Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

SEJARAH MUHAMMADIYAH

MATA KULIAH FILSAFAT KEMUHAMMADIYAHAN


Dosen Pengampu: Dr. H. Manager Nasution, M.A.

Disusun oleh:
Fauzi Afriansyah NIM 1909057008
Rima Aris Prastiwi NIM 1909057022

PROGRAM STDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH Prof. Dr. HAMKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi islam yang besar di Indonesia. Nama

organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammadi SAW, sehingga Muhammadiyah dapat

diartikan sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW. Organisasi

Muhammadiyah sudah lebih dari satu abad eksis di Indonesia. Artinya kehadiran

Muhammadiyah sudah jauh ada bahkan sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Artinya perjalanan Indonesia di dalam meraih kemerdekaannya pada kala itu tidak dapat

dilepaskan dari peran serta organisasi Muhammadiyah.

Dalam hitungan kalender Masehi, Muhammadiyah kini berusia kurang lebih 107

tahun. Di usia yang sudah mencapai lebih dari 100 tahun tentu saja Muhammadiyah harus

melakukan berbagai macam penyesuaian baik dalam hal internal maupun internal, dan tentu

saja melakukan penyesuaian terhadap perkembangan kemajuan bangsa bukanlah sebuah hal

yang mudah untuk dilakukan. Hal ini tentu saja dapat dilakukan karena kuatnya tonggak

awal, visi dan misi yang dijadikan sebagai dasar berdirinya Muhammadiyah oleh KH Ahmad

Dahlan pada tahun 1912 kala itu.

Namun, proses adaptasi sebuah organisasi apalagi yang sudah menginjak usia lebih

dari 1 abad, kiranya sedikit banyak akan memunculkan perbedaan-perbedaan dari tiap masa

ke masa. Bila kita tengok sejarah, setiap pergantian masa kepemimpinan Muhammadiyah

mengalami fokus yang berbeda. Contoh, pada masa KH Faqih Usman, pada masa itu

tercertus kalimat memuhammadiyahkan kembali Muhammadiyah. Kalimat tersebut

menimbulkan spekulasi bahwa telah terjadi beberapa hal yang tadinya menjadi fokus

muhammdiyah kemudian menjadi terabaikan seiring dengan penyesuaian yang dilakukan

oleh Muhammadiyah.
Maka, penting rasanya jika kita melihat kembali konteks historis dari kelahiran

Muhammadiyah, penting rasanya jika kita melihat lagi tujuan-tujuan besar yang ingin dicapai

oleh KH Ahmad Dahlah pada saat mendirikan Muhammadiyah, dan melihat kembali fokus

utama apa yang menjadi latar belakang berdirinya Muhammadiyah, maka dari itu melihat

konteks historis atas kelahiran Muhammadiyah akan menjadi jalan penting bagi kita

memahami Muhammadiyah sebagai suatu organisasi besar yang berjalan berdasarkan Al

quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, untuk memahami hal-hal di atas, perlu dipahami juga profil dari KH

Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah, bagaimana latar belakang kehidupannya

serta perjalanannya dalam belajar hingga mencapai pemikiran bahwa organisasi

Muhammadiyah harus hadir pada saat itu.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konteks historis serta profil KH Ahmad Dahlan sebagai bagian dari

kelahiran Muhammadiyah?

1.3 Tujuan Pembahasan

Tujuan pembahasan topik ini seperti yang tertuang di dalam latar belakang, yakni

untuk memahami dasar-dasar tujuan dari didirikannya Muhammadiyah.


BAB II

ISI

2.1 Konteks historis kelahiran Muhammadiyah

Struktur yuridis formal kolonial Belanda membedakan strata sosial dan menjadikan

kaum pribumi yang beragama mayoritas islam menduduki strata paling bawah, kemudian

di posisi kedua ditempatkan orang timur asing yang berasal dari Cina, Arab, Jepang, dan

India. Di srata paling atas ditempatkan orang-orang eropa dan pemerintahan kolonial

Belanda. Kondisi yang seperti ini tentu saja menjadi sebuah tembok yang menghalangi

kaum pribumi untuk melangkah maju, apalagi dalam hal pendidikan. Orang-orang pribumi

menjadi pribadi yang lemah dalam pengetahuan terutama pengetahuan tentang agama

islam.

Di zaman kolonial Belanda, pada abad ke-19 pendidikan barat yang diperkenalkan

kepada penduduk pribumi sebagai upaya penguasa saat itu untuk mendapatkan tenaga

kerja dari kalangan pribumi sedikit banyaknya menimbulkan perubahan strata pada

beberapa kelompok sosial. Namun di sisi lain tidak sedikit masyarakat yang memandang

negatif terhadap pendidikan barat tersebut, karena anggapan sebagai produk kolonial

sekaligus produk kafir.

Pengenalan agama kristen dan perluasan kristenisasi juga ikut andil dalam pelemahan

ini. Perluasan ini terjadi berbarengan dengan perluasan kekuasaan kolonial dengan tujuan

memengaruhi kaum pribumi yang terlebih dahulu terpengaruh oleh agama islam.

Selanjutnya di bidang ekonomi perluasan aktivitas ekonomi menimbulkan persaingan

besar. Banyaknya barang-barang impor yang datang dengan kualitas tinggi dan harga

murah menjadikan komoditi yang dijual oleh pribumi menjadi tersingkirkan, menjadi lebih

sulit dan berada dalam keadaan serba kekurangan.


