Anda di halaman 1dari 105

DAFTAR ISI

Pemaknaan Semiotika Tinggalan Arkeologis dan Hubungan


Antara Perkembangan Muhammadiyah Tahun 1912 1964
Subhi Mamashony Harimurti
Pengelolaan Majalah Internal Suara Aisyiyah Pada
Organisasi Masyarkat Aisyiyah

12

Paramitha Fajarin Nova


Negara dan Sistem Media: Analisis Komparasi Sistem Media
Amerika dan Indonesia

24

Didik Haryadi Santoso


Efek Media Baru Terhadap Opini Publik dalam Demokrasi:
Succesing Candidate In Electoral Campaign

31

Vivin Sylviana
Peran Media Sosial Online (Facebook) Sebagai Saluran Self
Disclosure Remaja Putri

39

Ratih Dwi Kusumaningtyas


Politik Pemberitaan dalam Menyiarkan Berita Konflik

54

Anang Masduki
Teknologi Informasi dan Gerakan Sosial Politik: Kajian
Kritis Pengaruh Internet terhadap Proses Demokratisasi di
Timur Tengah

63

Anyakala Freddy
Posisi Manusia dalam Perkembangan Teknologi Informasi
dan Komunikasi

71

Ahmad Zahri
Kerukunan dalam Perbedaan: Tinjauan Spiral of Silence
dalam Kasus Penyerangan Islam Syiah di Sampang, Madura

77

Beni Irawan Tarigan


Eksploitasi Fisik dalam Lelucon (Tubuh dalam Program
Humor Media di Indonesia)

85

Uspal Jandevi
97

Kajian Singkat Bahasa Iklan di Televisi Swasta

Dwi Santoso

Jurnal
Channel

Vol. 1

No. 1

Hal. 1-102

Yogyakarta,
Oktober 2013

ISSN
23389176

SALAM SAPA REDAKSI

Bismillahirrahmanirrohim

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT. Yang senantiasa mencurahkan


kasih sayang dan member tuntunannya, sehingga kami dapat menerbitkan jurnal ilmiah
CHANNEL volume 1 ini dengan tanpa halangan berarti. Kami menyadari ditahun ke-1
ini masih perlu terus ditumbuhsuburkan kerja keras dari segenap pihak, khususnya
redaksi, agar jurnal ilmiah ini tetap eksis dan berkembang lebih sempurna.
Dari naskah yang masuk dilakukan pencermatan, kami ambil tulisan yang
memenuhi criteria dan termasuk dalam ketegori komunikasi yang kami muat.
Dengan segenap kerendahan hati dan permohonan maaf, beberapa naskah belum
dapat diterbitkan, karena patut dilakukan penyempurnaan pada isi dan format penulisan.
Kami tetap mengundang siapapun untuk berkarya tulis pada jurnalini sesuai dengan nafas
dan misi yang diembannya.
Billahi taufiq wal hidayah

Redaksi

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11


Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

ISSN: 23389176

PEMAKNAAN SEMIOTIKA TINGGALAN


ARKEOLOGIS DAN HUBUNGAN ANTARA
PERKEMBANGAN MUHAMMADIYAH
TAHUN 1912 1964
Oleh: Subhi Mamashony Harimurti
(Mahasiswa S2 Kajian Timur Tengah UGM)
Abstrak
Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan. Alas an mendirikan
perkumpulan ini karena melihat keadaan masyarakat, terutama ummat Islam khususnya di
Yogyakarta, sudah mulai menyimpang dalam hal aqidah (keyakinan) maupun akhlaq (budi
pekerti) dan tidak sesuai dengan ajaran Agama Islam yang murni. Muhammadiyah adalah
suatu organisasi yang dinamis dalam bidang ke-islaman, menyeru pada kebaikan, mencegah
perbuatan keji, berlandaskan ajaran Islam, yang mengacu kepada kitab suci Al-Quran serta
tuntunan Nabi Muhammad SAW. Perkembangan organisasi Muhammadiyah yang fenomenal
beserta peningkatan aset organisasinya tentu menarik untuk dikaji dalam perspektif arkeologi.
Sebagaimana dipahami secara luas, arkeologi adalah ilmu yang mempelajari tinggalan-tinggalan
masa lalu antara lain untuk merekonstruksi kehidupan manusia pada masa itu. Dengan demikian,
penelitian kali ini dapat dilihat sebagai upaya mempelajari tinggalan-tinggalan arkeologis
Muhammadiyah dan mengaitkannya dengan perkembangan gagasan dan tindakan organisasi
itu di masa lampau, terutama perkembangan amal usahanya. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah semiotika. Disini diharapkan tanda-tanda peninggalan Muhammadiyah

A. Pendahuluan
Pada awal abad ke-20 banyak bermunculan perkumpulan atau organisasi
modern yang cenderung mengarah kepada pembaharuan ajaran Islam, seperti Al-Irsyad,
Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam, dan Muhammadiyah. Akan tetapi, hanya
Muhammadiyah yang mempunyai paling banyak pengikut, memiliki organisasi yang
teratur, serta tekun dalam memperjuangkan pemahamannya (Stoddard 1966, 306 307).
Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh salah satu pahlawan pergerakan nasional
Indonesia yaitu KH. Ahmad Dahlan. Beliau mendirikan perkumpulan ini karena melihat
keadaan masyarakat, terutama ummat Islam khususnya di Kauman Yogyakarta, sudah
mulai menyimpang dalam hal aqidah (keyakinan) maupun akhlaq (budi pekerti) dan tidak
sesuai dengan ajaran Agama Islam yang murni. Muhammadiyah adalah suatu organisasi
yang dinamis dalam bidang ke-islaman, menyeru pada kebaikan, mencegah perbuatan
keji, berlandaskan ajaran Islam, dan mengacu kepada kitab suci Al-Quran serta tuntunan
Nabi Muhammad SAW. Menurut Anggaran Dasar yang sekarang, tahun 2000 bab I pasal
1 ayat 2, Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan Dakwah amar maruf nahi mungkar,
berasaskan Islam, dan bersumber pada Al-Quran dan Al-Sunnah (Pasha dkk 2003, 218).
Dalam perjalanan sejarahnya persyarikatan ini setidaknya telah mendirikan beberapa
amal usaha misalnya sekolah, rumah sakit, masjid, kantor, dan lembaga lain. Sejumlah
amal usaha tersebut dibangun guna mendukung tujuan Muhammadiyah. Tujuan awal dari
organisasi yang pada tahun 2010 mengadakan Muktamar Seabad adalah Menyebarkan
1

Subhi Mamashony Harimurti

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11

ISSN: 23389176

pengajaran agama Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumi putera di dalam
Residensi Yogyakarta dan memajukan hal agama kepada anggauta-anggautanya (Darban
dan Syakir 1994, 34). Seiring berjalannya waktu tujuan Muhammadiyah itu sendiri juga
sering berganti-ganti susunan redaksionalnya, tergantung pada situasi dan kondisi yang
berkembang kala itu. Terhitung telah tujuh kali perubahan tujuan, yang terakhir adalah
Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama,
adil dan makmur yang diridlai Allah subha:nahu wa taala (Pasha dkk 2003, 58).
Sebagai wadah para pemikir Islam yang didirikan di Yogyakarta, Muhammadiyah
senantiasa berkembang dengan pesat, tidak hanya di dalam Kota Yogyakarta tetapi
juga melebarkan sayapnya sampai ke luar Pulau Jawa. Perkembangan peran organisasi
Muhammadiyah sejatinya dilatarbelakangi oleh keberhasilannya dalam tabligh1, patron
client2, dan pendidikan. Ulama dari golongan Muhammadiyah seperti KH. Ahmad Dahlan,
Nyai Hajjah Walidah Dahlan, KH. Mas Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo membantu
memimpin perjuangan pergerakan bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman
penjajah Belanda, sehingga membuktikan bahwa ummat Islam Indonesia telah memiliki
andil yang cukup besar dalam perjuangan bangsa ini (Rais dkk 2000, 112).
Muhammadiyah dalam sejarah awal pendiriannya pada faktanya telah melakukan
sejumlah hal baru yang sangat luar biasa pada zamannya. Contoh nyata adalah didirikannya
beberapa lembaga pendidikan modern dengan menggunakan gaya Eropa seperti keberadaan
bangku, pemakaian jas saat sekolah, penggabungan pengajaran ilmu agama sekaligus
umum, dan pengenalan sistem administrasi. Kesemuanya itu adalah hal yang langka dan
baru dikenalkan oleh KH. Ahmad Dahlan. Di antara beberapa sekolah awal kala itu adalah
Qismul Arqa (sekarang Muallimin Muhammadiyah) berdiri tahun 1920 dan Sekolah Dasar
Muhammadiyah Suronatan didirikan 1918. Contoh gerak nyata yang terhitung baru dari
Persyarikatan Muhammadiyah lainnya yaitu berdirinya Penolong Kesengsaraan Oemoem
(sekarang Rumah Sakit PKU Muhammadiyah) tahun 1923, rumah miskin, dan rumah
yatim. Ketiga hal tersebut terakhir diprakarsai juga oleh Kyai Syoedja dan tentu bersama
pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan (Syoedja, 2003: iii).
Perkembangan organisasi Muhammadiyah yang fenomenal beserta peningkatan
aset organisasinya tentu menarik untuk dikaji dalam perspektif arkeologi. Sebagaimana
dipahami secara luas, arkeologi adalah ilmu yang mempelajari tinggalan-tinggalan masa
lalu antara lain untuk merekonstruksi kehidupan manusia pada masa itu (Soebroto t.t., 2).
Dengan demikian, penelitian kali ini dapat dilihat sebagai upaya mempelajari tinggalantinggalan arkeologis Muhammadiyah dan mengaitkannya dengan perkembangan gagasan
dan tindakan organisasi itu di masa lampau, terutama perkembangan amal usahanya. Hal
ini sesuai juga dengan apa yang dikemukakan Schiffer mengenai arkeologi sebagai ilmu
perilaku dalam bukunya Behavioural Archaeology (1976). Pakar arkeologi ini menyatakan
bahwa pada dasarnya arkeologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara budaya
bendawi (material culture) dengan gagasan dan perilaku masyarakat yang menghasilkannya. Kajian ini diharapkan juga akan dapat mengungkapkan apakah memang ada
hubungan yang sejalan antara perkembangan organisasi Muhammadiyah dengan tinggalan
arkeologisnya.
Studi tentang tinggalan arkeologis Muhammadiyah sendiri tidak banyak dilakukan.
Memang pernah ada sejumlah penelitian tentang Muhammadiyah, tetapi belum ada yang
mencoba meninjau dari perspektif arkeologi. Kajian yang pernah dilakukan oleh Sony
Saifuddin (2004), misalnya, lebih menitikberatkan pada amal usaha Muhammadiyah
di Kecamatan Kotagede antara tahun 1923 hingga 2002 beserta sejumlah faktor yang
melatarbelakanginya. Selain itu Ahmad Adaby D. dan Muhammad Syakir (1994) juga
meneliti tentang perkembangan amal usaha Muhammadiyah. Akan tetapi keduanya tidak
mengkerucutkan pokok persoalan pada tinggalan budayanya melainkan pada sejarah dari
persyarikatan Muhammadiyah itu sendiri.
Kajian tentang Amal usaha Muhammadiyah yang berupa pesantren diangkat
oleh Mujamil Qomar (2005) dalam bukunya yang berjudul Pesantren dari Transformasi

Subhi Mamashony Harimurti

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11

ISSN: 23389176

Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Ia lebih menyoroti masalah perubahanperubahan pemikiran ke arah penjabaran dalam demokratisasi dalam institusi. Karya ini
juga tidak terkait dengan kajian budaya bendawi tinggalan Muhammadiyah, tetapi sorotan
penulis buku tersebut sedikit banyak membantu penelitian ini dalam mengungkap proses
perubahan budaya dalam pesantren Muhammadiyah.

B. Semiotika Arsitektur Dakwah Muhammadiyah


1. Langgar KH. Ahmad Dahlan
Kampung Kauman merupakan tempat lahirnya Muhammadiyah sehingga banyak
tinggalan arkeologis Muhammadiyah yang terdapat di wilayah yang masih dalam
lingkungan Kraton Yogyakarta ini. Di antara tinggalan-tinggalan yang termasuk sebagai
bangunan cagar budaya adalah Masjid Gedhe Kauman, Langgar KH. Ahmad Dahlan,
gedung pesantren (sekarang menjadi TK ABA Kauman), dan Mushalla Aisyiyah, semuanya
itu saling berkaitan dalam sejarah perjalanan organisasi Muhammadiyah (Setiawan dkk
2010, 2).
Di rumah-rumah penduduk kampung, yang mempunyai luas 192.000 m2 ini, sering
kali dijumpai adanya langgar (tempat shalat dan mengaji yang lebih kecil dari pada masjid).
Hal ini dikarenakan banyak di antara mereka yang menyediakan mushalla/ langgar pribadi
di rumah masing-masing. Tempat ibadah tersebut dimanfaatkan oleh pemiliknya sendiri
bersama tetangga sekitar yang tidak memiliki langgar. Pada awal abad ke-20 langgar begitu
menjamur di kampung yang padat penduduk ini. Akan tetapi hanya terdapat lima langgar
utama yang dijadikan pusat belajar agama. Antara lain:

*
*
*
*
*

Langgar Lor (Utara), dipimpin oleh KH. Muhammad Noer


Langgar Kidul (Selatan), dipimpin oleh Khatib Amin/ KH. Ahmad Dahlan
Langgar Kulon (Barat), dipimpin oleh KH. Muhsen
Langgar Wetan (Timur), dipimpin oleh KH. Abdurrahman
Langgar Faqih, dipimpin oleh Ketib Faqih

Dari sejumlah langgar keluarga di kampung Kauman yang sekarang masih


dimanfaatkan hanya tinggal sepuluh, termasuk Mushalla Aisyiyah dan Ar-Rasyad yang
merupakan diperuntukkan bagi jamaah perempuan (Supardi 2010, 28 31).
Tentu saja yang menonjol dari beberapa mushalla tersebut adalah Langgar KH.
Ahmad Dahlan. Karena dari sinilah awal organisasi Muhammadiyah mulai dirancang.
Mushalla KHA. Dahlan sering kali disebut dengan nama Langgar Kidul. Tinggalan
arkeologis ini dibangun oleh ayahanda dari pendiri Muhammadiyah itu yaitu KH. Abu
Bakar. Tokoh KH Ahmad Dahlan, yang juga dijuluki sebagai Sang Pencerah tersebut,
juga sempat mengundang 17 orang ulama untuk membicarakan masalah arah kiblat di
langgar kecil tersebut. Namun, ketika itu mereka tidak menemukan kesepakatan hingga
shubuh (www.muhammadiyah.or.id).
Penyebutan nama Langgar KH. Ahmad Dahlan dalam penelitian kali ini sudah
termasuk dengan rumah dan pawiyatan karena nama resmi yang tercantum baik dalam
dalam daftar warisan budaya Kota Yogyakarta maupun di lingkup Muhammadiyah adalah
Langgar KH. Ahmad Dahlan.
Kejadian fenomenal di langgar ini terjadi pada tahun 1898 M atau sama dengan
tahun 1313 H Bulan Rajab Je yaitu ketika KHA. Dahlan melakukan renovasi sekaligus
perluasan dan memperindah mushallanya. Diharapkan proses renovasi tersebut dapat
selesai sebelum Bulan Ramadhan karena akan digunakan untuk Shalat Tarawih dan kegiatan
keagamaan lainnya. Ketika itu langgar masih berdinding bambu dan hanya mempunyai
satu lantai1. Tidak hanya itu sang kyai juga melakukan pembenaran arah kiblat dari yang
semula menghadap lurus ke barat menjadi serong ke utara beberapa derajat. Pembenaran
arah kiblat itu juga beliau lakukan di Masjid Gedhe Kraton yang mengakibatkan Pengulu
Pemaknaan Semiotika Tinggalan Arkeologis dan Hubungan Antara
Perkembangan Muhammadiyah Tahun 1912 1964

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11

ISSN: 23389176

KH. Khalil Kamaludiningrat dari Kawedanan Pangulon tidak terima dan menyuruh
anak buahnya untuk merobohkan langgar yang terletak di barat daya Kampung Kauman
(tepatnya RW 12) tersebut (Syoedja 2003, 47). Bangunan langgar yang ada sekarang
adalah hasil pembangunan ulang setelah peristiwa perobohan bangunan yang baru selesai
didirikan pada tahun 1901. Dasar KH. Ahmad Dahlan untuk menghadap kabah sebagai
kiblat shalat adalah Hadits Nabi Muhammad SAW dari Ibnu Umar sebagai berikut: Ketika
orang-orang sedang melakukan shalat di Qubba, tiba-tiba datang orang yang membawa
kabar bahwa semalam Rasulullah SAW mendapat wahyu berupa perintah untuk menghadap
Kabah. Seketika itu mereka menghadap ke Kabah. Sebelumnya mereka mengahadap ke
arah Syam, kemudian mereka berputar menghadap ke Kabah (HR. Muslim).
Langgar seluas 81,4 m2 atau juga setara dengan 0,007% dari Kecamatan Gondomanan
ini sendiri menurut rencana akan dijadikan bagian dari museum Muhammadiyah. Hal
ini bertujuan sebagai pengingat masyarakat terhadap perjuangan Ahmad Dahlan dalam
pembenaran arah kiblat yang akhirnya ditiru oleh semua masjid ataupun mushalla di
Indonesia. Selain itu dari bangunan kecil ini pula Muhammadiyah bisa menjadi besar dan
mendunia seperti sekarang. Peristiwa yang terjadi di langgar ini justru membuat nama KH.
Ahmad Dahlan semakin dikenal sebagai tokoh pembaharu Islam.
Setelah direnovasi dengan biaya Pemerintah Kota Yogyakarta mulai tanggal
19 Maret 2010 maka bangunan ibadah yang telah 35 tahun tidak dipakai itu sekarang
dapat dimanfaatkan kembali seperti sedia kala yaitu sebagai tempat shalat dan mengaji
masyarakat sekitar. Hal ini juga berarti langgar tersebut tidak pernah diadakan pengajian
sebelum dilaksanakan renovasi. Dengan renovasi langgar bersejarah tersebut maka satu
benda cagar budaya di Yogyakarta berhasil diselamatkan dan dapat menjadi tujuan wisata
sejarah para wisatawan (www.republika.co.id).

2. Mushala Aisyiyah Kauman


Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwasanya banyak dijumpai mushalla atau
langgar di Kampung Kauman. KH. Ahmad Dahlan sebagai pemimpin Muhammadiyah
telah mempunyai langgar untuk beribadah maupun sebagai tempat menuntut ilmu
bagi para muridnya. Karena beliau sangat juga memperhitungkan potensi perempuan
maka untuk mewadahinya dibangunlah mushalla untuk tempat shalat sekaligus sarana
memperbincangkan masalah agama khusus bagi kaum hawa tersebut yaitu Mushalla
Aisyiyah. Kebanyakan yang meramaikan tempat ibadah tersebut adalah warga Kauman
sendiri (www.muhammadiyah.or.id).
Pada dasarnya bangunan ini didirikan karena beberapa faktor teknis seperti halnya
kebutuhan perempuan Muhammadiyah akan adanya tempat untuk pusat berbagai kegiatan,
beribadah, dan bermusyawarah. Selain itu anggapan bahwa perempuan dinilai kurang
pantas untuk melakukan ibadah di Masjid Gedhe juga dijadikan alasan pembangunan
Mushalla Aisyiyah. Sejumlah latar belakang tersebut pada hakikatnya didasari oleh
prinsip dalam ajaran Agama Islam sendiri yang menekankan pemisahan antara laki-laki
dan perempuan ketika beribadah (Nurhidayati 2004, 65).
Bangunan yang berluas 0,03% dari Kecamatan Gondomanan ini didirikan oleh KH.
Ahmad Dahlan pada tahun 19225. Hal tersebut merupakan suatu prestasi tersendiri ketika
itu karena merupakan mushalla dengan jamaah khusus perempuan pertama di Indonesia.
Baru beberapa tahun kemudian di Kotagede juga dibangun tempat ibadah serupa. Mushalla
yang mempunyai luas 399 m2 ini terletak di wilayah RW 13 Kauman (Kauman Tengah).
Adapun kegiatan yang berlangsung rutin di tempat tersebut hingga kini adalah sebagai
berikut:

*
*
*
*
4

Setiap hari
Hari Ahad dan Jumat
Hari Selasa
Hari Rabu
Subhi Mamashony Harimurti

: Jamaah Shalat Rawatib6


: Kuliah Shubuh
: Pengajian sore
: Tadarus Al-Quran (Supardi, 2010: 32 33)

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11

ISSN: 23389176

Pada awal berdirinya bangunan tersebut Siswa Praja Wanita yang merupakan
cikal bakal berdirinya Nasyiatul Aisyiyah (NA)7 sering menggunakan mushalla ini
untuk kegiatan pengajian, shalat jamaah, peringatan hari besar Islam, dan acara keputrian
lainnya. Dalam kegiatan ibadah seperti halnya shalat maka yang bertindak selaku imam
maupun muadzin8 dan tentu saja jamaahnya adalah perempuan. Sebelum menjadi
mushalla sejatinya tempat itu sebelumnya adalah rumah milik Haji Irsyad9. Perkembangan
bangunan mushalla ini sendiri bisa dikatakan tidak ada perubahan, masih sama dengan
aslinya ketika awal didirikan.

3. SD Muh Notoprajan
Gedung yang dimaksud dalam uraian ini kini dikenal sebagai Gedung Sekolah
Notoprajan yang terletak di Jalan KH Agus Salim 66 Yogyakarta. Namun, sebelum
digunakan sebagai gedung sekolah, bangunan ini telah mengalami sejarah yang panjang
sejak didirikan pada tahun 1923.
Gedung sekolah tersebut mempunyai denah berbentuk huruf L dan terdiri dari
sejumlah ruangan yang dipakai sebagai ruang kelas. Gedung ini mempunyai luas 80 m2
atau sama dengan 0,0098% dari wilayah Kecamatan Ngampilan, mempunyai dua lantai,
mempunyai satu pintu depan, dan dua jendela pada bagian atas.
Perkembangannya diawali ketika bangunan ini diresmikan sebagai Rumah Miskin
Muhammadiyah pada tanggal 13 Januari 1923. Pendirian itu sendiri merupakan usul dari
KH. Syoedja. Peresmian amal usaha yang terletak di sebelah timur pertigaan Ngabean
ini dihadiri oleh Hoofd Bestuur (HB) Muhammadiyah, bagian PKO HB Muhammadiyah,
RT Wirjokesoemo, perwakilan Rijk Bestuur KPA Adipati Danurejo, dan orang-orang
terkemuka di Yogyakarta lainnya. KH. Ahmad Dahlan sendiri tidak dapat hadir karena
sedang sakit keras. Seorang tamu dari Malang dr. Soemowidagdo kemudian menjenguk
Sang Kyai sekaligus mengutarakan maksudnya untuk membantu Muhammadiyah dalam
bidang kesehatan kemudian beliau memanggil KH. Syoedja yang merupakan Ketua Bagian
PKO HB Muhammadiyah. Mereka akhirnya sepakat meresmikan Klinik dan Poliklinik
PKO Muhammadiyah pada tanggal 15 Februari 1923 atau 28 Jumadil Akhir 1341 H. Pada
hari yang telah direncanakan tersebut resmi berdiri Klinik dan Poliklinik Muhammadiyah
Yogyakarta bertempat di Jalan Jagang Notoprajan (sekarang bernama Jl. KH. Agus
Salim 66). KH. Ahmad Dahlan juga tidak dapat hadir dalam peresmian sebab sakit yang
dideritanya semakin parah bahkan seminggu pascaperesmian sang pendiri persyarikatan
tersebut meninggal dunia tepatnya hari Kamis Wage 6 Rajab 1341 H atau 22 Februari 1923.
Lokasi di Notoprajan tidak mampu menampung pasien yang semakin banyak
maka pada tahun 1927 Klinik dan Poliklinik pindah ke Jl. Ngabean 12 B (sekarang
bernama Jl. KH. Ahmad Dahlan) yang kemudian hingga saat ini dikenal dengan nama
RS PKU Muhammadiyah. Gedung di Notoprajan otomatis tidak ada yang menempati
maka kemudian dimanfaatkan untuk Perpustakaan Islam. Pada tahun 1953 gedung ini
digunakan oleh SMA Muhammadiyah 1 (Muhi) Yogyakarta. Tahun yang sama setelah itu
PRM Notoprajan kemudian mendirikan SMA Muhammadiyah 3 (Muga) Yogyakarta untuk
mewadahi lulusan SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta. SMA Muga menempati gedung di
Jalan Agus Salim 66 pada siang hari karena paginya dipergunakan SMA Muhammadiyah
1 (Muhi) Yogya. Perkembangan kedua SMA tersebut cukup pesat sehingga dikarenakan
gedung sekolah yang tidak dapat menampung keseluruhan siswa maka keduanya pindah ke
Jl. Kapten Piere Tendean 58 Ketanggungan (tahun 1986 SMA Muhi pindah ke Karangwaru
Kecamatan Tegalrejo dan SMA Muga tetap di Ketanggungan hingga sekarang).

4. Lapangan ASRI Wirobrajan


Muhammadiyah adalah organisasi pertama di Indonesia yang melaksanakan Shalat
Hari Raya di tanah lapang. Sebelumnya Shalat Idul Fitri maupun Idul Adha hanya dilakukan
di masjid saja. Pada masa kepemimpinan KH. Ibrahim hal tersebut ditunaikan dengan
Pemaknaan Semiotika Tinggalan Arkeologis dan Hubungan Antara
Perkembangan Muhammadiyah Tahun 1912 1964

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11

ISSN: 23389176

menempati Alun-Alun Utara Yogyakarta pada tahun 1926 (Mulkhan 1990, 35) setelah
mengkaji landasan hukum yang benar dalam Islam. Akan tetapi setelah sekitar 3 tahun
berjalan pihak Kraton dalam hal ini Sultan Hamengkubuwono VIII merasa keberatan jika
Alun-Alun Utara dipergunakan sebagai tempat Shalat Id, karena di Masjid Gedhe Kauman
juga digelar Shalat Hari Raya serupa. Sultan Hamengkubuwono VIII mempersilakan
Muhammadiyah untuk mencari tempat lain untuk kegiatan ibadah tersebut. Pada tahun
1930 Persyarikatan Muhammadiyah secara resmi membeli sebidang tanah yang cukup luas
di Kecamatan Wirobrajan. Lapangan tersebut kemudian dikenal sebagai Lapangan Asri.
Puluhan ribu jamaah dari berbagai daerah termasuk luar Yogyakarta senantiasa
datang memenuhi lapangan tersebut. Hal tersebut menyebabkan membludaknya jamaah
karena daya tampung Lapangan Asri tidak seluas Alun-Alun Utara. Akhirnya setelah melobi
pihak Kraton Alun-Alun Utara bisa kembali dimanfaatkan untuk Shalat Id. Tepatnya pada
tahun 1940 Muhammadiyah mempergunakan lagi tempat seluas dua kali lapangan sepak
bola tersebut. Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan X pun ikut dalam jamaah Shalat Id di
Alun-Alun Utara sehingga Masjid Gedhe tidak ditempati. Kadang penentuan tanggal Idul
Fitri atau Idul Adha antara pemerintah dengan Muhammadiyah tidak sama akan tetapi hal
tersebut tidak menghalangi Sultan untuk berhari raya di Alun-Alun Utara13. Lapangan
Asri pun tidak serta merta ditinggalkan karena seiring berjalannya waktu jumlah warga
Muhammadiyah juga bertambah sehingga tempat tersebut masih dimanfaatkan sampai
sekarang.

5. Muallimin
Muhammadiyah selalu terkenal sebagai organisasi yang mempunyai banyak
sekali lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan yang dipaparkan pada bagian ini adalah
Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta.
Madrasah Mu allimin Muhammadiyah merupakan sekolah yang didirikan oleh KH.
Ahmad Dahlan jauh sebelum Republik Indonesia lahir yaitu pada tahun 1918 dengan nama
Qismul Arqa di Kauman Kelurahan Ngupasan Kecamatan Gondomanan Kota Yogyakarta
atau dekat Masjid Gedhe. Setelah waktu berjalan lembaga pendidikan yang dibina
langsung oleh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini berubah nama menjadi Hogere
Muhammadijah School kemudian Kweekschool Islam lalu Kweekschool Muhammadijah.
Akan tetapi dikarenakan ada suatu kebijakan dari Belanda dengan dikeluarkannya Wilde
Schoolen Ordonantie tahun 1932 yang berisi larangan dipakainya nama sekolah dalam
bahasa Negeri Kincir Angin tersebut maka Kweekschool berubah nama menjadi Madrasah
Muallimin Muhammadiyah untuk laki-laki dan Madrasah Muallimaat Muhammadiyah
bagi perempuan (Darban 2000, 44 45). Keberadaan Mu allimin di Kampung Kauman
tidaklah lama karena pindah ke Ketanggungan Wirobrajan15. Pada permulaan berdirinya,
sekolah tersebut menggunakan sistem pesantren dalam melaksanakan kegiatan belajar
mengajarnya akan tetapi kemudian berubah dengan memadukan dua rumpun ilmu yakni
agama dan umum dalam satu wadah.
Sistem pembelajaran yang digunakan cenderung kepada sekolah modern yaitu
menggunakan bangku dan komposisi kurikulum menggabungkan antara Agama dan Umum.
Sesuatu yang tabu ketika itu karena dianggap sekuler atau tepatnya meniru penjajah
Belanda (kafir). Akan tetapi pendiri Muhammadiyah tersebut tidak menghiraukannya
sebab menurutnya metode seperti ini cukup efektif sebab umat Islam dapat menimba ilmu
agama tanpa mengesampingkan hal-hal yang bersifat umum. Terbukti sampai sekarang
hampir semua sekolah baik Islam maupun bukan menggunakan metode yang diterapkan
Sang Kyai.
Lambat laun waktu berjalan dengan bertambahnya jumlah siswa menyebabkan
Muallimin pindah tempat ke Ketanggungan Wirobrajan sampai sekarang. Sebagai lembaga
pendidikan Muhammadiyah tertua menyebabkan pesantren ini harus ganti pengelolaan
dari Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah ke biro khusus yang dibentuk oleh PP
Muhammadiyah dengan nama Badan Pembina (Pasha 2003, 176).
6

Subhi Mamashony Harimurti

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11

ISSN: 23389176

Adapun perkembangan yang terjadi pada sekolah ini dimulai ketika awal kali pindah
ke Jalan S. Parman seperti sekarang bangunan yang ada adalah gedung induk, masjid, rumah
dinas direktur, dan kompleks asrama beserta pagar gerbang belakang yang masih asli sejak
1932 masih ada sampai sekarang. Berdasarkan pahatan angka pada dinding di atas gerbang
belakang dapat diketahui bahwa bangunan ini dibangun tahun 1932. Hal ini diperkuat
dengan goresan kecil di lantai depan asrama yang menunjukkan angka 1-1-1932. Ini
lah bukti arkeologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pasti. Gedung induk awal
berdiri tahun 1929, sebelum akhirnya dibakar ketika revolusi kemerdekaan Indonesia. Baru
pada tahun 1951 pembangunan gedung induk yang baru selesai dikerjakan. Usia bangunan
ini cukup lama meskipun akhirnya hancur juga oleh peristiwa gempa bumi 26 Mei 2006.
Hingga akhirnya sekarang dibangun lagi dengan konstruksi yang lebih modern dengan
empat lantai. Luas lahan Muallimin adalah 9.125 m 16. Muallimin sekarang telah
mempunyai sembilan asrama luar selain juga terdapat di dalam gedung induk sendiri.

6. Gedoeng Moehammadijah
Gedung Muhammadiyah tersebut diindikasikan sebagai situs arkeologi mengingat
dari data wawancara, sertifikat tanah yang berangka tahun 1940, prasasti selesainya
pembangunan pada 1942 atau tepatnya pemugaran (ketiganya memenuhi salah satu
syarat objek arkeologi yaitu berusia lebih dari 50 tahun), serta ciri arsitekturnya seperti
jendela kayu khas masa kolonial25, selain itu jendela pada ruang sidang I di lantai II juga
bernuansa kolonial meskipun mempunyai perbedaan bentuk dengan yang telah disebutkan
sebelumnya. Jendela khas kolonial atau Indis yang dimaksud adalah tata letak yang simetris
di sebelah kanan dan kiri pintu, bentuk panil kayu, kupu tarung (mempunyai dua daun pintu,
serta memiliki cat warna kayu (Prihantoro dkk 2009, 60). Bangunan ini masuk ke dalam
daftar Bangunan Warisan Budaya Kota Yogyakarta dengan nomor 79 yang diinventarisir
oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogya. Satu lagi yang dapat dijadikan indikasi
sebagai situs purbakala adalah tulisan yang ada di atas lorong pintu gerbang. Tercantum
angka tahun 1360 dalam angka India di bawah lambang persyarikatan. Ini merupakan tanda
bangunan memang ada sejak 1360 H, sebelum akhirnya dipugar dan selesai tahun 1942.
Tahun 1360 H sendiri bila dikonversikan ke tarikh umum sama dengan 1941. Ini diketahui
menurut rumus pencarian tahun masehi yaitu seperti berikut:

Gambar 1. Rumus Hijriah

M (Masehi) = (32/33 x tahun hijriah) + 622

Berarti M = (32/33 x 1360) + 622


= 1318,79 + 622
= 1940,79
= 1941

G. Kesimpulan
Persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi yang berdiri sejak tahun 1912
telah meninggalkan sejumlah tinggalan arkeologis. Tidak semua tinggalan arkeologis
itu masih tetap ada. Hanya beberapa saja yang hingga sekarang masih ada dan dapat
diidentifikasi sehingga dapat diteliti. Penelitian kali ini lebih condong dikaitkan dengan teori
perilaku (behavior) yang menjadi salah satu kajian arkeologi. Kajian arkeologi perilaku ini
lebih menekankan pada upaya mengungkapkan hubungan antara perilaku dengan benda
bendawi. Di sini, hubungan keduanya tampak pada perkembangan Muhammadiyah yang
dianggap sebagai perilaku organisasi terkait dengan amal usahanya yang dianggap sebagai
aspek budaya bendawi atau tinggalan arkeologisnya.

Pemaknaan Semiotika Tinggalan Arkeologis dan Hubungan Antara


Perkembangan Muhammadiyah Tahun 1912 1964

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11

ISSN: 23389176

Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah telah mendirikan beragam amal usaha guna
menopang berjalannya gerakan organisasi. Pendirian sekolah, rumah sakit, tempat ibadah,
dan panti asuhan adalah usaha persyarikatan ketika itu. Pendiri organisasi ini, KH. Ahmad
Dahlan, meninggalkan Langgar Kidul Kauman, Mushalla Aisyiyah Kauman, dan SD
Muhammadiyah Notoprajan. Bentuk amal usaha yang ditinggalkan menunjukkan kegiatan
pada tahap ini lebih condong pada kegiatan sosial keagamaan. Penggantinya yaitu KH.
Ibrahim telah berjasa dalam mendirikan amal usaha berupa Lapangan Asri Wirobrajan,
Madrasah Muallimin Muhammadiyah, serta Madrasah Muallimaat Muhammadiyah.
Ketiga bangunan ini menandakan KH. Ibrahim berkonsentrasi pada ranah ijtihad dan
perkaderan. KH. Hisyam dalam kepemimpinannya antara lain telah berhasil mendirikan SMP
Muhammadiyah 1 Yogyakarta yang termasuk aplikasi program pendidikan kader. Tokoh
dari Surabaya KH. Mas Mansur berperan dalam diresmikannya Gedung Muhammadiyah
sebagai bangunan yang lebih berkaitan erat dengan kegiatan administratif. TK ABA Kauman
menempati gedung baru hingga sekarang sejak era Ki Bagus Hadikusumo. Berbeda dengan
yang lain SD Muhammadiyah Kauman selesai pembangunannya oleh 2 periode yaitu HM.
Yunus Anis dan juga KH. Ahmad Badawi. Ketiga pemimpin tersebut menaruh perhatian
pada pendidikan dasar modern.
Seluruh objek penelitian yang pada umumnya berupa bangunan bercorak masa
kolonial kali ini mengalami sejumlah perkembangan antara lain fungsi, fisik, fungsi dan
lahan, fisik dan lahan, fungsi dan fisik, serta tidak ada sama sekali. Mayoritas sebanyak
30 % mengalami perkembangan fisik saja. Hal ini dikarenakan letak tinggalan arkeologis
tersebut umumnya berada di pusat kota, sehingga sulit untuk menambah atau meluaskan
lahannya Semua bangunan yang tidak mengalami perubah fungsi adalah bangunan sekolah.
Jadi, kenyataan ini sangat wajar terjadi karena sangat jarang suatu sekolah berubah atau
mengalami perkembangan fungsi, selain fungsi utamanya yaitu sebagai tempat belajar
mengajar.
Masa awal persyarikatan Muhammadiyah (1912 1923) berdasarkan tinggalan
arkeologisnya menitikberatkan pada permasalahan keagamaan dan sosial maka tidak
heran jika organisasi ini sering disebut dengan gerakan sosial keagamaan. Bukti
bangunannya adalah Langgar KH. Ahmad Dahlan, Mushalla Aisyiyah, dan Rumah
Miskin Muhammadiyah (kemudian berganti nama Klinik dan Poliklinik Muhammadiyah
hingga sekarang menjadi SD Muhammadiyah Notoprajan). Muhammadiyah pada tahun
1923 1939 lebih bergerak pada aspek ijtihad dan pendidikan kader. Tinggalan arkeologis
yang bisa dilacak adalah Lapangan Asri, Madrasah Muallimin Muhammadiyah, Madrasah
Muallimaat Muhammadiyah dan SMP Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Bangunan pertama
menandakan ijtihad Muhammadiyah terkait pelaksanaan hari raya dan tiga berikutnya
mengenai permasalahan perkaderan. Masa lanjut yaitu tahun 1939 1964 lebih pada
program tertib administrasi dengan dibuktikan oleh keberadaan Gedung Muhammadiyah
atau sering disebut Kantor PP Muhammadiyah lama dan pendidikan dasar modern yaitu
adanya TK ABA Kauman dan SD Muhammadiyah Kauman. Dua yang terakhir merupakan
awal pendidikan dasar medern yang memadukan kurikulum agama dan umum.
Parameter dalam penelitian kali ini adalah data yang diperoleh dari PDM Kota
Yogya yang menunjukkan bahwa objek tinggalan arkeologis yang berasal dari ketiga
kecamatan tersebut di atas berjumlah 10 unit. Hal itu berarti parameter populasi berjumlah
10. Dari Hasil dari analisis dapat disimpulkan bahwa tinggalan yang paling dominan
adalah Madrasah Muallimin Muhammadiyah. Hal tersebut membuktikan bahwasanya
persyarikatan sangat concern pada aspek pendidikan perkaderan.
Analisis statistik yang dapat menjawab permasalahan penelitian kali ini menggunakan
metode korelasi. Tabel maupun diagram perkembangan anggota Muhammadiyah dan
perkembangan luasan tinggalan arkeologisnya terdapat hubungan korelasi ditunjukkan
dengan kenaikan yang seirama di antara keduanya. Hasil angka keluaran metode korelasi
berimplikasi bahwa terdapat hubungan antara perkembangan Muhammadiyah dengan
kuantitas tinggalan arkeologisnya di Kecamatan Gondomanan, Kecamatan Ngampilan,

Subhi Mamashony Harimurti

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11

ISSN: 23389176

dan Kecamatan Wirobrajan Kota Yogyakarta tahun 1912 1964. Kesimpulannya terdapat
hubungan yang kuat/ erat/ siginifikan/ tinggi antara kedua variabel tersebut di atas.
Berdasarkan analisis peta dapat disimpulkan bahwa kesepuluh tinggalan arkeologis
tersebut menempati ruang yang terkonsentrasi pada seputar Kauman Notoprajan. Hal ini
adalah wajar jika dilihat dari sejarah Muhammadiyah sendiri seperti halnya yang tercantum
pada Bab II. Hampir semua tinggalan terletak di lokasi yang saling berdekatan satu sama
lain. Itu menandakan masih terdapat hubungan di antara kesepuluhnya.

DAFTAR PUSTAKA
Adams, Cindy. 1966. Bung Karno; Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Gunung
Agung.
Ajib. 2010. Kauman, Tempat Lahirnya Muhammadiyah. Jurnal Muktamar (7): 4.
Anonim. 1936. Petikan Soko Register Bab Wawenang Andarbe Boemi Ngiras Lajang
Oekoeran. Ngajogjakarta: Goepermen Ngajogjokarto.
Anonim. 2008. Pesantren Modern. Dialog Jumat Harian Republika 21 Nopember 2008.
36.
Anonim. 2008. Profil Muallimin. Yogyakarta: Madr. Muallimin Muh. Diperoleh dari
www.muallimin.org. 30 Desember 2008.
Anonim. 2009. Muhammadiyah Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: PP
Muhammadiyah. Diperoleh dari www.muhammadiyah.or.id . 10 Oktober 2009.
Anonim. 2010. Kebijakan Pendidikan Muhammadiyah. Jakarta: Fak. Agama Islam Univ.
Buya Hamka. Diperoleh dari http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=249. 21 Juni
2010.
Anonim. 2010. Sejarah Panti Asuhan Muhammadiyah. Yogyakarta: PP Aisyiyah.
Diperoleh dari http://www.payaisyiyah.org/index.php?pilih=hal&id=2. 21 Juni 2010.
Anonim. 2011. Profil KH. Ibrahim. Harian Republika 23 Januari 2011. 16.
Arnold, Thomas W. 1981. Sejarah Dawah Islam. Jakarta: Widjaya.
Astuti, Fauziah T. 2009. Profil Madr. Muallimaat Muh. Yogya. Yogyakarta: Madr.
Muallimaat
Muh.
Badan Pusat Statistik Kota Yogya. 2010a. Kecamatan Gondomanan dalam Angka.
Yogyakarta: Badan Pusat Statistik Kota Yogya.
___________. 2010b. Kecamatan Ngampilan dalam Angka. Yogyakarta: Badan Pusat
Statistik Kota Yogya.
___________. 2010c. Kecamatan Wirobrajan dalam Angka. Yogyakarta: Badan Pusat
Statistik Kota Yogya.
Badawi, Djaldan. 2007. Kepala Kantor PP Muhammadiyah Cik Di Tiro. (Wawancara). 12
Desember.
Bambang dkk. 2010. Panti Asuhan Yatim Putra Muhammadiyah. Yogyakarta: Tanpa
Penerbit.
Bambang. 2010. Sekretaris Panti Asuhan Muhammadiyah Lowanu. (Wawancara). 14
Agustus.
Darban, Ahmad A. dan Muhammad Syakir. 1994. Sejarah Muhammadiyah Bag I.
Yogyakarta:
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Pustaka.
Darban, Ahmad A. 2000. Sejarah Kauman Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah.
Yogyakarta: Tarawang.
Departemen Agama Republik Indonesia. 1989. Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung:
Gema Risalah Press.
Effendi. Muhammadiyah Ijtihad Terbesar KHA Dahlan. Suara Muhammadiyah. No. 15.
Tanggal 1 15 Juli 2005.
Efendi, Sofyan. 2008. Hadits Web 3.0 Kumpulan dan Referensi Belajar Hadits. Tanpa
kota:
Tanpa penerbit.
Gubernur DIY. 2002. Keputusan Gubernur DIY Nomor 186. Yogyakarta: Pemerintah
Propinsi DIY.
Pemaknaan Semiotika Tinggalan Arkeologis dan Hubungan Antara
Perkembangan Muhammadiyah Tahun 1912 1964

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11

ISSN: 23389176

Hadjid. 2008. Pelajaran KHA Dahlan. Yogyakarta: Lembaga Pustaka dan Informasi PP
Muh.
Hartono. 2010. SPSS 16.0 Analisis Data Statistika dan Penelitian. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Hasyim, Musthofa W. tt. Ensiklopedi Muhammadiyah. Belum diterbitkan.
Hidayat, Taufik dan Iqbal Hasanuddin (ed.). 2010. Satu Abad Muhammadiyah Mengkaji
Ulang Arah Pembaruan. Jakarta: Paramadina.
IT SMP Muh. 1 YK. 2010. Kilas Balik Perjalanan Sejarah SMP Muh. 1 YK. Yogyakarta:
SMP
Muh. 1 YK. Diperoleh dari www.smpmuh1yk.sch.id. 13 Nopember 2010.
Julianto, Supardi. 2010. Profil Kauman. Yogyakarta: PRM Kauman.
Juraimi, Suprapto I. 2009. Perkembangan Muhammadiyah. Yogyakarta: Tanpa penerbit.
Diperoleh dari http://arwankhoiruddin.blogspot.com/2009/04/. 13 November 2010.
Jurdi, Syarifuddin (ed.). 2010. 1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pembaruan Sosial
Keagamaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kotz, Samuel (ed.). 2005. Parameter. Dalam Encyclopedia Of Statistical Sciences.
Vol. 9. Washington: A John Wiley & Sons, Inc., Publication.
Maruf, Ade WS dan Heri Zulfan. 1995. Muhammadiyah dan Pemberdayaan Rakyat.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maruf, Muhammad KA. 2009. Sejarah Singkat Muhammadiyah Ranting Notoprajan.
Yogyakarta: Garas Comm.
Masri, Singarimbun dan Sofian Effendi. 1982. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Lembaga
Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
Muarif. 2010a. Lima Matahari Lima Pemimpin. Suara Muhammadiyah 95 (24): 35.
________. 2010b. Songket Kauman, Potret Budaya yang Tergerus Zaman. Suara
Muhammadiyah 95 (24): 36.
Muhadjir, Ahmad. 2008. Pembantu Direktur II Muallimin. (Wawancara). 15 Desember.
Mujiono. 2010. Petugas Keamanan SMP Muh.1 YK. (Wawancara). 27 Nopember.
Mulkhan, Abdul M. 1990. Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah.
Jakarta: Bumi Aksara.
_________. 2006. Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Muti, Abdul. 2010. Mencari Identitas Pendidikan Muhammadiyah. Dalam Reinvensi
Pendidikan Muhammadiyah. Ed. Faozan A. Jakarta: Al-Wasat Publishing House.
Hlm. xix xxi.
Nakamura, Mitsuo.1983. Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. 2009. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.
Nugrahani, DS (ed.). 2002. Jogja di Mataku. Yogyakarta: Panitia Lustrum VIII Arkeologi
FIB UGM.
Nurhidayati, Yuni. 2004. Musalla Aisyiyah Tinjauan Atas Latar Belakang Pendirian, Bentuk
dan Peranannya dalam Pembaharuan Islam di Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: FIB,
UGM.
Pasha, Musthafa K dkk. 2003. Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid. Yogyakarta:
Citra
Karsa Mandiri.
PP Muhammadiyah. 2000. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. Tulungagung:
PDM Tulungagung.
Prihantoro, Fahmi dkk. 2009. Panduan Pelestarian Bangunan Warisan Budaya. Yogyakarta:
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogya.
Qomar, Mujamil. 2005. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi. Jakarta: Erlangga.
Rais, M. Amien dkk. 2000. Muhammadiyah dan Reformasi. Yogyakarta: Aditya Media.
Romli, Inajati A. dan Anggraeni (ed.). 2003. Mosaik Pusaka Budaya Yogyakarta.
Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta.
Saifuddin, Sony. 2004. Perkembangan Amal Usaha Muhammadiyah di Kotagede Tahun

10

Subhi Mamashony Harimurti

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 1-11

1923 2002 dan Faktor-Faktor yang Melatarbelakanginya. Skripsi. Yogyakarta: Jur


Arkeologi, Fak Ilmu Budaya, UGM.
Salman, Ismah. 2005. Diskursus Jender di Organisasi Perempuan Muhammadiyah. Jakarta:
Pusat Studi Agama dan Peradaban.
Santika, Denny. 2007. Masjid Raya Cipaganti di Permukiman Kolonial Belanda Abad
ke-20 di Bandung Jawa Barat (Tinjauan Berdasarkan Aspek Keruangan). Skripsi.
Yogyakarta: Jur Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM.
Santoso, Slamet. 2009. Statistika Induktif. Yogyakarta: Ardana Media.
Schiffer, Michael B. 1976. Behavioral Archeology. New York: Academic Press, Inc.
_______________ . 1995. Social Theory and History in Behavioral Archaeology. Dalam
Expanding Archaeology. Ed. Skibo, James M. et.al. Salt Lake: University of Utah
Press. Hlm. 35.
Setiawan, Iwan dkk. 2010. Tour de Muhammadiyah. Yogyakarta: Seksi Syiar Panitia
Penerima Muktamar 1 Abad Muh.
Setiawan, Budi. 2010. Alun-Alun Utara Yogya. Jakarta: Koran Jakarta. Diperoleh dari
koran-jakarta.com/berita-detail. 13 Nopember 2010.
Shennan, Stephen. 1988. Quantifying Archaeology. Edinburgh: Edinburgh University
Press.
Shoim, Muhammad. 2010. Dosen STAIN Tulungagung. (Wawancara). 18 Nopember.
Soekiman, Djoko dkk. 1986. Sejarah Kota Yogyakarta. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional.
Stoddard L. 1966. Dunia Baru Islam. Jakarta: Kementerian Koordinator Kesejahteraan.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Sulomo, Achmad. 2009. Sebuah Renungan. Jakarta: Binamenteng Rayaperdana.
Surjomihardjo, Abdurrachman. 2000. Kota Yogyakarta 1880 1930 Sebuah Perkembangan
Sosial. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Syoedja, Muhammad. 2003. Cerita tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan Catatan Haji
Muhammad Syoedja. Belum diterbitkan.
Tim Litbang Kompas. 2001. Profil Daerah Kabupaten dan Kota. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Undang Undang No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya.
Walpole, Ronald E. 1997. Pengantar Statistika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Widiyastuti. 2010. KHA. Dahlan Ayah, Guru, dan Pembaharu dari Kampung Kauman.
Yogyakarta: Yayasan KHA. Dahlan.
Yulianingsih. 2010. Langgar KHA. Dahlan akan Dijadikan Museum Muhammadiyah.
Jakarta: Republika. Diperoleh dari www.republika.or.id 3 Agustus 2010.
Zuhdi, Najmuddin. 2003. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam Bidang Keagamaan.
Tajdida (1): 57 74.
Quarterly. Vol 19, No.4, p.p: 703-721.

Pemaknaan Semiotika Tinggalan Arkeologis dan Hubungan Antara


Perkembangan Muhammadiyah Tahun 1912 1964

11

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23

produksi/percetakan dan sirkulasi.Artinya ada tahapan-tahapan pengelolaan di sini, seperti


perencanaan yang dipermantap seperti intensitas untuk membahas tema tidak hanya dalam
satu kali, pengorganisasian yang jelas job desk masing-masingnya, action/ pengarahan yang
harusnya lebih diperbanyak artinya tidak hanya satu kali dan tidak hanya rapat formal yang
diandalkan, bisa melalui telepon atau sms sebelum rapat formal yang akan menentukan
keputusan, dan tahapan yang sering dilewatkan pada pengelola majalah Suara Aisyiyah
yaitu tahapan evaluasi. Seperti rapat evaluasi yang membicarakan mengenai oplah, rubrik,
dan kinerja dari masing-masing penanggung jawab.

