OLEH:
Oleh:
DANI BUDIHAMSYAH 131020700031
NUR RAHMADANI 131020700007
RANDY 131020700010
SEMESTER 3/B1
FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK INDUSTRI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
2014
I. MUHAMMADIYAH (Sebagai Gerakan Sosial Keagamaan)
Pendahuluan
Pada awal Abad ke 20 dikenal sebagai masa kebangkitan nasional di Indonesia ditandai
dengan munculnya gerakan-gerakan nasional bangsa Indonesia yang menjelma dalam bentuk
organisasi. Hal ini tampak tatkala didirikan “Budi Utomo” pada tahun 1908 oleh Dr. Sutomo,
dan Sarekat Dagang Islam yang kemudian menjadi Sarekat Islam pada tahun 1911 oleh Haji
Samanhudi serta Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan.
Amin Rais mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah sebuah gerakan sosial keagamaan
yang merupakan suatu fenomena modern. Ciri kemoderenan dari organisasi ini menurutnya
ada tiga hal pokok; Pertama bentuk gerakannya yang terorganisir, kedua aktivitas
pendidikannya yang mengacu pada model sekolah modern untuk ukuran zamannya dan
ketiga pendekatan teknologi yang digunakan dalam mengembangkan aktivitas organisasi
terutama amal usahanya. Selanjutnya Nur Ahmad mengatakan bahwa Muhammadiyah yang
didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan diakui sebagai fenomena baru dari wajah Islam abad ke
20 yang kemudian melahirkan modernisme Islam Indonesia. Adapun Deliar Noer
mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah salah sebuah organisasi Islam yang terpenting di
Indonesia sebelum perang dunia II dan mungkin juga sampai pada era sekarang ini. Dari
pernyataan-pernyataan para ilmuan di atas dapat dipahami bahwa Muhammadiyah sebagai
gerakan organisasi sosial keagamaan modern dalam Islam.
Disinyalir bahwa organisasi Sarekat Dagang Islam lahir didirikan oleh sekelompok santri
untuk memainkan peranan dalam bidang perdagangan dan politik. Kehadiran
Muhammadiyah yang notabene dirintis juga oleh kaum santri yang memegang sebagian besar
tanggung jawab umat dalam bidang keagamaan dan pendidikan. Lahirnya berbagai organisasi
di atas sudah barang tentu berfungsi sebagai suatu langkah yang diambil untuk merespon
tuntutan zaman demi kepentingan masyarakat muslim.
Namun demikian Muhammadiyah dalam kurun waktu perjalanan sejarah hampir 1 abad
lamanya sejak didirikannya pada tahun 1912 sampai saat ini kenyataannya membuktikan
bahwa apa yang telah dirintis sebagai hal baru di masa lalu dengan penuh susah payah kini
telah menjadi milik masyarakat umum, bahkan organisasi ini, kini ternyata dilanda gejala
pengaburan eksistensi. Ia kini tidak banyak dikenal orang, dengan kata lain eksistensinya
hanya dirasakan oleh sebahagian pengurus dan para anggotanya. Sementara di luar komunitas
secara bersamaan maupun berurutan, umat kini dalam kondisi kritis menanti jawaban
Muhammadiyah terutama realitas pemikiran dalam menghadapi tantangan baru.
III. PEMBAHASAN
A. Teologi Al-Maun
Teologi utama yang mendasari berdiri dan berkembangnya Muhammadiyah adalah
teologi al-Ma‘un. Teologi yang didasarkan pada Al-Qur’an (107:1-7) ini seringkali
diterjemahkan dalam tiga pilar kerja, yaitu:
Healing (pelayanan kesehatan)
Schooling (pendidikan)
Feeding (pelayanan sosial)
Teologi ini pulalah yang membuat organisasi ini mampu bertahan hingga 100 tahun
dengan memiliki ribuan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan layanan kesejahteraan
sosial yang lain.
Karena itu, dalam rangka memikirkan Muhammadiyah paska peringatan satu abad
(18 Nopember 1912 – 18 Nopember 2012), tulisan ini ingin melihat makna dan
implementasi teologi ini dalam dua generasi yang berbeda; generasi awal dan generasi
sekarang.Materi utama yang diajarkan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah,
kepada murid-muridnya pada dekade awal abad ke-20 adalah pemahaman Surat al-
Ma‘un. Pada intinya, surat ini mengajarkan bahwa ibadah ritual itu tidak ada artinya jika
pelakunya tidak melakukan amal sosial. Surat ini bahkan menyebut mereka yang
mengabaikan anak yatim dan tak berusaha mengentaskan masyarakat dari kemiskinan
sebagai “pendusta agama”.
Berhari-hari Ahmad Dahlan mengajarkan materi ini ke murid-muridnya. Sampai-
sampai sebagian dari mereka merasa bosan dan mempertanyakan mengapa Kiai Dahlan
mengulang-ulang pelajaran dan tidak segera pindah ke materi lain. Mendengar
pertanyaan itu, Kiai Dahlan balik bertanya, “Apakah kalian sudah paham surat ini?
Apakah kalian sudah mempraktekkannya?” Dahlan lantas meminta murid-muridnya
untuk mencari orang paling miskin yang bisa ditemui di masyarakat, kemudian
memandikannya dan menyuapinya. Inilah yang disebut pemahaman pertama dari teologi
al-Ma‘un itu.Kiai Dahlan tidak hanya menerjemahkan teologi itu dalam tindakan
karikatif seperti tersebut di atas. Dengan menggandeng Budi Utomo dan kraton
Yogyakarta, Kiai Dahlan lantas mendirikan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan. Apa
yang dirintisnya seratus tahun yang lalu itu kini telah berkembang pesat di seluruh
Indonesia. Berdasarkan laporan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, organisasi ini telah
memiliki 161 perguruan tinggi, 5.500 sekolahan, lebih dari 300 rumah sakit, dan lebih
dari 300 panti asuhan (Tuhuleley 2003).
