Anda di halaman 1dari 9

FILSAFAT PENDIDIKAN

MUHAMMADIYAH

Mata Kuliah Filsafat Muhammadiyah

Dosen Pengampu: Dr. H. Maneger Nasution, MA.

Disusun oleh:

Raudhatul Jannah 1909057021

Sahhila Zulfa Arifah 1909057023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PROF. DR. HAMKA
KATA PENGANTAR

Assalamua’laikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah, puji dan syukur kita panjatkan Kehadirat Allah S.W.T karena berkat
Rahmat dan Karunia-Nya penulis diberikan kemudahan dalam menyelesaikan makalah yang
berjudul “filsafat pendidikan kemuhammadiyahan”. Sholawat serta salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW yang telah memberikan jalan kepada kita
untuk menggapai titik terang dengan Ridho Ilahi yang insyaAllah berbuah kebahagiaan yang
hakiki.
Dalam penyusunan makalah ini penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak baik
secara moril maupun materil, maka izinkan penulis mengucapkan terimakasih kepada
berbagai pihak yang telah membantu dalam menyusun dan menyelesaikan makalah ini.
Penulis sadari apa yang tersusun dalam makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan pembaca dapat mengoreksi dan mengkritisi isi dari
makalah yang penulis buat. Peran pembaca melalui kritik dan saran dalam bentuk apapun
sangat penulis harapkan guna perbaikan dimasa yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada
umumnya. Mohon maaf yang teramat dalam atas semua kesalahan. Selebihnya, jika pembaca
menemukan hal yang lebih dalam penulisan makalah ini, hal ini merupakan anugrah yang
Allah S.W.T berikan untuk penulis. Cukup sekian dan terimakasih atas segala perhatiaannya.

Wassalamua’laikum warahmatullahi wabarakatuh.

Penulis, 01 November 2019


PENDAHULUAN
Usia pendidikan Muhammadiyah lebih tua dari Muhammadiyah itu sendiri. KH.
Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah, terlebih dahulu mendirikan sekolah di
rumahnya lalu mendirikan persyarikatan Muhammadiyah. Bukan hal yang berlebihan bahwa
berdirinya persyarikatan Muhammdaiyah adalah untuk menjamin keberlangsungan
pendidikan Muhammadiyah itu sendiri.
Muhammadiyah didirikan pada tanggal 8 Dzulhijjah tahun 1330 H bertepatan dengan
tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta dengan dilatarbelakangi oleh kondisi umat Islam
yang amat mengkhawatirkan pada saat itu. Ada tiga penyakit kronis pada saat itu yang
dialami oleh umat Islam, yaitu kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Mengapa ia
miskin, karena ia bodoh. Lalu mengapa ia bodoh, karena ia terbelakang. Hal ini merupakan
lingkaran yang tak berujung dan bertepi serta tak terputus.
Satu-satunya upaya yang dilakukan untuk memutus lingkaran tersebut adalah dengan
mencerdaskan umat. Mencerdaskan umat hanya dapat dilakukan dengan pendidikan. Dengan
pendidikan, maka wawasan umat akan bertambah luas dan mendalam sehingga dapat
memahami ajaran Islam secara utuh dan tidak tercampur baur dengan takhayul, bid’ah dan
khufarat. Hal ini jugalah yang dimanfaatkan oleh penjajah Belanda dan Jepang ketika
menancapkan kekuasaan penjajahannya di bumi pertiwi ini.
Kondisi umat tersebut dijawab oleh KH. Ahmad Dahlan dengan mendirikan sekolah
sebelum mendirikan organisasi Muhammadiyah. Pada tahun 1911, KH. Ahmad Dahlan
mendirikan sekolah dengan sepuluh orang murid. Ilmu umum diajarkan oleh seorang guru
pemerintah yang bersedia membantu sedangkan ilmu agama diajarkan sendiri oleh beliau.
Setahun kemudian, Muhammadiyah berdiri untuk memberikan kontribusi mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Organisasi Muhammadiyah bersifat inklusif dan progresif karena berdiri untuk
menyerukan pentingnya kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah sebagai usaha untuk
mengatasi perbuatan yang penuh dengan takhayul, bid’ah dan khurafat dengan tidak
mendasarkan dirinya pada madzhab atau pemikiran tertentu. Perjalanan Muhammadiyah yang
inklusif dan progresif ini yang memudahkan Muhammadiyah melakukan pembaruan di
segala aspek kehidupan terutama bidang pendidikan. Gerakan pembaruan Muhammadiyah
dalam bidang pendidikan yang menggunakan pola pendidikan secara nasional memberikan
gambaran yang utuh sebagai organisasi yang inklusif dan progresif dengan tidak melupakan
maksud dan tujuan serta identitasnya dalam pelaksanaan pendidikan Muhammadiyah.
PEMBAHASAN

