Di Mekkah, pria bernama asli Muhammad Darwis ini mewarisi ilmu yang didapatnya dari
belajar agama dan tinggal bersama ulama setempat.
Bagi KH. Ahmad Dahlan, niat mendirikan Muhammadiyah mulanya tidak lain untuk
memerangi praktik mistik sekaligus mengentaskan kemiskinan masyarakat pribumi akibat
penjajahan Belanda.
Menurut Ridho Al-Hamdi dalam buku Paradigma Politik Muhammadiyah (2020) mengutip
VOI, ajaran yang dianut KH. Ahmad Dahlan di Muhammadiyah sepenuhnya mengembuskan
renungan kritis terhadap ayat-ayat Alquran yang diselaraskan dengan konteks dan
permasalahan zaman.
Memadukan antara nash (dalil) dan waqi' (konteks zaman) berhasil menghadirkan wajah
peradaban Islam yang positif dan progresif.
KH. Ahmad Dahlan menggunakan Alquran sebagai inspirasi untuk membentuk
Muhammadiyah yang tumbuh menjadi gerakan reformis-modernis.
Gerakan ini kemudian mampu mencerahkan dan memajukan ilmu pengetahuan serta teknologi
dalam memerangi kemiskinan dan kebodohan khususnya di Yogyakarta.
Apalagi seluruh program yang dihadirkan Muhammadiyah saat itu diarahkan untuk
membebaskan dan memberdayakan masyarakat miskin dan terpinggirkan.
Sejak Muhammadiyah berdiri, KH. Ahmad Dahlan pun sering mengajak murid-muridnya
untuk mengasuh anak yatim piatu yang kurang mampu.
Semangat keberpihakan kepada rakyat yang tidak memiliki keberdayaan menjadi semangat dan
napas gerakan Muhammadiyah.
Selain panti asuhan, Muhammadiyah juga mendirikan rumah sakit untuk fakir miskin. Selain
itu, ada juga sejumlah kegiatan pendidikan bagi masyarakat miskin.
Apalagi organisasi perempuan Muhammadiyah juga terbilang aktif, yang kemudian dikenal
dengan nama Aisyiyah pada 1917. Organisasi otonom ini berfokus mengembangkan
pendidikan anak-anak dan perempuan tanah air.
Atas sumbangsihnya, presiden pertama Indonesia Soekarno bahkan mengaku takjub.
Muhammadiyah, kata Bung Karno, telah berani muncul untuk memodernisasi cara
mengembangkan Islam di seluruh Nusantara.
Itulah sejarah berdirinya Muhammadiyah dicetus KH. Ahmad Dahlan. Semoga bermanfaat.
Enam Fase Peran Kebangsaan dan Kenegaraan Muhammadiyah (Bagian 1)
Peran kebangsaan Muhammadiyah seringkali tercatat tidak seimbang. Seperti diketahui, tesis
nasionalis-pluralis lebih dominan dalam sejarah nasionalisme Indonesia. Dalam tesis
nasionalis-pluralis, riwayat nasionalisme seolah-olah hanya berisi cerita kultus pada pemimpin
nasionalis di Jawa seperti Soekarno dan RA Kartini serta fokus pada militer.
Padahal, Indonesia zaman Kolonial berisi rangkaian proses konsolidasi kebangsaan yang
digerakkan identitas pra nation-state seperti Muhammadiyah. Bayangkan, selama dekade
1930-an saja, cabang Muhammadiyah sudah tersebar nyaris di seluruh penjuru Nusantara.
Tidak hanya di Jawa.
Mungkin salah satu sebabnya karena sejarah Muhammadiyah itu berada di antara tingkat akar
rumput sekaligus elit Islam. Ada tokoh-tokoh elit Jawa dan Sumatera yang menghiasi sejarah
Muhammadiyah.
Tapi juga ada kisah aktivis lokal dan mubaligh Jawa yang menetap di Kalimantan, Sulawesi,
Papua dan NTB. Ini tentu kurang pas dengan cara pandang bipolar sejarawan lama. Mereka
cenderung suka melihat komposisi masyarakat dalam kelas sosial atas dan bawah yang
digambarkan bertolak belakang wataknya.
Saya tidak tahu benar atau tidak. Konon, sarjanawan luar negeri kurang suka kalau ada potret
modernis tulen pada kaum muslim di negara dunia ketiga. Mungkin mereka
tidak mau membayangkan bahwa justru dari kaum muslim Indonesia-lah, terutama
Muhammadiyah, teori-teori tentang modernisasi masyarakat bisa berlaku. Cara pandang itu
memang erat kaitannya dengan bias kacamata orientalisme yang berharap menemukan
eksotisme pada kebudayaan orang-orang di dunia Timur.
