Anda di halaman 1dari 42

GERAKAN DAKWAH SALAFI PASCA LASKAR JIHAD

Ahmad Bunyan Wahib


Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Abstrak

Artikel ini membahas gerakan dakwah salafi di Banyumas, Jawa Tengah.


Dakwah salafi adalah dakwah yang dilakukan oleh kelompok yang
menyebarkan faham puritanisme Wahabi. Dakwah tersebut dianalisis dari
perspektif gerakan sosial dengan menfungsikan teori aksi rasional. Penelitian
ini menemukan bahwa pelaku gerakan dakwah salafi membuat jaringan
informal untuk mendiseminasi puritanisme Islam. Mereka mendirikan
pesantren di wilayah Banyumas, seperti Ibn Taimiyah, al-Furqan dan al-
Manshurah. Pesantren ini mirip kamp latihan untuk menyebarkan puritanisme
Islam. Dalam rangka mendukung gerakan dakwah, para aktivis di daerah ini
kooperatif dengan pemerintah daerah dan terbuka kepada masyarakat.

Kata kunci : dakwah, salafi, wahabi, puritanisme

A. Pendahuluan

Berubahnya sistem pasca runtuhnya Orde Baru 1998 membawa pengaruh yang
sangat besar bagi perkembangan berbagai elemen bangsa, termasuk di dalamnya
perkembangan Islam. Berbagai kelompok aliran Islam muncul mewarnai
perkembangan Islam pasca Orde Baru ini. Bentuk Islam di Indonesia menjadi
lebih lebih beragam, dari Islam liberal dan moderat dengan penafsiran terbuka
terhadap ajaran Islam sampai dengan Islam radikal atau fundamentalis yang
berfaham penafsiran tertutup. Beberapa kelompok Islam seperti Jaringan Islam
Liberal (JIL), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
(LAKPESDAM) NU, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) adalah
beberapa kelompok Islam yang dapat dikategorikan ke dalam kelompok Islam
yang beraliran terbuka.
Selain Islam liberal, Islam garis keras atau Islam radikal banyak menikmati
perubahan politik di Indonesia ini. Islam radikal ini telah berkembang menjadi
salah satu kelompok gerakan Islam baru yang mempunyai arti penting di
Indonesia. Berbagai kelompok Islam radikal ini muncul. Sebagian adalah gerakan
Islam yang bersekala internasional seperti gerakan salafi dan Hizbut Tahrir.
Sebagian lain adalah gerakan bersekala nasional seperti Front Pembela Islam,
Hizbut Tahrir Indonesia, Lasykar Mujahidin, Ikhwanul Muslimin Indonesia.
Selain itu muncul gerakan Islam radikal lokal sperti Front Pemuda Islam Surakarta
(FPIS) di Surakarta dan Front Thoriqoh Jihad (FTJ) di Kebumen.
Bagi kalangan akademik, perkembangan kelompok Islam radikal ini menarik
untuk diteliti. Berbagai karya ilmiah, mulai dari makalah atau paper sampai tesis
2

dan disertasi tentang Islam Radikal di Indonesia telah banyak dihasilkan.


Perubahan besar dalam bidang politik di Indonesia mengakibatkan kuatnya
perbincangan politik dalam dalam kajian tentang Islam radikal. Hampir
keseluruhan karya ilmiah mengenai Islam radikal sarat kajian politik. Tulisan
Yunanto dkk (2003) yang berjudul Gerakan Militan Islam di Indonesia dan Asia
Tenggara, karya Noorhaidi (2005) dengan judul Laskar Jihad: Islam, Militancy
and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia, Karya Hamami Zada
(2002) yang berjudul Islam Radikal, Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras
adalah beberapa karya yang memberikan kajian mendalam pada aspek politik.
Kecenderungan karya-karya mengenai Islam garis keras dengan fokus aspek
politik dalam gerakan mengakibatkan sedikitnya perhatian terhadap aktivitas
sosial kolektif lainnya. Salah satu aspek yang masih terbuka untuk didiskusikan
adalah aktivitas dakwah gerakan-gerakan Islam, sebuah aktivitas misionari dengan
fungsi utama menyampaikan doktrin-doktrin keyakinan dan ajaran agama yang
dianut oleh kelompok-kelompok Islam garis keras tersebut. Sebagai sebuah
gerakan keagamaan, gerakan-gerakan Islam tersebut pastilah mempunyai dakwah
yang dijalankan untuk menyebarkan faham yang mereka ajarkan.
Fokus utama dalam studi ini adalah aktivitas dakwah yang dijalankan oleh
para aktivis kelompok salafi. Aktivitas dakwah merupakan salah satu aspek
penting bagi perkembangan gerakan-gerakan sosial keagamaan (Islam). Selain
berfungsi sebagai media penyebaran faham dan ideologi, aktivitas dakwah juga
mempunyai peranan besar terhadap mobilisasi dan rekrutmen anggota. Dipilihnya
gerakan dakwah salafi dalam studi ini karena dari sisi ideologi, gerakan salafi
mengusung ideologi puritan radikal dengan slogannya kembali kepada al-Qur’an
dan Sunnah dengan mencontoh amalan para Sahabat dan al-salaf al-sālih.
Gerakan salafi ini dikenal sebagai gerakan dakwah eksklusif yang dengan mudah
menganggap sesat kelompok dan gerakan lain.1 Selain itu, gerakan dakwah salafi
dikenal sebagai gerakan dakwah anti hizbiyyah, sebuah kelompok gerakan yang
anti politik.2 Dari sifat anti politik ini diharapkan kajian mengenai kelompok ini
dapat difokuskan terhadap aktivitas dakwah yang mereka lakukan tanpa banyak
membahas tentang aktivitas politik gerakan ini.3
Untuk keperluan pembahasan, tulisan ini selain menggunakan data dari karya-
karya yang telah ada, juga menggunakan data lapangan. Mengenai karya-karya
yang membahas gerakan salafi, umumnya menfokuskan kepada gerakan Laskar

1
Lukman Ba’abduh, Mereka Adalah Teroris, Malang: Pustaka Aaulan Sadida, 2005, hlm. 20-25.
2
Quintan Wiktorowicz, The Management of Islamic Activism: Salafis, the Muslim Brotherhood,
a State Power in Jordan. Albany-New York: State University of New York Press, 2001; Noorhaidi
Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militancy and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia.
Utrecht: Faculteit der Letteren en Internatonal Institute for the Study of Islam in the Modern World.
2005, hlm. 143-146.
3
Untuk kasus di Indonesia, kajian mengenai kelompok salafi ini tidak dapat dilepaskan sama
sekali dari aktivitas politik. Kaum salafi pernah berperan penting dalam wilayah politik di Indonesia
dengan memberangkatkan relawan terbanyak ke Maluku melalui Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal
Jama’ah (FKAWJ). Maka, dalam kasus tertentu, kajian salafi tidak dapat dilepaskan dari kajian politik.

2
3

Jihad. Ini karena Laskar Jihad merupakan periode terpenting dari gerakan salafi di
Indonesia. Disertasi Noorhaidi mengenai Laskar Jihad merupakan karya yang
komprehensif mengenai Laskar Jihad yang didirikan oleh kelompok dakwah salafi
melalui lembaga Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jama‘ah (FKAWJ) untuk
mengajak umat Islam Indonesia berjihad ke Maluku.4 Karya ini banyak mengkaji
Laskar Jihad sebagai gerakan politik, dan membataskan objek penyelidikan ini
berakhir pada Laskar Jihad yang berlangsung lebih kurang selama dua tahun
(2000-2002). Sedangkan perkembangan gerakan dakwah salafi pasca Laskar Jihad
bukanlah bagian dari kajian dalam karya ini. Selain karya tersebut, terdapat pula
karya karya Michael Davis (2002),5 dan Sukidi Mulyadi (2003).6 Karya Davis dan
Sukidi membincang tentang peranan Laskar Jihad dalam arena politik praktis di
Indonesia dalam keterlibatannya di kancah konflik di Maluku.
Dalam kenyataannya, gerakan dakwah salafi di Indonesia tidak berhenti pada
Laskar Jihad. Dakwah salafi di Indonesia telah banyak mengalami perkembangan
yang penting pasca Laskar Jihad. Gerakan salafi telah kembali menjadi gerakan
yang apolitical dan berubah menjadi gerakan dakwah dengan organisasi yang
bersifat desentralistik. Selain itu, gerakan salafi pasca Laskar Jihad adalah gerakan
yang lebih kooperatif dengan Negara. Adalah hampir tidak dapat ditemukan
bahwa gerakan ini melakukan aksi penolakan terhadap kebijakan pemerintah
seperti yang dilakukan Laskar Jihad. Kelompok ini juga telah membangun
beragam fasilitas untuk mengembangkan ajaran salafi melalui gerakan dakwah
mulai dari mendirikan pesantren, madrasah, penerbitan bulletin, majalah dan buku,
serta mendirikan stasiun radio dakwah dan membuat situs internet. Perkembangan
inilah yang akan dibahas lebih mendalam dalam tulisan ini dengan data primer
yang berdasarkan hasil penelitian lapangan selama lebih kurang 7 bulan (dari
bulan Januari hingga bulan Juli 2005) di wilayah karesidenan Banyumas bagian
tenggara yang meliputi tiga kecamatan yaitu Sumpiuh, Kemranjen dan Kroya
Cilacap.
Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada beberapa alasan. Pertama,
dakwah salafi dapat berkembang dengan baik di wilayah Banyumas ini. Tidak
kurang dari 350 orang relawan dari daerah ini tergabung dalam Laskar Jihad,
sebuah angka yang tidak sedikit untuk tingkatan kecamatan.7 Kedua, pasca Laskar
Jihad, wilayah ini tetap menjadi tempat yang penting bagi dakwah salafiyah. Di
wilayah tersebut berdiri beberapa yayasan salafi dilengkapi dengan berbagai

4
Noorhaidi, Laskar Jihad.
5
Michael Davis, “Laskar Jihad and the Political Position of Conservative Islam in Indonesia,
Contemporary Southeast Asia 24 (2002), hlm. 12-32.
6
Sukidi Mulyadi, “Violence under the Banner of Religion: The Case of Laskar Jihad and Laskar
Kristus”, Studia Islamika 10 (2003), hlm. 76-109.
7
Perkiraan jumlah tersebut didasarkan pada hasil wawancara dengan beberapa bekas anggota
Laskar Jihad yang berasal dari daerah tersebut. Banyaknya orang yang ikut bergabung dengan Laskar
Jihad di daerah ini juga dikuatkan oleh kesaksian warga. Beberapa penduduk menyatakan bahawa pada
masa Laskar Jihad, terdapat beberapa pusat rekrutmen relawan di wilayah Sumpiuh dan Kroya yang
semuanya ramai didatangi orang-orang berjubah.

3
4

media seperti penerbit buku dan bulletin serta radio dakwah. Ketiga, wilayah
Banyumas ini masih luput dari perhatian serius para penyelidik mengenai gerakan
Islam kontemporer di Indonesia, termasuk gerakan Islam radikal. Dalam peta
pergerakan Islam di Indonesia, daerah ini masih merupakan daerah pinggiran
sehingga informasi mengenai gerakan Islam di wilayah ini masih pun sangat
sedikit.8
Dengan batasan kajian tersebut, tulisan ini berusaha untuk menganalisis secara
lebih mendalam mengenai perkembangan dakwah salafiyah di Banyumas.
Pembahasan meliputi asal mula dakwah salafiyah masuk ke wilayah Banyumas
menelusuri sejarah perkembangan Islam puritan sebagai ideologi yang dianut oleh
gerakan salafi di wilayah ini. Ini bermanfaat untuk mengetahui kontinuitas dakwah
Islam puritan kaum salafiyah dengan dakwah Islam puritan yang telah ada, serta
perubahan-perubahan baru yang dibawa oleh gerakan gerakan salafi. Untuk itu,
aktivitas dakwah salafi dilihat sebagai gerakan sosial yang berupa aktivitas
kolektif yang bertujuan merubah struktur sosial dan tatanan nilai yang ada pada
sebuah kelompok masyarakat.9 Selain itu, pembahasan mengenai gerakan sosial
mengkaji pula struktur sosial dan sistem nilai, termasuk didalamnya ideologi
dalam masyarakat, dan motivasi individu-individu yang terlibat gerakan.10 Tidak
hanya itu, analisis terhadap gerakan sosial juga mengkaji pula arus makro yang
meliputi organisasi pergerakan,11 strategi, taktik dan mobilisasi massa dalam
melakukan gerakan,12 sebagai pengaruh pemikiran para pemikir yang terlibat
dalam gerakan sosial.13

8
Di wilayah Banyumas pernah terjadi pemberontakan kelompok Islam sebelum merdeka. Pada
masa pemerintahan Belanda, telah berlaku pemberontakan tarekat Akmaliyah terhadap Belanda di
bawah pimpinan Kyai Nurhakim. Lihat Karel Steenrink, Beberapa Aspe Kajian Islam di Indonesia
abad ke 19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 186-196. Pada masa pendudukan tentara Jepang terjadi
pemberontakan yang bernuansa gerakan Islam yang dipimpin oleh Sunan Muhdzir, salah seorang tokoh
dari Pesantren Kebarongan. Suprijono Ana dkk, Sejarah Ringkas PPMWI, Kebarongan: tnp. 2004, hlm.
3.
9
Kata social movement (gerakan sosial) diperkenalkan untuk pertama kali pada tahun 1850 oleh
Lorenz von Stein, seorang sosiolog berkebangsaan Jerman dalam bukunya yang berjudul History of the
French Social Movement from 1789 to the Present. Aktivitas kolektif dalam perspektif gerakan sosial
ini adalah aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam sebuah komunitas sosial dengan
tujuan mengadakan perubahan terhadap struktur sosial dan tata nilai yang ada dalam masyarakat. Lihat
Rudolf Heberle, Social Movements: A Introduction to Political Sociology, New York: Appleton
Century, 1951. hlm. 6; Alain Touraine, The Voice, hlm. 77; Joseph R. Gustfield, Protest, Reform, and
Revolt: A Reader in Social Movements, New York/Londn/Sydney/Toronto: John Wiley and Sons, 1970,
hlm. 2.
10
Robert H. Lauer, “Social Movements: An Introductionist Analysis”, dalam Robert H. Lauer
(ed.), Social Movements and Social Change. London & Amsterdam: Feffer and Simons, 1976. hlm. xiii.
11
Alain Touraine, The Voice and The Eye: AN Analysis of Social Movements,
Cambridge/London/New York/New Rochelle/Melbourne/Sydney: Cambridge University Press, 1981,
hlm. 77.
12
Mayer N. Zald dan John D. McCarthy, The Dynamics of Social Movements: Resource
Mobilization, Social Control, and Tactics. Cambridge/Massachusetts: Winthrop Publishers, 1979,
hlm. 1.
13
Mayer N. Zald dan John D. McCarthy, Social Movements in an Organizational Society, New
Jersey: Transaction Books, 1987, hlm. 1212.

4
5

Gerakan dakwah salafi ini hendak dilihat dari pespektif rational action theory
sebuah teori gerakan social yang melihat pelaku gerakan sebagai individu yang
rasional. Untuk keperluan tersebut, aktivitas dakwah yang dilakukan dikaji melalui
cara penyampaian dan pembingkaian gagasan kepada masyarakat (framing),
mobilisasi sumber gerakan (mobilizing), dan juga taktik dan strategi (making
decision). Framing, dikaji melalui doktrin puritan radikal sebagai master frame
beserta gagasan-gagasan pendukung lainnya seperti dotrin tentang salafi sebagai
ahlussunnah wal jama‘ah, anti bid‘ah dan anti hizbiyah (golongan). Master frame
yang berfungsi sebagai alat melakukan interpretasi untuk setiap aktivitas gerakan
dalam masyarakat.14 Framing ini berfungsi untuk menghubungkan antara
mobilisasi anggota yang dijalankan secara mikro melalui hubungan antar individu
dengan mobilisasi makro melalui organisasi gerakan.15 Sedangkan kaitannya
dengan perkembangan luar dan kelompok gerakan yang berseberangan, master
frame berfungsi sebagai dasar anggota gerakan untuk melakukan kritik dan
menyerang kelompok gerakan lain.16
Mobilisasi sumber menekankan pada cara kelompok dakwah salafi
memanfaatkan infrastruktur dan fasilitas yang ada untuk kepentingan dakwah
mereka. Di sini dibahas tentang media yang digunakan oleh kelompok salafi untuk
memeperoleh dukungan massa seperti ceramah atau pidato dan tulisan dengan
berbagai ragamnya. Mobilisasi juga mendiskusikan jaringan dan agensi dakwah
melalui berbagai institusi sosial (agama) dan segala aktivitas yang berhubungan
dengan gerakan dakwah salafi di wilayah Banyumas. Organisasi dan aktivitas ini
penting untuk dikaji karena melalui keduanya inilah sebuah gerakan
dikembangkan dalam masyarakat.17 Sedangkan berbagai strategi dalam berdakwah
seperti strategi berkomunikasi dan membangun jaringan dan berhubungan dengan
kelompok lain merupakan objek pembahasan mengenai cara para aktivis dakwah
salafi membuat keputusan dalam kegiatan dakwah. Strategi ini dikaji untuk
mengetahui bentuk gerakan dan peranan gerakan tersebut di antara kelompok
lain.18
Dari kajian tersebut diharapkan penyelidikan ini akan memberikan pengayaan
terhadap studi mengenai gerakan dakwah yang memandang kegiatan dakwah

14
David A Snow dan Robert D. Benford, “Master Frames and Cycles of Protest. Dalam Aldon
D Morris dan Carol McClurg Mueller (eds.), Frontiers in Social Movement Theory, New Heaven/
London: Yale University Press, 1992, hlm. 133-155; Jurgen Gerhards dan Dieter Rucht,
“Mesomoilization: Organizing and Framing in two Protest Campaigns in West Germany, American
Journal of Sociology 3 (1992), hlm. 555-596.
15
Doug McAdam, John D McCarthy dan Mayer N. Zald. “Social Movements”, dalam Neil J.
Smelser (ed.), Handbook of Sociology, Newbury Park/London/New Delhi: Sage, 1988: 720-721.
16
David A Snow dan Robert D. Benford, “Master Frames,
17
Jurgen Gerhards dan Dieter Rucht, Meso Mobilization, hlm. 590.
18
Untuk menjelaskan ketiganya tersebut di atas, pembahasan tidak hanya dicukupkan dengan
menganalisis aktivitas yang dilakukan oleh aktivis salafi yang ada di wilayah penelitian saja, tetapi juga
diperlukan penjelasan aktivitas yang terjadi di wilayah lain di Indonesia karena dakwah yang dilakukan
oleh para aktivis dakwah salafi di wilayah Banyumas ini tidak dapat dipisahkan dari kegiatan dakwah
salafi di wilayah lain di Indonesia, bahkan untuk kasus tertentu melibatkan aktivitas dakwah
internasional.