Pertanyaan dasar yang perlu dikemukakan sekarang, di era global kapitalisme,
adalah apakah pemaknaan teologi al-Ma‘un seperti yang dilakukan oleh Kiai Dahlan 100
tahun yang lalu itu masih efektif dan manjur, terutama untuk 100 tahun akan
datang? Orang menjadi miskin itu kebanyakan bukan karena mereka malas bekerja.
Banyak sekali orang miskin yang justru bekerja banting tulang 24 jam sehari. Mereka
menjadi miskin karena hidup di dalam sistem yang menciptakan kemiskinan dan
mendukung penindasan terhadap orang miskin. Cara-cara tradisional dalam pengentasan
kemiskinan, terutama yang bersifat karikatif, terlihat tak berdaya dan kedodoran
menghadapi sistem kapitalisme global dan pemiskinan struktural oleh negara terhadap
rakyatnya.
Satu contoh, Dompet Dhuafa (DD) menciptakan program Masyarakat Mandiri
(MM) di lebih dari 10 desa. Ratusan juta atau bahkan milyaran rupiah telah dikeluarkan
untuk melakukan pembinaan selama bertahun-tahun. Namun sepertinya upaya itu hilang
begitu saja atau tak tampak hasilnya. Muhammadiyah juga melakukan program
pemberdayaan masyarakat miskin di beberapa tempat, namun upaya itu sangat mudah
bubar tergilas oleh kapitalisme global. Kondisi inilah yang menyebabkan salah satu
tokoh Muhammadiyah, almarhum Moeslim Abdurrahman, menawarkan pemaknaan dan
penerapan baru dari teologi al-Ma‘un.
Bagi Kang Moeslim, pertama, definisi orang miskin itu tak boleh dibatasi pada
mereka yang miskin secara ekonomi. Orang miskin adalah mereka yang mengalami
marjinalisasi sosial, seperti petani, pemulung, dan pelacur, dan mereka yang mengalami
subordinasi sosial seperti kelompok agama minoritas (Ahmadiyah, Syiah, dan
sebagainya). Kedua, bagaimana menerapkan teologi al-Ma‘un bagi orang-orang miskin
kontemporer itu? Caranya tentu tak bisa dilakukan dengan member mereka uang, tapi
melawan sebab-sebab yang membuat mereka miskin, seperti kapitalisme global dan
budaya kemiskinan (culture of poverty).Pendeknya, jika Muhammadiyah ingin bertahan
atau berkembang pada 100 tahun yang akan datang, maka selain mempertahankan upaya-
upaya penerjemahan teologi al-Ma‘un dalam tiga pilar di atas (schooling,
healing, dan feeding), organisasi ini perlu juga mengadopsi sistem baru untuk
mengejawantahkan teologi al-Ma‘un di era kapitalisme global.
C. BENTUKGERAKANSOSIALKEMANUSIAANMUHAMMADIYAH
1. Bidang Kesehatan
Dalam amal usaha bidang kesehatan, Muhammadiyahtelah dan terus
mengembangkan layanan kesehatanmasyarakat, sebagai bentuk kepedulian. Balai-
balaipengobatan seperti rumah sakit PKU (PembinaKesejahteraan Umat)
Muhammadiyah, yang pada masaberdirinya Muhammadiyah bernama PKO
(PenolongKesengsaraan Oemat), kini mulai meningkat baik kuantitasmaupun
kualitasnya. Berdasarkan buku Profil dan Direktori Amal Usaha Muhammadiyah&
‘Aisyiyah Bidang Kesehatanpada tahun 1997, sebagai berikut:1. Rumah sakit
berjumlah 34, 2. Rumah bersalin berjumlah 85, 3. Balai Kesehatan Ibu dan Anak
berjumlah 504. Balai Kesehatan Masyarakat berjumlah 115. Balai Pengobatan
berjumlah 846. Apotek dan KB berjumlah 4.
2. Bidang Kesejahteraan Sosial
Hingga tahun 2000 Muhammadiyah telah memiliki:228 panti asuhan yatim, 18 panti jompo, 22
balaikesehatan sosial, 161 santunan keluarga, 5 pantiwreda/manula, 13 santunan
wreda/manula, 1panti cacat netra, 38 santunan kematian, serta 15BPKM (Balai
Pendidikan Dan KeterampilanMuhammadiyah).
3. Bidang Kaderisasi
a) Peningkatan kualitas pengkaderan
b) Melaksanakan program pengkaderan formal dan informalsecara berkelanjutan
c) Menyelenggaraka baitul arqam dan darul arqamMuhammadiyahTranformasi kader
per jenjang dan per generasi
d) Sinergi Building antar unit persyarikatan untuk kaderisasi
Contoh kaderisasi/organisasi dalam muhammadiyah: aisyiyah, pemuda
muhammadiyah,IPM,IMM,Tapak SuciMuhammadiyah
IV. KESIMPULAN
Revitalisasi gerakan muhammadiyah dapat dimaknai sebagai proses penguatan kembali
sistem paham dan jati diri sesuai dengan prinsip-prinsip ideal gerakan menuju pada
tercapainya kekuatan muhammadiyah sebagai gerakan islam yang menjalankan fungsi
dakwah dan tajdid menuju terwujudnya masyarakat islam yang sebenar-benarnya.