Barulah ketika politik etis atau dikenal dengan politik balas budi dijalankan beberapa

kelompok intelektual dan professional meraih sedikit kesempatan untuk meraih ilmu

pengetahuan, walaupun pada praktiknya program edukasi pada politik etis ini mash

terbatas pada kelompok elit pribumi saja, sedangkan untuk kalangan bawah masih ditimpa

kesulitan untuk mengenyam pendidikan. Kondisi yang demikian membuat sebagian dari

kalangan bawah pribumi memilih untuk mengantarkan dirinya ke surau-surau atau rumah-

rumah yang memang diadakan pengajian di dalamnya.

Dengan konteks lingkungan yang sedemikian rupa, pada saat ini kelompok intelektual

menjadikan program edukasi pada politik etis sebagai sebuah kesempatan berharga, kaum

intelek dan profesional bahu-membahu menciptakan sedikit demi sedikit perubahan untuk

kemajuan bangsa. Pada tahun 1908 organisasi Budi Utomo didirikan oleh para mahasiswa

sekolah kedokteran di Jakarta, walaupun dasar dan tujuan, serta aktivitas Budi Utomo

masih sebagai suatu organisasi yang terikat hukum-hukum kolonial, namun hal ini

menjadi bentuk perubahan yang dilakukan kaum intelektual pada saat itu.

Minimnya pengetahuan kaum pribumi terutama tentang agama islam, mengantarkan

rakyat kala itu menjadi orang yang tidak memegang teguh tuntunan Alquran dan Sunnah

nabi, Muhammad SAW. Selain itu praktik syirik, dan bidah yang merajalela

mengakibatkan umat islam menjadi golongan yang tidak terhormat dalam masyarakat. Hal

ini diperburuk dengan tidak tegaknya ukuwah Islamiyah dan tidak adanya wadah yang

menyatukan meraka, serta kegiatan dan misi misionaris Kristen yang telah diberikan

keleluasaan oleh kolonial Belanda menambah buruk keadaan rakyat saat itu terhadap

islam.

Beberapa hal yang disebutkan di atas menjadi dasar utama yang melatarbelakangi

didirikannya organisasi Muhammadiyah, di Kauman Yogyakarta. Muhammad Darwis


atau yang sekarang lebih dikenal dengan KH Ahmad Dahlan seorang Kyai yang telah

belajar di Arab Saudi dan menetap di sana selama beberapa waktu menjadi salah satu

tokoh yang mempunyai pemikiran tentang perubahan. KH Ahmad Dahlan melalui

diskusinya bersama tokoh-tokoh pergerakan menjadi sosok yang terpanggil untuk

mengubah keadaan tersebut dengan memberikan suatu wadah yang dapat dijadikan tempat

bagi warga pribumi untuk belajar dan perlahan memperkuat yang lemah baik dari segi

akidah, ibadah, muamallah, maupun soal pengetahuan, moral, dan ukkuwah.

Di bulan Dzulhijjah tanggal 8 1330 H, bertepatan dengan tanggal 18 November 1912

tahun masehi, Indonesia yang kala itu belum merdeka mendapatkan langkah awalnya

untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Muhammadiyah, organisasi besar islam modernis

terbesar resmi berdiri. Berdirinya Muhammadiyah menjadi langkah awal bagi Indonesia

yang memiliki penduduk terbesar muslim di dunia untuk melakukan perintisan dan

pemurnian sekaligus pembaruan pengajaran agama islam di Indonesia.

2.2 Kelahiran Muhammadiyah

Kelahiran Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari peran KH Ahamad Dahlan

yang memiliki gagasan pemikiran pembaruan yang begitu luar biasa. Kyai Haji Ahmad

Dahlan yang menjadi tonggak utama berdirinya organisasi Muhammadiyah yang kini

berusia 107 tahun. Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah merupakan

wujud nyata dari aktualisasi pikiran-pikiran pembaruan KH Ahmad Dahlan, menurut

Adaby Darban (2000: 13) secara praktis-organisatoris kelahiran Muhammadiyah ditujukan

untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang

telah didirikan pada 1 Desember 1911.


Pada awal berdirinya, organisasi Muhammadiyah mengajukan anggaran dasar

organisasi atau pada saat itu disebut statuten Muhammadiyah, anggaran dasar tersebut

terkait dengan pengesahan tanggal berdirinya Muhammadiyah dan maksud dari berdirinya

organisasi tersebut. Adapun beberapa poin penting yang disoroti terkait maksud berdirinya

Muhammadiyah adalah: a. menyebarkan agama Kangjeng Nabi Muhammad SAW kepada

penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta; dan b. memajukan hal agama kepada

anggota-anggotanya (yang sejak tahun 1914 ditambahkan dengan kata menggembirakan).

Statuten Muhammadiyah tersebut selalu digunakan pada setiap anggaran dasar pada

poin maksud dan tujuan dari periode KH Ahmad Dahlan hingga tahun 1946. Adapun

maksud dari statute tersebut adalah: a. memajukan dan menggembirakan pengajaran dan

pelajaran agama di Hindia Nederland; b. memajukan dan menggembirakan kehidupan

sepanjang kemauan agama islam kepada lid-lidnya.

