuk mengembangkan ajaran salafi melalui gerakan dakwah
mulai dari mendirikan pesantren, madrasah, penerbitan bulletin, majalah dan buku,
serta mendirikan stasiun radio dakwah dan membuat situs internet. Perkembangan
inilah yang akan dibahas lebih mendalam dalam tulisan ini dengan data primer
yang berdasarkan hasil penelitian lapangan selama lebih kurang 7 bulan (dari
bulan Januari hingga bulan Juli 2005) di wilayah karesidenan Banyumas bagian
tenggara yang meliputi tiga kecamatan yaitu Sumpiuh, Kemranjen dan Kroya
Cilacap.
Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada beberapa alasan. Pertama,
dakwah salafi dapat berkembang dengan baik di wilayah Banyumas ini. Tidak
kurang dari 350 orang relawan dari daerah ini tergabung dalam Laskar Jihad,
sebuah angka yang tidak sedikit untuk tingkatan kecamatan.7 Kedua, pasca Laskar
Jihad, wilayah ini tetap menjadi tempat yang penting bagi dakwah salafiyah. Di
wilayah tersebut berdiri beberapa yayasan salafi dilengkapi dengan berbagai
4
Noorhaidi, Laskar Jihad.
5
Michael Davis, “Laskar Jihad and the Political Position of Conservative Islam in Indonesia,
Contemporary Southeast Asia 24 (2002), hlm. 12-32.
6
Sukidi Mulyadi, “Violence under the Banner of Religion: The Case of Laskar Jihad and Laskar
Kristus”, Studia Islamika 10 (2003), hlm. 76-109.
7
Perkiraan jumlah tersebut didasarkan pada hasil wawancara dengan beberapa bekas anggota
Laskar Jihad yang berasal dari daerah tersebut. Banyaknya orang yang ikut bergabung dengan Laskar
Jihad di daerah ini juga dikuatkan oleh kesaksian warga. Beberapa penduduk menyatakan bahawa pada
masa Laskar Jihad, terdapat beberapa pusat rekrutmen relawan di wilayah Sumpiuh dan Kroya yang
semuanya ramai didatangi orang-orang berjubah.
3
4
media seperti penerbit buku dan bulletin serta radio dakwah. Ketiga, wilayah
Banyumas ini masih luput dari perhatian serius para penyelidik mengenai gerakan
Islam kontemporer di Indonesia, termasuk gerakan Islam radikal. Dalam peta
pergerakan Islam di Indonesia, daerah ini masih merupakan daerah pinggiran
sehingga informasi mengenai gerakan Islam di wilayah ini masih pun sangat
sedikit.8
Dengan batasan kajian tersebut, tulisan ini berusaha untuk menganalisis secara
lebih mendalam mengenai perkembangan dakwah salafiyah di Banyumas.
Pembahasan meliputi asal mula dakwah salafiyah masuk ke wilayah Banyumas
menelusuri sejarah perkembangan Islam puritan sebagai ideologi yang dianut oleh
gerakan salafi di wilayah ini. Ini bermanfaat untuk mengetahui kontinuitas dakwah
Islam puritan kaum salafiyah dengan dakwah Islam puritan yang telah ada, serta
perubahan-perubahan baru yang dibawa oleh gerakan gerakan salafi. Untuk itu,
aktivitas dakwah salafi dilihat sebagai gerakan sosial yang berupa aktivitas
kolektif yang bertujuan merubah struktur sosial dan tatanan nilai yang ada pada
sebuah kelompok masyarakat.9 Selain itu, pembahasan mengenai gerakan sosial
mengkaji pula struktur sosial dan sistem nilai, termasuk didalamnya ideologi
dalam masyarakat, dan motivasi individu-individu yang terlibat gerakan.10 Tidak
hanya itu, analisis terhadap gerakan sosial juga mengkaji pula arus makro yang
meliputi organisasi pergerakan,11 strategi, taktik dan mobilisasi massa dalam
melakukan gerakan,12 sebagai pengaruh pemikiran para pemikir yang terlibat
dalam gerakan sosial.13
8
Di wilayah Banyumas pernah terjadi pemberontakan kelompok Islam sebelum merdeka. Pada
masa pemerintahan Belanda, telah berlaku pemberontakan tarekat Akmaliyah terhadap Belanda di
bawah pimpinan Kyai Nurhakim. Lihat Karel Steenrink, Beberapa Aspe Kajian Islam di Indonesia
abad ke 19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 186-196. Pada masa pendudukan tentara Jepang terjadi
pemberontakan yang bernuansa gerakan Islam yang dipimpin oleh Sunan Muhdzir, salah seorang tokoh
dari Pesantren Kebarongan. Suprijono Ana dkk, Sejarah Ringkas PPMWI, Kebarongan: tnp. 2004, hlm.
3.
9
Kata social movement (gerakan sosial) diperkenalkan untuk pertama kali pada tahun 1850 oleh
Lorenz von Stein, seorang sosiolog berkebangsaan Jerman dalam bukunya yang berjudul History of the
French Social Movement from 1789 to the Present. Aktivitas kolektif dalam perspektif gerakan sosial
ini adalah aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam sebuah komunitas sosial dengan
tujuan mengadakan perubahan terhadap struktur sosial dan tata nilai yang ada dalam masyarakat. Lihat
Rudolf Heberle, Social Movements: A Introduction to Political Sociology, New York: Appleton
Century, 1951. hlm. 6; Alain Touraine, The Voice, hlm. 77; Joseph R. Gustfield, Protest, Reform, and
Revolt: A Reader in Social Movements, New York/Londn/Sydney/Toronto: John Wiley and Sons, 1970,
hlm. 2.
10
Robert H. Lauer, “Social Movements: An Introductionist Analysis”, dalam Robert H. Lauer
(ed.), Social Movements and Social Change. London & Amsterdam: Feffer and Simons, 1976. hlm. xiii.
11
Alain Touraine, The Voice and The Eye: AN Analysis of Social Movements,
Cambridge/London/New York/New Rochelle/Melbourne/Sydney: Cambridge University Press, 1981,
hlm. 77.
12
Mayer N. Zald dan John D. McCarthy, The Dynamics of Social Movements: Resource
Mobilization, Social Control, and Tactics. Cambridge/Massachusetts: Winthrop Publishers, 1979,
hlm. 1.
13
Mayer N. Zald dan John D. McCarthy, Social Movements in an Organizational Society, New
Jersey: Transaction Books, 1987, hlm. 1212.
4
5
Gerakan dakwah salafi ini hendak dilihat dari pespektif rational action theory
sebuah teori gerakan social yang melihat pelaku gerakan sebagai individu yang
rasional. Untuk keperluan tersebut, aktivitas dakwah yang dilakukan dikaji melalui
cara penyampaian dan pembingkaian gagasan kepada masyarakat (framing),
mobilisasi sumber gerakan (mobilizing), dan juga taktik dan strategi (making
decision). Framing, dikaji melalui doktrin puritan radikal sebagai master frame
beserta gagasan-gagasan pendukung lainnya seperti dotrin tentang salafi sebagai
ahlussunnah wal jama‘ah, anti bid‘ah dan anti hizbiyah (golongan). Master frame
yang berfungsi sebagai alat melakukan interpretasi untuk setiap aktivitas gerakan
dalam masyarakat.14 Framing ini berfungsi untuk menghubungkan antara
mobilisasi anggota yang dijalankan secara mikro melalui hubungan antar individu
dengan mobilisasi makro melalui organisasi gerakan.15 Sedangkan kaitannya
dengan perkembangan luar dan kelompok gerakan yang berseberangan, master
frame berfungsi sebagai dasar anggota gerakan untuk melakukan kritik dan
menyerang kelompok gerakan lain.16
Mobilisasi sumber menekankan pada cara kelompok dakwah salafi
memanfaatkan infrastruktur dan fasilitas yang ada untuk kepentingan dakwah
mereka. Di sini dibahas tentang media yang digunakan oleh kelompok salafi untuk
memeperoleh dukungan massa seperti ceramah atau pidato dan tulisan dengan
berbagai ragamnya. Mobilisasi juga mendiskusikan jaringan dan agensi dakwah
melalui berbagai institusi sosial (agama) dan segala aktivitas yang berhubungan
dengan gerakan dakwah salafi di wilayah Banyumas. Organisasi dan aktivitas ini
penting untuk dikaji karena melalui keduanya inilah sebuah gerakan
dikembangkan dalam masyarakat.17 Sedangkan berbagai strategi dalam berdakwah
seperti strategi berkomunikasi dan membangun jaringan dan berhubungan dengan
kelompok lain merupakan objek pembahasan mengenai cara para aktivis dakwah
salafi membuat keputusan dalam kegiatan dakwah. Strategi ini dikaji untuk
mengetahui bentuk gerakan dan peranan gerakan tersebut di antara kelompok
lain.18
Dari kajian tersebut diharapkan penyelidikan ini akan memberikan pengayaan
terhadap studi mengenai gerakan dakwah yang memandang kegiatan dakwah
14
David A Snow dan Robert D. Benford, “Master Frames and Cycles of Protest. Dalam Aldon
D Morris dan Carol McClurg Mueller (eds.), Frontiers in Social Movement Theory, New Heaven/
London: Yale University Press, 1992, hlm. 133-155; Jurgen Gerhards dan Dieter Rucht,
“Mesomoilization: Organizing and Framing in two Protest Campaigns in West Germany, American
Journal of Sociology 3 (1992), hlm. 555-596.
15
Doug McAdam, John D McCarthy dan Mayer N. Zald. “Social Movements”, dalam Neil J.
Smelser (ed.), Handbook of Sociology, Newbury Park/London/New Delhi: Sage, 1988: 720-721.
16
David A Snow dan Robert D. Benford, “Master Frames,
17
Jurgen Gerhards dan Dieter Rucht, Meso Mobilization, hlm. 590.