F. DAFTAR PUSTAKA
Abrar, Ana Nadhya. 2005. Penulisan Berita. Yogyakarta :Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Baskin,Otis. Craig Arnoff. Dan Lattimore.1997. Public Relations The Profession and the
Practie. 4thed. New York: McGraw Hill.
Cottle, Smon. 2003. Media Organization and Production. London: Sage Publications.
Djuroto, Totok. 2000. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung :Remaja RosdaKarya.
Draft, Richard L. 2003. Management Manajemen. 6th ed. Jakarta: Salemba Empat.
Effendy, M. Manullah. 1996. Dasar-Dasar Manajement. Jakarta :Ghalia Indonesia.
Frank, Jefkins. 2004. Public Relations. United Kingdom :Erlangga.
Fink, Conrand. 1998. Strategic Newspaper Management. New York: Random House.
Gunaidi. 1998. Himpunan Istilah Komunikasi. Jakarta: Grafindo.
Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda.
Moore, Frazier. 2004. Humas Membangun Citra dengan Berkomunikasi. Bandung : Remaja
Rosda karya.
Neuman, W Lawrence. 2000. Social Research Methods Qualitative and Quantitative
Approaches. 4th ed. United States of America: Alin & Bacon.
Nurhaidi. 1992. Kamus Istilah Perpustakaandan Dokumentasi. Jakarta: Rosda.
Oliver, Sandra. 2007. Strategi Public Relations. London :Esensi Erlangga Group.
Pace,Wayne. DonF. Faules. 1998. KomunikasiOrganisasi Strategi Meningkatkan Kinerja
Perusahaan. Bandung: Rosda.
Pareno, Sam Abede. 2003. Manajemen Berita Antara Idealisme dan Realita. Surabaya:
Papyrus.
Romli, Sam Abede. 1999. Jurnalistk Praktis. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Siregar Ashadi dan Rondang Pasaribu. 2000. Bagaimana Mengelola Media Korporasi
Organisasi. Yogyakarta: LP3Y.
Suhandang, Kustadi. 2004. Pengantar Jurnalistik Seputar Organiasi, Produkdan Kode
Etik. Bandung: Nansa.
Yin, Robert K. 2006. Studi Kasus Desaindan Metode. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Yunus, Syarifudin. 2010. Jurnalistik Terapan. Bogor: Ghalia Indonesia.
Negatif Tentang Fisik dengan Body Esteem dan Harga Diri. Makara, Sosial Humaniora,
Vol. 11, no. 1, 18.
Quarterly. Vol 19, No.4, p.p: 703-721.

Pengelolaan Majalah Internal Suara Aisyiyah Pada Organisasi Masyarkat Aisyiyah: Studi
Kasus Pengelolaan Majalah Internal Suara Aisyiyah Pada Organisasi Masyarakat

23

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23

ISSN: 23389176

kreativitas. Hal itulah yang menjadi fenomena iklan rokok sekarang ini.
Dari sekian banyak iklan produk komersial yang ditayangkan di media televisi,
memang terdapat diferensiasi antara iklan produk rokok dan non rokok. Iklan rokok yang
masuk dalam kategori jenis produk AKROBAT (Alkohol, Kondom, Rokok, dan Obatobatan) mempunyai keterbatasan dalam memvisualisasi kelebihan produknya. Hal tersebut
lebih disebabkan ketatnya regulasi penayangan iklan rokok oleh pemerintah. Iklan rokok
hanya boleh menampilkan citra produk tanpa adanya perwujudan dari produk rokok tersebut
secara eksplisit. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2003 tentang
Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan pasal 17 menyebutkan, Materi iklan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dilarang :

1. merangsang atau menyarankan orang untuk merokok;


2. menggambarkan atau menyarankan bahwa merokok memberikan manfaat bagi
kesehatan;
3. memperagakan atau menggambarkan dalam bentuk gambar, tulisan atau gabungan keduanya, bungkus rokok, rokok atau orang sedang merokok atau mengarah pada orang yang sedang merokok;
4. ditujukan terhadap atau menampilkan dalam bentuk gambar atau tulisan atau
gabungan keduanya, anak, remaja, atau wanita hamil;
5. mencantumkan nama produk yang bersangkutan adalah rokok;
6. bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Sumber: (http://
www.ilunifk83.com/t288-pp-no-19-tahun-2003 tentang pengamanan rokok-bagi kesehatan).

Bagi produsen rokok dan kreator iklan, regulasi tersebut tentu membatasi ruang
gerak mereka untuk memasarkan produknya. Permasalahan iklan rokok tidak hanya
berhenti disitu saja, frekuensi tayangan iklan rokok pun dibatasi, sebagaimana yang
disebutkan juga dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2003
pasal 16 ayat 3 bahwa, Iklan pada media elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) hanya dapat dilakukan pada pukul 21.30 sampai dengan pukul 05.00 waktu setempat.
Keseluruhan regulasi penayangan iklan rokok tersebut semakin menyudutkan ruang gerak
para produsen beserta biro iklan rokok untuk memproduksi dan mendistribusikan iklannya.
Para pembuat iklan rokok di televisi dituntut harus berpikir dua kali, selain dituntut untuk
ekstra kreatif dalam pembuatan iklan tetapi juga dituntut untuk ekstra kreatif dan tidak
sembarangan dalam mendistribusikan iklannya di media televisi.
Terlepas dari kondisi seperti itu, disisi lain iklan rokok justru memiliki kebebasan
untuk tampil lebih menonjol dibandingkan iklan produk non-rokok. Regulasi tersebut tidak
mampu memenjarakan kreativitas mereka tetapi justru membuat kreator iklan rokok lebih
bebas untuk menyelami ide kreatifnya, dan juga merasa tanpa dibatasi oleh mandatori
konservatif, koridor brief dan segmentasi iklan yang diminta oleh klien. Pada kenyataannya
kreator iklan justru menciptakan ide yang out of box dan lebih kreatif.
Hal ini terlihat dari maraknya iklan rokok yang muncul sekarang dengan
mengedepankan unsur kreatif secara verbal maupun non verbal dan mengoptimalkan aspek
visual tetapi lebih kreatif dalam menyampaikan pesannya yang mengandung multi makna,
dan lebih populer lagi iklan rokok sekarang ini banyak mengangkat realitas sosial dalam
masyarakat sebagai ide besarnya dalam mengkreasi sebuah iklan meskipun tanpa adanya
relevansi antara produk dengan ide iklan yang ditampilkan. Dengan demikian, iklan dapat
dikatakan telah mengalami pergeseran atau perluasan fungsi iklan itu sendiri, yang asal
mulanya iklan mempunyai fungsi inti sebagai alat untuk memasarkan produk telah meluas
fungsinya menjadi media representasi sosial, kontrol sosial dan bahkan kritik sosial.
Salah satu diantara banyaknya iklan rokok yang terhimpit oleh ketatnya regulasi

13

Abid Hilmi

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23

penayangan dan menjadikan realitas sosial sebagai ide kreatifnya adalah iklan rokok
Djarum 76, yang tampil dengan berbagai macam versi iklannya. Meskipun dalam sisi
penayangannya terbatas, namun iklan tersebut tetap mampu menunjukkan eksistensinya
di belantika periklanan televisi Indonesia. Iklan Djarum 76 merupakan salah satu diantara
sekian banyak iklan rokok tematis yang selalu mempunyai ide tema tersendiri dan
berkelanjutan.
Dalam beberapa bulan terakhir, iklan rokok Djarum 76 yang sering menghiasi layar
televisi adalah iklan yang selalu menampilkan tokoh utamanya yaitu Jin Jawa yang dibuat
dalam berbagai versi. Salah satu versi yang bisa dibilang paling menarik idenya yaitu versi
iklan yang menampilkan sosok mirip Gayus Tambunan, yang tak lain adalah sosok populer
yang ramai diberitakan akibat praktik negatif dari sepak terjangnya di institusi perpajakan
kala itu.
Dalam iklan yang ber tag-line Yang Penting Heppiii itu juga terdapat ungkapan
ampuh Wani Piro yang secara verbal merepresentasikan isu pungli (pungutan liar)
atau sogokan yang kerap dilakukan oleh oknum birokrat di Indonesia. Dengan ungkapan
Wani Piro tersebut menjadikan iklan Djarum 76 lebih menarik dan mudah diingat oleh
khalayak, khalayak pun kerap menjadikan ungkapan tersebut sebagai bahasa prokem atau
jargon dalam pergaulan di tengah lingkungan sosialnya dalam konteks tertentu. Selain itu
banyak sekali interpretasi simbol-simbol dan tanda yang terdapat pada iklan tersebut yang
mengandung makna kritik sosial.
Berawal dari situlah akhirnya penulis menjadikan iklan rokok Djarum 76 versi
Gayus Tambunan sebagai subyek sekaligus obyek penelitiannya. Selain itu, ketertarikan
penulis pada pemilihan iklan rokok Djarum 76 versi Gayus Tambunan sebagai obyek
penelitian lebih dikarenakan iklan tersebut merupakan sebuah karya kreatif dan satu-satunya
iklan komersial yang secara langsung mengangkat realitas korupsi dan kebobrokan sistem
di negeri ini sebagai ide iklan, yang di dalamnya banyak terkandung substansi penandaan
yang mengandung kritik sosial. Meskipun iklan tersebut saat ini sudah tidak ditayangkan
lagi di televisi dan digantikan dengan versi yang lainnya, tetapi simbol, relasi tanda dan
pemaknaan tanda yang ada pada iklan tersebut tetap menarik untuk ditafsirkan, diteliti dan
dikaji secara semiotika.

G. Pembahasan
Berdasarkan analisis penanda (signifier) dan petanda (signified) yang telah penulis
kemukakan sebelumnya secara keseluruhan, dapat diketahui bahwa simulasi realitas yang
diilustrasikan dalam iklan, lebih spesifik ingin memberikan sedikit penyadaran atau refleksi
diri kepada masyarakat bahwa realitas korupsi di Indonesia dan kinerja Pegawai Negeri Sipil
(PNS) kurang lebih seperti yang direpresentasikan secara subyektif dalam iklan Djarum
76 versi Gayus Tambunan ini. Sesuai dengan apa yang disampaikan Hardiman (2009:20),
Bahwa kritik berkaitan dengan kesadaran akan krisis sosial dalam kondisi historis tertentu,
maka fenomena korupsi yang melibatkan oknum PNS di negeri ini juga merupakan bagian
dari krisis sosial dalam kondisi historis bangsa sekarang ini.
Kritik sosial dipahami sebagai sebuah bentuk komunikasi yang dikemukakan
baik dalam bentuk tulisan maupun lisan, berkenaan dengan masalah interpersonal, serta
mengontrol jalannya sistem sosial (Soekamto, 1993:464). Sepertihalnya dalam iklan
Djarum 76 versi Gayus Tambunan ini, iklan merupakan bentuk komunikasi yang ingin
menyampaikan secara audio-visual berkaitan dengan masalah interpersonal dalam sebuah
sistem sosial masyarakat, yaitu fenomena korupsi dan kinerja PNS di negeri ini. Hal ini
terkait dengan maraknya kasus korupsi yang memang banyak melibatkan institusi negara
dengan segenap perangkatnya yaitu pejabat publik, yang tak lain adalah PNS itu sendiri.
Sebagaimana yang digambarkan pada scene kedua hingga scene kelima, dari
penanda (signifier) dan petandanya (signified) menunjukkan bahwa setting atau latar iklan
adalah kantor instansi pemerintah. Setting ruangan yang diilustrasikan dalam iklan identik
dengan ruangan kantor instansi pemerintah, sedangkan pegawai yang berada di dalam
Kajian Kritik Sosial dalam Iklan Djarum 76 Versi Gayus Tambunan

14

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23

ISSN: 23389176

ruangan kantor tersebut identik dengan pegawai instansi pemerintah atau lebih disebut
PNS.
Kantor instansi dalam iklan ini merupakan representasi atau simbol dari pemerintah,
yang di dalamnya terdapat praktek kinerja dari masing-masing personal pegawainya yang
berstatus PNS, Sedangkan unsur penanda (signifier) seperti pegawai instansi yang identik
dengan Gayus Tambunan, dan juga isyarat jari tangan berupa ibu jari digesekkkan dengan
jari telunjuk menandakan tentang praktek korupsi. Pada akhirnya yang menjadi kesimpulan
cerita terdapat pada penanda (signifier) jin yang mengeluarkan ucapan verbal wani piro
disertai isyarat jari tangan sama seperti isyarat jari tangan pegawai Gayus Tambunan,
yang menandakan bahwa jin yang diharapkan dapat memberantas korupsi justru malah
melakukan aksi pemerasan atau pungutan liar (pungli).
Selain itu juga terdapat penanda (signifier) yang lain yang menandakan konteks
cerita, seperti istilah cuk, baju beskap dan blangkon yang dikenakan jin, istilah
monggo, istilah wani piro, burung yang berkicau, dan bangunan yang identik dengan
gedung kantor instansi pemerintah tingkat desa disertai pepohonan yang masih rindang,
yang kesemuanya itu menandakan bahwa cerita dalam iklan ini terjadi pada konteks desa
atau daerah di pulau Jawa.
Bisa diartikan bahwa korupsi tidak hanya dipraktekkan di tingkat pusat saja, tetapi
sudah mengakar hingga tingkat desa atau daerah sekalipun. Iklan yang kental dengan
unsur Jawa ini juga seakan ingin mengangkat kearifan lokal budaya Jawa ke dalam iklan.
Menampilkan sisi lain dari kebanyakan iklan komersial lainnya, yang pada umumnya
identik dengan perkotaan atau setting keindahan kota. Terlepas dari itu semua, ilustrasi
iklan yang sarat dengan unsur Jawa ini merupakan representasi dari Pulau Jawa yang
merupakan pusat pemerintahan di negara ini, yang di dalamnya terdapat praktek-praktek
kinerja pemerintahan dari tingkat pusat hingga tingkat desa.
Kritik Sosial dalam iklan ini juga disampaikan secara eksplisit, Ini sesuai dengan
scene ketujuh yang memperlihatkan seorang pemuda yang meminta kepada jin, dengan
berucap Mau korupsi, pungli, sogokan, hilang dari muka bumi, iso jin?. Kata korupsi,
pungli, dan sogokan disampaikan secara langsung, transparan dan terkesan vulgar, tanpa
diperhalus dengan kode sindiran yang lebih bersifat implisit. Tidak sepertihalnya iklan rokok
lainnya yang kebanyakan menampilkan sindiran terhadap realitas sosial secara implisit
dan terkesan halus dengan banyak menggunakan simbol dan kode yang menyembunyikan
rapat-rapat makna sebenarnya. Dari penanda (signifier) ini juga unsur kritik sosial yang
terkandung dalam iklan dan menjadi inti pesan iklan dapat diketahui.
Iklan Djarum 76 merupakan satu-satunya iklan komersial yang mengangkat
realitas korupsi di negeri ini sebagai ide besarnya. Pesan kritik sosial yang disampaikan
iklan Djarum 76 ini secara luas terkait dengan fenomena korupsi di negeri ini, yang tidak
ada habisnya dan tidak ada ujung pangkalnya, baik untuk sekedar dibicarakan, diberitakan,
maupun dituntaskan kasus dan prakteknya. Korupsi merupakan fenomena yang terus
mendapatkan perlawanan, namun masih saja ada dan tak ada habisnya. Korupsi juga
sebuah fenomena sistemik yang selalu terbaharui. Warisan Orde-Baru yang justru tambah
subur karena budaya materialistis yang semakin di tuhankan. Belum tuntas kasus korupsi
yang sedang ditangani, muncul kasus korupsi yang baru lagi, dengan menampilkan tokoh
koruptor baru yang saling berintegrasi satu sama lain.
Koruptor tak henti-hentinya menggerogoti uang negara, seolah-olah negara adalah
lahan tambang yang potensial, yang bisa dieksplorasi kekayaannya tanpa memikirkan
kehidupan rakyat kecil yang hidup disekitarnya. Korupsi yang tampak kasatmata melalui
pemberitaan yang terus-menerus menunjukkan bahwa korupsi semakin merajalela, tak ada
habisnya dan bahkan sulit menemukan jalan keluarnya.
Unsur penanda (signifier) seorang pemuda yang sedang menghadap pegawai
instansi pada scene kedua merupakan petanda (signified) dari masyarakat yang mempunyai
kepentingan dengan instansi pemerintah. Kepentingan tersebut terkait dengan fungsi
lembaga pemerintah yang mengurusi berbagai macam masalah adminstrasi. Dalam

15

Abid Hilmi

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23

realitasnya, praktek korupsi, pungli dan sogokan banyak kita jumpai dalam bentuk
pelayanan administrasi pemerintah tersebut. Mulai dari pengurusan Akta Kelahiran, Kartu
Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), dana BOS, sampai pengurusan perizinan
usaha, dan itupun tanpa pelayanan yang baik dari pegawainya (PNS). Sesuai dengan
penanda (signifier) pada scene ketiga yang memperlihatkan wajah oknum pegawai Gayus
Tambunan dengan sorot mata yang tajam, yang terkesan tidak ramah dan bahkan marah.
Ini terkait dengan aksi pemerasannya kepada si pemuda. Selain bisa dimaknai sebagai
isyarat ancaman kepada si pemuda, penanda (signifier) ini juga seolah merepresentasikan
kualitas pelayanan di instansi pemerintah yang buruk, dengan ketidakramahan pegawainya
dalam melayani masyarakat. Masyarakat awam masih banyak menemui pelayanan dari
pegawai kantor instansi yang seperti itu, tidak menerapkan pelayanan yang baik (good
service) terhadap masyarakat. Selain itu masih diwarnai dengan prosedur yang berbelitbelit, biaya yang tidak jelas, dan banyaknya pungutan liar yang menunjukkan bahwa kualitas
pelayanan publik di Indonesia memang masih rendah. Selain itu, terdapat kecenderungan
ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana masyarakat miskin sulit mendapatkan
pelayanan sedangkan masyarakat yang memiliki uang akan mendapatkan pelayanan yang
baik.
Hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2010 terhadap 353
unit layanan pemerintah menunjukkan penurunan kualitas pelayanan dalam setahun terakhir,
baik di pusat maupun di daerah. Tahun sebelumnya, rata-rata indeks integritas nasional
sebesar 6,5. Kini, indeks yang sama merosot menjadi 5,42. anggota Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan, ada dua macam pelayanan publik,
yaitu yang dilakukan birokrasi murni dan badan usaha milik nasional atau daerah. Pelayanan
publik yang paling parah adalah yang dilakukan oleh birokrasi. YLKI menilai banyak
birokrat belum mengerti esensi Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan
publik. Padahal dalam undang-undang itu jelas diatur kewajiban aparatur pemerintah untuk
dapat melaksanakan pelayanan dengan sebaik-baiknya. Di antara instansi yang nilainya
jeblok adalah kepolisian, Mahkamah Agung, serta Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Kepolisian mendapat indeks rata-rata
5,21 lantaran masih adanya pungutan liar dalam layanan pembuatan dokumen, surat izin
mengemudi, dan surat keterangan catatan kepolisian.

(Sumber: http://www.tempo.co/read/news/).

Sudah menjadi rahasia umum bahwa di institusi kepolisian ini penuh dengan
praktek korupsi, tetapi seolah dibiarkan saja dan terkesan sebagai sesuatu hal yang wajarwajar saja, tanpa adanya tindakan tegas dari pemerintah untuk memberantas praktek negatif
tersebut. Misalnya saja ketika masyarakat mengurus SIM, STNK beserta pelanggaranpelanggarannya. Baik itu praktek percaloan pembuatan SIM atau STNK, sampai uang
damai jika masyarakat terkena tilang. Praktek-praktek korupsi yang ditunjukkan oleh
oknum korps polisi itu seolah lazim untuk dilakukan, dan pemerintah maupun jajaran
tinggi kepolisian sendiri terkesan menutup mata dengan praktek yang jelas-jelas merugikan
masyarakat kecil tersebut, padahal tipe korupsi yang semacam ini yang secara langsung
menginjak-menginjak harkat dan martabat masyarakat, karena secara langsung pula
merampok masyarakat. Inilah realitas pahit yang harus diterima masyarakat. Persoalan
korupsi di kepolisian merupakan persoalan yang tidak kunjung usai. Dalam sejarahnya,
korupsi di tubuh kepolisian bukanlah barang baru bahkan sudah menjadi rahasia umum
yang semua orang sudah mafhum. Penelitian ICW (Indonesia Corruption Watch) mengenai
SIM dan pola-pola korupsi di lingkungan peradilan, khususnya di kepolisian menunjukkan
bahwa korupsi di kepolisian bukan isapan jempol belaka. Begitu mengurat akarnya korupsi
di kepolisian, maka dapat dipastikan seluruh proses hukum yang melibatkan dan menjadi
tanggung jawab kepolisian tidak lepas dari praktek korupsi, mungkin hanya polisi tidur
dan patung polisi saja yang tidak pernah melakukan korupsi (Noeh, 2005:66).
Tentu tidak hanya di institusi kepolisian dan administrasi kependudukan seperti
diatas saja praktek korupsi itu berlangsung, itu hanya sebagian kecil saja dari praktek
Kajian Kritik Sosial dalam Iklan Djarum 76 Versi Gayus Tambunan

16

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23

ISSN: 23389176

korupsi dan terletak di lapisan paling dasar, atau bisa disebut tipe korupsi kelas teri,
yang terjadi pada level struktur pemerintahan paling bawah yang berhubungan langsung
dengan masyarakat. Masih banyak dan dapat dikatakan merata di seluruh lapisan struktural
lembaga yang bernaung dibawah institusi resmi pemerintah, baik itu dari level tertinggi
seperti kementrian, anggota legislatif sampai level-level kekuasaan dibawahnya seperti
BUMN, Dinas Perhubungan, DLLAJ, Bea dan Cukai, perpajakan dan lain-lain, sampai ke
lapisan terendah di tingkat desa bahkan RT sekalipun. Maka dapat dikatakan korupsi telah
dipraktekkan secara massive, besar-besaran dan kolektif.
Praktek-praktek korupsi di lingkungan PNS terjadi bukan tanpa sebab, banyak faktorfaktor yang mendasarinya. Salah satu faktornya adalah proses perekrutan PNS itu sendiri.
Hal ini juga tak luput dari sasaran kritik sosial yang disampaikan iklan. Sebagaimana yang
diilustrasikan dalam scene kedua yaitu tentang seorang pemuda menghadap pegawai kantor
instansi dengan membawa stofmap, yang bisa diartikan juga petandanya (signified) bahwa
pemuda tersebut sedang melamar pekerjaan, tentunya sebagai PNS. Dalam realitasnya,
dari dua fungsi lembaga pemerintah selain fungsi pelayanan administrasi, juga terdapat
fungsi perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Dalam proses perekrutan pegawai
negara ini banyak membuka kran-kran mengalirnya korupsi, pungli dan sogokan. Ini terkait
dengan praktek percaloan yang sering terjadi disetiap penerimaan CPNS. Dibaliknya ada
upaya transaksional ilegal dengan tujuan memuluskan seseorang untuk menjadi seorang
PNS.
Menjadi PNS bukanlah hal mudah, ada kriteria kompetensi yang ketat untuk
menjabat status PNS tersebut. Oleh segelintir oknum, hal tersebut dikesampingkan dengan
memuluskan personal-personal yang seharusnya tidak layak justru malah dengan mudah
dan seolah-olah layak menjadi PNS. Konsep wani piro lah yang berperan dalam konteks
ini, seperti yang dilontarkan jin pada ilustrasi scene kesembilan. Ungkapan wani piro
ini juga seakan telah menambah perbendaharaan kosakata bahasa dalam pergaulan seharihari di masyarakat. Seseorang akan lebih mudah mengucap wani piro untuk mengunci
lawan bicaranya dalam konteks pembicaraan yang berhubungan atau berujung pada uang.
Ungkapan wani piro tersebut sekarang sudah diadopsi menjadi jargon atau istilah dan
banyak kita temui dalam pergaulan masyarakat sehari-hri dalam konteks tertentu. Dengan
ungkapan wani piro ini juga brand Djarum 76 menjadi populer di kalangan masyarakat,
seiring dengan popularitas ungkapan tersebut digunakan sebagai jargon masyarakat.
Memang tak bisa dipungkiri tentang adanya realitas penerimaan PNS sarat akan
praktek korupsi. Parameter untuk menjadi PNS bukan lagi pada kadar kualitas seseorang
melainkan kadar wani piro, atau sesorang berani membayar berapa kepada sang oknum
untuk bisa menjadi seorang PNS. Semua tergantungkekuatan materi yang dimiliki seseorang
untuk bisa memberikan sogokan kepada pihak yang berperan sebagai calo PNS, yang
tak lain adalah orang dalam yang bersembunyi dibalik institusi pemerintah itu sendiri.
Inilah yang menjadi penyebab buruknya kinerja para PNS, yang hanya bermodal uang
seseorang bisa menjadi PNS, tanpa disertai kapabilitas dan kredibilitas yang baik. Maka
yang terjadi selanjutnya adalah tindak korupsi sebagai upaya dari pengembalian modal
yang sebelumnya dikeluarkan untuk bisa menjabat sebagai PNS.
Masih melekat dalam paradigma masyarakat, bahwa profesi sebagai PNS adalah
profesi yang populer, menggiurkan dan membanggakan. Mayoritas masyarakat di Indonesia
tergiur dan berlomba-lomba untuk menjadi PNS, ditengah sulitnya mencari pekerjaan di
sektor swasta. Maka tidak aneh jika ada sejumlah pegawai honorer atau belum berstatus
PNS merengek-rengek dengan kerap melakukan aksi demonstrasi memohon kepada
pemerintah untuk mengangkat statusnya menjadi PNS. Sedang pemerintah sendiri kedepan
menerapkan kebijakan ambivalensi dengan memoratorium PNS itu sendiri, seakan ingin
memperlambat laju dari penerimaan PNS yang banyak dianggap gagal dengan buruknya
kualitas yang dimiliki PNS, dan kontraproduktif.
Seperti yang diilustrasikan pada scene keempat, penanda (signifier) yang di
satu sisi memperlihatkan sosok pegawai instansi yang sedang tertidur dan disisi lainnya

17

Abid Hilmi

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23

memperlihatkan pegawai lain yang sedang berbicara sendiri. Ini merefleksikan tentang
kinerja PNS yang kontraproduktif. Hanya sebagian potongan kecil saja yang direfleksikan
iklan tentang praktek penyelewengan kerja oleh PNS. Dalam realitas sebenarnya banyak
kita jumpai pemberitaan-pemberitaan di media, baik di media televisi maupun media
massa lainnya tentang praktek negatif dan kontraproduktif para PNS. Pemberitaan tentang
SATPOL PP merazia PNS yang sering mangkir dari pekerjaannya sudah sering kita dengar
di kolom-kolom berita media massa. Itu menunjukkan buruknya kualitas kedisiplinan para
PNS. Selain itu terkait dengan kinerjanya, banyak dijumpai PNS yang bekerja seenaknya
sendiri, dengan berangkat telat, membolos kerja ataupun pulang lebih awal dari jam
kerjanya dan bentuk-bentuk penyelewengan kerja dan ketidakdisiplinan lainnya.
Jumlah PNS di Indonesia sendiri sampai saat ini mencapai sekitar 4,7 juta. Bila
saja diasumsikan rata-rata gaji seorang PNS sekitar 3 juta perorang. Dengan jumlah 4,7
juta orang akan menghabiskan anggaran sekitar 14,1 trilyun perbulannya dan 162,9 trilyun
pertahunnya. Apabila ditambah dengan gaji ke-13 maka akan berjumlah 183,3 trilyun.
Ini masih gaji PNS, belum lagi ditambah dengan gaji TNI/Polri, BUMN dan para pejabat
negara. (http://citraindonesia.com/kinerja-pns-buruk/). Bila imbangi dengan praktek
korupsi yang dilakukan para pejabat publik (PNS) itu sendiri, yang bisa diartikan merampok
uang negara, maka dapat dipastikan negara mengalami kerugian yang berlipat ganda.
Realitas korupsi di kalangan PNS yang dimunculkan dalam iklan sesuai dengan
konteks nyata tentang praktek korupsi yang banyak melibatkan oknum PNS di negeri ini. PNS
dijadikan model simulasi iklan dan hanya sebagai contoh kecil saja dari representasi besar
dan banyaknya praktek korupsi yang terjadi di negeri ini. Berdasarkan temuan Indonesia
Corruption Watch (ICW), mencatat terdapat 1053 tersangka kasus korupsi sepanjang 2011.
Sebanyak 239 diantaranya berlatar belakang PNS. Peneliti Divisi Investigasi ICW Tama S
Langkun mengatakan tersangka berlatarbelakang pegawai negeri menempati urutan teratas
dengan jumlah 239 orang. Diikuti oleh direktur/ pimpinan perusahaan swasta dengan 190
orang serta anggota DPR/DPRD dengan jumlah 99 orang. Tingginya tersangka korupsi
dengan latar belakang pegawai ini konsisten dengan tahun 2010 meskipun jumlahnya
menurun yakni 336 orang. Dari jumlah kasus tersebut dengan 1053 tersangka potensi
kerugian negara sebesar Rp 2,169 triliun (suaramerdeka.com).
Walaupun tidak bisa juga dikatakan, bahwa seluruh PNS berlaku korup dan mereka
yang non PNS selalu jujur dan tidak korup. Tetapi ini cukup menunjukkan bahwa PNS
sebagai pejabat publik, yang banyak memegang kendali uang negara dan menyangkut
kepentingan rakyat justru malah melakukan penyelewengan kekuasaan dengan
merampoknya. Perampok adalah julukan yang tepat untuk para koruptor sesuai dengan
scene keempat yang mengilustrasikan pemuda mengumpat cuk, dasar rampok akibat
ulah meminta uang sogokan oleh oknum pegawai instansi yang identik dengan Gayus
Tambunan
Wajah Gayus Tambunan seolah direduplikasi menjadi sosok oknum pegawai
instansi dalam scene keempat iklan ini. Gayus Halomoan Partahanan Tambunan atau
dipangggil Gayus Tambunan lahir di Jakarta, 9 Mei 1979, adalah mantan pegawai negeri
sipil di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Indonesia. Namanya menjadi
terkenal setelah menjadi tersangka penggelapan pajak. Ketika itu Komjen Susno Duadji
menyebutkan bahwa Gayus mempunyai uang Rp 25 miliar di rekeningnya plus uang asing
senilai 60 miliar dan perhiasan senilai 14 miliar di brankas bank atas nama istrinya dan
itu semua dicurigai sebagai harta haram. Dalam perkembangan selanjutnya Gayus sempat
melarikan diri ke Singapura beserta anak istrinya sebelum dijemput kembali oleh Satgas
Mafia Hukum di Singapura. Kasus Gayus ini juga seolah mencoreng reformasi Kementerian
Keuangan Republik Indonesia yang digulirkan Sri Mulyani dan menghancurkan citra aparat
perpajakan Indonesia dikala itu.
(Sumber: http://id.wikipedia.org. /wiki/Gayus_Tambunan).
Nama Gayus Tambunan semakin populer meskipun telah berstatus sebagai tahanan,
dirinya diketahui berada di Bali dan menonton pertandingan tenis Commonwealth World

Kajian Kritik Sosial dalam Iklan Djarum 76 Versi Gayus Tambunan

18

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23

ISSN: 23389176

Championship pada tanggal 5 November 2010 dan Gayus pun mengaku berada di Bali
pada tanggal tersebut di persidangan pada tanggal 15 November 2010. Wajah Gayus
Tambunan dengan memakai wig (rambut palsu) yang tertangkap kamera sedang menonton
pertandingan tenis inilah yang diadopsi dan digunakan dalam iklan ini. Seperti apa yang
dijelaskan Suyanto (2004:16), politisi, aktor, aktris, juru bicara masyarakat, professor, dan
lainnya pada suatu waktu akan digunakan iklan untuk menciptakan reaksi yang diinginkan.
Sosok seperti Gayus Tambunan pun tak luput dimanfaatkan iklan Djarum 76 sebagai model
simulasi iklannya, untuk menciptakan reaksi yang diinginkan.
Sosok Gayus Tambunan digambarkan sebagai simbol koruptor dalam iklan ini, bisa
dimaknai pula bahwa Gayus Tambunan adalah sebagai penanda (signifier) dari praktek
korupsi di negeri ini. Peran ikon Gayus Tambunan sebagai penanda (signifier) dalam iklan,
hanya ilustrasi kecil saja sebagai representasi dari banyaknya kasus korupsi di negeri ini.
Masih banyak kasus-kasus korupsi besar lainnya, yang tenggelam, belum terungkap ataupun
diam di tempat tanpa adanya penyelesaian hukum yang tegas, jelas dan membuat efek jera
para pelakunya. Dari segi popularitas kasusnya, sebut saja seperti kasus korupsi mantan
presiden Soeharto, kemudian kasus korupsi di Pertamina, di Bapindo dengan pelakunya
Edi Tanzil, kasus BLBI, begitu juga dana APBD sampai kasus-kasus korupsi terbaru di
era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang mencuat lama, timbul tenggelam di media
hingga sekarang ini, seperti kasus Century, Citibank, pembangunan wisma atlet sampai
yang terbaru kasus suap Kemenakertrans.
Sampai saat ini pun kasus-kasus korupsi tersebut belum terdapat kejelasan,
terkesan utopia. Kasus korupsi seperti ini sulit untuk dituntaskan lebih karena pranata
hukum di Indonesia yang lemah dan kurang mampu memberantas tindak pidana korupsi.
Sebagai catatan, negara ini sangat lemah soal regulasi tipikor. Tipikor (Tindak Pidana
Korupsi) seakan dianggap Tipiring (Tindak Pidana Ringan), padahal Tipikor adalah the
extraordinary crime, sebuah tindak kejahatan yang luar biasa yang mempunyai efek luar
biasa pula, sehingga dapat menyengsarakan kehidupan rakyat dan negara. Sebaliknya yang
bersifat Tipiring justru dihukum berat, misalnya seperti kasus pencurian sandal, pencurian
piring, pencurian pisang dan kasus pencurian kecil lainnya yang bersifat remeh temeh,
yang banyak menyita perhatian publik akhir-akhir ini. Inilah realitas ketimpangan hukum
di Indonesia.
Sementara itu, regulasi lemah terhadap kasus korupsi yang diterapkan seakan
berjalin-kelindan dengan kepiawaian legislator dalam merumuskan suatu peraturan
perundang-undangan. Tidak akan tercipta UU yang baik, yang tegas, kuat dan dapat
membuat efek jera para pelaku korupsi jika para perumusnya sendiri tidak memiliki
kapabilitas yang memadai. Bahkan, bisa jadi malah perumus itu sendiri yang merupakan
aktor kambuhan tindak pidana korupsi. Maka yang terjadi adalah korupsi telah bersimbiosis
atau bekerjasama dengan kekuasaan itu sendiri, sehingga aman karena telah bersembunyi
dibaliknya.
Jika kita membuat daftar kasus korupsi di Indonesia dari tingkat paling bawah
hingga paling atas, dari daerah tingkat RT hingga Pemerintah Pusat, sejak berdirinya
negara ini, maka tidak terbayang seberapa panjang daftar tersebut dapat ditulis, tidak terkira
berapa banyak orang yang terlibat dan tercantum dalam daftar tersebut. Seberapa banyak
uang negara yang raib, serta berapa kasus korupsi yang bisa terjadi dalam setiap jamnya.
Seolah korupsi di negeri ini bukan hanya menjadi budaya, tapi sudah menjadi keyakinan
atau kepercayaan seperti halnya agama.
Lebih ekstrem lagi, Napitupulu (2010:6) dalam bukunya menyebutkan, bahwa
Hampir semua institusi negeri ini tercemar korupsi, mulai dari institusi pemerintahan
hingga penegak hukum dan terentang dari ujung barat Indonesia hingga ujung timur. Di
Aceh, Gubernur Abdullah Puteh tersangkut kasus korupsi yang beurjung vonis hukuman
10 tahun. Di Kalimantan, bupati Kutai Kertanegara, Syaukani H.R. terjerat kasus korupsi
pembebasan lahan bandara. Dari ujung timur, Papua, kasus korupsi menjerat Daud S.
Betawi yang merupakan Bupati Yapen. Sementara di Jakarta, banyak terungkap kebusukan

19

Abid Hilmi

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23

dari para aparat dan pejabat pemerintah pusat. Sebut saja kasus Jaksa Urip Tri Gunawan,
seorang anggota dewan yang bermain mata dengan Artalyta Suryani, atau Hamka Yamdu,
seorang anggota dewan yang menjadi salah satu tersangka dalam skandal pemilihan Deputi
Gubernur Bank Indonesia. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menunjukkan
bahwa pengelolaan keuangan negeri ini tidak pernah beres, selalu ada penyimpangan.
Dengan realitas yang seperti ini, maka korupsi seakan sulit untuk diberantas
sampai ke akar-akarnya bahkan mustahil untuk dihilangkan dari negeri ini. Sesuai dengan
scene kesembilan, tentang jin yang mengilustrasikan isyarat jari tangan berupa ibu jari
digesekkan dengan jari telunjuk sembari mengucapkan wani piro kepada si pemuda. Ini
menandakan jin pun yang diekspektasikan masyarakat menjadi sosok penyelamat justru
malah berperilaku korup tak ubahnya pejabat negara. Ini terkait dengan realitas bahwa
para pemimpin di negeri ini yang diekspektasikan rakyat bisa menjadi sosok penyelamat
yang bisa menuntaskan dan memberantas korupsi ternyata tidak bisa berbuat apa-apa,
dan bahkan berperilaku koruptif tak ubahnya para koruptor. Jin juga merupakan petanda
(signified) tentang sesuatu yang irasionalitas, maka dapat dimaknai juga bahwa wacana
Indonesia benar-benar bebas dari korupsi terkesan absurd, tidak logis dan mustahil, yang
hanya berada pada wilayah imajiner saja tanpa adanya kepastian di dunia nyata.
Wacana Indonesia bebas korupsi yang tidak logis ini tentu disertai dengan banyak
faktor bersifat logis yang menjadi penyebabnya. Artinya bahwa banyak faktor logis yang
menyebabkan korupsi sulit untuk diberantas sampai ke titik nol. Adapun faktor utamanya
menurut penulis antara lain sebagai berikut.
Pertama, korupsi adalah nafsu libidinal materiil manusia. Mengutip istilah yang
digunakan oleh Prof. Dr. Amin Abdullah, bahwa korupsi adalah puncak nafsu libidinal
material yang dimiliki manusia (Kompas:2009). Bahwa korupsi adalah bagian dari hasrat
manusia yang sulit untuk dihilangkan meskipun bisa dikendalikan. Ini terkait filsuf seperti
Socrates dan Plato yang membagi faktor penyebab hasrat menjadi dua: karnal dan libidinal.
Karnal adalah hasrat manusia kepada hal-hal yang material, seperti keinginan terhadap harta
benda, makanan dan berbagai jenis kebutuhan material lain, Sedangkan hasrat libidinal
(libido) yang sering dikonotasikan oleh psikoanalisis dengan seksualitas adalah hasrat
kepada hal-hal yang imaterial seperti cinta, citra, harga diri, kepandaian, penghormatan dan
berbagai kebutuhan imaterial lain. Dalam realitanya, karnal dan libidinal menyatu bersama
membentuk hasrat yang lebih kompleks. Misalnya keinginan memiliki mobil (karnal)
karena dianggap bisa menaikkan gengsi dan harga diri (libidinal). Begitu juga korupsi yang
dilakukan berdasarkan adanya keinginan (libidinal) menyatu dengan kebutuhan (karnal).
Korupsi merupakan hasrat personal yang dimiliki setiap manusia, yang muncul
berdasarkan sifat personal itu sendiri seperti keserakahan, kerakusan, adanya kebutuhan
dan spontan dilakukan jika ada kesempatan. Inilah yang menjadikan tindakan korupsi sulit
terdeteksi dan sulit dihilangkan dari sifat manusia. Setiap manusia mempunyai peluang
yang besar untuk melakukan korupsi tergantung nalar sensitivitas koruptif dan oportunis
masing-masing. Semua yang berhubungan dengan sifat manusia adalah sulit untuk
dihilangkan. Korupsi, tentu saja tidak saja terkait dengan sistem, tetapi juga berurusan
dengan persoalan moral manusia. Sehingga Korupsi memang sulit diberantas dan mustahil
dihilangkan ataupun ditekan keberadaannya hingga ke titik terendah.
Kedua, korupsi adalah kejahatan yang menyatu dengan kekuasaan. Seperti yang
diungkapkan Piliang (2004:168), bahwa ketika kejahatan bersatu dengan kekuasaan, maka
ia telah menemukan tempat yang sempurna bagi persembunyiannya. Dengan bersembunyi
dibalik sebuah kekuasaan, kejahatan dapat menyempurnakan dirinya. Ketika kejahatan
menyembunyikan dirinya dibalik kekuasaan negara (state power), maka tapal batas diantara
keduanya menjadi kabur dan melebur. Tidak ada lagi batas antara penguasa dan penjahat,
oleh karena kejahatan itu dilakukan oleh penguasa itu sendiri; tidak ada lagi batas antara
hakim dan pencuri, oleh karena pencurian itu dilakukan oleh aparat hukum itu sendiri.
Oknum yang melakukan korupsi adalah subjek-subjek yang mempunyai kekuasaan,
yang bisa menyetir, mengendalikan dan menyembunyikan tindak korupsinya dari jeratan

Kajian Kritik Sosial dalam Iklan Djarum 76 Versi Gayus Tambunan

20

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23

ISSN: 23389176

hukum. Sehingga hukum sendiri dipolitisasi sedemikian rupa sehingga kasus korupsi
tidak dapat terselesaikan. Lembaga penghambat dan penghancur korupsi seperti Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dilemahkan bahkan ingin dihancurkan dari dalam dan dari
luar oleh satu orang, kelompok, bahkan oleh satu lembaga atau lebih yang mempunyai
kekuasaan besar.
Kita sudah menyaksikan banyak kasus korupsi yang tak selesai karena tersistematis
berada dalam lingkaran kekuasaan ini. Banyak pengusutan kasus korupsi yang tak
menyentuh pelaku utamanya, hanya menyentuh lapisan permukaannya, seperti fenomena
puncak gunung es, sedangkan pelaku utamanya tidak tersentuh dan seakan aman dibalik
kekuasaan tertinggi yang dia miliki. Konsekuensi logisnya adalah para koruptor saling
sandera dan saling melindungi dibalik kekuasaan itu.
Maka kebobrokan kualitas hukum di Indonesia bukanlah sesuatu yang mustahil pula,
karena disetir dan disandera oleh kekuasaan. Kasus korupsi yang seharusnya diselesaikan
dengan tegasnya hukum tetapi malah dipelintir dipolitisasi oleh elit-elit politik yang
berkuasa itu sendiri. Ketidak berdayaan hukum dihadapan kekuasaan yang kuat, ditambah
minimnya komitmen dari elit pemerintahan menjadi faktor penyebab praktek-praktek
korupsi masih tumbuh subur di Indonesia. Inilah yang menjadikan korupsi mustahil untuk
dihilangkan sehingga layak disebut sebagai the extra ordinary crime, sebuah kejahatan
yang luar biasa.
Ketiga, pemerintah yang tidak tegas. Pada praktiknya Indonesia merupakan negara
berkarakter lunak (soft state), yang saat ini dipimpin oleh pemimpin yang juga mempunyai
karakter lunak atau tidak tegas (soft leader). Di awali dari ketidaktegasan pemimpin di
tingkat eksekutif, yang mengarah pada ketidakberdayaannya dalam men-disiplinkan semua
pihak, termasuk tingkat kepemimpinan lembaga negara di bawahnya secara struktural.
Figur kepemimpinan yang tidak tegas seperti pemerintah sekarang ini tidak mampu
berbuat banyak untuk mengurangi budaya korupsi di negeri ini. Sebuah negara yang lunak
dipimpin oleh pemimpin yang tidak tegas, maka tak ayal lagi sistem dan hukum pun juga
tidak tegas atau lemah.
Realitas yang terjadi saat ini adalah presiden terkesan diam, dan tidak proaktif
dalam pemberantasan korupsi, seakan mudah mentoleransi dan membiarkan tanpa adanya
tanggapan serius terhadap pelanggaran atas hal-hal prinsip seperti korupsi yang dilakukan
oleh elit oknum di jajaran intitusi pemerintahannya. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), seolah bekerja sendiri tanpa adanya support dan peran aktif dari pemerintah yang
membentuknya.
Begitu juga kepolisian dan kejaksaan, yang seharusnya bersama KPK
menjadi institusi yang bekerjasama dalam pemberantasan korupsi justru mandul, atau
kontraproduktif. Padahal, dua institusi tersebut sangat menentukan keberhasilan KPK dalam
mengusut kasus korupsi yang besar beserta penanganan hukumnya. Institusi kepolisian
lantang untuk berperang melawan terorisme dan narkoba, tetapi tidak dalam soal korupsi
atau suap, terutama dalam tubuh mereka sendiri. Begitu juga kejaksaan, keberanian mereka
praktis menjadi anjlok, lembek, dan tidak berdaya jika dihadapkan pada kasus korupsi.
Koruptor yang seharusnya mendapat tuntutan hukuman yang berat tetapi justru
malah mendapat hukuman yang ringan. Ada aksi invisible (tak terlihat) yang mendorongnya
untuk menuntut hukuman yang ringan bagi koruptor, seolah-olah tersandera oleh kekuasaan
lain yang lebih besar. Oleh sebab itu, mafia peradilan tetap tumbuh subur dalam sistem
penegakan hukum Indonesia yang lunak ini. Koruptor merampok uang negara secara besarbesaran yang seharusnya mendapat hukuman berat justru malah lebih ringan hukumannya
daripada pelaku pencurian sandal, pencurian piring, pencurian pisang dan tindak pencurian
ringan lainnya yang sering diberitakan di media akhir-akhir ini. penyelesaian kasus korupsi
melalui jalur hukum cenderung mengecewakan daripada memuaskan.
Banyak koruptor yang dihukum ringan di negeri ini, sampai di penjara masih
mendapat fasilitas mewah, belum lagi setiap peristiwa tertentu mendapat remisi atau
potongan hukuman, dan bahkan bisa keluar penjara sekehendaknya seperti yang dilakukan

21

Abid Hilmi

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23

ISSN: 23389176

Gayus Tambunan. Inilah implikasi dari sistem hukum dan pemerintahan yang lunak, yang
bisa dimanipulasi sedemikian rupa sekehendak orang yang mempunyai kekuasaan.
Karakter dan watak pemimpin yang tegas sangatlah penting untuk memperkuat
budaya anti-korupsi, terlepas baik itu di negara demokrasi atau tidak, yang dibutuhkan
adalah sikap yang konsekuen dan komitmen keras dalam menghadapi korupsi. Peran
pemimpin yang tegas sebagai garda depan dalam pemberantasan korupsi justru hilang di
negeri ini. Seolah-olah negeri ini sudah kehilangan semangat memberantas korupsi karena
kenihilan sang pemimpin.
Menurut penulis, ketiga faktor utama di atas lah yang menjadi faktor logis bahwa
korupsi memang sulit diberantas bahkan dihilangkan dari negeri ini. Meskipun realitasnya
seperti itu, paling tidak semaksimal mungkin tindak korupsi dapat ditekan hingga ke titik
yang terendah, sehingga budaya korupsi sedikit demi sedikit dapat terkikis dan tidak
mewarisi kepada anak cucu kita kedepannya. Maraknya korupsi yang tidak tertangani
membuat kondisi bangsa terus terpuruk.
Realitas korupsi yang digambarkan dalam iklan ini merupakan refleksi realitas
korupsi yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Terkait dengan peran pemerintah sebagai
penyelenggara negara yang gagal menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Korupsi semakin hari semakin menggurita sampai ke lapisan lembaga pemerintahan
terkecil sekalipun. Berita tentang praktek korupsi yang muncul di media seakan tiada
habisnya, yang melahirkan cerita baru dan menghadirkan aktor korupsi baru. Korupsi
seolah telah sukses dalam mengaplikasikan konsep integrasi interkoneksi yang memadu
padankan kasus korupsi satu dengan yang lainnya, terungkap aktor satu merambat ke aktor
lainnya, yang menandakan korupsi dilakukan secara berjamaah, masive, tak ada habisnya
dan tak ada ujungnya. Maka benar pada kesimpulan awal bahwa wacana Indonesia bebas
korupsi adalah sesuatu yang mustahil.
Sebagaimana dengan pesan iklan yang disampaikan iklan Djarum 76 ini, Iklan
selain sebagai media komersial juga bisa difungsikan sebagai media penyampai kritik
sosial. Kolaborasi antara partisipasi publik dan media inilah yang sejatinya mempunyai
kekuatan untuk melakukan perlawanan terhadap korupsi. Sehingga, muncul dominasi
wacana publik bahwa korupsi adalah wajah buruk negeri ini dan memang harus diberantas
bahkan dihilangkan, meskipun sulit diwujudkan.
Barangkali usaha kecil ini perlu untuk terus dikembangkan sebagai sebuah upaya
nyata perlawanan terhadap korupsi dan bukan hanya sekadar menjadi pemberitaan dan
pembicaraan di forum-forum diskusi, tetapi memang harus berupa langkah nyata untuk
memberantas korupsi. Dalam konteks inilah iklan harus dilibatkan dan berpihak pada
rakyat, bukan hanya pada penguasa modal saja, yang lebih mementingkan sisi komersial
tanpa ada sedikitpun kearifan sosial yang dapat mendorong masyarakat untuk mendapatkan
semangat bertahan hidup ditengah carut-marutnya pemerintahan di negeri ini akibat
ketimpangan sosial yang disebabkan oleh korupsi. Inilah realitas iklan dan juga realitas
korupsi di negeri ini.