5
6

sebagai sebuah aktivitas yang terorganisir, yaitu aktivitas yang dijalankan melalui
manajemen gerakan tertentu sehingga aktivitas dakwah tidak hanya dipandang
sebagai sebuah gerakan penyebaran gagasan dan idea semata yang lepas dari
aspek-aspek pendukung lainnya. Tidak seperti lazimnya kajian gerakan dakwah
yang memfokuskan kepada ideologi sebagai objek kajian utama dan cenderung
lepas dari aspek lain, di dalam tulisan ini ideologi hanya merupakan salah satu
aspek yang menjadi objek kajian dalam penyelidikan ini.

B. Dakwah Salafi di Indonesia

Gerakan dakwah salafi telah tumbuh menjadi sebuah gerakan sosial yang
penting dalam perkembangan gerakan Islam Indonesia. Kelompok ini sempat
menarik publik tidak lama setelah Orde Baru runtuh. Selama lebih kurang dua
tahun (2000-2002) gerakan dakwah salafi ini melakukan mobilisasi massa dengan
mendirikan sebuah organisasi gerakan Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal
Jama‘ah (FKAWJ). Forum ini melakukan mobilisasi massa melalui Laskar Jihad.
Laskar Jihad ini mempunyai peranan penting bagi perkembangan gerakan salafi di
Indonesia. Selama lebih kurang dua tahun tersebut, Laskar Jihad telah
mendapatkan banyak dukungan dari masyarakat muslim Indonesia. Beribu-ribu
pemuda bergabung dengan gerakan ini sebagai relawan untuk berjihad di pulau
lada tersebut. Gerakan ini telah berhasil menggalang massa tidak kurang dari 7000
relawan dari berbagai daerah di Indonesia untuk berjihad ke Ambon.19 Tetapi
Laskar Jihad ini hanya bertahan sekitar dua tahun, setelah Laskar Jihad
dibubarkan, para relawan veteran jihad ini kembali ke tempat asal mereka masing-
masing dan meneruskan dakwah di daerah asal. Mereka menjalin hubungan
dengan membentuk sebuah jaringan dakwah hampir di seluruh wilayah Indonesia
dari Aceh, bagian paling barat sampai Papua, bagian paling timur.20
Kata salafi sendiri awalnya muncul dalam pergerakan dan pemikiran di
dunia Islam pada abad ke 19. Beberapa orang pemikir Islam di Kawasan Timur
Tengah yang dikenal sebagai para pembaharu dan modernis seperti Jamaluddin al-
Afghani (1838-1898), Muhammad Abduh (1849-1905) dan Muhammad Rashid
Ridha (1865-935). Kepada mereka iniah istilah salafi dirujukkan.21 Gerakan
pemikiran pembaharuan kaum modenis ini menyerukan untuk melakukan sintesis
pemikiran Islam dengan pemikiran modern, yaitu pemikiran rasional, melalui
ijtihad (penalaran independent dalam agama). Inilah yang diperlukan oleh umat
Islam untuk meraih kembali kejayaan yang pernah dialami.22

19
Noorhaidi, Laskar Jihad.
20
Mengenai jaringan antar mereka ini setidaknya dapat dilihat dari daftar penyebaran dan agen
distributor Majalah Asy-Syari’ah, sebuah majalah bagi dakwah salafi yang dikelola oleh Yayasan Oase
Madia Yogyakarta.
21
A.J. Wensinck, “Sunna”, The Encyclopedia of Islam IX , Leiden: Brill, hlm. 878a
22
Ibid.

6
7

Gerakan dakwah Salafi yang ada sekarang ini berbeda dengan pengertian
salafi kaum modernis tersebut. Gerakan salafi yang dikenal sekarang ini adalah
pemaknaan dan perwujudan kembali dari gerakan Wahhābiyyah. Tidak seperti
Afghani dan Abduh yang menekankan pentingnya berfikir kreatif melalui ijtihad,
gerakan salafi kontemporer ini menolak ijtihad karena terlalu banyak
menggunakan akal dalam beragama dan meninggalkan makna literal nash.
Gerakan ini banyak meminjam faham Islam puritan radikal yang dilahirkan oleh
tokoh-tokoh yang diposisikan sebagai rujukan gerakan Wahhābiyyah seperti
Taqyuddin Ibnu Taimiyyah, Muhmmad ibnu Qayyim al-Jawziyyah (1292-1350)
dan Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri.23 Oliver Roy menyebutnya sebagai
neo wahabism (wahhābiyyah baru).24
Menurut doktrin faham wahabi, segala praktek yang menyimpang dari
agama dianggap sebagai bid‘ah (praktek baru yang tidak ada dasarnya) dan tidak
ada penyimpangan apapun yang dapat dibenarkan. Dalam masalah teologis,
siapapun yang mengamalkan hukum selain hukum Allah adalah kafir. Gerakan ini
juga menentang keras segala bentuk taklid (mengikuti secara membabi buta
terhadap pemikiran orang lain (ulama) dalam mengamalkan agama). Umat Islam
cukup berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai sumber utama
hukum dan teologi Islam. Selain itu, faham ini juga mencela orang muslim yang
tidak sesuai ajaran Islam. Teologi Islam puritan radikal seperti inilah yang banyak
diadopsi oleh gerakan dakwah salafi dan dijadikan sebagai ideologi mereka.25

1. Perkembangan Dakwah Salafi di Indonesia

Tahap permulaan munculnya kelompok dakwah salafi di Indonesia


setidaknya dapat dilacak mulai pertengahan periode 1980-an. Ini ditandai dengan
munculnya orang-orang berbaju gamis atau jubah (jalabiyyah), sorban (‘imamah)
sebagai tutup kepala, model celana panjang sampai atas mata kaki (isbal), dan
memelihara janggut panjang (lihyah). Untuk kaum perempuan, mereka
menggunakan jilbab panjang dan cadar (niqab) untuk menutupi kepala dan muka
di tempat umum. Dalam kehidupan sosial, orang-orang tersebut membuat
kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat, dan cenderung memisahkan diri dari
masyarakat umum.26 Dalam amalan keagamaan, mereka mencoba menerapkan

23
Baabduh, Mereka Adalah Teroris.
24
Olivier Roy, Globalized Islam, The Search for New Ummah, London: Hurst and Company,
2004.
25
Selain banyak mengadopsi pemikiran ketiga-tiga tokoh tersebut, gerakan salafi juga banyak
merujuk kepada fatwa-fatwa ulama-ulama dalam garis faham Wahhabiyah kontemporer seperti Abdul
Aziz bin Baz (w. 1999) dari Arab saudi, Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 1999) dan Rabi‘ bin
Hadi dari Yaman. Para tokoh ini adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan untuk memberikan
fatwa dan melalui tokoh-tokoh inilah doktrin salafi kontemporari dirujukkan kepada ajaran yang
diserukan oleh Muhammad bin Abdil Wahhab (Noorhaidi, 2005).
26
Yunanto S. dkk, Gerakan Militan Islam di Indonesia dan Asia Tenggara, Jakarta: The Ridep
Insitute, 2003; Noorhaidi, 2005, Laskar Jihad; Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal di

7
8

secara persis amalan agama yang diamalkan oleh Rasulullah dan para Sahabatnya.
Selain itu, mereka juga menolak segala hal yang berasal dari Barat karena
menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam.
Salah seorang yang mula-mula menyebarkan dakwah salafi di Indonesia
adalah Abu Nida, salah seorang alumnus al-Jāmi‘ah Muhammad ibn Sa‘ud
(Universitas Muhammad ibnu Saud), Riyadh, dan sempat pergi ke Afganistan
bergabung dengan Jamā‘at al-Da‘wah ila al-Qur’an wa al-Hadīth (Perkumpulan
Dakwah kepada al-Qur’an dan Hadith) pimpinan Jamilur Rahman.27 Pada tahun
1986, Abu Nida memutuskan untuk menetap di Yogyakarta dan memulai
berdakwah salafi dengan sasaran utama para mahasiswa. Dengan dukungan
Saefullah Mahyuddin, dosen Universitas Gajah Mada, Abu Nida memberikan
ceramah keagamaan pada beberapa forum kajian Islam yang diadakan oleh para
mahasiswa. Beberapa masjid seperti Masjid Mardiyah dekat Fakultas Kedokteran
UGM, Masjid Mujahidin Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)
Yogyakarta, yang sekarang menjadi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY),
Masjid Siswa Graha Pogung, Masjid Sekolah Teknologi Menengah (STM)
Kentungan, dan sebuah rumah di Jl. Kaliurang KM 4.5 CT II/B7 -terkenal dengan
kajian kelompok B7- dijadikan tempat untuk mengadakan halaqah dan daurah.
Abu Nida banyak mendapatkan pengikut di kalangan mahasiswa UGM, IKIP
Yogyakarta dan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta.28
Abu Nida juga mendapat dukungan dari dua kawan karibnya, Ahmas Faiz
Asifuddin,29 dan Aunur Rafiq Ghufran. Mereka mengadakan ’daurah salafi’
selama satu bulan di Pesantren Ibn al-Qayyim, Sleman Yogyakarta, sebuah
pesantren yang didirikan DDII dan dipimpin oleh Suprapto A. Jarimi, seorang
muballigh Muhammadiyah. Program daurah ini mendapat perhatian besar dari
kalangan mahasiswa. Sedangkan Aunur Rofiq mengikuti langkah Abu Nida
dengan mengadakan daurah Pelajaran Bahasa Arab di Pesantren AL-Furqan,
Gresik.30 Awal tahun 1990, gerakan dakwah salafi semakin kuat dengan datangnya
beberapa alumni LIPIA keturunan Arab yang baru menyelesaikan studi di
beberapa universitas di Timur Tengah. Di antaranya adalah Ja‘far Umar Thalib
dari Maududi Islamic Institute di Lahore Pakistan, Yazid Abdul Qadir Jawwaz dan

Indonesia, Jakarta: Andi Offset, 2006. Sekalipun tidak lagi seketat sebelumnya, sifat seperti ini dalam
beberapa perkara tetaplah merupakan salah satu ciri gerakan dakwah salafi ini.
27
Noorhaidi, Laskar Jihad, hlm. 46.
28
Untuk informasi mengenai gerakan dakwah salafi di Yogyakarta ini, lihat Ahzab Muttaqin,
Kaum Salafi di Yogyakarta: Melacak Sejarah Awal. Yogyakarta: Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga,
1999). Lihat juga Sabarudin, Jama‘at at-Turats al-Islami Yogyakarta. Yogyakarta: Pusat Penelitian
IAIN Sunan Kalijaga, 2000.
29
Ahmas Faiz Asifuddin adalah salah seorang keturunan pendiri Pesantren dan Madrasah
Wathoniyah Islamiyah Kebarongan Banyumas. Dia mempunyai peranan yang penting dalam
mengembangkan dakwah Islam puritan radikal di wilayah Banyumas. Mengenai Ahmas Faiz dan
pembaharuan yang dilakukan akan dibahas dalam bagian tentang Pesantren Kebarongan.
30
Noorhaidi, Laskar Jihad, hlm. 47.

8
9

Yusuf Usman Baisa dari Universitas Muhammad Ibn Saud dan pusat kajian Islam
yang dipimpin oleh Muhammad bin Salih al-Utsaymin di Najran.31
Dakwah yang mereka lakukan ini membawa hasil yang cukup
menggembirakan. Kelompok dakwah salafi bermunculan di banyak tempat,
utamanya di kota Yogyakarta, Solo dan Semarang. Semakin banyaknya alumni
Timur Tengah yang kembali ke Indonesia juga menjadi salah satu faktor cepatnya
dakwah salafi berkembang. Kelompok-kelompok gerakan salafi dengan cepat
muncul pula di beberapa kota lain seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Purwokerto
dan Makasar.32 Perkembangan dakwah salafi ini semakin meluas ketika kelompok
salafi membentuk Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jama‘ah yang terkenal
dengan Laskar Jihadnya. Organisasi ini bertahan selama lebih kurang dua tahun
sebelum akhirnya dibubarkan pada tahun 2002. Aksi penggalangan massa berjihad
ke Ambon melalui gerakan laskar Jihad telah menarik perhatian masyarakat
Indonesia dan membuat dakwah salafi ini semakin dikenal luas oleh masyarakat.
Untuk masa sekarang, kegiatan dakwah salafi telah tersebar ke daerah yang jauh
lebih luas.33
Keberhasilan gerakan dakwah salafi tersebut tidak lepas dari berbagai faktor.
Di antaranya adalah faktor yang berskala nasional seperti perkembangan sosial
politik dan lembaga dakwah dan pendidikan yang telah ada sebelumnya seperti
Persatuan Islam (Persis) dan al-Irsyad, dua lembaga agama yang mendakwahkan
Islam puritan. Selain itu, juga dipengaruhi oleh faktor global seperti berubahnya
tata politik dunia Islam (Saudi Arabian Geopolitics) setelah revolusi Iran yang
memunculkan peta baru dalam gerakan dakwah Islam dengan didirikannya agen-
agen dakwah baru oleh pemerintah Saudi Arabia. Di Indonesia berdiri DDII dan
LIPIA yang berperan sebagai agen dakwah dan pendidikan Islam.34
Selain itu, perkembangan gerakan dakwah salafi tidak lepas dari lembaga
penyumbang dana bersekala internasional maupun lokal. Beberapa lembaga
tersebut seperti Al-Mu’assasat al-Haramayn al Khairiyyah (Yayasan Amal al-
Haramain) yang berpusat di Saudi Arabia dan Al-Jam‘iyyah Ihya at-Turāth al-
Islāmiyyah (Lembaga Pemeliharaan Warisan Islam). Selain itu terdapat pula
bantuan perseorangan. Amir Ali Bawazir, salah seorang pengusaha Nasional
keturunan Arab dari Semarang menyumbangkan sebidang tanah dekat kampus
Universitas Diponegoro untuk dibangun masjid sebagai pusat kegiatan dakwah
salafi. Dari sumbangan dana tersebut, gerakan dakwah salafi ini banyak
mendirikan yayasan di Indonesia sebagai lembaga dakwah dan menyediakan
beragam fasilitas gerakan dakwah seperti pembangunan masjid, pesantren,
madrasah.35

31
Ibid.
32
Ibid., hlm. 52.
33
Wawancara dengan Zainal Musthofa, Kebarongan 14 Mei 2006.
34
Noorhaidi, Laskar Jihad, hlm. 54.
35
Ibid., hlm. 48-52.

9
10

2. Ketegangan dan Konflik Internal Gerakan Dakwah Salafi Indonesia

Dalam perkembangan dakwahnya, semenjak tahun 1996 di dalam tubuh


gerakan salafi ini telah terjadi konflik yang serius. Persaingan antar tokoh menjadi
salah satu pemicu ketegangan di antara mereka. Munculnya beberapa tokoh pada
awalnya memang menjadi faktor penguat bagi perkembangan dakwah salafi. Akan
tetapi, dalam perjalananya, konflik internal muncul dari para tokoh ini. 36
Ketegangan bermula dari persaingan antara Ja‘far Umar Thalib dengan Abu
Nida yang telah terlebih dahulu mengembangkan dakwah salafi di Yogyakarta.
Sekembalinya dari Yaman, Ja‘far Umar Thalib memilih Yogyakarta sebagai
tempat tinggal dan berdakwah dan membentuk Yayasan As-Sunnah dengan pusat
di Pesantren Ihya as-Sunnah Degolan, Sleman Yogyakarta. Dengan
pengetahuannya mengenai ajaran Wahabi dan kefasihan dalam berbahasa Arab,
serta kemampuan dalam berpidato, menjadikannya sebagai muballigh dan tokoh
yang berpengaruh di kalangan pengikut salafi. Dalam waktu singkat dia
memperoleh banyak pengikut dari kalangan mahasiswa. Keadaan ini menambah
rasa percaya diri beliau untuk berperan sebagai tokoh utama gerakan salafi,
menggeser peranan Abu Nida. Dari sinilah konflik antara keduanya dimulai.
Konflik antara keduanya ini mencapai puncak dengan Abu Nida menarik diri
dari semua kegiatan yang berhubungan dengan kelompok Degolan dan mendirikan
yayasan Majlis at-Turats al-Islami di Piyungan, Bantul. Tindakan ini diikuti oleh
Ahmas Faiz dengan mendirikan pesantren al-Imam al-Bukhari di Selokaton,
Surakarta. Mulai ketika itulah dakwah salafi pecah menjadi dua.37 Kelompok
Ja’far terkenal dengan kelompok salafi Yamani dan Kelompok Abu Nida dan
Ahmas Faiz dikenal dengan kelompok salafi haraki. Perpecahan antara dua kubu
tersebut semakin memanas ketika Ja‘far Umar Thalib menuduh Abu Nida sebagai
seorang surūrī, yaitu pengikut Muhammad bin Surur al-Nayef Zainal Abidin,
salah seorang mantan anggota Ikhwan yang kemudian aktif dalam gerakan salafi.
Ibnu Surur berusaha untuk menggabungkan dan mensintesakan gerakan dakwah
salafi dengan Ikhwanul Muslimin.38
Konflik di dalam gerakan salafi di Indonesia semakin tajam ketika tahun
1996 Jam‘iyyah al-Turāth al-Islāmī mengirim Abdurrahman Abdul Khaliq,
mantan seorang Ikhwanul Muslimin yang kemudian aktif dalam gerakan salafi,
untuk meredam perpecahan dan melakukan konsolidasi dakwah salafi di Indonesia

36
Ibid., hlm. 57.
37
Ibid., hlm. 77-78.
38
Kalangan salafi menganggapnya sebagai sebuah kesalahan serius kerana mencampur adukkan
yang benar dengan faham hizbiyyah yang tidak ada dasarnya dalam agama. Ikhwanul Muslimin
menurut para aktivis salafi adalah sebuah gerakan hizbiyyah, sebuah gerakan dengan semangat
kelompok dan berjuang untuk kepentingan golongan saja. Ini menyalahi prinsip dakwah salafi yang
berdakwah untuk tegaknya tauhid. Dari sinilah muncul istilah fitnah surūriyyah dalam gerakan salafi.
Ibid, hlm. 77-81.

