Anda di halaman 1dari 18

Sejarah Berdirinya Muhammadiyah dan Perkembangan Awal

Muhammadiyah adalah bagian dari sejarah Indonesia. Kontribusinya sebagai pembawa


modernitas dalam Islam tidak bisa dianggap enteng.
Di tangan pendirinya, Kiai Haji Ahmad Dahlan, Muhammadiyah menjadi ormas Islam yang
besar. Apalagi Muhammadiyah berdiri dengan napas amar ma'ruf nahi munkar dan tajdid
(pembaruan).
Muhammadiyah tidak hanya mengusung paham agama Islam tetapi juga turut memajukan
bidang pendidikan, terutama memberantas keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan di
kalangan penduduk pribumi.
Merujuk situs resminya, Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912 di Desa Kauman,
Yogyakarta. Organisasi ini didirikan tepat setelah KH. Ahmad Dahlan tiba dari Tanah Suci,
Mekkah.

Di Mekkah, pria bernama asli Muhammad Darwis ini mewarisi ilmu yang didapatnya dari
belajar agama dan tinggal bersama ulama setempat.

Bagi KH. Ahmad Dahlan, niat mendirikan Muhammadiyah mulanya tidak lain untuk
memerangi praktik mistik sekaligus mengentaskan kemiskinan masyarakat pribumi akibat
penjajahan Belanda.

Menurut Ridho Al-Hamdi dalam buku Paradigma Politik Muhammadiyah (2020) mengutip
VOI, ajaran yang dianut KH. Ahmad Dahlan di Muhammadiyah sepenuhnya mengembuskan
renungan kritis terhadap ayat-ayat Alquran yang diselaraskan dengan konteks dan
permasalahan zaman.

Memadukan antara nash (dalil) dan waqi' (konteks zaman) berhasil menghadirkan wajah
peradaban Islam yang positif dan progresif.
KH. Ahmad Dahlan menggunakan Alquran sebagai inspirasi untuk membentuk
Muhammadiyah yang tumbuh menjadi gerakan reformis-modernis.

Gerakan ini kemudian mampu mencerahkan dan memajukan ilmu pengetahuan serta teknologi
dalam memerangi kemiskinan dan kebodohan khususnya di Yogyakarta.

Langkah yang membawanya dalam keberhasilan ini kemudian membuat nama


Muhammadiyah menggema di Yogyakarta hingga merambah di dalam dan luar Jawa.

Apalagi seluruh program yang dihadirkan Muhammadiyah saat itu diarahkan untuk
membebaskan dan memberdayakan masyarakat miskin dan terpinggirkan.

Sejak Muhammadiyah berdiri, KH. Ahmad Dahlan pun sering mengajak murid-muridnya
untuk mengasuh anak yatim piatu yang kurang mampu.
Semangat keberpihakan kepada rakyat yang tidak memiliki keberdayaan menjadi semangat dan
napas gerakan Muhammadiyah.

Selain panti asuhan, Muhammadiyah juga mendirikan rumah sakit untuk fakir miskin. Selain
itu, ada juga sejumlah kegiatan pendidikan bagi masyarakat miskin.

Apalagi organisasi perempuan Muhammadiyah juga terbilang aktif, yang kemudian dikenal
dengan nama Aisyiyah pada 1917. Organisasi otonom ini berfokus mengembangkan
pendidikan anak-anak dan perempuan tanah air.
Atas sumbangsihnya, presiden pertama Indonesia Soekarno bahkan mengaku takjub.
Muhammadiyah, kata Bung Karno, telah berani muncul untuk memodernisasi cara
mengembangkan Islam di seluruh Nusantara.

Kesepahaman bersama antara Muhammadiyah dan Bung Karno dalam mengentaskan


kemiskinan menjadi dasar untuk terus mendukung ormas-ormas Islam yang didirikan oleh KH.
Ahmad Dahlan tumbuh dewasa.

Itulah sejarah berdirinya Muhammadiyah dicetus KH. Ahmad Dahlan. Semoga bermanfaat.
Enam Fase Peran Kebangsaan dan Kenegaraan Muhammadiyah (Bagian 1)