H. DAFTAR PUSTAKA
Ardiyanto, Elvinaro; & Anees, Bambang Q. 2007. Filsafat Komunikasi. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media.
Berger. Arthur Asa 2000. Media Aanalysis Technique. Second edition. Alih Bahasa Setio
Budi HH. Yogyakarta : Penerbit Universitas
Atma Jaya.
Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas.Yogyakarta :
Jalasutra.
Daymon, Christine; & Holloway, Immy. 2008. Qualitative Research Methods In Public
Relations and Marketing Communications. Cahya Wiratama (penterjemah).
Yogyakarta: Bentang.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analsis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.
Garjito, Murdijati & Erwin, Lilly T. 2010. Serba-Serbi Tumpeng Dalam Kehidupan
Kajian Kritik Sosial dalam Iklan Djarum 76 Versi Gayus Tambunan

22

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 12-23

Masyarakat Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


Hakim, Budiman. 2006. Lenturan Tapi Relevan. Yogyakarta: Galang Press.
Hardiman, F. Budi. 1990. Kritik Ideologi Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan.
Yogyakarta: kanisius.
Hardiman, F. Budi. 2009. Menuju Masyarakat Komunikatif : Ilmu, Masyarakat, Politik dan
Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta. Kanisius.
Hardiyanto. 2009. Modul Perencanaan Kreatif Periklanan: Teknik Kamera untuk Ekseskusi
Iklan TV. Jakarta. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana.
Jefkins, Frank, 1997, Periklanan, Jakarta: Erlangga.
Kotler, Philip. 2003. Marketing Insight from A to Z; 80 Konsep yang Harus Dipahami
Setiap Manajer: By Philip Kotler ; Anies Lastiati (Penterjemah). Jakarta: Erlangga.
Kriyantono, Rachmat. 2009. Teknik Riset Komunikasi: Disertai Contoh P r a k t i s
Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi
Pemasaran. Cetakan ke-4. Jakarta: Kencana.
Madjadikara, Agus. S. 2004. Bagaimana Biro Iklan Memproduksi Iklan: Jakarta. Gramedia
Pustaka Utama.
Murniati, Nunuk P. 2004. Getar Gender: Perempuan Indonesia Dalam Perspektif Agama,
Budaya dan Keluarga. Magelang: Perpustakaan Nasional.
Napitupulu Diana. 2010. KPK in action. Jakarta: Raih Asa Sukses.
Nawawi, H. Hadari. 1995. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Noeh, Munawar Fuad. 2005. Kiai di republik Maling. Jakarta: Republika.
Noviani, Ratna. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pawito . 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS.
Piliang, Yasraf, Amir 2003, Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.
Yogyakarta: Jalasutra.
Rangkuti, Freddy. 2009. Strategi Promosi Yang Kreatif dan Analisis Kasus Integrated
Marketing Commmunication. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Semma, Mansyur. 2008. Negara dan korupsi, pemikiran Mochtar Lubis atas Negara,
Manusia, dan Perilaku Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Soekamto, Soerjono. 1993. Kamus Soiologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Stokes, Jane. 2006. How to Media and Cultural Studies: Panduan Untuk Melaksanakan
Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. Yogyakarta: Bentang.
Strinati, Dominic. 2003. Populer Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer.
Yogyakarta: Bentang Budaya.
Suhud, Laksita Utama. 2009. Start-Up Business Wizard: 21 Strategi Sukses untuk Memulai
Bisnis. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Suyanto, M. 2004. Aplikasi Desain Grafis Untuk Periklanan: Dilengkapi Sampel Iklan
Terbaik kelas Dunia.Yogyakarta: Andi Offset.
Suyanto, M. 2005. Strategi Perancangan Iklan Televisi perusahaan Top Dunia. Yogyakarta:
CV. Andi Offset.
Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra.
Wibisono, Dermawan. 2009. Gading-Gading Ganesa (3G). Bandung: Mizan.
Widyatama, Rendra. 2005. Pengantar Periklanan. Jakarta: Buana Pustaka Indonesia.
Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender Dalam Iklan Televisi. Yogyakarta. Media Pressindo.
Quarterly. Vol 19, No.4, p.p: 703-721.

Kajian Kritik Sosial dalam Iklan Djarum 76 Versi Gayus Tambunan

23

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 24-30


Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

ISSN: 23389176

NEGARA DAN SISTEM MEDIA:


Analisis Komparasi Sistem Media Amerika dan Indonesia
Oleh: Didik Haryadi Santoso
(Alumni S2, Jurusan Ilmu Komunikasi dan Media UGM)
Abstrak
Pendulum sistem media bergerak berdasarkan sistem politik yang dianut oleh tiap-tiap
Negara. Disatu waktu, dapat berbasis pada kekuatan Negara (state base power), pada waktu
yang lain dapat pula berubah berbasis pada kekuatan pasar (market base power), berbantung
pada sistem politik yang dijalankan. Singkatnya, Sistem media merefleksikan falsafah politik
sebuah Negara. Tulisan ini mencoba mendiskusikan sistem media Amerika dan Indonesia
dengan menggunakan analisis komparasi sistem media Hallin & Mancini. Pada bagian awal
akan dipaparkan tentang dinamika ,makna dan wacana globalisasi sistem media. Pada bagian
kedua akan diuraikan kerangka konseptual analisis komparasi Hallin & Mancini. Pada bagian
selanjutnya akan mengeksplorasi sistem media di Amerika dan sistem media di Indonesia.
Kata-kata Kunci: Analisis Komparasi, Sistem Media, Amerika, Indonesia.

A. Pendahuluan
Dalam telaah analisis komparasi, sistem politik cenderung turut mewarnai sistem
media di suatu Negara. Perubahan sistem politik berkorelasi positif terhadap perubahan
sistem media. Sistem media merupakan refleksi dari falsafah politik serta refleksi dari
kondisi struktur sosial masyarakat sebuah Negara. Kajian ini mencoba mengeksplorasi
serta mendiskusikan sistem media di Amerika dan sistem media di Indonesia. Meskipun
kedua negara dalam dua kutub kemajuan dan perkembangan yang berbeda, namun dalam
hal praktek bermedia, baik Amerika maupun Indonesia sama-sama dibawah cengkraman
arus neoliberal.
Kajian ini menjadi menarik mengingat praktek-praktek bermedia di kedua Negara
akhir-akhir ini cenderung tunduk dan patuh pada pusaran kekuatan modal serta mekanisme
pasar yang komersil dan eksploitatif. Hukum-hukum ekonomi bergerak demi pengerukan
kepentingan finansial dan akumulasi modal. Di dalam silang sengkarut kepentingan
ekonomi tersebut, terjadi deregulasi. Peran Negara sengaja diperlemah agar tunduk dan
patuh kepada mekanisme pasar.
Kajian ini mencoba mengekplorasi serta mendiskusikan sistem media kedua
Negara dengan berbagai dimensi-dimensi yang melingkupinya. Pada bagian pertama akan
dipaparkan tentang dinamika globalisasi yang turut mewarnai sistem media dan sistem
politik di Dunia. Pada bagian kedua akan diuraikan kerangka konseptual analisis komparasi
sistem media Hallin & Mancini. Pada bagian ketiga akan mengeksplorasi sistem media di
Amerika dan di Indonesia. Terakhir refleksi, kesimpulan dan penutup.

B. Globalisasi Sistem Media dan Sistem Politik: Antara Makna


dan Wacana
Di dalam era globalisasi, ke-canggihan teknologi transportasi maupun teknologi
komunikasi dan informasi cepat atau lebih cepat mampu meningkatkan interaksi lintas
24

Didik Haryadi Santoso

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 24-30

ISSN: 23389176

batas, melenyapkan batas-batas teritorial. Pengaruh globalisasi turut mewarnai dimensidimensi nilai dan sistem, termasuk sistem politik, sistem ekonomi, sistem media dan
lain sebagainya. Sistem media misalnya, dalam kurun waktu yang relatif singkat, arus
globalisasi mampu merubah secara fundamental sebuah tatanan sistem media di berbagai
Negara. Globalisasi membawa berbagai macam muatan, ia lahir dan hadir bagai kendaraan
truk besar yang lari tunggang langgang tanpa terkendali.
Dalam wacana tentang globalisasi tak dapat disangkal bahwa kekuatan-kekuatan
homogenisasi yang kuat, termasuk persenjataan militer, teknik periklanan, bahasa-bahasa
yang dominan, format media, dan ke-cenderungan mode telah mempengaruhi kesadaran
dan kebudayaan di hampir setiap sudut dunia. Termasuk budaya dalam mengakses media
serta memper-lakukan media dalam lingkaran aturan dan sistem.
Perubahan-perubahan sistem politik, sistem ekonomi, sistem media dan lain
sebagainya yang merupakan kon-sekuensi logis serta akibat arus globalisasi memunculkan
berbagai perdebatan yang cukup mencolok antara sceptist dengan globalist. Para sceptist
melihat globalisasi sebagai proses internasionalisasi serta regionalisasi yang merupakan
kumpulan dari negara-negara dan berbasis regional. Sedangkan globalist cenderung
berangkat dari tesis bahwa hidup dalam satu dunia dengan jaringan lintas regional dan
lintas benua. Pada dimensi kekuatan, sceptist berpegang pada kekuatan yang berada pada
kendali Negara atau intergovermentalism. Sedangkan globalist cenderung memaknai
kekuatan sebagai penyerahan kedaulatan Negara dengan melemahkan atau berkurangnya
peran Negara.
Pada dimensi ekonomi dan era pemerintahan, sceptist percaya pada rintisan blok
regional serta pemisahan blok barat dan timur serta merintis pemerintahan Negara dan
masyarakat Negara. Sedangkan globalist merintis ekonomi transnasional dengan basis
kapitalisme global Untuk lebih jelasnya perdebatan diatas dapat dilihat pada tabel dibawah
ini:
Tabel 1. Bentuk Negara

No

DIMENSI

SKEPTIST

GLOBALIST
Satu dunia, Jaringan lintas
regional dan kontinental
Penyerahan
kedaulatan
Negara, Berkurangnya peran
Negara
Global
Popular
culture,
Hibridisasi
Kapitalisme Global, Ekonomi
Transnasional
Lintas Masyarakat Global,
Mengikis Hirarki Lama
Pemerintahan Global
Masyarakat Global

KONSEP

Internasionalisasi, Regionalisasi

KEKUATAN

Dibawah kendali Negara-bangsa


(Intergovermentalism)

BUDAYA

Nasionalisme-Identitas Nasional

EKONOMI

Blok Regional

INEQUALITY

Pemisahan Blok BARAT-TIMUR

ERA

Pemerintahan (Inter-Nasional)
Masyarakat Negara

Berkaitan dengan wacana globa-lisasi, setidaknya Appadurai menye-butkan


beberapa dimensi hasil dari globalisasi. Dimensi-dimensi tersebut antara lain yaitu:
Etnoscapes, technoscapes, finanscapes, mediascapes dan ideoscapes. Etnoscapes merujuk
pada arus orang-orang yang bergerak dari satu bagian dunia kebagian dunia yang lain.
Di dalamnya termasuk wisatawan, imigran, pengungsi, orang-orang yang diasingkan,
pekerja tamu, dan sebagainya. Technoscapes meng-gambarkan pemindahan teknologi
industri melintasi batas-batas nasional. India, Cina, Rusia dan Jepang, misalnya, pernah
mengekspor teknologi ke Libya dalam rangka membangun sebuah kompleks pabrik baja
di Negara tersebut. Finanscapes mengacu pada pola tranfer uang secara global. Semisal,
investasi asing yang disalurkan melalui Bank Dunia untuk proyek-proyek pengembangan
energi, transportasi dan lain sebagainya.
Kemudian Mediascapes. Media-scapes pada dasarnya mengacu pada perangkat
keras media massa yang mekanis dan elektronik serta citra-citra yang dihasilkan. Dimensi
25

Didik Haryadi Santoso

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 24-30

terakhir yaitu ideo-scapes yang sedikit mengacu juga pada citra, namun lebih cenderung
pada aspek politik yang berdimensi ideologis. Ideoscapes mewakili posisi-posisi strategis
dalam perjuangan untuk kekuasaan dan alokasi sumber daya dalam sebuah Negara.
Domain-domain ideologis seperti hak, kebebasan, tanggung jawab persamaan, disiplin,
demokrasi dan sebagainya membentuk ideoscapes dengan signifikansi yang berbeda-beda
pada setiap Negara.
Wacana-wacana diatas kemudian secara langsung atau tidak langsung dimaknai oleh
berbagai Negara dengan cara yang berbeda-beda. Dalam telaah Antony Giddens (2003),
Negara-Negara maju cenderung memaknai globalisasi sebagai perluasan atau ekspansi
ekonomi dan politik Negara atau Korporasi. Berbeda dengan pemaknaan globalisasi pada
Negara-Negara berkembang yang cenderung memaknai globalisasi sebagai deregulasi,
priva-tisasi dan liberalisasi.

C. Komparasi Sistem Media: Teori dan Konsep


Edmund Burke pernah mengatakan sambil menunjuk galeri pers di gedung House
of Commons: younder sits the Fourth Estate, and they are more important than them
all, Disana duduk wilayah ke empat, dan mereka lebih penting dibandingkan semuanya.
Maksud Edmund Burke tidak lain adalah media pers. Dalam kajian-kajian tentang media
pers dikenal empat teori pers yaitu teori otoritarian, teori tanggung jawab sosial, teori
libertarian, serta teori pers komunis.
Teori pers otoritarian memper-lakukan media pers untuk mendukung dan
memajukan kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada Negara. Teori tanggung jawab
sosial cenderung memberi kebebasan namun memiliki tanggung jawab serta batasan-batasan
dalam hal akses informasi dan hiburan. Kemudian teori libertarian lebih menekankan
pada kebebasan dalam hal akses serta pengelolaan yang berbasis pada profesionalitas dan
logika-logika pasar atau prinsip-prinsip ekonomi. Sedangkan teori pers komunis cenderung
memaknai pers sebagai kekuatan pendukung bagi kesuksesan partai penguasa.
Selain empat teori pers diatas, dalam kajian-kajian tentang media khususnya tentang
komparasi sistem media, Hallin & Mancini menawarkan kerangka konseptual untuk
menganalisis secara komparatif sistem-sistem media di berbagai Negara diantaranya yaitu:
Dimensi perkembangan pasar media, dimensi kesejajaran politis, dimensi profesionalisme
jurnalistik, serta dimensi peran negara. Dimensi perkembangan pasar media menekankan
pada kuat lemahnya hubungan perkembangan sirkulasi produksi media baik secara
kuantitas maupun secara kualitas.
Kemudian dimensi kesejajaran politis lebih menekankan untuk melihat relasi
atau hubungan antara orientasi sistem politik dengan sistem media. Sedangkan dimensi
profesionalisme jurnalistik cenderung ditekankan untuk mengekplorasi profesionalitas
praktek-praktek jurnalistik dengan tiga dimensi profesionalisme yaitu otonomi, perbedaan
norma profesional, serta orientasi pelayanan publik. Terakhir,
dimensi peran negara yang berhubung kait dengan keterlibatan Negara serta
berkaitan dengan sistem penyiaran publik yang terdiri dari: government model atau model
pemerintah, model profesional, model representasi proporsional serta model sipil atau
korporatis.
Government model atau model pemerintah lebih menekankan pada kontrol
langsung dari pemerintah atau political majority dalam hal penyiaran publik. Model
profesional cenderung meniadakan kontrol-kontrol politik dan berjalan sebagai penyiaran
berbasis profesionalitas. Kemudian model representasi proporsional, dalam hal penyiaran
publik cenderung mengakomodir kepentingan partai politik secara representatif serta
proporsioanal. Sedangkan model sipil atau korporatis sedikit memiliki kemiripan dengan
model representasi proporsional. Perbedaannya hanya terletak pada konsep representasinya
yang tidak lagi pada konsepsi representasi kelompok partai politik melainkan representasi
kelompok sosial, persatuan dagang, asosiasi bisnis, organisasi keagamaan, asosiasi etnis
dan lain sebagainya.
Negara dan Sistem Media: Analisis Komparasi Sistem
Media Amerika dan Indonesia

26

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 24-30

ISSN: 23389176

D. Analisis Komparasi Sistem Media Amerika dan Indonesia


1. Amerika dan Indonesia dalam Dinamika Perkembangan Pasar Media
Perubahan yang cukup fundamental pada perkembangan pasar media di Amerika
Serikat ditandai dengan adanya amanah yang tertulis dalam First Amandemen Amerika
Serikat yang berbunyi: Congress shall make no law, abridging the freedom of speech,
or of the press. Konsekuensi logisnya ialah terjadinya pergeseran dari pers partisan
menjadi pers yang bebas-berkarakter liberal berbasis komersial yang cenderung mengikuti
mekanisme pasar.
Mandat First Amandemen kemudian mengikis regulasi-regulasi pemerintah hingga
pada akhirnya regulasi-regulasi tersebut absen dari industri pers di Amerika. Dunia pers
tumbuh dan berkembang cukup pesat dengan ditandainya banyaknya lahir media-media
pers baru yang pro terhadap kebebasan. Paling tidak terdapat 1.600 surat kabar harian,
7.500 surat kabar mingguan, 11.000 stasiun radio, 4 stasiun televisi nasional berjaringan,
20 jaringan radio nasional, 1.000 stasiun televisi lokal, dan 6.000 televisi kabel.
Namun demikian, banyaknya lahir media-media pers secara kuantitas tersebut
tidak diimbangi secara kualitas, baik kualitas isi, kualitas akses maupun kualitas praktek
jurnalistik. Terbukti, pasca lahirnya first amandemen muncul istilah-istilah seperti muckraker
yang diasosiasikan kepada individu yang sangat suka menggaruk kotoran. Wartawanwartawan yang melakukan pembongkaran skandal korupsi, seks para aktor-aktor politik
atau figur-figur terkenal akan dicap sebagai muckraker. Berkaitan dengan muckracking
journalism, Carl Jensen, berpendapat bahwa Amerika Serikat tidak mempunyai pengetahuan
yang cukup berkaitan dengan ketimpangan yang muncul dari sisi kuantitas informasi dan
sisi kualitas informasi yang beredar di lapangan.
Berbeda dengan Amerika, perkembangan industri pers atau industri penyiaran di
Indonesia pada awalnya tumbuh dan berkembang pada situasi dan atmosfer perjuangan
dibawah tekanan pengaruh Belanda dan Jepang. Media pers pada saat itu berada dalam
konsep sebagai media komunikasi dan informasi. Seiring berjalannya waktu tumbuh
media-media swasta yang berangkat dari sisi internal masyarakat pendengar sebagai media
hiburan atau sosial dan niaga.
Demikian pula dengan Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang lahir dari ambisi
pemerintah di tahun 1962 saat Indonesia menjadi tuan rumah pesta olahraga Asian Games
IV di Jakarta. Pada tahun tersebut TVRI (Televisi Republik Indonesia) lahir di hadapan
publik dengan siaran resmi pada 24 Agustus 1962. Kemudian, memasuki era 1980-an
dibuka izin operasi bagi stasiun televisi swasta nasional. Era komersialisasi pun dimulai.
Muncul RCTI dan SCTV ditahun 1987 dan 1989, disusul oleh TPI ditahun 1991, Indosiar
di tahun 1992 dan ANTV pada 1993.
Secara kuantitas, industri pers di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup
signifikan, terlebih pasca lengsernya Presiden Soeharto. Ibarat kran yang terbuka dari
tekanan air, industri pers kian bertambah banyak oleh karena tidak lagi ada pembredelan
terhadap media secara sepihak. Namun demikian, geliat bertambahnya jumlah pemainpemain baru dalam industri pers Nasional dari sisi kuantitas tidak berimbang dengan sisi
kualitas, baik kualitas isi, kualitas akses maupun kualitas praktek-praktek jurnalisme.

1. Indonesia dan Amerika: Antara Relasi Sistem Politik dan Sistem Media
Perubahan atmosfer politik turut mewarnai sistem media. Di Amerika, pada saat
partai Republik berkuasa di era 1990an, pers cenderung tidak nertal dari kepentingan politik
serta hanya menjadi partisan. Namun setelah era partai Republik berakhir, muncul sebuah
era yang mengutamakan profesionalitas dan netralitas politik. Pers menjadi komersil oleh
karena mekanisme pasar yang lebih mendominasi. Era partai Republik berkurang, pers
partisan pun ikut menghilang dan secara perlahan tergantikan oleh pers yang komersil.
27

Didik Haryadi Santoso

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 24-30

Di Indonesia, awal mula pers partisan ditandai dengan keluarnya suatu rancangan
Keputusan Menteri No 29/SK/M/65 tentang norma-norma dasar bagi perusahaan pers
Indonesia pada Maret 1965. Di dalam Keputusan Menteri tersebut beriskan perintah agar
semua surat kabar berafiliasi secara resmi dengan partai politik, instansi fungsional atau
organisasi massa. Namun memasuki oktober 1965 era Orde Baru, terjadi pergeseran esensi
isi Keputusan Menteri sebelumnya. Pers kemudian dituntut untuk memelihara keamanan
nasional melawan ancaman internal dan eksternal serta harus menjaga Pancasila sebagai
ideologi negara.
Munculnya pelarangan terbit melalui Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)
menyebabkan pers-pers tidak lagi terlalu memperhatikan dimensi isi atau pesan jurnalisme
yang profesional melainkan cenderung melihat dimensi atau relasi politik dan kekuasaan
dengan spektrum serta garis politik yang jelas. Pada posisi inilah perlahan muncul perspers partisan. Diawal era Orde Baru, pers-pers partisan berdimensi politik bentukan
pemerintah dan Golkar salah satu diantaranya ialah Harian Suara Karya. Sedangkan era
Orde Baru tingkat akhir, Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) merintis pers
partisan berdimensi agama khususnya Islam yaitu Republika.
Namun demikian, pergeseran dari pers komersil ke pers komersial yang terjadi di
Amerika juga dialami oleh industri pers Indonesia. Pada Juli 1968 melalui UU penanaman
modal, pers perlahan direkonstruksi dari alat atau kendaraan politik ke arah industri dengan
mekanisme pasar. Cikal bakal pers komersil pun tumbuh dan berkembang. Beberapa
perusahaan surat kabar mendapatkan pinjaman dari Bank-Bank pemerintah. Semisal
Kompas yang mendapatkan pinjaman 75% dari modal yang diperlukan untuk mendirikan
kantor percetakan baru. Pendirian tersebut tentu dapat memangkas biaya produksi dan
distribusi dan bermuara pada keuntungan yang berlipat-lipat ganda.

1. Profesionalime Jurnalistik
the greater the play of the market forces, the greater the freedom of the press;
the greater the freedom of the audience choise. Kata-kata tersebut merupakan salah satu
dogma dalam paham neoliberal. Semakin besar permainan kekuatan pasar, semakin besar
kebebasan pers; semakin besar kebebasan khalayak dalam memilih. Dogma tersebut secara
tidak langsung diyakini mulai dari kalangan pemilik modal industri media hingga wartawan
sebagai pekerja media. Dengan asumsi dasar bahwa proses liberalisasi dan derugulasi
industri media akan menciptakan suatu tatanan free market place of ideas. Sampai disini,
sudah tentu logika yang berlaku pada proses pengolahan informasi akan mengikuti logika
pasar (profit oriented). Pada akhirnya proses produksi informasi tidak lagi berpihak kepada
kepentingan moral melainkan berpihak kepada kepentingan modal.
Paradigma media menjadi lebih maju dan berorientasi pada keuntungan ekonomi.
Namun kemajuan tersebut tidak diimbangi dari sisi profesionalisme dalam praktek-praktek
jurnalistik. Di Amerika, disatu sisi pasca lahirnya first amandemen atmosfer industri pers
di Amerika mendapatkan angin kebebasan serta otonomi yang sangat luas. Namun disisi
yang lain menyebabkan munculnya fenomena jurnalisme kuning dan fenomena muckraker
atau wartawan-wartawan yang melakukan pembongkaran skandal korupsi, seks para
aktor-aktor politik. Kedua kasus tersebut merupakan salah satu bukti otentik terkait isu
profesionalisme jurnalistik.
Jika di Amerika terdapat fenomena muckraker, di Indonesia terjadi praktek-praktek
banalitas media serta trivialisasi media. Banalitas mengacu pada praktek-praktek media
yang mengandung kekasaran simbolik sedangkan trivialisasi mengacu pada praktekpraktek media massa yang membahas hal-hal tidak penting atau remeh temeh dari sebuah
isu sentral. Permasalahan yang dibahas hanya pada wilayah tepian atau pinggiran yang
tidak substansial.
Dibalik silang sengkarut tekanan modal ekonomi, agar tetap dapat bertahan
industri pers pada akhirnya tidak lagi berupaya merintis tayangan atau pemberitaan yang
menerapkan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah jurnalistik. Asal menguntungkan, prinsip
Negara dan Sistem Media: Analisis Komparasi Sistem
Media Amerika dan Indonesia

28

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 24-30

ISSN: 23389176

dan kaidah pun diabaikan. Maka kemudian tercipta sebuah produk-produk tayangan,
berita-berita atau program-program investigasi yang jauh dari kata berkualitas, mendalam
dan komprehensif.
Praktek-praktek banalitas dan tirvialiasasi media massa tersebut belakangan ini
menjadi tren dari industri media dengan jaringan konglomerasinya yang berorientasi pada
keuntungan finansial. Artinya, demi ekspansi audien, media merancang program-program
berita yang cenderung membahas hal-hal sepele dan tidak penting, dengan biaya produksi
sekecil mungkin dan keuntungan sebesar mungkin.

1. Peran Negara dan Sistem Penyiaran Publik


Dimensi peran Negara berhubung kait dengan keterlibatan Negara serta berkaitan
dengan sistem penyiaran publik. Hallin dan Mancini membaginya menjadi empat model
diantaranya: government model atau model pemerintah, model profesional, model
representasi proporsional serta model sipil atau korporatis. Jika ditelaah lebih jauh, dalam
konteks sistem media di Amerika, peran Negara cenderung pada model profesional yang
meniadakan kontrol-kontrol politik dan berjalan sebagai penyiaran berbasis profesionalitas
berkarakter liberal serta berbasis komersial.
Di Indonesia, pada masa pemerintahan presiden Soeharto struktur industri pers
Indonesia berada pada posisi dominasi kekuatan peran negara (state regulation) atau
dalam kerangka teori Hallin dan Mancini masuk dalam kategori govermental model atau
model pemerintahan. Hal ini ditandai oleh pengendalian dan pengawasan super ketat dari
Departemen Penerangan. Pengendalian dan pengawasan super ketat tersebut secara tidak
langsung menutup jalan informasi yang berasal dari luar kepentingan pemerintah.
Pada masa era orde baru, diberlakukan sensor yang cukup ketat bagi produk-produk
informasi hasil olahan individu yang bertentangan dengan kepentingan politik dan ekonomi
orde baru. Naskah-naskah pidato para mubalig atau orator-orator wajib melalui proses
pengawasan dan kontrol yang ketat. Begitu juga dengan produk informasi hasil olahan
institusi dalam hal ini media massa. Ketika kepentingan orde baru belum terakomodir atau
bahkan diabaikan, maka pemerintah dengan cepat membredel secara sepihak.
Beranjak ke era reformasi pendulum industri pers bergerak dari arah dominasi
kekuatan peran negara (state regulation) ke arah dominasi kekuatan peran pasar (market
regulation). Bergeser dari govermental model kearah model profesional yang mengabaikan
kontrol-kontrol politik dan lebih mengutamakan komersial serta mekanisme pasar.
Dominasi kekuatan peran pasar pada era reformasi ini kemudian secara perlahan mengarah
pada mekanisme pasar bebas yang merupakan mantra neoliberalisme.

B. Penutup
Arus globalisasi turut mewarnai perubahan sistem-sistem media di berbagai
Negara. Sirkulasi media bertambah, muncul pers-pers baru, dan paradigma media menjadi
lebih maju. Namun kemajuan secara kuantitas tersebut tidak diimbangi dari sisi kualitas
profesionalisme dalam praktek-praktek jurnalistik. Di Amerika, disatu sisi pasca lahirnya
first amandemen atmosfer industri pers di Amerika mendapatkan angin kebebasan serta
otonomi yang sangat luas. Namun disisi yang lain menyebabkan munculnya fenomena
jurnalisme kuning dan fenomena muckraker atau wartawan-wartawan yang melakukan
pembongkaran skandal korupsi, seks para aktor-aktor politik. Begitu pula di Indonesia,
muncul fenomena banalitas media dan trivialisasi media.
Di Amerika, pada saat partai Republik berkuasa di era 1990an, pers cenderung
tidak nertal dari kepentingan politik serta hanya menjadi partisan. Namun setelah era
partai Republik berakhir, muncul sebuah era yang mengutamakan profesionalitas dan
netralitas politik. Pers menjadi jauh lebih komersil oleh karena mekanisme pasar yang
lebih mendominasi. Persis yang terjadi di Indonesia, ketika terjadi perubahan sistem
pemerintahan orde baru, secara perlahan pers-pers partisan pun berkurang dan secara
29

Didik Haryadi Santoso

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 24-30

perlahan tergantikan oleh pers komersil yang sangat mendewakan akumulasi modal dan
kalkulasi laba.
Dalam konteks sistem media di Amerika, peran Negara cenderung pada model
profesional yang meniadakan kontrol-kontrol politik dan berjalan sebagai penyiaran
berbasis profe-sionalitas berkarakter liberal yang berbasis komersial. Di Indonesia, pada
masa pemerintahan presiden Soeharto struktur industri pers Indonesia berada pada posisi
govermental model atau model pemerintahan. Namun memasuki era reformasi pendulum
industri pers bergerak dari arah govermental model kearah model profesional yang
meminimalisir kontrol-kontrol Negara dan lebih mengutamakan sisi ekonomi yang tunduk
dan patuh pada mekanisme pasar yang kadang sesat dan sesaat.

DAFTAR PUSTAKA
Burhan, Bungin.(2009). Pornomedia. Jakarta: Kompas.
Giddens Anthony. (1984). The Constitution of Society outline of the theory Structuration.
Cambridge UK: Polity Press.
Daniel Hallin & Mancini Paolo (2004). Comparing Media Systems: Three Models of Media
and Politics, New York: Cambridge University Press.
Ibrahim Idi Subandy, dkk. (1997). Hegemoni Budaya. Yogya: Yayasan Bentang Budaya.
Littlejohn Stephen W, Foss Karen A.(2009). Encyclopedia of Communication Theory.
London: Sage Publication.
M Adeline.(2005). Laba-Laba Media: Hidup dalam Galaksi Informasi, Menurut Pemikiran
Manuel Castells. Jakarta: LSPP.
Mosco Vincent. (1996). The Political Economy of Communication: Rethinking and
Renewal. London: Sage Publications.
Priyono Herry. (2002). Antony Giddens Suatu Pengantar. Jakarta : KPG
Soekanto Soerjono.(1992). Sosiologi Sebuah Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
Sunarto. (2009). Televisi, Kekerasan dan Perempuan, Jakarta:Kompas.
Straubhaar, J & Larose R.(2006). Media Now: Understanding Media, Culture, and
Technology. Boston: Wadsworth Cengage.
Tester Keith, Immor(t)alitas Media, Yogyakarta: Juxtapose, 2009.
Van Dijk Jan.(2006). The Network Society. London: Sage Publication.
Wirodono S. (2005). Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia, Yogyakarta:Resist
Book.
Quarterly. Vol 19, No.4, p.p: 703-721.

Negara dan Sistem Media: Analisis Komparasi Sistem


Media Amerika dan Indonesia

30

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 31-38


Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

ISSN: 23389176

EFEK MEDIA BARU TERHADAP


OPINI PUBLIK DALAM DEMOKRASI:
Succesing Candidate In Electoral Campaign
Oleh: Vivin Sylviana
(Dosen Komunikasi, Fakultas Sastra, Budaya dan Komunikasi UAD)
Abstrak
Fenomena pemanfaatan media baru dalam kampanye merebak akhir-akhir ini. Kriteria
media baru dinilai menjual untuk meraih simpati publik. Benarkah hal tersebut juga mampu
mempengaruhi pembentukan pendapat umum dalam negara berkembang dengan sistem demokrasi
seperti Indonesia?. Pembahasan ini tentu akan terkait dengan jenis penelitian efek yang lazimnya
menggunakan riset kuantitatif. Tulisan ini mencoba mendeskripsikan karakter media baru ketika
dikaitkan dengan kampanye dengan memasukkan beberapa asumsi mengenai kemungkinannya
untuk mempengaruhi pendapat publik melalui beberapa insight kasus yang terjadi di Indonesia.
Kata Kunci: Media baru, Kampanye, Opini Publik, Demokrasi

A. Pendahuluan
Sistem demokrasi memungkinkan rakyatnya untuk terlibat langsung dalam
proses politik semisal pemilihan wakil di pemerintahan. Proses pemilihan diawali dengan
kampanye dimana beragam cara digunakan kandidat untuk meraih simpati voters salah
satunya melalui media. Sebelumnya media konvensional seperti koran dan televisi lah yang
mendominasi pembentukan pendapat publik, namun trend tersebut mulai bergeser. Media
baru yang datang dengan penawaran akan kecepatan, kebaruan dan keluasan jaringan
informasi termasuk informasi politik semakin menjadi pilihan terutama bagi masyarakat
yang memiliki ketergantungan tinggi sekaligus akses besar terhadap teknologi.
Telah banyak penelitian mengenai efek media massa dalam konteks politik,
terutama soal posisi media sebagai alat propoganda dalam kegiatan kampanye. Namun,
masih banyak pertanyaan mengenai hubungan kausal tersebut jika dikaitkan dengan media
baru apalagi dalam konteks negara berkembang dimana sebagian besar penduduknya
belum terpapar kecanggihan teknologi. Kepopuleran media baru sebagai alat kampanye
sendiri mencapai puncaknya semasa pencalonan diri pertama kali Barrack Obama sebagai
presiden Amerika Serikat . Respon positif masyarakat terhadap cara kampanye model
ini kemudian dilirik oleh calon-calon politikus lain di berbagai wilayah. Salah satunya
yang terjadi pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta tahun 2012. Ketergantungan
masyarakat khususnya masyarakat perkotaan di Indonesia akan media baru seperti lamanlaman jejaring sosial sepertinya dimanfaatkan dengan baik oleh tim kampanye JokowiBasuki .
Seperti disebutkan di banyak pemberitaan, pasangan ini benar-benar memaksimalkan
fungsi media sosial alih-alih memperbanyak baligho ataupun iklan televisi. Langkah
cerdas sebetulnya, sebab selain menghemat biaya kampanye, hal tersebut juga efektif
untuk penyebarluasan dan percepatan umpan balik ide dan visi misi calon. Perlu disadari
di era digitalisasi informasi, masyarakat sebagai audiens semakin menginginkan hal yang
kasual; mudah diakses, mudah dimengerti sehingga mudah diterima dan dengan semakin
meningkatnya jumlah kelas menengah yang notabene memiliki akses terhadap teknologi
maka menjadi wajar ketika trend media baru menjadi fenomena .
31

Dani Fadillah

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 31-38

ISSN: 23389176

Setiap perubahan pasti menim-bulkan efek, tidak terkecuali pemanfaatan media


baru dalam sistem demokrasi. Beberapa efek yang jelas terlihat adalah perubahan intensitas
informasi yang bisa diakses publik, perubahan hubungan menjadi lebih horizontal antara
publik dan pemerintah dan perubahan cara partisipasi dengan terbukanya opsi atas saluran
yang bebas dari intervensi pemerintah sehingga publik berpotensi terlibat langsung dalam
proses kebijakan . Terkait kampanye, jelas dan menjadi hal lumrah ketika kandidat yang
bermaksud memenangkan pemilihan berusaha membangun popularitas positif di mata
publik dengan beragam pendekatan. Jika media konvesional selama ini menghadirkan
informasi satu arah dimana publik semata berperan sebagai konsumen informasi, maka
berbeda dengan media baru yang membuka kesempatan bagi publik mengkonstruksi
informasi yang dianggap ideal bagi dirinya sendiri.
Artinya, terdapat kemungkinan baru bahwa opini publik yang terbangun tidak
semata berasal dari media melainkan satu bentuk eksplorasi atas informasi yang dilakukan
oleh individu itu sendiri. Sehingga tidak heran apabila terjadi ketimpangan pengetahuan
sebab cara individu memperlakukan kebutuhan akan informasi juga berbeda. Ketertarikan
pribadi terhadap suatu isu pun belum tentu sama.
Namun ketimpangan dan keterbedaan tersebut tidak menutupi efek lain yaitu
perasaan terlibat ketika menggunakan media jenis ini. Perasaan terlibat adalah satu kondisi
yang baik untuk meningkatkan awareness pada suatu isu. Publik dibawa untuk berpadu
dengan aktivitas produksi dan konsumsi informasi, bukan semata diposisikan terpisah
sebagai objek. Karakter seperti ini yang memungkinkan media baru mencapai posisi yang
terus signifikan untuk menjadi media pilihan bagi beragam aktivitas termasuk aktivitas
politik. Memang diperlukan riset lebih lanjut untuk mengikuti kecenderungan pemanfaatan
media baru semasa kampanye, apakah benar baik publik maupun kandidat merasa bahwa
media baru menjadi opsi potensial dalam membangun pendapat umum. Salah satu riset
yang lazim dilakukan dalam pendekatan masalah jenis ini adalah riset kuantitatif.

B. Tradisi Kuantitatif Mengenai Efek Media Atas Opini Publik


Efek media terhadap individu dan lingkungan adalah bahasan utama tradisi kuantitatif
terkait riset audiens. Secara umum, riset tersebut dimaksudkan untuk melihat kemampuan
media mentransfer pesan kepada publik. Metode yang seringkali ditempuh adalah survey,
eksperimen dan analisis isi. McQuail menyebutkan tentang empat fase sejarah penelitian
efek . Pertama, all-powerful media, berkisar antara tahun 1900-1940 dimana media sangat
berkuasa dalam membentuk opini publik dan perilaku melalui propoganda. Kedua, theory
of powerful media put to the test yang terjadi pada periode 1930an; media tidak seberkuasa
sebelumnya bahkan muncul pemikiran bahwa kemungkinan tidak ada hubungan antara
stimulus media dengan respon audiens. Ketiga, powerful media rediscovered, media
kembali dianggap berkuasa pada tahun 1960an, salah satunya disebabkan kepopuleran
penggunaan televisi. Keempat, negotiated media influence adalah periode dimana efek
media tidak hanya diperhitungkan pada tataran individu melainkan juga terhadap struktur
sosial.
Empat tahapan diatas menunjukkan peran media yang bergeser dari waktu ke
waktu. Pergeseran tersebut mempengaruhi cara dan karakter opini publik yang terbentuk
pada masing-masing waktu kejadian. Periode awal lebih terfokus pada apa yang media
lakukan terhadap audiens sedangkan dengan semakin berkembangnya pilihan terhadap
media maka fokus berubah menjadi apa yang audiens lakukan terhadap media.
Sederhananya, efek masih merupakan alur satu arah, sebab yang menimbulkan
akibat, namun konstelasi peristiwa yang menimbulkan efek menjadi lebih kompleks.
Media dengan fitur online tidak lagi berperan sebagai pemasok informasi utama melainkan
sebagai wadah tempat informasi berkumpul dan ditemukan oleh individu sesuai dengan
kepentingan masing-masing. Pasif berganti menjadi aktif dimana efek kemudian tidak
sekedar mempengaruhi pada level individu melainkan juga terhadap lingkungan sosial dan
institusional.
32

Dani Fadillah

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 31-38

Seperti disebutkan sebelumnya, survey adalah salah satu teknik yang paling sering
dipakai untuk menganalisa efek media dalam riset audiens (publik) termasuk mencari
kecenderungan opini publik di wilayah tertentu. Teknik ini memungkinkan setiap individu
memiliki kesempatan yang sama untuk terjaring opininya dalam kondisi yang bersifat
natural sebagai kebalikan dari teknik eskperimen. Terlebih, merupakan salah satu teknik
saintifik yang didukung dengan pemakaian desain sampel yang diambil secara random
(acak). Meskipun, pada perkembangan terakhirnya, studi etnografi mulai diperkenalkan
untuk mengisi kekosongan survey yang dinilai tidak mampu memperhitungkan faktor diluar
objek semisal pengaruh lingkungan. Namun apabila riset dimaksudkan sebagai penelitian
aplikatif untuk menghitung secara rigid besaran efek, dengan kata lain mencari trend, dan
bukan tentang kedalaman pemahaman terhadap satu peristiwa, maka teknik survey tetap
menjadi opsi terbaik.
Studi opini publik sendiri dibenarkan oleh gagasan sederhana bahwa institusi
demokrasi harus menghasilkan keputusan pemerintah yang mencerminkan pandangan
orang sehari-hari. Pandangan individu ataupun kelompok inilah yang berusaha digali oleh
teknik survey. Selama masa pemilihan, survey opini publik umumnya dilakukan beberapa
aktor: Pertama, lembaga survey independen sejenis LSI (Lembaga Survei Indonesia) di
Indonesia, untuk melihat kecenderungan pilihan publik pra dan selama kampanye serta
prediksi hasil pasca pemilihan. Contohnya, rilis nama-nama calon kandidat presiden
2014 dengan kualitas tertentu yang diperhitungkan akan berpartisipasi baik sebagai
calon independen maupun calon yang berasal dari partai (Rilis LSI, 28/11/12) . Lembaga
independen bagi riset opini publik sangat dibutuhkan terutama dalam negara demokrasi.
Selain karena dipersepsi bebas dari intervensi pemerintah maupun pemilik modal, hasil
riset dari lembaga semacam ini dihasilkan dengan teknik saintifik sehingga mewakili buktibukti kuat yang faktual.
Kedua, media massa baik yang konvensional maupun media baru, yang melakukan
riset opini publik sendiri. Biasanya dilakukan melalui polling semisal polling Republika
online tentang Pilkada Jakarta 2012 (Siapa yang anda jagokan pada Pemilukada DKI
putaran kedua nanti?) dengan hasil polling kemenangan untuk pihak Jokowi-Basuki sebesar
85,69% . Jika tidak melakukan survey atau polling sendiri, media biasanya menyiarkan
hasil riset dari lembaga yang dinilai kredibel untuk dijadikan berita dan ditanggapi oleh
khalayak.
Ketiga, survey yang dilakukan oleh tim kandidat calon baik secara mandiri (apabila
merupakan calon independen) atau dikoordinir oleh partai (apabila berasal dari partai). Hal
tersebut terutama dimaksudkan untuk melihat reaksi publik sebagai konstituen terhadap
kandidat. Hasil dari riset ini akan sangat berguna untuk menentukan rencana tindak lanjut
yang harus ditempuh sebagai upaya pemenangan calon. Terkadang hasil survey jenis ini
juga dijadikan sebagai cara menjual calon khususnya jika persentase popularitas memang
besar. Tetapi karena survey dilakukan oleh tim suksesi kandidat maka hasil survey bisa saja
bertendensi propoganda.
Opini publik dalam negara demokrasi sendiri penting keberadaannya baik bagi
publik maupun pemerintah. Rousseau adalah orang pertama yang menggunakan istilah
opini publik (lopinion publique) yang diartikan sebagai cara dan sikap yang dimiliki
masyarakat sebagai kebalikan dari elit politik. Dalam negara penganut sistem demokratis,
opini bagi publik adalah deskripsi dari representasi ide dan kepentingan tentang suatu proses
politik serta berperan sebagai informasi tentang apa yang dipikirkan individu lain diluar
dirinya tentang masalah bersama. Sedangkan bagi pemerintah, opini publik dapat menjadi
acuan untuk mengidentifikasi isu yang penting bagi publik sebagai masukan dalam proses
perumusan kebijakan dan sebagai excuse untuk menerapkan atau menolak tekanan politik
dari pihak di luar pemerintah tentang suatu kebijakan selama berasal dari opini publik.
Lalu, apakah opini publik dapat tumbuh di negara non demokrasi? Dalam negara
non demokrasi, informasi terutama terkait aktivitas politik cenderung telah dibentuk sesuai
dengan kepentingan pihak berkuasa, andaipun ada kebebasan berbicara maka hal tersebut

Efek Media Baru Terhadap Opini Publik dalam Demokrasi: Succesing


Candidate In Electoral Campaign

33

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 31-38

ISSN: 23389176

tidak lebih dari usaha meredam kegelisahan publik dan biasanya isu yang dihalalkan untuk
dibahas adalah yang tidak mengamcam kedudukan politis penguasa. Kalaupun berkaitan
dengan masalah politis maka perkembangan isu akan dibatasi melalui penguasaan sumber
(provider) dan saluran informasi termasuk monopoli pengaturan teknologi informasi
sehingga opini publik mati sebelum berkembang. Konsep Great firewall yang berlaku di
Cina adalah satu contoh dimana terjadi pengaturan yang ketat terkait arus informasi dalam
negara non demokrasi (Cina menganut sistem komunis).
Selain itu, partai dalam negara non demokrasi umumnya didominasi oleh partai
penguasa sehingga tidak ada ruang perwakilan untuk membentuk opini lain karena
memang tidak ada pilihan. Padahal opini publik baru dapat tumbuh dalam kondisi yang
memungkinkan setiap individu memiliki akses informasi dan kebebasan pengungkapan
atas kehendak yang dimilikinya. Informasi tersebut pun harus memiliki ruang untuk
diperdebatkan secara seimbang hingga mampu mencapai konsensus yang dapat dimaknai
sebagai opini publik, salah satu ruang tersebut adalah partai politik. Ketika kekuasaan politik
didominasi oleh satu partai maka informasi tidak dapat diperdebatkan sebab kekuasaan
dan pembicaraan merupakan alur komando satu arah seperti yang lazim dilakukan partai
komunis.

C. Suksesi Kandidat? Mampukah Media Baru Berperan


Individu umumnya memilih cara paling sederhana dan murah untuk mengakses
informasi terkait politik. Pemanfaatan media baru dalam kampanye membuka kesempatan
akan hubungan interaktif yang cepat, murah, terbuka dengan jangkauan informasi yang
luas. Kampanye jenis ini terutama dapat menjaring konstituen kalangan muda dan
kaum urban perkotaan sebab kandidat yang akrab dengan media baru lebih diasumsikan
berpikiran modern dan menjanjikan pembaharuan. Apalagi dengan kecenderungan kinerja
administrasi publik offline yang dipenuhi birokrasi panjang dan berbelit sehingga muncul
harapan publik terhadap kandidat yang mampu memanfaatkan teknologi. Bahwa ketika
kandidat tersebut terpilih, mereka dapat meminimalisir keruwetan birokrasi dengan
penggunaan teknologi.
Kandidat yang menggunakan media baru juga terkesan lebih memiliki visi ke depan
karena menunjukkan awareness terhadap teknologi yang menjadi satu identitas masyarakat
modern. Terlebih media baru saat ini bukan lagi sekedar wadah pencarian informasi namun
sudah mengarah menjadi gaya hidup. Artinya, andaipun mereka tidak tertarik dengan
aktivitas politik, mereka tetap cenderung merasa harus mengetahui informasi melalui
media baru agar tetap well-informed.
Trend media baru inilah yang dimanfaatkan pasangan Jokowi-Basuki untuk
mendulang suara pada Pilkada Jakarta 2012 yang lalu. Pasangan ini membuat portal
Jakartabaru.co, Fanpage Facebook Joko Widodo dan Basuki T Purnama untuk Jakarta
Baru, Twitter @Jokowi_Basuki serta memanfaatkan fasilitas Skype untuk berdialog
dengan konstituennya. Sebetulnya, calon kuat lain yaitu Foke-Nara juga melakukan hal
yang kurang lebih sama, namun Jokowi-Basuki lebih aktif di media sosial , kemungkinan
karena mereka memang menjadikan kampanye media sosial sebagai salah satu opsi utama
mengingat sedikit sekali iklan kampanye yang berasal dari pasangan calon tersebut yang
berbentuk baligho,poster bahkan iklan di media elektronik maupun cetak. Meskipun
berdasarkan penelitian Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Indonesia, pasangan JokowiBasuki menguasai pemberitaan di hampir seluruh media massa cetak maupun elektronik
selama tiga bulan masa pemilihan. Beberapa bahkan menyebut istilah media darling untuk
menunjuk sosok Jokowi.
Jika menimbang karakter media massa, terlepas dari apakah ada pemihakan politik di
balik blow up berita Jokowi, media sebagai institusi bisnis sesungguhnya sedapat mungkin
akan selalu menawarkan berita yang dinilai menarik dan dapat dijual kepada publik. Figur
Jokowi adalah figur yang menarik sejak menjadi Walikota Solo dan menghasilkan beberapa
terbosan termasuk memasarkan mobil buatan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) Solo.
34

Dani Fadillah

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 31-38

Publik sepertinya mulai bosan dengan profil pejabat yang itu-itu saja dan terkesan terlalu
birokrat. Media massa tanggap melihat ketertarikan tersebut dan mengeksplorasinya untuk
dijadikan konsumsi publik.
Di lain pihak, sosok Basuki sebagai calon wakil gubernur juga tidak biasa karena
berasal dari kelompok minoritas (etnis Cina dan non-muslim). Serangan berbau SARA
yang tersirat maupun tersurat, sadar atau tidak sadar, malah membangkitkan simpati di mata
publik. Bagi media, bad news is good news karena itu isu SARA dikedepankan karena
mampu menyentil emosi publik secara pribadi. Pasangan tersebut juga tidak didukung
oleh koalisi partai-partai besar seperti yang dimiliki oleh pasangan pesaingnya. Jika secara
politis hal tersebut adalah kekalahan telak, lain soal ketika publik (khususnya yang tidak
terlalu fanatik terhadap partai tertentu) nyatanya lebih merasa nyaman untuk mempercayai
informasi melalui media dibandingkan partai politik. Pilkada Jakarta secara tidak langsung
menunjukkan menurunnya derajat kepercayaan dan ketergantungan publik terhadap partai
politik sehingga mereka beralih pada saluran partisipasi lain termasuk media online.
Kemenangan pasangan ini adalah peristiwa unik dan dapat dikatakan menghadirkan
momentum kesadaran bahwa telah terjadi pergeseran sosial tentang apa yang dianggap
baik saat ini. Kampanye melalui media online yang dimaksimalkan Jokowi-Basuki merupakan satu poin deskriptif bahwa informasi yang dibawa teknologi pun dapat mengubah
kelakuan atau kepercayaan. Dengan catatan informasi tersebut memiliki kriteria: dapat
diterima, dapat dipahami, relevan, berbeda dengan kepercayaan sebelumnya dan kredibel
. Pasangan ini menawarkan sesuatu yang berbeda melalui profil dan teknik pendekatannya
terhadap publik, media baru adalah alat yang mendukung terbentuknya profil dan teknik
pendekatan baru tersebut.
Lalu sejauh mana media baru dapat berperan dalam suksesi kandidat pada masa
kampanye? Terdapat beberapa tipologi yang mendefinisikan pengaruh penggunaan
teknologi informasi komunikasi seperti media baru terhadap aktivitas politik yang
dituliskan oleh Abramson , yaitu: memperluas volume informasi yang dapat ditukar,
pertukaran informasi dapat dilakukan secara langsung untuk tujuan praktis apapun secara
cepat dan luas, meningkatkan kontrol audiens terhadap apa dan kapan informasi tertentu
akan diterima, meningkatkan kontrol pembuat pesan tentang audiens yang dituju, serta
mempermudah penyebaran melalui media massa dan menciptakan pola interaktivitas
komunikasi. Kemudahan yang ditawarkan media baru untuk kampanye politik tidak hanya
persoalan alat kampanye yang lebih canggih tapi juga struktur dan pola hubungan. Struktur
menjadi lebih luwes sekaligus lebih kompleks, begitupula dengan hubungan antar pihak
dalam kampanye.
Dalam struktur kampanye media baru yang dinyatakan Howard, terdapat empat
elemen abstrak : pertama, objek politik yaitu aktor, argumen dan ikon. Kedua, proses politik
yang merupakan prosedur dimana aktor menemukan kepuasan, argumen mendapatkan
publisitas dan ikon menemukan jalan atau sirkulasinya. Ketiga, peristiwa politik yang
dijalani oleh objek politik pada waktu tertentu. Keempat, ingatan politik yaitu suplai dan
filter informasi yang berefek terhadap bagaimana kita mengingat dan menginterpretasi
objek, proses dan peristiwa politik.
Elemen-elemen ini harus dimengerti dan dipetakan terlebih dahulu sebelum
memasuki masa kampanye. Pemetaan tersebut adalah tugas manager kampanye yang
lazimnya disebut tim sukses. Jika pada masa sebelum penggunaan media baru, tim sukses
adalah individu atau kelompok tertentu yang ditunjuk untuk memasarkan kandidat
maka berbeda dengan saat ketika kampanye dilakukan media baru. Karakteristik media
baru yang memungkinkan setiap orang memproduksi sekaligus mengkonsumsi informasi
dan aplikasi yang diinginkannya membuat individu atau kelompok yang tidak tergabung
dalam tim sukses pun dapat mengekspresikan dukungannya. Sebagai contoh, tidak
semua kampanye melalui media sosial yang dilakukan oleh Jokowi-Ahok berasal dari tim
suksesnya, beberapa adalah bentuk dukungan sukarela kaum muda semisal video klip lagu
di Youtube yang berjudul what makes you beautiful by one direction dan Jokowi-Ahok

Efek Media Baru Terhadap Opini Publik dalam Demokrasi: Succesing


Candidate In Electoral Campaign

35

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 31-38

ISSN: 23389176

Social Media Volunteers (JASMEV) yang merupakan bentukan sukarelawan pendukung


Jokowi-Basuki dengan tujuan mempopulerkan visi dan misi pasangan tersebut lewat dunia
maya.
Dapat disimpulkan bahwa media baru memberikan keleluasaan lebih kepada publik
untuk berpartisipasi bahkan ikut menggodok konten kampanye. Tugas manajer kampanye
menjadi lebih ringan dan hal tersebut berefek pada opini publik yang terbentuk. Maksudnya,
opini publik tidak lagi dibentuk sesuai penerjemahkan pihak-pihak yang berkepentingan
dalam kampanye melainkan telah mewujud dan diekspresikan sendiri oleh publik yang
mengapresiasi melalui media baru. Ikatan antara kandidat calon dengan konstituennya
menjadi lebih intensif.
Terjadi pula perubahan terkait pola informasi, jika sebelumnya melalui televisi
atau radio konstituen akan mendapatkan informasi kampanye yang dibuat untuk semua
sehingga bersifat umum, media baru menawarkan sesuatu yang lebih spesifik dan personal
. Konstituen dapat mencari informasi yang sesuai dengan keinginannya. Di sisi lain, tim
kandidat dapat memberikan informasi yang sifatnya lebih personal dan mengena untuk
menarik dan mempertahankan minat konstituen terhadap kandidat, caranya dengan
mengirimkan email kepada setiap user yang pernah mengakses laman kampanye kandidat.
Isi email tersebut dapat berupa informasi apa saja: jadwal dan tempat kampanye, kegiatan
yang telah dilakukan kandidat, dll. Hal seperti ini juga yang dilakukan oleh tim Jokowi
melalui laman Jakartabaru. Meskipun sebetulnya tim kampanye tetap harus memetakan
segmentasi audiens untuk mencari langkah tepat mengkoordinir konstituen.
Di lain pihak, sebetulnya efek media baru terhadap opini publik lebih sulit dianalisis
secara pasti dibandingkan media konvensional. Kesulitan utama terkait sumber dan
penerima. Sulit menelusuri sumber konten didalam media baru apalagi untuk merujuknya
hingga ke pribadi di dunia riil sebab aplikasi online memungkinkan anonimitas lagipula
produksi dan konsumsi teks dapat terjadi bersamaan. Karena itu banyak pendapat yang
meragukan tentang apakah memang media baru menghasilkan efek yang nyata alih-alih
hanya terjadi di dunia maya.
Ketika media konvensional memiliki batas teritori yang jelas menyangkut objek,
subjek, tempat dan waktu sehingga menghadirkan gambaran yang nyata, media baru seakan,
menurut istilah Gibson, kerangkeng tak berhingga. Namun Castells menegaskan bahwa
kekhasan teknologi informasi bukan pada kemampuannya mengimbas realitas maya ke
dunia nyata, melainkan kemampuannya membangun kemayaan yang nyata, real virtuality
. Lagipula realitas maya tidak akan terbentuk tanpa dorongan dari peristiwa nyata. Karena
itu, kampanye online tetap harus berjalan berbarengan dengan kampanye offline.
Kekhawatiran kedua, apakah media baru berefek pada pembentukan opini publik
yang deliberatif? Mengingat begitu banyak informasi yang simpang-siur dan tumpang tindih
hingga tidak menyisakan ruang bagi perdebatan. Menanggapi hal ini, kita harus melihat
kembali pada asumsi ruang publik bagi warga negara di era digital. Kutipan Howard dari
beberapa teoris seperti Habermas, Tarde dan Anderson, bahwa ruang publik yang sehat
adalah ruang yang: memberikan kesempatan penyebaran informasi yang mudah diakses,
membuka ruang diskusi dan menyediakan ruang aspirasi dan partisipasi yang berujung pada
tindakan nyata. Tiga kriteria tersebut sederhananya dapat dipenuhi dengan pemanfaatan
media baru, mengenai praktek di lapangan adalah tanggung jawab bagi semua pihak dalam
negara: pemerintah, swasta, media dan publik untuk menjaga dan bertindak tidak overlap
satu dengan yang lain. Kebijakan pengaturan dapat dikatakan sangat kompleks, tetapi yang
jelas tidak mungkin mendomestikkan kebijakan tentang media baru karena kriteria media
ini yang tak berhingga. Kebijakan harus dibuat dengan menyeimbangkan akses dan
konten dan paling penting perlindungan privasi bagi setiap pengguna.
Terkait kampanye melalui media baru di Indonesia, kemungkinan besar memang
baru mampu berhasil digunakan untuk pemilihan umum di daerah perkotaan dengan
estimasi jumlah pengguna internet yang banyak, dipenuhi usia produktif yang ingin terlibat
dalam aktivitas politik yang simple karena terhalang kesibukan serta pluralitas masyarakat

36

Dani Fadillah

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 31-38

baik dari segi identitas (SARA) maupun pemikiran. Karenanya, kampanye jenis ini tidak
selalu cocok untuk tiap daerah apalagi daerah dengan penduduk yang belum terpapar
teknologi secara merata.