Filsafat
Para filsuf memberi batasan yang berbeda-beda mengenai filsafat yang selanjutnya
batasan filsafat dapat ditinjau dari dua segi yaitu secara etimologi dan terminologi. Secara
etimologi kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari
bahasa Arab ‫فلسفة‬, yang juga diambil dari bahasa Yunani; philosophia. Dalam bahasa ini, kata
ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia=persahabatan, cinta.) dan
(sophia="kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia.
Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang
mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
Secara terminologi, pengertian filsafat sangat beragam. Hal ini karena para filsuf
merumuskan pengertian sesuai dengan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya. Plato (428-
348 SM) menjelaskan filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada. Sedangkan
Aristoteles berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran
yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik
dan estetika. Al-Kindi menyebutkan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat
segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena tujuan para filsuf dalam
berteori adalah mencapai kebenaran dan dalam berpraktek ialah menyesuaikan dengan
kebenaran.
Hakekat Filsafat Islam ialah ’Aqal dan al-Quran. Filsafat Islam tidak mungkin tanpa
’aqal dan al-Quran. Aqal yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas kefilsafatan dan
al-Quran juga menjadi ciri keislamannya. Tidak dapat ditinggalkannya al-Quran dalam
filsafat Islam adalah lebih bersifat spiritual, sehingga al-Quran tidak membatasi aqal bekerja,
aqal tetap bekerja dengan otonomi penuh.
‘Aqal dan al-Quran di sini tidak dapat dipahami secara struktural, karena jika ’aqal dan al-
Quran dipahami secara struktural yang menyiratkan adanya hubungan atas bawah yang
bersifat subordinatif dan reduktif, maka antara satu dengan lainnya menjadi saling mengatas-
bawahi, baik aqal mengatasi al-Quran atau sebaliknya al-Quran mengatasi aqal. Jika al-Quran
mengatasi aqal maka aqal menjadi kehilangan peran sebagai subjek filsafat yang menuntut
otonomi penuh. Sebaliknya jika aqal mengatasi al-Quran, terbayang di sana bahwa aktivitas
kefilsafatan Islam menjadi sempit karena objeknya hanya al-Quran. Oleh karena itu, Filsafat
Islam adalah aqal dan al-Quran dalam hubungan yang bersifat dialektis. Aqal dengan
otonomi penuh bekerja dengan semangat Quraniyah. Aqal sebagai subjek, dan sebagai subjek
ia mempunyai komitmen, komitmen itu adalah wawasan moralitas yang bersumber pada al-
Quran. ’Aqal sebagai subjek berfungsi untuk memecahkan masalah, sedangkan al-Quran
memberikan wawasan moralitas atas pemecahan masalah yang diambil oleh ’aqal. Hubungan
dialektika ’aqal dan al-Quran bersifat fungsional.