Peran kebangsaan Muhammadiyah seringkali tercatat tidak seimbang. Seperti diketahui, tesis
nasionalis-pluralis lebih dominan dalam sejarah nasionalisme Indonesia. Dalam tesis
nasionalis-pluralis, riwayat nasionalisme seolah-olah hanya berisi cerita kultus pada pemimpin
nasionalis di Jawa seperti Soekarno dan RA Kartini serta fokus pada militer.
Padahal, Indonesia zaman Kolonial berisi rangkaian proses konsolidasi kebangsaan yang
digerakkan identitas pra nation-state seperti Muhammadiyah. Bayangkan, selama dekade
1930-an saja, cabang Muhammadiyah sudah tersebar nyaris di seluruh penjuru Nusantara.
Tidak hanya di Jawa.
Mungkin salah satu sebabnya karena sejarah Muhammadiyah itu berada di antara tingkat akar
rumput sekaligus elit Islam. Ada tokoh-tokoh elit Jawa dan Sumatera yang menghiasi sejarah
Muhammadiyah.
Tapi juga ada kisah aktivis lokal dan mubaligh Jawa yang menetap di Kalimantan, Sulawesi,
Papua dan NTB. Ini tentu kurang pas dengan cara pandang bipolar sejarawan lama. Mereka
cenderung suka melihat komposisi masyarakat dalam kelas sosial atas dan bawah yang
digambarkan bertolak belakang wataknya.
Saya tidak tahu benar atau tidak. Konon, sarjanawan luar negeri kurang suka kalau ada potret
modernis tulen pada kaum muslim di negara dunia ketiga. Mungkin mereka
tidak mau membayangkan bahwa justru dari kaum muslim Indonesia-lah, terutama
Muhammadiyah, teori-teori tentang modernisasi masyarakat bisa berlaku. Cara pandang itu
memang erat kaitannya dengan bias kacamata orientalisme yang berharap menemukan
eksotisme pada kebudayaan orang-orang di dunia Timur.
Ada tiga standar peran Muhammadiyah yakni, feeding (penyantunan dan
pemberdayaan), schooling (pendidikan) dan healing (pengobatan). Tiga peran itu sudah
dirintis sejak berdiri organisasi pada 1912 di Kauman, Yogyakarta. Dan, masih bertahan,
bahkan berkembang hingga sekarang.
Dalam artikel pendek ini akan dijelaskan peran-peran kebangsaan Muhammadiyah melalui
pembagian enam fase yakni: masa Hindia-Timur (1912-1942), Pendudukan Jepang (1942-
1945), Kemerdekaan (1945), Kelahiran Republik Indonesia (1945-1965) Orde Baru (1965-
1998) dan era Reformasi (mulai 1998 hingga sekarang). Karena begitu terbatasnya ruang, tidak
semua nama tokoh, peristiwa dan momentum tercatat secara layak. Artikel ini bertujuan
mengonseptualisasi “peran kebangsaan” Muhammadiyah secara historis melalui sebagian kecil
saja contoh-contoh yang telah ada.

Enam Fase Peran Kebangsaan

Penelusuran historiografi Muhammadiyah menunjukkan betapa penting dan krusialnya tokoh,


massa dan gerakan organisasi ini dalam “kebangsaan” republik Indonesia. Saya membagi peran
kebangsaan itu ke dalam enam fase, sebagaimana yang saya sampaikan (tawarkan) pada
jamaah pengajian tanggal 14 Agustus 2021.
Fase pertama saya sebut fase Hindia-Timur (1912-1942). Kedua adalah fase Pendudukan
Jepang (1942-1945). Ketiga adalah fase deklarasi Kemerdekaan (1945). Keempat adalah fase
awal kelahiran Republik Indonesia (1945-1965). Kelima adalah fase Orde Baru (1965-1998).
Dan, terakhir adalah fase Reformasi (1998 hingga sekarang).
Pembagian enam fase peran kebangsaan ini mengikuti riwayat sejarah Indonesia modern, baik
pada masa kolonial hingga kemerdekaan. Persoalannya sekarang adalah apa yang dimaksud
dengan “peran kebangsaan” itu sendiri? Jenis identitas “bangsa” seperti apa yang
diperjuangkan Muhammadiyah pada masa Kolonial Belanda?
Untuk menjawab pertanyaan itu, Saya akan menggunakan penjelasan Benedict Anderson
(1983) tentang bangsa sebagai komunitas terbayang (imagined community). Sebagaimana
diketahui, sejak tahun 1915, Muhammadiyah sudah punya publikasi cetak berupa majalah
bernama Soeara Moehammadijah. Dan setidaknya pada 1921, majalah ini sudah menggunakan
bahasa Melayu, setelah sebelumnya banyak menggunakan bahasa Jawa dan Arab Pegon.
Bangsa sebagai “komunitas terbayang” berasal dari titik balik, cara berpikir baru sekelompok
orang atau kelompok dalam merefleksikan kediriannya sendiri. Hal ini hanya dimungkinkan
oleh kapitalisme-cetak (print-capitalism) sebagaimana dijelaskan Anderson. Alasan utama
mengapa majalah Soeara Moehammadijah menggunakan bahasa Melayu, karena
Muhammadiyah mulai menyebar ke luar Jawa.
Menurut hemat saya, Muhammadiyah menemukan pengertian bangsa itu karena diikat oleh
jaringan mubaligh dan dai yang tersebar di luar Jawa, bahkan ke area pesisir di ujung utara dan
ke arah timur Kepulauan. Ada jalinan identitas yang saling melekat pada aktivis
Muhammadiyah yang membuat mereka sadar bahwa bahasa adalah perantara pokok gagasan,
identitas dan gerakan.
Pembentukan kesadaran diri yang saling terhubung yang diperantarai oleh bahan-bahan
(majalah atau pamflet) menunjukkan suatu konsepsi “bangsa.” KH. Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiyah bahkan menekankan betapa pentingnya surat Ali Imran ayat 104 yang berisi
konsep suatu kelompok di antara kamu yang menyeru pada kebaikan dan mencegah pada
kemungkaran.
Suatu kesadaran tentang kelompok inilah yang menjadi akar rasa dan identitas sebagai bangsa
yang selama masa Kolonial terus menerus mencari identitas pemersatunya. Bagi orang
Muhammadiyah, bangsa tidak lain adalah menjadi “suatu kelompok” yang kreatif menciptakan
perubahan atas nasib masyarakatnya.
Menjadi jelas bahwa trayektori “peran kebangsaan” Muhammadiyah pada masa Kolonial
Belanda adalah konsolidasi identitas melalui pemberdayaan umat, pemerataan akses
pendidikandan pelayanan kesehatan. Dan dalam masa negara-bangsa Republik Indonesia,
peran kebangsaan Muhammadiyah itu bekerja dengan logika yang sama yakni menjadi
“sekelompok orang” yang bekerja untuk tujuan-tujuan mulia.

