Anda di halaman 1dari 2

A. Intelektualitas dan Religiusitas KH.

Ahmad Dahlan
Faktor yang melatar belakangi Muhammadiyah didirikan menurut ahli :

 M. Jindar Tamimi (1990)


Ada dua faktor, yaitu faktor subjektif dan objektif.
Faktor pertama berkait langsung dengan perjalanan biografi pribadi Ahmad Dahlan, sedang faktor
kedua berkait dengan kondisi internal dan eksternal bangsa Indonesia. Kondisi internal menyangkut
implementasi Islam di Indonesia, sedang kondisi eksternal menyangkut pengaruh-pengaruh asing.
 Saifullah (1997 : 27)
Dalam sebuah tests masternya, menyebutkan ada empat faktor. Pertama, faktor aspirasi pendiri,
yakni Ahmad Dahlan. Kedua, faktor realitas sosio-agama di Indonesia. Ketiga, factor realitas sosio-
pendidikan di Indonesia, dan keempat, factor realitas politik Islam Hindia-Belanda.
Perbedaan penyebutan faktor di atas, nampak dengan jelas tidak berkait dengan substansi tetapi berkait
dengan redaksional semata. Bahkan, Saifullah sebetulnya mencoba membahasakan ulang hal yang sudah
dijelaskan oleh M. Jindar Tamimi. Pembahasan tentang latar belakang Muhammadiyah didirikan akan
mengikuti pola pikir seperti yang dikembangkan oleh Saifullah.
Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah tidak secara kebetulan, tetapi didorong oleh aspirasinya yang
besar tentang masa depan Islam Indonesia. Aspirasi ini dapat dilacak dari perjalanan intelektual, spiritual,
dan sosial Ahmad Dahlan dalam dua fase dari biografi kehidupannya, yaitu fase pertama, setelah
menunaikan ibadah haji yang pertama (1889); dan fase kedua, setelah menunaikan ibadah haji yang kedua
tahun 1903 (Saifullah, 1997; 27-28).