10
11

dengan mengunjungi Pesantren Al-Irsyad Tengaran.39 Dalam kesempatan tanya


jawab, Shaleh Suaidi, salah seorang pendukung Abu Nida bertanya tentang orang-
orang yang mengkritik tokoh salafi yang diagung-agnkan oleh para pengikut
salafi. Abdurrahman menjawab bahawa orang seperti itu tidak pernah ada dan
menyarankan orang yang berkeyakinan seperti itu harus segera bertobat. Ja‘far
Umar Thalib menganggap pertanyaan Shaleh Suaidi ditujukan untuk menyindir
Ja‘far dan disengaja untuk menjatuhkan beliau di hadapan Abdurrahman. Ja‘far
Umar Thalib semakin keras mengkritik Abu Nida dan menganggap Yusuf Usman
Baisa, berada di fihak Abu Nida. Ja‘far Umar Thalib dengan terang-terangan
menuduh keduanya sebagai pengikut surūriyyah.40

3. Jaringan Dakwah Salafi Ihya As-Sunnah

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, untuk mengembangkan dakwah


salafi, pada tahun 1994, Ja‘far Umar Thalib dan para pengikutnya membangun
sebuah pesantren yang bernama Pesantren Ihya as-Sunnah dan berlokasi di
Degolan Kaliurang, lebih kurang 16 kilo meter arah utara Yogyakarta. Pesantren
ini dibangun di atas tanah tidak lebih dari 300 meter persegi yang disewa selama
sepuluh tahun, mengelilingi sebuah masjid kecil bernama Masjid Jamilur Rahman,
sekarang Masjid Uthman bin Affan. Pada tahun 2000, pesantren ini mempunyai 70
orang santri dengan rentang usia tujuh hingga tujuh belas tahun. Beberapa di
antara santri tersebut adalah mahasiswa yang tinggal di desa-desa sekitar
pesantren.41 Santri dibagi ke dalam tiga kelompok menurut usia. Untuk kegiatan
belajar mengajar ini, Ja‘far Umar Thalib merekruit Muhammad Umar as-Sewed,42
salah seorang alumnus LIPIA yang telah menyelesaikan belajarnya di sebuah
halaqah pusat pengajian Islam di Saudi Arabia di bawah bimbingan Muhammad
bin Shalih al-Uthaimin.
Ihya as-Sunnah Degolan merupakan pelopor bagi pesantren-pesantren salafi
yang lain. Pesantren ini giat mengirimkan para santri dan alumninya berdakwah di
daerah-daerah. Dari kegiatan dakwah ini, lahirlah pusat-pusat gerakan dakwah
salafi di berbagai daerah di Indonesia. Tahun 2000 telah berdiri puluhan pesantren
yang berada di dalam jaringan Ihya as-Sunnah seperti Pesantren al-Madinah Solo,
Minhaj as-Sunnah Magelang, Lu’lu wal Marjan Semarang, Diyaus Sunnah
Cirebon, Ihyaus Sunnah Bandung, As-Sunnah Makasar, al-Atsariyah

39
Namun, kerana fikiran-fikirannya yang banyak dipengaruhi oleh ideologi Ikhwanul Muslimin,
dia dinyatakan sesat oleh Rabi‘ bin Hadi al-Madkhali,. Rabi‘ memberi teguran melalui surat-suratnya
yang dikirimkan kepada Abdurrahman Abdul Khaliq. Surat-surat tersebut telah dibukukan dalam
sebuah buku An-Nasr al-Aziz ‘ala ar-Radd al-Wajiz dengan kata pengantar dari tokoh-tokoh salafi
seperti Abdul Aiz bin Baz, Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shalih bin Fauzan al-Fauzan dan lain-
lain. Lihat Rabi‘ bin Hadi ‘Umair al-Madkhali, An-Nasr al-Aziz ‘ala ar-Radd al-Wajiz, Al-Madinah an-
Nabawiyyah: Maktabah al-Ghuraba al-Athariyyah, 1996.
40
Noorhaidi, Laskar Jihad, hlm. 79
41
Wawancara dengan beberapa alumni Pesantren Ihyaus Sunnah dari Banyumas.
42
Muhammad Umar as-Sewed sekarang adalah pemimpin Pesantren Dhiya as-Sunnah Cirebon.

11
12

Temanggung, Ittibaussunnah Sukoharjo dan Magetan, Al-Salafi Jember, Ta‘zimus


Sunnah Ngawi, al-Bayyinah Gresik, al-Furqan Cilacap dan Pakanbaru,dan Ibnu
Qayyim di Balikpapan. Selain itu, beberapa pesantren juga muncul belakangan
seperti Difa‘u ‘anis Sunnah Yogyakarta dan Ibnu Taimiyyah Solo. Pesantren-
pesantren tersebut pada umumnya dipimpin oleh para alumni Pesantren Ihyaus
Sunnah Degolan yang dikirim oleh Ja‘far Umar Thalib belajar di Yaman bersama
Muqbil bin Hadi al-Wadhi‘i. Mereka antar lain Abdurrahman Lombok,
Muhammad Sarbini, Abdurrahman Wonosari, Idral Haris, Abu Qatadah, Abu
Muhammad Zulkarnain, Lukman Baabduh, Qomar Suaidi, Abdul Jabbar, Abdul
Mu‘thi al-Medani, Abdus Somad, Abu Hamzah Yusuf, Abu Karimah Asykari,
Abu Ubaidah Syarifudin, Assasuddin, Azhari Asri, Bukhari, Fauzan, Abu Ishaq
Muslim, Usamah Faisal Mahri dan Zul Akmal.43
Di kalangan pesantren jaringan Ihya as-Sunnah, pelajaran aqidah (teologi),
adalah mata pelajaran utama yang diajarkan. Kitab-kitab rujukan pesantren-
pesantren tersebut adalah kitab-kitab hasil karya ulama wahhabi seperti al-Qaul
al-Mufīd fī Adillat at-Tawhīd yang merupakan ringkasan dari Kitab at-Tawhīd
karya Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab at-Tawhīd dan komentarnya al-Qawl
as-Shadid ‘ala Kitāb at-Tawhīd karya Abdurrahman As-Su‘udi. Selain itu terdapat
pula al-Ushūl al-Thalāthah karya Muhammad bin Abd al-Wahhab yang diajarkan
sebelum belajar al-‘Aqīdah al-Wasitiyyah karya Taqyuddin Ahmad ibn Taimiyyah
atau kitab komentarnya Sharh al-‘Aqīdah al-Wasītiyyah karya Salih bin Fawzan
al-Fawzan. Setelah belajar buku-buku tersebut, beberapa kitab lanjutan seperti
Nabdha fī al-‘Aqīdah karya Muhammad bin Shalih al-Uthaimin, Syarh al-‘Aqīdah
al-Tahāwiyyah al-Muyassar karya Muhammad bin Abdil rahman al-Khamis dan
Manhaj al-Firqat al-Najiyyah karya Muhammad bin Jamil Zainu.44
Selain teologi, terdapat beberapa subjek lain seperti tafsir, hadith, usul fiqh,
fiqh dan metode dakwah. Dalam bidang tafsir, para santri belajar Usul at-Tafsīr
karya Muhammad bin Salih al-Uthaimin dan Aysir at-Tafsīr li Kalām al-‘Alī al-
Kabīr karya Abu Bakar Jabir al-Jazairi. Dalam bidang hadith, mereka belajar
beberapa kitab seperti al-Arba‘īn an-Nawawiyyah karya Imam an-Nawawi beserta
penjelasannya Syarh al-Arba‘īn an-Nawawiyyah karya Salih Alu Syaikh dan
Muzākarat al-Hadīth an-Nabawi karya Rabi‘ bin Hadi al-Madkali, Darurat al-
Ihtimām bi Sunan an-Nabawiyyah karya Abdussalam Abi Barjis ibn Nasir Abd al-
Karim. Sedangkan dalam bidang ushul fiqh, mereka belajar Usūl al-Fiqh dan al-
Usūl min ‘Ilm al-Usūl karya Muhammad bin Salih al-Uthaimin dan al-Waraqat fi
Usūl al-Fiqh karya Abd al-Malik ibn al-Juwaini. Dalam bidang fiqh, ditemukan
pula beberapa karya yang dipelajari para santri seperti taysir al-Fiqh karya Salih
bin Ghanim as-Sadlan, Minhāj al-Muslim karya Abu Bakar Jabir al-Jazairi, dan al-
Mulakhkhas al-Fiqhiy karya Salih bin Fauzan al-Fauzan. Sedangkan dalam bidang

43
Noorhaidi, Laskar Jihad.
44
Ibid., hlm. 86-87.

12
13

dakwah, para santri belajar Da‘wat ad-Du‘āt karya Ibn Aqyyim al-Jawziyyah dan
ad-Da‘wah ila Allah karya Ali Hasan al-Halabi al-Athari.45
Buku-kuku tersebut adalah buku-buku yang ditulis dengan bahasa Arab.46
Untuk itu, sebelum mempelajari buku-buku tersebut, para santri diharuskan belajar
Bahasa Arab sehingga mereka dapat memahami kandungan daripada karya-karya
tersebut. Para santri belajar nahw (tata bahasa), sharf (morfologi), mutāla‘ah
(membaca), imla’ (menulis), muhādasah (percakapan), dan balāgha (retorika).
Buku-buku yang dijadikan referensi dalam belajar Bahasa Arab antara lain an-
nahw al-wadīh, al-amthilat at-tashrīfiyyah, Qawā‘id as-Sarf, dan al-Balāghat al-
Wadhīhah. Untuk referensi tambahan, pesantren-pesantren tersebut juga
menggunakan buku al-‘Arabiyyat li an-Nāsyi’īn, sebuah buku pelajaran bahasa
Arab yang dibagikan secara gratis kepada lembaga-lembaga pendidikan Islam oleh
Kerajaan Arab Saudi.47
Selain membuka program pendidikan, beberapa pesantren mendirikan
stasiun radio dakwah. Radio ini menyiarkan ceramah agama yang disampaikan
oleh para ustadz. Ini seperti yang didapati di Pesantren Minhajus Sunnah Muntilan
dan Pesantren al-Furqan Cilacap. Selain itu, beberapa pesantren lain juga
menerbitkan bulletin dan majalah dakwah seperti Pesantren Dhiya’us Sunnah
Cirebon dan Pesantren As-Sunnah Makasar. Pesantren Dhiyaus Sunnah
menerbitkan bulletin Manhaj Dakwah Salafi sedangkan Pesantren As-Sunnah
menerbitkan sebuah majalah bertajuk An-Nashīhah.

4. Laskar Jihad
Gerakan dakwah salafi jaringan Ihnya as-Sunnah pimpinan Ja‘far Umar
Thalib mendapatkan perhatian masyarakat ketika mendirikan Laskar Jihad,
sebuah kelompok paramiliter yang beranggotakan para pemuda untuk jihad fi
sabilillah ke Maluku dan Poso. Laskar Jihad ini bergerak di bawah sebuah
organisasi yang bernama Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jama‘ah
(FKAWJ). FKAWJ ini didirikan di Solo 12 Februari 1998. FKAWJ dibentuk
sebagai wujud keprihatinan lemahnya pemahaman umat Islam Indonesia terhadap
ajaran Islam dan semakin menguatnya faham-faham lain yang bertentangan
dengan ajaran Islam.48 Ketika terjadi konflik di Maluku dan Poso, FKAWJ
kemudian berperan sebagai payung mobilisasi masyarakat berjihad ke daerah
konflik tersebut melalui pembentukan Laskar Jihad.
Laskar Jihad untuk pertama kali menarik perhatian publik ketika pada 6
April 2000 mengadakan tabligh akbar di Stadion Utama Senayan Jakarta. Tabligh
ini dihadiri oleh lebih kurang sepuluh ribu orang yang sebagian besar para
pemuda. Dalam tabligh ini, secara terbuka diungkapkan adanya pembantaian

45
Ibid.
46
Beberapa di antara buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan
diterbitkan oleh beberapa penerbit salafi.
47
Noorhaid, Laskar Jihad, hlm. 87.
48
Yunanto, Gerakan Islam, hlm. 43.

13
14

massal yang dilakukan orang-orang Kristen kepada Muslim Maluku. Ja‘far Umar
Thalib menyerukan kepada massa untuk berjihad membantu orang-orang Islam
Maluku tersebut. Untuk melegitimasi tindakan ini, mereka meminta fatwa kepada
sejumlah tokoh Timur Tengah. Mereka adalah Abd al-Razzaq ibn Abd al-Muhsin
al-‘Abbad, Muqbil bin Hadi al-Wadi‘i, Rabi‘ bin Hadi al-Madkhali, Salih as-
Suhaimiy, Ahmad Yahya ibn Muhammad an-Najmi, dan Wahid al-Jabiri. Para
ulama salafi tersebut mengeluarkan fatwa wajibnya berjihad ke Maluku. 49
Selain terlibat dalam konflik di Maluku, Laskar Jihad juga mengirimkan
beberapa ratus anggotanya, lebih kurang 700 relawan, ke Poso, Sulawesi Tengah
semasa ketika terjadi konflik. Mereka berkeyakinan telah terjadi pembantaian
massal yang dilakukan oleh penduduk lokal yang non muslim kepada para
pendatang yang mayoritas muslim. Di balik itu, terdapat konspirasi Zionis dan
Kristian internasional dalam konflik Poso. Selain di Poso, Laskar Jihad juga
berusaha untuk terlibat dalam konflik di Aceh yang melibatkan Gerakan Aceh
Merdeka dan konflik Papua yang melibatkan Kelompok Papua Merdeka. Namun,
usaha ini mengalami kegagalan karena penduduk lokal yang menolak intervensi
orang luar.50
Keterlibatan Laskar Jihad dalam berbagai konflik komunal di Indonesia,
pada satu sisi telah menunjukkan gerakan salafi sebagai sebuah gerakan sosial di
Indonesia yang agresif dan telah berhasil menarik massa. Namun, pada sisi lain
telah memunculkan ketegangan baru antara mereka dengan gerakan gerakan lain
dan juga Negara, bahkan ketegangan dalam kelompok mereka sendiri. Ini
berakibat pada tuduhan negatif terhadap gerakan salafi ini. Sebagian masyarakat
menuduh mereka sebagai agen dari Jaringan Al-Qaeda. Sebagian lain menyatakan
bahawa mereka adalah orang-orang lapangan yang dimanfaatkan dan bekerja
untuk beberapa tokoh elit pemerintah. Ini menjadi tekanan tersendiri bagi Laskar
Jihad.51
Tekanan lain yang tidak kalah serius adalah berubahnya kebijakan
pemerintah dalam menangani konflik yang terjadi. Pemerintah berusaha
menangani berbagai konflik dengan lebih serius dengan mengirimkan tentara dan
tokoh politik ke wilayah konflik. Dengan kebijakan ini, lahan kerja Laskar Jihad
diambil alih oleh aparat pemerintah. Tekanan dari pemerintah ini semakin serius
semasa pemerintah Megawati menekankan pentingnya cara-cara diplomatik,
dalam mengatasi konflik horizontal yang di beberapa daerah, terutama di Ambon
dan Poso, yang disertai peringatan agar semua kelompok paramiliter yang terlibat

49
Laskar Jihad mendirikan pusat pelatihan paramiliter yang bertempat di Bogor. Pelatihan
paramiliter ini dikoordinasi oleh para bekas anggota resimen mahasiswa yang ikut bergabung dalam
dakwah salafi dan veteran Perang Afganistan, Moro dan Kashmir. Mereka ini adalah para anggota
salafi yang memahami teknik ketentaraan. Pelatihan tersebut juga diduga melibatkan beberapa anggota
militer yang bertugas sebagai instruktur. Lihat Noorhaidi, Laskar Jihad, hlm. 117-118.
50
Noorhaidi, Ibid., hlm. 218.
51
Ibid., hlm. 236.