Dilansir dari laman muhammdiyah.or.id, dikatakan bahwa dalam pandangan

Djarnawai Hadikusuma, kata-kata yang tercantum dalam statuen tersebut mengandung hal

yang sangat luas dan dalam. Betapa tidak, dalam posisi agama islam yang sangat

mengalami kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti ajaran islam yang

sesungguhnya, dan dengan kondisi historis pada masa kolonial seolah memojokkan agama

islam, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran islam yang murni

itu kepada umat islam pada umumnya untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama

untuk mengajarkannya dalam suasana yang maju dan menggembirakan.

Kelahiran Muhammadiyah pada masa itu, mampu memadukkan paham islam yang

ingin kembali pada Alquran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka pintu

ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberikan karakter yang khas dari kelahiran dan

perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari. Kehadiran Muhammadiyah memiliki

cita-cita membebaskan umat islam dari keterbelakangan dan membangun kehiduan


berkemajuan yang meliputi aqidah, ibadah, dan muamallah, serta pemahaman terhadap

ajaran islam dan kehidupan umat islam dengan mengembalikan sumbernya yang asli yakni

Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

Pembaruan demi pembaruan terus dilakukan seiring berjalannya organisai

Muhammadiyah ini, dengan tujuan yang jelas organisasi Muhammadiyah memadukan

gaya pembelajaran agama ke dalam bentuk yang lebih modern. Bentuk modern yang

dimaksud adalah memadukan pelajaran agama dan pengetahuan umum, mengajarkan ilmu

agama di gedung sekolah menggunakan kursi dan meja, yang pada saat itu bentuk ini

merupakan kekhasan dari pendidikan barat. Menurut Kuntowijoyo, gagasan pendidikan

yang dipelopori KH Ahmad Dahlan ini merupakan pembaruan karena mampu

mengintergrasikan iman dan kemajuan sehingga dihasilkan sosok generasi muslim

terpelajar yang mampu hidup di zaman modern.


2.3 Profil KH Ahmad Dahlan
Sebagai sosok pendiri dari organisasi muslim besar di Indonesia. Sosok KH Ahmad

Dahlan tentu saja menjadi sosok yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Pemikiran-

pemikiran pembaruannya, latar belakang pendidikan, pengetahuan keagamaan, serta

kegiatan-kegiatan beliau sampai berdirinya Muhammadiyah di Indonesia menjadi sebuah

warisan yang dapat diteladani untuk hari ini maupun hari esok.

Kiai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis  lahir di Yogyakarta, 1 Agustus

1868  dan meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923. Putra keempat dari tujuh

bersaudara. Anak dari keluarga K.H. Abu Bakar seorang ulama di Masjid Besar

Kasultanan Yogyakarta, sementara itu Ibunya adalah puteri dari H Ibrahim yang juga

menjabat sebagai penghulu di Kasultanan Ngayogyakarta Hadinigrat.

Pada umur 15 tahun, dia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada

periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu

dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah.

Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad

Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun.

Pada masa ini, dia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari

pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di

kampung Kauman, Yogyakarta.

Sepulang dari Mekkah, dia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak

kiai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang

Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah,

KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti

Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Di samping itu K.H. Ahmad Dahlan

pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Dia juga pernah menikahi Nyai

Rum, adik kiai Munawwir Krapyak. K.H. Ahmad Dahlan juga mempunyai putra dari
perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama

Dandanah. Dia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta. KH.

Ahmad Dahlan meninggal pada tahun 1923 dan dimakamkan di

pemakaman Karangkajen, Yogyakarta.

Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa

Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik

Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat

Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:

1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan umat Islam untuk menyadari

nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;

2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan

ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan,

kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;

3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan

pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan

jiwa ajaran Islam; dan

4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori

kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial,

setingkat dengan kaum pria.

Kisah hidup dan perjuangan Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadyah diangkat ke

layar lebar dengan judul Sang Pencerah. Tidak hanya menceritakan tentang sejarah kisah

Ahmad Dahlan, film ini juga bercerita tentang perjuangan dan semangat patriotisme anak

muda dalam merepresentasikan pemikiran-pemikirannya yang dianggap bertentangan


dengan pemahaman agama dan budaya pada masa itu, dengan latar belakang

suasana Kebangkitan Nasional.

2.4 Agenda Muhammadiyah di Era Reformasi

Dalam menghadapi dinamika kehidupan nasional  perkembangan dunia yang makin

global dan penuh pertarungan kepentingan yang keras antar kelompok dan golongan

dalam masyarakat, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang cukup berpengaruh di

Indonesia dituntut untuk memainkan perannya secara signifikan. Demikian juga dalam

kehidupan politik, Muhammadiyah dituntut untuk menghadapi perkembangan yang

makin dinamik itu secara cerdas dan tepat sasaran, yang memerlukan pemikiran-

pemikiran dan langkah-langkah yang strategis.

Muhammadiyah perlu melakukan identifikasi atas pesoalan-persoalan penting dan

strategis khususnya dalam kehidupan politik nasional, agar dalam melangkah tidak

bersifat reaktif semata. Dalam kepentingan ini Muhammadiyah perlu menyusun agenda-

agenda strategis khususnya dalam politik, sehingga Muhammadiyah menjadi kekuatan

yang memiliki kesiapan yang matang dan sistemik dalam memasuki masa depan yang

penuh tantangan. Muhammadiyah bisa melakukannya tanpa harus terlibat langsung

dalam politik praktis. Langkah-langkah strategis dalam menghadapi dinamika kehidupan

politik yang penuh tantangan itu seharusnya dibangun diatas landasan dan orientasi

gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar sebagai misi utama dari Muhammadiyah.