 Pada ibadah haji pertama, Ahmad Dahlan masih berusia 20 tahun. Motivasi berhaji lebih
didorong oleh upaya peningkatan spiritual pribadinya, dengan cara menunaikan rukun Islam yang
kelima, yaitu ibadah haji. Ahmad Dahlan diharapkan kualitas spiritual dan intelektual ilmu
keislamannya bisa lebih meningkat dengan menunaikan ibadah haji. Di pusat studi Islam ini,
Ahmad Dahlan menemukan banyak hal tentang studi Islam yangjarang ditemui di Indonesia.
Menurutnya, Islam tidak hanya dipahami secara kognitif semata, tetapi ada kewajiban untuk
menerjemahkan ke dalam bentuk aksi sosial sebagai wujud perbaikan masyarakat. Hasil kongkrit
dari studinya di Mekah setelah menunaikan ibadah haji pertama ini, dapat dilihat dalam aktivitas
keagamaan Ahmad Dahlan, misalnya, pembenahan arah kiblat (1897), masalah pemberian garis
shaf untuk shalat (1897), renovasi pembangunan mushalla Ahmad Dahlan, namun kemudian
dibakar masyarakat (1898) dan perluasan pembangunan dan pengembangan pesantren milik
ayahnya.
 Pada haji yang kedua sebagai awal fase kedua dari perjalanan biografinya, Ahmad Dahlan
menemukan metodologi untuk memahami Islam yang sebenarnya. Pada haji yang kedua ini,
Ahmad Dahlan memasuki usia 34 tahun. Selama berada di tanah haram ini, Ahmad Dahlan
memperdalam studi Islam tradisional kepada ulama termasyhur, baik kepada ulama kelahiran
Indonesia maupun ulama setempat yang telah menjadi syaikh di sana. Misalnya, untuk fikih, ia
berguru kepada KH. Mahful (Tremas, Pacitan, Jawa Timur), KH. Muhtaram (Banyumas, Jawa
Tengah), Syaikh Bafadhal, Syaikh Sa'id Yamani dan Syaikh Said Babasel; untuk hadits pada
Mufti Syafi'i; untuk ilmu astronomi pada KH. Asy'ari Bawean (Gresik); dan untuk ilmu qira'ah
kepada Syaikh Ali Mukri (Mekah). Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setelah
menunaikan ibadah haji pertama dan kedua, Ahmad Dahlan mempunyai obsesi besar tentang
masa depan Islam yang mampu membebaskan masyarakat seperti yang diperankan Rasulullah
dan para salafiyun. Islam harus dipahami dari sumber utamanya, yaitu al-Qur'an dan al-Sunnah.
Dan pelaksanaannya menganut konsep rasional-fungsional.
B. Realitas Sosio-Agama di Indonesia
1. Keberadaan umat Islam
pengamalan Islam yang dilakukan orang Jawa banyak yang menyimpang dari ajaran aqidah
Islamiyah dan harus diluruskan. Akibat dari praktek-praktek ini, ajaran Islam tidak murni, tidak
beriungsi sebagaimana mestinya, dalam arti tidak memberikan manfaat kepada pemeluknya
Realitas sosio-agama yang dipraktekkan masyarakat inilah yang mendorong Ahmad Dahlan
mendirikan Muhammadiyah. Namun, gerakan pemurniannya baru dilakukan pada tahun 1916,
empafc tahun setelah Muhammadiyah berdiri, saat Muhammadiyah mulai berkembang ke luar
kota Yogyakarta. Dalam konteks realitas sosio-agama ini, tidaklah berlebihan apa yang dikatakan
oleh Munawir Sjadzali (1995), bahwa Muhammadiyah adalah gerakan pemurnian yang
menginginkan pembersihan Islam dari semua unsur sinkretis dan daki-daki tidak Islamilamnya.
2. Realitas umat Non Muslim
Menjelang didirikannya Muhammadiyah, Islam Indonesia tengah mengalami krisis karena
keterbelakangan para pemeluknya akibat sistem pendidikan yang statis. Baik kegiatan misi
Kristen maupun organisasi yang tidak berbasis Islam tampak menempati posisi terdepan.
Fenomena ini sebagian disebabkan oleh makin besarnya pengaruh lobi Kristen pemerintah
koionial yang bertujuan mengebiri peranan Islam di Indonesia. Oleh sebab itu, pengaruh misi
yang kian bertambah ini berhasil "menempatkan agama Kristen dalam pusat kehidupan di
Indonesia. Ketika pengaruh sertajumlah sekolah misi ini semakin bertambah, kalangan terkemuka
mengirim anak-anak mereka bersekolah di sana. Hal ini selanjutnya meningkatkan reputasi
sekolahsekolah tersebut dan memperbesar dukungan terhadapnya.
3. Realitas sosio-pendidikan
Ahmad Dahlan mempunyai cita-cita pendidikan yang akan dibangun nanti melahirkan ulama
Kyai yang maju, dan jangan mengenal lelah dalam bekerja untuk Muhammadiyah (dadiyo Kyai
sing kemajuan, lan aja kesel-kesel anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah). Ulama
yang maju adalah ulama yang dapat mengikuti perkembangan zaman. Untuk itu, ulama harus
melengkapi dirinya dengan ilmu pengetahuan, di samping ilmu agama yang dimiliki. Adapun
yang dimaksud dengan ungkapan bekerja untuk Muhammadiyah dalam pernyataan Ahmad
Dahlan adalah bekerja untuk masyarakat luas karena Muhammadiyah waktu itu bertujuan
memperbaiki kondisi masyarakat berdasarkan agama Islam.
4. Realitas Politik Islam Hindia Belanda
Manifestasi nyata gerakan nasionalis ini adalah berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908.
Organisasi ini segera disusul oleh sebuah organisasi politik yang lebih merakyat dan
berkecenderungan Islam yang kuat, yaitu Sarekat Islam. Hampir bersamaan dengan itu, berdiri
pula Muhammadiyah. Pada masa ini, untuk menarik masa, seruan atas nama Islam disuarakan
sebagai ikatan bersama dalam kehidupan orang-orang Jawa. Sementara Budi Utomo membatasi
kegiatannya pada bidang kebudayaan. Sarekat Islam lebih memfokuskan kegiatan ekonomi dan
politik. Sementara itu, Muhammadiyah menfokuskan upayanya untuk mempertahankan Islam
pada masa umumnya

Anda mungkin juga menyukai