14
15

konflik segera dibubarkan dan membawa persoalan konflik ke meja


perundingan.52
Adanya berbagai tekanan tersebut berakibat peranan Laskar Jihad di daerah
konflik semakin berkurang dan memaksa mereka keluar dari daerah konflik.
Dengan demikian, Laskar Jihad kehilangan peran pentingnya di masyarakat. Pada
tanggal 12 Oktober 2002, Laskar Jihad dibubarkan berdasarkan pada sebuah fatwa
yang dikeluarkan oleh Rabi‘ bin Hadi al-Madkhali, salah seorang tokoh salafi
terkemuka dari Yaman yang menjadi panutan aktivis salafi di Indonesia. Alasan
pembubaran dalam fatwa tersebut karena gerakan ini telah menyimpang dari
tujuan semula untuk berjihad membela kaum Muslimin di Maluku. Selain itu,
Ja‘far Umar Thalib juga menambahkan bahwa situasi di Maluku telah pulih
sehingga Laskar Jihad tidak lagi diperlukan terlibat dalam penanganan konflik.53
Sesungguhnya, jauh sebelum peristiwa tersebut, tanda-tanda perpecahan
Laskar Jihad telah muncul ketika masih berada di Maluku dengan insiden Kebun
Cengkeh. Pada waktu itu, beberapa tokoh FKAWJ mulai merasakan langkah Ja‘far
Umar Thalib telah menyimpang dari tujuan Laskar Jihad. Beberapa tokoh seperti
Abu Munzir Zul Akmal dan Abu Muhammad Zulkarnain tidak puas dengan Ja‘far
Umar Thalib. Keduanya mencari dukungan dari kalangan para ustadz agar Laskar
Jihad dibubarkan. Kekecewaan mereka semakin bertambah ketika Ja‘far Umar
Thalib muncul di televisi bersama sejumlah politisi dan sejumlah pemimpin
organisasi Islam yang sebelumnya oleh Ja‘far Umar Thalib sendiri dituduh para
penyebar dakwah hizbiyyah. Kejadian ini membuat Zul Akmal dan Zulkarnain
mengirim surat kepada Rabi‘ bin Hadi al-Madkhali melaporkan langkah Ja‘far
Umar Thalib dan meminta fatwa mengenai pembubaran Laskar Jihad. Rabi‘ bin
Hadi merekomendasikan untuk membubarkan Laskar Jihad. Buntut fatwa tersebut,
pada bulan Oktober 2002 para ustadz salafi yang tergabung dalam dewan FKAWJ
mengadakan petemuan untuk membahas pembubaran Laskar Jihad di Yogyakarta.
Hampir semua ustadz Laskar Jihad datang dalam acara tersebut, termasuk Ja‘far
Umar Thalib. Namun, Ja‘far Umar Thalib keluar dari forum dan forum berjalan
tanpa kehadiran Ja‘far Umar Thalib. Forum ini menghasilkan beberapa keputusan
dan salah satu di antaranya adalah pembubaran Laskar Jihad.54
Setelah pertemuan tersebut, delapan orang ustadz menemui Ja‘far Umar
Thalib meminta Ja’far membubarkan Laskar Jihad. Mereka berkata bahawa
keputusan pembubaran tersebut telah disetujui oleh semua cabang Laskar Jihad
yang ada sehingga secara de facto Laskar Jihad sudah tidak lagi ada. Ja‘far Umar
Thalib tetap bersikukuh pada pendiriannya untuk mempertahankan Laskar Jihad
dan tidak ingin membubarkannya. Namun, beberapa hari setelah berlaku
peledakan bom di Bali, Ja‘far Umar Thalib merubah pendiriannya dan
mengumumkan pembubaran Laskar Jihad. Buntut pembubaran Laskar Jihad,

52
Ibid.
53
Ibid.
54
Ibid.

15
16

Ja‘far Umar Thalib ditinggalkan oleh para pengikutnya. Para santri yang belajar di
Pesantren Ihya as-Sunnah Degolan telah pergi untuk belajar di pesantren-
pesantren salafi lainnya.55

D. Islam Puritan dan Dakwah Salafi di Banyumas

Dalam perkembangan gerakan dakwah salafi di Indonesia, wilayah


Banyumas bagian tenggara ini menjadi salah satu pusat gerakan dakwah salafi di
Jawa Tengah. Pada waktu mobilisasi massa yang dilakukan oleh FKAWJ melalui
pembentukan Laskar Jihad, wilayah ini berhasil menggalang massa tidak kurang
dari 350 orang pemuda sebagai relawan, sebuah jumlah yang cukup besar untuk
ukuran daerah pinggiran. Di daerah ini juga telah berdiri beberapa yayasan
dakwah salafi yang masing-masing mengelola sebuah pesantren yaitu Yayasan
Ibnu Taimiyyah di Sumpiuh, Yayasan Al-Furqan dan Yayasan al-Manshurah di
Kroya.
Bagaimana gerakan dakwah salafi dengan teologi puritan radikalnya dapat
tumbuh dan berkembang di wilayah tersebut? Bagian ini berusaha menjawab
pertanyaan tersebut. Pembahasan diawali dengan perkembangan dakwah Islam
dan tradisi Islam puritan di wilayah Banyumas bagian tenggara. Dari kajian
tersebut diharapkan dapat diketahui kemungkinan adanya hubungan antara
dakwah salafi dengan gerakan dakwah Islam yang telah ada, baik hubungan
kelembagaan maupun hubungan ideologis. Setelah itu dilanjutkan dengan
membahas sejarah perkembangan dakwah salafi di Banyumas hingga muncul
beberapa pusat gerakan dakwah salafi di wilayah ini.
Berkembangnya gerakan salafi di wilayah Banyumas tidak dapat dilepaskan
dari peranan lembaga-lembaga Islam dengan ideologi puritan yang telah ada
sebelumnya. Beberapa lembaga keagamaan yang selama ini dikenal sebagai
lembaga yang mempunyai hubungan erat dengan pemerintah Kerajaan Saudi
Arabia seperti DDII dan LIPIA banyak berperan terhadap munculnya gerakan
dakwa di wilayah ini.56
DDII dan LIPIA mempunyai peranan penting terhadap perkembangan Islam
puritan di daerah ini semenjak pemerintahan Orde Baru. Pada period 1980an,
DDII pernah memberikan dana bantuan kepada Pesantren Kebarongan. Selain itu,
lembaga agensi ini juga mempunyai peranan yang penting bagi terselenggaranya
program pengiriman beberapa alumni madrasah ini untuk belajar ke Timur
Tengah. Selain DDII, banyaknya alumni LIPIA yang berasal dari daerah
Banyumas bagian tenggara ini merupakan salah satu faktor berkembangnya
gerakan salafi di daerah ini. Selain alumni LIPIA, alumni Timur Tengah juga
mempunyai peranan penting dalam dakwah salafi di Banyumas. Beberapa aktivis

55
Ibid.
56
Ibid.

16
17

dakwah salafi ini adalah para alumni Timur Tengah, baik dari Saudi Arabia
mahupun Yaman.
Selain peranan lembaga bertaraf nasional, perkembangan Islam puritan di
wilayah ini juga didukung oleh lembaga pendidikan lokal. Yayasan Pondok
Pesantren Mesjid Madrasah Wathoniyah Islamiyah (POMESMAWI) Kebarongan
adalah salah satu lembaga lokal yang berperan besar terhadap perkembangan dan
penyebaran Islam puritan di wilayah ini. Lembaga ini dikenal sebagai sebuah
lembaga yang beraliran modernis dan telah lama dikenal sebagai pesantren Islam
puritan. Lembaga ini mempunyai peranan penting bagi berkembangnya ideologi
Islam puritan di Banyumas.
Meskipun pesantren ini bukanlah sebuah pesantren salafi, dalam
perkembangannya, banyak alumni lembaga pendidikan ini yang kemudian terlibat
aktif sebagai aktivis dakwah salafi. Banyak diantara para ustadz yang aktif dalam
aktivitas dakwah salafi di wilayah ini adalah para alumni Pesantren Kebarongan.

1. Islam Radikal di Pesantren Kebarongan

Sebagai sebuah agen dakwah Islam puritan, Pesantren Kebarongan memiliki


potensi bagi berkembangnya ideologi militan. Ideologi militan pernah dianut oleh
sebagian kalangan di lingkungan Pesantren Kebarongan ini. Munculnya kelompok
Islam radikal di lingkungan Pesantren Kebarongan bersamaan dengan munculnya
fenomena Islam radikal di Indonesia pada pada pertengahan periode 1980-an.
Ahmas Faiz Asifuddin adalah salah seorang yang berperan penting terhadap
munculnya faham radikal di lingkungan pesantren Kebarongan ini. Dialah yang
mengajak kalangan pesantren Kebarongan untuk kembali secara konsekuwen
mengamalkan isi kitab Fathul Majīd yang telah lama diajarkan di lingkungan
pesantren.57 Ajakan ini berangkat dari ketidakpuasannya terhadap faham tauhid
yang dilakukan oleh pesantren Kebarongan. Masih terdapat praktek-praktek
keagamaan di lingkungan pesantren yang bertentangan dengan doktrin teologi
puritan dan dinilai bid‘ah58 dan pada level teoretikal juga mereka tidak mengikuti
metode kitab Fathul Majid dalam memahami ajaran agama Islam. Ahmas Faiz
mengingatkan kembali agar doktrin ajaran ibn Abdul Wahhab untuk diterapkan
secara optimal. Doktrin yang ada dalam kitab Fathul Majid harus diamalkan
secara total dengan cara mencontoh amalan agama yang dilakukan oleh Sahabat
dan Tabi‘in.
Hubungan beberapa ustadz dan santri yang mempunyai ideologi radikal
dengan kelompok gerakan Islam radikal juga menjadi penyebab munculnya
kelompok Islam Radikal di Pesantren Kebarongan. Hubungan ini bersifat
sembunyi-sembunyi. Beberapa kali para ustadz tersebut mendatangkan tokoh

57
Wawancara dengan Zeinal Musthofa, 11 Maret 2006.
58
Wawancara dengan Rahmat Abdullah, 21 Februari 2006; wawancara dengan Zeinal Mustofa,
12 Maret 2006.

17
18

gerakan Ikhwanul Muslimin ke dalam lingkungan pesantren melalui program


kursus bahasa Arab bagi para santri. Melalui kursus bahasa Arab inilah doktrin-
doktrin gerakan Ikhwanul Muslimin mulai dikenalkan kepada para santri. Dengan
cara seperti ini, aktivitas dakwah kelompok Islam radikal tidak dicurigai oleh
pihak pesantren yang tidak setuju dengan kelompok Islam radikal.59 Namun, usaha
kelompok ini mengalami kegagalan. Ajakan untuk berteologi sesuai dengan
doktrin wahhabiyah hanya diikuti oleh sebagian kecil guru dan santri. Mayoritas
kalangan dalam Pesantren Kebarongan ini tetap menginginkan pesantren
Kebarongan sebagai pusat dakwah dan pendidikan Islam dengan teologi puritan
moderat yang toleran sampai sekarang.
Beberapa ustadz yang menaruh simpati terhadap ajakan Ahmas Faiz
Asifuddin, seperti Sulthan Abdul Hadi, Sa‘id Ahsan (Sangidin), dan Zainal
Musthafa Adnan dan Sucipto kemudian keluar dari Pesantren Kebarongan.
Mereka mendirikan sebuah pesantren dengan nama Pesantren Ibnu Taimiyyah
yang diselenggarakan di bawah Yayasan Ibnu Taimiyyah, yang berlokasi di Desa
Kebokura, Sumpiuh, Banyumas, lebih kurang lima kilometer sebelah timur
Pesantren Kebarongan. Sekarang, pesantren ini telah menjadi satu pusat kegiatan
dakwah salafi di wilayah tersebut. Setelah itu, di wilayah ini muncul pula pusat
pengajian salafi lain seperti Yayasan al-Furqan dengan Pesantren al-Furqan dan
Yayasan Al-Manshurah dengan Pesantren Al-Manshurah di Kroya.

2. Pesantren Salafi di Banyumas

Salah satu pesantren salafi di Banyumas adalah Pesantren Ibnu Taimiyah.


Pesantren terletak di kelurahan Kebokura kecamatan Sumpiuh, kabupaten
Banyumas, lebih kurang lima kilometer sebelah timur Kebarongan. Pesantren ini
didirikan pada tahun 1998 oleh orang-orang yang tidak puas dengan pesantren
Kebarongan dan bernaung di bawah sebuah badan hokum yang bernama Yayasan
Ibnu Taimiyyah. Yayasan ini berdiri dan terdaftar sebagai sebuah lembaga rasmi
dengan akte notaries 7 November 1998 (7/11/1998 B.H./10/YS/98). Tiga orang
bekas pengajar di MWI, Sulthon Abdul Hadi, Zeinal Musthofa dan Sa‘id Ahsan
(Sangidin) dan Sucipto terlibat dalam proses berdirinya pesantren ini.60 Pesantren
ini menempati sebuah area tanah lebih kurang seluas 1500 meter persegi. Dana
pembangunan pesantren ini berasal dari sumbangan masyarakat. Di antaranya,
Fuad Bawazir, salah seorang mantan pegawai pemerintah pusat dan pengusaha
Nasional telah menyumbangkan dana untuk pembangunan pesantren ini. Selain

59
Didapatkan informasi bahawa salah seorang aktivis Ikhwanul Muslimin, Bukhari Yusuf,
pernah mengajar di Pesantren Kebarongan ini. melalui kursus Bahasa Arab yang diadakan di pesantren
ini. Wawancara dengan Zeinal Musthofa, Kebarongan, 24 Mei 2006.
60
Namun, Sucipto keluar dari kelompok ini dan kembali lagi mengajar di MWI sampai
penyelidikan ini dilakukan.

18
19

itu, beberapa fihak dari Timur tengah juga menjadi donor bagi pembangunan
Pesantren Ibnu Taimiyyah.61
Selain pesantren Ibnu Taimiyyah, terdapat pula Pesantren Al-Manshurah.
Pesantren ini terletak di desa Mujur, Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap, lebih
kurang dua kilo meter dari desa Kebarongan ke arah barat selatan. Yayasan Al-
Manshurah ini berdiri pada tahun 2001 dalam bentuk badan hukum dengan akta
notaris No. 37 Tanggal 27 Maret 2001. Yayasan pendidikan Islam ini dirintis oleh
Tsanin Hasanudin, salah seorang alumni Pesantren Kebarongan dan Pesantren
Ihyaus Sunnah Degolan, sekaligus seorang veteran anggota Laskar Jihad.
Pesantren ini berdiri di atas lahan tanah lebih kurang seluas 500 meter persegi,
terdiri dari bangunan masjid (Masjid As-Salam), asrama sebagai tempat tinggal
para santri dan tempat tinggal pengasuh pesantren. Jumlah ustadz (pengajar)
sebanyak 17 orang. Pesantren ini membuka beberapa program pendidikan agama
dalam bentuk madrasah. Selain dana dari para donator yang bersifat individual,
atas kerja samanya dengan pemerintah setempat, Yayasan Al-Manshurah juga
mendapatkan dana bantuan dari pemerintah Kabupaten Cilacap.
Satu lagi di antara yayasan-yayasan salafi yang ada di wilayah Banyumas
bagian Tenggara ini adalah Yayasan Al-Furqan. Yayasan ini terletak di Jalan Gala
tidak jauh dari Stasiun Kroya. Yayasan ini telah menjadi sebuah lembaga dakwah
dan pendidikan dengan status badan hukum dengan akta notaries Naimah SH No.
C 129 HT-03, 01 Tahun 1995. Yayasan Al-Furqan ini dirintis oleh Tsanin
Hasanudin, Ngadiwiyono dan Mufid Arif setelah mereka kembali dari pesantren
Ihya`us Sunnah Yogyakarta pada tahun 1995. Selama beberapa masa segala
kegiatan pendidikan di pesantren ini terhenti karena pergi ke Ambon bersama
Laskar Jihad. Pesantren Al-Furqan ini dipimpin oleh seorang mantan anggota
Laskar Jihad yang berasal dari Makasar keturunan Jawa yang bernama Abu Ishaq
Muslim, LC, seorang alumni sebuah Universitas di Yaman. Abu Ishak termasuk
salah seorang yang dikirim oleh Ja‘far Umar Thalib utuk belajar di Pusat
Pengajian Islam Yaman yang didirikan oleh Rabi‘ bin Hadi al-Madkhali.
Pesantren-pesantren salafi pada umumnya menfokuskan pada pendidikan non
formal. Pesantren Ibnu Taimiyyah mengadakan program pendidikan dalam bentuk
madrasah bagi anak-anak mulai tingkat Ibtidaiyyah dalam kelas menghafal al-
Quran (ma‘had Tahfīdz al-Qur’ān), pendidikan untuk anak-anak setingkat
Tsanawiyyah yang diberi nama ma‘had mutawassithah dan juga pendidikan untuk
orang dewasa dalam bentuk Ma‘had Ilmu-ilmu Syari‘ah. Sedangkan Pesantren al-
Manshurah menfokuskan pada pendidikan anak-anak dan remaja dalam bentuk
tahfīdz al-Qur’an. Sementara Pesantren al-Furqan khusus bagi pendidikan dewasa.
Selain lembaga pendidikan madrasah, pesantren-pesantren salafi juga
mengadakan pengajian keagamaan untuk masyarakat juga diselenggarakan di

61
Pesantren ini pernah mendapatkan tawaran dana bantuan lebih kurang 350.000 real dari salah
satu lembaga donor yang berpusat di Saudi Arabia, akan tetapi gagal kerana terlambat merespons.
Wawancara dengan Arif Mufid, salah seorang ustadz pesantren Ibnu Taimiyyah. 16 Maret 2006.