Dalam konteks kehidupan politik nasional dapat dicermati bagaimana perkembangan

sosiologi politik umat Islam. Muhammadiyah perlu mengambil peran aktif dalam

percaturan nasional sesuai dengan karakternya sebagai organisasi sosial- keagamaan,

sehingga dapat memberikan penguatan bagi proses politik umat Islam di Indonesia.

Muhammadiyah dituntut untuk berperan dalam percaturan politik nasional yang

melibatkan kekuatan-kekuatan umat Islam yang tidak jarang harus berbenturan antar
umat Islam  itu sendiri, selain dengan kekuatan politik lainnya. Muhammadiyah dituntut

untuk memposisikan diri dan ikut berperan aktif dalam percaturan umat Islam, agar dapat

memberikan penguatan bagi plitik umat Islam khususnya dan politik nasional pada

umumnya.

Perkembangan politik umat Islam maupun politik nasional mengalami perubahan

yang sangat cepat ketika datang gelombang gerakan reformasi yang meruntuhkan rezim

Orde Baru. Munculnya era Reformasi menggantikan Orde Baru  walaupun belum

sepenuhnya berhasil membongkar tatanan politik yang lama, tetapi telah merubah

konfigurasi perpolitikan nasional  yang telah ada. Kekuatan- kekuatan Islam terpecah

belah dalam berbagai faksi politik. Ledakan partisipasi politik dengan mendirikan partai

politik  baru di era reformasi untuk bertanding di Pemilu 1999 telah melahirkan

konfigurasi politik baru, sehingga bermunculan partai politik yang membawa aspirasi

umat Islam, baik itu yang memakai asas formal Islam maupun yang membawa

kepentingan umat Islam. Fenomena politik baru di lingkungan umat Islam ini

menunjukkan secara terbuka bahwa umat Islam bukanlah merupakan satu entitas politik

yang utuh.

Dalam menyikapi fenomena politik baru di lingkungan umat Islam ini, maka

Muhammadiyah harus merumuskan agenda-agenda strategis mengenai politik baik yang

berkaitan dengan pemikiran-pemikiran maupun dalam mempermainkan fungsi-fungsi

politik sesuai dengan identitas dan garis-garis perjuangan yang membingkainya sebagai

wujud pertanggungjawaban dalam pencerahan kehidupan bermasyarakt, berbangsa, dan

bernegara. Muhammadiyah harus mempunyai agenda-agenda politik sebagai kerangka

secara sistemis yang berkaitan dengan pertanggungjawaban atau amanat Muhammadiyah

dalam ikut serta melakukan pembangunan politik di Indonesia. Agenda –agenda strategis

Muhammadiyah itu antara lain :


Pertama, merumuskan konsep pandangan Muhammadiyah tentang politik, yaitu

Muhammadiyah dituntut untuk menyususn suatu konsep yang komprehensif dan

sistemik mengenai politik yang berangkat dari pandangan- pandangan keagamaan dan

elaborasi pemikiran ijtihad yang menjadi metode pemahaman Islam dalam

Muhammadiyah. Konsep politik ini dapat dianggap sebagai pandangan Muhammadiyah

tentang politik. Konsep ini berfungsi sebagai landasan pemikiran dan perilaku politik

Muhammadiyah maupun orang-orang  Muhammadiyah dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara yang mencerminkan pertanggungjawaban dakwah  amar

ma’ruf nahi munkar  dari Muhammadiyah. Konsep ini dapat diarahkan pada ijtihat

politik Muhammadiyah dalam dunia pemikiran mengenai politik.

Kedua, mensistemasikan ulang pemikiran-pemikiran formal Muhammadiyah, yaitu

Muhammadiyah dituntut untuk menata kembali pemikiran-pemikiran formal

Muhammadiayah yang dimilikinya untuk menyusun konsep baru yang lebih artikulatif

mengenai strategi perjuangan Muhammadiyah dala kehiduan politik. Perumusan strategi

perjuangan Muhammadiyah ini akan  memberikan wawasan dan acuan yang lebih cerdas

dan dinamis dalam kehidupan politik nasional yang makin kompleks. Konsep ini

diharapkan dapat menjadi panduan yang fleksibel dan memberikan visi yang luas

mengenai politik dalam menghadapi perkembangan politik yang baru, tanpa harus

kehilangan identitas diri sebagai organisasi sosial-keagamaan yang non-politik praktis.

Ketiga, mengfungsikan Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan (interest

groups) sebagai bentuk dari partisispasi langsung dengan memberikan sumbangan-

sumbangan berharga bagi demokratisasi dan pencerahan politik nasional menuju

kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan yang dicita-citakan. Fungsi kelompok

kepentingan ini dapat berupa lobi-lobi politik, penciptan opini publik, memeberikan

dukungan  atau penentangan atas kebijakan-kebijakan publik, atau kegiatan-kegiatan


politik lainnya yang memberikan sasaran pada mempengaruhi proses politik tanpa harus

melakukan politik praktis. Peranan Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan ini

akan memberikan bobot bagi gerakan dakwah Muhammadiyah dan menempatkan

Muhammadiyah dalam posisi yang diperhitungkan dalam percaturan kehidupan politik

nasional.