D. Penutup
Media massa memiliki peran krusial dalam proses politik termasuk kampanye
pemilihan umum. Media baru sebagai perkembangan paling mutakhir dari teknologi
informasi saat ini memberi alternatif segar bagi pengembangan cara kampanye. Efek media
baru ini tidak hanya berkisar tentang kepraktisan berkat penggunaan alat modern melainkan
lebih kepada perubahan struktur dan pola hubungan antar pelaku dalam kampanye. Opini
publik terbentuk berdasarkan efek pengalaman personal dan perasaan ikut terlibat
selama aktivitas politik berlangsung. Kampanye melalui media baru ini sangat potensial
dijalankan di kawasan perkotaan yang memiliki terpaan tinggi terhadap teknologi dan
kondisi pluralitas dalam masyarakatnya. Potensi efek negatif media baru seperti anonimitas,
ketidakjelasan ruang dan waktu serta deliberasi semu memang harus diwaspadai namun
tidak berarti menutup jalan bagi pemanfaatan lebih jauh, sebab jenis media ini memberikan
apa yang paling dibutuhkan publik di negara demokrasi untuk terlibat dalam aktivitas
politik yaitu akses informasi yang luas dan bebas yang sebelumnya hanya bisa dinikmati
segelintir orang ataupun elite pemerintahan saja.

Daftar Pustaka
Althaus, Schott. L. 2003. Collective Preferences in Democratic Politics: Opinion Surveys
and the Will of the People. Cambridge University Press. h. 243-276
Coleman, Stephen and Jay G. Blumler. 2009. The Internet and Democratic Citizenship:
Theory, Practice and Policy. UK: Cambridge University Press. h.168
Erikson, Robert. S and Kent L.Tedin. 2003. American Public Opinion; Chapter 1: Public
Opinion in Democratic Societies. h. 1-22
Fallows, James. 2009. Kartu Pos dari Tomorrow Square: Liputan dari China. PT Elex
Media Komputindo.
Hacker, Kenneth. L & Jan Van Dijk. 2000. Digital Democracy: Issues of Theory and
Practice. SAGE Publications. h.4
Holtz-Bacha, Christina. Political Campaign Communication: Conditional Convergence of
Media Election. dalam Frank Esser and Barbara Pfetsch. 2004. Comparing Political
Communication: Theories, Cases and Challenges. Cambridge University Press. h.
213-227
Howard, Philip N. 2006. New Media Campaigns and the Managed Citizen. New York:
Cambridge University Press. h. 55-60, h.158-159, h. 182-183
Jensen, Klaus Bruhn. 2002. A Handbook of Media and Communication Research. h.139140
Minogue, Kenneth. 2000. Politics: A Very Short Introduction. New York: Oxford
University Press. h.72
Page, Benjamin I; Robert Y. Saphiro and Glenn R. Dempsey. 1987. The American Political
Sciennce Review Vol. 81 No.1. h.23-44
Rice, Ronald E and Charles K. Atkin. Communication Campaigns: Theory, Design,
Implementation and Evaluation. dalam Jennings Bryant and Dolf Zillmann. Media
Effects Advances in Theory and Research: Second Edition. 2002. Mahwah, New
Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. h.430-431
Supelli, Karlina. Ruang Publik Dunia Maya. dalam F. Budi Hardiman (ed.). 2010. Ruang
Publik, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. h. 337&338
Wring Dominic and Ivan Horrocks. Virtual Hype? The transformation of political
parties?. dalam Barrie Axford and Richard Huggins. 2001. New Media and Politics.
Sage Publications, h.193
Efek Media Baru Terhadap Opini Publik dalam Demokrasi: Succesing
Candidate In Electoral Campaign

37

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 31-38

Sumber Lain:
http://www.antaranews.com/berita/333624/foke-unggul-sosialisasi-spanduk-jokowi-dimedia-sosial
Diakses 01/10/2012 pukul 20:56 WIB
http://www.lsi.or.id/riset/427/Rilis_Capres_Indonesia_2014
Diakses 29/11/12 Pukul 20:29 WIB
http://www.republika.co.id/page/poll/6
Diakses 03/01/2013 Pukul 8:33 WIB
http://www.tempo.co/read/news/2012/09/17/083429964/Survei-Foke-Versus-JokowiKalah-Tipis
Diakses 03/01/2013 Pukul 8:39 WIB
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/351773-foke-lebih-populer--jokowi-lebihdisukai
Diakses 03/01/2013 Pukul 8:51 WIB
http://metro.sindonews.com/read/2012/09/16/63/672766/survei-aji-jokowi-lebih-populer
Diakses 03/01/2013 Pukul 8:46 WIB
http://www.youtube.com/watch?v=f-zR65eXXPc
Diakses 03/01/2013 Pukul 11:24 WIB
http://www.tempo.co/read/news/2012/08/12/230422972/Relawan-Jokowi---Ahok
Luncurkan-JASMEV
Diakses 03/01/2013 Pukul 11:28 WIB
Quarterly. Vol 19, No.4, p.p: 703-721.

Efek Media Baru Terhadap Opini Publik dalam Demokrasi: Succesing


Candidate In Electoral Campaign

38

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53


Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

ISSN: 23389176

PERAN MEDIA SOSIAL ONLINE


(FACEBOOK) SEBAGAI SALURAN SELF
DISCLOSURE REMAJA PUTRI
Oleh: Ratih Dwi Kusumaningtyas
(Mahasiswa Jurusan Media dan Komunikasi Universitas Airlangga)
Abstrak
Penelitian ini berdasarkan adanya fenomena self disclosure (keterbukaan atau
pengungkapan diri) yang dilakukan remaja putri melalui Facebook. Facebook yang sebenarnya
diciptakan serta diharapkan sebagai media komunikasi positif, ternyata telah memberikan
dampak negatif bagi beberapa remaja putri. Hal itu dibuktikan oleh beberapa kasus pelarian
ataupun penculikan remaja putri yang berawal dari self disclosure remaja putri tersebut melalui
Facebook. Hasil penelitian ialah peran Facebook sangatlah luar biasa sebagai saluran self
disclosure remaja putri di Surabaya, karena mampu membuat informasi tersembunyi di kehidupan
nyata (offline) cenderung diungkapkan pada Facebook (online) secara terbuka oleh Facebooker
(informan penelitian). Remaja putri di Surabaya (informan penelitian) melakukan self disclosure
di Facebook untuk memenuhi kebutuhan menjalin hubungan pertemanan, khususnya pertemanan
lama dan mengaktualisasikan diri. Selain itu, kecenderungan terbesar Facebooker yang terdiri
atas remaja putri di Surabaya, yaitu melakukan self disclosure bersifat negatif. Kesimpulan yang
dihasilkan yakni, remaja putri di Surabaya (informan penelitian) merasa nyaman melakukan self
disclosure di Facebook, karena kebutuhan yang dia harapkan dapat terpenuhi pula oleh Facebook.
Kata kunci : media, facebook, self disclosure, remaja

A. Pendahuluan
Alternatif komunikasi masyarakat modern saat ini menyebabkan tuntutan manusia
terhadap kebutuhan informasi semakin tinggi. Hal itu turut melahirkan kemajuan yang
cukup signifikan dalam bidang teknologi. Peningkatan di bidang teknologi, informasi,
serta komunikasi mengakibatkan dunia tidak lagi mengenal batas, jarak, ruang, dan waktu.
Seseorang dapat dengan mudah mengakses informasi penting tentang fenomena kejadian
di belahan dunia lain, tanpa harus berada di tempat tersebut. Padahal untuk mencapai
tempat itu memakan waktu berjam-jam, namun hanya dengan seperangkat komputer yang
memiliki konektivitas internet, informasi dapat diperoleh dalam hitungan detik.
Internet (interconnection networking) merupakan jaringan komputer yang dapat
menghubungkan suatu komputer atau jaringan komputer dengan jaringan komputer lain,
sehingga dapat berkomunikasi atau berbagi data tanpa melihat jenis komputer itu sendiri.
Seperti yang diketahui internet merupakan bentuk konvergensi dari beberapa teknologi
penting terdahulu, seperti komputer, televisi, radio, dan telepon (Bungin, 2006: 135).
Di era internet ini, jenis media sosial online sangat beragam. Salah satunya yang
paling populer adalah Facebook. Facebook atau situs jejaring sosial ini lahir di Cambridge,
Massachusetts 14 Februari 2004 oleh Mahasiswa Harvard bernama Mark Zuckerberg.
Menurut data di Alexa, Facebook adalah mesin jejaring sosial nomor satu. Dalam urutan
keseluruhan situs di dunia, Facebook menempati rangking ke-5 setelah Yahoo, Google,
YouTube, dan Windows Live. Kepopuleran Facebook di Indonesia, mulai tahun 2008
dengan jumlah spektakuler pengguna Facebook yakni sebesar 618%.
Berdasarkan informasi dari checkfacebook.com, pengguna Facebook mencapai
300 juta orang dan pertambahannya akan terus meningkat di setiap minggunya. Indonesia
39

Ratih Dwi Kusumaningtyas

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53

ISSN: 23389176

tergolong negara ke tujuh terbesar pengguna Facebook, hampir mencapai 12 juta orang
dan jumlah ini terus mengalami pertumbuhan rata-rata 6% per minggu (Juju dan Sulianta,
2010:7).
Dengan melihat data di atas, apabila Facebook dianalogikan sebagai negara,
maka Facebook dapat menjadi negara paling demokratis. Setiap orang diperbolehkan
menjadi warganya, dari anak kecil hingga orang dewasa, anak jalanan hingga professor,
pangangguran sampai komisaris perusahaan. Semua orang dengan status dan lapisan sosial
yang berbeda-beda dapat memasuki Negara Facebook dengan sangat bebas. Facebook
merupakan salah satu produk internet, namun menjadi lebih populer daripada internet
itu sendiri. Banyak orang rela mengakses internet demi Facebook, padahal dahulunya
internet bukan teknologi yang mudah bagi kebanyakan orang. Mereka dengan kelemahan
latar belakang pendidikan, usia, dan status sosial atau ekonomi mau belajar internet demi
mengekspresikan dirinya pada Facebook. Dahulunya, tukang sayur, office boy, pembantu
rumah tangga, pedagang asongan, manula pada tahun 2003 tidak mengenal internet, namun
kini mereka memiliki Facebook (Juju dan Sulianta, 2010:2).
Mark Zuckerberg menulis alasan evolusi Facebook (Juju dan Sulianta, 2010 : 6):
Facebooks mission is to give people the power to share and make the world more open
and connected. In the last four years, weve built new products that help people share more,
such as photos, videos, groups, events, wall posts, status updates, and so on.
(Misi Facebook adalah memberi orang kekuatan untuk berbagi dan membuat dunia lebih
terbuka dan terhubung. Empat tahun yang lalu, kami membangun produk-produk baru
yang menolong orang lebih berbagi, seperti foto-foto, video-video, peristiwa-peristiwa,
menulis pesan di dinding Facebook, meng-update status, dan seterusnya. )

Jadi, misi Facebook adalah power share, semua orang yang terkoneksi di
Facebook dapat saling berbagi dan berinteraksi maka dari itu beberapa fitur dan produk
layanan dibuat (Juju dan Sulianta, 2010 : 6).
Pada dasarnya Facebook dibuat dengan niat baik dan benar-benar mengusung
nilai-nilai pertemanan yang kental. Hal itu dapat dilihat pada fitur dan kemampuan
seperti membuat pertemanan dan terus dapat berhubungan dengan teman-teman atau
relasi, personal whiteboards atau umumnya disebut walls, membuat group, tergabung
ke dalamnya, advertising parties / events, mengirimkan pesan personal layaknya e-mail,
saling meng-upload dan sharing image, campus advertising, membuat pernyataan status.
Dibalik atmosfer positifnya ternyata tidak dapat dipungkiri, Facebook menyimpan
pula sisi negatifnya.Terutama kasus-kasus kejahatan melalui media Facebook yang
menimpa para remaja sebagai korbannya. Maraknya, pelecehan seksual, praktek prostitusi,
tindakan asusila, pertengkaran, penghinaan, pencemaran nama baik, dan cybercrime
lainnya yang turut melibatkan remaja banyak ditemui melalui Facebook.
Ujang, remaja lulusan SMA dilaporkan ke Mapolresta Bogor berkaitan dengan
tuduhan Felly yang menyatakan bahwa Ujang telah menulis kalimat hinaan padanya di
Facebook (okezone.com). Contoh kasus serupa di luar negeri, seorang remaja puteri asal
New York menuntut empat orang mantan teman-teman SMA, orang tuanya, dan Facebook
sebesar 3 juta dolar dikarenakan ia diperolok dan dihina dalam sebuah forum pribadi di
Facebook (suara01.blogspot.com).
Dampak negatif Facebook, dapat pula dibuktikan dengan penelitian baru oleh
kandidat program doctoral dari Ohio State University, Aryn Karpinski dan rekannya Adam
Durberstein dari Ohio Dominican University, menunjukkan nilai rata-rata IPK mahasiswa
yang menjadi anggota Facebook turun secara signifikan dibandingkan mereka yang
tidak bergabung dengan Facebook. Perbandingannya, nilai IPK bagi mahasiswa anggota
Facebook mencapai 3,0-3,5, sedangkan mahasiswa yang bukan anggota Facebook, mampu
mencapai 3,5-4,0. Hasil studi Ohio State University juga menyebutkan bahwa semakin
sering Anda menggunakan Facebook, semakin sedikit waktu Anda belajar dan semakin
buruklah nilai-nilai mata pelajaran Anda. (Solahudin, 2009 : 85)
40

Ratih Dwi Kusumaningtyas

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53

Kasus-kasus berdampak negatif pada Facebook cenderung dialami para remaja.


Hal ini dapat dikarenakan ketidakmatangan seorang remaja dalam mengenali identitas diri
maupun lingkungannya. Dampak negatif bermedia Facebook sangat potensial dialami oleh
remaja puteri. Hal tersebut dapat dipicu karena remaja puteri cenderung lebih memiliki
keterbukaan diri daripada remaja laki-laki. Menurut De Vito (2006 : 63), wanita lebih
sering mengekspresikan perasaannya dan memiliki keinginan yang besar untuk selalu
mengungkapkan dirinya.
Kecenderungan remaja puteri ini dapat membahayakan dirinya, apabila hadir
pihak yang berniat buruk padanya. Melalui Facebook, pihak yang tidak baik juga dapat
memperoleh informasi bahkan berkomunikasi langsung dengan remaja puteri yang
bersangkutan untuk mempelajari sisi lemahnya. Terbukti berdasarkan kasus kejahatan
di Facebook akhir-akhir ini, seorang remaja puteri yang gemar mencurahkan isi hatinya
termasuk kesedihannya, dimanfaatkan oleh seorang pria yang berkedok baik membantu
remaja tersebut keluar dari permasalahannya. Seiring waktu tumbuh perasaan nyaman dari
remaja puteri tersebut, hingga akhirnya mereka memutuskan melakukan kopi darat atau
pertemuan di dunia nyata. Pada akhirnya, hubungan itu berakhir pada pelecehan seksual,
yang pastinya membawa kerugian besar bagi remaja puteri.
Laporan dari pihak Komnas HAM diperoleh lebih dari 100 orang anak hilang akibat
menjalin pertemanan melalui Facebook dengan rata-rata korbannya adalah remaja putri
(smpn2banyuasin.wordpress.com). Berikut ini beberapa kasus Facebook yang menimpa
para remaja putri:
Marietta Nova Triana (14 tahun), siswi salah satu SMP Surabaya yang bertempat
tinggal di Sidoarjo, menghilang dari rumah tantenya di Bumi Serpong Damai, Tangerang
Selatan dan ditemukan bersama Ari, seorang pemuda yang dikenalnya melalui Facebook.
Marietta telah mengalami pencabulan sebanyak tiga kali. (jabodetabek.tvone)
Kasus menghilangnya Stefani Abelina Tiur Napitulu (14 tahun) seorang siswi
SMAN 22 Surabaya yang diduga pergi bersama teman yang dikenalnya dari Facebook,
hingga akhirnya ditemukan di salah satu warnet di Jakarta dalam kondisi kehilangan
handphone. (surabaya.detik.com)
Aisyah Safira (14 tahun), pelajar kelas 3 SMP di Kecamatan Ciledug, Kota Tangerang.
Aisyah Safira menghilang empat hari dan ternyata dibawa lari kekasihnya bernama
Airlangga (21), warga Ngawi, Jawa Timur yang dikenalnya melalui Facebook. Keduanya,
dibekuk polisi di sebuah hotel di Cibitung, Kabupaten Bekasi, beberapa hari lalu. Tapi,
pemuda pengangguran ini sempat menyetubuhi Asiyah sebanyak empat kali. (beritajatim.
com)
Rohmatul Latifah Asyhari (16 tahun), remaja putri warga Desa Mojoduwur, Kecamatan
Mojowarno, Jombang menghilang setelah mendapat ajakan bekerja oleh pria bernama
Anis Asmara (41 tahun) yang dikenalnya dari Facebook. Latifah mengaku dilarikan di
Jakarta dan Bali, bahkan ia telah menikah siri dengan pria tersebut. (beritajatim.com)
Empat pelajar remaja putri dikeluarkan dari SMA Negeri 4 Tanjungpinang Kepulauan
Riau gara-gara ia menghina gurunya melalui Facebook. (metrobalikpapan.co.id).
Menghilangnya Rakhma Safitri (19 tahun), mahasiswi Akademi Kebidanan Bakti Asih
Purwakarta dengan teman yang diduga dikenalnya melalui Facebook. (metrobalikpapan.
co.id).
Sylvia Russrina (23 tahun), mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Semarang, Jawa Tengah turut menghilang bersama seorang pria yang dikenalnya dari
situs jejaring sosial Facebook. (www.detiknews.com)
Dewi Fatimah (14 tahun) seorang siswi di SMP Tangerang selatan ditemukan tewas
dibunuh oleh empat pria yang dikenalnya melalui Facebook. (www.detiknews.com)

Kasus-kasus yang marak dialami remaja melalui Facebook, ditengarai berawal


dari self disclosure (keterbukaan diri) yang dilakukan oleh remaja tersebut. Keterbukaan
diri (self-disclosure) remaja di Facebook dapat berpotensi baik ataupun buruk seperti dua
Peran Media Sosial Online (Facebook) Sebagai Saluran
Self Disclosure Remaja Putri

41

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53

ISSN: 23389176

sisi mata uang yang ditimbulkan Facebook. Bedasarkan pendapat De Vito (2006:61-68),
self-disclosure adalah suatu jenis komunikasi, yaitu pengungkapan informasi tentang diri
sendiri baik yang disembunyikan maupun yang tidak disembunyikan.
Rata-rata kasus melalui Facebook, mayoritas menjadikan remaja putri sebagai
korbannya. Di sisi lain Facebook dapat dipilih sebagai jalur alternatif self disclosure yang
paling banyak digemari oleh remaja putri. Kasus-kasus di atas telah membuktikan hal
tersebut, terlebih lagi pertemanan dalam Facebook tersebut, diawali dengan self disclosure
oleh remaja putri.
Dari latar belakang permasalahan tersebut, akhirnya peneliti menggunakan judul
Peran Media Sosial Online (Facebook) sebagai Saluran Self disclosure Remaja Putri.

B. Kerangka teoritik
1. Self Disclosure
Self disclosure is communication in which you reveal information about yourself, because
self disclosure is a type of communication, it includes not only overt statements but also, for
example,slips of the tongue and unconscious nonverbal signals.it varies from whispering a
secret to a bestfriend to making a public confession on a television talkshow.
(Self disclosure adalah komunikasi yang menyatakan pengakuan diri sendiri, karena self
disclosure adalah jenis komunikasi yang tidak hanya menyertakan pernyataan tetapi juga
terdapat maksud dari bahasa non-verbal, seperti halnya kita membuka rahasia kepada
teman dekat kita dan melakukan pengakuan kepada publik pada acara talk show di
televisi.). (Devito, 2006:103)

Menurut Johnson dalam supraktiknya (2002:14), pengungkapan diri adalah


mengungkapkan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi
serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau yang berguna untuk
memahami tanggapan kita di masa kini tersebut. Sedangkan menurut De Vito (2006:62)
pengungkapan diri adalah jenis komunikasi antarpribadi yang melibatkan sedikitnya satu
orang lain dimana individu mengungkapkan informasi yang rahasia tentang dirinya kepada
orang lain.
Menurut De Vito (2006:61-68), self disclosure adalah suatu jenis komunikasi, yaitu
pengungkapan informasi tentang diri sendiri baik yang disembunyikan maupun yang tidak
disembunyikan. Self disclosure sangat penting dalam komunikasi terutama dalam konteks
membina dan memelihara hubungan interpersonal. Self disclosure dapat membantu
komunikasi menjadi efektif, menciptakan hubungan yang lebih bermakna dan juga bagi
kesehatan untuk mengurangi stress.
Dalam istilah di Indonesia, self-disclosure juga disebut sebagai membuka diri
atau penyingkapan diri. Penyingkapan diri adalah membeberkan informasi tentang diri
sendiri. Banyak hal yang dapat diungkapkan tentang diri kita melalui ekspresi wajah,
sikap tubuh, pakaian, nada suara, dan melalui isyarat-isyarat non verbal lainnya yang tidak
terhitung jumlahnya, meskipun banyak di antara perilaku tersebut tidak disengaja, namun
penyingkapan diri yang sesungguhnya adalah perilaku yang disengaja. Penyingkapan
diri tidak hanya merupakan bagian integral dari komunikasi dua orang;penyingkapan diri
lebih sering muncul dalam konteks hubungan dua orang dari pada dalam konteks jenis
komunikasi lainnya (Tubbs & Moss, 1996 dalam De Vito:2006:12-13).
Rakhmat menuliskan bahwa dengan membuka diri (melakukan self disclosure),
konsep diri menjadi lebih dekat pada kenyataan. Bila konsep diri sesuai pengalaman kita,
maka kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pengalaman dan gagasangagasan baru, lebih cenderung mengindari sikap defensif, dan lebih cermat memandang
diri kita dan orang lain. Hubungan atau konsep diri dan membuka diri dapat dijelaskan
dengan Johari Window sebagai berikut:

42

Ratih Dwi Kusumaningtyas

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53

ISSN: 23389176

DIRI YANG
DIKETAHUI

DIRI YANG
TIDAK
DIKETAHUI

Gambar 1. Johari Window II (Rakhmat, 2000:10)

Sebelah kiri jendela menunjukkan aspek diri yang kita ketahui, sebelah kanan
adalah aspek diri yang tidak kita ketahui. Bila kedua jendela digabung menjadi jendela
johari yang lengkap dengan masing-masing daerah yaitu: terbuka (open), buta (blind),
tersembunyi (hidden), dan tidak diketahui (unknown).

KITA KETAHUI

TIDAK KITA
KETAHUI

PUBLIK

TERBUKA (I)

BUTA (II)

PRIVAT

TERSEMBUNYI
(III)

TIDAK
DIKENALI (IV)

Gambar 2. Johari Window III (Rakhmat, 2000:107)

Penjelasan dari gambar di atas adalah:


Kuadran terbuka (I), mencerminkan keterbukaan seseorang pada dunia secara
umum, keinginan yang untuk diketahui. Kuadran ini mencakup semua aspek diri seseorang
yang diketahui dan tidak diketahui oleh orang lain. Kuadran ini adalah dasar bagi
kebanyakan komunikasi antar dua orang. Kuadran buta (II), meliputi semua hal mengenai
diri seseorang yang dirasakan orang lain tetapi tidak dirasakan sendiri. Mungkin seseorang
cenderung memonopoli percakapan tanpa disadarinya, atau seseorang menganggap dirinya
jenaka tetapi rekannya menganggap gurauannya canggung. Kuadran gelap dapat memuat
setiap rangsangan komunikatif yang tidak disengaja. Kuadran tersembunyi (III), diri
seseorang yang bersangkutanlah yang menentukan kebijaksanaan. Kuadran ini dibangun
oleh semua hal dimana seseorang lebih suka untuk tidak Membeberkannya kepada orang
lain, apakah itu mengenai dirinya ataupun orang lain, seperti gaji, perceraian, perasaan,
dan lain-lain. Pendeknya, kuadran ini mewakili usaha seseorang untuk membatasi masukan
atau informasi yang menyangkut dirinya. Kuadran tidak dikenali (IV), kuadran ini tidak
diketahui oleh diri sendiri, meskipun diketahui orang lain. Kuadran ini mewakili segala
sesuatu tentang diri seseorang yang belum ditelusurinya maupun oleh orang lain semua
sumber yang tidak tersentuh, semua potensi seseorang bagi pengembangan pribadi. (De
Vito, 2006:98)

2. Definisi Peran
Berdasarkan segi bahasa, peran atau Role dalam kamus oxford dictionary ialah
actors part, one task or function, yang berarti aktor, tugas seseorang atau fungsi. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia peran memiliki makna pemain sandiwara (film), perangkat
tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang.
Peran menurut Beck, dkk dalam buku Anna B. Keliat, 1992 merupakan pola
sikap, perilaku, nilai, dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di
masyarakat.
Dari definisi-definisi peran yang berlaku pada manusia di atas, turut berlaku pada
Peran Media Sosial Online (Facebook) Sebagai Saluran
Self Disclosure Remaja Putri

43

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53

ISSN: 23389176

media, khususnya media sosial online (Facebook). Hal itu berarti peran media sosial online
(Facebook), yakni pola, sikap, perilaku, nilai, tujuan yang diharapkan dari media sosial
online (Facebook) berdasarkan tugas, fungsi, ataupun posisinya di masyarakat.

3. Teori Motif Kebutuhan Manusia


Menurut Winkel dan Azwar (dalam DR. Nyayu Khodijah, 2006), motif merupakan
suatu keadaan, kebutuhan, dorongan, atau kekuatan yang berasal dari dalam diri seseorang
baik yang disadari maupun tidak disadari untuk mencapai tujuan tertentu.
Maslow membagi dorongan atau kebutuhan-kebutuhan universal yang dibawa
individu sejak lahir dalam lima tingkatan dari yang terendah hingga tertinggi dalam hirarki
kebutuhan (need hierarchy). Susunan dari tingkatan paling rendah sampai paling tinggi,
yakni (Effendy, 2003 : 290) :
a. Kebutuhan-kebutuhan fisiologis (psysiological needs)
Kebutuhan yang paling dasar, kuat, dan jelas adalah kebutuhan untuk
mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan untuk makan, minum, berteduh,
oksigen, tidur, seks, dan sejenisnya.
b. Kebutuhan-kebutuhan rasa aman (safety needs)
Terdiri atas kebutuhan-kebutuhan akan jaminan, stabilitas, perlindungan, ketertiban,
bebas dari rasa takut dan kecemasan.
c. Kebutuhan-kebutuhan rasa memiliki dan cinta (Love needs)
Pada umumnya, setiap orang mengharapkan hubungan yang penuh kasih sayang
dengan orang lain, lebih khusus lagi kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki di tengah
kelompoknya. Dalam hubungan ini memberi dan menerima cinta sama pentingnya bagi
individu.
d. Kebutuhan-kebutuhan penghargaan (esteem needs)
Maslow membagi kebutuhan akan penghargaan menjadi dua, yaitu penghargaan
terhadap diri sendiri dan penghargaan dari orang lain. Penghargaan diri sendiri atau harga diri
meliputi kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi,
kemandirian, dan kebebasan. Sedangkan penghargaan dari orang lain, yaitu prestise,
pengakuan, penerimaan, perhatian, kedudukan, atau keberhasilan dalam masyarakat,
semua sifat dari bagaimana orang lain berpikir dan bereaksi terhadap seseorang.
e. Kebutuhan-kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs)
Kebutuhan yang paling tinggi adalah kebutuhan aktualisasi diri. Aktualisasi diri
didefinisikan sebagai perkembangan yang paling tinggi dari semua bakat, pemenuhan
semua kualitas dan kapasitas, sesuai dengan potensi seseorang untuk menjadi. Atau
dengan kata lain aktualisasi diri merupakan kebutuhan psikologis dalam menumbuhkan,
mengembangkan, dan menggunakan kemampuannya untuk menjadi diri sendiri sesuai
dengan kemampuannya.

4. Teori Determinisme Teknologi


Teori determinisme teknologi dicetuskan pertama kali oleh Marshall Mc Luhan
dengan pernyatannya berupa the medium is message artinya bahwa dampak yang paling
penting dari media komunikasi ialah bahwa media komunikasi mempengaruhi kebiasaan
persepsi dan berpikir kita (Severin dan Tankard, 2005:536).
Mc Luhan menggolongkan sejarah kehidupan manusia ke dalam empat periode:
a. The tribal age (era suku atau purba)
Pada era purba atau era suku zaman dahulu, manusia hanya mengandalkan indera
pendengaran dalam berkomunikasi. Komunikasi pada era itu hanya mendasarkan diri
pada narasi, cerita, dongeng tuturan, dan sejenisnya. Jadi, telinga adalah raja ketika itu,
hearing is believing, dan kemampuan visual manusia belum banyak diandalkan dalam
komunikasi. Era primitif ini kemudian tergusur dengan ditemukannya alfabet atau huruf.
b. The literate age (era literal/huruf)
44

Ratih Dwi Kusumaningtyas

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53

Semenjak ditemukannya alfabet atau huruf, maka cara manusia berkomunikasi


banyak berubah. Indera penglihatan kemudian menjadi dominan di era ini, mengalahkan
indera pendengaran. Manusia berkomunikasi tidak lagi mengandalkan tuturan, tapi lebih
kepada tulisan.
c. The print age (era cetak)
Sejak ditemukannya mesin cetak menjadikan alfabet semakin menyebarluas
ke penjuru dunia. Kekuatan kata-kata melalui mesin cetak tersebut semakin merajalela.
Kehadiran mesin cetak, dan kemudian media cetak, menjadikan manusia lebih bebas lagi
untuk berkomunikasi.
d. The electronic age (era elektronik).
Era ini juga menandai ditemukannya berbagai macam alat atau teknologi
komunikasi. Telegram, telpon, radio, film, televisi, VCR, fax, komputer, dan internet.
Manusia kemudian menjadi hidup di dalam apa yang disebut sebagai global village.
Media massa pada era ini mampu membawa manusia mampu untuk bersentuhan dengan
manusia yang lainnya, kapan saja, di mana saja, seketika itu juga.
Mc Luhan berpendapat, transisi antar periode tadi tidaklah bersifat gradual atau
evolusif, akan tetapi lebih disebabkan oleh penemuan teknologi komunikasi.
Teori determinisme teknologi menjelaskan bahwa teknologi media membentuk
individu bagaimana cara berpikir dan berperilaku dalam masyarakat. Teknologi tersebut
akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi
lain. (Nurudin, 2003 : 174).

5. Computer Mediated Communication (CMC)


Bentuk dari perkembangan teknologi komunikasi yang dewasa ini sering digunakan
oleh khalayak ialah komunikasi dengan menggunakan perantaraan media komputer atau
yang biasa disebut Computer Mediated Communication (CMC) yaitu ruang tanpa batas
sebagai bentuk dari interaksi manusia di antara dua atau lebih jaringan komputer. Saat
komunikasi tradisional berpindah ke komunikasi yang terjadi dengan format media
komputer, maka komunikasi tersebut juga menggunakan bentuk lain dari interaksi berbasis
teks seperti penggunaan pesan teks. Penelitian pada (CMC) lebih difokusan pada dampak
sosial dari perbedaan teknologi komunikasi dengan media komputer. Banyak studi yang
telah ada melibatkan internet berbasis jaringan sosial yang didukung oleh software sosial.
(Fidler, 2003:57)
Penggabungan teknologi telekomunikasi dan komputer menjadi komunikasi
berbasis komputer yang memiliki konsekuensi tertentu seperti dinyatakan oleh D. Beckers
dalam Raharjo (2002 : 95):
But the merge of telecommunication and computer, the computer mediated communication
(CMC) might have even bigger concequences than the telephone and the television,
because of its unique characteristics. In the first place the ease to generate and distribute
data area unknown to any earlier technique based on this data can be generated, for
example searching-mechanism. Second, computer mediated communication (CMC) is not
limited to only text, but also transport picture, audio, and video. Third, computer mediated
communication (CMC) is the first many-to-many medium. For example the telephone can
only be used by two percent of time (one-to-one) and newspaper send information from
one source to many (one-to-many). Last computer mediated communication (CMC) can
be used both synchronies (for example for a telephone call the participants have to use the
telephone at the same time) as a syncrhronous (for example a letter, that is written before
hand and is read latter).
(Tetapi menggabungkan telekomunikasi dan komputer (CMC) mungkin memiliki
konsekuensi yang besar dibandingkan dengan telepon dan televisi. Karena (CMC) memiliki
karakteristik yang unik. Pertama: meringankan, menghasilkan, dan mendistribusikan data
sebagai contoh: mekanisme pencarian data yang lebih mudah. Kedua: (CMC) tidak hanya
terbatas pada teks, tetapi juga dapat mengirimkan gambar, suara, dan video. Ketiga:
Peran Media Sosial Online (Facebook) Sebagai Saluran
Self Disclosure Remaja Putri

45

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53

ISSN: 23389176

(CMC) adalah media pertama yang dapat mengirimkan pesan dari banyak orang kepada
beberapa orang, sebagai contoh telepon hanya mengirimkan pesan dari satu orang ke
satu orang yang lain , dan surat kabar mengirimkan informasi dari satu sumber kepada
banyak orang. Terakhir: (CMC) dapat digunakan mensinkronisasi (sebagai contoh, pada
panggilan telepon yang menelepon menggunakan telepon tersebut pada waktu yang sama)
sebagai sebuah sinkronisasi (contohnya, surat ditulis dan dibaca nanti).

6. Remaja Putri
Remaja bahsa aslinya adolescence, berasal dari bahasa latin yang artinya tumbuh
untuk mencapai keuntungan. Anak dianggap sudah dewasa bila sudah mampu mengadakan
reproduksi. Perkembangan lebih lanjut istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti
yang luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Secara psikologis,
remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat
dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang
yang lebih tua melainkan merasa sama atau paling tidak sejajar. Memasuki masyarakat
dewasa ini mengandung banyak aspek afektif, lebih kurang dari usia puberstas. Menurut
Desmita dalam bukunya psikologi perkembangan remaja menyatakan bahwa batasan
remaja untuk masyarakat Indonesia adalah usia 12 sampai dengan 21 tahun dan belum
menikah. (Desmita, 2005:190)
Dalam tulisan Psikologi Perkembangan (Ahmadi Abu dan Munawar, 2005),
menjelaskan pemahaman remaja sebagai berikut:
Remaja sebagai periode transisi antara anak-anak ke masa dewasa. Remaja juga
merupakan restrukturisasi kesadaran atau masa penyempurnaan dari perkembangan dan
puncak perkembangan ditandai dengan perubahan kondisi entropy ke kondisi negative
entropy. Entropy adalah keadaan kesadaran manusia belum tertata rapi walaupun
isinya sudah banyak (pengetahuan, perasaan). Istilah entropy ini sebetulnya dipinjam
dari ilmu alam (fisika) dan ilmu komunikasi (khususnya teori komunikasi). Dalam ilmu
alam entropy berarti keadaan tidak ada sistem yang tertentu dari suatu sumber energi
sehingga sumber tersebut menjadi kehilangan energinya. Dalam ilmu komunikasi entropy
berarti keadaan tidak ada pola tertentu dari rangsang-rangsang (stimulus) yang diterima
seseorang, sehingga rangsang-rangsang tersebut menjadi kehilangan artinya. Entropy
secara psikologik berarti isi kesadaran masih bertentangan, saling tidak berhuhungan
sehingga saling mengurangi kapasitas kerjanya dan menimbulkan pengalaman yang
kurang menyenangkan bagi orang yang bersangkutan.

Pernyataan di atas mencerminkan karakter remaja dengan ketidakjelasan batasbatas emosi yang tidak menentu dan terus menerus merasakan pertentangan sebagai bentuk
kelabilan. Pada episentrum.com menyatakan potensi kelabilan remaja:
remaja cenderung labil dan berlaku sesuai keinginan hatinya walaupun dapat merugikan
orang lain. Ketidakstabilan emosi yang ada di diri remaja pada masa-masa ini membuat
diri remaja merasa untuk mengenal, mengerti, memahami diri maupun orang lain. Konflik
ini muncul dalam bentuk ketegangan emosi yang terus meningkat dalam diri anak muda,
bercampur dengan hal-hal yang berada di luar dirinya dan menjadi suatu keutuhan.
Perasaan-perasaan yang dominan adalah ingin main-main, loncat-loncat, dan selalu
membuat tingkah nakal.

Meski demikian,dalam dunia remaja antara remaja putra dan putri memiliki
perbedaan bahwa remaja putri mempunyai kepercayaan diri yang lebih rendah dibanding
remaja putra. Jika merasa bahwa apa yang ada pada diri mereka tidak cukup menarik
untuk diperhatikan, maka hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan diri mereka dalam
46

Ratih Dwi Kusumaningtyas

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53

suatu lingkungan. Sehingga remaja putri menyadari bahwa untuk diterima oleh lingkungan
sosial pergaulannya, ia ingin dianggap anak gaul, stylish, modern, dan keren. Hal tersebut
dapat terjadi karena pada masa remaja, menyesuaikan diri dengan standar kelompok jauh
lebih penting bagi anak yang lebih besar daripada individualitas sehingga penyesuaian diri
pribadi dan penyesuaian sosial sangat dipengaruhi oleh sikap teman-teman sebaya terhadap
perilaku kelompok (Hurlock, 1992:220).
Ketertarikan remaja dalam hal asmara juga kuat. Kecenderungan kuat intensitas
asmara (cinta) bagi remaja juga diperkuat dalam Psikologi Perkembangan (Ahmadi Abu &
Munawar, 2005):
Pada masa ini pubertas seorang remaja tidak lagi hanya bersifat reaktif, tetapi juga anak
mulai aktif mencapai kegiatan dalam mencari dirinya, mencari pedoman hidup, mencoba
segala sesuatu dengan semangat yang menyala-nyala. Tetapi ia sendiri belum memahami
akan Hakikat dari sesuatu yang dicari atau ditemukannya itu. Masa ini disebut dengan
masa strumund drang ( badai dan dorongan ).Pada kegiatan strumund drang anak puber
mulai mengenal segala macam corak kehidupan masyarakat tetapi anak belum sempurna
pengetahuannya untuk membedakan ataupun menyeleksinya. Dan hal ini banyak terjadi
dalam percintaan remaja. Cinta menjadi salah satu persoalan remaja yang penting dan
penuh misteri, karena di masa ini remaja mulai tertarik dengan lawan jenis. Tidak sedikit
remaja yang kesulitan dalam menjalani tugas perkembangan ini. Kegagalan bercinta
pada masa remaja sering mempengaruhi perkembangan kepribandiannya dan juga hari
depannya jika remaja itu tidak bisa mengontrol emosinya.

7. Pemahaman Internet
Internet (interconnection networking) merupakan jaringan komputer yang dapat
menghubungkan suatu komputer atau jaringan komputer dengan jaringan komputer lain,
sehingga dapat berkomunikasi atau berbagi data tanpa melihat jenis komputer itu sendiri.
Seperti yang diketahui internet merupakan bentuk konvergensi dari beberapa teknologi
penting terdahulu, seperti komputer, televisi, radio, dan telepon (Bungin, 2006: 135).
Internet dapat diartikan sebagai sekumpulan jaringan yang terdiri atas jutaan
komputer yang dapat berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan suatu aturan
komunikasi jaringan komputer sama. Pada dasarnya internet merupakan jaringan komputer
sangat besar yang terbentuk dari jaringan-jaringan kecil di seluruh dunia dan saling
terhubung satu sama lain. (Raharjo, 2002: 60)
Internet memiliki karakteristik unik dan mampu mengadakan interaktif luas.
Internet mempunyai karakteristik interactivity menurut Rafaeli dalam Jaffe etal (1995:3),
internet berpotensi disebut interpersonal mass medium (media massa interpersonal).
Faktor interpersonal ini membuat CMC memiliki kapabilitas sebagai media massa pertama
yang bersifat many-to- many. Peranan internet sebagai media baru dengan keunggulan
interaktif dan membangun hubungan secara personal, kelompok maupun massa.
Melalui internet, jarak, ruang, serta waktu bukan lagi menjadi penghalang untuk
berkomunikasi sesuai pernyataan Harold Adam Raharjo (2002: 97):
Introduction of new medium of communication sets in motion deep-routed changed in
important societal institutions by influencing orientations about time and space. Writing
more than a decade before The medium is the message became a part of popular culture.
(Memperkenalkan media baru komunikasi, yang merubah tatanan penting interaksi sosial
dengan mempengaruhi orientasi mengenai ruang dan waktu. Tertulis beberapa dekade
sebelumnya media adalah pesan menjadi bagian dari budaya yang populer).

8. Facebook
Facebook merupakan situs jejaring sosial yang dapat menggabungkan jaringan
yang diorganisir oleh kota, tempat kerja, sekolah, dan daerah, serta saling berinteraksi dan
berhubungan dengan orang lain yang merujuk kepada suatu komunitas.
Peran Media Sosial Online (Facebook) Sebagai Saluran
Self Disclosure Remaja Putri

47

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53

ISSN: 23389176

Facebook terletak pada kompleksitas dan simplisitas. Layanan Facebook hadir


dengan berbagai macam fitur yang dapat dikatakan komplit. Semua ada di Facebook, mulai
dari sekadar update status, berbagi link, berbagi gambar, bebagi video, berkirim pesan,
blogging (note), chatting. Selain itu, Facebook juga menyediakan fitur undangan (Invitation),
cause, quiz, group, dan lain-lain. Facebook seolah-olah menawarkan konsep one-stopvisit analogi dari konsep belanja one-stop-shopping. Facebook turut memberikan
fasilitas bagi penggunanya untuk mencapai banyak motif yang dapat menunjang eksistensi
Facebooker di dalamnya. Hal ini dinyatakan Ellison, Steinfeld, et al (2007):
Facebook merupakan aplikasi jejaring sosial online yang membuat penggunanya dapat
menampilkan diri mereka dalam profil online, menambah teman yang dapat memposting komentar serta saling melihat profil satu sama lain. Para anggotanya juga dapat
bergabung dengan grup virtual berbasis kesamaan minat, seperti kelas, hobi, minat, selera
musik dan status hubungan romantis melalui profil mereka.

Selain itu, Facebook memiliki keunikan sebagai jejaring sosial yang lebih
memudahkan menjalin hubungan pertemanan lama. Hal tersebut dinyatakankan juga oleh
Boyd dan Ellison (2007):
Keunikan situs jejaring sosial adalah bukan karena semata-mata media ini mampu
membuat individu bertemu orang tak dikenal (strangers), namun lebih untuk berkomunikasi
dengan orang-orang yang memang telah menjadi bagian dari perpanjangan jejaring sosial
mereka.

Sebuah riset menunjukkan, rata-rata pengguna Facebook menghabiskan sekitar


30 menit dalam satu hari hanya untuk melihat status teman jaringan mereka. Status pada
Facebook berisi suatu informasi dari Facebooker-nya, terkadang informasi tersebut bersifat
pribadi namun berubah sifat menjadi informasi publik saat di Facebook. Hal itu terjadi pula
pada fitur profile di Facebook. Ini dibenarkan oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan:
Di Facebook, tingkat visibilitas untuk melihat profil pengguna lainnya cukup tinggi. Para
pengguna yang merupakan bagian dari jaringan yang sama dapat bebas melihat profil
satu sama lain, kecuali jika si pemilik profil memutuskan untuk menutup profil mereka,
membatasi hanya dapat dilihat oleh lingkaran teman terdekat saja. (Ellison, Steinfeld, et
al, 2007)

Dilansir melalui AFP, Senin (16/2/2009), para pengguna Facebook telah


menghabiskan waktu mem-browsing Facebook setidaknya selama 24 menit dalam satu hari
melalui ponsel. Sedangkan saat menggunakan komputer, mereka mampu menghabiskan
waktu 27,5 menit dalam sehari. (okezone.com)
Facebook memiliki sederet fitur yang memungkinkan penggunanya berinteraksi
langsung (real time), seperti chatting, tag photo, blog, game, update status what are you
doing now. Situs jejaring sosial ini telah membantu banyak orang tidak sekedar mencari
teman baru, tetapi juga menemukan sahabat lama. (Tempo Interaktif)
Di sisi lain, Facebook juga memiliki karakter media sosial online. Facebook
adalah media yang bersifat anonimitas, yakni suatu keadaan dimana seseorang tidak
dapat diidentifikasi. Anonimitas ini mendorong ke arah timbulnya disembodiment, sebuah
identitas yang tidak tergantung atau dibatasi oleh tampilan fisik. Seperti yang diungkapkan
oleh Turkle (1995), Anda dapat menjadi siapa saja di internet. Anda dapat sepenuhnya
menciptakan identitas baru sesuai keinginan. (Thurlow, Lengel & Tomic, 2007:99)
Di dalam Facebook terdapat kecenderungan Facebooker membuka informasi
pribadi tentang dirinya. Hal tersebut dikuatkan melalui hasil penelitian oleh Acquisti and
Gross (2006), Lampe, Ellison, and Steinfield (2007), Stutzman (2006) yang menunjukkan
48

Ratih Dwi Kusumaningtyas

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53

ISSN: 23389176

bahwa para pengguna Facebook membuka lebar informasi tentang diri mereka, dan tidak
sadar dengan opsi privasi mengenai siapa yang dapat menyaksikan profil mereka. (Acquisti
and Gross, 2006 dalam Dwyer, et.al, 2007)

C. Unit Analisis Data


Pada penelitian ini, informan penelitian merupakan remaja putri di Surabaya berusia
12 sampai 21 tahun. Pemilihan Kota Surabaya, dikarenakan tingkat kejahatan melalui
Facebook (pada pendahuluan) banyak terjadi di Surabaya. Remaja putri di Surabaya
tersebut adalah pengguna aktif Facebook, artinya remaja putri yang memiliki akun pribadi
di Facebook serta melaukan aktivitas online di Facebook rata-rata setiap hari minimal
selama 30 menit per hari. Selain itu, peneliti memilih fokus penelitian fitur Facebook
pada konten profil Facebooker yang terdiri atas wall (status) notes konten tersebut terdiri
atas pesan teks (tertulis). Fitur-fitur sejenis itu memiliki prosentase sangat tinggi sebagai
media komunikasi dan informasi remaja serta berpotensi sebagai saluran self disclosure
remaja. Pesan yang disampaikan dalam bentuk bahasa dan tulisan (teks) melalui fitur-fiitur
(wall (status) dan notes) di Facebook, diteliti agar mampu mendeskripsikan motif, jenis,
sifat, serta proses self disclosure yang dilakukan oleh Facebooker yang berperan sebagai
informan penelitian (sumber data dalam penelitian).