Pendidikan
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara,
perbuatan mendidik. Menurut Hamka pendidikan adalah proses ta’lim dan menyampaikan
sebuah misi (tarbiyah) tertentu. Tarbiyah mengandung arti yang lebih komprehensif dalam
memaknai pendidikan terutama pendidikan Islam baik secara vertikal maupun horizontal.
Prosesnya merujuk pada pemeliharaan dan pengembangan seluruh potensi (fitrah) peserta
didik baik jasmaniah maupun rohaniah. Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah
proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru
dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharan tetapi juga dengan maksud
memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup
kemanusiaan.
Pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Al-Qur’an merupakan kitab pendidikan dan pengajaran secara umum, dan juga kitab
pendidikan sosial, moral, dan spiritual secara khusus. Dalam Islam, kata pendidikan dapat
bermakna tarbiyah, berasal dari kata kerja rabba. Di samping kata rabba terdapat pula kata
ta’dîb, berasal dari kata addaba. Selain itu, ada juga kata ta’lim. Berasal dari kata kerja
‘allama. Kata ‘allama mengandung pengertian memberi tahu atau memberi pengetahuan,
tidak mengandung arti pembinaan kepribadian, karena sedikit sekali kemungkinan membina
kepribadian Nabi Sulaiman AS. melalui burung, atau membina kepribadian Nabi Adam AS.
melalui nama benda-benda. Berbeda dengan pengertian rabba dan addaba, jelas mengandung
kata pembinaan dan pemeliharaan. Oleh karenanya, pendidikan dalam Islam lebih tepat
disejajarkan dengan pengertiantarbiyah atau ta’dib, bukan dalam pengertian ta’lim.

Muhammadiyah
Latar belakang berdirinya Muhammadiyah didasari oleh empat faktor. Pertama,
ketidakbersihan dan campur aduknya kehidupan agama Islam di Indonesia. Kedua,
ketidakefisienan lembaga-lembaga islam di Indoneisa. Ketiga, aktifitas misi-misi Katolik dan
Protestan. Keempat, sikap acuh tak acuh, malah kadang-kadang sikap merendahkan dari
golongan intelegensia terhadap Islam.
Dalam perspektif ini, kelahiran Muhammadiyah didorong oleh kesadaran yang dalam
tentang tanggung jawab sosial yang pada saat itu sangat terabaikan. Dengan kata lain, doktrin
sosial Islam tidak digumulkan dengan realitas kehidupan umat. Bila diukur dengan semangat
zaman waktu itu, Ahmad Dahlan adalah seorang revolusioner. Pada saat orang membesar-
besarkan pentingnya ziarah kubur, Ahmad Dahlan malah memberikan fatwa pada tahun 1916
tentang haramnya perbuatan itu. Fatwa ini sangat menggemparkan masyarakat dan para
ulama. Ia dituduh sebagai Mu’tazilah, Ingkar Sunnah, Wahabi dan lainnya. Ahmad Dahlan
sebagai tokoh kontrovesial sudah lama dikenal masyarakat Yogyakarta. Orang masih ingat
peristiwa tahun 1898 pada waktu Ahmad Dahlan membenarkan arah kiblat di Masjid Gedhe
Kauman Yogya dengan resiko suraunya yang baru dibangun dihancurkan para penentangnya.
Sudah sejak awal Muhammadiyah merumuskan strategi pemurnian akidah yang
dinilai sudah sangat tercemar oleh berbagai sebab, diantaranya karena umat Islam pada
umumnya tidak lagi memahami agamanya dari sumber yang autentik. Filter akidah sudah
sangat lemah untuk menepis unsur-unsur kepercayaan luar yang merembes ke dalam umat
Islam. Di samping itu, pada tataran praktis, Muhammadiyah masa awal ingin
menggembirakan orang dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Mengamalkan ajaran
agama haruslah membuahkan kesejukan dan kegembiraan bukan kegelisahan.