19
20

pesantren ini dalam bentuk halaqah dan daurah yang bertempat di masjid-masjid
pesantren. Pengajian ini dilaksanakan dalam bentuk halaqah harian, mingguan
ataupun bulanan. Halaqah bulanan adalah halaqah yang paling ramai dikunjungi
peserta. Massa yang datang dari luar daerah seperti Banjarnegara, Purnalingga,
Brebes dan Cilacap. Kegiatan ini diselenggarakan pada hari sabtu kedua pada
setiap bulan. Sedangkan daurah biasanya diadakan bersamaan dengan liburan
panjang sekolah dan pada bulan puasa.
Perkembangan dalam bidang teknologi telah pun memberikan pengaruh bagi
perkembangan dakwah salafi. Telefon merupakan jenis media yang digunakan
Yayasan Ibnu Taimiyyah dalam berdakwah. Alat komunikasi ini digunakan untuk
mengadakan ceramah jarak jauh dalam bentuk teleconference dengan ulama
Timur Tengah secara langsung. Beberapa ulama salafi dari Timur Tengah seperti
Rabi‘ bin Hadi Al-Wadhi’i dan Muhammad bin Hadi Al-Madkhali dari Yaman,
Syaikh ‘Aid al-Samarrai dari Saudi Arabia pernah melakukan ceramah secara
langsung melalui talian telefon.62 Selain itu, dakwah juga dilakukan melalui
brosur, bulletin, buku dan radio dakwah. Yayasan Ibnu Taimiyyah telah merintis
usaha penerbitan bulletin yang bernama Buletin Al-Abrar yang terbit setiap Jumat.
Buletin ini dijadikan media untuk menyebarkan ajaran salafi dalam bentuk risalah
(tulisan) singkat. Yayasan Al-Manshurah memilih menerbitkan buku sebagai
media dakwah melalui divisi penerbitan yang bernama Pustaka Nurul Qalb. Buku-
buku yang diterbitkan berupa terjemahan dari buku-buku bahasa Arab karya para
ulama Timur Tengah yang dilakukan oleh sebuah team penerjemah dengan nama
Tim Syabab Masjid As-Salam. Dari tangan tim ini, Pustaka Nurul Qalb ini telah
menerbitkan buku Sepercik Embun Keimanan yang merupakan terjemahan dari
kitab Al-Maqāmat wa al-Ahwāl, sebuah karangan yang berisi ajaran etika dalam
Islam karya Ibnu Taimiyyah dan juga telah terbit Ringkasan Sifat Shalat Nabi,
terjemahan dari karya Nashiruddin al-Albani Sifātu Salāt al-Nabi SAW min al-
Takbīr ilā al-Taslīm kamā tarāha, sebuah buku yang memuat tuntunan shalat
menurut ajaran Rasulullah. Pesantren salafi juga dilengkapi dengan stasiun radio
dakwah, seperti Pesantren Ibnu Taimiyyah dan Pesantren Al-Furqan. Melalui
radio inilah beragam kegiatan ceramah dan kegiatan dakwah disuarakan kepada
masyarakat sekitar.63

E. Doktrin Salafi : Dari Teologi Puritan Sampai Anti Politik

62
Wawancara dengan Ahmad Firdaus, Sumpiuh, 19 Mei 2006; Zainal Musthofa, 25 Mei 2006.
63
Dakwah dengan menggunakan radio ini menjadi salah satu kebiasaan kaum salafi dalam
berdakwah semenjak periode 1990-an di berbagai daerah di Indonesia. Selain Yayasan Ibnu Taimiyyah
dan Al-Furqan, di wilayah Banyumas sendiri terdapat beberapa pemancar radio dakwah yang
diselenggarakan oleh kelompok salafi seperti di kompleks Masjid Al-Faruq Purwokerto, kompleks
Masjid Jami Karang Tengah Gombong Kebumen dan radio dakwah Yayasan Anwarussunnah
Petanahan, Kebumen.

20
21

Orang-orang salafi dikenal sebagai orang yang sangat keras dan tidak mau
berkompromi dalam memegang prinsip doktrin salafi. Mereka tidak segan untuk
mengkritik dan memandang sesat kelompok lain yang dipandang tidak
mengamalkan ajaran agama sesuai dengan faham mereka. Sebutan ahli bid‘ah
adalah salah satu kata yang sering dikeluarkan mereka untuk menyerang kelompok
lain. Tuduhan ini tidak hanya ditujukan kepada kelompok yang dipandang sebagai
kelompok Islam moderat atau Liberal, tetapi juga didakwakan kepada beberapa
kelompok Islam fundamentalis yang dipandang sebagai gerakan kaum muslimin
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.64 Siapapun yang tidak sesuai dengan faham
mereka dianggap sesat.

1. Kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah

Gerakan salafi dikenal sebagai sebuah gerakan dakwah yang menekankan


kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman. Segala amalan
keagamaan merujuk sumber utama ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadith. Jika
tidak demikian, maka amalan keagamaan tersebut menyimpang dan sesat. Agar
beragama sesuai dengan kedua sumber tersebut, mereka merujukkan amalan
mereka kepada amalan keagamaan yang telah dijalankan oleh Nabi dan Sahabat,
dan Tabi’in melalui sandaran yang tepat. Mereka memandang bahawa generasi
Muslim pertama adalah contoh ideal bagi mereka.65
Dalam usahanya mengajak kembali untuk mencontoh salaf as-sālih ini,
orang-orang salafi menggunakan hadith sebagai sumber ajaran yang sangat
penting. Hadith merupakan dokumentasi dari Sunnah Nabi. Sedangkan sunnah
Nabi merupakan amalan nyata yang terkandung dalam al-Qur’an. Sunnah Nabi
harus digunakan sebagai pedoman untuk melaksanakan ajaran Islam dengan benar.
Dengan demikian, menghidupkan kembali sunnah Nabi sangat penting dilakukan
untuk menjalankan ajaran Islam dengan benar sehingga tergolong orang yang
berhasil (al-firqat an-nājiyah) dan mendapat pertolongan (at-tā’ifat al-
Mansūrah).66

2. Tauhid Murni

Kaum salafi memandang tauhid dalam pengertian mengesakan Tuhan


(Allah) sebagai Tuhan semesta sebagai inti daripada doktrin mereka.67 Keesaan
tersebut harus diimplementasikan dalam kehidupan mereka, dalam beribadah dan

64
Luqman Baabduh, Mereka, hlm. 230; Abduh Zulfidar Akaha, Siapa Teroris? Siapa Khawarij:
Bantahan terhadap Buku Mereka Adalah Teroris, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006; Muhammad Umar
As-Sewed, “Membela Sunnah Nabawiyah”, Salafi 13, hlm. 27-36.
65
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Kedudukan as-Sunnah dalam Islam, Salafi 13(1997), hlm.
20-26; Hasan bin al-Hasin al-Husaini, Irsyad al-Bariyyah, Sana’a: Dar al-Athar, t.th., hlm. 23.
66
As-Sewed, “Membela”, hlm. 34.
67
Ibid.

21
22

dalam meyakini keberadaan dan keesaan Allah sebagai Sang Pencipta dan
Penguasa alam. Mereka membagi tauhid ke dalam tiga bagian yaitu tauhīd
‘ubūdiyyah (tauhid dalam beribadah), tauhīd rubūbiyyah (tauhid dalam ketuhanan)
dan tauhid asma’ wa sifat (tauhid dalam nama dan sifat Allah). Tauhīd ulūhiyyah
bermakna Allah adalah satu-satunya Tuhan yang harus disembah dalam beribadah.
Tauhīd rubūbiyyah bermakna Allah adalah satu-satunya Tuhan pencipta alam dan
Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu. Sedangkan Tauhīd asmā’ wa sifat
bermakna meyakini semua nama dan sifat Allah yang ada dalam al-Quran dan
sunnah sahihah tanpa ada syak sedikitpun tentangnya. Selain daripada itu, tauhid
ini juga bermakna tidak mempersamakan nama dan sifat Tuhan dengan makhluk
ciptaan-Nya.68
Untuk menjaga kemurnian tauhid tersebut, kaum salafi menekankan
pentingnya menjauhkan diri dari segala amalan yang menyimpang dari ajaran
tauhid dengan menentang segala bentuk amalan agama yang dipandang dapat
mengotori kemurnian tauhid mereka dan menjerumuskan mereka kepada amalan
syirik (mempersamakan Tuhan dengan ciptaan-Nya). Dalam level praktis, kaum
salafi menentang taqlīd (mengikut pendapat secara membabi buta) dan ber-
madhhab karena dengan melakukan keduanya artinya menyerahkan diri kepada
manusia, bukan kepada Tuhan. Sedangkan berserah diri kepada selain Tuhan
adalah haram. Meskipun menentang taqlid, tetapai dakwah salafi juga tidak
menganjurkan untuk melakukan ijtihad (penalaran dalam penafsiran) dalam
berbagai bentuknya seperti ijma’ dan qiyas karena sering tidak
mempertimbangkan makna literal teks dan terlalu banyak menggunakan akal
dalam memahami teks agama.69

3. Ahlussunnah wal Jamā‘ah

Istilah ahlussunnah wal jama`āh pernah digunakan sebagai nama organisasi


yang didirikan oleh para aktivis salafi yaitu Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal
Jama‘ah (FKAWJ) untuk menggalang massa berjihad ke Ambon melalui Laskar
Jihad. Kaum salafi mengkritik beberapa kelompok gerakan lain yang menganggap
diri mereka ahlussunnah, sedangkan mereka masih mengamalkan amalan yang

68
Zainul Arifin an-Nawawi, “Pembagian Tauhid Menurut Ahlussunnah Wal Jama’ah, Salafi 13,
1997, hlm. 22.
69
Dalam konteks inilah gerakan salafi berbeda, bahkan bertentangan, dengan pandangan para
reformis Islam seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh yang banyak menganjurkan
umat Islam untuk melakukan ijtihad dan menggunakan akal sebagai usaha untuk mewujudkan kejayaan
umat Islam. Selain menentang ijtihad, kaum salafi mengecam keras beberapa gerakan Islam yang
dipandang banyak menggunakan akal dalam memahami ajaran agama. Islam liberal adalah kelompok
Islam yang paling banyak mendapatkan kritik keras dari gerakan salafi ini karena banyak menggunakan
penalaran dalam memahami ajaran Islam. Noorhaidi, Laskar Jihad, hlm. 138.

22
23

bertentangan dengan amalan ahlussunnah. Bagi kaum salafi, salafi adalah


ahlussunnah dan ahlussunnah adalah salafi. 70
Di Indonesia telah terjadi perdebatan panjang di antara organisasi-organisasi
keagamaan mengenai ahlussunnah wal jamā‘ah ini di antara organisasi-organisasi
keagamaan. Perdebatan ini melibatkan berbagai-bagai organisasi. NU adalah
organisasi keagamaan yang paling banyak dan paling serius membincang tentang
konsep ahlussunnah wal jamā‘ah ini. Dalam anggaran dasar organisasi, NU secara
tegas menyatakan bahwa organisasi ini adalah penganut fahaman ahlussunnah wal
jama‘ah. Namun, NU mendefinisikan ahlussnnah wal jama‘ah sebagai kemestian
bermazhab dalam menjalankan amalan keagamaan. Dalam bidang fiqh, bermazhab
kepada salah satu daripada mazhab fiqh yang berjumlah empat yaitu Mazhab
Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanbali.71 Sedangkan dalam
bidang teologi menganut salah satu daripada dua aliran teologi yang
mengkombinasikan teks dan rasio yaitu Asy‘ariyah dan Maturidiyyah.72
Ahlussunnah mensyaratkan segala pandangan dan amalan agama harus
disandarkan kepada pendapat ulama yang ada dalam karya mereka (Masyhuri,
1993).
Adapun Muhammadiyah memahami ahlussunnah wal jamaah dengan
mengikuti prinsip yang digunakan dalam keyakinan dan amalan keagamaan para
ulama mazhab serta berjuang untuk kemenangan dan kejayaan Islam.73 Oleh
kerana yang dicontoh adalah prinsip dalam memahami ajaran agama, maka ijtihad
mempunyai posisi penting bagi Muhammadiyah. Melalui ijtihad inilah kaedah-
kaedah dalam memahami ajaran agama Islam ini digunakan.74 Sedangkan menurut
Persatuan Islam (Persis) Inti ahlussunnah wal jamaah adalah mengikuti al-Qur’an
dan Hadits Nabi secara konsisten, bukan beragama dengan mengikuti mazhab fiqh
yang ada, utamanya mazhab Syafi‘i dan berakidah dengan akidah Asy‘ariyah
sebagaimana faham yang dianut oleh NU. Segala pandangan mengenai amalan
keagamaan mestilah didasarkan kepada sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan

70
Dalam sejarah Islam, istilah ahlussunnah wal jamaah sebetulnya merujuk kepada semua aliran
ortodoksi dalam alur Islam sunni sebagai lawan Islam Syi‘ah. Istilah ini tidak hanya digunakan untuk
menyebut kelompok orang Islam yang dengan keras mengajak kembali kepada al-Quran dan Sunnah
saja, tetapi juga mencakup kalangan Muslim tradisional dalam ortodoksi Islam sunni. Muslim
tradisional sunni juga disebut sebagai para penganut ahlussunnah wal jama‘ah. A. J. Wensinck,
“Sunna”, hlm. 878a.
71
Untuk pembahasan mengenai ahlussunnah wal jama‘ah di kalangan Nahdlatul Ulama, lebih
lanjut lihat Hasjim Asj‘ari, Qanun Asasi Nahdlatul Ulama, t.t., Choirul Anam, Pertumbuhan dan
Perkembangan NU (Solo: Jatayu, 1985); M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia:
Pendekatan Fiqh dalam Politik, (Jakarta: Gramedia, 1994)
72
Hasjim Asj’ari, Qanun Asasi Nahdlatul Ulama, t.th.
73
Fauzan Saleh, Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia: A
Critical Survey, Leiden: Brill, 2001, hlm. 77.
74
Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Singapore/Kuala
Lumpur/London/New York: Oxford University Press, 1973, hlm. 142.

23
24

Sunnah Nabi. Jika tidak demikian, maka pandangan tersebut adalah pandangan
yang tidak sahih dan sesat.75
Menyikapi perbedaan pendapat mengenai pengertian ahlussunnah wal
jama’ah, orang-orang salafi berpendapat bahawa sebagai sebuah istilah untuk
kelompok muslim yang selamat, tidak mengherankan jika setiap kaum Muslim
mengaku sebagai ahlussunnah wal jama‘ah. Namun tidaklah berarti mereka benar-
benar beragama sesuai prinsip ahlussunnah wal jama‘ah. Mereka mengaku
sebagai kelompok ahlussunnah wal jama‘ah hanya dari segi nama saja tanpa
memahami dan menggunakan manhaj (metode) dan amalan keagamaan sesuai
dengan metode ahlussunnah wal jama‘ah. Mereka masih mengamalkan bid‘ah
dalam beribadah dan menggunakan metode pemahaman agama yang tidak sesuai
dengan tuntunan ahlussunnah.
Bagi kaum salafi, inti dari ahlussunnah wal jama‘ah adalah mengikuti
manhaj (metode) dan amalan sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi,
serta mengikuti amalan para Sahabat sebagai generasi Muslim yang mendapat
bimbingan secara langsung dari Rasulullah, melalui para ulama yang mengikuti
bimbingan para Sahabat tersebut. Untuk menegaskan pengertian ini, kaum salafi
menekankan kemestian untuk selalu mengikuti ajaran agama sesuai dengan yang
diamalkan oleh Rasulullah dan para Sahabatnya serta orang-orang Muslim yang
mengikuti mereka.

4. Anti Hizbiyyah

Kata hizbiyyah berasal dari akar kata hizb yang berarti kelompok atau partai.
Kaum salafi menggunakan kata tersebut untuk menyebut gerakan-gerakan dakwah
Islam yang menggunakan politik sebagai salah satu tujuan utama dalam
berdakwah, dan berdakwah atas nama kelompok gerakan tersebut, bukan
pemurnian kembali keyakinan dan amalan ajaran agama Islam seperti yang telah
dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.76
Secara praktis, kata hizbiyyah menjadi istilah yang sering digunakan oleh
para aktivis salafi untuk mengkritik gerakan-gerakan yang menggunakan media
politik sebagai alat gerakan. Bagi para aktivis salafi, cara tersebut adalah cara baru
yang tidak ada dasar hukumnya. Tujuan utama berdakwah terabaikan karena cara

75
Moenawar Cholil, Kembali Kepada al-Qur’an dan as-Sunnah: Suatu Muqaddimah Hadis-
Hadis Pilian, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, hlm. 386.
76
Abdul Mu‘thi, sebagaimana yang dikutip oleh Noorhaidi (2005) mendefinisikan da‘wah
hizbiyyah dengan: dakwah politik fanatik terhadap kelompok tertentu yang sama sekali tidak
menggunakan manhaj salafi. Oleh kerana itu, dakwah hizbiyah ini sangat bertentangan dengan da‘wah
salafi kerana beberapa alasan (1) dakwah hizbiyah tidak sesuai dan menyimpang dari sabil al-mu‘minin
(jalan orang-orang yang beriman); (2) para pemimpin dakwah hizbiyah sangat dekat dengan dosa
karena melakukan perbuatan bid‘ah; (3) para anggota gerakan dakwah hizbiyah memahami konsep al-
wala wa al-bara dengan dasar kesetiaan terhadap pemimpin tertentu, bukan loyalitas terhadap a-Qur’an
dan Sunnah Nabi; dan (4) dakwah hizbiyyah mengajarkan fanatisme golongan (Abdul Mu‘thi, 1996,
hlm. 16-19; al-Husaini, t.t.; Noorhaidi, 2005, hlm. 343-344).

24
25

tersebut terlalu memfokuskan pada kepentingan politik kelompok sendiri.