Ada tiga standar peran Muhammadiyah yakni, feeding (penyantunan dan
pemberdayaan), schooling (pendidikan) dan healing (pengobatan). Tiga peran itu sudah
dirintis sejak berdiri organisasi pada 1912 di Kauman, Yogyakarta. Dan, masih bertahan,
bahkan berkembang hingga sekarang.
Dalam artikel pendek ini akan dijelaskan peran-peran kebangsaan Muhammadiyah melalui
pembagian enam fase yakni: masa Hindia-Timur (1912-1942), Pendudukan Jepang (1942-
1945), Kemerdekaan (1945), Kelahiran Republik Indonesia (1945-1965) Orde Baru (1965-
1998) dan era Reformasi (mulai 1998 hingga sekarang). Karena begitu terbatasnya ruang, tidak
semua nama tokoh, peristiwa dan momentum tercatat secara layak. Artikel ini bertujuan
mengonseptualisasi “peran kebangsaan” Muhammadiyah secara historis melalui sebagian kecil
saja contoh-contoh yang telah ada.
Negara Kesatuan Republik Indonesia atau sering disingkat NKRI adalah negara kesatuan
dengan bentuk pemerintahan republik, dengan nama negara Indonesia.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, merupakan awal berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia. NKRI terdiri dari wilayah kepulauan yang tersebar dengan
beraneka ragam adat, budaya, suku, dan keyakinan.
Istilah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI merujuk pada UUD 1945 pasal 1 ayat
1.
Nilai-nilai dalam persatuan dan kesatuan merupakan jiwa lahirnya NKRI. Hal itu karena dalam
persatuan dan kesatuan seseorang akan menyadari tentang keragaman bangsa Indonesia
tersebut.
Nilai-nilai persatuan dan kesatuan dalam kehidupan bangsa Indonesia juga secara jelas dapat
dipahami dari dasar negara Pancasila dan konstitusi negara, UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pilihan Indonesia menjadi negara kesatuan, didasarkan bukan hanya sekadar kepentingan atau
sikap politik, tetapi juga didasarkan atas komitmen persatuan dan keadilan.
Sebagai warga negara yang cinta terhadap tanah airnya, sudah semestinya mengetahui dan
memahami sejarah terbentuknya NKRI.
Berikut ini rangkuman tentang sejarah terbentuknya NKRI dan maknanya yang perlu
diketahui, dilansir dari laman Abulyatama.ac.id dan Surakarta.go.id, Senin (27/2/2023).
Muhammadiyah pada abad kedua berkomitmen kuat untuk melakukan gerakan pencerahan.
Gerakan pencerahan merupakan praksis islam yang berkemajuan untuk membebaskan,
memberdayakan, dan memajukan kehidupan. Gerakan pencerahan merupakan jawaban atas
problem kemanusiaan, berupa kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan dan persoalan persoalan
lain.
Gerakan pencerahan menampilkan islam untuk menjawab masalah kekeringan ruhani, krisis
moral, kekerasan, terorisme konflik, korupsi, kerusakan ekologis dan bentuk kejahatan
kemanusiaan.
Gerakan pencerahan Muhammadiyah terus bergerak dalam mengemban misi dakwah dan
tajdid untuk menghadirkan islam sebagai ajaran yang mengembangkan sikap tengahan
(wasithiyah), membangun perdamaian, menghargai kemajemukan, menghormati harkat dan
martabat, mencerdaskan kehidupan berbangsa, menjunjung tinggi akhlak mulia, dan
memajukan kehidupan umat manusia.
Gerakan pencerahan Muhammadiyah mengembangkan strategi dari revitalisasi (penguatan
kembali) ke transformasi (perubahan dinamis) untuk melahirkan amal usaha dan aksi aksi
sosial kemasyarakatan yang memihak kaum dhu’afa dan mustadh’afin serta memperkut civil
society.
Dalam gerakan pencerahan, Muhammadiyah memaknai dan mengaktualisasi jihad sebagai
ikhtiar mengerahkan segala kemampuan untuk mewujudkan kehidupan seluruh umat manusia
yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat. Jihad dalam pandangan Muhammadiyah
bukan perjuangan dengan kekerasan, konflik dan permusuhan.
Pada abad kedua, Muhammadiyah menghadapi perkembangan dunia yang semakin kosmopolit
dan Muhammadiyah harus berperan sebagai integral dari warga semesta dan dituntut
komitmennya dalam menyebarluaskan gerakan pencerahan. Demi terwujudnya wawasan
kemanusiaan yang universal dan menjunjung tinggi perdamaian, toleransi, kemajemukan,
kebajikan, peradaban, dan nilai nilai utama. **
** Tulisan banyak disarikan dari buku “Memahami Ideologi Muhammadiyah” Karya Dr H.
Haedar Nashir, M. SI terbitan Suara Muhammadiyah (cet 4, 2017)