Fase Hindia-Timur (1912-1942)


Fase Hindia-Timur berlangsung sejak awal mula berdiri Muhammadiyah. Pada masa ini ada
empat peristiwa penting yang mendasari spirit kebangsaan Muhammadiyah. Pertama,
menyelenggarakan pendidikan untuk kaum bumiputra, termasuk di antaranya adalah buruh-
buruh di sekitar Kauman.
Kedua, penyebaran Muhammadiyah ke berbagai daerah di Jawa, dan perlahan merambah ke
Sumatera dan Sulawesi. Kemudian pada usianya yang baru tiga dekade, sudah hampir tersebar
merata di seluruh Nusantara, lengkap dengan sekolah atau kegiatan pemberdayaan.
Ketiga, adalah ketika Muhammadiyah mulai menerbitkan Soeara Moehammadijah pada 1915
dan majalah Soeara Aisjijah yang sudah dirintis melalui lembaran Isteri-Islam tahun 1925
(Mu’arif & Setyowati, 2020). Hingga kini, dua majalah ini merupakan majalah tertua yang
masih eksis.
Keempat, adalah masa kosmopolitanisme Muhammadiyah yang ditandai dengan keterlibatan
aktivis Aisyiyah dalam Kongres Perempuan tahun 1928. Utusan Aisyiyah adalah Siti Munjiyah
dan Siti Hayyinah Mawardi. Kemudian aktivis Muhammadiyah mewakili umat Islam melalui
Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) pergi ke Jepang pada 1939 (Ma’ruf, 1940). Utusan dari
unsur Muhammadiyah adalah H. Abdul Kahar Muzakkir dan H. M. Farid Ma’ruf.
Ironisnya, hanya pada bagian pertama saja yakni bidang pendidikan dan keagamaan yang
dikenal atau dijadikan bagian dari historiografi Indonesia. Itu pun menempati posisi pinggiran
sejarah perkembangan pendidikan pada masa Kolonial Belanda, misalnya jika dibandingkan
dengan Taman Siswa yang baru berdiri pada 1922 dan sekarang hanya berkembang di beberapa
titik saja di Jawa.

Fase Pendudukan Jepang (1942-1945)


Fase Pendudukan Jepang berlangsung sejak Nipon datang ke Jawa dan berakhir jelang
deklarasi kemerdekaan Republik Indonesia. Ini adalah masa transisi dari pendudukan Jepang
menuju proklamasi kemerdekaan. Pada era ini peran aktivis Muhammadiyah sangat krusial.
Nama-nama figur Muhammadiyah menghiasi masa transisi yang begitu penting ini, di
antaranya: KH. Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Nyai Siti
Walidah, serta Soekarno. Bagi pemerintah militer Jepang di Jawa dan kalangan nasionalis,
tokoh-tokoh Muhammadiyah tersebut dikenal sebagai “pemimpin pergerakan Islam.”
Khusus KH. Mas Mansur, ia adalah bagian dari Empat Serangkai bersama Soekarno,
Mohammad Hatta dan Ki Hadjar Dewantara. KH. Mas Mansur sangat dikenal di kalangan
nasionalis dan pemerintah militer Jepang di Jawa. Itu sebabnya ketika Jepang mendirikan Pusat
Tenaga Rakyat (Putera), salah satu pucuk pimpinannya diserahkan pada KH. Mas Mansur.
Banyak peristiwa penting yang terjadi dalam konteks peran kebangsaan Muhammadiyah
selama masa pendudukan Jepang. Tapi satu peristiwa yang perlu dicatat tanpa mengabaikan
yang lain adalah situasi jelang masa persiapan kemerdekaan.
Pada November 1943, Ki Bagus Hadikusumo, Soekarno, dan Mohammad Hatta, diundang
Pemerintah Jepang di Tokyo. Menurut Hatta ini tidak lain adalah pembuangan politik. Di sana,
ketiganya bertemu dengan Perdana Menteri Jenderal Tojo, Count Kodama, dan Kaisar Hirohito
“Showa” Tenno Heika. Kaisar menganugerahi ketiganya Bintang Ratna Suci. Peristiwa ini
menggemparkan golongan Kenpentai atau pemerintah militer di Indonesia (Hatta, 1982).
Sebab utamanya karena Kaisar yang begitu jarang bersalaman dengan bawahannya sendiri,
ternyata menjabat tangan Ki Bagus, Soekarno dan Hatta.
Keberangkatan Ki Bagus, Soekarno dan Hatta ke Tokyo menjadi pembuka jalan kemerdekaan
Indonesia. Seperti diceritakan Hatta dalam biografinya, dengan dianugerahinya mereka bertiga
Bintang Ratna Suci, itu artinya Jepang akan memerdekakan Indonesia dalam waktu dekat.