Luqman Baabduh, salah seorang aktivis salafi menyebut beberapa contoh gerakan
dakwah hizbiyyah seperti Ikhwanul Muslimin (IM) yang didirikan oleh Hasan al-
Banna, Hizbut Tahrir (HT) yang didirikan oleh Taqiyuddin al-Nabhani dan al-
Qaeda yang dipimpin oleh Usamah bin Laden.77

5. Anti Barat

Sebagaimana Islam radikal lainnya, gerakan dakwah salafi ini juga dikenal
sebagai gerakan Islam yang anti Barat. Mereka tidak mau mengamalkan segala
bentuk ide dan gagasan yang ada kaitan dengan Barat. Dalam pandangan mereka,
ide-ide Barat merupakan bentuk nyata dari upaya penyelewengan dan
penyimpangan dari ajaran agama Islam yang benar. Ide-ide Barat merupakan ide
yang berasal daripada musuh-musuh Islam, utamanya Yahudi dan Kristen yang
bertujuan untuk menghancurkan Islam.78
Gagasan dari Barat yang mendapat kritik tajam adalah demokrasi. Bagi kaum
salafi, dalam sistem demokrasi pemilihan pemimpin dilakukan oleh setiap
individu dalam masyarakat sehingga pemimpin merupakan wakil suara mayoritas.
Ini bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam Islam kekuasaan adalah milik Allah
dan pemerintahan dalam Islam harus berdasarkan keyakinan tersebut. Muslim
dilarang untuk menyerahkan kekuasaannya kepada kaum mayoritas kerana
mayoritas tidak menjamin tidak berbuat kesalahan dan kesesatan dan belum tentu
berjuang untuk kejayaan Islam.79
Penolakan kaum salafi terhadap demokrasi mengakibatkan mereka menolak
cara bernegara yang lahir dari sistem demokrasi. Mereka menolak pemilu sebagai
cara untuk memilih pemimpin. Pemilu bertujuan mengetahui kehendak mayoritas
masyarakat bukan kehendak Tuhan, sebagai dasar untuk memilih pemimpin dan
ini adalah amalan jahiliyah. Pemilihan umum adalah cara musuh Islam untuk
menguasai umat Islam karena menyerahkan kekuasaan yang kita miliki kepada
musuh Islam.80 Satu-satunya jalan untuk memecahkan persoalan Umat Islam
adalah kembali kepada ajaran Islam yang terkandung al-Qur’an dan Sunnah. Islam
telah memberikan cara bagi memilih pemimpin. Menurut mereka, Islam
mengajarkan pemimpin mesti dipilih oleh sebuah lembaga yang beranggotakan
para cerdik pandai (sarjana) dalam bidang politik dan agama yang bekerja atas
bimbingan Allah dan rasul-Nya. Kelompok para cerdik ini disebut dengan ahl al-
hall wa al-‘aqd. Para cerdik pandai inilah yang memilih pemimpin (ulu al-amr)
yang memimpin masyarakat dan rakyat harus patuh kepada mereka.

F. Mobilisasi Dakwah
77
Luqman Baabduh, “Musuh-musuh Dakwah Tauhid, Asy-Syari‘ah 22. 2006. hlm. 25-29.
78
Ibid. hlm. 26.
79
Yunanto, Gerakan Militan, hlm. 86-87; Noorhaidi, Laskar Jihad, hlm. 149.
80
Noorhaidi, Laskar Jihad, hlm. 151.

25
26

Dalam studi tentang gerakan sosial rekruitmen dan mobilisasi anggota


menjadi bagian penting untuk dapat mengetahui berkembangnya sebuah gerakan.
Perhatian terhadap proses mobilisasi ini mendapat perhatian mendalam dalam
kajian akademik semenjak munculnya teori mobilisasi sumber (resource
mobilization theory, RMT). Teori mobilisasi sumber ini mencoba mengkritisi
beberapa teori yang muncul sebelumnya seperti structural stress theory (teori
ketegangan structural), mass society theory (teori masyarakat massa), dan theory
of relative deprivation (teori keluhan relatif) yang menekankan pada pendekatan
psikologis dan memandang pelaku gerakan sebagai kelompok individu emosional.
Karenanya, pendekatan ini lebih menekankan kepada aspek lahirnya gerakan
bukan perkembangan gerakan.
RMT berargumen bahwa mobilisasi dan rekruitmen anggota menjadi bagian
yang sangat penting dalam gerakan. Hanya saja, tesis dasar tentang rasionalitas
para pelaku gerakan telah menjadikan RMT memberi penekanan yang ketat
terhadap peranan jaringan melalui organisasi formal (resource mobilization
organization, RMO),81 dan cenderung mengabaikan jaringan yang mewujud dalam
meso-organisasi yang tidak formal yang disebut dengan resource mobilization
community (RMC, komuniti mobilisasi sumber).82 Dengan kata lain, selain
keberhasilan RMT memasukkan faktor yang bersifat stagnan dalam bentuk
organisasi formal ke dalam analisis gerakan social, RMT telah mereduksi jaringan
yang berperan dalam sebuah gerakan massa dalam bentuk jaringan formal.83
Pendekatan RMT seperti ini telah dikritisi oleh beberapa pengamat gerakan
social dengan memunculkan beyond resource mobilization theory (beyond
RMT).84 Menurut teori ini, mobilisasi dalam gerakan tidak hanya terbatas pada
jaringan formal, tetapi juga jaringan non formal yang ada pada masyarakat.85
Hubungan inter-personal yang terbangun dalam masyarakat seperti kekerabatan
dan perkawanan juga mempunyai peranan yang besar dalam proses mobilisasi
sebuah gerakan. Dalam studi ini, sesuai dengan paradigma beyond RMT, jaringan
non formal juga akan mendapat perhatian serius dalam melihat proses mobilisasi
dalam gerakan dakwah salafi di Indonesia. Selain itu, pendekatan ini juga
berusaha mendiskusikan tentang pemanfaatan organisasi sebagai media bagi
gerakan untuk menjalin hubungan dengan lingkungan sekitar yang lebih luas dan
dengan kelompok lain, termasuk di dalamnya hubungan dengan pemerintah.
1. Peran Organisasi Formal

81
McCarthy dan Zald, Social Movements, hlm. 14.
82
McDoug dkk., Social Movements, hlm. 715.
83
Steven M. Buechler, “Beyond Resource Mobilization? Emerging Trends in Social Movement.
The Sociological Quarterly, 34 (1993), hlm. 224.
84
Buechler, Beyond Resource Mobilization?, hlm. 217-135.
85
Lihat juga Luther P. Gerlach dan Virginia G. Hine, People, Power, Change Movements of
Social Transformation, New York/Indianapolis: The Bobbs- Merrill, 1970.

26
27

Jaringan organisasi formal di sini adalah jaringan yang terbentuk melalui


organisasi-organisasi modern yaitu struktur organisasi modern yang mempunyai
tata kerja dan tata organisasi, dan mengikuti peraturan sesuai dengan aturan yang
berlaku. Dengan demikian, organisasi tersebut merupakan organisasi resmi dalam
sebuah negara. Dalam kajian tentang gerakan social, organisasi formal dipandang
sebagai salah satu media yang efektif dalam proses mobilisasi. Dengan pembagian
kerja dan sifat struktural hierarkhis memungkinkan organisasi menjadi media
efektif untuk koordinasi gerakan kolektif.
Dalam kajiannya tentang gerakan Ikhwanul Muslimin dan gerakan Salafi di
Jordan, Wiktorowicz (2002) menyatakan bahwa organisasi formal dapat berfungsi
efektif sebagai media gerakan jika dalam situasi politik yang terbuka. Sedangkan
dalam Negara dengan system politik yang tertutup dengan pengawasan ketat dari
pemerintah, mobilisasi gerakan hanya memanfaatkan jaringan informal dan bawah
tanah. Dalam kasus Jordan, sebuah Negara dengan sistem pengawasan yang ketat
dari pemerintah, Ikhwanul Muslimin dan salafi menggunakan jaringan yang
berbeda. Ikwanul Muslimin memanfaatkan jaringan organisasi formal dalam
bentuk partai politik. Ini karena IM bersikap akomodatif dan kooperatif dengan
pemerintahan. Sedangkan orang-orang salafi menggunakan jaringan informal
dalam berdakwah. Selain kerana sifat anti hizbiyah gerakan ini, sistem
pemerintahan tertutup tidak memungkinkan kelompok salafi memanfaatkan
organisasi formal.86
Berbeda dengan gerakan salafi di Jordan, organisasi formal seperti yayasan
(ing. Foundation, ar. Mu’assasah) menjadi salah satu media kaum salafi dalam
berdakwah di Indonesia. Berubahnya sistem politik yang tertutup pada masa Orde
Baru kepada sistem politik yang lebih terbuka pasca Orde Baru memungkinkan
gerakan salafi di Indonesia memanfaatkan organisasi formal dalam bentuk
yayasan. Di Banyumas bagian tenggara setidaknya terdapat tiga yayasan salafi,
yaitu Yayasan Ibnu Taimiyah, Yayasan al-Manshurah dan Yayasan al-Furqan.
Lembaga formal inilah yang menyelenggarakan kegiatan dakwah melalui
ceramah, halaqah, daurah dan lainnya serta sebagai payung bagi pesantren-
pesantren dan madrasah-madrasah yang ada dalam jaringan kaum salafi.
Organisasi formal juga memudahkan kelompok salafi menjalin komunikasi
dengan kelompok yang lebih luas, termasuk dengan pemerintah. Setidaknya
pemerintah telah mengakui sebagai organisasi massa yang ada dalam masyarakat,
bukan organisasi illegal yang menjalankan organisasi di bawah tanah. Organisasi
formal ini juga memudahkan gerakan dakwah salafi ini mendapatkan dana dari
sumber dana dari dalam negeri maupun luar negeri (Timur Tengah). Pembentukan
lembaga formal juga memudahkan untuk menyelenggarakan kegitan lebih tertata
dengan mendirikan pesantren dan madrasah. Sebagai lembaga pendidikan
tradisional dengan sistem tradisional dengan memberikan penekanan terhadap

86
Quintan Wiktorowicz, The Management, hlm. 112.

27
28

praktek ajaran agama pesantren telah berhasil membentuk sikap loyal dan patuh
para santri dalam menjalankan ajaran Islam ini. Sebagai lembaga pendidikan
klasikal, madrasah telah berhasil menjadi agen pendidikan agama yang tidak saja
loyal terhadap agama, tetapi juga mencerdaskan.87

2. Peran lembaga Non Formal

Lembaga non formal juga digunakan sebagai media mobilisasi gerakan


salafi. Yang dimaksudkan dengan lembaga non formal adalah institusi-institusi
sosial yang tidak resmi, termasuk di dalamnya beragam hubungan antar individu.
Ini setidaknya yang terjadi pada Laskar Jihad. Hubungan inter-personal seperti
hubungan kekerabatan (kinship), khususnya persaudaraan, dan perkawanan
(friendship) menjadi salah satu media yang penting dalam proses rekrutmen
anggota dakwah kaum salafi. Tidak sedikit orang-orang bergabung dengan Laskar
Jihad karena ajakan saudara ataupun kawan.88
Dalam kasus gerakan salafi di daerah Banyumas, hubungan inter-personal
tidak hanya berupa hubungan persaudaraan dan pertemanan, tetapi juga dalam
bentuk hubungan orang tua dengan anak. Sebagian besar para aktivis gerakan
dakwah salafi ini adalah generasi muda. Ketika mereka berkeluarga dan
mendapatkan keturunan, anak-anak mereka diarahkan menjadi bagian dari
kelompok kaum salafi. Mereka memasukkan anak-anak dalam lembaga
pendidikan kaum salafi yang ada. Selain peranan orang tua terhadap anak, anak
terhadap orang tua juga mempunyai peranan dalam gerakan dakwah salafi ini.
Biasanya anak yang telah lama menjadi aktivis dakwah berperan dalam menarik
simpati orang tua terhadap gerakan salafi yang dilakukan. Selain hubungan orang
tua dengan anak, beberapa bentuk hubungan personal lain seperti hubungan
persaudaraan dan pertemanan juga menjadi bagian penting dalam proses
rekrutmen gerakan salafi ini.
Selain keluarga, perkawanan (friendship) adalah bentuk hubungan personal
lain yang ikut berperan efektif dalam mobilisasi dakwah salafi di Indonesia.
Sebagai sebuah kelompok dakwah, para aktivis gerakan salafi ini kebanyakan
adalah pendakwah yang sangat giat melakukan aktivitas dakwah bagi
perkembangan faham mereka. Mereka dengan giat mendakwahkan fahaman
mereka kepada orang yang tertarik dengan mereka. Tidak sedikit para aktivis
dakwah salafi ini mengenal ajaran salafi dari kawan yang terlebih dahulu
bergabung.
Dengan demikian, jaringan non formal melalui hubungan antar individu
dalam masyarakat dalam berbagai bentuknya seperti hubungan famili, hubungan
perkawinan dan hubungan pertemanan mempunyai peranan penting dalam dakwah

87
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam dalam kurikulum
moderen. Jakarta: LP3ES, 1986, hlm. 86.
88
Noorhaidi, Laskar Jihad, hlm. 168-170.

28
29

salafi di wilayah Banyumas ini. Hubungan antar individu ini merupakan


mobilisasi yang bersifat mikro yang melibatkan individu dalam gerakan dakwah
salafi ini. Mobilisasi mikro ini mempunyai peranan penting dalam proses
mobilisasi gerakan dakwah ini, selain mobilisasi makro melalui berbagai-bagai
organisasi formal.

3. Media Pembentukan Nilai

Beragam jenis media telah digunakan oleh kaum salafi dalam dakwah
mereka. Media verbal melalui ceramah dan khutbah agama, media cetak dengan
menerbitkan brosur, bulletin, majalah dan buku, dan media elektronik melalui
radio amatir, kaset, cakra padat (CD), teleconference dan internet melalui
peluncuran website adalah jenis-jenis media yang banyak digunakan oleh kaum
salafi dalam berdakwah.
Ceramah dan khutbah adalah cara yang telah lazim digunakan dalam
berdakwah. Ceramah dan khutbah merupakan media utama untuk menyampaikan
pesan keagamaan di tengah-tengah masyarakat. Ceramah dan khutbah telah
identik dengan dakwah. Hampir dalam setiap kegiatan dakwah sentiasa
disampaikan melalui ceramah. Ceramah dan khutbah dalam gerakan salafi juga
mempunyai peranan yang sangat penting. Dalam penyelidikannya tentang gerakan
salafi di Jordania, Wiktorowicz (2001) telah menjelaskan peranan ceramah dan
khutbah dalam gerakan ini. Ceramah menjadi bagian penting dalam gerakan
dakwah kaum salafi di Jordan. Ceramah ini tidak hanya berfungsi sebagai media
pembentukan nilai, tetapi juga mempunyai peranan yang penting sebagai alat
mobilisasi. Melalui berbagai kegiatan ceramah dalam berbagai halaqah yang
dilakukan dalam jaringan informal mereka, gerakan salafi tidak hanya mampu
menyebarkan dakwah salafi pada penduduk Jordania, tetapi juga membangun
jaringan dakwah baru dalam masyarakat.89
Kasus seperti di atas juga terjadi pada gerakan salafi di Banyumas. Media
verbal dalam bentuk ceramah ini digunakan oleh gerakan salafi di Banyumas
dalam mendakwahkan doktrin salafi mereka. Para aktivis gerakan salafi ini
dikenal sebagai para pendakwah Islam yang cukup dikenal dalam masyarakat
tempat mereka tinggal. Metode verbal dalam bentuk ceramah keagamaan ini
dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil melalui rancangan dalam bentuk
’daurah’ dan ’halaqah’. Halaqah biasanya berupa kegiatan ceramah untuk
memahami ajaran Islam melalui kajian kitab dalam satu sesi dengan tema bidang
tertentu. Dalam satu kali kegiatan biasanya hanya membincarakan tentang satu
tema. Sedangkan daurah biasanya dilakukan dalam masa yang lebih lama untuk
memdiskusikan tentang doktrin salafi secara lebih intensif yang ditujukan bagi
para pemula. Daurah ini diselenggarakan dalam masa dua hari sampai satu
minggu.

89
Quintan Wiktorowicz, the Management.

29
30

Ceramah dan khutbah juga berfungsi sebagai alat mobilisasi dan rekruitmen
anggota. Sifat ceramah yang berupa komunikasi langsung antara penceramah
dengan pendengar memungkinkan kedua fihak ada dalam kontak fisik dan emosi
secara langsung. Inilah yang menjadikan ceramah dapat berfungsi sebagai jalan
bagi mobilisasi dan rekruitmen anggota. Pada kasus ini, munculnya “tokoh
sekunder” (secondary figure),90 atau kader professional (professional cadre),91
aktivis pendukung yang berperan sebagai pengganti tokoh utama, mempunyai
peranan yang penting bagi perkembangan gerakan dakwah salafi. Tokoh sekunder
ini adalah para muballigh yang dikirimkan oleh yayasan-yayasan salafi untuk
berdakwah kepada masyarakat di luar pesantren dan madrasah. Dari gerakan
dakwah yang dilakukan oleh para tokoh sekunder inilah kemudian terbentuk pula
komunitas baru kaum salafi di daerah-daerah tertentu. Selanjutnya mereka
berperan sebagai agen utama dalam gerakan dakwah yang dilakukan di wilayah
baru tersebut. Dari komunitas ini kemudian muncullah agen-agen mobilisasi
massa yang berbentuk institusi pesantren dan madrasah.
Media cetak juga digunakan oleh kelompok salafi ini dalam melakukan
dakwah. Media cetak ini memungkinkan sebuah gerakan mempromosikan gerakan
yang sedang dilakukan kepada wilayah yang lebih luas melalui distribusi kepada
masyarakat. Kelebihan media ini, pesan yang disampaikan dapat dikaji secara
intensif dan berulang-ulang oleh pembaca karena pesan-pesan yang disampaikan
dapat disimpan diarsipkan.92 Dengan fungsinya yang strategis seperti ini, media
cetak pun menjadi alat yang penting bagi perkembangan dakwah dan pendidikan
Islam di Indonesia. Gerakan dakwah dan pendidikan Islam di Indonesia telah lama
menggunakan media ini dalam berdakwah seperti buku, majalah, jurnal, tabloid,
bulletin dan brosur.93
Gerakan kaum salafi di Banyumas memanfaatkan Brosur, bulletin, jurnal dan
majalah serta penerbitan buku sebagai media dakwah. Brosur biasa digunakan
untuk menyampaikan visi dan misi utama dan kegiatan yang dilakukan oleh kaum
salafi yang melibatkan masyarakat ramai seperti tabligh akbar dan halaqah.