D. Teknik Analisa Data


Patton mengungkapkan bahwa analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Bogdan dan
Taylor mendefinisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk
menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti yang disarankan olrh data dan
sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis itu. (Moleong, 2001:103)
Terdapat langkah-langkah dalam menganalisis data (Moleong, 2001:105):
1. Data yang terkumpul dikategorikan dan dipilah-pilah menurut jenis datanya.
2. Melakukan seleksi terhadap data yang dianggap data inti yang berkaitan langsung
dengan permasalahan dan yang hanya merupakan data pendukung.
3. Menelaah, mengkaji, dan mempelajari lebih dalam data tersebut kemudian melakukan
interpretasi data untuk mencari solusi dalam permasalahan yang diangkat dalam
penelitian.
Pada penelitian kualitatif ini, analisis data dilakukan semenjak awal penelitian.
Pengamatan dilaksanakan di Facebook sebuah situs jejaring sosial di dunia maya yang
banyak digunakan oleh netter (pengguna internet) sebagai saluran self disclosure melalui
cyberspace. Aktivitas self disclosure yang terjadi di dalamnya diobservasi melalui pesan
(bahasa dan tulisan) yang disampaikan remaja putri di Surabaya pada fasilitas-fasilitas
komunikasi dan informasi (wall (status) dan notes) yang tersedia pada Facebook.

E. Gambaran Informan Penelitian


Dalam penelitian ini informan yang berperan sebagai subjek penelitian, tidak dibatasi
dan ditentukan jumlahnya. Kriteria menjadi informan adalah remaja putri di Surabaya yang
memiliki akun pribadi di Facebook. Informan berusia 12-21 tahun. Informan seringkali
melakukan self disclosure dengan para Facebooker di media sosial online (Facebook)
dengan memanfaatkan fitur wall dan notes. Adapun self disclosure (keterbukaan diri) yang
dilakukan secara sadar atau tidak sadar merupakan informasi pribadi yang disembunyikan
maupun tidak disembunyikan. Self disclosure yang dilakukan remaja putri dalam penelitian
ini dipengaruhi oleh referensi dan pengalaman pribadi remaja putri yang bersangkutan.
Setelah melakukan proses penelitian, peneliti menemukan lima informan penelitian.
Persamaan dari semua informan adalah remaja putri yang masih menempuh pendidikan di
Surabaya.
Peran Media Sosial Online (Facebook) Sebagai Saluran
Self Disclosure Remaja Putri

49

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53

ISSN: 23389176

F. Motif Remaja Putri di Surabaya Memiliki Akun Pribadi di


Facebook
1. Untuk Menjalin Hubungan Pertemanan Lama
Media sosial online (Facebook), pada dasarnya merupakan situs jejaring sosial
dengan karakteristik unik yang dapat membuat penggunanya menggunakan motif khusus
untuk menjalin hubungan pertemanan lama. Hal tersebut dinyatakankan juga oleh Boyd
dan Ellison (2007):
Keunikan situs jejaring sosial adalah bukan karena semata-mata media ini mampu
membuat individu bertemu orang tak dikenal (strangers), namun lebih untuk berkomunikasi
dengan orang-orang yang memang telah menjadi bagian dari perpanjangan jejaring sosial
mereka.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang menggunakan jejaring


sosial online, termasuk Facebook tidak hanya bertujuan menjalin hubungan dengan orang
baru yang tidak dikenal sebelumnya. Melainkan lebih banyak Facebooker memiliki motif
menjalin pertemanan lamanya kembali melalui Facebook.

2. Untuk Aktualisasi Diri


Motif informan lain memiliki akun pribadi Facebook dalam penelitian ini, sebagai
media aktualisasi diri. Informan penelitian yang merupakan remaja putri memiliki rentang
usia yang berada pada posisi pencarian identitas diri atau berupaya untuk menemukan
dan menjadi dirinya yang sebenarnya. Terlebih lagi menurut Soekanto (2003:372), remaja
seringkali dikenal dengan fase mencari jati diri atau fase topan dalam badai. Pada
fase ini, perkembangan tengah berada pada masa amat potensial, baik dilihat dari aspek
kognitif, emosi, maupun fisik. Hal tersebutlah yang pada akhirnya menjadi alasan bahwa
remaja membutuhkan media untuk menumbuhkembangkan potensi dirinya sesuai dengan
keinginan serta kemampuannya. Dengan kata lain, remaja khususnya pada penelitian ini
adalah remaja putri, membutuhkan media aktualisasi diri. Dalam Effendy (2003 : 290),
aktualisasi diri merupakan kebutuhan psikologis dalam menumbuhkan, mengembangkan,
dan menggunakan kemampuannya untuk menjadi diri sendiri sesuai dengan kemampuannya.
Beberapa remaja putri di Surabaya yang sekaligus bertindak sebagai informan
penelitian, memiliki motif mengaktualisasikan dirinya melalui Facebook. Bagi mereka
Facebook dapat membantu mengungkapkan dirinya secara utuh, sehingga jati dirinya
mulai terlihat.
a. Peran Facebook sebagai Saluran Self Disclosure
Meninjau motif informan penelitian di atas, mereka memiliki Facebook untuk
menjalin pertemanan lama dan mengaktualisasikan dirinya. Kedua motif itu jelas
mengindikasikan adanya keterlibatan self disclosure (keterbukaan diri) melalui Facebook.
Selain itu, remaja putri sebagai wanita yang ditengarai memiliki kecenderungan
kuat melakukan self disclosure, sesuai pernyataan Devito (2006:63), wanita lebih
sering mengekspresikan perasaannya dan memiliki keinginan yang besar untuk selalu
mengungkapkan dirinya.
Dalam menjalin pertemanan dipastikan Facebooker menyampaikan informasi
pribadi tentang dirinya, misalnya menyampaikan identitas pribadinya. Sebab seseorang
kemungkinan besar tidak akan menjalin pertemanan dengan orang yang tidak dikenalnya
sama sekali, sebagaimanan penjelasan riset di atas. Tidak dipungkiri, bahwa identitas
seseorang seringkali menjadi daya tarik orang lain mau berteman dengannya. Kecenderungan
Facebooker membuka informasi pribadi tentang dirinya dikuatkan melalui hasil penelitian
50

Ratih Dwi Kusumaningtyas

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53

oleh Acquisti and Gross (2006), Lampe, Ellison, and Steinfield (2007), Stutzman (2006)
yang menunjukkan bahwa para pengguna Facebook membuka lebar informasi tentang diri
mereka, dan tidak sadar dengan opsi privasi mengenai siapa yang dapat menyaksikan profil
mereka. (Acquisti and Gross, 2006 dalam Dwyer, et.al, 2007)
Kecenderungan pengungkapan informasi pribadi tersebut turut terjadi pada
Facebooker atau informan penelitian yang memiliki motif untuk mengaktualisasikan
diri lewat Facebook. Ketika seseorang memutuskan untuk mengaktualisasikan dirinya di
Facebook, maka secara otomatis orang tersebut sedikit banyak melakukan pengungkapan
informasi pribadinya. Terlebih lagi berdasarkan motif di atas, informan penelitian lebih
banyak melakukan aktualisasi diri melalui tulisan-tulisan di wall (status) dan notes.
Menurut mereka, membuat tulisan di wall atau notes dapat membebaskan ekspresi maupun
pengungkapan diri mereka. Indikasi keterlibatan self disclosure tersebut, dibenarkan oleh
seluruh informan penelitian melalui pernyataannya kepada peneliti melalui wawancara
penelitian.
Dari hasil wawancara penelitian itu, peneliti menemukan tiga kecenderungan sifat
self disclosure yang dilakukan informan di Facebook, yakni bersifat positif, negatif, dan
netral. Penggolongan sifat self disclosure tersebut merupakan korelasi dari hasil wawancara
penelitian dengan pengertian sifat-sifat self disclosure. Berikut ini adalah sifat-sifat self
disclosure informan penelitian melalui Facebook berdasarkan wawancara penelitian :
b. Self disclosure bersifat positif
Self disclosure bersifat positif adalah cara keterbukaan diri informan (Facebooker)
dalam menyampaikan pesan positif yang bertujuan memberikan dampak positif di
Facebook bagi informan sendiri maupun teman Facebooker-nya, misalnya menciptakan
motivasi yang membangun melalui tulisan di wall (status) atau notes, menuliskan pesan
yang dapat menimbulkan kesenangan atau kegembiraan.
c. Self disclosure bersifat negatif
Self disclosure negatif ialah cara pengungkapan diri informan (Facebooker),
mengarah pada motif untuk menjadikan Facebook sebagai media penyampaian pesan
negatif yang melibatkan luapan emosi (perasaan negatif), contohnya menyindir, menghina
atau menghujat, berkata kasar, dan ungkapan negatif lainnya.
d. Self disclosure bersifat netral
Sementara self disclosure tergolong bersifat netral merupakan cara keterbukaan
atau pengungkapan diri informan (Facebooker) melalui Facebook yang pesannya hanya
dipahami oleh Facebooker itu sendiri, sehingga pesan yang disampaikannya tidak
memberikan dampak signifikan positif ataupun negatif bagi pihak tertentu. Contohnya,
pengungkapan isi hati Facebooker yang hanya dipahami maknanya oleh Facebooker itu
sendiri, tanpa menuai respon positif atau negatif bagi pihak lain.
Facebook masih menjadi saluran self disclosure yang nyaman bagi Facebookernya. Maka Facebook senantiasa menjadi media membuka atau mengungkapkan diri bagi
para informan penelitian yang merupakan Facebooker remaja putri di Surabaya. Hanya
saja kualitas serta kuantitas self disclosure setiap orang maupun setiap waktu tidaklah
sama dan cenderung berubah-ubah. Seperti pembahasan di atas, self disclosure terkadang
bersifat positif, negatif, atau netral. Selain itu, kualitas dan kuantitas juga ditentukan oleh
derajat self disclosure seseorang. Ada orang yang terlalu membuka diri disebut sebagai
over disclosure, yakni menginformasikan segala hal tentang dirinya kepada siapapun.
Terdapat juga orang yang terlalu menutup diri atau under disclosure, yaitu jarang sekali
membicarakan tentang dirinya kepada orang lain. Pada umumnya orang lebih banyak berada
diantara kedua ekstrim tersebut, mereka memilih topik-topik mana yang diungkapkan dan
kepada siapa mereka akan mengungkapkannya. (Devito, 1999 : 84-85)

G. Kesimpulan
Peran Media Sosial Online (Facebook) Sebagai Saluran
Self Disclosure Remaja Putri

51

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53

ISSN: 23389176

Penelitian peran media sosial online (Facebook) sebagai saluran self disclosure
remaja putri di Surabaya telah membuktikan bahwa Facebook berperan penting dalam
mendorong Facebooker remaja putri di Surabaya (informan penelitian) mengungkapkan
atau membuka dirinya melalui Facebook. Peran penting self disclosure di Facebook,
terlihat dengan adanya informasi tersembunyi di kehidupan nyata (offline) cenderung
diungkapkan pada Facebook (online) secara terbuka oleh Facebooker. Kecenderungan
terbesar Facebooker dalam melakukan self disclosure di Facebook, yakni melakukan
self disclosure dengan cara pengungkapan pesan negatif. Hal itu dikarenakan Facebook
merupakan saluran self disclosure yang benar-benar bebas tanpa batas, sehingga mereka
lebih berani melakukan self disclosure di dalamnya.
Facebooker (informan penelitian) tersebut tetap memilih eksis dalam membuka
diri di Facebook. Hal itu disebabkan adanya motif utama Facebooker untuk menjalin
hubungan pertemanan lama dan aktualisasi diri melalui Facebook. Kedua motif tersebut
jelas menerapkan self disclosure di Facebook, karena menjalin hubungan pertemanan lama
maupun aktualisasi diri pasti mengungkapkan informasi pribadi (self disclosure). Pada
akhirnya, Facebooker tetap nyaman di Facebook, karena motif utama yang diharapkan
dapat terpenuhi. Facebooker pun terus menjadikan Facebook sebagai saluran self disclosure
baginya.

H. Saran
Berikut saran yang disampaikan peneliti dalam penelitian ini, antara lain:
a. Hendaknya para remaja putri di Surabaya dapat meningkatkan kesadaran serta
kepahaman dirinya sebagai individu yang segera beranjak dewasa. Kedewasaan yang
tidak hanya pda fisik, melainkan jiwa dan pemikiran. Oleh karena itu, remaja putri
harus mengutamakan etika positif dalam setiap aktivitas komunikasinya di Facebook
(media sosial online) ataupun dunia nyata (offline).
b. Facebook merupakan media sosial online yang melibatkan banyak individu, hingga
dapat disebut publik. Karakter publik adalah kompleks dengan kebaikan serta
keburukannya. Maka sebaiknya Facebooker tidak mudah menyampaikan ungkapan
diri, luapan emosi, maupun informasi pribadi dalam Facebook. Hal itu sangat penting
demi keamanan, kenyamanan, dan keleluasaan Facebooker itu sendiri.
c. Inovasi teknologi dan komunikasi semakin maju dan berkembang, terutama penggunaan
internet mulai menjadi bagian utama komunikasi. Hal itu sebaiknya mampu memotivasi
kajian ilmu komunikasi agar lebih banyak mengarahkan kajiannya pada lingkup
teknologi serta komunikasi.

DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan, 2007. Sosiologi Komunikasi (Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat), Jakarta : Kencana.
Devito, Joseph A, 2006. Komunikasi Antar Manusia, Jakarta : Professional Books.
Effendy, Onong, Uchjana, 2000. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Bandung : PT
Remaja Rosdakarya.
., 2003. Ilmu, Teori, dan Praktek Komunikasi, Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Juju, Dominikus, dan Sulianta, Feri, 2010. Hitam Putih Facebook, Jakarta :PT Elex Media
Komputindo.
Moleong, Lexy J, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy, 2000. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Nurudin, 2007. Pengantar Komunikasi Massa, Jakarta : PT Raja Grafindo.
Rakhmat, Jalaluddin, 2001. Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.,
52

Ratih Dwi Kusumaningtyas

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 39-53

ISSN: 23389176

..2005. Psikologi Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


Rogers, Everett M, 1986. The New Media in Society, New York : The Free Press.
Severin, Tankard Jr, 2005. Teori Komunikasi, Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Shedletsky, Leonard J, dan Aitken, Joan W, 2004. Human Communication on The Internet,
USA : Pearson.
Solahudin, 2009. Gara-gara Facebook, Yogyakarta : Leutika.
Soekanto, Soerjono, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Supratiknya, 2008. Komunikasi Antar Pribadi, Yogyakarta : Kanisius.
Tubbs, Stewart, dan Moss, Sylvia, 2001. Human Communication: Prinsip-Prinsip Dasar,
Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Non Buku (Internet):


www.mata-maya.com
techno.okezone.com
www.detiknews.com
metrobalikpapan.co.id
beritajatim.com
suara01.blogspot.com
surabaya.detik.com
jabodetabek.tvone
smpn2banyuasin.wordpress.com
www.asburyseminary.edu
www.tribunnews.com
Quarterly. Vol 19, No.4, p.p: 703-721.

Peran Media Sosial Online (Facebook) Sebagai Saluran


Self Disclosure Remaja Putri

53

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 54-62


Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

ISSN: 23389176

POLITIK PEMBERITAAN DALAM


MENYIARKAN BERITA KONFLIK
Oleh: Anang Masduki
(Dosen Komunikasi, Fakultas Sastra, Budaya dan Komunikasi UAD)
Abstraksi
Masih segar dalam ingatan tentang konflik antar-agama yang terjadi di Ambon,
Maluku Utara?. Indonesia telah mengalami banyak insiden kekerasan sejak 1998, mulai
dari kekerasan rasial terhadap etnis Tionghoa pada 13-14 Mei 1998 di Jakarta, konflik di
Maluku tahun 1999-2002, pembersihan etnis Madura di Sampit, Kalimantan Barat tahun 2000,
darurat sipil di Aceh, dan konflik Muslim-Kristen yang kronis di Poso sejak Desember 1998..
Peristiwa-peristiwa konflik tersebut pastinya terekam dalam memori ingatan seluruh
masyarakat Indonesia pada masa itu. Salah satu peran penting media massa adalah sebagai
sarana penyampaian informasi kepada publik. Tidak hanya sekedar menyampaikan informasi,
media juga dituntut mampu menampilkan suatu peristiwa menjadi berita yang benar, aktual,
dan dapat dipercaya. Di Indonesia, jurnalisme damai mulai menjadi sebuah wacana ketika
terjadi konflik Ambon tersebut dan kemudian menyusul konflik-konflik lain atas dasar SARA
Sebenarnya ada banyak alasan mengapa media massa mempunyai peran yang sangat
penting dalam situasi konflik. Tapi satu hal yang ingin penulis tekankan adalah peran media
dalam menyelesaikan konflik tersebut dengan menerapkan perspektif jurnalisme damai dalam
meliput dan menyajikan peristiwa tersebut. Disinilah seorang jurnalis (wartawan) dituntut oleh
masyarakat agar dapat memberikan informasi yang cepat, akurat, dan sesuai dengan fakta
yang ada. Sehingga seorang wartawan harus mampu bersikap obyektif dalam menjalankan
tugasnya. Idealisme seorang jurnalis menjadi taruhannya ketika ia harus berperang melawan
nuraninya sendiri. Berperang di antara tuntutan profesi dan kepentingan bisnis (keuntungan
perusahaan tempat ia bekerja) yang mengharuskannya membidik suatu peristiwa yang
booming dan layak dijual. Dalam penelitian ini, akan dikupas bagaimana posisi seorang
jurnalis membidik suatu peritiwa konflik dimana hal tersebut akan berpengaruh pada peran
institusi media tempat ia bekerja.kemudia akan dikemukakan mengenai bagaimana etika yang
seharusnya dijaga dan diterapkan oleh seorang jurnalis dalam meliput berita tentang konflik.
Kata Kunci: Konflik, Berita, Media

A. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara multi etnis yang memiliki aneka ragam suku, budaya,
bahasa, dan agama bersatu di bawah semboyan Bhineka Tunggal Ika, namun tidak
demikian halnya pada kenyataan. Keaneka-ragaman dan perbedaan itu merupakan potensi
terpendam pemicu konflik. Pakar studi konflik dari Universitas Oxford, France Steward
(Kompas 16/12/03) menyebutkan empat kategori negara yang berpotensi konflik. Keempat
kategori adalah negara dengan tingkat pendapatan dan pembangunan manusianya rendah,
negara yang pernah terlibat konflik serius dalam 30 tahun sebelumnya, negara dengan
tingkat horizontal yang tinggi, dan negara yang rezim politiknya berada dalam transisi
rezim represif menuju rezim demokratis. Indonesia bisa masuk dalam keempat kategori
tersebut sekaligus.

54

Anang Masduki

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 54-62

ISSN: 23389176

Dalam kungkungan rezim Orde Baru, media massa kita dipaksa untuk berhati-hati
dalam pemberitaan mereka atas kasus-kasus yang ber-nuansa Suku, Agama, Ras dan Antar
golongan (SARA). Wacana tentang etnis, ras dan agama selama ini menjadi hal yang selalu
ditutup-tutupi dan tabu di kalangan masyarakat. Namun seiring dengan runtuhnya rezim
Orde Baru, berubah pula tatanan institusi media. Di era Reformasi, kebebasan pers telah
mengha-dirkan dengan telanjang segala keruwetan, kekacauan yang selama era Orde Baru
selalu ditutup-tutupi. Pemberitaan media atas sejumlah isu memperlihatkan munculnya
keberanian dan kejujuran dalam menentukan sikap. Pada era Orde Baru, tuntutan itu coba
dipenuhi dengan meman-faatkan media massa. Dalam konteks ini media massa sebagai
salah satu pilar terbentuknya negara demokratis dan masyarakat madani. Media massa
menjadi wadah perbedaan pendapat yang sehat; tidak bertendensi memojokan kelompok
yang berseberangan dengan dirinya. (Sudibyo, et al. 2001).
Sebenarnya media massa memiliki dua pilihan tujuan ketika memuat berita, yaitu
untuk memenuhi tujuan politik keredaksian media itu sendiri atau memenuhi kebutuhan
khalayak pembacanya. Media massa yang mementingkan tercapainya tujuan ekonomis akan
memilih berita yang bernilai jual tinggi. Namun media massa yang ingin agar informasi
yang disampaikan bermanfaat bagi pembaca akan memuat berita-berita yang berguna bagi
khalayak. Ada pula media massa yang menganggap informasi hanya sebagai alat untuk
mencapai tujuan ideologis. Informasi disampaikan untuk mempengaruhi dan membujuk
khalayak agar berbuat dan bersikap sesuai dengan tujuan ideologis yang hendak dicapai oleh
media massa tersebut. Tiap media mempunyai frame yang berbeda mengenai peristiwa ini.
Contoh jelas nampak pada Kompas dan Republika yang dengan ideologi masing-masing
menjadi tidak netral lagi dalam meliput peristiwa tersebut dan secara implisit malahan
berpihak pada salah satu kubu yang terlibat konflik. (Pantau, edisi 09/2000).
Tak dapat dipungkiri bahwa setiap media pasti mempunyai ideologi atau bisa disebut
doktrin-doktrin tertentu yang dipegang erat dalam menjalankan tugasnya. Hal ini tentu saja
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang ada disekitarnya. Dengan menggunakan ideologinya
sendiri-sendiri dalam mengemas dan menyampaikan berita ternyata berpengaruh sangat
besar bagi khalayaknya. Masing-masing media dengan ideologi institusinya mampu
mengemas suatu peristiwa menjadi realitas baru untuk dikonsumsi khalayak pembacanya.

B. Liputan Media Massa Tentang Berita Konflik


Informasi tentang krisis, konflik banyak kita temukan di media massa. Tetapi
dari segi kualitas hal itu belum menjamin perbaikan situasi konflik dan krisis yang
berlangsung. Kebanyakan informasi tentang konflik yang tersaji di media massa hanya
bersifat permukaan, parsial, sepotong-potong, tidak proporsional, sebagian besar hanya
menekankan aspek kekerasan dan konflik terbuka saja, bukan pada aspek situasi, akar
masalah yang bisa mendukung perbaikan situasi dan perdamaian.
Idealnya suatu berita yang baik adalah berita yang ditulis berdasarkan fakta
sesungguhnya. Tidak dikotori oleh kepentingan segelintir orang sehingga mendistorsi fakta
tersebut. Namun dalam realita media sebagai ruang publik kerap tidak bisa memerankan
diri sebagai pihak yang netral. Media senantiasa terlibat dengan upaya merekonstruksi
realitas sosial. Dengan berbagai alasan teknis, ekonomis, maupun ideologis, media massa
selalu terlibat dalam penyajian realitas yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga tidak
mencerminkan realita sesungguhnya. Keterbatasan ruang dan waktu juga turut mendukung
kebiasaan media untuk meringkaskan realitas berdasarkan nilai berita. Prinsip berita yang
berorientasi pada hal-hal yang menyimpang menyebabkan liputan peristiwa jarang bersifat
utuh, melainkan hanya mencakup hal-hal yang menarik perhatian saja yang ditonjolkan.
Berita juga sering dibuat berdasarkan semangat laku-tidaknya berita itu dijual
Trijono L. (2002), mengatakan sejauh ini bisa dikatakan media massa boleh dikatakan
cenderung meliput berita konflik hanya pada aspek perilaku konfliknya saja atau aspekaspek konflik yang kelihatan kasat mata. Misalnya perilaku membunuh, membantai
kelompok tertentu, menembak, membakar, dan lain-lain. Berita-berita sensasional dan
55

Anang Masduki

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 54-62

dramatis demikian sering menjadi liputan utama. Mereka seringkali juga menyajikan secara
berlebihan aspek kekerasan dan konflik, misalnya sekian banyak tempat yang strategis
rusak dibakar, jumlah korban yang terluka atau terbunuh, dan sbagainya. Laporan mereka
bukan pada keseluruhan fakta tentang dimensi-dimensi konflik yang ada, mencakup situasi
konflik dan persepsi atau pandangan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Sehingga
infor-masi tentang konflik yang tersedia dalam dunia kita sekarang menjadi bersifat sangat
permukaan (superficial) dan tidak proporsional (out of proportion).
Fishman seperti dikutip Eriyanto (2002) mengatakan ada dua kecenderungan studi
bagaimana proses produksi berita dilihat, yaitu tahap seleksi berita dan pembentukan
berita. Proses seleksi berita (selection of news) yang melahirkan teori gatekeeper ini
melihat wartawan melakukan seleksi di lapangan, mana yang penting mana yang tidak,
mana peristiwa yang bisa diberitakan dan mana yang tidak. Setelah itu redaktur akan
menyeleksi dan menyunting berita dengan menekankan bagian mana yang perlu dikurangi
dan ditambah. Pandangan ini mengandaikan seolah-olah ada realitas di luar wartawan yang
benar-benar riil dan diseleksi oleh wartawan untuk dibentuk dalam sebuah berita.
Pendekatan kedua adalah pendekatan pembentukan berita (creation of news) yang
melihat bahwa sebuah peristiwa bukan/tidak diseleksi melainkan dibentuk. Wartawan
membentuk peristiwa, mana yang dapat disebut berita dan mana yang tidak. Wartawan
aktif, dia berinteraksi dengan dunia (realitas) dan dengan orang yang diwawancarainya,
dan sedikit banyak menentukan bagaimana bentuk dan isi berita yang dihasilkan.
Disini, seorang wartawan atau jurnalis adalah orang yang pekerjaannya mencari,
mengumpulkan, memilih, mengolah, dan menyajikan berita dengan secepat-cepatnya
kepada khalayak luas melalui media massa. Namun, dalam melakukan proses produksi
berita seorang wartawan sebenarnya melakukan proses rekonstruksi realitas.
Putra GN, (2002) menjabarkan hasil-hasil penelitian mengenai bagaimana media
meliput krisis sebagai berikut; liputan media tentang krisis digambarkan oleh Scanlon,
Luuko & Morten (1978) sebagai cenderung tidak akurat dan mengandung rumour atau
desas-desus. Wilbur Schramm dalam artikelnya Communication in Crisis (1971) telah
menyatakan bahwa laporan media tentang sebuah krisis cenderung kurang akurat dan lebih
mengutamakan kecepatan. Dalam sebuah krisis, media cenderung lebih mengutamakan
penyajian berita secara cepat dari pada berita yang akurat, demikian pendapat Dynes (seperti
yang dikutip Scanlon, Luuko & Morten, 1978). Dynes menambahkan bahwa laporan media
tentang sebuah krisis akan cenderung membesar-besarkan kejadian. Barton setuju dengan
pendapat Dynes, menyatakan bahwa media akan menyebarkan berita yang terfragmentasi
tanpa pengecekkan yang memadai untuk menjamin keakuratan isi.
Fritz dan Mathewson juga berpendapat bahwa laporan media tentang suatu tragedi
akan membingungkan, tidak terorganisir, menyajikan informasi yang saling bertentangan
dan mengandung ketidak jelasan dan ketidakakuratan. Waxman, Kueneman dan Wright
juga menemukan bahwa liputan media terhadap suatu krisis kurang akurat dan berisi
informasi saling bertentangan.
Sejauh ini telah umum diakui bahwa media massa seringkali menyajikan informasi
tentang konflik secara permukaan dan sepotong-potong. Hanya aspek konflik yang paling
mudah dilihat dan peristiwa konflik yang paling dramatis, yang mendapat perhatian
terbesar untuk diliput. Aspek lain dari kekerasan, seperti situasi yang menjadi akar konflik
dan persepsi berbagai pihak tentang konflik tidak mendapat perhatian berarti, meski hal itu
sangat penting untuk diketahui publik.
Reese dan Shoemaker (1996) dalam Mediating the Message, menyebutkan lima
faktor yang mempengaruhi proses produksi berita yang digambarkan dalam lingkaranlingkaran yaitu:

Politik Pemberitaan dalam Menyiarkan Berita Konflik

56

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 54-62

ISSN: 23389176

Individuallevel

Mediaroutineslevel

Organizationallevel
Gambar 1. Level Media

Faktor individual merupakan faktor-faktor yang berasal dari individu pekerja media
itu sendiri yaitu wartawan. Ada dua jenis faktor indiviudal yaitu:
a. Yang melekat seperti gender, seksualitas (jenis kelamin, termasuk orientasi seksual),
etnik, nilai kepercayaan, dan agama.
b. Yang dilekatkan seperti nilai kepercayaan dan agama, tingkat pendidikan, status
ekonomi dan sosial, aliansi partai politik.

1. Faktor rutinitas media


Institusi media massa merupakan lembaga yang memiliki karakteristik berbeda
dengan lembaga masyarakat yang lain. Industri consumer good hanya mempunyai satu
konsumen, sedangkan industri media massa mempunyai dua konsumen yaitu pembaca
dan pengiklan.
1. Bentuk-bentuk rutinitas media:
a. Orientasi pada konsumen (pengiklan)
b. Media massa seringkali mencari berita-berita yang bisa dijual (laku di pasaran).
c. Kaedah jurnalistik
d. Media massa berusaha memberikan yang terbaik bagi pembaca yaitu berita
yang bermutu maka proses produksi beritanya harus menaati kaedah-kaedah
jurnalistik yang ada, misalnya nilai berita, bentuk berita, metode pengumpulan data
(mendapatkan sendiri atau dari pihak lain, misal kantor berita).
e. Konsistensi terbit secara periodik dalam kurun waktu tertentu.
f. Misalnya surat kabar harian yang harus terbit setiap hari, maka wartawan harus
mampu memproduksi berita setiap harinya dan memenuhi tenggang waktu tertentu
(deadline).

2. Faktor organisasi
Media merupakan sebuah organisasi, maka ada faktor-faktor dalam organisasi
media itu sendiri yang mempengaruhi berita.
a. Tujuan organisasi
b. Media massa sebagai industri tidak akan lepas dari tujuan mencari profit/
keuntungan.
c. Peta organisasi
57

Anang Masduki

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 54-62

d. Peta organisasi terdiri dari aturan, struktur, dan kebijakan organisasi.


e. Organisasi sebagai jaringan
f. Kepemilikan media.
Ada dua jenis kepemilikan media yaitu kepemilikan vertikal dan kepemilikan
horizontal. Kepemilikan vertikal berarti sebuah organisasi media memiliki berbagai jenis
media misal media cetak, radio, dan televisi. Sedangkan kepemilikan horizontal berarti
sebuah organisasi media yang memiliki berbagai bidang usaha dari hulu ke hilir, misalnya
dari usaha percetakan sampai toko buku.

3. Faktor ekstra media


Media berada dalam sebuah tatanan sosial sehingga ia tidak berdiri sendiri, ada
pihak-pihak lain di luar media tersebut yang juga mempengaruhi proses berita produksi
berita antara lain:
a. Sumber berita
b. Wartawan tidak mungkin menyaksikan sendiri seluruh peritiwa yang dibuatnya
menjadi berita, maka dia membutuhkan sumber berita agar dapat mengetahui
peristiwa tersebut. Bahan-bahan untuk berita juga bisa dicari sendiri oleh wartawan,
atau melalui sumber berita seperti interest group, dan kampanye public relations.
c. Pengiklan dan khalayak
d. Kedua belah pihak tersbut merupakan konsumen utama media massa.
e. Advertisers muscle (kekuatan iklan)
f. Kontrol pemerintah
g. Kehidupan jurnalistik Indonesia memiliki sejarah kelam yang berhubungan dengan
kontrol pemerintah, khususnya pada masa Orde Baru. Masa sekarang atau masa
kebebasan pers, kontrol pemerintah memang tidak sekuat dulu, namun mereka
tetap memberi batasan terhadap ruang gerak media massa melalui Undang-undang
dan atau sejenisnya.
h. Kompetisi
i. Media massa tidak bisa lepas dari masalah kompetisi/persaingan layaknya industri
lainnya. Kompetisi tidak hanya berlangsung antara media sejenis namun juga
dengan media lain yang berbeda jenis.

4. Faktor ideologi
Ideologi merupakan faktor terluar yang mempengaruhi proses produksi berita.
Ideologi dari sebuah institusi media inilah yang menjadi dasar dan pedoman dalam
memproduksi sebuah berita. Seluruh isi/teks yang akan muncul sebagai berita merupakan
cerminan dari ideologi yang dianut oleh media yang bersangkutan.
Ideologi dalam pandangan konstruktivisme memang dianggap wajar, berbeda
dengan pandangan positivisme. Namun dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah
praktek-praktek tersebut mencerminkan ideologi si wartawan atau media tempat ia bekerja.

C. Dosa-dosa yang Sering Dilakukan Media Massa


Rosenstiel dan Kovach, penulis buku yang banyak dibaca saat ini berjudul Elemenelemen Jurnalisme, mengajukan sebuah pertanyaan masih dapatkah jurnalisme menjadi
kekuatan independen dalam masyarakat?. Mengingat, seperti dikemukakan oleh Rosenstiel
dan Kovach, eksistensi jurnalisme dalam masyarakat telah sedemikian bergeser. Ketika
pasar masuk dalam bisnis berita, nilai-nilai professional telah melakukan begitumelayani
system politik demokrasi dengan baik. To the degree of society measures itself exclusively in
term of commerce, democracy is reduced to capitalism, demikian dikemukakan Rosenstiel
dan Kovach. Dalam kaitan ini, produk jurnalisme tak lebih dari barang dagangan yang
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.
Politik Pemberitaan dalam Menyiarkan Berita Konflik

58

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 54-62

ISSN: 23389176

Kritik serupa juga dikemukakan oleh kritikus media Robert McChesney (2004), ia
dengan sinis menyatakan bahwa segala sesuatu hal buruk yang dilakukan oleh jurnalisme
pada masa lampau, kini justru malah semakin buruk saja. Bidang-bidang yang dulunya
memadai, menurutnya telah mengalami kemerosotan. Jurnalisme investigative yang mahal,
yang menabrak kepentingan korporasi-korporasi besar dan keamanan nasional-dihambat
dan tidak mendapat tempat. Sebaliknya menurut Puji Riyanto (2007), berita-berita tragedy
dan berita-berita idiot berkualifikasi humant interest yang tidak relevan justru mendapatkan
ruang liputan yang besar. Ini terjadi karena berita-berita semacam itu murah dan tidak
mengandung resiko politik, terutama karena tidak mengancam penguasa politik dan
kepentingan korporasi.
Jurnalis dan ahli sejarah Amerika Serikat Paul Johnson (1997) berdasarkan
pengalaman langsung serta pengamatannya tentang adanya praktek menyimpang dalam
melaksanakan kebebasan pers, menyebutnya tujuh dosa yang mematikan (seven deadly
sins). Adapun tujuh dosa tersebut sebagai berikut.
Pertama, distorsi informasi. Praktek distorsi informasi ini lazim dilakukan dengan
menambah atau mengurangi informasi baik yang menyangkut opini maupun ilustrasi
faktual, yang tidak sesuai dengan sumber aslinya dengan akibat makna menjadi berubah.
Kedua, dramatisasi fakta palsu. Dramatisasi ini dipraktekkan dengan memberikan illustrasi
secara verbal, auditif atau visual yang berlebihan tentang suatu obyek. Dalam media cetak
cara ini dapat dilakukan secara naratif (dalam bentuk kata-kata) atau melalui penyajian
foto/gambar tertentu dengan tujuan untuk membangun suatu citra negatif dan stereotip.
Dalam media audio-visual (TV) dramatisasi ini dilakukan dengan teknik pengambilan
gambar dan pemberian sound-effects yang sesuai dengan tujuan penyampaian pesan.
Ketiga, mengganggu privacy. Pada umumnya praktek ini dilakukan dalam
peliputan kehidupan kalangan selebritis dan kaum elite, terutama yang diduga terlibat
dalam suatu skandal. Berbagai cara dilakukan, antara lain melalui penyadapan telepon,
penggunaan kamera dengan telelens, dan sering pula wawancara dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sangat pribadi, memaksa atau menjebak. Kesempatan
wawancaranya juga diambil pada saat-saat yang tidak diinginkan oleh pihak yang
diwawancarai. Keempat, pembunuhan karakter. Praktek ini umumnya dialami secara
individu, kelompok atau organisasi/ perusahaan, yang diduga terlibat dalam perbuatan
kejahatan. Praktek ini biasanya dilakukan dengan mengeksploitasi, menggambarkan dan
menonjolkan segi/sisi buruk mereka saja. Padahal sebenarnya mereka memiliki segi
baiknya.
Kelima, eksploitasi seks. Praktek eksploitasi seks tidak hanya menjadi monopoli
dunia periklanan. Praktek tersebut juga dilakukan dalam pemberitaan dengan cara
menempatkan di halaman depan surat kabar tulisan yang bermuatan seks. Keenam, meracuni
benak/pikiran anak. Praktek ini dilakukan di dunia periklanan dengan cara menempatkan
figur anak-anak. Akhir-akhir ini praktek serupa semakin meningkat dengan penonjolan figur
anak-anak sebagai sasaran antara dalam memasarkan berbagai macam produk. Ketujuh,
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of the power). Penyalahgunaan kekuasaan tidak saja
dapat terjadi di lingkungan pejabat pemerintahan, tetapi juga di kalangan pemegang kontrol
kebijakan editorial/ pemberitaan media massa.
Ketujuh dosa jurnalistik tersebut dapat disebut pula dan dapat dikenali sebagai
praktek jurnalistik yang menyimpang, yang kerap terjadi juga di Indonesia, dan sering
dilakukan media massa yang baru terbit.
Pemahaman mengenai jurnalisme perdamaian ini ditempuh dengan cara
membandingkannya dengan jurnalisme perang.

D. Jurnalisme Perdamaian:
1. Orientasi Damai
a. Fokus pada proses terjadinya konflik: pihak-pihak terlibat, musabab pertikaian
masalah yang menyertai, orientasi menang-menang
59

Anang Masduki

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 54-62

b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Ruang dan waktu yang terbuka; sebab akibat terjadi dalam perspektif sejarah
Memberitakan konflik apa adanya
Memberi ruang kepada semua suara/versi; menampilkan empati dan pengertian
Melihat konflik/perang sebagai sebuah masalah, fokus pada hikmah konflik
Melihat aspek humanisasi di semua sisi/pihak
Pro-aktif: pencegahan sebelum konflik/perang terjadi
Fokus pada dampak non-fisik kekerasan (trauma dan rasa kemenangan, kerusakan
pada struktur dan budaya masyarakat)
2. Orientasi Kebenaran
Mengungkap ketidakbenaran di kedua belah pihak dan membongkar atau mengcover-up.
3. Orientasi Orang Banyak
a. Fokus pada penderitaan semua: wanita, anak-anak, orang tua
b. Memberi suara kepada korban
c. Menyebut nama pelaku kejahatan (evil-doers) di kedua belah pihak
d. Fokus pada para penggiat perdamaian di tingkat akar rumput
4. Orientasi Solusi
a. Perdamaian = anti kekerasan + hikmah
b. Mengangkat inisiatif perdamaian dan mencegah perang lanjutan
c. Fokus pada struktur dan budaya masyarakat yang damai
d. Usai konflik: resolusi, rekonstruksi, dan rekonsiliasi

E. Jurnalisme Perang:
1. Orientasi Perang
a. Fokus pada arena konflik: dua kubu bertikai, hanya satu tujuan (kemenangan),
suasana/situasi peperangan, orientasi menang-kalah
b. Ruang dan waktu yang tertutup; sebab-akibat terbatas arena konflik, mencari siapa
yang menyerang duluan
c. Ada fakta yang ditutup-tutupi
d. Berita tentang kita-mereka, nuansa propaganda, suara dari dan untuk kita
e. Melihat mereka sebagai masalah, fokus pada siapa yang menang perang
f. Dehumanisasi di pihak mereka, humanisasi di pihak kita
g. Re-aktif: menunggu terjadi konflik, baru reporting
h. Fokus hanya pada dampak fisik kekerasan (pembunuhan, luka-luka, kerugian
material)
2. Orientasi Propaganda
Mengungkapkan ketidakbenaran mereka dan menutup-nutupi ketidakbenaran
kita
3. Orientasi Elit
a. Fokus pada penderitaan kita. Memberi suara hanya pada Kapten Perang
b. Menyebut nama pelaku kejahatan di pihak mereka
c. Fokus pada penggiat perdamaian di tingkat elit
4. Orientasi Kemenangan
a. Perdamaian = kemenangan + gencatan senjata
b. Menyembunyikan inisiatif perdamaian, sebelum kemenangan diraih
c. Fokus pada fakta dan institusi masyarakat yang terkendali
d. Usai konflik: siap bertempur kembali jika luka lama kambuh
e. (Pantau, edisi 09/ 2000)

Politik Pemberitaan dalam Menyiarkan Berita Konflik

60

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 54-62

ISSN: 23389176

F. Kesimpulan
Jurnalisme sehat, bebas dan bertanggung jawab dihasilkan oleh media massa yang
sehat, yaitu media massa yang bebas dan bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan
citra media yang humanism maka tanggungjawab social para jurnalis merupakan keharusan
agar masyarakat tidak dirugikan sekaligus masyarakat menjadi tujuan utama karena
sebenarnya jurnalisme hadir untuk membangun kewargaan (citizenship). Jurnalisme ada
untuk memenuhi hak-hak warga Negara dan untuk membangun demokrasi. Oleh karena itu,
menurut Rosenstiel dan Kovach (2003) media yang humanis paling tidak harus memenuhi
beberapa unsur berikut:
1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran.
2. Loyalitas pertama jurnalisme kepada warga
3. Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
4. Para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita.
5. Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan.
6. Jurnalisme harus menyediakan forum public untuk kritik maupun dukungan warga.
7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting menarik dan relevan.
8. Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional.
9. Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.
Kalangan media massa sendiri harus memberikan penyebaran tentang media massa
yang sehat sebagai berikut: Media massa yang sehat secara ideal adalah media massa
yang melaksanakan fungsi-fungsi ideal yang sesuai dengan konstitusi negara, secara bebas
dan bertanggung jawab. Hal ini hanya dapat dilakanakannya dengan baik, apabila media
massa itu sehat secara isi pemberitaan dan penyiaran, sehat secara ekonomis. Jika secara
ekonomis, materiil media massa tidak sehat, maka terlihat kecenderungan pada sementara
media massa mempertahankan survivalnya dengan mendasarkan orientasi perjuangannya
kepada tuntutan yang bersifat kebendaan, dengan kata lain terlihat keadaan yang cenderung
mengembangkan erosi idealisme perjuangan media massa yang hakikatnya harus diabdikan
kepada tujuan-tujuan memasyarakatkan cita-cita nasional, yaitu masyarakat kebangsaan
maju, adil dan makmur berdasarkan ideologi Pancasila.
Untuk mengatasi masalah ini terdapat beberapa alternatif solusi yang dikemukakan
oleh Chang yang dikutip oleh Trijono L (2002) sebagai berikut:
a. Dengan menambah dan terus menerus membuka saluran (channel) komunikasi
sehingga arus informasi terus mengalir dan ketersediaan informasi bisa diperoleh
secara memadai.
b. Meningkatkan kualitas informasi tentang konflik yang ada sehingga bisa diperoleh
informasi yang bermakna dan berguna secara memadai bagi kepentingan publik secara
luas.
c. Momfokuskan pada penyajian informasi dan proses komunikasi yang mengarah pada
isu-isu spesifik dari situasi konflik dan setiap dimensi krisis secara mendalam sehingga
tidak memper-luas dan semakin membuat ruwet interpretasi dan pemaknaan publik
yang bisa semakin mengacaukan situasi krisis.
Perbaikan kualitas komunikasi dan informasi yang diliput media massa melalui
berbagai upaya kampanye dan perluasan aktivitas komunikasi perdamaian atau jurnalisme
damai dapat membantu perbaikan situasi konflik dan krisis di dunia saat ini.

DAFTAR PUSTAKA
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, 2003. Sembilan Elemen Jurnalisme, terj. Jakarta: Yayasan
Pantau, ISAI dan Kedutaan Besar AS.
Eriyanto. 2002. Analisis Framing. Konstruksi Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta:
LKiS.
61

Anang Masduki

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 54-62

Jhonson, Paul. 1997, The Media and Truth: Is There a Moral Duty ?, an Article in Mass
Media : Annual Editions, 97/98, Connecticut : Dushkin/ McGraw Hill,.
McChesney, 2004, Robert W. The Problem of the Media. Monthly Review Press, New
York.
Putra, GN, 2002. Liputan Media Terhadap Tragedi WTC, Kasus Liputan Kompas dan The
Jakarta Post, dalam Ispandriarno L, Hanitzsch T, & Loeffelholz M, (ed): MediaMiliter-Konflik, Crisis Communication: Perspektif Indonesia dan Internasional,
Friedrich Ebert Stiftung dan Galang Pers, Jakarta.
Scanlon, T. Joseph, Rudy Lukko & Gerarld Morten, 1978. Media Coverage of Crises.
Better Than Reported, Worse Then Necessary, dalam Journalism Quarterly. Vol 55.
Shoemaker, Pamela J. dan Stephen D. Reese. 1996. Mediating The Message Theories of
Influences on Mass Media Content. New York : Longman Publishers, USA.
Sudibyo, Hamad, Qodari, 2001. Kabar-Kabar Kebencian Prasangka Agama di Media
Massa: Institut Studi Arus Informasi, Jakarta.
Trijono, L, 2002. Peran Komunikasi dalam Konflik dan Untuk Perdamaian, dalam
Ispandriarno L, Hanitzsch T, & Loeffelholz M, (ed): Media-Militer-Konflik, Crisis
Communication: Perspekti Indonesia dan Internasional. Jakarta; Friedrich Ebert
Stiftung dan Galang Pers,.

Surat Kabar
Harian Pantau, edisi 09/2000.
France Stewart. 2003, dalam artikel Konflik dan Kekerasan yang Tak Kunjung Padam,
SKH Kompas, edisi 16 Desember 2003
Quarterly. Vol 19, No.4, p.p: 703-721.

Politik Pemberitaan dalam Menyiarkan Berita Konflik

62

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 63-70


Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

ISSN: 23389176

TEKNOLOGI INFORMASI DAN


GERAKAN SOSIAL POLITIK:
Kajian Kritis Pengaruh Internet terhadap
Proses Demokratisasi di Timur Tengah
Oleh: Anyakala Freddy
(Alumni S2 Komunikasi dan Media, UGM)
(Email: anyakalafreddy28@yahoo.com)
Abstrak
Dekade kedua abad ini di Timur Tengah dimulai dengan ledakan protes massa untuk
perubahan rezim yang lebih demokratisasi: terutama di Tunisia dan Mesir, tetapi juga di Aljazair,
Bahrain, Yordania, Libya, Suriah dan Yaman. Analis telah membahas penyebab protes dan
berspekulasi tentang konsekuensi. Spesialis Timur Tengah telah lama menyadari masalah rezim
otoriter, kesenjangan sosial yang semakin melebar, tingginya tingkat pengangguran kaum muda,
infrastruktur dan pelayanan publik yang buruk. Tapi satu hal pasti telah berubah sejak tahun 1997.
Internet perlahan-lahan menyebar luas ke masyarakat. Banyak negara di Timur Tengah telah
banyak mengeluarkan uang untuk berinvestasi dalam infrastruktur TI, mereka sadar bahwa hal ini
sebagai motor penting dari pembangunan ekonomi. Sebagai konsekuensi tren ini, media sosial telah
tumbuh dan menyebar luas. Tulisan ini dimaksudkan untuk meneropong perkembangan teknologi
informasi yang berpengaruh besar dalam tumbuhnya proses demokratisasi di Timur Tengah.

Kata Kunci: Teknologi Informasi, Demokratisasi, tindakan kolektif, Timur Tengah.

A. Pendahuluan
Pada tahun 1998, Jon B. Alterman berteori bahwa Internet akan membawa arus
bebas informasi di dunia Arab, mengurangi efektivitas sensor oleh negara dan melemahkan
kemampuan pemerintah bersikap otoriter. Debora Wheeler melakukan studi warung internet
di dunia Arab, di mana ia menyimpulkan bahwa penggunaan internet membantu kesadaran
politik dengan memungkinkan orang untuk sadar kesetaraan gender dan kelas sosial,
membawa mereka ke dalam hubungan yang lebih terbuka dengan orang baru dan ide baru,
mendorong mereka untuk menjadi lebih blak-blakan tentang pendapat mereka. Banyak
blogger di Timur Tengah yang cenderung lebih bersikap kritis terhadap para pemimpin
politik dalam negeri mereka, dan sering membahas hak-hak sipil dan politik dalam tulisan
mereka (Miriam Puttick, 2010).
Hal ini menunjukan bahwa media sosial dapat memiliki dampak yang signifikan
pada fungsi demokrasi. Situs seperti Facebook, Twitter dan YouTube sangat berguna untuk
mencapai berbagai tujuan politik - mulai dari penggalangan dana, untuk menggalang
dukungan pemilih, untuk menyebarkan berita tentang peristiwa penting. Mereka
menyajikan kesempatan unik bagi para politisi untuk terlibat komunikasi langsung dengan
warganya. Di atas segalanya, mereka adalah forum di mana ide-ide politik dan informasi
dengan mudah dan cepat disebarluaskan. Semua ini menjadi penting untuk negara-negara
di mana kebebasan politik dan pendapat masyarakat sipil dibatasi, dan di mana pemerintah
kadang-kadang langsung mengontrol semua outlet utama media. Dalam situasi seperti itu,
masyarakat sipil online bisa bertindak sebagai pioner untuk masyarakat sipil dan menjadi
tempat berkembang biak bagi ide-ide tentang demokrasi.
63

Anyakala Freddy

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 63-70

ISSN: 23389176

Contoh kasus, pada bulan November 2006 ada sebuah video yang mengganggu
polisi Mesir, ketika polisi itu menyiksa seorang tahanan laki-laki dan videonya telah
diposting pada sebuah blog di Mesir, yang menyebabkan salah satu kasus pengadilan
pertama terhadap polisi terjadi. Tanpa ekspansi yang cepat dari blog di Mesir, cerita
ini mungkin tidak pernah bocor. Tetapi karena muncul di internet, cerita ini mendapat
liputan internasional. Amnesty International meneliti masalah ini dan menerbitkan sebuah
laporan yang merinci ruang lingkup dan tingkat keparahan kasus-kasus pelecehan seksual
dan penyiksaan di Mesir. Pada saat kejadian, banyak yang berspekulasi bahwa pasukan
keamanan Mesir akan berpikir dua kali untuk menyiksa tahanan, "karena takut eksposur
melalui blog Mesir yang menjamur". Paling tidak, contoh ini menunjukkan bahwa Internet
bisa memiliki dampak dalam mendukung hak asasi manusia, yang merupakan fitur kunci
dari demokrasi.
Philip N. Howard, Assisten profesor komunikasi di Univ. Washington, dan sarjana
lain telah menganalisa jutaan tweet, video YouTube dan posting blog dan menyimpulkan
bahwa "media sosial memainkan peran sentral dalam membentuk debat politik di Musim
Semi Arab. Bukti menunjukkan bahwa media sosial membawa pesan tentang kebebasan
dan demokrasi di Timur Tengah, dan membantu meningkatkan harapan akan keberhasilan
revolusi. Orang-orang yang berbagi minat dalam demokrasi dibangun dari jaringan sosial
yang luas dan terorganisir (Miriam Puttick, 2010).