18
Untuk menjelaskan ketiganya tersebut di atas, pembahasan tidak hanya dicukupkan dengan
menganalisis aktivitas yang dilakukan oleh aktivis salafi yang ada di wilayah penelitian saja, tetapi juga
diperlukan penjelasan aktivitas yang terjadi di wilayah lain di Indonesia karena dakwah yang dilakukan
oleh para aktivis dakwah salafi di wilayah Banyumas ini tidak dapat dipisahkan dari kegiatan dakwah
salafi di wilayah lain di Indonesia, bahkan untuk kasus tertentu melibatkan aktivitas dakwah
internasional.
5
6
sebagai sebuah aktivitas yang terorganisir, yaitu aktivitas yang dijalankan melalui
manajemen gerakan tertentu sehingga aktivitas dakwah tidak hanya dipandang
sebagai sebuah gerakan penyebaran gagasan dan idea semata yang lepas dari
aspek-aspek pendukung lainnya. Tidak seperti lazimnya kajian gerakan dakwah
yang memfokuskan kepada ideologi sebagai objek kajian utama dan cenderung
lepas dari aspek lain, di dalam tulisan ini ideologi hanya merupakan salah satu
aspek yang menjadi objek kajian dalam penyelidikan ini.
Gerakan dakwah salafi telah tumbuh menjadi sebuah gerakan sosial yang
penting dalam perkembangan gerakan Islam Indonesia. Kelompok ini sempat
menarik publik tidak lama setelah Orde Baru runtuh. Selama lebih kurang dua
tahun (2000-2002) gerakan dakwah salafi ini melakukan mobilisasi massa dengan
mendirikan sebuah organisasi gerakan Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal
Jama‘ah (FKAWJ). Forum ini melakukan mobilisasi massa melalui Laskar Jihad.
Laskar Jihad ini mempunyai peranan penting bagi perkembangan gerakan salafi di
Indonesia. Selama lebih kurang dua tahun tersebut, Laskar Jihad telah
mendapatkan banyak dukungan dari masyarakat muslim Indonesia. Beribu-ribu
pemuda bergabung dengan gerakan ini sebagai relawan untuk berjihad di pulau
lada tersebut. Gerakan ini telah berhasil menggalang massa tidak kurang dari 7000
relawan dari berbagai daerah di Indonesia untuk berjihad ke Ambon.19 Tetapi
Laskar Jihad ini hanya bertahan sekitar dua tahun, setelah Laskar Jihad
dibubarkan, para relawan veteran jihad ini kembali ke tempat asal mereka masing-
masing dan meneruskan dakwah di daerah asal. Mereka menjalin hubungan
dengan membentuk sebuah jaringan dakwah hampir di seluruh wilayah Indonesia
dari Aceh, bagian paling barat sampai Papua, bagian paling timur.20
Kata salafi sendiri awalnya muncul dalam pergerakan dan pemikiran di
dunia Islam pada abad ke 19. Beberapa orang pemikir Islam di Kawasan Timur
Tengah yang dikenal sebagai para pembaharu dan modernis seperti Jamaluddin al-
Afghani (1838-1898), Muhammad Abduh (1849-1905) dan Muhammad Rashid
Ridha (1865-935). Kepada mereka iniah istilah salafi dirujukkan.21 Gerakan
pemikiran pembaharuan kaum modenis ini menyerukan untuk melakukan sintesis
pemikiran Islam dengan pemikiran modern, yaitu pemikiran rasional, melalui
ijtihad (penalaran independent dalam agama). Inilah yang diperlukan oleh umat
Islam untuk meraih kembali kejayaan yang pernah dialami.22
19
Noorhaidi, Laskar Jihad.
20
Mengenai jaringan antar mereka ini setidaknya dapat dilihat dari daftar penyebaran dan agen
distributor Majalah Asy-Syari’ah, sebuah majalah bagi dakwah salafi yang dikelola oleh Yayasan Oase
Madia Yogyakarta.
21
A.J. Wensinck, “Sunna”, The Encyclopedia of Islam IX , Leiden: Brill, hlm. 878a
22
Ibid.
6
7
Gerakan dakwah Salafi yang ada sekarang ini berbeda dengan pengertian
salafi kaum modernis tersebut. Gerakan salafi yang dikenal sekarang ini adalah
pemaknaan dan perwujudan kembali dari gerakan Wahhābiyyah. Tidak seperti
Afghani dan Abduh yang menekankan pentingnya berfikir kreatif melalui ijtihad,
gerakan salafi kontemporer ini menolak ijtihad karena terlalu banyak
menggunakan akal dalam beragama dan meninggalkan makna literal nash.
Gerakan ini banyak meminjam faham Islam puritan radikal yang dilahirkan oleh
tokoh-tokoh yang diposisikan sebagai rujukan gerakan Wahhābiyyah seperti
Taqyuddin Ibnu Taimiyyah, Muhmmad ibnu Qayyim al-Jawziyyah (1292-1350)
dan Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri.23 Oliver Roy menyebutnya sebagai
neo wahabism (wahhābiyyah baru).24
Menurut doktrin faham wahabi, segala praktek yang menyimpang dari
agama dianggap sebagai bid‘ah (praktek baru yang tidak ada dasarnya) dan tidak
ada penyimpangan apapun yang dapat dibenarkan. Dalam masalah teologis,
siapapun yang mengamalkan hukum selain hukum Allah adalah kafir. Gerakan ini
juga menentang keras segala bentuk taklid (mengikuti secara membabi buta
terhadap pemikiran orang lain (ulama) dalam mengamalkan agama). Umat Islam
cukup berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai sumber utama
hukum dan teologi Islam. Selain itu, faham ini juga mencela orang muslim yang
tidak sesuai ajaran Islam. Teologi Islam puritan radikal seperti inilah yang banyak
diadopsi oleh gerakan dakwah salafi dan dijadikan sebagai ideologi mereka.25
23
Baabduh, Mereka Adalah Teroris.
24
Olivier Roy, Globalized Islam, The Search for New Ummah, London: Hurst and Company,
2004.
25
Selain banyak mengadopsi pemikiran ketiga-tiga tokoh tersebut, gerakan salafi juga banyak
merujuk kepada fatwa-fatwa ulama-ulama dalam garis faham Wahhabiyah kontemporer seperti Abdul
Aziz bin Baz (w. 1999) dari Arab saudi, Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 1999) dan Rabi‘ bin
Hadi dari Yaman. Para tokoh ini adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan untuk memberikan
fatwa dan melalui tokoh-tokoh inilah doktrin salafi kontemporari dirujukkan kepada ajaran yang
diserukan oleh Muhammad bin Abdil Wahhab (Noorhaidi, 2005).
26
Yunanto S. dkk, Gerakan Militan Islam di Indonesia dan Asia Tenggara, Jakarta: The Ridep
Insitute, 2003; Noorhaidi, 2005, Laskar Jihad; Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal di
7
8
secara persis amalan agama yang diamalkan oleh Rasulullah dan para Sahabatnya.
Selain itu, mereka juga menolak segala hal yang berasal dari Barat karena
menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam.
Salah seorang yang mula-mula menyebarkan dakwah salafi di Indonesia
adalah Abu Nida, salah seorang alumnus al-Jāmi‘ah Muhammad ibn Sa‘ud
(Universitas Muhammad ibnu Saud), Riyadh, dan sempat pergi ke Afganistan
bergabung dengan Jamā‘at al-Da‘wah ila al-Qur’an wa al-Hadīth (Perkumpulan
Dakwah kepada al-Qur’an dan Hadith) pimpinan Jamilur Rahman.27 Pada tahun
1986, Abu Nida memutuskan untuk menetap di Yogyakarta dan memulai
berdakwah salafi dengan sasaran utama para mahasiswa. Dengan dukungan
Saefullah Mahyuddin, dosen Universitas Gajah Mada, Abu Nida memberikan
ceramah keagamaan pada beberapa forum kajian Islam yang diadakan oleh para
mahasiswa. Beberapa masjid seperti Masjid Mardiyah dekat Fakultas Kedokteran
UGM, Masjid Mujahidin Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)
Yogyakarta, yang sekarang menjadi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY),
Masjid Siswa Graha Pogung, Masjid Sekolah Teknologi Menengah (STM)
Kentungan, dan sebuah rumah di Jl. Kaliurang KM 4.5 CT II/B7 -terkenal dengan
kajian kelompok B7- dijadikan tempat untuk mengadakan halaqah dan daurah.
Abu Nida banyak mendapatkan pengikut di kalangan mahasiswa UGM, IKIP
Yogyakarta dan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta.28
Abu Nida juga mendapat dukungan dari dua kawan karibnya, Ahmas Faiz
Asifuddin,29 dan Aunur Rafiq Ghufran. Mereka mengadakan ’daurah salafi’
selama satu bulan di Pesantren Ibn al-Qayyim, Sleman Yogyakarta, sebuah
pesantren yang didirikan DDII dan dipimpin oleh Suprapto A. Jarimi, seorang
muballigh Muhammadiyah. Program daurah ini mendapat perhatian besar dari
kalangan mahasiswa. Sedangkan Aunur Rofiq mengikuti langkah Abu Nida
dengan mengadakan daurah Pelajaran Bahasa Arab di Pesantren AL-Furqan,
Gresik.30 Awal tahun 1990, gerakan dakwah salafi semakin kuat dengan datangnya
beberapa alumni LIPIA keturunan Arab yang baru menyelesaikan studi di
beberapa universitas di Timur Tengah. Di antaranya adalah Ja‘far Umar Thalib
dari Maududi Islamic Institute di Lahore Pakistan, Yazid Abdul Qadir Jawwaz dan
Indonesia, Jakarta: Andi Offset, 2006. Sekalipun tidak lagi seketat sebelumnya, sifat seperti ini dalam
beberapa perkara tetaplah merupakan salah satu ciri gerakan dakwah salafi ini.
27
Noorhaidi, Laskar Jihad, hlm. 46.
