Mitra
Wacana
Media
P E N E R B I T
PENDIDIKAN ISLAM:
Dari Dimensi Paradigmatik Teologis, Filosofis dan Spiritualitas Hingga
Dimensi Praksis Normatif
Edisi Asli
Hak Cipta © 2015, Penerbit Mitra Wacana Media
Mitra Telp. : (021) 824-31931
Wacana Faks. : (021) 824-31931
Website : http//www.mitrawacanamedia.com
Media E-mail : mitrawacanamedia@gmail.com
P E N E R B I T
Tobroni
PENDIDIKAN ISLAM:
Dari Dimensi Paradigmatik Teologis, Filosofis dan Spiritualitas
Hingga Dimensi Praksis-Normatif
ISBN: 978-602-318-071-4
KATA SAMBUTAN
Prof. Dr. A. Malik Fadjar
iii
Pendidikan Islam
iv
Kata Sambutan
Sekali lagi saya sangat menyambut baik karya ini terutama untuk
dijadikan sebagai referensi utama bagi kalangan akademisi yang konsen
di pendidikan Islam. Dan terakhir saya sampaikan selamat atas terbitnya
buku ini dan bagi pembaca “selamat membaca”...
A. Malik Fadjar
v
Pendidikan Islam
vi
BAB1
KATA PENGANTAR
vii
Pendidikan Islam
Penulis
viii
BAB1
DAFTAR ISI
Contents
KATA SAMBUTAN .............................................................................. iii
KATA PENGANTAR ............................................................................ vii
DAFTAR ISI ......................................................................................... ix
PROLOG ............................................................................................. xiii
ix
Pendidikan Islam
D. Pendidikan ............................................................................. 18
E. Seputar Konsep Pendidikan Islam ...................................... 21
1. Konsep Pendidikan Islam ................................................ 21
2. Dasar Teologis Pendidikan Islam ................................... 25
F. Pemikiran Filosofis Tentang Pendidikan Islam ................. 30
1. Metafisika dan Pendidikan .............................................. 32
2. Ontologi ............................................................................. 33
3. Epistemologi dan Pendidikan ......................................... 35
4. Aksiologi dan Pendidikan ............................................... 39
5. Masalah Etika .................................................................... 40
6. Segi Estetika ....................................................................... 41
x
Daftar Isi
xi
Pendidikan Islam
xii
BAB1
PROLOG
D ari judul buku ini sepintas dapat diketahui bahwa penulisnya hendak
menawarkan tiga paradigma sebagai satu kesatuan dalam membahas
pendidikan Islam yaitu paradigma filosofis, teologis dan spiritualitas.
Tawaran ini menarik untuk kita cermati lebih lanjut: Pertama, paradigma
filosofis. Salah satu fungsi filsafat pendidikan Islam adalah fungsi normatif
yaitu senantiasa berupaya mencari model pendidikan yang ideal menurut
nilai dan norma ajaran Islam maupun konteks dan dinamika kebutuhan
masyarakat. Hal itu dilakukan dengan melakukan kontemplasi secara
mendasar dan menyeluruh tentang hakekat pendidikan Islam serta analisa
dan evaluasi kritis terhadap realitas pendidikan yang ada. Kontribusi
filsafat pendidikan Islam dengan demikian adalah lahirnya ide-ide,
wacana, cita-cita, semangat dan perilaku baru dalam penyelenggaraan
pendidikan Islam. Filsafat pendidikan adalah ruh dari sistem organisme
penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan yang berkualitas senantiasa
ditopang oleh landasan filosofis yang kokoh. Dengan landasan filosofis
yang kokoh, penyelenggaraan pendidikan memiliki paradigma dalam
mengembangkan visi kemanusiaan, keilmuan dan manajerialnya.
xiii
Pendidikan Islam
xiv
Prolog
xv
Pendidikan Islam
xvi
Prolog
6000 sampai 50.000 kematian anak terbukti diakibatkan dosa ini: sebuah
angka kejahatan yang relatif besar mengingat sistem yang berkembang dan
ditegakkan oleh seluruh institusi di negeri ini sangat menghargai nyawa
setiap penduduk, termasuk nyawa binatang baik sebagai pet atau wild
animal: binatang peliharaan atau liar.4
Dari sinilah pentingnya dikembangkan paradigma spiritualitas
dalam pendidikan. Sebagaimana saya kemukakan dalam beberapa tulisan
sebelumnya,bahkan ketika menengok pada pandangan Nasr dalam
traditional Islam in the modern world juga mengemukakan bahwa tujuan
pendidikan Islam adalah to enable the soul to actualize these potential
possibilities, thereby perfecting it and preparing it for eternal life.5 Yang
dimaksud dengan potential possibilities adalah spiritual, celestial, luminous,
living and knowing substance and active by nature. Pengetahuan yang
diperoleh melalui pendidikan adalah pengolahan dan pengembangan
yang mampu mempertahankan keabadian jiwa. Proses aktualisasi terdiri
dari beberapa tahapan: tahdhib (refinement), tathir (purification), tatmim
(completion), takmil (perfection). Meskipun tidak ada uraian bahwa takmil
adalah identik dengan al-insan al-kamil, tapi bisa kita duga dengan agak
yakin bahwa insan kamil dalam konteks ini juga berhubungan insan kamil,
makarimul akhlaq yang disandang oleh Nabi Muhammad SAW. Tujuan
akhir pendidikan Islam dengan demikian adalah to perfect and actualize all
the possibilities of the human soul leading finally to that supreme knowledge
of the Divine (ilahiyyah), which is the goal of human life.6
Ketiga paradigma pendidikan (filosofis, teologis dan spiritualitas)
inilah yang ditawarkan dalam buku ini. Dengan paradigma three in one
bagi pendidikan Islam, Prof. Dr. Tobroni, M.Si. mengemukakan format
pendidikan yang humanistik dan integralistik, dan format pendidikan
seperti inilah yang pernah saya kemukakan dalam buku “menggagas
format pendidikan nondikotomik: Humanisme religius sebagai paradigma
pendidikan Islam”.7 Barangkali dengan ketiga pendekatan paradigmatik
4. Abdurrahman Mas’ud, Ilmu Pengetahuan dan ... Op. Cit.
5. Sayyed Hossein Nasr, Traditional Islam in Modern World, (New York: Kegan Paul
International, 1990), 150.
6. Abdurrahman Mas’ud, Ilmu Pengetahuan dan ... Op. Cit.
7. Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme
Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gamma Media, 2002).
xvii
Pendidikan Islam
tersebut diharapkan dapat lebih mendekati tipe ideal (ideal type) pendidikan
Islam dan sekaligus dapat menjawab persoalan umat.
Menyelenggarakan pendidikan Islam sudah seharusnya disertai
dengan kapasitas (kecakapan) dan kapabilitas (kemampuan) baik secara
konsepsional dan operasionalnya, sehingga misi pendidikan Islam yang
merupakan noble industry baik yang bersifat dakwah, pengembangan
sumber daya manusia, pengembangan ilmu dan peradaban dapat tercapai.
Tetapi dalam realitasnya pendidikan Islam masih menghadapi berbagai
persoalan. Bassam Tibi, pakar sosiologi dan pendidikan Timur Tengah
dalam bukunya Islam and the Cultural Accommodation of Social Change,
mengingatkan kaum akademisi muslim bahwa dunia pendidikan Islam
diliputi dengan masalah tipikal yang berupa certificate oriented dan ilmu-
ilmu yang terlalu umum atau too general knowledge yang tidak mengacu
pada pemecahan masalah (problem solving).8 Dalam berbagai kesempatan,
saya mengemukakan bahwa the spirit of inquiry (semangat meneliti) yang
termasuk di dalamnya tradisi rihlah fi talab al-ilmi, penelitian empiris,
membaca, dan menulis agaknya telah menipis dalam dunia pendidikan
Islam. Pendek kata, pendidikan akal dan pengembangan ilmu masih
menjadi masalah dalam pendidikan Islam.
Dalam buku menggagas format pendidikan nondikotomik, saya
mengemukakan bahwa persoalan-persoalan pendidikan Islam secara
keseluruhan dapat mengakibatkan inferiority complex terutama apabila
dihadapkan pada kemajuan pendidikan di dunia Barat. Problem yang
sangat serius itu ternyata bukan semata-mata disebabkan faktor teknis,
melainkan berpangkal dari pola pikir umat yang serba dikotomis dan
hitam putih seperti Islam vis-à-vis non Islam, Timur Barat, dan ilmu-
ilmu agama versus ilmu-ilmu sekuler (secular sciences). Dalam konteks
epistemologis yang secara langsung berdampak pada learning tradition
pola pikir dikotomis itu berupa: 1). Dikotomi ilmu agama (dînullah) dan
non agama (qadarullah); 2). Antara wahyu (ayat qauliyah) dan alam (ayat
kauniyah); dan 3). Antara wahyu (naqly) dan akal (aqly). Dikotomi pertama
telah melanggengkan supremasi ilmu-ilmu agama yang berjalan secara
monotonik; dikotomi kedua telah menyebabkan kemiskinan penelitian
8. Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accommodation of Social Change, (Colo:
Westview Press, 1990).
xviii
Prolog
Abdurrahman Mas’ud
9. Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan ... Op. Cit.
xix
Pendidikan Islam
xx
BAB
BAB1
1
KERANGKA FILOSOFIS DAN TEOLOGIS
PENDIDIKAN
1
Pendidikan Islam
2
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
3
Pendidikan Islam
P.I B NC B A B CR B P.II
4
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
Penjelasan:
PI = Paradigma I
NC = Normal Science
A = Anomalies
C = Krisis
R = Revolusi
P II = Paradigma II
B. FILSAFAT
Istilah filsafat, teologi dan pendidikan Islam adalah istilah-istilah kunci dan
mendasar dalam pembahasan tentang hakikat pendidikan Islam. Beberapa
istilah kunci tersebut perlu dijelaskan terlebih dahulu sebagai konsep yang
berdiri sendiri, sebelum ketiganya dipakai secara bersama-sama untuk
membentuk pemikiran tentang pendidikan Islam. Dengan memahami
masing-masing konsep dasar tersebut diharapkan dapat mengurangi
ambiguisitas (kekaburan) maknanya yang generik dan interpretabel, dan
lebih dari itu dapat menyamakan persepsi tentang istilah yang dimaksud,
sehingga terdapat benang merah dan bahkan hubungan repsirokal dari
masing-masing istilah tersebut dalam upaya membangun pemikiran
tentang pendidikan Islam.
5
Pendidikan Islam
1. Konsep Filsafat
Istilah filsafat berarti cinta kebenaran (Al-Haq) dan kebijaksanaan (Al-
Hikmah). Penggunaan istilah “cinta” bukan istilah lain misalnya penemu,
pemilik dan penjaga, menggambarkan sikap rendah hati para filosof akan
keterbatasannya dalam usaha menggapai kebenaran dan kebijaksanaan
itu. Walaupun telah berpikir tentang sarwa sekalian (yang ada) secara
radikal, universal, spekulatif dan bahkan sistematis, ia tetap belum
mampu menjangkau, menemukan, memiliki, menguasai kebenaran dan
kebijaksanaan dengan sesungguhnya. Ia hanya mendapatkan kebenaran
dan kebijaksanaan itu secara relatif dan temporal. Sedangkan yang hakiki
tetap tidak terjangkau. Ia milik yang maha mutlak, maha adil dan maha
bijaksana yaitu Allah swt. Menyadari akan keterbatasannya itu para filosof
hanya berharap, kagum dan cinta yang sedalam-dalamnya pada kebenaran
dan kebijaksanaan yang hakiki itu, dus kepada yang maha benar dan
maha bijaksana (Allah). Dan perilaku seperti inilah yang menggambarkan
adanya kearifan dan kebijaksanaan (wisdom, hikmah).
Dalam pandangan Islam, kecintaaan, kekaguman dan pengharapan
manusia kepada yang benar dan yang bijaksana itu dinamakan fitrah dan
hanief atau sudah merupakan blue print dari Allah. Fitrah manusia dalam
pandangan Islam bukan hanya bertuhan, melainkan ingin mengenal
lebih jauh dan mencintai Tuhan yang hakiki, Tuhan yang maha benar
dan maha bijaksana. laa ilaha illallah, tiada Tuhan selain Allah.
Filsafat juga disebut sebagai the mother of science, induk dari
ilmu pengetahuan. Menurut Will Durant, filfasat diibaratkan pasukan
marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri.
Pasukan infanteri adalah sebagai pengetahuan yang di antaranya adalah
ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan
keilmuan. Setelah itu ilmulah yang membelah gunung dan merambah
hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang
dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan maka filsafat pun
pergi. Dia kembali menjelajah lautan lepas; berspekulasi dan meneratas
(Suriasumantri, 1987: 22-4). Jika dikatakan secara vulgar, maka filsafat
mengakhiri, ilmu memulai. Filsafat bagaikan azan dan ilmu bagaikan
shalat. Bait-bait azan yang dikumandangkan bukan untuk mengakhiri
kegiatan, melainkan untuk mengawali aktivitas shalat.
6
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
2. Panggilan Berfilsafat
Berfilsafat dengan demikian merupakan panggilan hidup sebagai
manusia pada umumnya dan lebih khusus lagi sebagai muslim. Dalam
pandangan Islam, berpikir (kontemplasi) adalah aktivitas manusia yang
paling tinggi nilainya. Dengan berkontemplasi manusia dapat mencapai
puncak spiritualitas, yaitu kesadaran akan adanya zat yang Adikodrati,
kebermaknaan ciptaan-Nya, sifat tawadlu’ (rendah hati), ketaatan
serta kesadaran akan asal dan akhir kehidupan (jawa: sangkan paraning
dumadi) (lihat QS. Ali-Imran: 190-194). Comte mengatakan bahwa
berpikir menentukan tingkat peradaban manusia (Veeger, 1993: 23-24).
Dengan berfilsafat, berpikir bisa lebih sistematis, kritis, analitis, sintesis
dan thik deskriptif (thick description) atau penggambaran yang mendalam
7
Pendidikan Islam
8
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
9
Pendidikan Islam
C. TEOLOGI
1. Pengertian Teologi
Istilah teologi lahir dalam tradisi Kristen. Secara harfiah, teologi berasal
dari bahasa Yunani berarti ilmu ketuhanan. Tapi pengertian ini menurut
Steenbrink (1987: 10) dianggap kurang cocok karena teologi memang
tidak bermaksud membicarakan problematika mengenai ketuhanan baik
wujud, sifat dan perbuatan-Nya, yang dalam khazanah Islam disebut
Ilmu Kalam. Teologi tidak identik dengan ilmu kalam yang berusaha
mempertahankan keyakinan seputar masalah ketuhanan dari serangan-
serangan pihak luar dengan menggunakan pendekatan filsafat atau dalil-
dalil aqli.
10
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
11
Pendidikan Islam
2. Teologi Kontekstual
Teologi yang fungsional, yaitu teologi yang bisa membangun etos dan
kesadaran etis dan pada gilirannya melahirkan amal shaleh haruslah
12
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
13
Pendidikan Islam
3. Fungsionalisasi Teologi
Teologi yang benar haruslah teologi yang fungsional; yang bisa
membawa implikasi bagi kehidupan manusia. Beriman yang benar
adalah yang mampu melahirkan amal shaleh, shalat yang benar adalah
14
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
yang mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar dan seterusnya.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimanakah agar berteologi itu benar-
benar fungsional? Sehingga ia benar-benar mampu memberikan dampak
positif bagi manusia dengan nilai-nilai transendental yang diterjemahkan
dalam bingkai profanistik praksis.
Masalah fungsional atau tidaknya sebuah teologi atau keberagamaan
seseorang adalah masalah yang sangat subjektif dan bisa dikatakan pula
sangat irasional karena menyangkut pengalaman keagamaan yang sifatnya
individual. Belum tentu orang yang memiliki pengetahuan keagamaan
yang luas, mengembangkan teologi yang rasional lantas keberagamaannya
fungsional. Sebab kata Muslim Abdul Rahman bahwa persoalan teologi
bukan persoalan pemikiran semata melainkan persoalan pergumulan
(Amin, Edit., 1989: 153).
Berikut ini salah satu model pendekatan fungsionalisasi teologi yang
dimodifikasi dari gagasan Banawiratna (lihat dalam Darmaputera, Peny.,
1991: 54-55) dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Tajdid Teologi
C
7,8,9,10
11
5,6 12
A
2,3,4 1
Konteks
A. Pengkajian konteks:
1). Pengumpulan data lapangan
2). Perumusan permasalahan
3). Analisis data lapangan
4). Merumuskan fokus refleksi
15
Pendidikan Islam
B. Keprihatinan Iman:
5). Menemukan tindakan moral religius
6). Merumuskan keprihatinan iman
C. Tajdid teologi:
7). Dialektika teks (doktrin) dan ide moral Islam dengan konteks
8). Dialektika dengan kondisi aktual umat
9). Dialektika dengan tantangan ke depan umat
10). Pembaharuan teologis
D. Aksi Sosial:
11). Merumuskan aksi sosial
12). Melakukan aksi sosial untuk bekerjasama dengan komponen-
komponen umat dan bangsa.
Pengkajian data lapangan bisa dilakukan dengan cara melakukan
penelitian secara ilmiah atau melalui pengalaman keagamaan. Sebab
fungsionalisasi teologi ini tidak sama dengan penggunaan suatu alat atau
teknologi untuk tujuan tertentu yang banyak melibatkan dimensi luar,
melainkan lebih menekankan perspektif dalam diri perilaku manusia
(inner perspective of human behavior) dari masing-masing orang
beriman. Dengan berteologi yang benar, mestinya akan melahirkan
nilai-nilai yang positif, kreatif dan inovatif bagi perwujudan kualitas
kehidupan dalam segala dimensinya. Nilai-nilai itu bisa berupa
inner dinamic, etos kerja, need of achievement, calling to life dan lain
sebagainya.
16
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
17
Pendidikan Islam
D. PENDIDIKAN
Istilah pendidikan adalah istilah generik, dalam arti dapat diartikan secara
luas maupun sempit. Lodge dalam bukunya Philosophy of Education
menyatakan dalam arti luas, pendidikan adalah: “In the wider sense, all
experience is said to the educative life is education, and education is life”.
Sedangkan dalam pengertian sempit, Lodge mengemukakan pendidikan
berarti penyerahan adat istiadat (tradisi) dengan latar belakang sosialnya,
pandangan hidup masyarakat itu kepada warga masyarakat generasi
berikutnya. Dalam pengertian lebih khusus lagi Lodge menyatakan bahwa
pendidikan dalam prakteknya identik dengan “sekolah”, yaitu pengajaran
formal dalam kondisi-kondisi yang diatur (lihat Lodge, 1948: 23).