B. Perkembangan gerakan dan tindakan kolektif


Adalah hal menarik membicarakan pemahaman yang lebih mendalam menyangkut
perilaku kolektif dari pandangan teori wacana (discourse theory/Post Marxist) mau pun
dalam kaca mata teori Marxis. Berbagai ahli menyebutkan bahwa tindakan kolektif
selalu dimulai dengan adanya kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif dapat didekati
dengan melihat wacana kolektif. Pertanyaannya, bagaimana proses pembentukan wacana
kolektif, selanjutnya bagaimana pula wacana kolektif bisa membentuk tindakan kolektif
serta akhirnya bisa membangun gerakan bersama atau gerakan sosial untuk perubahan?.
Sementara perubahan, seringkali tidak bisa menghindar dari konflik, baik yang mengawali
munculnya perubahan mau pun konflik yang berkepanjangan yang bahkan menghilangkan
kemungkinan munculnya perubahan itu sendiri karena situasi politik yang terus-menerus
tidak terkendali.
Teori tentang kesadaran kolektif tentu saja tidak bisa dilepaskan dari pandangan
Karl Marx yang menghubungkan kesadaran dengan penguasaan atas basis material,
yang kemudian lebih khusus mengaitkannya dengan kelas sosial-ekonomi. Pembagian
kelas mulai muncul manakala nilai surplus, dimana masyarakat non-producers hidup
bergantung kepada pihak producers. Dengan begitu, Marx berpandangan bahwa siapa
yang bisa mengontrol alat-alat produksi, maka mereka lah yang akan menjadi kelas
penguasa di masyarakat tersebut. Karena sifat dari produksi menjadi eksploitatif, maka
kedua kelas ini menjadi bersinggungan. Pembagian kelas semacam ini memicu konflik dan
mendorong perjuangan kelas, yang oleh Marx disebut sebagai penggerak perkembangan
sejarah (George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, 2004).
Dalam masyarakat, manusia hidup bersama dan berinteraksi, sehingga timbul rasa
kebersamaan diantara mereka. Rasa kebersamaan ini milik masyarakat yang secara sadar
menimbulkan perasaan kolektif. Selanjutnya, perasaan kolektif yang merupakan akibat dari
kebersamaan, merupakan hasil aksi dan reaksi diantara kesadaran individual. Jika setiap
kesadaran individual itu menggemakan perasaan kolektif, hal itu bersumber dari dorongan
khusus yang berasal dari perasaan kolektif tersebut.
Durkheim memperkuat dengan argumentasinya, bahwa pada kesadaran kolektif
sangat berlainan dengan kesadaran individual yang terlihat pada tingkah laku kelompok.
Bilamana orang berkumpul untuk berdemonstrasi politik, huru-hara rasial atau untuk
menonton sepakbola, gotong royong dan sebagainya, mereka melakukan hal-hal yang
tidak mungkin mereka lakukan jika sendirian. Orang melakukan perusakan dan merampok
64

Anyakala Freddy

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 63-70

toko-toko, menjungkirbalikan mobil, atau menunjukkan sikap kepahlawanan, kegiatan


religius, semangat pengorbanan yang luar biasa, semuanya dianggap musatahil oleh yang
bersangkutan (Barlan and Devis, 2010).
Durkheim melihat pada bagaimana pola masyarakat dalam membangun persekutuan
itu sendiri. Di sini menurut Durkheim ada dua corak orang membangun komunalitas, yaitu
secara organic (solidaritas organik) dan secara mekanis (solidaritas mekanik). Solidaritas
organik adalah suatu bentuk cara untuk membangun komunitas dengan melihat pada latar
belakang yang sama, dan terjadi secara spontan, tanpa melalui suatu rekayasa (sosial
enginering). Berbeda dengan solidaritas mekanik yang terjadi karena faktor disengajakan
atau diciptakan secara terencana. Ini berarti bahwa TIK (terkait jejaring sosial) memberikan
fungsi dan juga infrastruktur bagi sosialisasi masyarakat secara kolektif. Masyarakat
cenderung dapat berinteraksi dan bersosialisasi di dunia maya dan lebih terbuka dalam
dunia tersebut. Karena kemudahannya, maka lebih cepat membentuk komunitas untuk
melakukan gerakan social, walaupun kebanyakan hanya simpatisan saja (Barlan and Devis,
2010).
Masyarakat bukanlah sekedar wadah untuk terwujudnya integrasi sosial yang akan
mendukung solidaritas sosial, melainkan juga pangkal dari kesadaran kolektif dan sasaran
utama dari perbuatan moral. Moralitas merupakan suatu keinginan yang rasional. Jadi
perbuatan moral bukanlah sekedar kewajiban yang tumbuh dari dalam diri melainkan
juga kebaikan ketika diri telah dihadapkan dengan dunia sosial. Setiap individu yang
melakukan pelanggaran nilai-nilai dan norma-norma kolektif timbul rasa bersalah dan
ketegangan dalam batin. Nilai-nilai itu sudah merasuk dalam batin dan memaksa individu,
sekalipun pemaksaannya tidak langsung dirasakan karena proses pembatinan itu untuk
menyesuaikan diri.

C. Latar belakang politik Timur Tengah


Dalam tulisan ini tidak akan disampaikan sejarah menyeluruh tentang awal mula
lahirnya bangsa Arab atau lahirnya agama-agama samawi. Melainkan akan disampaikan
konstelasi politik kekinian yang berhubungan langsung dengan proses menjamurnya
revolusi yang melanda Timur Tengah dan hubungannya dengan perkembangan teknologi
yang menyertai revolusi tersebut.
Islam sebagaimana dipahami dan dipraktekkan oleh sebagian besar Muslim modern,
hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak ada tempat untuk demokrasi. Hak dan kebebasan
orang seperti dibarat (kebebasan berpikir, pers, dan praktik keagamaan) tidak berarti apaapa di sebagian besar dunia Muslim, khususnya Timur Tengah. Terutama di mana hukum
syariah (Islam fundamentalisme/islam garis keras) dikenakan, kemajuan umat manusia
dalam pemahaman dan penerapan tampaknya telah pergi tanpa diketahui.
Islam dan demokrasi tidak sepenuhnya kompatibel. Dalam hal ini perlu melihat
kembali ke Baghdad dan kekhalifahan Crdoba (pertengahan 700M itu sampai 1300M)
untuk menemukan contoh dari periode yang sangat progresif dari aturan Islam. Universitasuniversitas di Irak dan selatan Spanyol, perkembangan ilmu, seni, matematika, dan filsafat
sangat luar biasa. Sayangnya, Islam modern yang di motori aliran Sunni, yang menyumbang
sekitar tiga perempat dari populasi Muslim dunia, telah lama lupa sejarah ini. Lebih buruk
lagi, telah tiba saat dimana ia secara doktrin sangat melekat sebagaiman dalam kitab suci
yang praktis tanpa interpretasi, sehingga ayat tidak lagi menjadi rahmat bagi seluruh alam
karena tidak mampu menjangkau perkembangan dan kemajuan yang dicapai saat ini
(Abegabriel dan Abeverio, 2004).
Dengan demikian, umat Islam saat ini secara mental dibatasi, dengan sistem
pemerintah yang otoriter yang dianggap mewakili perintah Tuhan, khususnya di negaranegara Timur Tengah. Para pemimpin lebih suka membelengu rakyat atas nama praktek
Islam dari pada memenuhi kebutuhan warganya atau kehendak kolektif mereka.

Teknologi Informasi dan Gerakan Sosial Politik: Kajian Kritis Pengaruh


Internet terhadap Proses Demokratisasi di Timur Tengah

65

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 63-70

ISSN: 23389176

Perdebatan konsep negara, mau memilih negara agama, demokrasi atau monarkhi
menjadi sebuah perdebatan yang tidak henti sampai sekarang. Hal ini terkadang
menimbulkan pertumpahan darah. Dan tidak jarang faksi-faksi yang terlibat perselisihan
ditungangi oleh kepentingan-kepentingan negara-negara lain untuk berebut pengaruh.
Pada sisi lain, kekayaan yang melimpah dari hasil minyak bumi, membuat negaranegara diluar kawasan ini begitu agresif memperebutkan pengaruh. Mulai dari Amerika
Serikat, China, Russia dan negara-negara Uni Eropa senantiasa meminta jatah pasokan
minyak. Padahal dengan fundamentalisme yang masih kuat, banyak negara Arab yang
alergi dan cenderung anti negara barat. Sehinga hubungan yang tidak menguntungkan
secara ekonomi dan ideologi ini sering menimbulkan riak-riak perselisihan dan bahkan
pertempuran.
Masih segar dalam ingatan ketika ketegangan masalah nuklir Iran mencuat,
berujung pada penolakan Iran atas inpeksi IAEA dan pengurangan pasokan minyak dunia
bahkan ancaman penutupan selat hormus oleh Iran di teluk persia membuat harga minyak
membumbung. Pergolakan politik dengan isu utama pengayaan uranium oleh iran sangat
menganggu stabilitas ekonomi didunia. Bahkan pemerintah SBY sampai berkeinginan
untuk menaikan harga BBM yang dipicu oleh merangkaknya harga minyak dunia.
Pada saat yang sama, faktor eksistensi negara Israel dengan proyek zionisnya
diangap masih menjadi isu global di dunia Arab. Hal ini diperparah dengan sikap politik
luar negeri Amerika Serikat yang masih memberlakukan politik dan kebijakan standar
ganda. Disisi lain menolak pelangaran HAM, namun membiarkan dan justru membantu
Israel untuk membunuh warga Palestina. Hal ini juga berlaku di Afghanistan dan Pakistan.
Sehingga kebencian terhadap Israel dan Amerika semakin luas, dan mereka bahkan
dianggap sebagai musuh bersama (Samuel Hutington, 2007).
Perpecahan dunia arab dipertajam dengan kontroversi beberapa negara yang tidak
sepakat dengan intervensi asing, khususnya dunia barat dalam setiap pergolakan. Beberapa
negara, seperti Yaman, Arab saudi, Kuwait, Irak, Afghanistan, Pakistan yang notabene
sekutu utama Barat bersebrangan dengan Iran, Syiria. Apalagi penempatan pasukan NATO
diwilayah Timur Tengah, bagi yang kontra diangap sebagai sebuah pendudukan atau
bahkan penjajahan. Selain itu, sejarah membuktikan, pasca pendudukan pasukan NATO di
Irak, yang terjadi bukan lahirnya pemerintahan yang demokratis, yang diangap sebagian
besar masyarakat dunia sebagai sebuah sistep politik yang ideal. Yang terjadi adalah
tajamnya perpecahan antar golongan, faksi dan kolompok. Dan melahirkan permusuhan
dan kebencian baru. Ini terbukti dengan banyaknya bom bunuh diri sebagai pelampiasan
rasa marah, benci dan dendam.
Hal ini tentunya memacu masyarakat untuk memaksimalkan pengunaan media
lama maupun media baru sebagai ajang shering informasi dan pembahasan isu-siu kekinian.

D. Pengaruh Internet terhadap gerakan sosial politik di Timur


Tengah
Partisipasi politik adalah aspek kunci dari demokrasi. Baru-baru ini ditopang
oleh perkembangan aktivitas internet yang berimbas terjadinya revolusi di Timur Tengah.
Internet telah menghilangkan tantangan dalam berkomunikasi yaitu biaya yang mahal.
Setiap individu sekarang bisa menjadi seorang wartawan, cendekiawan, atau organizer
melalui web. Blog, khususnya. Dan telah menjadi salah satu sumber kunci dari ekspresi
individu di Timur Tengah sehingga menyebabkan alarm dalam rezim otoriter.
Sejumlah fitur khusus Internet menjadi salah satu prospek paling berharga untuk
perubahan tersebut. Pertama, Internet membawa serta universalitas tertentu. Ini bukan untuk
mengatakan bahwa semua orang dapat mengakses internet, melainkan bahwa internet tidak
terikat oleh kebangsaan. Dengan internet orang dapat berkomunikasi dimana saja, kapan
saja secara langsung, cepat, dan bebas. Kedua, internet dapat membentuk dan mengugah
kesadaran publik. Akhirnya, internet berfungsi untuk melawan otoritarianisme. Walaupun
66

Anyakala Freddy

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 63-70

rezim berusaha mengontrol konten yang tersedia di internet, hampir tidak mungkin bagi
rezim tersebut untuk membatasi segala sesuatu yang mungkin bisa merusak pesan mereka
pada masyarakat, terutama pada situs-situs seperti blog.
Akses ke internet secara umum sangat bervariasi di seluruh negara-negara Timur
Tengah. Di Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Qatar memiliki tingkat presentasi tertinggi;
60,9%, 55,3%, dan 52,3% orang adalah pengguna internet. Yaman dan Irak berada di daftar
bawah, sebesar 1,6% dan 1,0% masing-masing. Secara umum di negara Timur Tengah
rata-rata 28,3% warga merupakan pengguna internet. Secara keseluruhan Timur Tengah
mengalami pertumbuhan 1,648.2% dalam penetrasi internet antara 2000 dan 2009, hal ini
jauh bila dibandingkan dengan peningkatan dunia rata-rata 380,3%. Tingkat pertumbuhan
tertinggi yang dialami di Timur Tengah adalah 12,780.0%, 11,783.3%, dan 3,783.3% di
Iran, Suriah, dan Arab Saudi. Pada tahun 2002, jumlah rumah tangga yang menerima saluran
satelit adalah 70-90% di Aljazair, Lebanon dan Arab Saudi, 40-50% di Yordania dan Syria
dan 30 % lebih di Maroko dan Tunisia. menurut edisi 2003 dari Laporan Pembangunan
Manusia Arab UNDP (Jeff Kaiser , 2011).
Perkembangan media baru akhir-akhir ini sangat membantu rakyat Timur Tengah
untuk melakukan konsolidasi sosial. Hal ini dikarenakan banyak kelebihan dari media
baru tersebut. Mengutip pendapat Terry Flew (2005), media baru sebagai media konvergen
memiliki tiga ciri khusus. Yaitu: pertama, jaringan komunikasi, dalam media baru terdapat
teknologi yang dapat digunakan untuk berkomunikasi. Dengan jaringan komunikasi orang
bisa melakukan komunikasi langsung atau yang sering disebut chatting. Hal ini lebih
evisien dan dinamis. Kedua, informasi tekhnologi. Karakter-karakter tersebut menunjukkan
bahwa media baru akan selalu melibatkan teknologi pengolah dan pendistribusi informasi
sehingga komputer dan perangkatnya berperan penting dalam semua bentuk media baru.
Makna kedua dari tiga karakter tersebut adalah media baru membawa isi pesan tertentu.
Ketiga, isi atau kontent, isi pesan meliputi keseluruhan bentuk pesan media, gambar, audio,
fisual. Dari kombinasi ketiga ciri khas media baru tersebut, berimbas pada terbentuknya
jaringan sosial dalam masyarakat. Dengan jaringan sosial yang saling terhubung, maka
informasi lebih mudah didistribusikan sehingga membangun kesadaran masyarakat secara
bersama-sama. Hal ini yang akhir-akhir ini melanda dunia Timur Tengah.
Konstelasi politik pertama dimulai terjadi di Tunisia, dimana sumber yang mendasari
pemberontakan tersebut terletak pada pemerintah, ketimpangan sosial, korupsi, dan
pengangguran. Protes dimulai pada Desember 2010 ketika Mohamed Bouazizi melakukan
bakar diri di kota pesisir Sidi Bouzid karena merasa putus asa pada merebaknya praktek
korupsi dan pengangguran. Dia meninggal karena luka bakar, yang menyulut protes dan
demo besar-besaran. Meskipun hukum di Tunisia melakukan sensor yang ketat, namun
konsolidasi masa cepat menyebar dengan alat internet.
Di Facebook menyebar dengan cepat slogan pemberontakan, "Ben Ali, Out".
Sehingga para demonstran sangat bergantung pada situs web media sosial seperti Facebook
dan Twitter untuk mengedarkan video. Bahkan sekarang lebih dari 30.000 video telah
ditempatkan di YouTube.
Terinspirasi penggulingan presiden Ben Ali di Tunisia, protes menyebar ke Mesir.
Pemimpin oposisi menyatakan itu sebuah "Hari Kemarahan" dan pengunjuk rasa akan turun
ke jalan menentang 30 tahun kekuasaan Presiden Hosni Mubarak. Diinternet banjir fotofoto dan video menunjukkan kehadiran massa yang cukup besar di Kairo, Alexandria, dan
kota-kota Mesir lainnya. Protes berlangsung 18 hari dan demonstran mengunakan Twitpic,
Facebook dan YouTube untuk menyebarluaskan video dan foto, dan meminta masyarakat
Mesir untuk protes. Lebih dari 90.000 orang mendaftar pada halaman Facebook untuk
protes dalam sehari, mereka menyerukan untuk melawan penyiksaan, korupsi, kemiskinan,
dan pengangguran.
Melihat demonstrasi yang meluas, pemerintah mulai melakukan tindakan keras
guna membatasi akses internet. Koneksi internet dan ponsel terganggu atau dibatasi di
Kairo, Alexandria dan tempat-tempat lain, untuk memotong situs media sosial yang telah

Teknologi Informasi dan Gerakan Sosial Politik: Kajian Kritis Pengaruh


Internet terhadap Proses Demokratisasi di Timur Tengah

67

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 63-70

ISSN: 23389176

digunakan untuk mengatur protes dan setiap upaya memberitakan kejadian di lapangan.
Gerakan massa berujung turunnya Husni Mobarak dari tampuk kekuasaanya dan dijatuhi
hukuman seumur hidup.
Di Libya, revolusi akhirnya berhasil mengusir Muammar Gaddafi, media sosial
memainkan peran yang tidak kecil. Pemerintah Libya mempertahankan kontrol yang kuat
dari infrastruktur Internet, dan Gaddafi sebagai otokrat hanya merespon milisi pemberontak.
Di Libya pemimpin lebih mudah dijatuhkan karena rakyat dibantu oleh tentara NATO
walaupun menimbulkan korban yang tidak sedikit.
Negara-negara Timur tengah mulai takut pada bayangan revolusi Tunisia, Mesir
dan Libya dan ketakutan bertambah ketika melihat pemberontakan pemuda itu didorong
oleh mobilisasi yang massif dari jaringan sosial. Walaupun peran media sosial jauh lebih
rendah dalam aksi protes Suriah daripada negara-negara seperti Tunisia atau Mesir. Orang
telah mempertaruhkan kehidupan mereka untuk menggunakan ponsel dan kamera kecil
untuk menyebarluaskan video kekejaman dan tindakan keras Presiden Bashar Al-Assad
pada demonstran. Para demonstran juga mengupload gambar-gambar ke Facebook atau
YouTube. Bahkan email pribadi penguasa Suriah tersbut juga diretas oleh Hecker dan
disampaikan kepada surat kabar The Guardian. Hal ini mengakibatkan dunia internasional
melakukan tekanan agar presiden Assad untuk mundur dari kekuasaanya. Assad juga telah
menggunakan website untuk melakukan propoganda dengan menegaskan bahwa video
protes adalah palsu dan bahwa ia memiliki ratusan ribu pendukung yang masih setia.
Kita sudah bisa melihat bukti dari media sosial yang mampu memproduksi sistem
politik baru di Timur Tengah. Di Mesir, di mana keadaan darurat sejak tahun 1981,
memungkinkan pihak berwenang untuk menangkap orang tanpa pengadilan pengawasan
jika bersikap kritis seperti orde baru di Indonesia. Namun lingkup media online telah
menjadi jalan berkembangnya ruang debat. Ikhwanul Muslimin, yang dilarang berpartisipasi
dalam pemilu Mesir, banyak diprotes melalui media online. Facebook memainkan peran
penting dalam mengorganisir dari pemogokan di Kairo dua tahun lalu. Blogger telah
berperan dalam mengungkap kasus-kasus penyiksaan polisi di negara ini dan membuka
mereka untuk diskusi publik dan internasional. Di Iran, peran Twitter ikut ramai selama
pemilu presiden 2009 yang dipersengketakan, baik dalam mengatur protes dan menarik
perhatian internasional terhadap situasi di negara itu. Bahkan Ratu Rania dari Yordania
aktif menggunakan media sosial untuk mempromosikan dialog antar budaya, advokasi
untuk perubahan sosial dan memberi warga sarana untuk terhubung dengan kerajaan.
Meskipun contoh-contoh ini menggembirakan, situasi secara keseluruhan jauh lebih
suram. Mungkin karena mereka telah menyadari potensi internet untuk membangkitkan
perubahan, pemerintah dalam beberapa tahun terakhir telah meningkatkan usaha mereka
untuk menyensor. YouTube diblokir di Turki, Suriah, Iran, Libya dan Tunisia. Iran
telah mengembangkan sendiri berbagai teknologi canggih untuk memblokir situs yang
dianggap mengancam rezim. Kafe internet di banyak tempat tunduk pada pengawasan,
dan pemilik diharuskan diwajibkan untuk menyimpan rekaman semua aktifitas pelanggan
yang menggunakan layanan mereka. Untuk tingkat yang bervariasi dari negara ke negara,
mengkritik para pemimpin politik atau agama melalui internet dapat mejadi alasan
ditangkap dan dipenjara.
Blog telah terbukti dapat memiliki efek langsung dalam mempromosikan
demokrasi. Misalkan selama 2005, pemilihan parlemen di Mesir, blog mempublikasi
berita harian media massa, memberikan masyarakat berbagai mainstream tentang pemilu.
Banyak juga partai politik Islam sendiri yang menggunakan blogosphere dalam rangka
menginformasikan kepada pendukung mereka tentang isu-isu penting. Pihak berwenang
Mesir secara aktif mencoba untuk memblokir akses ke situs tersebut.
Pada sisi lain jajak pendapat publik di website Al-Jazeera juga telah membantu
dalam konsolidasi perjuangan demokrasi. Polling opini adalah tren terbaru di Timur Tengah,
dan karya Al-Jazeera di lapangan telah membantu membentuk kesadaran publik yang telah
lama ditindas oleh otoritarianisme. Seperti blog, jajak pendapat di website memungkinkan

68

Anyakala Freddy

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 63-70

setiap warga negara untuk mengungkapkan sudut pandangnya dan melihat sudut pandang
orang lain. Pengukuran opini publik ini menunjukkan bahwa terjadi sudut pandang yang
beragam di dalam negara. Pemerintah dituntut untuk mengatasi masalah-masalah yang
mendesak, seperti pelanggaran hak asasi manusia, ketidaksetaraan politik, kasus korupsi
pemerintah, dan fundamentalisme. Website Al-Jazeera telah menjadi senjata utama dalam
pertempuran warga Arab untuk menentukan nasib sendiri, mengakhiri otoritarianisme, dan
mencari dukungan internasional untuk menciptakan iklim demokrasi.
Merujuk pada teori determinisme McLuhan dalam EM Griffin (2003), bahwa
penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya. Kemudian
perubahan di dalam jenis-jenis komunikasi akhirnya membentuk kehidupan manusia.
Dan terakhir manusia membentuk peralatan untuk berkomunikasi, dan akhirnya peralatan
untuk berkomunikasi yang digunakan itu akhirnya membentuk atau mempengaruhi
kehidupan kita sendiri. Demikian pula yang terjadi dan mewabah di Timur Tengah.
Pola komunikasi yang dibangun berangkat dari perkembangan informasi dan tekhnologi
yang segera mempengaruhi kasadaran publik. Protes satu orang dengan membakar diri
di Tunisia, dengan cepat menyebar melalui jejaring sosial, YouTube, Facebook, Tweeter,
dan Smartphon lainnya. Hal ini mengugah solidaritas bersama untuk kemudian melakukan
gerakan sosial yang berujung pada revolusi dan turunnya beberapa pemimpin otoriter
didaerah tersebut.

E. Penutup
Revolusi di Tunisia, Mesir dan tempat lain di Timur Tengah sangat mengandalkan
internet, media sosial dan teknologi seperti Twitter, Facebook dan YouTube pada tahap awal
untuk mempercepat gerakan sosial. Ada argumen yang lemah memang bahwa media sosial
memainkan peran yang kuat di tempat-tempat seperti Yaman (di mana penetrasi internet
rendah) atau Libya (di mana internet dikendalikan pemerintah). Di Suriah, di mana masih
berlangsung pertempuran dan terus menyebar sampai ke pinggiran kota Damaskus bahkan
sampai kepelosok-pelosok, yang mana peran media sosial juga menjadi lebih terbatas.
Mengecewakan, Twitter dan Google juga telah sepakat untuk membantu pemerintah Suriah
dan rezim yang menindas lainnya dengan menegakkan aturan guna menyensor tweet atau
posting blog di Suriah. Namun fakta bahwa banyak isu-isu seputar revolusi yang tersebar
di berbagai konten di internet membuktikan bahwa peran internet tidak bisa diremehkan.
Pengenalan bentuk media baru merupakan harapan baru. Media baru mampu
membuka saluran komunikasi dan mendidik masyarakat ditengah-tengah rezim otoriter.
Jika negara terbuka, individu atau warga biasa lebih bersedia untuk berekspresi dan terlibat
dalam proses politik mungkin hal ini akan berbeda. Kecenderungan kegiatan politik yang
meningkat di Timur Tengah secara bersamaan akan mendorong penduduk untuk melakukan
perubahan politik yang institusional. Proses ini akan terus berkembang dan mendorong
lahirnya aktivisme akar rumput untuk perubahan yang lebih demokratis.
Dampak gabungan dari TV satelit, perkembangan pesat akses ke internet, prevalensi
pertumbuhan blog dan bentuk media partisipatif lainnya merevitalisasi ruang publik Timur
Tengah. Tidak lagi segelintir elit dari rezim otoriter yang memonopoli wacana publik.
Efeknya telah terjadi penurunan sistem kekuasaan otoriter dan meningkatnya
aspek demokratis masyarakat, terutama pertumbuhan perdebatan populer dan ekspresi,
meningkatkan akuntabilitas pemerintah, dan kesadaran pelanggaran hak asasi manusia.
Ada kemungkinan bahwa salah satu efek langsung dari tren yang diuraikan dalam makalah
ini adalah serangkaian protes dan revolusi yang telah menyapu kawasan itu pada awal
2011. Pemerintah baru akan menggantikan rezim yang telah jatuh, dan beberapa rezim akan
menahan agitasi saat ini untuk perubahan yang lebih demokratis. Apapun, baik penguasa
baru dan lama terbentuk akan tetap tunduk pada tekanan yang ditawarkan media baru
ketika kerusuhan meluas seperti sekarang. Kemajuan mungkin lambat, blogger dan aktivis
media baru masih terus ditangkap dan dipenjara di seluruh wilayah jika bebas berekspresi
dan memiliki perbedaan pendapat dengan pemerintah, tetapi akhirnya pemerintah akan
Teknologi Informasi dan Gerakan Sosial Politik: Kajian Kritis Pengaruh
Internet terhadap Proses Demokratisasi di Timur Tengah

69

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 63-70

ISSN: 23389176

menyadari bahwa ada kekuatan yang tak terbendung dari kemajuan demokrasi melalui
media baru.

DAFTAR PUSTAKA
Abegabriel, Maftukh dan Abeverio, Yani. 2004. Negara Tuhan; The Thematic Enciklopedia,
Yogyakarta; SR-Ins Publising.
Barlan, Stanley, and Davis, Dennis. 2010. Mass Communication Theory; Foundation,
Ferment, and Foundation 5 edition, terj. Afrianto Daud. Jakarta: Salemba Humanika,
Flew, Terry. 2005. New Media; an Introduction. second edition, oxford university press.
Griffin, Emory A., 2003. A First Look at Communication Theory, 5th edition, New York:
McGraw-Hill
Hutington, Samuel. 2007. The Class Civilization and Remaking of World Order, terj. Sadat
Ismail, Yogyakarta; Qolam.
Puttick, Miriam. 2010. Social Media and Democratization in the Middle East.
Ritzer, George. 2004. Teori Sosiologi Modern (terj.), Jakarta: Prenada Media.
Keisef, Jeff. 2011. The New Media and Democratization in Middle East,
Sreberny, Annabelle. 2008. Middle East Journal of Culture and Communication 1th
Edition Analytic Challenges of Studying the Middle East and its Evolving Media
Environment.

70

Anyakala Freddy

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 71-76


Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

ISSN: 23389176

POSISI MANUSIA DALAM PERKEMBANGAN


TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
Oleh: Ahmad Zahri
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
ibani@yahoo.com
Abstract
Information Communication Technology develop from time to time. Media revolution in sight.
Humans as the creator of new media should be able to use the media efficiently, not to actually manipulated
by the media. Media Determinism Theory by McLuhan help to give an overview of this situation.
Keyword: Information Communication Technology, Media revolution, Media Determinism

A. Pendahuluan
Teknologi berkembang cepat dan menyentuh bidang komunikasi hingga terjadi
revolusi. Perubahan ini didorong oleh penemuan dibanyak bidang teknologi sehingga
meminimalisir kendala dalam proses komunikasi sebelumnya. Kendala karena faktor jarak,
jumlah, waktu, kapasitas, kecepatan, termudahkan oleh teknologi.
Komputer ditemukan pada tahun 1930 an dan menyumbang perkembangan
telekomunikasi dengan cepat. Tanggal 11 September 1940, George Stibitz berhasil
mengirimkan masalah-masalah komputasi menggunakan teletype ke Complex Number
Calculator di New York dan menerima hasil komputasinya di Dartmouth College, New
Hampshire. Konfigurasi komputer terpusat ini tetap populer sampai era 1950-an.
Teknologi informasi komunikasi terus berkembang sepanjang waktu. berawal dari
tahun 1960, dimana ditemui hubungan antara komputasi dan seni radikal. Berlanjut di
tahun 1980 bahwa Alan Kaydan rekan kerja di Xerox PARC mulai memberikan keajaiban
komputer pribadi untuk personal ( Wardrip-Fruin dan Montfort, 2003: 124)
In the late 1980s and early 1990s, however, we seem to witness a different kind
of parallel relationship between social changes and computer design. Although causally
unrelated, conceptually it makes sense that the Cold War and the design of the Web took
place at exactly the same time (Wardrip-Fruin dan Montfort, 2003)

B. Revolusi Teknologi Informasi dan Komunikasi


Media cetak dan siaran analog msih dipakai hingga tahun 1980-an. Memasuki
abad ke-21 transformasi informasi berlangsung cepat ke arah penggunaan teknologi
digital seperti internet dan game online. Keduanya merupakan contoh dari media baru.
Yakni mendigitalkan serta mengubah sisi old media. perubahan nyata yang dirasa seperti
televisi menjadi digital, bisa diakses melalui streaming internet, mesin cetak yang mulai
menyesuaikan design menggunakan adobe photoshop dan desktop publishing.
Andrew L. Shapiro dalam Croteau dan Hoynes (2003: 322) berpendapat
bahwa munculnya sesuatu baru, menjadikan teknologi digital berpotensi radikal untuk
mengendalikan informasi, pengalaman dan sumber daya. Selanjutnya dikuatkan oleh W.
Russell Neuman dalam Croteau dan Hoynes (2003: 322) menunjukkan bahwa sementara
"media baru" memiliki kemampuan teknis untuk menarik satu arah, kekuatan ekonomi
71

Ahmad Zahri

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 71-76

ISSN: 23389176

dan sosial tarik kembali ke arah yang berlawanan. Menurut Neuman evolusi jaringan
interkoneksi universal audio, video, dan komunikasi teks elektronik akan mengaburkan
perbedaan antara komunikasi interpersonal dan massa dan antara komunikasi publik dan
swasta. Neuman berpendapat bahwa New Media akan:
1. Mengubah arti jarak geografis.
2. Memungkinkan volume komunikasi meningkat pesat.
3. Memberikan kemungkinan meningkatkan kecepatan komunikasi.
4. Memberikan kesempatan untuk komunikasi interaktif.
5. Memungkinkan bentuk komunikasi yang sebelumnya terpisah untuk tumpang tindih
dan interkoneksi.
Dari karakteristik ini media baru memberi berbagai dampak. Douglas Kellner
dan James Bohman (2001: 57) mengatakan bahwa media baru, dan terutama internet,
memberikan potensi untuk ruang publik demokratis postmodern, di mana warga negara
dapat berpartisipasi dalam informasi dengan baik, perdebatan non-hirarkis yang berkaitan
dengan sosial struktur mereka.
Penilaian positif dari pertentangan ini terlihat dari dampak sosial potensi media
baru. Transisi ke media baru telah disasar oleh perusahaan telekomunikasi transnasional
hingga mencapai tingkat pengaruh global yang sampai sekarang tak terbayangkan.
Revolusi media telah menginspirasi pendekatan kontemporer dari teori media baru
bisa terlihat dari investigasi dari era elektronik berbasis interaktivitas (Littlejohn, 2009:
684). Lister et al. (2003: 34) menyoroti potensi negatif dan positif dan kemungkinan
implikasi aktual dari teknologi new media. Yakni mereka menunjukkan bahwa beberapa
karya awal ke dalam studi media baru kurang tepat dalam menjabarkan teknologi, dimana
dampak media ditentukan oleh teknologi sendiri, daripada melalui penelusuran jaringan
sosial kompleks yang diatur pengembangannya, pendanaan, pelaksanaan dan masa depan
teknologi apapun itu.
Media baru dijelaskan lebih lanjut oleh Lev Manovich (2003: 16-23), dalam bukunya
The New Media Reader. Manovich mendefinisikan new media dengan menggunakan
delapan proposisi sederhana dan mudah dipahami, yakni:
1. Media baru versus cyberculture
Cyberculture adalah berbagai fenomena sosial yang berkaitan dengan internet
dan jaringan komunikasi (blog, online multi-player game), sedangkan new media yang
bersangkutan lebih banyak dengan benda-benda budaya dan paradigma (digitalisasi untuk
televisi analog, iPhone).
2. Media baru menggunakan teknologi komputer sebagai Platform Distribusi
New media adalah obyek budaya yang menggunakan teknologi komputer digital
untuk distribusi dan sarana pameran. Sebagai contoh: internet, situs, multimedia komputer,
danuntuk entertainment ada Blu-Ray dengan kualitas HD. Masalahnya adalah, definisi dari
media baru perlu direvisi setiap beberapa tahun. Istilah "media baru" tidak akan "baru" lagi,
seperti kebanyakan bentuk budaya akan didistribusikan melalui komputer.
3. New Media sebagai data digital yang dikendalikan dengan software
New Media didasarkan pada asumsi bahwa cultural objects yang mengandalkan
representasi digital dan pengiriman berbasis komputer melakukan kegiatan berbagi atas
sejumlah kualitas umum. New Media menjadi data digital yang dapat dimanipulasi oleh
perangkat lunak sebagai data lainnya. Sekarang pengoperasionalan media dapat menjadi
beberapa versi dari objek yang sama. Sebagai contohnya adalah gambar disimpan sebagai
data matriks yang dapat dimanipulasi dan diubah sesuai dengan algoritma tambahan yang
diimplementasikan, seperti inversi warna, greyscale, exposuring, sharpening, rasterizing,
blooming dll.

72

Ahmad Zahri

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 71-76

4. New Media sebagai percampuran budaya antara konvensi yang ada dengan konvensi
software
Secara jelas terlihat media baru dipahami sebagai campuran antara konvensi budaya
yang lebih tua untuk kepentingan representasi data, akses, dan manipulasi dan konvensi
yang lebih baru dari representasi data, akses, dan manipulasi ini. Penjelasan ringkas diatas
adalah data yang tergolong "lama" adalah representasi dari realitas visual dan pengalaman
manusia, dan yang disebut data "baru" adalah data numerik Komputer tidak kreatif, aktornya
lah yang berperan. Misalnya dalam film, perangkat lunak digunakan di beberapa sektor
produksi, sebut saja menggunakan animasi komputer. Film percampuran efek komputer
dan manusia yang sukses contohnya adalah Transformers, Harry Potter, dan lainnya.
5. New Media sebagai estetika yang mengeiringi tahap awal setiap media modern baru
dan teknologi komunikasi
Ideologi dalam media baru sering disinggung, sedangkan tentang estetika media
baru jarang dibahas. Jadi, agar pendekatan ini benar-benar berguna tidak akan cukup untuk
hanya dengan strategi dan kiasan dan untuk merekam, melainkan kita harus mengembangkan
analisis yang komprehensif yang akan mengkorelasika sejarah teknologi dengan sejarah
sosial, politik, dan ekonomis atau periode modern.
6. New Media sebagai eksekusi lebih cepat atas algoritma yang sebelumnya dieksekusi
secara manual atau melalui teknologi lain
Kejaiban dari teknologi bernama komputer adalah kecepatan dari apa yang
sebelumnya teknik manual. Sebut saja kalkulator. Manovich (2003: 20) mengatakan media
baru:
Dramatically speeding up the execution makes possible previously non-existent
representational technique". On one level, a modern digital computer is just a faster
calculator, we should not ignore its other identity: that of a cybernetic control device.
(Media baru memberi ruang bagi art, sebagai contoh adalah interactive multimedia dan
video games.)
7. New Media sebagai encoding dari avant-garde modernisme, new media sebagai
metamedia
Manovich menyatakan bahwa tahun 1920 lebih relevan dengan penyebutan
new media daripada rentang waktu lainnya. Alasannya adalah meta-media bertepatan
dengan postmodernisme dan keduanya bekerja sama mengolah pekerjaan lama daripada
menciptakan pekerjaan baru. Media baru avant-garde "adalah tentang cara-cara baru untuk
mengakses dan memanipulasi informasi" (misalnya hypermedia, database, mesin pencari,
dll). Meta-media adalah sebuah contoh bagaimana kuantitas dapat berubah menjadi kualitas
seperti dalam teknologi media baru dan teknik manipulasi dapat "mengkode ulang estetika
modernis menjadi estetika postmodern sangat berbeda."
8. New Media sebagai artikulasi paralel gagasan seni serupa di Pasca-Perang Dunia II dan
komputasi modern
Art pasca Perang Dunia II atau "kombinatorik" melibatkan penciptaan gambar
dengan sistematis dan mengubah parameter tunggal. Hal ini mengarah pada penciptaan
atau gambar yang sangat mirip dan struktur spasial. "This illustrates that algorithms, this
essential part of new media, do not depend on technology, but can be executed by humans."
(Manovich: 23)
Dari kedelapan proporsisi yang diberikan Manovich (2003) di atas, disadari bahwa
posisi manusia sebagai aktor perlu menempatkan diri sebagai pengguna teknologi. Secara
seimbang dan harmoni dengan ciptaan tangan mereka sendiri. Menggunakan teknologi
dengan bertanggunjawab dan tidak menrugikan pihak lain.

Posisi Manusia dalam Perkembangan Teknologi Informasi


dan Komunikasi

73

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 71-76

C. Posisi Manusia
Komunikasi

dalam

Gempita

ISSN: 23389176

Teknologi

Informasi

Munculnya media baru telah menimbulkan gejala peningkatan arus komunikasi


antara orang di seluruh dunia dan internet. Individu mengekspresikan diri melalui blog,
website, gambar, dan media user-generated lain.
McQuail (2000) menyebutkan internet merupakan salah satu bentuk new media
berdasarkan tipe penggunaan, konten, dan konteks. Yakni:
1. Interpersonal Communication Media (konten bersifat privat, tidak bertahan lama,
relationship lebih kuat dari informasi),
2. Interactive Play Media (yang terpenting dalam kategori ini adalah interaktifitas user),
3. Information Search Media (banyak informasi yang bisa di dapatkan dari internet
mengingat storasinya yang luar biasa besar),
4. Collective Parsipatory Media (internet digunakan untuk saling berbagi gagasan,
pengalaman, serta mengembangkan hubungan). Internet jelas memberikan fasilitas
layanan kebutuhan berkomunikasi yang interaktif, menjangkau audiens luas, dan
konten tak terbatas.
Peningkatan interaksi dimudahkan oleh media baru. Sehingga diharapkan interaksi
mengglobal yakni bisa berhubungan dengan negara lain, berekspresi lebih bebas dan akrab
bertanggungjawab, mampu mengakses kebudayaan dari daerah lain, serta meningkatkan
partisipasi dalam kehidupan global.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan aplikasinya untuk
komunikasi massa menyebabkan perubahan signifikan dalam ekosistem media, dipahami
dalam arti luas untuk mencakup semua aktor dan faktor interaksi yang memungkinkan
media untuk berfungsi dan memenuhi peran mereka dalam masyarakat. perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi merupakan cara baru untuk menyebarkan konten
dalam skala besar dan sering biaya jauh lebih rendah dan dengan persyaratan teknis dan
profesional lebih sedikit.
Fitur baru terjadi yang sebelumnya belum pernah terjadi dari interaksi dan
keterlibatan pengguna. Media baru menawarkan kesempatan baru untuk membangun
kewarganegaraan demokratis. Aplikasi baru juga memfasilitasi partisipasi pengguna dalam
proses penciptaan dan dalam penyebaran informasi dan konten, sehingga mengaburkan
batas antara komunikasi publik dan swasta.
Media baru menawarkan alternatif kongkrit mengenai ideologi nilai. Eksekusinya
akan berjalan mendekati sempurna jika benar-benar didasari kepentingan dan ideologi nilai
sosial. Namun ketika sudah ditangan swasta, berarti kontrol atau gagasan kegunaan tetap
menjadi dan di tangan pihak swasta. Seperti yang kita ketahui arahnya akan kemana, hal ini
berarti gagasan itu akan tunduk pada manipulasi profit, bukan untuk kepentingan publik.
Miege menulis artikel Capitalism and Communication dalam buku Calabrese (2004: 8788) menjelaskan bagaimana komunikasi informasi dipahami sebagai mode of production
kapitalis. Miege berpendapat, bahwa ada tiga elemen yang perlu dicatat. Pertama, muncul
fakta bahwa komunikasi informasi berkembang secara eksklusif dan berorientasi pada pasar
serta terindustrialisasi. Kedua, adanya aktivitas komunal meningkat dan menginternasional
sehingga sulit dipahami. Terakhir, tersebarnya ideologi globalitarian yang membawa
isi kapitalisme di dalamnya. Media baru dengan segala kecanggihan yang ditawarkan
terindikasi memiliki ketiga aspek tersebut, secara implisit.
Individu sebagai aktor pengguna media baru perlu mengadopsi modalitas baru,
prosedur dan hasil media baru. Fungsi dan keberadaan pelaku media tradisional, serta
model-model ekonomi dan standar profesional, perlu dilengkapi atau digantikan oleh
sistem lain.
74

Ahmad Zahri

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 71-76

Karakteristik media baru yang jelas berbeda dengan media lama memunculkan
dampak baik dan buruk. Jika tidak dikontrol dengan baik, media baru bisa mengambil
peran institusi sosial dan mengarahkan nilai masyarakat. sebagai contoh institusi paling
kecil yakni keluarga, jika salah satu anggota keluarga tersebut lebih memilih menggunakan
nilai dari media baru tentu akan mengalami mengikisan nilai. Lingkup yang lebih besar,
dikhawatirkan adanya pihak yang menggunakan media baru sebagai alat doktrinasi. Daya
jangkau yang luas dan exposure tinggi dan lemahnya nilai struktur sosial dan nilai etika
lebih mempermudah media baru dimanfaatkan.
Berbicara tentang individu dalam teknologi komunikasi maka teori Media
Determinism dari McLuhan bisa membantu menjelaskan. Dalam Griffin (2003: 341),
McLuhan mengatakan bahwa kita memasuki mass-age. Kita hidup dengan sejarah
peradaban dimana media mempengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bertingkah laku.
Era masyarakat menjadi massa karena munculnya media massa. Teknologi membentuk
kita, daripada melihat orang yang mendikte bahaimana teknologi seharusnya dipakai.
McLuhan mengelompokan sejarah perkembangan komunikasi manusia pada
masa Tribal, Literacy, Print dan Electrical. Masa Tribal dimana manusia menggunakan
komunikasi oral. Masa Tribal mengandalkan kemampuan otak kanan dibanding otak
kiri. Sedangkan Literacy kemampuan mendengar bertukar dengan kemampuan membaca
dan mengamati objek visual dalam bentuk alphabetik phonetic melalui pandangan mata
maka otak kiri menjadi berkembang. Era Print berada pada abad ke 15 saat Gutenberg
menemukan mesin cetak untuk mencetak pesan-pesan tertulis lalu bisa digandakan. Era
baru Electrical diawali dengan masuknya telegraf. Diikuti dengan telepon, radio, film
projector, phonograph, televisi, photocopier, answering machine, komputer, VCR, compact
disc, holograph, cellular phone, fax, DVD, modem, dan internet. Di era ini lah manusia
menjadi mengglobal dan bisa bersentuhan dengan lainnya dimanapun secara instan.
Jika Marx berasumsi bahwa sejarah ditentukan oleh kekuatan produksi, maka
McLuhan beranggapan eksistensi manusia ditentukan oleh perubahan mode komunikasi.
Griffin (2003: 354) menyebutkan, nothing remains untouched by communication technology.
Kini segala aspek kehidupan selalu terkait dengan media. Mulai dari infrastruktur hingga
hubungan interpesonal.
Media massa menjadi perpanjangan indrawi manusia, begitu yang McLuhan
asumsikan. Media mempermudah jangkauan jarak, peristiwa, informasi, bahkan media
mampu membantu manusia untuk menafsirkan makna hidup kita. Dalam bukunya
Understanding Media, McLuhan (1964) mengatakan:
The message of any medium or technology is the change of scale or pace or pattern that it
introduces into human affairs. The railway did not introduce movement or transportation
or wheel or road into human society, but it accelerated and enlarged the scale of previous
human functions, creating totally new kinds of cities and new kinds of work and leisure.
This happened whether the railway functioned in a tropical or northern environment, and
is quite independent of the freight or content of the railway medium

Kata kuncinya adalah, medium is the messege. Media menjadi lebih penting
dari isi pesan yang disampaikan media. Semakin pesatnya teknologi akhirnya membawa
dominasi akan media terhadap manusia. sebagai contoh media baru, smartphone, banyak
orang yang sangat tergantung pada gadget tersebut untuk berkomunikasi dengan orang
lain. Dibawa kemana-mana seakan tak bisa hidup berjauhan tanpa ponsel.
Pendapat Everett M. Rogers dalam Abrar (2000: 4), pesan yang dibawa oleh
teknologi informasi komunikasi adalah untuk mendidik pemakainya melakukan
demassifikasi, menyesuaikan diri, dan meningkatkan interaksi.

Posisi Manusia dalam Perkembangan Teknologi Informasi


dan Komunikasi

75

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 71-76

ISSN: 23389176

D. Kesimpulan
Demassifikasi berkaitan dengan kontrol pesan dari produsen informasi. Produsen
bukan lagi semata surat kabar atau media, tapi dengan demassifikasi khalayak menjadi
pengontrol pesan. Jadi khalayak memilih informasi yang dianggap sesuai.
Setelah terjadi proses demassifikasi, khalayak wajib melakukan standarisasi
untuk beradaptasi. Mulai dari standar petunjuk menggunakan teknologi dari pengiriman
pesan hingga nilai kemanusiaan serta makna. Menurut Abrar (2000: 4), salah satu cara
menyesuaikan diri adalah berperilaku global. Dimana individu harus sadar bahwa mereka
adalah bagian dari negara dunia. Individu harus paham semua aturan yang berlaku universal,
jika tidak akan terjadi kegagalan komunikasi global dalam proses penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi.
Dalam proses menjadi manusia yang memahami penggunaan teknologi informasi
dan komunikasi, hambatan terbesar ada pada struktur pribadi dan sistem nilai (Abrar, 200).
Struktur pribadi dipahami sebagai sikap yang tidak sesuai dengan nilai dasar teknologi
informasi dan komunikasi. Sistem nilai juga mempengaruhi. Yakni sikap mental yang tidak
cocok dengan perilaku efisien. Individu perlu mempelajari keduanya secara seksama.
Media dengan segala teknologi yang mencakupinya harus menjadikan kehidupan
manusia lebih baik. Manusia adalah makhluk berpikir. Jika terlalu larut kedalam gempita
teknologi dengan penggunaan media baru dan tidak berusaha menyesuaikan diri secepatnya,
maka jelas akan manusia dikontrol oleh media. Padahal seharusnya manusia mengontrol
alat, bukan sebaliknya.