28
Untuk informasi mengenai gerakan dakwah salafi di Yogyakarta ini, lihat Ahzab Muttaqin,
Kaum Salafi di Yogyakarta: Melacak Sejarah Awal. Yogyakarta: Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga,
1999). Lihat juga Sabarudin, Jama‘at at-Turats al-Islami Yogyakarta. Yogyakarta: Pusat Penelitian
IAIN Sunan Kalijaga, 2000.
29
Ahmas Faiz Asifuddin adalah salah seorang keturunan pendiri Pesantren dan Madrasah
Wathoniyah Islamiyah Kebarongan Banyumas. Dia mempunyai peranan yang penting dalam
mengembangkan dakwah Islam puritan radikal di wilayah Banyumas. Mengenai Ahmas Faiz dan
pembaharuan yang dilakukan akan dibahas dalam bagian tentang Pesantren Kebarongan.
30
Noorhaidi, Laskar Jihad, hlm. 47.
8
9
Yusuf Usman Baisa dari Universitas Muhammad Ibn Saud dan pusat kajian Islam
yang dipimpin oleh Muhammad bin Salih al-Utsaymin di Najran.31
Dakwah yang mereka lakukan ini membawa hasil yang cukup
menggembirakan. Kelompok dakwah salafi bermunculan di banyak tempat,
utamanya di kota Yogyakarta, Solo dan Semarang. Semakin banyaknya alumni
Timur Tengah yang kembali ke Indonesia juga menjadi salah satu faktor cepatnya
dakwah salafi berkembang. Kelompok-kelompok gerakan salafi dengan cepat
muncul pula di beberapa kota lain seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Purwokerto
dan Makasar.32 Perkembangan dakwah salafi ini semakin meluas ketika kelompok
salafi membentuk Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jama‘ah yang terkenal
dengan Laskar Jihadnya. Organisasi ini bertahan selama lebih kurang dua tahun
sebelum akhirnya dibubarkan pada tahun 2002. Aksi penggalangan massa berjihad
ke Ambon melalui gerakan laskar Jihad telah menarik perhatian masyarakat
Indonesia dan membuat dakwah salafi ini semakin dikenal luas oleh masyarakat.
Untuk masa sekarang, kegiatan dakwah salafi telah tersebar ke daerah yang jauh
lebih luas.33
Keberhasilan gerakan dakwah salafi tersebut tidak lepas dari berbagai faktor.
Di antaranya adalah faktor yang berskala nasional seperti perkembangan sosial
politik dan lembaga dakwah dan pendidikan yang telah ada sebelumnya seperti
Persatuan Islam (Persis) dan al-Irsyad, dua lembaga agama yang mendakwahkan
Islam puritan. Selain itu, juga dipengaruhi oleh faktor global seperti berubahnya
tata politik dunia Islam (Saudi Arabian Geopolitics) setelah revolusi Iran yang
memunculkan peta baru dalam gerakan dakwah Islam dengan didirikannya agen-
agen dakwah baru oleh pemerintah Saudi Arabia. Di Indonesia berdiri DDII dan
LIPIA yang berperan sebagai agen dakwah dan pendidikan Islam.34
Selain itu, perkembangan gerakan dakwah salafi tidak lepas dari lembaga
penyumbang dana bersekala internasional maupun lokal. Beberapa lembaga
tersebut seperti Al-Mu’assasat al-Haramayn al Khairiyyah (Yayasan Amal al-
Haramain) yang berpusat di Saudi Arabia dan Al-Jam‘iyyah Ihya at-Turāth al-
Islāmiyyah (Lembaga Pemeliharaan Warisan Islam). Selain itu terdapat pula
bantuan perseorangan. Amir Ali Bawazir, salah seorang pengusaha Nasional
keturunan Arab dari Semarang menyumbangkan sebidang tanah dekat kampus
Universitas Diponegoro untuk dibangun masjid sebagai pusat kegiatan dakwah
salafi. Dari sumbangan dana tersebut, gerakan dakwah salafi ini banyak
mendirikan yayasan di Indonesia sebagai lembaga dakwah dan menyediakan
beragam fasilitas gerakan dakwah seperti pembangunan masjid, pesantren,
madrasah.35
31
Ibid.
32
Ibid., hlm. 52.
33
Wawancara dengan Zainal Musthofa, Kebarongan 14 Mei 2006.
34
Noorhaidi, Laskar Jihad, hlm. 54.
35
Ibid., hlm. 48-52.
9
10
36
Ibid., hlm. 57.
37
Ibid., hlm. 77-78.
38
Kalangan salafi menganggapnya sebagai sebuah kesalahan serius kerana mencampur adukkan
yang benar dengan faham hizbiyyah yang tidak ada dasarnya dalam agama. Ikhwanul Muslimin
menurut para aktivis salafi adalah sebuah gerakan hizbiyyah, sebuah gerakan dengan semangat
kelompok dan berjuang untuk kepentingan golongan saja. Ini menyalahi prinsip dakwah salafi yang
berdakwah untuk tegaknya tauhid. Dari sinilah muncul istilah fitnah surūriyyah dalam gerakan salafi.
Ibid, hlm. 77-81.
10
11
39
Namun, kerana fikiran-fikirannya yang banyak dipengaruhi oleh ideologi Ikhwanul Muslimin,
dia dinyatakan sesat oleh Rabi‘ bin Hadi al-Madkhali,. Rabi‘ memberi teguran melalui surat-suratnya
yang dikirimkan kepada Abdurrahman Abdul Khaliq. Surat-surat tersebut telah dibukukan dalam
sebuah buku An-Nasr al-Aziz ‘ala ar-Radd al-Wajiz dengan kata pengantar dari tokoh-tokoh salafi
seperti Abdul Aiz bin Baz, Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shalih bin Fauzan al-Fauzan dan lain-
lain. Lihat Rabi‘ bin Hadi ‘Umair al-Madkhali, An-Nasr al-Aziz ‘ala ar-Radd al-Wajiz, Al-Madinah an-
Nabawiyyah: Maktabah al-Ghuraba al-Athariyyah, 1996.
40
Noorhaidi, Laskar Jihad, hlm. 79
41
Wawancara dengan beberapa alumni Pesantren Ihyaus Sunnah dari Banyumas.
42
Muhammad Umar as-Sewed sekarang adalah pemimpin Pesantren Dhiya as-Sunnah Cirebon.
11
12
43
Noorhaidi, Laskar Jihad.
44
Ibid., hlm. 86-87.
12
13
dakwah, para santri belajar Da‘wat ad-Du‘āt karya Ibn Aqyyim al-Jawziyyah dan
ad-Da‘wah ila Allah karya Ali Hasan al-Halabi al-Athari.45
Buku-kuku tersebut adalah buku-buku yang ditulis dengan bahasa Arab.46
Untuk itu, sebelum mempelajari buku-buku tersebut, para santri diharuskan belajar
Bahasa Arab sehingga mereka dapat memahami kandungan daripada karya-karya
tersebut. Para santri belajar nahw (tata bahasa), sharf (morfologi), mutāla‘ah
(membaca), imla’ (menulis), muhādasah (percakapan), dan balāgha (retorika).
Buku-buku yang dijadikan referensi dalam belajar Bahasa Arab antara lain an-
nahw al-wadīh, al-amthilat at-tashrīfiyyah, Qawā‘id as-Sarf, dan al-Balāghat al-
Wadhīhah. Untuk referensi tambahan, pesantren-pesantren tersebut juga
menggunakan buku al-‘Arabiyyat li an-Nāsyi’īn, sebuah buku pelajaran bahasa
Arab yang dibagikan secara gratis kepada lembaga-lembaga pendidikan Islam oleh
Kerajaan Arab Saudi.47
Selain membuka program pendidikan, beberapa pesantren mendirikan
stasiun radio dakwah. Radio ini menyiarkan ceramah agama yang disampaikan
oleh para ustadz. Ini seperti yang didapati di Pesantren Minhajus Sunnah Muntilan
dan Pesantren al-Furqan Cilacap. Selain itu, beberapa pesantren lain juga
menerbitkan bulletin dan majalah dakwah seperti Pesantren Dhiya’us Sunnah
Cirebon dan Pesantren As-Sunnah Makasar. Pesantren Dhiyaus Sunnah
menerbitkan bulletin Manhaj Dakwah Salafi sedangkan Pesantren As-Sunnah
menerbitkan sebuah majalah bertajuk An-Nashīhah.
4. Laskar Jihad
Gerakan dakwah salafi jaringan Ihnya as-Sunnah pimpinan Ja‘far Umar
Thalib mendapatkan perhatian masyarakat ketika mendirikan Laskar Jihad,
sebuah kelompok paramiliter yang beranggotakan para pemuda untuk jihad fi
sabilillah ke Maluku dan Poso. Laskar Jihad ini bergerak di bawah sebuah
organisasi yang bernama Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jama‘ah
(FKAWJ). FKAWJ ini didirikan di Solo 12 Februari 1998. FKAWJ dibentuk
sebagai wujud keprihatinan lemahnya pemahaman umat Islam Indonesia terhadap
ajaran Islam dan semakin menguatnya faham-faham lain yang bertentangan
dengan ajaran Islam.48 Ketika terjadi konflik di Maluku dan Poso, FKAWJ
kemudian berperan sebagai payung mobilisasi masyarakat berjihad ke daerah
konflik tersebut melalui pembentukan Laskar Jihad.
Laskar Jihad untuk pertama kali menarik perhatian publik ketika pada 6
April 2000 mengadakan tabligh akbar di Stadion Utama Senayan Jakarta. Tabligh
ini dihadiri oleh lebih kurang sepuluh ribu orang yang sebagian besar para
pemuda. Dalam tabligh ini, secara terbuka diungkapkan adanya pembantaian
45
Ibid.
46
Beberapa di antara buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan
diterbitkan oleh beberapa penerbit salafi.
47
Noorhaid, Laskar Jihad, hlm. 87.
48
Yunanto, Gerakan Islam, hlm. 43.