Keempat, menyusun agenda pendidikan politik, yakni Muhammadiyah perlu

menyusun dan melakukan program pendidikan politik bagi masyarakat. Dengan

pendidikan politik ini diharapkan mampu memberdayakan politik rakyat, sehingga

masyarakat semakin mengerti akan pentingnya partisipasi dalam penentuan kebijakan

politik pemerintah. Dalam era reformasi yang makin demokratis dan terbuka maka

diperlukan rakyat yang berdaya secara rasional, pendidikan , ekonomi, dan kesadaran

akan hak-hak politiknya, sehingga suara rakyat benar-benar otonom dan dapat

dipertanggungjawabkan bagi masa depan demokrasi. Pendidikan politik bagi masyarakat

ini bagi Muhammadiyah merupakan suatu paket yang tidak terpisahkan dari perjuangan

membentuk masyarakat Islam yang dicita-citakan, atau dalam wacana kontemporer

identik dngan cita-cita mewujudkan masyarakat madani.

Di sepanjang sejarahnya, Muhammadiyah memang belum pernah menjadi partai

politik, namun usulan agar Muhammadiyah mengembangkan diri menjadi partai politik

atau sekurang-kurangnya mendirikan partai politik sudah muncul sejak tahun 1920-an

dan akan terus muncul kembali. Gagasan agar Muhammadiyah mendirikan partai politik

muncul kembali pada masa reformasi, dimana banyak orang ramai mendirikan partai

politik. Hal ini tampak pada saat sidang Tanwir Muhammadiyah pada tanggal 5-7 Juli

1998 di Semarang. Dalam Tanwir tersebut merekomondasikan agar Muhammadiyah

mempersiapkan partai politik baru.  Walaupun akhirnya PP Muhammadiyah tidak


mendirikan partai politik, tetapi kehadiran PAN tidak lepas dari proses ijtihat politik dari

Tanwir Muhammadiyah di Semarang

Dalam melihat politik, kekuasaan ataupun negara Muhammadiayah meletakkannya

sebagai produk dari  dinamika sosial kemasyarakatan dan kebudayaan, yang kemudian

dikenal sebagai “gerakan dakwah”. Bagi Muhammadiyah, politik baik itu partai politik

ataupun negara adalah sub-sistem dari gerakan dakwah. Dari sinilah maka terlihat bahwa

hubungan antara Muhammadiyah dengan partai politik tidak konsisten, selalu berubah

dan tidak pernah bersifat struktural. Muhammadiyah diletakkan diatas basis yang lebih

besar dan lebih kultural daripada dinamika politik kenegaraan. Hal ini cenderung

bersiakap pragmatis atau akomodatif Muhammadiyah dalam politik, tetapi juga berarti

peletakan sistem dan tata sosial-politik kenegaraan diatas dasar nilai-nilai etik.

Sejak berdiri tahun 1912, Muhammadiyah belum pernah menjadi partai politik,

namun selalu terlibat perpolitikan nasional, langsung maupun melalui aktivitas elit

Muhammadiyah. Dalam situasi politik kenegaraan mengalami krisis, seperti masa-masa

menjelang kemerdekaan, awal pembentukan negara merdeka pasca G-30 S/PKI dan era

reformasi ini, aktivis Muhammadiyah hampir selalu terlibat dalam dinamika politik

praktis ( partai politik ). Menjelang Muktamar ke- 44 di Jakarta tahun 2000, tarikan

keterlibatan politik praktis kembali nampak mengejala. Politik praktis yang pada

pertengahan tagun 1990-an dianggap sebagai “politik rendahan” oleh aktivis

Muhammadiyah, pada masa reformasi ini terlihat mulai ada perubahan, dimana beberapa

aktivis Muhammadiyah mulai memasuki gelanggang politik praktis baik itu menjadi

pengurus partai politik maupun menjadi anggota DPR/MPR maupun DPRD.

Tampilnya elit Muhammadiyah dalam dinamika politik nasional mempengaruhi posisi

Muhammadiyah dalam pentas nasional pasca pemerintah Orde Baru. Menurut Abdul

Munir Mulkan meskipun mantan ketua PP Muhammadiayh  berhasil menduduki kursi


ketua MPR melalui PAN, namun elit Muhammadiyah pada masa akan datang akan

mengalami kesulitan untuk memasuki pusat kekuasaan seperti pada masa sekarang, jika

tidak menyegarkan kembali pembaharuan Islam-nya. Muhammadiyah menurut Abdul

Munir Mulkan akan cenderung kian jauh dari dinamika sosial, ekonomi, budaya, dan

keagamaan mayoritas umat Islam yang masih miskin seperti petani dan buruh.

Agenda masa depan Muhammadiyah dibidang sosial-politik ditentukan atas

kemampuannya menyelesaian beberapa agenda besar. Pertama, memaksimalkan peran

SDM potensial, struktur dan fasilitas kelembagaan bagi pengembangan gagasan sosial

dan budaya ( ekonomi dan plitik ) bagi penyelesaian masalah di negeri ini. Kedua,

mengubah dakwah ritual formal syariah  fikih  ke dakwah kebudayaan. Ketiga,

mengembangkan kegiatan sosial yang benar-benar bisa dinikmati fungsinya oleh

mayoritas umat yang masih miskin seperti petani dan buruh . Ketiga agenda besar ini

bisa dilaksanakan jika Muhammadiayah berhasil meneguhkan kembali jati dirinya

sebagai “gerakan pembaharuan Islam “dengan mengembangkan gagasan segar dan

kegiatan sosial yang dibutuhkan umat untuk membebaskan diri dari kemiskinan,

kebodohan, ketertindasan,dan perlakuan tidak adil.