Fase Kemerdekaan Republik Indonesia (1945)


Masa kemerdekaan Republik Indonesia dihitung sejak pembacaan proklamasi pada tanggal 17
Agustus 1945. Tapi batasan ini bersifat lentur. Karena periodisasi ini hanya sekedar
menegaskan perubahan lanskap dari yang sebelumnya berada di bawah cengkraman tentara
Jepang menuju negara baru. Jadi rentangnya bisa lebih awal yakni akhir 1944 hingga
pertengahan 1946.
Pada fase ini, satu tokoh Muhammadiyah akan diajukan sebagai simbol peran kebangsaan,
yakni Mr. Kasman Singodimedjo. Dua belas hari setelah deklarasi Kemerdekaan, Kasman
ditunjuk menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) atau cikal bakal Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), tepatnya antara tanggal 29 Agustus hingga 16 Oktober 1945. KNIP
merupakan badan pembantu Presiden. KNIP Pusat terdiri atas 137 orang.
Kasman menduduki jabatan penting selama tahun awal Kemerdekaan. Kasman merupakan
Jaksa Agung Republik Indonesia yang pertama. Ia menjabat posisi itu antara tanggal 6
November 1945 hingga tanggal 10 Mei 1946. Kemudian, Kasman menjabat Jenderal Mayor
sebagai Kepala Urusan Kehakiman dan Mahkamah Tinggi Kementrian Pertahanan RI antara
tanggal 20 Mei 1946 hingga 22 Juni 1946.
Pada masa kabinet Amir Sjarifuddin II yang berlangsung antara tanggal 11 November 1947-29
Januari 1948, Kasman menjabat Menteri Muda Kehakiman. Selain jabatan politik, Kasman
juga pernah menjadi Juru Bicara Pemerintah Darurat RI di Jawa yang dimulai pada tanggal 29
Januari 1949.

Enam Fase Peran Kebangsaan dan Kenegaraan Muhammadiyah (Bagian 2)

Fase Kelahiran Republik (1945-1965)


Pada fase kelahiran republik, sejumlah peristiwa penting yang melibatkan tokoh
Muhammadiyah tidak terelakkan lagi. Di antaranya seputar momen pembentukan fondasi
negara. Salah satunya adalah momen perumusan dasar negara yakni Pancasila yang berakhir
pencoretan “tujuh kata” Piagam Jakarta (versi pertama Pancasila). Peristiwa ini memicu
polemik berkepanjangan.
Kemudian ada polemik yang makin meluas akibat pidato Soekarno di Amuntai pada 8 Mei
1951. Dalam pidato tersebut, menurut kalangan muslim, Soekarno menyinggung orang-orang
yang hanya memperjuangkan “rukun” Pancasila yang pertama, yakni “Ketuhanan Yang Masa
Esa” dan mengabaikan rukun Pancasila yang lain. Sementara protes makin membesar dari
kalangan umat muslim seperti NU, GPII dan kaum muslim lain, Buya Hamka tampil sebagai
mediator konflik.
Untuk meredam ketegangan, Buya Hamka menulis buku Urat Tunggang Pantjasila (1951).
Buku ini berupaya menjembatani kesalahpahaman Soekarno atas tafsir Pancasila yang
berkembang di kalangan umat Islam.
Sekaligus juga membenahi salah kaprah seputar pemaknaan Pancasila yang berkembang di
kalangan umat muslim sendiri.
Buya Hamka berupaya duduk di tengah. Ia mengatakan bahwa umat muslim tidak akan
“menganggu” Pancasila selama urat tunggangnya yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa masih
dipertahankan.
Buya Hamka juga menegaskan bahwa sudah menjadi tugas kaum muslim untuk menjaga
Pancasila. Menurutnya, hanya pada umat muslim, usia Pancasila ditentukan. Tidak bisa
dibayangkan akan seperti apa polemik seputar Pancasila andai Buya Hamka tidak ikut turun
tangan mendinginkan suasana.

Fase Politik Orde Baru (1965-1998)


Era Soeharto adalah yang paling lama bertahan. Sebagai rezim otoriter, hampir semua gerakan
masyarakat sipil mengalami pembatasan. Termasuk Muhammadiyah. Kendati demikian,
sebagai hasil dari serangkaian pengalaman pahit oleh langkah-langkah kurang demokratis pada
rezim sebelumnya,
Selama Order Baru Muhammadiyah fokus pada pendirian sekolah, perguruan tinggi dan rumah
sakit. terbukti, selama era ini, peningkatan mutu amal usaha Muhammadiyah makin membaik.
Kreativitas dakwah dialihkan untuk urusan umat dan jamaah Muhammadiyah.
Muhammadiyah tetap menjalankan tanggungjawabnya untuk mengontrol pemerintahan dan
menolak intervensi. Tokoh Muhammadiyah seperti Buya Hamka juga tidak segan-segan
menarik diri dari jabatannya sebagai Ketua MUI yang pertama ketika intervensi mulai masuk
ke dalam organisasi tersebut.
Puncaknya relasi antara Muhammadiyah dan negara adalah aturan pemberlakuan asas tunggal.
Beruntung, KH. AR. Fakhruddin yang menjabat Ketua Umum PP Muhammadiyah berhasil
mengatasi polemik yang muncul akibat aturan tersebut.
Pada masa presiden Soeharto, tokoh dan aktivis Muhammadiyah melakukan konsolidasi
kebangsaan yang melibatkan banyak unsur masyarakat sipil lain untuk mendukung agenda
perubahan ke arah demokratisasi. Pangkalnya adalah gerakan reformasi antara 1996 hingga
1998 yang turut serta dibidani oleh Prof. Dr. H. Amien Rais.