Filsafat Pendidikan Muhammadiyah

Muhammadiyah mendasari gerakannya kepada sumber pokok ajaran Islam, yaitu Al


Qur’an dan Assunnah, meskipun tidak anti madzhab. Dengan sikap ini, Muhammadiyah
dikatakan sebagai gerakan Islam non Madzhab. Dalam memahami dan melaksanakan ajaran
Islam, Muhammadiyah mengembangkan sikap tajdid dan ijtihad, serta menjauhi sikap taklid.
Oleh karena itu disamping sebagai gerakan sosial keagamaan, gerakan Muhammadiyah juga
dikenal sebagai gerakan tajdid. Perkataan “tajdid” pada asalnya adalah pembaruan, inovasi,
restorasi, modernisasi dan sebagainya. Hal ini mengandung pengertian bahwa kebangkitan
Muhammadiyah dalam usaha memperbarui pemahaman kaum Muslimin terhadap agamanya,
mencerahkan hati dan pikirannya dengan jalan mengenalkan kembali ajaran Islam sejati
sesuai dengan jalan Al Qur’an dan Assunnah. Sejalan dengan hal tersebut dan selaras dengan
Anggaran Dasar (Bab III Pasal 6) adalah “menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam
sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Untuk itu, Muhammadiyah
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, institusi zakat, rumah yatim-piatu, rumah sakit dan
masjid-masjid serta menerbitkan buku, majalah dan surat kabar yang pada akhirnya untuk
menyebarkan Islam.
Dalam konteks amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan, sebenarnya sudah
dimulai dirintis sebelum terbentuknya organisasi Islam ini pada 18 Desember 1912. Sebab
satu tahun sebelumnya, tepatnya 1 Desember 1911, Ahmad Dahlan mendirikan lembaga
pendidikan yang diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Kemudian pada tahun
1915 didirikan Sekolah Dasar pertama di lingkungan Keraton Yogyakarta dan pada tahun
1918 didirikan sekolah baru bernama “Al-Qismul Arqa”.
Pencapaian Muhammadiyah dalam bidang pendidikan amat luar biasa, mulai dari
pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi menjadi bukti bahwa Muhammadiyah tidak main-
main dalam mencapai tujuannya. Hal ini tentu saja karena dilandasi oleh keinginan dan
kesungguhan yang amat kuat. Aspek filosofis, psikologis dan sosiologis menjadi perhatian
utama dalam menyelenggarakan pendidikan yang bermutu serta terjangkau oleh masyarakat
luas. Karena berdiri dalam rangka memurnikan ajaran Islam maka tak heran bila aspek-aspek
ini dilatar belakangi oleh ajaran Islam.
Dengan demikian, visi dan misi pendidikan Muhammadiyah tentunya selalu konsisten
dan berorientasi pada maksud dan tujuan pendidikan Muhammadiyah itu sendiri. Dalam
konteks ini, menarik memperhatikan pernyataan mantan Ketua PW Muhammadiyah Jawa
Barat Hidayat Salim yang mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan tajdid atau
pembaruan yang ditujukan pada dua bidang, yaitu bidang ajaran dan bidang pemikiran.
Pembaruan dalam bidang ajaran dititikberatkan pada purifikasi ajaran Islam dengan
berpedoman kembali pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan menggunakan akal pikiran yang
sehat.
Pembaruan di bidang pemikiran adalah pengembangan wawasan pemikiran (visi)
dalam menatalaksanakan (impelementasi) ajaran berkaitan muamalah duniawiyah yang
diizinkan syara atau moderninasi pengelolaan dunia sesuai dengan ajaran Islam, seperti
pengelolaan Negara dan aspek-aspek yang berkaitan dengan kehidupan di bidang ekonomi,
politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan sehingga terwujud masyarakat utama, adil
dan makmur yang diridhai Allah SWT. Sedangkan misi utama gerakan Muhammadiyah
adalah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam pengertian menatalaksanakan
ajaran Islam melalui dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar di berbagai bidang kegiatan.