13
14
massal yang dilakukan orang-orang Kristen kepada Muslim Maluku. Ja‘far Umar
Thalib menyerukan kepada massa untuk berjihad membantu orang-orang Islam
Maluku tersebut. Untuk melegitimasi tindakan ini, mereka meminta fatwa kepada
sejumlah tokoh Timur Tengah. Mereka adalah Abd al-Razzaq ibn Abd al-Muhsin
al-‘Abbad, Muqbil bin Hadi al-Wadi‘i, Rabi‘ bin Hadi al-Madkhali, Salih as-
Suhaimiy, Ahmad Yahya ibn Muhammad an-Najmi, dan Wahid al-Jabiri. Para
ulama salafi tersebut mengeluarkan fatwa wajibnya berjihad ke Maluku. 49
Selain terlibat dalam konflik di Maluku, Laskar Jihad juga mengirimkan
beberapa ratus anggotanya, lebih kurang 700 relawan, ke Poso, Sulawesi Tengah
semasa ketika terjadi konflik. Mereka berkeyakinan telah terjadi pembantaian
massal yang dilakukan oleh penduduk lokal yang non muslim kepada para
pendatang yang mayoritas muslim. Di balik itu, terdapat konspirasi Zionis dan
Kristian internasional dalam konflik Poso. Selain di Poso, Laskar Jihad juga
berusaha untuk terlibat dalam konflik di Aceh yang melibatkan Gerakan Aceh
Merdeka dan konflik Papua yang melibatkan Kelompok Papua Merdeka. Namun,
usaha ini mengalami kegagalan karena penduduk lokal yang menolak intervensi
orang luar.50
Keterlibatan Laskar Jihad dalam berbagai konflik komunal di Indonesia,
pada satu sisi telah menunjukkan gerakan salafi sebagai sebuah gerakan sosial di
Indonesia yang agresif dan telah berhasil menarik massa. Namun, pada sisi lain
telah memunculkan ketegangan baru antara mereka dengan gerakan gerakan lain
dan juga Negara, bahkan ketegangan dalam kelompok mereka sendiri. Ini
berakibat pada tuduhan negatif terhadap gerakan salafi ini. Sebagian masyarakat
menuduh mereka sebagai agen dari Jaringan Al-Qaeda. Sebagian lain menyatakan
bahawa mereka adalah orang-orang lapangan yang dimanfaatkan dan bekerja
untuk beberapa tokoh elit pemerintah. Ini menjadi tekanan tersendiri bagi Laskar
Jihad.51
Tekanan lain yang tidak kalah serius adalah berubahnya kebijakan
pemerintah dalam menangani konflik yang terjadi. Pemerintah berusaha
menangani berbagai konflik dengan lebih serius dengan mengirimkan tentara dan
tokoh politik ke wilayah konflik. Dengan kebijakan ini, lahan kerja Laskar Jihad
diambil alih oleh aparat pemerintah. Tekanan dari pemerintah ini semakin serius
semasa pemerintah Megawati menekankan pentingnya cara-cara diplomatik,
dalam mengatasi konflik horizontal yang di beberapa daerah, terutama di Ambon
dan Poso, yang disertai peringatan agar semua kelompok paramiliter yang terlibat
49
Laskar Jihad mendirikan pusat pelatihan paramiliter yang bertempat di Bogor. Pelatihan
paramiliter ini dikoordinasi oleh para bekas anggota resimen mahasiswa yang ikut bergabung dalam
dakwah salafi dan veteran Perang Afganistan, Moro dan Kashmir. Mereka ini adalah para anggota
salafi yang memahami teknik ketentaraan. Pelatihan tersebut juga diduga melibatkan beberapa anggota
militer yang bertugas sebagai instruktur. Lihat Noorhaidi, Laskar Jihad, hlm. 117-118.
50
Noorhaidi, Ibid., hlm. 218.
51
Ibid., hlm. 236.
14
15
52
Ibid.
53
Ibid.
54
Ibid.
15
16
Ja‘far Umar Thalib ditinggalkan oleh para pengikutnya. Para santri yang belajar di
Pesantren Ihya as-Sunnah Degolan telah pergi untuk belajar di pesantren-
pesantren salafi lainnya.55
55
Ibid.
56
Ibid.
16
17
dakwah salafi ini adalah para alumni Timur Tengah, baik dari Saudi Arabia
mahupun Yaman.
Selain peranan lembaga bertaraf nasional, perkembangan Islam puritan di
wilayah ini juga didukung oleh lembaga pendidikan lokal. Yayasan Pondok
Pesantren Mesjid Madrasah Wathoniyah Islamiyah (POMESMAWI) Kebarongan
adalah salah satu lembaga lokal yang berperan besar terhadap perkembangan dan
penyebaran Islam puritan di wilayah ini. Lembaga ini dikenal sebagai sebuah
lembaga yang beraliran modernis dan telah lama dikenal sebagai pesantren Islam
puritan. Lembaga ini mempunyai peranan penting bagi berkembangnya ideologi
Islam puritan di Banyumas.
Meskipun pesantren ini bukanlah sebuah pesantren salafi, dalam
perkembangannya, banyak alumni lembaga pendidikan ini yang kemudian terlibat
aktif sebagai aktivis dakwah salafi. Banyak diantara para ustadz yang aktif dalam
aktivitas dakwah salafi di wilayah ini adalah para alumni Pesantren Kebarongan.
57
Wawancara dengan Zeinal Musthofa, 11 Maret 2006.
58
Wawancara dengan Rahmat Abdullah, 21 Februari 2006; wawancara dengan Zeinal Mustofa,
12 Maret 2006.
17
18
59
Didapatkan informasi bahawa salah seorang aktivis Ikhwanul Muslimin, Bukhari Yusuf,
pernah mengajar di Pesantren Kebarongan ini. melalui kursus Bahasa Arab yang diadakan di pesantren
ini. Wawancara dengan Zeinal Musthofa, Kebarongan, 24 Mei 2006.
60
Namun, Sucipto keluar dari kelompok ini dan kembali lagi mengajar di MWI sampai
penyelidikan ini dilakukan.
18
19
itu, beberapa fihak dari Timur tengah juga menjadi donor bagi pembangunan
Pesantren Ibnu Taimiyyah.61
Selain pesantren Ibnu Taimiyyah, terdapat pula Pesantren Al-Manshurah.
Pesantren ini terletak di desa Mujur, Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap, lebih
kurang dua kilo meter dari desa Kebarongan ke arah barat selatan. Yayasan Al-
Manshurah ini berdiri pada tahun 2001 dalam bentuk badan hukum dengan akta
notaris No. 37 Tanggal 27 Maret 2001. Yayasan pendidikan Islam ini dirintis oleh
Tsanin Hasanudin, salah seorang alumni Pesantren Kebarongan dan Pesantren
Ihyaus Sunnah Degolan, sekaligus seorang veteran anggota Laskar Jihad.
Pesantren ini berdiri di atas lahan tanah lebih kurang seluas 500 meter persegi,
terdiri dari bangunan masjid (Masjid As-Salam), asrama sebagai tempat tinggal
para santri dan tempat tinggal pengasuh pesantren. Jumlah ustadz (pengajar)
sebanyak 17 orang. Pesantren ini membuka beberapa program pendidikan agama
dalam bentuk madrasah. Selain dana dari para donator yang bersifat individual,
atas kerja samanya dengan pemerintah setempat, Yayasan Al-Manshurah juga
mendapatkan dana bantuan dari pemerintah Kabupaten Cilacap.
Satu lagi di antara yayasan-yayasan salafi yang ada di wilayah Banyumas
bagian Tenggara ini adalah Yayasan Al-Furqan. Yayasan ini terletak di Jalan Gala
tidak jauh dari Stasiun Kroya. Yayasan ini telah menjadi sebuah lembaga dakwah
dan pendidikan dengan status badan hukum dengan akta notaries Naimah SH No.
C 129 HT-03, 01 Tahun 1995. Yayasan Al-Furqan ini dirintis oleh Tsanin
Hasanudin, Ngadiwiyono dan Mufid Arif setelah mereka kembali dari pesantren
Ihya`us Sunnah Yogyakarta pada tahun 1995. Selama beberapa masa segala
kegiatan pendidikan di pesantren ini terhenti karena pergi ke Ambon bersama
Laskar Jihad. Pesantren Al-Furqan ini dipimpin oleh seorang mantan anggota
Laskar Jihad yang berasal dari Makasar keturunan Jawa yang bernama Abu Ishaq
Muslim, LC, seorang alumni sebuah Universitas di Yaman. Abu Ishak termasuk
salah seorang yang dikirim oleh Ja‘far Umar Thalib utuk belajar di Pusat
Pengajian Islam Yaman yang didirikan oleh Rabi‘ bin Hadi al-Madkhali.
Pesantren-pesantren salafi pada umumnya menfokuskan pada pendidikan non
formal. Pesantren Ibnu Taimiyyah mengadakan program pendidikan dalam bentuk
madrasah bagi anak-anak mulai tingkat Ibtidaiyyah dalam kelas menghafal al-
Quran (ma‘had Tahfīdz al-Qur’ān), pendidikan untuk anak-anak setingkat
Tsanawiyyah yang diberi nama ma‘had mutawassithah dan juga pendidikan untuk
orang dewasa dalam bentuk Ma‘had Ilmu-ilmu Syari‘ah. Sedangkan Pesantren al-
Manshurah menfokuskan pada pendidikan anak-anak dan remaja dalam bentuk
tahfīdz al-Qur’an. Sementara Pesantren al-Furqan khusus bagi pendidikan dewasa.
Selain lembaga pendidikan madrasah, pesantren-pesantren salafi juga
mengadakan pengajian keagamaan untuk masyarakat juga diselenggarakan di
61
Pesantren ini pernah mendapatkan tawaran dana bantuan lebih kurang 350.000 real dari salah
satu lembaga donor yang berpusat di Saudi Arabia, akan tetapi gagal kerana terlambat merespons.
Wawancara dengan Arif Mufid, salah seorang ustadz pesantren Ibnu Taimiyyah. 16 Maret 2006.
19
20
pesantren ini dalam bentuk halaqah dan daurah yang bertempat di masjid-masjid
pesantren. Pengajian ini dilaksanakan dalam bentuk halaqah harian, mingguan
ataupun bulanan. Halaqah bulanan adalah halaqah yang paling ramai dikunjungi
peserta. Massa yang datang dari luar daerah seperti Banjarnegara, Purnalingga,
Brebes dan Cilacap. Kegiatan ini diselenggarakan pada hari sabtu kedua pada
setiap bulan. Sedangkan daurah biasanya diadakan bersamaan dengan liburan
panjang sekolah dan pada bulan puasa.
Perkembangan dalam bidang teknologi telah pun memberikan pengaruh bagi
perkembangan dakwah salafi. Telefon merupakan jenis media yang digunakan
Yayasan Ibnu Taimiyyah dalam berdakwah. Alat komunikasi ini digunakan untuk
mengadakan ceramah jarak jauh dalam bentuk teleconference dengan ulama
Timur Tengah secara langsung. Beberapa ulama salafi dari Timur Tengah seperti
Rabi‘ bin Hadi Al-Wadhi’i dan Muhammad bin Hadi Al-Madkhali dari Yaman,
Syaikh ‘Aid al-Samarrai dari Saudi Arabia pernah melakukan ceramah secara
langsung melalui talian telefon.62 Selain itu, dakwah juga dilakukan melalui
brosur, bulletin, buku dan radio dakwah. Yayasan Ibnu Taimiyyah telah merintis
usaha penerbitan bulletin yang bernama Buletin Al-Abrar yang terbit setiap Jumat.
Buletin ini dijadikan media untuk menyebarkan ajaran salafi dalam bentuk risalah
(tulisan) singkat. Yayasan Al-Manshurah memilih menerbitkan buku sebagai
media dakwah melalui divisi penerbitan yang bernama Pustaka Nurul Qalb. Buku-
buku yang diterbitkan berupa terjemahan dari buku-buku bahasa Arab karya para
ulama Timur Tengah yang dilakukan oleh sebuah team penerjemah dengan nama
Tim Syabab Masjid As-Salam. Dari tangan tim ini, Pustaka Nurul Qalb ini telah
menerbitkan buku Sepercik Embun Keimanan yang merupakan terjemahan dari
kitab Al-Maqāmat wa al-Ahwāl, sebuah karangan yang berisi ajaran etika dalam
Islam karya Ibnu Taimiyyah dan juga telah terbit Ringkasan Sifat Shalat Nabi,
terjemahan dari karya Nashiruddin al-Albani Sifātu Salāt al-Nabi SAW min al-
Takbīr ilā al-Taslīm kamā tarāha, sebuah buku yang memuat tuntunan shalat
menurut ajaran Rasulullah. Pesantren salafi juga dilengkapi dengan stasiun radio
dakwah, seperti Pesantren Ibnu Taimiyyah dan Pesantren Al-Furqan. Melalui
radio inilah beragam kegiatan ceramah dan kegiatan dakwah disuarakan kepada
masyarakat sekitar.63
62
Wawancara dengan Ahmad Firdaus, Sumpiuh, 19 Mei 2006; Zainal Musthofa, 25 Mei 2006.
63
Dakwah dengan menggunakan radio ini menjadi salah satu kebiasaan kaum salafi dalam
berdakwah semenjak periode 1990-an di berbagai daerah di Indonesia. Selain Yayasan Ibnu Taimiyyah
dan Al-Furqan, di wilayah Banyumas sendiri terdapat beberapa pemancar radio dakwah yang
diselenggarakan oleh kelompok salafi seperti di kompleks Masjid Al-Faruq Purwokerto, kompleks
Masjid Jami Karang Tengah Gombong Kebumen dan radio dakwah Yayasan Anwarussunnah
Petanahan, Kebumen.
20
21
Orang-orang salafi dikenal sebagai orang yang sangat keras dan tidak mau
berkompromi dalam memegang prinsip doktrin salafi. Mereka tidak segan untuk
mengkritik dan memandang sesat kelompok lain yang dipandang tidak
mengamalkan ajaran agama sesuai dengan faham mereka. Sebutan ahli bid‘ah
adalah salah satu kata yang sering dikeluarkan mereka untuk menyerang kelompok
lain. Tuduhan ini tidak hanya ditujukan kepada kelompok yang dipandang sebagai
kelompok Islam moderat atau Liberal, tetapi juga didakwakan kepada beberapa
kelompok Islam fundamentalis yang dipandang sebagai gerakan kaum muslimin
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.64 Siapapun yang tidak sesuai dengan faham
mereka dianggap sesat.
2. Tauhid Murni
64
Luqman Baabduh, Mereka, hlm. 230; Abduh Zulfidar Akaha, Siapa Teroris? Siapa Khawarij:
Bantahan terhadap Buku Mereka Adalah Teroris, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006; Muhammad Umar
As-Sewed, “Membela Sunnah Nabawiyah”, Salafi 13, hlm. 27-36.
65
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Kedudukan as-Sunnah dalam Islam, Salafi 13(1997), hlm.
20-26; Hasan bin al-Hasin al-Husaini, Irsyad al-Bariyyah, Sana’a: Dar al-Athar, t.th., hlm. 23.
66
As-Sewed, “Membela”, hlm. 34.
67
Ibid.
21
22
dalam meyakini keberadaan dan keesaan Allah sebagai Sang Pencipta dan
Penguasa alam. Mereka membagi tauhid ke dalam tiga bagian yaitu tauhīd
‘ubūdiyyah (tauhid dalam beribadah), tauhīd rubūbiyyah (tauhid dalam ketuhanan)
dan tauhid asma’ wa sifat (tauhid dalam nama dan sifat Allah). Tauhīd ulūhiyyah
bermakna Allah adalah satu-satunya Tuhan yang harus disembah dalam beribadah.
Tauhīd rubūbiyyah bermakna Allah adalah satu-satunya Tuhan pencipta alam dan
Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu. Sedangkan Tauhīd asmā’ wa sifat
bermakna meyakini semua nama dan sifat Allah yang ada dalam al-Quran dan
sunnah sahihah tanpa ada syak sedikitpun tentangnya. Selain daripada itu, tauhid
ini juga bermakna tidak mempersamakan nama dan sifat Tuhan dengan makhluk
ciptaan-Nya.68
Untuk menjaga kemurnian tauhid tersebut, kaum salafi menekankan
pentingnya menjauhkan diri dari segala amalan yang menyimpang dari ajaran
tauhid dengan menentang segala bentuk amalan agama yang dipandang dapat
mengotori kemurnian tauhid mereka dan menjerumuskan mereka kepada amalan
syirik (mempersamakan Tuhan dengan ciptaan-Nya). Dalam level praktis, kaum
salafi menentang taqlīd (mengikut pendapat secara membabi buta) dan ber-
madhhab karena dengan melakukan keduanya artinya menyerahkan diri kepada
manusia, bukan kepada Tuhan. Sedangkan berserah diri kepada selain Tuhan
adalah haram. Meskipun menentang taqlid, tetapai dakwah salafi juga tidak
menganjurkan untuk melakukan ijtihad (penalaran dalam penafsiran) dalam
berbagai bentuknya seperti ijma’ dan qiyas karena sering tidak
mempertimbangkan makna literal teks dan terlalu banyak menggunakan akal
dalam memahami teks agama.69
68
Zainul Arifin an-Nawawi, “Pembagian Tauhid Menurut Ahlussunnah Wal Jama’ah, Salafi 13,
1997, hlm. 22.
69
Dalam konteks inilah gerakan salafi berbeda, bahkan bertentangan, dengan pandangan para
reformis Islam seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh yang banyak menganjurkan
umat Islam untuk melakukan ijtihad dan menggunakan akal sebagai usaha untuk mewujudkan kejayaan
umat Islam. Selain menentang ijtihad, kaum salafi mengecam keras beberapa gerakan Islam yang
dipandang banyak menggunakan akal dalam memahami ajaran agama. Islam liberal adalah kelompok
Islam yang paling banyak mendapatkan kritik keras dari gerakan salafi ini karena banyak menggunakan
penalaran dalam memahami ajaran Islam. Noorhaidi, Laskar Jihad, hlm. 138.
22
23
70
Dalam sejarah Islam, istilah ahlussunnah wal jamaah sebetulnya merujuk kepada semua aliran
ortodoksi dalam alur Islam sunni sebagai lawan Islam Syi‘ah. Istilah ini tidak hanya digunakan untuk
menyebut kelompok orang Islam yang dengan keras mengajak kembali kepada al-Quran dan Sunnah
saja, tetapi juga mencakup kalangan Muslim tradisional dalam ortodoksi Islam sunni. Muslim
tradisional sunni juga disebut sebagai para penganut ahlussunnah wal jama‘ah. A. J. Wensinck,
“Sunna”, hlm. 878a.
71
Untuk pembahasan mengenai ahlussunnah wal jama‘ah di kalangan Nahdlatul Ulama, lebih
lanjut lihat Hasjim Asj‘ari, Qanun Asasi Nahdlatul Ulama, t.t., Choirul Anam, Pertumbuhan dan
Perkembangan NU (Solo: Jatayu, 1985); M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia:
Pendekatan Fiqh dalam Politik, (Jakarta: Gramedia, 1994)
72
Hasjim Asj’ari, Qanun Asasi Nahdlatul Ulama, t.th.
73
Fauzan Saleh, Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia: A
Critical Survey, Leiden: Brill, 2001, hlm. 77.
74
Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Singapore/Kuala
Lumpur/London/New York: Oxford University Press, 1973, hlm. 142.