Fase Reformasi (1998 – hingga sekarang)


Gelombang Reformasi yang ditandai dengan momen demokratisasi tidak lain merupakan
bagian dari sejarah Muhammadiyah. Angkatan muda Muhammadiyah, cendekiawan,
akademisi hingga tokoh Muhammadiyah berperan penting dalam menyebarkan gagasan-
gagasan deliberasi. Contohnya, ada Amien Rais, Ahmad Syafii M’arif, Moeslim
Abdurrahman, Kuntowijoyo, AM Fatwa, dan banyak lagi.
Cendekiawan Muhammadiyah tampil ke publik menyuarakan gagasan tentang hak-hak sipil,
kebebasan berpendapat dan reformasi birokrasi. Meski begitu, selepas reformasi, tampuk
kekuasaan ternyata tidak banyak berubah. Muhammadiyah kembali pada perbaikan internal
dan pemajuan visi misi dakwah Islam.
Pada tahun 2010, Muhammadiyah merumuskan konsep jihad konstitusi, yang tujuan pokoknya
adalah meluruskan produk aturan supaya harmonis dengan cita-cita Pancasila dan UUD 1945.
Berkaitan dengan ini, Muhammadiyah mendapat apresiasi dari publik karena berhasil
menggugat UU Migas dan UU Privatisasi Air.
Selama masa reformasi, Muhammadiyah berhasil mengukuhkan diri sebagai elemen
masyarakat sipil yang paling penting. Terbukti dengan mempelopori pembentukan lembaga
lingkungan hidup (kemudian menjadi Majelis Lingkungan Hidup), mitigasi kebencanaan
(Sekarang bernama Muhammadiyah Disaster Management Crisis atau MDMC) dan kini
selama pandemi ada Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC).
Tak kalah monumentalnya adalah pada tahun 2016 Muhammadiyah merumuskan
konsep Darul Ahdi wa Syahadah. Tujuan konsep ini adalah mengukuhkan Pancasila sebagai
ideologi bangsa.
***
Demikian enam fase peran kebangsaan Muhammadiyah. Sungguh bukan hanya ketika
Indonesia merdeka saja, Muhammadiyah merasa memiliki bangsa ini. Tapi sudah sejak
kelahiran dan pertumbuhannya.
Sejarah Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Negara Kesatuan Republik Indonesia atau sering disingkat NKRI adalah negara kesatuan
dengan bentuk pemerintahan republik, dengan nama negara Indonesia.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, merupakan awal berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia. NKRI terdiri dari wilayah kepulauan yang tersebar dengan
beraneka ragam adat, budaya, suku, dan keyakinan.
Istilah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI merujuk pada UUD 1945 pasal 1 ayat
1.
Nilai-nilai dalam persatuan dan kesatuan merupakan jiwa lahirnya NKRI. Hal itu karena dalam
persatuan dan kesatuan seseorang akan menyadari tentang keragaman bangsa Indonesia
tersebut.
Nilai-nilai persatuan dan kesatuan dalam kehidupan bangsa Indonesia juga secara jelas dapat
dipahami dari dasar negara Pancasila dan konstitusi negara, UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pilihan Indonesia menjadi negara kesatuan, didasarkan bukan hanya sekadar kepentingan atau
sikap politik, tetapi juga didasarkan atas komitmen persatuan dan keadilan.
Sebagai warga negara yang cinta terhadap tanah airnya, sudah semestinya mengetahui dan
memahami sejarah terbentuknya NKRI.
Berikut ini rangkuman tentang sejarah terbentuknya NKRI dan maknanya yang perlu
diketahui, dilansir dari laman Abulyatama.ac.id dan Surakarta.go.id, Senin (27/2/2023).

Sejarah Terbentuknya NKRI


Sejarah Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ditandai dengan
dibacakannya teks proklamasi oleh Ir. Soekarno tanggal 17 Agustus 1945.
Proklamasi itu juga merupakan rangkaian peristiwa yang melatarbelakangi
terjadinya kemerdekaan Indonesia.
Bagaimana kronologis lahirnya atau terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia itu?
Berikut ini rangkaian kronologis terbentuk NKRI.
29 April 1945
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau dalam bahasa
Jepang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai yang didirikan oleh pemerintah Jepang, yang
beranggotakan 63 orang.
06 Agustus 1945
Sebuah bom atom meledak di kota Hiroshima, Jepang. Pada saat itu, Jepang sedang menjajah
Indonesia.
07 Agustus 1945
BPUPKI kemudian berganti pada tanggal menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) atau dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbi inkai.
9 Agustus 1945
Bom atom kedua kembali dijatuhkan di kota Nagasaki yang membuat Jepang menyerah kepada
Amerika Serikat. Momen ini dimanfaatkan Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan.
10 Agustus 1945
Sutan Syahrir mendengar lewat radio bahwa Jepang telah menyerah pada Sekutu, yang
membuat para pejuang Indonesia makin mempersiapkan kemerdekaan. Saat Soekarno kembali
dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak kemerdekaan Indonesia.
15 Agustus 1945
Jepang benar-benar menyerah pada sekutu.

Sejarah Terbentuknya NKRI


16 Agustus 1945
Pada saat dini hari, para pemuda membawa Soekarno beserta keluarga dan Hatta ke
Rengasdengklok dengan tujuan agar Soekarno dan Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang.
Wikana dan Mr. Ahmad Soebarjo di Jakarta menyetujui untuk memproklamasikan
Kemerdekaan Indonesia.
Maka itu diutuslah Yusuf Kunto menjemput Soekarno dan keluarga dan Hatta. Soekarno dan
Hatta kembali ke Jakarta, awalnya ia dibawa ke rumah Nishimura baru kemudian di bawa
kembali ke rumah Laksamana Maeda untuk membuat konsep kemerdekaan.
Teks Proklamasi pun disusun pada dini hari, yang diketik oleh Sayuti Malik.
17 Agustus 1945
Pagi hari di kediaman Soekarno, Jl. Pegangsaan Timur No. 56, Teks Proklamasi dibacakan
tepat pada pukul 10:00 WIB dan dikibarkan Bendera Merah Putih yang dijahit oleh Istri
Soekarno, Fatmawati. Peristiwa tersebut disambut gembira oleh seluruh rakyat Indonesia.
18 Agustus 1945
PPKI mengambil keputusan, mengesahkan UUD 1945, dan terbentuknya NKRI, serta
terpilihnya Ir. Soekarno dan Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia.
Isi Teks Proklamasi 1945
Berikut isi teks proklamasi yang telah dikonsep oleh Ir. Soekarno:
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama
dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta

Makna Proklamasi Kemerdekaan Indonesia


Pertama, sebagai puncak perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia telah
banyak berkorban dalam menentang kaum penjajahan.
Adanya kemerdekaan diharapkan oleh para pejuang agar bangsa Indonesia bisa segera
mengakhiri penderitaannya. Kemerdekaan yang telah dicapai dan didapatkan ini, merupakan
tahap akhir dari sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia.
Kedua, bebas dari penjajahan. Dengan kemerdekaan yang telah didapat, ini berarti bahwa
bangsa Indonesia telah mendapat kebebasannya dari segala macam bentuk penindasan dan
penjajahan bangsa asing.
Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, bangsa Indonesia memiliki kebebasan untuk
menentukan nasibnya sendiri, serta bertanggung jawab mandiri dalam berbangsa dan
bernegara.
Makna Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Ketiga, sebuah revolusi baru telah dimulai. Dengan adanya proklamasi kemerdekaan
Indonesia, berarti menandakan dimulainya sebuah revolusi baru.
Dikatakan sebuah revolusi baru karena terjadi perubahan yang mendasar dan cepat. Hal ini
berarti terjadi pemindahan kekuasaan negara dari penjajah ke negara yang merdeka dan
berdaulat.
Keempat, sebagai berkah Tuhan Yang Maha Kuasa. Proklamasi kemerdekaan Indonesia
merupakan sebuah berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan sebagai hasil dari perjuangan
bangsa Indonesia sendiri.
Hal ini memiliki arti bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah sebuah hadiah yang diberikan
penjajah Jepang sebagaimana yang dijanjikan. Kemerdekaan Indonesia didapatkan atas
pengorbanan jiwa, raga, maupun harta.
Kelima, pintu gerbang menuju masyarakat yang adil dan makmur. Makna lain dari proklamasi
kemerdekaan bangsa Indonesia, yaitu sebagai pintu gerbang bagi bangsa Indonesia untuk
menuju masyarakat adil dan makmur.
Hal ini berarti kemerdekaan adalah sebuah fase penting yang harus dilalui untuk meneruskan
perjuangan ke fase berikutnya.

Konsep Darul Ahdi Wa Syahadah Hadiah Muhammadiyah untuk Bangsa Indonesia


MUHAMMADIYAH.OR.ID, MALANG — Pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun
2015 di Makassar, Muhammadiyah memposisikan Pancasila sebagai Dar al-Ahdi Wa al-
Syahada. Ijtihad kontemporer Muhammadiyah tersebut berangkat dari situasi terkini di tubuh
bangsa Indonesia sekaligus penegas identitas keislaman dan keindonesiaan. Secara bahasa Dar
al-Ahdi Wa al-Syahadah berarti negara kesepakatan dan persaksian.
“Kenapa tidak dengan darul sulhi atau negara perjanjian? Ternyata darul sulhi itu konteks
historisnya perjanjian oleh karena konteks perang. Sementara darul ahdi, adalah follow up dari
darul sulhi, jadi bukan kesepakatan biasa tapi sudah beranjak ke yang lebih tinggi yaitu menjadi
konsolidasi baik politik, budaya, ekonomi,” terang Hasnan Bachtiar dalam kajian virtual
bersama Santri Cendekia Forum pada Jumat (26/02).
Konteks historis pemahaman darul ahdi berangkat dari kesepakatan tokoh-tokoh agama
terutama Islam semisal Bagus Hadikusumo, Kasman Singadimedja, Wahid Hasyim, dan lain-
lain. Mereka berunding mencari titik temu agar konsepsi Pancasila diterima baik oleh kalangan
islam maupun kalangan nasionalis. Karenanya, kata Hasnan, darul ahdi ini hadiah dari umat
beragama terutama umat muslim terhadap bangsa Indonesia.
Darul ahdi atau negara kesepakatan tidak cukup bila tidak dibarengi dengan al-syahadah atau
persaksian. Hasnan memaknai al-syahadah sebagai keterlibatan langsung dalam mengatasi
berbagai masalah, bekerja keras dalam mewujudkan kemaslahatan, dan aksi partisipatoris dari
kaum muslim secara umum dan Muhammadiyah secara khusus dalam proses pembangunan
bangsa Indonesia.
“Suatu saat terutama kaum muslimin akan berbuah manis, buahnya adalah terwujudnyya
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dengan demikian, maka peradaban manusia yang
mulia juga akan terwujud, akan disaksikan bersama-sama. Makna persaksian itu adalah
kontribusi,” tutur dosen Universitas Muhammadiyah Malang ini.
Terdapat dua makna teologis terkait kontribusi bagi bangsa ini yaitu teologi al-Maun dan
teologi al-‘Ashr. Hasnan menerangkan bahwa teologi al-Maun berarti teologi welas asih
sedangkan teologi al-‘Ashr adalah teologi kerja keras dan kerja cerdas.
Karenanya, tujuan utama pengesahan Pancasila sebagai Darul Ahdi wa al-Syahadah
merupakan pedoman bagi kaum muslim saat terjadi pertukaran ideologi dalam skala global
maupun nasional. Selain itu, Muhammadiyah ingin memberikan benteng ideologi ketika
berada di tengah gempuran paham keagamaan yang beragam dan memiliki kecenderungan
ekstrem baik kanan maupun kiri.
“Dengan adanya konsep Darul Ahdi wa al-Syahadah, keberpihakan Muhammadiyah ada pada
semboyan Pancasila dan bhineka tunggal ika. Selain itu, sebagai manifesto intelektual
Muhammadiyah atau ijtihad Muhammadiyah dalam politik,” tutur Hasnan.
Muhammadiyah dalam Misi Dakwah dan Tajdid Abad Kedua