Selama masa kepemimpinan Amien Rais dalam menjalankan high politics cenderung

bergerak secara single fighter sehingga Majelis Hikmah yang berfungsi sebagai thing

tankuntuk persoalan sosial-politik menjadi amburadul. Pada masa akan datang Majelis

Hikmah atau lembaga pengkajian masalah sosial –politik Muhammadiyah atau apapun

namanya yang dijadikan sebagai thing tank Muhammadiyah dalam masalah-masalah

sosial-politik perlu direvitalisasi tugas, wewenang, dan tanggungjawabnya.

Muhammadiyah perlu memberdayakan Majelis Hikmah kembali, sehingga berbagai

kebijakan Muhammadiyah dalam persoalan sosial-politik dapat dirumuskan dari lembaga

ini.
Berbagai kelalaian yang berkaitan dengan masalah sosial-politik yang dilakukan

Muhammadiayh adalah kelalaian dalam mengembangkan wacana baru menyangkut

negara dan politik, ketidak seriusan dalam menghadapi masalah negara dan politik, tidak

adanya think tankuntuk merumuskan strategi dan kebijakan publik, serta rencana-

rencana sistemis untuk mengekspresikan tujuan-tujuan  politik jangka pendek dan jangka

panjang. Menurut Azyumardi Azra  berdasarkan kelemahan-kelemahan Muhammadiyah

tersebut dan dikaitkan dengan situasi masa kini, maka Muhammadiayh perlu

merumuskan kembali paradigma dan praksis politiknya. Politik alokatif (allocative

politics) yang menjadi paradigma dan praksis politik Muhammadiyah pada masa Orde

Baru, akan kehilangan relevansi untuk masa sekarang.

Dalam Muktamar ke- 44 pada tanggal 8- 11 Juli 200 di Jakarta, Muhammadiyah

kembali menetapkan Islam sebagi asas tunggal. Dalam Muktamar ini juga diputuskan

bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi sosial-keagamaan akan menjaga jarak yang

sama denagn semua partai politik. Para pengurus Muhammadiyah dilarang melakukan

rangkap jabatan dengan semua partai politik. Menurut A. Syafi’i Maarif yang terpilih

sebagai ketua PP Muhammadiyah  periode 2000-2005, Muhammadiyah tetap menjaga

jarak yang sama kepada semua kekuatan politik, sedangkan kader-kader Muhammadiyah

yang memiliki bakat politik diberi kebebasan seluas-luasnya, dimana mereka harus tetap

membawa misi Muhammadiyah. Mereka harus tampil meyakinkan di panggung politik

nasional dengan membawa pesan-pesan moral Muhammadiyah.

Dalam Muktamar ke –44 ini ditegaskan bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan

Islam yang tidak bergerak dalam dunia politik praktis ( riil politics ), seperti partai

politik, tetapi mengembangkan fungsi sebagai kelompok kepentingan  (  interest groups )

yang efektif melalui berbagai saluran, media untuk memainkan peranan politik secara

aktif dan strategis sesuai dengan prinsip dakwah Islam  amar ma’ruf nahi munkar.
Muhammadiyah tidak menarik diri dan cenderung alergi terhadap politik yang pada

akhirnya proses dan sistem kehidupan politik ditentukan oleh kekuatan-kekuatan lain

yang dimungkinkan tidak sejalan dengan kepentingan umat Islam.

Muhammadiyah menurut A. Syafii Ma’arif perlu memperjelas dan mempertegas

posisinya dalam hubungannya dengan negara. Negara tidak lain dari pada salah satu alat

penting untuk mencapai tujuan dakwah Islam berupa terciptanya suatu masyarakat utama

atau masyarakat Islami dalam koridor keridhaan Illahi. Masyarakat itu haruslah adil,

terbuka dan menghargai pluralisme pandangan hidup dan aspirasi politik. Semua pihak

wajib tunduk kepada ketentuan konstitusi yang telah disepakati bersama. Bermain diluar

konstitusi pasti mengandung anarkisme dan konflik berkepanjangan yang dapat

melumpuhkan masyarakat secara keseluruhan. Dalam menggagas sebuah sistem politik

Muhammmadiyah menurut A. Syafii Ma’arif seharusnya lebih mengutamakan substansi

dibanding bentuk dan merek.

Dengan berbagai agenda diatas diharapkan Muhammadiayah tidak ketinggalan  dalam

dinamika politik nasional. Mengambil posisi dan peran sebagai organisasi sosial-

keagamaan yng non-politik bagi Muhammadiyah tidak berarti harus alergi politik dan

kehilangan artikulasi dalam memainkan fungsi politik sebagai kelompok kepentingan

dengan misi moral keagamaan. Muhammadiyah perlu menumbuhkan kesadaran yang

positif dikalangan elit dan warganya, bahwa politik itu penting dan strategis serta

memiliki keterkaitan dengan pejuangan untuk membentuk masyarakat utama (civil

society), seperti yang dicita-citakan oleh Muhammadiyah.