23
24
Sunnah Nabi. Jika tidak demikian, maka pandangan tersebut adalah pandangan
yang tidak sahih dan sesat.75
Menyikapi perbedaan pendapat mengenai pengertian ahlussunnah wal
jama’ah, orang-orang salafi berpendapat bahawa sebagai sebuah istilah untuk
kelompok muslim yang selamat, tidak mengherankan jika setiap kaum Muslim
mengaku sebagai ahlussunnah wal jama‘ah. Namun tidaklah berarti mereka benar-
benar beragama sesuai prinsip ahlussunnah wal jama‘ah. Mereka mengaku
sebagai kelompok ahlussunnah wal jama‘ah hanya dari segi nama saja tanpa
memahami dan menggunakan manhaj (metode) dan amalan keagamaan sesuai
dengan metode ahlussunnah wal jama‘ah. Mereka masih mengamalkan bid‘ah
dalam beribadah dan menggunakan metode pemahaman agama yang tidak sesuai
dengan tuntunan ahlussunnah.
Bagi kaum salafi, inti dari ahlussunnah wal jama‘ah adalah mengikuti
manhaj (metode) dan amalan sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi,
serta mengikuti amalan para Sahabat sebagai generasi Muslim yang mendapat
bimbingan secara langsung dari Rasulullah, melalui para ulama yang mengikuti
bimbingan para Sahabat tersebut. Untuk menegaskan pengertian ini, kaum salafi
menekankan kemestian untuk selalu mengikuti ajaran agama sesuai dengan yang
diamalkan oleh Rasulullah dan para Sahabatnya serta orang-orang Muslim yang
mengikuti mereka.
4. Anti Hizbiyyah
Kata hizbiyyah berasal dari akar kata hizb yang berarti kelompok atau partai.
Kaum salafi menggunakan kata tersebut untuk menyebut gerakan-gerakan dakwah
Islam yang menggunakan politik sebagai salah satu tujuan utama dalam
berdakwah, dan berdakwah atas nama kelompok gerakan tersebut, bukan
pemurnian kembali keyakinan dan amalan ajaran agama Islam seperti yang telah
dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.76
Secara praktis, kata hizbiyyah menjadi istilah yang sering digunakan oleh
para aktivis salafi untuk mengkritik gerakan-gerakan yang menggunakan media
politik sebagai alat gerakan. Bagi para aktivis salafi, cara tersebut adalah cara baru
yang tidak ada dasar hukumnya. Tujuan utama berdakwah terabaikan karena cara
75
Moenawar Cholil, Kembali Kepada al-Qur’an dan as-Sunnah: Suatu Muqaddimah Hadis-
Hadis Pilian, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, hlm. 386.
76
Abdul Mu‘thi, sebagaimana yang dikutip oleh Noorhaidi (2005) mendefinisikan da‘wah
hizbiyyah dengan: dakwah politik fanatik terhadap kelompok tertentu yang sama sekali tidak
menggunakan manhaj salafi. Oleh kerana itu, dakwah hizbiyah ini sangat bertentangan dengan da‘wah
salafi kerana beberapa alasan (1) dakwah hizbiyah tidak sesuai dan menyimpang dari sabil al-mu‘minin
(jalan orang-orang yang beriman); (2) para pemimpin dakwah hizbiyah sangat dekat dengan dosa
karena melakukan perbuatan bid‘ah; (3) para anggota gerakan dakwah hizbiyah memahami konsep al-
wala wa al-bara dengan dasar kesetiaan terhadap pemimpin tertentu, bukan loyalitas terhadap a-Qur’an
dan Sunnah Nabi; dan (4) dakwah hizbiyyah mengajarkan fanatisme golongan (Abdul Mu‘thi, 1996,
hlm. 16-19; al-Husaini, t.t.; Noorhaidi, 2005, hlm. 343-344).
24
25
5. Anti Barat
Sebagaimana Islam radikal lainnya, gerakan dakwah salafi ini juga dikenal
sebagai gerakan Islam yang anti Barat. Mereka tidak mau mengamalkan segala
bentuk ide dan gagasan yang ada kaitan dengan Barat. Dalam pandangan mereka,
ide-ide Barat merupakan bentuk nyata dari upaya penyelewengan dan
penyimpangan dari ajaran agama Islam yang benar. Ide-ide Barat merupakan ide
yang berasal daripada musuh-musuh Islam, utamanya Yahudi dan Kristen yang
bertujuan untuk menghancurkan Islam.78
Gagasan dari Barat yang mendapat kritik tajam adalah demokrasi. Bagi kaum
salafi, dalam sistem demokrasi pemilihan pemimpin dilakukan oleh setiap
individu dalam masyarakat sehingga pemimpin merupakan wakil suara mayoritas.
Ini bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam Islam kekuasaan adalah milik Allah
dan pemerintahan dalam Islam harus berdasarkan keyakinan tersebut. Muslim
dilarang untuk menyerahkan kekuasaannya kepada kaum mayoritas kerana
mayoritas tidak menjamin tidak berbuat kesalahan dan kesesatan dan belum tentu
berjuang untuk kejayaan Islam.79
Penolakan kaum salafi terhadap demokrasi mengakibatkan mereka menolak
cara bernegara yang lahir dari sistem demokrasi. Mereka menolak pemilu sebagai
cara untuk memilih pemimpin. Pemilu bertujuan mengetahui kehendak mayoritas
masyarakat bukan kehendak Tuhan, sebagai dasar untuk memilih pemimpin dan
ini adalah amalan jahiliyah. Pemilihan umum adalah cara musuh Islam untuk
menguasai umat Islam karena menyerahkan kekuasaan yang kita miliki kepada
musuh Islam.80 Satu-satunya jalan untuk memecahkan persoalan Umat Islam
adalah kembali kepada ajaran Islam yang terkandung al-Qur’an dan Sunnah. Islam
telah memberikan cara bagi memilih pemimpin. Menurut mereka, Islam
mengajarkan pemimpin mesti dipilih oleh sebuah lembaga yang beranggotakan
para cerdik pandai (sarjana) dalam bidang politik dan agama yang bekerja atas
bimbingan Allah dan rasul-Nya. Kelompok para cerdik ini disebut dengan ahl al-
hall wa al-‘aqd. Para cerdik pandai inilah yang memilih pemimpin (ulu al-amr)
yang memimpin masyarakat dan rakyat harus patuh kepada mereka.
F. Mobilisasi Dakwah
77
Luqman Baabduh, “Musuh-musuh Dakwah Tauhid, Asy-Syari‘ah 22. 2006. hlm. 25-29.
78
Ibid. hlm. 26.
79
Yunanto, Gerakan Militan, hlm. 86-87; Noorhaidi, Laskar Jihad, hlm. 149.
80
Noorhaidi, Laskar Jihad, hlm. 151.
25
26
81
McCarthy dan Zald, Social Movements, hlm. 14.
82
McDoug dkk., Social Movements, hlm. 715.
83
Steven M. Buechler, “Beyond Resource Mobilization? Emerging Trends in Social Movement.
The Sociological Quarterly, 34 (1993), hlm. 224.
84
Buechler, Beyond Resource Mobilization?, hlm. 217-135.
85
Lihat juga Luther P. Gerlach dan Virginia G. Hine, People, Power, Change Movements of
Social Transformation, New York/Indianapolis: The Bobbs- Merrill, 1970.
26
27
86
Quintan Wiktorowicz, The Management, hlm. 112.
27
28
praktek ajaran agama pesantren telah berhasil membentuk sikap loyal dan patuh
para santri dalam menjalankan ajaran Islam ini. Sebagai lembaga pendidikan
klasikal, madrasah telah berhasil menjadi agen pendidikan agama yang tidak saja
loyal terhadap agama, tetapi juga mencerdaskan.87
87
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam dalam kurikulum
moderen. Jakarta: LP3ES, 1986, hlm. 86.
88
Noorhaidi, Laskar Jihad, hlm. 168-170.
28
29
Beragam jenis media telah digunakan oleh kaum salafi dalam dakwah
mereka. Media verbal melalui ceramah dan khutbah agama, media cetak dengan
menerbitkan brosur, bulletin, majalah dan buku, dan media elektronik melalui
radio amatir, kaset, cakra padat (CD), teleconference dan internet melalui
peluncuran website adalah jenis-jenis media yang banyak digunakan oleh kaum
salafi dalam berdakwah.
Ceramah dan khutbah adalah cara yang telah lazim digunakan dalam
berdakwah. Ceramah dan khutbah merupakan media utama untuk menyampaikan
pesan keagamaan di tengah-tengah masyarakat. Ceramah dan khutbah telah
identik dengan dakwah. Hampir dalam setiap kegiatan dakwah sentiasa
disampaikan melalui ceramah. Ceramah dan khutbah dalam gerakan salafi juga
mempunyai peranan yang sangat penting. Dalam penyelidikannya tentang gerakan
salafi di Jordania, Wiktorowicz (2001) telah menjelaskan peranan ceramah dan
khutbah dalam gerakan ini. Ceramah menjadi bagian penting dalam gerakan
dakwah kaum salafi di Jordan. Ceramah ini tidak hanya berfungsi sebagai media
pembentukan nilai, tetapi juga mempunyai peranan yang penting sebagai alat
mobilisasi. Melalui berbagai kegiatan ceramah dalam berbagai halaqah yang
dilakukan dalam jaringan informal mereka, gerakan salafi tidak hanya mampu
menyebarkan dakwah salafi pada penduduk Jordania, tetapi juga membangun
jaringan dakwah baru dalam masyarakat.89
Kasus seperti di atas juga terjadi pada gerakan salafi di Banyumas. Media
verbal dalam bentuk ceramah ini digunakan oleh gerakan salafi di Banyumas
dalam mendakwahkan doktrin salafi mereka. Para aktivis gerakan salafi ini
dikenal sebagai para pendakwah Islam yang cukup dikenal dalam masyarakat
tempat mereka tinggal. Metode verbal dalam bentuk ceramah keagamaan ini
dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil melalui rancangan dalam bentuk
’daurah’ dan ’halaqah’. Halaqah biasanya berupa kegiatan ceramah untuk
memahami ajaran Islam melalui kajian kitab dalam satu sesi dengan tema bidang
tertentu. Dalam satu kali kegiatan biasanya hanya membincarakan tentang satu
tema. Sedangkan daurah biasanya dilakukan dalam masa yang lebih lama untuk
memdiskusikan tentang doktrin salafi secara lebih intensif yang ditujukan bagi
para pemula. Daurah ini diselenggarakan dalam masa dua hari sampai satu
minggu.