E. Daftar Pustaka
Abrar, Ana Nadhya. 2000. Teknologi Komunikasi dalam Perspektif ilmu Komunikasi.
Yogyakarta: FISIPOL UGM
Calabrese, Andrew et.al. 2004. Toward a Political Economy of Culture. USA: Rowman &
Littlefield Publisher, hal 87-88
Croteau, David & Hoynes, William. 2003. Media Society: Industries, Images and Audiences
(third edition).Thousand Oaks: Pine Forge Press
Durham, M & Kellner, Douglas. 2001. Media and Cultural Studies Keyworks. UK:
Blackwell Publishing
Griffin, Emori A. A First Look at Communication Theory fith edition. New York: McGrawHill
Lev Manovich. 2003. New Media from Borges to HTML. The MIT Press
Lister, Martin, Dovey, Jon, Giddings, Seth. Grant, Iain. & Kelly, Kieran. 2003. New Media:
A Critical Introduction. London: Routledge
Littlejohn, S. W., 2009. Encyclopedia of Communication Theory. USA: Sage Publications
McLuzan, M. 1964. Understanding Media: The Extensions of Man. 1st Ed. NY: McGraw
Hill
McQuail, Dennis. 2000. Mass Communication Theory. London: Sage Publications
ardrip-Fruin, Noah and Nick Montfort. (2003). The New Media Reader. The MIT Press

Website:
http://www.computerhistory.org/revolution/birth-of-the-computer/4/85/341

76

Ahmad Zahri

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 77-84


Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

ISSN: 23389176

Kerukunan dalam Perbedaan:


Tinjauan Spiral of Silence dalam Kasus
Penyerangan Islam Syiah di Sampang, Madura
Oleh: Beni Irawan Tarigan
(Alumni Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Email : beniirawant@yahoo.com)
Abstrak
Kekerasan dalam satu bingkai agama, khususnya islam syiah dan sunni memang tidak hanya
terjadi di Indonesia saja. Bahkan hampir tiap hari di Irak, pakistan, Afganistan dan dibeberapa negara
Timur Tengah hampir terjadi tiap hari. Namun hal ini menjadi hal yang agak aneh ketika terjadi
di Indonesia, yang mana telah disebutkan diatas bahwa Indonesia adalah negara yang selama ini
terkenal dengan kerukunan antar umat beragama apalagi internal dalam agama itu sendiri. Sebagian
Sunni menganggap golongan ini tumbuh tatkala seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba yang
menyatakan dirinya masuk Islam, mendakwakan kecintaan terhadap keluarga dan keturunan Nabi
Muhammad atau yang sering disebut sebagai Ahlul Bait, terlalu memuja-muji Ali bin Abu Thalib yang
notabene keponakan sekaligus menantu Muhammad, dan menyatakan bahwa Ali mempunyai wasiat
untuk menjadi khalifahan (pemimpin) dari Nabi Muhammad yang berasal dari wahyu dari Tuhan.
Kata kunci: Sunni, Syiah, Spiral of Silant, media

A. Pendahuluan
Indonesia dengan semboyannya Bhineka Tunggal Ika memang memiliki berbagai
pulau, suku, ras, bahasa, adat istiadat dan budaya yang beraneka ragam. Begitu pula dengan
jumlah agama yang ada diindonesia, bahkan dalam internal agama tersebut masing-masing
memiliki beberapa ideologi atau kelompok gerakan sendiri. Sebut saja dalam Islam
misalnya ada syiah dan suni, ada Muhammadiyah dan ada Nahdlatul Ulama, ada Islam
garis keras dan ada islam moderat, ada islam liberal ada islam fundamentalis.
Dalam perjalanan bangsa Indonesia sebagai bangsa timur dengan segenap
keanekaragamannya terkenal sebagai bangsa yang santun dan menyukai perdamaian
daripada kekerasan. Namun setelah 12 tahun revormasi entah mengapa kekerasan di
Indonesia ekskalasinya meningkat dan cenderung anarkis. Lihat saja contoh kasus Mesuji,
kasus kekerasan Bima, kasus freeport di Papua dan masih banyak lagi kekerasan ditempat
lain. Bahkan jika melihat berita televisi yang ada seolah-olah adalah berita tentang
kekerasan. Tak terkecuali adalah kekerasan yang terjadi di Kabupaten Sampang Madura,
dimana sebuah pondok pesantren yang notabene beraliran Islam syiah diserbu dan dibakar
oleh warga sekitar yang mayoritas menganut Islam Sunni.
Kekerasan dalam satu bingkai agama, khususnya islam syiah dan sunni memang
tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Bahkan hampir tiap hari di Irak, pakistan, Afganistan
dan dibeberapa negara Timur Tengah hampir terjadi tiap hari. Namun hal ini menjadi hal
yang agak aneh ketika terjadi di Indonesia, yang mana telah disebutkan diatas bahwa
Indonesia adalah negara yang selama ini terkenal dengan kerukunan antar umat beragama
apalagi internal dalam agama itu sendiri.
77

Beni Irawan Tarigan

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 77-84

ISSN: 23389176

Jumlah islam syiah yang minoritas dibanding dengan jumlah penganut islam
sunni yang mayoritas dalam konteks kekerasan di Sampang ini menarik untuk dibahas.
Fonumena tersebut merambah kedalam bentuk komunikasi masa antara mayoritas dan
minoritas. Problematika ini biasanya dilihat dengan kacamata perbedaan ideologi, dimana
justifikasi tentang islam yang benar dan sesat diberlakukan. Menurut penulis ada sebuah
prespektif lain untuk menelisik kasus tersebut yaitu konteks komunikasi massa. Sebuah
perangkat yang tepat untuk membidiknya adalah teori spiral of silence.
Untuk mendiskusikan masalah ini terlebih dahulu akan dibahas tentang devinisi
dan batasan apa itu islam sunni dan islam syiah, selanjutnya akan masuk pada kronologis
dan masalah seputar penyerangan pondok pesantren syiah di Sampang. Kemudian akan
dibedah posisi teori spiral of silence dan peran media dalam kasus tersebut.

B. Konflik Islam Sunni dan Islam Syiah


Hubungan antara Sunni dan Syi'ah telah mengalami kontroversi sejak masa awal
terpecahnya secara politis dan ideologis antara para pengikut Bani Umayyah dan para
pengikut Ali bin Abi Thalib pasca meninggalnya Nabi umat Islam yaitu Muhammad.
Sebagian kaum Sunni menyebut kaum Syi'ah dengan nama Rafidhah, yang menurut
etimologi bahasa Arab bermakna meninggalkan. Dalam terminologi syariat Sunni,
Rafidhah bermakna "mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakar dan Umar
bin Khattab. (www. Wikipedia.com).
Sebagian Sunni menganggap golongan ini tumbuh tatkala seorang Yahudi bernama
Abdullah bin Saba yang menyatakan dirinya masuk Islam, mendakwakan kecintaan
terhadap keluarga dan keturunan Nabi Muhammad atau yang sering disebut sebagai Ahlul
Bait, terlalu memuja-muji Ali bin Abu Thalib yang notabene keponakan sekaligus menantu
Muhammad, dan menyatakan bahwa Ali mempunyai wasiat untuk menjadi khalifahan
(pemimpin) dari Nabi Muhammad yang berasal dari wahyu dari Tuhan. Syi'ah menolak
keras hal ini. Menurut Syiah, Abdullah bin Saba' adalah tokoh fiktif.
Setelah Muhammad meninggal dunia, penganut syiah memiliki pemimpin yang
disebut juga Imamiah atau Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam); dinamakan demikian sebab
mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua
belas imam. Urutan imam mereka yaitu:
1. Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2. Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3. Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4. Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5. Muhammad bin Ali (676743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6. Jafar bin Muhammad (703765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7. Musa bin Ja'far (745799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
8. Ali bin Musa (765818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
9. Muhammad bin Ali (810835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau
Muhammad at Taqi
10. Ali bin Muhammad (827868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
11. Hasan bin Ali (846874), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari
12. Muhammad bin Hasan (868), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi. (www.
wikipedia.com).
Imam Syaebani (1988) menyampaikan, dalam perkembangan selanjutnya
para penganut syiah secara politik meyakini bahwa hanya anak dan keturunan Ali
yang berhak memimpin umat islam. Sehingga dalam kerajaan islam saat itu, mereka
mengklaim mempunyai peminmin sendiri, sebagaimana disampaikan diatas. Hal ini
ternyata berimplikasi terhadap masalah ideologis. Para penganut syiah dan sunni memang
secara teologi masih bersatu, dimana masih mempercayai tentang tauhid sebagai konsep
ketuhanan, kemudian Muhammad sebagai nabi terakhir dan Al Quran sebagai kitab suci.
Akan tetapi ada beberapa perbedaan selain dalam hal politis:
78

Beni Irawan Tarigan

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 77-84

a. Dalam masalah hadits (perkataan, persetujuan dan perilaku Muhammad) banyak terjadi
perbedaan. Dimana kaum syiah tidak bersedia untuk menerima hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah. Dan begitu juga sebaliknya, kaum sunni tidak bersedia menerima
hadits yang dipakai oleh kaum syiah.
b. Penganut syiah membolehkan nikah Mutah, yaitu nikah dengan jangka waktu. Hal ini
menurut pandangan sunni adalah haram hukumnya.
c. Dalam menyebutkan nama Ali sebagai imam atau pemimpinnya, hal ini dilakukan
sebagai bentuk kultus individu terhadap sosok ali Bin Abi Tholib. Tentu sangat berbeda
dengan paham yang dianut oleh sunni yang tidak mengunakannya dan mengangap Ali
hanya sebagai pemimpin bisa.
d. Dalam hal kepemimpinan atau Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam) menurut kaum syiah
adalah memiliki sifat masyum atau terlepas dari dosa. Hal ini juga ditentang keras oleh
penganut sunni, karena masyum adalah sifat yang hanya dimiliki oleh nabi. Sehingga
penganut sunni berbendapat penganut syiah telah menyamakan pemimpin mereka
seperti nabi.
Beberapa poin perbedaan diatas, baik secara politis terlebih secara teologis
berakibat terjadinya dikotomi yang mengarah kepada fanatisme buta. Bagi penganut islam
sunni yang fundamentalis mengangap bahwa penganut syiah adalah sesat. Sebuah kalimat
yang mengerikan. Karena kata sesat sering di apresiasikan sebagai lawan bahkan musuh
sehingga bisa menimbulkan pertumpahan darah.
Penganut syiah berkembang dengan pesat dan bahkan dianut secara mayoritas
di negara Iran, selebihnya baik dinegara-negara Timur Tengah atau negara islam seperti
Malaysia, Brunei dan dinegara lain penganut syiah adalah minoritas.
Di Indonesia penganut Syiah telah masuk beberapa abad yang lalu, namun
konstelasi politik dimasa orde lama dan orde baru tidak memberi ruang penganut ini untuk
berkembang. Syiah di Indonesia mendapatkan momentumnya ketika revormasi, dimana
pada tahun 2001 bertempat di Jakarta dideklarsikanlah sebuah organisasi yang bernama
IJABI dengan kepanjangan Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia dengan ketuannya
Jalaludin Rahmat. Sebagaimana di mayoritas negara-negara didunia kecuali Iran, penganut
syiah di Indonesia juga minoritas. Menurut Jalaludin Rahmat, penganutnya tidak lebih dari
2,1 juta jiwa. Artinya hanya sekitar 1% dari jumlah penduduk Indonesia. Hal ini sangat
jauh bila dibandingkan dengan jumlah penganut ormas Nahdlatul Ulama, yang diklaim
mencapai 40 juta atau ormas Muhammadiyah yang mencapai 30 juta orang, sebagaimana
yang disampaikan oleh Din Syamsudin (ketua PP Muhammadiyah) ketikan diwawancarai
oleh Alfito Denova dalam acara tokoh yang disiarkan oleh Tvone beberapa waktu lalu.
Adapun Aksi pembakaran pesantren milik warga Syiah di Sampang, Madura,
ternyata berawal dari konflik keluarga. Pemicunya antara Rois Alhukama yang berseteru
dengan Tajul Muluk. Hal ini disampaikan oleh Juru Bicara Polri, Inspektur Jenderal Saud
Usaman Nasution, di Mabes Polri, Jumat, 30 Desember 2011 (VIVAnews.com). Kakak
beradik ini berbeda paham dalam menerapkan ajaran agama kepada santri. Rois Alhukama
berpaham Sunni, sementara Tajul Muluk adalah Syiah. Saud mengatakan, konflik keduanya
sebenarnya sudah dijembatani dengan melakukan Musyawarah Pimpinan Daerah. Lalu
dibuat perjanjian antara keduanya.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo juga mengungkapkan hal yang sama. Menurutnya,
aksi pembakaran pesantren dan rumah warga Syiah diawali konflik keluarga yang
sudah berlangsung lama. Dulu sudah dilakukan pendekatan. Namun juga tak kunjung
terselesaikan. Hingga akhirnya merembet ke persoalan agama. Pihaknya mengaku, bersama
Majelis Ulama Indonesia dan Pemerintah Sampang, sudah berusaha mendamaikan kedua
kelompok tersebut. Namun, konflik keduanya belum bisa diselesaikan.
Ujungnya Kerusuhan massa pada hari Kamis 29 Desember 2011 sekitar pukul 09.30
WIB terjadi penyerangan di pondok Pesantren Misbahul Huda Nangkernang, Sampang,
Madura, Jawa Timur. Massa yang mengaku berasal dari kelompok Sunni membakar milik
pondok milik kelompok Syiah secara membabi buta. Ada rumah dan sebuah musala yang

Kerukunan dalam Perbedaan: Tinjauan Spiral of Silence dalam


KasusPenyerangan Islam Syiah di Sampang, Madura

79

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 77-84

ISSN: 23389176

dibakar. Tak beberapa lama kemudian anggota polisi dari Polres Sampang tiba di lokasi.
Polisi yang tiba itu kemudian mencoba untuk memadamkan api yang membakar tempat
ibadah dan rumah warga tersebut. Namun massa dari kelompok Sunni menghalangi, nyaris
terjadi kesalahpahaman karena mereka menuduh polisi membela kelompok Syiah (www.
detik.com).
Demi keamanan penganut Syiah asal Dusun Nangkrenang, Desa Karang Gayam
itu diungsikan ke Gor yang ada di Jalan Wijaya Kusuma, sekitar 20 kilometer dari kantor
Kecamatan Karang Penang. Jumlahnya mencapai 225 orang. Para pengungsi tersebut
dipindahkan menggunakan truk bantuan dari kepolisian dan Satpol PP.

C. Pembahasan.
Spiral of silence adalah teori komunikasi massa yang diperkenalkan oleh Elizabeth
Noelle-Neumann untuk menggambarkan proses formasi opini publik. Noelle-Neumann
mendefinisikan "spiral of silence" sebagai proses yang pengalaman individu ketika
pendapatnya banyak yang mendukung atau diterima oleh khalayak maka cenderung untuk
mengekspresikan pendapatnya, namun jika pendapatnya tidak diterima oleh khalayak atau
minoritas maka akan cenderung diam dan menyembunyikan pendapat tersebut. (Littljohn
dan Foss, 2009)
Noelle-Neumann melanjutkan dengan mengatakan bahwa individu yang memiliki
pendapat bertentangan dengan khalayak akhirnya akan mengalami perasaan isolasi, jika
pandangan mereka diasampaikan secara terbuka atau terang-terangan, mereka berisiko
menjadi terisolasi dari mayoritas. Noelle-Neumann mengacu pada penulis klasik opini
publik untuk menjelaskan konsep reaksi oleh individu. Diantarannya adalah Tonnies yang
menulis, "Opini publik selalu mengklaim sebagai otoritatif. Hal ini menuntut persetujuan
atau setidaknya memaksa diam, atau abstain dari kontradiksi. Demikian pula, Bryce
menulis bahwa ada "mayoritas yang tetap diam karena merasa dirinya dikalahkan ".
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Littlejohn dan Foss (2011) bahwa tesis
tentang teori spiral of silence berangkat dari dua pemikiran. Pertama, manusia mengetahui
opini mana yang termasuk umum dan mana yang tidak termasuk opini umum. Dengan
kata lain manusia tidak segan untuk menebak apakah dirinya termasuk mayoritas atau
minoritas. Asumsi kedua adalah bahwa manusia menyesuaikan persepsi mereka dengan
asumsi tersebut.
Konsep yang digunakan oleh Neumaan dalam membangun Opini Publik:
a. Kemampuan manusia untuk mengukur tren di publik.
b. Kecemasan Individu yang dapat dibenarkan terhadap suatu bentuk Isolasi.
c. Keraguan-raguan untuk mengekspresikan pandangan.
Noelle-Neumann mengembangkan lima hipotesis yang untuk menguji teori spiral
of silence. Hipotesis tersebut disusun berdasarkan teori-teori dominan dan inti konsep
opini publik. Hipotesis pertama ini berpendapat bahwa individu membentuk sebuah frem
dari distribusi pendapat dalam lingkungan sosial mereka dan dari tren pendapat masyarakat.
Mereka mengamati pemandangan yang mendapatkan kekuatan dan yang menurun. Di sini,
Neumann menyatakan bahwa individu melakukan perhatian pada apa yang yang terjadi
di lingkungan sosialnya karena untuk membantu menentukan seberapa jauh seseorang
mengharapkan untuk mengekspos dirinya ke publik tentang topik tertentu. Hipotesis kedua
berpendapat bahwa kesediaan untuk mengekspos satu pandangan umum bervariasi menurut
penilaian individu dari distribusi frekuensi dan kecenderungan pendapat dalam lingkungan
sosialnya. Hal ini lebih besar jika ia percaya dirinya sendiri Berpandangansama dengan
mayoritas. Jika individu melihat bahwa pendapatnya lebih disukai di depan umum, dia
akan lebih bersedia untuk mengungkapkannya. Hipotesis ketiga berpendapat bahwa jika
individu memiliki arus distribusi yang sebenarnya tidak kongruen adalah karena pendapat
yang nya dirasa kuat sehingga berani ditampilkan di depan umum. Hipotesis keempat
berpendapat dalam hal penilaian opini publik, dimana ada korelasi positif antara masa
sekarang dan masa depan. Jika pendapatnya saat ini dianggap berlaku, kemungkinan akan
80

Beni Irawan Tarigan

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 77-84

dianggap sebagai masa depan juga. adapun jika korelasinya negatif maka untuk menjadi
pendapat yang lebih umum akan melalui proses perubahan. Hipotesis kelima berpendapat
bahwa jika individu berpikir bahwa kecenderungan pendapatnya diterima publik, maka
risiko isolasi akan kecil. (Noelle-Neumann dalam Em. Griffin, 2006).
Temuan kunci dari penelitian Noelle-Neumann adalah bahwa ketika individu
dihadapkan dengan opini publik, kelompok minoritas yang diam mungkin kurang untuk
menyesuaikan diri. Mereka melakukan dengan cara memilih orang-orang dan media yang
sependapat pandangan mereka. Dengan cara ini, kelompok ini lebih merasa nyaman
mencari cara dan metode dukungan untuk membuat rasa nyaman dalam mengekspresikan
pandangan dan opini mereka daripada berpura-pura untuk menerima pandangan yang
berlaku tetapi bertentangan dengan pendapat mereka sendiri. Noelle-Neumann juga
berasumsi bahwa media massa sangat mempengaruhi opini publik. Opini publik yang
semula bukan merupakan pendapat mayoritas, dengan publikasi media masa yang masif
sehingga menjadi mayoritas. Hal ini berakibat individu yang masuk dalam kelompok
minoritas semakin teralienasikan dan cenderung menyembunyikan pendapatnya.
Skema tentang teori spiral of silence dapat digambarkan sebagai berikut:
MunculPerdebatanyangMenerpaPublik

Mediamasa
memberikan
opiniopinidari
perdebatanyang
menerpaitu
dengandominan
sesuaidengan
karakteristiknya
kumulasidan
harmoni

Keinginan
untuk
bicara

Pendapatminoritas:
Ketakutanakanterisolasi

Orangorangsecara
secaramayoritas
setujudengan
pendapatdarimedia
massa

Munculpendapat
minoritas.Seseorangyang
tadiinginberopini
menjadimenahanopini
tersebut.Karenatertekan
pendapatdaripublikyang
mayoritasdanmedia
massayangberbeda
dengannya

Gambar 1, Spiral of Silent

Dari uraian dan sekema diatas bahwa teori spiral of silence dapat digunakan untuk
memotret kerusuhan yang menimpa warga syiah yang ada disampang, Madura. Dengan
komponen individu yang merasa minoritas, peran media dan opini publik. Penjelasannya
kurang lebih sebagai berikut.
1. Opini publik yang berkembang selama ini pada masyarakat adalah warga syiah
memiliki pemahaman agama islam yang menyimpang dari koridor dan kaidah
sebagaimana yang dipahami oleh umum. Baik secara politis terlebih lagi secara
ideologis. Mengacu pada teori spiral of silence, opini yang berkembang selama ini
dimasyarakat akan mempengaruhi sesseorang untuk menyampaikan pendapat dimuka
umum karena merasa dirinya monoritas. Kita bisa menyaksikan berapa orang yang
berani untuk tampil untuk menyuarakan pendapat atau sekedar menyampaikan simpati.
Kerukunan dalam Perbedaan: Tinjauan Spiral of Silence dalam
KasusPenyerangan Islam Syiah di Sampang, Madura

81

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 77-84

ISSN: 23389176

Bisa kita bandingkan dengan kasus yang menyangkut korupsi atau penegakan hukum
yang menyangkut para pejabat misalnya. Karena kasus korupsi merupakan opini
publik, maka siapapun tidak segan untuk tampil dimedia atau berbicara pribadi, entah
di angkutan umum, diwarung makan, atau bahkan sampai melakukan demonstrasi.
Tidak peduli apakah dia laki-laki atau perempuan, remaja atau dewasa bahkan kita bisa
melihat ditelevisi tentang kegiatan anak-anak yang resah dengan penegakan hukum di
Indonesia dengan menyumbang sandal beramai-ramai.
2. Ekskalasi opini yang berkembang dipublik sebagai justifikasi terhadap para
penganut syiah banyak dipengaruhi oleh media. Selama ini pemberitaan media
yang menyampaikan bahwa kaum syiah adalah minoritas dan pahamnya diangap
menyimpang oleh penganut sunni, menambah perkembangan opini menjadi semakin
tidak seimbang dimasyarakat. Sebagai contoh adalah pemberitaan yang disampaikan di
situs berita online, VIVAnews.com, hari kamis 29 Dersember 2011 pukul 13.15 dengan
judul Warga Syiah Madura: Kami Bukan Aliran Sesat sebagai berikut;
VIVANEWS - Sejumlah warga membakar pesantren Misbahul Huda milik warga Syiah di
dusun Nangkernang, Sampang, Madura sekitar pukul 09.15 WIB pagi tadi. Tidak hanya
pesantren, tiga rumah milik warga Syiah juga dibakar.
Iklil Al Milal, warga Syiah di Nangkernang menyayangkan sikap aparat keamanan yang
tidak bisa mengantisipasi aksi brutal massa.
Kami sudah memberitahukan bahwa ada rencana pembakaran. Tapi setelah rata dengan
tanah, petugas baru datang. Polisi sudah tahu akan ada pembakaran, karena saya sudah
lapor, tuturnya kepada VIVANEWS.COM, Kamis 29 Desember 2011.
Bahkan saat ini, sekelompok warga yang mengatasnamakan kelompok Sunni itu masih
beringas untuk membakar rumah warga Syiah di dusun itu. Termasuk rumah milik Milal.
Untuk menghindari amuk massa, beberapa warga Syiah, kata Milal sudah mengungsi ke
tempat lain. Saya dan keluarga sudah tidak di rumah, katanya.
Milal menuturkan, keberadaan warga Syiah di dusun Nangkernang sudah sejak tahun
1980-an. Namun, beribadah secara terang-terangan baru berlangsung pada 2004 lalu.
Sejak saat itu tidak ada masalah dengan warga. Tapi sejak banyak tokoh-tokoh agama
muncul dan memprovokasi, tahun 2006 mulai ada penyerangan terhadap kami, ungkapnya.
Kemudian, pada 2009, Syiah di dusun itu bukan aliran sesat oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Sampang. Karena 2009 sudah ada pertemuan di Sampang. Hadir MUI Sampang,
Kapolsek dan Danramil juga ada. Dan waktu itu Syiah dinyatakan memang bukan aliran
sesat, karena tidak ada penyimpangan, tuturnya.
Perlindungan terhadap warga Syiah pun sudah dijamin oleh MUI dan pihak keamanan.
Namun, warga setempat justru semakin keras menentang keberadaan Syiah di dusunnya.
Bahkan, kata Milal, aksi mereka semakin brutal.
Walau begitu, Milal menekankan kepada ratusan warga Syiah di dusun Nangkernang,
Sampang tidak membalas aksi brutal mereka.
"Kita hidup di negara ini harus patuh terhadap hukum negara ini, katanya. (umi)

Kata sesat yang disematkan oleh VIVAnews diatas walau bentuknya adalah sebuah
bantahan namun hal ini mengindikasikan jika selama ini paham syiah adalah dianggap
82

Beni Irawan Tarigan

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 77-84

sesat. Apalagi ketua MUI kabupaten Sampang yang menyebutkan orang syiah adalah sesat
ketika diwawancarai setasiun televisi metrotv bebrapa minggu lalu ketika membedah kasus
kerusuhan Sampang. Walaupun konteks konstruksi berita berbeda, karena disampaikan
pada tahun 2009 dan satunya 2011oleh yang berbeda pula (dimana pengurus MUI tahun
2009 telah berganti) maka secara psikologis akan membuat orang yang awam kemudian
mencari tahu tentang paham syiah, berhubung orang yang ada disekitarnya mayoritas sunni
maka refresensipun kemudian sedikit banyak membenarkan apa yang dikemukakan oleh
ketua MUI tersebut. Apalagi informasi ini masuk kepada orang yang sudah paham agama.
Walaupun statemen ketua MUI Sampang tersebut dibantah lagi oleh ketua MUI pusat yang
mengatakan bahwa penganut syiah tidak sesat.
3. Ketika opini publik yang didukung oleh peran media menempatkan sebuah isu tentang
ekskalasi mayoritas dan minoritas, kemudian individu mengidentifikasi jika dirinya
adalah masuk kategori minoritas maka dalam teori spiral of silence individu tersebut
lebih memilih diam karena takut untuk diisolasi oleh publik yang mayoritas. Begitu
juga yang terjadi dengan warga syiah diindonesia. Sama sekali kita tidak melihat
ada pergerakan masa yang masif yang secara terbuka mendukung warga syiah yang
diserang dalam kasus Sampang. Hal ini sangat kontras dengan mobilisasi masa yang
dilakukan oleh ormas-ormas islam lain. Katakanlah misalnya Nahdlatul Ulama atau
Muhammadiyah yang sering melakukan mobilisasi masa. Contoh lain misalnya FPI
yang dalam setiap swipingnya terhadap apa yang mereka sebut sebagai kemungkaran
selalu melibatkan massa yang banyak, menggunakan atribut bahkan sering mengjak
media untuk meliput. Penganut syiah hanya beberapa orang yang berani menyampaikan
secara terbuka untuk mengungkapkan dirinya syiah didepan publik. Antara lain adalah
Jalaludin Rahmat sebagai ketua dewan syura IJABI atau para korban kasus kerusuhan
Sampang. Itupun karena media mencari berita dengan mewawancarainya. Sebenarnya
ada inddividu yang sedikit berbeda ketika mereka masuk kategori minoritas, dimana
mereka punya kemauan untuk menyampaikan pendapatnya kepublik. Sebagaimana
yang disampaikan oleh Littlejohn dan Foss (2011) bahwa anak muda lebih ekspresif
daripada yang lebih tua, orang yang berpendidikan akan lebih kritis daripada yang tidak
berpendidikan, dan laki-laki umumnya lebih memiliki keinginan untuk mengungkapkan
opini daripada perempuan. Namun spiral of silence adalah sebuah faktor yang kuat
untuk mempengaruhi psikologis seseorang.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Nurudin (2007), bahwa teori ini mimiliki
kekurangan, tak ubahnya seperti teori-teori yang lain, dimana selalu ada kritik terhadap
teori tersebut. Kekurannganya adalah jika seseorang memiliki pendirian yang sangat kuat
maka tentunya tidak mudah untuk mengikuti pendapat mayoritas. Bahkan mereka terkadang
berani untuk mengemukakan pendapat. Hal ini juga terjadi pada kalangan penganut syiah.
Diantarannya Jalaludin Rahmat. Bahkan dia berani muncul dimedia untuk meluruskan dan
menyampaikan pendapatnya.

D. Kesimpulan
Kasusus penyerangan, pembakaran dan pengrusakan atas nama apapun jelas kita
sayangkan. Apalagi negara Indonesia adalah negara hukum. Tak terkecuali kasus yang
terjadi di Sampang Madura. Kaum minoritas merupakan sekumpulan masyarakat yang
secara psikologis sebagaimana disampaikan oleh Naumann dalam teori spiral of silence
adalah kelompok yang rentan akan keterasingan dan tekanan. Dalam konteks komunikasi
kaum minoritas cenderung diam dan hanya bisa leluasa berkomunikasi dengan sesama
individu yang mempunyai kesamaan oponi. Maka seyogyanya mayoritas sebagai
pemenang dalam meraih opini melindungi dan memberi ruang untuk berekspresi.
Konstruksi hubungan antara opini publik, media dapat berpengaruh besar terhadap
bentuk dan cara dalam berkomunikasi. Tak terkecuali dengan penganut syiah di Indonesia.
Penganut syiah yang merasa minoritas harus menyembunyikan pendapatnya demi rasa
rendah diri dan takut terisolasi dari pergaulan publik.
Kerukunan dalam Perbedaan: Tinjauan Spiral of Silence dalam
KasusPenyerangan Islam Syiah di Sampang, Madura

83

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 77-84

ISSN: 23389176

Daftar Pustaka
Littlejhon. W. Stephen dan Foss. A. Karen, 2011, Teori Komunikasi, Edisi 9. Jakarta:
Salemba Humanika.
Littlejhon. W. Stephen dan Foss, A. Karen. (ed), 2009, Encyclipedia Of Communication
Theory. London: Sage Publication.
Noelle-Neumann, Elisabeth, 2006, Spiral of Silence. Dalam Em. Griffin, A First Look At
Communication Theory edisi 6. New York: Mc Grew-Hill.
Nurudin, 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syaebani, Imam. 1988. Muhtasyar As Syiah. Baerut. Daar Al Qolam.
www.detik.com.
www.wikipedia.com.
www.VIVAnews.com.

84

Beni Irawan Tarigan

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96


Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

ISSN: 23389176

EKSPLOITASI FISIK DALAM LELUCON


(Tubuh dalam Program Humor Media di Indonesia)
Oleh: Uspal Jandevi
(Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Abstract
Funny Scenens that use body as a medium for producting humor is very often
encountered in avariety of shows on television, especially on programs comedy. Then how
humor as created can be viewed from varoius perspectiv,among other expressions of the from of
funny, until the production proces that humor. The result showed that body-themed humor that
appears that humor. The result showed that body-themed humor that appears in the Comedy
of Opera Van Java, is more likely to lead to an unactractive body shape (notaccording to
standart) as acommdity theme of humor body that can producelaughter does not only came
from techniques (visually) in producing that humor, but also involves the relations whit the
surronding enviroment, because in each of humors that is created there is always a connection
between : a funny scene, funny understanding,and the place where the humor is procedured.
Key Word: Body, Discourse, Comedy, Komodifikasi

A. Pendahuluan
Banyak acara televisi yang menyajikan sesuatu yang lucu untuk memikat para
penonton agar betah memilih stasiun televisi mereka menjadi stasiun favorit para audien,
dan tujuan akhirnya tentu saja agar stasiun-stasiun televisi dapat melakukan prosen
komodifikasi. Acara-acara tersebut pasti tidak lepas dari artis atau aktor yang membintangi
acara yang sekaligus menjadi icon acara tersebut, dalam kasus yang tertuang dalam tulisan
ini adalah program Pas Mantap (PM) yang ditayangkan oleh Trans7. Dibintangi olehpara
paleku komedian dari salah satu acara andalan mereka juga (Opera Van Java / OVJ), Parto,
Andre, dan Sule. Bahkan terkadang para pemain dalam acara OVJ lainnya seperti Aziz dan
Nunung, besertabintang tamu yang biasanya turun muncul di OVJ juga turut dihadirkan.
Komedian Talk Show yang membintangi PM sudah sangat di kenal sehingga
tanpa diperjelas lagi, orang sudah mengenal dan menginat bahwa mereka sebelumnya
adalah ikon-ikon OVJ,dimana mereka semua telah memiliki branding tersendiri, dan bila
dibandingkan dengan acara komedi lain mereka memiliki kesan lebih lucu dan menarik
untuk ditonton. Tim kreatif pun selalu berusaha menampilkan kelucuan yang khas disetiap
episodenya.
Kreatifitas tim kreatif juga tertunjang dengan karakteristik yang telah dimiliki oleh
asing-masing komedian dalam PM untuk memikat perhatian penonton. Para komedian
yang bertugas pun berusaha membangun sebuah karakter tertentu atau ciri khas supaya
gampangdikenal masyarakat. Karakter lucu yang dibangun itu biasanya terdiri dari
penampilan, gaya berpakaian, cara bicara,tingkah laku, sifat dan sikap mereka. Seperti
komedian Sule yang membuat potongan rambutnya seperti ekor kuda, Andre yang selalu
mengeluarkan suara cempreng dan bertingkah layaknya anak-anak (childish), Aziz yang
setiap penampilannya selalu pura-pura menderita gagap, Parto yang suka tampil latah,
Nunung yang senantiasa bangga dengan fisiknya yang over weightdan lain-lain. Contoh
karakter yang mereka miliki jika dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah kelemahan
85

Uspal Jandevi

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96

ISSN: 23389176

dan memalukan bagi kebanyakan orang dan ingin menghilangkan kesan itu dalam hidup
mereka, namun dalam dunia komedi hal-hal yang memalukan dan layak untuk ditertawakan
itu adalah aset berharga yang harus senantiasa dipelihara.
Komedian atau pelawak di Indonesia sendiri memang identik dengan wajah atau
fisik yag bisa dikatakan kurang menarik. Misalnya seperti pada Nunung dan Sule, dua
komedian masing-masing memiliki fisik yang unik dalam acara. Nunung yang over weight,
sedangkan Sule meiliki rambut yang mirip seperti ekor kuda dan kemudian hidung yang
pesek. Sekilas dekripsi dari bentuk fisik Sule dan Nunung dapat dibayangkan bahwa fisik
tidak proposional, fisik dan potongan rambut tidak menarik dengan wajah yang tidak
memenuhi kriteria kata ganteng. Tetapi semua kekurangan yang ada pada diri mereka
justru menjadi keistimewaan dan kelebihan hingga membawa mereka pada kesuksesan.
Dan barangkali jikaNunung tidak berfisik Over Weight atau Sule tidak berhidung
pesek dengan rambut pirang ekor kuda, maka ada kemungkinan juga mereka tidak terkenal
sepeti sekarang. Oleh karena itulah maka pada alenia diatas disebutkan bahwa identitas diri
dari ciri khas fisik dalam dunia komedi adalah aset penting bagi ekstensi seorang komedian.
Aktivitas verbal ataupun nonverbal dalam mengeksploitasi fisik sebagai sarana
dan sasaran empuk untuk ditertawakan terasa sangat kental sekali pada acara OVJ yang
kemudian ditularkan dalam acara PM. Meski hanya memeiliki satu saja bentuk fisikatau
sifat dan sikap yang bisa dikatakan tidak sesuai dengan standar manusia lain, namun apa
yang terlihat itucukup mewakili asumsi seseorang untuk menilai jelek seseorang secara
keseluruhan atas fisiknya. Oleh karena itu lah komunikasi verbal mereka olah sedemikian
rupa untuk melahirkan kata yang dapat mengundang tawa kerap kali menjadiakan fisik,
entah miliksendiri atau pun fisik lawan mainnya, sebagai bahan tertawaan.
Seperti mencela fisik secara langsungatau menyamakan obyek lelucon (diri sendiri
atau lawan main) dengan hal-hal yang sebenarnya tidak pantas, sepeti hewan contohnya,
dimana komedian yang bertubuh over weight diasumsikan dengan sapi atau babi. Selain
komunikasi verbal, komunikasi non verbal juga sering dilakukan untuk membuat suasana
menjadi semakin meriah maka tak jarang para komedia dengan sengaja menggerakakan
fisik, berpose dan bermainmain dengan wajah mereka untuk menjadikan mereka semakin
terlihat jelek, sehingga orang yang akan melihatnya akan meresakan geli dan akhirnya
tertawa, sebagaimana komedian yang berhidung pesek dengan sengaja bertingkah seperti
monyet untuk memancing ledakan tawa penonton.

B. Kajian Teoritis
1. Program Acara Talk Show
Program talk show menurut Fred Wibowo merupakan sajian yang mengetengahkan
pembicaraan seseorang mengenai suatu topik menarik atau yang sedang hangat dibicarakan
masayarakat (Wibowo,1997:50). Talk show juga didevinisikan sebuah program yang
menampilkan pembawa acara terkenal yang mewawancarai orang penting seperti, tokoh
masyarakat ,atau orang-orang yang sudah dikenal banyak orang (lusiana, 2006:85). Beberapa
pendapat tersebut adalah garis besar dari program bentuk talk show, tetapi bagaimana
dengan talk show bergenre komedi seperti dalam acara PM? jika dilihat dari aktivitas dan
topik yang dibahas talk shows itu sendiri bisa digolongkan menjadi dua :pertama; talk show
yang bersifat serius (formal). Kedua; Talk show yang bersifat ringan dan menghibur. Talk
Showsyang bersifat menghibur memang cendeung lebih di prioritas kan pada hiburan, dan
cenderung menjadi sebuah pertunjukan komedi. Dalam persperktifnya, dapat dikatakan
komedi karena menempatkan pelawak sebagai pembawa acara, singkat kata talks show
dengan pembawa acara seorang pelawak maka segala aspeknya otomatis dapat dijadikan
komedi.
Umumnya talk show mengandalkan seorang pembawa acara yang dikenal bercitra
cerdas, intelektual, kritis, pintar melontarkan pertanyaan cerdas bermutu dan berwajah
yang enak dilihat. (Lathief, 2007: 74). Namum, sepertinya kriteria pembawa acarayang
86

Uspal Jandevi

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96

tersebut seolah tidakberlaku bagi acara talk shows bergenre komedi. Pasalnya dalam talk
show bergenre komedi seperti PM, yang paling ditunggu justru adalah kekonyolan yang
terjadi lewat interaksi pembawa acara dan para bintang tamunya. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan talk show komedi adalah sebuah talk show dimana sang pembawa acara tidak
perlu menarik dan tidakcerdas, yang paling penting adalah kekonyolan yang terjadi lewat
interaksi pembawa acara dan para bintang tamunya. Pembawa acaranya harus seseorang
berjiwa komedian yang memiliki sense of humor yang cukup tinggi, tampilan acara segar,
tema yang dibahas ringan menghibur, dan apar bintang tamunya selain artis, kalau perlu
sang bintang tamu juga orang yang memiliki keunikan atau kekurangan fisik tertentu
sehingga bisa dijadikan bahan hiburan.

2. Komedi
Sesuatu dapat dikatakan lucu apa bila berhasilmengundang senyum atau tawa.
Komedi terbagi menjadi tiga kelompok; Pertama, teori superioritas dan meremehkan.
Kedua, teori mengenai ketidakseimbangan. Ketiga teori mengenai pembebasan dari tekanan
dan memberikan ketenangan (Suhadi,1992:26). Dan dari tiga jenis komedia itu, yang kerap
kita temui adalh komedi dari tipe pertama, mengenai superioritas dan meremehkan. Tipe
inidijelaskan pihak yang mentertawakan lawan berada pada posisi superior, sedangkan
pihak lain sebagai obyek yang ditertawakan menempati posisi inferior, seolah menjadi
sasaran yang memang pantas dan layak untuk diremehkan atau di hina (Suhadi,1992:26).
Dan kesimpulan itu diperkuat dengan pendapat yang mengatakan bahwa manusia
akan tertawa jika ada sesuatu yang diluar kebiasaan dan sesuatu yang dianggap jelek
(Suhadi, 1992:2).Dala lingkup acara komedi sesuatu yang berada diluar kebiasaan banyak
orang, kemudian muncul didepan mata atau didengar secara tiba-tiba akan membawa
sebuah bentuk rangsangan secara mendadak, inilah yang menimbulkan asumsi lucu sebagai
suatu hal yang dapat mengundang tawa.

3. EksplotitasiFisik
Secara kasat mata, fisik adalah simbol diri yang utama dalam kehidupan. Namun
selain dari segi fungsi yang sebenarnya, manfaat fisik dalam hal ini adalah penggunaan fisik
manusia sebagai alat untuk membangun sebuah hidup dan stereotip dalam sistem sosial
(Faucault, 1997:75). Dan dalam fenomena sehari-hari, fisik memiliki posisi dan fungsi
yang lain, itulah fisik perlu dikontruksi khusus agar fisik memiliki guna yang lain untuk diri
dan orang lain. Inilah yang dimaksudkan oleh Foulcoult sebagai fenomena fisik yang taat.
Kapanpun, dimanapun, jenis gender dan segala sektor kehidupan sosial menjadi
sebuah mekanis mendalam ajang disiplin penguasaan atas fisik. Tiap bagian fisik tanpa kita
sadari mempunyai porsi masing-masing dalam masyarakat yang menjadi tatanan struktur
sosial sendiri (Synnott, 2007:371). Dan seolah ada hukuman untuk fisik yang keluar dari
jalur kenormalan. Dan hukuman itu di kenakan terhadap segala aspek yang menyangkut
lahir maupun batin dalam konteks sosial (Foucalt,1997:97). Sehingga bagaimana fisik
itu diolah dan dikendalikan sangan terikat pada ukuran-ukuran standar nilai yang ada
didalam identifikasi sosial (Pilliang, 1998:335). Bagaimanapun juga aktifitas atas fisik
selalu mendapatkan kontrol dari orang-orang sekitar (masyarakat), adanya disipilin dalam
segala aspek menjadikan fisik yang tidak mengikuti atau tidak berjalan sesui dengan batas
kewajaran, dinilai menyalahi aturan.
Intinya, setiap pribadi memiliki kekuasaan pada fisiknya, dikemukakan oleh
Foucalt memiliki ciri yang paling utama, selalu dikoreksi setiap gerak natural anatomi atas
fisik manusia (Suyono,2002: 397).

C. Anilisis Kritis
Dalam pandangan Fairclough wacana merupakan bahasa yang dipakai untuk
Eksploitasi Fisik dalam Lelucon (Tubuh dalam Program Humor
Media di Indonesia)

87

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96

ISSN: 23389176

memberikan sebuah gambaran akan suatu praktik sosial ditinjau dari sudut pandang
tertentu. Dan adri sudut pandang konseptual teoritis, oleh Fairclough wacana diterjemahkan
menjadi suatu dominan umum dari semua pernyataan, seperti kalimat dalam teks yang
mempunyai makana dan mempunyai efek dalam dunia nyata (Sobur, 2006:11). Agar bisa
melakukan analisis wacana secara menyeluruh, maka kita perlu menerapkan sesuatu yang
bernama analisis wacana kritis(critical discourse analysis). Tujuan dari analisi wacana kritis
sendiri adalah menjelaskan dimensi linguistik dalam fenomena sosial, kultural, dan proses
perubahan dalam modernisasi terkini. Wacana tidak hanya memberikan kontribusi pada
pembentukan kembali struktur sosial namun merefleksikan pembentukan kembali struktur
sosial tersebut (Jorgensen dan Philip, 2007:116).
Teks dalam bentuk bahasa yang diproduksi baik secara verbal ataupun nonverbal
dalam sebuah acara talk showkomedi ditelevisi memiliki wujud yang sangat nyata sehingga
dengan menggunakan tiga dimensi yang dimiliki Fairclough, akan dapat mengetahui makna
yang terkandung dalam proses produksi dan bentuk relasi dengan lingkungan sosialnya.
Gambar dibawah adalah bentuk hubungan tiga dimensi dari Fairclought yang terdiri
dari: Text, Discourse practice, Sociocultural practice. Teks,dianalisis secara linguistik
dengan melihat kosakata, sematik,dan tata kalimat yang juga memasukkan koherensi dan
kohesivitas, bagaimana antar kata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk
pengertian. Discourse practiceadalah dimensi yang berhubungan dengan konteks diluar
teks (Eriyanto 2001:288). Sosiocultural practicemeliputi kondisi-kondisi sosial,yang dapat
lebih ditetapkan sebagai kondisi suatu produksi. Ringkasan tersebut menyatakan bahwa
kondisi-kondisi sosial ini membentuk cara dimana teks diproduksi atau dihasilkan dan
ditafsirkan (Fairclought, 2003:28).

D. Pembahasan
1. Tumbal Kemenarikan
Lelucon yang dikemas dengan berbagai bentuk ungkapan sehingga dapat
menimbulkan tawa bagaimanapun juga adalah buah kreatif dari para komedian dalam
memanfaatkan berbagai keadaan di sekitarnya. Dengan memanfaatkan kekurangan pada
fisik sendiri atau orang lain untuk dijadikan bahan lelucon, teknih ini selalu menjadi andalan
para komedian disetiap acara bernuansa komedi muncul.
Fenomena ini merupakan sebuah sinyal bahwa kondisi fisik yang atau tidak
berada pada kategori normal bagi kebanyakan orang telah dimanfaatkan untuk komoditi
tertentu. Aspek kebermanfaatan fisik bahkan cenderung telah bersifat manipulatif guna
menimbulkan kesan bentuk fisik yang tidak menarik. Sebab dibalikfisik yang tidak menarik
ituterdapat sebuah alat untuk memancing tawa dari masyarakat yang dianggap bahwa bagi
mereka penampilan fisik adalah sebuah prioritas (Herabadi, 2007:18).
Sikap para komedian ini didukung oleh standarisasi bentuk fisik ideal dalam asumsi
masyarakat luas yang membuat khalayak senantiasa berpacu untuk membuat penampilan
fisik menjadi lebih bagus menurut asumsi mereka masing-masing dan itu bersifat
komunal,hingga kemudian orang-orang dengan kategori fisik yang tidak menarik dalam
penilaian banyak orang menjadi sumber perhatian khalayak ramai, logika sederhananya;
mereka yang tampil menarik dan sangat dekat dengan kata tubuh proporsional menjadi
kategori biasa, dan orang-orang yang penampilan fisiknya jauh dari kata proporsional
menjadi komunitas unik sehingga mendapatkanperhatian lebih intensif dari lingkungan
sekitar.
Lantas pandangan fisik terhadap orang-orang yang bertubuh jauh dari kata
proporsional yang dapat memancing tawa bisa kita klasifikasikan sebagai beriktu; Pertama,
tubuh yang tidak normal sebenarnya hanya ada pada satu bagin tubuh saja tertentu saja,
seperti berhidung pesek atau berambut keriting. Kedua; keberadaan fisik yang memang
jauh dari kata proporsional secara umum, musalnya tubuh yang terlalu over weight.
Dari dua ketgori bentuk fisik yang kerap menjadi bahan tertawaan ini pada intinya
88

Uspal Jandevi

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96

dapat disebut sebagai sekelompok minoritas dalam ruang lingkup masyarakat. Sebab
sebagaimana yang telah kita ulas dalam paragraf-paragraf di atas sebelumnya bahwa
orang dengan fisik proporsional menjadi sesuatu yang biasa dan kerap dijumpai. Status
sebagai minoritas inilah yang menjadikan mereka sebagai pusat perhatian orang-orang di
sekitarnya.
Tubuh non proporsional yang mendapat perhatian pengawasan dari berbagai
khalayak lainnya itu tidak hanya mendapatkan pandangan lebih dari khalayak luas saja,
tapi juga menjadi obyek investigasi orang-orang berfisik proporsional (Suyono, 2002:
431). Singkat kata, otomatis pihak-pihak bertubuh non proporsional mendapatkan tempat
khusus dalam sanubari orang-orang berfisik proporsional.
Oleh karena itu tubuh non proporsional dalam menciptakan aksi-aksi yang
dapat mengundang tawa (lucu) selalu dijadikan magnet untuk merangsang munculnyab
tawabahkan untuk dapat memunculkan tawa itu pemilik tubuh non proporsional harus
reladiperlakukan dengan tidak menyenangkan. Fenomena tersebut terkategorikan dalam
teori superioritas dan degradasi,artinya ada pihak yang dengan sengaja mentertawakan
orang lain yang dianggap berposisi dibawahnya dalam hal struktur sosial maupun segi
kemenarikan dalam segi bentuk fisik (Pradopo dkk, 1987: 5).
Meskipun terkadang ketika tubuh yang non proporsional itudieksploitasi untuk
mengundang tawa penonton tidak berhasil mengundang tawa, karena bukannya tidak
mungkin terkadang yang muncul dalam benak audien adalah rasa iba atas perlakuan yang
diterima oleh pemilik tubuh non proporsional.
Namun bagaimana pun juga lebih kerap kita temuipara penonton tanpa segan
menertawakan tindakan aniaya yang diterima oleh pemilih tubuh tak proporsionaldisebabkan
secara psikologi sosial baik dan buruknya bentuk tubuh telah terpolarisasikan sedemikian
rupa dalam benakmasyarakat, tubuh yang proporsional adalah representasi kebaikan
baik secara lahir maupun moral yang senantiasa harus selalu dipuja dan pemilik tubuh
proporsional ini harus senantiasa diagung-agungkan, sedangkan tubuh yang dinilai tidak
menarik (jelek) menjadi representasi dari sebuah kejahatan baik lahir maupun batin
hingga tidak harus dibela (Synnott, 2007: 159). Bukankah sedari kecil masyarakat kita
sudah disuguhi sebuah cerita dimana orang-orang baik (pahlawan) senantiasa digambarkan
berwajah rupawan dan bertubuh proporsional, sedangkan orang-orang yang ditokohkan
sebagai penjahat digambarkan berwajah jelek dan bertubuh tidak menarik?
Mindset itu telah menjadi budaya bagi masyarakat kita oleh karena itu orangorang dengan bentuk fisik non proporsionalmenjadi pihak yang tersisihkan dari lingkungan
sekitarnya. Hingga dalam dunia komedi momen melakukan penghinaan yang berbau fisik
menjadi saat yang ditunggu-tunggu untuk menarik tawa audien.
Selain eksploitasi fisik yang terepresentasikan penghinaan, tindakn pelecehan atas
tubuh laiinya yang kerap digunakan untuk memancing tawa adalah dengan meniru gerakan
hewan. Meski sebenarnya ini adalah tindakan yang melecehkan diri sendiri (karena
biasanya yang melakukan ini adalah hasil keinginannya sendiri, bukan dari keinginan lawan
mainnya) tetapi tidak jarang bahwa sikap yang memalukan ini adalah senjata andalan para
komedian untuk memancing audien tertawa.
Janarto (1990: 160) berpendapat bahwa kelucuan dalam menirukan tingkahlaku
binatang yang dilakukan oleh seorang komedian akan lebih sempurna jika sang komedian
dapat mengkombinasikan komunikasi verbal dengan nonverbal, termasuk didalamnya
adalah gerak badan. Dan dalam proses ekploitatif ini adalah bentuk peniruan terhadap
hewan, yang terjadi adalah jika seorang komedian tengah menirukan suara monyet maka
dia pun akan menampilkan totalitasnya dengan berjalan sambil menekuk lutut sembari
menggaruk-garuk kepala dan mengatur mimik wajahnya meniru mimik wajah monyet.
Komunikasi non verbal adalah upaya untuk menegaskan pesan yang disampaikan
melalui komunikasi verbal, dan tak jarang seseorang senang memperhatikan gerak-gerik
yang muncul dari lawan bicaranya. Disamping itu mimik mukajuga termasuk dalam
kategori komunikasi non verbal yang mengandung banyak makna, oleh karena itu ada

Eksploitasi Fisik dalam Lelucon (Tubuh dalam Program Humor


Media di Indonesia)

89

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96

ISSN: 23389176

akalanyasadar atau tidaksebenarnya mimik mukasudah lebih dulu menyampaikan pesan


sebelum pesan itu kita lontarkan secara verbal (Synnott, 2007 :116).
Aktifitas merangsang tawa dalam tiap adeganhumor mulai didominasi dengan
aktivitas nonverbal yaitu dalam bentuk gerakan menyerupai hewan, dan utnuk mensukseskan
rencana tersebut maka diperlukan spiritdari sosok seekor binatang yang familiar dengan
khalayak agar setiap simbol non verbal yang dikeluarkan oleh komedian dimengerti dengan
mudah oleh audien, kalau menggunakan karakter binatang yang tidak familiar maka pesan
yang ditransfer akan menjgandung unsur nois yang mengakibatkan tidak menghasilkan
feed back sebagaimana yang diharapkan.
Tubuh manusia pada hakekatnya telah terdesain sedemikian rupaagar beringkahlaku
sebagaimana manusia mestinya, dan secara otomatishal ini mengakibatkan seorang
individu berada dalam pengawasan masyarakat pada umumnya, oleh karena itu ketika
tubuh digunakan atau digerakan dalam tingkahlaku yang tidak wajar dan tidak memenuhi
fungsi sebagaimana tuntutan kodratnya masing-masing dalam pandangan manusia pada
umumnya secara otomatis akan mendapatkan suatu hukuman yang terbentuk secara mental
dan akan melekat dalam diri tiap masing-masing individu, (Suyono 2002: 398).
Binatang yang dianggap memiliki drajat lebih rendah jauh dibawah manusia
memiliki alasan tersendiri kenapa kerap dijadikan bahan untuk merangsang tawa audien.
Melalui keyakinan binatang berposisi sebagai makhluk yang buruk dan berada dibawah
drajat manusia menjadikan humor bertema binatang sebagai sebuah pesan yang bersifat
merendahkan diri sendiri maupun orang lain.
Pada dasarnya seseorang pasti akan terhina dan marah seandainya disamakan
dengan hewan. Mengingat dari berbagai kemapuan hingga peradaban manusia lebih
unggul secara telak. Namun dalam dunia komedi posisi hewan memiliki penafsiran makna
sendiri menjadi sesuatu yang memiliki fungsi untuk menghibur, maka yang terjadi adlah
perubahan makna dimana binatang yang dikenal sebagai makhluk yang jelekberubah
menjadi menghibur.