Sedangkan Langeveld mendefinisikan pendidikan sebagai pertolongan
secara sadar dan sengaja kepada seorang peserta didik (yang belum
dewasa) dalam pertumbuhannya menuju ke arah kedewasaan dalam arti
dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab susila atas segala tindakannya
menurut pilihannya sendiri (lihat dalam Daulay, Edit., 2012: 12).
Istilah pendidikan dapat diartikan dengan lebih khusus lagi yaitu
sebagai proses belajar-mengajar di kelas dan ilmu mendidik (pedagogy).
Istilah pedagogi sendiri kemudian berkembang menjadi suatu ilmu atau seni
mengajar anak-anak (pedagogy is the science and arts of teaching children).
Perkembangannya kemudian sejak awal tahun 1980-an dikembangkan
pendekatan kontinum (contiuum learning approach) atau pendekatan berdaur
dan berkelanjutan dalam pembelajaran. Di mana dalam pendekatan ini
dapat dimulai dari pedagogi dilanjutkan ke andragogi; atau pula sebaliknya,
yaitu berawal dari adragogi dilanjutkan ke pedagogi, dan seterusnya (Tim
Pengembang Ilmu Pendidikan, 2007: 1-2).
18
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
Dari segi istilah, pendidikan berasal dari dua kata Latin educare
dan educeere. Yang pertama memberi arti “merawat, melengkapi dengan
gizi agar sehat dan kuat”; sedangkan yang kedua berarti “membimbing
ke luar dari” (Sidjabat, 1994: 8). Sehingga ada sebagaian kalangan yang
mendefinisikan pendidikan sebagai bentuk usaha mendewasakan peserta
didik (yang masih belum dewasa (anak-anak). Salah satunya adalah dalam
Ensiklopedi Pendidikan (1982) yang menjelaskan bahwa pendidikan
berarti: “semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan
pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, serta keterampilannya
kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi
fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah”.
Sedangkan menurut Brubacher dalam Modern philosophy of education
(1969: 371) dikatakan bahwa pendidikan sebagai proses timbal balik dari
setiap pribadi manusia dalam penyesuaian dirinya dengan masyarakat,
dengan teman, dan dengan alam semesta. Pendidikan merupakan pola
perkembangan yang terorganisasi dan kelengkapan dari semua potensi
manusia; moral, intelektual dan jasmani (pancaindra), oleh dan untuk
kepribadian individunya dan kegunaan masyarakatnya, yang diarahkan
demi menghimpun semua aktivitas tersebut bagi tujuan hidupnya.
Pendidikan adalah proses yang mana potensi-potensi ini (kemampuan,
kapasitas) manusia yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan
yang baik, oleh alat (media) yang disusun sedemikian rupa dan dikelola
oleh manusia untuk menolong orang lain atau dirinya sendiri mencapai
tujuan yang ditetapkan.
Dari beberapa pengertian tentang pendidikan tersebut, penulis
mencoba untuk menyimpulkan bahwa yang dimaksud pendidikan adalah
usaha sadar atau bersahaja dengan bantuan orang lain (pendidik) atau
secara mandiri sebagai upaya pemberdayaan atas segala potensi yang
dimiliki (jasmaniah dan rohaniah) agar dapat menciptakan kehidupan
yang fungsional dan bernilai bagi diri dan lingkungannya. Pendidikan
adalah sebuah proses perubahan manusia dari tidak berdaya (powerless)
menjadi berdaya (powerfull), dari tidak memiliki harapan (hopeless)
menjadi berpengharapan (hopeness).
Pengertian tentang konsep pendidikan masing-masing dari ahli
memiliki kosa kata yang berbeda-beda pula. Misalnya aliran progressivisme
19
Pendidikan Islam
20
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
22
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
23
Pendidikan Islam
24
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
25
Pendidikan Islam
makhluk lain merasa sejahtera dan penuh rasa syukur aman di dalamnya.
Artinya, umat Islam benar-benar menjelma menjadi umat yang membawa
misi perdamaian yang tidak hanya dirasakan oleh umat Islam sendiri
namun juga dirasakan oleh umat yang lain dan juga seluruh makhluk
ciptaan Allah semua.
Dalam konsep Islam, rahmatan lil’alamin dapat tercipta secara
dinamis apabila manusia dapat mengemban fungsinya sebagai khalifah
secara konsekuen dan penuh tanggung jawab, dalam arti dapat
menempatkan dirinya secara proporsional dalam hubungannya dengan
Tuhan, sesama manusia dan dengan alam. Islam menempatkan manusia
sebagai komponen penentu dalam sistem kehidupan dunia ini. Kalau
dianalogikan dengan sebuah permainan drama: Manusia sebagai khalifah
atau peran utama, Tuhan sebagai rabb atau skenario, dan alam sebagai
sarana dan alat bantu.
Allah dalam hal ini sebagai rabbul ‘alamin dan rabbunnas. Kata “rabb”
mempunyai pengertian yang luas antara lain meliputi: menciptakan,
memiliki, menguasai, mengatur, memelihara, menyayangi, memberi
makan, memberi petunjuk, menumbuhkan dan mengembangkan.
Semua pengertian itu dapat dirangkum dalam istilah mendidik. Karena
itu untuk istilah pendidikan, di kalangan kaum Muslimin terkecuali
pendapat Syeh Muhammad al-Naquib al-Attas, dipakai istilah “tarbiyah”,
yang merupakan masdar (kata jadian dari akar kata “rabb”, yakni: Rabba
– yurabbi – tarbiyyan – tarbiyyatan.
Kalau kata “rabb” dirangkai dengan kata “al-amin” atau “al-nas”,
mengandung pengertian bahwa Allah yang mendidik, yaitu menciptakan,
memiliki, menyayangi, memelihara, menumbuhkan, mengarahkan,
membimbing dan mencukupi kebutuhan manusia dan alam secara
evolusioner (berangsur-angsur) sehingga mencapai kesempurnaan.
Seperti kita saksikan bahwa alam ini mempunyai keteraturan dan
kesempurnaan yang luar biasa, dan manusia mempunyai potensi yang
luar biasa pula untuk mengelola alam dan menciptakan peradaban. Siapa
yang dapat menunjukkan kecacatan penciptaan alam dan manusia?
Subhanallah, tidaklah semua ini Kau ciptakan denga sia-sia.
Sedangkan manusia berperan sebagai khalifah (QS. al-Baqarah: 30;
lihat juga dalam QS. ath-Thalaaq: 65 dan ayat-ayat lainnya). Kata khalifah
26
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
27
Pendidikan Islam
28
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
Rabb
Internalisasi dan aktualisasi
asmaul husna
Karunia untuk
mendewasakan Proses
Memanggil bagi umat: fitrah, Shahadah
pendidikan oleh dunia
umat alam dan umat
agama
29
Pendidikan Islam
30
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
1). Spekulatif, atau sinoptik atau sintesis. Dengan prinsip ini seseorang
berpikir secara menyeluruh, komprehensif dan integratif; berpikir
sesuatu dari berbagai sudut pandang.
2). Normatif, yakni ada sesuatu yang dianggap ideal atau standar, yang
dijadikan sebagai titik tolak ataupun patokan, serta kriteria penilaian.
3). Kritis, yakni mampu memberi penjelasan terhadap makna dari
istilah atau konsep yang digunakan.
Dalam mengkaji tentang pemikiran filosofis pendidikan Islam, perlu
diterapkan filsafat sebagai content yaitu ontologi (metafisika), epistemologi
(teori pengetahuan) dan aksiologi (teori nilai, estetika) dalam usaha
memahami hakikat dan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan merupakan
“dunia cita” yang kualifikasinya dinamis dan karenanya merupakan
persoalan yang paling penting dalam filsafat pendidikan. Selanjutnya ide
tentang tujuan pendidikan itu mempengaruhi pemikiran atau pandangan
mengenai komponen-komponen dalam pendidikan (peserta didik,
pendidik, kurikulum, metodologi dan evaluasi).
Akan tetapi, semua komponen itu tidak semata-mata dipengaruhi
oleh tujuan pendidikan, melainkan juga dipengaruhi (dan seringkali
lebih dominan) oleh dinamika politik dan ideologi yang berkembang
dalam konteks. Kondisi ekonomi, kultur masyarakat, harapan-harapan
keluarga dan masyarakat serta kekuatan-kekuatan sosial lainnya juga
ikut mempengaruhinya. Sijabat (1994: 23) lebih lanjut menggambarkan
hubungan antara filsafat, tujuan pendidikan, komponen-komponen
pendidikan (baca proses belajar mengajar) dalam gambar berikut:
Kekuatan-Kekuatan
Dinamika
Sosial
Metafisika
9 Peserta didik
9 Guru
Aksiologi Tujuan 9 Kurikulum
9 Metodologi
9 Fungsi sosial
Epistemologi lembaga
Kondisi Harapan-Harapan
Keluarga, Umat dan
Bangsa
31
Pendidikan Islam
32
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
2. Ontologi
Ontologi membahas soal sifat keberadaan (the nature of existence).
Apakah yang dimaksud dengan “ada”? apakah yang “ada” terletak pada
materi atau yang non materi atau bersifat spiritual? Pemahaman atas
eksistensi ini akan membentuk tata nilai dalam diri manusia. Manakala
yang paling bernilai dalam hidup yang material atau yang spiritual?
33
Pendidikan Islam
34
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
a. Dimensi Pengetahuan
Beberapa pertanyaan yang sering muncul dalam kaitan dengan
dimensi pengetahuan ini adalah: apakah realitas dapat diketahui
secara sesungguhnya? Bagaimana cara mengetahuinya? Adakah
kebenaran Absolut (mutlak)? Apakah kebenaran atau pengetahuan
itu? Tidakkah kebenaran itu relatif? Bagaimanakah relasi manusia
dengan pengetahuan?Apakah manusia berperan sebagai penerima,
partisipan, penguasa dan penghasil pengetahuan? Apakah ada
pengetahuan yang murni objektif? Adakah kebenaran yang
bergantung kepada pengalaman manusia?.
Dalam perspektif Islam, manusia memiliki kemampuan untuk
mengetahui. Atas kehendak Allah manusia memiliki fitrah dan
hanief seperti intelek, kreativitas yang mendorongnya mencari
pengetahuan, hikmah dan kebenaran. Ia dapat memahami realitas
serta meluaskan wawasannya bahkan untuk mengerti realiatas
tertinggi. Meskipun demikian, sebagai makhluk terbatas, tentu
pengetahuan yang diperolehnya menjadi terbatas pula. Bahkan
karena dilema yang ada padanya, manusia dapat berbuat kekeliruan
dalam menyimak dan menyingkap kebenaran (manipulasi dan
pemalsuan).
Karena itu pendidikan Islam harus berupaya untuk membimbing
orang memiliki pemahaman bahwa Allah adalah sumber kebenaran
objektif, absolut dan manusia atas dasar fitrah dan haniefnya sangat
cinta dan berupaya mencari kebenaran itu. Dalam batas-batas tertentu
35
Pendidikan Islam
b. Sumber Pengetahuan
Apakah sumber pengetahuan bagi manusia? Apakah terbatas kepada
panca indera? Bagaimana dengan pengetahuan yang diperoleh atau
berdasarkan wahyu? Bagaimana dengan otoritas (texbook, guru,
pakar, referensi), akal, intuisi, adat, tradisi, budaya sebagai sumber
pengetahuan? Bagaimanakah kita memberi respon terhadap teori
pengetahuan menurut kacamata “sosiologi pengetahuan”?
Sebagaimana dikemukakan di muka, Islam memandang bahwa
Allah adalah sumber-sumber kebenaran dan pengetahuan. Manusia
diberi mandat untuk mencari dan mengembangkan pengetahuan
dengan potensi dan pengetahuan yang dimilikinya. Dalam Al-Qur’an
dikatakan bahwa Allah menyatakan kebenaran dengan berbagai
cara: sabda, peristiwa, fenomena dan budaya. Tugas manusia untuk
mencarinya secara kritis.
Dalam mencari dan mengemukakan pengetahuan, manusia
mengalami proses belajar. Peristiwa belajar sudah tentu melibatkan
36
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
c. Pengujian Kebenaran
Bagaimanakah manusia dapat mengetahui bahwa pengetahuan
yang dimiliki itu benar atau sebuah kebenaran? maksudnya
adalah, bagaimana manusia dapat menguji kebenaran? dalam
epistemologi, orang dapat menguji kebenaran berdasarkan tiga cara,
yaitu: pertama, korespondensi. Teori ini berpendapat bahwa yang
dimaksud kebenaran adalah adanya hubungan antara pernyataan
subjek dengan objek dan tidak ada pertentangan. Misalnya
pernyataan bahwa cabe itu pedas, mengandung kebenaran karena
ada hubungan antara pernyataan (subjek) dan kenyataan (objek).
Kalau Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia itu makhluk yang suka
keluh-kesah (halu’ah), kalau sedang mendapat sial mengeluh dan
37
Pendidikan Islam
38
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
39
Pendidikan Islam
5. Masalah Etika
Aksiologi juga membahas soal etika, yakni tentang apa yang baik dan apa
yang buruk. Pertanyaan yang berkaitan dengan etika adalah soal ukuran
atau norma. Adakah nilai moral yang absolut? Bagaimana moral dibentuk
dan berkembang? Dapatkah moral dipisahkan dari iman? Bagaimanakah
strategi pengambilan keputusan yang tepat.
40
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
6. Segi Estetika
Aksiologi tidak lepas pula dari estetika, yakni bidang yang membahas
tentang nilai seperti keindahan, kerapian, keserasian dan keharmonisan.
Dalam estetika juga dibahas soal imajinasi dan kreativitas baik dalam
dominan kognisi, afeksi dan emosi.
41
Pendidikan Islam
42
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan
43
Pendidikan Islam
44
BAB
BAB1
2
PARADIGMA KEMANUSIAAN DALAM
PENDIDIKAN
Sampai hari ini dan bahkan sampai kapan pun manusia akan
merupakan persoalan yang cukup menarik, sangat menarik dan
tidak akan pernah final. Manusia merupakan makhluk yang paling
menakjubkan, makhluk yang unik multidimensi, serba meliputi, sangat
terbuka, dan mempunyai potensi yang agung. Tetapi manusia juga
merupakan bahaya terbesar bagi dunia melalui pertumpahan darah
dan berbuat kerusakan di muka bumi disebabkan karena ketidaktahuan
manusia akan dirinya sendiri atau karena salah dalam mempersiapkan
hakikat kemanusiaannya.
Dalam Al-Qur’an sendiri manusia berulangkali diangkat derajatnya,
dan berulangkali pula direndahkan. Mereka dinobatkan jauh mengungguli
alam surga, bumi, dan bahkan para malaikat, tetapi pada saat yang sama
manusia bisa tidak lebih berarti dibandingkan dengan setan terkutuk dan
binatang melata sekalipun. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu
menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi “yang paling
rendah segala yang rendah”. Akan tetapi kekutukan Al-Qur’an terhadap
manusia tidak berarti watak dasar manusia itu jahat, dualistik dan penuh
dosa sebagaimana persepsi sebagian filosof, agama Kristiani, dan agama
Hindu. Kutukan Al-Qur’an terhadap manusia disebabkan karena kelalaian
manusia akan kemanusiaannya, kesalahan manusia dalam mempersepsi
dirinya, dan kebodohan manusia dalam memanfaatkan potensi fitrahnya
sebagai khalifah Allah di muka bumi. Manusia diutus karena kebanyakan
dari mereka tidak mau melihat “ke belakang” (al-aqiba), tidak bersiap sedia
untuk hari kemudian dan tidak pula memberikan sumbangan kepadanya
bahkan tidak memahami atau tidak mencoba untuk memahami tujuan
hidup jangka panjang sebagai makhluk yang diberi dan telah sanggup
menjalankan amanah (lihat dalam QS. al-Ahzab: 72).
Tuhan menjelaskan, kelak apa yang akan terjadi bagi orang-orang
yang mengabaikan agama. Di mana secara tegas dilukiskan dalam Al-
Qur’an bahwa: “Dan sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka
jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati,
tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (mengenali diri sendiri) dan
mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat, dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar.
Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka
itulah orang-orang yang lalai” (QS. al-Araaf: 179).
46
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan
47
Pendidikan Islam
48
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan
49
Pendidikan Islam
50
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan
51
Pendidikan Islam
52
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan
53
Pendidikan Islam
2. Perspektif Emosi
Perbedaan-perbedaan dasar antara manusia dengan makhluk
lain yang membangun kemanusiaannya dan telah mengawali apa yang
disebut sebagai kebudayaan dan peradaban manusia terdapat pada dua
aspek: pandangan-pandangan dan kecenderungan-kecenderungannya.
Manusia sama halnya dengan makhluk lain, memiliki seperangkat
hasrat dan tujuan. Ia berjuang untuk meraih tujuan-tujuannya dengan
didukung oleh pengetahuan dan kesadarannya. Perbedaan antara
keduanya terletak pada dimensi pengetahuan, kesadaran dan tingkat
tujuan mereka. Inilah yang memberikan kelebihan, keunggulan serta
membedakan dirinya dari semua makhluk yang lain. Pertama, kesadaran
seekor binatang akan lingkungannya diperoleh hanyalah melalui indera
sehingga karenanya dangkal. Kesadaran ini tidak melibatkan kesadaran
akan esensi atau seluk-beluk objek kesadaran. Kedua, kesadaran binatang
itu bersifat tunggal dan terbatas. Binatang tidak mempunyai kemampuan
untuk mengadakan generalisasi. Ketiga, kesadaran binatang bersifat
regional dan terbatas hanya habitat hewan saja, dan tidak mempunyai
kemampuan melampaui batas lingkungannya. Keempat, kesadaran
binatang sifatnya sementara, tergantung pada masa kini. Terputus pada
masa lalu dan masa mendatang. Binatang tidak tahu sedikitpun tentang
dunia dan sejarahnya. Tidak pernah susah karena masa lalu dan tidak
pernah memperhitungkan, berpikir dan mengadakan estimasi tentang
masa depannya.
Berkenaan dengan kesadaran ini, binatang tidak pernah melangkah
keluar batasan ektremitas, individualitas lingkungan dan batasan keadaan
masa kini, dan dengan adanya empat batasan ini gerak binatang menjadi
sangat terbatas. Kalaupun binatang dapat melampaui batasan-batasan ini
hal itu terjadi tanpa pegetahuan, akal sehat dan kesadaran, melainkan
hanya bersifat naluriah belaka.
Tingkatan hasrat dan kecenderungan hewan, sebagaimana halnya
kesadaran dan pengenalan lingkungannya, bersifat terbatas, yaitu:
pertama, bersifat badani belaka, tidak lebih dari makan, minum, tidur,
bermain, mencari tempat berlindung dan kebutuhan sex. Seekor hewan
tidak akan pernah memperhatikan kebutuhan-kebutuhan spiritual dan
nilai-nilai moral. Kedua, hasrat dan kecenderungan hewan bersifat pribadi,
54
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan
3. Kecerdasan Intelektual
Perbedaan antara manusia dan hewan yang lain dapat dipilih dari tingkat
ilmu, hasrat, idealis manusia. Tingkat ilmu manusia jauh melewati
pemahaman dangkal atas alam. Manusia membuat studi yang saksama
atas alam, saling keterkaitan dan semua aturan yang mengatur wujud-
wujud alami. Ilmu manusia tidak terbatas oleh tempat maupun waktu.
Ia mengatasi tempat dan waktu. Karenanya manusia menjelajah tempat-
tempat yang berbeda di luar lingkungannya seperti planet-planet
lain, dan juga tentang masa lampau dan masa depan. Ilmu manusia
menemukan fakta-fakta tentang jagad dan masa lampaunya, bumi,
langit dan gunung-gunung, samudera, planet dan periada-periada
hidup lainnya. Ia merenungkan masa depan yang jauh, lagi pula pikiran
manusia mengembara melalui ketidak terbatasan dan meraih beberapa
bagian diantaranya. Manusia bergerak melewati individu-individu dan
batasan-batasan, menemukan fakta-fakta umum yang mengatur jagad
dan, dengan demikian ia menaklukkan alam.
4. Perspektif Spiritualitas
Manusia adalah makhluk idealis mencari nilai-nilai. Ia mencari sesuatu
yang ideal yang tidak hanya bersifat materialistis dan menguntungkan;
ideal-ideal yang tidak teralokasikan hanya pada dirinya melainkan
meliputi kemanusiaan dan bersifat umum. Ideal-ideal seperti itu tidak
bersifat regional, tidak terbatas pada lingkungan sekitar sendiri dan tidak
pula temporal.
Manusia sangat bersifat idealistis, sehingga ia memandang keyakinan-
keyaknin dan ideal-idealnya sebagai lebih tinggi dari nilai-nilai lain.
Baginya, kesejahteraan sesama manusia tampak lebih penting dari pada
kesejahteraan diri sendiri. Ia bersimpati pada orang lain, merasa gembira
55
Pendidikan Islam
58
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan
59
Pendidikan Islam
60
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan
61
Pendidikan Islam
yang harus diikuti diibaratkan sebagai “jalan lurus” yang harus dilalui
manusia dalam menapaki perjalanan hidupnya. Sedangkan untuk dapat
tetap konsisten kepada jalan lurus itu diperlukan sebuah perjuangan dan
pengorbanan agar terbebas dari godaan Setan dan Iblis yang senantiasa
berusaha membelokkan manusia dari jalan lurus itu. Oleh karena itu,
sesuai dengan kehendak Tuhan yang menghendaki kebaikan buat manusia,
manusia diberi petunjuk untuk mengabdi dan memohon pertolongan
kepada-Nya agar dapat berada pada jalan yang lurus, dalam sehari
semalam paling sedikit 17 kali. Dalam sehari semalam manusia diwajibkan
melaksanakan shalat 5 waktu atau 17 rakaat. Setiap rakaat diwajibkan
membaca surat al-Fatihah yang dalam surat al-Fatihah itu terkandung tujuh
pujian terhadap Tuhan dan doa: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan
hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan. Pimpinlah kami senantiasa ke
jalan yang lurus” (QS. al-Fatihah: 5-6).
D. KEBEBASAN MANUSIA
Hampir setiap manusia kalau ditanya, “apakah anda menyukai kebebasan”?,
pada uumnya menjawab dengan positif. Statemen ini diperkuat dengan
adanya deklarasi internasional tentang kebebasan sebagai hak asasi
manusia yang paling tinggi. Akan tetapi kebebasan yang bagaimanakah
yang dikehendaki manusia itu. Apakah bebas dari campur tangan orang
lain terhadap urusan pribadinya?; apakah bebas dalam arti merdeka untuk
menentukan nasib sendiri bagi sebuah bangsa atau negara?; atau bebas
berbuat apa saja sesuai dengan yang dikehendakinya?; atau bebas dalam
arti memilih atau tidak memilih dari berbagai alternatif yang ada.
Ide tentang kebebasan yang dikehendaki manusia memang unik.
Walaupun manusia itu kalau ditanya menjawab menyukai kebebasan,
tetapi ia menolak dalam kenyataannya. Manusia berusaha keras
meyakinkan diri sendiri bahwa dirinya menyukai kebebasan dengan
sesungguhnya, tetapi ungkapan-ungkapan itu dalam banyak hal lebih
bersifat menunjukkan rasa enggan untuk menerimanya. Ada secercah
keengganan dalam diri manusia untuk menerima kebebasan dalan arti
yang seluas-luasnya. Apabila manusia menghendaki kebebasan dirinya
dari campur tangan orang lain dalam kenyataannya hal seperti ini tidak
pernah ada. Demikian juga dalam hidup berbangsa dan bernegara.
62
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan
63
Pendidikan Islam
64
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan
65
Pendidikan Islam
66
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan
67
Pendidikan Islam
yang telah diridlai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar
(keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman
sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apa pun dengan aku. Dan barangsiapa yang (tetap kafir) sesudah
(janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. an-Nuur: 55).
Dalam komunitas sosial, umat Islam digambarkan dalam Al-Qur’an
sebagai: Pertama, “umatan wahidah” (umat yang satu), sebagaimana Allah
mengungkapkan dalam Al-Qur’an bahwa “Manusia itu adalah umat yang
satu, (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para Nabi sebagai
pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan
bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara
manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan” (QS. al-Baqarah:
213); Kedua, “umatan wasata” (umat yang adil dan pilihan) yang di
dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa: “Dan demikian (pula) “kami telah
menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (QS. al-Baqarah: 143); dan Ketiga,
“khaira umah” (umat terbaik). Di mana hal ini dinyatakan dalam Al-
Qur’an bahwa: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia menyuruh kepada ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah” (QS. Ali ‘Imran: 110).
Sebaliknya manusia yang tidak mngenal Tuhannya atau menuhankan
yang bukan Tuhan, tidak mengenal dirinya dan tugas yang diembannya,
tidak mengenal pedoman hidupnya (agama) atau mengenal tetapi hipokrit
(fasik) karena mengingkari suara hatinya, walaupun ia mengenal baik
dan menguasai alam maka pantaslah kalau mereka memperbandingkan
dirinya dengan hewan dan mempersamakan. Karena pada hakikatnya
mereka tidak berbeda dengan hewan atau lebih jahat lagi (lihat dalam
QS. al-A’raf: 179).
Disyaratkan iman dan amal shaleh untuk dijadikan sebagai khalifah
di bumi ini karena hanya manusia yang beriman dan beramal shalehlah
yang mampu mengemban amanat pembebasan manusia: pembebasan
dari segala bentuk ajaran, tindakan dan keadaan yang menghalangi
emansipasi kearah pemenuhan kebutuhan manusia dan martabatnya.
Kebutuhan kemanusiaan dan martabatnya dapat berupa kebutuhan
68
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan
yang bersifat jasmani dan rohani, fisik dan nonfisik, mental dan spritual,
dunia dan akhirat, dan individu dan sosial. Sedangkan martabat manusia
akan terpenuhi dengan sendirinya apabila manusia mampu memenuhi
kebutuhannya melalui pembangunan di segala bidang.
Bagi seorang Muslim (Muslim merupakan aktualisasi ras iman
dalam diri seseorang), keterlibatannya secara aktif dalam pembangunan
merupakan panggilan imannya yang sejati dan sekaligus merupakan
ibadah kepada Allah dalam pengertian yang seluas-luasnya dalam bentuk
pelayanan kongkrit kepada sesama makhluk yang dicintai Allah. Setiap
Muslim sesuai dengan panggilan masing-masing berkewajiban untuk
berbuat sesutu bagi diri dan sesamanya di dalam bidang kepedulian dan
profesinya masing-masing sebagai saksi hidup dari perjuangan dirinya dan
perjuangan sesamanya untuk menegakkan identitasnya, meningkatkan
martabat serta membebaskannya dari berbagai ketergantungan dan dalam
upayanya untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bersama.
Bagi seorang Muslim, berjuang dijalan Allah adalah hidup di
tengah-tengah masyarakat untuk mewujudkan keadilan, perdamaian,
dan kemakmuran bersama atas dasar nilai yang diyakininya (manifestasi
iman). Oleh karena itu analisis dan perjuangan mengentaskan
manusia dari lembah kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan,
memberantas ketidakadilan, penindasan dan penyakit-penyakit, dan
lebih dari itu, justru menjadi tanggung jawab sebagai khalifah di bumi,
yaitu mengembangkan kualitas hidup manusia sesuai dengan harkat
insaniahnya. Seorang Muslim juga harus menjaga kelestarian alam dan
keserasian lingkungan hidup di samping juga berzikir, shalat, berpuasa,
ibadah haji dan ibadah mahdhah lainnya.
Melaksanakan tugas kekhalifahan yang begitu besar dan berat tersebut
tidak mungkin dapat dilakukan secara pribadi, nafsi-nafsi, melainkan harus
membentuk komunitas sosial dan tatanan sosial yang mampu menjadi
kekuatan raksasa panji-panji Islam (ummatan wahidah), eksistensinya
mengakar kuat dalam horizon masyarakat, dan eksistensinya tegak tegar
menjulang tinggi sehingga mampu menegakkan keadilan, tidak ada yang
berani memaksa atau terpaksa untuk condong dan ikut arus ke arah ekstrem
kanan atau kiri, menghakimi yang bathil sebagai kejahatan dan yang hak
sebagai kebaikan, dan mampu menciptakan kekuatan pertahanan yang
69
Pendidikan Islam
27 dengan ayat 30 surat al-Baqarah. Dari pengertian dua ayat ini, maka fungsi
kekhalifahan manusia di bumi sangat jelas. Lebih lanjut Allah menegaskan
lagi bahwa tugas khalifah itu adalah menciptakan kemakmuran di bumi
dan menegaskan manusia untuk memakmurkannya (lihat QS. Hud: 61).
71
Pendidikan Islam
yang sangat kuat, pikiran yang tingi, perasaan halus dan indah. Beliau
suka memberi hati terhadap orang yang lebih rendah, dan tidak pernah
mencaci maki pelayannya, “saya bersama Nabi dan beliau tidak pernah
mengatakan ‘uff kepada saya”. Beliau sangat mencintai keluarganya.
Salah seorang puteranya meninggal dunia di atas buaiannya dalam
sebuah kamar juru rawat berasap, juru rawat itu adalah istri seorang
Smith yang hitam. Beliau sangat mengasihi anak-anak atau yang lebih
muda dari beliau dan sangat menghormati yang lebih tua. Beliau akan
mencegah anak-anak yang bermain di jalan dengan mengelus kepalanya.
Beliau tidak pernah menghajar seorang selama hidupnya. Tatkala beliau
diminta untuk mengutuk seorang karena perbuatannya melampaui batas
terhadap belaiu ketika hijrah ke Thaif, beliau menjawab, “Saya diutus
bukan untuk mengutuk manusia, akan tetapi untuk menjadi rahmat
bagi mereka”, dan lebih dari itu beliau malah mendoakan kepada mereka
agar diberi petunjuk. Beliau mengunjungi orang-orang sakit, beliau
selalu mengikuti mayat yang ditemuinya, beliau menghadiri undangan
makan seorang budak, manambal pakaiannya sendiri, memeras susu
kambing dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Beliau tidak menarik tangan
beliau terlebih dahulu ketika berjabat tangan sebelum tangan orang
menjabatnya dicabut terlebih dahulu.
Nabi Muhammad merupakan pelindung yang dipercaya mereka
yang memohon perlindungannya, pembicaraannya sangat ramah dan
dinamis. Barang siapa yang memandangnya, maka tiba-tiba penuh
rasa hormat, siapa yang didekatnya akan mencintainya, mereka yang
melukiskan akan berkat, “Saya tidak pernah melihat beliau seperti ini”.
Beliau adalah pendiam, akan tetapi jika beliau berbicara dengan sengaja
atau tidak, tidak seorang pun melupakan apa yang diucapkannya.
Beliau hidup bersama istri-istri beliau dalam suasana yang penuh
cinta kasih, makan seadanya. Di luar rumah beliau terdapat bangku atau
serambi yang selalu didiami oleh beberapa orang miskin yang hidup dari
kemurahan hati beliau, mereka kemudian disebut sebagai “orang-orang
bangku”. Makanan yang biasa beliau makan adalah kurma dan air, atau
bubur gandum; susu madu adalah makanan istimewa kesukaannya, akan
tetapi jarang beliau miliki. Makanan beliau ringan-ringan walaupun
beliau berkuasa di Arabia.
72
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan
73
Pendidikan Islam
74
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan
pekerjaan, tegar dan disiplin tetapi luwes dalam memegang prinsip, berjiwa
besar dan mempunyai semangat juang yang tinggi dalam menyongsong
masa depan. Dalam kehidupan sehari-hari beliau terkenal sebagai orang
yang hemat dan sederhana, tidak boros dan konsumtif dan berlebih-
lebihan, tetapi tidak kikir. Bahkan beliau sangat memperhatikan orang
kecil, orang lemah dan orang yang dilemahkan (mustaz’afin), tetapi sekali-
kali beliau tidak menyukai kelemahan, tidak hendak menambah jumlah
orang-orang lemah dan tidak akan melemahkan.
Dalam beribadah, beliau adalah seorang yang paling rajin dan tekun
beribadah. Beliau senantiasa berdzikir dan berpikir di waktu berdiri,
duduk dan ketika berbaring. Beliau senantiasa memohon ampun dan
rahmat walaupun dosa-dosa beliau telah diampuni dan Allah telah
menjanjikan beliau dalam rahmatnya. Beliau tidak pernah absen dari
shalat malam, berpuasa Senin-Kamis dan amalan-amalan sunat lainnya.
Dalam bidang karir, beliau adalah orang yang paling sukses.
Kesuksesan beliau ini dengan tulus diakui oleh kawan maupun lawan
serta para ilmuwan tanpa paksaan sedikit pun. Mereka mengakui
Muhammad tidak hanya sebagai Nabi, melainkan juga sebagai kepala
pemerintahan dan kepala negara yang adil dan bijaksana, panglima
perang yang tegar dan perkasa. Taktik dan strategi dan pandangannya
jauh ke depan. Muhammad juga dikenal sebagai diplomat yang ulet dan
bijaksana, seorang pendidik yang sukses, seorang pemimpin dan manajer
yang pandai mempengaruhi dan menggerakkan orang lain, serta masih
banyak lagi kelebihan-kelebihan beliau yang kesemuanya itu merupakan
pencerminan dari profil manusia Muslim sebagai wujud nyata dari ajaran
Islam yang terakumulasi dalam kitab suci Al-Qur’an. Dengan demikian,
telah nyata pada diri pribadi Rasul Allah suatu teladan (idola) yang
terbaik bagi orang yang mengharap berjumpa dengan Allah (keridlaan-
Nya) dan bahagia di hari akhir.
75
Pendidikan Islam
76
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan
77
Pendidikan Islam
78
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan
79
Pendidikan Islam
80
BAB
BAB1
3
VISI DAN MISI PENDIDIKAN ISLAM
81
Pendidikan Islam
82
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam
terpancang dan menjadi acuan gerak praksis sistem pendidikan Islam itu
sendiri baca dalam pembelajaran yang menghasilkan insan paripurna.
83
Pendidikan Islam
84
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam
85
Pendidikan Islam
86
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam
korup. Para Rasul Allah dan para penegak agama sesudahnya bukan
sekedar menyeru tiada Tuhan selain Allah, melainkan juga melakukan
reformasi bagi seluruh dimensi kehidupan masyarakat berupa amar ma’ruf
(humanisasi), nahi munkar (liberalisasi), memberdayakan mustadz’afin
(tertindas, kemiskinan struktural) dan memperingatkan mutrafin
(konglomerat rakus). Itulah sebabnya menurut Comte bahwa misi para
Rasul itu sama dengan misi para sosiolog yaitu melakukan perubahan
sosial. Lebih lanjut Comte menganjurkan adanya agama humanitas dan
sosiologi moralitas sebagai kunci kesatuan dan dinamika masyarakat dan
sekaligus sebagai titik temu misi agamawan dengan sosiolog.
Menghadapi kondisi kehidupan manusia yang senantiasa diwarnai
dengan berbagai krisis kemanusiaan di satu sisi dan tuntutan penegakan
hak asasi manusia di sisi lain, agama harus tetap teguh sebagai kekuatan
moral. Agama tidak cuci tangan dalam urusan politik sejauh politik
diartikan sebagai keterlibatan pada permasalahan masyarakat (polis) baik
di bidang pemerintahan, ekonomi, hukum dan lain sebagainya. Karena
pada hakikatnya pilihan-pilihan kebijakan politik adalah pilihan-pilihan
moral.
Memang dalam rangka menegakkan misi Islam, manusia perlu
perjuangan. Sebab dalam kenyataannya kekuatan manusia untuk
melakukan pengrusakan hampir sama kuatnya dengan kekuatan untuk
membangunnya. Misalnya dalam kehidupan manusia senantiasa
diwarnai dengan kekerasan seperti pertumpahan darah, pengrusakan
alam dan sosial. Bahkan kekerasan usianya sama dengan sejarah manusia.
Kekerasan tampaknya merupakan “aksesoris”, atau bahkan “kebutuhan”
manusia itu sendiri. Dalam sejarah perjalanan umat manusia, kekerasan
telah ditunjukkan oleh putra Adam a.s: Qabil dan Habil. Kalau kita
tafsirkan menurut konteks sekarang, tindak kekerasan antara Qabil
dan Habil yang menyebabkan terbunuhnya Habil disebabkan persoalan
politik, ekonomi dan sex. Setelah peristiwa Qabil dan Habil yang sangat
memilukan keluarga Adam a.s itu, tindak kekerasan terus berlanjut
menyertai pergumulan hidup manusia sampai sekarang. Karena itulah
Sosiolog Peter L. Berger setelah mengkalkulasi biaya-biaya manusia dan
korban-korbannya lantas menyimpulkan bahwa “sejarah adalah aliran
darah”. Pernyataan-pernyataan yang mencerminkan budaya kekerasan
87
Pendidikan Islam
juga sangat populer misalnya right or wrong my country, The end justifies
the means (machievelli), manusia adalah homo homini lupus, kekuatan
adalah datang dari rentetan tembakan sebuah senapan (Mao Tse Tung),
bersiaplah perang kalau ingin damai dan lain sebagainya. Dengan
demikian, kekerasan dengan segala bentukya, hakikatnya, adalah krisis
kemanusiaan yang bersejarah.
Lantas, apakah kekerasan itu sudah merupakan blue print atau takdir
Allah sebagai bagian tak terpisahkan dalam pergumulan hidup manusia?
Bukankah tindak kekerasan yang akan dilakukan manusia sudah
disinyalir oleh para Malaikat ketika Allah hendak menjadikan Adam
sebagai Khalifah Rabb di muka bumi? Allah berfirman bahwa: “Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan atau mengangkat khalifah di muka bumi”. Para
Malaikat berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu, orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah”
(QS. Al-Baqarah: 30).
Dilihat dari segi fitrahnya, manusia pada dasarnya tidak menyukai
kekerasan dan kezaliman. Sebaliknya manusia sangat mendambakan
keadilan, kebenaran, kasih sayang, keharmonisan dan kekompakan.
Tindak kekerasan muncul disebabkan oleh ambisi yang tak terbatas di
satu sisi, dan di sisi lain adanya rasa kekhawatiran dan ketakutan yang
luar biasa dalam diri manusia. Adam melanggar larangan Tuhan-Nya
dalam surga disebabkan dia khawatir dan takut kalau ia tidak akan bisa
lama menikmati surga. Allah sebagai Zat Yang Pengasih dan Penyayang
menurunkan agama (petunjuk) agar Adam dan manusia pada umumnya
dapat terbebas dari ketakutan dan kekhawatiran itu. Dalam konteks
ini, Allah telah mensinalir bahwa: “... Kemudian jika datang petunjuk-
Ku kepadamu, barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada
kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati” (QS. Al-
Baqarah: 38).
Fenomena kekerasan itu dalam masyarakat nuansanya sangat
kompleks. Ada kekerasan yang terencana serta terorganisasi dan
ada yang tidak terencana atau spontanitas, ada kekerasan individual
atau perorangan dan sosial atau komplotan; ada yang legitimit atau
disyahkan oleh peraturan dan ada yang tidak legitimit. Kekerasan yang
88
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam
89
Pendidikan Islam
90
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam
91
Pendidikan Islam
92
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam
wajib dan orang yang berilmu akan memperoleh kemuliaan dan derajat
yang tinggi. Kita juga sudah mengetahui salah satu Hadits Rasulullah
mengatakan bahwa orang yang menuntut ilmu akan diampuni dosa-
dosanya dan seisi dunia mendoakan keselamatan dan barakahnya.
Bahkan kita juga menyaksikan dengan mata kepala kita sendiri bahwa
orang yang berilmu memiliki kehidupan, derajat, kemuliaan, kedudukan
dan keutamaan yang lebih baik di tengah-tengah masyarakat. Tetapi
kenapa masih terlalu banyak di antara kita yang bermalas-malasan
dalam menuntut ilmu, kenapa kita juga masih sering bohong dalam
mengembangkan ilmu, dan kenapa perguruan tinggi sebagai lembaga
ilmiah belum mampu menjadi center of excellence atau pusat keunggulan
dalam penemuan ilmu. Kenapa umat Islam justru menjadi umat yang
paling tertinggal dalam pengembangan ilmu. Bukan hanya itu kesan
yang muncul justru menjadi umat yang kurang menghargai ilmu dan
memusuhi ilmu itu sendiri dengan mengatakan “ilmu sekuler”, “ilmu
yang tidak Islami”, ilmu dari “Barat” dan lain sebagainya. Munculnya
organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok agama yang beroperasi
di kampus-kampus dan melarang atau membelokkan pemuda-pemuda
Muslim yang sedang menuntut ilmu untuk “berjihad” merupakan gejala
yang sangat memprihatinkan. Ilmu pengetahuan itu bebas nilai. Ia tunduk
dan tergantung pada human being atau subjek yang menggunakannya.
Jadi tidak ada ilmu Islam atau ilmu kafir. Juga tidak perlu ada konsep
Islamisasi ilmu pengetahuan.
Sikap sebagian umat Islam atau mungkin sudah keseluruhan umat
Islam- terhadap ilmu pengetahuan dan ketertinggalan umat Islam dalam
mengembangkannya sungguh merupakan sebuah keanehan. Keanehan
itu sekarang kita alami sendiri, kita rasakan dan kita tanggung berbagai
bentuk konsekuensinya (akibat). Yang menjadi persoalan sekarang adalah
bukan kita menyesali dan meratapi ketidakberdayaan ini, dan bukan pula
kita menyalahkan orang lain; bahkan umat Islam sendiri seakan-akan
tidak mau untuk bertatih-tatih keluar dari persoalan yang mengelutinya.
Walaupun pada saat ini umat Islam mempunyai peluang untuk mengejar
ketertinggalan tersebut.
Dalam perspektif sosiologis, orang yang mengembangkan ilmu
berada dalam puncak piramida kegiatan pendidikan. Banyak orang
93
Pendidikan Islam
sekolah atau kuliah tetapi tidak menuntut ilmu. Mereka hanya mencari
ijazah, status atau gelar. Tidak sedikit pula guru atau dosen yang
mengajar tetapi tidak mendidik dan mengembangkan ilmu. Mereka ini
berada paling bawah piramida dan tentunya jumlahnya paling banyak.
Kelompok kedua adalah mereka yang kuliah untuk menuntut ilmu tetapi
tidak mengembangkan ilmu. Mereka ini ingin memiliki dan menguasai
ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya atau untuk dirinya sendiri,
tidak mengembangkannya untuk kesejahteraan masyarakat. Kelompok
ini berada di tengah piramida kegiatan pendidikan. Sedang kelompok
yang paling sedikit dan berada di puncak piramida adalah orang yang
kuliah dan secara bersungguh-sungguh mencintai dan mengembangkan
ilmu. Salah satunya adalah dosen yang sekaligus juga seorang pendidik
dan ilmuwan.
Kelompok ketiga ini biasanya berjumlah sangat sedikit dan belum
tentu ada dalam sebuah komunitas yang disebut civitas akademika.
Mengapa kelompok pencinta dan pengembang ilmu ini jumlahnya
sangat sedikit dan bahkan sangat jarang atau langka? Hal ini antara lain
disebabkan karena:
Pertama, mengembangkan ilmu pengetahuan merupakan kerja
intelektual yang sangat serius, berat dan diperlukan tingkat kecerdasan
di atas rata-rata. Faktor lain yang harus ada dalam kerja keilmuan adalah
ketelitian, kesabaran, keuletan dan memerlukan waktu yang lama.
Kedua, kerja keilmuan tidak bisa dilepaskan dari risiko, antara lain:
tidak populer, tidak kaya, dan bahkan risiko fisik. Di Indonesia misalnya,
popularitas dan kesejahteraan ilmuwan masih kalah dengan pejabat
politisi atau publik figur; dan
ketiga, kerja keilmuan dituntut memiliki mental berlimpah karena
ia bekerja bukan semata untuk dirinya melainkan untuk orang lain dan
kemajuan bangsanya. Kerja keilmuan adalah kerja amal sehingga kata
ilmu senantiasa dirangkai dengan kata amal, seperti kata “mengamalkan
ilmu”, dan bukan “mendayagunakan ilmu”. Karena itulah kerja keilmuan
bukan hanya berat tetapi juga mulia, dan bahkan sangat mulia. Karena itu
kerja keilmuan mensyaratkan adanya keikhlasan, yaitu berbuat sesuatu
kebaikan karena menjalankan perintah Allah, mengharapkan keridlaan,
penilaian dan balasan dari Allah semata. Gambaran kerja yang ikhlas
94
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam
95
Pendidikan Islam
96
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam
98
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam
99
Pendidikan Islam
100
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam
101
Pendidikan Islam
102
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam
103
Pendidikan Islam
104
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam
105
Pendidikan Islam
106
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam
diri dan sama-sama dalam proses mencari kebenaran. Karena itu yang
penting adalah berlomba-berlomba memberikan alternatif atas persoalan
yang dihadapi atau berlomba-lomba dalam kebajikan.
Apa yang dihadapi manusia dalam modernitas kebudayaan dengan
kemajuan Iptek tersebut adalah masalah keselamatan manusia dan nilai-
nilai kemanusiaan itu sendiri beserta kerusakan bumi dan kerancuan
makna kemanusiaan. Karena itu pernyataan filosof Perancis Andrew
Malrauk (Ulumul Qur’an, No.2, 1989) dan antisipasi John Neisbit (1990)
bahwa abad 21 merupakan abad kebangkitan agama millenium baru (The
Age of Religion), dapat menjadi kenyataan jika para pemimpin agama
mampu mewarnai kebudayaan dan para pelaku kebudayaan yang sedang
dan akan berkembang tersebut dengan nilai-nilai agama dan paradigma
kemanusiaan.
107
Pendidikan Islam
arti sesuai dengan kebutuhan asasi seluruh umat manusia. Semua manusia
menghendaki kehidupan yang didasarkan pada nilai-nilai universal. Semua
manusia pada dasarnya ingin berbuat kebaikan, berkeadilan, berkasih
sayang dan bermanfaat bagi yang lain.
Akan tetapi untuk mencapai kondisi ideal yang dicita-citakan Islam
dan seluruh umat manusia tersebut diperlukan sebuah perjuangan dan
pengorbanan untuk menuju kesadaran beragama di kalangan peserta
didiknya. Jadi dalam hal ini kesinambungan mutu pendidikan agama
tidak terletak pada tinggi dan banyaknya materi yang disajikan atau
diajarkan, apalagi mengingat alokasi waktunya yang relatif terbatas.
108
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam
109
Pendidikan Islam
peserta didik dan dapat memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi
tercapainya tujuan pendidikan nasional, tetapi sebaliknya kalau format
pendidikan agama sejak dari sekolah dasar sampai dengan perguruan
tinggi tidak ada perbedaan yang berarti dan terlebih lagi kalau dipahami
secara hitam putih maka kehadiran pendidikan agama justru menjadi
beban.
110
BAB
BAB1
4
TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
111
Pendidikan Islam
112
BAB 4 – Tujuan Pendidikan Islam
113
Pendidikan Islam
Di satu sisi, sebagai rumusan akhir dari sebuah cita-cita, tujuan tersebut
bersifat ideal-statis dalam arti rumusannya tetap, tetapi kualitas dari tujuan
itu adalah dinamis dan berkembang nilai-nilai dan standarisasinya. Lebih-
lebih tujuan pendidikan yang di dalamnya sarat dengan nilai-nilai yang
bersifat fundamental, seperti nilai ketuhanan, kemanusiaan, sosial, nilai
ilmiah, moral dan nilai agama. Contoh, manusia terampil pada tahun 50-
an sangat berbeda dengan era tahun 2000-an atau bahkan pada manusia-
manusia pada abad ke-22 nantinya.
Akan tetapi, rumusan tujuan pendidikan Islam yang besar dan
universal tersebut bukan berlangsung secara temporer dan kondisional,
tapi ia memiliki pola yang bersifat berkesinambungan sampai akhir dari
babak sejarah kemanusiaan. Keberlangsungan kegiatan ini, tergantung
pada manusia sebagai subjek dan objek pendidikan Islam, perangkat
serta kontiuitas seluruh masyarakat pendidikan dalam merealisir konsep
pendidikan itu pada tujuan yang benar. Rumusan tujuan tersebut, di sisi
yang lain, sebenarnya merupakan arah pendidikan Islam tertinggi dari
proses pendidikan dengan memfokuskan pada kerangka dasar tersebut. Di
mana kerangka rumusan tujuan pendidikan Islam yang sangat mendasar
adalah nilai-nilai moral-transendental, dan tidak hanya terpaku pada ide-
ide statis, tetapi ia menyertakan tuntutan riil dari kondisi sosial budaya
yang berkembang sebagai acuan proses kontektualisasi pendidikan Islam
itu sendiri.
114
BAB 4 – Tujuan Pendidikan Islam
a. Nilai-Nilai Filosofis
Nilai-nilai filosofis pada kerangka ini bisa dicontohkan seperti
keadilan dan kebenaran. Filsafat sebagai the art of life (pengetahuan
tentang hidup) membicarakan secara mendalam tentang nilai-nilai
keadilan dan kebenaran ini. Kualitas hidup manusia sangat ditentukan
oleh sejauh mana manusia komitmen untuk menegakkan nilai
kebenaran dan keadilan ini dalam berbagai dimensi kehidupannya:
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sebaliknya kesengsaraan
manusia manakala nilai-nilai tersebut dilecehkan oleh manusia
itu sendiri. Itulah sebabnya manusia merupakan makhluk yang
senantiasa mencari keadilan dan kebenaran: petani mencari keadilan
dan kebenaran apabila tanahnya diserobot oleh pengembang; buruh
mencari keadilan dengan menuntut upah yang lebih layak; mahasiswa
menuntut para koruptor. Semua dilakukan untuk dalam rangka
menegakkan keadilan dan kebenaran. Itulah sebabnya, nilai-nilai
115
Pendidikan Islam
b. Nilai-Nilai Akhlaq
Islam adalah agama akhlak. Sebagai agama puncak evolusi agama
samawi, sebagaimana dikemukakan Rasulullah mengemban misi
diutus untuk membangun akhlaq al-karimah, yaitu peradaban
adiluhung atau puncak peradapan manusia. Dalam sebuah Hadits
Qudsi Allah berfirman: “Barang siapa Ku kehendaki kebaikan,
Ku beri dia akhlak yang baik, dan barang siapa Ku kehendaki
keburukan Ku beri dia akhlak yang buruk” (Riwayat Abusy-Syaikh
dari Ibnu Umar). Dalam syairnya yang terkenal, Ahmad Syauqi
memperingatkan: “Bangsa itu hanya bisa bertahan selama mereka
masih memiliki akhlak. Bila akhlak telah lenyap dari mereka, mereka
akan lenyap pula”. Betapa pentingnya akhlak dalam kehidupan
manusia dalam pandangan Islam, niscaya dijadikan dasar dan
tujuan dalam pendidikan Islam. Para pendidik dalam pendidikan
Islam haruslah orang berakhlak, orang yang beradab, dan bermoral.
116
BAB 4 – Tujuan Pendidikan Islam
d. Nilai-Nilai Spiritual
Yang dimaksud nilai-nilai spiritual di sini adalah nilai-nilai rohani dan
prinsip-prinsip moral dalam batin seseorang yang memberi warna
pada pandangan dunia, etos dan tingkah laku seseorang. Pendidikan
Islam harus memberikan nilai-nilai spiritual yang Islami, yang
kondusif dan fungsional bagi pembentukan pandangan dunia peserta
didik. Nilai-nilai spiritual dalam Islam bersifat asketisme duniawi;
yaitu pandangan dunia yang mengatakan bahwa kehidupan dunia
adalah nyata (bukan bayangan), sangat berharga (bukan permainan)
dan sangat menentukan bagi kehidupan berikutnya. Kata al-dunya
dalam Al-Qur’an disebutkan sampai 127 kali hal ini menggambarkan
betapa pentingnya kehidupan dunia itu. Al-Qur’an menyatakan
bahwa kehidupan dunia adalah tempat bertanam dan akhirat tempat
menuai, kehidupan dunia adalah diibaratkan sebuah pertandingan
antara menang dan kalah (QS. Muhammad: 36) dan umat Islam
diperintahkan untuk memenangkan pertandingan itu. Dari nilai-nilai
spiritualitas Islam ini berarti peserta didik harus diberi pemahaman
yang benar tentang hakikat hidup di dunia, supaya mereka berprestasi
dan beramal shaleh ketika di dunia, dan sebaliknya tidak membenci
atau menjauhi dunia. Nilai-nilai spiritual itulah yang mendorong
pada kemajuan dan kehidupan yang lebih baik. Peserta didik dalam
pendidikan Islam jangan sampai mempunyai nilai-nilai spiritual
yang bercorak “mistisisme duniawi” sebagai kebalikan dari asketisme
duniawi, sebab yang terahkir ini akan melahirkan sikap fatalistik.
117
Pendidikan Islam
e. Nilai-Nilai Karya
Islam di samping merupakan agama ilmu, juga merupakan agama
amal. Islam menghendaki ilmu bermanfaat secara luas yang
diibaratkan seperti pohon yang berbuah lebat dan memberikan
manfaat bagi kehidupan. Sebaliknya Islam mengecam ilmu yang
tidak bermanfaat, ilmu yang disembunyikan untuk dirinya yang
diibaratkan seperti pohon tak berbuah. Karena itu ilmu yang baik
adalah yang alamiah dan amal yang terbaik adalah amal ilmiah.
Dalam hidup dan berkarya, Islam mengajarkan untuk senantiasa
118
BAB 4 – Tujuan Pendidikan Islam
119
Pendidikan Islam
akhir atau Ulimate aim pendidikan saja sebab ia belum merupakan suatu
gambaran makna yang jelas, melainkan masih normatif dan abstrak. Oleh
sebab itu diperlukan penjabaran secara lebih terinci ke dalam variabel-
variabel yang spesifik dan operasional. Variabel-variabel itu dalam ilmu
pendidikan dikenal dengan istilah tujuan khusus (proximate objectives),
atau tujuan sementara (Langevelt), atau cardinal principles of education
(Herbert Spencer).
Dari nilai-nilai Islam tersebut, maka tujuan khusus atau tujuan
sementara pendidikan Islam dapat dirumuskan kedalam enam domain,
antara lain: a). Kecerdasan intelektual; b). Kedalaman spiritual; c).
Keagungan akhlak; d). Kemantapan profesional; e). Keluasan wawasan;
dan f). Kepekaan sosial. Sementara itu Spencer mengemukakan tujuan
khusus, yang meliputi: a). Health; b). Command of the fundamental Prosess,
not a by the three; c). Worthy Home Membership; d). Vocation; e). Civic
Fanctions; f). Worthy Use of Laisere Time; dan g). Ethical Character (Moh.
Nur Syam, 1973).
Selain itu ada yang memperinci tujuan pendidikan dalam bentuk
taksonomi dalam bentuk taksonomi (sistem klasifikasi). Yang terutama
meliputi: a). Pembinaan kepribadian (nilai formil): Sikap (attitude), Daya
pikir praktis rasional, Objektivitas, Sadar nilai-nilai moral dan agama;
b). Pembinaan aspek pengetahuan (nilai materiil), yaitu materi ilmu itu
sendiri; c). Pembinaan aspek kecakapan, keterampilan (skill) nilai-nilai
praktis; dan d). Pembinaan jasmani yang sehat (Fadjar, 1991).
Sementara itu dalam sebuah haditsnya yang populer, Rasululah
bersabda: “Ajarilah anak-anak kalian dengan berenang dan memanah.”
Kata berenang” dapat ditafsirkan dengan kemampuan akademik, yaitu
kemampuan si terdidik memecahkan berbagai persoalan kehidupan
yang kompleks dan multi dimensional. Sementara “memanah” dapat
ditafsirkan sebagai kemampuan profesional yang menjadi andalan
dalam interaksi dengan lingkungannya. Karena itu pendidikan harus
membekali dalam diri peserta didik dua keping dari satu mata uang,
yaitu kemampuan akademik dan profesional sekaligus.
Dalam pandangan Islam, memberi bekal kemampuan akademik
kepada si terdidik hukumnya wajib bagi setiap Muslim terutama orangtua
dan para pendidik, sementara memberikan kemampuan profesional
120
BAB 4 – Tujuan Pendidikan Islam
hukumnya fardu kifayah sesuai dengan potensi dan bahan peserta didik
dan konteks dinamika kebutuhan masyarakat. Artinya, kalau misalnya di
suatu wilayah atau daerah tidak ada tenaga medis (dokter atau perawat)
padahal sangat dibutuhkan, maka semua umat Muslim berdosa karena tidak
menyelenggarakan pendidikan tenaga medis bagi keperluan hidupnya,
tetapi kalau sebagiannya telah menyelenggarakannya, maka hilanglah
kewajiban itu. Ini berarti Islam secara tidak langsung memerintahkan
kewajiban pendidikan dasar yang memberi bekal kemampuan akademik,
dan pendidikan profesional sesuai dengan pembagian kerja dalam
masyarakat.
Dari uraian tersebut kiranya dapat memberikan gambaran tentang
luas lingkup yang hendak dijangkau oleh pendidikan. Karena manusia
yang dibinanya itu merupakan totalitas sebagai makhluk individu dan
sosial. Dengan demikian pendidikan harus mampu mengemban misi
yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan pribadi dan
masyarakat. Orientasinya harus utuh memperkokoh keberadaan manusia
sebagai makhluk pribadi dan masyarakat. Dalam peranannya itu maka
fungsi tujuan pendidikan umum maupun khusus, yang normatif maupun
yang operatif praktis, merupakan salah satu faktor penting, bukan
saja sebagai pendorong, motivasi, tetapi juga menjadi isi pokok (core
curriculum) pendidikan dan akan menentukan metode pengajaran, sistem
dan organisasi kurikulum.
Mengingat pendidikan adalah proses hidup dan kehidupan umat
manusia, maka tujuannya pun mengalami perubahan dan perkembangan
sejalan dengan perubahan dan perkembangan zaman. Dalam hal
ini, tujuan khusus sebagai pedoman operatif praktis, dituntut untuk
senantiasa siap memberikan hasil guna, baik bagi keperluan menciptakan
dan mengembangkan ilmu-ilmu baru, lapangan-lapangan kerja baru,
maupun pembina sikap hidup kritis dan pola tingkah laku baru serta
kecenderungan-kecenderungan baru. Disini barangkali yang dimaksud
oleh Toffler: “Education must shift into the future tense” (Alfin Toffler, 1970).
121
Pendidikan Islam
122
BAB 4 – Tujuan Pendidikan Islam
123
Pendidikan Islam
124
BAB 4 – Tujuan Pendidikan Islam
126
BAB 4 – Tujuan Pendidikan Islam
127
Pendidikan Islam
128
BAB 4 – Tujuan Pendidikan Islam
129
Pendidikan Islam
keras. Apa yang dulu pernah dilakukan oleh A. Mukti Ali dengan SKB
tiga menterinya, gagasan Link and math Wardiman Joyonegoro, apa yang
sekarang dilakukan oleh para Cendikiawan Muslim khususnya yang
tergabung dalam ICMI, dan reformasi di segala bidang pada pasca Orde
Baru, merupakan modal dan sekaligus sebagai antisipasi positif dalam
memasuki era baru, millenium ketiga. Sekali lagi, kalau sekarang ini
dirasakan ada peluang dan iklim sosial politik yang semakin kondusif
bagi perkembangan kualitatif umat Islam, maka adalah paling tepat
untuk memulainya berbuat nyata dengan berbagai model eksperimentasi.
Kemauan untuk membuat proyek “uswah hasanah” seperti sekolah,
madrasah dan pesantren unggulan dan lain sebagainya merupakan
sebuah keniscayaan dalam rangka memantapkan posisi dan peran umat
Islam. Juga tidak kalah penting, memasuki mellenium ketiga, umat Islam
punya lembaga kajian sains dan teknologi, kajian strategis dan pusat-
pusat kebudayaan sebagai penyangga tegaknya lembaga pendidikan yang
berkualitas.
Apa yang dikemukakan penulis tersebut adalah bentuk-bentuk
alternatif dan masih banyak alternatif-alternatif lain yang dapat ditempuh
di dalam mengembangkan pendidikan, yang lebih relevan dengan
tuntutan kebutuhan masyarakat. Sebab pendidikan adalah sebuah
kekuatan yang paling strategis dan harus senantiasa konteks dengan
masyarakatnya. Pendidikn harus mampu membekali peserta didiknya
kecakapan nyata untuk menyongsong hari esok dan untuk menghadapi
setiap perubahan. Pendidikan harus steril dengan kepentingan politik
praktis, dan tidak terlalu bersifat ideologis. Kecenderungan dari praktik
pendidikan yang terkontamisasi oleh politik praktis dan ideologis adalah
melupakan misi dan fungsi substantif dari pendidikan sendiri. Tentunya
kita tidak ingin melihat lagi generasi umat mendatang terseok-seok
pertumbuhannya dan terbelenggu oleh kebanggaan semu karena janji-
janji politik dan ideologis yang menipu.
130
BAB
BAB1
5
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
131
Pendidikan Islam
132
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam
133
Pendidikan Islam
sendiri dan mengatakan bahwa: cogito, ergo sum (saya berpikir, karena
itu saya ada) (Jujun, 1989). Itulah sebabnya keputusan baik-buruk yang
semata-mata didasarkan pada hati nurani dan akal sehat tidak mampu
melahirkan universalitas etik. Dari sinilah barangkali lantas Maxiavelly
menawarkan adanya “relativitas ethik”, sebagai konsekuensi lebih lanjut
dari humanisme antroposentris itu.
Pemikiran yang mengatakan bahwa filsafat merupakan proses
kerja akal sebagai mother of science dapat dipahami sebagai dampak
dari humanisme antroposentris itu. Dan karena manusia sendiri sadar
bahwa hati nurani dan akal manusia tidak mampu melepaskan diri
dari “relativitas etik” yang sifatnya subjektif, maka ilmu secara metafisik
dinyatakan sebagai bebas nilai. Yaitu bebas dari nilai-nilai subjektif
atau nilai-nilai moral dan sebaliknya tetap berpegang pada objektivitas
kebenaran ilmiah. Kebenaran menurut siapa? Kebenaran menurut
kesesuaiannya dengan alam (naturalisme), kegunaan (pragmatisme),
menurut kesesuaian antara pernyataan dan kenyataan (korespondensi),
menurut nilai-nilai yang ada yang dianggap baik (perennialisme) dan
kecenderungan gerak dan perbuatan (progresifisme).
Penulis mengakui bahwa filsafat humanisme antroposentris dan konsep
ilmu yang bebas nilai (value free) mampu membuat ilmu pengetahuan
berkembang pesat meluas serta mendalam dan telah meninggalkan
induknya, filsafat. Akibatnya suatu cabang ilmu telah memiliki berbagai
cabang (terspesialisasi) sedemikian rupa yang mengakibatkan masing-
masing disiplin terpisah satu dengan lainnya, walaupun masih dalam
rumpun ilmu yang sama. Terjadi pengkaplingan ilmu pengetahuan dan
masing-masing “kapling” bertahan dalam keangkuhan masing-masing,
dimana masing-masing ilmu menjadi sangat teknis. Ilmu-ilmu eksakta
merasa lebih penting dan lebih tinggi nilainya dibanding dengan ilmu-
ilmu sosial dan atau humaniora. Bahkan keangkuhan itu terjadi dalam
disiplin ilmu serumpun misalnya kedokteran gigi menganggap lebih
penting dari THT, walaupun sebenarnya ahli gigi juga mengetahui
fungsi tenggorokan. Dalam rumpun ilmu sosial, keangkuhan juga
terjadi misalnya yang paling penting dalam suatu negara adalah
ilmuwan ekonomi karena pembangunan seringkali dikonotasikan
dengan pembangunan ekonomi, sementara ilmuwan politik, hukum dan
134
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam
136
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam
137
Pendidikan Islam
138
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam
139
Pendidikan Islam
Nilai-Nilai Islam
Pancasila
Nilai/Budaya Nilai-Nilai Barat
Nasional
140
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam
1. Pentingnya Akhlak
Aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”, kurang
lebihnya demikian arti bunyi salah satu Hadits nabi Muhammad yang
sangat populer. Hadits ini pula yang menggambarkan misi Muhammad
diutus sebagai nabi dan rasul ke muka bumi ini, sehingga lazim jika pada
akhirnya semua dimensi dalam kenabian dan kerasulan Muhammad
bermuara pada penyempurnaan perilaku dan perbuatan konstruktif
umat antar sesamanya, alam, dan juga antara diri dengan Tuhannya. Di
mana, akhlak umat menjadi tolok ukur manifestasi keimanan mereka
pada kerangka keberagamaannya yang memiliki korelasi kuat dengan
derajat kemanusiaan dirinya sebagai khalifah dan abdullah.
Cara Rasulullah menyempurnakan akhlak itu dilakukan dengan
perbuatan nyata (uswah hasanah), ajakan dan ketetapan-ketetapan
Dengan demikian terbentuknya pribadi yang berakhlak, masyarakat
yang berakhlak, kekuasaan yang berakhlak merupakan salah satu tugas
utama Islam dan umatnya. Dalam konteks pendidikan, Salah satu tujuan
utamanya adalah pembentukan akhlak atau budi pekerti yang sanggup
menghasilkan orang-orang yang bermoral; yaitu jiwa yang bersih, rendah
hati, percaya diri, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam
tingkah laku dan perangai, bijaksana, berkemauan keras dalam belajar
dan sukses, bercita-cita mulia, tahu arti kewajiban dan pelaksanaannya,
menghormati hak-hak manusia, tahu membedakan yang baik dan yang
buruk, memilih perbuatan yang paling utama, senantiasa waspada
terhadap perbuatan tercela termasuk dalam memilih teman bergaul
dan senantiasa mawas diri atas posisinya sebagai kaum terpelajar dan
generasi masa depan. Dalam lingkungan sekolah atau kampus, orang
terpelajar tentunya ikut bertanggung jawab menjaga kebersihan dan
ketertiban kampus, berpakaian rapi dan sopan, menciptakan suasana
yang kondusif untuk belajar. Duduk-duduk yang bukan pada tempatnya
dan mengganggu orang lewat dan membiarkan pikiran kosong adalah
sebagian dari perbuatan tercela yang tentunya harus dihindarkan.
141
Pendidikan Islam
142
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam
143
Pendidikan Islam
144
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam
145
Pendidikan Islam
146
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam
Edison adalah orang yang mulia karena karyanya berupa energi listrik
telah bermanfaat bagi kemanusiaan. Umar Bin Khatab adalah orang
yang berakhlak karena telah menciptakan pemerintahan dan sistem
pertahanan negara yang teratur dan modern. Albert Einstein, Alfred
Noble, Mohammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah (pendiri Pakistan)
Ir. Soekarno (Proklamator RI) dan mereka yang telah berkarya untuk
kemanusiaan adalah orang-orang yang berakhlak dalam pandangan
Islam, semoga Tuhan merahmati mereka.
147
Pendidikan Islam
148
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam
149
Pendidikan Islam
150
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam
151
Pendidikan Islam
152
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam
yang lain, ia juga bisa dimunculkan sebagai sarana atau metode untuk
melakukan transfer nilai-nilai Islam (transfer of Islamic values); transfer
pengetahuan keIslaman (transfer of Islamic knowledge), terutama bidang
studi agama Islam yang meliputi tauhid, fiq’h (yurisprudensi Islam),
sejarah kebudayaan atau akhlaq Islam; dan juga transfer keterampilan
(transfer of skills) yang meliputi keterampilan-keterampilan dalam
bidang ilmu pengetahuan eksakta, humaniora, dan sosial. Di dalam
pesantren, kerangka ini telah mulai dibuka ruang pengadopsian pelajaran
keterampilan sebagai salah satu pelajaran yang secara masif ada dalam
kurikulum. Di mana ia muncul dalam bentuk praktek-praktek lapangan
yang dikombinasikan dengan teori-teorinya (Umar, 2014: 39).
Akan tetapi, fakta naif yang berbanding terbalik masih bergulir di
lembaga pendidikan Islam lain seperti pendidikan tinggi Islam (STAIN,
IAIN, atau bahkan UIN). Secara riil, bentuk transfer nilai dan pengetahuan
sudah cukup mapan di lembaga tersebut, tetapi bentuk transfer keterampilan
yang berkaitan langsung dengan lapangan pekerjaan mereka masih tidak
tertata secara sistematis dan ia bahkan bisa dikatakan masih dalam proses
pencarian struktur relevansi. Kondisi inilah yang kemudian menurunkan
harga tawar lembaga pendidikan Islam tersebut untuk bersaing dengan
lembaga pendidikan lainnya, sebab di mata masyarakat output lembaga
pendidikan Islam dianggap masih kurang memiliki relevansi yang kuat
dengan kebutuhan yang ada. Riskannya pula, output pendidikannya sangat
membuka rentang aksiologis yang lebar dengan arus perkembangan ilmu-
ilmu pengetahuan eksakta yang lahir dari kerangka kerja positivistik.
Problematika tersebut yang perlu disikapi dengan logis, sistemik, dan
komprehensif untuk menemukan anatomi kerangka kerja kependidikan
Islam yang solutif. Dalam pandangan penulis, salah satu fakta solutif
adalah dengan melakukan kajian kembali terhadap kurikulum pendidikan
Islam untuk lebih tampil elegan sesuai dengan tren perkembangan ilmu
pengetahuan dan tehnologi serta juga arus pertumbuhan fenomena
kemanusiaan. Namun, fakta tauhid dan nilai akhlaq merupakan tali
normatif pendidikan Islam yang bersifat integratif dan mengikat konstruksi
kurikulum, sehingga ia benar-benar memiliki kekokohan paradigmatik
ketika mengurai seluruh material kependidikan Islam yang semata-mata
untuk pemberdayaan peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi
153
Pendidikan Islam
154
BAB
BAB1
6
GURU DALAM PENDIDIKAN ISLAM
155
Pendidikan Islam
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini,
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dari itu jelas bahwa guru memiliki peran penting dalam pendidikan
terutama dalam pembelajaran, di mana ia sangat menentukan berhasil
tidaknya suatu proses pembelajaran mencapai tujuan pendidikan secara
mikro, messo, ataupun makro. Di tangan guru pula pendidikan mampu
untuk mengkonstruks subjek pendidikan sesuai dengan falsafah yang
melatarinya, sebab ia yang secara operandi mempunyai kewenangan
yang luas untuk mentransfer berbagai hal kepada peserta didik sebagai
subjek dan objek pembelajaran. Bahkan secara revolutif maupun evolutif,
guru merupakan peletak dasar dari perubahan sistem pembelajaran
dalam pendidikan, sehingga ada kalangan yang mengeluarkan statemen
bahwa “educational change depends on what teachers do and think…”. Di
mana statemen ini mengisyaratkan bahwa perubahan dan pembaharuan
sistem pendidikan sangat bergantung pada “what teachers do and think“,
atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan kompetensi guru
(Suyanto & Hisyam, 2000: 10).
156
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam
bagian tugas terpenting dari guru yaitu mengajar dan sekaligus mendidik
peserta didiknya. Walaupun antara guru dan ustadz pengertiannya sama,
namun dalam praktek khususnya di lingkungan sekolah-sekolah Islam,
istilah guru dipakai secara umum, sedangkan istilah ustadz dipakai untuk
sebutan guru khusus yaitu yang memiliki pengetahuan dan pengamalan
agama yang “mendalam”. Dalam wacana yang lebih luas, istilah guru
bukan hanya terbatas pada lembaga persekolahan atau lembaga keguruan
semata. Istilah guru sering dikaitkan dengan istilah bangsa sehingga
menjadi guru bangsa. Istilah guru bangsa muncul ketika sebuah bangsa
mengalami kegoncangan struktural dan kultural sehingga hampir-
hampir terjerumus dalam kehancuran. Guru Bangsa adalah orang yang
dengan keluasan pengetahuan, keteguhan komitmen dan kebesaran
jiwa dan pengaruh serta keteladanannya dapat mencerahkan bangsa
dari kegelapan. Guru bangsa dapat lahir dari ulama atau agamawan,
intelektual, pengusaha, pejuang, birokrat dan lain-lain. Pendek kata,
dalam istilah guru mengandung nilai, kedudukan dan peranan mulia.
Karena itu di dunia ini banyak orang yang bekerja sebagai guru, akan
tetapi mungkin hanya sedikit yang bisa menjadi guru yaitu yang bisa
digugu dan ditiru.
Berbicara tentang sosok guru yang ideal dalam Islam, segera
muncul dalam benak umat Islam sosok manusia dan pendidik teladan,
Muhammad SAW. Ia adalah teladan bagi semua orang, baik untuk si
kaya maupun si miskin, berkedudukan maupun orang biasa, tua maupun
muda, dan laki-laki maupun perempuan. Keagungan pribadi Muhammad
diabadikan dalam Al-Qur’an berupa pujian Allah: “Sungguh pada dirimu
(Muhammad) terdapat akhlak yang agung” (QS. al-Qalam: 4). Dalam ayat
lain Allah berfirman dalam bentuk kalimat berita tetapi berisi perintah
untuk meneladani Rasulullah SAW. “Sungguh terdapat teladan yang baik
dalam diri Rasulullah bagimu, bagi orang yang berharap berjumpa Allah
dan hari akhir” (QS. al-Ahzab: 21).
Salah satu hal yang patut kita teladani dari Rasulullah Muhammad
SAW adalah kepeduliannya dalam persoalan pendidikan. Dalam
sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah Rasulullah bersabda:
“Bahwasanya Aku diutus oleh Allah sebagai pendidik” (HR. Ibnu
Majah). Dalam Hadits riwayat Muslim Rasulullah bersabda: “Allah
157
Pendidikan Islam
158
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam
159
Pendidikan Islam
160
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam
mengejek dan mengecam umatnya yang bodoh tidak mau belajar. Allah
berjanji akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu
pengetahuan lebih tinggi dibanding umat atau bangsa lainnya. “Allah
mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan
beberapa derajat”.
Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana umat Islam menjadi
umat yang terpelajar, umat yang berilmu pengetahuan dan pada akhirnya
adalah menjadi umat yang dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat?
Rasulullah SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh al-Darimy:
“Manusia itu orang yang berilmu dan orang yang belajar, dan tak ada yang
lebih baik lagi setelah itu”. Hadits ini dengan sangat tegas memberikan
pesan bahwa hanya dengan ilmu dan kemauan belajarlah manusia itu
dapat beraktualisasi dan menunjukkan eksistensi kemanusiaannya.
Manusia yang tidak berilmu dan tidak mau belajar atau telah berhenti
belajar adalah “bukan manusia” atau diibaratkan telah mati atau mayat
hidup. Dalam sabdanya yang lain Rasulullah bersabda: “Ketahuilah,
sesungguhnya dunia itu terlaknat, terlaknat apa yang ada di dalamnya
kecuali dzikrullah dan apa yang mengikutinya, orang yang berilmu dan
orang yang belajar” (H.R. Tirmidzi).
Dua Hadits tersebut menegaskan pentingnya sebuah pendidikan
bagi kehidupan manusia. Inti dari pendidikan adalah interaksi antara
guru dan peserta didik. Islam adalah agama yang sangat menghargai
dan memuliakan guru dalam kedudukan yang sangat tinggi: Rasulullah
bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Tirmidzi: “Seorang alim yang
mengamalkan dan mengajarkan ilmunya dianggap sebagai orang besar
di kerajaan langit”. Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:” Keutamaan
orang yang berilmu atas seorang ahli ibadah adalah seperti keutamaan
bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan
dinar dan dirham, tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa
mengambilnya, berarti dia telah mengambil bagian yang berlimpah” (HR.
Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dua hadits tersebut cukuplah sebagai dasar keharusan untuk bersikap
dalam memuliakan guru dan mengutamakan pendidikan. Sejarah telah
mencatat dengan tinta emas bahwa orang-orang yang berhasil membangun
peradaban besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi harkat dan
161
Pendidikan Islam
162
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam
163
Pendidikan Islam
B. PROFESIONALISME GURU
Hampir di semua bangsa yang beradab, guru diakui sebagai suatu
profesi khusus. Dikatakan demikian karena profesi keguruan bukan
saja memerlukan keahlian tertentu sebagaimana profesi lain, tetapi juga
mengemban misi yang paling berharga yaitu pendidikan dan peradaban.
Di mana suatu profesi umumnya berkembang dari pekerjaan (vocational),
yang kemudian berkembang makin matang serta ditunjang oleh tiga hal,
antara lain oleh keahlian, komitmen, dan keterampilan. Di mana aspek-
aspek tersebut pada akhirnya membentuk sebuah segitiga sama sisi
yang di tengahnya terletak profesionalisme sebagai implikasi dari titik
singgung tiga dimensi tersebut terutama dalam menjalankan pendidikan
yang profesional dan membangun peradaban yang kuat. Atas dasar itu
dalam kebudayaan bangsa yang beradab guru senantiasa diagungkan,
disanjung, dikagumi, dihormati karena perannya yang penting bagi
eksistensi bangsa di masa depan.
Profesi sendiri bisa didefinisikan sebagai a profession delivers esoteric
service based on esoteric knowledge systematically formulated and applied
to need of a client (Akhdinirwanto & Sayogyani, 2009: 13). Sedangkan
Pidarta (1997: 79) mengartikan bahwa profesi ialah suatu jabatan atau
pekerjaan biasa seperti halnya dengan pekerjaan-pekerjaan lain; dan
Sagala (2008: 195) mendefinisikan profesi sebagai sikap yang bijaksana
(informend responsiveness) yaitu pelayanan dan pengabdian yang
dilandasi oleh keahlian, kemampuan, teknik dan prosedur yang mantap
164
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam
165
Pendidikan Islam
166
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam
167
Pendidikan Islam
168
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam
169
Pendidikan Islam
170
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam
171
Pendidikan Islam
D. PEMBERDAYAAN GURU
Dalam proses pembelajaran di lembaga pendidikan, terutama di tingkat
madrasah/sekolah dasar, guru merupakan sumber daya edukatif dan
sekaligus aktor proses pembelajaran yang utama. Karena itu upaya
pemberdayaan guru adalah niscaya berdasarkan hal-hal berikut:
pertama, peran guru sebagai sumber edukatif yang utama tak akan
pernah tergantikan walaupun perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi terutama teknologi pembelajaran mengalami perkembangan
sangat pesat. Perubahan cepat dalam teknologi informasi dan teknologi
pembelajaran bukan menjadi penghalang bagi guru sebagai sumber
dan aktor pendidikan yang utama, melainkan menjadi tantangan
yang menuntut kompetensi profesional guru yang lebih tinggi; kedua,
era otonomi daerah dan penyelenggaraan pendidikan yang berbasis
masyarakat (community based education) menuntut pertanggung
jawaban proses penyelenggaraan pendidikan dan proses pembelajaran
di madrasah/sekolah secara transparansi. Karena itu guru yang memiliki
kompetensi profesional yang rendah tidak akan bisa mempertanggung
jawabkan hasil pembelajaran.
Dan ketiga, perubahan sosial diikuti dengan perubahan tuntutan
masyarakat terhadap kompetensi lulusan pendidikan. UNESCO misalnya
memprediksi bahwa pendidikan di abad 21 akan berbeda dengan
abad sebelumnya. UNESCO merekomendasikan The Four Pillars of
Education, yaitu lerning to know, learning to do, learning to live together,
dan learning to be. Penerapan learning to know menuntut penerapan
172
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam
173
Pendidikan Islam
174
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam
175
Pendidikan Islam
2. Langkah-langkah Pemberdayaan
Secara praktis, langkah-langkah pemberdayaan guru dapat dilaksanakan
berdasarkan pada hasil analisis atas berbagai persoalan yang menjadi
sumber atau menyebabkan ketidakberdayaan. Sumber itu bisa dari guru
yang bersangkutan (faktor internal) maupun dari sistem organisasi
sekolah (faktor internal). Sedangkan secara teoritis, langkah-langkah
pemberdayaan guru dapat dikemukakan di sini berdasarkan pada
persoalan yang dihadapi guru pada umumnya.
Kelompok kerja guru dan tenaga kependidikan mengemukakan
langkah-langkah pemberdayaan guru berdasarkan hasil analisis atas
kondisi guru di Indonesia: Peningkatan kesejahteraan guru, pengembangan
176
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam
177
Pendidikan Islam
178
BAB
BAB1
7
INTERAKSI EDUKATIF PEMBELAJARAN:
Membangun Pembelajaran dengan Paradigma
Humanisme
179
Pendidikan Islam
1. Paradigma Behaviorisme
Paradigma behaviorisme berpendapat bahwa: Pertama, perilaku peserta
didik itu terbentuk oleh pengaruh orang dewasa terutama orang tua dan
guru. Dalam psikologi pendidikan berpendapat ini mirip dengan aliran
empirisme John Lock yang berpendapat bahwa anak yang baru lahir itu
bagaikan kertas putih dimana perkembangannya sangat ditentukan oleh
faktor lingkungan; Kedua, tindakan peserta didik mengikuti hukum
stimulus-respon, sehingga bersifat reaktif. Peran guru yang baik dalam
pendidikan harus pandai-pandai menciptakan stimulus, sehingga akan
180
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:
dapat melahirkan respon positif dan aktif dari peserta didik; Ketiga,
hadiah (reward) dan hukuman (punishment) memegang peranan
penting. Asumsinya adalah anak melakukan tindakan positif (memenuhi
permintaan guru atau aturan) karena mengharapkan atau karena
respon adanya hadiah, sebaliknya maka menghindari perbuatan negatif
karena takut atau sebagai bentuk respon untuk menghindari hukuman.
Guru yang baik adalah yang banyak memberikan hadiah baik berupa
materi atau non materi seperti pujian, sanjungan; dan Keempat, tujuan
pendidikan menurut behaviorisme lebih menekankan “to have” daripada
“to be”, yakni, yang terpenting guru sudah memberikan stimulus berupa
pengetahuan, motivasi, wawasan, keterampilan.
2. Paradigma Rasionalisme
Paradigma ini memiliki pandangan, bahwa: pertama, perilaku manusia itu
dipertimbangkan oleh kognisi. Pendidikan haruslah dapat memperkokoh
intelektualitas dan mengembangkan pengetahuan sebanyak-banyaknya;
Kedua, rasionalitas memegang peranan penting, rasio adalah panglima
yang akan menentukan keberhasilan peserta didik kelak; dan Ketiga,
Tujuan pendidikan yang utama adalah mengembangkan intelektual atau
aspek kognitif peserta didik.
3. Paradigma Humanisme
Paradigma humanisme berpendapat: Pertama, perilaku manusia itu
dipertimbangkan oleh multiple intelligencenya. Bukan hanya kecerdasan
intelektual (IQ) semata, tetapi juga kecerdasan emosional (EQ) dan
spiritual (SQ). Dua kecerdasan terakhir tidak kalah pentingnya dalam
menentukan keberhasilan hidup peserta didik. Bahkan menurut Goleman
(2003), justru kecerdasan emosionallah yang paling menentukan
keberhasilan peserta didik kelak. Sedangkan Danah Zohar (2000), justru
kecerdasan yang terakhir (kecerdasan spiritual) yang paling menentukan
keberhasilan peserta didik. Melalui kecerdasan spirituallah kecerdasan
yang lain dapat terkondisi dan berkembang secara maksimal; Kedua,
peserta didik adalah makhluk yang berkarakter dan berkepribadian serta
aktif dan dinamis dalam perkembangannya, bukan “benda” yang pasif dan
181
Pendidikan Islam
182
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:
183
Pendidikan Islam
185
Pendidikan Islam
186
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:
187
Pendidikan Islam
kepribadian manusia.
Skema berikut merupakan alur dari dua kecenderung manusia
dalam menggunakan radar hati mereka. Di mana pada pola materialisme
memiliki pengaruh yang negatif terhadap potensi kemanusiaan manusia
sebagai makhluk yang berketuhanan. Untuk lebih jelasnya lihat skema
berikut:
Radar hati
Orientasi Orientasi
Materialisme Spiritualisme
Tauhid
DIMENSI
SPIRITUAL
-ESQ-
Suara hati Suara hati
spiritual tertutup spiritual bekerja
DIMENSI FISIK
Logika tidak Logika bekerja
bekerja normal -IQ- normal
Meta
kecerdasan
188
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:
itu merupakan sunnatullah dan karenanya tidak ada yang salah dan perlu
dicemaskan. Yang diperlukan adalah cara mensikapi agar perkembangan
ilmu itu tetap membawa rahmat bagi umat manusia. Caranya tidak dengan
melakukan semacam Islamisasi ilmu sebagaimana konsep al-Faruqi, atau
membongkar paradigma kefilsafatannya (ontologis, epestipologis dan
aksiologis) tetapi melakukan spiritualisasi human beingnya (manusia)
terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Spiritualisasi itu meliputi cara
pandang subjek tentang hakekat sumber ilmu dan kegunaan ilmu. Pada
hakekatnya, semua ilmu bersumber dari ilmu Allah dan dengan rahmat
Allah manusia menemukan dan mengembangkannya. Kegunaan ilmu
adalah untuk kesejahteraan umat manusia.
Segala sesuatu harus dimulai dari syahadah dan diakhiri dengan
mengharap ridlo Allah, termasuk dalam pengembangan keilmuan.
Sumber ilmu adalah Allah karena dia adalah Dzat Yang Maha
Mengetahui. Allah menciptakan dan mengajarkan ilmu pengetahuan
lewat ayat-ayat (sign)-Nya berupa alam semesta termasuk di dalamnya
manusia sebagai ayat kauniyah (ayat tercipta) dan wahyu (Al-Qur’an dan
al-Hadits) sebagai ayat Qauliyah (ayat yang terucap). Dengan demikian
Islam sama sekali tidak mengenal dikhotomi apalagi pertentangan antara
pengetahuan umum dan pengetahuan agama karena berasal dari sumber
yang sama yaitu Allah Yang Maha Esa, mengemban misi yaitu rahmatan
lil ‘alamin dan bermuara pada tujuan yang sama yaitu ridla Allah.
Lalu bagaimana hubungan antara kedua ayat Tuhan itu, yaitu ayat-ayat
kauniyah dan ayat-ayat qauliyah? Al-Qur’an bukan kitab suci yang hanya
berbicara tentang persoalan-persoalan ritual saja atau persoalan keagamaan
semata. Al-Qur’an adalah kitab tentang kehidupan yang berbicara tentang
Tuhan, manusia, alam raya, penciptaan dan keselamatan. Kesalahan
yang paling fatal dan yang mengakibatkan munculnya dikotomi antara
ilmu umum dan ilmu agama, karena kesalahan dalam memahami Islam
itu sendiri. Islam difahami seakan-akan terbatas pada masalah-masalah
seperti: aqidah, syari’ah dan akhlak atau tauhid, fiqih, tasawuf, sehingga
ayat-ayat Al-Qur’an tentang penciptaan, ketuhanan, kemanusiaan, alam
raya dan keselamatan (kelangsungan) kehidupan dunia menjadi tidak
populer. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an tentang persoalan riil kehidupan
dalam berbagai aspeknya menjadi tidak berkembang penafsirannya,
pemaknaannya dan pengamalannya.
189
Pendidikan Islam
Allah Yang Maha Esa adalah asal atau sumber dari segala apapun
dalam kehidupan ini termasuk sumber ilmu pengetahuan. Perbedaan-
perbedaan dalam kehidupan ini seperti siang malam, jasmani-ruhani dan
laki-laki-perempuan dan bukan merupakan versus atau lawan, melainkan
sebagai pasangan. Demikian pula antara agama dan ilmu pengetahuan
adalah pasangan. Sebagai pasangan, memang antara agama dan ilmu
pengetahuan memiliki perbedaan terutama secara epistemologis. Tetapi
justru dengan perbedaan itulah yang akan melahirkan kekuatan bagi
siapa yang menyandang keduanya. Beragama yang sekaligus berilmu
pengetahuan akan membentuk orang menjadi shaleh atau hikmah yaitu
yang digambarkan dalam tujuan pendidikan sebagai orang yang memiliki
kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu dan kematangan
professional.
190
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:
1. Keteladanan
Setiap tenaga didik (guru dan karyawan) di lembaga pendidikan
harus memiliki tiga hal yaitu competency, personality dan religiosity.
Competency menyangkut kemampuan dalam menjalankan tugas secara
profesional yang meliputi kompetensi materi (substansi), metodologi
dan kompetensi sosial. Personality menyangkut integritas, komitmen
dan dedikasi, sedangkan religiosity menyangkut pengetahuan, kecakapan
dan pengamalan di bidang keagamaan. Dengan ketiga hal tersebut, guru
akan mampu menjadi model dan mampu mengembangkan keteladanan
di hadapan peserta didiknya. Semua guru adalah guru agama. Artinya
tugas untuk menanamkan nilai-nilai etis religius bukan hanya tugas guru
bidang studi keagamaan saja, melainkan tugas semua orang di lembaga
pendidikan, termasuk kepala sekolah dan karyawan memiliki fungsi
sebagai guru agama. Semua orang yang ada di sekolah seperti satpam
dan pengelola kantin harus dapat memberi contoh kepada peserta didik.
Semua diminta berpuasa pada bulan Ramadhan dan menjalankan shalat
fardu ain. Guru dianjurkan untuk tidak merokok, dan bagi yang belum
bisa meninggalkannya, seharusnya sekolah menyediakan tempat khusus
yang aman dan tidak terlihat oleh peserta didik. Sekolah seharusnya punya
pedoman pemberian poin penghargaan prestasi guru dan karyawan yang
secara cermat mampu digunakan untuk pedoman pembinaan dan arah
pengembangan.
Semua orang dalam komunitas sekolah harus mampu menjadi
teladan bagi peserta didik. Bahkan peserta didik yang senior juga harus
mampu menjadi teladan bagi adik-adiknya. Berbagai prestasi (akademik
dan non akademik) peserta didik kelas tiga dan dua merupakan
keteladanan yang nyata dan memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi
adik-adik kelasnya.
Keteladanan yang dikembangkan di sekolah adalah keteladanan
secara total, tidak hanya dalam hal yang bersifat normatif saja seperti
ketekunan dalam beribadah, kerapian, kedisiplinan, kesopanan,
kepedulian, kasih sayang, tetapi juga hal-hal yang melekat pada tugas
pokok atau tugas utamanya.
191
Pendidikan Islam
192
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:
193
Pendidikan Islam
194
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:
model, bahan maupun warna. Hal ini sangat penting untuk membangun
citra (image building), membangun kepercayaan (trust building) dan
kebanggaan terhadap lembaga (institution building. Dalam hal pakaian,
perlu dipertimbangkan dengan baik agar para guru dan peserta didik
tidak merasa canggung, ragu atau merasa dipaksa mengenakan busana.
Mereka harus bersyukur dan bangga, percaya diri dan bisa menikmati.
Hal ini penting karena orang yang merasa tertekan, rendah diri dan
merasa ada yang asing dalam dirinya tidak akan mampu mengembangkan
kecerdasannya secara maksimal.
Dalam hubungan sosial, religiositas tercermin dalam ukhuwah
(persaudaraan) bagi seluruh komunitas sekolah. Implementasi ukhuwah
pada komunitas sekolah tercermin pada suasana familiar antara satu
dengan lainnya, rasa kebersamaan, rasa senasib dan seperjuangan,
kekompakan dan kepedulian. Apabila ada warga sekolah baik guru,
karyawan maupun peserta didik yang mendapat musibah, kesulitan
dan hajat yang penting, mereka membantu. Ukhuwah merupakan
kunci keberhasilan sekolah. Ukhuwah dikembangkan bukan hanya
pada hubungan individual, tetapi yang lebih penting adalah antar
komponen sekolah. Misalnya ukhuwah antar guru mata pelajaran yang
sama, ukhuwah antar wali kelas, ukhuwah antar pimpinan dan akhirnya
akhuwah oleh dan untuk semua. Sehingga ukhuwah yang dikembangkan
di sekolah ini adalah ukhuwah yang bertujuan, ukhuwah yang fungsional
dan ukhuwah yang produktif ”.
Religiositas bukan hanya aspek fisik dan hubungan sosial yang
tampak tetapi juga yang terpenting adalah yang tidak tampak, yang
batin, yang latent yang ada dalam hati sanubari masing-masing individu.
Mereka adalah satu hati, satu jiwa dan satu napas yaitu hati, jiwa dan
napas pendidikan. Mereka saling mendoakan, saling mengingatkan,
saling terbuka dan saling membantu demi keberhasilan dalam mengajar.
Dalam kehidupan peserta didik, ukhuwah sangat membantu
kesuksesan belajarnya. Para guru berusaha meciptakan kekompakan
kelas, membiasakan belajar kelompok, membentuk focus group discussion
(FGD) untuk mata pelajaran atau untuk pengembangan wawasan,
ukhuwah dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), intern dan antar
unit dalam bidang minat dan bakat. Belajar kelompok sangat membantu
195
Pendidikan Islam
tampilnya peserta didik dalam berbagai event lomba baik di tingkat lokal,
regional, nasional maupun internasional.
Ukhuwah juga dapat diciptakan antara lain melalui kompleks
masjid. Masjid adalah media yang efektif untuk berkomunikasi dialogis
antar sesama komunitas sekolah. Di Masjid inilah komitmen masing-
masing dibangun dan diperbaharui melalui aktivitas pengajian, halaqah,
diskusi informal dan saling tegur sapa. Kepala sekolah harus terjun
langsung memberikan kuliah tujuh menit (kultum) dan kuliah subuh
kepada komunitas sekolahnya.
196
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:
Allah
Fokus Pendekatan Tujuan Output Out come
Fasih,
Tilawah,
cerdas Sikap ilmiah
Akal ta’lim:
Kreatif Ulun Nuha
(IQ) (kognitif)
Waladun Shalih
Etis Ulul Abshar
Fitrah Insaniyah
197
Pendidikan Islam
198
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:
199
Pendidikan Islam
dan tazkiyah. Ulul arham adalah orang yang memiliki kemampuan jiwa
untuk mengasihi dan menyayangi sesama sebagai manifestasi perasaan
yang mendalam akan kasih sayang Tuhan terhadap semua hamba-Nya.
Tazkiyah adalah tindakan yang senantiasa mensucikan jiwanya dari debu-
debu maksiat dosa dan tindakan sia-sia (kedlaliman).
Implementasi metode tazkiyah antara lain dalam bentuk muhasabah,
yaitu mengajak para peserta didik untuk melakukan introspeksi dan
menyusun “akuntansi” pahala dan dosa yang telah dilakukan disertai
dengan perenungan, zikir, istighosah, khotmul Qur’an dan lain sebagainya.
Penerapan metode tazkiyah ini dilakukan antara lain dengan membentuk
jamaah zikir. Jamaah ini dapat melakukan kegiatannya setiap dua minggu
sekli dengan melibatkan ibu-ibu wali murid.
Metode tadlrib (latihan) digunakan untuk mengembangkan
keterampilan fisik, psikomotorik dan kesehatan fisik. Sasaran (goal) dari
tadlrib adalah terbentuknya fisik yang kuat, cekatan dan terampil. Output-
nya adalah terbentuknya anaknya yang mampu bekerja keras, pejuang yang
ulet, tangguh dan seorang mujahid. Mujahid adalah orang yang mampu
memobilisasi sumber dayanya untuk mencapai tujuan tertentu dengan
kekuatan, kecepatan dan hasil maksimal.
Sebenarnya metode pembelajaran yang digunakan di sekolah lebih
banyak dan lebih bervariasi yang tidak mungkin semua dikemukakan di
sini secara detail. Akan tetapi pesan yang hendak dikemukakan di sini
adalah bahwa pemakaian metode pembelajaran tersebut adalah suatu
bentuk “mission screed” yaitu sebagai penyalur hikmah, penebar rahmat
Tuhan kepada peserta didik agar menjadi anak yang shaleh. Semua
pendekatan dan metode pendidikan dan pengajaran (pembelajaran)
haruslah mengacu pada tujuan akhir pendidikan yaitu terbentuknya
anak yang shaleh. Metode pembelajaran dikatakan mengemban misi
suci karena metode sama pentingnya dengan substansi dan tujuan
pembelajaran itu sendiri. Dalam kaidah fiq’h dikatakan: al-amru bi al-
syai-i amru bi wasailihi (perintah terhadap sesuatu berarti memerintahkan
bagaimana cara mencapai sesuatu itu).
200
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:
201
Pendidikan Islam
202
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:
203
Pendidikan Islam
204
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:
205
Pendidikan Islam
besar masih pada tahap konsolidasi, dan inipun berjalan sangat lambat.
Hanya sebagian kecil yang telah melampaui pembangunan akademik
dan bersiap-siap menuju fase pengakuan masyarakat: Kondisi fisiknya
cukup megah dan bersinar, fasilitasnya, termasuk laboratorium dan
perpustakaan cukup lengkap, suasana belajarnya nyaman, dosen-dosen
tetapnya telah dan sedang menempuh pendidikan pasca dan purna
sarjana di dalam dan di luar negeri, mahasiswanya sebagian besar
dari strata menengah ke atas, statusnya sebagian besar terakreditasi A
(unggul), kepemimpinan dan manajerialnya mantap, telah membangun
jaringan dan kerjasama kongkrit dengan instansi-instansi terkait di dalam
dan di luar negeri, dan di antaranya telah membuka program pasca dan
purna sarjana.
Dilihat dari segi sejarah, umat Islam sebenarnya pernah memimpin
dalam pendirian perguruan tinggi. Pada tahun 1936 dalam muktamar
Muhammadiyah di Jakarta dicapai suatu komunikasi untuk mendirikan
Universitas Muhammadiyah. Walaupun belum dapat terwujud karena
berbagai persoalan baik internal maupun eksternal, termasuk terjadinya
perang dunia II, tetapi komunike tersebut mempunyai dampak positif
bagi upaya mendirikan perguruan tinggi Islam. Dalam perkembangan
selanjutnya berdirilah Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas
Islam Sumatera Utara (UISU), yang dapat dikategorikan sebagai
perguruan tinggi perintis di Indonesia. Tetapi dalam perkembangan
selanjutnya, ketika perguruan tinggi di Indonesia berkembang pesat,
pertumbuhan perguruan tinggi Islam sebenarnya terus berlanjut tetapi
menunjukkan ketertinggalannya dengan dinamika tuntutan masyarakat
dan percaturan dunia perguruan tinggi pada umumnya. Ketertinggalan
itu sebenarnya juga dirasakan tetapi mengapa iqra’ dan daya gerak
antisipatif umat terhadap dinamika zaman ini begitu lemah? Mengapa
umat kita sering terkejut dan kelabakan dengan perubahan-perubahan
yang sebenarnya bisa diantisipasi sebelumnya.
206
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:
rentang waktu yang relatif singkat, antara lima sampai delapan tahun,
setelah melakukan gerakan-gerakan revolosioner mulai menunjukkan
ketegarannya. Karena itu atas pertimbangan tertentu misalnya identitas
keIslamannya, murah, mobilitas kelulusannya cepat, berada di kota yang
strategis dan karena kualitasnya memadai telah cukup diperhitungkan
oleh masyarakat. Dan bahkan dapat memperkokoh posisinya, tanpa
merasa rikuh, dalam jajaran perguruan tinggi-perguruan tinggi bersekala
nasional. Perguruan tinggi yang dapat disebutkan disini misalnya:
Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Muhammadiyah Surakarta
(UMS), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas
Muslimin Indonesia (UMI), Universitas Islam Bandung (UNISBA) dan
masih banyak lagi.
Berikut akan dikemukakan langkah-langkah menuju pembangunan
kualitas perguruan tinggi Islam. Apa yang dikemukakan disini hanya
sebuah alternatif hasil ijtihadi, sehingga tidak ada alasan untuk dijadikan
sebuah model baku, sebab pola-pola menuju pembaharuan sangat
beragam model dan strateginya disebabkan perbedaan “style” pengelola
dan kondisi objektif perguruan tinggi yang bersangkutan sangat
mempengaruhi model dan strategi pembangunan yang ditempuh. Karena
itu faktor kecerdasan dan daya asosiasi yang tinggi tetap merupakan
faktor utama dalam menemukan model dan gaya yang dianggap paling
pas.
Tahap-tahap pengembangan yang dikemukakan berikut merupakan
perwujudan dari Rencana Induk Pengembangan (RIP) baik jangka
panjang 20-25 Tahun yang akan datang, maupun jangka menengah 5
tahunan maupun rencana pengembangan tahunan yaitu setiap memasuki
tahun ajaran baru. Untuk menyusun RIP atau university plan yang dapat
dijadikan kerangka acuan dalam bertindak secara tepat diperlukan
tenaga profesional dalam mengantisipasi persoalan dan tantangan
serta trend perguruan tinggi masa depan. Kalau orang-orang dianggap
kurang memenuhi persyaratan, dapat mengambil badan konsultasi
pengembangan pendidikan baik milik pemerintah maupun swasta. Hal ini
sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah ketika pada awal tahun 70-
an melibatkan secara langsung Dr. C.E.Beeby, ahli pendidikan UNESCO
dari Selandia Baru, dalam proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP).
207
Pendidikan Islam
3. Tahap Kosolidasi
Tahap konsolidasi ini adalah menata dan membangun niat, yaitu menata
hati, pikiran dan mengkonsentrasikan seluruh potensi atau kekuatan dan
mengeliminir semua tantangan dan hambatan dalam rangka mencapai
tujuan. Karena itu niat tidak sama dengan angan-angan melainkan
sebuah manifestasi idialisme.
Konsolidasi ini meliputi bidang idiil, strukturil dan personil.
Bidang idiil, yaitu berupa pembangunan, wawasan dan cita-cita besar
dan berdimensi jauh kedepan, membangun kesepakatan terpadu
dan kebulatan tekat yang searah akan hakikat, persoalan dan tujuan
perguruan tinggi yang diembannya. Ini sangat menentukan terhadap
sistem maupun cara-cara pengelolaan dan pengembangan masa datang
yaitu, profesionalisme. Dengan demikian gaya manajemen dan budaya
“Ormas” tempat bernaung harus ditinggalkan. Kedudukan perguruan
tinggi sebagai lembaga ilmiah harus betul-betul ditempatkan pada posisi
yang sebenarnya. Selama ini tampaknya manajemen yang diterapkan
dalam mengelola perguruan tinggi Islam adalah manajemen bergaya
ormas, sehingga jalannya serba tidak rasional. Tidak adanya idialisme
dan cita-cita masa depan menyebabkan tidak adanya kegelisahan, serba
lamban dan merasa tidak ada tantangan, menganggap sepi dari percaturan
perkembangan dunia perguruan tinggi maupun perkembangan
pemikiran sosial, politik, ekonomi, budaya dan keagamaan. Padahal
sikap lamban itu kata Iqbal berarti mati.
Bidang Struktural yaitu berupa penataan organisasi. Struktur
dan sistem organisasi perguruan tinggi Islam biasanya mengikuti
struktur perguruan tinggi swasta pada umumnya, baik yang berafiliasi
ke Departemen Pendidikan Nasional maupun ke Depag, serta yang
berafiliasi kepada keduanya. Di samping itu perguruan tinggi Islam
juga mempunyai struktur yang khas sesuai dengan organisasi atau
yayasan penyelenggaraannya. Konsolidasi strukturil ini terutama
208
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:
209
Pendidikan Islam
ujian negara. Dua hal tersebut bagi PTS terutama yang sedang tumbuh
merupakan suatu tolak ukur terhadap kemampuan dan kelangsungan
hidupnya. Oleh karena itu faktor pendukung yang berupa keaktifan staf
pengajar, status dan persyaratan-persyaratan lainnya perlu diberikan skala
prioritas penanganannya. Di bidang keuangan perlu dilakukan berbagai
bentuk penghematan dan perencanaan anggaran. Kalau tahun lalu tidak
mempunyai saldo atau bahkan defisit misalnya, diupayakan tahun ini
mempunyai saldo, dan tahun depan ditargetkan menjalani peningkatan.
Karena itu di samping mencari pemasukan dari berbagai sumber,
juga dilakukan gerakan kencang ikat pinggang. Pembelanjaan hanya
dilakukan pada bidang-bidang yang dinilai strategis dan produktif untuk
masa datang, sedangkan untuk keperluan konsumtif seremonial seperti
refresing, berbagai bentuk selamatan atau tasyakuran dan peresmian
yang memakan biaya harus ditunda. Hindari sedapat mungkin adanya
konflik yang membawa kepada perpecahan. Komlok dapat diibaratkan
sebagai “kangker ganas” atau virus HIV karena menggerogoti daya tahan
lembaga di bidang keuangan, kredibilitas dosen, semangat belajar dan
akhirnya pada kualitas lulusan.
210
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:
211
Pendidikan Islam
212
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:
213
Pendidikan Islam
214
BAB
BAB1
8
SPIRITUALITAS DALAM PENDIDIKAN ISLAM
215
Pendidikan Islam
216
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
217
Pendidikan Islam
218
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
219
Pendidikan Islam
SDM
2) Manusia
Pendidik Kompetensi
Integrated
Curriculum
Sistem &
Strategi
3) Karunia Allah
untuk mendewasa-
kan umat, yaitu: fitrah, Etos, Iklim &
agama, masyarakat Kultur Islami
Integrated
dan alam semesta Management
TQ/SB
Management
Sarana
Prasarana
220
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
221
Pendidikan Islam
222
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
223
Pendidikan Islam
Quwwatul Aqidah
Aql
IQ
KEILMUAN SQ AQ
Godspo PENGABDIAN
t
EQ
KEPRIBADIAN
Qalb & Ruhani Jasmani &
Nafsu
Akhlakul Karimah
224
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
225
Pendidikan Islam
226
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
Akidah
PURE
SCIENCE
Fikih
Teologi
Tasawuf
Psikologi
Ekonomi
Antropologi
al-Qur’an
& al-Hadits Bahasa
Sejarah
Allah YME
sumber Manusia
ilmu Sibghoh/ sebagai Politik Rahmatan lil Ridlo
(Tauhid) Fitrah Khalifah Filsafat ’alamin Allah
Rabb
Hukum
Alam Matematika
Semesta
Pendidikan
Fisika
Kedokteran
Kimia
Pertanian
Biologi
Teknik
227
Pendidikan Islam
1. Memuliakan Guru
Guru memiliki kedudukan dan peran yang paling penting dalam proses
pendidikan. Lembaga pendidikan unggul adalah lembaga pendidikan
yang mengunggulkan, meninggikan derajat gurunya. Sebaliknya lembaga
pendidikan yang tidak unggul akan menempatkan guru sebagai layaknya
seorang pekerja. Abdul Jalil salah seorang kepala sekolah berprestasi di
Malang Jawa Timur mengatakan: “Kami berusaha menempatkan guru
pada kedudukan yang semestinya. Kita hormati, kita angkat derajat dan
kedudukannya, kita layani, kita perhatikan kesejahteraannya, kita beri
seragam yang bagus. Saya sendiri setiap hari memakai jas lengkap dengan
dasinya. Semua ini bukan apa-apa tetapi karena ingin menjunjung
lembaga ini, lembaga keguruan”.
Posisi strategis guru dalam kegiatan pendidikan disebabkan
karena yang terpenting dalam proses pendidikan itu adalah interaksi
antara guru dan murid. Komponen-komponen lain dalam sistem
pendidikan itu sifatnya hanya pendukung interaksi itu. Karena itu kalau
menginginkan sebuah pendidikan yang bermutu, maka meningkatkan
mutu guru adalah yang utama. Lembaga pendidikan diibaratkan tempat
para resi yang memiliki “kesaktian” dan keberadaannya didatangi orang
dari berbagai penjuru. Bangunan sekolah itu ibarat “sangkar” dan guru
ibarat ‘burung”nya. Sangkar menjadi tidak berarti kalau burungnya
tidak pandai “berkicau”. Tetapi burung yang berkualitas seperti burung
“Perkutut Kung” biasanya sangkarnya juga bagus. Lembaga pendidikan
yang hebat adalah yang gurunya hebat. Dalam pandangan Islam, guru
harus kita pandang sebagai waratsatul anbiya’ (pewaris Nabi) atau duta
228
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
229
Pendidikan Islam
230
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
231
Pendidikan Islam
232
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
233
Pendidikan Islam
a. Pemahaman
Pembinaan keagamaan lebih menekankan pada pemahaman dan
penghayatan dari pada sekedar tahu. Sebagai contoh, peserta didik
bukan hanya tahu syarat dan rukun wudu yang benar sebagai
syarat sahnya shalat, melainkan memahami makna masing-masing
tindakan dalam wudu dan dapat menghayati dan menikmati serta
memaknai tindakannya itu (wudu) dalam hidupnya. Sehingga ketika
melakukan wudu bukan sekedar sebagai syarat syahnya shalat secara
fiqih tetapi dapat mengambil makna dan hikmahnya secara spiritual.
Keberagamaan yang hanya didasarkan pada pengetahuan dan
kesadaran syariah atau kesadaran eksoteris semata justru akan menjadi
234
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
b. Pelatihan
Untuk dapat mengamalkan nilai dan ajaran agama peserta didik dan
guru harus dilatih sebelum menjadi kebiasaan dan kebutuhan. Agar
dapat membaca Al-Qur’an dengan fasih, peserta didik harus dilatih
membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar dan dengan penuh
penghayatan baik bacaan maupun isinya. Dalam hal ini dilakukan
sebelum peserta didik memulai pelajaran pertama atau mulai pukul
06.30-06.45.
Dalam menjalankan ajaran Islam baik yang wajib maupun yang
sunah, peserta didik juga perlu dilatih seperti melakukan shalat
duha, shalat zuhur dan Asar, berkorban, manasik haji, bersedekah
kepada fakir miskin dan anak yatim, peduli kepada sesama teman
maupun guru yang mendapat musibah, shalat malam dan lain
sebagainya.
c. Pembiasaan
Setelah memiliki pemahaman dan keterampilan, langkah berikutnya
adalah pembiasaan. Tugas sekolah adalah mempersiapkan peserta
didik untuk menjadi anggota masyarakat yang baik. Karena itu sekolah
harus membangun kebiasaan-kebiasaan, iklim dan kultur yang
kondusif yang mampu membentuk karakter dan kepribadian peserta
didik. Pembiasaan itu pada hakikatnya adalah mengembangkan
everyday life, membangun kultur dan iklim sekolah.
Perkataan, semua warga sekolah harus membiasakan perkataan yang
baik. Ucapan yang baik itu sangat penting artinya dalam kehidupan
ini. Karena itu Islam sangat mempedulikan masalah ucapan atau
perkataan ini dan memerintahkan umatnya untuk membiasakan
berkata yang baik atau diam. Dalam Al-Qur’an kita mengenal istilah-
istilah seperti: qauwlan ma’rufan (perkataan yang pantas), qauwlan
syadidan (perkataan yang berbobot (ilmiah, filosofis, hikmah),
235
Pendidikan Islam
236
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
e. Penampilan
Berpenampilan yang baik juga harus dibiasakan melalui contoh,
perhatian, kepedulian kepala sekolah dan guru. Berpakaian yang rapi
semisal memakai jas dan dasi dapat meningkatkan citra positif dan
membentuk budaya organisasi ysng efektif. Berpenampilan yang baik
merupakan salah satu bentuk kepedulian terhadap lembaga. Tanpa
kami mau menghargai lembaga ini, apakah kemudian orang lain
mau menghargainya? Karena itu guru, karyawan dan peserta didik
dibiasakan untuk berpenampilan yang baik. Kalau saya dan Bapak-
Ibu guru ada di depan pintu untuk meyambut kedatangan peserta
didik, kami sekaligus akan memberikan teguran kepada peserta didik
yang berpenampilan kurang pantas. Bagaimana bajunya, dasinya,
sepatunya, rambutnya, jilbabnya, raut mukanya kami perhatikan. Ini
kami lakukan antara lain sebagai bentuk kepedulian kami kepada
peserta didik dan lembaga”. Demikian ucapan salah seorang kepala
sekolah berprestasi kepada penulis.
Penampilan bangunan dan lingkungan fisik juga sangat perlu
diperhatikan. Penampilan fisik sekolah yang indah mampu
menyimpan sejuta kata akan budaya yang dikembangkan di sekolah
itu. Pembangunan fisik bukan merupakan tujuan, melainkan
sebagai salah satu media untuk pembangunan SDM. Di samping itu,
237
Pendidikan Islam
238
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
239
Pendidikan Islam
240
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
241
Pendidikan Islam
242
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
243
Pendidikan Islam
keyakinan dasar (core belief) dan nilai-nilai dasar (core values) yang
dijadikan pegangan hidupnya, ketika seseorang menetapkan visi dan misi
hidupnya, ketika seseorang merasa damai dalam dirinya (inner peace),
memiliki karakter yang kokoh (integritas), ketika ucapan dan tindakannya
mampu memberikan pengaruh kepada orang lain secara suka rela, ketika
keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat
itulah seseorang menjadi pemimpin yang sesungguhnya.
Terdapat dua model kepemimpinan apabila dilihat sumber
tindakan kepemimpinan yaitu kepemimpinan konvensional dan
kepemimpinan spiritual. Yang dimaksud kepemimpinan konvensional
adalah kepemimpinan yang lazim diterapkan dalam berbagai lembaga
formal dan sebagaimana dikemukakan dalam literatur-literatur ilmiah
selama ini. Kepemimpinan konvensional menggunakan paradigma
positivistik atau paradigma ilmiah dalam perilaku kepemimpinannya.
Blanchard dalam hal ini mengatakan, kalau kepemimpinan sejati adalah
kepemimpinan yang muncul dari dalam diri keluar untuk melayani
mereka yang dipimpinnya (leadership from inside out), kepemimpinan
konvensional sebaliknya, muncul dari luar ke dalam (leadership from
outside in) lewat penghormatan dan pujian (honor and praise).
Kepemimpinan spiritual dalam tulisan ini bukan berarti
kepemimpinan yang tidak rasional atau yang serba supra rasional.
Kepemimpinan spiritual yang dimaksud di sini adalah kepemimpinan
yang lebih banyak mengandalkan kecerdasan spiritual (ruhani, soul,
ruh, hati nurani) dalam kegiatan kepemimpinan. Sinetar (2001)
mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai pemikiran yang terilhami
yaitu ketajaman pemikiran yang tinggi yang sering kita katakan
menghasilkan sifat-sifat supernatural: intuisi, petunjuk moral yang
kokoh, kekuasaan atau otoritas batin, kemampuan membedakan yang
salah dan yang benar dan kebijaksanaan.
Sementara itu Zohar dan Marshal (2000) menyebut kecerdasan
spiritual sebagai the ultimate intelligence. Kalau dalam diri manusia
terdapat ketiga jenis kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual (intellectual
quotient, IQ), kecerdasan emosional (emotional quotient, EQ) dan
kecerdasan spiritual (spiritual quotient, SQ), maka kata Zohar dan Marshal
(2000) SQ merupakan fundasi yang diperlukan bagi keefektifan dua
244
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
kecerdasan yang lain, “SQ is the necessary foundation for the functioning
of both IQ and EQ. It is our ultimate intelligence”.
Kepemimpinan spiritual juga bisa diartikan sebagai kepemimpinan
yang sangat menjaga nilai-nilai etis dan menjunjung tinggi nilai-nilai
spiritual. Mereka melakukan pekerjaan dengan cara yang memuaskan
hati lewat pemberdayaan, memulihkan dan menguntungkan siapa
saja yang berhubungan dengannya. Mereka tidak hanya mampu
menghadirkan uang, tetapi juga hati dan jiwa mereka dalam bekerja.
Mereka terlibat sepenuhnya (involve) dalam aktivitas organisasi (bisnis)
yang dipimpinnya sebagai bentuk komitmennya yang paling dalam
yaitu komitmen spiritualitas (Hendricks dan ludeman, 1996). Percy
(1997) dalam hal ini mengatakan: “dan ketika anda bermukim di rumah
spiritualitas, tidak ada lagi jurang menganga dan daerah perbatasan
antara keyakinan dan tindakan. Jurang itu diisi dengan esensi dan selaku
manusia yang utuh. Anda dan objek komitmen anda telah menyatu
sempurna”.
Kepemimpinan spiritual oleh Tjahjono (2003) disebut sebagai
kepemimpinan dimensi keempat, yaitu kepemimpinan yang lebih
mendasarkan pada iman dan hati nurani dalam kualitas kepemimpinannya
atau kepemimpinan yang membersihkan hati, memberi, melayani,
mencerahkan dan memenangkan jiwa berdasarkan semangat syukur dan
kasih. Barangkali, kepemimpinan spiritual identik dengan kepemimpinan
profetik, meminjam istilahnya kuntowijoyo (1991), yaitu kepemimpinan
yang mengemban visi dan misi suci sebagai sebuah panggilan kedalaman
religius (ketuhanan) mengandung tiga komponen: humanisasi,
liberalisasi dan transendensi. Prijosaksono sendiri mengemukakan
konsep Q-Leader. Sejalan dengan konsep multiple quotient. Q dalam Q
Leader berarti seorang pemimpin yang memiliki IQ, EQ dan SQ.
Kepemimpinan spiritual yang dimaksud dalam tulisan ini
berparadigma pada etika religius dalam setiap perilaku dan proses
kepemimpinannya. Etika religius yang dimaksud di sini tidak semata-mata
etika yang dieksplorasi dari keyakinan religius, melainkan juga etika yang
lahir dari pengalaman spiritual seorang pemimpin, spiritualitas yang hidup
dalam aktivitas keseharian. Sebab agama terutama agama terorganisasi
(organized religion) biasanya terkait dengan aspek-aspek spiritualitas yang
245
Pendidikan Islam
246
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
247
Pendidikan Islam
nama Tuhan, yaitu kepemimpinan yang terilhami oleh perilaku etis Tuhan
dalam memimpin makhluk-makhluk-Nya. Dalam panggung sejarah, para
Rasul Tuhan adalah contoh terbaik bagaimana kepemimpinan spiritual
ditegakkan. Para Rasul Tuhan itu terilhami bagaimana kepemimpinan
Tuhan dan untuk selanjutnya mereka terapkan dalam memimpin sesama
manusia.
Berikut dikemukakan pokok-pokok karakteristik kepemimpinan
spiritual yang berbasis pada etika religius yang dirujuk dari berbagai
sumber tersebut: kejujuran sejati, fairness, pengenalan diri sendiri, fokus
pada alam shaleh, spiritualisme yang tidak dogmatis, bekerja lebih
efisien, membangkitkan yang terbaik dalam diri sendiri dan orang lain,
keterbukaan menerima perubahan, think globally act locally, disiplin
tetapi tetap fleksibel, santai dan cerdas, dan kerendahan hati.
a. Kejujuran sejati
Rahasia sukses para pemimpin besar dalam mengemban misinya
adalah memegang teguh kejujuran. Bahkan dalam berperangpun
kejujuran tetap ditegakkan walaupun harus dilakukan secara taktis-
diplomatis. Berlaku jujur senantiasa membawa kepada keberhasilan
dan kebahagiaan pada akhirnya, walaupun mungkin pada boleh
jadi terasa pahit. Orang yang jujur adalah orang yang memiliki
integritas dan kepribadian yang utuh sehingga dapat mengeluarkan
kemampuan terbaiknya dalam situasi apapun. Orang yang jujur
adalah orang yang memiliki integritas dan integritas adalah mulia
dan menjadi kekuatan yang luar biasa untuk meraih kesuksesan.
Integritas adalah sebuah kejujuran, tidak pernah berbohong dan
kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Dengan integritas
seseorang akan dipercaya, dan kepercayaan akan menciptakan
pengaruh dan pengikut.
Tugas yang berat tidak mungkin diserahkan dan diemban oleh orang
yang tidak jujur, tidak amanah. Dengan kejujuran sesuatu yang
dianggap oleh orang lain sebagai mimpi atau angan-angan, tetapi
bisa dilakukan dengan baik oleh orang yang jujur. Keberhasilan
Muhammad menghadapi kekuatan kafir Quraisy yang dominan
dalam kultur dan struktur jahiliyah adalah sesuatu yang luar
248
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
biasa dan mission impossible bagi orang biasa. Tapi bagi Nabi yang
mendapatkan predikat al-amin (yang dapat dipercaya), kejujuran
adalah sesuatu yang harus dilaksanakan dan terbukti sukses.
Sebaliknya kebohongan senantiasa membawa kehancuran dan
kesulitan. Orang yang berbohong adalah orang yang memperkosa
suara hati nuraninya sendiri dan berakibat pada kegelisahan. Orang
yang sekali berbohong akan melakukan hal yang sama untuk menutupi
kebohongan sebelumnya dan seterusnya sampai ia mendapatkan
predikat pembohong. Orang yang berbohong bagaikan menggali
lubang kuburnya sendiri yang semakin lama semakin dalam. Dalam
berbisnis untung dan rugi itu hal biasa, akan tetapi kalau kebohongan
bukan hanya akan mendapatkan kerugian tetapi juga kehinaan.
Sifat lain yang bertolak belakang dari kejujuran adalah kepura-puraan.
Antara kebohongan dan kepura-puraan bagaikan dua sisi mata uang.
Kalau kebohongan biasanya secara eksplisit diucapkan lewat lisan atau
tulisan dan relatif mudah dideteksi, sedangkan kepura-puraan berupa
tindakan yang lebih sulit dideteksi tetapi dampaknya bisa jadi lebih
parah. Kepura-puraan adalah tindakan yang dilakukan tidak dengan
sepenuh hati yang pasti akan melahirkan kegagalan. Pendidik yang
mengajar dengan setengah hati, pegawai yang memberikan layanan
setengah hati, dokter yang mengobati pasien dengan setengah hati,
petani yang bertani dengan setengah hati tidak akan memperoleh
hasil kecuali sebuah kegagalan. Kepura-puraan adalah penyakit
masyarakat dan bangsa yang sangat berbahaya.
b. Fairness
Pemimpin spiritual mengemban misi sosial menegakkan keadilan di
muka bumi, baik adil terhadap diri sendiri, keluarga dan orang lain.
Bagi para pemimpin spiritual, menegakkan keadilan bukan sekedar
kewajiban moral religius dan tujuan akhir dari sebuah tatanan
sosial yang adil, melainkan sekaligus dalam proses dan prosedurnya
(strategi) keberhasilan kepemimpinannya. Fairness menurut Rawls
(1997) merupakan strategi untuk memecahkan moralitas sosial
melalui sebuah kontrak sosial berdasarkan the principle of greatest
equal liberty dan the principle of fair equality of opportunity.
249
Pendidikan Islam
250
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
251
Pendidikan Islam
253
Pendidikan Islam
254
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
k. Kerendahan Hati
Posisi sebagai pemimpin yang dianggap berhasil dan sering diundang
dalam berbagai forum sebagai pembicara dan mendapat bahana
tepuk tangan bahkan standing ovation adalah sangat sukar untuk
tidak berpikir bahwa semua itu karena “saya”: Kecerdasan yang tinggi,
bakat, kekuatan dan talenta yang luar biasa, gaya yang menawan,
kecakapan mumpuni, pengetahuan yang luas, bahkan merasa paling
dekat dengan Tuhan. Seorang pemimpin “biasa” sering terjebak dalam
kebanggaan yang sebenarnya adalah tipuan konyol belaka.
Seorang pemimpin spiritual menyadari sepenuhnya bahwa semua
kedudukan, prestasi, sanjungan dan kehormatan itu bukan karena
dia dan bukan untuk dia, melainkan karena dan untuk Zat Yang
255
Pendidikan Islam
256
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
a. Sebagai Pembaharu
Keberhasilan pemimpin spiritual dalam mengembangkan pendidikan
Islam tidak lepas dari perannya sebagai pembaharu. Gagasan-gagasan
atau ide-ide baru senantiasa keluar dari hasil kontemplasi, penjelajahan
dan pengembaraan intelektualnya yang luas.
257
Pendidikan Islam
258
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
259
Pendidikan Islam
hati dirinya sendiri dan hati peserta didik. Guru dan peserta didik adalah
orang yang hatinya bersih dan “raksasa tidur” dalam diri mereka bangkit
sehingga semua potensi kecerdasan (IQ, EQ dan SQ) dapat terintegrasi
dan dapat bekerja secara maksimal. Guru dan murid bukan semata-mata
sebagai “instrumen” melainkan harus menjadi spiritual human being. Guru
dan murid bukan orang yang punya ilmu (having knowledge), punya agama
(having religion) dan punya pengetahuan spiriritualitas (having spirituality),
melainkan menjadi (being), yaitu berpengetahuan (being knowledge),
beragama (being religion) dan berspiritual (being spirituality).
Spiritualitas yang dikembangkan dalam kepemimpinan adalah
spiritualitas asketik, yaitu intensitas pengabdian kepada Tuhan yang
dijalankan dalam kegairahan kerja sehingga dapat membuahkan
keshalehan. Spiritualitas asketik dalam tesis Weber merupakan basis teologis
dan etis lahirnya semangat kapitalisme. Hal ini terbukti dari pertumbuhan
lembaga secara signifikan, dan pertumbuhan lembaga itu diperlukan
dalam rangka penumpukan kapital. Misalnya, biaya pendidikan menjadi
tidak murah lagi yang ditandai dengan biaya sumbangan pembangunan
dan SPP atau BP3 naik berlipat ganda. Semua itu dilakukan dalam rangka
memenuhi kebutuhan fisik dan fasilitas, melengkapi media pembelajaran,
peningkatan kesejahteraan guru dan karyawan dan dana abadi. Kemajuan
sekolah termasuk di dalamnya prestasi peserta didik adalah instrumen
untuk melipatgandakan kapital.c
260
BAB1
DAFTAR PUSTAKA
261
Pendidikan Islam
262
Daftar Pustaka
Bakhtiar, Laleh. 1994. Moral Healing Through the Most Beautiful Names:
the Practice of Spiritual Chivairy, Volume III. Chicago: the Institute
of Traditional Psychoethic and Guidance.
Bakhtiar, Laleh. 2002. Meneladani Akhlak Allah Melalui Asma’ Al-Husna.
Bandung: Mizan.
Bancard, Kenneth dan Johnson Spencer, M.D. 2001. The One Minute
Manager. Jakarta: PT Elek Media Komputindo.
Barizi, Ahmad. 2009. Menjadi Guru Unggul: Bagaimana Menciptakan
Pembelajaran Yang Produktif & Profesional. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Barry, William A. and William J. Connolly. 1982. The Practice of Spritual
Direction. San Francisco: Harper & Row.
Bass Bernard, M. 1985. Leadership and Performance Beyond Expectations.
New York: Free Press.
Bastaman, Hanna Djumhana. 2001 Integrasi Psikologi dengan Islam
Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil & Pustaka
Pelajar.
Beeby, C.E. 1987. Assessment of Indonesian Education A Guide in Planning.
Terj. BP3K dan YIIS. Jakarta: LP3ES.
Bellah, Robert N. 2000. Beyon Belief Essay on Religion in a Post-Traditional
World (terj. Rudi Harisyah alam). Jakarta: Paramadina.
Benefiel, Margaret. “Spritual Direction for Organization: Towards
Articulating a Model”. Presence (An International Journal of Spritual
Direction) 2, no. 3 (Sept 1996).
Blancard, Ken et. All. 2002. Empowerment Takes More than Minute. (terj.
Y. Maryono). Yogyakarta: Amara Books.
Blumberg, A. & W. Greenfield. 1980. The Effective Principle: Perspectives
on School Leadership. Boston: Allyn and Bacon Inc.
Buchori, Mochtar. 2001. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius.
Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta:
Gramedia.
Buzon, Tony. The Power of Spiritual Intellegence: 10 Ways Top tap Into
Your Spritual Genius (terj. Alex Tri Kancono. W. dan Febrina Fialita).
Jakarta: Gramedia.
263
Pendidikan Islam
264
Daftar Pustaka
265
Pendidikan Islam
266
Daftar Pustaka
269
Pendidikan Islam
270
Daftar Pustaka
272
Daftar Pustaka
273
Pendidikan Islam
274
Tentang Penulis
BAB1
TENTANG PENULIS
275
Pendidikan Islam
270