89
Quintan Wiktorowicz, the Management.
29
30
Ceramah dan khutbah juga berfungsi sebagai alat mobilisasi dan rekruitmen
anggota. Sifat ceramah yang berupa komunikasi langsung antara penceramah
dengan pendengar memungkinkan kedua fihak ada dalam kontak fisik dan emosi
secara langsung. Inilah yang menjadikan ceramah dapat berfungsi sebagai jalan
bagi mobilisasi dan rekruitmen anggota. Pada kasus ini, munculnya “tokoh
sekunder” (secondary figure),90 atau kader professional (professional cadre),91
aktivis pendukung yang berperan sebagai pengganti tokoh utama, mempunyai
peranan yang penting bagi perkembangan gerakan dakwah salafi. Tokoh sekunder
ini adalah para muballigh yang dikirimkan oleh yayasan-yayasan salafi untuk
berdakwah kepada masyarakat di luar pesantren dan madrasah. Dari gerakan
dakwah yang dilakukan oleh para tokoh sekunder inilah kemudian terbentuk pula
komunitas baru kaum salafi di daerah-daerah tertentu. Selanjutnya mereka
berperan sebagai agen utama dalam gerakan dakwah yang dilakukan di wilayah
baru tersebut. Dari komunitas ini kemudian muncullah agen-agen mobilisasi
massa yang berbentuk institusi pesantren dan madrasah.
Media cetak juga digunakan oleh kelompok salafi ini dalam melakukan
dakwah. Media cetak ini memungkinkan sebuah gerakan mempromosikan gerakan
yang sedang dilakukan kepada wilayah yang lebih luas melalui distribusi kepada
masyarakat. Kelebihan media ini, pesan yang disampaikan dapat dikaji secara
intensif dan berulang-ulang oleh pembaca karena pesan-pesan yang disampaikan
dapat disimpan diarsipkan.92 Dengan fungsinya yang strategis seperti ini, media
cetak pun menjadi alat yang penting bagi perkembangan dakwah dan pendidikan
Islam di Indonesia. Gerakan dakwah dan pendidikan Islam di Indonesia telah lama
menggunakan media ini dalam berdakwah seperti buku, majalah, jurnal, tabloid,
bulletin dan brosur.93
Gerakan kaum salafi di Banyumas memanfaatkan Brosur, bulletin, jurnal dan
majalah serta penerbitan buku sebagai media dakwah. Brosur biasa digunakan
untuk menyampaikan visi dan misi utama dan kegiatan yang dilakukan oleh kaum
salafi yang melibatkan masyarakat ramai seperti tabligh akbar dan halaqah.
90
Tokoh sekunder atau secondary figure, adalah orang-orang yang mendampingi tokoh utama
dalam sebuah gerakan sosial. Dalam kajian tentang gerakan sosial di Indonesia, istilah tokoh sekunder
digunakan oleh Michel Adas untuk menyebut beberapa tokoh yang mendampingi Pangeran Diponegoro
dalam melakukan gerakan di Jawa. Tokoh seperti Kyai Modjo dan Sentot Alibasyah Prawirodirdjo
adalah dua orang yang disebutnya sebagai tokoh sekunder. Lihat Michel Adas. Prophets of Rebellion:
Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order, Chapel Hill: The University of
North Carolina Press, 1979.
91
Kader professional atau professional cadre adalah istilah yang digunakan oleh McCarthy dan
Zald (1973, 1977) untuk menyebut orang-orang yang ikut terlibat dalam proses pembuatan polisi
organisasi gerakan dan mendedikasikan waktunya untuk kepentingan gerakan secara penuh. Kader
professional ini mempunyai peranan penting dalam gerakan social. Lihat John D. McCarthy dan Mayer
N. Zald. 1977. Resource mobilization and social movement: a partial theory. American Journal of
Sociology 82, hlm. 1212-1241.
92
W. Rivers dan W. Schramm, “The Impact of Mass Media, dalam Alan Casty (ed.), Mass
Media and Mass Man, New York: Reinhart and Winston, 1973, hlm. 4-12.
93
Robert W. Hefner, “Print Islam: Mass Media and Ideological Rivalries among Indonesian
Muslims”, Indonesia, 64 , 1997, hlm. 77-103.
30
31
94
Selain brosur dan buletin, digunkan juga majalah. Majalah memuat artikel dalam jumlah
banyak dan membahas banyak persoalan kehidupan sehari-hari dalam sekali terbit. Majalah mampu
menjangkau daerah yang jauh lebih luas dibandingkan dengan buletin. Ini memungkinkan tersebarnya
doktrin salafi kepada pembaca yang lebih luas. Salah satu contoh majalah salafi adalah majalah Asy-
Syari‘ah, sebuah majalah mingguan yang diterbitkan oleh Oase Media di bawah Yayasan Asy Syari‘ah
Yogyakarta pimpinan Muhammad Umar as-Sewed dan Luqman Baabduh. Majalah ini didistribusikan
sampai ke luar Jawa seperti beberapa daerah di Sumatera, Kalimantan, Bali, Sulawesi dan Maluku dan
Papua.94 Selain majalah tersebut, terdapat pula beberapa majalah lain seperti majalah As-Salaam,
sebuah majalah yang diterbitkan oleh kelompok salafi Jakarta, dan majalah yang bernama An-Nasihah
yang terbit di Makasar.
95
Di berbagai-bagai daerah lainnya, dakwah melalui radio ini juga lazim digunakan seperti di
Yogyakarta, Magelang, Tegal, Cilacap, Salatiga dan lain sebagainya (Noorhaidi, 2005).
96
Wawancara dengan Muhammad Banani, Sumpiuh 17 April 2006.
31
32
32
33
adalah sesetengah daripada laman web yang berisi tentang dakwah kaum salafi di
Indonesia.100 Penggunaan web tersebut sebagai salah satu media dalam berdakwah
ini membolehkan dakwah yang dilakukan menjangkau audience yang luas tanpa
dibatasi oleh ruang. Setiap orang di mana-mana tempat dapat melayari laman web
tersebut, dan dengan demikian membolehkan bagi setiap orang mendapatkan
maklumat tentang ajaran salafi.
4. Strategi Dakwah
100
Mengenai ragam media lain yang digunakan oleh kaum salafi ini, lihat Noorhaidi, Laskar
Jihad: Islam, Militancy and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia, hlm.211.
101
A.P.E.. Krover, Sarekat Islam: Gerakan ratu adil?. Terj. Jakarta: Grafiti Press, 1985.
102
Anton, Lucas, “The Communist Anti-Fascist Movement in Java", dalam Anton Lucas (penyt.)
Local opposition and underground resistance to the Japanese in Java 1942-1945, Monash Papers on
Southeast Asia no. 13, Monash University: Centre of Southeast Asian Studies, 1986, hlm. 1-119.
33
34
103
Wawancara dengan Zainal Musthofa, Kebarongan, 8 Mac 2006.
104
Wawancara dengan Zainal Musthofa, Kebarongan 8 Mac 2006.
34
35
105
Beberapa teori tentang gerakan sosial bahkan menegaskan ketidakpuasan menjadi penyebab
utama munculnya gerakan social. Teori relative deprivation yang dipopulerkan oleh Tedd Gurr (1970)
adalah salah satu contohnya. Menurut teori ini, munculnya gerakan social berangkat dari ketidakpuasan
yang dialami oleh sebagian anggota masyarakat dengan tingkat yang berbeda-beda. Ketidakpuasan
muncul kerana sebagian masyarakat berpandangan bahawa prestasi yang telah mereka capai lebih
rendah jika dibandingkan dengan prestasi orang lain yang mempunyai kedudukan yang sama dengan
mereka. Ketidakpuasan juga dapat muncul kerana usaha yang telah dijalankan tidak membawa hasil
sesuai yang diinginkan. Ketidakpuasan inilah yang menjadi pemersatu sebagian kelompok masyarakat
ini untuk melakukan gerakan bersama. Ted Robert Gur, Why Men Rebel, Princeton New Jersey:
Princeton University Press, 1970.
106
Istilah musuh-musuh tauhid ini digunakan oleh Luqman Baabduh (2006) untuk menyebut
beberapa kelompok yang menjadi penghalang dakwah kaum salafi. Lihat Luqman Baabduh, “Musuh-
musuh Dakwah Tauhid”, Asy-Syari‘ah, 22, 2006, hlm. 19-29.
35
36
wilayah Banyumas dengan kelompok lain secara lebih terang terjadi pada tahun
2003. Kelompok salafi terlibat konflik dengan kelompok Jama‘atul Muslimin
(Jamus), jelmaan darul hadith yang bermarkas di Kecamatan Maos Cilacap. Ini
berawal dari pernyataan seorang aktifis salafi bahwa Jamus adalah ahli bid‘ah.
Beberapa tokoh Jamus memprotes pernyataan tersebut dan mengundang aktivis
salafi untuk klarifikasi pernyataan tersebut dalam forum pengajian yang diadakan
oleh Jamus. Ketegangan tersebut berakhir dengan bergabungnya beberapa tokoh
Jamus dengan kelompok salafi.
107
Keterangan lebih mendalam mengenai segmented organization dan polycephalus
organization dapat dilihat dalam karya Luther P. Gerlach dan Virginia H. Hine. People, Power, Change
Movements of Social Transformation. New York/Indianapolis: The Bobbs-Merrill. 1970. Sedangkan
mengenai polycentric organization, lihat karya Luther P. Gerlach. The structure of social movements:
environmental activism and its opponent. Dlm. John Arquilla dan David F. Renfeldt. Networks and
Netwars: the Future of Terror, Crime, and Militancy. Santa Monica: Rand. 2001, hlm. 289-310.
108
Luther P. Gerlach, dan Virginia H. Hine, People, 1970.
109
Bennett M. Judkins, The Black Lung Movement: Social movements and social structure.
Dlm. Louis Kriesberg (penyt.)., Research in Social Movements, Conflicts and Change. Connecticut:
JAI Press, 1979, II, hlm. 105-129.
36
37
gerakan tersebut merupakan gerakan sosial dengan banyak cabang tanpa ada
organisasi induk (decentralized), terpecah-pecah dengan banyak cabang
(segmentary) dan terjalin dalam sebuah jaringan (reticulate) organisasi tanpa
organisasi induk dan cabang.110 Gerlach menyebut gerakan tersebut sebagai
gerakan dengan organisasi SPIN, yaitu segmented (terpecah-pecah), polycentric
(banyak pemimpin), dan integrated network (jaringan yang menyatu). Dalam
organisasi seperti ini, sering terjadi overlapping antar organisasi. Seseorang dapat
menjadi anggota beberapa organisasi dalam satu masa yang sama.111
Sifat banyak pemimpin ini karena para aktifis salafi yang sebelumnya
menjadi anak buah Ja’far Umar Thalib menjadi pemimpin yayasan-yayasan yang
didirikan. Yayasan-yayasan tersebut berdiri secara independen antara satu dengan
yang lain, tetapi, dalam menjalankan gerakan dakwah, terjalin komunikasi antar
yayasan tersebut. Biasanya, seorang pengajar atau muballigh yang berada di
bawah salah satu yayasan terlibat aktif pada kegiatan dakwah yang berada di
bawah naungan yayasan lain. Tidak jarang ditemukan seorang ustadz adalah
pengajar dan penceramah di beberapa yayasan dalam jaringan mereka. Seorang
ustadz dari satu daerah berdakwah dengan memberikan ceramah ke luar daerah
tempat tinggalnya, bahkan sampai ke luar pulau, seperti salah seorang aktivis dari
Makasar yang beberapa kali memberikan ceramah umum pada komuniti salafi di
Banyumas. Selain itu, beberapa aktivis salafi di Banyumas juga memberikan
ceramah di luar Banyumas seperti Brebes, Tegal dan Kebumen. Mobilitas para
ustadz yang tinggi dari satu tempat ke tempat yang lainnya ini memungkinkan
seorang ustadz menjalin komunikasi dengan para aktivis salafi di daerah lain.
Selain itu, komunikasi antar kelompok gerakan salafi ini juga secara tidak
langsung dipelihara melalui mobilitas para santri yang belajar di pesantren-
pesantren yang didirikan oleh para aktivis gerakan salafi. Terdapat kecenderungan
di kalangan para santri untuk belajar ke luar daerah. Seorang anggota salafi lebih
memilih untuk belajar di pesantren di luar daerah sekalipun di daerah asal terdapat
pesantren salafi. Sebaliknya, pesantren tersebut didatangi oleh para santri yang
berasal dari luar daerah. Maka tidak mengherankan jika pada umumnya para santri
yang belajar di pesantren-pesantren salafi tersebut berasal dari luar daerah.
Dengan cara seperti inilah hubungan antar mereka dapat sentiasa dilakukan dan
dijaga.
Selain itu, kegiatan dakwah bersama dalam bentuk pengajian umum atau
tabligh akbar juga merupakan media bagi menjalin hubungan antar mereka.
Biasanya, pengajian umum tersebut diisi oleh ustadz senior yang telah dikenal
sebagai tokoh salafi. Pada pengajian itulah para ustadz dan para aktivis dakwah
salafi dari berbagai daerah berdatangan. Bagi para ustadz dan aktivis, ceramah
dalam bentuk tabligh akbar mempunyai peranan yang penting. Selain digunakan
110
Gerlach dan Hine, People, ; Luther P. Gerlach, “The Structure of Social Movements:
Environmental Activism and Its Opponents. Dlm. John Arquilla dan David F. Renfeldt, Networks and
Netwars: The Future of Terror, Crime, and Militancy, Santa Monica: Rand, 2001, hlm. 289-310.
111
Ibid.
37
38
sebagai media bagi menimba pengetahuan agama, tabligh akbar ini juga
digunakan sebagai tempat untuk bertukar pengalaman dalam berdawah dan
menceriterakan perkembangan dakwah di daerah masing-masing. Melalui
lembaga-lembaga informal seperti inilah jaringan tersebut tetap terpelihara.
38
39
DAFTAR PUSTAKA
Akaha, Abduh Zulfidar, Siapa Teroris? Siapa Khawarij: Bantahan terhadap Buku
Mereka Adalah Teroris, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006.
al-Husaini, Hasan bin al-Hasin, Irsyad al-Bariyyah, Sana‘a: Dar al-Atsar, t.t.
al-Madkhali, Rabi‘ bin Hadi ‘Umair, An-Nasr al-Azīz ‘alā ar-Radd al-Wajiz, Al-
Madinah an-Nabawiyyah: Maktabah al-Ghuraba al-Athariyyah, 1996.
Asj‘ari, Hasjim, Qanun Asasi Nahdlatul Ulama, t.t., Choirul Anam, Pertumbuhan dan
Perkembangan NU, Solo: Jatayu, 1985.
Ba’abduh, Lukman, Mereka Adalah Teroris, Malang: Pustaka Aaulan Sadida, 2005.
Davis, Michael, “Laskar Jihad and the Political Position of Conservative Islam in
Indonesia, Contemporary Southeast Asia 24, 2002.
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Terj. Jakarta: LP3ES,
1980.
39
40
Gerlach, Luther P., “The Structure of Social Movements: Environmental Activism and
Its Opponent”. Dlm. John Arquilla dan David F. Renfeldt, Networks and
Netwars: the Future of Terror, Crime, and Militancy. Santa Monica: Rand.
2001.
Gur, Ted Robert, Why Men Rebel, Princeton New Jersey: Princeton University Press,
1970.
Gustfield, Joseph R., Protest, Reform, and Revolt: A Reader in Social Movements,
New York/Londn/Sydney/Toronto: John Wiley and Sons, 1970.
Haidar, M. Ali, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fiqh dalam
Politik, Jakarta: Gramedia, 1994.
Hefner, Robert W., “Print Islam: Mass Media and Ideological Rivalries among
Indonesian Muslims”, Indonesia, 64, 1997.
Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal di Indonesia, Jakarta: Andi Offset, 2006.
Judkins, Bennett M., “The Black Lung Movement: Social Movements and Social
Structure.” Dlm. Louis Kriesberg (ed.). Research in Social Movements,
Conflicts and Change. Connecticut: JAI Press, 1979.
Krover, A.P.E.. Sarekat Islam: Gerakan ratu adil?. Terj. Jakarta: Grafiti Press, 1985.
Lucas, Anton, “The Communist Anti-Fascist Movement in Java. Dlm Anton Lucas
(penyt.) Local Opposition and Underground Resistance to the Japanese in
40
41
McAdam, Doug, John D McCarthy dan Mayer N. Zald. “Social Movements” dalam
Neil J. Smelser (ed.), Handbook of Sociology, Newbury Park/London/New
Delhi: Sage, 1988.
McCarthy, John D. dan Mayer N. Zald.. Resource mobilization and social movement:
a partial theory. American Journal of Sociology 82, 1977.
Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militancy and the Quest for Identity in Post-
New Order Indonesia. Utrecht: Faculteit der Letteren en Internatonal
Institute for the Study of Islam in the Modern World, 2005.
Rivers, W. dan W. Schramm, “The Impact of Mass Media, dalam Alan Casty (ed.),
Mass Media and Mass Man, New York: Reinhart and Winston, 1973.
Roy, Olivier, Globalized Islam, The Search for New Ummah, London: Hurst and
Company, 2004.
Snow David A, dan Robert D. Benford, “Master Frames and Cycles of Protest. Dalam
Aldon D Morris dan Carol McClurg Mueller (eds.), Frontiers in Social
Movement Theory, New Heaven/ London: Yale University Press, 1992.
Steenrink, Karel, Beberapa Aspek Kajian Islam di Indonesia Abad ke 19. Jakarta:
Bulan Bintang, 1984.
Sukidi Mulyadi, “Violence under the Banner of Religion: The Case of Laskar Jihad
and Laskar Kristus”, Studia Islamika 10, 2002.
Touraine, Alain, The Voice and The Eye: an Analysis of Social Movements,
Cambridge? London/New York/New Rochelle/Melbourne/Sydney:
Cambridge University Press, 1981.
41
42
Yunanto S. dkk, Gerakan Militan Islam di Indonesia dan Asia Tenggara, Jakarta: The
Ridep Insitute, 2003.
Zald, Mayer N. dan John D. McCarthy, The Dynamics of Social Movements: Resource
Mobilization, Social Control, and Tactics. Cambridge/Massachusetts:
Winthrop Publishers, 1979.
Daftar Wawancara
Wawancara dengan Ahmad Firdaus, Sumpiuh 24 Mei 2006,
Zainal Musthofa, Kebarongan 26 Mei 2006.
Wawancara dengan Arif Mufid, Sumpiuh, 19 Mei 2006
Wawancara dengan Muhammad Banani, Sumpiuh 17 April 2006.
Wawancara dengan Rahmat Abdullah, 21 Februari 2006
Wawancara dengan Zainal Musthofa, 25 Mei 2006.
Wawancara dengan Zainal Musthofa, Kebarongan 14 Mei 2006.
Wawancara dengan Zainal Musthofa, Kebarongan 8 Mac 2006.
Wawancara dengan Zeinal Musthofa, 11 Maret 2006.
Wawancara dengan Zeinal Mustofa, 12 Maret 2006.
42