2. Looney Style
Style yangberbeda dari yang biasa dikenakan oleh kebanyakan orang / unik, sangat
penting untuk membentuk karakter bagi seorang komedian, dari styleitulah karakter
seorang komedian menjadi simbol yang memudahkan masyarakat untuk mengenalnya.
Looney style tidak melulu harus di-representasikan dalam bentuk pakaian maupun kostum,
akan tetapi dapat pula terwujudkan dalam bentuk gaya rambut, jenggot dan kumis, sampai
asesoris khusus dan tambahan yang memang dengan secara sengaja dikenakan untuk
menumbuhkan kesan lucu pada pada diri komedian yang berkepentingan.
Disini pembahasan kita melangkah pada kajian fisik dimanipulasi sedemikian rupa
dengan bantuan (penambahan) satu atau lebih obyek lainnya, yang tidak biasa dikenakan
oleh masyarakat umum,yang dapat terlihat oleh audiendengan mengharapkan dapat
ditransformasikanmenjadi sesuatu yanglayak ditertawakan.
Berbeda dengan pembahasan sebelumnya, di sini dimana fisik tidak hanya terpaku
oleh relasi fisik dan gerak yang direkontruksikan, tetapi dalam hal ini jelas disiplin juga
memusatkan kontrolnya pada hubungan antara fisik dengan obyek, menurut Foucault obyek
yang dimaksud dalam hal ini adalah sesuatu yang biasa dipakai atau dapat dimanfaatkan
oleh fisik tersebut (Suyono, 2002: 408). Memanfaatkan sesuatu yang dapat menunjang fisik
untuk memaksimalkan nilai gunanya dalam ruang lingkup talk show komedi adalah salah
satu gambaran dari pembahasan ini. Fisik membutuhkan obyek lain untuk dapat memenuhi
fungsinya, obyek tersebut meliputi komponen di luar fisik seperti pakaian dan asesoris
rambut, sedangkan model rambut kribo (Budi Anduk) dan model kumis ikan lele (Tukul
Arwana) adalah bentuk obyek yang sengaja diciptakan untuk mendapatkan nilai lebih atas
fungsi dari fisik tersebut. Meskipun pakaian, asesoris, model rambut, dan model kumis,
memiliki bentuk dan sifat obyek yang berbeda, namun di sini komponen tersebut samasamadapat dimanfaatkan sebagai sebuah obyek yang dapat mendukung dan meningkatkan
90

Uspal Jandevi

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96

nilai guna atas fisik di panggung komedi.


Kontrol dalam memanfaatkan obyek tersebut senada dengan pendapat Foucault
dalam memperhatikan fisik melalui ukuran disiplin, yang berusaha membuat elemenelemen fisik satu sama lain memiliki tipe-tipe hubungan yang produktif. Sehingga terhadap
seluruh elemen-elemen fisik tersebut, Foucault melihat sebuah disiplin yang melakukan
semacam coding atau pengkodifikasian elemen-elemen dalam memanfaatkan obyek
(Suyono, 2002: 408). Kasus mengenai penampilan pada komedian tersebut) ikadisentuh
denganpendapat Foucault dalamkodifikasi mengenai anatomi fisikjuga akan didapat ada
dua unit yang dapatberjalan secara paralel, yaitu rangkaian bagian fisik yang digunakan dan
obyek yang dimainkan atau digunakan. Sehingga jika pengkodifikasian tersebut diterapkan
dalam penampilan para komedian yang memang telah berhasil memanfaatkan hal-hal lain
dari luar fisik untuk menunjang fungsi fisiknya(Suyono, 2002: 409), bisa didapat sebagai
berikut. Unit pertama; rangkaian bagian fisik yang digunkan misalnya seperti; badan,
kepala, rambut, dan kumis, sedangkan unit kedua; obyek yang digunakan dapat berupa;
pakaiaan, asesoris, model rambut, dan model kumis. Pengkodifikasian tersebut seharusnya
telah mendapat sebuah aturan-aturan dimana pakaian, asesoris, model rambut, dan model
kumis, telah memiliki bentuk standarisasi masing-masing, yang secara tidak langsung telah
disepakati bersama.
Masyarakat telah mendapat pendisiplinan secara tidak langsung mengenai apa
yang terlihat dalam media dan bentuk realitasnya dalam masyarakat, penampilan seperti
model baju, bentuk asesoris rambut, model rambut, dan model kumis, juga telah memiliki
bentuk-bentuk standarisasi masing-masing dimana telah dipatuhi jauh sebelum masyarakat
menyadarinya. Bentuk-bentuk pengungkapan ekspresi melalui penampilan seseorang
kepada orang lain memiliki porsi masing-masing tiap individunya, sehingga jika terjadi
sebuah penampilan yang keluar dari taraf kenormalan seperti yang dijelaskan sebelumnya
akan mendapatkan pengawasan khusus dari individu lain. Seorang komedian dan segala hal
menyimpang dari kebiasaan, menjadi target dimana terjadi pengawasan, seperti misal; Budi
Anduk yang selalu mengenakan model pakaian aneh dalam membawakan acara Untung
Ada Budi, baik itu dilihat dari corak warna hingga dengan model atau bentuk pakaiannya.
Semua selalu akan berpengaruh pada pendapat setiap orang yang melihatnya ataubisa
disebut sebagai sebuah bentuk relasi berdimensi sosial. Siapapun yang melihat penampilan
Budi saat acara berlangsung pasti akan segera menilai pakaian tersebut memiliki kesan
yang aneh karenamodel pakaian Budi berbeda dengan orang-orang yang ada sekitarnya.
Sedangkan model rambut Budi yang tergolong jenis rambut kribo, yang semestinya
dirapikan (dipotong pendek) tetapi justru rambut tersebut dipanjangkan sehingga terkesan
jelek dan tidak beraturan.Model pakaian dan model rambut kribo tersebut akan cenderung
mendapat koreksi dari individu di sekitarnya karena apa yang melekat pada fisik Budi
Anduk telah keluar dari taraf kenormalan, sehingga mendapat pengawasan. Melalui
pengawasan tersebut hal-hal yang melekat pada fisik Budi,telah menjadi sebuah magnet
yang akan mendorong niat orang-orang di sekitarnya untuk melempar ejekan, celaan, atau
hinaan atas apa yang melekat pada fisik Budi tersebut, yang tentunya diharapkan dapat
memancing tawa penonton dari ejekan dan hinaan yang diterimanya.
Penyebab atau sumber terjadinya kelucuan yang diungkapkan oleh Teguh Srimulat
(1990:158) mengenai hubungan timbal-balik antara lucu itu aneh dan aneh itu lucu
juga masih berlaku di sini. Penampilan yang sengaja diciptakan atau dilekatkan pada
fisik komedian tak lain untuk membuat mereka terkesan aneh, konyol, jelek, namun dari
asumsi tidak baik itu diharapkan akan muncul juga kesan lucu. Menurut Teguh Srimulat,
rias wajah, model rambut, kostum, dan lain sebagainya sangat diperlukan untuk dapat
mendukung sebuah karakter seorang komedian (Janarto, 1990: 160), kesan-kesan aneh
dari penampilan tersebutlah yang dapat mendukung aksi lucu dalam setiap adegan yang
dimainkan. Sebuah penampilan dapat dikatakan aneh tidak lepas dari pengaruh masyarakat
sekitar, sebenarnya kesan aneh yang muncul atas sebuah penampilan juga didorong oleh
sebuah ketidakwajaran dalam penampilan itu sendiri. Hal-hal yang dianggap menyalahi

Eksploitasi Fisik dalam Lelucon (Tubuh dalam Program Humor


Media di Indonesia)

91

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96

ISSN: 23389176

aturan atau tidak sewajarnya memunculkan sebuah kesan yang tidak baik seperti yang
terjadi pada beberapa adegan lucu dalam episode tersebut. Pernyataan-pernyataan lucu
bersumber dari ketidakwajaran dalam berpenampilan, ketidakwajaran tersebut dapat
diungkapkan seperti misalnya:baju atau kostum yang dikenakan Budi Anduk, asesorisasesorisyang modelnya tidak biasa, hiasan rambut yang berlebihan, model rambut kribo
yang dimiliki Budi, model rambut kotak dan model kumis ikan lele milik Tukul. Semua
bentuk obyek tersebut dimanfaatkan sedemikian rupa untuk dapat menimbulkan kesan
tidak wajar atau aneh, sehingga penampilan tersebut mendorong orang di sekitarnya untuk
mengeluarkan pernyataan-pernyataan lucu yang berasal dari penampilan aneh tersebut.
Sehingga jelas bahwa hal-hal aneh yang diupayakan seorang komedian untuk dapat melekat
pada dirinya,akan menimbulkan kesan lucu, sebaliknya kesan lucu tersebut berasal dari
hal-hal aneh yang sengaja diciptakan oleh para komedian.

3. Sociocultural Practice
Ketiga pokok bahasan di atas hampir memiliki kesamaan dalam memproduksi
sebuah kelucuan dimana telah dikategorikan menjadi tiga kategori menurut sumber
kelucuannya. Secara garis besar ketiganya sama-sama memanfaatkan hal-hal yang berkaitan
dengan fisik tidak nomal (keluar dari kebiasaan) baik itu yang dengan sengaja dimanipulasi
sehingga keluar dari kebiasaan atau memang telah memiliki ketidaknormalan.Berbagai
hal yang keluar dari kebiasaan di sini seperti; gerakkan, kondisi fisik, dan penampilan
yang tidak sewajarnya, menjadi sebuah komoditi untuk memproduksi sebuah kelucuan.
Kondisi fisik yang sedemikian rupa sebenarnya telah didisiplinkan untuk memenuhi nilai
gunanya,tetapi dalam hal ini sengaja dibuat keluar dari kebiasaan, untuk memenuhi fungsi
lain. Bentuk disiplin dan koreksi di sini diaktualisasikan dimana mengharuskan individuindividu agar berkelompok sesuai dengan struktur taraf-tarafnya yang ada, sehingga dapat
dengan mudah dievaluasi menurut nilai fungsinya (Suyono, 2002:410).Disiplin sendiri
merupakan mekanisme kontrol yang teliti atas fisik, melalui disiplin fisik dilatih hingga
menjaditerampil, tetapi terus dikoreksi sehingga keterampilan tersebut menjadi mekanisme
yang dengan begitu saja bekerja di dalam fisik.Disiplin akan terus meningkatkan daya guna
fisik, sekaligus juga dapat menguasai dan menempatkan fisik tersebut ke dalam relasi yang
tunduk dan berguna (Foucault, 1997: 76).
Disiplin dalam masyarakat terdapatdua unsur terkait, yaitu obyek yang didisiplinkan
dan obyek yang mendisiplinkan,pada acara komedi sendiri terdapat obyek yang didisipinkan
(komedian) dimana telah mendapat sebuah disiplin untuk berperilaku sesuai standarisasi
yang ada.Sedangkan obyek yang mendisiplinkan adalah orang-orang yang berada disekitar
obyek yang didisiplinkan tersebut, individu-individu yang berperan sebagai audiens juga
telah mendapat suatu disiplin dalam diri mengenai apa yang dilihat, sehingga mereka
dapat menilaimana yang tergolong sebagai sesuatu yang menyalahai aturan atau tidak.
Berkenaan dengan fisik yang tidak berjalan sesuai standarisasi baik itu gerak, bentuk, dan
penampilan selalu mendapatkan sebuah hukuman yang secara langsung akan diterima
oleh masing-masing individu. Hukuman tersebut seperti diketahui bukan hukuman yang
menyentuh fisik secara lagsung, namun lebih pada hukuman yang membentuk fisik secara
mental. Dari keseluruhan bentuk disiplin dan hukum yang dibahas pada kategori di atas
dapat dipastikan akan mengarah pada lima peranan berikut ini. Pertama, hukuman disiplin
membawa tindakan individu ke dalam wilayah perbandingan dan ruang tendensi. Kedua,
membedakan individu satu dengan yang lain. Ketiga, mengukur kodrat individu secara
kualitatif dan hierarkis.Kempat, memasukan paksaan supaya menjadi sesuai dengan yang
seharusnya secara alami,dan akhirnya disiplin menjadi batas ketidaknormalan secara alami
(Foucault, 1997: 97). Foucault menyatakan segala bentuk hukuman disiplin ini, tidak lain
akan berujung pada sebuah bentuk normalisasi.
Audiens yang berperan dalam penilaian suatu aktivitas dari para komedian, memiliki
posisi yang lebih leluasa dari pada komedian itu sendiri, setiap gerak para komedian dapat
dimonitoring atau dipantau terus-menerus sehingga audiens secara tidak langsung menjadi
92

Uspal Jandevi

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96

pendisiplin atau yang memiliki kekuatan untuk mendisiplinkan. Foucault melambangkan disciplinarypower dengan panopticon, pano menjadi sebuah istilah yang dipakai
oleh Foucault untuk menghadirkan sebuah sentralisasi kekuasaan, strategi untuk sebuah
pengawasan terpusat, dimana yang mengawasi lebih superior dari pada yang diawasi
(Sutrisno, 2005:155). Audiens dalam menyaksikan tingkah laku para komedian memiliki
posisi superior sebagai kelompok yang dapat menilai normal dan tidak normal atas apa
yang dilihatnya. Sehingga di sini menjadi semacam bentuk proses koreksi kepada fisik-fisik
yang keluar dari standarisasi seperti tingkah laku komedian dalam acara talk showbevgcmt
komedi. Fisik yang posisinya berada dalam ruang media seperti di televisi dapat dengan
mudah dikoreksi dan dievaluasi oleh individu lain demi sebuah disiplin, sedangkan
media sendiri bukan tempat yang steril untuk fisik.Fisik yang ditampilkan dalam media
bagaimanapun bentuknya akan selalu mengandung unsur politis dan memiliki berbagai
bentuk relasi dengan hal-hal di sekelilingnya. Seperti diketahui disiplin juga merupakan
teknik yang dapat diaplikasikan untuk memaksimalkan profit, dengan modus ini disiplin
ditujukan sebagai alat pengontrol yang menekan agar keterampilan fisik dapat berkembang
sesuai tuntutan (Suyono, 2002: 410). Fisik yang muncul dalam sebuah acara bernuansa
komedi seperti di atas memang tak lepas dari sebuah kontrol untuk dapat meningkatkan
nilai guna pada fisik tersebut, fisik yang sebelumnya hanya berfungsi sebagai sebuah
identitas penentu antara aku dan kamu (Synnott. 2007: 116) di sini ditingkatkan mutunya
untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu sebagai bentuk dari kuasa atas fisik itu
sendiri.
Secara tidak langsung para audiens yang ikut menyaksikan aktivitas yang terjadi
dalam acara talk show komeditentunya akan membuat suatu polarisasi melalui sebuah
disipin yang diapresiasikan melalui serangkaian standar-standar tertentu, dalam tiaptiap anatomi dalam; percakapan, bentuk fisik, gerakan, hingga penampilan, yang telah
memiliki standar. Hal-hal tersebut diterapkan dalam individu masing-masing audiens
demi tercapainya keseragaman yang memenuhi standar, terlebih lagi dalam membagibagi individu dalam kategori binarial: normal-abnormal, seperti diketahui normalisasi
diukur dengan cara mempolarisasikan individu-individu pada kategori sehat dan tidak
sehat (Suyono, 2002: 425). Normal-abnormal menjadi sebuah tolak ukur dimana fisik
ditempatkan dalam sebuah aktivitas lucu, oleh sebab itu polarisasi antara bentuk keduanya
harus tetap dijaga demi terciptanya sebuah adegan lucu dalam acara komedi. Adanya
polarisasi tersebut sekaligus menciptakan sebuah perbandingan antara normal-abnormal,
sehingga menjadikan fisik yang keluar dari taraf normal memiliki pembanding dengan fisik
yang tidak normal, melalui perbandingan tersebutlah sebenarnya kelucuan-kelucuan dapat
tercipta. Karena batasan antara fisik yang dinilai memiliki taraf kenormalan dengan fisik
yang tidak, sebenarnya telahmenjadi sebuah acuan dalam memproduksi kelucuan yang
sekaligus pembentuk lucu itu sendiri.
Manipulasi fisik yang dilakukan sedemikian rupa akan bekerja dengan baik ketika
ada subuah proses komunikasi yang melibatkan antara pembuat dan penerima, dalam hal
ini bisa disebut sebagai produksi pesan dan penerima pesan. Jika lingkupnya adalah sebuah
acara bernuansa komedi maka seorang komedian atau obyek lelucon tersebut bisa dikatakan
sebagai pihak yang memproduksi pesan, sedangkan para audiens adalah penerima pesannya
(Fiske, 2004: 8). Kelucuan yang terjadi adalah hasil dari sebuah timbal balik antara
keduanya singkatnya adegan lucu tidak akan lucu jika tidak menimbulkan tawa, sebaliknya
tawa merupakan sebuah hasil pemahaman lucu antara apa yang dilihat dan didengar
oleh si penerima pesan. Orang-orang yang terlibat langsung maupun tidak dalam terjadinya
sebuah kelucuan memiliki berbagai pertimbangan dalam mengasumsikan bentuk kelucuan
tersebut. Melalui berbagai bentuk ungkapan yang diproduksi oleh komedian dan asumsi
lucu dari para audiens akan selalu dipengaruhi oleh kondisi disekitarnya sehingga dapat
mengkategorikan sebagai normal dan tidak normal. Lingkungan secara tidak langsung
juga ikut menentukan kelucuan yang terjadi dalam sebuah acara komedi, jika masyarakat
sekitar mempercayai bentuk-bentuk ketidaknormalan dari apa yang ditampilkan dalam
Eksploitasi Fisik dalam Lelucon (Tubuh dalam Program Humor
Media di Indonesia)

93

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96

ISSN: 23389176

acara komedi sebagai sesuatu yang lucu, maka akan tercipta pemaknaan seperti itu juga
(Eriyanto, 2004: 320).
Ruang dimana sebuah adagen lucu diproduksi merupakan tempat terjadinya sebuah
interaksi awal dari keseluruhan rangkaian discourse. Acara talk show yang dibalut dengan
nuansa komedi merupakan ruang dimana memiliki sebuah interaksi teraktif karena dalam
talk show seperti ini terjadi sebuah proses komunikasi yang melibatkan banyak orang di
dalamnya. Dalam proses komunikasi itu sendiri banyak ditemui bentuk-bentuk aktivitas
teks yang muncul sebagai sebuah proses produksi wacana, tentunya melalui berbagai
macam ideologi yang mewakili tiap-tiap diproduksi kelucuan. Sehingga dapat disimpulkan
mimbar talkshow dimana terjadinya sebuah interksi antara individu satu dengan lainnya
entah itu obyek sasaran kelucuan atau yang mengasumsikan kelucuan adalah sebuah
ruang dimana terjadi sebuah produksi dan konsumsi teks {discourse practice). Kemudian
tanggapan masyarakat dimana mereka mengasumsikan sebuah adegan lucu adalah sebuah
bentuk refleksi dari ideologi yang berkembang di masyarakat, apa yang tersaji dalam televisi
adalah suatu bentuk perilaku budaya sehingga bagaimanapun sebuah makna muncul akan
selalu berada dibawah pengaruh ideologi yang akan terefleksi ke dalam bentuk tingkah
laku perbuatan dan pemikiran masing-masing individu (Burton, 2007: 28).
Dalam panggung komedi sendiri kelucuan yang terjadi adalah sebuah bentuk
pembedaan antara yang baik dan yang buruk, normal tidak normal, melalui pembanding
tersebut masyarakat akan mengasumsikan suatu kelucuan yang berujung pada tawa.
Kelucuan tidak akan terjadi ketika seseorang berada dalam luar makna yang dimaksudkan
dalam sebuah lelucon, sering dijumpai seorang komedian bermaksud membuat kelucuan
dengan gaya mereka sendiri tanpa memperhatikan lingkungan sekitarnya, maka yang terjadi
adalah sebuah missunderstanding sehingga kelucuan yang diproduksi tidak dapat membuat
orang tertawa. Seseorang yang akan menafsirkan atau mengasumsikan suatu bentuk
kelucuan sangat dipengaruhi oleh relasi-relasi dengan lingkungan sekitarnya. Terlihat juga
bahwa cara seseorang menafsirkan suatu teks tergantung pada persetujuan sosial, terlebih
jika discourse yang dijadikan sebagai sebuah acuan. Suatu aspek discourse jugaakan selalu
diartikan berbeda-beda tergantung persetujuan yang ada dalam komunitas tersebut berada
(Fairclough, 2003: 22). Kelucuan yang tampil dalam sebuah acara talk show dan disiarkan
melalui televisi akan lebih banyak memiliki variasi bentuk penafsiran lucu, karena televisi
memiliki lingkup lebih luas dan universal. Sehingga supaya bentuk- bentuk kelucuan
tersebut bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat, maka dalam memproduksi kelucuan
harus menggunakan bentuk ungkapan secara universal. Baik itu dari segi bahasa (verbalnonverbal), tampilan, penge-masan, hingga yang terpenting adalah proses pemaknaan atas
kelucuan itu sendiri.
Bagaimanapun bentuk kelucuan yang diciptakan komedian berfungsi untuk
menghibur pada audiens, meskipun berbagai bentuk ungkapan muncul yang kadang
dianggap memiliki tingkat kelucuan yang bisa dikatakan keterlaluan atau berlebihan dalam
mengeksploitasi fisik, hal tersebut dapat dikembalikan lagi kepada lingkungan dimana
posisi penerjamah pesan berada. Bentuk-bentuk ungkapan yang dianggap wajar belum tentu
dianggap wajar oleh orang lain, begitu juga kelucan yang dianggap sebagai sebuah bentuk
ungkapan yang menimbulkan tawa belum tentu akan menyebabkan orang lain tertawa.
Kelucuan bertema fisik yang bersifat merendahkan merupakan sebuah ungkapan yang
sensitif karena dapat menimbulkan berbagi bentuk asumsi dari yang menterjemahkannya,
Herry Srimulat selalu menegaskan dalam menitik beratkan teknik-teknik dalam membuat
kelucuan untuk membuat sesuatu yang aneh sehingga menimbulkan tawa, bukan dengan
cara mentertawakan bentuk cacat fisik yang diderita orang lain karena lelucon yang seperti
ini disadarinya akan lebih menimbulkan rasa kasihan bukan lucu (Janarto, 1990: 161).
Dalam memahami apa yang dianggap lucu ada dua jenis individu yang berbeda
dalam memahami apa itu lucu dan membuat tertawa. Duane Schultz membagi individu
tersebut dalam sehat dan tidak sehat. Individu kurang sehat, cenderung akan mentertawakan
tiga macam bentuk kelucuan: pertama lelucon permusuhan yang menyebabkan orang

94

Uspal Jandevi

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96

merasa sakit, kedua lelucon superioritas yang mengambil keuntungan dari perasaan rendah
diri orang lain atau kelompok, dan ketiga lelucon yang berhubungan dengan suatu situasi
Oedipus (percakapan cabul). Sedangkan individu sehat,akan lebih tertarik pada lelucon
yang bersifat filosofis, lelucon yang menertawakan manusia pada umumnya, tetapi bukan
kepada seorang individu yang khusus. Lelucon ini sering kali bersifat instruktif, dipakai
langsung kepada hal yang dituju dan juga menimbulkan tawa. Inilah semacam lelucon
bijaksana yang mengakibatkan suatu senyum dan anggukan tanda mengerti daripada
menimbulkan gelak tawa yang keras, lelucon semacam inilah akan dimengerti dan dihargai
oleh individu yang juga sehat (Schultz, 1991: 109-110).

E. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diketahui bagaimana fisik menjadi sebuah
alat dalam acara talk show bergenre komedi untuk memancing tawa, hingga menjadi
sebuah fenomena yang dapat dilihat dari segi wacana. Baik itu dari cara memanfaatkannya,
pemaknaan, hingga posisinya dalam lingkungan sekitar. Dalam pembahasan kelucuan telah
dikategorikan menjadi tiga kategori menurut sumber datangnya kelucuan tersebut.Pertama,
fisik yang sengaja dicetak sehingga menyerupai binatang, fisik di sini fisik difungsikanuntuk
menyampaikan suatu maksud dan tujuan. Sehingga ketika komedian berusaha meniru
kerakter seekor binatang, di sinilah terjadi salah satu bentuk pemanfaatan fisik.Binatang
sebagai makhluk yang derajatnya rendah, juga menjadi alasan para komedian memanfaatkan
binatang sebagai bahan lelucon. Tujuanya tak lain supaya dirinya (komedian) juga terkesan
rendahdi mata orang lain, sehingga akan muncul kelucuan dari pemaknaan tersebut.
Kedua, fisik yang dijadikan bahan lelucon karena bentuk fisiknya yang tidak
menarik. Lelucon yang tercipta lantaran dipicu adanya bentuk fisik tidak menarik
merupakan suatu bentuk eksploitasi atas fisik, pemakanaan lucu sebenarnya juga muncul
berdasarkan atas bentuk eksploitasi fisik tersebut. Ketidakmenarikan fisik sebenarnya
merupakan hasil perbandingan antara bentuk fisik menarik dan tidak menarik. Perbandingan
tersebut menjadikan jenis leluconyang satu ini cenderung memposisikan orang berfisik
tidak menarikditempatkan dan diperlakukan berbeda, daripada orang berfisik menarik.
Kemudian kategori terakhir, adalah fisik yang dimanfaatkan sebagai media untuk
mengekspresikan penampilan unik. Kelucuan dapat tercipta karena ada obyek lain yang
coba dilekatkan pada fisik,obyek yang dimaksud adalah suatuyang dapat dimanfaatkan
oleh fisik dalam mendukung sebuah aktivitas lucu. Obyek tersebutlah yang sebenarnya
menjadi sumber datangnya kelucuan, dimana untuk berfungsi dengan baik obyek tersebut
tidak ditampilkan secara wajar, tetapi ditampilkan dan dikemas ke dalam bentuk-bentuk
yang tidak sewajarnya.Tujuannya tidak lainsupaya fisik terkesan semakin jelek, sehingga
akan muncul asumsi lucu dariperpaduan bentuk fisik dan obyek tersebut.
Bisa dilihat kesimpulan dari ketiga kategori di atas telah membahas mengenai
bagaimana fisik menjadi alat untuk memproduksi sebuah kelucuan dalam acara talk show
bernuansa komedi. Kesimpulan juga telah menjelaskan mengenai bentuk-bentuk penyajian
dan pemanfaatan fisik sehingga bisa mengundang tawa, baik itu dari segi teknik penyampaian
sampai dengan posisinya dalam masyarakat. Disadari atau tidak ketika ungkapan-ungkapan
lucu muncul, ternyata lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat menjelekan, merendahkan
dan diskriminasi. Rasa tersinggung, marah, benci, yang seharusnya timbul karena hinaan
atau ejekan (bersifat merendahkan) berubah menjadi lucu dan tawa, karena ungkapanungkapan tersebut muncul dalam sebuah ruang yang bernama komedi.Meskipun berbagai
bentuk pemaknaan tentang fisik lucu muncul dari berbagai ungkapan pada tiap kategori di
atas.Namun pada dasarnya seluruh kesan lucu tersebut muncul berdasarkan hal-hal yang
keluar dari kebiasaan manusia (abnormal), baik itu yang sengaja diciptakan ataupun yang
sudah ada pada fisik. Fisik mendapat peranannya ketika telah berhasil dimanipulasi baik
itu secara verbal ataupun nonverbal sehingga menjadi sebuah komoditi untuk ditertawakan,
di sinilah sebenarnya fisik ditingkatkan nilai gunanya dan mendapatkan tempat dimedia
khususnya dalamdunia komedi.
Eksploitasi Fisik dalam Lelucon (Tubuh dalam Program Humor
Media di Indonesia)

95

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 85-96

ISSN: 23389176

Daftar Pustaka
Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi; Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi.
Yogyakarta dan Bandung, Jalasutra.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana; Analisis Teks Media. Yogyakarta, LKiS.
Foucault, Michel. 1997. Bengkel Individu Modern; Disiplin Fisik. Yogyakarta, LKiS.
Fiske, Jhon. 2004. Cultural and Communication Studies. Yogyakatra, Jalasutra.
Jorgensen, Marianne W dan Philips Louise J. 2007. Analisis Wacana Teori dan Motode.
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Janarto, Herry Gendut. 1990. Teguh Srimulat; Berpacu Dalam Komedi dan Melodi.
Jakarta: PT. Gramedia.
Lusia, Amelita. .2006. POprah Winfrey; Rahasia Sukses Menaklukan Panggung Talk
Show. Jakarta, Agromedia Pustaka.
Lathief, Ira. 2007. Tukul Arwana; Kumis Lele Rejeki Arwana. Yogyakarta: PT Banteng
Pustaka.
Piliang, Yasraf Amir. 1998. Wanita dan Medi: Ideologi dalam Ruang Publik Orde Baru.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Pradopo, Sri Widiati, Siti Soendari Maharto, Rama Indrian Hariant, Faruk H.T. (1987).
Humor Dalam Sastra Jawa Modern. Jakarta, Pusat Pengembangan Pembinaan dan
Kebudayaan.
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengatar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotika dan Analisis Framing . Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Suyono, Joko Seno. 2002. Fisik yang Rasis. Yogyakarta, Lanskap Zaman.
Synnott, Anthony. 2007. Fisik Sosial; Simbol Diri dan Masyarakat. Yogyakarta, Jalasutra.
Suhadi, Agus. 1992. Humor itu Serius; Pengantar ke Ilmu Humor. Yogyakarta, Grafikatama
Jaya.
Sumarlam, dkk. 2003. Teori dan Praktek; Analisis Wacana. Solo, Pustaka Cakra Surakarta.
Schultz, Duane. 1991. Psikologi Pertumbuhan: Model-Model Kepribadian Sehat.
Yogyakarta. Kanisius.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta; Kanisius.
Wibowo, Fred. 1997. Dasar-Dasar Produksi Program Televisi. Jakarta, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Jurnal Ilmiah
I Dewa Putu Wijana. 2004. "Makian dalam. Bahasa Indonesia: Studi Tentang Bentuk dan
Deferensinya". Humaniora Volume 16, No. 3, Oktober 2004: 246-247.
Astrid, Gisela Herabadi. 2007. Hubungan Antara Kebiasaan Berpikir Negatif Tentang Fisik
dengan Body Esteem dan Harga Diri. Makara, Sosial Humaniora, vol. 11, no. 1, 18.
Quarterly. Vol 19, No.4, p.p: 703-721.

96

Uspal Jandevi

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 97-102


Diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

ISSN: 23389176

KAJIAN SINGKAT BAHASA IKLAN


DI TELEVISI SWASTA
Oleh: Dwi Santoso
(Dosen Komunikasi, Fakultas Sastra, Budaya dan Komunikasi UAD)
Abstract
This study is intended to find out how advertisers in private televisions use a language not only
as a means of communication but also to persuade consumers to buy their product. On this study, the
writer finds out many varieties of language used by the advertiser in advertising the product. Most of the
advertisers use ambiguity, vulgar image, words play, code mixing, rhyme and repetition in advertising
the product. By doing that, hopefully the messages can be maximally accepted by the audiences.
Keyword: private televisions, persuade consumers, advertising the product

A. Pendahuluan
Sebagaimana burung punya sayap untuk menjelajah angkasa raya, manusia
mempunyai bahasa untuk menyentuh kepekaan dan daya nalar. Dengan demikian, bahasa
mampu menyatukan cipta dan rasa untuk menyampaikan konsep dari hati ke hati.
Bahasa, bagaimanapun hidup dan ia memperjuangkan kehidupan. Bahasa begitu
dahsyat sehingga tidak mengherankan bila Wardaugh (1992 : 89) mengatakan:
When you open mouth, you must choose a paticular language, dialect, style, register, or
variety that is a particular code. You can not avoid doing so. Moreover, you can and will
shift, as the occasion arrises from one to another.

Pernyataan diatas mengacu pada kenyataan bahwa bahasa berfungsi dalam


masyarakat dan masyarakat itu sendiri banyak bergantung pada bahasa sebagai alat
komunikasi.
Falk (1973 : 59) menyatakan:
The use of language is almost always a social activity. We do not speak listen, read, and
write for ourselves alone, but rather in intercommunication with other.

Begitu komplek keterkaitannya, sehingga kita harus memperlakukannya secara


berbeda. Bagaimanapun ungkapan yang runtut, simpel dianggap sebagai hal yang mampu
menyentuh kepekaan daya nalar pendengarannya.
The success of our communicative effort depends not only on the content, or meaning, of
what is expressed but also on the from of the expression. In any act of communication, it is
necessary to select the vocabulary items, as well as the grammatical patterns, appropriate
to the situation (Julia Falk, 1973 : 59)

Hal ini mengaplikasikan bahwa kita harus menguasai seperangkat aturan yang
memungkinkan kita untuk memproduksi dan memahami kalimat-kalimat secara gramatikal
benar. Selain itu kita juga dituntut untuk mampu menerapkan aturan-aturan itu yang secara
sosial berterima. Singkatnya kita dituntut untuk menguasai kompetensi linguistik dan
kompetensi komunikaitf.
97

Dwi Santoso

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 97-102

ISSN: 23389176

Keenan dan Schieffelin (Taylor & Taylor, 1992 : 23) mengatakan :


Language is possible only because of the amount of knowledge that the speaker and lintener
share language, each other, and the world. In order to provide the necessary information,
the speaker must properly estimate the listeners knowledge so as, to avoid condescension,
on the one hand, and my stification, on the other

Maka semakin luas pengalaman bahasa seseorang semakin banyak pilihan baginya
dalam memilih kode untuk mengekspresikan gagasannya. Tak dapat disangkal bahwa pilih
kode memegang peranan penting dalam keberhasilan komunikasi. Hal inilah yang sangat
menarik, sehingga Wardaugh (1992 : 89) berkomentar seputar pilih kode ini.
What is the interesting is the factor that goven the choise of particular code on a particular
occasson. Why do people choose to use one code rather than another, what bring about
shifts from one code to another, and why do they occasionally preffer to use a code formed
from two other codes by mixing the two?

Pada keseluruhan paragraf di atas, penulis menelinap dari berbicara bahasa secara
umum pada suatu kode tertentu. Dia yakin bahwa fenomena pilih kode banyak dipengaruhi
oleh motif dan loyalitas tertentu dari masyarakat. Untuk itu penulis menggugah pembaca
untuk mencermati dan mengungkapkan fenomena pemanfaatan pilih kode dalam bahasa
iklan di televisi.

B. Televisi Sebagai Wahana Penguasaan Pasar


Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menimbulkan
perubahan yang sangat besar baik fisik maupun non psikis. Segala sesuatu kini menjadi
serba mungkin dalam perspektif dunia yang makin mengecil. Dunia tidak lagi dibatasi oleh
ruang dan waktu. Peristiwa yang terjadi dibelahan dunia lain dapat kita saksikan pada saat
yang bersamaan dengan peristiwa itu terjadi.
Era kesejagatan atau globalisasi adalah era keterbukaan dan persaingan bebas.
Dalam masa ini semua informasi dengan kecanggihan teknologi dapat diakses secara
transparan. Apa yang sudah, sedang, akan terjadi di suatu negara, pada saat itu pula dapat
diketahui oleh orang-orang di negara lain (Wijana, 2000: 1)
Hal ini mengimplikasikan bahwa hanya dengan menguasai ilmu dan teknologi kita
dapat memuilai suatu tatanan kehidupan untuk bisa mereaslisasikan diri sebagai subyek
yang mampu menciptakan gagasan-gagasan serta mewujudkan setiap kemungkinan yang
terjadi potensi kita dalam percaturan dunia. Menjadikan diri kita sebagai kaum yang mampu
membuat jarak dengan alam kebendaan untuk mengakrabinya demi kemuliaan hidup dan
kehidupan itu sendiri.
Pendek kata, siapa yang mampu menguasai informasi dialah yang menguasai
dunia. Fenomena ini ditangap positif oleh para pebisnis. Maka berlomba-lombalah mereka
menginformasikan bahasa bisnisnya mempromosikan merek dagangannya lewat media
informasi dan hiburan paling popular dewasa ini, televisi.
Mengingat banyak kesamaan produk dan keragaman latar belakang calon
konsumennya, tak dapat dihindari, bahasa menjadi sasaran eksploitasi pragmatic agar
mampu mengkomunikasikan pesan-pesan bisnis.

1. Analisis Bahasa Iklan di Televisi (Swasta)


Penjelasan berikut ini merupakan hasil analisis data mengenai bahasa iklan di
televisi swasta yang penulis amati di sela-sela acara unggulan televisi tersebut seperti
sinetron, telenovela, atau kuis.
98

Dwi Santoso

ISSN: 23389176

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 97-102

Dari ratusan produk yang ditawarkan, kita dapat memilih-milih bahasa yang
dijadikan medianya itu ke dalam beberapa kelompok sebagai berikut:
1. Ambiguitas
Mari kita perhatikan cuplikan percakapan seorang gadus cantik dengan Si Om yang
mengemudikan mobil (sewaktu lampu merah)
ABG : Om, .. kacang ..Om .!
Oom : Kacang apa kacang ..?
ABG : Ini kacang open, Oom.
Oom : Open apa ofen, .?
ABG : Ooooooooofen !
Dari cuplikan iklan di atas kacang IYES tersebut, kita merasa bahwa makna
kedua kacang yang di ungkapkan si Oom tadi berbeda. Pada kata kacang yang pertama,
ia bermakna kacang tanah yang kita bisa makan. Sama halnya dengan kacang rebus atau
kacang goreng.
Sementara pada kata kacang yang kedua, tidaklah mengandung makna kacang
yang biasa kita makan sebagai makanan ringan. Tapi makna kacang di sini, khususnya bagi
orang Sunda, mengandung makna negatif dalam arti menimbulkan pikiran yang negatif
berbau porno, apalagi diungkapkan oleh si Oom.
Begitu pula pada cuplikan kedua ketika si Oom menggoda si ABG (Anak Baru
Gede) yang mispronouncing waktu mengucapkan kata OVEN dengan [ofn], yang
seharusnya dalam bahasa Inggris diucapkan [Avn].
Si Oom berupaya membetulkan walaupun tidak lepas dari godaannya dengan
mengatakan :
OPEN, . Apa OFEN, ?
Disini si Oom seolah-olah mengingatkan si ABG tadi bahwa kata OPEN yang
diucapkannya itu berarti BUKA dalam arti bahasa Indonesia yang ia hubungkan dengan
kata KACANG yang KEDUA.
Maka ia (si Oom) berlaga Inggris bahwa kata itu (yang ada sangkut pautnya dengan
memasak kacang itu) adalah OPEN /?/, walaupun bila kita cek dikamus pengucapannya itu
[Avn]. Bagaimana bunyi /f/ berbeda dengan bunyi /v/ dalam bahasa Inggris.
Sebenarnya, kalau kita mau jujur tidak pernah ditemukan kata OFEN dalam
bahasa Inggris, kalaupun terdengar ucapana [ofn] bukanlah berasal dari kata ofen itu tadi,
melainkan dari kata OFTEN yang artinya sering.

2. Vulgar Image
Walaupun sama-sama (ada kemiripan) dengan kasus di atas, vulgar image atau
kesan cabul yang timbul dari ungkapan-ungkapan berikut ini lahir bukan karena ungkapan
itu diperbandingkan, melainkan ungkapan itu sendiri telah mengandung makna tersebut
dengan sendirinya, khususnya untuk kalangan tertentu usia, status sosial, ataupun etnik
tertentu.
Contoh-contoh berikut ini dapat kita uji kebenarannya. Seperti sudah terjadi trademarknya, kacang gurih Garuda akan selalu menyelinapkan ungkapan, INI KACANGKU
.!
Ungkapan ini terasal vulgar, karena selain kata KACANG, seperti diuraikan diatas,
menimbulkan konotasi NEGATIF, didukung pula orang yang mengungkapkannya seorang
GADIS cantik.
Kasus serupa terjadi pada iklan kopi Torabika Duo yang merupakan produk
minuman berupa kopi susu. Kalaupun tidak dijelaskan secara rinci orang sudah tahu betul
arah pembicaraannya ketika mengatakan SUSU. Hal ini terasa semakin vulgar ketika kata
Kajian Singkat Bahasa Iklan di Televisi Swasta

99

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 97-102

ISSN: 23389176

SUSU itu didahului ole kata PAS menjadi PAS SUSUnya.


Pemirsa umumnya menerjemahkan atau memaknai kata PAS bukan dengan
padanan CUKUP dalam arti tidak lebih, tidak kurang melainkan dengan padanan TEPAT
kena sasaran.
Hal ini semakin menguat ketika yang mengucapkannya seorang LAKI-LAKI
MUDA berhadapan dengan seorang WANITA cantik.
Sehingga secara vulgar ungkapan PAS SUSUnya dimaknai bukan kopi ini nikmat
karena susunya cukup.
Contoh ketiga ini walaupun kata-katanya tidak secara langsung diperbandingkan
dengan anggota tubuh (wanita), tapi ketika dirangkai kata-kata LUAR dan BIASA telah
menimbulkan makna yang memang luar biasa bedanya. Apalagi diawali dengan pertanyaan
BAGAIMANA? Sehingga cuplikan lengkapnya :
Merriam Belina : Bagaimana ?
Inneke K. : LUAR BIASA!
Bagaimanapun iklan HEMAVITON ACTION ini langsung membawa alam
pikiran pemirsa ke suasana BULAN MADU. Mengapa tidak? Kata ACTION sendiri telah
mendukung suasana diatas, didukung oleh kedua orang bintang iklan cantik yang dikenal
sebagai BOOM SEX.

3. Pertukaran Letak Kata


Pertukaran letak kata dalam advertensi selain merupakan rangkaian ungkapan yang
indah, ia juga mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam mengikat ingatan pemirsa akan
produk tersebut karena biasanya akan teringat rangkaian kata-kata yang saling bertukar
tempat itu.
Mari kita simak salah satu kutipan/cuplikan iklan minyak goreng FILMA yang
mengungkapkan: CINTA JERNIHNYA, JERNIH CINTANYA, .!
Ungkapan di atas seolah-olah ingin mengatakan bahwa minyak goreng produksi
atau yang bermerek FILMA ini begitu jernih sehingga banyak orang jatuh cinta padanya,
mengapa anda tidak?
Begitu jernihnya, bersihnya, sehingga kalau dipakai menggoreng makanannya
tidak lekas basi, bahkan lebih nikmat.
Hal yang begitu mudah penafsiran di benak pemirsa terjadi pada produk minuman
ANGKER BIR.
Ini bir Baru, INI BARU BIR, .!
Ungkapan pertama menunjukkan bahwa bir-bir yang ada semuanya baru, produk
yang belum berpengalaman sehingga kualitasnya rendah.
Berbeda dengan ungkapan kedua yang menunjukkan bahwa bir ini, ANGKER
BIR, benar-benar bir yang berkualitas, benar-benar bir yang telah teruji rasa dan aromanya,
benar-benar bir sejati.

4. Campur Kode
Dalam upaya meraih konsumen yang paling bawah sekalipun pihak perusahaan tak
segan-segan melakukan pendekatan bahasa, yakni memasukkan kata-kata kunci bahasa
konsumen dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa pengatarnya.
Dengan cara campur kode ini, konsumen selain merasa lebih dekat secara bahasa
dan budaya ia juga merasa lebih aman dengan produk tersebut.
Dari sekian banyak yang ditawarkan dengan memanfaatkan campur kode ini,
ternyata campur kode yang berbasis bahasa Jawa menempati peringkat teratas. Hal ini
dapat dipahami karena bintang iklannya berasa dari Jawa juga produknya kebanyakan
berasa dari Jawa pula, misalnya:

.. larutan penyegar cap kaki tidak dirancang khusus untuk panas dalam.

100 Dwi Santoso

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 97-102

ISSN: 23389176

SUEGER TEMEN REK !

.. kecap piring lombok memang PUALING UENAK !


Dari dua cuplikan iklan diatas, kita dapat pula menarik kesimpulan, walaupun
terkesan tergesa-gesa bahwa dalam bahasa Jawa penambahan fonem /u/ pada kata sifat
mengandung pengertian MENEKAN MAKNA, bukan hanya sekedar gaya.
Campur kode ini tidak hanya sebatas bahasa Indonesia dengan bahasa daerah. Kita
dapat pula menemukan contoh campur kode dengan bahasa asing Inggris.
Perhatikan iklan POP MIE yang disampaikan oleh JOSHUA lewat nyanyian :
. POP MIE memang praktis.
Cukup dengan HOT WATER, PLEASE
Bila kita simak lagu aslinya yang dibawakan Joshua, maka akan kita dapati bahwa
penggunaan bahasa Inggris di sana bukan hanya sekedar gaya, tapi untuk kepentingan
LAGU. Dalam arti bahwa bila syair yang berbahasa Inggris itu diganti dengan syair
berbahasa Indonesia misalnya, menjadi :
POP MIE memang praktis
cukup dengan ari air panas saja
Tidak akan kena dengan irama yang mengiringinya. Selain itu bunyi kedua baris
syair itu menjadi tidak bersajak.
Semula bunyi akhir masing-masing bunyi (i). Tapi kini bunyi akhirnya yang atas
berakhir dengan bunyi (i), sedangkan yang berikutnya dengan bunyi (a).

5. Persesuaian Bunyi (Rhyme)


Kalau kita berbicara ihwal rima (rhyme) seakan kita kembali kealam puisi lama,
seperti jaman pantun. Rima yang dimanfaatkan dalam bahasa iklan ini terutama persamaan
bunyi dari suku terakhir, produk permen POLO.
POLO, permen BOLONG rasa PLONG
Hal ini memang diilhami oleh permennya yang benar-benar bolong.
Jadi siapapun yang mengkonsumsi permen ini akan menikmati tarikan nafas yang
MELOMPONG, bagaikan kendaraan melewati jalan bebas hambatan.
Hal ini juga tersugesti oleh simbolisme bunyi O yang mengandung makna
longgar, tidak sumpek!
Begitu pula dengan iklan permen Tamarin (bedanya tamarin memanfaatkan
rima konsumsi). Ia diawali dengan situasi dalam bis umum yang penuh sesak. Keadaan ini
mengingatkan kita pada keadaan yang dialami Ahmad Albar dengan God Blessnya yang
berdesak-desakan dalam bis kota dengan bermacam aroma. Keadaan ini memang bikin
pusing kepala, bikin enek [nk].
Disaat semacam ini permen Tamarin datang memberikan solusi. Siapapun
orangnya bila ngisap permen Tamarin dijamin tidak akan sampai mabok. Mengapa? Karena
dengan tamarin ENEK jadi ENAK.

6. Repitisi
Banyak cara yang ditempuh oleh para produser untuk mengingatkan pemirsa
akan merek yang dipasarkannya. Cara yang paling mudah adalah dengan melakukan
pengulangan. Tetapi kalau sekedar pengulangan tidak akan mencapai sasaran. Maka perlu
kemasan lain untuk memasarkannya.
Dalam hal ini, Srimulat menunjukkan kejeniusan yang tetap dikemas dalam bentuk
komedi ketika mereka menawarkan satu produk jenis minuman.
Diawali dengan satu pertanyaan yang tujuannya hanya untuk menyamakan
persepsi. Secara berturut-turut ketiga rekannya menjawab dengan jawaban yang sama.
Untuk menghidupkan suasana kebahasaannya, mereka hanya memanfaatkan intonasi yang
berbeda (idialek) sehingga secara lengkap pertuturan itu berbunyi.
Kajian Singkat Bahasa Iklan di Televisi Swasta

101

Jurnal Channel, Vol. 1, No. 1, Juni 2013, hal. 97-102

ISSN: 23389176

Kratingdaeng? Kratingdaeng, Kratingdaeng, Kratingdaeng!


Kemudian si penanya menyim-pulkan tindak tutur yang terjadi bahwa kebanyakan,
kalaupun tidak semua orang terkenal mengkonsumsi Kratingdaeng untuk memulihkan
stamina yang loyo. Kalau kami Ya mengapa anda tidak?
Kratingdaeng memang shiiip, dech!
Tentu saja contoh-contoh yang dipaparkan diatas hanyalah merupakan sampel
bahasa iklan makanan dan minuman saja. Bagaimanapun bentuk eksploitasi pragmatik itu
selama tidak melanggar norma-norma yang berlaku di negara kita harus dianggap sebagai
keragaman yang menyejukan.
Penulis menutup pembicaraan ini dengan mengutip pernyataan Wijana (2000 : 3),
Dengan berkembangnya budaya keterbukaan, dan mental bekerja dengan penuh kejujuran,
. Dapat kita lihat bahwa betapa fakta-fakta kebahasaan sebenarnya merupakan refleksi
keadaan masyarakat pemakainya.

C. Kesimpulan
Setelah mencermati secara kualitatif terhadap data yang ada, akhirnya sampailah
kita pada kesimpulan bahwa faktor politik,, sosial, dan geografis merupakan faktor utama
lahirnya sub variasi komunitas tertentu yang mendorong terjadinya pluralisasi bahasa.
Keberhasilan komunikasi tidak hanya ditentukan oleh lengkapnya informasi yang
diberikan, tapi lebih kepada bagaimana informasi itu dikemas.
Untuk itu pilih kode merupakan cara yang tepat demi sampainya informasi kepada
mitra tutur, atau bahkan sebaliknya.
Demi penyebaran informasi yang cepat dan luas, para pebisnis memanfaatkan
televisi yang merupakan media informasi dan media hiburan utama masyarakat dewasa ini.
Promosi merek dagang para pebisnis ini cenderung mengeksploitasi pragmatik
agar pesannya sampai kepada konsumen.

D. DAFTAR PUSTAKA
Chomsky, Noam, 2000. Bahasa dan Pikiran. Jakarta : Logos.
Falk, Julia S. 1973. Language: A Survey of Basic Concept and Application. Massacusetts
: Xerox
de Saussure, Ferdinand. 1996. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta : Gema Press.
Blommfield, Leonard. 1995. Bahasa. Jakarta : Gramedia.
Mills, Sara, 1997. Discourse. London : Routledger.
Mey, Jacob L. 1993. Pragmatics. Oxford : Blackwell.
Wardhaugh, Ronald. 1992. Sociolinguistics. Cambridge : Blackwell

102 Dwi Santoso

Anda mungkin juga menyukai