MUHAMMADIYAH
Disusun oleh:
Alhamdulillah, puji dan syukur kita panjatkan Kehadirat Allah S.W.T karena berkat
Rahmat dan Karunia-Nya penulis diberikan kemudahan dalam menyelesaikan makalah yang
berjudul “filsafat pendidikan kemuhammadiyahan”. Sholawat serta salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW yang telah memberikan jalan kepada kita
untuk menggapai titik terang dengan Ridho Ilahi yang insyaAllah berbuah kebahagiaan yang
hakiki.
Dalam penyusunan makalah ini penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak baik
secara moril maupun materil, maka izinkan penulis mengucapkan terimakasih kepada
berbagai pihak yang telah membantu dalam menyusun dan menyelesaikan makalah ini.
Penulis sadari apa yang tersusun dalam makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan pembaca dapat mengoreksi dan mengkritisi isi dari
makalah yang penulis buat. Peran pembaca melalui kritik dan saran dalam bentuk apapun
sangat penulis harapkan guna perbaikan dimasa yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada
umumnya. Mohon maaf yang teramat dalam atas semua kesalahan. Selebihnya, jika pembaca
menemukan hal yang lebih dalam penulisan makalah ini, hal ini merupakan anugrah yang
Allah S.W.T berikan untuk penulis. Cukup sekian dan terimakasih atas segala perhatiaannya.
Filsafat
Para filsuf memberi batasan yang berbeda-beda mengenai filsafat yang selanjutnya
batasan filsafat dapat ditinjau dari dua segi yaitu secara etimologi dan terminologi. Secara
etimologi kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari
bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; philosophia. Dalam bahasa ini, kata
ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia=persahabatan, cinta.) dan
(sophia="kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia.
Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang
mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
Secara terminologi, pengertian filsafat sangat beragam. Hal ini karena para filsuf
merumuskan pengertian sesuai dengan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya. Plato (428-
348 SM) menjelaskan filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada. Sedangkan
Aristoteles berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran
yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik
dan estetika. Al-Kindi menyebutkan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat
segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena tujuan para filsuf dalam
berteori adalah mencapai kebenaran dan dalam berpraktek ialah menyesuaikan dengan
kebenaran.
Hakekat Filsafat Islam ialah ’Aqal dan al-Quran. Filsafat Islam tidak mungkin tanpa
’aqal dan al-Quran. Aqal yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas kefilsafatan dan
al-Quran juga menjadi ciri keislamannya. Tidak dapat ditinggalkannya al-Quran dalam
filsafat Islam adalah lebih bersifat spiritual, sehingga al-Quran tidak membatasi aqal bekerja,
aqal tetap bekerja dengan otonomi penuh.
‘Aqal dan al-Quran di sini tidak dapat dipahami secara struktural, karena jika ’aqal dan al-
Quran dipahami secara struktural yang menyiratkan adanya hubungan atas bawah yang
bersifat subordinatif dan reduktif, maka antara satu dengan lainnya menjadi saling mengatas-
bawahi, baik aqal mengatasi al-Quran atau sebaliknya al-Quran mengatasi aqal. Jika al-Quran
mengatasi aqal maka aqal menjadi kehilangan peran sebagai subjek filsafat yang menuntut
otonomi penuh. Sebaliknya jika aqal mengatasi al-Quran, terbayang di sana bahwa aktivitas
kefilsafatan Islam menjadi sempit karena objeknya hanya al-Quran. Oleh karena itu, Filsafat
Islam adalah aqal dan al-Quran dalam hubungan yang bersifat dialektis. Aqal dengan
otonomi penuh bekerja dengan semangat Quraniyah. Aqal sebagai subjek, dan sebagai subjek
ia mempunyai komitmen, komitmen itu adalah wawasan moralitas yang bersumber pada al-
Quran. ’Aqal sebagai subjek berfungsi untuk memecahkan masalah, sedangkan al-Quran
memberikan wawasan moralitas atas pemecahan masalah yang diambil oleh ’aqal. Hubungan
dialektika ’aqal dan al-Quran bersifat fungsional.