2.5 Gerak Muhammadiyah se-Abad Melintasi Zaman

Berdasarkan perhitungan kalender Hijriah, 25 November 2009, Persyarikatan

Muhammadiyah genap berusia satu abad. Telah banyak amal usaha yang dilaksanakan,

baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, tabligh, maupun bisnis, yang

tersebar di seluruh pelosok Tanah Air. Penyelenggaraan amal usaha tersebut

memerlukan dana yang sangat besar karena menyangkut pengadaan prasarana dan sarana

serta pengerahan sumber daya insani dalam jumlah yang sangat banyak. Semua itu pada

hakikatnya merupakan sumbangan masyarakat, dalam hal ini adalah warga

Muhammadiyah, terhadap bangsa dan negara Indonesia.

Salah satu karakteristik Muhammadiyah adalah sebagai gerakan sosial keagamaan.

Hal ini sesuai dengan pesan pandirinya, yakni KH Ahmad  Dahlan agar warga organisasi

tersebut mengutamakan amal saleh atau amal sosial keagamaan yang nyata.  Jangan

hanya pandai bicara saja. Bahkan ia menyampaikan sebuah wejangan, ”Sedikit bicara,

banyak bekerja”. Oleh karena itu KH Ahmad Dahlan sering disebut sebagai mujaddid

(pembaharu) yang bertipe  ”man of action”.

Sejalan dengan pemikirannya itu maka sekelompok umat Islam, baru bisa dibenarkan

mendirikan Pimpinan Ranting Muhammadiyah kalau mereka sudah mampu mendirikan

salah satu amal usaha, seperti: masjid, madrasah, sekolah, panti asuhan atau balai

kesehatan. Penggunanan istilah ”gerakan” dimaksudkan, Muhammadiyah adalah

organisasi yang aktif dan transformatif, artinya selalu ada kegiatan dan berupaya

mengubah masyarakat ke arah kemajuan.

Karena selama satu abad ini warga Muhammadiyah sibuk menekuni amal usaha,

maka mereka kurang terlatih dalam bidang politik praktis. Akibatnya Muhammadiyah

kekurangan stok politikus. Hal ini bersumber dari kebijakan yang digariskan oleh

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, bahwa organisasi ini tidak akan terjun ke politik
praktis.  Aspirasi-aspirasi politiknya disalurkan melalui cara yang disebut high politics,

yaitu Muhammadiyah tidak akan menjadi partai politik, sedangkan visi politiknya

difokuskan pada memberikan sumbangan pikiran untuk membangun moral politik

bangsa.

Kebijakan tersebut berlandaskan fakta sejarah, bahwa partai-partai politik di

Indonesia ini tidak ada yang berumur panjang. Lihat saja, PNI, Masyumi, PSI, PKI,

Murba, dan lain-lain. Di samping itu keberadaan partai politik selalu hanya menjadi

milik segolongan warga masyarakat. Dengan tetap menjadi organisasi sosial keagamaan

ternyata Muhammadiyah tetap survive hingga telah berumur  satu abad.

Selain itu, sebagai organisasi dakwah, Muhammadiyah harus mendekati seluruh

warga masyarakat, apa pun suku dan aspirasi politiknya. Evaluasi dan Revaluasi  

Kekuasaan tertinggi dalam Muhammadiyah adalah muktamar lima tahun sekali. Dari

muktamar ke muktamar selalu dilakukan evaluasi dan revaluasi atas kebijakan, program-

program, dan langkah-langkah yang diambil oleh organisasi tersebut.

Memerhatikan keadaan masyarakat kita sekarang ini yang dalam banyak hal masih

carut marut, timbul pemikiran di kalangan para pemimpin organisasi tersebut, agar

pimpinan dan warga Muhammadiyah meningkatkan peranannya untuk memperbaiki

kepincangan-kepincangan yang terjadi dalam masyarakat. 

Pertama, kemerosotan moral sebagian besar bangsa kita yang sudah cukup parah,

yang melanda seluruh lapisan masyarakat, dari rakyat kecil hingga pejabat tinggi, dan

dari berbagai umur, dari anak-anak hingga orang berusia lanjut.

Kedua, praktik-praktik kegiatan politik yang suram, seperti manipulasi data, money

politics, suap-menyuap dalam penyusunan undang-undang, lebih mengutamakan

kepentingan pribadi daripada kepentingan konstituen, dan lain-lain.


Ketiga, penegakan hukum yang hingga sekarang masih dirasakan seolah hanya

sebagai slogan yang indah, karena rakyat belum melihat terwujudnya keadilan hukum

yang sesungguhnya, bahkan yang sering menjadi keluhan masyarakat ialah adanya mafia

pengadilan.

Keempat, kesenjangan sosial ekonomi yang masih lebar, sehingga banyak rakyat kecil

yang hidup sengsara dan merasa belum menikmati manfaatnya menjadi bangsa yang

merdeka. Di antara keluhan rakyat kecil ialah anak-anak mereka sulit untuk bisa

menuntut ilmu hingga ke perguruan tinggi, lebih-lebih perguruan tinggi yang favorit.

Menghadapi kepincangan-kepincangan tersebut, maka Muhammadiyah bertekad

meningkatkan peranannya, melalui jaringan-jaringan amal usaha, dan bekerja sama

dengan seluruh komponen bangsa, untuk mewujudkan masyarakat yang beradab.