Oleh : Irvan Shaifullah


(Pengasuh di PA PP Al Mizan Lamongan dan Pimred Darul Aitam)
Kata Pengantar Haedar Nashir dalam bukunya memahami ideologi Muhammadiyah (2017)
terbitan Suara Muhammadiyah menuliskan gejala gejala yang masih tumbuh di lingkungan
Muhammadiyah. Sebagian anggota, kader, dan pimpinan ketika menjelaskan Muhammadiyah
hanya sebagai gerakan dakwah dan jarang menyebut gerakan tajdid, padahal terang benderang
dalam pasal Anggaran Dasar tentang identitas disebutkan bahwa Muhammadiyah sebagai
gerakan islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid.
Bahkan disebutkan Haedar, banyak sebagian kalangan yang hanya menekankan misi
pemurnian (purifikasi, tandhif) dari Muhammadiyah, dengan melupakan atau mengabaikan
misi pembaruan (tajdid, dinamisasi).

Pilar Tajdid Muhammadiyah Abad Kedua


Haedar Nashir (2010) menyebut, Muhammadiyah pada abad kedua menghadapi tantangan
yang tidak ringan. Muhammadiyah sebagai bagian dari bangsa berada pada pusaran dinamika
globalisasi yang membawa ideologi kapitalisme dan neoliberalisme global. Oleh karena itu,
Muhammadiyah perlu mengukuhkan diri sebagai gerakan tajdid sebagai ruh persyarikatan
sejak pertama berdiri.
Dalam penyataan pikiran Muhammadiyah Abad Kedua terkandung pikiran pikiran mendasar
tentang refleksi perjuangan gerakan islam ini selama satu abad sejak kelahiranya, pandangan
keislaman, wawasan kebangsaan dan kemanusiaan serta agenda gerakan Muhammadiyah.
Pada penyataan pikiran tersebut secara resmi dirumuskan Pandangan Keislaman
Muhammadiyah yaitu islam yang berkemajuan, yang sangat mendasar dan berwawasan luas
dan harus menjadi alam pikiran setiap anggota Muhammadiyah, lebih lebih aktivis, kader dan
pimpinan Muhammadiyah.
Pada pandangan lainnya tentang wawasan kebangsaan dan kemanusiaan yang mengandung isi
tentang pandangan kebangsaan Muhammadiyah menegaskan komitmen tentang NKRI yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1995 serta konsisten dalam mengintegrasikan keislaman dan
keindonesiaan. Wawasan kemanusiaan, Muhammadiyah mengambil peran dalam menegaskan
pandangannya akan Kosmopolitanisme Islam, penyampaian pesan islam sebagai rahmatan Lil
Alamin.
Agenda Muhammadiyah pada abad kedua adalah menegaskan tekad dan usaha untuk terus
menerus menjadikan gerakannya sebagai Gerakan Pencerahan dengan misi membebaskan,
memberdayakan dan memajukan kehidupan.
Tajdid (pembaruan) yang dilakukan oleh Muhammadiyah tidak sekadar dalam konteks
pemikiran. Namun, selayaknya mewujud dalam sebuah laku (action) yang menjadi habitus bagi
semua.
Tajdid abad kedua ini seakan selaras dengan hadis Rasulullah., s.a.w. “Sesungguhnya pada
setiap penghujung seratus tahun, Allah akan mengutus untuk umat ini orang yang akan
memperbarui agama mereka (H.R. Abu Dawud no. 3740).

Pilar 1 : Pandangan Keislaman Muhammadiyah


Dalam pandangan keislaman Muhammadiyah abad kedua, Muhammadiyah meyakini bahwa
Islam merupakan fondasi dan pusat inspirasi yang menyatu dalam urat nadi pergerakan. Islam
adalah risalah yang dibawa para Nabi hingga Nabi akhir zaman, Muhammad SAW. Islam
mengandung ajaran ajaran berupa perintah perintah dan larangan juga petunjuk untuk
keselamatan hidup. Islam merupakan agama yang mengandung nilai nilai kemajuan untuk
mewujudkan kehidupan umat yang tercerahkan. Kemajuan dalam pandangan islam adalah
kebaikan yang serba utama, yang melahirkan keunggulan hidup lahiriyah dan ruhaniah.
Muhammadiyah adalah Gerakan islam yang membawa misi dakwah dan tajdid dalam rangka
mewujudkan masyarakat islam yang sebena benarnya. Dakwah dan tajdid yang dipahami
Muhammadiyah adalah jalan perubahan untuk mewujudkan islam sebagai agama bagi
kemajuan hidup umat manusia sepanjang zaman.
Islam yang berkemajuan memancarkan pencerahan bagi kehidupan. Islam berkemajuan
menyemai benih benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran
dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia.
Pandangan islam berkemajuan bermuara pada pencerahan bagi kehidupan. Pencerahan sebagai
wujud dari islam yang berkemajuan adalah jalan islam yang membebaskan, memberdayakan
dan memajukan kehidupan dari segala bentuk keterbelakangan, ketertindasan, kejumudan dan
ketidakadilan hidup umat manusia.
Islam berkemajuan dan pencerahan adalah peneguhan dan pengayaan Muhammadiyah pada
urusan akidah, ibadah, dan akhlak serta mu’amalat duniawiyah yang membawa perkembangan
hidup. Islam dalam pergumulan dengan kehidupan sepanjang zaman harus diwujudkan dalam
amal. Islam sangat menjunjung tinggi amal sejajar dengan iman dan ilmu, sehingga islam hadir
dalam paham keseimbangan sekaligus membumi dalam kehidupan.
Pilar 2 : Wawasan Kebangsaan dan Kemanusiaan
Bangsa Indonesia dan dunia kemanusiaan universal merupakan ranah sosio-historis bagi
Muhammadiyah dalam menyebarkan misi dakwah dan tajdid. Misi dakwah dan tajdid dalam
konteks kebangsaan dan kemanusiaan merupakan aktualisasi dari fungsi kerisalahan da
kerahmatan Islam untuk pencerahan peradaban.
Muhammadiyah sejak awal berperan sebagai pengintegrasian keislaman dan keindonesiaan.
Bahwa Muhammadiyah dan umat islam merupakan bagian integral dari bangsa dan berkiprah
membangun pondasi dasar kebangsaan. Nasionalisme bukanlah doktrin mati sebatas slogan
cinta tanah air tetapi harus dimaknai dan difungsikan sebagai energi positif untuk membangun
indonesia secara dinamis dan transformatif dalam mewujudkan cita cita nasional.
Dalam menghadapi perkembangan kemanusiaan universal Muhammadiyah mengembangkan
wawasan keislaman yang bersifat kosmopolitan. Kosmopolitanisme merupakan kesadaran
tentang kesatuan masyarakat seluruh dunia dan umat manusia yang melampaui sekat sekat
etnik, golongan, kebangsaan, dan agama. Kosmpolitanisme secara moral mengimplikasikan
adanya solidaritas kemanusian universal dan rasa tanggung jawab universal kepada sesama
manusia tanpa memandang perbedaan dan pemisahan jarak yang bersifat primordial dan
konvensional.
Kosmopolitanisme Islam yang dikembangkan Muhammadiyah dapat menjadi jembatan bagi
kepentingan pengembangan dialog islam dan barat serta dialog antar peradaban. Tatanan dunia
baru memerlukan dialog, kerjasama, aliansi dan koeksistensi antar peradaban. Muhammadiyah
memandang bahwa perdaban global dituntut untuk terus berdialog dengan kebudayaan
kebudayaan setempat agar perdaban tidak terjebak dalam kolonialisme.
Pilar 3 : Agenda Abad Kedua

Muhammadiyah pada abad kedua berkomitmen kuat untuk melakukan gerakan pencerahan.
Gerakan pencerahan merupakan praksis islam yang berkemajuan untuk membebaskan,
memberdayakan, dan memajukan kehidupan. Gerakan pencerahan merupakan jawaban atas
problem kemanusiaan, berupa kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan dan persoalan persoalan
lain.
Gerakan pencerahan menampilkan islam untuk menjawab masalah kekeringan ruhani, krisis
moral, kekerasan, terorisme konflik, korupsi, kerusakan ekologis dan bentuk kejahatan
kemanusiaan.
Gerakan pencerahan Muhammadiyah terus bergerak dalam mengemban misi dakwah dan
tajdid untuk menghadirkan islam sebagai ajaran yang mengembangkan sikap tengahan
(wasithiyah), membangun perdamaian, menghargai kemajemukan, menghormati harkat dan
martabat, mencerdaskan kehidupan berbangsa, menjunjung tinggi akhlak mulia, dan
memajukan kehidupan umat manusia.
Gerakan pencerahan Muhammadiyah mengembangkan strategi dari revitalisasi (penguatan
kembali) ke transformasi (perubahan dinamis) untuk melahirkan amal usaha dan aksi aksi
sosial kemasyarakatan yang memihak kaum dhu’afa dan mustadh’afin serta memperkut civil
society.
Dalam gerakan pencerahan, Muhammadiyah memaknai dan mengaktualisasi jihad sebagai
ikhtiar mengerahkan segala kemampuan untuk mewujudkan kehidupan seluruh umat manusia
yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat. Jihad dalam pandangan Muhammadiyah
bukan perjuangan dengan kekerasan, konflik dan permusuhan.
Pada abad kedua, Muhammadiyah menghadapi perkembangan dunia yang semakin kosmopolit
dan Muhammadiyah harus berperan sebagai integral dari warga semesta dan dituntut
komitmennya dalam menyebarluaskan gerakan pencerahan. Demi terwujudnya wawasan
kemanusiaan yang universal dan menjunjung tinggi perdamaian, toleransi, kemajemukan,
kebajikan, peradaban, dan nilai nilai utama. **
** Tulisan banyak disarikan dari buku “Memahami Ideologi Muhammadiyah” Karya Dr H.
Haedar Nashir, M. SI terbitan Suara Muhammadiyah (cet 4, 2017)

Anda mungkin juga menyukai