Pendidikan
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara,
perbuatan mendidik. Menurut Hamka pendidikan adalah proses ta’lim dan menyampaikan
sebuah misi (tarbiyah) tertentu. Tarbiyah mengandung arti yang lebih komprehensif dalam
memaknai pendidikan terutama pendidikan Islam baik secara vertikal maupun horizontal.
Prosesnya merujuk pada pemeliharaan dan pengembangan seluruh potensi (fitrah) peserta
didik baik jasmaniah maupun rohaniah. Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah
proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru
dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharan tetapi juga dengan maksud
memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup
kemanusiaan.
Pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Al-Qur’an merupakan kitab pendidikan dan pengajaran secara umum, dan juga kitab
pendidikan sosial, moral, dan spiritual secara khusus. Dalam Islam, kata pendidikan dapat
bermakna tarbiyah, berasal dari kata kerja rabba. Di samping kata rabba terdapat pula kata
ta’dîb, berasal dari kata addaba. Selain itu, ada juga kata ta’lim. Berasal dari kata kerja
‘allama. Kata ‘allama mengandung pengertian memberi tahu atau memberi pengetahuan,
tidak mengandung arti pembinaan kepribadian, karena sedikit sekali kemungkinan membina
kepribadian Nabi Sulaiman AS. melalui burung, atau membina kepribadian Nabi Adam AS.
melalui nama benda-benda. Berbeda dengan pengertian rabba dan addaba, jelas mengandung
kata pembinaan dan pemeliharaan. Oleh karenanya, pendidikan dalam Islam lebih tepat
disejajarkan dengan pengertiantarbiyah atau ta’dib, bukan dalam pengertian ta’lim.
Muhammadiyah
Latar belakang berdirinya Muhammadiyah didasari oleh empat faktor. Pertama,
ketidakbersihan dan campur aduknya kehidupan agama Islam di Indonesia. Kedua,
ketidakefisienan lembaga-lembaga islam di Indoneisa. Ketiga, aktifitas misi-misi Katolik dan
Protestan. Keempat, sikap acuh tak acuh, malah kadang-kadang sikap merendahkan dari
golongan intelegensia terhadap Islam.
Dalam perspektif ini, kelahiran Muhammadiyah didorong oleh kesadaran yang dalam
tentang tanggung jawab sosial yang pada saat itu sangat terabaikan. Dengan kata lain, doktrin
sosial Islam tidak digumulkan dengan realitas kehidupan umat. Bila diukur dengan semangat
zaman waktu itu, Ahmad Dahlan adalah seorang revolusioner. Pada saat orang membesar-
besarkan pentingnya ziarah kubur, Ahmad Dahlan malah memberikan fatwa pada tahun 1916
tentang haramnya perbuatan itu. Fatwa ini sangat menggemparkan masyarakat dan para
ulama. Ia dituduh sebagai Mu’tazilah, Ingkar Sunnah, Wahabi dan lainnya. Ahmad Dahlan
sebagai tokoh kontrovesial sudah lama dikenal masyarakat Yogyakarta. Orang masih ingat
peristiwa tahun 1898 pada waktu Ahmad Dahlan membenarkan arah kiblat di Masjid Gedhe
Kauman Yogya dengan resiko suraunya yang baru dibangun dihancurkan para penentangnya.
Sudah sejak awal Muhammadiyah merumuskan strategi pemurnian akidah yang
dinilai sudah sangat tercemar oleh berbagai sebab, diantaranya karena umat Islam pada
umumnya tidak lagi memahami agamanya dari sumber yang autentik. Filter akidah sudah
sangat lemah untuk menepis unsur-unsur kepercayaan luar yang merembes ke dalam umat
Islam. Di samping itu, pada tataran praktis, Muhammadiyah masa awal ingin
menggembirakan orang dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Mengamalkan ajaran
agama haruslah membuahkan kesejukan dan kegembiraan bukan kegelisahan.
DAFTAR PUSTAKA