Muhammadiyah adalah organisasi Islam modern terbesar di dunia. Di negara-negara

Islam lain, terdapat juga organisasi Islam modern, tetapi jumlah anggotanya tidak

sebanyak anggota Muhammadiyah. Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah memang

sudah mencita-citakan untuk membimbing umat Islam menjadi umat yang maju, sejalan

dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Di samping itu juga mengadakan pembaharuan ( tajdid ) dalam memahami ajaran

Islam yang bersumber dari Alquran dan Alhadist. Hal ini tercermin dalam Statuten

(Anggaran Dasar) Muhammadiyah pertama tahun 1912 yang berbunyi:

”Menyebarluaskan dan memajukan hal ihwal ajaran Islam di seluruh Tanah Air”. Istilah

”menyebarluaskan” artinya mendakwahkan. Istilah ”memajukan” artinya tajdid, atau

pembaharuan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam.

Tajdid mengandung dua pengertian. Pertama, purifikasi atau pemurnian ajaran dalam

bidang akidah dan ibadah mahdhah. Artinya dalam bidang akidah dan ibadah mahdhah,

kita kembali kepada kemurnian ajaran sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Kedua, dinamisasi, yaitu pembaharuan dan pengembangan dalam bidang muamalah

dunyawiah. Artinya dalam masalah keduniawian, kita bisa mengadakan pembaharuan

dan pengembangan sesuai dengan kemajuan iptek dan kebutuhan masyarakat. Dengan

pakem ini Muhammadiyah diharapkan mampu membimbing umat menjadi umat yang

maju dan berkualitas (khaira ummah) dengan tetap berpegang pada otentisitas ajaran

Islam.

Dan dengan pakem ini pula diharapkan warga Muhammadiyah tidak akan terombang-

ambing oleh tarik-tarikan paham sekularisme, liberalisme dan fundamentalisme. Karena

warga Muhammadiyah terlatih untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam

bidang pendidikan, kesehatan, sosial, tabligh, ekonomi, dan lain-lain, maka mereka harus

bersikap ramah kepada masyarakat, menunjukkan wajah damai dan menjauhi sifat

kekerasan dan radikalisme.

Untuk mengadakan perubahan masyarakat secara nasional yang berlangsung dengan

damai dan demokratis, jalan yang paling tepat adalah melalui pendidikan, dengan

seperangkat kurikulum yang mengarah terwujudnya masyarakat yang maju dan beradab. 

Maka tugas utama pemerintah dan masyarakat sekarang ini adalah membenahi dan

menyempurnakan keseluruhan faktor yang berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan.


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdirinya organisasi Muhammadiyah dilatarbelakangi oleh berbagai macam kondisi

yang tidak dapat dilepaskan dari konteks kolonial Belanda pada masa penjajahan kala itu.

Kondisi yang serba memojokkan kaum pribumi yang mayoritas islam, serta berbagai

penyimpangan kesyirikkan yang terjadi membuat KH Ahmad Dahlan membuat sebuah

lompatan besar dalam berijtihad. Prinsip-prinsip Muhammadiyah yang berorientasi pada

agama dan kemajuan menjadikan Muhammadiyah menjadi organisasi besar islam yang

mampu mewadahi kekurangan pada warga pribumi tersebut.

Prinsip-prinsip dasar perjuangan Muhammadiyah yang tetap kuat berpijak pada Alquran

dan Sunnah menjadikan organisasi ini bertahan hingga kini 1 abad lebih. Di dalam

pergerakannya, Muhammadiyah berhasil menjalankan berbagai macam program diantaranya

adalah mendirikan sekolah, panti asuhan yatim piatu, dan mendirikan pusat kesehatan oemat.

Dewasa ini Muhammadiyah terus berkembang mengibarkan eksistensinya di berbagai

bidang dalam rangka pengabdian kepada negara dengan tetap berlandaskan Alquran dan

sunnah. Muhammadiyah menjadi sebuah organisasi islam yang besar yang memiliki

pengaruh dan memberi warna bahkan dalam kepemimpinan negara Indonesia. Berasal dari

Kauman Yogyakarta, kini Muhammadiyah bahkan sudah di provinsi yang penduduk

muslimnya termasuk ke dalam golongan yang minim. Muhammadiyah menhadirkan islam

bukan sebaga ajaran yang mengajak pada kesadaran iman semata tapi juga menampilkan

islam sebagai kekuatan untuk mengajak sesama pada jalan kebaikan.


DAFTAR PUSTAKA

Salam, Yunus (1968). Riwayat Hidup KHA. Dahlan. Amal dan perjuangannya. Jakarta:
Depot Pengadjaran Muhammadijah.

Kutojo, Sutrisno, Mardanas Safwan (1991). K.H. Ahmad Dahlan: riwayat hidup dan
perjuangannya. Bandung: Angkasa.

Ricklefs, M.C. (1994). A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2nd ed. Stanford:
Stanford University Press.

Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. New York: Cambridge


University Press. ISBN 0-521-54262-2.

Suara Muhamadiyah. Sejarah Singkat Muhammadiyah.


http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-178-det-sejarah-singkat.html. Diakses
tanggal 28 Oktober 2019.

Tirto. Sejarah Keluarga KH Ahmad Dahlan. https://tirto.id/sejarah-keluarga-kh-ahmad-


dahlan-netralitas-muhammadiyah-dkuV. 2019. Diakses tanggal 28 Oktober 2019

Nashir, Haedar. 2000. Dinamika Politik Muhammadiyah. Yogyakarta: Biograf


Publishing.

Djarir, Ibnu. 2010. Setelah Seabad Muhammadiyah


https://pdm1912.wordpress.com/2010/04/19/setelah-seabad-muhammadiyah/.
(diunduh 29 Oktober 2019)

Anda mungkin juga menyukai