90
Tokoh sekunder atau secondary figure, adalah orang-orang yang mendampingi tokoh utama
dalam sebuah gerakan sosial. Dalam kajian tentang gerakan sosial di Indonesia, istilah tokoh sekunder
digunakan oleh Michel Adas untuk menyebut beberapa tokoh yang mendampingi Pangeran Diponegoro
dalam melakukan gerakan di Jawa. Tokoh seperti Kyai Modjo dan Sentot Alibasyah Prawirodirdjo
adalah dua orang yang disebutnya sebagai tokoh sekunder. Lihat Michel Adas. Prophets of Rebellion:
Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order, Chapel Hill: The University of
North Carolina Press, 1979.
91
Kader professional atau professional cadre adalah istilah yang digunakan oleh McCarthy dan
Zald (1973, 1977) untuk menyebut orang-orang yang ikut terlibat dalam proses pembuatan polisi
organisasi gerakan dan mendedikasikan waktunya untuk kepentingan gerakan secara penuh. Kader
professional ini mempunyai peranan penting dalam gerakan social. Lihat John D. McCarthy dan Mayer
N. Zald. 1977. Resource mobilization and social movement: a partial theory. American Journal of
Sociology 82, hlm. 1212-1241.
92
W. Rivers dan W. Schramm, “The Impact of Mass Media, dalam Alan Casty (ed.), Mass
Media and Mass Man, New York: Reinhart and Winston, 1973, hlm. 4-12.
93
Robert W. Hefner, “Print Islam: Mass Media and Ideological Rivalries among Indonesian
Muslims”, Indonesia, 64 , 1997, hlm. 77-103.

30
31

Bulletin digunakan untuk menyampaikan pesan dakwah dalam bentuk artikel


mengenai doktrin dan ajaran salafi. Artikel yang dimuat pada umumnya berkaitan
dengan masalah keagamaan yang sedang ramai dibicarakan orang berkaitan
dengan peristiwa tertentu dalam masyarakat. Salafi, bulletin yang diterbitkan oleh
kelompok salafi di Gombong, Al-Abrar yang diterbitkan oleh Yayasan Ibnu
Taimiyyah Sumpiuh adalah dua buah bulletin yang digunakan untuk menyebarkan
ajaran salafi dalam bentuk media cetak ini. 94
Selain majalah, buku juga menjadi bagian penting dalam gerakan dakwah
kaum salafi. Untuk kasus gerakan salafi di Banyumas, Di bawah penerbitan yang
bernama Pustaka Nurul Qalb, Yayasan al-Manshurah telah menerbitkan beberapa
buku terjemahan dari Bahasa Arab seperti Sepercik Embun Keimanan terjemahan
dari Al-Maqāmat wa al-Ahwāl karya Ibnu Taimiyyah, Ringkasan Sifat Shalat
Nabi, terjemahan dari karya Nashiruddin al-Albani yang berjudul Sifatu Salāt al-
Nabi SAW min al-Takbīr ilā al-Taslīm kamā Tarāha. Selain itu terdapat penerbitan
Pustaka Salafiyah, sebuah penerbitan buku-buku salafi yang sebelumnya
bermarkas di Depok, Jawa Barat. Lembaga penerbit ini adalah sebuah lembaga
penerbit buku-buku salafi yang mandiri dan tidak mempunyai payung organisasi.
Selain melalui media cetak, dakwah salafi juga dilakukan melalui media
elektronik seperti radio dan telefon. Di wilayah Banyumas, terdapat beberapa
stasiun radio dakwah yang diselenggarakan oleh orang-orang salafi untuk
menjalankan dakwah mereka. Yayasan Al-Furqan Kroya, Yayasan Ibnu
Taimiyyah Sumpiuh dan Masjid Al-Faruq Purwokerto adalah beberapa pesantren
salafi yang memanfaatkan radio amatir dalam berdakwah.95 Dakwah melalui radio
seperti ini memudahkan penduduk yang tinggal dekat pesantren dapat
mendengarkan ceramah keagamaan tersebut tanpa harus keluar dari rumah
mereka. Selain itu, dakwah melalui radio juga bermanfaat bagi orang-orang yang
masih enggan datang ke tempat-tempat ceramah salafi karena keengganan mereka
untuk berpakaian model salafi seperti menggunakan jubah (jalabiyah), bercelana
panjang sampai atas mata kaki (isbal) ataupun memelihara janggut (lihyah).
Dengan memanfaatkan radio amatir ini, orang-orang tersebut tetap dapat
mengikuti ceramah yang diselenggarakan oleh kaum salafi.96

94
Selain brosur dan buletin, digunkan juga majalah. Majalah memuat artikel dalam jumlah
banyak dan membahas banyak persoalan kehidupan sehari-hari dalam sekali terbit. Majalah mampu
menjangkau daerah yang jauh lebih luas dibandingkan dengan buletin. Ini memungkinkan tersebarnya
doktrin salafi kepada pembaca yang lebih luas. Salah satu contoh majalah salafi adalah majalah Asy-
Syari‘ah, sebuah majalah mingguan yang diterbitkan oleh Oase Media di bawah Yayasan Asy Syari‘ah
Yogyakarta pimpinan Muhammad Umar as-Sewed dan Luqman Baabduh. Majalah ini didistribusikan
sampai ke luar Jawa seperti beberapa daerah di Sumatera, Kalimantan, Bali, Sulawesi dan Maluku dan
Papua.94 Selain majalah tersebut, terdapat pula beberapa majalah lain seperti majalah As-Salaam,
sebuah majalah yang diterbitkan oleh kelompok salafi Jakarta, dan majalah yang bernama An-Nasihah
yang terbit di Makasar.
95
Di berbagai-bagai daerah lainnya, dakwah melalui radio ini juga lazim digunakan seperti di
Yogyakarta, Magelang, Tegal, Cilacap, Salatiga dan lain sebagainya (Noorhaidi, 2005).
96
Wawancara dengan Muhammad Banani, Sumpiuh 17 April 2006.

31
32

Telefon merupakan salah satu hasil teknologi elektronik yang digunakan


untuk melakukan dakwah oleh kaum salafi di Indonesia. Perangkat elektronik ini
salah satunya digunakan dalam halaqah atau daurah kaum salafi untuk melakukan
telewicara (sambungan terus) berkaitan dengan nasehat dan ceramah agama oleh
ulama salafi yang berada di tempat yang berjauhan dan lintas negara.
Teleconference seperti ini telah lama dilakukan oleh para aktivis kaum salafi di
wilayah Banyumas dalam berdakwah. Ulama Saudi seperti Syeikh Muqbil bin
Hadi Al-Madkhali, Muhammad bin Hadi Al-Wadi‘i, dan Syaikh ‘Aid al-Samarra‘i
adalah sesetengah daripada tokoh salafi dari Arab Saudi yang pernah melakukan
ceramah terus via telefon dengan komunitas salafi di Banyumas.97
Pada awal penggunaan, ceramah melalui telefon ini disampaikan pada
kalangan terbatas, yaitu di kalangan para ustadz yang mengerti dan faham Bahasa
Arab.98 Seiring dengan semakin banyaknya anggota yang bergabung dengan
dakwah salafi ini dan semakin banyak di antara mereka yang mampu memahami
bahasa Arab, semenjak tahun 2005, ceramah via telefon ini disampaikan juga di
hadapan publik dalam bentuk kegiatan ceramah terbuka. Pada sebuah daurah
(workshop) yang diadakan di Masjid Baitussalam Purwokerto, pada tanggal 13-14
Mei 2006 diadakan teleconference dengan seorang tokoh ulama salafi, ‘Aid As-
Samara‘I langsung dari Ha’il, Saudi Arabia. Selama lebih kurang 45 menit
ceramah berbahasa Arab via telefon ini berlangsung. Setelah ceramah selesai,
ceramah tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh salah seorang
Ustadz. Dari terjemahan itulah massa dapat memahami isi ceramah yang
disampaikan oleh ulama Saudi tersebut.99
Berkembangnya telefon seluler yang menyediakan layanan pesan singkat
(SMS) semakin memudahkan para aktivis salafi untuk melakukan komunikasi
antar mereka. Alat ini makin merekatkan hubungan antar sesama aktivis. SMS
digunakan untuk memberitahukan mengenai berbagai aktivitas yang dijalankan
oleh gerakan salafi kepada para anggota dan pengikut gerakan. Informasi
mengenai halaqah dan daurah biasanya disebarkan melalui SMS ini, selain
disampaikan pula melalui brosur dan pamphlet. Dengan memanfaatkan teknologi
telefon seluler ini, kegiatan yang diadakan dengan cepat dapat diketahui oleh para
pengikut gerakan. Para aktivis salafi di Banyumas yang hendak berangkat belajar
ke Timur tengah (Arab Saudi) biasanya melakukan komunikasi langsung dengan
para tokoh salafi di Timur Tengah melalui layanan pesan singkat ini sebelum
akhirnya berangkat ke Timur tengah.
Selain media-media tersebtu di atas, ragam media lain dapat ditemukan
dalam dakwah kaum salafi di Indonesia yang lebih luas. Kaum salafi
menggunakan dunia maya (internet) untuk mendakwahkan ajaran salafi. Website
seperti www.al-ilmu.com www.salafy.or.id, www.salafi.net, dan www.salafitalk.net
97
Wawancara dengan Ahmad Firdaus, Sumpiuh, 24 Mei 2006.
98
Wawancara dengan Ahmad Firdaus, Sumpiuh 24 Mei 2006, dan Zainal Musthofa, Kebarongan
26 Mei 2006.
99
Daurah Salafi di Masjid Agung Purwokerto, 13-14 Mei 2006.

32
33

adalah sesetengah daripada laman web yang berisi tentang dakwah kaum salafi di
Indonesia.100 Penggunaan web tersebut sebagai salah satu media dalam berdakwah
ini membolehkan dakwah yang dilakukan menjangkau audience yang luas tanpa
dibatasi oleh ruang. Setiap orang di mana-mana tempat dapat melayari laman web
tersebut, dan dengan demikian membolehkan bagi setiap orang mendapatkan
maklumat tentang ajaran salafi.

4. Strategi Dakwah

Gerakan-gerakan yang muncul dalam Negara bangsa senantiasa berhadapan


dengan pemerintahan sebuah Negara tempat gerakan tersebut. Dalam berhadapan
dengan Negara ini, strategi yang digunakan baik strategi konfrontatif, fisik atau
non fisik, dengan menjadi oposan, maupun kooperatif dengan menjadi pendukung
pemerintah. Dalam sejarah pergerakan di Indonesia, kedua strategi ini pernah
digunakan oleh gerakan-gerakan yang muncul. Syarekat Islam (SI) dikenal sebagai
gerakan yang kooperatif dengan pemerintah Belanda sehingga dapat berkembang
menjadi sebuah gerakan yang besar.101 Sedangkan gerakan-gerakan komunis
dikenal sebagai gerakan-gerakan yang menggunakan strategi non kooperatif dan
konfrontatif sehingga beberapa kali terlibat bentrok fisik dengan pemerintah dan
akhirnya berkembang menjadi gerakan bawah tanah.102
Dalam perkembangan gerakan salafi di Indonesia, strategi kooperatif dan
konfrontatif dengan pemerintah pernah dilakukan. Pada suatu waktu, gerakan
dakwah ini menjalin kerja sama dengan pemerintah, pada masa yang lain, gerakan
ini beroposisi dengan kebijakan pemerintah. Namun demikian, secara garis besar
dapatlah dikatakan bahawa pada dasarnya sikap kooperatif dengan pemerintah
menjadi prinsip utama gerakan kaum salafi. Dalam pandangan mereka, kerajaan
beserta aparatur negaranya adalah representasi dari ulil amri (pemilik kuasa) yang
harus ditaati oleh rakyat sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an, meskipun
penguasa tersebut tidak berhukum Islam. Dengan demikian, taat kepada
pemerintah adalah perintah agama yang harus ditaati dan dijalankan.
Ketaatan terhadap pemerintah seperti tersebut di atas sampai kepada ketaatan
dalam masalah praktis gerakan dakwah seperti pembentukan organisasi formal
sebagai penanggung jawab gerakan yang sedang dilakukan. Setiap yayasan yang
didirikan oleh para aktivis gerakan salafi adalah organisasi formal yang memenuhi
segala aturan pemerintah. Tidak hanya itu, Beberapa aktivis salafi ini bahkan

100
Mengenai ragam media lain yang digunakan oleh kaum salafi ini, lihat Noorhaidi, Laskar
Jihad: Islam, Militancy and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia, hlm.211.
101
A.P.E.. Krover, Sarekat Islam: Gerakan ratu adil?. Terj. Jakarta: Grafiti Press, 1985.
102
Anton, Lucas, “The Communist Anti-Fascist Movement in Java", dalam Anton Lucas (penyt.)
Local opposition and underground resistance to the Japanese in Java 1942-1945, Monash Papers on
Southeast Asia no. 13, Monash University: Centre of Southeast Asian Studies, 1986, hlm. 1-119.

33
34

menjadi informan pemerintah mengenai gerakan-gerakan Islam, utamanya gerakan


radikal yang disangkakan terlibat dalam kegiatan keganansan di Indonesia.103
Strategi kooperatif yang telah dijalankan tersebut membawa keuntungan bagi
kaum salafi. Mereka melakukan dakwah tanpa adanya hambatan dari pemegang
otorita sebuah daerah yang sering menjadi penghambat utama, bahkan sampai
kepada pelarangan, sebuah gerakan dakwah. Strategi ini memungkinkan gerakan
salafi mendapat sokongan dari pemerintah setempat. Selain diwujudkan dalam
bentuk pemberian izin untuk berdakwah, pemberian izin untuk mendirikan
yayasan, bantuan dana juga didapatkan oleh gerakan salafi dari pemerintah daerah,
seperti yang terjadi pada Yayasan Al-Manshurah, Kroya Cilacap.
Namun demikian, gerakan salafi di Indonesia pernah melawan Negara.
Beberapa kasus menunjukkan penolakan kaum salafi terhadap kebijakan
pemerintah. Sikap ini biasanya berkaitan dengan persoalan yang bertentangan
dengan prinsip keyakinan mereka. Salah satu bentuk ketidaktaatan mereka adalah
fatwa jihad ke Ambon yang dikeluarkan oleh Forum Komunikasi Ahlussunnah
Wal Jamaah (FKAWJ) melalui Laskar Jihad. Pemerintah Indonesia pada waktu itu
melarang pengerahan massa ke daerah konflik di Ambon. Tetapi kaum salafi
justeru melakukan penggalangan massa untuk jihad ke Ambon. Alasannya karena
pemerintah telah membiarkan pembunuhan terhadap kaum Muslimin yang
dilakukan oleh orang-orang Kristen di Maluku. Sikap konfrontatif kaum salafi
yang lain juga terjadi seperti keengganan para anggota kelompok ini dalam
pemilihan umum karena merupakan produk demokrasi yang berasal dari Barat
yang diadopsi oleh Negara. Demokrasi bertentangan dengan Islam karena
menyerahkan kekuasaan kepada rakyat. Sedangkan Islam mempunyai prinsip
kuasa berasal dari Tuhan (Allah), bukan dari rakyat.104
Ketidakpatuhan terhadap pemerintah ini juga dalam persoalan kecil dalam
kehidupan sehari-hari. Perempuan kelompok salafi di Petanahan pernah menolak
membuat KTP (kartu tanda penduduk) karena diwajibkan berfoto dengan
melepaskan jilbab. Sedangkan berjilbab menurut mereka wajib diamalkan.
Peraturan pemerintah ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam karena
mewajibkan kaum perempuan memperlihatkan aurat (rambut) mereka di hadapan
masyarakat awam. Mempertontonkan aurat di hadapan masyarakat awam itu
bermakna berbuat maksiat kepada Tuhan.
Sikap non kooperatif ini dalam pada satu sisi telah menjadi kendala yang
serius dalam melakukan gerakan dakwah mereka. Muncul kecurigaan dari fihak
pemerintah terhadap kelompok mereka ini sebagai kelompok kanan radikal yang
menjadikan kelompok ini berurusan dengan pemegang otorita keamanan daerah.
Beberapa aktivis bahkan diwajibkan melaporkan diri ke kantor kepolisian untuk
menjelaskan kegiatan yang mereka lakukan. Tetapi strategi ini juga mampu
menarik sebagian massa untuk bergabung dalam gerakan dakwah mereka. Ribuan

103
Wawancara dengan Zainal Musthofa, Kebarongan, 8 Mac 2006.
104
Wawancara dengan Zainal Musthofa, Kebarongan 8 Mac 2006.

34
35

orang bergabung menjadi anggota Laskar Jihad. Ketidakmampuan pemerintah


untuk menciptakan keamanan Negara menjadi salah satu pendorong adanya
simpati masyarakat awam terhadap gerakan yang dilakukan. Pemerintah gagal
dalam menangani berbagai konflik dan ini menjadi salah satu pemicu sikap
antusias sebagian kelompok masyarakat menanggapi seruan jihad ke Ambon.105
Sikap konfrontatif juga diterapkan kepada gerakan-gerakan lain yang
dipandang sebagai penghambat dakwah salafi dalam bentuk kritik keras terhadap
beberapa gerakan yang oleh kaum salafi dipandang sebagai “musuh-musuh
dakwah tauhid”.106 Musuh tauhid tersebut berasal dari kaum Muslim sendiri
seperti Daulah Usmaniyah, kaum shufiyah, kaum Syi‘ah Rafidah dan beberapa
kelompok pergerakan hizbiyyah seperti Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir
(HT) dan al-Qaeda. Dalam pandangan kaum salafi, kelompok-kelompok tersebut
di atas dianggap sebagai kelompok penyebar bid‘ah yang lebih berbahaya
daripada para pendosa besar.
Kaum salafi mengkritik Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi
keagamaan yang masih banyak melakukan praktek bid‘ah seperti membaca tahlil,
membaca yasin pada hari ketujuh dan hari keempatpuluh orang yang meninggal
dunia. Muhammadiyah dinilai terlalu banyak menggunakan akal dalam beragama
dengan seruan untuk berijtihad. Sedangkan Partai Keadilan Sosial (PKS) dinilai
sebagai jelmaan dari Ikhwanul Muslimin dan merupakan kelompok hizbiyyah.
Selain itu, mereka juga menuduh gerakan Negara Islam Indonesia (NII) sebagai
kelompok khawarij yang menghalalkan kekerasan dan sangat mudah
mengkafirkan kelompok lain.
Strategi konfrontatif gerakan salafi terhadap gerakan dan organisasi lain.
yang berseberangan merupakan salah satu pemicu permusuhan antara gerakan
salafi dengan gerakan lain. Pada beberapa ceramah pengajian agama yang
diselenggarakan oleh beberapa majlis ta’lim (kelompok pengajian), muncul
beberapa orang asing yang menyebarkan brosur berisi penolakan terhadap
ceramah pengajian karena mengajarakan bid’ah. Sebagian penduduk meyakini
brosur tersebut dibuat oleh para aktivis salafi karena merekalah yang sangat anti
bid‘ah. Orang-orang yang menyebarkan brosur tesebut juga memelihara janggut,
berbaju gamis dan celana isbal. Ketegangan dan konflik antara kelompok salafi di

105
Beberapa teori tentang gerakan sosial bahkan menegaskan ketidakpuasan menjadi penyebab
utama munculnya gerakan social. Teori relative deprivation yang dipopulerkan oleh Tedd Gurr (1970)
adalah salah satu contohnya. Menurut teori ini, munculnya gerakan social berangkat dari ketidakpuasan
yang dialami oleh sebagian anggota masyarakat dengan tingkat yang berbeda-beda. Ketidakpuasan
muncul kerana sebagian masyarakat berpandangan bahawa prestasi yang telah mereka capai lebih
rendah jika dibandingkan dengan prestasi orang lain yang mempunyai kedudukan yang sama dengan
mereka. Ketidakpuasan juga dapat muncul kerana usaha yang telah dijalankan tidak membawa hasil
sesuai yang diinginkan. Ketidakpuasan inilah yang menjadi pemersatu sebagian kelompok masyarakat
ini untuk melakukan gerakan bersama. Ted Robert Gur, Why Men Rebel, Princeton New Jersey:
Princeton University Press, 1970.
106
Istilah musuh-musuh tauhid ini digunakan oleh Luqman Baabduh (2006) untuk menyebut
beberapa kelompok yang menjadi penghalang dakwah kaum salafi. Lihat Luqman Baabduh, “Musuh-
musuh Dakwah Tauhid”, Asy-Syari‘ah, 22, 2006, hlm. 19-29.

35
36

wilayah Banyumas dengan kelompok lain secara lebih terang terjadi pada tahun
2003. Kelompok salafi terlibat konflik dengan kelompok Jama‘atul Muslimin
(Jamus), jelmaan darul hadith yang bermarkas di Kecamatan Maos Cilacap. Ini
berawal dari pernyataan seorang aktifis salafi bahwa Jamus adalah ahli bid‘ah.
Beberapa tokoh Jamus memprotes pernyataan tersebut dan mengundang aktivis
salafi untuk klarifikasi pernyataan tersebut dalam forum pengajian yang diadakan
oleh Jamus. Ketegangan tersebut berakhir dengan bergabungnya beberapa tokoh
Jamus dengan kelompok salafi.

G. Gerakan Dakwah Salafi Pasca Laskar Jihad sebagai Gerakan Polycentric


yang Apolitis

Dibubarkannya Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal jamaah (FKAWJ)


menandakan hilangnya wadah organisasi bagi menjalankan gerakan dakwah salafi
di Indonesia. Sekalipun wadah gerakan telah dibubarkan, tidak demikian dengan
gerakan dakwah salafi. Dakwah salafi tetap dijalankan oleh para aktivis salafi.
Gerakan ini bahkan telah mampu menggunakan fasilitas publik dalam berdakwah
seperti masjid dan mushalla. Keberhasilan gerakan dakwah salafi dalam
memanfaatkan fasilitas publik ini, tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan
gerakan ini membangun jaringan di Indonesia. Di daerah-daerah, para bekas
anggota Laskar Jihad mengembangkan gerakan salafi melalui yayasan, madrasah
dan pesantren.
Adanya yayasan-yayasan salafi telah memunculkan pusat-pusat dakwah
salafi di berbagai daerah di Indonesia dengan para pemimpin lokal yang sebagian
besar berasal dari para bekas ahli Laskar Jihad. Munculnya yayasan-yayasan ini
telah membuat gerakan salafi sebagai sebuah gerakan dengan banyak organisasi
dengan figur-figur baru gerakan salafi di daerah-daerah. Munculnya figur-figur
baru ini telah melahirkan sebuah gerakan massa dalam bentuk polycephalus atau
polycentric organization (organisasi dengan banyak ketua).107
Pola dan karakter hubungan antar yayasan dalam gerakan dakwah salafi di
Indonesia yang bersifat independent antara satu dengan yang lain seperti
dijelaskan di atas mempunyai kemiripan dengan pola Pentecostal Movement
(Gerakan Pentecostal) dan Black Power Movement (Gerakan Kekuatan Hitam),108
dan Black Lung Association (BLA, Persatuan Paru-paru Hitam).109 Gerakan-

107
Keterangan lebih mendalam mengenai segmented organization dan polycephalus
organization dapat dilihat dalam karya Luther P. Gerlach dan Virginia H. Hine. People, Power, Change
Movements of Social Transformation. New York/Indianapolis: The Bobbs-Merrill. 1970. Sedangkan
mengenai polycentric organization, lihat karya Luther P. Gerlach. The structure of social movements:
environmental activism and its opponent. Dlm. John Arquilla dan David F. Renfeldt. Networks and
Netwars: the Future of Terror, Crime, and Militancy. Santa Monica: Rand. 2001, hlm. 289-310.
108
Luther P. Gerlach, dan Virginia H. Hine, People, 1970.
109
Bennett M. Judkins, The Black Lung Movement: Social movements and social structure.
Dlm. Louis Kriesberg (penyt.)., Research in Social Movements, Conflicts and Change. Connecticut:
JAI Press, 1979, II, hlm. 105-129.

36
37

gerakan tersebut merupakan gerakan sosial dengan banyak cabang tanpa ada
organisasi induk (decentralized), terpecah-pecah dengan banyak cabang
(segmentary) dan terjalin dalam sebuah jaringan (reticulate) organisasi tanpa
organisasi induk dan cabang.110 Gerlach menyebut gerakan tersebut sebagai
gerakan dengan organisasi SPIN, yaitu segmented (terpecah-pecah), polycentric
(banyak pemimpin), dan integrated network (jaringan yang menyatu). Dalam
organisasi seperti ini, sering terjadi overlapping antar organisasi. Seseorang dapat
menjadi anggota beberapa organisasi dalam satu masa yang sama.111
Sifat banyak pemimpin ini karena para aktifis salafi yang sebelumnya
menjadi anak buah Ja’far Umar Thalib menjadi pemimpin yayasan-yayasan yang
didirikan. Yayasan-yayasan tersebut berdiri secara independen antara satu dengan
yang lain, tetapi, dalam menjalankan gerakan dakwah, terjalin komunikasi antar
yayasan tersebut. Biasanya, seorang pengajar atau muballigh yang berada di
bawah salah satu yayasan terlibat aktif pada kegiatan dakwah yang berada di
bawah naungan yayasan lain. Tidak jarang ditemukan seorang ustadz adalah
pengajar dan penceramah di beberapa yayasan dalam jaringan mereka. Seorang
ustadz dari satu daerah berdakwah dengan memberikan ceramah ke luar daerah
tempat tinggalnya, bahkan sampai ke luar pulau, seperti salah seorang aktivis dari
Makasar yang beberapa kali memberikan ceramah umum pada komuniti salafi di
Banyumas. Selain itu, beberapa aktivis salafi di Banyumas juga memberikan
ceramah di luar Banyumas seperti Brebes, Tegal dan Kebumen. Mobilitas para
ustadz yang tinggi dari satu tempat ke tempat yang lainnya ini memungkinkan
seorang ustadz menjalin komunikasi dengan para aktivis salafi di daerah lain.
Selain itu, komunikasi antar kelompok gerakan salafi ini juga secara tidak
langsung dipelihara melalui mobilitas para santri yang belajar di pesantren-
pesantren yang didirikan oleh para aktivis gerakan salafi. Terdapat kecenderungan
di kalangan para santri untuk belajar ke luar daerah. Seorang anggota salafi lebih
memilih untuk belajar di pesantren di luar daerah sekalipun di daerah asal terdapat
pesantren salafi. Sebaliknya, pesantren tersebut didatangi oleh para santri yang
berasal dari luar daerah. Maka tidak mengherankan jika pada umumnya para santri
yang belajar di pesantren-pesantren salafi tersebut berasal dari luar daerah.
Dengan cara seperti inilah hubungan antar mereka dapat sentiasa dilakukan dan
dijaga.
Selain itu, kegiatan dakwah bersama dalam bentuk pengajian umum atau
tabligh akbar juga merupakan media bagi menjalin hubungan antar mereka.
Biasanya, pengajian umum tersebut diisi oleh ustadz senior yang telah dikenal
sebagai tokoh salafi. Pada pengajian itulah para ustadz dan para aktivis dakwah
salafi dari berbagai daerah berdatangan. Bagi para ustadz dan aktivis, ceramah
dalam bentuk tabligh akbar mempunyai peranan yang penting. Selain digunakan
110
Gerlach dan Hine, People, ; Luther P. Gerlach, “The Structure of Social Movements:
Environmental Activism and Its Opponents. Dlm. John Arquilla dan David F. Renfeldt, Networks and
Netwars: The Future of Terror, Crime, and Militancy, Santa Monica: Rand, 2001, hlm. 289-310.
111
Ibid.

37
38

sebagai media bagi menimba pengetahuan agama, tabligh akbar ini juga
digunakan sebagai tempat untuk bertukar pengalaman dalam berdawah dan
menceriterakan perkembangan dakwah di daerah masing-masing. Melalui
lembaga-lembaga informal seperti inilah jaringan tersebut tetap terpelihara.

38
39

DAFTAR PUSTAKA

Adas, Michel, Prophets of Rebellion: Millenarian Protest Movements against the


European Colonial Order, Chapel Hill: The University of North Carolina
Press, 1979.

Ahzab Muttaqin, Kaum Salafi di Yogyakarta: Melacak Sejarah Awal. Yogyakarta:


Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga, 1999.

Akaha, Abduh Zulfidar, Siapa Teroris? Siapa Khawarij: Bantahan terhadap Buku
Mereka Adalah Teroris, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006.

al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Kedudukan as-Sunnah dalam Islam, Salafi 13,


1997.

al-Husaini, Hasan bin al-Hasin, Irsyad al-Bariyyah, Sana‘a: Dar al-Atsar, t.t.

al-Madkhali, Rabi‘ bin Hadi ‘Umair, An-Nasr al-Azīz ‘alā ar-Radd al-Wajiz, Al-
Madinah an-Nabawiyyah: Maktabah al-Ghuraba al-Athariyyah, 1996.

an-Nawawi, Zainul Arifin, “Pembagian Tauhid Menurut Ahlussunnah Wal Jama’ah,


Salafi 13, 1997.

Asj‘ari, Hasjim, Qanun Asasi Nahdlatul Ulama, t.t., Choirul Anam, Pertumbuhan dan
Perkembangan NU, Solo: Jatayu, 1985.

As-Sewed, Muhammad Umar, “Membela Sunnah Nabawiyah”, Salafi 13, 1997.

Ba’abduh, Lukman, Mereka Adalah Teroris, Malang: Pustaka Aaulan Sadida, 2005.

Baabduh, Luqman, “Musuh-musuh Dakwah Tauhid, Asy-Syari‘ah 22. 2006.

Buechler, Steven M., “Beyond Resource Mobilization? Emerging Trends in Social


Movement. The Sociological Quarterly, 34, 1993.

Davis, Michael, “Laskar Jihad and the Political Position of Conservative Islam in
Indonesia, Contemporary Southeast Asia 24, 2002.

Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942.


Singapore/Kuala Lumpur/London/New York: Oxford University Press,
1973.

Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Terj. Jakarta: LP3ES,
1980.

39
40

Fauzan Saleh, Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century


Indonesia: a Critical Survey. Leiden: Brill, 2001.

Gerhards, Jurgen dan Dieter Rucht, “Mesomoilization: Organizing and Framing in


two Protest Campaigns in West Germany”, American Journal of Sociology
3, 1992.

Gerlach, Luther P. dan Virginia G. Hine, People, Power, Change Movements of


Social Transformation, New York/Indianapolis: The Bobbs- Merrill, 1970.

Gerlach, Luther P., “The Structure of Social Movements: Environmental Activism and
Its Opponent”. Dlm. John Arquilla dan David F. Renfeldt, Networks and
Netwars: the Future of Terror, Crime, and Militancy. Santa Monica: Rand.
2001.

Gur, Ted Robert, Why Men Rebel, Princeton New Jersey: Princeton University Press,
1970.

Gustfield, Joseph R., Protest, Reform, and Revolt: A Reader in Social Movements,
New York/Londn/Sydney/Toronto: John Wiley and Sons, 1970.

Haidar, M. Ali, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fiqh dalam
Politik, Jakarta: Gramedia, 1994.

Heberle, Rudolf, Social Movements: an Introduction to Political Sociology, New


York: Appleton Century, 1951.

Hefner, Robert W., “Print Islam: Mass Media and Ideological Rivalries among
Indonesian Muslims”, Indonesia, 64, 1997.

Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal di Indonesia, Jakarta: Andi Offset, 2006.

Judkins, Bennett M., “The Black Lung Movement: Social Movements and Social
Structure.” Dlm. Louis Kriesberg (ed.). Research in Social Movements,
Conflicts and Change. Connecticut: JAI Press, 1979.

Krover, A.P.E.. Sarekat Islam: Gerakan ratu adil?. Terj. Jakarta: Grafiti Press, 1985.

Lauer, Robert H., “Social Movements: An Introductionist Analysis”, dalam Robert H.


Lauer (ed.), Social Movements and Social Change. London & Amsterdam:
Feffer and Simons, 1976.

Lucas, Anton, “The Communist Anti-Fascist Movement in Java. Dlm Anton Lucas
(penyt.) Local Opposition and Underground Resistance to the Japanese in

40
41

Java 1942-1945, Monash Papers on Southeast Asia no. 13, Monash


University: Centre of Southeast Asian Studies, 1986.

McAdam, Doug, John D McCarthy dan Mayer N. Zald. “Social Movements” dalam
Neil J. Smelser (ed.), Handbook of Sociology, Newbury Park/London/New
Delhi: Sage, 1988.

McCarthy, John D. dan Mayer N. Zald.. Resource mobilization and social movement:
a partial theory. American Journal of Sociology 82, 1977.

Moenawar Chalil, Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah: Suatu Muqaddimah


bagi Himpunan Hadis-hadis Pilihan. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militancy and the Quest for Identity in Post-
New Order Indonesia. Utrecht: Faculteit der Letteren en Internatonal
Institute for the Study of Islam in the Modern World, 2005.

Rivers, W. dan W. Schramm, “The Impact of Mass Media, dalam Alan Casty (ed.),
Mass Media and Mass Man, New York: Reinhart and Winston, 1973.

Roy, Olivier, Globalized Islam, The Search for New Ummah, London: Hurst and
Company, 2004.

Sabarudin, Jama‘at at-Turats al-Islami Yogyakarta, Yogyakarta: Pusat Penelitian


IAIN Sunan Kalijaga, 2000.

Snow David A, dan Robert D. Benford, “Master Frames and Cycles of Protest. Dalam
Aldon D Morris dan Carol McClurg Mueller (eds.), Frontiers in Social
Movement Theory, New Heaven/ London: Yale University Press, 1992.

Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam


Kurikulum Moderen. Jakarta: LP3ES, 1986.

Steenrink, Karel, Beberapa Aspek Kajian Islam di Indonesia Abad ke 19. Jakarta:
Bulan Bintang, 1984.

Sukidi Mulyadi, “Violence under the Banner of Religion: The Case of Laskar Jihad
and Laskar Kristus”, Studia Islamika 10, 2002.

Suprijono Ana dkk, Sejarah Ringkas PPMWI, Kebarongan: tnp., 2004.

Touraine, Alain, The Voice and The Eye: an Analysis of Social Movements,
Cambridge? London/New York/New Rochelle/Melbourne/Sydney:
Cambridge University Press, 1981.

Wensinck, A.J., “Sunna”, The Encyclopedia of Islam IX, Leiden: Brill.

41
42

Wiktorowicz, Quintan, The Management of Islamic Activism: Salafis, the Muslim


Brotherhood, an State Power in Jordan. Albany-New York: State University
of New York Press, 2001.

Yunanto S. dkk, Gerakan Militan Islam di Indonesia dan Asia Tenggara, Jakarta: The
Ridep Insitute, 2003.

Zald, Mayer N. dan John D. McCarthy, Social Movements in an Organizational


Society, New Jersey: Transaction Books, 1987.

Zald, Mayer N. dan John D. McCarthy, The Dynamics of Social Movements: Resource
Mobilization, Social Control, and Tactics. Cambridge/Massachusetts:
Winthrop Publishers, 1979.

Daftar Wawancara
Wawancara dengan Ahmad Firdaus, Sumpiuh 24 Mei 2006,
Zainal Musthofa, Kebarongan 26 Mei 2006.
Wawancara dengan Arif Mufid, Sumpiuh, 19 Mei 2006
Wawancara dengan Muhammad Banani, Sumpiuh 17 April 2006.
Wawancara dengan Rahmat Abdullah, 21 Februari 2006
Wawancara dengan Zainal Musthofa, 25 Mei 2006.
Wawancara dengan Zainal Musthofa, Kebarongan 14 Mei 2006.
Wawancara dengan Zainal Musthofa, Kebarongan 8 Mac 2006.
Wawancara dengan Zeinal Musthofa, 11 Maret 2006.
Wawancara dengan Zeinal Mustofa, 12 Maret 2006.

42

Anda mungkin juga menyukai