Mengikuti pemikiran Hidayat Salim di atas, dapat ditegaskan bahwa visi yang
diemban oleh pendidikan Muhammadiyah adalah pengembangan wawasan intelektual
(berpikir) peserta didik pada setiap jenis dan jenjang pendidikan yang dikelola oleh organisasi
Muhammadiyah. Sedangkan misi yang diemban pendidikan Muhammadiyah adalah
menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam melalui dakwah Islam amar ma’ruf nahi
mungkar di semua aspek kehidupan.
Impelementasi visi dan misi pendidikan Muhammadiyah ini tentunya mendapat
penekanan atau prioritas yang berbeda-beda sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikannya.
Visi dan misi pendidikan Muhammadiyah selalu berorientasi masa depan (futuristic) sebagai
bentuk idealisasi pencapaian output yang dikehendaki oleh lembaga pendidikan
Muhammadiyah. Dengan kata lain, visi dan misi pendidikan Muhammadiyah mengandung
makna bahwa pendidikan di lingkungan Muhammadiyah mengandung makna bahwa
pendidikan di lingkungan Muhammadiyah di dalam pengembangan sumber daya manusia
mengantisipasi berbagai tantangan ke depan, yang tidak dapat tidak memerlukan titik tumpu
pengembangan yang strategis. Dalam konteks ini, dua titik tumpu utama yang dijadikan
andalan proses antisipasi yaitu upaya penguatan iman dan takwa kepada Allah SWT serta
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
PENUTUP
Kesimpulan
Sejak awal berdirinya, organisasi Muhammadiyah merupakan gerakan purifikasi
pemikiran Islam dan sekaligus memposisikan diri sebagai gerakan dakwah dan pendidikan.
Sebagai organisasi keagamaan yang sangat perhatian dengan dunia pendidikan,
Muhammadiyah telah menyelenggarakan berbagai jenis lembaga pendidikan yang tercakup
dalam kegiatan pendidikan formal, nonformal dan informal.
Meskipun Muhammadiyah menganggap sangat penting penyelenggaraan pendidikan
formal berupa sekolah, namun organisasi keagamaan ini juga tidak mengabaikan
penyelenggaraan pendidikan nonformal dan informal sebagai penunjang keberhasilan
pendidikan formal. Keadaan rumah tangga dan masyarakat sekarang semakin sibuk, sehingga
waktu untuk menyelenggarakan pendidikan informal dan nonformal semakin sedikit. Hal ini
menyebabkan sekolah tanpa meninggalkan tugas utamanya seyogyanya juga
menyelenggarakan kegiatan pendidikan informal maupun nonformal. Keadaan ini tampaknya
disadari oleh Muhammadiyah.
Sekalipun Muhammadiyah menganggap sekolah perlu menyelenggarakan pendidikan
nonformal dan informal, selain pendidikan formal sebagai tugas utamanya tetapi
Muhammadiyah tetap menghendaki rumah tangganya terus menyelenggarakan pendidikan
nonformal dan informal. Hal itu dapat diketahui karena adanya pandangan Muhammadiyah
yang mementingkan pembiasaan yang baik di rumah tangga.
Di dalam Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tanggal 22 Juli 1974
disebutkan bahwa tugas Majelis Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (MPPK) antara lain
membina dan memimpin cara penyelenggaraan pendidikan luar sekolah dan pendidikan di
rumah tangga. Dengan demikian, jelaslah bahwa bagi Muhammadiyah jenis pendidikan itu
terbagi atas tiga macam. Yakni pendidikan informal yang diselenggarakan di rumah tangga,
masyarakat dan di sekolah. Pendidikan nonformal yang diselenggarakan di masyarakat dan di
sekolah dan pendidikan formal yang diselenggarakan di sekolah.
Saran
Makalah ini masih sangat jauh dari smpurna, untuk itu sangat yang membangun
sangat diperlukan agar kedepannya penulis dapat membuat karya tulis yang lebih mendekati
dari sempurna lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai