Anda di halaman 1dari 296

PENDIDIKAN ISLAM:

Dari Dimensi Paradigmatik Teologis, Filosofis dan


Spiritualitas Hingga Dimensi Praksis Normatif

Prof. Dr. Tobroni, M.Si

Mitra
Wacana
Media
P E N E R B I T
PENDIDIKAN ISLAM:
Dari Dimensi Paradigmatik Teologis, Filosofis dan Spiritualitas Hingga
Dimensi Praksis Normatif

Prof. Dr. Tobroni, M.Si

Edisi Asli
Hak Cipta © 2015, Penerbit Mitra Wacana Media
Mitra Telp. : (021) 824-31931
Wacana Faks. : (021) 824-31931
Website : http//www.mitrawacanamedia.com
Media E-mail : mitrawacanamedia@gmail.com
P E N E R B I T

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh


isi buku ini dalam bentuk apa pun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk
memfotokopi, merekam, atau dengan menggunakan sistem penyimpanan lainnya, tanpa
izin tertulis dari Penerbit.

Undang-Undang Nomor 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA


1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan
atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerekan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Tobroni

PENDIDIKAN ISLAM:
Dari Dimensi Paradigmatik Teologis, Filosofis dan Spiritualitas
Hingga Dimensi Praksis-Normatif

—Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015


1 jil., 14,5 x 21cm, 296 hal.

ISBN: 978-602-318-071-4

1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Islam: Dari Dimensi Paradigmatik .......

I. Judul II. Prof. Dr. Tobroni, M.Si


BAB1

KATA SAMBUTAN
Prof. Dr. A. Malik Fadjar

M unculnya suatu pemikiran tidak lepas dari kondisi objektif dari


sosial-budaya dan sosio-religius dari fenomena kemasyarakatan.
Begitu pula arus dinamika pembaharuan pemikiran pendidikan Islam
yang dilakukan beberapa kalangan intelektual pada setiap penggal
sejarah, tidak terlepas dari varian tersebut terutama kondisi faktual sistem
pendidikan yang riil ada di tengah masyarakat itu sendiri. Lazim apabila
dikatakan bahwa dinamika pemikiran intelektual (sosial-keagamaan,
pendidikan, atau bidang lainnya) merupakan hasil refleksi terhadap
kondisi faktual di era mereka. Sebut saja di Indonesia ada Nurcholish
Madjid dengan Islam Inklusif, Harun Nasution dengan Islam Rasional,
Ahmad Wahib dengan pergulatan batinnya yang tertuang dalam catatan
harian, atau M. Amin Abdullah dengan jaring laba-laba ilmunya.
Dari pemikiran-pemikiran tersebut terurai penafsiran-penafsiran
yang dilakukan oleh intelektual lainnya untuk diterjemahkan secara
operasional pada bidang yang lain. Salah satu contoh adalah pemikiran
M. Amin Abdullah yang telah diterjemahkan pada bidang-bidang lain
termasuk dalam pendidikan Islam seperti yang dilakukan oleh Abd.
Rachman Assegaf dalam “Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru

iii
Pendidikan Islam

Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif ” (2011). Begitu


juga yang dilakukan oleh Tobroni dalam karya yang ada dihadapan
pembaca ini merupakan upaya pembenahan terhadap dinamika sistem
pendidikan Islam dengan pola yang sangat kritis, tajam, dan konstruktif.
Dari pemikir-pemikir pendidikan Islam tersebut akan lahir tawaran-
tawaran konsep yang mencoba untuk memberikan alternatif-solutif
terhadap isu-isu kontemporer yang berkelindan di tengah masyarakat.
Kerangka inilah yang sebenarnya menjadi tumpuan penulis buku ini
dalam mengurai setiap pemikiran-pemikirannya. Di mana jika diurai
secara komprehensif, pemikiran Tobroni dalam “Pendidikan Islam:
dari Dimensi Paradigmatik Teologis, Filosofis dan Spiritualitas Hingga
Dimensi Praksis-Normatif ” berasal dari arus paradigma teologi yang
turun pada arus bawah yaitu kosmologik-humanistik dan bermuara pada
aspek kemanusiaan tanpa meninggalkan aspek perenialnya.
Jadi pemikiran Tobroni ini memiliki kekhasan tersendiri layaknya
pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang pendidikan
Islam yang mempunyai karakateristik sangat khas terutama pada pola
paradigmatik yang dipayungi oleh aspek metafisika menuju ke dunia
psikologis. Dari yang bersifat abstrakta menuju ke ranah yang konkreta;
dari aspek teoritis ke arus praksis. Dengan demikian tidak berlebihan
kiranya saya sangat apresiatif terhadap upaya penulis yang sangat konsen
terhadap isu-isu pendidikan Islam ini. Terlebih lagi ketika melihat upaya
pembacaan penulis terhadap Al-Qur’an dan as-Sunnah yang sangat jauh
masuk pada nilai substansinya. Seakan-akan ia tidak sejalan dengan
kalangan intelektual lainnya yang berusaha melakukan pembacaan
terhadap Al-Qur’an secara literal dan simplistik–yang oleh Nidhal
Guessoum dikatakan sebagai penafsiran pseudo-ilmiah.
Spirit yang demikian tersebut menjadikan pembaharuan pemikiran
pendidikan Islam tidak kehilangan pancangan utama sebagai suatu sistem
pendidikan yang memiliki karakteristik normatif yaitu bersumber dari
Al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh sebab itu, pemikiran yang dikembangkan
oleh Tobroni ini tidak lepas dari nilai-nilai normatif tersebut, walaupun
ia terus-menerus mengaitkan konstruksi pemikirannya dengan fakta
fenomena sosial-budaya dan sosial-religius yang terus mengalami
perkembangan dan perubahan.

iv
Kata Sambutan

Sekali lagi saya sangat menyambut baik karya ini terutama untuk
dijadikan sebagai referensi utama bagi kalangan akademisi yang konsen
di pendidikan Islam. Dan terakhir saya sampaikan selamat atas terbitnya
buku ini dan bagi pembaca “selamat membaca”...

Jakarta, 20 Juni 2015

A. Malik Fadjar

v
Pendidikan Islam

vi
BAB1

KATA PENGANTAR

P endidikan diakui menyimpan kekuatan luar biasa, sebagai salah satu


penentu nasib manusia sebagai individu, umat maupun bangsa. Atas
dasar itu, perkembangan pemikiran tentang pendidikan yang menjadi
dasar terbentuknya pendidikan berkualitas perlu terus digalakkan agar
pendidikan dapat mengemban fungsi dan perannya secara maksimal
dalam membangun manusia berkualitas dan untuk memenuhi harapan
keluarga, umat dan bangsa.
Semangat umat Islam untuk menyelenggarakan pendidikan di
Indonesia sangat kuat terbukti dengan banyaknya lembaga yang berbasis
keagamaan dengan berbagai jenis dan jenjangnya. Namun semangat itu
pada umumnya kurang disertai dengan kapasitas (kemampuan) dan
kapabilitas (kecakapan) dalam penyelenggaraannya, terutama tentang
konsep pendidikan yang ideal itu sendiri, kemampuan manajerial dan
finansial. Akibatnya banyak lembaga pendidikan Islam yang belum
mampu memenuhi harapan. Akibatnya banyak lembaga pendidikan
Islam yang belum mampu memenuhi harapan. Buku ini disusun
berdasarkan keprihatinan akademik tersebut yang diharapkan dapat
memanggil, mengilhami menggugah dan membangkitkan kepedulian

vii
Pendidikan Islam

umat dan bangsa terhadap persoalan fundamental pendidikan, dan


syukur apabila dapat memberikan jawaban.
Buku yang ada di tangan pembaca ini disusun berdasarkan
pengalaman penulis mengampu mata kuliah filsafat pendidikan di
program S1 dan mata kuliah pemikiran pendidikan Islam di Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan di tempat
lain dalam kurun waktu yang relatif panjang. Kontribusi akademik buku
ini terhadap buku sejenis tentang pendidikan Islam antara lain adalah
pembahasannya yang menggabungkan tiga paradigma sekaligus: filsafat,
teologi dan spiritualitas guna membangun horizon pendidikan yang
integralistik. Pendidikan yang integralistik mulai dari pemahaman tentang
subjek didik, tujuan, kurikulum, metode pembelajaran, education climate,
dan manajemen penyelenggaraannya sebagaimana pernah digagas oleh
Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph.D. dalam bukunya “Menggagas
Pendidikan Non Dikhotomik” menjadi fokus utama dalam buku ini. Atas
dasar itu penulis memohon kepada Pak Rahman untuk memberikan kata
pengantar dalam buku ini.
Dengan selesainya penulisan buku ini penulis menyampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang ikut membantu terselesainya buku ini
termasuk Sdr. Mat Busri dan Sdri Hafidhah yang mengedit tulisan ini.
Juga kepada Pak Rahman yang berkenan memberikan Kata Pengantar
di tengah-tengah kesibukannya yang padat sebagai Direktur Pendidikan
Tinggi Islam Departemen Agama (pada waktu naskah ini ditulis).
Betapapun kecilnya hikmah yang dapat disumbangkan dari buku
ini, penulis berharap dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan
ilmu pengetahuan, khususnya dalam peningkatan mutu pendidikan Islam
di tanah air. Akhirnya, komentar, kritik dan saran terhadap ini sangat
penulis harapkan dan harap disampaikan ke alamat email: tobroni@
umm.ac.id

Kampus Putih, 1 Muharram 1436H


20 Mei 2015 M

Penulis

viii
BAB1

DAFTAR ISI

Contents
KATA SAMBUTAN .............................................................................. iii
KATA PENGANTAR ............................................................................ vii
DAFTAR ISI ......................................................................................... ix
PROLOG ............................................................................................. xiii

BAB 1. KERANGKA FILOSOFIS DAN TEOLOGIS PENDIDIKAN ....... 1


A. Seputar Konsep Paradigma .................................................. 3
B. Filsafat ..................................................................................... 5
1. Konsep Filsafat .................................................................. 6
2. Panggilan Berfilsafat ......................................................... 7
3. Filsafat Sebagai Aksi ......................................................... 9
C. Teologi .................................................................................... 10
1. Pengertian Teologi ............................................................ 10
2. Teologi Kontekstual .......................................................... 12
3. Fungsionalisasi Teologi .................................................... 14
4. Berteologi di Bidang Pendidikan .................................... 16

ix
Pendidikan Islam

D. Pendidikan ............................................................................. 18
E. Seputar Konsep Pendidikan Islam ...................................... 21
1. Konsep Pendidikan Islam ................................................ 21
2. Dasar Teologis Pendidikan Islam ................................... 25
F. Pemikiran Filosofis Tentang Pendidikan Islam ................. 30
1. Metafisika dan Pendidikan .............................................. 32
2. Ontologi ............................................................................. 33
3. Epistemologi dan Pendidikan ......................................... 35
4. Aksiologi dan Pendidikan ............................................... 39
5. Masalah Etika .................................................................... 40
6. Segi Estetika ....................................................................... 41

BAB 2. PARADIGMA KEMANUSIAAN DALAM PENDIDIKAN ......... 45


A. Perjalanan Hidup Manusia .................................................. 48
B. Kehewanan dan Kemanusian Manusia ......................... 52
1. Dilihat Dari Perspektif Biologis (Basyar) ...................... 53
2. Perspektif Emosi ............................................................... 54
3. Kecerdasan Intelektual ..................................................... 55
4. Perspektif Spiritualitas ..................................................... 55
C. Jati Diri Manusia .................................................................. 58
D. Kebebasan Manusia ............................................................. 62
E. Tugas Hidup Manusia .......................................................... 66
F. Muhammad: Profil Manusia Ideal ...................... 71
G. Pendidikan Berwawasan Kemanusiaan.............................. 75

BAB 3. VISI DAN MISI PENDIDIKAN ISLAM .................................... 81


A. Rahmat Bagi Semesta Alam ................................................. 83
1. Membangun Republik Surga .......................................... 83
2. Peran Agama dalam Konteks .......................................... 86
3. Pendidikan sebagai Penebar Rahmat dan
Anti Kekerasan .................................................................. 89
4. Jalan Tengah mencapai Misi Islam ................................. 90
B. Menghargai Ilmu dan Orang yang Berilmu ...................... 92
C. Membangun Peradaban di Era Informasi .......................... 98
1. Agama dan Kebudayaan .................................................. 99
2. Agama dan Fenomena Modernitas ................................ 104

x
Daftar Isi

D. Penyelamat Peradaban Umat Manusia ................................ 107


1. Misi Islam dan Dambaan Fitri Umat Manusia ............. 107
2. Tujuan Pendidikan Nasional dan Pendidikan Agama 108

BAB 4. TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM .............................................. 111


A. Rumusan Tujuan Pendidikan Islam .................................... 112
B. Strategi Merumuskan Tujuan .............................................. 114
1. Strategi Normatif Filosofis ............................................... 115
2. Strategi Melalui Analisa Historis .................................... 121
3. Strategi Melalui Analisa Ilmiah atau Sosiologis............ 122
C. Setting Sosial dalam Merumuskan Tujuan ........................ 123
D. Hambatan Dalam Mencapai Tujuan .................................. 126

BAB 5. KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM ....................................... 131


A. Pandangan Islam Tentang Ilmu Pengetahuan ................... 132
1. Paradigma Ilmu Bebas Nilai ............................................ 133
2. Paradigma Ilmu Tidak Bebas Nilai ................................ 136
3. Filsafat Pancasila dan Filsafat Pendidikan ..................... 139
B. Pandangan Islam Tentang Akhlak dan Peradaban ........... 141
1. Pentingnya Akhlak ........................................................... 141
2. Islam Agama Peradaban .................................................. 144
3. Kebudayaan Islam Dalam Konteks................................. 147
C. Peran Pendidikan Islam: Konstruksi Kurikulum
Pendidikan Islam ................................................................... 151

BAB 6. GURU DALAM PENDIDIKAN ISLAM .................................... 155


A. Guru dalam Pendidikan Islam............................................. 156
B. Profesionalisme Guru ........................................................... 164
C. Guru Yang Efektif .................................................................. 167
D. Pemberdayaan Guru ............................................................. 172
1. Pendekatan Pemberdayaan Guru ................................... 174
2. Langkah-langkah Pemberdayaan ................................... 176

BAB 7. INTERAKSI EDUKATIF PEMBELAJARAN: Membangun


Pembelajaran dengan Paradigma Humanisme ................ 179
A. Paradigma dalam Pendidikan.............................................. 180

xi
Pendidikan Islam

1. Paradigma Behaviorisme ................................................. 180


2. Paradigma Rasionalisme .................................................. 181
3. Paradigma Humanisme .................................................. 181
B. Metode Pembelajaran yang Integralistik ........................... 182
C. Metode Tilawah, Ta’lim, Tadlrib, Tazkiyah, dan Ta’dib ... 190
1. Keteladanan ....................................................................... 191
2. Ukhuwah dalam Proses Pembelajaran........................... 194
3. Pendekatan-Pendekatan yang Digunakan dalam
Pembelajaran ..................................................................... 196
D. Interaksi Edukatif Guru dan Peserta didik ........................ 201
1. Analisa Untuk Aksi........................................................... 201
2. Bergumul Mengejar Ketinggalan .................................... 206
3. Tahap Kosolidasi .............................................................. 208
4. Tahap Pembangunan Fisik dan Fasilitas ........................ 210
5. Tahap Pembangunan Akademik..................................... 211
6. Tahap Pengakuan Masyarakat dan Aktualisasi Diri..... 213

BAB 8. SPIRITUALITAS DALAM PENDIDIKAN ISLAM .................... 215


A.
Gagasan Tentang Spiritualisasi Pendidikan ....................... 216
B.
Spiritualisasi Tujuan Pendidikan ......................................... 222
C.
Integrated Knowledge: Spiritualisasi Kurikulum ............. 225
D.
Spiritualisasi SubJek Didik (Guru dan Peserta didik) ...... 228
1. Memuliakan Guru ............................................................ 228
2. Menghargai Peserta didik ................................................ 229
3. Hubungan Spiritualitas dan Profesionalitas .................. 232
4. Spiritualitas Sebagai Seorang Pendidik .......................... 234
E. Spiritual Leadership: The Problem Solver Krisis
Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam .......................... 239
1. Konsep Spiritual Leadership ........................................... 241
2. Leadership di antara Model Kepemimpinan Lainnya . 243
3. Karakteristik Kepemimpinan Spiritual .......................... 247
4. Spiritual Leadership: The Problem Solver
Pendidikan Islam .............................................................. 256
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 261
TENTANG PENULIS............................................................................ 275

xii
BAB1

PROLOG

D ari judul buku ini sepintas dapat diketahui bahwa penulisnya hendak
menawarkan tiga paradigma sebagai satu kesatuan dalam membahas
pendidikan Islam yaitu paradigma filosofis, teologis dan spiritualitas.
Tawaran ini menarik untuk kita cermati lebih lanjut: Pertama, paradigma
filosofis. Salah satu fungsi filsafat pendidikan Islam adalah fungsi normatif
yaitu senantiasa berupaya mencari model pendidikan yang ideal menurut
nilai dan norma ajaran Islam maupun konteks dan dinamika kebutuhan
masyarakat. Hal itu dilakukan dengan melakukan kontemplasi secara
mendasar dan menyeluruh tentang hakekat pendidikan Islam serta analisa
dan evaluasi kritis terhadap realitas pendidikan yang ada. Kontribusi
filsafat pendidikan Islam dengan demikian adalah lahirnya ide-ide,
wacana, cita-cita, semangat dan perilaku baru dalam penyelenggaraan
pendidikan Islam. Filsafat pendidikan adalah ruh dari sistem organisme
penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan yang berkualitas senantiasa
ditopang oleh landasan filosofis yang kokoh. Dengan landasan filosofis
yang kokoh, penyelenggaraan pendidikan memiliki paradigma dalam
mengembangkan visi kemanusiaan, keilmuan dan manajerialnya.

xiii
Pendidikan Islam

Sebagaimana saya kemukakan dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya


bahwa kemajuan dan kemunduran dunia Islam sangat terkait dengan
tradisi filsafat. Puncak peradaban Islam dari abad tujuh sampai abad
sebelas masehi, disebabkan karena Islam menunjukkan kehebatannya
dalam pencapaian ilmu yakni ilmu agama dan non agama. Ajaran yang
diperkenalkan Muhammad lahir belakangan tapi menguasai dunia terlebih
dahulu, jauh meninggalkan Kristen di belakang. Sejak dini Islam selalu
menampakkan kedamaiannya dengan pengetahuan. Sampai abad 11, tidak
ada bukti bahwa ombak pertama Hellenisme, the first wave of Hellenism
(meminjam istilah watts) disambut dengan antagonisme dalam sejarah
pemikiran Islam. Sebaliknya, “cultural decline” dikalangan umat Islam
telah terjadi sejak abad 13. Yakni sewaktu fenomina dikotomi “Islamic
knowledge” dan “non-Islamic knowledge” mulai menghinggapi umat Islam.1
Karena itu agar pendidikan Islam menemukan bentuknya yang ideal
secara normatif dan dapat menjawab dinamika kebutuhan masyarakat,
paradigma filosofis dalam pendidikan Islam adalah nicaya.
Kedua, paradigma teologis. Semangat umat Islam Indonesia dalam
menyelenggarakan pendidikan sangat kuat terbukti dengan banyaknya
jenis dan model serta jenjang pendidikan yang diselenggarakannya.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh center for informatics data and
Islamic studies (CIDIES) departemen agama dan data base EMIS (education
management syatem) Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama,
jumlah madrasah (Madrasah Ibtidaiyah/MI (SD), Madrasah Tsanawiyah/
MTs (SMP) dan Madrasah Aliyah/MA (SMA) lebih dari 40.000 Madrasah
(tidak termasuk Madrasah Diniyah dan pesantren). Namun apabila dilihat
dari kualitasnya harus diakui bahwa sebagian besar pendidikan Islam
masih sedang berjuang untuk memenuhi harapan keluarga, umat dan
bangsa. Penyelenggaraan pendidikan oleh umat Islam itu bukan hanya
didasari oleh semangat mendakwahkan Islam lewat lembaga pendidikan,
tetapi juga sebagai upaya ijtihadi untuk mengejawantahkan nilai, norma
dan ajaran Islam tentang pendidikan itu sendiri. Yang menjadi persoalan
adalah apakah penyelenggaraan lembaga pendidikan itu telah didasari
oleh paradigma teologis yang tepat seperti misalnya bagaimana konsep
Islam tentang Tuhan, manusia, alam, keselamatan dan penciptaan (ilmu
1. Abdurrahman Mas’ud, Filsafat Pendidikan Islam, catatan dalam rangka presentasi
pengantar lokakarya STAIN Kudus, Senin 9 Agustus 1999.

xiv
Prolog

pengetahuan)? Paradigma teologis yang tidak tepat dapat berdampak


pada jenis, model dan performen pendidikan yang diselenggarakannya.
Dinamika pendidikan di lingkungan madrasah pasca SKB 3 menteri
tahun 1975 yang dulunya lebih banyak mengajarkan ilmu-ilmu “agama”
dibanding dengan ilmu-ilmu “umum” dengan perbandingan 70%:30%
menjadi 30% (ilmu agama) dan 70% (ilmu umum) misalnya, jelas
menggambarkan perubahan paradigma teologis itu. Satu persoalan
penting dalam membahas pendidikan Islam, dalam perspektif teologis,
Islam memiliki konsep yang ideal dalam mensikapi kehidupan ini. Nabi,
misalnya, menganjurkan agar setiap orang tua membacakan azan pada
telinga kanan dan iqomah pada telinga kiri bayi yang baru lahir. Azan dan
iqomah adalah ajakan kemenangan dalam arti yang sebenarnya yakni al-
falah, true victory, kejayaan lahir batin, dunia akhirat. Alangklah indahnya
ajaran Nabi yang menggambarkan pendidikan sejak dini. Orang tua
sebagai first school dianjurkan mampu memotivasi perkembangan anak
secara total yang mencakup fisik, emosi, intulektual, dan religius spiritual.
Bahwa perkembangan intelektual senantiasa dibarengi dan seirama dengan
perkembangan religius adalah satu keniscayaan dalam pendidikan Islam.2
Itulah sebabnya paradigma teologis dalam penyelenggaraan pendidikan
perlu terus-menerus dikritisi dan dikembangkan agar lembaga pendidikan
yang diselenggarakan oleh umat itu bukan sekedar sebagai media
dakwah, tetapi juga mencerminkan nilai, norma dan ajaran Islam tentang
pendidikan itu sendiri. Kalau Rasulullah SAW pernah bersabda: “Tuhanku
telah mendidikku, maka niscaya pendidikanku adalah pendidikan
yang terbaik” (Hadits), maka menjadi tugas seluruh umat Islam untuk
menjadikan lembaga pendidikan Islam sebagai lembaga pendidikan yang
terbaik. Ini adalah keyakinan dan sekaligus panggilan teologis.
Ketiga, paradigma spiritualitas. Kemajuan peradaban yang dimotori
oleh kemajuan sain dan teknologi termasuk teknologi informasi dan
komunikasi berdampak sangat luas di seluruh kehidupan manusia.
Namun sayangnya kemajuan peradaban itu bercorak materialistis, dimana
kepentingan ekonomi, industri dan politik yang menjadi urat nadinya.
Dunia pendidikanpun tidak dapat dilepaskan dari tiga kepentingan
2. Lihat dalam Abdurrahman Mas’ud, Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan dalam
Islam, disampaikan pada Stadium General dalam rangka kuliah perdana tahun
akademik 1997/1998 STAIN Kudus pada tanggal 1 September 1997.

xv
Pendidikan Islam

tersebut. John Dewey3 misalnya mengemukakan gagasannya tentang


fungsi pendidikan sebagai education as growth dan education as social
function. Education as growth mengatakan bahwa fungsi pendidikan yang
utama adalah sebagai engine of economic growth. Pendidikan adalah human
investment, di mana investasi berupa pengembangan sumber daya manusia
lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi
dibandingkan dengan investasi di bidang fisik. Manusia diibaratkan
sebagai “ayam petelur” yang keberadaannya dihargai apabila menghasilkan
“telur” atau nilai tambah secara ekonomis. Sementara itu education
as social function menekankan bahwa pendidikan sebagai alat untuk
memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosiokultural bangsa. Pendidikan
seringkali juga digunakan sebagai alat hegemoni kekuasaan dan alat untuk
melestarikan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Sementara itu pengaruh
dunia industri terhadap dunia pendidikan adalah penyamaan antara proses
pendidikan dengan proses produksi dengan pola input-proses-output.
Murid diibaratkan sebagai rawinput, sementara komponen pendidikan
lain seperti guru, kurikulum dan fasilitas pendidikan diibaratkan sebagai
komponen proses produksi dalam suatu pabrik. Output yang baik adalah
yang dikehendaki pasar terutama dunia industri dan politik. Model
paradigma pendidikan seperti ini memandang manusia secara parsial yaitu
sebagai makhluk jasmani dengan kebutuhan materiil yang sangat dominan
dan tentu saja kurang memperhatikan hakekat manusia sebagai mahluk
ciptaan Tuhan yang tertinggi dan paling sempurna, terutama dilihat dari
dimensi spiritualitasnya.
Dampak dari pendidikan yang terlalu material oriented ini dapat
berakibat pada pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi
oleh humanisme. Kasus Amerika misalnya, di negara yang penegakan
hukumnya demikian kuat, the toughest states ini, ternyata masalah “child
abuse,” penyalahgunaan anak, dan “child neglect,” acuh pada anak, masih
merupakan masalah yang sangat memilukan. Kejahatan ini terkadang
disebut “maltreatment” atau tindakan semena-mena terhadap anak.
Maltreatment sering mengakibatkan cacat fisik, emosional, intelektual,
maupun psikologis bahkan sering membawa kematian anak. Sebuah
sumber mengatakan bahwa menjelang akhir dekade 90-an, setiap tahun
3. John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of
Education, (New York: The Macmillan Company, 1964).

xvi
Prolog

6000 sampai 50.000 kematian anak terbukti diakibatkan dosa ini: sebuah
angka kejahatan yang relatif besar mengingat sistem yang berkembang dan
ditegakkan oleh seluruh institusi di negeri ini sangat menghargai nyawa
setiap penduduk, termasuk nyawa binatang baik sebagai pet atau wild
animal: binatang peliharaan atau liar.4
Dari sinilah pentingnya dikembangkan paradigma spiritualitas
dalam pendidikan. Sebagaimana saya kemukakan dalam beberapa tulisan
sebelumnya,bahkan ketika menengok pada pandangan Nasr dalam
traditional Islam in the modern world juga mengemukakan bahwa tujuan
pendidikan Islam adalah to enable the soul to actualize these potential
possibilities, thereby perfecting it and preparing it for eternal life.5 Yang
dimaksud dengan potential possibilities adalah spiritual, celestial, luminous,
living and knowing substance and active by nature. Pengetahuan yang
diperoleh melalui pendidikan adalah pengolahan dan pengembangan
yang mampu mempertahankan keabadian jiwa. Proses aktualisasi terdiri
dari beberapa tahapan: tahdhib (refinement), tathir (purification), tatmim
(completion), takmil (perfection). Meskipun tidak ada uraian bahwa takmil
adalah identik dengan al-insan al-kamil, tapi bisa kita duga dengan agak
yakin bahwa insan kamil dalam konteks ini juga berhubungan insan kamil,
makarimul akhlaq yang disandang oleh Nabi Muhammad SAW. Tujuan
akhir pendidikan Islam dengan demikian adalah to perfect and actualize all
the possibilities of the human soul leading finally to that supreme knowledge
of the Divine (ilahiyyah), which is the goal of human life.6
Ketiga paradigma pendidikan (filosofis, teologis dan spiritualitas)
inilah yang ditawarkan dalam buku ini. Dengan paradigma three in one
bagi pendidikan Islam, Prof. Dr. Tobroni, M.Si. mengemukakan format
pendidikan yang humanistik dan integralistik, dan format pendidikan
seperti inilah yang pernah saya kemukakan dalam buku “menggagas
format pendidikan nondikotomik: Humanisme religius sebagai paradigma
pendidikan Islam”.7 Barangkali dengan ketiga pendekatan paradigmatik
4. Abdurrahman Mas’ud, Ilmu Pengetahuan dan ... Op. Cit.
5. Sayyed Hossein Nasr, Traditional Islam in Modern World, (New York: Kegan Paul
International, 1990), 150.
6. Abdurrahman Mas’ud, Ilmu Pengetahuan dan ... Op. Cit.
7. Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme
Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gamma Media, 2002).

xvii
Pendidikan Islam

tersebut diharapkan dapat lebih mendekati tipe ideal (ideal type) pendidikan
Islam dan sekaligus dapat menjawab persoalan umat.
Menyelenggarakan pendidikan Islam sudah seharusnya disertai
dengan kapasitas (kecakapan) dan kapabilitas (kemampuan) baik secara
konsepsional dan operasionalnya, sehingga misi pendidikan Islam yang
merupakan noble industry baik yang bersifat dakwah, pengembangan
sumber daya manusia, pengembangan ilmu dan peradaban dapat tercapai.
Tetapi dalam realitasnya pendidikan Islam masih menghadapi berbagai
persoalan. Bassam Tibi, pakar sosiologi dan pendidikan Timur Tengah
dalam bukunya Islam and the Cultural Accommodation of Social Change,
mengingatkan kaum akademisi muslim bahwa dunia pendidikan Islam
diliputi dengan masalah tipikal yang berupa certificate oriented dan ilmu-
ilmu yang terlalu umum atau too general knowledge yang tidak mengacu
pada pemecahan masalah (problem solving).8 Dalam berbagai kesempatan,
saya mengemukakan bahwa the spirit of inquiry (semangat meneliti) yang
termasuk di dalamnya tradisi rihlah fi talab al-ilmi, penelitian empiris,
membaca, dan menulis agaknya telah menipis dalam dunia pendidikan
Islam. Pendek kata, pendidikan akal dan pengembangan ilmu masih
menjadi masalah dalam pendidikan Islam.
Dalam buku menggagas format pendidikan nondikotomik, saya
mengemukakan bahwa persoalan-persoalan pendidikan Islam secara
keseluruhan dapat mengakibatkan inferiority complex terutama apabila
dihadapkan pada kemajuan pendidikan di dunia Barat. Problem yang
sangat serius itu ternyata bukan semata-mata disebabkan faktor teknis,
melainkan berpangkal dari pola pikir umat yang serba dikotomis dan
hitam putih seperti Islam vis-à-vis non Islam, Timur Barat, dan ilmu-
ilmu agama versus ilmu-ilmu sekuler (secular sciences). Dalam konteks
epistemologis yang secara langsung berdampak pada learning tradition
pola pikir dikotomis itu berupa: 1). Dikotomi ilmu agama (dînullah) dan
non agama (qadarullah); 2). Antara wahyu (ayat qauliyah) dan alam (ayat
kauniyah); dan 3). Antara wahyu (naqly) dan akal (aqly). Dikotomi pertama
telah melanggengkan supremasi ilmu-ilmu agama yang berjalan secara
monotonik; dikotomi kedua telah menyebabkan kemiskinan penelitian

8. Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accommodation of Social Change, (Colo:
Westview Press, 1990).

xviii
Prolog

empiris dalam pendidikan Islam; dan dikotomi ketiga telah menjauhkan


disiplin filsafat dari pendidikan Islam.9
Apa yang saya kemukakan tentang persoalan-persoalan yang melilit
pendidikan Islam hanya sekedar contoh sebuah diagnosis untuk dicarikan
solusi dari akar permasalahannya. Kita tidak boleh punya sikap yang selalu
membanggakan kejayaan masa lalu, meratapi ketidakberdayaan masa kini
dan pesimisme dalam menyongsong masa depan. Kita harus bersikap
realistis, kritis dan positif bahwa kita punya kapasitas dan kapabilitas
untuk bisa membangun pendidikan Islam yang berkualitas asalkan ada
ijtihad dan jihad. Ijtihad adalah sebuah perjuangan intelektual untuk
melahirkan konsep, teori, ilmu dan teknologi baru untuk memecahkan
persoalan pendidikan. Sedangkan jihad adalah mobilisasi segala sumber
daya (manusia, ilmu dan teknologi, organisasi, informasi) yang didasari
oleh niat dan keyakinan suci, rela berkorban dan optimis berhasil untuk
memenangkan pergumulan dalam membangun pendidikan Islam.
Maka kehadiran buku Pendidikan Islam: Dari Dimensi Paradigmatik
Teologis, Filosofis dan Spiritualitas Hingga Dimensi Praksis-Normatif
yang ditulis oleh Mas Tob (panggilan akrab Tobroni) adalah bagian dari
sebuah ijtihadi yang patut disambut dengan gembira. Buku ini cukup
kaya nuansa dan dapat memberikan inspirasi masa depan yang dapat
diperankan oleh kalangan pemikir, cendekiawan muslim dan praktisi
yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan Islam di tanah air. Lebih
jauh dari itu, kehadiran buku ini sekaligus akan menambah hazanah
pemikiran tentang pendidikan Islam terutama yang bersifat multiple
paradigm dan layak dijadikan referensi bagi mahasiswa perguruan tinggi
Islam yang mengambil bidang kependidikan sebagai mayor curriculum-
nya. Terlepas dari setuju atau tidak terhadap isi, istilah maupun gaya
pemaparannya, inilah karya nyata sebuah pergumulan pemikiran yang
didasari obsesi untuk membangun pendidikan Islam menjadi lebih baik.

Jakarta, Muharram 1436


Mei 2015

Abdurrahman Mas’ud
9. Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan ... Op. Cit.

xix
Pendidikan Islam

xx
BAB
BAB1

1
KERANGKA FILOSOFIS DAN TEOLOGIS
PENDIDIKAN

Pendidikan, ditinjau dari segi ontologik, berarti menyangkut persoalan


tentang hakikat keberadaan dan esensi dari pendidikan itu sendiri.
Pendidikan berasal dari kata  educare  yang berarti “menarik keluar dari”.
Dengan arti ini pendidikan berarti menarik peserta didik keluar dari
ketidakbebasan menuju kebebasan (Susilo, 2007: 224); menarik peserta
didik dari keterbelengguan kebodohan menuju ruang kebebasan yang
penuh dengan ilmu pengetahuan. Dalam pola perkembangannya,
pendidikan didefinisikan sebagai suatu bentuk usaha yang dijalankan oleh
seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau
sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan
penghidupan yang lebih tinggi (mental) (Ramayulis & Nizar, 2009: 83).
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan menempati posisi yang
strategis dalam kehidupan manusia dikarenakan oleh kenyataan yang ada,
bahwa pendidikan mempunyai empat potensi yang secara tegas signifikan
terhadap kehidupan masa depan, keempat potensi tersebut antara lain:
pertama, pendidikan mampu menyediakan wahana yang teruji untuk
implementasi nilai-nilai masyarakat yang berubah dan hasrat masyarakat
yang muncul yang kemudian menimbulkan nilai-nilai baru; kedua,

1
Pendidikan Islam

pendidikan dapat berfungsi untuk menyelesaikan masalah sosial tertentu;


ketiga, pendidikan telah memberikan kemampuan untuk menerima dan
mengimplementasikan alternatif-alternatif baru; dan keempat, pendidikan
juga dapat dijadikan suatu cara oleh masyarakat dalam membimbing
manusia dalam perkembangannya, dan karena itu ia terdorong untuk
memberikan konstribusi bagi kehidupan hari esok yang lebih baik (Minarti,
2013: 12).
Potensi pendidikan tersebut pada arus era kontemporer ini bisa pula
dikatakan sejak dari abad-abad pertengahan mengalami anomali dan
paradoks di tengah kehidupan peradaban manusia. Disadari atau tidak,
dianulir atau tidak, dan diterima atau tidak,  anaomali dan paradoks
tersebut terus-menerus terjadi dalam dunia pendidikan yang pada saat
ini merongrong dan menguncang kemapanan anatomi pendidikan,
sehingga ia pada saat telah atau sedang mengalami pergeseran paradigma
(shifting paradigm) yang semula terancang secara pasti dengan orientasi
kemanusiaan. Pada saat ini nilai-nilai dalam dunia pendidikan sudah off
the track  dan memiliki kecenderungan pada pendewaan materialistik-
kapitalistik. Tragisnya lagi, pendidikan juga dihantui dan dirasuki oleh
ideologi-ideologi yang memancangkan nilai-nilai egosentris materialistik,
sehingga ia kurang mampu untuk berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan
dan lazim jika dunia pendidikan mengalami krisis (anomali) orientasi
humanis atau memang ia telah terperangkap dalam dimensi disorientasi
yang berkepanjangan.
Pola problematika tersebut juga terjadi secara spesifik pada pendidikan
Islam yang dikenal sebagai sistem pendidikan yang mengagungkan nilai-
nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Pada bab ini penulis mencoba untuk
melakukan rekonstruksi paradigmatik dalam pendidikan Islam, sebab
problematika substantif yang mengerogoti nilai-nilai kemanusiaan dalam
pendidikan Islam mencengkram kuat. Implikasinya, pembelajarannya
lebih dititik beratkan pada pola formalistik yang sangat minim pemaknaan
pada pesan normatif materinya, sehingga arus penyampaian materi aqidah
dan akhlak yang sarat dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan
hanya sebatas teori yang terus-menerus bersifat verbalistik, padahal yang
diperlukan konstruksi pemahaman dan pemberdayakan masyarakat
dengan nilai-nilai moral keagamaan.

2
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

A. SEPUTAR KONSEP PARADIGMA


Paradigma (paradigm) secara etimologis berasal dari bahasa Yunani
yang terdiri dari dua kata, yaitu para (di samping atau berdampingan)
dan deigma (contoh) (Anwar & Adang, 2008: 37); yang dalam oxford
advanced learner’s dictionaries diartikan dengan (general) pattern atau
model. Bisa juga berarti kaidah, dalil, tasrif dan pola dari sesuatu yang
dianggap benar dan baku. Sesuatu yang dianggap benar dan baku adalah
sesuatu yang dapat dijadikan sumber keyakinan sehingga dapat dijadikan
pedoman, pegangan, tempat berpijak, pondasi, dasar dan rujukan dalam
berpikir, bersikap dan berperilaku. Dengan dasar tersebut ada sebagian
kalangan yang mendefinisikan paradigma sebagai keseluruhan keyakinan-
keyakinan, nilai-nilai, teknik-teknik dan sebagainya yang dimiliki para
anggota suatu masyarakat secara bersama (Ismail, 2003: 183). Akan tetapi,
penulis berkeyakinan sebagaimana ilmuwan-ilmuwan lainnya bahwa
paradigama merupakan seperangkat kepercayaan atau keyakinan yang
sangat mendasar di mana ia memandu dan menuntun tindakan seseorang
dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam riset mereka.
Paradigma dalam berbagai dimensi sering dijadikan sebagai landasan
yang bersifat normatif dalam mengurai berbagai fakta dalam kehidupan
manusia termasuk dalam pencarian ilmu pengetahuan (disciplin inquiry
paradigm). Sikap yang demikian inilah pada akhirnya berakumulasi pada
suatu sikap meyakini secara dasar paradigma tersebut untuk digunakan
mencari kebenaran terhadap realitas untuk dijadikan suatu kerangka
ilmu atau disiplin ilmu pengetahuan. Jelas ketika mengembangkan suatu
paradigma dalam ilmu pengetahuan perlu untuk melihat cara pandang
yang menjadi kerangka dasar dari dimensi filosofis dan metodologis, yaitu:
dimensi ontologik, epistemologik, aksiologik, dan juga metodologiknya.
Dengan dasar itulah pengembangan suatu paradigma ilmu pengetahuan
memiliki kerangka yang sistemik dan masif untuk diverifikasi atau
dianalisis keabsahannya.
Berangkat dari konsep tentang paradigma dan pengembangannya
inilah lantas melahirkan konsep-konsep turunannya seperti world view
(pandangan dunia), frame work (kerangka kerja), logical frame work
analysis dan mindset. Sebagai contoh, keyakinan bahwa kitab suci itu

3
Pendidikan Islam

merupakan wahyu dari Tuhan, memiliki kebenaran dan lantas dijadikan


pedoman, dalil dan rujukan dalam berpikir, bersikap dan berperilaku.
Hal ini disebut paradigma teologis, yaitu pandangan dunia, frame work
dan mindset yang muncul dari sebuah keyakinan teologis, bersumber
dari Tuhan.
Dari paradigma tertentu akan melahirkan nilai dan norma serta teori
dan metode; di mana suatu asumsi dasar dan teoritis yang bersifat general
yang bisa dikatakan sebagai suatu sumber nilai menjadi sumber dari segala
hal dalam pengembangan ilmu pengetahuan termasuk dalam konteks ini
adalah nilai, norma, metode dan acuan teoritis yang nantinya menjadi ciri
umum dan karakteristik ilmu pengetahuan itu sendiri. Apalagi manusia
sebagai makhluk yang bermoral senantiasa mendasarkan tindakannya
pada nilai dan norma tertentu dan akan dinilai dari perspektif nilai dan
moral tertentu pula. Ketika paradigma tertentu tidak dapat lagi dijadikan
pegangan atau tidak lagi mampu menjawab persoalan hidup yang terus
berkembang semakin kompleks dan kualitatif, maka paradigma lama
akan mengalami anomaly dan terjadi krisis. Paradigma dan nilai-nilai
lama tidak lagi dapat dijadikan pegangan sementara nilai-nilai baru
belum terbentuk. Akan tetapi masyarakat manusia adalah makhluk yang
tidak mau hidup dalam kekacauan (krisis dan chaos). Karena itu segera
di bangun paradigma baru.
Dalam dunia akademik, perilaku ilmiah senantiasa didasarkan
pada paradigma tertentu sebagai landasan suatu teori dan metode.
Sebagaimana diketahui, kebenaran ilmiah itu bersifat relatif dan ilmu
pengetahuan terus-menerus diadakan penelitian (research) untuk
menemukan kebenaran baru, merevisi dan menyempurnakan temuan
yang sudah ada. Atas dasar itulah paradigma lama bisa jadi dianggap tidak
lagi relevan lantas menimbulkan krisis dan kemudian muncul paradigma
baru. Thomas S. Kuhn dalam The structur of scientific revolution (1996)
mengelaborasi dengan baik bagaimana perubahan dari paradigma
lama yang mapan kemudian mengalami anomaly, krisis, revolusi dan
kemudian muncul paradigma baru. Apabila diskemakan dalam bentuk
gambar akan tampak sebagaimana berikut:

P.I B NC B A B CR B P.II

4
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

Penjelasan:
PI = Paradigma I
NC = Normal Science
A = Anomalies
C = Krisis
R = Revolusi
P II = Paradigma II

Pendidikan Islam sebagai sebuah science memiliki kebenaran ilmiah


relatif. Problematika di bidang pendidikan yang terus berkembang
mengharuskan adanya solusi-solusi baru yang mungkin tidak dapat
lagi dipecahkan oleh teori-teori lama. Atas dasar itulah diperlukan
pembaharuan pemikiran, pengkajian dan penelitian terhadap pendidikan
Islam mulai dasar-dasar normatifnya, teori, metode dan pelaksanaannya.
Harus segera dijelaskan di sini bukan Islamnya (Al-Qur’an dan Al-Hadits)
yang tidak lagi relevan, melainkan metode pengkajian (pemikiran),
pemahaman dan bentuk pengamalannya yang secara terus-menerus
perlu diperbaharui.

B. FILSAFAT
Istilah filsafat, teologi dan pendidikan Islam adalah istilah-istilah kunci dan
mendasar dalam pembahasan tentang hakikat pendidikan Islam. Beberapa
istilah kunci tersebut perlu dijelaskan terlebih dahulu sebagai konsep yang
berdiri sendiri, sebelum ketiganya dipakai secara bersama-sama untuk
membentuk pemikiran tentang pendidikan Islam. Dengan memahami
masing-masing konsep dasar tersebut diharapkan dapat mengurangi
ambiguisitas (kekaburan) maknanya yang generik dan interpretabel, dan
lebih dari itu dapat menyamakan persepsi tentang istilah yang dimaksud,
sehingga terdapat benang merah dan bahkan hubungan repsirokal dari
masing-masing istilah tersebut dalam upaya membangun pemikiran
tentang pendidikan Islam.

5
Pendidikan Islam

1. Konsep Filsafat
Istilah filsafat berarti cinta kebenaran (Al-Haq) dan kebijaksanaan (Al-
Hikmah). Penggunaan istilah “cinta” bukan istilah lain misalnya penemu,
pemilik dan penjaga, menggambarkan sikap rendah hati para filosof akan
keterbatasannya dalam usaha menggapai kebenaran dan kebijaksanaan
itu. Walaupun telah berpikir tentang sarwa sekalian (yang ada) secara
radikal, universal, spekulatif dan bahkan sistematis, ia tetap belum
mampu menjangkau, menemukan, memiliki, menguasai kebenaran dan
kebijaksanaan dengan sesungguhnya. Ia hanya mendapatkan kebenaran
dan kebijaksanaan itu secara relatif dan temporal. Sedangkan yang hakiki
tetap tidak terjangkau. Ia milik yang maha mutlak, maha adil dan maha
bijaksana yaitu Allah swt. Menyadari akan keterbatasannya itu para filosof
hanya berharap, kagum dan cinta yang sedalam-dalamnya pada kebenaran
dan kebijaksanaan yang hakiki itu, dus kepada yang maha benar dan
maha bijaksana (Allah). Dan perilaku seperti inilah yang menggambarkan
adanya kearifan dan kebijaksanaan (wisdom, hikmah).
Dalam pandangan Islam, kecintaaan, kekaguman dan pengharapan
manusia kepada yang benar dan yang bijaksana itu dinamakan fitrah dan
hanief atau sudah merupakan blue print dari Allah. Fitrah manusia dalam
pandangan Islam bukan hanya bertuhan, melainkan ingin mengenal
lebih jauh dan mencintai Tuhan yang hakiki, Tuhan yang maha benar
dan maha bijaksana. laa ilaha illallah, tiada Tuhan selain Allah.
Filsafat juga disebut sebagai the mother of science, induk dari
ilmu pengetahuan. Menurut Will Durant, filfasat diibaratkan pasukan
marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri.
Pasukan infanteri adalah sebagai pengetahuan yang di antaranya adalah
ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan
keilmuan. Setelah itu ilmulah yang membelah gunung dan merambah
hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang
dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan maka filsafat pun
pergi. Dia kembali menjelajah lautan lepas; berspekulasi dan meneratas
(Suriasumantri, 1987: 22-4). Jika dikatakan secara vulgar, maka filsafat
mengakhiri, ilmu memulai. Filsafat bagaikan azan dan ilmu bagaikan
shalat. Bait-bait azan yang dikumandangkan bukan untuk mengakhiri
kegiatan, melainkan untuk mengawali aktivitas shalat.

6
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

Dalam abad ilmu pengetahuan seperti sekarang ini, hubungan filsafat


dengan ilmu tampaknya mengalami perubahan. Tidak ada ilmuwan atau
filosof yang murni. Young (1980: 26) mengatakan bahwa filsafat berupaya
untuk mengintegrasikan berbagai informasi yang ditemukan oleh sains.
Sains khususnya ilmu-ilmu fisika menerapkan pendekatan analisis,
sedangkan filsafat menempuh pendekatan sinoptik (integratif-sintesis)
dalam kegiatan berpikir, sains memusatkan perhatiannya pada penelitian
dan penemuan data faktual (empiris), sedangkan filsafat tertarik pada
usaha mencari dan menemukan makna dari prinsip kerja yang ditempuh
serta dari data yang tersedia. Kesimpulannya, ilmuwan yang justru sebagai
penemu (discoverer), sedangkan filosof adalah penafsir (interpereter).
Filsafat disebut juga The supreme art, pengetahuan tertinggi atau
The art of life, pengetahuan tentang hidup. Ia bagaikan puncak gunung
tertinggi sehingga dapat dengan jelas dan secara terpadu melihat realitas
di bawahnya. Karena kecintaan, kekaguman dan pengharapan dalam
upaya menggapai kebenaran dan kebijaksanaan dalam kehidupan ini,
menjadikan filsafat memikirkan dengan sungguh-sungguh tentang nilai-
nilai dan tujuan kehidupan yang hakiki (the quest of life) dalam berbagai
aspeknya seperti kebenaran, keadilan, kejujuran dan kasih sayang baik
dalam bidang politik, ekonomi dan sosial budaya. Dengan kata lain,
filsafat mencintai dan mendambakan kehidupan ideal yang menjadi
dambaan setiap manusia.

2. Panggilan Berfilsafat
Berfilsafat dengan demikian merupakan panggilan hidup sebagai
manusia pada umumnya dan lebih khusus lagi sebagai muslim. Dalam
pandangan Islam, berpikir (kontemplasi) adalah aktivitas manusia yang
paling tinggi nilainya. Dengan berkontemplasi manusia dapat mencapai
puncak spiritualitas, yaitu kesadaran akan adanya zat yang Adikodrati,
kebermaknaan ciptaan-Nya, sifat tawadlu’ (rendah hati), ketaatan
serta kesadaran akan asal dan akhir kehidupan (jawa: sangkan paraning
dumadi) (lihat QS. Ali-Imran: 190-194). Comte mengatakan bahwa
berpikir menentukan tingkat peradaban manusia (Veeger, 1993: 23-24).
Dengan berfilsafat, berpikir bisa lebih sistematis, kritis, analitis, sintesis
dan thik deskriptif (thick description) atau penggambaran yang mendalam

7
Pendidikan Islam

sehingga berbagai persoalan dapat dipecahkan secara lebih efektif. Dengan


berfilsafat dapat mengurangi apologi-apologi, truth claim, dan kepicikan
dalam beragama dan sebaliknya dapat memperkaya argumentasi dan
mampu mendialogkan antar teks dengan konteks. Dengan berfilsafat
keluwesan dan keluasan hidup termasuk dalam beragama serta sikap
pluralisme beragama dapat lebih mungkin diwujudkan. Dengan berfilsafat
hidup manusia dan agama dapat lebih bermakna dan fungsional.
Dengan demikian, tidak ada pertentangan apalagi larangan
berfilsafat. Juga tidak seharusnya dengan berfilsafat dikhawatirkan
melahirkan kecongkakan dengan cara menurunkan agama dari tahtanya
atau menganggap Tuhan telah pensiun. Sebab filsafat berupaya meraih
kebenaran sejati (the true truth) dan kebenaran sejati bersumber dari
Allah yang disampaikan manusia sebagai wujud belas kasih Allah kepada
manusia. “Allah tidak menghendaki hambanya hanya cinta dan mengharap
kebenaran dan kebijaksanaan dengan hampa, melainkan dianugerahinya
melalui agama. Karena Allah sangat menghargai dan mencintai hambanya
yang berpikir” (QS. Ali Imran: 191; lihat juga ayat lain dalam QS. al-
Mujaadilah: 11).
Sebagai seorang muslim yang diperintahkan untuk menegakkan
panji-panji kebenaran dan kearifan, tentulah diharuskan untuk berpikir
dan bersikap kritis, analitis dan mandiri. Seorang muslim juga dituntut
bersikap skeptis (tabayyun) dalam arti tidak mudah menerima begitu saja
informasi, pemikiran, hipotesa dan bahkan teori yang diterimanya sebelum
diuji kebenarannya. Dalam era informasi seperti sekarang ini, sikap kritis
ini sangat dibutuhkan agar tidak terombang-ambing oleh pemberitaan-
pemberitaan dari pihak-pihak tertentu baik melalui media cetak maupun
elektronik. Sikap kritis ini diperintahkan oleh Allah secara tegas dalam
QS. al-Hujurat ayat 6, bahwa: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang
informasi dari orang-orang yang diragukan kredibilitasnya (fasik), maka
analisislah(tabayyun) dengan kritis, agar (dengan sikapmu itu) kamu tidak
menyebabkan bencana bagi rakyat yang tidak mengerti, dan juga agar kamu
tidak menyesali akibat perbuatanmu itu” (QS. al-Hujuurat: 6).
Dengan pikiran kritis dan analitis, kita dituntut untuk bersikap wajar
(apa adanya) dan sadar hasil dari perenungan yang seksama. Dengan sikap
kritis kita bisa menerima perbedaan dengan pihak lain, bisa setuju dalam

8
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

perbedaan tanpa dibarengi caci maki. Karena masing-masing menyadari


bahwa setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengemukakan
pendapat berdasarkan pada sistem nilai, informasi maupun agama yang
dianut.
Dalam pergumulan kehidupan manusia, persoalan kebenaran itu
ternyata sangatlah kompleks. Umat Islam tidak cukup bahkan tidak
diperbolehkan hanya berpikir dikotomi secara hitam-putih atau berpikir
normatif dan tekstual belaka. Umat Islam haruslah memiliki idealisasi
normatif disamping harus berpikir dan bertindak secara ma’ruf atau
kontekstual. Untuk itu filsafatlah yang mampu menjadi jembatan antara
teks dan konteks dan antara yang normatif idealistik dengan yang empiris
rasionalistik.

3. Filsafat Sebagai Aksi


Berfilsafat bukan semata-mata pekerjaan para filosof yang hanya
memikirkan hal-hal yang abstrak. Berfilsafat adalah tugas dan kewajiban
setiap orang dengan kadar masing-masing. Sebab setiap manusia pada
dasarnya senantiasa mencari pengertian dan pemaknaan dari setiap
fenomena yang terjadi pada diri dan lingkungannya. Tindakan manusia
senantiasa didasarkan atas fenomena aksi reaksi dan kontemplasi
berdasarkan pilihan-pilihan moral yang dianutnya. Proses pencarian
makna dari setiap fenomena yang terjadi dan pendayagunaan nilai-nilai
moral etis dalam bersikap merupakan upaya manusia dalam menggapai
kebenaran dan kearifan atau minimal ketepatan dalam bersikap.
Atas dasar hal tersebut, Knight dalam Issues and Alternatives in
educational philosophy (1982) mengemukakan bahwa filsafat memiliki
tiga dimensi: sebagai content atau subject matter, sebagai aksi atau
kegiatan, dan sebagai sikap (attitude). Sebagai content, filsafat mempelajari
masalah-masalah metafisika yang membahas tentang “apa yang ada” dan
“mungkin ada” (hakikat Tuhan, manusia penciptaan dan keselamatan
alam), epistemologi membahas teori pengetahuan, sumber pengetahuan
dan batas pengetahuan, dan aksiologi membahas tentang nilai (etika dan
estetika).
Sebagai kegiatan, filsafat menempuh langkah-langkah analisis (Arab:
mujadilah), sintesis (Arab: qiyas), kontemplatif dan preskriptif (memberi

9
Pendidikan Islam

arah). Sebagai suatu proses aksi, filsafat senantiasa bertujuan untuk


membangun jalan pikiran (frame of mind) dalam rangka membentuk
pandangan dunia (worldview). Pandangan dunia merupakan gambaran
yang dimiliki seseorang dalam merespon, mengintepretasikan dan
memberi makna setiap fenomena yang dihadapi. Dalam perspektif teori
mikro rasionalisme, pandangan dunia yang dianut seseorang dinilai
sangat strategis terhadap citra orang yang bersangkutan dan tindakan
yang ditimbulkannya. Sebab setiap perbuatan itu dinilai dari niatnya dan
dampak sosial perbuatan itu. Niat pada dasarnya merupakan aktualisasi
pandangan dunia seseorang. Dengan demikian berfilsafat berarti
membangun tata nilai dan keyakinan agar tindakan yang dilakukan
senantiasa dimengerti, disadari, bermakna dan dapat dijelaskan secara
sistematis.
Sedangkan berfilsafat sebagai sikap sebenarnya merupakan buah
dari poin pertama dan kedua. Maksudnya dengan berfilsafat seseorang
memiliki kesadaran diri, kearifan dan kebijaksanaan. Dimana nilai-nilai
kearifan dan kebijaksanaan terpancang pada kesadaran diri seorang filosof
yang akhirnya membuahkan kesejahteraan bagi diri dan masyarakatnya
yang terbangun dari pandangan hidup dirinya. Dari konteks ini jelas
bahwa apa yang difikirkan dan diinterpretasikan diri filosof atas fenomena
yang tampak, maka hal itu pula yang akan direpresentasikan dalam bentuk
perilakunya. Makna dari fenomena itulah yang menjadi akar dari pola
tindakan (perilaku) filosof.

C. TEOLOGI
1. Pengertian Teologi
Istilah teologi lahir dalam tradisi Kristen. Secara harfiah, teologi berasal
dari bahasa Yunani berarti ilmu ketuhanan. Tapi pengertian ini menurut
Steenbrink (1987: 10) dianggap kurang cocok karena teologi memang
tidak bermaksud membicarakan problematika mengenai ketuhanan baik
wujud, sifat dan perbuatan-Nya, yang dalam khazanah Islam disebut
Ilmu Kalam. Teologi tidak identik dengan ilmu kalam yang berusaha
mempertahankan keyakinan seputar masalah ketuhanan dari serangan-
serangan pihak luar dengan menggunakan pendekatan filsafat atau dalil-
dalil aqli.
10
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

Dalam Encyclopaedia of Religion and Religions, dikatakan bahwa


teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan hubungan-
nya dengan alam semesta, namun seringkali diperluas mencakup seluruh
bidang agama. Teologi dengan demikian memiliki pengertian luas dan
identik dengan ilmu agama itu sendiri. Dan pengertian yang luas inilah
yang secara umum dipakai di kalangan Kristen. Misalnya sekolah teologi
atau fakultas teologi di kalangan Kristen identik dengan sekolah agama
atau fakultas agama di lingkungan Islam yang mengkaji ilmu-ilmu agama
pada umumnya. Dalam diskursus ilmiah, istilah teologi biasanya memiliki
arti yang khusus. Teologi adalah refleksi orang beriman tentang bagaimana
bentuk atau nilai-nilai kualitas iman yang dimilikinya. Kata Anselmus,
teologi adalah fides quarens intellectum, iman yang mencari pengertian
(Amin, 1988: ix). Dengan pengertian yang hampir sama Muslim Abdul
Rahman mengatakan bahwa teologi adalah interpretasi realitas berdasarkan
iman (Amin, Edit., 1989: 158).
Sedangkan menurut Niko Syukur (1985), teologi adalah pengetahuan
adikodrati yang metodis sistematis dan koheren, tentang apa yang
diwahyukan Allah. Boleh dikatakan bahwa teologi adalah refleksi ilmiah
tentang iman. Teologi merupakan ilmu yang “subjektif ” yang timbul dari
dalam, yang lahir dari jiwa yang beriman dan bertaqwa berdasarkan wahyu.
Sementara itu Eka Darmaputera (1991: 9) mengemukakan bahwa teologi
tidak lain dan tidak bukan adalah upaya untuk mempertemukan secara
dialektis, kreatif serta eksistensial antara “teks” dengan “konteks” antara
“kerygma’” yang universal dengan kenyataan hidup yang kontekstual.
Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa teologi adalah upaya untuk
merumuskan penghayatan iman pada konteks ruang dan waktu yang
tertentu. Bisa juga dikatakan bahwa teologi adalah pengkajian, penghayatan
(internalisasi) dan perwujudan (aktualisasi) nilai-nilai iman (ketuhanan)
dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan.
Kalau kita membicarakan teologi, sekurang-kurangnya dilihat dari
tiga segi: teologi aktual yaitu berteologi yang melahirkan keprihatinan
iman dalam wujud tingkah lakunya sehari-hari; teologi intelektual, yaitu
teologi yang melahirkan pemikiran keagamaan berjilid-jilid yang hanya
dipahami oleh para alim ulama di bidang ini; dan teologi spiritual yang
melahirkan perilaku mistik.

11
Pendidikan Islam

Menurut Darmaputera, teologi selalu bertitik tolak dari sebuah


asumsi dasar, yaitu: bahwa Allah yang kita percayai adalah Allah yang
berfirman, Allah yang menyatakan kehendak-Nya, di sepanjang masa bagi
seluruh umat manusia di mana saja. Firman dan kehendak-Nya itu adalah
mengenai kebenaran dan keselamatan serta kesejahteraan manusia bahkan
seluruh ciptaan. Firman dan kehendak-Nya itu berlaku bagi siapa saja, di
mana saja dan kapan saja. Dan oleh karena itu siapapun yang mendambakan
kebenaran, keselamatan dan kesejahteraan tidak dapat tidak, harus dengan
sungguh-sungguh memperhatikan dan memberlakukan Firman Allah
serta kehendak-Nya. Teologi bertolak dari keyakinan itu, dan berfungsi
untuk mencari serta merumuskan kehendak Allah yang menyelamatkan,
mensejahterakan serta merupakan norma kebenaran itu.
Dari mana manusia mampu merumuskan kehendak Allah dan
bagaimana agar manusia mampu bereaksi dalam menyelamatkan dan
mensejahterakan dirinya dan sesamanya? Dalam hal ini Rasulullah SAW
bersabda: “Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, apabila kamu berpegang
teguh pada keduanya niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu:
Kitabullah dan Sunah Rasul”. Dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an
dan Sunah, persoalan belum selesai, justru dengan keduanyalah aksi dalam
rangka merefleksikan nilai-nilai iman (ketuhanan) untuk memecahkan
seluruh masalah (problematika) kemanusiaan dirumuskan berdasarkan
konteksnya.
Mencermati pengertian teologi sebagaimana dikemukakan, istilah
yang mendekati pengertian teologi dalam Islam barangkali adalah iman
dan taqwa. Para ulama biasanya mengartikan iman dengan keyakinan
yang ada dalam hati, dikatakan dengan lisan dan dilaksanakan dengan
perbuatan. Sedangkan taqwa lebih menitikberatkan pada upaya
fungsionalisasi nilai-nilai iman berdasarkan pada konteksnya. Dalam
buku ini istilah teologi dipakai karena lebih tepat untuk menjelaskan
lebih jauh hubungan teks dan konteks, antara dimensi ketuhanan dengan
kemanusiaan, dan antara yang universal dan yang partikular.

2. Teologi Kontekstual
Teologi yang fungsional, yaitu teologi yang bisa membangun etos dan
kesadaran etis dan pada gilirannya melahirkan amal shaleh haruslah

12
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

teologi yang kontekstual. Darmaputera dalam hal ini mengatakan bahwa


teologi yang terasing dari konteksnya tidak akan mampu berfungsi.
Teologi yang hidup adalah teologi mengenai kehidupan; “a living theology
is a theology of life”. Itu berarti bahwa ketika konteks kehidupan berubah,
maka diperlukan pula suatu teologi yang baru. Sebab teologi yang benar-
benar kontekstual senantiasa dinamis dan kreatif, peka dan cepat tanggap
terhadap konteksnya (Darmaputera, 1991: 8).
Dalam kehidupan beragama, terdapat beberapa dimensi yang
merupakan inti dari semua agama. Stark & Glock membagi dalam lima
dimensi: keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan dan seluruh
konsekuensi-konsekuensinya (Robertson, Edit., 1988: 195). Sementara
Darmaputera membagi dalam tiga dimensi: kognitif, ekspresif dan praktis
atau dimensi mitos, ritus dan etika. Dalam Islam, ketiga istilah tersebut
dikenal dengan istilah akidah, ibadah dan akhlak. Perlu ditegaskan di sini
bahwa yang dimaksud akhlak bukan terbatas pada ajaran tentang budi
pekerti, melainkan implementasi nilai-nilai dan ajaran Islam dalam segala
aspek kehidupan. Sebab Islam pada dasarnya tidak mengenal pemisahan
antara urusan agama dengan urusan dunia.
Dimensi manakah yang harus dikontekskan? Bukankah dalam Islam
justru dimensi-dimensi tersebut harus dimurnikan dari unsur-unsur
tahayyul, bid’ah dan khurafat (perifekasi)? Bagaimanakah format teologis
yang mengembangkan perifikasi dan sekaligus memiliki relevansi dengan
konteks (modernisasi)?
Dimensi-dimensi keberagamaan sebagaimana dikemukakan,
merupakan satu kesatuan walaupun dengan fungsi masing-masing. Ibadah
atau ritus misalnya berfungsi mengekspresikan apa yang diyakini dalam
akidah, dan akhlak mempraktekkannya di tengah kehidupan nyata sehari-
hari para panganutnya. Apabila dalam pelaksanaan ibadah menjadi kering
dan tidak dihayati makna simbolisnya, atau apabila akhlak sama sekali
tidak relevan di dalam menghadapi kenyataan hidup sehari-hari, maka
pemahaman baik akidah, ibadah dan akhlaknya (teologisnya) tidak dapat
dipertahankan dan harus diperbaharui. Ketiga-tiganya harus dikontekskan
dengan realitas sehingga mampu melahirkan kepekaan baik etis maupun
sosiologis atau susila maupun sosial.

13
Pendidikan Islam

Dalam perspektif historis sosiologis Islam, kontekstualisasi teologi


Islam dikenal dengan istilah tajdid, pembaharuan, bukan dengan cara
mengurangi atau mengganti inti identitas (core) Islam dengan yang
lain. Kontekstualisasi justru bisa bermakna ortodoksi dan modernisasi
sekaligus. Bentuk kontekstualisasi teologi Islam dengan demikian adalah
upaya pencerahan dan pemberdayaan dimensi-dimensi agama. Dengan itu
diharapkan secara pragmatis agama tetap relevan dengan dinamika zaman
tanpa kehilangan fungsi dasarnya sebagai basyiira (inovatif dan kreatif),
nadziira, (kritis dan evaluatif) dan shiraj al-muniira (direktif).
Ludjito dalam memberikan kata pengantar buku Teologi
Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam mengemukakan lima
fungsi teologi yang kontekstual dengan pembangunan: Pertama, sebagai
mobilisator pembangunan, dengan cara memberikan rumusan etos kerja
yang dinamik, kreatif dan riligius sehingga membuahkan produktivitas;
Kedua, memberikan orientasi dalam pembangunan, yaitu sebagai arah,
titik pijak, kriteria dan kepastian nilai dari proses pembangunan; Ketiga,
sebagai komunikator pembangunan; Keempat komunikator pembangunan;
dan Kelima, evaluator pembangunan.
Dalam berbagai belahan dunia, teologi kontekstual adalah teologi yang
amat menekankan konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya seperti
teologi pembebasan (Brazil), Teologi Hitam (Amerika), Teologi Feminis
(Amerika), Teologi Pembangunan, Teologi Transformatif (Asia), Teologi
Ekologi dan lain sebagainya. Berbagai bentuk atau sifat teologi tersebut
menggambarkan adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan
kontekstualisasi simbol-simbol agama dengan realitas sosial dan hal ini
merupakan upaya yang positif dan bahkan sebagai sebuah keharusan
baik dilihat dari perintah agama itu sendiri maupun tuntutan aktual
masyarakat. Mengingat agama memiliki peranan penting dan mendasar
dalam kehidupan manusia. Agamalah yang mengatur kehidupan manusia
selama dua puluh empat jam.

3. Fungsionalisasi Teologi
Teologi yang benar haruslah teologi yang fungsional; yang bisa
membawa implikasi bagi kehidupan manusia. Beriman yang benar
adalah yang mampu melahirkan amal shaleh, shalat yang benar adalah

14
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

yang mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar dan seterusnya.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimanakah agar berteologi itu benar-
benar fungsional? Sehingga ia benar-benar mampu memberikan dampak
positif bagi manusia dengan nilai-nilai transendental yang diterjemahkan
dalam bingkai profanistik praksis.
Masalah fungsional atau tidaknya sebuah teologi atau keberagamaan
seseorang adalah masalah yang sangat subjektif dan bisa dikatakan pula
sangat irasional karena menyangkut pengalaman keagamaan yang sifatnya
individual. Belum tentu orang yang memiliki pengetahuan keagamaan
yang luas, mengembangkan teologi yang rasional lantas keberagamaannya
fungsional. Sebab kata Muslim Abdul Rahman bahwa persoalan teologi
bukan persoalan pemikiran semata melainkan persoalan pergumulan
(Amin, Edit., 1989: 153).
Berikut ini salah satu model pendekatan fungsionalisasi teologi yang
dimodifikasi dari gagasan Banawiratna (lihat dalam Darmaputera, Peny.,
1991: 54-55) dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Tajdid Teologi

C
7,8,9,10
11

Keprihatinan Iman B D Aksi Sosial

5,6 12

A
2,3,4 1
Konteks

Sebagaimana nampak dalam gambar, fungsionalisasi teologi ditempuh


melalui empat tahap dan dua belas langkah sebagai berikut:

A. Pengkajian konteks:
1). Pengumpulan data lapangan
2). Perumusan permasalahan
3). Analisis data lapangan
4). Merumuskan fokus refleksi

15
Pendidikan Islam

B. Keprihatinan Iman:
5). Menemukan tindakan moral religius
6). Merumuskan keprihatinan iman

C. Tajdid teologi:
7). Dialektika teks (doktrin) dan ide moral Islam dengan konteks
8). Dialektika dengan kondisi aktual umat
9). Dialektika dengan tantangan ke depan umat
10). Pembaharuan teologis

D. Aksi Sosial:
11). Merumuskan aksi sosial
12). Melakukan aksi sosial untuk bekerjasama dengan komponen-
komponen umat dan bangsa.
Pengkajian data lapangan bisa dilakukan dengan cara melakukan
penelitian secara ilmiah atau melalui pengalaman keagamaan. Sebab
fungsionalisasi teologi ini tidak sama dengan penggunaan suatu alat atau
teknologi untuk tujuan tertentu yang banyak melibatkan dimensi luar,
melainkan lebih menekankan perspektif dalam diri perilaku manusia
(inner perspective of human behavior) dari masing-masing orang
beriman. Dengan berteologi yang benar, mestinya akan melahirkan
nilai-nilai yang positif, kreatif dan inovatif bagi perwujudan kualitas
kehidupan dalam segala dimensinya. Nilai-nilai itu bisa berupa
inner dinamic, etos kerja, need of achievement, calling to life dan lain
sebagainya.

4. Berteologi di Bidang Pendidikan


Di muka telah dikemukakan bahwa berteologi yang fungsional adalah
teologi yang kontekstual. Ini berarti berteologi harus senantiasa
berdialektika dengan konteks substansi, ruang dan waktu. Berteologi yang
tidak kontekstual dengan sendirinya teologinya juga tidak fungsional,
melahirkan perilaku beragama yang eksklusif, mistik dan individualistik.
Berteologi di bidang pendidikan berarti berusaha mengkontekskan
keprihatinan iman atau panggilan hidup berdasarkan perintah keagamaan
dengan masalah-masalah pendidikan.
Sebagaimana dikemukakan di muka, Islam adalah agama yang tidak

16
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

mempertentangkan antara urusan agama dengan urusan dunia bahkan


antara dunia dengan akhirat. Pernyataan ini diwujudkan dalam diri
Rasulullah SAW yang oleh Rahman dalam Encyclopaedia of Seerah yaitu
sebagai Nabi, pemimpin militer, negarawan dan pendidik umat manusia
(Vol. I. 1985: 206). Tentang kedudukan Rasulullah sebagai pendidik,
dalam Muhammad The Educator, mengatakan: “Muhammad betul-betul
seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan
kebahagiaan yang lebih besar. Tidak dapat dibantah lagi bahwa Muhammad
sungguh telah melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong
perkembangan budaya Islam, suatu revolusi sejati yang memiliki tempo
yang tidak tertandingi dan gairah yang menantang. Hanya konsep
pendidikan yang paling dangkallah yang berani menolak keabsahan
meletakkan Muhammad di antara pendidik-pendidik besar sepanjang
masa, karena dari sudut pragmatis seorang yang mengangkat perilaku
manusia adalah seorang pangeran di antara para pendidik” (Rahmat, 1991:
113). Bahkan dalam sebuah Hadits Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya
aku diutus sebagai pendidik” (HR. Ibnu Majah). Dalam riwayat lain Beliau
bersabda: “Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadikan
pendidikanku yang terbaik” (Al-Attas, 1987: 60).
Dalam QS. al-Anbiya’ ayat 107 Allah berfirman yang artinya: “Dan
tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk menjadi
rahmat bagi semesta alam”. Kesejahteraan seluruh alam dan bukan orang
Islam saja atau manusia saja melainkan seluruh jagad raya dengan segala
isinya adalah ide moral Islam. Ini berarti misi Islam tidak sektarian
dan sektoral, melainkan misi universal. Bagi pengikut Muhammad,
mensejahterakan kehidupan ini merupakan panggilan keimanannya
kepada Allah dan kesetiaannya kepada Rasul dan karena itu wajib
hukumnya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, upaya mewujudkan misi Islam
tersebut tentunya ada pembagian tugas dari masing-masing anggota
atau komunitas masyarakat. Misalnya ada yang menangani bidang
pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain sebagainya. Dalam Islam,
hukum dalam penanganan masing-masing bidang tersebut bersifat
fardu kifayah, yang berarti kalau ada salah satu komunitas yang
menangani permasalahan tersebut dengan berkualitas, maka seluruh
anggota masyarakat mendapatkan telah gugur dari kewajiban dan mulia

17
Pendidikan Islam

(berpahala) masyarakat itu, dan bila sebaliknya maka tercela (dosa)-lah


seluruh anggota masyarakat itu. Dengan demikian berteologi di bidang
pendidikan berarti mencurahkan segala perhatian dan kemampuan
untuk mengembangkan pendidikan yang berkualitas dalam rangka
terwujudnya kehidupan yang rahmatan lil’alamin. Berteologi di bidang
pendidikan (terutama pendidikan formal) hukumnya fardu kifayah.

D. PENDIDIKAN
Istilah pendidikan adalah istilah generik, dalam arti dapat diartikan secara
luas maupun sempit. Lodge dalam bukunya Philosophy of Education
menyatakan dalam arti luas, pendidikan adalah: “In the wider sense, all
experience is said to the educative life is education, and education is life”.
Sedangkan dalam pengertian sempit, Lodge mengemukakan pendidikan
berarti penyerahan adat istiadat (tradisi) dengan latar belakang sosialnya,
pandangan hidup masyarakat itu kepada warga masyarakat generasi
berikutnya. Dalam pengertian lebih khusus lagi Lodge menyatakan bahwa
pendidikan dalam prakteknya identik dengan “sekolah”, yaitu pengajaran
formal dalam kondisi-kondisi yang diatur (lihat Lodge, 1948: 23).
Sedangkan Langeveld mendefinisikan pendidikan sebagai pertolongan
secara sadar dan sengaja kepada seorang peserta didik (yang belum
dewasa) dalam pertumbuhannya menuju ke arah kedewasaan dalam arti
dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab susila atas segala tindakannya
menurut pilihannya sendiri (lihat dalam Daulay, Edit., 2012: 12).
Istilah pendidikan dapat diartikan dengan lebih khusus lagi yaitu
sebagai proses belajar-mengajar di kelas dan ilmu mendidik (pedagogy).
Istilah pedagogi sendiri kemudian berkembang menjadi suatu ilmu atau seni
mengajar anak-anak (pedagogy is the science and arts of teaching children).
Perkembangannya kemudian sejak awal tahun 1980-an dikembangkan
pendekatan kontinum (contiuum learning approach) atau pendekatan berdaur
dan berkelanjutan dalam pembelajaran. Di mana dalam pendekatan ini
dapat dimulai dari pedagogi dilanjutkan ke andragogi; atau pula sebaliknya,
yaitu berawal dari adragogi dilanjutkan ke pedagogi, dan seterusnya (Tim
Pengembang Ilmu Pendidikan, 2007: 1-2).

18
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

Dari segi istilah, pendidikan berasal dari dua kata Latin educare
dan educeere. Yang pertama memberi arti “merawat, melengkapi dengan
gizi agar sehat dan kuat”; sedangkan yang kedua berarti “membimbing
ke luar dari” (Sidjabat, 1994: 8). Sehingga ada sebagaian kalangan yang
mendefinisikan pendidikan sebagai bentuk usaha mendewasakan peserta
didik (yang masih belum dewasa (anak-anak). Salah satunya adalah dalam
Ensiklopedi Pendidikan (1982) yang menjelaskan bahwa pendidikan
berarti: “semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan
pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, serta keterampilannya
kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi
fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah”.
Sedangkan menurut Brubacher dalam Modern philosophy of education
(1969: 371) dikatakan bahwa pendidikan sebagai proses timbal balik dari
setiap pribadi manusia dalam penyesuaian dirinya dengan masyarakat,
dengan teman, dan dengan alam semesta. Pendidikan merupakan pola
perkembangan yang terorganisasi dan kelengkapan dari semua potensi
manusia; moral, intelektual dan jasmani (pancaindra), oleh dan untuk
kepribadian individunya dan kegunaan masyarakatnya, yang diarahkan
demi menghimpun semua aktivitas tersebut bagi tujuan hidupnya.
Pendidikan adalah proses yang mana potensi-potensi ini (kemampuan,
kapasitas) manusia yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan
yang baik, oleh alat (media) yang disusun sedemikian rupa dan dikelola
oleh manusia untuk menolong orang lain atau dirinya sendiri mencapai
tujuan yang ditetapkan.
Dari beberapa pengertian tentang pendidikan tersebut, penulis
mencoba untuk menyimpulkan bahwa yang dimaksud pendidikan adalah
usaha sadar atau bersahaja dengan bantuan orang lain (pendidik) atau
secara mandiri sebagai upaya pemberdayaan atas segala potensi yang
dimiliki (jasmaniah dan rohaniah) agar dapat menciptakan kehidupan
yang fungsional dan bernilai bagi diri dan lingkungannya. Pendidikan
adalah sebuah proses perubahan manusia dari tidak berdaya (powerless)
menjadi berdaya (powerfull), dari tidak memiliki harapan (hopeless)
menjadi berpengharapan (hopeness).
Pengertian tentang konsep pendidikan masing-masing dari ahli
memiliki kosa kata yang berbeda-beda pula. Misalnya aliran progressivisme

19
Pendidikan Islam

dan rekonstruksionisme lebih menekankan pendidikan sebagai upaya


rekonstruksi pengalaman agar dapat menyesuaikan dengan dinamika
dan tuntutan lingkungan agar dapat menyesuaikan dengan dinamika
dan tuntutan lingkungan sebagai akibat dari pengaruh kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara aliran esensialisme dan
parenialisme lebih menekankan pendidikan sebagai proses pewarisan
nilai-nilai luhur dari generasi sebelumnya kepada generasi penerus.
Walaupun terdapat perbedaan rumusan, akan tetapi semuanya
dapat ditarik benang merahnya, bahwa pendidikan senantiasa memiliki
dua persoalan penting yaitu pewarisan nilai dan pemberdayaan. Dalam
pewarisan nilai penekanannya core kurikulum, bahwa kurikulum yang
baik adalah nilai-nilai tradisi dan kebudayaan terbaik yang telah teruji
dalam sejarah dan pendidikan berarti upaya membentuk masyarakat ideal
sebagaimana yang terjadi sebelumnya. Karena pendidikan menyangkut
pembentukan kepribadian manusia dan masyarakat, niscaya tidak boleh
berspekulasi dengan cara memberikan nilai-nilai lain yang belum teruji
dalam sejarah. Demikianlah pandangan esensialime.
Sedangkan yang menekankan pada pemberdayaan lebih
mengutamakan pada kepentingan si terdidik. Si terdidiklah yang akan
mengalami hari esok, dan hari esok pasti akan mengalami perubahan.
Pendidikan bukan upaya untuk mengawetkan apa yang ada dalam
masyarakat yang dilakukan oleh orang-orang yang ketakutan menghadapi
perubahan. Pendidikan juga bukan sekedar untuk menciptakan
masyarakat yang lebih baik dengan cara menguasai kurikulum yang
diberikan guru, lebih dari itu pendidikan harus mampu membuat peserta
didik haus akan ilmu pengetahuan dan partisipasi intelektual sepenuhnya
dari para pelajar sebagai individu. Sekolah jangan memisahkan diri dari
kenyataan-kenyataan yang ada atau masalah-masalah yang dihadapi
masa kini dan kecenderungannya di masa depan. Pendidikan adalah
proses pergumulan dengan kenyataan hidup yang senantiasa mengalami
perubahan. Karena itu kata Elmo Roper: “Hanya pikiran yang sabar dan
berisi, hanya pikiran yang tidak berhenti berkembang saja yang siap
untuk memberikan konstribusi terhadap masyarakat demokrasi yang
modern” (Battle & Shannon, 1982: 8).

20
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

Terlepas dari perbedaan makna terpenting dari apa yang disebut


pendidikan, pendidikan adalah persoalan yang paling strategis bagi
kehidupan manusia baik dalam perspektif individu, masyarakat dan
bangsa. Dalam hal ini John Dewey dalam Democracy and Education
(1966) mengemukakan bahwa pendidikan adalah sebagai salah
satu kebutuhan hidup (a necessary of life), salah satu fungsi sosial (a
social function), sebagai bimbingan (a direction) dan sebagai sarana
pertumbuhan (as growth), yang mempersiapkan dan membukakan
serta membentuk disiplin hidup. Lebih jauh, Harold G. Shane dalam
The Education Significance of the Future (1984: 38-9) mengatakan
bahwa: pertama, pendidikan adalah suatu aktivitas yang mapan untuk
memperkenalkan si pelajar pada keputusan sosial yang timbul; kedua,
pendidikan dapat dipakai untuk menanggulangi masalah sosial tertentu;
ketiga, pendidikan telah memperlihatkan kemampuan yang meningkat
untuk menerima dan mengimplementasikan alternatif-alternatif baru;
dan keempat, pendidikan barangkali merupakan cara terbaik yang dapat
ditempuh masyarakat untuk membimbing perkembangan manusia
sehingga pengamanan dari dalam berkembang pada setiap anak dan
karena itu dia terdorong untuk memberikan konstribusi pada kebudayan
hari esok.

E. SEPUTAR KONSEP PENDIDIKAN ISLAM


1. Konsep Pendidikan Islam
Konsep “pendidikan Islam” seringkali mengundang keragaman arti dan
definisi. Pendidikan Islam, seringkali dimaksudkan sebagai pendidikan
dalam arti sempit yaitu proses belajar mengajar dimana agama Islam
menjadi “core curucullum”. Pendidikan Islam bisa pula berarti lembaga
pendidikan yang di dalamnya terdapat kegiatan yang menjadikan Islam
sebagai identitasnya, baik dinyatakan dengan semata-mata maupun
tersamar. Perkembangan terakhir memberikan pengertian bahwa
pendidikan Islam diberi arti lebih subtansial sifatnya, yaitu bukan sebagai
proses belajar mengajar, maupun jenis kelembagaan, akan tetapi lebih
menekankan sebagai suatu iklim pendidikan atau “education atmosphere”,
yaitu suatu suasana pendidikan yang Islami, memberi napas keIslaman
pada semua elemen sistem pendidikan yang ada.
21
Pendidikan Islam

Beberapa pengertian pendidikan yang penulis paparkan pada sub


bab terdahulu dimaksudkan untuk mengawali pembicaraan tentang
“pendidikan Islam” secara lebih mendalam, dengan mengkaji dasar
filosofisnya dari sumber ajaran Islam, sehingga dapat mempermudah
arah pemahaman tentang pendidikan Islam hingga menjadi tema
sentral dalam buku ini. Dengan demikian, arah pergumulan diskursus
yang muncul dalam buku ini dapat mengerucut pada pembingkaian
pendidikan Islam yang dimaksud penulis.
Perdebatan di sekitar ada atau tidaknya pendidikan Islam, tampaknya
masih menjadi persoalan hangat di kalangan para pemikir pendidikan Islam.
Islam sebagai sistem nilai universal dan diyakini mutlak kebenarannya
seharusnya memberi paradigma filosofis dan teologis terhadap pendidikan
Islam itu sendiri. Tetapi sayangnya pengertian pendidikan Islam yang
berkembang dalam masyarakat baru sekedar menerapkan etika Islam
dalam pemanfaatannya atau lebih sederhana lagi sebagai sebuah nama
dari lembaga pendidikan yang dikelola oleh kaum muslimin. Padahal yang
namanya pendidikan Islam seharusnya pengejawantahan nilai-nilai Islam
dalam pendidikan baik secara ontologis, epistemologis dan aksiologisnya.
Adanya perbedaan dalam memahami hakikat pendidikan Islam
tersebut barangkali disebabkan perbedaan dalam memahami hakikat,
luas lingkup dan fungsi Islam. Dalam peta pemikiran Islam yang antara
lain dikemukakan oleh Munawir Sadzali (1990) mengemukakan di
kalangan kaum muslimin sendiri ada empat pola pemahaman:
pertama, Islam sebagai agama terakhir dan penyempurna dari
agama-agama wahyu sebelumnya. Islam adalah puncak evolusi agama-
agama samawi karena itu ajarannya mencakup segala aspek kehidupan
umat manusia. Kalangan ini biasanya mengemukakan pernyataan
bahwa Islam mengatur dari permasalahan-permasalahan kecil seperti
bagaimana adab atau cara masuk kamar kecil sampai pada masalah-
masalah kenegaraan, kemanusiaan, sistem ekonomi dan lain sebagainya,
termasuk di dalamnya adalah bidang pendidikan. Kelompok ini
biasanya dijuluki dengan kelompok universalis, bersikap lebih radikal
dan dalam memahami Islam pada umumnya lebih skripturalis. Asumsi
yang mendasari kelompok ini adalah bahwa zaman Rasulullah adalah
zaman yang paling baik (ideal) sehingga masa-masa sesudahnya harus

22
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

merujuk pada zaman Rasulullah itu. Misalnya kaum perempuan harus


memakai pudak (menutup seluruh tubuhnya), sedangkan kaum lelaki
memakai jubah dan memelihara jenggot sebagaimana yang pernah
dipraktekkan Rasulullah dan para sahabatnya. Karena itu, pendidikan
Islam menurut kelompok ini adalah harus merujuk pada pendidikan
yang secara sosiologis dicontohkan Rasulullah dan generasi sahabatnya.
Pendidikan Islam, laki-laki dan perempuan dipisahkan dan berpakaian
khas.
Kedua, berpendapat bahwa Islam hanya mengatur hubungan antara
manusia dan Tuhannya, mengajak manusia kembali kepada kehidupan
mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti yang luhur, sedang urusan-
urusan keduniaan termasuk tentang pendidikan, manusia diberikan hak
otonomi untuk mengaturnya berdasarkan kemampuan akal budi yang
diberikan kepada manusia. Kelompok ini berpendapat bahwa pendidikan
Islam itu tidak ada, yang ada adalah pendidikan Islami (dengan memakai
ya’ nisbah: sifat). Pendidikan menurut kelompok ini secara epistemologis
berada dalam kawasan yang bebas nilai. Islami tidaknya sebuah pendidikan
sangat tergantung pada human being-nya dalam hal ini sejauh mana
komitmen pelakunya terhadap Islam. Islam hanya menempati kawasan
aksiologis, nilai-nilai etis dalam pemanfaatan dan berada di luar struktur
ilmu pendidikan. Karena itu yang disebut pendidikan Islami adalah
pendidikan yang secara fungsional mampu mengemban misi Islam baik
yang secara formal beredentitas (bersimbol) Islam atau tidak.
Ketiga, Islam bukanlah sebuah sistem kehidupan yang praktis dan
baku, melainkan sebuah sistem nilai dan norma (perintah dan larangan)
yang secara dinamis harus dipahami dan diterjemahkan berdasarkan
setting sosial dan dimensi ruang dan waktu tertentu. Karena itu secara
praktis dalam Islam tidak terdapat sistem ekonomi, politik, pendidikan dan
lain sebagainya yang secara tersurat dan baku. Akan tetapi manusia dalam
hal ini umat Islam yang telah diberi amanah sebagai khalifah di muka
bumi, diperintahkan untuk membangun sebuah sistem kehidupan praktis
dalam segala aspek dalam rangka mengamalkan nilai dan norma Islam itu
dalam kehidupan nyata. Karena itu dalam Islam hanya terdapat pilar-pilar
penyangga tegaknya sistem pendidikan Islam seperti tauhid sebagai dasar
pendidikan, konsep manusia yang melahirkan, yang memberi arah tentang
tujuan pendidikan, serta konsep tentang ilmu-ilmu yang merupakan isi

23
Pendidikan Islam

dari proses pendidikan. Tegaknya sistem pendidikan merupakan kawasan


ijtihadi yang dibangun berdasarkan nilai-nilai Islam tadi. Dengan kata lain,
dalam pendidikan ini, Islam hanya menyediakan bahan baku, sedangkan
untuk menjadi sistem yang operasional, manusia diberi kebebasan untuk
membangun dan menterjemahkannya. Karenanya tidak ada pendidikan
Islam yang baku, melainkan manusia dirangsang untuk menciptakan
sistem pendidikan yang paling ideal.
Kelompok ini biasanya dipelopori oleh kalangan cendikiawan
yang secara intelektual mampu menangkap ide moral atau hikmah
diturunkannya Islam. Islam adalah pedoman hidup universal (sesuai
dengan fitrah manusia), eternal (abadi) dan kosmopolit (lengkap dan
mendorong untuk keperadapan). Karenanya sebagian besar hanya berupa
nilai-nilai luhur dambaan manusia dari berbagai suku bangsa dan berbagai
kurun waktu. Islam adalah agama yang kontekstual untuk semua zaman
(waktu) dan makan (tempat).
Keempat, mengatakan bahwa Islam itu adalah petunjuk hidup yang
menghidupkan. Islam tidak memberikan petunjuk terhadap semua aspek
kehidupan manusia yang bersifat baku dan operasional. Karena hal ini
akan mematikan kreativitas dan memasung kebebasan manusia. Yang
diberikan petunjuk secara rinci dan operasional oleh Islam hanyalah hal-
hal tertentu dianggap khusus, krusial dan memang tidak memerlukan
kreativitas pemikiran manusia. Misalnya masalah ibadah mahdhah
(ibadah dalam arti khusus) dan beberapa hal yang berhubungan dengan
keluarga seperti kedudukan dan hubungan kekeluargaan, masalah
perkawinan dan waris. Sedangkan dalam masalah-masalah lain terutama
yang menyangkut kehidupan keduniawian (muamalah), Islam hanya
memberikan petunjuk umum baik berupa petunjuk, nilai, etik, modal,
postulat maupun hipotesis sejarah. Karena itu masalah ekonomi, politik
dan pendidikan sebagai masalah yang menyangkut urusan muamalah,
Islam hanya memberikan petunjuk sebagai azas, tujuan dan nilai-nilai
etis berkenaan dengan operasionalisasi bidang-bidang tersebut.
Kelima, pendapat tersebut sebenarnya tidak ada yang salah sehingga
tidak perlu yang satu menyalahkan yang lain. Persoalan pemahaman itu
pasti kebenarannya, sedangkan yang absolut kebenarannya hanya Islam
itu sendiri. Akan tetapi dalam kaitannya dengan persoalan hidup dan

24
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

kehidupan ini, menurut penulis pendapat ketiga yang lebih mendekati


dengan prinsip-prinsip ajaran Islam antara lain: memudahkan dan
mendorong kepada kemajuan. Artinya, ajaran Islam benar-benar menjadi
spirit dalam setiap praktek perilaku yang ditorehkan oleh umat Islam
hingga mereka tidak akan serta merta memaksakan sistem pandangan
(versi) mereka sendiri.

2. Dasar Teologis Pendidikan Islam


Zarqawi Soejoeti dalam makalahnya tentang model-model perguruan
tinggi Islam mengemukakan bahwa pendidikan Islam paling tidak
mempunyai tiga pengertian: Pertama, lembaga pendidikan yang pendirian
dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat mengejawantahkan nilai-
nilai Islam yang tercermin dalam nama lembaga pendidikan itu dan
kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Dalam pengertian ini Islam
dilihat sebagai sumber nilai harus diwujudkan dalam kehidupan lembaga
pendidikan yang bersangkutan; Kedua, lembaga pendidikan yang
memberikan perhatian dan menyelenggarakan kajian tentang Islam yang
tercermin dalam program kajian sebagai ilmu diperlakukan seperti ilmu-
ilmu lain yang menjadi program kajian lembaga pendidikan Islam yang
bersangkutan; dan Ketiga, mengandung kedua pengertian-pengertian
pertama dan kedua, dalam arti lembaga tersebut memperlakukan Islam
sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah laku yang harus tercermin
dalam penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian yang tercermin
dalam program-program kajiannya.
Dalam mengkaji secara lebih mendalam tentang pendidikan Islam ini,
ketiga defenisi tersebut akan dipergunakan, terutama dalam menganalisis
pendidikan Islam yang sekarang ini berkembang di masyarakat. Konsep
pendidikan Islam sebagaimana dikemukakan Zarqawi Soejati tersebut,
walaupun belum cukup memadai secara falsafi untuk disebut sebagai
pendidikan Islam, tetapi kiranya dapat dijadikan sebagai pengantar
dalam memahami pendidikan Islam secara lebih mendasar.
Sebagaimana diyakini, setiap muslim bahwa Islam adalah puncak
evolusi agama-agama samawi yang mengemban misi rahmatan lil ’alamin,
yaitu terciptanya kerajaan dunia yang makmur, dinamis, harmoni dan
lestari sehingga seluruh penghuninya baik manusia maupun makhluk-

25
Pendidikan Islam

makhluk lain merasa sejahtera dan penuh rasa syukur aman di dalamnya.
Artinya, umat Islam benar-benar menjelma menjadi umat yang membawa
misi perdamaian yang tidak hanya dirasakan oleh umat Islam sendiri
namun juga dirasakan oleh umat yang lain dan juga seluruh makhluk
ciptaan Allah semua.
Dalam konsep Islam, rahmatan lil’alamin dapat tercipta secara
dinamis apabila manusia dapat mengemban fungsinya sebagai khalifah
secara konsekuen dan penuh tanggung jawab, dalam arti dapat
menempatkan dirinya secara proporsional dalam hubungannya dengan
Tuhan, sesama manusia dan dengan alam. Islam menempatkan manusia
sebagai komponen penentu dalam sistem kehidupan dunia ini. Kalau
dianalogikan dengan sebuah permainan drama: Manusia sebagai khalifah
atau peran utama, Tuhan sebagai rabb atau skenario, dan alam sebagai
sarana dan alat bantu.
Allah dalam hal ini sebagai rabbul ‘alamin dan rabbunnas. Kata “rabb”
mempunyai pengertian yang luas antara lain meliputi: menciptakan,
memiliki, menguasai, mengatur, memelihara, menyayangi, memberi
makan, memberi petunjuk, menumbuhkan dan mengembangkan.
Semua pengertian itu dapat dirangkum dalam istilah mendidik. Karena
itu untuk istilah pendidikan, di kalangan kaum Muslimin terkecuali
pendapat Syeh Muhammad al-Naquib al-Attas, dipakai istilah “tarbiyah”,
yang merupakan masdar (kata jadian dari akar kata “rabb”, yakni: Rabba
– yurabbi – tarbiyyan – tarbiyyatan.
Kalau kata “rabb” dirangkai dengan kata “al-amin” atau “al-nas”,
mengandung pengertian bahwa Allah yang mendidik, yaitu menciptakan,
memiliki, menyayangi, memelihara, menumbuhkan, mengarahkan,
membimbing dan mencukupi kebutuhan manusia dan alam secara
evolusioner (berangsur-angsur) sehingga mencapai kesempurnaan.
Seperti kita saksikan bahwa alam ini mempunyai keteraturan dan
kesempurnaan yang luar biasa, dan manusia mempunyai potensi yang
luar biasa pula untuk mengelola alam dan menciptakan peradaban. Siapa
yang dapat menunjukkan kecacatan penciptaan alam dan manusia?
Subhanallah, tidaklah semua ini Kau ciptakan denga sia-sia.
Sedangkan manusia berperan sebagai khalifah (QS. al-Baqarah: 30;
lihat juga dalam QS. ath-Thalaaq: 65 dan ayat-ayat lainnya). Kata khalifah

26
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

secara lughawi (etimologi) berarti pengganti, penguasa, eksekutif,


mandataris dan pemegang amanat. Maksudnya adalah mandataris
untuk menerjemahkan, menjabarkan dan mewujudkan fungsi Allah
sebagai rabbul alamin dan rabbun nas di dunia ini. Dengan demikian
tugas kependidikan dalam Islam merupakan bagian tidak terpisahkan
dari tugas hidup manusia dalam memerankan fungsinya mewujudkan
rahmatan lil ‘alamin. Dengan demikian persoalan pendidikan dalam
Islam adalah persoalan hidup dan kehidupan manusia dalam berbagai
dimensinya.
Sementara itu alam merupakan sarana dan wahana yang representatif
bagi manusia dalam melaksanakan amanat kekhalifahannya. Alam
di samping mempunyai potensi dan kekuatan yang luar biasa dalam
memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas baik kuantitatif
maupun kualitatif, juga mengikuti sunnatullah atau hukum alam yang
bersifat pasti. Karena itu sebagai khalifah Allah di muka bumi manusia
dituntut kecerdasan dan perjuangannya untuk dapat menguasai hukum
alam, mengolah, mengembangkan dan melestarikan sumber dayanya.
Agar manusia dapat berperan sebagai khalifah dan mampu
mewujudkan rahmatan lil ‘alamin, pada hakikatnya Allah telah memberikan
pendidikan kepada manusia dengan sempurna. Di dalam salah satu ayat
dceritakan bahwa “Allah telah menciptakan manusia dengan unsur-unsur
dan perlengkapan sempurna, sehingga memungkinkan untuk melaksanakan
tugas-tugas kekhalifahan yang sesungguhnya sangat berat. Pertama-tama
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk alamiah, dengan unsur-unsur
yang sama dengan unsur-unsur yang ada di alam, tapi dengan bentuk yang
paling sempurna” (QS. al-Maaidah: 110; juga lihat dalam ayat yang lain
QS. at-Tiin: 4). Sehingga secara fisik maupun psikis dapat mengatasi dan
mampu menguasai alam lingkungan hidupnya. Bahkan di sisi yang lain,
Allah juga menganugerahkan potensi lainnya; “Kemudian Allah melengkapi
manusia dengan unsur ruh yang berasal dari Allah sendiri” (QS. al-Hijr:
29). Unsur ruh inilah yang merupakan unsur pokok dalam diri manusia,
yang membedakannya dengan makhluk-makhluk alamiah yang lainnya,
dan menyebabkan manusia mampu memikul tanggung jawab.
Sebelum manusia memulai tugasnya sebagai khalifah di dunia ini,
sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, Allah mengajarkan kepada

27
Pendidikan Islam

manusia “nama-nama” (simbol-simbol/teori-teori/hukum-hukum) dari


segala sesuatu (lihat normatifnya dalam QS. al-Baqarah: 31). Nama-
nama tersebut meliputi nama sesuatu yang ada di alam serta nama-nama
Allah yang indah (al-asma’ al-husna) sebagai sifat-sifat fungsional Tuhan
yang mesti diinternalisasi dan diaktualisasikan oleh manusia sebagai
bekal dalam membangun dunia. Inilah konsep fitrah dalam Islam,
dimana manusia lahir telah membawa potensi mengenal Allah dan alam.
Dengan bekal fitrah itulah manusia tumbuh dan berkembang sebagai
hamba Allah dan sebagai khalifah; yaitu makhkuk yang berbudaya.
Kemudian Allah juga melengkapi bekal hidup manusia dengan petunjuk-
petunjuknya yang tekstual (wahyu atau agama) agar dalam mengemban
misinya yang kompleks, manusia memiliki pegangan yang terang dan
jelas, dapat membedakan yang hak dan yang bathil, yang diridlai Allah
dan yang dibenci-Nya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah
pendidikan yang berwawasan semesta, yaitu ketuhanan, kemanusiaan
dan kealaman secara utuh dan integratif. Dengan kata lain, pendidikan
Islam berparadigma transendensi (ketuhanan) dan objektifikasi (manusia
dan alam). Dua paradigma ini antara satu dengan yang lainnya tidak bisa
dipisahkan dan berdiri sendiri, tetapi dua paradigma ini (yaitu ketuhanan
dan kemanusiaan) terintegrasi dalam sistem pendidikan Islam.
Wawasan ketuhanan (tauhid) atau iman menumbuhkan keyakinan,
etos dan idealisme, wawasan kemanusiaan menumbuhkan kearifan,
egalitarianisme dan kasih sayang sesama. Sedangkan wawasan tentang alam
menumbuhkan sikap ilmiah dan rasa tanggung jawab untuk mengelola dan
melestarikannya. Ketiga wawasan tersebut diharapkan dapat melahirkan
kebudayaan yang berkualitas (ahsana amala) dan rahmah kepada sesama
sebagaimana dikehendaki oleh nurani manusia, dan bukan kebudayaan
yang justru menumbuhkan ketakutan, kekejaman dan menurunkan
derajat dan martabat kemanusiaan.
Dengan demikian, pendidikan menurut Islam berfungsi sebagai
penentu dan pemberi corak dari kehidupan manusia itu sendiri. Itulah
sebabnya Islam menegaskan bahwa pendidikan itu diwajibkan bagi kaum
Muslimin dan Muslimat, berlangsung seumur hidup, kapan saja dan di
mana saja. Rasulullah bersabda: “Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi

28
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

Muslim dan Muslimat”; hadits lain mengatakan: “Tuntutlah ilmu dari


buaian sampai ke liang lahat”; Hadits lainnya “Tututlah ilmu sampai ke
negeri Cina”. Di mana hadits-hadits ini merupakan hadits yang memuat
tentang keutamaan menuntut ilmu; bahkan dalam hadits lain Rasulullah
bersabda: “Pelajarilah ilmu karena belajar itu bagi Allah merupakan suatu
kebaikan, menuntut ilmu itu merupakan tasbih, mencari ilmu merupakan
suatu jihad, mengejar ilmu merupakan suatu ibadah, mengajarkan
ilmu adalah suatu ibadah, sedangkan menggunakan ilmu itu bagi yang
membutuhkannya merupakan suatu taqarrub atau pendekatan diri
kepada Allah” (Al-Abrasy, 1984: 38).
Fungsi pendidikan tersebut dapat dicapai lewat transmisi baik dalam
bentuk (pendidikan) formal maupun nonformal. Dan agar pendidikan
dapat berfungsi maksimal terutama dalam mempersiapkan peserta
didik dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan dalam menghadapi
perubahan, pendidikan senantiasa mengundang pemikiran dan kajian baik
secara konseptual dan operasionalnya. Sehingga diperolah relevansi dan
kemampuan menjawab tantangan serta memecahkan masalah-masalah
yang dihadapi oleh umat manusia.
Uraian-uraian tersebut dapat penulis digambarkan dalam bentuk
skema sebagaimana yang tampak berikut ini:

Rabb
Internalisasi dan aktualisasi

asmaul husna

Karunia untuk
mendewasakan Proses
Memanggil bagi umat: fitrah, Shahadah
pendidikan oleh dunia
umat alam dan umat
agama

29
Pendidikan Islam

F. PEMIKIRAN FILOSOFIS TENTANG


PENDIDIKAN ISLAM
Pada pembahasan sebelumnya telah dibicarakan seputar filsafat, teologi,
pendidikan dan pendidikan Islam. Dalam pembahasan tentang filsafat
misalnya, mencakup content, action dan attitude. Pembahasan tentang
teologi mencakup persoalan nilai-nilai ketuhanan dan keprihatinan iman
dalam konteks. Semua itu diharapkan dapat membentuk pola pemikiran
dan sikap Islami mengenai hakikat dan fungsi pendidikan sebagai upaya
intelektual, moral, spiritual dan kultural (cultural, spiritual, moral and
intelectual activities) yang terpadu dalam mengembangkan peserta didik.
Sudah barang tentu, fondasi pemikiran pendidikan tersebut diupayakan
berasal dari konsep-konsep teologis Islami berdasarkan Al-Qur’an dan
Al-Hadits dan ijtihad para ulama. Dengan kata lain strating point and
point of view yang mendasari pemikiran (metodologi) isi (content) dan
tindakan pendidikan adalah nilai-nilai dasar dan tujuan Islam yaitu
kesejahteraan seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Diskursus dan pemahaman tentang filsafat pendidikan Islam sangat
penting karena dengan itu dapat mendorong untuk mengkaji ulang makna
dasar dari setiap kegiatan pendidikan, termasuk di dalamnya pertanyaan-
pertanyaan dasar di seputar proses belajar mengajar. Tentang pentingnya
filsafat pendidikan dalam aktivitas kependidikan ini, G.R. Knight dalam
Issues and Alternatives in Educational Philoshopy mengatakan bahwa filsafat
pendidikan berguna sekali untuk pendidik agar: 1). Mengenal masalah-
masalah dasar pendidikan; 2). Memikirkan evaluasi mengenai usulan-
usulan perbaikan terhadap masalah yang timbul (sedang dihadapi); 3).
Memperjelas pemikiran tentang tujuan hidup dan pendidikan; dan 4).
Memperkembangkan pandangan-pandangan dan program yang konsisten
serta berkaitan dengan konteks secara luas (Knight, 1982: 3). Filsafat
pendidikan memang berusaha mengembangkan pemikiran yang universal,
radikal dan spekulatif sehingga hakikat pendidikan dapat ditemukan secara
dinamis dan pencapaian tujuan pendidikan dapat tercapai secara inovatif.
Menurut John S. Brubacher dalam Modern Philosophy of Education
(1978), filsafat pendidikan memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:

30
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

1). Spekulatif, atau sinoptik atau sintesis. Dengan prinsip ini seseorang
berpikir secara menyeluruh, komprehensif dan integratif; berpikir
sesuatu dari berbagai sudut pandang.
2). Normatif, yakni ada sesuatu yang dianggap ideal atau standar, yang
dijadikan sebagai titik tolak ataupun patokan, serta kriteria penilaian.
3). Kritis, yakni mampu memberi penjelasan terhadap makna dari
istilah atau konsep yang digunakan.
Dalam mengkaji tentang pemikiran filosofis pendidikan Islam, perlu
diterapkan filsafat sebagai content yaitu ontologi (metafisika), epistemologi
(teori pengetahuan) dan aksiologi (teori nilai, estetika) dalam usaha
memahami hakikat dan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan merupakan
“dunia cita” yang kualifikasinya dinamis dan karenanya merupakan
persoalan yang paling penting dalam filsafat pendidikan. Selanjutnya ide
tentang tujuan pendidikan itu mempengaruhi pemikiran atau pandangan
mengenai komponen-komponen dalam pendidikan (peserta didik,
pendidik, kurikulum, metodologi dan evaluasi).
Akan tetapi, semua komponen itu tidak semata-mata dipengaruhi
oleh tujuan pendidikan, melainkan juga dipengaruhi (dan seringkali
lebih dominan) oleh dinamika politik dan ideologi yang berkembang
dalam konteks. Kondisi ekonomi, kultur masyarakat, harapan-harapan
keluarga dan masyarakat serta kekuatan-kekuatan sosial lainnya juga
ikut mempengaruhinya. Sijabat (1994: 23) lebih lanjut menggambarkan
hubungan antara filsafat, tujuan pendidikan, komponen-komponen
pendidikan (baca proses belajar mengajar) dalam gambar berikut:

Kekuatan-Kekuatan
Dinamika
Sosial
Metafisika
9 Peserta didik
9 Guru
Aksiologi Tujuan 9 Kurikulum
9 Metodologi
9 Fungsi sosial
Epistemologi lembaga

Kondisi Harapan-Harapan
Keluarga, Umat dan
Bangsa

31
Pendidikan Islam

Bagaimana konsep ketiga aspek (isi) filsafat tersebut dan pengaruhnya


terhadap tujuan (dan proses) pendidikan dijelaskan sebagai berikut:

1. Metafisika dan Pendidikan


Metafisika dalam bahasa Inggris diambil dari kata metaphisics yang
dalam kerangka leksikal terdiri dari kata ta meta ta physika yang berarti
pemahaman mengenai realitas. Realitas yang dimaksud di sini bukan saja
berkaitan dengan “ada” yang terbatas pada hal-hal empiris, dapat diukur,
dapat dihitung, dapat diraba dan dapat dilihat dengan mata kepala semata,
melainkan sebagai “yang ada” dan keberadaannya tak terbatas baik secara
ontologi (substansi) maupun epistemologi (jangkauan inderawi dan
logika manusia). Namun demikian, intelektualitas dan intuisi manusia
dapat memberikan penjelasan mengenai keyakinan dan fenomena
dari eksistensi metafisis tersebut, termasuk implikasinya terhadap
pendidikan. Karena itu diskursus tentang metafisika dan pengaruhnya
terhadap (tujuan) pendidikan meliputi kajian tentang kosmologi, teologi
dan antropologi.
Kosmologi berbicara tentang keyakinan terhadap penciptaan, asal-
usul, tujuan dan keteraturan susunan alam semesta (cosmos). Kosmologi
mempelajari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: adakah kekuatan
atau “pribadi” dibalik semesta? Bagaimanakah susunannya? Bagaimanakah
hukum-hukumnya dan lain sebagainya. Dengan singkat dapat dikatakan
bahwa kosmologi membicarakan apakah alam dan hukum-hukumnya
ini terjadi secara evolusi (dengan sendirinya) atau secara revolusi (ada
yang merekayasa, mengatur dan mengukur).
Dalam peradaban Islam khususnya dan agama-agama samawi
pada umumnya mengatakan bahwa realitas tertinggi adalah Allah yang
maha agung, maha tinggi, yang dekat dan Yang Jauh, yang mencipta dan
memelihara alam semesta. Akan tetapi Islam dengan tegas menyatakan
bahwa alam semesta ini tidak identik dengan Allah, hukum alam tidak
identik dengan kekuasaan dan perbuatan Allah. Alam semesta bukanlah
emanasi (pancaran) dari diri-Nya, melainkan hasil ciptaan-Nya. Allah
adalah zat yang transenden (Maha Tinggi) yang imanen (Maha Dekat,
Maha Hadir).

32
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

Jika Allah adalah sumber ketertiban dan keteraturan dalam alam


semesta, maka dalam pandangan Islam pendidikan harus berlangsung
dalam ketertiban dan keteraturan. Pendidikan menuntut perencanaan
yang matang agar dapat mengantarkan si terdidik mengenal realitas
tertinggi, yakni Allah Yang Maha Suci, Pencipta dan Memelihara semesta
alam. Mengenal yang dimaksud di sini adalah memiliki pengertian dan
relasi yang sangat mendalam secara pribadi. Pendidikan juga mendorong
manusia menghargai dan memelihara alam sekitarnya demi terciptanya
keutuhan ciptaan dan sekaligus sebagai upaya peningkatan spiritualitas
berdasarkan keagungan dan kesempurnaan Allah dalam mendesain alam
semesta. Islam secara tegas mengatakan bahwa Allah berbeda dengan
makhlukNya. Menyamakan alam dengan Tuhan atau menuhankan alam
adalah dosa besar karena merendahkan dan menodai kemahasucian
Allah dan sekaligus menjatuhkan martabat manusia lebih rendah dari
alam itu sendiri. Karena itu alam semesta itu bukan untuk ditakuti dan
dihindarkan, dan juga bukan untuk dirusak dengan mengatasnamakan
apapun. Alam semesta ini harus dikelola secara kreatif dan bertanggung
jawab sebagai wujud pengabdian manusia kepada Allah dan amal shaleh
kepada sesama.
Upaya menyingkap rahasia alam semesta memiliki dua fungsi
sekaligus yaitu untuk memenuhi hajat hidup manusia dan merefleksikan
mistri kebenaran Sang Khalik. Artinya, pada fungsi ini tidak hanya bersifat
profanistik-humanistik tapi juga bentuk pengungkapan fakta kebenaran
dari fakta transendental-teologis. Pada konteks ini bisa dikatakan bahwa
integralisasi fungsi pendidikan dalam Islam menjadi suatu bentuk
keharusan, sehingga ketika proses pendidikan cenderung memisahkan
fungsi tersebut akan berimplikasi pada dis-orientasi terhadap output
pendidikan itu sendiri.

2. Ontologi
Ontologi membahas soal sifat keberadaan (the nature of existence).
Apakah yang dimaksud dengan “ada”? apakah yang “ada” terletak pada
materi atau yang non materi atau bersifat spiritual? Pemahaman atas
eksistensi ini akan membentuk tata nilai dalam diri manusia. Manakala
yang paling bernilai dalam hidup yang material atau yang spiritual?

33
Pendidikan Islam

ataukah kedua-duanya secara dualistis? Atau kedua-duanya bisa dipilah-


pilah sesuai dengan kecenderungan dalam membentuk tata nilai?.
Dalam pandangan Islam, keberadaan manusia tidak terbatas pada
yang sifatnya meterial belaka, tetapi juga terikat pada yang spiritual.
Diri manusia tidak hanya bersifat jasmani, melainkan juga nafsani
dan rohani. Dimensi materialnya terikat pada ruang dan waktu.
Manusia dapat mengetahui akan tetapi tidak Maha Tahu, ia dapat
hadir diberbagai kesempatan, akan tetapi tidak menjadi Maha Hadir.
Manusia dapat memiliki kekuasaan akan tetapi tidak akan menjadi
Maha Kuasa. Kemudian sebagai individu, manusia ada dan terus
melengkapkan keberadaanya sehingga terus tumbuh dan berkembang.
Perubahan menjadi bagian dari hidupnya. Pemenuhan-pemenuhan
yang diperolehnya secara meterial tidak akan pernah membawa dirinya
merasa puas. Ia selalu memerlukan pemenuhan segi-segi hidup spiritual.
Dinamika kehidupan manusia sebagai pribadi tak akan pernah berhenti
hingga ia beralih dari dunia ruang dan waktu ke alam kekekalan, yaitu
alam akhirat. Dalam alam akhirat ini keberadaan manusia tetap masih
ada, namun tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Apakah pada waktu itu
(di alam akhirat) manusia berubah menjadi makhluk rohani belaka.
Pendidikan Islam mengemban tugas untuk menolong individu dan
kelompok mengenal keberadaan yang terbatas namun tidak pernah
statis. Pendidikan Islam terpanggil untuk melengkapi si terdidik dalam
menjalani pergumulannya di dunia ini secara lebih berarti, baik untuk
kebutuhan objektif selama di dunia maupun sebagai persiapannya (bekal)
bagi kehidupan akhirat. Keyakinan ini menimbulkan kesadaran bahwa
hidup di alam dunia yang sementara ini harus dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh dan bertanggung jawab. Manusia harus memahami
dan menyadari dengan sesungguhnya bahwa kehidupan akhirat lebih
abadi, lebih baik, dan kehidupan yang sesungguhnya. Dan hal itu dapat
tercapai manakala manusia menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya
agar memiliki harapan dan misi dimasa depan. Artinya lewat pendidikan,
kita membina orang untuk lepas dari belenggu kekinian apalagi masa lalu
yang usang. Visi orang beriman adalah visi ke depan dan kepada hidup
kekekalan (alam akhirat).

34
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

3. Epistemologi dan Pendidikan


Epistemologi (Gk.: episteme) berarti penyelidikan tentang sumber, sifat,
metoda dan keterbatasan pengetahuan manusia. Epistemologi sering
juga diartikan sebagai “teori pengetahuan” yang berhubungan dengan
validitasnya (pembenaran atau pengujian). Epistemologi yang dimiliki
manusia sudah barang tentu turut mempengaruhi konsep dan sekaligus
strategi dalam pendidikan. Pembahasan tentang epistemologi dan
pendidikan di sini meliputi: dimensi pengetahuan, sumber pengetahuan
dan pengujian kebenaran.

a. Dimensi Pengetahuan
Beberapa pertanyaan yang sering muncul dalam kaitan dengan
dimensi pengetahuan ini adalah: apakah realitas dapat diketahui
secara sesungguhnya? Bagaimana cara mengetahuinya? Adakah
kebenaran Absolut (mutlak)? Apakah kebenaran atau pengetahuan
itu? Tidakkah kebenaran itu relatif? Bagaimanakah relasi manusia
dengan pengetahuan?Apakah manusia berperan sebagai penerima,
partisipan, penguasa dan penghasil pengetahuan? Apakah ada
pengetahuan yang murni objektif? Adakah kebenaran yang
bergantung kepada pengalaman manusia?.
Dalam perspektif Islam, manusia memiliki kemampuan untuk
mengetahui. Atas kehendak Allah manusia memiliki fitrah dan
hanief seperti intelek, kreativitas yang mendorongnya mencari
pengetahuan, hikmah dan kebenaran. Ia dapat memahami realitas
serta meluaskan wawasannya bahkan untuk mengerti realiatas
tertinggi. Meskipun demikian, sebagai makhluk terbatas, tentu
pengetahuan yang diperolehnya menjadi terbatas pula. Bahkan
karena dilema yang ada padanya, manusia dapat berbuat kekeliruan
dalam menyimak dan menyingkap kebenaran (manipulasi dan
pemalsuan).
Karena itu pendidikan Islam harus berupaya untuk membimbing
orang memiliki pemahaman bahwa Allah adalah sumber kebenaran
objektif, absolut dan manusia atas dasar fitrah dan haniefnya sangat
cinta dan berupaya mencari kebenaran itu. Dalam batas-batas tertentu

35
Pendidikan Islam

manusia bisa menjadikan dirinya sebagai sumber pengetahuan,


akan tetapi terlepas dari hubungannya dengan Allah, kebenaran
yang dipahaminya cenderung bersifat semu belaka. Karena itu Islam
memandang bahwa perbedaan itu sesungguhnya rahmat, asal dengan
perbedaan itu merupakan khazanah untuk melihat sebuah realitas
yang komprehensif.
Karena itulah manusia memerlukan kebenaran Allah agar tidak
dalam keraguan dan kegoncangan terus-menerus. Kebenaran yang
dinyatakan Allah bagi manusia bersifat tekstual (Al-Qur’an, wahyu)
tetapi juga fenomenal (kejadian-kejadian alam) dan faktual (pribadi
Rasulullah). Rasulullah sebagai sosok manusia ideal (uswah hasanah)
merupakan eksemplar kebenaran. Karena itu pengetahuan sejati
bukanlah pengetahuan yang memisahkan diri dari yang mengetahui.
Pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang membebaskan, kerena di
dalamnya terkandung kebenaran yang memiliki kuasa transformatif.
Pembaharuan yang dikerjakan kebenaran itu tidak saja menyangkut
segi intelek, tetapi juga moral, etis, spiritual dan sosiokultural.

b. Sumber Pengetahuan
Apakah sumber pengetahuan bagi manusia? Apakah terbatas kepada
panca indera? Bagaimana dengan pengetahuan yang diperoleh atau
berdasarkan wahyu? Bagaimana dengan otoritas (texbook, guru,
pakar, referensi), akal, intuisi, adat, tradisi, budaya sebagai sumber
pengetahuan? Bagaimanakah kita memberi respon terhadap teori
pengetahuan menurut kacamata “sosiologi pengetahuan”?
Sebagaimana dikemukakan di muka, Islam memandang bahwa
Allah adalah sumber-sumber kebenaran dan pengetahuan. Manusia
diberi mandat untuk mencari dan mengembangkan pengetahuan
dengan potensi dan pengetahuan yang dimilikinya. Dalam Al-Qur’an
dikatakan bahwa Allah menyatakan kebenaran dengan berbagai
cara: sabda, peristiwa, fenomena dan budaya. Tugas manusia untuk
mencarinya secara kritis.
Dalam mencari dan mengemukakan pengetahuan, manusia
mengalami proses belajar. Peristiwa belajar sudah tentu melibatkan

36
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

keseluruhan dimensi kepribadiannya. Dalam perbuatan belajar,


intelek, emosi, kehendak, dan bagian-bagian dari panca indera,
semua ikut terlibat. Karena itulah keseluruhan aspek dari diri kita
ikut aktif menjadi instrumen untuk mengetahui, dan memperoleh
kebenaran Allah. Maka pendidikan Islam terpanggil untuk
memberikan penyuluhan mengenai terjadinya proses belajar dalam
diri dan kehidupan manusia. Pendidikan harus memberi kebebasan
bagi peserta didiknya untuk belajar, belajar melalui pengalaman
nyata, pengamatan, perbuatan, perenungan dan melalui relasi antar
pribadi yang harmonis. Jika tidak, peserta didik terikat oleh pola
indoktrinasi, otoritas pendidik tidak dapat diganggu gugat, relevansi
materi pelajaran tidak boleh diperbincangkan, dan metodologi belajar
bersifat sempit.
Selain itu pendidikan Islam juga harus mendorong orang untuk
belajar dari berbagai sumber kebenaran, dan menguji kebenaran itu
dari prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Al-Hadits. Artinya pendidikan
Islam berusaha mendorong orang bersikap terbuka, berpikiran
luas, moderat, kontekstual dan toleran, sehingga kebenaran yang
diperolehnya benar-benar kebenaran yang dapat dirangkul dan
diterima oleh setiap orang bukan suatu kebenaran yang keabsahannya
hanya diakui oleh dirinya sendiri.

c. Pengujian Kebenaran
Bagaimanakah manusia dapat mengetahui bahwa pengetahuan
yang dimiliki itu benar atau sebuah kebenaran? maksudnya
adalah, bagaimana manusia dapat menguji kebenaran? dalam
epistemologi, orang dapat menguji kebenaran berdasarkan tiga cara,
yaitu: pertama, korespondensi. Teori ini berpendapat bahwa yang
dimaksud kebenaran adalah adanya hubungan antara pernyataan
subjek dengan objek dan tidak ada pertentangan. Misalnya
pernyataan bahwa cabe itu pedas, mengandung kebenaran karena
ada hubungan antara pernyataan (subjek) dan kenyataan (objek).
Kalau Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia itu makhluk yang suka
keluh-kesah (halu’ah), kalau sedang mendapat sial mengeluh dan

37
Pendidikan Islam

kalau mendapatkan kenikmatan lupa kecuali orang khusu’ dalam


shalatnya, hal itu ternyata sesuai dengan pengalaman manusia.
Kedua, prinsip koherensi dan konsistensi, artinya jika suatu ide,
gagasan, yang kita miliki dikaji ulang dengan kriteria penilaian
sebelumnya, serta ditelusuri dari berbagai segi, dan hasilnya ternyata
tetap bersesuaian, maka hal itu mengandung kebenaran. Pernyataan
bahwa cabe itu pedas adalah koheren dan konsisten dalam berbagai
segi pengujian. Pernyataan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa
langit dan bumi ciptaan Allah, bukan terjadi dengan sendirinya,
mengandung kebenaran setelah diuji secara ilmiah. Pasti ada faktor
“X” yang menjadikan semua itu dan perubahan-perubahan di
dalamnya.
Ketiga, pragmatis, yakni berdasarkan nilai dari manfaat dari
pengetahuan atau kebenaran itu sendiri dalam kehidupan sehari-
hari. Misalnya perintah shalat adalah sebuah kebenaran, karena
shalat dapat mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar, dengan
shalat orang menjadi lebih humanis, memiliki etos hidup yang tinggi.
Sehingga perintah shalat merupakan kebenaran karena fungsional
bagi kekuatan dan perisai kehidupan.
Semangat melakukan pengujian kebenaran adalah etos utama kaum
terpelajar (intelektual). Karena itu menjadi tugas pendidikan untuk
mendorong individu dan kelompok untuk memiliki pola fikir kritis.
Kaum terdidik atau terpelajar harus bersedia secara jujur dan penuh
kesadaran untuk senantiasa menguji dan diuji pengetahuan dan
kayakinan dimilikinya. Dalam beriman dan beragama misalnya, tidak
boleh taqlid (bertidak & membabi buta) belaka. Karena pengujian
yang seksama terhadap pola keberagamaan atau cara berteologi justru
akan menimbulkan komitmen baru yang rahmah dan kontekstual
dalam kehidupan keberagaman. Sebab pengertian yang jelas dan
teruji terhadap sebuah keyakinan dapat membawa kepada sikap
penyerahan (aslama) dan menimbulkan pengucapan syukur yang
mendalam kepada Allah.

38
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

Dengan mengarahkan orang agar bersedia menguji keyakinan yang


dianutnya, pendidikan berupaya untuk membawa si terdidik keluar
dari belenggu ketertutupan, taqlid dan jumud (stagnant). Dengan
pola pengujian iman secara dinamis, diharapkan dapat melahirkan
pola keberagaman yang inklusif, kontekstual dan rahmah bagi diri
dan lingkungannya.

4. Aksiologi dan Pendidikan


Aksiologi merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang nilai (what
is the value). Nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang berharga,
berkualitas, bermakna dan bertujuan bagi kehidupan manusia, individu
maupun kelompok. Umumnya orang menimbang nilai dengan kadar
baik atau buruk (etika) indah atau jelek (estetika). Karena itu nilai
mengarahkan tindakan, mendasari perbuatan dan pada gilirannya
membentuk “preferensi nilai” (sistem nilai atau tata nilai). Di dalam
hidup ini manusia memiliki nilai dalam angan (conceived values) dan
nilai praktek sebagai keharusan (operative valued). Seringkali keduanya
tidak harmonis sehingga menimbulkan fragmentasi atau konflik nilai
dalam batin seseorang antara das solent dan das sain memang senantiasa
ada jarak.
Apabila nilai bersumber dari serta mewarnai angan dengan cita-cita
suatu kelompok suku bangsa, maka nilai disebut “nilai budaya”. Manusia
Indonesia memiliki nilai budaya tertentu sebagaimana terefleksi dalam
kehidupan budaya setiap suku bangsanya. Memang, setiap suku bangsa
memiliki kekhasan nilai budayanya. Meskipun demikian, karena faktor
geografis dan historis yang sama, manusia Indonesia memiliki kesamaan
nilai budaya juga. Sebagaimana dikemukakan oleh Koentjoroningrat
dalam Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (1987). Menurut
Koentjoroningrat ada lima segi nilai dasar dalam hidup manusia Indonesia
yakni hakikat hidup, hakikat karya, hakikat waktu, pandangan mengenai
alam semesta, dan hakikat relasi dengan sesama. Kelima segi ini masing-
masing memiliki tiga dimensi orientasi sebagaimana yang tabel yang
tampak berikut ini:

39
Pendidikan Islam

Lima Masalah Dasar Dalam Hidup Yang Menentukan Orientasi Nilai


Budaya Manusia
Masalah Dasar
Orientasi Budaya
Dalam Hidup
Hakikat hidup(MH) Hidup itu buruk Hidup itu baik Hidup itu buruk
tetapi manusia
wajib berikhtiar
supaya hidup itu
menjadi baik
Hakikat karya (MH) Karya itu untuk Karya itu untuk Karya itu untuk
karya hidup kedudukan, menambah karya
kehormatan dan
sebagainya
Persepsi manusia Orientasi untuk ke Orientasi ke masa Orientasi ke masa
tentang waktu *MH) masa depan lalu depan
Pandangan manusia Manusia tunduk Manusia Manusia berhasrat
tentang alam (MH) ke pada alam yang berusaha menjaga menguasai alam
dahsyat keselarasan
dengan alam

Hakikat hubungan Orientasi kolateral Orientasi Individualisme


antar manusia (Horizontal), rasa vertikal,rasa menilai tinggi
dengan sesamanya ketergantungan ketergantungan usaha atas
(MH) kepada sesama kepada tokoh- kekuatan sendiri
(berjiwa gotong tokoh atasan dan
royong) berpangkat

Kelima nilai hidup tersebut perlu dijadikan pokok bahasan dalam


pendidikan Islam dan selanjutnya dialektikakan dengan nilai-nilai atau
noktah-noktah Islam dalam kelima segi kehidupan-kehidupan tersebut
sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits.

5. Masalah Etika
Aksiologi juga membahas soal etika, yakni tentang apa yang baik dan apa
yang buruk. Pertanyaan yang berkaitan dengan etika adalah soal ukuran
atau norma. Adakah nilai moral yang absolut? Bagaimana moral dibentuk
dan berkembang? Dapatkah moral dipisahkan dari iman? Bagaimanakah
strategi pengambilan keputusan yang tepat.

40
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

Nilai-nilai yang akan diajarkan dalam pendidikan Islam dituntut


mampu membentuk dasar moral dan etis kehidupan berdasarkan nilai-
nilai ketuhanan (iman). Nilai moral absolut hanya pada Allah Yang
Maha Kekal dan tidak terikat pada ruang dan waktu. Allah senantiasa
menghendaki hamba-Nya menegakkan keadilan dan kebenaran,
kasih sayang, kesucian karena Allah itu Maha Adil, Maha Benar, Maha
Pengasih, Penyayang dan Maha Suci.
Dalam upaya menegakkan nilai-nilai tersebut dalam ruang dan waktu
yang dinamis, orang-orang beriman harus berupaya menerjemahkan
secara kontekstual agar tidak terjadi pemutlakan terhadap hal-hal yang
seharusnya relatif. Itulah sebabnya Allah senantiasa memberikan kekuatan,
kuasa dan hikmah. Allah tidak hanya memberikan peringatan dan
ancaman, melainkan juga memberikan taufik, hidayah dan inayah tentang
bagaimana umat dapat memainkan peran, serta mengemukakan sikapnya
sendiri bagi kita dikala menghadapi kegagalan-kegagalan moral dan etis.
Pendidikan Islam memiliki peran sentral dalam membimbing
peserta didiknya mengenal Allah dan mengembangkan sikap hidup
tauhid. Allah menghendaki kehidupan berdisiplin dalam segala segi
dan senantiasa dalam koridor kebenaran, keadilan dan kasih sayang.
Kedisiplinan itu menyangkut aspek fisik, mental, moral, sikap, relasi
sosial dan karya (keguruan, medis, hukum, politik dan lain sebagainya).
Dalam rangka menegakkan kedisiplinan, Allah senantiasa memberikan
peringatan dan ancaman yang serius. Akan tetapi dibalik itu semua Dia
adalah Zat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Allah juga memberikan
peluang yang senantiasa terbuka untuk pengampunan dan “pemutihan”
dosa bagi yang terlanjur melakukannya. Semua itu agar hamba-Nya
menjadi lebih baik. Karena itu dalam pendidikan Islam, nilai kasih
sayang dan pengampunan merupakan “ruh” dalam mengembangkan
peserta didik, di samping kedisiplinan dan ketegasan.

6. Segi Estetika
Aksiologi tidak lepas pula dari estetika, yakni bidang yang membahas
tentang nilai seperti keindahan, kerapian, keserasian dan keharmonisan.
Dalam estetika juga dibahas soal imajinasi dan kreativitas baik dalam
dominan kognisi, afeksi dan emosi.

41
Pendidikan Islam

Masalah estetika ini sangat penting dalam pendidikan Islam. Melalui


pengajaran dan perbuatannya, pendidikan Islam terpanggil untuk
menunjukkan perhatian yang besar bagi masalah estetika. Kegiatan belajar
mengajar perlu dikelola dengan memperhitungkan segi-segi keindahan
dan kerapian ruangan, pakaian dan penampilan. Dalam sebuah hadits
dikemukakan bahwa Allah itu indah dan menyukai keindahan. Pendidikan
Islam harus mampu menjadi eksemplar tentang ajaran keindahan ini.
Jika imajinasi dan kreatifitas adalah bagian dari hakikat manusia,
maka segi-segi ini pun perlu mendapat perhatian pendidikan. Kegiatan
belajar mengajar harus mendorong orang lebih imajinatif dan kreatif.
Namun kedua unsur ini erat kaitannya dengan kebebasan dan perasaan
aman. Maksudnya, dimana ada dorongan secara bebas untuk berkreasi
disana terdapat minat untuk mengembangkan daya cipta tanpa ada rasa
takut akan direndahkan atau mengahadapi penolakan. Indoktrinasi
mengarahkan orang kepada konformisme, sikap membeo saja kepada
otoritas pendidik. Indoktrinasi cenderung menghambat imajinasi dan
kreativitas, karena orang tidak bebas bertanya dan mengajukan ide-ide
baru. Akibatnya nilai estetika kurang dapat tumbuh dan berkembang.
Guru yang sadar akan segi-segi estetika, misalnya juga akan berusaha
tampil di hadapan peserta didiknya secara luwes. Disediakan dan
diusahakan ada kesempatan humor yang sehat. Dikembangkannya waktu
untuk membina relasi antar pribadi yang serasi, antara dirinya dengan
peserta didiknya dan antara sesama peserta didik. Hal ini diupayakan
melalui penggalangan kerjasama dalam kelompok. Selain itu tulisannya
memperhatikan segi kerapian, keindahan dan kejelasan. Dengan kriteria
yang sama ia meminta dinyatakan oleh peserta didiknya dalam tugas-
tugas mereka. Cara berbicara juga dilakukan guru dengan jelas, cermat,
sehingga menimbulkan semangat dalam diri peserta didik. Kesadaran
nilai estetika ini pulalah yang akan mendorong guru untuk secara kreatif
mengembangkan berbagai metode dalam kegiatan belajar mengajarnya. Ia
menginginkan peserta didiknya menampilkan kreatifitasnya seperti lewat
lagu, musik, puisi, lukisan, drama dan sejenisnya. Dengan kata lain, nilai
estetika sangat erat kaitannya dengan pembentukan dan pengembangan
watak pendidik dan peserta didiknya.

42
BAB 1 – Kerangka Filosofis Dan Teologis Pendidikan

Segi estetika juga penting untuk diperhatikan oleh guru dalam


kaitannya dengan pendidikan moral dan tata nilai. Pembentukan dan
pengembangan aspek ini tidak tepat dilaksanakan hanya berdasarkan
pendekatan verbal dalam pengajaran. Diperlukan pendekatan estetika yang
menekankan segi-segi keindahan, kelembutan, dan keharmonisan. Musik,
lagu, drama, tarian, dan lukisan dapat menjadi media kegiatan pembinaan.
Karena itu pula, pendidikan moral dan tata nilai memerlukan pendekatan
disiplin, ketertiban, keteraturan dan uswah hasanah. Bukankah pendidikan
dan khususnya mengajar itu memang sebuah seni?.

43
Pendidikan Islam

44
BAB
BAB1

2
PARADIGMA KEMANUSIAAN DALAM
PENDIDIKAN

Pada bab ini penulis mendeskripsikan akar problematika fundamental


dalam pendidikan Islam. Di mana penulis bersumsi bahwa masalah
pendidikan perlu untuk dibahas melalui suatu tahapan filosofis yang
berhubungan dengan pemahaman serta ontologis tentang manusia.
Persoalan tentang manusia harus terjawab secara filosofis, mengingat
tema sentral dan orientasi dasar pendidikan adalah ingin mengantarkan
manusia. Demikain pula halnya dengan pendidikan yang diorientasikan di
masa depan, akan sangat dipengaruhi oleh pandangan mengenai manusia
tersebut. Dalam usaha menentukan pandangan kemanusiaan demikian
dapat dilakukan kajian dengan pendekatan filosofis dan keilmuan. Apabila
dibandingkan dengan pendekatan keilmuan, pendekatan filsafat akan
memberikan pemahaman yang lebih lengkap, karena filsafat ingin mengkaji
sesuatu secara universal dan radikal. Pendekatan filsafat demikian akan
semakin memberikan pemahaman yang kokoh, apabila ditopang doktrin-
doktrin keagamaan yang juga berisi tentang persoalan kemanusiaan. Oleh
karena itu dalam kerangka kepentingan tersebut, Islam dapat dijadikan
titik tolak kajian guna mengungkap persoalan kemanusiaan (lihat detailnya
Tobroni & Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, SI Press,
Yogyakarta, 1994).
45
Pendidikan Islam

Sampai hari ini dan bahkan sampai kapan pun manusia akan
merupakan persoalan yang cukup menarik, sangat menarik dan
tidak akan pernah final. Manusia merupakan makhluk yang paling
menakjubkan, makhluk yang unik multidimensi, serba meliputi, sangat
terbuka, dan mempunyai potensi yang agung. Tetapi manusia juga
merupakan bahaya terbesar bagi dunia melalui pertumpahan darah
dan berbuat kerusakan di muka bumi disebabkan karena ketidaktahuan
manusia akan dirinya sendiri atau karena salah dalam mempersiapkan
hakikat kemanusiaannya.
Dalam Al-Qur’an sendiri manusia berulangkali diangkat derajatnya,
dan berulangkali pula direndahkan. Mereka dinobatkan jauh mengungguli
alam surga, bumi, dan bahkan para malaikat, tetapi pada saat yang sama
manusia bisa tidak lebih berarti dibandingkan dengan setan terkutuk dan
binatang melata sekalipun. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu
menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi “yang paling
rendah segala yang rendah”. Akan tetapi kekutukan Al-Qur’an terhadap
manusia tidak berarti watak dasar manusia itu jahat, dualistik dan penuh
dosa sebagaimana persepsi sebagian filosof, agama Kristiani, dan agama
Hindu. Kutukan Al-Qur’an terhadap manusia disebabkan karena kelalaian
manusia akan kemanusiaannya, kesalahan manusia dalam mempersepsi
dirinya, dan kebodohan manusia dalam memanfaatkan potensi fitrahnya
sebagai khalifah Allah di muka bumi. Manusia diutus karena kebanyakan
dari mereka tidak mau melihat “ke belakang” (al-aqiba), tidak bersiap sedia
untuk hari kemudian dan tidak pula memberikan sumbangan kepadanya
bahkan tidak memahami atau tidak mencoba untuk memahami tujuan
hidup jangka panjang sebagai makhluk yang diberi dan telah sanggup
menjalankan amanah (lihat dalam QS. al-Ahzab: 72).
Tuhan menjelaskan, kelak apa yang akan terjadi bagi orang-orang
yang mengabaikan agama. Di mana secara tegas dilukiskan dalam Al-
Qur’an bahwa: “Dan sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka
jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati,
tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (mengenali diri sendiri) dan
mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat, dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar.
Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka
itulah orang-orang yang lalai” (QS. al-Araaf: 179).

46
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan

Kebanyakan manusia telah merusak fitrahnya sendiri sedemikian


rupa sehingga menjadi semakin jauh dari God Spot sendiri yaitu
Tuhan. Dengan mereka tidak mengenali diri sendiri, secara otomatis
tidak akan bisa mengenali Tuhannya. Sebaliknya dengan tidak ada
usaha untuk mengenali Tuhannya niscaya akan semakin jauh dari
kemanusiaannya. Ahlul hikmah mengatakan: “Barang siapa mengenali
dirinya akan mengenali Tuhannya”. Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa
fitrah manusia itu adalah baik. Di dalam dirinya ditiupkan ruh suci,
dan derajatnya ditinggikan sehingga makhluk setingkat malaikat pun
diminta Tuhan sujud dalam arti menghormatinya; “Maka apabila aku
telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya
ruh (ciptaan)-ku, maka tundukkanlah kamu kepadanya dengan bersujud”
(QS. al-Hijr: 29).
Tetapi karena kedlaifan, kebodohan dan kekeraskepalaan manusia
padahal tadinya telah sanggup mengemban amanah nya, maka kepada
sekelompok manusia tertentu itu, Allah tidak segan-segan mencabut
kembali anugerah-Nya dan menjadikan mereka tersuruk serendah-
rendahnya. Akan tetapi nasib buruk ini dengan tegas dijadikan oleh
Allah tidak akan dikenakan bagi orang-orang yang beriman dengan
baik; “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-
rendahnya (mereka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal shaleh, maka mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya”
(QS. at-Tiin: 4-6).
Perlu ditegaskan di sisni bahwa di dalam ajaran Islam tidak dikenal
dosa turunan, bahkan pada dasarnya fitrah manusia condong kepada
kebenaran (hanief) (QS. ar-Ruum: 30). Memang Adam dan Hawa,
manusia pertama, pernah melanggar larangan Tuhan sehingga menerima
hukuman dikeluarkan dari surga, tetapi kakek nenek moyang manusia
ini telah diampuni oleh Allah; “Kemudian Adam menerima beberapa
kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (QS. al-Baqarah: 37).

47
Pendidikan Islam

A. PERJALANAN HIDUP MANUSIA


Secara antopologis, manusia adalah hasil dari evolusi organik, yaitu
hasil perkembangan organisme dari yang paling sederhana sampai
kepada “hewan” tingkat tinggi dan akhirnya manusia. Makhluk yang
paling tua yang bentuknya mirip manusia adalah Australopithecus
yang diperkirakan berumur 500-600 ribu tahun yang lalu. Selanjutnya
ditemukan fosil manusia purba yang diberi nama Pithecantropus Erectus
yang hidup sekitar 400 tahun yang lalu.
Fosil yang dianggap paling dekat mirip dengan manusia adalah
Homoneanderthalensia yang juga disebut sebagai Homo Sapiens yang
muncul kira-kira 100.000 tahun yang lalu. Terlepas dari kebenaran teori
evolusi ini, ada yang berpendapat bahwa Homo Sapiens yang pertama
ini diperkirakan adalah Adam. Ini diperkuat oleh peristiwa ketika Allah
akan menciptakan Adam, terlebih dahulu ia memberikan pengumuman
kepada para Malaikat; “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi. “Kemudian para Malaikat berkata, “Mengapa
Engkau akan mejadikan di muka bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak engkau ketahui” (QS. al-
Baqarah: 30).
Tuhan memang perencana Agung yang sangat cerdas dalam desain
ciptaan-Nya. Untuk menunjukkan kepada para malaikat-Nya bahwa
khalifah baru yang akan dinobatkan-Nya itu mempunyai potensi yang
layak sebagai khalifah bumi, maka Adam diajari pengetahuan. Dan
sebenarnya para malaikat tidak punya kemampuan meramal masa
depan, yang dapat mereka kerjakan hanyalah membandingkan dengan
yang sudah ada atau pernah mereka lihat seraya bertahlil, bertahmid,
dan bertasbih. Manusia dengan bekal pengetahuan itu, ditambah
kemampuannya untuk memilih, mempunyai dua potensi sekaligus: bisa
merusak alam dan suka menumpahkan darah seperti yang dikhawatirkan
para malaikat, atau berbuat memakmurkan bumi sebagaimana perintah
Allah. Kemudian Allah menguji kemampuan hamba-hamba-Nya itu.
Para malaikat mengakui keunggulan Adam, dan Maha Suci Allah dari
segala kekurangan, Sutradara agung yang memilih manusia untuk
memegang peranan menggugah sejarah peradaban di bumi.

48
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan

Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)


seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu
berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
memang orang-orang yang benar!” Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau
tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan
kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”. “Hai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama benda
ini. “Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda-
benda itu, Allah berfirman: “Bukanlah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa
sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa
yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”. Dan (ingatlah)
ketika kami berfirman kepada para Malaikat: “Sujudlah kepada Adam,”
maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah
termasuk golongan orang-orang yang kafir” (QS. al-Baqarah: 31-34).
Yang menjadi pertanyaan adalah dari mana Malaikat tahu bahwa
khalifah (Adam dan anak cucunya) akan membuat kerusakan, padahal
baru akan dijadikan? Mungkin telah ada makhluk yang mirip dengan
khalifah yang akan diciptakan itu. Dari pengalamannya dengan makhluk
sebelum khalifah itulah, para malaikat membuat dugaan-dugaan bahwa
khalifah nanti akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah
sebagaimana makhluk yang telah ada di bumi. Dalam Al-Qur’an makhluk
itu disinyalir bernama “Dabbah”. Dabbah diperkirakan sebagai manusia
purba (dalam pengertian individu) yang tidak mau mengikuti aturan-
aturan Allah sehingga diidentifikasi oleh para Malaikat sebagai pembuat
kerusakan dan menumpahkan darah.
Kalau kita perhatikan sejarah perkembangan genus homo, ternyata
bahwa setiap species sebelum Homo Sapiens adalah pemegang peran
utama pada zamannya dan ditempatnya masing-masing hal ini diperkuat
dengan bukti-bukti ditemukannya berbagai bentuk perkakas hidup
bersamaan dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba. Oleh karena
itu, mereka merupakan makhluk-makhluk yang paling sempurna dalam
lingkungannya masing-masing, maka bolehlah dikatakan bahwa mereka
itu adalah khalifah-khalifah setempat.
Dari uraian tersebut kiranya dapat dimengerti, mengapa Malaikat
mempunyai dugaan kuat bahwa khalifah (Adam dan anak cucunya) akan

49
Pendidikan Islam

berbuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah, padahal


Malaikat tidak memiliki kemampuan untuk mengadakan estimasi masa
depan sebagaimana yang dimiliki manusia, yaitu karena Malaikat telah
berpengalaman dengan “khalifah-khalifah” sebelum Adam.
Selanjutnya muncul pula pertanyaan, apakah manusia sekarang ini
akan mengalami nasib yang sama seperti manusia purba, yaitu punah dan
digantikan dengan manusia jenis baru? tentang hancur dan punahnya
kiranya pasti, karena:
pertama, bumi sebagai tempat berkiprah dan matahari sebagai
sumber energi yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia mempunyai
keterbatasan atau keterhinggaan (qadar), sehingga pada suatu ketika
hancurlah bumi dan matahari dan bersamaan dengan itu hancur dan
punahlah manusia. Allah telah membuat ketetapan bahwa: “Semua yang
ada di bumi itu akan binasa” (QS.ar-Rahman: 26).
Saat akhir kehidupan manusia beserta dunia raya ini ditandai
oleh huru-hara besar kehancuran alam, yang kemudian tiap individu
manusia dikumpulkan, dimintai pertanggungjawaban atas peranan yang
dimainkan. Hal ini dilukiskan dalam Al-Qur’an bahwa “apabila matahari
digulung, dan apabila bintang-bintang berjatuhan, dan apabila gunung-
gunung dihancurkan, dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan
(tidak diperdulikan), dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan,
dan apabila lautan dijadikan meluap, dan apabila ruh-ruh dipertemukan
(dengan tubuh), apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur ditanya,
karena dosa apakah mereka dibunuh, dan apabila catatan-catatan (amal
perbuatan manusia) dibuka, dan apabila langit dilenyapkan, dan apabila
neraka jahim dinyalakan, dan apabila surga didekatkan, maka tiap-tiap
jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan” (QS. at-Takwiir: 1-14).
Kedua, manusia sejak dari Adam sampai sekarang terus-menerus
mengadakan evolusi “kemanusiaannya” menuju kepada kesempurnaan,
melalui tahap demi tahap (thabaqan’an thabah). Mencapai kesempurnaan
berarti titik kehidupan.
Ketiga, kepunahan manusia dapat terjadi sebelum berakhirnya
alam raya ini, akibat dari ulah manusia itu sendiri. Eksploitasi sumber
daya alam secara besar-besaran yang dewasa ini tengah berlangsung
menimbulkan polusi hebat yang sangat merugikan bagi kelangsungan

50
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan

hidup manusia, di samping dampak lanjutannya seperti bolongnya lapisan


ozon yang pada gilirannya akan mengacaukan iklim dunia. Kemajuan
teknologi yang ”salah arah” -diabdikan untuk mesin perang bukannya
untuk mempertinggi mutu kehidupan manusia-seperti penciptaan
senjata nuklir yang dewasa ini kekuatannya telah mencapai sepuluh kali
lipat untuk menghancurkan bumi dan seisinya, juga dapat menjadi sebab
kepunahan itu. Di samping itu, implikasi-implikasi sosial-ekonomi akibat
semangat eksploitasi tadi, juga akan semakin memperparah keadaan.
Keempat, keingkaran segolongan manusia terhadap ketentuan-
ketentuan Allah akan mengakibatkan kebinasaan bagi mereka. Dalam
Al-Qur’an dinyatakan bahwa “…Dan jika kamu berpaling niscaya dia
akan mengganti kamu dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan
seperti kamu” (QS. Muhammad: 38). Di mana pada masa lalu, Allah
telah membuktikan ancaman ini terhadap kaumnya Nabi Nuh, kaumnya
Nabi Shaleh (Kaum Stamud), kaumnya Nabi Hud (kaum Aad), kaumnya
Nabi Syuaib (orang-orang Madyan), dan golongan yang ingkar lainnya.
Dalam sejarah, bangsa-bangsa tersebut adalah bangsa yang telah berhasil
mencapai kemajuan antara lain dibuktikan dengan kemampuannya
membangun gedung-gedung bertingkat dan sistem pemerintahan yang
mapan. Kepada generasi manusia yang datang kemudian, peristiwa-
peristiwa itu diingatkan kembali oleh Allah: “Apakah mereka tidak
memperhatikan berapa banyaknya generasi-generasi yang telah kami
binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah
kami berikan kepadamu, dan kami curahkan hujan lebat di atas mereka
dan kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian
kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan kami ciptakan
sesudah mereka generasi yang lain” (QS. al-An’am: 6).
Pertanyaan selanjutnya adalah, apabila khalifah atau manusia yang
sekarang ini hancur dan punah, apakah Tuhan akan mengganti khalifah
jenis baru? Untuk menjawab pertanyan ini perlu adanya interpretasi tentang
hari kiamat. Apakah setelah manusia sekarang ini mengalami kiamat,
Tuhan akan menggantikan manusia jenis baru? Jawabnya: mungkin,
karena tiada yang abadi dalam hidup ini kecuali hanya Dzat yang membuat
kehidupan, dan semua yang ada di ala ini akan mengalami perubahan

51
Pendidikan Islam

kecuali yang membuat perubahan itu sendiri. Memang dalam Al-Qur’an


dikatakan bahwa kehidupan di surga dan neraka dikatakan sebagai kekal
abadi; “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
shaleh, bagi mereka surga-surga yang penuh kenikmatan. Kekal mereka di
dalamnya sebagai janji Allah yang benar. Dan dialah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana” (QS. Luqman: 8-9).
Akan tetapi pernyataan di sini bukan menunjuk pengertian
yang sebenarnya, melainkan kekekalan dan keabadian dalam konteks
kemanusiaan dan keduniaan dan sama sekali bukan dalam konteks
ketuhanan. Artinya kehidupan akhirat lebih kekal dan lebih abadi
dibandingkan dengan kehidupan manusia di dunia dan kehidupan dunia
itu sendiri; “Kekekalan yang “terbatas” ini tercermin dari ayat berikut: tetapi
kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, sedang kehidupan
akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” (QS. al-‘Alaa: 16-17).
Hal-hal yang telah penulis deskripsikan tersebut memunculkan
suatu bentuk implikasi dalam pendidikan. Sebab pendidikan memiliki
potensi yang luar biasa: pertama, manusia diangkat derajatnya sebagai
khalifah melebihi Malaikat karena memperoleh pendidikan; Kedua, isi
pendidikan harus bersifat konprehensif dan integralistik yang berkaitan
dengan tugas manusia sebagai khalifah-Nya di muka Bumi. Pendidikan
haruslah membekali peserta didiknya meliputi: Tuhan, manusia, alam,
penciptaan dan keselamatan; dan Ketiga, pendidikan harus menyejarah
dalam arti dapat mengambil i’tibar (pelajaran) dan hikmah dari peristiwa
sejarah serta membekali peserta didik kompetensi bagi kebutuhan
hidupnya di masa depan.

B. KEHEWANAN DAN KEMANUSIAN MANUSIA


Pembahasan tentang batas antara kehewanan dan kemanusiaan manusia
mungkin oleh beberapa pihak hanya dianggap sebagai basa-basi saja. Karena
batas yang membedakan antara keduanya sudah sangat jelas. Pernyataan
seperti ini memang benar, tetapi pernyataan yang mempertanyakan batas
yang membedakan antara keduanya juga tidak salah, karena beberapa
hal, antara kemewahan dan kemanusiaan manusia sulit untuk dibedakan.
Bahkan Tuhan sendiri telah menegaskan secara eksplisit bahwa manusia

52
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan

yang tidak menyadari dan mendayagunakan potensi kemanusiaannya


disamakan dengan hewan bahkan lebih sesat lagi (lihat dalam QS. al-
‘Araaf: 179 dan QS. at-Tiin: 4-5).
Lalu apakah karakteristik yang membedakan kehewanan manusia
dengan kemanusiaannya? Jawaban dari pertanyaan ini sangat ditentukan
oleh pangkal tolak dan sudut pandang tentang manusia itu sendiri.
Artinya, konstruksi image tentang manusia sangat memiliki pengaruh
terhadap anatomi pandangan besar tentang kemanusiaan manusia.

1. Dilihat Dari Perspektif Biologis (Basyar)


Kalau manusia hanya dipandang sebagai makhluk biologis (Arab: basyar)
saja, maka kehewanan manusialah yang nampak dari manuisa. Beberapa
aliran psikologi yang berpendapat seperti ini antara lain: Assosianis
(Hume, Hurtley), Empiris (Hobbes), Psikoanalisis (Freud), Behavionis
(Watson, Skiner) aliran biologis dan Animalis (Emest Haeckel), dan
aliran Naturalis (Darwin).
Apabila manusia hanya dipersepsi dari aspek biologis atau mekanisme
jasmaniah saja sabagaimana sudut pandang diatas, maka bukan hanya tidak
benar dan tidak bertanggung jawab, melainkan lebih dari itu berbahaya
dan dapat berakibat fatal bagi kehidupan pada umumnya dan manusia itu
sendiri, karena dapat menjatuhkan manusia dan kemanusiaan setingkat
dengan hewan yang pada gilirannya perilaku kehewanan mendominasi
perilaku manusia: pembunuhan, pemerkosaan nilai-nilai kemanusiaan.
Kalau manusia kehilangan kemanusiaannya, maka sesungguhnya tiada
berbeda dengan hewan atau hewan berbentuk manusia. Memang manusia
mempunyai banyak sifat yang serupa dengan makhluk lain. Meskipun
demikian, ada serangkat antara manusia dengan jenis binatang lainnya,
yang menjadikan manusia mempunyai ciri-ciri tersendiri dan tidak
tersamai, yang menganugerahi keunggulan pada manusia.
Sebagai makhluk biologis, manusia dalam Al-Qur’an disebut basyar
dalam arti makhluk secara biologis: makan minum, tidur, berhubungan
seks dan berjalan di pasar (QS. al-Ahzab: 33). Walaupun secara biologis
manusia ada kemiripannya dengan binatang, namun secara fisiologis
manusia tetap yang lebih unggul. Keunggulan-keunggulan itu antara lain:
berdiri tegak, makan dengan tangan, berumur panjang dan berkulit indah.

53
Pendidikan Islam

2. Perspektif Emosi
Perbedaan-perbedaan dasar antara manusia dengan makhluk
lain yang membangun kemanusiaannya dan telah mengawali apa yang
disebut sebagai kebudayaan dan peradaban manusia terdapat pada dua
aspek: pandangan-pandangan dan kecenderungan-kecenderungannya.
Manusia sama halnya dengan makhluk lain, memiliki seperangkat
hasrat dan tujuan. Ia berjuang untuk meraih tujuan-tujuannya dengan
didukung oleh pengetahuan dan kesadarannya. Perbedaan antara
keduanya terletak pada dimensi pengetahuan, kesadaran dan tingkat
tujuan mereka. Inilah yang memberikan kelebihan, keunggulan serta
membedakan dirinya dari semua makhluk yang lain. Pertama, kesadaran
seekor binatang akan lingkungannya diperoleh hanyalah melalui indera
sehingga karenanya dangkal. Kesadaran ini tidak melibatkan kesadaran
akan esensi atau seluk-beluk objek kesadaran. Kedua, kesadaran binatang
itu bersifat tunggal dan terbatas. Binatang tidak mempunyai kemampuan
untuk mengadakan generalisasi. Ketiga, kesadaran binatang bersifat
regional dan terbatas hanya habitat hewan saja, dan tidak mempunyai
kemampuan melampaui batas lingkungannya. Keempat, kesadaran
binatang sifatnya sementara, tergantung pada masa kini. Terputus pada
masa lalu dan masa mendatang. Binatang tidak tahu sedikitpun tentang
dunia dan sejarahnya. Tidak pernah susah karena masa lalu dan tidak
pernah memperhitungkan, berpikir dan mengadakan estimasi tentang
masa depannya.
Berkenaan dengan kesadaran ini, binatang tidak pernah melangkah
keluar batasan ektremitas, individualitas lingkungan dan batasan keadaan
masa kini, dan dengan adanya empat batasan ini gerak binatang menjadi
sangat terbatas. Kalaupun binatang dapat melampaui batasan-batasan ini
hal itu terjadi tanpa pegetahuan, akal sehat dan kesadaran, melainkan
hanya bersifat naluriah belaka.
Tingkatan hasrat dan kecenderungan hewan, sebagaimana halnya
kesadaran dan pengenalan lingkungannya, bersifat terbatas, yaitu:
pertama, bersifat badani belaka, tidak lebih dari makan, minum, tidur,
bermain, mencari tempat berlindung dan kebutuhan sex. Seekor hewan
tidak akan pernah memperhatikan kebutuhan-kebutuhan spiritual dan
nilai-nilai moral. Kedua, hasrat dan kecenderungan hewan bersifat pribadi,

54
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan

pasangan hidup dan anak-anaknya saja yang didorong sepenuhnya oleh


nalurinya. Ketiga, bersifat regional hanya berkaitan dengan daerahnya
sendiri. Keempat, bersifat sementara, hanya terbatas pada waktu kini.
Oleh karena itu manusia yang hanya memiliki kesadaran dan hasrat serta
kecenderungan tersebut, maka tidak ada perbedaan manusia dan hewan.

3. Kecerdasan Intelektual
Perbedaan antara manusia dan hewan yang lain dapat dipilih dari tingkat
ilmu, hasrat, idealis manusia. Tingkat ilmu manusia jauh melewati
pemahaman dangkal atas alam. Manusia membuat studi yang saksama
atas alam, saling keterkaitan dan semua aturan yang mengatur wujud-
wujud alami. Ilmu manusia tidak terbatas oleh tempat maupun waktu.
Ia mengatasi tempat dan waktu. Karenanya manusia menjelajah tempat-
tempat yang berbeda di luar lingkungannya seperti planet-planet
lain, dan juga tentang masa lampau dan masa depan. Ilmu manusia
menemukan fakta-fakta tentang jagad dan masa lampaunya, bumi,
langit dan gunung-gunung, samudera, planet dan periada-periada
hidup lainnya. Ia merenungkan masa depan yang jauh, lagi pula pikiran
manusia mengembara melalui ketidak terbatasan dan meraih beberapa
bagian diantaranya. Manusia bergerak melewati individu-individu dan
batasan-batasan, menemukan fakta-fakta umum yang mengatur jagad
dan, dengan demikian ia menaklukkan alam.

4. Perspektif Spiritualitas
Manusia adalah makhluk idealis mencari nilai-nilai. Ia mencari sesuatu
yang ideal yang tidak hanya bersifat materialistis dan menguntungkan;
ideal-ideal yang tidak teralokasikan hanya pada dirinya melainkan
meliputi kemanusiaan dan bersifat umum. Ideal-ideal seperti itu tidak
bersifat regional, tidak terbatas pada lingkungan sekitar sendiri dan tidak
pula temporal.
Manusia sangat bersifat idealistis, sehingga ia memandang keyakinan-
keyaknin dan ideal-idealnya sebagai lebih tinggi dari nilai-nilai lain.
Baginya, kesejahteraan sesama manusia tampak lebih penting dari pada
kesejahteraan diri sendiri. Ia bersimpati pada orang lain, merasa gembira

55
Pendidikan Islam

dengan kegembiraan mereka, dan sedih dengan kesedihan mereka. Ia


menumbuhkan keyakinan-keyakinan sucinya dengan sangat bergairah
sehingga dengan mudah ia mengorbankan kepentingan-kepentingan
dan bahkan hidupnya untuk semuanya itu.
Aspek manusiawi dari peradaban yang dianggap sebagai ruh
peradaban itu, dihasilkan oleh perasaan-perasaan dan keinginan-
keinginan manusia seperti itu. wawasan luas manusia tentang jagad
merupakan hasil dari kumpulan upaya manusia yang dihimpun dan
dikembangkan selama berabad-abad. Wawasan yang terikat pada logika
dan kriteria khusus ini disebut sebagai sains. Sains dalam arti umumnya
merupakan pikiran manusia tentang jagad sebagai suatu keseluruhan
termasuk filsafat yang merupakan hasil upaya manusia secara bersama-
sama dan telah mengembangkan suatu tatanan logika khusus.
Kecenderungan spiritual dan luhur manusia diturunkan dari
keyakinan dan keterkaitannya pada kebenaran-kebenaran semacam
itu tentang dunia ini yang bersifat individual, umum, menyeluruh
dan metafisik yakni kesemuanya itu tidak bersumber dari keinginan
mencari keuntungan. Keyakinan dan keterikatan seperti pada gilirannya
merupakan hasil filsafat-filsafat dan pandangan-pandangan dunia
yang ditawarkan kepada manusia, oleh para rasul maupun oleh para
filosuf tertentu yang ingin menawarkan semacam keimanan dan ideal-
ideal yang mengilhami pikiran. Meskipun demikian kecenderunngan
luhur dan spiritual manusia yang mengatasi aspek badaninya itu, akan
disebut sebagai agama jika kesemuanya itu merupakan bagian landasan
pemikiran dan kepercayaan-kepercayaan manusia. Karenanya, kita
menyimpulkan bahwa perbedaan yang terpenting dan mendasar antara
manusia dan makhluk-makhluk lainnya terletak pada iman, ilmu dan
amal, yang merupakan kriteria kemanusiaannya.
Namun demikian perlu disadari bahwa kemanusiaan manusia lahir
dan berkembang (berevolusi) dari kehewanan mereka. Pada mulanya
manusia sekedar periada fisik yang tidak ubahnya seperti hewan, tetapi
mempunyai esensi kemanusiaan bersamaan dengan perkembangan
kemanusiaannya, ia menjadi lebih bersifat spiritual. Ruh periada
manusia berasal dari kemaujudan fisiknya dan berkembang menuju
kebebasan. Kehewanannya bertindak sebagai sarang yang di dalamnya
kemanusiaannya tumbuh menjadi sempurna.
56
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan

Karena sudah merupakan sifat penciptaan bahwa makhluk yang


mampu meraih kebebasan dan kemaujudan diri menjadi efektif dan
menguasai lingkungannya, maka penyempurnaan kemanusiaan di dalam
tingkat individu dalam segenap hal, mengarah kepada kebebasan dan
penguasaan atas aspek-aspek lainnya. Individu yang sempurna adalah yang
menguasai secara relatif baik lingkungan internal maupun lingkungan
eksternalnya. Individu yang sempurna adalah yang terbebaskan dari
ikatan-ikatan internal maupun eksternal dan mengikatkan diri pada
suatu keimanan dan keyakinan.
Individu seperti inilah yang disebut sebagai pribadi Muslim, yaitu
pribadi yang seluruh aspeknya menunjukkan pengabdian kepada Tuhan
semata, penyerahan diri kepada-Nya. Penyerahan yang didasarkan
atas kepercayan, kekaguman, kasih sayang dan penuh kerelaan. Allah
berfirman: “…Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menetapkan
iman dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan
yang datang dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga
yang mengalir air sungai di bawahnya, serta kekal di dalamnya. Allah rela
kepada mereka dan mereka rela kepada-Nya (QS. al-Mujaadilah: 22).
Adanya manusia yang berperilaku kehewanan pada dasarnya
disebabkan karena kesangsian manusia tentang dirinya yang dimuliakan
Allah dan kelalaian manusia untuk memikirkan dirinya sendiri berarti
manusia telah melupakan Allah. Seperti diterangkan oleh Al-Qur’an
bahwa: “Dan sesungguhnya telah kami berikan hikmat kepada Luqman,
yaitu: bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur
(kepada Allah), maka ia sesungguhnya bersyukur untuk dirinya sendiri
dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha
Kaya dan Maha Terpuji” (QS. al-Hasyr: 15).
Melupakan Allah berarti menghancurkan kepribadian individu dan
masyarakat menjadi “fasik”, suatu bentuk kepribadian yang ambivalens,
kepribadian pecah, kehilangan semangat, dan pendirian. Sebaliknya,
dengan berdzikir kepada Allah akan mengkokohkan kepribadian, hati
menjadi tenteram, karena mempunyai pegangan hidup, kekuatan moral
yang absolut sebagaimana difirmankan-Nya: “(Yaitu) orang-orang yang
beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.
Ingatlah hanya dengan Mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS.
ar-Ra’d: 28).
57
Pendidikan Islam

C. JATI DIRI MANUSIA


Apabila kita amati fenomena kehidupan di dunia ini, maka tidak ada
satupun dari ciptaan Allah yang tanpa berpasangan: siang-malam,
laki-laki-perempuan, hidup-mati, individu-masyarakat, nyata-ghaib,
surga-neraka, baik-buruk, dan sebagainya. Semua pasangan tersebut
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Tidak ada
siang apabila malam tiada menjelang, tidak ada dan tidak disebut laki-
laki tanpa adanya perempuan, tidak adanya masyarakat tanpa adanya
individu-individu yang membentuk komunitas sosial dan tatanan
sosial dan seterusnya. Demikian juga dalam kehidupan manusia, antara
kebaikan dan kejahatan senantiasa ada, silih berganti dan bervariasi.
Tidak mungkin seluruh manusia di dunia ini baik semua, dan lebih
mustahil lagi kalau jahat semua.
Berdasarkan uraian tersebut lalu munculah berbagai pertanyaan:
apakah Tuhan menghendaki sebagai manusia itu baik dan sebagian lainnya
jahat? Alangkah beruntungnya yang dijadikan baik lalu dimasukkan ke
dalam surga dan betapa ruginya manusia yang dikehendaki jahat lalu
dimasukkan ke neraka. Di manakah letak keadilan dan kasih sayang
Tuhan? Alangkah sok kuasanya Tuhan itu sehingga berbuat sewenang-
wenang? Tidak, tidak, Tuhan tidak menghendaki kejahatan buat manusia,
karena apabila Tuhan menghendaki kejahatan manusia berarti menganiaya
(berbuat dzalim terhadap) manusia. Tuhan tidak pilih kasih karena
pilih kasih berarti ketidak mampuan mencintai semuanya. Tuhan tidak
sewenang-wenang (egoistik) karena sewenang-wenang itu menunjukkan
ketidakkuasaan-Nya. Tuhan menghendaki kebaikan buat manusia, Tuhan
Maha Adil, Maha Kasih dan Sayang, Maha Kuasa, Maha Mengetahui,
Maha.Segala-galanya. Kesemua sifat Tuhan itu merupakan satu kesatuan
sebagai konsekuensi dari keesaan Tuhan. Akan tetapi semua sifat Tuhan itu
harus difahami dalam konteks ketuhanan: universal; mutlak dan absolut.
Sehingga dalam banyak hal otak manusia yang notabene hanya relatif ini
tidak mampu menangkap, tidak mampu memahami sifat-sifat Tuhan yang
absolut itu kecuali kalau Tuhan sendiri yang menunjukinya melalui wahyu.
Dalam Al-Qur’an sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan
terdahulu bahwa jati diri manusia itu adalah “hanief” yaitu condong

58
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan

kepada kebenaran, mentauhidkan Tuhan dan nilai-nilai luhur lainnya.


Jati diri manusia tercermin dari hati nuraninya yang memihak kepada
kebenaran. Manusia akan merasa bebas dan sejahtera apabila berbuat
sesuai dengan hati nuraninnya. Sebaliknya manusia akan merasa
terbelenggu apabila berbuat yang bertentangan dengan hati nuraninya,
suara hatinya. Dalam Islam, berbuat sesuai dengan hati nurani inilah
yang disebut sebagai amal shaleh, amal yang mensejahterakan tidak
hanya untuk dirinya sendiri tapi juga bagi sesama dan bahkan bagi
seluruh alam semesta.
Atau dapat juga dikatakan bahwa jati diri manusia adalah “fitrah”,
yaitu potensi yang mampu menyerap sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya
(robbany). Dalam menyerap sifat “hidup” Tuhan misalnya, Tuhan itu
merupakan satu-satunya yang hidup dan memberi kehidupan makhluk-
Nya. Hukum-hukum moral yang terkandung dalam Al-Qur’an bersifat
memberi dan mengayakan kehidupan, dan oleh Karena itu, dengan hidup
di dunia ini sesuai dengan hukum-hukum tersebut, berarti manusia telah
mewujudkan salah satu dari sifat-sifat Tuhan.
Bila seseorang menyelamatkan kehidupan seorang manusia
maka ia seperti menyelamatkan seluruh kehidupan manusia. Manusia
diperintahkan mengambil bagian dari apa-apa yang baik di dunia ini
dengan memakai pakaian-pakaian yang indah, makan minum dengan
tidak melampaui batas. Karena itu hidup kebiaraan yang menolak
kenikamatan hidup di dunia adalah salah dan bertentangan dengan fitrah
manusia. Manusia dalam Islam, diperintahkan untuk tidak melupakan
hidupnya di dunia. Kekayaan harta adalah sesuatu yang baik untuk
dinikamati dan dihargai sebagai rahmat Tuhan yang dapat membuat hidup
ini menjadi lancar dan nyaman. Dalam Al-Qur’an, istilah harta terkadang
menggunakan kata “khair” yang secara harfiah berarti baik atau kebajikan
(QS. al-Baqarah: 212).
Masih dalam penyerapan sifat “hidup”. Kehidupan di dunia sekarang
tidak diragukan lagi mempunyai makna dan tujuan, tetapi tujuan-tujuan
itu diarahkan pada kebaikan hidup di masa yang akan datang baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Tuhan menciptakan hidup dan mati
untuk menguji manusia, mana yang terbaik dalam tindakannya. Dunia
ini merupakan persiapan bagi kehidupan jangka panjang di akhirat

59
Pendidikan Islam

nanti. Kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan di dalam hidup ini akan


mendahului untuk menerangi jalan nanti, yang di dalamnya manusia
akan mempunyai kesempatan penuh untuk mengembangkan cahaya
jiwa hingga lebih sempurna lagi.
Contoh lain dari penyerapan sifat Tuhan adalah sifat cinta dan kasih
sayang. Sifat cinta dan kasih sayang merupakan sifat Tuhan yang paling
banyak disebutkan dalam Al-Qur’an terutama ayat yang berhubungan
dengan manusia. Oleh Karena itu manusia, sesuai dengan fitrahnya
diberi karunia untuk menyerap atau cinta dan kasih sayang Tuhan
dalam kehidupan sehari-hari. Manusia diberi petunjuk dan diilhami agar
mencintai Tuhan sebagai pengejewantahan sempurna, dari semua nilai
moral dalam rangka berhablumminallah (hubungan kasih sayang dengan
Tuhan). Dan dalam rangka hablumminannas (hubungan kasih sayang
sesama manusia), fitrah cinta manusia menuntut untuk berlaku baik dan
mencintai orang tua, terutama kepada ibu yang telah mengandung dan
melahirkan dengan susah payah. Allah berfirman: “Kami perintahkan
kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya, ibu
yang mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan
susah payah (pula)” (QS. al-Ahqaf: 15).
Kewajiban mencintai itu diperluas lebih jauh hingga meliputi kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang yang membutuhkan, tetangga yang dekat
dan jauh, musafir dan seluruh manusia (rahmatan lil’alamin). Kebaikan
(diantaranya) adalah membelanjakan sebagian dari harta yang kita cintai
untuk Tuhan, teman, anak-anak yatim, orang-orang yang membutuhkan,
musafir dan fakir miskin. Dan teladan inilah Nabi, yang berlaku kasih
sayang terhadap sesama; “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras
lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingnya”
(QS. Ali ‘Imran: 159). Oleh karena itu, salah satu ciri dari kesempatan
akhlak orang-orang yang beriman adalah bahwa mereka berlaku kasih
sayang dan mencintai satu sama lain, dan merupakan kesempurnaan
akhlak orang yang beriman adalah apabila mampu menyerap seluruh
sifat-sifat Tuhan dan asmaul husna atau nama-nama yang indah, dalam
batas-batas kemanusiaan.

60
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan

Berkaitan dengan nilai-nilai baik sebagai watak dasar (hanief dan


fitrah), dari dalam diri manusia juga dapat melahirkan nilai-nilai buruk
(disvalues) yang dalam Al-Qur’an disimpulkan sebagai Setan atau
Iblis. Ia digambarkan sebagai pembangkang yang gigih, yang selalu
memperdayakan manusia dan membelokkan manusia dari jalan yang
lurus. Penjelasan Al-Qur’an dilukiskan bahwa “…Dan saya (Setan atau
Iblis) benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan
angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong
telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya,
dan akan saya suruh mereka (mengubah ciptaan Allah) lalu mereka
benar-benar mengubahnya. Barang siapa yang menjadikan Setan menjadi
pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang
nyata (QS. an-Nisa’: 119).
Setanlah yang menambahkan benih-benih permusuhan dan
kebencian, menciptakan nafsu-nafsu sesat, menganjurkan untuk berbuat
keji dan mungkar. Ia (Setan dan Iblis) berada dalam diri manusia dan
bahkan dapat berupa diri manusia. Oleh karena itu manusia diperintahkan
untuk berhati-hati, selalu waspada terhadapnya dan terhadap diri
sendiri. Kelalaian manusia terhadap Setan dan Iblis dan terhadap diri
sendiri akan melahirkan “perbuatan yang aniaya terhadap diri sendiri”
(zulmal-nafs). Allah tidak pernah berbuat aniaya kepada manusia, tetapi
itu sendirilah yang menganiaya diri; “(Azab) yang demikian itu adalah
disebabkan perbuatan tanganmu sendiri, dan bahwasanya Allah sekali-
kali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya” (QS. Ali ‘Imarn: 182).
”Zulm al-nafs” berarti meletakkan sesuatu bukan pada tempat
yang seharusnya, sehingga setiap kesalahan adalah zulm atau perbuatan
yang aniaya terhadap pelakunya sendiri. Kesalahan manusia dalam
menempatkan dirinya, dalam memanfaatkan potensi yang dimilikinya,
didorong dengan adanya Setan dan Iblis yang ada dalam dirinya dan
melahirkan perbuatan destruktif yang menurut istilah Malaikat sebagai
“pembuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah” (lihat QS. Ali
‘Imran: 30).
Nilai-nilai buruk (disvalues) yang lahir dari dalam diri manusia yang
disimbolkan sebagai Setan dan Iblis itu pada dasarnya merupakan ujian
secara terus-menerus bagi manusia. Suara hati atau hati nurani manusia

61
Pendidikan Islam

yang harus diikuti diibaratkan sebagai “jalan lurus” yang harus dilalui
manusia dalam menapaki perjalanan hidupnya. Sedangkan untuk dapat
tetap konsisten kepada jalan lurus itu diperlukan sebuah perjuangan dan
pengorbanan agar terbebas dari godaan Setan dan Iblis yang senantiasa
berusaha membelokkan manusia dari jalan lurus itu. Oleh karena itu,
sesuai dengan kehendak Tuhan yang menghendaki kebaikan buat manusia,
manusia diberi petunjuk untuk mengabdi dan memohon pertolongan
kepada-Nya agar dapat berada pada jalan yang lurus, dalam sehari
semalam paling sedikit 17 kali. Dalam sehari semalam manusia diwajibkan
melaksanakan shalat 5 waktu atau 17 rakaat. Setiap rakaat diwajibkan
membaca surat al-Fatihah yang dalam surat al-Fatihah itu terkandung tujuh
pujian terhadap Tuhan dan doa: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan
hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan. Pimpinlah kami senantiasa ke
jalan yang lurus” (QS. al-Fatihah: 5-6).

D. KEBEBASAN MANUSIA
Hampir setiap manusia kalau ditanya, “apakah anda menyukai kebebasan”?,
pada uumnya menjawab dengan positif. Statemen ini diperkuat dengan
adanya deklarasi internasional tentang kebebasan sebagai hak asasi
manusia yang paling tinggi. Akan tetapi kebebasan yang bagaimanakah
yang dikehendaki manusia itu. Apakah bebas dari campur tangan orang
lain terhadap urusan pribadinya?; apakah bebas dalam arti merdeka untuk
menentukan nasib sendiri bagi sebuah bangsa atau negara?; atau bebas
berbuat apa saja sesuai dengan yang dikehendakinya?; atau bebas dalam
arti memilih atau tidak memilih dari berbagai alternatif yang ada.
Ide tentang kebebasan yang dikehendaki manusia memang unik.
Walaupun manusia itu kalau ditanya menjawab menyukai kebebasan,
tetapi ia menolak dalam kenyataannya. Manusia berusaha keras
meyakinkan diri sendiri bahwa dirinya menyukai kebebasan dengan
sesungguhnya, tetapi ungkapan-ungkapan itu dalam banyak hal lebih
bersifat menunjukkan rasa enggan untuk menerimanya. Ada secercah
keengganan dalam diri manusia untuk menerima kebebasan dalan arti
yang seluas-luasnya. Apabila manusia menghendaki kebebasan dirinya
dari campur tangan orang lain dalam kenyataannya hal seperti ini tidak
pernah ada. Demikian juga dalam hidup berbangsa dan bernegara.

62
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan

Kalau kebebasan itu bebas berbuat sesuai dengan kemauannya, maka


pemerintah Nazi Jerman dan imprealisme dunia Barat terhadap dunia
ketiga tidak dapat disalahkan. Padahal kebebasan yang mereka lakukan
sulit diterima akal, tidak dapat dipertanggungjawabkan karena bebas di
atas ketidakbebasan. Dan yang terakhir, kalau bebas dalam arti memilih
dari berbagai alternatif pilihan, tampaknya pengertian yang terakhir
inilah yang lebih dapat diterima. Karena kebebasan yang seperti ini
tidak meniadakan tanggung jawab, melainkan justru menuntut adanya
pembatasan atau membatasi haknya dan melaksanakan semua kewajiban.
Kebebasan manusia adalah kebebasan memilih dari berbagai keharusan
universal.
Dalam dunia Islam, masalah kebebasan manusia ini telah melahirkn
tiga aliran mazhab teologis: Qodariyah, Jabariyah dan Asy’ariyah. Qodariyah
berpendapat bahwa manusia itu mempunyai kebebasan berkehendak
karena akalnya mampu membedakan baik dan buruk. Sebaliknya Jabariyah
berpendapat bahwa segala tingkah laku manusia itu pada dasarnya telah
ditentukan. Diantara aliran yang sama-sama ekstrim tersebut muncullah
aliran Asy’ariyah yang berusaha mencari titik temu diantara keduanya
bahwa “manusia yang berusaha Tuhan yang menentukan”.
Sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan terdahulu bahwa jati
diri manusia itu adalah hanief dan fitrahnya mampu menyerap sifat-sifat
ketuhanan. Sifat-sifat Tuhan itu diantaranya adalah bebas berkehendak
sehingga manusia juga mempunyai kebebasan. Akan tetapi kebebasan
Tuhan tidak sama dengan kebijakan manusia. Kebebasan Tuhan tetap
dalam konteks ketuhanan yaitu: universal, mutlak, supranatural dan absolut,
sedangkan kebebasan manusia tetap dalam konteks kemanusiaan dan
kemakhlukan yaitu kebebasan memilih dan berbagai alternatif keharusan
universal. Fazlur Rahman (1983: 37-38) dalam hal ini mengatakan bahwa
kebebasan Tuhan diantaranya adalah bebas dalam menentukan aturan
atau ukuran atau keterhinggaan terhadap ciptaan-Nya. Dalam bahasa yang
populer ketentuan Tuhan ini disebut taqdir atau qadar. Ide yang terkandung
dalam doktrin qadar adalah bahwa hanya Allah saja yang tidak terhingga
secara mutlak sedangkan segala sesuatu selain dia adalah ciptaan-Nya yang
memiliki ukuran atau keterhinggaan atau memiliki potensi yang terbatas.
Walaupun jangkauan potensi-potensi ini, misalnya yang dimiliki manusia,
sangat luas.

63
Pendidikan Islam

Menurut Al-Qur’an ketika menciptakan sesuatu (akhlak), Allah


memberikan sifat-sifat, potensi-potensi dan hukum-hukum tingkah
laku (perintah atau petunjuk) tertentu kepadanya sehingga ia menuruti
sebuah pola tertentu dan menjadi sebuah faktor dalam “kosmos”. Karena
setiap sesuatu di dalam alam semesta ini bertingkah laku sesuai dengan
hukum-hukum yang telah ditentukan berlaku bagi mereka secara otomatis
mentaati perintah Tuhan, maka keseluruhan alam semesta ini adalah
“Muslim” atau tunduk pada aturan Allah. Dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Semua yang berada di langit dan yang di bumi bertasbih kepada Allah
(menyatakan kebesaran Allah). Dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana” (QS. al-Hasyr: 1).
Manusia adalah satu-satunya kekecualian dalam hukum universal
ini karena di antara semuanya dialah satu-satunya ciptaan Allah yang
memiliki kebebasan untuk mentaati atau mengingkari perintahnya. Tuhan
telah memberikan kepada manusia kehendak memilih, menentukan dan
memutuskan berbuat baik atau buruk. Ia memberikan akal budi dan
berbagai rangsangan sehingga dengan usahanya sendiri, ia dapat mengejar
dan menggarap segala kemungkinan. Ia juga telah memberikan suatu
kecenderungan kearah kebaikan. Di samping itu, ia telah memberikan
petunjuk melalui wahyu dan ilham dan telah menghancurkan menolak
kejahatan dengan kebaikan, melawannya dengan yang lebih baik (ahsan).
Maka dari itu apabila manusia memilih untuk berbuat baik, yang demikian
itu karena Tuhan menghendaki untuk memberikan kebaikan kepadanya.
Ia tidak pernah mengubah rahmat yang telah dilimpahkan kepada suatu
kaum, sehingga mereka mengubahnya sendiri. Oleh karena itu, kebaikan
apapun yang datang dari atau kepada manusia sesungguhnya adalah dari
Tuhan; “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja
bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami
mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah
menjadi saksi” (QS. an-Nisa’: 79).
Sebaiknya manusia mempunyai kecenderunngan berbuat melawan
kejahatan, akalnya menolak kejahatan itu, dan ia juga diberi peringatan
untuk melawannya melalui kitab-kitab-Nya: karena itu apapun perbuatan
buruk yang datang kepada atau dari manusia adalah berasal dari manusia
sendiri, bukan kesalahan Tuhan atau tanggung jawab para Rasul. Bila Tuhan
menghendaki dia dapat menghancurkan kejahatan-kejahatan tersebut dan

64
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan

tidak membiarkannya muncul, dan bila ia menghendaki, maka semua


manusia akan beriman tetapi ini bukanlah rencananya; “Dan kalau Allah
menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukan (Nya). Dan kami
tidak menjadikan kamu pemilihara bagi mereka dan kamu (Rasul) sekali-
kali bukanlah pemelihara bagi mereka. (QS. al-An’am: 107).
Rencananya Tuhan adalah membentuk bingkai mental kebebasan
manusia untuk menggunakan kekuatan sifat-sifat ketuhanan dari kekuatan
atau kebebasan mamilih dan mengambil segala pertimbangan yang
bijaksana serta hati-hati dalam menyesuaikannya dengan setiap keadaan
yang berbeda. Dalam rancangan taqdir, peran manusia bukanlah seperti
ternak yang bisu dan terkendali. Bahkan kebebasannya untuk memilih
kejahatan adalah sebagian dari rancanagn tersebut, dan tidak seorangpun
akan memilih jalan menuju Tuhan kecuali hal ini sesuai dengan rancangan
atau yang dikehendaki Tuhan (Abdul A’la, 1985: 18-20).
Tidak ada paksaan dalam beriman. Petunjuk Tuhan selalu terbuka
bagi setiap orang yang menginginkannya dan menghendaki keuntungan
dari petunjuk itu. Siapapun yang menghendaki silahkan mengambil
jalan lurus menuju Tuhannya. Kebenaran berasal dari Tuhan, maka –
jika dibahasakan dalam kaidah sosial- siapa yang menghendaki silahkan
mempercayainya, dan siapa yang mau ingkar silahkan meolaknya; “Dan
katakanlah: “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu: maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim
itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka...” (QS. al-Kahfi: 29).
Para Nabi diutus kepada setiap bangsa untuk memberi petunjuk
kepada seluruh manusia. Tugas mereka adalah mengajar, membimbing
dan memberitahu dengan petunjuk dan tidak dengan mengendalikan
atau memaksa manusia kepada sesuatu, juga tidak mengawasi apa yang
mereka kerjakan atau mengatur urusan-urusan mereka. Mereka tidak
dapat memaksa supaya melawan keinginannya untuk percaya. Sebagai
contoh dari sifat kebebasan Tuhan dan manusia adalah Allah menciptakan
surga dan neraka sebagai tempat pembalasan sebagian orang kelak berhak
memperoleh balasan kenikmatan di surga dan sebagian orang kelak akan
dibalas denagn siksa yang pedih di neraka. Dan untuk itu maka Allah
menurunkan aturan (taqdir) yang berupa segenap kewajiban yang harus

65
Pendidikan Islam

ditunaikan dan segenap larangan yang harus ditinggalkan. Bagi yang


mematuhi aturan ini akan dibalas dengan kebahagiaan hidup di surga dan
bagi yang mendurhakainya dibalas dengan siksa yang pedih di neraka.
Manusia bebas memilih aturan yang mana diikuti.

E. TUGAS HIDUP MANUSIA


Dalam pembahasan terdahulu telah ditemukan bahwa diciptakannya
manusia dalam rangka menjalankan tugas sebagai khalifah Allah di muka
bumi. Khalifah dapat berarti makhluk yang diberi tugas dan tanggug
jawab sebagai wakil, pengganti, penguasa, dan pengatur. Khalifah Allah
di bumi berarti makhluk yang diberi tugas dan tanggung jawab sebagai
wakil Allah untuk mengatur, membina, menguasai dan memakmurkan
bumi sesuai dengan aturan (taqdir) yang ditentukan oleh yang diwakili
(Allah). Aturan (taqdir) Allah atas manusia adalah diberikannya fitrah
atau potensi yang mampu menyerap sifat-sifat ketuhanan; akal budi,
hati nurani dan ruh yang mempunyai kecenderungan kearah kebaikan
sesuai dengan sifat-sifat Allah yang dimiliki dalam “asmaul Husna”; dan
ditambah lagi dugaan petunjuk Allah melalui wahyu (agama) dan ilham
(suara hati, suara Tuhan) untuk melakukan tugasnya itu.
Sedangkan aturan (taqdir) Allah atas alam (sebagai pengertian yang
lebih luas dari kata al-ardl) adalah: patuh terhadap ketentuan Allah.
Sebagaimana formulasi Al-Qur’an yang menyatakan bahwa: “Maka
apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal
kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang ada di langit dan di
bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah
mereka dikembalikan” (QS. Ali ‘Imran: 83); atau juga dalam ayat lain
dikatakan bahwa: “Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung
yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan dia menentukan
padanya kadar makanan-makanan (penghuni)-Nya dalam empat masa.
(Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya” (QS.
Fushshilat: 10).
Di dalam ayat-ayat lain juga diungkapkan bahwa: “Hai jama’ah jin
dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit
dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan

66
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan

dengan kekuatan. (QS. ar-Rahman: 33). Ayat lainnya: “Allahlah yang


telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari
langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-
buahan menjadi rezki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera
bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan
Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah
menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus-menerus
beredar (dalam orbitnya), dan telah menundukkan bagimu malam dan
siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala
apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung
nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinakannya. Sesungguhnya
manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)” (QS.
Ibrahim: 32-34).
Oleh karena itu, keputusan Allah untuk mengangkat Adam dan anak
cucunya sebagai khalifah di bumi walaupun “diprotes” oleh Malaikat tidak
keliru, karena Allah tidak membebani manusia melebihi kemampuannya;
“Allah tidak membebani sesorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Ia mendapat pahala (dari kebijakan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya” (QS. al-Baqarah: 286). Dan
Allah tidak menganiaya (dhalim) terhadap hambanya, melainkan atas
dasar kasih sayang dan memulyakan manusia.
Uraian tersebut secara singkat memberikan pengertian bahwa
apabila manusia mengenal Tuhannya dengan cara mengenal sifat-sifat dan
perbuatan-Nya, mengenal dirinya sendiri dan tugas yang diembannya,
mangenal alam melalui fenomena dan hukum-hukumnya, mengenal
petunjuk Allah berupa suara hati, maka manusia seperti inilah yang
dimaksud oleh Tuhan sebagai khalifah di bumi yang oleh Allah karena
mereka beriman dan beramal shaleh. Mereka mampu berperan dalam
membangaun masyarakat. Allah telah menjanjikan kepada orang-orang
yang beriman dan beramal shaleh ia akan menjadikan mereka sebagi
khalifah di muka bumi; “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang
yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh
bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi
(khalifah), sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum
mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama

67
Pendidikan Islam

yang telah diridlai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar
(keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman
sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apa pun dengan aku. Dan barangsiapa yang (tetap kafir) sesudah
(janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. an-Nuur: 55).
Dalam komunitas sosial, umat Islam digambarkan dalam Al-Qur’an
sebagai: Pertama, “umatan wahidah” (umat yang satu), sebagaimana Allah
mengungkapkan dalam Al-Qur’an bahwa “Manusia itu adalah umat yang
satu, (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para Nabi sebagai
pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan
bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara
manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan” (QS. al-Baqarah:
213); Kedua, “umatan wasata” (umat yang adil dan pilihan) yang di
dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa: “Dan demikian (pula) “kami telah
menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (QS. al-Baqarah: 143); dan Ketiga,
“khaira umah” (umat terbaik). Di mana hal ini dinyatakan dalam Al-
Qur’an bahwa: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia menyuruh kepada ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah” (QS. Ali ‘Imran: 110).
Sebaliknya manusia yang tidak mngenal Tuhannya atau menuhankan
yang bukan Tuhan, tidak mengenal dirinya dan tugas yang diembannya,
tidak mengenal pedoman hidupnya (agama) atau mengenal tetapi hipokrit
(fasik) karena mengingkari suara hatinya, walaupun ia mengenal baik
dan menguasai alam maka pantaslah kalau mereka memperbandingkan
dirinya dengan hewan dan mempersamakan. Karena pada hakikatnya
mereka tidak berbeda dengan hewan atau lebih jahat lagi (lihat dalam
QS. al-A’raf: 179).
Disyaratkan iman dan amal shaleh untuk dijadikan sebagai khalifah
di bumi ini karena hanya manusia yang beriman dan beramal shalehlah
yang mampu mengemban amanat pembebasan manusia: pembebasan
dari segala bentuk ajaran, tindakan dan keadaan yang menghalangi
emansipasi kearah pemenuhan kebutuhan manusia dan martabatnya.
Kebutuhan kemanusiaan dan martabatnya dapat berupa kebutuhan

68
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan

yang bersifat jasmani dan rohani, fisik dan nonfisik, mental dan spritual,
dunia dan akhirat, dan individu dan sosial. Sedangkan martabat manusia
akan terpenuhi dengan sendirinya apabila manusia mampu memenuhi
kebutuhannya melalui pembangunan di segala bidang.
Bagi seorang Muslim (Muslim merupakan aktualisasi ras iman
dalam diri seseorang), keterlibatannya secara aktif dalam pembangunan
merupakan panggilan imannya yang sejati dan sekaligus merupakan
ibadah kepada Allah dalam pengertian yang seluas-luasnya dalam bentuk
pelayanan kongkrit kepada sesama makhluk yang dicintai Allah. Setiap
Muslim sesuai dengan panggilan masing-masing berkewajiban untuk
berbuat sesutu bagi diri dan sesamanya di dalam bidang kepedulian dan
profesinya masing-masing sebagai saksi hidup dari perjuangan dirinya dan
perjuangan sesamanya untuk menegakkan identitasnya, meningkatkan
martabat serta membebaskannya dari berbagai ketergantungan dan dalam
upayanya untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bersama.
Bagi seorang Muslim, berjuang dijalan Allah adalah hidup di
tengah-tengah masyarakat untuk mewujudkan keadilan, perdamaian,
dan kemakmuran bersama atas dasar nilai yang diyakininya (manifestasi
iman). Oleh karena itu analisis dan perjuangan mengentaskan
manusia dari lembah kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan,
memberantas ketidakadilan, penindasan dan penyakit-penyakit, dan
lebih dari itu, justru menjadi tanggung jawab sebagai khalifah di bumi,
yaitu mengembangkan kualitas hidup manusia sesuai dengan harkat
insaniahnya. Seorang Muslim juga harus menjaga kelestarian alam dan
keserasian lingkungan hidup di samping juga berzikir, shalat, berpuasa,
ibadah haji dan ibadah mahdhah lainnya.
Melaksanakan tugas kekhalifahan yang begitu besar dan berat tersebut
tidak mungkin dapat dilakukan secara pribadi, nafsi-nafsi, melainkan harus
membentuk komunitas sosial dan tatanan sosial yang mampu menjadi
kekuatan raksasa panji-panji Islam (ummatan wahidah), eksistensinya
mengakar kuat dalam horizon masyarakat, dan eksistensinya tegak tegar
menjulang tinggi sehingga mampu menegakkan keadilan, tidak ada yang
berani memaksa atau terpaksa untuk condong dan ikut arus ke arah ekstrem
kanan atau kiri, menghakimi yang bathil sebagai kejahatan dan yang hak
sebagai kebaikan, dan mampu menciptakan kekuatan pertahanan yang

69
Pendidikan Islam

seimbang (ummat wasatan). Umat yang seperti inilah barangkali yang


dikehendaki dalam Al-Qur’an sebagai sebaik-baik umat (khaira umat)
karena mampu berperan sebagai pengambil keputusan, memimpin, untuk
menyeru dan menyuruh berbuat khair (baik sesuai denga ajaran agama
atau baik menurut yang maju). Umat yang seperti inilah yang dalam Al-
Qur’an dikatakan sebagai umat yang beruntung; “Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-
orang yang beruntung” (QS. Ali ‘Imran: 104).
Agar manusia Muslim baik sebagai individu maupun komunitas sosial
dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai khalifah sebagaimana
yang telah disebutkan, maka manusia Muslim perlu kerja keras dengan
etos kerja yang tinggi, bermoral pembangunan, berteologi yang fungsional
(teologi pembangunan) agar dapat menjadi ekonom yang sosial yang dapat
berjuang dengan hartanya. Seorang Muslim harus memanfaatkan potensi
internal (fitrah) dan eksternal (alam) semaksimal mungkin, berkontemplasi
tentang diri dan lingkungannya untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, berpendidikan tinggi, agar dapat memberantas kebodohan dan
keterbelakangan. Seorang Muslim harus berpolitik (dalam pengertian
yang luas), mempunyai strategi dan rencana jangka pendek maupun
panjang agar dapat menguasai keadaan, memimpin, mempengaruhi dan
menggerakkan tindakan warga masyarakat agar dapat bertingkah laku
sebagaimana dikehendaki. Orang yang miskin tidak akan pernah mampu
memikirkan kebodohan dan orang yang tertindas tidak akan mampu
membela saudaranya yang tertindas, karena mereka sudah terbelenggu
dengan berbagai macam problem yang menghimpit dirinya.
Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa, sebagai khalifah seorang
Muslim harus menjadi manusia terpilih dilingkungan masyarakat dimana
ia barada atau paling tidak terpilih bagi dirinya sendiri dan memimpin
bagi dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki
masing-masing. Manusia terpilih di sini dapat diidentifikasi sebagai “agent
of social change” (agen pembaharu dan perubahan sosial) yang memiliki
kekuatan moral (moral force).
Di antara ahli tafsir, di antaranya adalah Hamka berpendapat bahwa
fungsi kekhalifahan itu merupakan amanah yang harus diemban oleh
manusia. Hamka dalam hal ini menghubungkan antara Surat al-Ahzab ayat
70
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan

27 dengan ayat 30 surat al-Baqarah. Dari pengertian dua ayat ini, maka fungsi
kekhalifahan manusia di bumi sangat jelas. Lebih lanjut Allah menegaskan
lagi bahwa tugas khalifah itu adalah menciptakan kemakmuran di bumi
dan menegaskan manusia untuk memakmurkannya (lihat QS. Hud: 61).

F. MUHAMMAD: PROFIL MANUSIA IDEAL


Sudah umum diyakini Muhammad adalah Nabi, Rasul dan profil manusia
ideal sebagai pengenjawantahan sempurna dari ajaran Islam. Allah
sendiri menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa Muhmmad digambarkan
secara ringkas sebagai “uswatu hasana” (contoh tauladan yang baik), dan
menurut Aisyah, istri beliau yang paling cerdas, ketika ditanya tentang
pribadi beliau dengan singkat mengatakan bahwa “akhlak beliau adalah
Al-Qur’an”. Bahkan seorang cendikiawan Amerika, Michael H. Hart
(1982, 27-34), meletakkan beliau pada posisi teratas dari deretan seratus
tokoh-tokoh dunia yang mempunyai peranan besar dalam mengubah
arah sejarah dunia. Baik oleh kawan Maupun lawan, karena kebesaran
pribadi dan kesuksesan beliau dalam mengemban amanat Muhammad
sebagai Nabi diakui pula sebagai pemimpin dunia, organisator, pencetus
revolusi kemanusiaan yang paling berhasil, pemersatu bangsa-bangsa,
pendidik, pemimpin keluarga dan seribu satu macam gelar lainnya.
Namun dibalik kebesaran itu, beliau juga manusia bisa seperti kita. Beliau
butuh makan dan minum, pakaian dan istri, suka dan duka, benar dan
salah dan seribu satu kebutuhan sebagai layaknya manusia. Keberhasilan
beliau tidak lepas dari kegigihan dan tanggung jawab beliau yang besar
dalam mengemban mitra kemanusiaan, kenabian dan kerasulan di dunia
ini.
Agar penulis tidak dianggap sebagai “apologi” dalam mengungkapkan
kebebasan Muhammad sebagai profil ideal manusia Muslim, penulis
mengutip pernyataan-pernyataan sarjana Barat yang bukan Islam dan para
orientalis tentang Muhammad sebagaimana termuat dalam Intoduksi buku
“Speecher and Table talk of the Prophet Muhammad figure Muhammad”.
Ia menyatakan bahwa “Muhammad adalah himpunan segala kebesaran
yang agung, air muka dan sikapnya sangat berwibawa, dan “dia telah diberi
rahmat”, kata seorang orientalis Lane Poole, dengan kekuatan imajinasi

71
Pendidikan Islam

yang sangat kuat, pikiran yang tingi, perasaan halus dan indah. Beliau
suka memberi hati terhadap orang yang lebih rendah, dan tidak pernah
mencaci maki pelayannya, “saya bersama Nabi dan beliau tidak pernah
mengatakan ‘uff kepada saya”. Beliau sangat mencintai keluarganya.
Salah seorang puteranya meninggal dunia di atas buaiannya dalam
sebuah kamar juru rawat berasap, juru rawat itu adalah istri seorang
Smith yang hitam. Beliau sangat mengasihi anak-anak atau yang lebih
muda dari beliau dan sangat menghormati yang lebih tua. Beliau akan
mencegah anak-anak yang bermain di jalan dengan mengelus kepalanya.
Beliau tidak pernah menghajar seorang selama hidupnya. Tatkala beliau
diminta untuk mengutuk seorang karena perbuatannya melampaui batas
terhadap belaiu ketika hijrah ke Thaif, beliau menjawab, “Saya diutus
bukan untuk mengutuk manusia, akan tetapi untuk menjadi rahmat
bagi mereka”, dan lebih dari itu beliau malah mendoakan kepada mereka
agar diberi petunjuk. Beliau mengunjungi orang-orang sakit, beliau
selalu mengikuti mayat yang ditemuinya, beliau menghadiri undangan
makan seorang budak, manambal pakaiannya sendiri, memeras susu
kambing dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Beliau tidak menarik tangan
beliau terlebih dahulu ketika berjabat tangan sebelum tangan orang
menjabatnya dicabut terlebih dahulu.
Nabi Muhammad merupakan pelindung yang dipercaya mereka
yang memohon perlindungannya, pembicaraannya sangat ramah dan
dinamis. Barang siapa yang memandangnya, maka tiba-tiba penuh
rasa hormat, siapa yang didekatnya akan mencintainya, mereka yang
melukiskan akan berkat, “Saya tidak pernah melihat beliau seperti ini”.
Beliau adalah pendiam, akan tetapi jika beliau berbicara dengan sengaja
atau tidak, tidak seorang pun melupakan apa yang diucapkannya.
Beliau hidup bersama istri-istri beliau dalam suasana yang penuh
cinta kasih, makan seadanya. Di luar rumah beliau terdapat bangku atau
serambi yang selalu didiami oleh beberapa orang miskin yang hidup dari
kemurahan hati beliau, mereka kemudian disebut sebagai “orang-orang
bangku”. Makanan yang biasa beliau makan adalah kurma dan air, atau
bubur gandum; susu madu adalah makanan istimewa kesukaannya, akan
tetapi jarang beliau miliki. Makanan beliau ringan-ringan walaupun
beliau berkuasa di Arabia.

72
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan

Beliau sangat gembira apabila dibutuhkan oleh oarng lain, “sebaik-


baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. Beliau sangat
gembira tatkala kegembiraannya itu diperlukan, dan sebabnya adalah baik.
Beliau adalah utusan Allah yang satu, walaupun hayat beliau berakhir, akan
tetapi tidak pernah terlupakan siapa beliau atau ajarannya yang merupakan
cermin wujudnya. Beliau membawa berita yang mulia dan terhormat
dengan kerendahan hati.
Di dalam jiwanya, ada suatu yang lemah lembut bagaikan perempuan,
ada satu sifat heroik bagaikan seorang pahlawan. Nabi Muhammad selalu
memberi keputusan dengan adil dan kasih sayang bagi orang-orang yang
membutuhkannya. Beliau juga, yang berani menghadapi kaumnya yang
iri hati, selama beberapa tahun ketika beliau di Makkah maupun ketika di
Madinah dengan penuh keberanian dan tanggung jawab.
Tentang kesuksesan misi Nabi Muhammad SAW, Carlyle berkata:
“Dalam masyarakat Arab, agama Islam dilahirkan dari kegelapan menuju
keterangan; Arabia menjadi terjaga setelah datangnya Islam. Masyarakat
yang berkeliaran di gurun-gurun (Arab) hidup miskin dan menggembala,
setelah Nabi diutus di tengah-tengah mereka dengan kalimat (wahyu) yang
mereka imani, maka dunia yang tidak terkenal itu akhirnya menjadi dunia
termasyhur, bangsa yang kecil kemudian menjadi bangsa yang besar. Satu
abad setelah di Delhi; kemudian Arabia menyinari sebagian besar daerah
di dunia setelah beberpa abad, dengan sinar akal budi dan kepandaian.
Bangsa Arab, manusia Muhammad, dan satu abad itu telah menerangi
langit dunia dari Delhi sampai Granada (Heroes and Hero Worship: Chapter
on “Hero as Prophet”).
Dalam persepsi tentang hidup dan kerja, beliau tidak pernah
menyuruh umatnya untuk lari dari kehidupan duniawi dan tanggung
jawab sosialnya. Beliau mencela orang yang hanya berdoa, berdzikir di
masjid dan tawakkal, berserah diri kepada Allah, tanpa dibarengi dengan
usaha yang riil semaksimal mungkin. Belaiu senantisa bekerja keras
dan menyuruh umatnya untuk mencari kerunia Allah sebagai bagian
integral dari pelaksanaan pengabdian kepada Allah. Belaiu lebih senang
“memberikan kail daripada memberikan ikan” ketika ada orang yang
masih kuat badannya meminta-minta sedekah.

73
Pendidikan Islam

Beliau senantiasa berkontemplasi dan berorientasi masa depan


berdasarkan pengalaman masa lalu dan kondisi sekarang. Beliau sering
memberikan estimasi kondisi masa depan yang terkadang mengecutkan
agar umat Islam mempunyai “kiat” dan sebagai cambuk untuk mempunyai
masa depan yang gemilang. Beliau adalah orang yang mempunyai cita-
cita tidak hanya jangka pendek atau kepentingan beliau dan keluarganya
sendiri, melainkan cita-cita yang berdimensi jangka panjang dan untuk
seluruh umat manusia terutama yang beriman dan beramal shaleh. Beliau
memerintahkan umatnya untuk berkreatif dan konstruktif, menciptakan
“sunah hasanah” (ide dan karya yang inovatif) dan mencela orang yang
destruktif atau menciptakan “sunnah sayyiah” (ide dan karya yang
merugikan serta mencelakakan).“Barang siapa membuat ‘sunah hasanah’
(ide dan penemuan yang konstruktif dan kreatif), maka dia mendapatkan
pahala darinya dan pahala dari orang yang mengamalkannya sampai
hari kiamat. Dan barang siapa yang membuat ‘sunah sayyiah’ (ide dan
penemuan yang destruktif atau kejahatan) maka baginya dosa darinya
dan dosa orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat”.
Rasulullah adalah profil manusia yang mempunyai komitmen
atau tanggung jawab terhadap apa yang telah perbuat, dipikirkan
dan dipercayakan kepada beliau walaupun beliau harus menghadapi
tantangan dan berat dan tidak luput dari cemoohan, dan rintangan yang
taruhannya adalah nyawa sendiri. Nabi Muhammad mendapat perintah
Tuhan guna menyampaikan amanat itu dengan tidak dijelaskan jalan yang
lurus ditempuhnya, baik dalam menyampaikan risalah maupun dalam
cara mempertahankannya. Pelaksanaannya berdasarkan kemampuan
akalnya, pengetahuannya, kecerdasannya, sebagaimana tercatat dalam
sejarah bahwa bangsa Arab yang dihadapi Muhammad bukanlah
bangsa yang bodoh, melainkan bangsa yang telah kebudayaan tinggi,
mempunyai solidaritas kesukuan yang kuat dan mempunyai harga diri
yang tinggi, akan tetapi kehidupan moralitas mereka jauh dari sifat-sifat
terpuji seperti perbudakan, pembunuhan anak perempuan, menuhankan
berhala dan lain sebagainya. Sedangkan ajaran yang dibawa Muhammad
dalam banyak hal sangat bertentangan dengan kebiasaan mereka. Namun
demikian, beliau tidak pernah cuci tangan, lari dari kenyataan dan frustasi.
Beliau adalah orang yang paling tabah dalam menghadapi cobaan, sabar
dalam menghadapi rintangan, ulet dan tekun dalam mengerjakan sesuatu

74
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan

pekerjaan, tegar dan disiplin tetapi luwes dalam memegang prinsip, berjiwa
besar dan mempunyai semangat juang yang tinggi dalam menyongsong
masa depan. Dalam kehidupan sehari-hari beliau terkenal sebagai orang
yang hemat dan sederhana, tidak boros dan konsumtif dan berlebih-
lebihan, tetapi tidak kikir. Bahkan beliau sangat memperhatikan orang
kecil, orang lemah dan orang yang dilemahkan (mustaz’afin), tetapi sekali-
kali beliau tidak menyukai kelemahan, tidak hendak menambah jumlah
orang-orang lemah dan tidak akan melemahkan.
Dalam beribadah, beliau adalah seorang yang paling rajin dan tekun
beribadah. Beliau senantiasa berdzikir dan berpikir di waktu berdiri,
duduk dan ketika berbaring. Beliau senantiasa memohon ampun dan
rahmat walaupun dosa-dosa beliau telah diampuni dan Allah telah
menjanjikan beliau dalam rahmatnya. Beliau tidak pernah absen dari
shalat malam, berpuasa Senin-Kamis dan amalan-amalan sunat lainnya.
Dalam bidang karir, beliau adalah orang yang paling sukses.
Kesuksesan beliau ini dengan tulus diakui oleh kawan maupun lawan
serta para ilmuwan tanpa paksaan sedikit pun. Mereka mengakui
Muhammad tidak hanya sebagai Nabi, melainkan juga sebagai kepala
pemerintahan dan kepala negara yang adil dan bijaksana, panglima
perang yang tegar dan perkasa. Taktik dan strategi dan pandangannya
jauh ke depan. Muhammad juga dikenal sebagai diplomat yang ulet dan
bijaksana, seorang pendidik yang sukses, seorang pemimpin dan manajer
yang pandai mempengaruhi dan menggerakkan orang lain, serta masih
banyak lagi kelebihan-kelebihan beliau yang kesemuanya itu merupakan
pencerminan dari profil manusia Muslim sebagai wujud nyata dari ajaran
Islam yang terakumulasi dalam kitab suci Al-Qur’an. Dengan demikian,
telah nyata pada diri pribadi Rasul Allah suatu teladan (idola) yang
terbaik bagi orang yang mengharap berjumpa dengan Allah (keridlaan-
Nya) dan bahagia di hari akhir.

G. PENDIDIKAN BERWAWASAN KEMANUSIAAN


Uraian yang telah penulis paparkan tersebut walaupun tidak secara detail
menggambarkan secara menyeluruh tentang konsep antropologis, namun
demikian kiranya dapat dijadikan pijakan untuk memahami bagaimana
Al-Qur’an menawarkan konsep antropologis yang sangat dibutuhkan titik

75
Pendidikan Islam

tolak dalam membangun visi pendidikan Islam. Melalui usaha tersebut


pendidikan Islam diharapkan dapat menyelesaikan persoalan filosofis
tentang hakikat manusia sehigga dapat memberi visi, misi, nilai, kekuatan
dan alat evaluasi dalam mengembangkan pendidikan Islam.
Pertama, pendidikan perlu mempunyai dasar-dasar pemikiran
filosofis yang memberi kerangka pandang yang holistik tentang manusia.
Apa yang lebih dibahas mengenai manusia tersebut, merupakan suatu
ikhtiar dalam mencari konsep kemanusiaan yag utuh dari perspektif Al-
Qur’an. Dan yang kedua, dalam seluruh prosesnya, pendidikan perlu
meletakkan manusia sebagai titik tolak (starting point) dan sebagai titik
tuju (ultimate goal) dengan berdasar pandangan kemanusiaan yang telah
dirumuskan secara filosofis.
Menyadari pentingnya kedudukan manusia mendasarkan dalam
proses pendidikan, tidaklah mengherankan jika aktivitas pendidikan
selalu mendasarkan diri pada pandangan tentang manusia. Perkembangan
pendidikan selanjutnya, akan terus dipengaruhi oleh pandangan tentang
manusia. Keragaman corak dalam praktek pendidikan, akibatnya
perbedaan pandangan dalam mengungkap realitas manusia tersebut.
Seperti dalam pandangan pemikiran mazhab behaviorisme, manusia
dipandang atas asumsi utama (main assumtion), bahwa ia bersifat netral
semenjak dari kelahirannya, tidak mempunyai kemampuan potensial apa-
apa, kosong ibarat kertas putih. Menurut mazhab ini, lingkungan yang
memberikan pengaruh sangat besar dalam membentuk corak personalitas
sesorang dalam kehidupannya dikemudian hari. Jika pandangan ini
dijadikan acuan, pendidikan secara ekstrim akan menjadikan manusia
dalam kondisi determinan. Seperti ungkapan Paulo Freire dalam Pedagogy
of The Oppressed, acuan demikian akan menjadikan manusia sebagai
benda terkendali (automaton), yang corak personalitasnya sepenuhnya
ditentukan oleh pendidikan. Pendidikan memang diakui mempunyai
kedudukan sentral dalam konteks psikologis dan sosiologis kehidupan
manusia. Apabila pendidikan diletakkan dalam kerangka kemanusiaan
tersebut, akan melahirkan praktek pendidikan yang secara sepihak
membelenggu subjek didik, karena fitrah ontologis tidak diakui secara
eksistensial.

76
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan

Pandangan lain yang berangkali dapat dijadikan suatu contoh adalah


pandangan Lorenz yang mempunyai asumsi utama, bahwa manusia
mempunyai sifat ganas. Tugas utama pendidikan menurut Lorenz adalah
mencari objek-objek pengganti dan prosedur-prosedur yang tersublimasi
yang bermanfaat menghilangkan sifat ganas tersebut (Abdur Rahman
Shaleh Abdullah, 1982). Meskipun mengakui potensi manusia, pandangan
ini bersifat negatif-pesimistik, karena jauh sebelumnya manusia dipandang
mempunyai sifat-sifat jahat.
Bagaimana corak pendidikan yang dikembangkan dengan
mengacu pada pandangan kemanusiaan demikian, akan berbeda-beda.
Penyimpangan pendidikan seperti adanya perlakuan yang salah terhadap
peserta didik, tidak terlepas dari kesalahpahaman dalam memandang
hakikat ontologis manusia yang akan di didik. Dengan konsep fitrah,
Islam mempunyai landasan tersendiri dalam bidang pendidikan. Konsep
fitrah tersebut senantiasa akan menjadi ketentuan normatif dalam
mengembangkan kualitas manusia melalui pendidikan. Salah satu
perbedaan paling fundamental pendidikan Islam, dibandingkan dengan
konsep pendidikan lainnya terletak pada pandangan dasar kemanusiaan.
Dalam konteks makro pendidikan, pandangan kemanusiaan Islam
mengandung setidaknya tiga implikasi mandasar sebagaimana dijelaskan
dalam uraian selanjutnya.
Pertama, implikasi yang berkaitan dengan visi atau orientasi
pendidikan dimasa depan. Berdasarkan konsep fitrah, pendidikan
menurut pandangan Islam adalah pendidikan yang diarahkan pada upaya
optimalisasi potensi dasar manusia secara keseluruhan. Pendidikan tidak
semata-mata diarahkan pada upaya pembunuhan dan pengembangan
manusia secara fisiologis yang lebih menekankan pada upaya pengayaan
secara material, seperti ditunjukkan pada penekanan yang berlebihan
tersebut pada aspek keterampilan.
Demikian juga, pendidikan bukan hanya diarahkan pada upaya
pengayaan aspek mental spiritual dalam rangka mengejar tujuan
normatif. Tujuan demikian diarahkan untuk tercapainya manusia
yang baik secara etik dan moral yang mempunyai kepekaan susila. Jika
demikian, pendidikan akan terjebak pada pola yang bercorak dualisme-
dikotomik. Selanjutnya, dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan

77
Pendidikan Islam

rekayasa insaniyah yang berjalan secara sistematik, simultan dan rasional


yang dikembangkan dalam kerangka keutuhan manusia, sesuai dengan
potensi fitrahnya.
Mengingat pendidikan diorientasikan pada aktualisasi potensi
manusia secara total, maka muatan pendidikan yang hanya mementingkan
salah satu aspek tersebut, akan mengantarkan manusia pada corak
personalitas yang utuh. Karena itu, pendidikan tidaklah cukup jika
muatan pendidikan dikembangkan dalam konteks ta’lim (pendekatan
intruksional) dan dalam pross tarbiyah dengan pengertian edication
dalam terminologi Latin dan education dalam terminologi Inggris.
Dalam proses pertama, pendidikan hanya merupakan proses
transformasi pengetahuan formal yang dikembangkan secara mekanistik
untuk memberikan pengayaan intelektual yang bercorak teoritik. Sedang
dalam bentuk yang kedua, pendidikan hanya berkecendrungan sebagai
proses pertumbuhan aspek fisik material, yang kurang menyentuh unsur
mental spiritual. Pendidikan yang dikehendaki adalah pendidikan yang
meliputi sebagaimana telah diungkap Al-Qur’an ketidak menggambarkan
model pendidikan yang dilakukan oleh Luqman (lihat detailnya QS.
Luqman: 1-34). Pertama-tama yang dilakukan oleh Luqman adalah
penyadaran potensi fitrah keagamaan, menumbuhkan, mengelola dan
membentuk wawasan (fikrah), akhlak dan sikap Islami; menggerakkan
dan menyadarkan manusia untuk beramal shaleh dalam rangka
beribadah kepada Allah (Amrullah Achmad, 1991).
Implikasi kedua dari pandangan kemanusiaan tersebut, adalah
pada tujuan (ultimate goal) pendidikan. Dengan visi dan orientasi
tersebut, tujuan pendidikan di masa depan diarahkan pada pencapaian
pertumbuhan kepribadian manusia secara seimbang. Pencapaian
kepribadian yang seimbang demikian sangat ditekankan dalam
pendidikan Islam. Dengan kepribadian semacam itu, diharapkan
prasyarat tercapainya suatu prototype manusia ideal di masa depan dapat
dicapai. Oleh karena itu, tujuan akhir pendidikan Islam, ialah pribadi
yang pasrah namun bukan fatalis di hadapan Allah.
Dalam Al-Qur’an, kualitas kepribadian demikian disebut dengan
muttaqin (manusia yang senantiasa bertaqwa kepada Allah). Kualitas
ini akan dapat dicapai, apabila manusia dapat menjalankan fungsi

78
BAB 2 – Paradigma Kemanusiaan Dalam Pendidikan

kemanusiaannya sebagai Abdullah dan sebagai khalifah ideal sekaligus.


Di lingkungan pendidikan Islam, perumusan prototype manusia ideal ini
agaknya belum dirumuskan secara tuntas, batas yang sangat abstrak dan
normatif, yaitu pada bentuk pemenuhan kewajiban ritual individualistik.
Padahal dalam Al-Qur’an, taqwa mengandung implikasi pemenuhan
kewajiban kemanusiaan secara universal.
Implikasi ketiga ialah pada muatan materi dan metodologi
pendidikan. Karena manusia diakui mempunyai banyak potensi dasar
yang terangkum dalam potensi fitrah, maka muatan materi pendidikan
harus yang dapat melengkapi seluruh potensi tersebut, karena langsung
akan memberikan sibghah dan wijhah terhadap peserta didik.
Yang dipentingkan adalah materi yang dapat menjaga keutuhan
kepribadian peserta didik. Namun demikian bukan berarti tidak
diperlukannya pembidangan ilmu pengetahuan sesuai dengan cabang
keilmuan yang ada. Demikian juga tidak berarti, peserta didik diberi
bermacam cabang ilmu pengetahuan yang ada, sehingga lebih terkesan
sebagai pemaksaan.
Pembidangan ilmu sangat diperlukan di sini, karena setiap peserta
didik masing-masing mempunyai latar belakag baik bakat, minat
dan intelektual. Namun yang perlu diperhatikan adalah, bagaimana
pembidangan tersebut tidak akan melahirkan pengaruh yang negatif.
Pengaruh negatif demikian itu dapat berupa terjadinya kepingan-
kepingan keilmuan sehingga nampak begitu atomistik, dan wawasan
dikotomik peserta didik sebagai akibat adanya kepingan keilmuan
yang sangat tajam tersebut. Karena itu, dalam pembidangan ilmu,
pertimbangan berdasarkan filsafat ilmu sangat diperlukan untuk
mempertahankan keutuhan ilmu. Dengan demikian wawasan keilmuan
peserta tidak akan terkapling-kapling secara dikotomik.
Untuk mencapai gagasan tersebut, perlu mendapatkan topangan
metodologi pendidikan sebagai instrumen penting dalam menyampaikan
materi. Kecuali itu metodologi yang dibutuhkan ialah metodologi yang
harus memungkinkan terjadinya suasana dialogis. Oleh karena itu yang
sangat penting adalah, metodologi pendidikan yang mampu menjembatani
barbagai ilmu pengetahuan yang ada. Metodologi demikian adalah
metodologi yang bersifat integralistik. Metodologi ini dapat dilakukan

79
Pendidikan Islam

dalam praktik pendidikan dengan melakukan kajian-kajian terhadap


permasalahan dengan melibatkan bermacam pendekatan (Lihat detailnya
dalam Tobroni & Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, SI
Press, Yogyakarta, 1994).

80
BAB
BAB1

3
VISI DAN MISI PENDIDIKAN ISLAM

Dengan berlandasakan pada dimensi normatif yaitu Al-Qur’an dan Al-


Hadits, pendidikan Islam pada tataran aksiologik merupakan sumber
moralitas, etika dan kebajikan peserta didik. Dalam Al-Qur’an dan Al-
Hadits sendiri di dalamnya memuat nilai-nilai dan norma-norma yang
bersumber dari realitas illahiyat sebagai otoritas yang tertinggi dan ia
merupakan pencipta alam semesta. Pendidikan Islam pada poros ini
mengungkapkan bahwa ia merupakan suatu sistem pendidikan yang nilai
dan norma sebagai sumber moralitas, etika dan kebajikan diperoleh dari
otoritas yang tertinggi (Allah). Potensi ini tidak bisa dipungkiri bahwa
sistem pendidikan yang kerangka nilai dan norma di adopsi dari dimensi
ketuhanan mampu untuk memberikan alternatif-solutif bagi kehidupan
peserta didik. Dan tanpa mengeyampingkan potensi yang ada pada sistem
pendidikan di luar jalur agama, fakta yang muncul sistem pendidikan
tersebut yang mengakibatkan teraliansinya hakikat kemanusiaan peserta
didik. Di mana implikasi yang muncul adalah proses dekandensi moral
yang memuncak pada ketergerusan nilai-nilai kebaikan dan norma
keteraturan peradaban manusia.

81
Pendidikan Islam

Peningkatan dan pengembangan potensi kemanusiaan peserta didik


sebagai makhluk yang berketuhanan dan makhluk sosial tidak terjadi
secara taken for granted (apa adanya tanpa reserve), namun hal ini perlu
dirancang dengan landasan serta orientasi pendidikan yang terangkum
dalam visi dan misi sistem pendidikan Islam itu sendiri. Pendidikan Islam
sebagai suatu sistem pendidikan integralistik mempunyai potensi untuk
mengembangkan dimensi kemanusiaan peserta didik dengan tetap pada
integrasi orientasi ketuhanan dan kemanusiaan. Keyakinan ini tidak serta
merta muncul sebagai asumsi yang lepas dari dinamika kependidikan
Islam, namun keyakinan ini muncul dengan melihat anatomi sistem
pendidikan Islam yang secara filosofis dan metodologis memiliki akar
kuat pada dimensi ilahiyat, kenabian, dan fenomena kependidikan.
Sebenarnya entitas dalam akar filosofis yang paling tampak pada
pendidikan Islam adalah kesatuan mistis universum. Di mana ia melihat
realitas (being) fisis dan metafisis tetap pada kerangka kesatuan epistem-
metodologik transendental. Pola inilah yang terus-menerus menjadi pola
dasar pembangunan sistem pendidikannya, sehingga ia tetap pada koridor
ontos-metafisis dengan epistemologi scientific paradigm atau naturalistic
paradigm yang integral tanpa ada dikotomi antara yang transendental dan
profan; agama dan umum (non agama); atau yang jasmani dan rohani. Pola
integritas yang demikian mampu memberikan kepastian pada susunan
sistem pendidikan Islam yang salah satunya pada formulasi isi dan tujuan
dari pendidikan Islam sendiri. Hal ini dapat dilihat pada terminologi
pendidikan Islam bahwa ia merupakan suatu proses yang komprehensif
dari pengembangan kepribadian manusia secara keseluruhan yang
meliputi intelektual, spiritual, emosi dan fisik, sehingga seorang muslim
disiapkan dengan baik untuk melaksanakan tujuan-tujuan kehadirannya
oleh Tuhan sebagai hamba (abdullah) dan wakilnya (khalifah) di dunia
(Sukarji & Umiarso, 2013).
Pola tersebut yang sudah seharusnya memberikan kepastian dalam
pendidikan Islam untuk merancang idealitas peradaban manusia di masa
depan sesuai dengan ajaran Islam. Serta melalui visi dan misi pendidikan
Islam, peradaban manusia yang memiliki moralitas, etika, dan kebajikan
akan mampu terwujudkan. Idealitas inilah yang mendasari penulis untuk
mencoba mengurai visi dan misi pendidikan Islam yang “seharusnya”

82
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam

terpancang dan menjadi acuan gerak praksis sistem pendidikan Islam itu
sendiri baca dalam pembelajaran yang menghasilkan insan paripurna.

A. RAHMAT BAGI SEMESTA ALAM

1. Membangun Republik Surga


Misi yang diemban oleh pendidikan Islam tidak lain adalah misi Islam
itu sendiri yaitu rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam). Dalam
bahasa yang sederhana misi Islam adalah agar manusia tidak hanya
menabung dan berharap surga dan terhindar dari neraka di akhirat, tetapi
juga dapat menciptakan republik surga dan menghindari neraka di dunia.
Islam menghendaki kehidupan yang makmur, dinamis dan harmonis
atas dasar nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Sebagaimana Firman
Allah: “Dan tidaklah Aku mengutus engkau (Muhammad) melainkan
sebagai rahmat bagi semesta alam” (QS. al-Anbiyaa’: 107). “Dan diantara
mereka ada yang orang berdoa” “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan
di duia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api
neraka”” (QS. al-Baqarah: 201).
Secara etimologi, rahmah berarti nikmat, kemakmuran,
kesejahteraan dan kasih sayang. Syaikh Ali al-Shobuni mengartikan
rahmah atau rahmat sebagai assa’adah al-qubra, kebahagiaan agung
(sejati) di dunia dan akhirat. Pengertian rahmah ini sejalan dengan
arti Islam itu sendiri yang berarti berserah diri, sejahtera, selamat dan
damai. Sedangkan arti al-alamin adalah segala sesuatu yang ada di antara
langit dan bumi, yaitu semua makhluk Allah. Masyarakat rahmah adalah
masyarakat yang terpenuhi kebutuhan jasmani rohani (makmur sejahtera
lahir batin) dalam bingkai nilai kasih sayang, keadilan, egalitarian
(persamaan dan persaudaraan) antar sesama. Rahmat bagi semesta alam
dapat tercipta manakala hubungan segitiga sama sisi secara harmonis
antara Tuhan, manusia dan alam sebagai tiga komponen utama dalam
hidup dan kehidupan umat manusia dapat ditegakkan.
Dalam pandangan Islam, segala aktivitas manusia yang diniatkan
sebagai upaya mewujudkan rahmatan lil ’alamin bernilai ibadah.
Makna ibadah tidak hanya bersifat ritual seperti shalat, puasa dan haji,

83
Pendidikan Islam

melainkan juga berdimensi sosial. Artinya, ibadah tidak hanya semata-


mata hanya urusan antara manusia dengan Allah (vertikal), namun ia
juga memiliki relevansi antara manusia dengan manusia yang lainnya
(horizontal). Begitu juga hal-hal yang bersifat untuk urusan sesama
manusia bisa bernilai ibadah, seperti mencari ilmu, bekerja sehari-
hari, menyayangi saudara, teman, menghormati orangtua, guru atau
yang lebih tua, menjaga kebersihan, memelihara binatang dan tumbuh-
tumbuhan, berpakaian dan bersolek yang sopan dan indah, makan dan
minum yang halal, bergizi dan tidak berlebihan. Bahkan tidurnya orang
alim atau pemimpin yang adil juga bernilai ibadah yang nilainya justru
lebih besar dari shalatnya orang bodoh.
Dan untuk mewujudkan misi Islam itu Allah telah memberikan
tiga modal utama kepada manusia berupa potensi kemanusiaan, jagad
raya, dan agama Islam. Potensi manusia adalah kemampuan dasar yang
diberikan oleh Allah berupa ruh, akal, kalbu, nafsu dan jasmani yang
kesemuanya itu diciptakan oleh Allah dengan sangat sempurna: kuat,
indah, serasi dan harmoni dan memiliki potensi yang luar biasa melebihi
potensi makhluk lain termasuk Malaikat sekalipun. Manusia oleh Allah
dikatakan sebagai ahsani taqwim atau sebaik-baik makhluk sebagai
puncak ciptaan Allah (lihat dalam QS. At-Tiin: 4). Siapakah di antara
anda yang dapat melihat kekurangan dalam ciptaan manusia.
Allah menjadikan alam raya ini juga sangat sempurna, baik
potensinya, hukum-hukumnya dan kekayaannya dan kemanfaatannya
bagi kehidupan manusia. Jika dikuasai dan dikelola sesuai dengan
petunjuk penciptanya, niscaya akan mendatangkan kemakmuran dan
kesejahteraan bagi manusia. Siapakah di antara anda yang mampu
menunjukkan kekurangan, kecacatan dalam ciptaan Allah yang berupa
alam ini? Subhanallah.
Sedangkan Islam adalah ajaran yang menunjukkan kepada manusia
bagaimana mengembangkan dan mengelola kedua potensi tersebut,
sehingga dapat diketahui ke mana tujuan akhir dari pengembangan dan
pemanfaatannya. Petunjuk itu dalam bentuk konsepsional, dan tugas
manusialah yang menterjemahkannya secara cerdas.
Dalam pandangan Islam, manusia adalah “aktor” dalam arti memiliki
peran yang menentukan demi terwujudnya cita-cita Islam dus cita-cita

84
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam

seluruh umat manusia tersebut. Sebutan manusia sebagai khalifah rabb


dan sekaligus sebagai abdullah menggambarkan betapa besar otoritas
yang diberikan Tuhan kepada manusia. Sebuah drama kehidupan
dapat tampil dengan mengesankan apabila sang aktor (khalifah) dan
melakukan improvisasi dan sekaligus bertindak sesuai dengan skenario
yang ditetapkan (Abdullah).
Karena itu misi Islam tersebut akan dapat diwujudkan oleh tidak
saja orang yang mengaku beriman atau mengaku taat beragama, tetapi
sekaligus orang yang berilmu pengetahuan, berakhlak, terampil dan
komitmen kepada nilai-nilai idealitas kemanusiaan seperti keadilan,
kebersamaan, kasih sayang, kedamaian, keharmonisan, kesucian dan lain
sebagainya. Dengan kata lain orang yang berpeluang besar menegakkan
misi Islam adalah orang yang bertaqwa: yaitu orang yang beriman,
berilmu dan berkarya. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Ali Imran
190-194 yang menyatakan bahwa “Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-
tanda bagi orang-orang yang cendikia. Yaitu orang-orang yang senantiasa
komitmen menegakkan nilai-nilai ketuhanan dikala berdiri (sedang
jaya, berkuasa), dikala duduk (sebagai bawahan, rakyat biasa) dan
dikala berbaring (sedang dalam kondisi papah), dan mereka mencermati
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami,
tiada Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barang
siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sesungguhnya telah
Engkau hinakan ia, dan tidak ada penolong bagi orang-orang yang zalim
seorangpun”. “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan)
yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”,
maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, dan
hapuslah dari kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta
orang-orang yang berbakti”. “Ya Tuhan kami berilah kami apa yang
engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul engkau.
Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya
Engkau tidak menyalahi janji” (QS. Ali Imran: 190-194).
Manusia dengan bekal fitrahnya yang hanief atau dengan ruh,
kalbu dan akal sehatnya yang secara kodrati memihak pada kebenaran,

85
Pendidikan Islam

sebenarnya sepakat dan bahkan senantiasa berupaya mencapai cita-cita


Islam tersebut, siapapun orangnya tanpa harus memandang identitas
agama dan suku bangsanya. Sebab Islam itu memang agama universal
yaitu sesuai dengan kebutuhan asasi seluruh umat manusia. Artinya
semua manusia menghendaki kehidupan yang makmur, berkemajuan
dan harmonis. Semua manusia pada dasarnya ingin berbuat kebaikan,
berkeadilan, berkasih sayang dan bermanfaat bagi yang lain. Karena itu
Islam datang ke dunia untuk memfasilitasi agar manusia tetap dalam
fitrahnya yang hanief itu.

2. Peran Agama dalam Konteks


Atas dasar itulah perlu dikaji kembali posisi dan peran agama bagi
kehidupan umat manusia. Agama sebagai sumber nilai yang secara
sosiologis diyakini kebenarannya oleh sebagian besar umat manusia
mampu berperan sebagai terutama dalam memberikan petunjuk,
kekuatan moral, dan solusi-solusi tegas terhadap berbagai persoalan
etik manusia. Agama mendapat pengakuan yang semakin tegas sebagai
suatu kekuatan yang mampu memberikan arah-arah baru, suasana baru
dan pendekatan baru yang merupakan alternatif dalam menyelesaikan
kompleksitas persoalan manusia termasuk dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Studi sosiologis membuktikan bahwa agama memiliki hubungan yang
erat dengan persoalan kehidupan manusia baik sebagai individu maupun
bersama-sama. Adam Smith dalam The Walth of Nation misalnya, adalah
orang pertama yang mengkaitkan antara agama dengan perkembangan
ekonomi. Dialah yang secara panjang lebar berbicara tentang agama,
gereja, sekte-sekte keagamaan, moral dan etika dalam hubungannya
dengan ekonomi. Keterkaitan antara agama dengan ekonomi disebabkan
pada waktu itu karena ilmu ekonomi masih disebut dengan ekonomi
politik (political economy) dan itu merupakan bagian dari filsafat moral
(moral philoshophy), yaitu nama dari ilmu-ilmu sosial pada waktu itu. Ilmu
ekonomi adalah ilmu mengenai prilaku manusia (morales) dan berkaitan
erat dengan nilai-nilai yang dianut.
Keterlibatan agama dalam masalah politik ditunjukkan oleh para
Rasul Allah yang seringkali berhadapan dengan para penguasa yang

86
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam

korup. Para Rasul Allah dan para penegak agama sesudahnya bukan
sekedar menyeru tiada Tuhan selain Allah, melainkan juga melakukan
reformasi bagi seluruh dimensi kehidupan masyarakat berupa amar ma’ruf
(humanisasi), nahi munkar (liberalisasi), memberdayakan mustadz’afin
(tertindas, kemiskinan struktural) dan memperingatkan mutrafin
(konglomerat rakus). Itulah sebabnya menurut Comte bahwa misi para
Rasul itu sama dengan misi para sosiolog yaitu melakukan perubahan
sosial. Lebih lanjut Comte menganjurkan adanya agama humanitas dan
sosiologi moralitas sebagai kunci kesatuan dan dinamika masyarakat dan
sekaligus sebagai titik temu misi agamawan dengan sosiolog.
Menghadapi kondisi kehidupan manusia yang senantiasa diwarnai
dengan berbagai krisis kemanusiaan di satu sisi dan tuntutan penegakan
hak asasi manusia di sisi lain, agama harus tetap teguh sebagai kekuatan
moral. Agama tidak cuci tangan dalam urusan politik sejauh politik
diartikan sebagai keterlibatan pada permasalahan masyarakat (polis) baik
di bidang pemerintahan, ekonomi, hukum dan lain sebagainya. Karena
pada hakikatnya pilihan-pilihan kebijakan politik adalah pilihan-pilihan
moral.
Memang dalam rangka menegakkan misi Islam, manusia perlu
perjuangan. Sebab dalam kenyataannya kekuatan manusia untuk
melakukan pengrusakan hampir sama kuatnya dengan kekuatan untuk
membangunnya. Misalnya dalam kehidupan manusia senantiasa
diwarnai dengan kekerasan seperti pertumpahan darah, pengrusakan
alam dan sosial. Bahkan kekerasan usianya sama dengan sejarah manusia.
Kekerasan tampaknya merupakan “aksesoris”, atau bahkan “kebutuhan”
manusia itu sendiri. Dalam sejarah perjalanan umat manusia, kekerasan
telah ditunjukkan oleh putra Adam a.s: Qabil dan Habil. Kalau kita
tafsirkan menurut konteks sekarang, tindak kekerasan antara Qabil
dan Habil yang menyebabkan terbunuhnya Habil disebabkan persoalan
politik, ekonomi dan sex. Setelah peristiwa Qabil dan Habil yang sangat
memilukan keluarga Adam a.s itu, tindak kekerasan terus berlanjut
menyertai pergumulan hidup manusia sampai sekarang. Karena itulah
Sosiolog Peter L. Berger setelah mengkalkulasi biaya-biaya manusia dan
korban-korbannya lantas menyimpulkan bahwa “sejarah adalah aliran
darah”. Pernyataan-pernyataan yang mencerminkan budaya kekerasan

87
Pendidikan Islam

juga sangat populer misalnya right or wrong my country, The end justifies
the means (machievelli), manusia adalah homo homini lupus, kekuatan
adalah datang dari rentetan tembakan sebuah senapan (Mao Tse Tung),
bersiaplah perang kalau ingin damai dan lain sebagainya. Dengan
demikian, kekerasan dengan segala bentukya, hakikatnya, adalah krisis
kemanusiaan yang bersejarah.
Lantas, apakah kekerasan itu sudah merupakan blue print atau takdir
Allah sebagai bagian tak terpisahkan dalam pergumulan hidup manusia?
Bukankah tindak kekerasan yang akan dilakukan manusia sudah
disinyalir oleh para Malaikat ketika Allah hendak menjadikan Adam
sebagai Khalifah Rabb di muka bumi? Allah berfirman bahwa: “Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan atau mengangkat khalifah di muka bumi”. Para
Malaikat berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu, orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah”
(QS. Al-Baqarah: 30).
Dilihat dari segi fitrahnya, manusia pada dasarnya tidak menyukai
kekerasan dan kezaliman. Sebaliknya manusia sangat mendambakan
keadilan, kebenaran, kasih sayang, keharmonisan dan kekompakan.
Tindak kekerasan muncul disebabkan oleh ambisi yang tak terbatas di
satu sisi, dan di sisi lain adanya rasa kekhawatiran dan ketakutan yang
luar biasa dalam diri manusia. Adam melanggar larangan Tuhan-Nya
dalam surga disebabkan dia khawatir dan takut kalau ia tidak akan bisa
lama menikmati surga. Allah sebagai Zat Yang Pengasih dan Penyayang
menurunkan agama (petunjuk) agar Adam dan manusia pada umumnya
dapat terbebas dari ketakutan dan kekhawatiran itu. Dalam konteks
ini, Allah telah mensinalir bahwa: “... Kemudian jika datang petunjuk-
Ku kepadamu, barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada
kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati” (QS. Al-
Baqarah: 38).
Fenomena kekerasan itu dalam masyarakat nuansanya sangat
kompleks. Ada kekerasan yang terencana serta terorganisasi dan
ada yang tidak terencana atau spontanitas, ada kekerasan individual
atau perorangan dan sosial atau komplotan; ada yang legitimit atau
disyahkan oleh peraturan dan ada yang tidak legitimit. Kekerasan yang

88
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam

legitimit atau kekerasan struktural seperti pembatasan-pembatasan


yang dilakukan terhadap hak-hak warga atau berbagai bentuk rekayasa
agar warga menuruti suatu kehendak. Termasuk dalam kekerasan
legitimit adalah peraturan yang mengabsyahkan atau memungkinkan
adanya sekelompok orang tertentu untuk tetap mempunyai hegemoni
sehingga memungkinkan praktek korupsi, kolusi, nepotisme, monopoli,
dan bentuk-bentuk lain yang membelenggu emansipasi warga dalam
memenuhi martabat kemanusiaannya.
Bentuk-bentuk dimensi kekerasan lain berupa kekerasan fisik
terhadap masyarakat seperti pembunuhan, pemerkosaan dan ancaman
bom. Sementara kekerasan psikis menyangkut berbagai bentuk fitnah dan
adu domba. Kekerasan juga bisa dalam bentuk pengrusakan fasilitas
umum dan kekerasan terhadap barang seperti perampokan, pencurian,
pembakaran dan lain sebagainya. Hal-hal ini merupakan bentuk-bentuk
kekerasan yang terjadi (atau memang dilakukan) secara sengaja oleh
manusia untuk kepentingannya sendiri dan jangka pendek.
Walaupun kekerasan bukan hal yang asing bagi manusia, namun
hakikatnya manusia adalah makhluk yang tidak menyukai kekerasan
dalam berbagai bentuknya. Karena itulah kekerasan yang akhir-akhir
ini semakin meningkat kuantitas dan kualitasnya tentu saja sangat
memprihatinkan. Ada kecenderungan menggunakan kekerasan sebagai
bahasa ketertindasan, bahasa kesenjangan, bahasa politik dan bahasa
kekuasaan. Kekerasan dihadapi dengan kekerasan dan pada gilirannya
melahirkan kekerasan yang lebih luas.

3. Pendidikan sebagai Penebar Rahmat dan Anti


Kekerasan
Islam dalam wataknya yang asli adalah anti kekerasan dan mengajarkan
kepada umatnya untuk menebar rahmat bagi sesama umat Islam maupun
antar umat yang lain. Oleh sebab itu, Islam mengajarkan agar manusia
memiliki sikap sosial luhur: pengabdian menggantikan kekuasaan,
pelayanan menggantikan dominasi, pengampunan menggantikan
permusuhan, cinta kasih menggantikan kebencian, darma menggantikan
keserakahan dan kerakusan, keadilan menggantikan kerusakan, dan
kesabaran menggantikan kekerasan. Di mana hal ini diajarkan untuk

89
Pendidikan Islam

dilakukan oleh umat Islam semata-mata demi kepentingan sendiri dan


manusia yang lainnya.
Watak agama yang asli sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah
ketika beliau hijrah ke Thaif Ethiopia. Sesampai di Ethiopia Beliau
dilempari batu oleh sebagian penduduk sampai berlumuran darah, namun
beliau tidak mengutuk mereka melainkan justru mendoakan petunjuk,
dan rahmat bagi mereka. Demikian juga ketika terjadi perang Uhud,
Rasulullah tidak membenci para pemanah yang tidak setia pada perintah
beliau yang mengakibatkan kekalahan, melainkan beliau berlaku lemah
lembut dan tetap mengayomi mereka. Rasul-rasul Allah yang pengampun
terhadap kesalahan umatnya terbukti lebih berhasil dalam misinya dari
pada yang sebaliknya. Allah berfirman: “Maka disebabkan rahmat Allahlah
kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (QS. Ali Imran: 159).
Sikap lemah lembut dengan penuh kasih sayang sudah sepatutnya
dipercontohkan oleh para orangtua, para pendidik dan komunitas
sekolah lainnya sebagai manivestasi ajaran agama yang diyakininya.
Kekerasan seharusnya tidak boleh terjadi di lingkungan sekolah. Agama
mengajarkan kasih sayang dan kelemah lembutan serta pengampunan.
Allah berfirman:“... Dan jika kamu memaafkan akan lebih dekat dengan
taqwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan” (QS.
Al-Baqarah: 137).

4. Jalan Tengah mencapai Misi Islam


Dalam Kehidupan dunia ini manusia cenderung bersifat ekstrim,
yaitu cenderung menekankan pada satu aspek dan kurang atau
bahkan meninggalkan aspek lainnya. Misalnya mengutamakan dunia
dan melupakan akhirat atau sebaliknya mengutamakan dunia dan
melupakan akhirat baca ketimpangan orientasi. Ada paham materialisme
yang berpendapat materi sebagai segala-galanya, rasionalisme yang
menganggap rasio segala-galanya, sosialisme yang mengabaikan hak-
hak individu dan lain sebagainya. Ada juga paham humanisme yang

90
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam

menafikan Tuhan dan sebaliknya terdapat paham theosentrisme yang


menafikan manusia. Islam datang untuk memberikan yang terbaik,
yaitu jalan tengah dari kecenderungan ekstrimitas yang ada. Islam
menawarkan konsep keseimbangan atau equilibrium, yaitu keseimbangan
dunia-akhirat, individu-sosial, jasmani-rohani, dan keseimbangan antara
dimensi kemanusiaan dan ketuhanan dalam perbuatan.
Dalam pandangan Islam, setiap permasalahan harus dilihat dari
dua perspektif-dialektis: objektifikasi dan transendensi, demokrasi dan
teokrasi. Objektifikasi maksudnya, dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, seluruh komponen bangsa harus ta’aruf atau saling mengerti
dan memahami; syura harus bermusyawarah untuk memecahkan
persoalan bersama, ta’awun, harus saling bekerjasama, tolong-menolong
dan berkoperasi; maslahah berbuat yang menguntungkan masyarakat; dan
adil, senantiasa menjaga keseimbangan, keharmonisan dan keserasian.
Objektifikasi menuntut masing-masing kelompok kepentingan
dalam masyarakat untuk menahan diri, tidak memaksakan kehendak
apalagi menafikan pihak lain. Sebab manusia secara ontologis (dalam
realitasnya) terdiri dari berbagai bangsa, suku, agama, kelas, partai,
golongan dan sebagainya. Kondisi pluralitas inilah yang perlu dilihat
sebagai suatu anugerah dari Allah yang dimaknai untuk berlomba-
lomba dalam kebaikan serta untuk meningkatkan ketaqwaan diri
terhadap Allah semata, sehingga egosentrisme lebih bermakna sebagai
suatu perlombaan dalam kebaikan dan ketaqwaan berlandasakan sikap
toleransi antar sesama golongan ataupun dengan golongan lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan transendensi adalah kesadaran
bahwa manusia itu memiliki fitrah dan hanief. Keyakinan fitrah tidak
hanya mengatakan bahwa manusia berasal dari Tuhan, melainkan
lebih dari itu bahwa manusia adalah “miniatur Tuhan”. Agama telah
mencandra bahwa manusia adalah Khalifah-Nya di muka bumi. Karena
itu dalam kompleksitas pelaksanaan tugas kekhalifahan manusia perlu
menginternalisasi nilai-nilai ketuhanan seperti berlaku adil, kasih sayang,
menegakkan kebenaran dan kearifan. Transendensi juga bermakna
bahwa tindakan manusia itu bersifat taklif, karena itu manusia harus
senantiasa memiliki responsibility dan accountability baik secara vertikal
di hadapan Tuhan maupun secara horisontal kepada sesama manusia.

91
Pendidikan Islam

Karena itulah Islam memberikan resepnya bahwa dalam berta’aruf harus


didasari rasa taqwa kepada Allah, dalam bermusyawarah harus didasari
rasa kasih sayang sesama, dan dalam tolong-menolong harus bermanfaat
bagi sesama dan dalam menuju taqwa, tidak diperbolehkan tolong-
menolong dalam berbuat anarki dan melanggar batas-batas ketentuan
Allah.

B. MENGHARGAI ILMU DAN ORANG YANG


BERILMU
Sebagaimana kita ketahui, bangsa-bangsa yang maju walaupun ditilik
dari kesejahteraan perekonomiannya, mandiri dan bermartabat adalah
bangsa yang paling maju dalam ilmu pengetahuan. Sebaliknya bangsa
yang terbelakang, tidak memiliki kemandirian dan tidak bermartabat
adalah bangsa yang tertinggal dalam ilmu pengetahuan. Lazim apabila
bangsa yang mampu secara akselerasi untuk mengembangkan ilmu
pengetahuannya mampu untuk bersaing atau bahkan mampu untuk
memimpin bangsa yang lain. Dengan ilmu pengetahuan pula, suatu
bangsa mampu membedakan dirinya dengan bangsa yang lainnya.
Para ahlul hikmah mengatakan bahwa Ilmu adalah kekuatan
(knowledge is power), ilmu adalah mukjizat (knowledge is miracle), ilmu
adalah perisai yang akan melindungi pemiliknya dari kehancuran. Bangsa
yang terhormat, berjaya dan menjadi penguasa di dunia adalah bangsa
yang berilmu pengetahuan. Dalam panggung sejarah kita menyaksikan
bangsa yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah tetapi sedikit
ilmu pengetahuan, terbukti kekayaannya tidak dapat menolong dan
memberikan kemaslahatan, melainkan justru dapat menimbulkan konflik
dan kehancuran. Sebaliknya bangsa yang berilmu pengetahuan walaupun
tidak memiliki kekayaan alam terbukti dapat menciptakan kemakmuran,
kesejahteraan dan kehormatan. Rasulullah bersabda yang artinya: “Barang
siapa menghendaki (kebahagiaan) dunia hendaklah dengan ilmu, barang
siapa menghendaki akhirat hendaklah dengan ilmu, dan barang siapa
menghendaki keduanya hendaklah dengan ilmu”.
Kita sudah sering mendengar bahwa agama Islam adalah agama
yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, menuntut ilmu adalah

92
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam

wajib dan orang yang berilmu akan memperoleh kemuliaan dan derajat
yang tinggi. Kita juga sudah mengetahui salah satu Hadits Rasulullah
mengatakan bahwa orang yang menuntut ilmu akan diampuni dosa-
dosanya dan seisi dunia mendoakan keselamatan dan barakahnya.
Bahkan kita juga menyaksikan dengan mata kepala kita sendiri bahwa
orang yang berilmu memiliki kehidupan, derajat, kemuliaan, kedudukan
dan keutamaan yang lebih baik di tengah-tengah masyarakat. Tetapi
kenapa masih terlalu banyak di antara kita yang bermalas-malasan
dalam menuntut ilmu, kenapa kita juga masih sering bohong dalam
mengembangkan ilmu, dan kenapa perguruan tinggi sebagai lembaga
ilmiah belum mampu menjadi center of excellence atau pusat keunggulan
dalam penemuan ilmu. Kenapa umat Islam justru menjadi umat yang
paling tertinggal dalam pengembangan ilmu. Bukan hanya itu kesan
yang muncul justru menjadi umat yang kurang menghargai ilmu dan
memusuhi ilmu itu sendiri dengan mengatakan “ilmu sekuler”, “ilmu
yang tidak Islami”, ilmu dari “Barat” dan lain sebagainya. Munculnya
organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok agama yang beroperasi
di kampus-kampus dan melarang atau membelokkan pemuda-pemuda
Muslim yang sedang menuntut ilmu untuk “berjihad” merupakan gejala
yang sangat memprihatinkan. Ilmu pengetahuan itu bebas nilai. Ia tunduk
dan tergantung pada human being atau subjek yang menggunakannya.
Jadi tidak ada ilmu Islam atau ilmu kafir. Juga tidak perlu ada konsep
Islamisasi ilmu pengetahuan.
Sikap sebagian umat Islam atau mungkin sudah keseluruhan umat
Islam- terhadap ilmu pengetahuan dan ketertinggalan umat Islam dalam
mengembangkannya sungguh merupakan sebuah keanehan. Keanehan
itu sekarang kita alami sendiri, kita rasakan dan kita tanggung berbagai
bentuk konsekuensinya (akibat). Yang menjadi persoalan sekarang adalah
bukan kita menyesali dan meratapi ketidakberdayaan ini, dan bukan pula
kita menyalahkan orang lain; bahkan umat Islam sendiri seakan-akan
tidak mau untuk bertatih-tatih keluar dari persoalan yang mengelutinya.
Walaupun pada saat ini umat Islam mempunyai peluang untuk mengejar
ketertinggalan tersebut.
Dalam perspektif sosiologis, orang yang mengembangkan ilmu
berada dalam puncak piramida kegiatan pendidikan. Banyak orang

93
Pendidikan Islam

sekolah atau kuliah tetapi tidak menuntut ilmu. Mereka hanya mencari
ijazah, status atau gelar. Tidak sedikit pula guru atau dosen yang
mengajar tetapi tidak mendidik dan mengembangkan ilmu. Mereka ini
berada paling bawah piramida dan tentunya jumlahnya paling banyak.
Kelompok kedua adalah mereka yang kuliah untuk menuntut ilmu tetapi
tidak mengembangkan ilmu. Mereka ini ingin memiliki dan menguasai
ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya atau untuk dirinya sendiri,
tidak mengembangkannya untuk kesejahteraan masyarakat. Kelompok
ini berada di tengah piramida kegiatan pendidikan. Sedang kelompok
yang paling sedikit dan berada di puncak piramida adalah orang yang
kuliah dan secara bersungguh-sungguh mencintai dan mengembangkan
ilmu. Salah satunya adalah dosen yang sekaligus juga seorang pendidik
dan ilmuwan.
Kelompok ketiga ini biasanya berjumlah sangat sedikit dan belum
tentu ada dalam sebuah komunitas yang disebut civitas akademika.
Mengapa kelompok pencinta dan pengembang ilmu ini jumlahnya
sangat sedikit dan bahkan sangat jarang atau langka? Hal ini antara lain
disebabkan karena:
Pertama, mengembangkan ilmu pengetahuan merupakan kerja
intelektual yang sangat serius, berat dan diperlukan tingkat kecerdasan
di atas rata-rata. Faktor lain yang harus ada dalam kerja keilmuan adalah
ketelitian, kesabaran, keuletan dan memerlukan waktu yang lama.
Kedua, kerja keilmuan tidak bisa dilepaskan dari risiko, antara lain:
tidak populer, tidak kaya, dan bahkan risiko fisik. Di Indonesia misalnya,
popularitas dan kesejahteraan ilmuwan masih kalah dengan pejabat
politisi atau publik figur; dan
ketiga, kerja keilmuan dituntut memiliki mental berlimpah karena
ia bekerja bukan semata untuk dirinya melainkan untuk orang lain dan
kemajuan bangsanya. Kerja keilmuan adalah kerja amal sehingga kata
ilmu senantiasa dirangkai dengan kata amal, seperti kata “mengamalkan
ilmu”, dan bukan “mendayagunakan ilmu”. Karena itulah kerja keilmuan
bukan hanya berat tetapi juga mulia, dan bahkan sangat mulia. Karena itu
kerja keilmuan mensyaratkan adanya keikhlasan, yaitu berbuat sesuatu
kebaikan karena menjalankan perintah Allah, mengharapkan keridlaan,
penilaian dan balasan dari Allah semata. Gambaran kerja yang ikhlas

94
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam

digambarkan dalam doa Nabi Ibrahim a.s: “Sesungguhnya shalatku,


kerjaku atau ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah semata.
Tidak ada sekutu baginya, dan aku termasuk orang-orang yang berserah
diri”.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimana komitmen dan dedikasi
dalam mengembangkan ilmu itu dapat ditumbuhkembangkan terutama
di lingkungan pendidikan dan perguruan tinggi. Islam mengajarkan
kepada umatnya untuk memberikan dukungan, penghargaan dan jalan
yang seluas-luasnya bagi para penuntut ilmu. Ini berarti janganlah
ada penghalang atau penghambat bagi para penuntut ilmu (pelajar).
Penghalang atau penghambat itu antara lain berupa biaya, dan hambatan
yang bersifat psikologis, politis, ekonomis, dan birokratis.
Di negara-negara maju, apa yang sangat dihargai dan dijunjung
tinggi oleh Islam ini benar-benar telah diterapkan. Mereka sangat
menghargai orang-orang yang secara sungguh-sungguh mengembangkan
ilmu pengetahuan. Kunci keberhasilan lembaga-lembaga pendidikan
terkemuka di dunia dan kemajuan bangsa mereka terutama dalam dua
hal. Pertama, mereka mencari calon mahasiswa terbaik atau mahasiswa
yang komitmen dengan ilmu pengetahuan dari seluruh penjuru dunia.
Para pelajar terbaik itu diberi beasiswa agar dapat mengembangkan ilmu
semaksimal mungkin. Penyediaan beasiswa ini sangat penting dalam
rangka menjaring raw input berkualitas. Raw input yang baik, di didik
atau di proses dengan baik dan diberi beasiswa, niscaya bukan saja akan
menghasilkan output dan outcome yang baik tetapi juga sangat komitmen
untuk membantu dan mengharumkan almamaternya; dan kedua,
merekrut pengajar-pengajar terbaik dunia. Para pengajar ini diberi
penghargaan yang tinggi, kehidupan yang layak dan diciptakan suasana
yang kondusif untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Pertemuan
antara pelajar dan pengajar terbaik sudah barang tentu dapat memproduk
lulusan terbaik serta produk ilmu pengetahuan yang berkualitas.
Perguruan tinggi yang baik sangat bersungguh-sungguh dalam tiga
hal: memburu calon mahasiswa terbaik, merekrut dosen terbaik, dan
memberi beasiswa. Pemberian beasiswa dilakukan dengan cara menggali
sumber-sumber dan funding-funding yang dapat memberikan beasiswa
baik dari kalangan alumni, pemerintah, pengusaha dan dermawan.

95
Pendidikan Islam

Pemberian beasiswa kepada pelajar dan kehidupan yang layak kepada


pengajar yang komitmen pada pengembangan ilmu pengetahuan
sangat dianjurkan dalam Islam, karena mereka itu dapat dikategorikan
sebagai sekelompok orang yang berjuang di jalan Allah (sabilillah).
Mereka berhak mendapatkan amal baik berupa zakat, infak, sedekah,
hadiah dan pemberian halal lainnya yang diwujudkan dalam bentuk
beasiswa dan bentuk-bentuk penghargan lainnya. Allah berfirman
bahwa: “Katakanlah, samakah orang yang berilmu pengetahuan dengan
orang yang tidak berilmu pengetahuan” (QS. al-Zumar: 9). Pemberian
penghargaan kepada pelajar dan pengajar yang secara sungguh-sungguh
mengembangkan ilmu pengetahuan adalah sebuah keniscayaan, bukan
saja hal ini karena perintah agama, tetapi juga merupakan syarat yang
harus terpenuhi (sine qua none) bagi sebuah perguruan tinggi atau
sebuah bangsa untuk meraih kemajuan.
Keterbelakangan bangsa-bangsa Muslim dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya seperti
kemiskinan, penyakit, konflik sosial dan menjadi negeri yang tidak
aman menggambarkan bahwa Islam belum diamalkan dengan baik.
Negara-negara Asia yang sangat sungguh-sungguh menghargai ilmu
pngetahuan terbukti sekarang menjadi negara maju seperti Jepang, Korea
dan Taiwan, disusul kemudian Singapura dan Malaysia. Cina dan India
yang sangat getol mendidik generasi mudanya untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan diperkirakan akan menjadi kekuatan ekonomi kedua
setelah Amerika pada tahun 2015 –hal ini telah terbukti sekarang ini-
, disusul kemudian India pada tahun 2020. Pada tahun 2040 Cina dan
India diperkirakan akan menjadi super power kekuatan ekonomi dan
mampu mengungguli Amerika. Kedua negara ini mengalami kemajuan
pesat dan luar biasa dalam waktu singkat karena sangat menghargai ilmu.
Sekarang ini belum ada tanda-tanda bangsa Muslim seperti Indonesia
akan menjadi kekuatan dunia. Akan tetapi sekiranya umat Islam dan
khususnya Bangsa Indonesia secara bersungguh-sungguh mau bekerja
keras dan menghargai ilmu pengetahuan tidak menutup kemungkinan
akan menjadi bangsa yang kuat, mandiri dan bermartabat.
Kebangkitan lembaga-lembaga pendidikan Islam sejak pertenghan
90-an menjadi momentum penting untuk membangkitkan kecintaan,

96
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam

keterpanggilan, komitmen dan dedikasi dalam mengembangkan ilmu


pengetahuan. Mahasiswa dan para pelajar merupakan a van guard
(kelompok terbaik dan terdepan) dan menempati puncak piramida
kegiatan pembelajaran di kampus dan sekolah masing-masing. Mereka
bukan sekedar mahasiswa dan pelajar tetapi juga mujtahid. Yaitu orang
yang mendayagunakan kemampuan intelektualnya untuk memecahkan
permasalahan dalam masyarakat dengan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Dalam Surat al-Mujadalah ayat 11 dikemukakan: “Allah akan
mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan
beberapa derajat”. Ayat ini mengilhami kita untuk bersungguh-sungguh
dan konsisten dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Allah berjanji,
sekiranya bangsa dan negara serta lembaga dimana kita bekerja belum
manghargai ilmu dan orang yang berilmu, percayalah bahwa Allah
yang akan menghargainya, dan “Allah tidak akan menyalahi janjinya”.
Sehingga pada kerangka ini yang perlu diperhatikan adalah: pertama,
kunci untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu
pengetahuan. Kemandirian dan martabat Bangsa sangat ditentukan oleh
penguasaannya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi; Kedua, Islam
adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan sehingga
mewajibkan seluruh umatnya (laki-laki dan perempuan) untuk menuntut
ilmu; ketiga, dalam kenyataannya umat Islam adalah umat yang paling
tertinggal dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berarti
umat Islam belum serius melaksanakan salah satu kewajiban agamanya.
keempat, Banyak orang yang belajar tetapi tidak menuntut ilmu
dan banyak orang menuntut ilmu tetapi tidak mengembangkannya.
Orang yang mengembangkan ilmu berada di puncak piramida kegiatan
pendidikan; kelima, mengembangkan ilmu pengetahuan merupakan
kerja intelektual yang berat dan mulia. Diperlukan kecerdasan, kecintaan
terhadap ilmu, kesabaran yang tinggi, memerlukan biaya yang tidak
sedikit, menghormati guru dan memerlukan waktu yang lama bahkan
bertahun-tahun; keenam, Islam memerintahkan umatnya untuk
memberikan jalan yang lapang kepada para pengembang ilmu antara lain
dengan melepaskan belenggu-belenggu yang menghalanginya, seperti
dengan memberikan beasiswa, dan pembebasan dari beban-beban
politis, psikis dan birokratis; dan ketujuh, Allah akan mengangkat derajat
orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat.
97
Pendidikan Islam

C. MEMBANGUN PERADABAN DI ERA


INFORMASI
Persoalan masa depan sebenarnya adalah persoalan intelektual –sebagai
cikal-bakal (embrionikal) dari perkembangan ilmu pengetahuan. Pemikiran
intelektual akan menentukan pertumbuhan kesadaran dan cita masa depan
umat manusia. Oleh karena itu peningkatan jumlah kaum intelektual
pemikiran dan corak masa depan akan semakin beragam. Demikian pula
semakin meningkatnya kualitas intelektual; antisipasi masa depan akan
semakin jelas, sehingga diharapkan masa depan kehidupan manusia
akan semakin baik.
Zainuddin Sardar (1988) memproyeksi masa depan sebagai era
informasi atau era gelombang ketiga (meminjam istilah Alvin Toffler,
1984) yang disadari atau tidak, dipersiapkan atau tidak boleh umat Islam
era demikian akan terjadi dalam sejarah. Sayangnya, umat Islam tidak
banyak ikut menentukan jalannya sejarah terutama dalam hubungannya
dengan penciptaan iklim yang menjunjung tinggi nilai informasi. Dalam
banyak hal era informasi akan menggilas mereka yang tidak menyadari
serta tidak membekali diri. Sebaliknya, ia akan mendatangkan rahmat
bagi mereka yang sejak dini dan jauh sebelumnya telah mengantisipasi.
Sikap manusia terhadap masa depan tersebut biasanya beragam,
tergantung pada pangkal tolak dan sudut pandang masing-masing. Dari
yang distopia dan pesimistis sampai yang optimis utopia. Sikap pertama
lebih banyak dibayangi oleh kecemasan dan ketakutan, sedangkan sikap
kedua lebih banyak menaruh harapan; bahkan dari sikap tersebut akan
memunculkan implikasi logis terhadap dirinya atau komunitasnya yang
bersifat jangka pendek, menengah, dan panjang.
Menghadapi kecenderungan dan persoalan yang masih bersifat
spekulatif tersebut, perlu dihindari keterjebakan pada simbol dan slogan
yang penafsirannya tidak jelas dan seringkali bias, seperti ketakutan
terhadap semakin diterimanya konsep individualisme, materialisme
dan pragmatisme. Namun demikian perlu dikembangkan sikap realistik
karena zaman apa pun termasuk era informasi selalu mempunyai dampak
menguntungkan dan sekaligus merugikan. Apakah lebih menguntungkan
atau merugikan, akan tergantung pada pangkal tolak dan sudut pandang

98
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam

serta kemampuan dan bekal dalam mengendalikan jalannya sejarah. Dan


yang lebih penting adalah bagaimana memaksimalkan dampak yang
menguntungkan dan meminimalkan dampak yang merugikan.
Perkembangan sejarah yang menunjukkan proses dialektika, dan
kebudayaan akan selalu berlangsung dengan berbagai persoalan yang
mengiringi. Namun kelahiran kebudayaan pada dasarnya dimaksud
sebagai upaya mengangkat harkat dan martabat manusia. Ada seribu satu
macam jawaban yang dapat diberikan terhadap persoalan tersebut. Salah
satu di antaranya ialah dengan membangun atau mewarnai kembali
kebudayaan dengan paradigma nilai-nilai kemanusiaan.

1. Agama dan Kebudayaan


Kualitas manusia terletak dalam penilaian kembali terhadap setiap produk
kebudayaan yang diciptakan sehingga menunjukkan kualitas kepribadian
manusia itu sendiri. Dilihat dari substansinya, kualitas manusia sebagai
ahsani taqwim atau sebaik-baik ciptaan, bukan karena sifat, postur tubuh
dan aktivitas manusia, melainkan keseluruhan komponen kepribadian
yang khusus dimiliki manusia berupa fitrah dan hati nurani. Fitrah
membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati condong kepada
kebaikan dan kebenaran (hanief); dan hati nurani adalah pemancar
keinginan kepada kebaikan, kebenaran, keadilan, kesucian dan kasih
sayang. Fitrah merupakan esensi yang membentuk manusia dan secara
asasi membedakannya dengan makhluk lain. Dan dengan memenuhi
(tuntutan) hati nurani seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi
manusia sejati.
Secara fungsional yang membuat manusia berkedudukan paling
tinggi di antara makhluk Allah yang lain adalah karena memiliki
kemampuan untuk mengantisipasi dan memformat fenomena yang
ada melaui fitrah dan kerangka nilai yang diserap untuk menciptakan
kebudayaan. Kualitas kemanusiaan dan supremasinya ditentukan sejauh
mana kemampuan manusia mendayagunakan potensi yang dimiliki
guna menciptakan kebudayaan yang paling berkualitas (ahsanu amala),
bukan karena status formalnya sebagai khalifah fil ardli. Jabatan manusia
sebagai khalifah memang tinggi dan mulia, akan tetapi ketinggian dan
kemuliaan manusia bukan karena jabatannya, melainkan fungsi dan
kontribusinya bagi penciptaan kebudayaan.

99
Pendidikan Islam

Dalam pembahasan klasik, kata “kebudayaan” adalah kata majemuk


yaitu “budi” dan “daya”. Budi berarti potensi kemanusiaan: fitrah dan
hati nurani, dan daya adalah kekuatan dan perekayasaan. Oleh karena
itu apabila dikaji dari prosesnya, kebudayaan adalah pendayagunaan
segenap potensi kemanusiaan agar berbudi dan manusiawi. Sedangkan
apabila dilihat dari hasilnya, kebudayaan adalah segala sesuatu yang
dihasilkan oleh rekayasa manusia terhadap potensi fitrah dan potensi
alam dalam rangka meningkatkan kualitas kemanusiaannya. Dengan kata
lain, berbudaya adalah upaya manusia membebaskan dirinya dari segala
situasi dan kondisi yang menghalangi pembebasan dan pemenuhan
kebutuhan kemanusiaan dan martabatnya.
Kalau konsep kebudayaan tersebut dapat dihubungkan dengan misi
kerasulan Muhammad SAW. yaitu menyempurnakan akhlak yang mulia,
serta ide moral Islam yaitu rahmatal lil’alamin, orang yang berakhlak
mulia ikuivalen dengan orang yang berbudaya. Orang yang berakhlak
mulia (akhlakul karimah) adalah orang yang mampu mendayagunakan
potensi yang dimiliki dan komitmennya pada nilai-nilai kemanusiaan,
sehingga mampu melahirkan kebudayaan. Oleh karena itu dapatlah
dikatakan bahwa orang yang berbudaya adalah orang yang berakhlak
mulia dalam setiap proses penciptaan kebudayaan itu sendiri.
Hubungan akhlak dengan kebudayaan tersebut dikemukakan sabda
Rasulullah Saw. yang menyatakan bahwa: “Barang siapa berkarya yang
baik niscaya mendapatkan pahala dan pahala orang yang mengikutinya.
Dan barang siapa berbuat onar (berbuat kerusakan) niscaya mendapatkan
dosa dan dosa orang yang mengikutinya”. Hal ini merupakan bentuk suatu
konsekuensi dari tanggung jawab dari polarisasi nilai-nilai yang muncul
sebagai akibat dari akhlak kebudayaan manusia. Dengan arus aksiologis
inilah etika Islam memberikan batasan-batasan pasti yang di dalamnya
ada pertanggung jawaban dari subjek kebudayaan.
Berdasarkan hubungan konseptual kebudayaan dan akhlak tersebut,
Jims Watt adalah orang yang berakhlak ketika hidupnya digunakan untuk
menciptakan mesin uap yang sangat bermanfaat bagi kemanusiaan.
Thomas Alva Edison adalah orang yang berbuat rahmah karena hampir
seluruh hidupnya dicurahkan untuk menemukan energi listrik yang banyak
memberi harapan. Umar bin Khattab adalah khalifah yang mulia karena

100
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam

mampu menciptakan pemerintahan yang teratur, adil, dan demokratis.


Gesang adalah orang yang imajinatif dalam mendayagunakan nuraninya
dengan menciptakan “Bengawan Solo” yang sangat legenderis. Demikian
juga Habibie adalah seorang yang berbudi luhur atas pendayagunaan
ilmu dan dedikasinya yang tinggi kejayaan bangsanya.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa manusia diciptakan dengan
fitrah dan ikatan primordial serta kecenderungan terhadapnya. Segala
yang dilakukan manusia pada dasarnya bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan fitrahya tersebut. Fitrah dengan demikian senantiasa
memihak dan berupaya menuju kepada nilai-nilai kemanusiaan universal
seperti kebenaran, keadilan, kasih sayang dan kesucian. Oleh karena itu
sekalipun manusia tidak tunduk kepada nilai-nilai universal tersebut,
kebebasan dan kemerdekaan dapat dirasakan oleh manusia jika dengan
ikhlas tunduk pada keharusan universal yang melekat padanya. Khoirul
Anwar mengatakan: “berbahagialah orang sebelum berbuat bertanya
pada hati nuraninya” yaitu fitrahnya.
Apakah keharusan universal itu? Mengapa ada kaharusan universal dan
siapakah penciptanya? Keharusan universal menurut Fazlur Rahman (1980)
adalah taqdir, cetak biru (blue print) Tuhan atau kodrati manusia. Taqdir
adalah ketentuan yang membatasi manusia sehingga terbatas tertentu.
Sedangkan yang menciptakan keterbatasan dari segala keterbatasan
adalah Zat yang tak terbatas, yang mutlak dan yang universal. Dan karena
kemutlakan adalah sifatnya yang terakhir, yang tidak ada sesudahnya,
maka yang mutlak itu mesti satu secara mutlak pula.
Dalam khazanah kebudayaan Indonesia Zat yang mutlak tersebut
disebut Tuhan atau Illah, Rabb atau God. Dia bernama Yahweh menurut
agama Yahudi dan Allah menurut agama Nasrani dan Islam. Dengan
demikian, perbedaan asasi manusia dengan Tuhan adalah bahwa manusia
itu mempunyai keterbatasan (mempunyai taqdir), sedangkan Tuhan
sendiri adalah yang membuat dan memperlakukan katerbatasan kepada
manusia yang terbatas. Dan karena Tuhan itu mutlak maka dia bukan
saja merupakan tujuan segala keberadaan, keadilan, dan kasih sayang,
lebih dari itu dialah yang Maha Adil, Maha Benar, Maha Suci, Maha Kasih
Sayang, Maha Esa dan Maha Kuasa. Sifat-sifat kemahaan Tuhan itu dapat
pula disebut “sifat fungsional Tuhan” yang secara komulatif terakomulasi
dalam “Asmaul Husna”.

101
Pendidikan Islam

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka seorang manusia yang


manusiawi adalah orang yang berketuhanan dan lebih dari itu sanggup
memperjuangkan dan menginternalisasikan sifat-sifat Tuhan. Keikhlasan
tiada lain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata ditujukan kepada
Tuhan yaitu Yang Maha Besar guna memperoleh ridla-Nya. Dengan
demikian apa yang disebut dengan kemanusiaan akan terbentuk dengan
adanya kemerdekaan dan kemerdekaan disebabkan karena adanya
keikhlasan. Sementara itu yang dimaksud dengan keikhlasan akan muncul
karena adanya pemurnian tindakan yang ditujukan hanya kepada Allah
semata-mata. Hal ini berarti bahwa segala bentuk aktivitas kehidupan
semestinya bermuara kepada kebenaran dan guna mendapatkan ridla
dari yang Maha Benar. Itulah ikhlas dan pekerjaan yang disadari atas
keikhlasan inilah yang bakal memberi makna bagi kemanusiaan dan
kualitas kebudayaan.
Selanjtunya, sikap syirik adalah sikap menyerah dan menghambakan
diri kepada selain yang mutlak yaitu menghambakan diri kepada sesama
hamba baik berupa manusia maupun alam. Dalam agama, syirik
merupakan dosa yang terbesar yang tidak terampuni karena merupakan
upaya pemerkosaan terhadap kemuliaan manusia sebagai ahsani taqwim
(sebaik-baik makhluk) menuju asfala safilin atau sejahat-jahat makhluk.
Syirik juga berarti meniadakan kemerdekaan asasi serta peniadaan
idealitas nilai kemanusiaan. Atas dasar pertimbangan demikian inilah
syirik merupakan kejahatan terbesar bagi kemanusiaan. Sementara
itu, kemurkaan Tuhan bukan disebabkan penolakan manusia terhadap
keberadaanNya, karena kalau Tuhan berbuat demikian berarti Tuhan
membutuhkan atas hamba-Nya yang berarti menunjukkan kelemahan
dan keterbatasan-Nya sehingga menjadi tidak mutlak kualitasnya sebagai
bukan Tuhan. Dalam bahasa yang singkat, Fazlur Rahman menyebut
syirik sebagai ”dlulmun al-nafs” atau menganiaya diri sendiri dan
memperkosa kemanusiaan.
Pada dasarnya segala bentuk kejahatan dilakukan oleh sesorang
adalah akibat syirik sebagaimana yang telah dijelaskan walaupun
secara formal orang yang bersangkutan mengaku sebagai Muslim. Hal
tersebut disebabkan karena dalam setiap tindak kejahatan menunjukkan
penghambaan manusia terhadap motif yang mendorong dilakukannya

102
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam

kejahatan tersebut yang berarti penolakan yang bertentangan dengan


nilai kebenaran. Demikian pula halnya dengan syirik yang menunjukkan
adanya pamrih atas jasa yang diberikan seseorang kepada orang lain.
Orang yang demikain bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu sendiri
dalam hubungannya dengan kebenaran, keadilan dan kasih sayang,
tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain (NIK HMI, 1987).
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa manusia yang manusiawi
adalah manusia yang bertuhan, bertauhid. Sementara itu ketauhidan yang
memberikan reward bagi kemanusiaan bukan hanya sekedar pengakuan,
melainkan perlu bukti berupa upaya menginternalisasi sifat-sifat Tuhan;
“Asmaul Husna” ke dalam kehidupan berbudaya. Hal ini berarti jika
Tuhan adalah Maha Pencipta, umat yang beriman juga harus memiliki
kemampuan mencipta dan berkarya. Namun demikian berbeda halnya
jika Tuhan menciptakan langit dan bumi sebagai ciptaan yang sempurna,
umat yang beriman harus berkarya berdasarkan achievement oriented.
Demikain juga halnya apabila Tuhan Maha Kasih Sayang, Maha Adil,
Maha Benar, dan Maha Mengetahui, umat yang beriman harus memiliki
sifat-sifat serupa dalam batas-batas kemanusiaannya.
Berdasarkan uraian tersebut, hakikat hidup bertauhid adalah
adanya bukti berupa amal perbuatan atau kerja. Selanjutnya pahala tidak
dapat diperoleh manusia dan ada sebelum manusia menyatakan diri
dalam kegiatan-kegiatan kongkrit dan nyata. Demikian pula halnya
dengan pengakuan “iman” semata tidak dapat dianggap sebagai suatu
prestasi sebelum diwujudkan dalam amal shaleh. Kecintaan kepada
Tuhan, kebaikan, kebenaran, keadilan dan kasih sayang berupa proses
internalisasi Asmaul Husna, dengan sendirinya akan memancar dalam
kehidupan sehari-hari berupa karya dan usaha-usaha nyata yang
bermuara kepada kebaikan, kebenaran, keindahan dan kasih sayang
kepada sesama makhluk (akhlakul karimah, rahmatan lil ’alamin).

2. Agama dan Fenomena Modernitas


Kebudayaan merupakan rekayasa manusia terhadap potensi manusiawi
dan potensi alam dalam rangka mengangkat harkat dan martabat
kemanusiaan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai
ujung tombak kebudayaan yang dipandang menentukan jalannya sejarah

103
Pendidikan Islam

telah mengalami lompatan-lompatan yang menakjubkan. Kemajuan itu


mencakup hampir semua aspek kehidupan manusia sehingga kita sering
mendengar istilah ”teknologisasi kehidupan” dan “masyarakat teknologi”.
Persoalannya adalah apakah kemajuan teknologi informasi itu
sungguh-sungguh dapat melahirkan masyarakat yang lebih baik. Demikian
pula juga muncul pertanyaan; apakah kemajuan tersebut akan dapat
mempertinggi pemahaman manusia tentang diri dan lingkungannya dan
lebih khusus dapat mengangkat derajat kemanusiaan.
Beberapa pertanyaan tersebut ternyata tidak mudah dijawab
dikarenakan beberapa hal, antara lain: pertama, makna kemanusiaan
dan perbuatan-perbuatan yang bermakna manusiawi senantiasa bersifat
dinamis. Ngerumpi di rumah tetangga pada masyarakat patembayan
(masyarakat agraris) mungkin dianggap sangat manusiawi tetapi boleh
jadi dinilai tidak layak bagi masyarakat industri dan masyarakat informasi.
Membayar zakat 2,5 kg beras atau memberi pakaian bekas pada tahun
60-an dianggap berjuang untuk kemanusiaan, tetapi pada era informasi
dapat saja dinilai sebagai menghina kemanusiaan; kedua, fenomena
yang terjadi saat ini menunjukkan makna yang antagonistis. Satu sisi
abad informasi akan menghasilkan masyarakat yang lebih demokratis
karena terjadinya peran dan kecakapan masyarakat yang lebih merata.
Akibat lainnya ialah meningkatnya keragaman budaya, dan selanjutnya
penyediaan informasi secara menyeluruh, memberi kesempatan manusia
untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan baru. Di samping itu juga
telah meningkatkan budaya produktifitas manusia semakin mendunia.
Beberapa fenomena tersebut secara relatif dapat mengubah keadaan
kehidupan menjadi lebih manusiawi (humanis) dan tercerahkan. Namun
demikian, juga banyak para ahli yang skeptis terhadap abad informasi
mendatang bagi pengembangan misi kemanusiaan. Secara hipotesis
abad informasi memang menjanjikan sejuta harapan dengan semakin
banyaknya informasi akan semakin memajukan ilmu pengetahuan yang
selanjutnya akan semakin memberikan kemudahan bagi manusia dalam
memenuhi dan mendapatkan kebutuhan hidupnya. Di sisi lain hal itu
justru dapat meningkatkan jumlah dan keragaman kebutuhan kehidupan
manusia itu sendiri yang semakin besarnya kemampuan manusia
melakukan pengendalian atas kehidupannya.

104
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam

Hipotesis tersebut dapat saja tertolak karena timbulnya berbagai


kecenderungan negatif lainnya. Melimpah ruahnya informasi dapat
berakibat meningkatnya sikap empati, sehingga seseorang dapat dengan
mudah terpengaruh untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain
yang lebih maju. Akibatnya, berbagai harapan mengenai kualitas dan
kebutuhan kehidupanpun semakin meningkat. Naiknya harapan yang
belum tentu dapat diimbangi dengan kemampuan memenuhi tersebut
dapat mengakibatkan keresahan sosial khususnya dalam kehidupan
masyarakat kelas bawah (kelas mustadl’afin).
Keresahan sosial yang semakin meningkat terutama dari pihak
mustadl’afin yang tidak mempunyai akses pada jaringan komunikasi yang
memadai dapat mengakibatkan timbulnya tindakan-tindakan kekerasan
yang radikal dan revolusioner. Walaupun secara efektif penggunaan
kekuatan militer diberbagai kawasan dapat mengatasi keresahan tersebut,
namun demikian tanpa penyelesaian tuntas akar permasalahannya, cara
demikian dapat melahirkan gerakan yang lebih radikal dan tersembunyi
seperti gerakan bawah tanah.
Fenomena modernitas sebagaimana telah dikemukakan
mempertanyakan kembali posisi dan peranan agama. Terutama karena
adanya hubungan ekwivalen antara kebudayaan dengan misi kerasulan
Muhammad SAW. Dalam menyempurnakan akhlak mulia dan ide moral
Islam rahmatan lil ‘alamin dan lebih dari itu, sebuah peradaban atau
kebudayaan yang maju kerap kali diawali dengan semangat keagamaan.
Sebagaimana kemajuan kaum Muslimin pada abad pertengahan jelas
disemangati oleh upaya umat Islam mengartikulasikan ajaran agamanya.
Max Webber (1974) menilai bahwa renaissance di Eropa disemangati
oleh etika protestan. Demikian juga kemajuan bangsa bermata sipit
(Jepang, Korea, Taiwan dan Hongkong) menurut Robert N. Bellah (1985)
disemangati oleh ajaran konfusius.
Berangkat dari pemikiran tersebut dan dipertentangkannya
antara agama dan kemanusiaan pada era informasi adalah akibat
dari kekhawatiran yang semakin besar akan terlepasnya kebudayaan
dari paradigma kemanusiaan dan kontrol agama. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang telah mengalami loncatan-loncatan

105
Pendidikan Islam

yang menakjubkan juga dikhawatirkan akan kehilangan kontrol dari


pemikiran keagamaan. Sementara dinamika pemikiran keagamaan pada
umumnya berjalan lebih lambat, sehingga kerapkali mengalami kesulitan
dalam mengontrol kemajuan di bidang Iptek.
Perlu ditegaskan kembali bahwa kelahiran kebudayaan adalah
dalam rangka mengangkat harkat kemanusiaan. Sementara apapun yang
dilakukan manusia termasuk pilihan-pilihan di bidang Iptek mempunyai
akibat moril dalam perkembangannya, kesenjangan antara dua kutub
yaitu harkat kemanusiaan dalam kebudayaan dan pilihan Iptek diproyeksi
semakin tajam pada era informasi. Dalam kecenderungan demikian,
apabila manusia tidak mampu mengendalikan dirinya dalam melakukan
pilihan teknologi, teknologi dapat menciptakan kekuatan penghancur
dan ekplorasif yang tidak terhingga seperti rekayasa senjata nuklir dan
senjata-senjata perusak massal lainnya, justru ancaman kehancuran hari
depan manusia akan semakin besar.
Berbagai kemungkinan teknologis tersebut menyarankan bahwa
keputusan-keputusan yang diambil dan beberapa alternatif yang dipilih
termasuk di bidang Iptek harus didasarkan pada hati nurani dan sistem
nilai yang bermakna kemanusiaan. Suatu pilihan teknologi yang tidak
hanya didasarkan pada kerakusan, ketakutan, dan keirihatian semata.
Menghadapi fenomena demikian inilah agama diharapkan dapat
berperan dalam memberikan sumbangan moril. Umat beragama
terutama Islam diharapkan dapat mengarahkan perhatiannya dari sekedar
keterlibatan terhadap masalah perbedaan agama, sekte, dan mazhab.
Perlu dikembangkan suatu pola pemikiran keagamaan yang fungsional
terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang lebih fundamental, apabila
umat ini masih menginginkan kelangsungan hidupnya di dunia masa
depan.
Kecenderungan modernitas dan posisi agama sebagaimana telah
diuraikan dan digambarkan Soedjatmoko (1991) bagaikan perahu
kecil yang terkena gelombang besar yang semua penumpangnya harus
bersama-sama berusaha supaya selamat dari ancaman gelombang yang
siap menenggelamkan. Kita tidak perlu bertanya kepada penumpang lain
agamanya apa, mazhabnya apa, dari suku dan keturunan apa dan lain
sebagainya. Kita sama-sama manusia dan sama-sama ingin menyelamatkan

106
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam

diri dan sama-sama dalam proses mencari kebenaran. Karena itu yang
penting adalah berlomba-berlomba memberikan alternatif atas persoalan
yang dihadapi atau berlomba-lomba dalam kebajikan.
Apa yang dihadapi manusia dalam modernitas kebudayaan dengan
kemajuan Iptek tersebut adalah masalah keselamatan manusia dan nilai-
nilai kemanusiaan itu sendiri beserta kerusakan bumi dan kerancuan
makna kemanusiaan. Karena itu pernyataan filosof Perancis Andrew
Malrauk (Ulumul Qur’an, No.2, 1989) dan antisipasi John Neisbit (1990)
bahwa abad 21 merupakan abad kebangkitan agama millenium baru (The
Age of Religion), dapat menjadi kenyataan jika para pemimpin agama
mampu mewarnai kebudayaan dan para pelaku kebudayaan yang sedang
dan akan berkembang tersebut dengan nilai-nilai agama dan paradigma
kemanusiaan.

D. PENYELAMAT PERADABAN UMAT MANUSIA

1. Misi Islam dan Dambaan Fitri Umat Manusia


Misi yang diemban oleh pendidikan Islam tidak lain adalah misi Islam
itu sendiri yaitu agar manusia dalam menjalani amanat kehidupan ini
dapat membangun kerajaan dunia yang makmur, dinamis dan harmoni
atas dasar nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Atau dengan kata lain
dapat mewujudkan rahmatan lil ’alamin yaitu hubungan segitiga sama sisi
secara harmonis antara Tuhan, manusia dan alam sebagai tiga komponen
utama dalam hidup dan kehidupan umat manusia. Misi Islam tersebut
akan dapat diwujudkan oleh tidak saja orang yang mengaku beriman
atau mengaku taat beragama, tetapi sekaligus orang yang berilmu
pengetahuan, berwawasan luas tentang hakikat kehidupan, beradab,
terampil dan komitmen kepada nilai-nilai idealitas kemanusiaan seperti
keadilan, kebersamaan dan kasih sayang.
Manusia dengan bekal fitrahnya yang hanief atau dengan ruh, kalbu
dan akal sehatnya yang secara kodrati memihak kepada kebenaran
sebenarnya sepakat dan bahkan senantiasa berupaya mencapai cita-cita
Islam tersebut, siapapun orangnya tanpa harus memandang dari agama apa,
suku bangsa apa dan dari golongan apa. Islam itu agama universal dalam

107
Pendidikan Islam

arti sesuai dengan kebutuhan asasi seluruh umat manusia. Semua manusia
menghendaki kehidupan yang didasarkan pada nilai-nilai universal. Semua
manusia pada dasarnya ingin berbuat kebaikan, berkeadilan, berkasih
sayang dan bermanfaat bagi yang lain.
Akan tetapi untuk mencapai kondisi ideal yang dicita-citakan Islam
dan seluruh umat manusia tersebut diperlukan sebuah perjuangan dan
pengorbanan untuk menuju kesadaran beragama di kalangan peserta
didiknya. Jadi dalam hal ini kesinambungan mutu pendidikan agama
tidak terletak pada tinggi dan banyaknya materi yang disajikan atau
diajarkan, apalagi mengingat alokasi waktunya yang relatif terbatas.

2. Tujuan Pendidikan Nasional dan Pendidikan Agama


Berangkat dari pemikiran bahwa Islam sebagai pedoman hidup universal
dan eternal bagi seluruh umat manusia, maka pendidikan agama dengan
demikian berupaya menanamkan landasan hidup dan pedoman hidup
kepada peserta didiknya berdasarkan ajaran dan nilai-nilai Islam. Sebagai
pedoman hidup universal yaitu rahmatan lil ’alamin, Islam mengharuskan
diterjemahkan secara dinamis dan berkelanjutan berdasarkan kurun
waktu dan tempat yang berbeda. Karena itu Islam di Indonesia dalam
dimensi-dimensi tertentu aktualisasinya boleh jadi mempunyai
perbedaan-perbedaan tertentu yang bersifat khas keIndonesiaan dengan
Islam yang berada di belahan bumi lain. Karena itu pula formulasi tujuan
pendidikan di Indonesia misalnya tidak harus sama dengan tujuan
pendidikan di negara lain walaupun sama-sama mengacu pada nilai-
nilai Islam. Di Indonesia tujuan pendidikan dirumuskan dalam Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Bab II Pasal 4 sebagai
berikut: “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan Bangsa
dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tangung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Dilihat dari sudut pandang Islam, formulasi tujuan pendidikan nasional
tersebut dapat dikatakan sebagai penjabaran cerdas dari ajaran Islam yang

108
BAB 3 – Visi Dan Misi Pendidikan Islam

universal dalam konteks keIndonesiaan, karena memang dirumuskan oleh


para wakil rakyat, cendekiawan yang dari komit dengan bangsanya dan
keIslamannya. Tujuan pendidikan nasional tersebut merupakan tujuan
pendidikan yang bersifat umum dalam arti seluruh aktivitas pendidikan
diarahkan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut.
Pendidikan agama sebagai sub sistem dari sistem pendidikan nasional juga
mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan nasional tersebut dengan
mengambil segmen tertentu sesuai dengan ciri khas pendidikan agama.
Profil manusia Indonesia yang hendak dicapai melalui pendidikan
nasional adalah profil manusia ideal, yaitu manusia yang berkepribadian
tangguh secara lahiriah dan batiniah, mampu menjalin hubungan vertikal
dengan Tuhannya dan hubungan horisontal kepada sesama manusia dan
keberadaannya di muka bumi dapat memberikan makna positif bagi
kemajuan dan keharmonisan hidup bangsa dan umat manusia.
Profil manusia ideal tersebut walaupun sifatnya statis akan tetapi
kualitasnya terus dinamis sejalan dengan dinamika sejarah peradaban
umat manusia. Karena itu untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
usaha yang sungguh-sungguh melalui tripusat pendidikan: keluarga,
masyarakat dan sekolah berjalan secara dinamis dan berkesinambungan
serta mengerahkan berbagai bidang studi termasuk di dalamnya
pendidikan agama.
Di sini penulis berpendapat bahwa tujuan pendidikan agama kiranya
dapat dirumuskan, antara lain: 1). Tercapainya sasaran kualitas pribadi,
baik sebagai Muslim maupun sebagai manusia Indonesia yang ciri-cirinya
dijadikan tujuan pendidikan nasional; 2). Integrasi pendidikan agama
dengan keseluruhan proses maupun institusi pendidikan yang lain; 3).
Tercapainya internalisasi nilai-nilai dan norma-norma keagamaan yang
fungsional secara moral untuk mengembangkan keseluruhan sistem
sosial budaya; 4). Penyadaran pribadi akan tuntutan hari depannya dan
transformasi sosial budaya yang terus berlangsung; dan 5). Pembentukan
wawasan ijtihadiyah (keterbukaan dan kedinamisan) di samping
penyerapan ajaran agama secara aktif.
Akhirnya, pendidikan agama ibarat pisau bermata dua, kalau
pendidikan agama dapat dikemas secara menarik dan guru agama dapat
memanfaatkan peluang ini secara tepat maka pendidikan agama dan
kehadiran guru agama akan menjadi sangat dirasakan manfaatnya bagi

109
Pendidikan Islam

peserta didik dan dapat memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi
tercapainya tujuan pendidikan nasional, tetapi sebaliknya kalau format
pendidikan agama sejak dari sekolah dasar sampai dengan perguruan
tinggi tidak ada perbedaan yang berarti dan terlebih lagi kalau dipahami
secara hitam putih maka kehadiran pendidikan agama justru menjadi
beban.

110
BAB
BAB1
4
TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

Berbicara tentang tujuan pendidikan Islam, tentunya tidak dapat


dilepaskan dari hakikat pendidikan Islam itu sendiri. Sebagaimana
dikemukakan dimuka bahwa konsep pendidikan Islam dapat dipahami
dalam dua pendekatan, yaitu pendekatan sosiologis dan filosofis. Pada
konsep yang pertama yaitu pendidikan Islam secara sosiologis diartikan
sebagai aktivitas (lembaga) pendidikan Islam yang keberadaannya
disemangati oleh nilai-nilai Islam, bertujuan mewujudkan misi
Islam, menggunakan simbol-simbol Islam sebagai nama lembaga itu,
menyelenggarakan pengkajian terhadap ilmu-ilmu keIslaman dan
ilmu pada umumnya dan nilai-nilai Islam mewarnai dalam proses
penyelenggaraan atau manajerialnya. Aktivitas (lembaga) pendidikan
itu dapat berupa pondok pesantren, madrasah, sekolah dengan berbagai
jenis dan jenjang baik yang formal, informal maupun non formal.
Sedangkan pada pendekatan yang kedua yaitu pendidikan Islam
secara filosofis merupakan pendidikan yang berparadigma kesemestaan
yaitu nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan dan kealaman secara integratif
dalam rangka humanisasi dan liberalisasi manusia agar manusia dapat
menjalankan tugas dan fungsinya sebagai khalifah dimuka bumi sebagai

111
Pendidikan Islam

bentuk pengabdiannya kepada Allah dan sesama manusia. Atau dengan


kata lain dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan
yang paling ideal. Setiap aktivitas pendidikan yang paling ideal pada
hakikatnya adalah pendidikan Islam (Islami), baik yang dilaksanakan
oleh orang Islam atau bukan dan menggunakan simbol-simbol Islam
atau tidak. Pada konteks ini jika menggunakan kerangka pemikiran Zafar
Iqbal (1996: 53) dikatakan integration of faith and knowledge, in term of
their implications and applications.
Dengan demikian, dua pendekatan tersebut akan membingkai
pola perilaku kependidikan Islam pada ranah operasional mulai dari
aspek perumusan program pendidikan sampai pada target serta standar
pendidikannya. Jelas bahwa pendekatan tersebut memberikan arah terhadap
para subjek dan objek pendidikan Islam untuk menentukan konstruksi
pendidikan Islam terlebih lagi pada formulasi tujuan pendidikan Islam.
Di mana dalam merancang–baca merencanakan-pendidikan memerlukan
pondasi dasar, atau alasan dasar mengapa pola tersebut dikembangkan
(Ahmad, 2011: 4). Di sinilah letak relasi dan relevansi pendekatan tersebut
untuk menemukan kerangka pendidikan yang benar-benar sesuai dengan
kebutuhan dasar peserta didik (manusia).

A. RUMUSAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM


Manusia adalah makhluk yang sadar tujuan, dalam arti setiap aktivitasnya
senantiasa disadari dan dimiliki tujuan yang hendak dicapainya. Secara
individual maupun kolektif, tujuan adalah sesuatu yang dicita-citakan
dimasa yang akan datang dan ingin diwujudkan dengan berbagai daya dan
upaya. Pembahasan tentang tujuan pendidikan Islam menjadi bahasan
terpenting (central issue) dari filsafat pendidikan mengingat tujuan
memiliki beberapa fungsi sebagai: normatif (gambaran ideal), preskriptif
(pemberi arah) dan evaluatif.
Dalam aktivitas pendidikan, tujuan atau cita-cita itu dirumuskan
dalam tujuan akhir (the ultimate aims of education). Tujuan akhir biasanya
dirumuskan secara padat dan singkat. Rumusan tujuan pendidikan
Islam biasanya digambarkan dalam dua perspektif, yaitu perspektif
manusia (pribadi) ideal dan perspektif masyarakat (makhluk sosial) ideal.

112
BAB 4 – Tujuan Pendidikan Islam

Perspektif manusia ideal digambarkan seperti: “insan kamil”, “insan cita”,


“muslim paripurna”, “manusia bertakwa”, “manusia berkualitas”, “manusia
dewasa”, “manusia bersyukur”, “khalifah al-rabb fi al-ardl”, “kematangan
dan integritas pribadi”, “manusia yang ber-imtak dan ber-iptek” dan lain
sebagainya. Sedang dalam perspektif manusia sebagai makhluk sosial,
tujuan pendidikan dirumuskan dalam bentuk citra masyarakat ideal
seperti: “warga masyarakat, warga negara atau warga dunia yang lain serta
khalifah-Nya” (Nazali Shaleh Ahmad), “terciptanya masyarakat madani
(civil society)”, “al-mujtama al-fadlilah” (al-Farabi), “masyarakat utama”
(Muhammadiyah), dan lain sebagainya.
Melalui pendidikan Islam inilah, peserta didik diharapkan menjadi
individu yang mempunyai peran krusial untuk pengembangan dan
peningkatan potensi masyarakatnya. Peran ini akan mampu dimunculkan
dengan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki peserta didik,
sehingga ia dengan sendirinya pula untuk secara mandiri meningkatkan
taraf hidupnya baik lahir maupun batin. Hal inilah yang seharusnya
menjadi bagian substantif dalam mengkonstruks peserta didik yang
tidak hanya mampu berfungsi bagi dirinya sendiri, tetapi ia juga berguna
untuk meningkatkan perannya sebagai individu/pribadi bagi dirinya
sendiri, keluarga, warga masyarakat, warga negara dan sebagai abdullah
dan khalifah Allah di muka bumi.
Dengan demikian, pendidikan Islam memfokuskan diri pada
pembentukan diri manusia seutuhnya sebagai sosok manusia paripurna
yang dalam Islam seperti yang telah disebutkan- sebaga abdullah dan
khalifah Allah di muka bumi. Fakta ini selaras dengan tujuan Islam yang
secara garis besar adalah untuk membina manusia agar menjadi hamba
Allah yang shalih dengan seluruh aspek kehidupannya, perbuatan,
pikiran dan perasaannya (Darajat, 1995: 35). Pada tataran ini, manusia
sebagai subjek dan objek pendidikan sangat diharapkan untuk melibatkan
seluruh potensi kemanusiaannya yang bermuara pada pengabdian dirinya
kepada Tuhan. Dalam hal ini Allah mensinyalir dalam Al-Qur’an bahwa:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku” (QS. adz-Dzariyaat: 56). Di mana hal cita ideal
ini merupakan kerangka yang bersifat tertinggi dari proses operasional
pendidikan Islam.

113
Pendidikan Islam

Di satu sisi, sebagai rumusan akhir dari sebuah cita-cita, tujuan tersebut
bersifat ideal-statis dalam arti rumusannya tetap, tetapi kualitas dari tujuan
itu adalah dinamis dan berkembang nilai-nilai dan standarisasinya. Lebih-
lebih tujuan pendidikan yang di dalamnya sarat dengan nilai-nilai yang
bersifat fundamental, seperti nilai ketuhanan, kemanusiaan, sosial, nilai
ilmiah, moral dan nilai agama. Contoh, manusia terampil pada tahun 50-
an sangat berbeda dengan era tahun 2000-an atau bahkan pada manusia-
manusia pada abad ke-22 nantinya.
Akan tetapi, rumusan tujuan pendidikan Islam yang besar dan
universal tersebut bukan berlangsung secara temporer dan kondisional,
tapi ia memiliki pola yang bersifat berkesinambungan sampai akhir dari
babak sejarah kemanusiaan. Keberlangsungan kegiatan ini, tergantung
pada manusia sebagai subjek dan objek pendidikan Islam, perangkat
serta kontiuitas seluruh masyarakat pendidikan dalam merealisir konsep
pendidikan itu pada tujuan yang benar. Rumusan tujuan tersebut, di sisi
yang lain, sebenarnya merupakan arah pendidikan Islam tertinggi dari
proses pendidikan dengan memfokuskan pada kerangka dasar tersebut. Di
mana kerangka rumusan tujuan pendidikan Islam yang sangat mendasar
adalah nilai-nilai moral-transendental, dan tidak hanya terpaku pada ide-
ide statis, tetapi ia menyertakan tuntutan riil dari kondisi sosial budaya
yang berkembang sebagai acuan proses kontektualisasi pendidikan Islam
itu sendiri.

B. STRATEGI MERUMUSKAN TUJUAN


Agar fungsi tujuan tetap berhasil guna sebagai self realization maupun
sebagai pemberi jawaban terhadap hidup dan kehidupan masa depan,
maka penetapannya diperlukan pendekatan yang terpadu. Yang dimaksud
dengan pendekatan terpadu ialah yang mencakup hal-hal berikut:

1. Pendekatan melalui normatif filosofis.


2. Pendekatan melalui analisa historis lembaga-lembaga sosial.
3. Pendekatan melalui analisa ilmiah tentang realita kehidupan
yang aktual.
Hal-hal tersebut secara integratif perlu dioperasionalkan dalam kesatuan.

114
BAB 4 – Tujuan Pendidikan Islam

1. Strategi Normatif Filosofis


Strategi merumuskan tujuan pendidikan Islam merupakan bagian
terpenting dari diskursus tentang filsafat pendidikan Islam. Tujuan
adalah sesuatu yang dicari atau sesuatu yang ingin diperoleh. Sesuatu
yang ingin dicari atau ingin diperoleh adalah sesuatu yang berharga,
bernilai atau yang dianggap ideal. Karena itu upaya merumuskan tujuan
pendidikan Islam harus berparadigma dari nilai-nilai yang paling
berharga berupa core belief dan core values Islam tentang hidup dan
kehidupan ini, mengingat persoalan pendidikan adalah persoalan hidup.
Karena itu tujuan pendidikan Islam harus mengarah kepada nilai-nilai
Islam tentang hidup dan kehidupan manusia yang hakiki (genuine) agar
aktivitas pendidikan benar-benar mengarah kepada sesuatu yang ideal
baik bagi pembentukan pribadi si terdidik maupun dalam kehidupan
masyarakat.
Nilai-nilai yang paling berharga yang harus dijadikan paradigma
dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, secara singkat terdiri dari
nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan kealaman. Namun dari ketiga
kategori tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Nilai-Nilai Filosofis
Nilai-nilai filosofis pada kerangka ini bisa dicontohkan seperti
keadilan dan kebenaran. Filsafat sebagai the art of life (pengetahuan
tentang hidup) membicarakan secara mendalam tentang nilai-nilai
keadilan dan kebenaran ini. Kualitas hidup manusia sangat ditentukan
oleh sejauh mana manusia komitmen untuk menegakkan nilai
kebenaran dan keadilan ini dalam berbagai dimensi kehidupannya:
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sebaliknya kesengsaraan
manusia manakala nilai-nilai tersebut dilecehkan oleh manusia
itu sendiri. Itulah sebabnya manusia merupakan makhluk yang
senantiasa mencari keadilan dan kebenaran: petani mencari keadilan
dan kebenaran apabila tanahnya diserobot oleh pengembang; buruh
mencari keadilan dengan menuntut upah yang lebih layak; mahasiswa
menuntut para koruptor. Semua dilakukan untuk dalam rangka
menegakkan keadilan dan kebenaran. Itulah sebabnya, nilai-nilai

115
Pendidikan Islam

keadilan dan kebenaran harus dijadikan paradigma dan tujuan dalam


pendidikan Islam dengan cara menanamkan nilai-nilai itu kapada
si terdidik, dan menjadikannya sebagai spirit dalam setiap aktivitas
pendidikan. Dalam Islam, benar dan adil merupakan bagian dari
sifat Allah dalam asma ul-husna atau sifat-sifat “fungsional” Tuhan,
yaitu al-haq (Maha Benar) dan al-adil (Maha Adil). Manusia yang
diberi amanah sebagai khalifah al-Rabb atau mandataris Tuhan untuk
mengelola dunia mesti menginternalisasi dan mengaktualisasikan
nilai-nilai kebenaran dan keadilan itu dalam berbagai dimensi
kehidupan.
Al–Qur’an maupun Al-Hadits sebagai sumber ajaran Islam,
memberikan perhatian besar terhadap masalah ini. Terdapat 288 ayat
dalam Al-Qur’an tentang kebenaran dan 28 ayat tentang keadilan.
Al-Qur’an maupun Hadits memerintahkan agar manusia senantiasa
menegakkan kebenaran dan keadilan kepada siapa saja, kapan saja,
dalam hal apa saja dan dimana saja. Sebaliknya Al-Qur’an mencela
sorang yang menyembunyikan kebenaran atas dasar apapun. Dalam
sebuah Hadits dikemukakan: “Katakanlah kebenaran itu walaupun
pahit.”

b. Nilai-Nilai Akhlaq
Islam adalah agama akhlak. Sebagai agama puncak evolusi agama
samawi, sebagaimana dikemukakan Rasulullah mengemban misi
diutus untuk membangun akhlaq al-karimah, yaitu peradaban
adiluhung atau puncak peradapan manusia. Dalam sebuah Hadits
Qudsi Allah berfirman: “Barang siapa Ku kehendaki kebaikan,
Ku beri dia akhlak yang baik, dan barang siapa Ku kehendaki
keburukan Ku beri dia akhlak yang buruk” (Riwayat Abusy-Syaikh
dari Ibnu Umar). Dalam syairnya yang terkenal, Ahmad Syauqi
memperingatkan: “Bangsa itu hanya bisa bertahan selama mereka
masih memiliki akhlak. Bila akhlak telah lenyap dari mereka, mereka
akan lenyap pula”. Betapa pentingnya akhlak dalam kehidupan
manusia dalam pandangan Islam, niscaya dijadikan dasar dan
tujuan dalam pendidikan Islam. Para pendidik dalam pendidikan
Islam haruslah orang berakhlak, orang yang beradab, dan bermoral.

116
BAB 4 – Tujuan Pendidikan Islam

Sebab hanya orang yang berakhlaklah yang mampu membantu


peserta didik berakhlak pula.
c. Nilai-Nilai Ilmiah
Islam adalah agama ilmu dan Al-Qur’an adalah kitab ilmu. Karena
itu hanya orang yang berilmu yang dapat memahami Islam dan
mengamalkan ajarannya. Karena Islam menyatakan bahwa menuntut
ilmu itu hukumnya wajib bagi laki-laki dan perempuan, kapan saja,
dimana saja dan perintah itu berlaku sepanjang hayat. Nilai-nilai
ilmiah itu antara lain seperti sikap objektif, kritis, skeptis dan analitis.
Sikap-sikap yang merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai ilmiah
ini harus senantiasa ditanamkan dalam diri peserta didik.

d. Nilai-Nilai Spiritual
Yang dimaksud nilai-nilai spiritual di sini adalah nilai-nilai rohani dan
prinsip-prinsip moral dalam batin seseorang yang memberi warna
pada pandangan dunia, etos dan tingkah laku seseorang. Pendidikan
Islam harus memberikan nilai-nilai spiritual yang Islami, yang
kondusif dan fungsional bagi pembentukan pandangan dunia peserta
didik. Nilai-nilai spiritual dalam Islam bersifat asketisme duniawi;
yaitu pandangan dunia yang mengatakan bahwa kehidupan dunia
adalah nyata (bukan bayangan), sangat berharga (bukan permainan)
dan sangat menentukan bagi kehidupan berikutnya. Kata al-dunya
dalam Al-Qur’an disebutkan sampai 127 kali hal ini menggambarkan
betapa pentingnya kehidupan dunia itu. Al-Qur’an menyatakan
bahwa kehidupan dunia adalah tempat bertanam dan akhirat tempat
menuai, kehidupan dunia adalah diibaratkan sebuah pertandingan
antara menang dan kalah (QS. Muhammad: 36) dan umat Islam
diperintahkan untuk memenangkan pertandingan itu. Dari nilai-nilai
spiritualitas Islam ini berarti peserta didik harus diberi pemahaman
yang benar tentang hakikat hidup di dunia, supaya mereka berprestasi
dan beramal shaleh ketika di dunia, dan sebaliknya tidak membenci
atau menjauhi dunia. Nilai-nilai spiritual itulah yang mendorong
pada kemajuan dan kehidupan yang lebih baik. Peserta didik dalam
pendidikan Islam jangan sampai mempunyai nilai-nilai spiritual
yang bercorak “mistisisme duniawi” sebagai kebalikan dari asketisme
duniawi, sebab yang terahkir ini akan melahirkan sikap fatalistik.

117
Pendidikan Islam

Dalam spirit kebudayaan manusia dikenal adanya dua kutub yang


sama-sama ekstrim, yaitu kutub spirit kebudayaan hellinisme atau
disebut juga dengan semangat “Rusydian” (pengikut Ibnu Rusyd)
disatu sisi dan semitisme atau “Ghazalian” (pengikut Imam Ghazali)
di sisi lain. Spirit kebudayaan hellinisme menjunjung tinggi nilai-nilai
sains dan teknologi, ekonomi dan politik. Masyarakat yang memiliki
nilai spirit hellinisme biasanya akan memiliki sikap terbuka (inklusif),
memiliki semangat yang tinggi untuk melakukan penemuan-
penemuan baru (discovery) di bidang sains, pengembaraan dan
penjelajahan untuk mengembangkan perdagangan. Bangsa-bangsa
yang mengembangkan spirit Hellinisme terbukti mampu menjadikan
bangsa itu dalam puncak peradaban dunia sebagaimana yang telah
dicapai oleh bangsa Muslim pada abad pertengahan, dan bangsa
barat sejak renaisance hingga memasuki millenium ketiga sekarang
ini. Sebaliknya dalam spirit kebudayaan semitisme atau Ghazalian,
lebih mengedepankan nilai-nilai mistik, seni dan harmoni. Kuatnya
spririt kebudayaan semitisme ini bagi umat Islam terbukti membawa
bangsa-bangsa Muslim terlena dalam kejumudan dan kemunduran.
Ketidakmampuan berkompetisi dalam kehidupan dunia yang
sesungguhnya menjadi alasan untuk berpandangan miring terhadap
dunia dan bahkan bersikap destruktif terhadap dunia.
Pendidikan Islam seharusnya menjadikan nilai-nilai spirit asketisme
duniawi dan hellinisme dalam diri peserta didik, sehingga peserta
didik memiliki sikap positis terhadap dinamika perubahan dan
memiliki need of achievement dalam kehidupannya.

e. Nilai-Nilai Karya
Islam di samping merupakan agama ilmu, juga merupakan agama
amal. Islam menghendaki ilmu bermanfaat secara luas yang
diibaratkan seperti pohon yang berbuah lebat dan memberikan
manfaat bagi kehidupan. Sebaliknya Islam mengecam ilmu yang
tidak bermanfaat, ilmu yang disembunyikan untuk dirinya yang
diibaratkan seperti pohon tak berbuah. Karena itu ilmu yang baik
adalah yang alamiah dan amal yang terbaik adalah amal ilmiah.
Dalam hidup dan berkarya, Islam mengajarkan untuk senantiasa

118
BAB 4 – Tujuan Pendidikan Islam

exellent oriented dalam berkarya (QS. Hud: 7). Kerja merupakan


ibadah karena itu harus dilaksanakan dengan ikhlas (profesional),
penuh tanggung jawab, dedikasi, penuh perhitungan, efektif efisien
(tidak boros), ulet (tidak mudah putus asa) dan pantang menyerah
(cuci tangan). Nilai-nilai ini yang seharusnya ditanamkan dalam diri
peserta didik menjadi kepribadiannya sebagai generasi yang benar-
benar memiliki orientasi yang cerdas. Di mana nilai-nilai Islam
tersebut yang terejawantahkan dalam kehidupannya.

f. Nilai-Nilai Ekonomi atau Harta


Islam adalah agama kemanusiaan dan salah satu kebutuhan manusia
yang fundamental adalah ekonomi atau harta. Dengan demikian,
Al-Qur’an secara cerdas melukiskan bahwa: “Islam memandang
wanita, anak dan harta (emas, perak, kendaraan yang bagus, binatang
ternak dan sawah ladang) sebagai perhiasan hidup atau keindahan”
(QS. Ali Imran: 14). Dalam sebuah Hadits Rasulullah bersabda
bahwa “Allah adalah zat yanng indah dan menyukai keindahan”.
Manusia ditakdirkan oleh Allah sebagai makhluk yang menyukai
keindahan atau perhiasan. Kalau Islam memandang harta sebagai
keindahan, berarti manusia diperintahkan untuk mencari dan
menjaga harta itu agar tetap indah, dengan cara mencarinya melalui
cara-cara yang halal dan mendayagunakan secara proporsional.
“Islam menghendaki umatnya menggunakan pakaian yang bagus dan
memakai harum-haruman” (QS. Al-A’raf: 31), “memakan-makanan
yang halal lagi berkualitas” (QS. Al-Baqarah: 168 dan ayat lainnya),
senantiasa menjaga kebersihan dan keindahan. Intinya, Islam tidak
memandang harta itu hina, malainkan justru keindahan, perhiasan.
Sebaliknya Islam memandang kemiskinan itu ibarat penyakit yang
harus diberantas, kemiskinan bisa menjerumuskan kepada kekafiran,
kemiskinan bisa menjadi pintu kepada kehinaan. Prinsip-prinsip
Islam tentang harta ini harus ditanamkan dalam diri peserta didik.
Dalam rangka mencapai suasana ideal dan mengambil langkah-langkah
pencapaiannya, nilai-nilai Islam tentang hidup tersebut harus dirumuskan
menjadi tujuan khusus sebagai infrastruktur tegaknya tujuan umum.
Perumusan tujuan pendidikan tidak cukup hanya berkiblat pada tujuan

119
Pendidikan Islam

akhir atau Ulimate aim pendidikan saja sebab ia belum merupakan suatu
gambaran makna yang jelas, melainkan masih normatif dan abstrak. Oleh
sebab itu diperlukan penjabaran secara lebih terinci ke dalam variabel-
variabel yang spesifik dan operasional. Variabel-variabel itu dalam ilmu
pendidikan dikenal dengan istilah tujuan khusus (proximate objectives),
atau tujuan sementara (Langevelt), atau cardinal principles of education
(Herbert Spencer).
Dari nilai-nilai Islam tersebut, maka tujuan khusus atau tujuan
sementara pendidikan Islam dapat dirumuskan kedalam enam domain,
antara lain: a). Kecerdasan intelektual; b). Kedalaman spiritual; c).
Keagungan akhlak; d). Kemantapan profesional; e). Keluasan wawasan;
dan f). Kepekaan sosial. Sementara itu Spencer mengemukakan tujuan
khusus, yang meliputi: a). Health; b). Command of the fundamental Prosess,
not a by the three; c). Worthy Home Membership; d). Vocation; e). Civic
Fanctions; f). Worthy Use of Laisere Time; dan g). Ethical Character (Moh.
Nur Syam, 1973).
Selain itu ada yang memperinci tujuan pendidikan dalam bentuk
taksonomi dalam bentuk taksonomi (sistem klasifikasi). Yang terutama
meliputi: a). Pembinaan kepribadian (nilai formil): Sikap (attitude), Daya
pikir praktis rasional, Objektivitas, Sadar nilai-nilai moral dan agama;
b). Pembinaan aspek pengetahuan (nilai materiil), yaitu materi ilmu itu
sendiri; c). Pembinaan aspek kecakapan, keterampilan (skill) nilai-nilai
praktis; dan d). Pembinaan jasmani yang sehat (Fadjar, 1991).
Sementara itu dalam sebuah haditsnya yang populer, Rasululah
bersabda: “Ajarilah anak-anak kalian dengan berenang dan memanah.”
Kata berenang” dapat ditafsirkan dengan kemampuan akademik, yaitu
kemampuan si terdidik memecahkan berbagai persoalan kehidupan
yang kompleks dan multi dimensional. Sementara “memanah” dapat
ditafsirkan sebagai kemampuan profesional yang menjadi andalan
dalam interaksi dengan lingkungannya. Karena itu pendidikan harus
membekali dalam diri peserta didik dua keping dari satu mata uang,
yaitu kemampuan akademik dan profesional sekaligus.
Dalam pandangan Islam, memberi bekal kemampuan akademik
kepada si terdidik hukumnya wajib bagi setiap Muslim terutama orangtua
dan para pendidik, sementara memberikan kemampuan profesional

120
BAB 4 – Tujuan Pendidikan Islam

hukumnya fardu kifayah sesuai dengan potensi dan bahan peserta didik
dan konteks dinamika kebutuhan masyarakat. Artinya, kalau misalnya di
suatu wilayah atau daerah tidak ada tenaga medis (dokter atau perawat)
padahal sangat dibutuhkan, maka semua umat Muslim berdosa karena tidak
menyelenggarakan pendidikan tenaga medis bagi keperluan hidupnya,
tetapi kalau sebagiannya telah menyelenggarakannya, maka hilanglah
kewajiban itu. Ini berarti Islam secara tidak langsung memerintahkan
kewajiban pendidikan dasar yang memberi bekal kemampuan akademik,
dan pendidikan profesional sesuai dengan pembagian kerja dalam
masyarakat.
Dari uraian tersebut kiranya dapat memberikan gambaran tentang
luas lingkup yang hendak dijangkau oleh pendidikan. Karena manusia
yang dibinanya itu merupakan totalitas sebagai makhluk individu dan
sosial. Dengan demikian pendidikan harus mampu mengemban misi
yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan pribadi dan
masyarakat. Orientasinya harus utuh memperkokoh keberadaan manusia
sebagai makhluk pribadi dan masyarakat. Dalam peranannya itu maka
fungsi tujuan pendidikan umum maupun khusus, yang normatif maupun
yang operatif praktis, merupakan salah satu faktor penting, bukan
saja sebagai pendorong, motivasi, tetapi juga menjadi isi pokok (core
curriculum) pendidikan dan akan menentukan metode pengajaran, sistem
dan organisasi kurikulum.
Mengingat pendidikan adalah proses hidup dan kehidupan umat
manusia, maka tujuannya pun mengalami perubahan dan perkembangan
sejalan dengan perubahan dan perkembangan zaman. Dalam hal
ini, tujuan khusus sebagai pedoman operatif praktis, dituntut untuk
senantiasa siap memberikan hasil guna, baik bagi keperluan menciptakan
dan mengembangkan ilmu-ilmu baru, lapangan-lapangan kerja baru,
maupun pembina sikap hidup kritis dan pola tingkah laku baru serta
kecenderungan-kecenderungan baru. Disini barangkali yang dimaksud
oleh Toffler: “Education must shift into the future tense” (Alfin Toffler, 1970).

2. Strategi Melalui Analisa Historis


Sejarah adalah gagasan peristiwa masa lalu yang bermakna bagi
perjalanan hidup manusia ke depan. Sejarah memberikan pengalaman,

121
Pendidikan Islam

pelajaran dan hikmah yang sangat berharga tentang kebaikan atau


keburukan, keberhasilan atau kegagalan, kemajuan atau kemunduran
dan kejayaan atau keterpurukan umat manusia. Nilai-nilai sejarah ini
yang perlu ditanamkam dalam diri peserta didik agar dapat membentuk
kepribadian yang tangguh, jiwa nasionalisme atau patriotisme, kearifan,
hikmah dan terhindar dari kebodohan. Orang yang bodoh dalam
perspektif sejarah bukan orang yang ber-IQ rendah, melainkan orang
yang tidak mau belajar dari sejarah.
Nilai-nilai sejarah dapat ditanamkan melalui pembelajaran mata
pelajaran sejarah, museum, pemutaran film dokumenter dan lain
sebagainya. Penanaman nilai-nilai sejarah yang termuat di dalam mata
pelajaran tersebut yang menjadi fokus dari setiap pembelajaran, sehingga
nilai-nilai tersebut mampu menginternal dalam diri peserta didik. Dari
kerangka ini jelas apabila nilai-nilai normatif dalam sejarah mampu
memberikan ruang edukasi pada diri peserta didik untuk mengambil
hikmah dalam setiap perjalanan manusia.

3. Strategi Melalui Analisa Ilmiah atau Sosiologis


Perumusan tujuan pendidikan melalui analisis ilmiah atau sosiologis.
Dimaksudkan agar lulusan pendidikan senantiasa kontekstual dengan
dinamika tuntutan masyarakat. Strategi ini meliputi dua strategi, antara
lain: Pertama, strategi investasi sumber daya manusia (manpower
approach), di mana lulusan pendidikan harus mampu memenuhi
tuntutan ketenagakerjaan yang diperlukan masyarakat; dan Kedua,
teori ekonomi neoklasik. Pendidikan adalah investasi, tak ubahnya
dengan investasi modal fisik, karena itu pendidikan harus menghasilkan
manusia-manusia produktif yang mampu menghasilkan nilai tambah
bagi pertumbuhan ekonomi.
Pendekatan melalui tiga aspek (filsafat, historis, dan scientific)
itu secara terpadu diperlukan untuk memperoleh penetapan tujuan
yang lebih realistis. Karena kalau dilakukan secara terpisah, misalnya
melalui pendekatan historis, hasilnya dianggap tidak mampu untuk
memprediksi dan merencanakan tentang bagaimana bentuk nilai-nilai
sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama yang dikehendaki oleh hari
depan generasi mendatang. Lembaga-lembaga sosial yang ada sekarang

122
BAB 4 – Tujuan Pendidikan Islam

adalah perwujudan dan warisan masa silam. Sampai seberapa jauh


efektivitas lembaga-lembaga ini untuk menyangga hari depan dengan
segala perkembangan ilmu dan teknonologi, sosial dan budaya yang
begitu pesat dan sukar untuk dijangkau seperti yang kini mulai diramal
orang tentang apa yang bakal menimpa kehidupan umat manusia
pada millenium ketiga sekarang ini. Pendekatan ilmiah, dalam hal ini,
memberikan gambaran kenyataan kehidupan sekarang yang sebenarnya
lewat analisa deskriptif tentang keseluruhan hidup masyarakat dan
aktivitas tersebut, dan bahkan juga minat dan tujuan kegiatan itu. Sehingga
dapat dijabarkan perwujudan pendidikan, seperti kurikulum, kegiatan
yang menunjangnya, analisa proses belajar mengajar, analisa kebutuhan
sosial, analisa jabatan dimana pendidikan ikut aktif mempersiapkan.
Pendekatan normatif–filosofis, mendasari komitmen dan orientasi nilai-
nilai fundamental dari pada suasana ideal yang diingini. Dengan semua
itu tujuan pendidikan yang telah representatif dapat ditetapkan.

C. SETTING SOSIAL DALAM MERUMUSKAN


TUJUAN
Islam yang memandang manusia sebagai ciptaan Tuhan yang terbaik (QS.
Al-Tiin: 4) dan sebagai khalifah fil ardl (QS. Yunus: 14) adalah niscaya.
Begitu pula tentang Islam yang rahmatan lil ‘alamin, universal, mengandung
ajaran-ajaran yang genuine bagi kehidupan manusia, senantiasa kontekstual
dengan dinamika kebutuhan zaman (Harun Nasution, 1975). Sebagai
agama pilihan Allah (QS. Al-Maidah: 3) untuk panutan seluruh umat
manusia terlebih umat muslim yang abadi, adalah tiada ragu lagi. Maka
dunia cita, yakni terbentuknya kepribadian Muslim, khalifah fi al-ardl,
atau terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yang menjadi
tujuan akhir pendidikan Islam, secara normatif filosofis ditetapkan atas
dasar satu keyakinan tentang nilai-nilai Islami yang oleh umat Islam
dipegangi sebagai kebenaran yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-
Hadits. Yang menjadi pertanyaan dan sekaligus menempati pokok masalah
dalam bahasan ini ialah, sampai seberapa jauh pengertian dan pengetahuan
kita, baik isinya maupun rumusannya dapat kita tetapkan secara operatif-
praktis sesuai dengan situasi setempat dan kebutuhan zaman.

123
Pendidikan Islam

Kalau menyimak sejarah pertumbuhan dan perkembangan lembaga-


lembaga pendidikan Islam di Indonesia, kiranya dapat dikaji kembali
pemikiran dan usaha KH. Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantoro dan
Muhammad Syafi’ie dalam pembaharuan pendidikan, baik sistem, isi
maupun metodenya. Pada waktu itu, menurut pengamatan dan pemikiran
mereka, sistem, isi dan metode pendidikan yang dimiliki oleh umat Islam
kurang berhasil guna, kurang dapat mendatangkan akibat atau memberikan
pengaruh (efektif) bagi kehidupan umat dan masyarakat Indonesia, karena
tidak lagi sesuai dengan situasi setempat dan kebutuhan zaman. Untuk
menjawab tantangan itu didirikan sekolah yang di dalamnya mengajar
pelajaran umum dan pelajaran agama. Herry J. Benda dalam Bulan Sabit
Matahari Terbit menulis tentang model sekolah yang dikembangkan KH.
A. Dahlan: “sekolah-sekolahnya termasuk beberapa yang bahkan memakai
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar mengajarkan silabus modern
yang memasukkan pendidikan umum dan pendidikan gaya Barat maupun
pengajaran agama yang berdasarkan pelajaran bahasa Arab dan tafsir Al-
Qur’an“ (Herry J. Benda, 1970). Bahkan ada yang memakai nama yang
dipakai oleh pemerintah kolonial Belanda, seperti: HIS Muhammadiyah
yaitu sekolah rendah atau dasar Belanda untuk bumi putra.
Dari hasil studi Amir Hamzah Wiryosukarto menunjukkan
bahwa, langkah-langkah yang diambil Kyai Dahlan tersebut merupakan
pelaksanaan cita-cita ingin membentuk manusia Muslim yaitu: a). Baik
budi, alim dalam agama; b). Luas pandangan, alim dalam ilmu-ilmu
dunia (umum); dan c). Bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat
(Amir Hamzah Wiryosukarto, 1968).
Uraian tersebut kiranya dapat memberi gambaran kepada kita
tentang Kyai Dahlan sebagai pemimpin “gerakan Islam” menetapkan
tujuan pendidikan dan melaksanakannya dalam sistem kolonial Belanda.
Barangkali yang paling menarik dari semua itu ialah keberaniannya
menyebal dari formalisme dan konservatisme yang pada waktu itu
sudah mengeras. Di sini pula kita melihat penetapan tujuan atas dasar
pendekatan terpadu-historis, scientific, dan normatif-filosofis sehingga
fungsinya jelas dan mampu melahirkan suatu orientasi yang cukup
representatif untuk waktu itu. Dan dengan tujuan itu Kyai Dahlan secara
kongkrit ingin memadu antara pengertian iman dan amal shaleh, yaitu

124
BAB 4 – Tujuan Pendidikan Islam

kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yang menjadi satu-satunya


tujuan hidup dan sentral pengabdian diri dan perbuatan yang sejalan
dengan harkat kemanusiaan dan meningkatkan kemanusiaan. Islam
menurut Kyai Dahlan adalah agama iman dan amal shaleh, dan menurut
Kyai. AR. Fakhrudin (mantan ketua umum PP Muhammadiyah)
mengatakan Islam agama kemajuan.
Kontekstualisasi pendidikan dengan persoalan hidup adalah
niscaya, sebagaimana keniscayaan kontekstualisasi pemahaman dan
pengamalan ajaran sosial Islam. Kontekstualisasi pendidikan dengan
persoalan zaman berarti melakukan pilihan-pilihan rasional (rational
choice) terhadap berbagai aspek kehidupan yang paling strategis
terutama yang belum tergarap oleh yang lain. Apa yang dilakukan Kyai
Dahlan menggambarkan hal ini. Di saat sebagian besar energi umat
digunakan untuk mengembangkan pesantren dengan orientasi-orientasi
perjuangan politik non kooperatif atau perjuangan fisik, Kyai Dahlan
justru mengembangkan sekolah modern dengan orientasi perjuangan
kebudayaan. Bagi Kyai Dahlan, persoalan bangsa tidak dapat diselesaikan
hanya dengan pendekatan politik dengan kader-kader politik, tetapi
juga dengan pendekatan kebudayaan melalui kader-kader profesional.
Disinilah letak kecerdasan dan sekaligus keberanian Kyai Dahlan dalam
melakukan ijtihad sosialnya dan ditindak lanjuti dengan mendirikan
sekolah, rumah sakit dan panti-panti asuhan. Pilihan terhadap ketiga
lembaga tersebut menurut Kyai Dahlan merupakan infrastruktur bagi
terwujudnya manusia ideal yaitu manusia yang: a). Baik budi, alim
dalam agama; b). Luas pandangan, alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum);
dan c). Bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat (Amir Hamzah
Wirjosukarto, 1968).
Apa yang dilakukan Kyai Dahlan tersebut barangkali didasarkan
teguran Allah terhadap kaum Muslimin pada zaman Rasulullah yang
terlalu larut dalam perjuangan fisik (medan pertempuran). Teguran
Allah tersebut tertuang dalam surat At-Taubah ayat 122 bahwa “Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semua (ke medan
pertempuran). Mengapa tidak pergi dari tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang al-
din, dan untuk memberi peringatan kepada kaum apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga diri” (QS. at-
Taubah: 122).
125
Pendidikan Islam

Ini berarti banyak cara untuk menuju Allah atau memperjuangkan


agama Allah. Umat Islam tidak dibenarkan menjadikan dunia politik
(kekuasaan) sebagai satu-satunya strategi perjuangan. Karena perjuangan
politik tanpa dibarengi dengan perjuangan pada aspek-aspek lain
seperti ekonomi dan sosial budaya (pendidikan, kesehatan, informasi,
hukum dan lain sebagainya) justru akan menimbulkan konflik yang
berkepanjangan. Sebab dalam politik itu memiliki paradigma yang
kontras seperti kawan vs lawan dan kalau sudah tidak ada lawan, kawan
pun dijadikan lawan. Tidak ada kawan dan lawan yang abadi, melainkan
yang ada adalah kepentingan abadi.
Perjuangan kebudayaan melalui pendidikan sudah sepatutnya
mendapat perhatian besar umat Islam kapan pun dan di mana pun juga,
karena perjuangan kebudayaan berlaku secara evoklutif dan substantif.
Artinya, dengan bahasa yang vulgar, perjuangan kebudayaan tidak
mengenal kata berakhir.

D. HAMBATAN DALAM MENCAPAI TUJUAN


Bila di muka telah dikemukakan makna dan fungsi tujuan pendidikan,
bagaimana pandangan Islam tentang hal ini, dan pokok strategi yang
ditempuh oleh para pejuang pendidikan pada masa pemerintah Kolonial
Belanda, maka bagaimanakah rumusan tujuan pendidikan Islam dan
pokok-pokok strategi pelaksanaannya dalam sistem pendidikan nasional
sekarang ini?
Pendidikan nasional adalah pelaksanaan pendidikan suatu negara
berdasarkan sosio kultural, sosio psikologis, sosio ekonomis, dan sosio
politis suatu bangsa. Pusat orientasinya adalah demi eksistensi dan cita-
cita bangsa dan negara yang bersangkutan baik jangka pendek maupun
jangka panjang (Moh. Nur Syam, 1976). Untuk mewujudkan pendidikan
nasional tersebut, pemerintah republik Indonesia telah diberi amanat
oleh para pendiri republik ini sebagaimana tertuang dalam UUD
1945 Pasal 31 ayat 2 yang berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan
undang-undang”. Sebagai realisasi dari amanat tersebut pemerintah
menyusun undang-undang sistem pendidikan nasional, yang mengatur
secara lebih rinci tentang: dasar, tujuan dan sistemnya.

126
BAB 4 – Tujuan Pendidikan Islam

Undang-undang yang mengatur tentang hal ikhwal pendidikan


nasional yang pertama berhasil ditetapkan adalah Undang-Undang No.
4 Tahun 1950. Karena faktor politik, dimana Indonesia masih berbentuk
Republik Indonesia Serikat (RIS), maka undang-undang tersebut belum
dapat berlaku secara nasional. Dan setelah Indonesia kembali sebagai
negara kesatuan, maka untuk memberlakukan undang-undang tersebut
secara nasional, maka diundangkan kembali dengan Undang-Undang
No. 12 Tahun 1954.
Berkenaan dengan perubahan sosial politik yang terjadi setelah
ditetapkannya undang-undang itu terutama dengan berakhirnya
pemerintahan “orde lama” yang diikuti dengan pembubaran PKI (Partai
Komunis Indonesia), maka kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai
pendidikan mengalami banyak perubahan, yang asas pelaksanaannya
dituangkan dalam ketetapan-ketetapan MPRS dan MPR yang hampir
setiap lima tahun diperbaharui. Dan akhirnya pada tahun 1989,
pemerintah berhasil menyusun undang-undang pendidikan dengan
nama Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun
1989, dan kemudian diperbaharui menjadi UUSPN Nomor 20 Tahun
2003. Sampai seberapa jauh perubahan dan perkembangan yang
dialami oleh pendidikan nasional kita, itulah sebenarnya cerminan dari
perkembangan bangsa Indonesia.
Yang paling menarik dari seluruh pengalaman yang ada adalah
pergulatan yang terus-menerus terjadi antara kepentingan ideal dan
kepentingan praktis politis. Sehingga lembaga-lembaga pendidikan
nyaris menjadi lembaga-lembaga politik. Sementara itu proses pencarian
sistem pun terseret ke dalam arena pertentangan politik. Pancasila sebagai
dasar pendidikan nasional secara bulat memang tidak lagi menjadi
masalah, tetapi dengan timbulnya pergolakan dan pergeseran kekuatan
politik maka implementasinya pun berbeda-beda. Seperti dikemukakan
CE. Beeby: “officially, Pancasila appears to have equel importance, but, as
quides to action, there are tentions between than that alter from year to year
under the pressure of external events or with changes in the government”
(CE Beeby, 1977).
Setelah pemerintah orde baru berhasil menciptakan stabilasi
nasional dan pembangunan dalam batas-batas tertentu terlaksana di

127
Pendidikan Islam

semua sektor, pelaksanaan pendidikan nasionalpun mulai menampakkan


bentuknya yang jelas. Demikian juga setelah terjadi reformasi di segala
bidang terutama diundangkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional yang baru yang antara mengamanatkan anggaran 20% untuk
bidang pendidikan, dunia pendidikan diharapkan menjadi ujung
tombak pembangunan bangsa (nation building). Memang agaknya sudah
merupakan ciri dari negara-negara yang sedang berkembang (baru),
bahwa sistem pendidikan nasional masih terus mencari bentuknya, dan
tentu hal ini mengandung polemik dari berbagai pihak. Havelock dan
Huberman menulis bahwa: “There is particular evidence in new nations
than educational system must be possible: (a) to create a sense of national
identitiy through the teaching of history an currend events; (b) to provide
a common written and spoken language where none may have existed
previously; (c) to instill to common set of political and social values; and (d)
to proviide the spesifik sets of technical skills which will allow a balanced
and integrated economy to come into being” (Havelock, Rg. & Huberman,
1977).
Sejalan dengan hal tersebut, yaitu setelah pemerintah berhasil
memantapkan stabilitas politik yang puncaknya ditetapkannya Pancasila
sebagai satu-satunya azas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
pada pertengahan dasawarsa 80-an dan pembangunan dapat berjalan
secara lancar termasuk di bidang pendidikan, maka pada tahun 1989
pemerintah berhasil menetapkan Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UU-SPN) No. 2 Tahun 1989. Dan pada tahun 2003 undang-
undang tentang Sistem Pendidikan Nasional berhasil direvisi dan
diundangkan kembali Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Undang-
undang ini pun dapat ditetapkan setelah mengalami polemik dan
pergulatan yang alot dari berbagai pihak yang tampaknya mempunyai
kepentingan berbeda. Dalam hal ini dapat dipahami dan sekaligus
mencerminkan betapa strategisnya pelaksanaan pendidikan baik bagi
pihak-pihak tertentu maupun bagi pemerintah (penguasa) dan bangsa
pada umumnya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka kebijakan dalam pendidikan
nasional di bidang pendidikan yang meliputi asas, tujuan maupun
sistemnya dapat dilihat dalam rumusan UU-SPN Bab I Pasal 39 dan

128
BAB 4 – Tujuan Pendidikan Islam

Bab II Pasal 2, 3 dan 4 sebagai berikut: “Pendidikan nasional adalah satu


keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang
berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan
pendidikan nasional”. “Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Dari rumusan UUSPN tersebut, kiranya tidak ada perbedaan apalagi
pertentangan dengan dunia cita pendidikan menurut pandangan Islam.
Yang menjadi tema sentral perhatian dan pemikiran kita sekarang ialah
justru pada: Pertama, ada tidaknya kemampuan dan keberanian umat
Islam melakukan perombakan dan pembaharuan lembaga-lembaga
pendidikan yang dimiliki atau yang ada sekarang ini baik isi, kelembagaan
maupun sistem dan metodenya. Jika pada zaman penjajahan KH. A
Dahlan mampu menembus sistem sosial politik dan budaya yang jelas-
jelas tidak memihak pada perkembangan Islam di bumi Nusantara
ini, logikanya pada zaman kemerdekaan lebih-lebih era reformasi dan
keterbukaan ini semakin terbuka peluang untuk itu. Kedua, seberapa
jauh umat Islam merasa aman dan ikut memiliki Indonesia ini dalam arti
seluas-luasnya. Agaknya kalau terasa ada hambatan kemungkinan justru
hambatan internal umat Islam sendiri. Paling tidak umat Islam kurang
mampu mencairkan nilai-nilai ajaran Islam dalam dinamika sosial
politik dan budaya Indonesia yang tentunya semakin terbuka persaingan
kualitatif antar komponen bangsa. Kalau pergumulan umat Islam dalam
mewujudkan sistem pendidikan nasional (sebagaimana dalam USSPN
No. 2 Tahun 1989) masih ada yang belum merasa terwakili cita-citanya,
sementara itu yang dicita-citakan (yaitu sistem pendidikan yang benar-
benar Islami) juga belum jelas, akibatnya sebagai penduduk mayoritas
akan terus merasa minoritas dalam peran dan lebih dari itu merasa tidak
at home dalam rumah sendiri.
Sebagai jalan keluar untuk merealisasikan tujuan pendidikan
tersebut adalah tidak ada alternatif lain kecuali umat Islam terus-
menerus melakukan ijtihadnya, membangun etos berpikir dan bekerja

129
Pendidikan Islam

keras. Apa yang dulu pernah dilakukan oleh A. Mukti Ali dengan SKB
tiga menterinya, gagasan Link and math Wardiman Joyonegoro, apa yang
sekarang dilakukan oleh para Cendikiawan Muslim khususnya yang
tergabung dalam ICMI, dan reformasi di segala bidang pada pasca Orde
Baru, merupakan modal dan sekaligus sebagai antisipasi positif dalam
memasuki era baru, millenium ketiga. Sekali lagi, kalau sekarang ini
dirasakan ada peluang dan iklim sosial politik yang semakin kondusif
bagi perkembangan kualitatif umat Islam, maka adalah paling tepat
untuk memulainya berbuat nyata dengan berbagai model eksperimentasi.
Kemauan untuk membuat proyek “uswah hasanah” seperti sekolah,
madrasah dan pesantren unggulan dan lain sebagainya merupakan
sebuah keniscayaan dalam rangka memantapkan posisi dan peran umat
Islam. Juga tidak kalah penting, memasuki mellenium ketiga, umat Islam
punya lembaga kajian sains dan teknologi, kajian strategis dan pusat-
pusat kebudayaan sebagai penyangga tegaknya lembaga pendidikan yang
berkualitas.
Apa yang dikemukakan penulis tersebut adalah bentuk-bentuk
alternatif dan masih banyak alternatif-alternatif lain yang dapat ditempuh
di dalam mengembangkan pendidikan, yang lebih relevan dengan
tuntutan kebutuhan masyarakat. Sebab pendidikan adalah sebuah
kekuatan yang paling strategis dan harus senantiasa konteks dengan
masyarakatnya. Pendidikn harus mampu membekali peserta didiknya
kecakapan nyata untuk menyongsong hari esok dan untuk menghadapi
setiap perubahan. Pendidikan harus steril dengan kepentingan politik
praktis, dan tidak terlalu bersifat ideologis. Kecenderungan dari praktik
pendidikan yang terkontamisasi oleh politik praktis dan ideologis adalah
melupakan misi dan fungsi substantif dari pendidikan sendiri. Tentunya
kita tidak ingin melihat lagi generasi umat mendatang terseok-seok
pertumbuhannya dan terbelenggu oleh kebanggaan semu karena janji-
janji politik dan ideologis yang menipu.

130
BAB
BAB1

5
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

Pada konteks bab ini, penulis mencoba untuk melakukan eksplorasi


pemikiran tentang kerangka nilai yang perlu menjadi bagian substansial
dalam kurikulum pendidikan Islam. Kerangka nilai yang bersifat
normatif tersebut menjadi landasan konsep perekayasaan potensi atau
masa depan peserta didik untuk tetap pada alur etik-normatif doktrin
Islam. Oleh sebab itu, anatomi pendidikan Islam perlu untuk memiliki
seperangkat isi atau bahan yang akan ditransformasikan kepada peserta
didik agar menjadi milik dan kepribadiannya sesuai dengan idealitas
Islam, sehingga bentuk kurikulum pendidikan Islam perlu dirancang
dengan desain yang sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai asasi ajaran
Islam (Minarti, 2013: 106).
Walaupun pada sisi yang lain, pendidikan Islam terkadang masih
kurang cepat dalam merespon arus perubahan masyarakat yang terus-
menerus bergulir seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan tehnologi, sehingga gerak formulasi diri pendidikan Islam sebagai
suatu sistem pendidikan paripurna menjadi suatu adagium utopis yang
problematis di kalangan umat Islam sendiri yang sering berbenturan
dengan kenyataan empiris umat. Inilah yang oleh Qomar (2014: 184)

131
Pendidikan Islam

dikatakan bahwa hingga saat ini pertumbuhan dan perkembangan


pendidikan Islam belum mampu menunjukkan kemajuan yang
memuaskan yang bisa untuk menawarkan teori-teori atau konsep-konsep
yang bisa diandalkan, dan ia juga belum mampu menunjukkan contoh
riil mengenai model manajemen pendidikan alternatif dengan parameter
nilai-nilai Islam.
Tragisnya, pendidikan Islam lebih memfokuskan dirinya pada pola
pengembangan ilmu-ilmu humaniora dan sosial yang dibungkus dengan
nilai-nilai doktrin Islam sebagai frame utamanya. Sedangkan ilmu-ilmu
eksakta seperti fisika, biologi, atau kimia menjadi fokus kajian sekunder
tanpa melihat sisi urgensitas dan kemutlakkan ilmu-ilmu tersebut dalam
pengembangan tehnologi canggih. Padahal Islam secara etis-normatif
tidak pernah memisahkan ilmu pengetahuan secara diametral-dikotomis
antara yang bersifat keduniawian maupun keakhiratan, tetapi ia hanya
memisahkan ilmu pengetahuan secara klasifikasi-dualitas.
Hal-hal tersebut akhirnya berimbas pada konstruksi kurikulum
pendidikan Islam yang parsial dan fregmentalis serta melahirkan output
pendidikan yang tidak otoritatif, kapabel, dan cenderung berorientasi
pada dimensi ukhrawi semata dengan mereduksi aspek humanisasi yang
seharusnya menjadi salah satu tujuan akhir pendidikan Islam. Karena
itu, sudah saatnya untuk melakukan rekonstruksi anatomi kurikulum
pendidikan Islam dengan melihat kembali arus utama pandangan Islam
tentang ilmu pengetahuan yang berlandasakan pada ketinggian akhlaq
yang bersumber dari ajaran Islam.

A. PANDANGAN ISLAM TENTANG ILMU


PENGETAHUAN
Dalam perspektif sejarah, filsafat dikatakan sebagai the mother of science
atau induk dari segala ilmu pengetahuan. Will Duran misalnya, dalam The
History of Philosophy sebagaimana dikutip Jujun (1987) mengemukakan
bahwa: “Tiap ilmu dimulai dari filsafat dan diakhiri dengan seni”. Ilmu
fisika pada awalnya bernama natural philosophy, ilmu ekonomi bernama
moral philosophy dan ilmu sosial pada mulanya disebut sebagai “fisika
sosial” di mana karakteristik ilmu fisika dipakai untuk memahami

132
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam

fenomena sosial (Johnson, 1993). Persoalannya adalah, benarkah filsafat


dikatakan sebagai the mother of science? Jawaban dari pertanyaan ini
boleh positif dan boleh juga negatif tergantung paradigma yang dipakai

1. Paradigma Ilmu Bebas Nilai


Apakah ilmu itu bebas nilai? Bagi ilmuwan yang menganut paradigma
positivistik tentunya akan mengiyakan atau memberikan jawaban positif
atas pertanyaan tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh Syari’ati
(1987), Filsafat Humanisme Antroposentris, menempatkan manusia
dalam posisi sentral dan menentukan dalam sistem jagad raya. Sejarah
Humanisme Antroposentris ini didasarkan atas konflik kepentingan yang
berkepanjangan antara “Tuhan” yang dipersepsi sebagai mendominasi
dan mengungkung kebebasan manusia, dengan kemauan manusia untuk
membebaskan diri dari kekangan dan dominasi Tuhan. Akan tetapi,
manusia menyatakan diri sebagai pemenangnya dalam konflik itu, dan
menyatakan “Tuhan” telah mati sehingga manusia memproklamirkan
kemerdekaannya dari “penjajahan” Tuhan. Nilai baik-buruk, benar-
salah, dan kaya-miskin serta bahagia-susah ditentukan sepenuhnya oleh
manusia berdasarkan hati nuraninya atau akal sehatnya. Pada tahap
berikutnya lahirlah filsafat Liberalisme-Individualisme di bidang politik
dan Kapitalisme di bidang ekonomi.
Pemikiran bahwa nilai baik buruk didasarkan pada hati nurani dan
akal sehat memang menawan dan sepintas segera dapat dipertanggung
jawabkan, sehingga gerakan ini segera mendapatkan sambutan yang
luar biasa besarnya terutama di Eropa Continental. Dampak lebih lanjut
dari gerakan ini adalah lahirnya zaman enlighment di Eropa. Akan tetapi
kenyataannya, dalam menentukan yang benar dan yang salah, hati
nurani dan akal sehat tidak dapat mandiri dalam mengambil keputusan
dan menggantungkan pada kerja panca indra. Padahal panca indra
seringkali memberikan informasi yang bias, baik karena dipengaruhi
oleh nafsu (subjektivitas) dan suasana hati. Rene Descartes dalam hal ini
mengatakan bahwa indra dapat menyesatkan sebagaimana dalam mimpi
dan khayalan. Dia lantas berpaling kepada Tuhan, tetapi lantas ia pun
meragukan Tuhan karena ia menganggap bahwa Tuhan pun bisa menipu
manusia. Atas dasar itu, lantas Descartes kembali kepada pikirannya

133
Pendidikan Islam

sendiri dan mengatakan bahwa: cogito, ergo sum (saya berpikir, karena
itu saya ada) (Jujun, 1989). Itulah sebabnya keputusan baik-buruk yang
semata-mata didasarkan pada hati nurani dan akal sehat tidak mampu
melahirkan universalitas etik. Dari sinilah barangkali lantas Maxiavelly
menawarkan adanya “relativitas ethik”, sebagai konsekuensi lebih lanjut
dari humanisme antroposentris itu.
Pemikiran yang mengatakan bahwa filsafat merupakan proses
kerja akal sebagai mother of science dapat dipahami sebagai dampak
dari humanisme antroposentris itu. Dan karena manusia sendiri sadar
bahwa hati nurani dan akal manusia tidak mampu melepaskan diri
dari “relativitas etik” yang sifatnya subjektif, maka ilmu secara metafisik
dinyatakan sebagai bebas nilai. Yaitu bebas dari nilai-nilai subjektif
atau nilai-nilai moral dan sebaliknya tetap berpegang pada objektivitas
kebenaran ilmiah. Kebenaran menurut siapa? Kebenaran menurut
kesesuaiannya dengan alam (naturalisme), kegunaan (pragmatisme),
menurut kesesuaian antara pernyataan dan kenyataan (korespondensi),
menurut nilai-nilai yang ada yang dianggap baik (perennialisme) dan
kecenderungan gerak dan perbuatan (progresifisme).
Penulis mengakui bahwa filsafat humanisme antroposentris dan konsep
ilmu yang bebas nilai (value free) mampu membuat ilmu pengetahuan
berkembang pesat meluas serta mendalam dan telah meninggalkan
induknya, filsafat. Akibatnya suatu cabang ilmu telah memiliki berbagai
cabang (terspesialisasi) sedemikian rupa yang mengakibatkan masing-
masing disiplin terpisah satu dengan lainnya, walaupun masih dalam
rumpun ilmu yang sama. Terjadi pengkaplingan ilmu pengetahuan dan
masing-masing “kapling” bertahan dalam keangkuhan masing-masing,
dimana masing-masing ilmu menjadi sangat teknis. Ilmu-ilmu eksakta
merasa lebih penting dan lebih tinggi nilainya dibanding dengan ilmu-
ilmu sosial dan atau humaniora. Bahkan keangkuhan itu terjadi dalam
disiplin ilmu serumpun misalnya kedokteran gigi menganggap lebih
penting dari THT, walaupun sebenarnya ahli gigi juga mengetahui
fungsi tenggorokan. Dalam rumpun ilmu sosial, keangkuhan juga
terjadi misalnya yang paling penting dalam suatu negara adalah
ilmuwan ekonomi karena pembangunan seringkali dikonotasikan
dengan pembangunan ekonomi, sementara ilmuwan politik, hukum dan

134
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam

mungkin juga agama masing-masing merasa sebagai yang paling penting


dan paling berjasa. Hal ini seakan-akan membenarkan pandangan Jujun
(1987) bahwa mereka bagaikan katak dalam tempurung atau mereka
menggunakan kaca mata kuda dalam melihat realitas sosial.
Yang menjadi persoalan sebenarnya bukan pada keterpisahan dari
berbagai disiplin, karena hal ini merupakan konsekuensi diri ke dalam
kajian suatu ilmu, melainkan terletak pada terlepasnya dimensi moral
dan ide moral atau fungsi yang paling hakiki dari ilmu itu sendiri,
yaitu untuk kesejahteraan umat manusia. Ilmu ekonomi menekankan
bagaimana mendapatkan keuntungan dan mengajarkan keserakahan,
ilmu politik bagaimana mendapatkan kekuasaan dan pemaksaan. Di
bidang teknologi misalnya lebih menekankan bagaimana mengeksploitasi
resource alam dan manusia, dan di bidang kedokteran menekankan
bagaimana “mengeksploitasi” jasad manusia. Persoalan cara bagaimana
mendapatkan dan untuk apa semua itu, bukan wilayah ilmu melainkan
wilayah kebudayaan atau menyangkut human being dengan pilihan-
pilihan moralnya (Koento Wibisono, 1989). Ilmu hanya mengajarkan
kearifan atau bahkan ilmu berintikan kepada metode dan bukan dogma
(Rahardjo, 1993).
Karena itulah ilmu menggunakan pendekatan positivisme dalam
metodologinya, di mana menurut Slamet Iman Santoso (1984), positivisme
memiliki empat ciri yang dinyatakan dalam istilah: MERK (materialisme,
empirisme, rasionalisme dan kuantitatif). Positivisme sebagai pendekatan
dari metodologi keilmuan, bukan saja sebagai pendekatan dari metodologi
keilmuan, bukan saja merasa yang paling sempurna sebagaimana
dikemukakan oleh Comte (Johnson, 1983), tetapi juga menyerang aliran
lain misalnya aliran filsafat. Sifat-sifat aliran positivisme dikemukkan oleh
Sadr (1991) sebagai berikut:
a). Tidak mungkin mengukuhkan proposisi filsafat, sebab subjek-
subjek yang dikajinya berada di luar batas-batas eksperimen dan
pengalaman manusia.

b). Kita tidak mungkin menggambarkan kondisi, yang jika dimiliki,


maka proposisi itu benar, dan kalau tidak maka proposisi itu salah
sebab tidak terdapat perbedaan dalam konsep aktualitas apakah
filosofis itu benar dan salah.
135
Pendidikan Islam

c). Karena itu, proposisi filosofis tidak bermakna, karena ia tidak


memberikan informasi tentang alam.

d). Berdasarkan itu semua, tidak dibenarkan untuk melukiskan proposisi


filosofis sebagai benar atau salah.

Tentu saja pendekatan positivisme dalam metode keilmuan di samping


memiliki kekurangan ada juga kelebihannya. Kelebihan itu antara lain:

a). Pendekatan positivisme telah mampu menjadikan ilmu pengetahuan


berkembang pesat, karena prinsip ilmu yang“bebas nilai” atau bebas
dari keterikatan moral, dan sebaliknya hanya terikat pada kode etik
ilmu pengetahuan telah menyebabkan perjalanan ilmu
berjalan mulus.

b). Memberikan kebebasan dan rangsangannya kepada ilmuan untuk


berlomba-lomba menemukan dan mengembangkan metode baru,
baru guna mengoreksi, melengkapi atau menguatkan ilmu atau
metode yang sudah ada.
Sedangkan kelemahan-kelemahan positivisme sebagaimana
dikemukakan oleh Ayer (dalam Sadr, 1991), seorang tokoh positivisme
logika modern di Inggris yang mengemukakan bahwa “Gagasan
kebenaran dan kesalahan hanya mengandalkan kemampuan indrawi”. Jadi
tolok ukur (parameter) yang pasti adalah keselarasan antara manifestasi
fakta dengan kemampuan indrawi dalam menela’ah, memahami, dan
mengurainya. Sebaliknya, jika manifestasi fakta tidak bisa diurai, ditelaah,
dan dipahami dengan kemampuan indrawi maka hal tersebut dikatakan
sebagai suatu kesalahan dalam ilmu pengetahuan.

2. Paradigma Ilmu Tidak Bebas Nilai


Kalau antroposentris telah terbukti dalam sejarahnya berhasil menjadikan
ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat, pertanyaan yang sama dapat
kita ajukan pada pemikiran teosentrisme. Mungkinkah ilmu pengetahuan
berkembang atau dapat dikembangkan oleh orang yang pola pikirnya
didominasi teosentrisme? Bukankah pola pemikiran teosentrisme meyakini
sesuatu terlebih dahulu baru kemudian membuktikan kebenarannya serta

136
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam

menuntut orang untuk bersifat skeptis, ragu dan menantang “keharusan


universal” untuk dicari sampai pada sebab yang terakhir? Bukankah dalam
sejarah Islam dominasi teosentrisme Al-Ghazali (baca: semitisme) atas
antroposentrisme Ibnu Rusyd (baca: hellinisme) berhasil membekukan
tradisi pemikiran keilmuan umat Islam ke dalam sufisme dan mistisisme,
sementara helinisme Ibn Rusyd mampu menyulut revolusi ilmu pengetahuan
di Eropa? Pertanyaan-pertanyaan yang bernada menggugat teosentrisme
dalam hubungannya dengan epistemologi sebenarnya masih dapat
disambung lagi, seperti misalnya pendapat Agus Comte tentang tahap-tahap
perkembangan masyarakat, pemikiran-pemikiran Karl Marx tentang kelas
dan kepemilikan dan lain-lain yang pada intinya menggugat teosentrisme.
Persoalan berikutnya yang dapat diajukan adalah seberapa jauh
keberadaan pemikiran teosentrisme dapat dipertanggung jawabkan
secara nalar atau bahkan secara positivistik?, dan seberapa jauh
keabsahan pola pemikiran teosentrisme dapat dipertanggung jawabkan
secara naqli? Jangan-jangan pola pemikiran teosentrisme itu hanya
sebuah pelarian dari manusia-manusia yang mengalami kekecewaan dan
frustasi yang dalam bahasa Marx dikatakan sebagai diri yang teraliansi?
Atau teosentrisme merupakan suatu ideologi dari orang-orang yang
malas berpikir?
Sebagaimana diketahui bahwa teosentrisme adalah suatu paham
yang menempatkan Tuhan sebagai sentral dalam sistem kehidupan ini
bukan hanya dalam penciptaan dan kekuasaannya, tetapi juga dalam
segala aktivitas manusia termasuk upaya manusia menggali ilmu
pengetahuan. Manusia berusaha memohon petunjuk Tuhan bukan hanya
dalam memikirkan tentang hakikat sarwa sekalian alam (ontologi) dan
dalam menggunakan fasilitas yang diberikan alam (aksiologi), tetapi juga
dalam proses menggali dan menemukan ilmu pengetahuan alam atau
bagaimana mendapatkan ilmu pengetahuan (epistemologi) (al-Faruqi,
1982). Menurut pola pemikiran teosentrisme, adanya penyimpangan
dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan, misalnya untuk peperangan dan
pengrusakan, bukan hanya dikarenakan oleh human being-nya, tetapi
juga terletak pada paradigma yang digunakan yaitu materialisme sehingga
ilmu pengetahuan yang digunakan adalah materialisme juga. Ilmu
pengetahuan dengan demikian yang secara metafisis bebas nilai. Ilmu

137
Pendidikan Islam

ekonomi mengajarkan keserakahan dan ilmu politik pada kekuasaan dan


tidak terkandung di dalamnya misalnya tentang keserasian dan keadilan
antara sesama manusia.
Atas dasar itulah beberapa kalangan tertentu misalnya: Ismail Raji
al-Faruqi (Amerika Serikat), yang didukung oleh Syekh Muhammad al-
Naquib al-Attas (Malaysia) dan AM. Syaifuddin (Indonesia) mengajukan
gagasan tentang perlunya Islamisasi ilmu pengetahuan. Paradigma yang
digunakan adalah tauhid baik dalam metodologinya, strateginya, data-
datanya, problem-problemnya, tujuan-tujuannya maupun aspirasinya.
Paradigma tauhid harus menjadi dasar minimal dalam tiga hal: Pertama,
kesatuan ilmu pengetahuan, sehingga tidak ada dikotomi secara vis a
vis antara ilmu-ilmu rasional dan yang non rasional atau supra rasional;
Kedua, kesatuan hidup, sehingga tidak ada lagi dikotomi secara vis a vis
antara ilmu yang bebas nilai dengan yang sarat nilai; dan Ketiga, kesatuan
sejarah, maksudnya semua disiplin ilmu bersifat ummatis dan humanis,
tidak ada sains-sains yang bersifat individual dan sains-sains yang bersifat
sosial.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh untuk mewujudkan
paradigma tauhid yang pada gilirannya akan mengIslamkan ilmu
pengetahuan tersebut menurut Faruqi adalah: Pertama, penguasaan disiplin
modern yang difokuskan pada penguraian kategoris; Kedua, survey disiplin
ilmu, yang berusaha memahami ilmu-ilmu modern mulai dari paradigma
yang dipakai sampai tokoh-tokohnya; Ketiga, penguasaan tentang hakikat
ilmu-ilmu keIslaman; Keempat, analisa khazanah ilmu-ilmu keIslaman;
Kelima, penentuan relevansi Islam dengan yang khas terhadap disiplin-
disiplin ilmu; Keenam, penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern
dalam konteks kekinian; Ketujuh, penilaian kritis terhadap khazanah Islam
dalam konteks kekinian; Kedelapan, survey terhadap permasalahan yang
dihadapi umat Islam; Kesembilan, survey permasalahan yang dihadapi
umat manusia; Kesepuluh, analisa kreatif dan sintesa; Kesebelas, penemuan
kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam; dan Kedua belas,
sosialisasi ilmu-ilmu yang telah diIslamkan.
Yang menjadi persoalan adalah, apakah gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan itu dapat diterapkan atau tidak, atau hanya impian

138
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam

orang-orang perfectionis, atau semata-mata lahir dari keyakinan akan


universalisme dan kosmopolitanisme Islam yang rahmatan lil’alamin dan
ya’lu wala yu’la ‘alaih? Kebenaran sebuah gagasan memang tidak hanya
dinilai benar salah atau absah atau tidak baik (salah; jelek) menurut nalar
maupun naqal, tetapi juga dinilai oleh sejarah, karena banyak orang
mengatakan bahwa the idea have a leg, atau ide itu punya kaki. Kebenaran
itu bagaikan virus yang cepat menjalar ke mana-mana walaupun banyak
orang memeranginya, sehingga sebuah kebenaran pasti akan menang
dalam sejarahnya. Al-Qur’an mengatakan waqul jaa-al haqqu wazahaqal
bathil innal athila kaana zahuqan, apabila datang kebenaran maka
hancurlah kebatilan, karena sesungguhnya kebenaranlah yang pasti
menang.
Menurut penulis, polemik seputar Islamisasi ilmu pengetahuan
itu lebih bersifat intelektual exercise semata. Ilmu itu tidak perlu
diIslamkan, karena secara epistemologi sudah mengikuti sunnatullah
yang diperlukan adalah spritualisasi human being. Artinya, sumberdaya
manusia sebagai subjek ilmu pengetahuan yang perlu untuk diarahkan
pada dimensi spiritualisasi paradigma. Di mana spiritualisasi paradigma
subjek ilmu pengetahuan akan membentuk landasan operasionalisasi
ilmu pengetahuan.

3. Filsafat Pancasila dan Filsafat Pendidikan


Antara filsafat hidup dengan filsafat pendidikan memiliki hubungan yang
erat dengan bentuk relasi implikatif. Walaupun dalam oprasionalisasinya,
filsafat pendidikan seringkali dibentuk atau pengejawantahan lebih jauh
dari filsafat hidup yang dianut. Pancasila sebagai pedoman hidup pada
dasarnya merupakan akumulasi dari nilai-nilai filsafat hidup seluruh
bangsa Indonesia sebagai kesepakatan luhur, kalimatun sawa’ atau
common platform dari seluruh bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang
mayoritas beragama Islam, nilai-nilai luhur bangsa itu sangat dipengaruhi
oleh nilai-nilai Islam. Apalagi the founding father negara ini hampir semua
adalah orang-orang atau tokoh-tokoh Islam yang taat menjalankan
agamanya. Di samping itu sebagian dari pendiri bangsa ini mendapatkan
pendidikan di Barat atau pengaruh Barat. Sebab sebagaimana diketahui,
Barat dalam banyak hal menjadi kiblat atau acuan bagi pembangunan

139
Pendidikan Islam

negara-negara non Barat. Karenanya dalam Pancasila juga terkandung


nila-nilai Barat yang terformulasi dalam integralisasi pandangan hidup
bangsa Indonesia.
Dari uraian tersebut, ketika digambarkan dalam bentuk skema akan
tampak sebagai berikut:

Nilai-Nilai Islam

Pancasila
Nilai/Budaya Nilai-Nilai Barat
Nasional

Pendidikan nasional baik dasar filosofisnya, kebijakan dan praktek


pendidikan, kurikulum dan kegiatan belajar mengajar harus mengacu
pada nilai-nilai luhur Pancasila. Ini tidak berarti meninggalkan nilai-nilai
yang lain seperti agama dan budaya. Mengamalkan nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk di dalamnya dalam
kegiatan pendidikan, inkludit di dalamnya pengamalan ajaran agama
secara kontekstual, yaitu konteks keIndonesiaan dan kemoderenan atau
konteks kekinian dan masa depan. Sebab pengamalan ajaran agama
yang tidak kontekstual akan mengakibatkan kesulitan-kesulitan dan
pada gilirannya agama menjadi tidak fungsional. Dengan demikian,
kontekstualisasi nilai dan ajaran agama merupakan bagian integral dari
perintah agama itu sendiri.
Salah contoh adalah kontekstualisasi nilai-nilai Tauhid –sila satu:
Ketuhanan yang maha Esa yang perlu diimplementasikan secara idealistik
pada konteks keIndonesiaan dan kemodernan, sehingga ia terus-menerus
berdialog dengan realitas yang ada dan pada akhirnya ia sendiri turut
mewarnai dengan menjadi spirit pengaktualisasian sila-sila lain seperti sila
kemanusiaan yang adil dan beradab, pesatuan Indonesia, kedemokrasian
Indonesia, maupun keadilan sosial.

140
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam

B. PANDANGAN ISLAM TENTANG AKHLAK DAN


PERADABAN

1. Pentingnya Akhlak
Aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”, kurang
lebihnya demikian arti bunyi salah satu Hadits nabi Muhammad yang
sangat populer. Hadits ini pula yang menggambarkan misi Muhammad
diutus sebagai nabi dan rasul ke muka bumi ini, sehingga lazim jika pada
akhirnya semua dimensi dalam kenabian dan kerasulan Muhammad
bermuara pada penyempurnaan perilaku dan perbuatan konstruktif
umat antar sesamanya, alam, dan juga antara diri dengan Tuhannya. Di
mana, akhlak umat menjadi tolok ukur manifestasi keimanan mereka
pada kerangka keberagamaannya yang memiliki korelasi kuat dengan
derajat kemanusiaan dirinya sebagai khalifah dan abdullah.
Cara Rasulullah menyempurnakan akhlak itu dilakukan dengan
perbuatan nyata (uswah hasanah), ajakan dan ketetapan-ketetapan
Dengan demikian terbentuknya pribadi yang berakhlak, masyarakat
yang berakhlak, kekuasaan yang berakhlak merupakan salah satu tugas
utama Islam dan umatnya. Dalam konteks pendidikan, Salah satu tujuan
utamanya adalah pembentukan akhlak atau budi pekerti yang sanggup
menghasilkan orang-orang yang bermoral; yaitu jiwa yang bersih, rendah
hati, percaya diri, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam
tingkah laku dan perangai, bijaksana, berkemauan keras dalam belajar
dan sukses, bercita-cita mulia, tahu arti kewajiban dan pelaksanaannya,
menghormati hak-hak manusia, tahu membedakan yang baik dan yang
buruk, memilih perbuatan yang paling utama, senantiasa waspada
terhadap perbuatan tercela termasuk dalam memilih teman bergaul
dan senantiasa mawas diri atas posisinya sebagai kaum terpelajar dan
generasi masa depan. Dalam lingkungan sekolah atau kampus, orang
terpelajar tentunya ikut bertanggung jawab menjaga kebersihan dan
ketertiban kampus, berpakaian rapi dan sopan, menciptakan suasana
yang kondusif untuk belajar. Duduk-duduk yang bukan pada tempatnya
dan mengganggu orang lewat dan membiarkan pikiran kosong adalah
sebagian dari perbuatan tercela yang tentunya harus dihindarkan.

141
Pendidikan Islam

Pentingnya akhlak dalam Islam adalah nomor dua setelah iman.


Seseorang tidaklah dikatakan beriman kepada Allah kecuali ia berakhlak
mulia. Sebab di antara tanda-tanda iman yang paling utama terletak
pada akhlak yang mulia, dan di antara tanda-tanda nifak yang paling
menonjol adalah akhlak yang buruk. Di antara perhiasan yang paling
mulia bagi manusia sesudah iman, taat dan takut (kagum) kepada Allah
adalah akhlak yang mulia. Dengan akhlak ini terciptalah kemanusiaan
manusia dan sekaligus membedakannya dengan binatang. Dalam Al-
Qur’an terdapat 1.504 ayat atau hampir 1/4 keseluruhan ayat dalam Al-
Qur’an, yang berhubungan dengan akhlak baik dari segi teori maupun
praktis. Hal ini tidak berlebihan, sebab misi Nabi sendiri adalah
menyempurnakan akhlak yang mulia. Itulah sebabnya Allah secara tegas
menyatakan bahwa: “Engkau (Muhammad) benar-benar berada dalam
akhlak yang mulia” (QS. Al-Qalam: 4).
Ayat tersebut menganggap akhlak sebagai sifat Nabi yang paling mulia,
dan pujian yang paling tinggi yang diberikan kepadanya. Sebab akhlak nabi
Muhammad tiada lain adalah aktualisasi ajaran Al-Qur’an. Suatu ketika
Aisyah Ummul Mukminin r.a. ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah,
beliau berkata: “Akhlaknya (Muhammad) adalah Al-Qur’an”. Selanjutnya
Aisyah berkata: “Tidakkah engkau membaca, sesungguhnya engkau berada
dalam akhlak mulia”. Dalam surat Al-Mukminun digambarkan sebagian
dari akhlak mulia itu bahwa: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang
yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan
orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang
tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-
orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau
amat yang mereka miliki, maka sesungguhnya dalam hal ini mereka tiada
tercela. Barang siapa mencari dibalik itu, maka mereka itulah orang yang
melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat
(yang diembannya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara
sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yaitu)
surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Mukminun: 1-11).
Bahkan sebagaimana Hadits Rasulullah juga dilukiskan bahwa:“Tuhanku
telah berpesan kepadaku sembilan perkara, sekarang saya pesankan kepadamu:
Allah berpesan kepadaku agar berbuat ikhlas dalam keadaan terang-terangan

142
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam

ataupun rahasia, adil dalam keadaan gembira ataupun marah, berhemat


dalam keadaan kaya atau miskin, memaafkan kepada yang menganiaya,
memberi kepada yang telah menghalangi rizkiku, menghubungi orang yang
telah memutus hubunganku dengannya, diamku supaya menjadi pikiran,
ucapanku menjadi zikir, dan pandanganku supaya menjadi pelajaran”.
Dengan demikian jelas bahwa persoalan akhlak ini harus mendapatkan
perhatian utama dalam diri umat Islam. Karena Rasulullah sendiri
adalah orang yang memiliki moral dan akhlak yang tinggi sebagaimana
dikemukakan sendiri oleh Allah SWT: “Sesungguhnya Engkau memiliki
moral dan akhlak yang tinggi”.
Dan misi utama Rasulullah diutus Tuhan adalah untuk
menyempurnakan akhlak: “Bahwasanya aku diutus untuk menyempurnakan
budi pekerti”. Penyair besar Ahmad Syauqi juga menulis tentang perlunya
akhlak: “Suatu bangsa tetap hidup selama akhlaknya tetap baik, bila akhlak
mereka rusak niscaya sirnalah bangsa itu”. Dalam sebuah Hadits Qudsi
juga dikemukakan: Siapa yang Ku kehendaki kebaikan, Ku beri dia akhlak
yang baik, dan barang siapa Ku kehendaki keburukan, Ku beri dia akhlak
yang buruk,” (HR. Abusy-Syaikh, dari Ibnu Umar).
Orang yang memiliki kekuatan baik berupa ilmu, harta dan kekuasaan
tapi berakhlak tercela akan lebih berbahaya dari pada orang yang bodoh
dan berakhlak baik, sebab orang yang demikian akan memiliki nilai
destruktif yang lebih besar. Berbuat kesalahan secara struktural akan
memiliki dampak yang lebih luas dan ia lebih berbahaya daripada kesalahan
individual. Karena itu, penyimpangan akhlak atau prosedur yang dilakukan
oleh pejabat, pemimpin, kaum ilmuwan termasuk mahasiswa –baca
peserta didik- akan memberikan bobot keprihatinan yang lebih dalam.
Bukan saja karena mereka sebagai terdidik dan memiliki pertimbangan-
pertimbangan rasional yang matang, akan tetapi dampaknya jauh lebih
luas secara mikro bagi yang bersangkutan dan secara makro bagi umat dan
bangsa ini.
Pengutamaan aspek moral ini tidak berarti menomorduakan aspek
intelektual dan jasmaniah. Sebab pada tataran teoritis maupun praktis,
tidak boleh dipisahkan antara pengembangan intelektualitas dan moralitas.
Karena pengembangan intelektualitas pada hakikatnya menawarkan
berbagai pilihan jalan kehidupan. Dan pilihan mana yang perlu diambil,

143
Pendidikan Islam

keputusan tersebut menyangkut pilihan-pilihan moral, karena moralitas


mengajarkan yang terbaik dan fitrah manusiapun bersifat hanief atau
condong pada kebaikan itu sendiri.
Masalahnya adalah, ada kecenderungan dalam kehidupan manusia
untuk lebih mengutamakan aspek-aspek jasmaniah dan intelektual
daripada masalah moral. Karena yang terakhir ini (moral) lebih abstrak
dan memerlukan pengertian yang mendalam untuk memahami arti
pentingnya. Proses pendidikan seringkali juga mengalami pendangkalan
makna menjadi pengajaran yang bersifat transfer of knowledge yang bebas
nilai, dan bukan lagi interaksi edukatif yang sarat dengan nilai-nilai moral.
Padahal fungsi agama yang utama adalah sebagai petunjuk (hudan),
kabar gembira bagi yang berbuat kebajikan (basyiran), peringatan bagi
yang berbuat destruktif (nadziran) dan sebagai lampu penerang dalam
suasana kegelapan (sirajan muniran).

2. Islam Agama Peradaban


“Al-Islamu huwa al-dinu wa al-madaniyah, Islam adalah agama (doktrin)
dan peradaban. Masuklah kamu ke dalam Islam, niscaya kamu akan
menjadi beradab”. Postulasi normatif ini memberikan ruang yang sangat
lebar bagi umat untuk berkreasi dan berimproviasasi dalam kehidupannya.
Wajar apabila secara garis besar Al-Qur’an sebagai sumber otentik ajaran
Islam memberikan daya dorong yang luar biasa bagi peradaban manusia.
Ia (Al-Qur’an), secara terang menggemakan pernyataan yang amat
mendasar semangat memajukan peradaban. Karena itu tidak berlebihan
jika dikatakan bahwa “visi kultural” menempati takaran yang besar di
dalam Al-Qur’an. Dan apabila daya intelektual merupakan salah satu inti
kemampuan pencetus kebudayaan dari zaman ke zaman, serta kalau ilmu
pengetahuan merupakan pusat kekuatan kebudayaan, maka keduanya
(daya intelektual dan ilmu pengetahuan) menjadi muatan yang amat
padat.
Hal ini dapat ditangkap lewat makna yang tersurat dan tersirat
dari beberapa ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain: “Adakah orang yang
mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu
benar, sama dengan orang-orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang
berakal saja yang dapat mengambil pelajaran” (QS. Ar-Ra’d: 19); “Dan

144
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam

perumpamaan-perumpamaan ini kami buatkan untuk manusia; dan


tiada yang memahaminya, kecuali orang-orang yang berilmu” (QS. Al-
‘Ankabut: 43); “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf
seseorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata dan juga kepada kaum yang lain
dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dia-lah yang
Maha Perkasa dan Bijaksana. Demikianlah karunia Allah, diberikannya
kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah mempunyai karunia yang
besar” (QS. al-Jumu’ah: 2-4); atau juga ayat lain “Dan Kami turunkan
kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”
(QS. an-Nahl: 44).
Di lihat dari substansinya, yang membuat manusia mendapat gelar
ahsani taqwim atau sebaik-baik makhluk bukan hanya sifat, postur
tubuh, dan kegiatan-kegiatan yang ada padanya, melainkan keseluruhan
komponen yang dimiliki manusia. Di antara komponen kepribadian
itu dan yang merupakan esensi kemanusiaannya adalah: fitrah dan hati
nurani. Hati nurani sebenarnya juga merupakan bagian dari fitrah. Fitrah
membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung
kepada kebenaran (hanief) dan hati nurani adalah pemancar keinginan
kepada kebaikan, kebenaran, keadilan, kesucian, kasih sayang dan
harga diri. Fitrah yang secara esensi membentuk manusia dan secara
asasi membedakannya dengan makhluk-makhluk lain. Dan dengan
memenuhi hati nurani: berbuat adil, kasih sayang dan lain sebagainya,
seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati (ahsani
taqwim).
Sedangkan secara fungsionl, yang membuat manusia berkedudukan
tinggi melebihi makhluk lain, yaitu diberikannya amanat sebagai khalifah,
adalah disebabkan ia mampu mengelola dan memformat fenomena alam
melalui fitrahnya dan kerangka nilai (wahyu, ilham, kecerdasan akal),
untuk menciptakan peradaban. Karena itu, dalam kerangka pandang
Al-Qur’an, kemanusiaan manusia atau supremasi manusia ditentukan
oleh sejauh mana mampu mendayagunakan potensi yang dimiliki dan
potensi alam yang disediakan untuk menciptakan peradaban, dan bukan

145
Pendidikan Islam

karena semata-mata status formalnya sebagai khalifah rabb fi al-ardl.


Jabatan khalifah memang tinggi dan mulia, akan tetapi ketinggian dan
kemuliaan manusia bukan karena jabatannya melainkan fungsi dan
konstribusinya bagi peningkatan kualitas peradaban. Oleh karena itu
etos berbudaya atau berperadaban menempati takaran yang besar dan
lebih dari itu, peradaban yang dikehendaki oleh Islam adalah budaya
yang bermuara kepada peningkatan kualitas manusia atau budaya
yang ahsanu ‘amala, exellence. Sebagaimana firman Allah bahwa “Dan
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah
singgasana-Nya di atas air, kesemuanya itu sebagai penilaian siapakah di
antara kamu yang paling baik karyanya” (QS. Hud: 7).
Firman Allah tersebut secara implisit memerintahkan manusia
untuk berkarya dengan sebaik-baiknya, sebagaimana Allah juga
berkreasi menciptakan langit dan bumi sebagai karya yang sempurna,
dan membuat singgasana-Nya di atas air (istana terapung) sebagai simbol
peradaban tingkat tinggi. Manusia sebagai khalifah-Nya (wakil-Nya)
di muka bumi diperintahkan untuk mengambil pelajaran (mencontoh
dengan kreatif) perbuatan Tuhan yang exelence oriented itu dalam setiap
karyanya. Ditegaskan lagi bahwa Allah hanya menghargai karya yang
terbaik, yang sungguh-sungguh, yang didasari oleh ilmu pengetahuan.
Kalau pandangan tentang kebudayaan tersebut dihubungkan dengan
misi kerasulan Muhammad, yaitu untuk membangun pribadi-pribadi
yang berakhlakul karimah (menyempurnakan akhlak yang mulia) atau
ide moral (hikmah) diturunkan Islam di muka bumi yaitu rahmatan
lil’alamin, maka terdapat akwivalen antara profil orang yang berakhlak
mulia dengan atau rahmah dengan orang yang berperadaban. Orang
yang berakhlak mulia adalah orang yang mampu mendayagunakan
segenap potensi yang ada untuk melahirkan peradaban. Sebaliknya
orang yang berbudaya adalah orang yang berbudi pekerti mulia karena
mampu melahirkan peradaban, karena hakikat sebuah peradaban adalah
upaya manusia membebaskan dirinya dari segala situasi dan kondisi
yang menghalangi emansipasi dan pemenuhan kebutuhan manusia dan
martabatnya. James Watt dengan demikian adalah orang yang berakhlak
mulia karena hidupnya telah dipergunakan untuk meningkatkan harkat
kemanusiaan melalui penciptaan mesin uap. Demikian juga Thomas Alfa

146
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam

Edison adalah orang yang mulia karena karyanya berupa energi listrik
telah bermanfaat bagi kemanusiaan. Umar Bin Khatab adalah orang
yang berakhlak karena telah menciptakan pemerintahan dan sistem
pertahanan negara yang teratur dan modern. Albert Einstein, Alfred
Noble, Mohammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah (pendiri Pakistan)
Ir. Soekarno (Proklamator RI) dan mereka yang telah berkarya untuk
kemanusiaan adalah orang-orang yang berakhlak dalam pandangan
Islam, semoga Tuhan merahmati mereka.

3. Kebudayaan Islam Dalam Konteks


Dalam konteks sejarah, kemajuan umat Islam pada abad pertengahan
diawali dengan adanya etos berilmu, bekerja dan berbudaya yang tinggi
serta penghargaan atas prestasi budaya secara objektif dan tanpa apriori
dalam memandang sebuah peradaban. Orang yang pandai baca tulis
dan berwawasan luas dijadikan guru walaupun bukan orang Islam, dan
karya klasik filsafat Yunani digali dan diterjemahkan. Bahkan Rasulullah
pernah mengatakan bahwa ilmu itu bagaikan harta orang Mukmin
yang hilang, oleh karenanya dimanapun ia berada ambillah. Termasuk
ke negeri Cina yang pada waktu itu sebagai salah satu negeri yang maju
walaupun tempatnya jauh dan mempunyai latar belakang kultur yang
berbeda.
Dalam tingkat analisa kebudayaan terdapat kesimpulan-kesimpulan
jujur tentang pencapaian peradaban yang digerakkan oleh Islam.
Misalnya pada analisa Marshall Hodgson dalam bukunya “Warisan
Islam Dalam Kesadaran Modern” dan Will Durant dalam bukunya The
Age of Faith (yang banyak disitir oleh Fazlur Rahman). Hodgson antara
lain mengungkapkan: “Ketika tradisi Islam mulai diperkenalkan, kaum
Muslimin dijanjikan bahwa mereka akan menjadi “Komonitas paling
mulia yang pernah muncul untuk umat manusia”. Dorongan yang timbul
akibat diterimanya ajaran-ajaran Al-Qur’an seperti oleh umat yang penuh
ketaatan ternyata berhasil luar biasa.
Ini antara lain disebabkan Al-Qur’an sendiri sudah kokoh kuat. Selain
itu, ajaran-ajaran Al-Qur’an juga ternyata sesuai dengan keadaan sosial
dan spiritual pada zamannya di kawasan yang membentang dari sungai Nil
hingga Oxus, suatu kawasan yang memerankan peranan penting dalam

147
Pendidikan Islam

memperluas himpunan umat yang berciri agraris. Komunitas yang taat


pada ajaran-ajaran Al-Qur’an ini, di samping dialog kebudayaan yang
diembannya, akhirnya membangun peradaban yang paling berpengaruh
dan paling luas jangkauannya di dunia pada abad ke-16 (Mochtar
Pabottinggi, 1986: 1).
Sedangkan Durant, secara kombinatif menyatakan bahwa dalam
Al-Qur’an dinyatakan bahwa: “Tidak hanya diatur masalah ketertiban,
kesehatan, perkawinan, dan pemeliharaan anak-anak, budak dan
binatang, tetapi juga untuk ekonomi dan politik, bunga dan pinjaman,
kontrak-kontrak dan warisan, industri dan pembelanjaan, kejahatan dan
hukum, damai dan perang”. Muhammad tidak menghina perekonomian,
tetapi ia mengancam mereka terutama para pedagang yang tidak jujur
dan penipu; dengan terang-terangan mencela kaum monopilis dan
spekulator yang “menimbun gandum untuk dijual dengan harga yang
tinggi” dan memerintahkan para majikan untuk “memberi gaji para
pegawainya sebelum keringat mereka kering”. Ia juga melarang memberi
dan menerima bunga (ii, 275; iii, 130). Tidak ada seorang pembaharu
pun yang lebih aktif memajaki orang-orang kaya untuk menolong orang-
orang miskin. Setiap warisan diharapkan disisihkan sebagian untuk
orang-orang miskin; jika seseorang yang meninggal tidak mewariskan
harta kekayaannya (iv, B); dan ia pun memperbaiki dan memulihkan
kedudukan wanita (Rahman, 1983: 181).
Apa yang dilukiskan oleh pengamat tentang peta keberhasilan yang
dicapai oleh peradaban Islam tersebut mampu menjangkau bidang-
bidang yang begitu luas. Dari segi ilmu pengetahuan cakupannya
meliputi sains, teknologi, ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dan sejarah
tidak bisa begitu saja melupakan, bahwa peradaban Barat yang mendapat
“sebutan modern” sesungguhnya mempunyai perpautan historis atau
suatu kelanjutan (meminjam istilah Fazlur Rahman) dari peradaban Arab
Islam. Atau dengan bahasa yang lebih terang-terangan, bahwa peradaban
modern berhutang budi kepada peradaban Islam (S.I. Poeradisastra,
1986: 26-102, Bab IV-X; Fazlur Rahman, 1983: 179-200, Bab X).
Namun persoalannya sekarang ialah bahwa peradaban manusia berada
di bawah hegomoni bukan Muslim (Mochtar Pabotinggi, 1986). Sementara
itu konstalasi peradaban yang sudah berubah telah berlangsung cukup

148
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam

lama. Maka Hodgson pun dalam analisanya lebih jauh mempertanyakan


kebermaknaan pencapaian peradaban Islam dalam tahap kehidupan
modern sekarang ini. Beberapa pertanyaan yang dia ajukan antara lain
sebagai berikut: “Arti apa yang masih dapat disumbang oleh warisan Islam
umumnya, dan warisan keagamaan Islam khususnya, bagi umat manusia
di zaman modern? Bagi para pewarisnya yang langsung sekalipun, yakni
mereka yang setidak-tidaknya masih taat kepada Islam sebagai suatu
kepercayaan iman, jawabannya tidak jelas. Lebih tidak jelas lagi arti apa
yang dapat disumbangkan oleh warisan tersebut bagi “umat manusia” yang
lebih luas seperti dijanjikan oleh Islam kepada manusia dalam masyarakat
modern, yang di dalamnya kaum Muslimin merupakan bagian integral
dan yang nasibnya tidak bisa dipisahkan dari nasib kaum Muslimin
sendiri? Apakah kebudayaan Islam dijadikan rekaman saja dalam kitab-
kitab sejarah dan museum-museum? Haruskah keyakinan Islam dilebur
begitu saja ke dalam suatu semangat agama ekonomis yang umum, atau
haruskah ia lenyap sama sekali ketika berhadapan dengan kemajuan
teknologi? Atau apakah ia akan tetap merupakan suatu milik khas dari
sebagian umat manusia modern yang kebetulan adalah kaum Muslimin,
yang menjadi begitu terhimpit sehingga bagi kalangan bukan Muslimin
paling tinggi menjadi objek keinginan belaka? Atau mungkinkah pada
akhirnya terbukti, berdasarkan vitalitas yang dimilikinya, ia mempunyai
arti potensial bagi segenap umat manusia yang sudah dirasuki teknologi,
baik mereka yang secara jelas-jelas menerima Islam sebagai keyakinan
maupun tidak? (Mochtar Pabotinggi, 1986: 2).
Kutipan yang menggambarkan ketidakberdayaan kaum Muslimin
dalam segala aspeknya di satu sisi dan secercah harapan umat yang
kurang jelas nasibnya di sisi lain adalah sebuah kenyataan sejarah yang
“harus diterima”. Kalau dipertanyakan mengapa komunitas yang dulu
pernah menjadi mercusuar peradaban besar dunia sekarang ini bagaikan
“orang bangun tidur kesiangan” dan tidak berdaya menatap sinar
matahari yang begitu menantang? Tanpa berpotensi untuk memberikan
jawaban yang sempurna, tampaknya hal itu diawali dengan melemahnya
etos berilmu, etos bekerja dan akhirnya etos berbudaya, bahkan lebih
dari itu kurang menghargai karya budaya. Karya budaya dipandang
secara hitam putih dan fiqh centre, bukan sebagai kreativitas yang
bermakna amal shaleh. Sehingga kata-kata bid’ah tidak hanya dijadikan

149
Pendidikan Islam

alat mengounter ketidakcocokan dalam urusan ritual, melainkan sampai


di bidang pemikiran.
Sekarang ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai
ujung tombak peradaban modern yang mendominasi pola pikir dan sikap
umat manusia tidak terkecuali umat Islam, percaturan politik, ekonomi,
pendidikan, informasi dan hampir semua bidang strategis kehidupan
dikuasai oleh bangsa non Islam, terutama Eropa, Amerika dan bangsa
bermata sipit: Jepang, Cina dan Korea. Dari mana Umat Islam mulai
mengambil peran? Allah telah berfirman: “Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal
yang shaleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka
berkuasa di bumi (khalifah), sebagaimana. Dia telah menjadikan orang-
orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan
bagi mereka agama yang telah diridlai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-
benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam
ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan
tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa
yang (tetap kafir) sesudah (janji) itu maka mereka itulah orang-orang
fasik” (QS. an-Nuur: 55) atau dalam ayat yang lain dilukiskan bahwa “...
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan
orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (QS. al-Mujadalah: 4).
Pada konteks sekarang ini, umat Islam sebenarnya telah memasuki
suatu era yang dikatakan sebagai era dengan peradaban gelombang ketiga.
Apa dan bagaimana yang disebut “peradaban gelombang ketiga” itu?
Jalaluddin Rahmad lewat artikelnya yang berjudul “Islam Menyongsong
Peradaban Gelombang Ketiga” (dalam Ulumul Qur’an No. 2, 1989: 44-
51), secara gamblang telah melukiskan ikhwal peradaban gelombang
ketiga itu, serta dampak positif dan negatifnya bagi umat Islam. Dengan
mengacu pada pendapat Alvin Toffler (penulis buku The Third Wave),
Jalaluddin melihat peradaban gelombang ketiga sebagai peradaban pasca
industri, atau abad teknotronik, atau era informasi, yang di dalamnya
memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut:
a). Informasi sebagai kekayaan utama, dimana yang paling menentukan
dalam masyarakat adalah orang-orang yang paling banyak memiliki
informasi.

150
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam

b). Teknologi elektronika sebagai alat industri, dimana berbagai bidang


profesi akan diambil alih oleh komputer, dan lebih dari 60%
pekerjaan bergerak pada bidang jasa informasi.
c). Lingkup informasi berubah dari lingkup nasional ke lingkup global.
d). Terciptanya keluarga baru yang dihubungkan secara elektronis dan
e). Kelangsungan hidup dimonopoli oleh manusia yang berorientasi ke
masa depan (1989: 46).

Selanjutnya Jalaluddin juga menunjukkan adanya dampak positif dan


negatif bagi umat Islam yang muncul pada era informasi itu, antara lain
positifnya bahwa ajakan ke jalan Allah dengan hikmah, mau’idhah al-
hasanah, dan mujadalah akan lebih menonjol. Sedangkan negatifnya
ialah kemungkinan goyahnya tauhid, karena komputer mengambil alih
banyak pekerjaan manusia, sehingga peranannya sebagai khalifah al-rabb
fi al-ardl kurang terkendalikan (1989: 48).

C. PERAN PENDIDIKAN ISLAM: KONSTRUKSI


KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
Peran pendidikan dalam membentuk peradaban umat manusia sangat
memiliki dimensi yang sangat urgen dan pasti. Ini tercermin dalam
pernyataan Christopher bahwa pendidikan menyimpan kekuatan yang
luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup dan
dapat memberi informasi yang paling berharga mengenai pegangan
hidup masa depan di dunia, serta membantu peserta didik dalam
mempersiapkan kebutuhan yang esensial untuk menghadapi perubahan
(Lihat A. Malik Fadjar dalam Tarbiyah, No. 1, 1983: 12). Maka Islam
mendudukkan pendidikan itu sebagai faktor penentu bagi masa depan
anak, baik individu maupun dalam konteks kemasyarakatannya. Hal ini
dapat dikaji lewat Al-Qur’an dan Hadits, maupun lewat sejarah gerakan
Islam dan warisan Islam terhadap peradaban dunia. Akan tetapi, yang
kini sedang terjadi bahwa dunia pendidikan Islam mengalami semacam
ketidakjelasan ataupun penyempitan-penyempitan dalam memainkan
perannya. Di Indonesia misalnya, pendidikan Islam baik dalam arti
kelembagaannya maupun isinya belum mampu memberikan image

151
Pendidikan Islam

sebagaimana yang diidamkan. Sementara apa yang disebut sebagai


peradaban modern telah begitu hiruk pikuk dan merubah orientasi dan
pandangan hidup umat Islam. Dengan demikian rasa-rasanya untuk
mengejar ketinggalan itu saja sudah cukup terasa begitu berat.
Kecuali ada semacam terobosan baru terutama dalam menyikapi dan
memandang pada hal-hal yang bersifat masa silam, maka sulit kiranya kita
bisa mengantisipasi apa yang disebut peradaban gelombang ketiga. Dan
di sini, dari diri sendiri, dan sekarang kita ditantang mengembangkannya
yaitu dengan melakukan konstruksi kurikulum pendidikan Islam yang
lebih progresif dan akamodatif serta kompetitif dalam era persaingan. Di
satu sisi, kurikulum yang perlu dikembangkan adalah kurikulum yang
memiliki orientasi integralistik antara dimensi duniawi dan ukhrawi;
serta memiliki pola pandangan yang monokotomik.
Artinya, kurikulum pendidikan Islam sebagai material pendidikan
Islam berupa kegiatan, pengetahuan dan pengalaman yang dikonstruks
secara sengaja dan sistematis dengan kerangka integralisasi orientasi
(kesatuan antara duniawi dan ukhrawi) dan paradigma (kesatuan
ilmu pengetahuan) yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Karena itu, kurikulum
pendidikan Islam perlu dikonstruksi sebagai suatu bentuk kegiatan
kependidikan Islam yang di dalamnya mencakup berbagai rencana
kegiatan kependidikan Islam peserta didik yang terperinci secara
fregmentalis mulai dari bentuk-bentuk material kependidikan keIslaman
yang memiliki kesatuan paradigma, strategi belajar mengajar dengan
pendekatan humanistik, pengaturan-pengaturan program kependidikan
Islam yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan peserta didik agar dapat
diterapkan, dan pengfokusan pada tujuan sampai tujuan pendidikan
Islam yang terkerangkai semangat tauhid mampu terealisasi.
Dalam konteks di lembaga pendidikan Islam seperti pesantren,
sekolah berbasis keIslaman, madrasah atau perguruan tinggi Islam, yang
memiliki spesialisasi dalam studi-studi keIslaman –baca yang memiliki
mainstreaming Islam atau sistem penyelenggaraan pendidikan yang
berlandaskan pada dasar etik nilai Islam-, kerangka operasional kurikulum
pendidikan Islam tersebut perlu dilihat dari tujuan penyelenggaraan
pendidikan dan pengajaran di lembaga pendidikan itu sendiri. Di sisi

152
BAB 5 – Kurikulum Pendidikan Islam

yang lain, ia juga bisa dimunculkan sebagai sarana atau metode untuk
melakukan transfer nilai-nilai Islam (transfer of Islamic values); transfer
pengetahuan keIslaman (transfer of Islamic knowledge), terutama bidang
studi agama Islam yang meliputi tauhid, fiq’h (yurisprudensi Islam),
sejarah kebudayaan atau akhlaq Islam; dan juga transfer keterampilan
(transfer of skills) yang meliputi keterampilan-keterampilan dalam
bidang ilmu pengetahuan eksakta, humaniora, dan sosial. Di dalam
pesantren, kerangka ini telah mulai dibuka ruang pengadopsian pelajaran
keterampilan sebagai salah satu pelajaran yang secara masif ada dalam
kurikulum. Di mana ia muncul dalam bentuk praktek-praktek lapangan
yang dikombinasikan dengan teori-teorinya (Umar, 2014: 39).
Akan tetapi, fakta naif yang berbanding terbalik masih bergulir di
lembaga pendidikan Islam lain seperti pendidikan tinggi Islam (STAIN,
IAIN, atau bahkan UIN). Secara riil, bentuk transfer nilai dan pengetahuan
sudah cukup mapan di lembaga tersebut, tetapi bentuk transfer keterampilan
yang berkaitan langsung dengan lapangan pekerjaan mereka masih tidak
tertata secara sistematis dan ia bahkan bisa dikatakan masih dalam proses
pencarian struktur relevansi. Kondisi inilah yang kemudian menurunkan
harga tawar lembaga pendidikan Islam tersebut untuk bersaing dengan
lembaga pendidikan lainnya, sebab di mata masyarakat output lembaga
pendidikan Islam dianggap masih kurang memiliki relevansi yang kuat
dengan kebutuhan yang ada. Riskannya pula, output pendidikannya sangat
membuka rentang aksiologis yang lebar dengan arus perkembangan ilmu-
ilmu pengetahuan eksakta yang lahir dari kerangka kerja positivistik.
Problematika tersebut yang perlu disikapi dengan logis, sistemik, dan
komprehensif untuk menemukan anatomi kerangka kerja kependidikan
Islam yang solutif. Dalam pandangan penulis, salah satu fakta solutif
adalah dengan melakukan kajian kembali terhadap kurikulum pendidikan
Islam untuk lebih tampil elegan sesuai dengan tren perkembangan ilmu
pengetahuan dan tehnologi serta juga arus pertumbuhan fenomena
kemanusiaan. Namun, fakta tauhid dan nilai akhlaq merupakan tali
normatif pendidikan Islam yang bersifat integratif dan mengikat konstruksi
kurikulum, sehingga ia benar-benar memiliki kekokohan paradigmatik
ketika mengurai seluruh material kependidikan Islam yang semata-mata
untuk pemberdayaan peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi

153
Pendidikan Islam

kemanusiaan dan ketuhanan. Semua kerangka ini, meminjam bahasa


Paulo Freire diistilahkan dengan pendidikan pembebasan yang mendidik
dan mengajarkan tentang pola berkesadaran yang meliputi kesadaran
sebagai makhluk yang mempunyai nilai kemanusiaan, dan kesadaran
sebagai makhluk yang mempunyai nilai ketuhanan.
Dengan pola seperti itu, maka (kurikulum) pendidikan Islam perlu
untuk berorientasi pada hakikat pendidikan yang meliputi beberapa
aspek, antara lain: pertama, tujuan dan tugas hidup manusia, yakni
manusia diciptakan bukan secara kebetulan melainkan mempunyai tujuan
dan tugas tertentu (QS. Ali Imran: 19); kedua, memperhatikan sifat dasar
(nature) manusia, yaitu konsep penciptaan manusia dengan bermacam
fitrah (QS. al-Anfaal: 29), mempunyai kemampuan untuk beribadah (QS.
adz-Dzariyaat: 56), dan khalifah di muka bumi (QS. al-Baqarah: 30);
ketiga, tuntunan masyarakat, baik pelestarian nilai budaya, pemenuhan
kebutuhan hidup maupun antisipasi perkembangan tuntunan modern;
dan keempat, dimensi-dimensi kehidupan ideal manuasia. Dalam hal ini
terkandung nilai dalam mengelola kehidupan bagi kesejahteraan duniawi
dan akhirat, keseimbangan dan keserasian keduanya. Sehingga orientasi
ini memberikan implikasi logis pada konstruksi kurikulum pendidikan
Islam yang mengarah pada pembentukan manusia yang integral (Minarti,
2013: ).

154
BAB
BAB1

6
GURU DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Ujung tombak keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan Islam


terletak pada kemampuan sumberdaya manusia lembaga pendidikan
Islam dalam menerjemahkan seluruh aspek yang ada dalam kurikulum
pendidikan Islam. Salah satu dimensi dari sumber daya manusia yang
urgen pada konteks ini adalah guru (pendidik dan pengajar) yang berdiri
di garda depan sebagai sosok yang bertugas untuk mengaktualisasikan
dan mengevaluasi “planning of learning” pendidikan Islam pada tataran
praksis. Pada kerangka yurisprudensi pendidikan nasional kenegaraan
Indonesia dikatakan bahwa guru adalah tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik
pada perguruan tinggi (lihat dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 39 ayat 1). Begitu pula dalam
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 1
ayat 1 dinyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,

155
Pendidikan Islam

menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini,
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dari itu jelas bahwa guru memiliki peran penting dalam pendidikan
terutama dalam pembelajaran, di mana ia sangat menentukan berhasil
tidaknya suatu proses pembelajaran mencapai tujuan pendidikan secara
mikro, messo, ataupun makro. Di tangan guru pula pendidikan mampu
untuk mengkonstruks subjek pendidikan sesuai dengan falsafah yang
melatarinya, sebab ia yang secara operandi mempunyai kewenangan
yang luas untuk mentransfer berbagai hal kepada peserta didik sebagai
subjek dan objek pembelajaran. Bahkan secara revolutif maupun evolutif,
guru merupakan peletak dasar dari perubahan sistem pembelajaran
dalam pendidikan, sehingga ada kalangan yang mengeluarkan statemen
bahwa “educational change depends on what teachers do and think…”. Di
mana statemen ini mengisyaratkan bahwa perubahan dan pembaharuan
sistem pendidikan sangat bergantung pada “what teachers do and think“,
atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan kompetensi guru
(Suyanto & Hisyam, 2000: 10).

A. GURU DALAM PENDIDIKAN ISLAM


Dalam khazanah pemikiran Islam, istilah guru memiliki beberapa
pedoman istilah yang semuanya memiliki arti yang sama seperti
“ustadz”, “mu’allim”, “muaddib” dan “murabbi”. Beberapa istilah untuk
sebutan “guru” itu berkait dengan beberapa istilah untuk pendidikan
yaitu “ta’lim”, ta’dib” dan “tarbiyah” sebagaimana telah dikemukakan
pada bab terdahulu. Istilah mu’allim lebih menekankan guru sebagai
pengajar, penyampai pengetahuan (knowledge) dan ilmu (science); istilah
mu’addib lebih menekankan guru sebagai pembina moralitas dan akhlak
peserta didik dengan keteladanan, dan istilah murabbi lebih menekankan
pengembangan dan pemeliharaan baik aspek jasmaniah maupun
ruhaniah dengan kasih sayang. Sedangkan istilah yang umum dipakai
dan memiliki cakupan makna yang luas dan netral adalah ustadz yang
dalam bahasa Indonesia diterjemahkan “guru”.
Dalam bahasa Indonesia terdapat istilah guru, di samping istilah
lain yaitu pengajar dan pendidik. Dua istilah terakhir yang merupakan

156
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam

bagian tugas terpenting dari guru yaitu mengajar dan sekaligus mendidik
peserta didiknya. Walaupun antara guru dan ustadz pengertiannya sama,
namun dalam praktek khususnya di lingkungan sekolah-sekolah Islam,
istilah guru dipakai secara umum, sedangkan istilah ustadz dipakai untuk
sebutan guru khusus yaitu yang memiliki pengetahuan dan pengamalan
agama yang “mendalam”. Dalam wacana yang lebih luas, istilah guru
bukan hanya terbatas pada lembaga persekolahan atau lembaga keguruan
semata. Istilah guru sering dikaitkan dengan istilah bangsa sehingga
menjadi guru bangsa. Istilah guru bangsa muncul ketika sebuah bangsa
mengalami kegoncangan struktural dan kultural sehingga hampir-
hampir terjerumus dalam kehancuran. Guru Bangsa adalah orang yang
dengan keluasan pengetahuan, keteguhan komitmen dan kebesaran
jiwa dan pengaruh serta keteladanannya dapat mencerahkan bangsa
dari kegelapan. Guru bangsa dapat lahir dari ulama atau agamawan,
intelektual, pengusaha, pejuang, birokrat dan lain-lain. Pendek kata,
dalam istilah guru mengandung nilai, kedudukan dan peranan mulia.
Karena itu di dunia ini banyak orang yang bekerja sebagai guru, akan
tetapi mungkin hanya sedikit yang bisa menjadi guru yaitu yang bisa
digugu dan ditiru.
Berbicara tentang sosok guru yang ideal dalam Islam, segera
muncul dalam benak umat Islam sosok manusia dan pendidik teladan,
Muhammad SAW. Ia adalah teladan bagi semua orang, baik untuk si
kaya maupun si miskin, berkedudukan maupun orang biasa, tua maupun
muda, dan laki-laki maupun perempuan. Keagungan pribadi Muhammad
diabadikan dalam Al-Qur’an berupa pujian Allah: “Sungguh pada dirimu
(Muhammad) terdapat akhlak yang agung” (QS. al-Qalam: 4). Dalam ayat
lain Allah berfirman dalam bentuk kalimat berita tetapi berisi perintah
untuk meneladani Rasulullah SAW. “Sungguh terdapat teladan yang baik
dalam diri Rasulullah bagimu, bagi orang yang berharap berjumpa Allah
dan hari akhir” (QS. al-Ahzab: 21).
Salah satu hal yang patut kita teladani dari Rasulullah Muhammad
SAW adalah kepeduliannya dalam persoalan pendidikan. Dalam
sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah Rasulullah bersabda:
“Bahwasanya Aku diutus oleh Allah sebagai pendidik” (HR. Ibnu
Majah). Dalam Hadits riwayat Muslim Rasulullah bersabda: “Allah

157
Pendidikan Islam

Ta’ala tidak mengutusku sebagai orang yang menyusahkan, atau orang-


orang yang mencari kesulitan, tetapi Dia mengutusku sebagai pendidik
dan orang yang memudahkan”. Pernyataan Rasulullah bahwa dirinya
adalah seorang pendidik menunjukkan betapa mulianya seorang guru
atau seorang pendidik itu. Sebab sepengetahuan penulis, tidak ada
bunyi Hadits Rasulullah yang mengatakan bahwa beliau diutus sebagai
kepala Negara atau sebagai panglima perang, walaupun dalam konteks
kenegaraan Rasulullah adalah pemimpin pemerintahan dan pimpinan
militer tertinggi. Karena itu kalau Rasulullah memaklumkan dirinya
sebagai pendidik, maka tentulah ia adalah pendidik yang paling utama,
dan pendidik-pendidik lain dari umatnya memiliki kedudukan satu
tingkat dibawah baliau dan sepatutnya meneladani bagaimana Rasulullah
dalam mendidik umatnya atau bagaimana dalam memperlakukan para
pendidik.
Rasulullah SAW. adalah pemimpin yang sangat peduli terhadap
pendidikan. Dalam keadaan kesulitan keuangan maupun dalam keadaan
perang yang paling sulitpun beliau sangat memperhatikan pendidikan.
Dalam berbagai peperangan, Rasulullah sangat sedih dan cemas apabila
yang gugur adalah pendidik yaitu orang-orang yang berilmu dan
mengajarkan ilmunya kepada manusia. Dalam berbagai peperangan,
pasukan Muslim berhasil menaklukkan dan menawan pasukan musuh.
Kepada tawanan perang yang dapat mengajari membaca dan menulis
dapat dibebaskan dengan tebusan mau menjadi guru dan diperlakukan
dengan penuh penghormatan. Ketika sekelompok pemuda hendak
mendaftarkan diri sebagai prajurit yang pada waktu itu sangat dibutuhkan,
Rasulullah menyuruh sebagian dari mereka untuk memperdalam ilmu
pengetahuan. Dan bahkan perintah untuk memperdalam ilmu bagi para
pemuda itu ditegaskan dalam Al-Qur’an bahwa: “Tidak sepatutnya bagi
orang-orang mukmin itu pergi semuanya ke medan perang. Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap firqah (daerah atau suku) di antara mereka
serombongan orang yang memperdalam ilmu pengetahuan, agar dapat
memberi peringatan (pembaharu) kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepada meraka agar mereka dapat menjaga diri” (QS. at-Taubah:
122).

158
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam

Ayat tersebut mengingatkan kepada umat Islam agar senantiasa


mengutamakan urusan pendidikan termasuk di masa yang paling sulit
sekalipun yaitu pada masa peperangan. Bahkan secara tersirat ayat
tersebut menyuruh menuntut ilmu di tempat yang jatuh, dan apabila para
penuntut ilmu itu telah berhasil hendaklah mereka diperlakukan dengan
layak agar dapat mengamalkan ilmunya yaitu memberi pencerahan
kepada bangsanya agar bangsanya tidak tergelincir kepada kehancuran.
Seandainya umat Islam, bangsa Indonesia, atau kita dapat mengamalkan
QS. at-Taubah ayat 122 ini niscaya akan menjadi umat atau bangsa yang
dapat menjaga diri, yaitu menjaga diri dari minta-minta, menjaga diri
dari hinaan atau campur tangan bangsa lain yang menginjak-injak harga
diri dan kedaulatan kita. Sayangnya kita bangsa Indonesia dan khususnya
umat Islam terlalu besar syahwat politiknya, sampai-sampai tidak dapat
dibedakan antara organisasi dakwah atau organisasi politik, tidak bisa
dibedakan antara tokoh agama dengan tokoh politik bahkan sekolah dan
masjidpun dijadikan sebagai alat perjuangan politik praktis.
Apa yang dilakukan Rasulullah yaitu mengutus sebagian generasi
mudanya untuk menuntut ilmu di masa peperangan yang paling sulit,
dan membebaskan tawanan perang yang dapat mengajar itu dianggap
aneh oleh kebanyakan sahabat dan para tawanan perang itu sendiri.
Apa yang dilakukan Rasulullah itu ternyata merupakan strategi perang
yang paling cerdik dan sebuah strategi memenangkan pertempuran yang
sesungguhnya, yaitu pertempuran merebut masa depan. Dan ini terbukti
umat Islam pernah mengalami kejayaan selama lima abad ketika umat
Islam menghargai ilmu, guru dan peserta didik. Sikap Rasulullah yang
menghargai guru dan peserta didik dan ilmu pengetahuan itulah yang
dapat menjadi kekuatan dalam membangun peradaban Islam.
Ketika tentara sekutu pimpinan Amerika Serikat menjatuhkan bom
atom dan meluluhlantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki, Kaisar Hiro
Hito mengumpulkan para pembantunya dan bertanya: “Berapa guru
yang masih tersisa”. Sang Kaisar tidak bertanya tentang prajurit yang
tewas atau bangunan yang hancur, melainkan bertanya tentang keadaan
guru. Pertanyaan sang Kaisar ini terasa aneh, karena tidak membahas
strategi menyerang balik tentara sekutu. Akan tetapi justru pertanyaan
itulah yang menurut Kaisar paling tepat dan pasti kalau Jepang hendak

159
Pendidikan Islam

mengalahkan Amerika dan sekutunya. Dan sekarang apa yang dipikirkan


oleh Kaisar itu telah terbukti. Jepang telah berhasil mengalahkan Amerika
dan sekutunya. Jepang mengalahkan Amerika tidak dengan senjata bom
atom atau nuklir, melainkan dengan ilmu pengetahuan. Dengan ilmu
pengetahuan sebuah bangsa akan berjaya dalam bidang-bidang lain
seperti teknologi, ekonomi dan militer.
Dalam kajian strategi kebudayaan, kekerasan senjata tidak mesti
dilawan dengan senjata. Ejekan, penindasan, teror dan bahkan bom
musuh tidak harus dibalas dengan yang sempurna, karena kalau tidak
memiliki kekuatan yang lebih baik atau menimal sebanding justru
akan melemahkan dan menghancurkan diri kita sendiri. Akan tetapi
dengan ilmu pengetahuan manusia dapat meraih apa saja yang
dikehendaki. Dahsyatnya kekuatan senjata ternyata dapat dikalahkan
dengan kelemah-lembutan pena (Qalam). Dengan ilmu pengetahuan
manusia dapat mengalahkan musuh-musuhnya dengan tanpa berperang
dan tanpa merendahkannya. Dengan ilmu pengetahuan manusia
dapat meraih kearifan, kebijaksanaan, harta, kekuasaan dan derajat
yang tinggi. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa menghendaki
(kebahagiaan) dunia hendaklah dengan ilmu, barang siapa menghendaki
akhirat hendaklah dengan ilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya
hendaklah dengan ilmu”.
Para ahlul hikmah mengatakan bahwa ilmu adalah kekuatan
(knowledge is power), ilmu adalah mukjizat (knowledge is miracle), ilmu
adalah perisai yang akan melindungi pemiliknya dari kehancuran. Bangsa
yang terhormat, berjaya dan menjadi penguasa di dunia adalah bagnsa
yang berilmu pengetahuan. Dalam panggung sejarah kita menyaksikan
bangsa yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah tetapi sedikit ilmu
pengetahuan, terbukti kekayaan tidak dapat menolong dan memberikan
kemaslahatan, melainkan justru dapat menimbulkan konflik dan
kehancuran. Sebaliknya bangsa yang berilmu pengetahuan walaupun
tidak memiliki kejayaan alam terbukti dapat menciptakan kemakmuran,
kesejahteraan dan kehormatan.
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Tuhan mendorong, memanggil dan memerintah agar umat Islam menuntut
ilmu dan menjadi umat yang berilmu. Sebaliknya Tuhan menyindir,

160
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam

mengejek dan mengecam umatnya yang bodoh tidak mau belajar. Allah
berjanji akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu
pengetahuan lebih tinggi dibanding umat atau bangsa lainnya. “Allah
mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan
beberapa derajat”.
Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana umat Islam menjadi
umat yang terpelajar, umat yang berilmu pengetahuan dan pada akhirnya
adalah menjadi umat yang dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat?
Rasulullah SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh al-Darimy:
“Manusia itu orang yang berilmu dan orang yang belajar, dan tak ada yang
lebih baik lagi setelah itu”. Hadits ini dengan sangat tegas memberikan
pesan bahwa hanya dengan ilmu dan kemauan belajarlah manusia itu
dapat beraktualisasi dan menunjukkan eksistensi kemanusiaannya.
Manusia yang tidak berilmu dan tidak mau belajar atau telah berhenti
belajar adalah “bukan manusia” atau diibaratkan telah mati atau mayat
hidup. Dalam sabdanya yang lain Rasulullah bersabda: “Ketahuilah,
sesungguhnya dunia itu terlaknat, terlaknat apa yang ada di dalamnya
kecuali dzikrullah dan apa yang mengikutinya, orang yang berilmu dan
orang yang belajar” (H.R. Tirmidzi).
Dua Hadits tersebut menegaskan pentingnya sebuah pendidikan
bagi kehidupan manusia. Inti dari pendidikan adalah interaksi antara
guru dan peserta didik. Islam adalah agama yang sangat menghargai
dan memuliakan guru dalam kedudukan yang sangat tinggi: Rasulullah
bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Tirmidzi: “Seorang alim yang
mengamalkan dan mengajarkan ilmunya dianggap sebagai orang besar
di kerajaan langit”. Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:” Keutamaan
orang yang berilmu atas seorang ahli ibadah adalah seperti keutamaan
bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan
dinar dan dirham, tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa
mengambilnya, berarti dia telah mengambil bagian yang berlimpah” (HR.
Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dua hadits tersebut cukuplah sebagai dasar keharusan untuk bersikap
dalam memuliakan guru dan mengutamakan pendidikan. Sejarah telah
mencatat dengan tinta emas bahwa orang-orang yang berhasil membangun
peradaban besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi harkat dan

161
Pendidikan Islam

martabat guru. Demikian juga lembaga pendidikan yang mengalami


kemajuan dan dapat melahirkan lulusan yang berkualitas adalah lembaga
pendidikan yang menghargai guru atau tenaga pengajarnya. Sebaliknya,
seseorang, suatu bangsa, suatu umat maupun sebuah lembaga pendidikan
yang tidak menghormati guru, tidak memperhatikan aspirasinya, tidak
memperhatikan kesejahteraannya terbukti menjadi umat, lembaga
ataupun bangsa yang terpuruk.
Kemunduran peradaban Islam serta kemiskinan dan keterbelakangan
umat Islam sejak beberapa abad terakhir ini terutama disebabkan oleh
kurangnya perhatian umat terhadap pendidikan dan terlebih lagi kurangnya
penghargaan terhadap guru. Berbagai penelitian menunjukkan guru-guru
madrasah, pesantren, sekolah dan perguruan tinggi Islam nasibnya kurang
diperhatikan. Mereka mengajar tapi tidak dibayar, melainkan hanya uang
transport dengan jumlah yang sangat tidak memadai. Banyak lembaga
pendidikan Islam yang berlomba-lomba membangun fisik, melengkapi
fasilitas pendidikannya melakukan publikasi besar-besaran tetapi tidak
secara tulus memperhatikan guru-gurunya. Ini merupakan sebuah
kesalahan besar umat, karena bertentangan dengan nilai dasar Islam yang
sangat menghargai dan menjunjung tinggi guru. Nilai-nilai dasar Islam
tentang keagungan dan kemuliaan guru dan para ulama yang sangat
penting ini sepertinya semakin terkikis saja. Kita sering menyaksikan secara
langsung di masyarakat nasib guru kurang memperoleh penghargaan di
tengah-tengah peserta didik dan masyarakatnya. Sinetron-sinetron di
televisi atau film dimana peserta didiknya melecehkan gurunya. Kita juga
sering menyaksikan terdapat guru-guru yang diperlakukan tidak adil
karena mempertahankan idealismenya. Sikap tidak menghargai guru
baik yang dilakukan Negara, masyarakat, pimpinan lembaga pendidikan
maupun peserta didik dalam berbagai bentuknya mencerminkan budaya
rendah, karena tidak menghargai guru dan ini merupakan cermin tidak
adanya penghargaan terhadap ilmu. Pemimpin bangsa, pemimpin lembaga
pendidikan, dan peserta didik yang tidak menghargai ilmu juga tidak akan
mampu menghargai guru-gurunya.
Islam juga memerintahkan umatnya untuk menyayangi, menghormati
dan menempatkan peserta didik dalam posisi yang tinggi. Sebagaimana
Hadits Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
Tirmidzi dikatakan bahwa “Barang siapa menempuh suatu jalan dalam

162
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam

rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke


surga. Sesungguhnya Malaikat merebahkan sayapnya karena. Ridla terhadap
penuntut ilmu. Dan sesungguhnya orang yang berilmu, dosa-dosanya akan
dimintakan ampun oleh siapa saja yang ada di langit dan di bumi termasuk
ikan-ikan yang ada di air” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Keterangan tersebut menegaskan bahwa guru dan peserta didik
sama-sama mulia dan memiliki kedudukan yang khusus di sisi Allah
dan sisi manusia karena kedua-duanya mencintai ilmu. Karena itulah
hubungan atau interaksi guru-peserta didik haruslah dalam koridor
saling menghormati, saling menghargai dan saling menyayangi dan saling
peduli. Guru sebagai orang yang lebih tua dan lebih berpengalaman,
sepatutnya punya rasa kasih dan peduli kepada peserta didiknya,
sementara peserta didik menghormati guru.
Fenomena yang terjadi sekarang ini, hubungan guru-peserta didik
sudah banyak yang meninggalkan nilai-nilai keIslaman. Banyak guru
yang tidak mengenal para peserta didiknya, dan yang lebih parah lagi
peserta didik yang tidak mengenal nama gurunya. Ketidaktahuan peserta
didik terhadap gurunya menggambarkan ketidakpedulian peserta didik
terhadap guru dan ilmu yang diajarkan itu sendiri. Bila bertemu di luar
kelas tidak saling menyapa atau memberikan salam. Interaksi guru dengan
peserta didik cenderung bersifat transaksional, daripada hubungan
kemanusiaan, hubungan sinergi keilmuan dan hubungan atau interaksi
edukatif yang tulus. Tayangan televisi sering menampilkan sinetron
di mana seorang guru tidak dapat membawakan dirinya dengan baik
dihadapan para peserta didiknya, seorang guru yang tidak berwibawa
dan tidak sungguh-sungguh dalam membina para peserta didiknya.
Sebaliknya peserta didik yang tidak dapat menghargai dan menghormati
gurunya sendiri.
Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan, karena pendidikan itu
memproduksi manusia, yaitu bagaimana agar lulusannya menjadi orang
yang shaleh, berilmu pengetahuan, profesional dan berbudi pekerti yang
luhur (al-akhlaq al-karimah). Karena itu guru dan peserta didik harus
bersungguh-sungguh, saling menghormati, menghargai dan mengasihi,
agar tujuan pendidikan yang mulia itu dapat terwujud. Guru, peserta
didik dan pimpinan lembaga pendidikan perlu untuk memiliki sikap

163
Pendidikan Islam

tulus, tekun, komitmen dan dedikasi dalam mengembangkan amanah


pendidikan. Alangkah ruginya guru yang mengajar apabila tidak dapat
melahirkan generasi yang shaleh, alangkah ruginya peserta didik yang
belajar apabila tidak memperoleh ilmu yang bermanfaat, dan alangkah
ruginya pimpinan atau penyelenggara pendidikan apabila lembaganya
tidak mampu memenuhi harapan guru dan peserta didiknya. Mudah-
mudahan kita terhindar dari perbuatan yang sia-sia dan Allah senantiasa
memberikan kekuatan lahir dan batin dan petunjuk jalan yang lurus
kepada kita sehingga kita semua dapat berbuat yang terbaik (ahsanu
amala).

B. PROFESIONALISME GURU
Hampir di semua bangsa yang beradab, guru diakui sebagai suatu
profesi khusus. Dikatakan demikian karena profesi keguruan bukan
saja memerlukan keahlian tertentu sebagaimana profesi lain, tetapi juga
mengemban misi yang paling berharga yaitu pendidikan dan peradaban.
Di mana suatu profesi umumnya berkembang dari pekerjaan (vocational),
yang kemudian berkembang makin matang serta ditunjang oleh tiga hal,
antara lain oleh keahlian, komitmen, dan keterampilan. Di mana aspek-
aspek tersebut pada akhirnya membentuk sebuah segitiga sama sisi
yang di tengahnya terletak profesionalisme sebagai implikasi dari titik
singgung tiga dimensi tersebut terutama dalam menjalankan pendidikan
yang profesional dan membangun peradaban yang kuat. Atas dasar itu
dalam kebudayaan bangsa yang beradab guru senantiasa diagungkan,
disanjung, dikagumi, dihormati karena perannya yang penting bagi
eksistensi bangsa di masa depan.
Profesi sendiri bisa didefinisikan sebagai a profession delivers esoteric
service based on esoteric knowledge systematically formulated and applied
to need of a client (Akhdinirwanto & Sayogyani, 2009: 13). Sedangkan
Pidarta (1997: 79) mengartikan bahwa profesi ialah suatu jabatan atau
pekerjaan biasa seperti halnya dengan pekerjaan-pekerjaan lain; dan
Sagala (2008: 195) mendefinisikan profesi sebagai sikap yang bijaksana
(informend responsiveness) yaitu pelayanan dan pengabdian yang
dilandasi oleh keahlian, kemampuan, teknik dan prosedur yang mantap

164
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam

diiringi sikap kepribadian tertentu. Dengan demikian, dalam profesi


terdapat beberapa ciri sebagai bentuk karakteristiknya, yaitu: 1). Pilihan
jabatan itu didasari oleh motivasi yang kuat dan merupakan panggilan
hidup orang bersangkutan; 2). Telah memiliki ilmu, pengetahuan, dan
keterampilan khusus, yang bersifat dinamis dan berkembang terus; 3).
Ilmu pengetahuan, dan keterampilan khusus tersebut diperoleh melalui
studi dalam jangka waktu lama di perguruan tinggi; 4). Punya otonomi
dalam bertindak ketika melayani klien; 5). Mengabdi kepada masyarakat
atau berorientasi kepada layanan sosial, bukan untuk mendapatkan
keuntungan finansial; 6). Tidak mengadvertensikan keahliannya untuk
mendapatkan klien; 7). Menjadi anggota profesi; dan 8). Organisasi
profesi tersebut menetukan persyaratan penerimaan para anggota,
membina profesi anggota, mengawasi perilaku anggota, memberikan
sanksi, dan memperjuangkan kesejahteraan anggota (Barizi, 2009: 141).
Profesi guru sendiri merupakan suatu bentuk pekerjaan untuk
pengabdian pada masyarakat yang di dalamnya terdapat keahlian,
kemampuan, dan otonomi yang tinggi untuk menggunakan
wewenangnya. Profesi guru ini mengemban tugas profesional dan mulia
serta bertanggang jawab untuk membentuk subjek peradaban dengan
kualitas ilmu pengetahuan dan moralitas yang tinggi bagi terciptanya
masyarakat yang berkeadilan. Apalagi pada era sekarang ini yang telah
sejalan dengan tantangan kehidupan global, pendidikan merupakan
sesuatu yang urgen dan substantif dalam kehidupan manusia, karena
pendidikan merupakan salah satu penentu mutu sumberdaya manusia
terutama dalam pembentukan moralitas manusia. Di mana dewasa
ini keunggulan suatu bangsa tidak lagi ditandai dengan melimpahnya
kekayaan alam, melainkan pada potensi dan keunggulan sumberdaya
manusia. Artinya, mutu sumberdaya manusia berkorelasi positif dengan
mutu pendidikan yang eksis ditengah bangsa tersebut.
Telah banyak peneliti dan penulis buku tentang pendidikan Islam
mulai dari aspek filsafat pendidikan Islam atau ilmu pendidikan Islam
yang mengkaji tentang kedudukan guru dalam pendidikan Islam. Para
penulis itu antara lain seperti Al-Ghazali, M. Athiyah al-Abrasyi, Asama
Hasan Fahmi, atau M. Zafar Iqbal yang telah mengemukakan kedudukan
guru dengan sangat mulia dalam pandangan Islam. Pada umumnya

165
Pendidikan Islam

mereka mengemukakan kemuliaan guru secara normatif berdasarkan


pandangan Al-Qur’an, Al-Sunah dan pandangan para ulama, dan hanya
sedikit yang mengkaji dari perspektif kedudukan guru secara sosiologis
yang meliputi status sosial dan perannya di masyarakat dan tanggung
jawab masyarakat dan pemerintah terhadap guru.
Secara normatif kedudukan guru dalam Islam sangat mulia. Tidak
sedikit penulis yang menyimpulkan kedudukan guru setingkat di
bawah kedudukan Nabi dan Rasul, seraya mengemukakan Hadits Nabi
dan perkataan ulama: “Tinta para ulama lebih baik dari darahnya para
syuhada”. Penyair Syauki sebagaimana dikutip al-Abrasyi juga berkata
bahwa “Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang
guru itu hampir saja merupakan seorang Rasul”. Apalagi guru memiliki
tanggung jawab besar untuk merencanakan dan menuntut peserta didik
melakukan kegiatan-kegiatan belajar guna mencapai pertumbuhan dan
perkembangan yang diinginkan (Hamalik, 2007: 127) terutama dalam
pembangunan kepribadian bangsa. Dengan kepribadian dan sumberdaya
manusia yang dapat diandalkan tersebut, maka kualitas pendidikan suatu
bangsa akan terjamin untuk masa yang akan datang.
Namun, hampir bisa dipastikan bahwa yang dimaksud guru
sebagaimana dalam Hadits dan syair tersebut adalah seorang ulama
yang sempurna (al-ulama al-rasyidun), yaitu seorang guru yang telah
tercerahkan dan mampu mencerahkan peserta didiknya, bukan semata-
mata guru sebagai pekerja yang menjadikan pekerjaan mengajar
semata-mata sebagai media mencari nafkah. Kedudukan guru memang
terhormat dan mulia apabila yang menduduki jabatan itu juga orang
terhormat dan mulia. Sebab kehormatan dan kemuliaan itu tidak
hanya terkait secara struktural, tetapi yang lebih penting adalah secara
substansial dan fungsional. Itulah sebabnya para tokoh pendidikan Islam
menetapkan kode etik dan persyaratan untuk menduduki jabatan guru
agar kedudukan yang mulia itu benar-benar diisi oleh orang yang mulia
atau minimal tidak merendahkan kedudukan dan martabatnya itu.
Penghargaan Islam yang tinggi terhadap guru (pengajar) dan
termasuk penuntut ilmu (terdidik) sebenarnya tidak berdiri sendiri,
melainkan terkait dengan penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan
dan akhlak. Ini berarti bahwa guru yang memiliki kedudukan mulia

166
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam

adalah guru yang menguasai ilmu pengetahuan dan memiliki akhlak


dan mampu memberdayakan peserta didik dengan ilmu dan akhlaknya
itu. Karena itu seseorang menjadi mulia bukan semata-mata secara
struktural sebagai guru, melainkan secara substansial memang mulia
dan secara fungsional mampu memerankan fungsi keguruannya yaitu
mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan bangsa.

C. GURU YANG EFEKTIF


Daoed Joesoep, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1978-
1983 mengemukakan tiga misi atau fungsi guru: fungsi profesional, fungsi
kemanusiaan dan fungsi civic mission. Fungsi profesional dalam arti guru
meneruskan ilmu atau keterampilan atau pengalaman yang dimilikinya
atau dipelajarinya kepada peserta didiknya. Fungsi kemanusiaan dalam
arti berusaha mengembangkan atau membina segala potensi bakat atau
pembawaan yang ada pada diri anak serta membentuk wajah ilahi dalam
dirinya. Fungsi civic mission dalam arti guru wajib menjadikan peserta
didiknya menjadi warga negara yang baik, yaitu yang berjiwa patriotisme,
mempunyai semangat kebangsaan nasional, dan disiplin atau taat
terhadap semua peraturan perudang-undangan yang berlaku atas dasar
Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan tugas guru sebagai penjabaran
dari misi dan fungsi yang diembannya menurut Darji Darmodiharjo
minimal ada tiga: mendidik, mengajar dan melatih. Tugas mendidik
lebih menekankan pada pembentukan jiwa, karakter, kepribadian
berdasarkan nilai-nilai; Tugas mengajar lebih menekankan pada
pengembangan kemampuan penalaran, dan tugas melatih menekankan
pada pengembangan kemampuan penerapan teknologi dengan cara
melatih berbagai keterampilan.
Dalam perspektif Islam, mengemban amanat sebagai guru bukan
terbatas pada pekerjaan atau jabatan seseorang, melainkan memiliki
dimensi nilai yang lebih luas dan agung yaitu tugas ketuhanan, kerasulan
dan kemanusiaan. Dikatakan sebagai tugas ketuhanan karena mendidik
merupakan sifat “fungsional” Allah (sifat rububiyah) sebagai “Rabb” yaitu
sebagai “guru” bagi semua makhluk. Allah mengajar semua makhluknya
lewat tanda-tanda alam (sign), dengan menurunkan wahyu, mengutus

167
Pendidikan Islam

Rasul-Nya dan lewat hamba-hambanya. Allah memanggil hamba-


hamba-Nya yang beriman untuk mendidik.
Guru juga mengemban tugas kerasulan, yaitu menyampaikan pesan-
pesan Tuhan kepada umat manusia. Secara lebih khusus tugas Nabi dalam
kaitannya dengan pendidikan sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an
surat al-Jum’ah ayat 2 dilukiskan bahwa: “Dialah yang mengutus kepada
kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. al-Jum’ah: 2).
Ayat tersebut menggambarkan bahwa tugas Rasul adalah melakukan
pencerahan, pemberdayaan, transformasi dan mobilisasi potensi umat
menuju kepada cahaya (nur) setelah sekian lama terbelenggu dalam
kegelapan. Rasulullah sendiri dalam Haditsnya yang populer mengatakan:
“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”, dan dalam
Haditsnya yang lain beliau bersabda: “Aku diutus sebagai pendidik”, dan
“Tuhanku mendidikku dan karenanya menjadikan pendidikanku yang
terbaik”.
Tugas kerasulan tidak berhenti dengan wafatnya Muhammad SAW.
melainkan diteruskan oleh seluruh umatnya yang beriman dengan cara
meneruskan risalahnya kepada seluruh umat manusia. Dalam kehidupan
keluarga, orangtua adalah guru bagi anak-anaknya. Dan dalam kehidupan
masyarakat yang telah mengenal pembagian kerja, lembaga persekolahan
adalah salah satu upaya yang paling efektif dalam melanjutkan risalah
Muhammad kepada generasi muda dimana guru merupakan aktor
utamanya.
Sedangkan tugas kemanusiaan seorang guru harus terpanggil untuk
membimbing, melayani, mengarahkan, menolong, memotivasi dan
memberdayakan sesama, khususnya peserta didiknya sebagai sebuah
keterpanggilan kemanusiaan dan bukan semata-mata terkait dengan
tugas formal atau pekerjaannya sebagai guru. Sehingga guru benar-benar
mampu, ikhlas (sepenuh hati) dan penuh dedikasi dalam menjalankan
tugas keguruannya.
Dalam lembaga persekolahan, tugas utama guru adalah mendidik
dan mengajar. Dan agar tugas utama tersebut dapat dilaksanakan dengan

168
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam

baik, maka ia perlu memiliki kualifikasi tertentu yaitu profesionalisme:


memiliki kompetensi dalam ilmu pengetahuan, kredibilitas moral,
dedikasi dalam menjalankan tugas, kematangan jiwa (kedewasaan)
dan memiliki keterampilan teknis mengajar, mampu membangkitkan
etos dan motivasi peserta didik dalam belajar dan meraih kesuksesan.
Dengan kualifikasi tersebut diharapkan guru dapat menjalankan
tugasnya sebagai pendidik dan pengajar mulai dari perencanaan program
pembelajaran, mampu memberikan keteladanan dalam banyak hal,
mampu menggerakkan etos peserta didik sampai pada evaluasi.
Guru yang efektif (effective teacher) adalah yang dapat menunaikan
tugas dan fungsinya secara profesional. Untuk dapat melaksanakan tugas
secara profesional diperlukan berbagai persyaratan seperti: kompetensi
akademik, kompetensi metodologis, kematangan pribadi, sikap penuh
dedikasi, kesejahteraan yang memadai, pengembangan karier, dan
budaya kerja dan suasana kerja yang kondusif.
Dalam pandangan Islam, di samping syarat-syarat tersebut, seorang
guru haruslah seorang yang bertaqwa, yaitu beriman, berilmu dan
berakhlakul karimah sehingga tidak saja efektif dalam mengajar tetapi
juga efektif dalam mendidik. Sebab mendidik dengan keteladanan lebih
efektif dari pada mengajar dengan perkataan (lisan al-hal afshahu min
lisan al-maqal).
Karakteristik guru yang efektif sebenarnya mengandung banyak
pertanyaan, mengingat tidak adanya kesepakatan diantara para guru,
peserta didik, orangtua dan administrator tentang peran yang harus
dimainkan oleh guru. Di lingkungan perguruan tinggi, ruang lingkup
tugas guru (dosen) tercantum dalam “Tri Dharma Perguruan Tinggi”,
yaitu: pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat. Guru pada jenjang yang lebih rendah memiliki tugas yang
tidak jauh berbeda dengan dosen di perguruan tinggi bahkan menurut
Supriadi sebenarnya tidak ada perbedaan yang asasi. Perbedaannya bukan
terletak pada jenis peran yang dimainkan melainkan pada intensitas
peran yang dimainkan. Tampubolon menyebutkan gradasi intensitas
peran guru berdasarkan jenjang pendidikan, yaitu sebagai: orangtua atau
pendidik, orangtua atau pengajar, pemimpin atau manajer, produsen
atau pelayan, pembimbing atau fasilitator, motivator atau stimulator

169
Pendidikan Islam

dan peneliti atau narasumber. Guru juga berperan sebagai administrator


sekolah, supervisor dan konselor. Secara umum, semakin rendah jenjang
pendidikan semakin besar perannya sebagai pendidik dan pengajar,
begitu sebaliknya.
Walaupun tugas guru sangat kompleks, namun peran sebagai
sumber educational dan instruksional tetap yang utama, sebab menurut
Winfred F. Hill (2009: 3) dikatakan bahwa peserta didik banyak belajar
selain dari situasi belajar, juga dari guru. Oleh sebab itu, walaupun
tidak mudah untuk melakukan penilaian terhadap peran guru yang
efektif secara keseluruhan, namun pada peran utamanya yang biasanya
dapat diidentifikasi. Wragg mengemukakan guru yang efektif atau guru
yang baik berdasarkan pada anggapan umum adalah guru yang tekun,
bergairah (entusiastik), tertib, tegas tetapi adil, menguasai materi, dan
peduli akan kesejahteraan para peserta didiknya. Selanjutnya Wragg
mengemukakan ciri-ciri guru yang efektif: pertama, mampu menentukan
strategi yang dipakai yang memungkinkan peserta didik belajar; kedua,
memudahkan peserta didik mempelajari sesuatu yang bermanfaat
seperti fakta, keterampilan, nilai, konsep dan bagaimana hidup serasi
dengan sesama; ketiga, guru memiliki keterampilan profesional dan
mampu mengejawantahkan keterampilannya secara konsisten, bukan
hanya atas dasar sekenanya; dan keempat, keterampilan tersebut diakui
oleh mereka yang berkompeten seperti guru, pelatih guru, pengawas atau
penilik sekolah, tutor dan guru pemandu mata pelajaran atau bahkan
para peserta didik sendiri.
Bagaimana guru yang efektif menurut pandangan peserta didik?
Survei UNESCO terhadap anak usia 8-12 tahun dari 50 negara dapat
disimpulkan, guru yang efektif memiliki karakteristik, antara lain: 1).
Hubungan guru peserta didik: bersahabat, menjadi mitra belajar sambil
menghibur peserta didik, menyayangi peserta didik sebagaimana
anaknya sendiri, adil, dan memahami kebutuhan setiap anak dan
berusaha memberikan yang terbaik untuk peserta didiknya, mampu
membantu peserta didik menuju kedewasaan; 2). Berkaitan dengan
tugasnya sebagai guru: mencintai pekerjaannya, cakap secara akademik,
mampu menerangkan dengan jelas, mampu merangsang peserta didik
untuk belajar, mampu memberikan kepada peserta didik sesuatu yang
paling berharga, mampu menjadikan kelas sebagai lingkungan yang

170
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam

menyenangkan; dan 3). Berkaitan dengan sikap dan kepribadian:


berpenampilan menarik, tidak terlalu kaku, bisa menjadi teladan bagi
peserta didiknya.
Sementara itu Davis dan Thomas mengemukakan karakteristik
guru dan pengajaran yang efektif ditinjau dari berbagai aspek seperti
iklim kelas (climate classroom), manajemen (management), umpan balik
dan penguatan (feedback and reinforcement), pembaharuan diri dan
pengembangan staf (self-renewal and staff-development). Dari masing-
masing item tersebut dapat dijabarkan sebagaimana berikut:

1. Beberapa hal berdasarkan penelitian berkorelasi dengan keefektifan


guru dalam hal iklim situasi kelas mencakup hal-hal di bawah:
a). Mempunyai interpersonal yang kuat, khususnya empati,
respek dan kesungguhan.
b). Mempunyai hubungan yang baik dengan peserta didik.
c). Kesungguhan dalam menerima dan peduli terhadap peserta
didik atau peserta didik.
d). Mengekspresikan ketertarikan dan antusiasme.
e). Menciptakan suatu atmosfer kebersamaan dan kepaduan
kelompok.
f). Mengikutsertakan peserta didik dalam pengaturan dan peren-
canaan
g). Mendengarkan peserta didik dan menghormati hak mereka
untuk berbicara dalam resitasi dan diskusi.
h). Meminimalkan perselisihan dalam setiap hal.

2. Beberapa strategi pengaturan management dari guru yang efektif


meliputi:
a). Mengadakan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
ketidak perhatian.
b). Bertanya atau mengajukan tugas-tugas yang membutuhkan
tingkat pemikiran yang berbeda.

3. Yang termasuk dalam area feedback dan reinforcement (penguatan)


a). Memberikan feedback yang positif terhadap respon-respon
peserta didik.
b). Memberikan respon yang sifatnya mendukung terhadap peserta
didik yang berkemampuan rendah.

171
Pendidikan Islam

c). Berusaha untuk meningkatkan dan memperbaiki jawaban-


jawaban memuaskan (e. g., with follow-up questions).
d). Memberikan bantuan apabila di perlukan.

4. Beberapa ciri dari pembaharuan dan pengembangan staf meliputi:


a). Menggunakan kurikulum dan metode pengajaran yang inovatif.
b). Secara berkelanjutan mengembangkan kecakapan seseorang
dalam metode mengajar.
c). Menggunakan perencanaan kelompok guru untuk menciptakan
atau mencari metode pengajaran alternatif.

D. PEMBERDAYAAN GURU
Dalam proses pembelajaran di lembaga pendidikan, terutama di tingkat
madrasah/sekolah dasar, guru merupakan sumber daya edukatif dan
sekaligus aktor proses pembelajaran yang utama. Karena itu upaya
pemberdayaan guru adalah niscaya berdasarkan hal-hal berikut:
pertama, peran guru sebagai sumber edukatif yang utama tak akan
pernah tergantikan walaupun perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi terutama teknologi pembelajaran mengalami perkembangan
sangat pesat. Perubahan cepat dalam teknologi informasi dan teknologi
pembelajaran bukan menjadi penghalang bagi guru sebagai sumber
dan aktor pendidikan yang utama, melainkan menjadi tantangan
yang menuntut kompetensi profesional guru yang lebih tinggi; kedua,
era otonomi daerah dan penyelenggaraan pendidikan yang berbasis
masyarakat (community based education) menuntut pertanggung
jawaban proses penyelenggaraan pendidikan dan proses pembelajaran
di madrasah/sekolah secara transparansi. Karena itu guru yang memiliki
kompetensi profesional yang rendah tidak akan bisa mempertanggung
jawabkan hasil pembelajaran.
Dan ketiga, perubahan sosial diikuti dengan perubahan tuntutan
masyarakat terhadap kompetensi lulusan pendidikan. UNESCO misalnya
memprediksi bahwa pendidikan di abad 21 akan berbeda dengan
abad sebelumnya. UNESCO merekomendasikan The Four Pillars of
Education, yaitu lerning to know, learning to do, learning to live together,
dan learning to be. Penerapan learning to know menuntut penerapan

172
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam

teknologi pembelajaran dan teknologi informasi dalam pembelajaran


dan penerapan prinsip pendidikan sepanjang hayat (live long education).
Penerapan learning to do di masa depan bukan sekedar mengembangkan
kemampuan keterampilan fisik, lebih dari itu harus dibarengi dengan
kemampuan menjalin hubungan interpersonal, yang (kemampuan itu)
muncul dari terbentuknya kecerdasan emosional (emotional intelligence)
pada diri peserta didik. Perwujudan lerning to live together merupakan
keniscayaan dari era globalisasi dimana dialektika antar budaya yang hidup
(living culture) dalam arena pasar bebas akan menimbulkan kerawanan
konflik antar kelompok budaya. Peserta didik perlu dibekali untuk saling
berempati terhadap keragaman budaya sekaligus memelihara kebudayaan
sendiri. Dan learning to be bertujuan untuk membentuk pengajar dan
pembelajar memiliki integritas kepribadian dalam hubungannya dengan
orang lain dan sekaligus memiliki kearifan dan hikmah dalam mensikapi
lingkungannya.
Untuk mewujudkan keempat pilar pendidikan tersebut dalam proses
pembelajaran diperlukan guru yang memiliki kompetensi profesional
yang tinggi, pengalaman dan pengetahuan yang luas. Sementara itu
faktor-faktor lain seperti fisik dan fasilitas, kurikulum dan lingkungan
pada dasarnya hanyalah sebagai sarana pendukung agar guru dapat
menjalankan tugasnya secara efektif mencapai tujuan pendidikan.
Meskipun dalam kenyataan tidak sedikit lembaga pendidikan yang lebih
memprioritaskan membangun gedung dan fasilitas lain yang mewah
sementara gurunya kurang diperhatikan. Padahal tanpa guru yang
berkualitas, gedung dan fasilitas lain tidak akan ada gunanya dan lebih
dari itu proses pendidikan akan mengalami stagnasi bahkan mengalami
kebangkrutan.
Oleh karena itu, perlu terkonstruks guru yang profesional yang
mampu melaksanakan tugasnya secara proporsional, akuntable, dan
sistemik, sehingga menghasilkan output yang bermutu dan marketable
sesuai dengan need of users education yang tetap berlandasakan pada nilai
etik normatif Islam terutama asas tauhid dan akhlaq. Artinya, guru yang
profesional mampu untuk melakukan pembinaan secara intelektual,
namun ia juga perlu untuk membina sisi moralitas peserta didik dengan
nilai-nilai spiritualitas (tauhid dan akhlaq). Dengan pola pemikiran inilah

173
Pendidikan Islam

bisa dipastikan bahwa menjadi sosok guru atau tenaga kependidikan


yang profesional tidak akan terwujud begitu saja (taken for granted)
tanpa ada upaya peningkatan, pengembangan, dan pembinaan Sumber
Daya Manusia (SDM) guru. Sedangkan dalam konteks Indonesia di mana
guru berada dalam berbagai ketidakberdayaan, upaya pemberdayaan
dinilai sebagai suatu yang mendesak. Upaya pemberdayaan guru dapat
dilakukan dengan beberapa pendekatan dan langkah-langkah.

1. Pendekatan Pemberdayaan Guru


Upaya-upaya pemberdayaan secara umum dapat dilakukan dengan
beberapa cara. Kalau upaya pemberdayaan itu diakuivalenkan dengan
pembangunan atau modernisasi, M. Farcis Abraham mengemukakan
beberapa pendekatan: pendekatan struktural, pendekatan kultural,
pendekatan psikologis, pendekatan konflik dan pendekatan proses.
Sementara kalau upaya pemberdayaan itu diakuivalenkan dengan
perubahan sosial, Zaltman membagi dalam tiga strategi: strategi fasilitatif
(facilitative strategies), strategi pendidikan (reeducative strategies), dan
strategi paksaan (power strategies). Mikkelsen lebih menekankan pada
dua pendekatan dalam upaya pemberdayaan yaitu pendekatan dari bawah
ke atas (bottom up approach) dan pendekatan partisipasi (participatory
approach). Dalam Perspektif sistem organisasi, upaya-upaya pemberdayaan
dalam rangka mengelola keefektifan individu, kelompok dan organisasi,
Gibson, Ivancevich dan Donnelly, demikian juga Robbins mengemukakan
sedikitnya tiga pendekatan: pendekatan menurut tujuan (organisasi),
pendekatan teori sistem (organisasi), dan pendekatan budaya organisasi.
Menurut Gaff dan Smith sebagaimana dikutip Hadikoemoro
mengatakan, pemberdayaan guru biasanya menggunakan tiga
pendekatan: pendekatan personal, pendekatan instruksional, dan
pendekatan organisasional. Pendekatan personal lebih menekankan pada
aspek-aspek seperti efektifitas mengajar, pengembangan profesional,
pertumbuhan pribadi serta peningkatan kemampuan teknik dan
keterampilan mengajar. Pendekatan instruksional ditekankan pada
perbaikan pengajaran (instruksional) seperti: pengembangan kurikulum,
desain dan sistem pembelajaran, bahan-bahan pelajaran, pengembangan
teori ke arah efektifitas belajar peserta didik, media dan teknologi

174
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam

pembelajaran. Sementara itu pendekatan organisasional memfokuskan


pada lingkungan dan suasana dimana para komunitas sekolah (guru,
peserta didik, pimpinan dan karyawan) berada. Pendekatan organisasional
mencakup pembinaan tiem, pemecahan masalah, dinamika kelompok,
hubungan antar kelompok, perilaku individu dan kelompok dalam
suatu lingkungan organisasi, keterampilan komunikasi, dan hal-hal lain
yang menyangkut proses-proses interpersonal yang menunjang proses
pembelajaran di sekolah.
Pendekatan organisasional menurut Hadikoemoro lebih lanjut
memang tidak ada kaitannya secara langsung dengan kualitas guru
karena program-programnya tidak secara langsung berhubungan
dengan pelaksanaan pembelajaran di kelas. Pendekatan organisasional
tekanannya pada penciptaan kondisi yang kondusif seperti sistem dan
budaya organisasi yang efektif, hubungan interpersonal antar komponen
organisasi yang sehat, kesejahteraan personal yang baik, pengembangan
karier yang lancar, kepuasan kerja dan lain sebagainya.
Pemberdayaan guru dengan pendekatan organisasional didasari
oleh proposisi, antara lain: 1). Lingkungan, suasana dan budaya sekolah
merupakan persoalan yang mendasar, dan menentukan hal-hal lain.
Lingkungan, suasana dan budaya kerja yang kondusif dan menentukan
perilaku individu-individu yang ada di dalamnya. Sekolah diharapkan
menjadi learning society dan menjadi reinforcemen dan bahkan menjadi
daya paksa bagi pembentukan perilaku guru, peserta didik, pimpinan dan
karyawan sebagaimana diharapkan; dan 2). Suatu organisasi merupakan
suatu sistem yang dinamik dari komponen-komponen yang saling
berkaitan satu dengan yang lain. Perubahan dalam salah satu komponen
dari sistem akan mempengaruhi dan membutuhkan adanya perubahan
pada komponen yang lain. Oleh karena itu upaya untuk memberdayakan
guru berupa peningkatan kemampuan dan profesionalisme, peningkatan
kesejahteraan, pengembangan karier, dan pengembangan aspek pribadi
guru lainnya, harus didukung oleh perubahan-perubahan pada
komponen-komponen lainnya.
Organisasi sekolah biasanya dianggap memiliki ciri-ciri khusus yang
oleh Bidwell dianggap sebagai organisasi dengan struktur yang longgar
dan berkecenderungan untuk mengurangi desakan-desakan ke arah

175
Pendidikan Islam

birokratisasi. Kelonggaran itu berupa otonomi guru dalam menentukan


metode pembelajaran di kelas yang sangat tergantung pada kreativitas
guru secara pribadi, walaupun harus mengikuti kaidah-kaidah umum,
dan kelonggaran struktural yang ditandai dengan tidak adanya hierarki
jabatan yang ketat. Pendek kata, prinsip-prinsip birokrasi sebagaimana
dikemukakan Max Weber tidak bisa dijadikan ukuran efektifitas dalam
organisasi sekolah.
Pemberdayaan guru juga efektif dengan menggunakan pendekatan
partisipasi. Bahkan konsep pemberdayaan (empowerment) itu pada
dasarnya berisi partisipasi (involvement). Pemberdayaan guru dapat
terjadi apabila ada partisipasi aktif dalam proses perencanaan, dan
kegiatan sekolah. Dalam partisipasi setiap guru di-reinforcement,
didorong, diberi kesempatan dan difasilitasi agar bisa memberikan
sumbangan pemikiran, mengadakan inovasi dan kreativitas sehingga
dapat mengembangkan dan memberdayakan dirinya. Tanpa adanya
partisipasi seperti itu pemberdayaan guru sulit dan bahkan tidak akan
terjadi. Pemberdayaan tidak akan terjadi semata-mata melalui cara-
cara top down seperti perintah, petunjuk dan pengarahan. Partisipasi
aktif yang didasari oleh motivasi intrinsik dan didukung oleh iklim dan
suasana organisasi yang sehat merupakan dua faktor bagi berkembangnya
kreativitas. Keberhasilan mewujudkan sekolah yang efektif akan terwujud
apabila ada partisipasi dan keberdayaan semua komunitas sekolah
khususnya guru.

2. Langkah-langkah Pemberdayaan
Secara praktis, langkah-langkah pemberdayaan guru dapat dilaksanakan
berdasarkan pada hasil analisis atas berbagai persoalan yang menjadi
sumber atau menyebabkan ketidakberdayaan. Sumber itu bisa dari guru
yang bersangkutan (faktor internal) maupun dari sistem organisasi
sekolah (faktor internal). Sedangkan secara teoritis, langkah-langkah
pemberdayaan guru dapat dikemukakan di sini berdasarkan pada
persoalan yang dihadapi guru pada umumnya.
Kelompok kerja guru dan tenaga kependidikan mengemukakan
langkah-langkah pemberdayaan guru berdasarkan hasil analisis atas
kondisi guru di Indonesia: Peningkatan kesejahteraan guru, pengembangan

176
BAB 6 – Guru Dalam Pendidikan Islam

karier guru, peningkatan kemampuan guru dan upaya mengatasi beban


psikologis guru.
a). Peningkatan Kesejahteraan Guru
Peningkatan kesejahteraan dapat berupa kesejahteraan-kesejahteraan
ekstrinsik dan intrinsik. Kesejahteraan ekstrinsik terkait dengan gaji yang
layak yang minimal dapat memenuhi kebutuhan fisik (faali atau fisiologis)
yang menurut Maslow sebagaimana dikutip Robins meliputi: rasa lapar,
haus, perlindungan (pakaian, perumahan), seks, dan kebutuhan ragawi
lainnya. Walaupun besarnya gaji diyakini sangat menentukan tingkat
kesejahteraan, namun bukanlah satu-satunya. Seandainya kemampuan
lembaga terbatas untuk memberikan gaji yang memadai, lembaga
dapat melakukan cara-cara lain dalam rangka memenuhi kebutuhan
manusia lainnya sebagaimana dikemukakan Maslow. Kebutuhan itu
meliputi: jaminan keamanan (fisik dan emosional), sosial (kasih sayang,
rasa memiliki, diterima-baik, dan persahabatan), penghargaan
(penghargaan internal seperti harga diri, otonomi dan prestasi; dan
faktor hormat eksternal seperti misalnya status, pengakuan dan
perhatian), dan aktualisasi diri (dorongan untuk menjadi apa yang ia
mampu menjadi; mencakup pertumbuhan, mencapai potensialnya,
dan pemenuhan diri).

b). Pengembangan Karier Guru


Pengembangan karier antara lain dapat dilakukan dengan sistem
promosi terbuka dan jujur sehingga membuka peluang untuk
berkompetisi secara fairness di antara sesama guru. Berbagai jenis
lomba dan penghargaan bagi guru berprestasi perlu dibudayakan.
Jabatan-jabatan struktural yang strategis dan puncak jabatan
fungsional yang dapat dijabat oleh guru dikembangkan baik dengan
memformalkan posisi yang telah ada sekarang maupun dengan
mengembangkan posisi baru yang memang dibutuhkan sejalan
dengan dinamika organisasi sekolah.

c). Peningkatan Kemampuan Para Guru


Peningkatan kemampuan profesional guru dapat dilakukan dengan
berbagai cara seperti: pendidikan lanjutan dalam jabatan, inservice

177
Pendidikan Islam

traing, pembentukan wadah-wadah peningkatan kualitas guru


seperti penyeliaan, Pemantapan Kerja Guru (PKG) dan Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP). Sekolah perlu mengakses informasi
yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan guru majalah,
jurnal, internet dan lain sebagainya.

d). Mengatasi Beban Psikologis Guru


Guru memiliki beban psikologis yang berat akibat tugas-tugas
berat dan kompleks yang harus dilaksanakan, tanggung jawab yang
dipikulkan, kemampuan yang terbatas dan gaji yang kecil. Atas dasar
itu sekolah perlu dikembangkan pembinaan guru secara orang per
orang (individualized) dan bersifat pendekatan pribadi (personalized
approach) untuk memenuhi kebutuhan masing-masing guru.

178
BAB
BAB1

7
INTERAKSI EDUKATIF PEMBELAJARAN:
Membangun Pembelajaran dengan Paradigma
Humanisme

Memanusiakan manusia dalam pendidikan (pendidikan humanis)


adalah upaya “pergerakan” yang terus diperjuangkan oleh para aktivis
pendidikan yang masuk dalam kerangka gerakan anti-naturalis. Di
mana aktivis gerakan ini memanifestasikan dirinya melalui upaya untuk
mengembalikan idealisme humanisme dalam pendidikan sebagai usaha
untuk mengatasi kelemahan dan keterbatasan diri menuju pada afirmasi
penus atas kemanusiaan (Koesoema A., 2010: 40) Bahkan pengaruh
humanisme dalam pendidikan sangat kuat di zaman Renaissance, sebab
para humanis sendiri merupakan pendidik profesional seperti Guarini
Guarini dari Verona (1374-1460) atau Vittorino da Feltre (1370-1446). Di
ranah ini pula hentakan-hentakan pemikiran humanisme melesat keluar
menuju ke ruang yang lebih luas terutama dalam kehidupan publik
(Tjaya, 2008: 36).
Pada arus pendidikan, spirit ini sangat menginginkan pola pembinaan
manusia yang seutuhnya, sehingga pendidikan benar-benar menjadi
medium pelestarian nilai-nilai kemanusiaan manusia. Dengan demikian,
pendidikan yang berparadigma humanistme memandang proses belajar
bukanlah sebagai sarana transformasi pengetahuan saja, tetapi lebih

179
Pendidikan Islam

dari itu, proses belajar merupakan bagian dari mengembangkan nilai-


nilai kemanusiaan. Model pendidikan ini menekankan pada humanizing
classroom yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan
afektif ”, pendidikan kepribadian atau pendidikan nilai (Baharuddin &
Makin, 2007: 11).
Dengan demikian, penulis pada bab ini mencoba untuk melakukan
eksplorasi paradigmatik dalam interaksi edukatif yang tercabar di metode-
metode dalam pembelajaran. Paradigmatik humanisme dalam kajian ini
dititikberatkan pada pengkonstruksian interaksi edukatif antara guru
dan peserta didik yang lebih menghargai nilai-nilai kemanusiaan subjek
dan objek pendidikan. Lazim apabila nantinya pola pemikiran penulis
menjadi bagian esensial di kerangka anatomi filsafat pendidikan Islam
ataupun dalam ilmu pendidikan Islam, sehingga ia diharapkan menjadi
alternatif-solutif dalam kegamangan interaksi pendidikan menuju
pendidikan yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan.

A. PARADIGMA DALAM PENDIDIKAN


Pendekatan pembelajaran tidak dapat dilepaskan dari paradigma dalam
pendidikan yang digunakan sebagai pandangan dasar pembelajaran.
Paradigma pendidikan yang berbeda akan berdampak pada pemahaman
tentang hakekat pendidikan termasuk di dalamnya metode pembelajaran.
Sebelum membahas metode pembelajaran yang humanistik, berikut
dikemukakan tiga paradigma pendidikan yang paling berpengaruh dalam
dunia pendidikan yaitu behaviorisme, rasionalisme dan humanisme.

1. Paradigma Behaviorisme
Paradigma behaviorisme berpendapat bahwa: Pertama, perilaku peserta
didik itu terbentuk oleh pengaruh orang dewasa terutama orang tua dan
guru. Dalam psikologi pendidikan berpendapat ini mirip dengan aliran
empirisme John Lock yang berpendapat bahwa anak yang baru lahir itu
bagaikan kertas putih dimana perkembangannya sangat ditentukan oleh
faktor lingkungan; Kedua, tindakan peserta didik mengikuti hukum
stimulus-respon, sehingga bersifat reaktif. Peran guru yang baik dalam
pendidikan harus pandai-pandai menciptakan stimulus, sehingga akan

180
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:

dapat melahirkan respon positif dan aktif dari peserta didik; Ketiga,
hadiah (reward) dan hukuman (punishment) memegang peranan
penting. Asumsinya adalah anak melakukan tindakan positif (memenuhi
permintaan guru atau aturan) karena mengharapkan atau karena
respon adanya hadiah, sebaliknya maka menghindari perbuatan negatif
karena takut atau sebagai bentuk respon untuk menghindari hukuman.
Guru yang baik adalah yang banyak memberikan hadiah baik berupa
materi atau non materi seperti pujian, sanjungan; dan Keempat, tujuan
pendidikan menurut behaviorisme lebih menekankan “to have” daripada
“to be”, yakni, yang terpenting guru sudah memberikan stimulus berupa
pengetahuan, motivasi, wawasan, keterampilan.

2. Paradigma Rasionalisme
Paradigma ini memiliki pandangan, bahwa: pertama, perilaku manusia itu
dipertimbangkan oleh kognisi. Pendidikan haruslah dapat memperkokoh
intelektualitas dan mengembangkan pengetahuan sebanyak-banyaknya;
Kedua, rasionalitas memegang peranan penting, rasio adalah panglima
yang akan menentukan keberhasilan peserta didik kelak; dan Ketiga,
Tujuan pendidikan yang utama adalah mengembangkan intelektual atau
aspek kognitif peserta didik.

3. Paradigma Humanisme
Paradigma humanisme berpendapat: Pertama, perilaku manusia itu
dipertimbangkan oleh multiple intelligencenya. Bukan hanya kecerdasan
intelektual (IQ) semata, tetapi juga kecerdasan emosional (EQ) dan
spiritual (SQ). Dua kecerdasan terakhir tidak kalah pentingnya dalam
menentukan keberhasilan hidup peserta didik. Bahkan menurut Goleman
(2003), justru kecerdasan emosionallah yang paling menentukan
keberhasilan peserta didik kelak. Sedangkan Danah Zohar (2000), justru
kecerdasan yang terakhir (kecerdasan spiritual) yang paling menentukan
keberhasilan peserta didik. Melalui kecerdasan spirituallah kecerdasan
yang lain dapat terkondisi dan berkembang secara maksimal; Kedua,
peserta didik adalah makhluk yang berkarakter dan berkepribadian serta
aktif dan dinamis dalam perkembangannya, bukan “benda” yang pasif dan

181
Pendidikan Islam

yang hanya mampu mereaksi atau merespon faktor eksternal. Ia memiliki


potensi bawaan yang penting. Karena itu pendidikan bukan membentuk
peserta didik sesuai dengan keinginan guru, orang tua atau masyarakat,
melainkan pembentukan kepribadian dan self concept. Kepribadian dan
self concept itulah yang paling memegang peranan penting; Ketiga, berbeda
dengan behaviorisme yang lebih menekankan “to have” dalam orientasi
pendidikannya, humanisme justru menekankan “to be” dan aktualisasi
diri. Biarlah peserta didik menjadi dirinya sendiri, peran pendidikan
adalah menciptakan kondisi yang terbaik melalui motivasi, pengilhaman,
pencerahan dan pemberdayaan; dan Keempat, pembelajaran harus terpusat
pada diri peserta didik (student centered learning). Peserta didiklah yang
aktif, yang mengalami dan yang paling merasakan adanya pembelajaran.
Bukan semata-mata guru yang mengajar, yang memberikan stimulus atau
yang beraktualisasi diri.

B. METODE PEMBELAJARAN YANG


INTEGRALISTIK
Walaupun terdapat perbedaan penekanan dalam proses pembelajaran,
akan tetapi semuanya dapat ditarik benang merahnya, bahwa pendidikan
senantiasa memiliki dua persoalan penting yaitu pewarisan (inheriting)
nilai, pencerahan (enlightenment) dan pemberdayaan (empowering).
Dalam pewarisan nilai penekanannya pada core kurikulum, bahwa
kurikulum yang baik adalah nilai-nilai tradisi dan kebudayaan yang
terbaik yang telah teruji dalam sejarah dan pendidikan berarti upaya
membentuk masyarakat ideal sebagaimana yang terjadi sebelumnya.
Karena pendidikan menyangkut pembentukan kepribadian manusia
dan masayarakat yang ideal sebagaimana diidealkan oleh orang dewasa,
niscaya tidak boleh berspekulasi dengan cara memberikan nilai-nilai lain
yang belum teruji dalam sejarah.
Sedangkan yang lebih menekankan pada pencerahan dan
pemberdayaan lebih menekankan pada kepentingan si terdidik. Si
terdidiklah yang akan mengalami hari esok pasti akan megalami
perubahan. Pendidikan bukan upaya untuk mengawetkan apa yang ada
dalam masyarakat yang dilakukan oleh orang-orang yang ketakutan

182
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:

menghadapi perubahan. Pendidikan juga bukan sekedar untuk


menciptakan masyarakat yang lebih baik dengan cara menguasai
kurikulum yang diberikan guru, lebih dari itu pendidikan harus mampu
membuat peserta didik haus akan ilmu pengetahuan dan partisipasi
intelektual sepenuhnya dari para pelajar sebagai individu. Sekolah jangan
memisahkan diri dari kenyataan-kenyataan yang ada atau masalah-
masalah yang dihadapi masa kini dan kecenderungannya di masa
depan. Pendidikan adalah proses pergumulan dengan kenyataan hidup
yang senantiasa mengalami perubahan. Karena itu kata Elmo Roper:
“Hanya pikiran yang sabar dan berisi, hanya pikiran yang tidak berhenti
berkembang saja yang siap untuk memberikan kontribusi terhadap
masyarakat demokrasi yang modern” (Battle & Shannon, 1982: 8).
Pendidikan sekarang ini dihadapkan pada persoalan parsialisasi
atau fragmentasi. Parsialisasi atau fragmentasi itu terutama terjadi
dalam tiga hal: hakekat manusia (peserta didik dan tujuan pendidikan),
kurikulum dan ilmu pengetahuan. Fakta yang pertama, parsialisasi dalam
memandang peserta didik dan tujuan pendidikan. Peserta didik tidak
dipandang sebagai sosok manusia yang memiliki kepribadian secara utuh
(integral), melainkan (seakan) terdiri dari berbagai unsur komponen
yang berdiri sendiri. Cara pandang terhadap komponen kepribadian
anakpun tidak sempurna dan tidak adil. Akal dipandang sebagai “raja”
dalam struktur kepribadian peserta didik. Akibat cara pandang ini proses
pendidikan mengalami pendangkalan makna menjadi proses pengajaran
dan proses pengajaran mengalami pendangkalan makna berikutnya
sebagai penjejalan pengetahuan ke dalam otak peserta didik. Paulo
Freire (1984) dalam hal ini menyebutnya sebagai “pengajaran gaya bank”
(banking system teaching). Sebagian besar proses pengajaran ditujukan
kepada otak. Sedangkan urusan ruhani menjadi kapling pendidikan
agama dan budi pekerti, urusan jasmani menjadi kapling guru olah
raga dan urusan emosi menjadi kapling guru kesenian. Kalau terjadi
perkelahian antar pelajar misalnya, kesalahan segera dilimpahkan kepada
guru agama dan budi pekerti.
Akibat cara pandang dan perlakuan yang parsial dan tidak
adil terhadap peserta didik ini, banyak pengamat pendidikan yang
mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia mengalami kegagalan.

183
Pendidikan Islam

Setiap pergantian semester orang tua dipaksa membeli setumpuk


buku baru, tetapi penghayatan terhadap isi buku itu kosong, kepekaan,
kepedualian dan sampai peserta didik canggih, tetapi penghayatan dan
pengamalannya rendah, akhlaqnya kurang terpuji, kepada kedua orang
tua kurang menghormati dan seterusnya. Fenomena yang paling tampak
adalah adanya krisis multi dimensi bangsa Indonesia yang parah dan
berkepanjangan, yang ternyata biangnya adalah krisis moral, akhlak
bangsa.
Parsialisasi kedua adalah cara pandang terhadap kurikulum. Sekolah
selama ini lebih mengutamakan kurikulum formal (formal curriculum)
yaitu kurikulum sebagaimana yang ada dalam silabi dan buku paket.
Guru merasa sudah selesai tugasnya apabila telah mengajarkan atau
menyampaikan isi silabi itu kepada peserta didik. Sedangkan kurikulum
yang tersembunyi (hidden curriculum) nya kurang seperti keteladanan,
kualitas pelayanan, kepedulian dan iklim pendidikan (education climate)
yang lebih berpengaruh dalam pembentukan karakter peserta didik
justru kurang diperhatikan. Akibatnya interaksi guru-peserta didik
lebih dominan sebagai bentuk interaksi transaksional dari pada interaksi
edukatif.
Ketiga, parsialisasi juga terjadi dalam memandang ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan dikapling-kapling secara ekstrim antara satu dengan
lainnya seakan terpisah dan tidak memiliki keterkaitan: ilmu agama-ilmu
umum, ilmu sosial dan humaniora-ilmu eksakta. Persoalannya tidak
berhenti sampai di sini, ketegangan juga terjadi antara pemilik kapling-
kapling tersebut. Siswa jurusan eksakta merasa lebih superior dibanding
dengan lainnya baik sosial, dan humaniora maupun agama. Anak eksakta
perilakunya lebih “dingin” dibanding dengan anak sosial dan seterusnya.
Parsialisasi terhadap peserta didik, kurikulum dan ilmu
pengetahuan tersebut tentu membawa persoalan yang substantif dalam
proses pendidikan maupun maksimalisasi pencapaian hasilnya. Karena
itu diperlukan adanya reintegrasi, dan reintegrasi itu dilakukan tidak
dengan membongkar paradigma ilmu pengetahuan, melainkan melalui
spiritualisasi human being-nya baik guru maupun peserta didik. Artinya,
perlu adanya upaya yang mengangkat potensi kemanusiaan yang hakiki
baca sebagaimana manusia pertama kali diciptakan dengan dasar tujuan
ketuhanan.
184
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:

Tujuan pendidikan adalah untuk membentuk waladun shaleh,


yaitu anak atau orang yang keberadaannya bermanfaat bagi dirinya dan
lingkungannya. Untuk menjadi anak yang shaleh, tidak cukup hanya
mengetahui kaidah-kaidah agama semata, melainkan diperlukan manusia
yang oleh Howard Gardner (1977) disebut sebagai kecerdasan majemuk:
kecerdasan akal (intelletual quotien atau IQ), kecerdasan ruhani (spiritual
quotien atau SQ), kecerdasan nafsani (emotional quotien atau EQ),
dan kecerdasan jasmani (adversity quotien atau AQ). Di mana semua
kecerdasan tersebut terintegrasi dalam diri peserta didik membentuk
kesatuan orientasi yang kemanusiaan dan ketuhanan.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak hanya
mendewakan salah satu bentuk kecerdasan, misalnya kecerdasan
intelektual (IQ) dengan mengejar prestasi akademik setinggi-tingginya,
melainkan pendidikan yang memandang manusia secara utuh,
pendidikan yang mampu menciptakan manusia yang memiliki integritas
dan personality. Bukan pendidikan yang menjejalkan teori-teori, rumus-
rumus, data-data dan informasi ke otak peserta didik, sementara hatinya
dibiarkan merana menjadi hati yang sakit (qalbun maridh) dan bahkan
hati yang mati (qalbun mayyit).
Dalam perspektif Islam, persoalannya tidak berhenti pada
pembentukan anak yang memiliki kecerdasan majemuk (multiple
intelligence) semata, melainkan bagaimana mendayagunakan berbagai
kecerdasan itu agar keberadaannya bermanfaat (usefull) dan bermaslahah
(advantage) bagi diri sendiri dan lingkungannya. Untuk itu diperlukan
petunjuk (direction) bagaimana mendayagunakan kecerdasan itu secara
adil dan bertanggung jawab. Pertama, anak harus mendayagunakan
kecerdasan majemuknya untuk memahami, mengenali dirinya.
Man’arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu, barang siapa yang berusaha
mengenali dirinya niscaya akan mengenali Tuhannya. Mengenali dirinya
dengan menggunakan sepenuhnya kecerdasannya (multiple intelligence)
akan melahirkan kesadaran spiritualitas, sehingga akan membentuk
aqidah yang kuat (qawwatul aqidah) dalam diri peserta didik itu. Hal
ini relevan dengan wahyu Al-Qur’an yang pertama kali turun yaitu surat
al-Alaq ayat 1-5, yang intinya adalah membaca (reading), memahami
(understanding) dan memaknai (meaning) terhadap hakekat diri dan
lingkungan dengan kaca mata spiritualitas (iqro, bismi rabbika …bacalah

185
Pendidikan Islam

dengan nama Tuhan…). Untuk membentuk anak yang shaleh, perlu


dikembangkan paradigma spiritualisasi dalam diri peserta didik agar
mampu memberikan muatan spiritualitas dalam setiap tindakannya
dan mampu mentransformasikan aspek lahiriyah kepada rumah batin
(spiritualitas).
Kedua, anak harus mendayagunakan kecerdasan majemuknya untuk
membangun kekuatan ilmu (quwwatul ilmi) dan rumah ilmu (bait al-
ilmi) dalam dirinya. Ilmu tidak semata-mata berhubungan dengan urusan
kecerdasan akal (intellectual quotient) saja, tetapi juga aspek kecerdasan
lainnya seperti kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan emosi (EQ).
sehingga dengan berilmu pengetahuan peserta didik tidak hanya mampu
perfikir tetapi juga berdzikir. Ulul albab yang secara harfiah berarti
orang yang mempunyai akal pikiran, tidak hanya cerdas dan berkualitas
dalam berpikir, tetapi banyak dan fungsional dalam berdzikir. Dengan
memberikan muatan spiritualitas (spiritualisasi) ilmu yang dimiliki,
peserta didik akan mampu mendayagunakan ilmunya, kepandaian
sebagai cahaya (nur) yang mampu mencerahkan (enlighten) dirinya dan
lingkungannya. Sehingga semakin bertambah ilmunya peserta didik akan
semakin halus budi pekertinya, sehingga semakin bertambah ilmunya
kokoh imannya dan semakin banyak amalnya. Sebaiknya apabila ilmu itu
hanya berhenti pada urusan akal, seakan akal itu tidak ada hubungannya
dengan nafsani dan ruhani peserta didik, maka ilmu yang ada dalam diri
anak itu akan hanya berfungsi sebagai pengetahuan. Tidak ada jaminan
semakin bertambah ilmu akan semakin bertambah imannya, semakin
baik akhlaknya dan semakin banyak amal shalehnya.
Ketiga, anak harus mendayagunakan kecerdasan majemuknya untuk
memperkokoh akhlak kepribadiannya sehingga memiliki kepribadian
yang agung (akhlakul karimah). Kemulyaan akhlak tidak semata-mata
terbentuk oleh pengetahuan dan pemahaman terhadap kaidah-kaidah
agama, norma-norma dalam masyarakat dan hukum yang berlaku (hukum
positif), tetapi lahir dari akal dan pikiran yang jernih (aqlus salim), hati yang
jernih (qalbun salim) dan hati yang suci dari dosa (qolbun munib) serta jiwa
(ruh) yang tenang dalam pangkuan ilahi (nafsul mutmainnah). Akhlakul
karimah adalah puncak tangga kualitas pribadi. Membangun akhlak yang
mulia memerlukan proses yang kompleks dan harus terintegrasi antar
komponen kepribadian peserta didik.

186
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:

Keempat, anak harus diarahkan untuk mendayagunakan kecerdasan


majemuknya untuk memiliki kekuatan ibadah (quwwatul ibadah).
Quwwatul ibadah tidak terbatas pengabdian kepada Tuhan, tetapi juga
pengabdian kepada sesama manusia melalui kepedulian, pelayanan,
pengkhidmatan. Dan pendedikasian seluruh potensi, kompetensi dan
personality.
Tujuan pendidikan yaitu waladun shaleh harus dibangun berdasarkan
pemahaman tentang hakekat dan struktur kepribadian manusia secara
integral. Sehingga waladun shaleh adalah gambaran manusia ideal
yaitu manusia yang memiliki kecerdasan spiritual (spiritual quotient).
Kecerdasan spiritual inilah yang seharusnya paling ditekankan dalam
proses pendidikan karena sebagaimana dikemukakan Zohar dan Marshal
yang mengatakan, kecerdasan spiritual sebagai the ultimate intelligence.
Kalau dalam diri manusia terdapat ketiga jenis kecerdasan yaitu kecerdasn
intelektual (intellectual quotient, IQ), kecerdasan emosional (emotional
quotien, EQ), kecerdasan spiritual (spiritual quotient, SQ) maka Zohar
dan Marsha, Merupakan fundasi yang diperlukan bagi keefektifan dua
kecerdasan yang lain, “SQ is the nicessary foundation for the functioning
of both IQ and EQ. It is our ultimate intelligence” (Zohar & Marshal, 2000:
3-4).
Kalau kecerdasan spiritual anak berhasil ditingkatkan, secara
otomatis akan meningkatkan kecerdasan-kecerdasan lainnya seperti
kecerdasan emosional (emotional quotien) kecerdasan memecahkan
masalah (adversity quotiet) dan kecerdasan intelektual (intellectual
quotient). Keterpaduan, keserasian dan pencahayaan Godspot (ruh)
terhadap kalbu, akal dan nafsu atau jasad jelas akan memaksimalkan
kecerdasan dan fungsi masing-masing. Dalam konteks tujuan pendidikan,
hal ini akan mampu membentuk peserta didik yang memiliki kekokohan
akidah (quwwatul aqidah), kekokohan ilmu (quwwatul ilmi), ketulusan
dalam pengabdian (quwwatul ibadah) dan keluhuran pribadi (akhlaqul
karimah). Ary Ginanjar Agustian (2003: 219) dengan sangat baik ketika
menggambarkan spiritualisasi yang memiliki peran cukup signifikan
dalam mengintegrasikan dan memaksimalkan fungsi seluruh komponen-
komponen kepribadian manusia. Sebaliknya orientasi materialisme
berperan memisahkan dan membelenggu masing-masing komponen

187
Pendidikan Islam

kepribadian manusia.
Skema berikut merupakan alur dari dua kecenderung manusia
dalam menggunakan radar hati mereka. Di mana pada pola materialisme
memiliki pengaruh yang negatif terhadap potensi kemanusiaan manusia
sebagai makhluk yang berketuhanan. Untuk lebih jelasnya lihat skema
berikut:

Masalah & Tantangan

Radar hati

Orientasi Orientasi
Materialisme Spiritualisme
Tauhid

Emosi tidak DIMENSI EMOSI Emosi terkendali:


terkendali: - tenang
- marah - EQ- - damai
- sedih
- kesal, takut

God Spot God Spot terbuka


terbelenggu

DIMENSI
SPIRITUAL
-ESQ-
Suara hati Suara hati
spiritual tertutup spiritual bekerja

DIMENSI FISIK
Logika tidak Logika bekerja
bekerja normal -IQ- normal

IQ, EQ dan SQ OUT PUT IQ, EQ, SQ


Terpisah Terintegrasi

Meta
kecerdasan

Sekarang ini ilmu pengetahuan telah berkembang sedemikian rupa,


jauh melampaui induknya filsafat sebagai the mother of science dan masing-
masing cabang Ilmu memiliki objek formal yang sangat spesifik dan
otonom. Perkembangan ilmu yang menurut Kuhn terjadi secara revolusi

188
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:

itu merupakan sunnatullah dan karenanya tidak ada yang salah dan perlu
dicemaskan. Yang diperlukan adalah cara mensikapi agar perkembangan
ilmu itu tetap membawa rahmat bagi umat manusia. Caranya tidak dengan
melakukan semacam Islamisasi ilmu sebagaimana konsep al-Faruqi, atau
membongkar paradigma kefilsafatannya (ontologis, epestipologis dan
aksiologis) tetapi melakukan spiritualisasi human beingnya (manusia)
terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Spiritualisasi itu meliputi cara
pandang subjek tentang hakekat sumber ilmu dan kegunaan ilmu. Pada
hakekatnya, semua ilmu bersumber dari ilmu Allah dan dengan rahmat
Allah manusia menemukan dan mengembangkannya. Kegunaan ilmu
adalah untuk kesejahteraan umat manusia.
Segala sesuatu harus dimulai dari syahadah dan diakhiri dengan
mengharap ridlo Allah, termasuk dalam pengembangan keilmuan.
Sumber ilmu adalah Allah karena dia adalah Dzat Yang Maha
Mengetahui. Allah menciptakan dan mengajarkan ilmu pengetahuan
lewat ayat-ayat (sign)-Nya berupa alam semesta termasuk di dalamnya
manusia sebagai ayat kauniyah (ayat tercipta) dan wahyu (Al-Qur’an dan
al-Hadits) sebagai ayat Qauliyah (ayat yang terucap). Dengan demikian
Islam sama sekali tidak mengenal dikhotomi apalagi pertentangan antara
pengetahuan umum dan pengetahuan agama karena berasal dari sumber
yang sama yaitu Allah Yang Maha Esa, mengemban misi yaitu rahmatan
lil ‘alamin dan bermuara pada tujuan yang sama yaitu ridla Allah.
Lalu bagaimana hubungan antara kedua ayat Tuhan itu, yaitu ayat-ayat
kauniyah dan ayat-ayat qauliyah? Al-Qur’an bukan kitab suci yang hanya
berbicara tentang persoalan-persoalan ritual saja atau persoalan keagamaan
semata. Al-Qur’an adalah kitab tentang kehidupan yang berbicara tentang
Tuhan, manusia, alam raya, penciptaan dan keselamatan. Kesalahan
yang paling fatal dan yang mengakibatkan munculnya dikotomi antara
ilmu umum dan ilmu agama, karena kesalahan dalam memahami Islam
itu sendiri. Islam difahami seakan-akan terbatas pada masalah-masalah
seperti: aqidah, syari’ah dan akhlak atau tauhid, fiqih, tasawuf, sehingga
ayat-ayat Al-Qur’an tentang penciptaan, ketuhanan, kemanusiaan, alam
raya dan keselamatan (kelangsungan) kehidupan dunia menjadi tidak
populer. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an tentang persoalan riil kehidupan
dalam berbagai aspeknya menjadi tidak berkembang penafsirannya,
pemaknaannya dan pengamalannya.

189
Pendidikan Islam

Allah Yang Maha Esa adalah asal atau sumber dari segala apapun
dalam kehidupan ini termasuk sumber ilmu pengetahuan. Perbedaan-
perbedaan dalam kehidupan ini seperti siang malam, jasmani-ruhani dan
laki-laki-perempuan dan bukan merupakan versus atau lawan, melainkan
sebagai pasangan. Demikian pula antara agama dan ilmu pengetahuan
adalah pasangan. Sebagai pasangan, memang antara agama dan ilmu
pengetahuan memiliki perbedaan terutama secara epistemologis. Tetapi
justru dengan perbedaan itulah yang akan melahirkan kekuatan bagi
siapa yang menyandang keduanya. Beragama yang sekaligus berilmu
pengetahuan akan membentuk orang menjadi shaleh atau hikmah yaitu
yang digambarkan dalam tujuan pendidikan sebagai orang yang memiliki
kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu dan kematangan
professional.

C. METODE TILAWAH, TA’LIM, TADLRIB,


TAZKIYAH, DAN TA’DIB
Lembaga-lembaga pendidikan yang efektif adalah lembaga yang mampu
mencetak dari raw input yang biasa menjadi output yang berkualitas.
Ini berarti proses pendidikan berjalan dengan efektif. Kemampuan
melakukan transformasi inilah yang seharusnya menjadi ukuran
(parameter) efektif atau tidaknya proses pembelajaran. Apabila suatu
sekolah menerima input yang meliputi peserta didik, guru, fisik dan
fasilitas yang biasa akan tetapi output dan outcome-nya ternyata tidak
kalah baik akademik dan non akademik dengan sekolah yang input-
nya serba berkualitas, maka kepemimpinan di sekolah itu merupakan
kepemimpinan yang efektif.
Di samping kualitas akademik output dan outcome-nya, ada hal lain
yang seharusnya sangat perlu memperoleh perhatian baik oleh sekolah
maupun masyarakat yaitu komitmen keberagamaan dan akhlakul karimah
yang justru paling mahal dan paling tinggi nilainya. Apa yang disebutkan
paling akhir (akhlakul karimah) inilah yang sesungguhnya ukuran paling
utama dari sebuah keberhasilan pendidikan. Yang menjadi persoalan
adalah bagaimana proses pendidikan tersebut dilaksanakan? Apakah
kekuatan-kekuatan yang mendorong keberhasilan dari pendidikan.

190
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:

1. Keteladanan
Setiap tenaga didik (guru dan karyawan) di lembaga pendidikan
harus memiliki tiga hal yaitu competency, personality dan religiosity.
Competency menyangkut kemampuan dalam menjalankan tugas secara
profesional yang meliputi kompetensi materi (substansi), metodologi
dan kompetensi sosial. Personality menyangkut integritas, komitmen
dan dedikasi, sedangkan religiosity menyangkut pengetahuan, kecakapan
dan pengamalan di bidang keagamaan. Dengan ketiga hal tersebut, guru
akan mampu menjadi model dan mampu mengembangkan keteladanan
di hadapan peserta didiknya. Semua guru adalah guru agama. Artinya
tugas untuk menanamkan nilai-nilai etis religius bukan hanya tugas guru
bidang studi keagamaan saja, melainkan tugas semua orang di lembaga
pendidikan, termasuk kepala sekolah dan karyawan memiliki fungsi
sebagai guru agama. Semua orang yang ada di sekolah seperti satpam
dan pengelola kantin harus dapat memberi contoh kepada peserta didik.
Semua diminta berpuasa pada bulan Ramadhan dan menjalankan shalat
fardu ain. Guru dianjurkan untuk tidak merokok, dan bagi yang belum
bisa meninggalkannya, seharusnya sekolah menyediakan tempat khusus
yang aman dan tidak terlihat oleh peserta didik. Sekolah seharusnya punya
pedoman pemberian poin penghargaan prestasi guru dan karyawan yang
secara cermat mampu digunakan untuk pedoman pembinaan dan arah
pengembangan.
Semua orang dalam komunitas sekolah harus mampu menjadi
teladan bagi peserta didik. Bahkan peserta didik yang senior juga harus
mampu menjadi teladan bagi adik-adiknya. Berbagai prestasi (akademik
dan non akademik) peserta didik kelas tiga dan dua merupakan
keteladanan yang nyata dan memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi
adik-adik kelasnya.
Keteladanan yang dikembangkan di sekolah adalah keteladanan
secara total, tidak hanya dalam hal yang bersifat normatif saja seperti
ketekunan dalam beribadah, kerapian, kedisiplinan, kesopanan,
kepedulian, kasih sayang, tetapi juga hal-hal yang melekat pada tugas
pokok atau tugas utamanya.

191
Pendidikan Islam

Keteladanan seorang kepala sekolah antara lain adalah apabila


datang paling awal dan pulang paling akhir, terdepan dalam menjalankan
kewajiban dan mau mengalah dalam mengambil hak. Melaksanakan
tugasnya dengan penuh dedikasi, usaha maksimal, keikhlasan, ketekunan,
ketelatenan, ketelitian, ketuntasan dan kepedulian adalah merupakan
bentuk keteladanan. Keteladanan seorang guru adalah apabila ia menjadi
guru yang berprestasi, dan guru teladan. Yaitu guru yang menguasai
materi, metodologi dan terampil dalam mengajar yang didukung dengan
komitmen dan dedikasi yang tinggi sehingga mampu menjalankan tugas
dengan tekun dan disiplin”.
Membangun keteladanan tidak ubahnya seperti membangun kultur
(budaya), watak, dan kepribadian. Pada awalnya terasa sulit dan perlu
perjuangan atau lebih tepatnya disebut jihad. Tetapi setelah terbentuk dan
dirasakan manfaatnya, justru menjadi sebuah kebutuhan. Salah seorang
kepala sekolah berprestasi yang penulis wawancarai mengatakan: “Kalau
ingin menjadi kepala sekolah yang berhasil, ya harus mau repot. Dilihat
sepintas lalu saya sepertinya tampak santai dan tidak ada masalah. Dan
memang itu yang tampak di permukaan. Tetapi sesungguhnya saya sangat
repot (sibuk) dan banyak hal yang harus dipecahkan. Tetapi semua itu
alhamdulillah dapat terselesaikan dengan lancar-lancar saja dan mudah.
Tetapi satu hal yang saya pesankan, kalau hendak menjadikan sekolahnya
menjadi maju, kepala sekolah harus mau repot, harus “mengeram” di
sekolah. Ibarat induk ayam, kalau menginginkan telurnya menetas ya
harus dierami”.
Statemen tersebut menggambarkan bahwa mengembangkan
keteladanan bukan persoalan mudah. Diperlukan niat yang kuat dan
mantap, arah yang terfokus, rasa cinta yang tinggi dan sikap tulus dan
istiqomah. Sikap-sikap inilah yang membuat seorang kepala sekolah
mampu “mengeram” di sekolahnya. Dalam sehari rata-rata sekitar
sepuluh jam berada di sekolah dimulai pukul 06.00 sampai pukul 17.00.
Lebih lanjut kepala sekolah itu mengatakan: “Banyak orang ingin sukses
menjadi pemimpin pendidikan, tetapi sedikit yang mau repot, yang mau
bersusah payah dan yang mau berkorban. Kalau tidak mau repot, tidak
mau bersusah payah dan tidak mau berkorban, ya jangan berharap akan
berhasil. Sebenarnya kalau semua itu (kerepotan, bersusah payah dan
pengorbanan) kalau dinikmati dan disyukuri sebagai sebuah pengabdian

192
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:

kepada Tuhan, akan membawa kebahagiaan. Apalagi kalau ada tanda-


tanda keberhasilan”.
Kepala sekolah juga harus mau dan rela berkorban. Karena inti
kepemimpinan adalah pengorbanan. Mana mungkin seseorang mau
mendengar dan mengikuti ide-ide kita kalau kita tidak mau berkorban
untuk mereka. Ayam saja akan mau mendekat dan akhirnya dapat
kita pegang apabila kita beri jagung terlebih dahulu. Memberi jagung
adalah sebuah pengorbanan. Seseorang yang tidak mau berkorban dan
hanya mau mengambil keuntungan saja, bukanlah seorang pemimpin
melainkan seorang makelar (broker).
Untuk mengembangkan keteladanan, seorang pemimpin pendidikan
dan guru harus rela berkorban. Dan jiwa pengorbanan inilah yang
ditanamkan di lembaga-lembaga pendidikan yang diteliti sehingga dalam
waktu yang relatif singkat mampu melakukan perubahan dengan sangat
cepat. Dengan semangat rela berkorban guru dapat merelakan uangnya
untuk membeli bahan ajar (buku, majalah, dan bahan ajar lainnya), rela
mengorbankan waktu malamnya untuk membuat persiapan mengajar,
ikhlas mendoakan keberhasilan peserta didiknya, rela mengorbankan
sebagian kepentingan peribadi dan keluarganya demi peserta didik dan
sekolahnya, sabar ketika menghadapi perilaku peserta didik yang kurang
menyenangkan, telaten membimbing peserta didiknya yang memiliki
kekurangan. Inilah guru yang berjiwa besar, yang keteladanannya sangat
membekas dalam jiwa peserta didiknya, guru yang benar-benar dapat
“digugu” dan ditiru, seorang pahlawan tanpa tanda jasa tetapi sungguh
sangat besar jasanya. Guru yang dapat diteladani hakikatnya adalah guru
para peserta didiknya sepanjang hayat mereka, bahkan lebih dari itu yaitu
sepanjang masa karena keteladanannya mereka teruskan kepada generasi
sesudah mereka dan seterusnya.
Keteladanan adalah kunci keberhasilan, termasuk keberhasilan
seorang guru dalam mendidik peserta didiknya. Contoh dan keteladanan
lebih bermakna dari seribu perintah dan larangan. Syair Arab
mengatakan: “qawul ul-hal afshah min lisani ‘al-maqal” (keteladanan
lebih fasih dari pada perkataan). Dengan keteladanan guru, peserta
didik akan menghormatinya, memperhatikan pelajarannya. Inilah
implementasi etika religius dalam proses pembelajaran yang sungguh

193
Pendidikan Islam

mampu menggerakkan pikiran, emosi dan nurani peserta didik meraih


keberhasilan. Implementasi etika religius itu harus dimulai dari yang
paling atas yaitu kepala sekolah kemudian guru.

2. Ukhuwah dalam Proses Pembelajaran


Iklim keberagaman sekolah (school religiosity climate) memegang peran
penting dalam menciptakan suasana pendidikan yang kondusif. School
religiosity climate tercermin baik secara fisik, sosial maupun kultural.
Secara fisik lingkungan sekolah yang sangat bersih, asri dan dilengkapi
dengan masjid yang bersih, dan nyaman. Di Masjid inilah kegiatan shalat
(shalat wajib dan shalat sunah) dan kegiatan keagamaan lain dilakukan.
Di masjid ini pula pembelajaran dan penanaman nilai-nilai religius
tentang kehidupan dalam hubungannya dengan Tuhan, diri sendiri dan
lingkungan (sosial dan alam) di tanamkan. Para peserta didik tampak
gembira, kerasan dan tertib melakukan berbagai kegiatan di dalamnya.
Di samping itu, ruangan kelas juga tampak indah dan ekspresif. Peserta
didik diberi kebebasan untuk mengatur dan menghias kelasnya sehingga
suasana kelas menjadi menyenangkan, mengasyikkan dan mencerdaskan.
School religiosity climate juga diwujudkan dalam hubungan sosial
baik inter dan antar peserta didik, guru, karyawan dan kepala sekolah.
Diawali dengan kepedulian kepala madrasah dan masing-masing
wali kelas mempersiapkan dan menyambut kedatangan para peserta
didiknya yang dilanjutkan dengan menyalami dan mendoakan para
peserta didiknya yang datang paling awal sampai bel pembelajaran
dimulai. Setelah itu kepala sekolah berkeliling untuk memantau masing-
masing kelas, unit-unit dan lingkungan sekolahnya dan dilanjutkan
dengan shalat duha di Masjid. Setelah jam 08.00 kepala sekolah baru
dapat duduk di kursinya. Ini adalah contoh sebuah bentuk kepedulian.
Sebab, untuk dapat menciptakan sekolah yang “tersenyum” menyambut
kedatangan para peserta didiknya, kepala seharusnya datang ke sekolah
paling awal dan pulang paling akhir. Ini adalah sebagian dari perjuangan,
pengorbanan dan kepedulian.
Religiositas juga tampak pada penampilan dan keteladanan
pimpinan sekolah, para guru, dan peserta didik. Mereka memakai busana
yang sopan yang memenuhi syarat menutup aurat, indah dan modis baik

194
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:

model, bahan maupun warna. Hal ini sangat penting untuk membangun
citra (image building), membangun kepercayaan (trust building) dan
kebanggaan terhadap lembaga (institution building. Dalam hal pakaian,
perlu dipertimbangkan dengan baik agar para guru dan peserta didik
tidak merasa canggung, ragu atau merasa dipaksa mengenakan busana.
Mereka harus bersyukur dan bangga, percaya diri dan bisa menikmati.
Hal ini penting karena orang yang merasa tertekan, rendah diri dan
merasa ada yang asing dalam dirinya tidak akan mampu mengembangkan
kecerdasannya secara maksimal.
Dalam hubungan sosial, religiositas tercermin dalam ukhuwah
(persaudaraan) bagi seluruh komunitas sekolah. Implementasi ukhuwah
pada komunitas sekolah tercermin pada suasana familiar antara satu
dengan lainnya, rasa kebersamaan, rasa senasib dan seperjuangan,
kekompakan dan kepedulian. Apabila ada warga sekolah baik guru,
karyawan maupun peserta didik yang mendapat musibah, kesulitan
dan hajat yang penting, mereka membantu. Ukhuwah merupakan
kunci keberhasilan sekolah. Ukhuwah dikembangkan bukan hanya
pada hubungan individual, tetapi yang lebih penting adalah antar
komponen sekolah. Misalnya ukhuwah antar guru mata pelajaran yang
sama, ukhuwah antar wali kelas, ukhuwah antar pimpinan dan akhirnya
akhuwah oleh dan untuk semua. Sehingga ukhuwah yang dikembangkan
di sekolah ini adalah ukhuwah yang bertujuan, ukhuwah yang fungsional
dan ukhuwah yang produktif ”.
Religiositas bukan hanya aspek fisik dan hubungan sosial yang
tampak tetapi juga yang terpenting adalah yang tidak tampak, yang
batin, yang latent yang ada dalam hati sanubari masing-masing individu.
Mereka adalah satu hati, satu jiwa dan satu napas yaitu hati, jiwa dan
napas pendidikan. Mereka saling mendoakan, saling mengingatkan,
saling terbuka dan saling membantu demi keberhasilan dalam mengajar.
Dalam kehidupan peserta didik, ukhuwah sangat membantu
kesuksesan belajarnya. Para guru berusaha meciptakan kekompakan
kelas, membiasakan belajar kelompok, membentuk focus group discussion
(FGD) untuk mata pelajaran atau untuk pengembangan wawasan,
ukhuwah dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), intern dan antar
unit dalam bidang minat dan bakat. Belajar kelompok sangat membantu

195
Pendidikan Islam

tampilnya peserta didik dalam berbagai event lomba baik di tingkat lokal,
regional, nasional maupun internasional.
Ukhuwah juga dapat diciptakan antara lain melalui kompleks
masjid. Masjid adalah media yang efektif untuk berkomunikasi dialogis
antar sesama komunitas sekolah. Di Masjid inilah komitmen masing-
masing dibangun dan diperbaharui melalui aktivitas pengajian, halaqah,
diskusi informal dan saling tegur sapa. Kepala sekolah harus terjun
langsung memberikan kuliah tujuh menit (kultum) dan kuliah subuh
kepada komunitas sekolahnya.

3. Pendekatan-Pendekatan yang Digunakan dalam


Pembelajaran
Pendekatan dalam pembelajaran seharusnya berangkat dari konsep dasar
manusia: fitrah. Setiap peserta didik dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu
memiliki akal, nafsu (jasad), hati dan ruh. Konsep inilah yang sekarang
lantas dikembangkan menjadi konsep multiple intelligence. Dalam Islam
terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan
pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilawah, ta’lim’, tarbiyah,
ta’dib, tazkiyah dan tadlrib. Tilawah menyangkut kemampuan membaca,
ta’lim terkait dengan pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual
quotient), tarbiyah menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara
pribadi, ta’dib terkait dengan pengembangan kecerdasan emosional
(emotional quotient), tazkiyah terkait dengan pengembangan kecerdasan
spiritual (spiritual quotient) dan tadlrib terkait dengan kecerdasan fisik
atau keterampilan (physical quotient atau adversity quotient). Sesuai
dengan tujuan pendidikan yang dikembangkan, metode pembelajaran,
goal, output dan outcome pembelajarannya dapat dicermati sebagaimana
pada gambar berikut ini:

196
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:

Allah
Fokus Pendekatan Tujuan Output Out come

Fasih,
Tilawah,
cerdas Sikap ilmiah
Akal ta’lim:
Kreatif Ulun Nuha
(IQ) (kognitif)

Tarbiyah, Moralis Integritas


Kalbu Ta’dib

Waladun Shalih
Etis Ulul Abshar
Fitrah Insaniyah

(EQ) Pend. Nilai


Guru
Sebagai
Saluran Suci Mutmainnah
Jiwa/Ruh Tazkiyah
Ulul Arhm
Hikmah Jernih
(SQ) Olah Jiwa
Muzakki
Peserta didik dibimbing
untuk bertaqwa kepada
Allah
Tardhib Kuat Pejuang
Jasad

Olahraga Cekatan Ulu Quwwah


(AQ)

Gambar: Spiritualisasi Metode pembelajaran

Gambar tersebut menunjukkan spiritualisasi metode pembelajaran


yang dalam konteks tulisan ini merupakan entitas substantif untuk
dikonstruksi dalam pendidikan. Di mana dalam spiritualisasi metode
pembelajaran ini, pendidik yang hakiki adalah Allah, guru adalah
penyalur hikmah dan berkah dari Allah kepada peserta didik. Tujuannya
adalah agar peserta didik mengenal dan bertaqwa kepada Allah, dan
mengenal fitrahnya sendiri. Pendidikan adalah suatu bentuk bantuan
untuk menyadarkan, membangkitkan, menumbuhkan, memampukan
dan memberdayakan peserta didik akan potensi fitrahnya.
Untuk mengembangkan kemampuan membaca, dikembangkan
metode tilawah tujuannya agar anak memiliki kefasihan berbicara dan
kepekaan dalam melihat fenomena. Untuk mengembangkan potensi
fitrah berupa akal dikembangkan metode ta’lim, yaitu sebuah metode
pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menekankan pada
pengembangan aspek kognitif melalui pengajaran. Dalam pendidikan
akal ini sasarannya adalah terbentuknya peserta didik yang memiliki
pemikiran jauh ke depan, kreatif dan inovatif. Sedangkan output-
nya adalah anak yang memiliki sikap ilmiah, ulul albab dan mujtahid.

197
Pendidikan Islam

Ulul Albab adalah orang yang mampu mendayagunakan potensi pikir


(kecerdasan intelektual/IQ) dan potensi dzikirnya untuk memahami
fenomena ciptaan Tuhan dan dapat mendayagunakannya untuk
kepentingan kemanusiaan. Sedangkan mujtahid adalah orang mampu
memecahkan persoalan dengan kemampuan intelektualnya. Hasilnya
yaitu ijtihad (tindakannya) dapat berupa ilmu pengetahuan maupun
teknologi. Outcome dari pendidikan akal (IQ) terbentuknya anak yang
shaleh (waladun shalih). Pendayagunaan potensi pikir dan zikir yang
didasari rasa iman pada gilirannya akan melahirkan kecerdasan spiritual
(spiritual quotient/SQ). Dan kemampuan mengaktualisasikan kecerdasan
spiritual inilah yang memberikan kekuatan kepada guru dan peserta
didik untuk meraih prestasi yang tinggi.
Implementasi ta’lim sangat variatif, bukan hanya pengajaran di
kelas tetapi juga di luar kelas, bukan hanya oleh guru tetapi juga oleh
para expert. Di sebuah Madrasah Tsanawiyah di Malang misalnya
mengembangkan apa yang disebut sebagai “Parent Day”. Yaitu suatu
hari dimana yang mengajar bukan guru sebagaimana hari-hari biasa,
melainkan orangtua peserta didik dan warga masyarakat lainnya yang
memiliki expert komitmen di bidang tertentu yang diperlukan peserta
didik. “Parent Day” merupakan terobosan bentuk pendidikan yang
efektif karena menurut pengakuan beberapa peserta didik kepada
penulis benar-benar dapat ilmu baru yang disampaikan secara menarik
oleh orang-orang yang memiliki kompetensi di bidangnya. “Parent
Day” ini dilaksanakan sebagai salah satu bentuk implementasi program
Community Based School. Para wali murid dan juga anggota masyarakat
yang lain sebenarnya banyak yang memiliki keahlian dan pengalaman
di berbagai bidang seperti dokter, dosen, pengacara, polisi, pengusaha,
pengrajin dan lain sebagainya.
Pelaksanaan program “Parent Day” ini biasanya mendapat sambutan
positif dari berbagai pihak seperti peserta didik, masyarakat, Dinas
Pendidikan dan pemerhati pendidikan. Peserta didik sebagai subjek yang
secara langsung menikmati program ini dan merasa sangat diuntungkan
karena benar-benar mendapatkan informasi yang baru, aktual, mendalam
dan demonstratif. Misalnya ketika seorang ahli bedah saraf menjelaskan
tentang sistem kerja saraf manusia dengan alat peraga yang fungsional,

198
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:

peserta didik benar-benar memperoleh penjelasan yang lengkap dan


mendalam. Di samping itu, banyak peserta didik yang lantas memiliki
imajinasi untuk menjadi dokter. Begitu juga dalam bidang-bidang lain,
senantiasa mendapat respon positif.
Metode tarbiyah digunakan untuk membangkitkan rasa kasih
sayang, kepedulian dan empati dalam hubungan interpersonal antara
guru dengan peserta didik, sesama guru dan sesama peserta didik.
Implementasi metode tarbiyah dalam pembelajaran mengharuskan
seorang guru bukan hanya sebagai pengajar atau guru mata pelajaran,
melainkan seorang bapak atau ibu yang memiliki kepedulian dan
hubungan interpersonal yang baik dengan para peserta didiknya.
Kepedulian guru untuk menemukan dan memecahkan persoalan yang
dihadapi peserta didiknya adalah bagian dari penerapan metode tarbiyah.
Metode ta’dib digunakan untuk membangkitkan “raksasa tidur”, kalbu
(EQ) dalam diri peserta didik. Ta’dib lebih berfungsi pada pendidikan
nilai dan pengembangan iman dan taqwa. Dalam pendidikan kalbu ini,
sasarannya adalah terbentuknya peserta didik yang memiliki komitmen
moral dan etika. Sedangkan out put-nya adalah anak yang memiliki
karakter, integritas dan menjadi mujaddid. Mujaddid adalah orang
yang memiliki komitmen moral dan etis dan rasa terpanggil untuk
memperbaiki kondisi masyarakatnya. Dalam hal mujaddid ini Abdul Jalil
(2004) mengatakan: “Banyak orang pintar tetapi tidak menjadi pembaharu
(mujaddid). Seorang pembaharu itu berat risikonya. Menjadi pembaharu
itu karena panggilan hatinya, bukan karena kedudukan atau jabatannya”.
Implementasi metode ta’dib adalah keteladanan terutama dari kepala
sekolah dan guru. Guru menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya,
berpakaian rapi, berdedikasi tinggi, bertutur kata dan berperilaku sopan,
disiplin, rajin beribadah dan tidak merokok. Intinya, komunitas sekolah
terutama kepala sekolah dan guru haruslah beraklak terpuji (akhlaqul
karimah).
Metode tazkiyah digunakan untuk membersihkan jiwa (SQ).
Tazkiyah lebih berfungsi untuk mensucikan jiwa dan mengembangkan
spiritualitas. Dalam pendidikan Jiwa sasarannya adalah terbentuknya
jiwa yang suci, jernih (bening) dan damai (bahagia). Sedang output-nya
adalah terbentuknya jiwa yang tenang (nafs al-mutmainnah), ulul arham

199
Pendidikan Islam

dan tazkiyah. Ulul arham adalah orang yang memiliki kemampuan jiwa
untuk mengasihi dan menyayangi sesama sebagai manifestasi perasaan
yang mendalam akan kasih sayang Tuhan terhadap semua hamba-Nya.
Tazkiyah adalah tindakan yang senantiasa mensucikan jiwanya dari debu-
debu maksiat dosa dan tindakan sia-sia (kedlaliman).
Implementasi metode tazkiyah antara lain dalam bentuk muhasabah,
yaitu mengajak para peserta didik untuk melakukan introspeksi dan
menyusun “akuntansi” pahala dan dosa yang telah dilakukan disertai
dengan perenungan, zikir, istighosah, khotmul Qur’an dan lain sebagainya.
Penerapan metode tazkiyah ini dilakukan antara lain dengan membentuk
jamaah zikir. Jamaah ini dapat melakukan kegiatannya setiap dua minggu
sekli dengan melibatkan ibu-ibu wali murid.
Metode tadlrib (latihan) digunakan untuk mengembangkan
keterampilan fisik, psikomotorik dan kesehatan fisik. Sasaran (goal) dari
tadlrib adalah terbentuknya fisik yang kuat, cekatan dan terampil. Output-
nya adalah terbentuknya anaknya yang mampu bekerja keras, pejuang yang
ulet, tangguh dan seorang mujahid. Mujahid adalah orang yang mampu
memobilisasi sumber dayanya untuk mencapai tujuan tertentu dengan
kekuatan, kecepatan dan hasil maksimal.
Sebenarnya metode pembelajaran yang digunakan di sekolah lebih
banyak dan lebih bervariasi yang tidak mungkin semua dikemukakan di
sini secara detail. Akan tetapi pesan yang hendak dikemukakan di sini
adalah bahwa pemakaian metode pembelajaran tersebut adalah suatu
bentuk “mission screed” yaitu sebagai penyalur hikmah, penebar rahmat
Tuhan kepada peserta didik agar menjadi anak yang shaleh. Semua
pendekatan dan metode pendidikan dan pengajaran (pembelajaran)
haruslah mengacu pada tujuan akhir pendidikan yaitu terbentuknya
anak yang shaleh. Metode pembelajaran dikatakan mengemban misi
suci karena metode sama pentingnya dengan substansi dan tujuan
pembelajaran itu sendiri. Dalam kaidah fiq’h dikatakan: al-amru bi al-
syai-i amru bi wasailihi (perintah terhadap sesuatu berarti memerintahkan
bagaimana cara mencapai sesuatu itu).

200
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:

D. INTERAKSI EDUKATIF GURU DAN PESERTA


DIDIK
Secara konsepsional, lembaga pendidikan Islam memiliki peran strategis
dan tanggung jawab yang luar biasa besarnya dalam membangun
peradaban umat. Di lembaga pendidikan Islam para ulil albab, ahlul dzikr
dan ulama melakukan kajian-kajian kritis dan inovatif atas persoalan-
persoalan fundamental kehidupan masyarakat, bangsa dan seluruh umat
manusia. Atas dasar itulah barangkali komunitas sekolah diberi gelar oleh
masyarakat sebagai masyarakat terpelajar dan Ali Syariati menyebutnya
sebagai orang-orang yang tercerahkan.
Dalam kajian historis sosiologis bahkan sudah menjadi keyakinan
semua orang, kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh sejauhmana
bangsa itu membangun lembaga pendidikan yang berkualitas. Penelitian
John Vezey diberbagai negara maju menunjukkan adanya korelasi positif
antara kualitas lembaga pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi,
angkatan kerja berkualitas, peningkatan taraf hidup masyarakat dan
peningkatan peradaban pada umumnya. Sejarah kebangkitan Islam pada
abad pertengahan, zaman renaisance maupun kondisi objektif negara-
negara maju menunjukkan betapa besar peran pendidikan, khususnya
perguruan tinggi. Yang menjadi persoalan dan sekaligus yang menjadi
obsesi kita bersama adalah bagaimana agar umat ini dapat membangun
perguruan tinggi yang berkualitas, strategi dan kiat-kiat apa yang mesti
ditempuh sehingga dapat memberi tenaga dan kemampuan ekstra untuk
mengejar ketinggalan, persoalan-persoalan apa yang menjadi ganjalan
sehingga umat yang besar dan potensial perguruan tingginya berjalan
terseok-seok, sedangkan di sisi lain terdapat kelompok-kelompok
tertentu dengan jumlah relatif tidak berarti dan secara sosiologis kurang
mempunyai akar di masyarakat justru memiliki perguruan tinggi dalam
jumlah yang tidak sedikit dan dengan kualitas yang dapat diandalkan.

1. Analisa Untuk Aksi


Mengelola perguruan tinggi, lebih-lebih perguruan tinggi Islam
adalah pekerjaan besar, profesional dan penuh risiko; terutama apabila
dilihat dari segi peran, tanggung jawab dan persoalan-persoalan yang

201
Pendidikan Islam

berhubungan dengan perguruan tinggi itu sendiri. Karena itu para


pengelolanya tidak saja dituntut wawasan keilmuan, kepemimpinan,
manajemen dan masa depan yang tangguh dan profesional, tetapi juga
diperlukan persyaratan-persyaratan lain seperti idealisme, kesungguhan
dan komitmen pada persoalan-persoalan aktual umat. Hal ini juga berarti
bahwa untuk mengelola sebuah perguruan tinggi Islam tidak dapat
diperlakukan sebagai kerja sambilan, untuk memenuhi kepentingan-
kepentingan pragmatis dan jangka pendek, atau sekedar berdakwah
demi “syiar” Islam.
Untuk membangun Perguruan Tinggi Islam (PTI) yang saat ini
telah tersebar di seluruh tanah air tampaknya harus dimulai dari hal-hal
yang sangat mendasar mulai membangun idiil sampai wawasan dunia
Perguruan Tinggi serta landasan strategi pelaksanaannya. Persoalan
yang menyangkut pembangunan idiil misalnya: visi dan misi serta
peran Perguruan Tinggi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
toknologi meliputi keyakinan dan nilai dasar sebuah Perguruan Tinggi.
Sampai saat ini masih banyak di kalangan umat ini yang beranggapan
bahwa kehadirannya di muka bumi adalah dalam rangka mengabdi kepada
Tuhan, dalam arti yang sempit yaitu menyembah secara ritual. Sedangkan
persepsinya tentang persoalan-persoalan hidup cenderung fatalistik dan
minimalis, misalnya sekedar untuk “bekal” beribadah saja. Mereka tidak
dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam bahwa konsep
kekhalifahan itu mengandung makna bahwa setiap kehadiran manusia
di muka bumi baik secara individu maupun bersama-sama harus dapat
membangun peradaban, yaitu memberikan konstribusi bagi terciptanya
tata kehidupan dunia yang makmur, dinamis dan harmoni sehingga
setiap manusia dan bahkan juga binatang atau makhluk-makhluk lain
merasa aman dan nyaman di dalamnya. Karena itu tidak dapat hidup
dengan tegar dan memimpin ide di dunia di kehadiran mereka memang
dipahami bukan untuk hidup melainkan untuk mati.
Persepsi tentang gambaran hidup sebagaimana yang telah dipaparkan
penulis membawa implikasi terhadap pemahamannya tantang ilmu. Ilmu
dipahami secara dikotomis dan terkapling-kapling. Belajar ilmu agama
hukumnya wajib setiap Muslim sedangkan belajar ilmu-ilmu dunia
hukumnya sunah atau fardu kifayah. Yang disebut ulama hanyalah mereka

202
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:

yang ahli di bidang agama, sedangkan selain itu disebut cendekiawan.


Karena itu yang disebut “pewaris” para Nabi dan yang harus dihormati
juga para ulama atau kyai ini. Persepsi dikotomis ini berakibat pada
lahirnya berbagai model pendidikan, mulai dari yang berbentuk pondok
pesantren, sistem madrasah, dan sistem persekolahan. Demikian juga
dengan perguruan tingginnya, terdapat berbagai model yang masing-
masing mempunyai sifat khasnya seperti: Sekolah Tinggi, Akademik,
Institut dan Universitas.
Di kalangan umat Islam, semangat untuk belajar menuntut ilmu
sebenarnya sudah besar, akan tetapi perilaku dalam belajar pada
umumnya tidak efektif dan tidak strategis. pemahaman terhadap ilmu
masih bersifat dikotomis tidak adil dalam mensikapi ilmu pengetahuan.
Di pesantren-pesantren misalnya masih banyak yang mengembangkan
metode hafalan seperti menghafal “Alfiyah” dan semacamnya dari muka
dan dari belakang, mengkaji dan memperdebatkan masalah khilafiyah
baik dalam fiq’h dan teologi, menghafal Al-Qur’an dan Hadits tanpa
memahami maknanya secara memadai mengamalkannya. Sementara
itu ilmu politik, ekonomi, kedokteran, pertanian, peternakan, teknologi,
dan lain sebagainya yang justru sebagai “panglima” kehidupan nyaris
terabaikan. Seandainya semangat belajar siang malam dan memakan
waktu puluhan tahun sebagaimana yang telah mentradisi di lingkungan
pesantren digunakan secara efektif dan efisien terhadap ilmu-ilmu yang
secara langsung menyangkut persoalan-persoalan strategis kehidupan
di masyarakat, niscaya akan lahir para ilmuwan, birokrat, teknokrat,
ekonom yang tangguh, dan bidang-bidang lain yang mempunyai pisisi
strategis akan dimotori oleh orang-orang Islam dan diwarnai oleh nilai-
nilai Islam.
Pemahaman tentang ilmu yang dikotomis dan cara pandang “sebelah
mata” terhadap sain dan ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu keras atau dalam
bahasa agamanya disebut ayat-ayat kauniyah terbukti telah menjadikan
umat ini tidak mampu memimpin atau memerankan diri sebagai
ummatan wasatan selama berabad-abad. Bahkan pemahaman tentang
ilmu itu juga berdampak pada perguruan-perguruan tinggi yang dikelola
oleh umat Islam. Kajian-kajian keIslaman yang dikembangkan oleh
IAIN sebagai foto kopi buram-nya Universitas Al-Azhar Mesir misalnya,

203
Pendidikan Islam

hanya mengkaji ilmu-ilmu keIslaman dalam pengertian yang sangat


terbatas seperti: Tarbiyah, Ushuluddin, Syariah dan Adab. Sementara
kajian-kajian seperti ekonomi, politik dan kebudayaan yang didasarkan
pada nilai-nilai etik Islam dan sebagai perwujudan keimanan, lepas
dari perhatian. Sementara fakultas-fakultas di lingkungan IAIN dengan
berbagai jurusannya di samping kalau dilihat fungsinya overlapping,
dilihat dari filsafat ilmunya kurang solid. Kalau umat ini begitu
bersemangat ketika mengatakan bahwa Islam itu adalah agama wahyu
terakhir yang sempurna (kosmopolitan) dan madaniyah (metropolitan),
mengapa perguruan tingginya tidak melakukan kajian-kajian mendasar
atas bidang-bidang ilmu seperti ekonomi (iqtishadiyah), politik (siyasah),
kedokteran (thib), psikologi (ilmu an nafs) dan lain sebagainya, yang
digali dari Al-Qur’an dan Sunah. Sementara itu Muhammadiyah yang
menggebu-gebu menggelorakan semangat kembali kepada Al-Qur’an
dan Sunah juga tidak jelas realisasinya.
Pemahaman tantang pendidikan Islam yang bidang kajiannya lebih
terfokus pada ilmu-ilmu keagamaan ini telah mewarnai pola pikir dan
sikap umat dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi. Misalnya, umat
ini lebih “pas” kalau mendirikan fakultas agama dari pada fakultas-
fakultas lain. Sehingga Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) dan
Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) misalnya, berdiri sampai ke pelosok-
pelosok kecamatan. Secara rasional sebenarnya bisa diperkirakan bahwa
perguruan tinggi semacam itu akan sulit berkembang, di samping telah
banyak perguruan sejenis yang gulung tikar atau berjalan terseok-seok,
tetapi masih tetap juga didirikan. Bahkan ironisnya disebuah distrik
atau kabupaten jumlahnya seringkali lebih dari satu. Sebab kalau
Muhammadiyah mendirikan STIT misalnya, NU tidak mau ketinggalan
lantas mendirikan perguruan serupa di suatu daerah yang sama pula.
Demikian juga sebaliknya. Pernyataan ini terbukti di wilayah Jawa
timur, dan barangkali juga di daerah-daerah lain, kalau Muhammadiyah
memiliki 10 fakultas tarbiyah maka ada kecenderungan NU juga
mempunyai fakultas tarbiyah dalam jumlah yang sama atau hampir sama.
Karena itu dapat disimpulkan secara sederhana, kalau hendak mencari
jumlah fakultas Tarbiyah di sebuah wilayah tertentu, tinggal menghitung
saja salah satu dari milik Muhammadiyah atau NU terus dikalikan dua.

204
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:

Kenyataan yang sepertinya dibuat-buat ini masih berlanjut di tingkat


ormasnya. Masing-masing mengklaim dengan bangga menyebut telah
memiliki sekian puluh PT melebihi milik pemerintah, sekian ribu SD
dan MI dan belasan ribu sekolah menengah. Kabar ini sebenarnya cukup
mengembirakan tetapi kalau dilihat kualitasnya justru lebih banyak
melahirkan keprihatinan. Beberapa di antaranya telah mati sekian tahun
lalu tetapi masih tetap dalam perhitungan.
Apa yang tampak dari perguruan tinggi Islam sebagaimana
digambarkan tersebut pada dasarnya adalah cermin dari manusia-
manusia yang ada di dalamnya. Cermin dari miskinnya wawasan baik
wawasan keilmuan, keIslaman maupun masa depan, managerialnya
terkeping-keping, berjalan ala kadarnya, tanpa perencanaan dan
cermin dari tidak adanya komitmen pada kepentingan pembangunan
kualitas umat dalam sekala yang lebih besar, atau bahkan cermin dari
tidak adanya idealisme dan cita-cita masa depan. Kalau orang sudah
kehilangan wawasan cita-cita dan idealisme, habislah energinya untuk
berjuang, berkorban dan ketabahan hatinya. Kata orang pintar: “Cita-
cita menghendaki perjuangan, perjuangan menghendaki pengorbanan
dan pengorbanan menghendaki ketabahan hati”. Karena itu secara
umum permasalahan yang dihadapi oleh perguruan tinggi Islam adalah
permasalahan di dalam tubuhnya sendiri. Bukan faktor politik dan
bahkan sebenarnya bukan faktor dana dan tenaga ahli. Sumber daya
umat Islam itu cukup besar dan potensial, tapi belum terkelola dengan
baik.
Itulah gambaran singkat dan mungkin belum memadai terhadap
cara-cara kerja umat dalam menyelenggarakan perguruan tinggi. Bukan
saja tidak profesional tetapi dalam banyak hal tidak rasional. Karena
itu jalan masih panjang dan berliku, sementara bekal dan energi sangat
terbatas untuk menempuh jarak mengejar ketinggalan. Kalau yang
dikenal sampai saat ini ada lima tahap dalam pembangunan perguruan
tinggi yaitu: 1). Konsolidasi idiil dan strukturil; 2). Pembangunan fisik
dan fasilitas; 3). Pembangunan akademik; 4). Pengakuan masyarakat;
dan 5). Aktualisasi diri, maka hanya ada beberapa perguruan tinggi Islam
saja yang sudah beranjak dari pembangunan fisik menuju pembangunan
akademik sebagaimana standarisasi pemerintah. Sedangkan sebagian

205
Pendidikan Islam

besar masih pada tahap konsolidasi, dan inipun berjalan sangat lambat.
Hanya sebagian kecil yang telah melampaui pembangunan akademik
dan bersiap-siap menuju fase pengakuan masyarakat: Kondisi fisiknya
cukup megah dan bersinar, fasilitasnya, termasuk laboratorium dan
perpustakaan cukup lengkap, suasana belajarnya nyaman, dosen-dosen
tetapnya telah dan sedang menempuh pendidikan pasca dan purna
sarjana di dalam dan di luar negeri, mahasiswanya sebagian besar
dari strata menengah ke atas, statusnya sebagian besar terakreditasi A
(unggul), kepemimpinan dan manajerialnya mantap, telah membangun
jaringan dan kerjasama kongkrit dengan instansi-instansi terkait di dalam
dan di luar negeri, dan di antaranya telah membuka program pasca dan
purna sarjana.
Dilihat dari segi sejarah, umat Islam sebenarnya pernah memimpin
dalam pendirian perguruan tinggi. Pada tahun 1936 dalam muktamar
Muhammadiyah di Jakarta dicapai suatu komunikasi untuk mendirikan
Universitas Muhammadiyah. Walaupun belum dapat terwujud karena
berbagai persoalan baik internal maupun eksternal, termasuk terjadinya
perang dunia II, tetapi komunike tersebut mempunyai dampak positif
bagi upaya mendirikan perguruan tinggi Islam. Dalam perkembangan
selanjutnya berdirilah Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas
Islam Sumatera Utara (UISU), yang dapat dikategorikan sebagai
perguruan tinggi perintis di Indonesia. Tetapi dalam perkembangan
selanjutnya, ketika perguruan tinggi di Indonesia berkembang pesat,
pertumbuhan perguruan tinggi Islam sebenarnya terus berlanjut tetapi
menunjukkan ketertinggalannya dengan dinamika tuntutan masyarakat
dan percaturan dunia perguruan tinggi pada umumnya. Ketertinggalan
itu sebenarnya juga dirasakan tetapi mengapa iqra’ dan daya gerak
antisipatif umat terhadap dinamika zaman ini begitu lemah? Mengapa
umat kita sering terkejut dan kelabakan dengan perubahan-perubahan
yang sebenarnya bisa diantisipasi sebelumnya.

2. Bergumul Mengejar Ketinggalan


Pada dekade delapan puluhan terdapat perubahan menarik dalam
perguruan tinggi Islam. Di beberapa kota muncul PTI-PTI yang
mulai menampakkan sinarnya. Bahkan beberapa di antaranya dalam

206
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:

rentang waktu yang relatif singkat, antara lima sampai delapan tahun,
setelah melakukan gerakan-gerakan revolosioner mulai menunjukkan
ketegarannya. Karena itu atas pertimbangan tertentu misalnya identitas
keIslamannya, murah, mobilitas kelulusannya cepat, berada di kota yang
strategis dan karena kualitasnya memadai telah cukup diperhitungkan
oleh masyarakat. Dan bahkan dapat memperkokoh posisinya, tanpa
merasa rikuh, dalam jajaran perguruan tinggi-perguruan tinggi bersekala
nasional. Perguruan tinggi yang dapat disebutkan disini misalnya:
Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Muhammadiyah Surakarta
(UMS), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas
Muslimin Indonesia (UMI), Universitas Islam Bandung (UNISBA) dan
masih banyak lagi.
Berikut akan dikemukakan langkah-langkah menuju pembangunan
kualitas perguruan tinggi Islam. Apa yang dikemukakan disini hanya
sebuah alternatif hasil ijtihadi, sehingga tidak ada alasan untuk dijadikan
sebuah model baku, sebab pola-pola menuju pembaharuan sangat
beragam model dan strateginya disebabkan perbedaan “style” pengelola
dan kondisi objektif perguruan tinggi yang bersangkutan sangat
mempengaruhi model dan strategi pembangunan yang ditempuh. Karena
itu faktor kecerdasan dan daya asosiasi yang tinggi tetap merupakan
faktor utama dalam menemukan model dan gaya yang dianggap paling
pas.
Tahap-tahap pengembangan yang dikemukakan berikut merupakan
perwujudan dari Rencana Induk Pengembangan (RIP) baik jangka
panjang 20-25 Tahun yang akan datang, maupun jangka menengah 5
tahunan maupun rencana pengembangan tahunan yaitu setiap memasuki
tahun ajaran baru. Untuk menyusun RIP atau university plan yang dapat
dijadikan kerangka acuan dalam bertindak secara tepat diperlukan
tenaga profesional dalam mengantisipasi persoalan dan tantangan
serta trend perguruan tinggi masa depan. Kalau orang-orang dianggap
kurang memenuhi persyaratan, dapat mengambil badan konsultasi
pengembangan pendidikan baik milik pemerintah maupun swasta. Hal ini
sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah ketika pada awal tahun 70-
an melibatkan secara langsung Dr. C.E.Beeby, ahli pendidikan UNESCO
dari Selandia Baru, dalam proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP).

207
Pendidikan Islam

RIP sebagai kerangka acuan dan sekaligus alat evaluasi keberhasilan


kerja dalam pelaksanaannya perlu dilakukan evaluasi dan perbaikan-
perbaikan. Sebab kalau manajemen dan kualitas kerjanya baik sering kali
pencapaian target lebih cepat dari yang ditentukan.

3. Tahap Kosolidasi
Tahap konsolidasi ini adalah menata dan membangun niat, yaitu menata
hati, pikiran dan mengkonsentrasikan seluruh potensi atau kekuatan dan
mengeliminir semua tantangan dan hambatan dalam rangka mencapai
tujuan. Karena itu niat tidak sama dengan angan-angan melainkan
sebuah manifestasi idialisme.
Konsolidasi ini meliputi bidang idiil, strukturil dan personil.
Bidang idiil, yaitu berupa pembangunan, wawasan dan cita-cita besar
dan berdimensi jauh kedepan, membangun kesepakatan terpadu
dan kebulatan tekat yang searah akan hakikat, persoalan dan tujuan
perguruan tinggi yang diembannya. Ini sangat menentukan terhadap
sistem maupun cara-cara pengelolaan dan pengembangan masa datang
yaitu, profesionalisme. Dengan demikian gaya manajemen dan budaya
“Ormas” tempat bernaung harus ditinggalkan. Kedudukan perguruan
tinggi sebagai lembaga ilmiah harus betul-betul ditempatkan pada posisi
yang sebenarnya. Selama ini tampaknya manajemen yang diterapkan
dalam mengelola perguruan tinggi Islam adalah manajemen bergaya
ormas, sehingga jalannya serba tidak rasional. Tidak adanya idialisme
dan cita-cita masa depan menyebabkan tidak adanya kegelisahan, serba
lamban dan merasa tidak ada tantangan, menganggap sepi dari percaturan
perkembangan dunia perguruan tinggi maupun perkembangan
pemikiran sosial, politik, ekonomi, budaya dan keagamaan. Padahal
sikap lamban itu kata Iqbal berarti mati.
Bidang Struktural yaitu berupa penataan organisasi. Struktur
dan sistem organisasi perguruan tinggi Islam biasanya mengikuti
struktur perguruan tinggi swasta pada umumnya, baik yang berafiliasi
ke Departemen Pendidikan Nasional maupun ke Depag, serta yang
berafiliasi kepada keduanya. Di samping itu perguruan tinggi Islam
juga mempunyai struktur yang khas sesuai dengan organisasi atau
yayasan penyelenggaraannya. Konsolidasi strukturil ini terutama

208
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:

diarahkan kepada efesiensi dan efektifitas yang sesuai dengan kondisi


dan kemampuan yang dimiliki. Jangan sampai struktur-struktur yang
dikembangkan hanya bersifat formalitas dan memperpanjang saluran
birokrasi, sehingga hanya menambah beban moril maupun material.
Kebijakan ini misalnya bisa dilakukan misalnya dengan melakukan
penyederhanaan organisasi atau pengalihan bidang tugas tertentu pada
bidang lain yang lebih fungsional. Cara ini boleh jadi agak menyimpang
dari ketentuan yang ada, dan mungkin juga ada pihak-pihak tertentu yang
tidak berkenan, sehingga kemungkinan adanya gejolak atau distabilitas
memang ada. Karena itu kebijakan ini perlu dilakukan dengan arif,
strategis dan keberanian, termasuk keberanian menghadapi tantangan.
Tetapi memang tidak ada hidup ini yang tanpa risiko, hanya saja
seorang manajer dapat melakukan pertimbangan-pertimbangan cerdas
sehingga kebijakannya berdampak besar dengan risiko paling kecil. Bagi
seorang manajer tidak ada kamus takut menghadapi tantangan, karena
sebagian dari tugasnya adalah menciptakan tantangan dan sebagian dari
keberhasilannya diukur dari sejauhmana dapat memecahkan tantangan
dengan baik.
Bidang Personil, yaitu penataan dan pengembangan personil
sehingga secara psikologis dan organisatoris kondusif bagi pencapaian
tujuan. Konsolidasi ini biasanya berupa pembinaan etos, disiplin dan
kualitas kerja, mutasi, penyegaran serta rekruitmen tenaga tetap. Langkah
ini dilakukan sejalan dengan kebijakan di bidang konsolidasi idiil dan
strukturil sehingga personal-personal yang diberi amanat benar-benar
mempunyai tanggung jawab, komitmen dan kemampuan sesuai dengan
cita-cita organisasi. Konsolidasi personil ini dalam prakteknya seringkali
lebih sulit dari pada konsolidasi dua bidang sebelumnya karena secara
langsung berhubungan dengan pengelolaan dan pendayagunaan sumber
daya manusia dengan disertai watak, kemampuan dan kepentingan
beragam.
Konsolidasi ketiga bidang tersebut dilakukan dengan terus-menerus
dan berkelanjutan dan ditempuh sejalan dengan usaha-usaha di bidang
penertiban administrasi akademik, materiil dan keuangan yang bersifat
teknis maupun konsepsional. Di bidang administrasi akademik seharusnya
diarahkan kepada perbaikan pelayanan perkuliahan dan penyelenggaraan

209
Pendidikan Islam

ujian negara. Dua hal tersebut bagi PTS terutama yang sedang tumbuh
merupakan suatu tolak ukur terhadap kemampuan dan kelangsungan
hidupnya. Oleh karena itu faktor pendukung yang berupa keaktifan staf
pengajar, status dan persyaratan-persyaratan lainnya perlu diberikan skala
prioritas penanganannya. Di bidang keuangan perlu dilakukan berbagai
bentuk penghematan dan perencanaan anggaran. Kalau tahun lalu tidak
mempunyai saldo atau bahkan defisit misalnya, diupayakan tahun ini
mempunyai saldo, dan tahun depan ditargetkan menjalani peningkatan.
Karena itu di samping mencari pemasukan dari berbagai sumber,
juga dilakukan gerakan kencang ikat pinggang. Pembelanjaan hanya
dilakukan pada bidang-bidang yang dinilai strategis dan produktif untuk
masa datang, sedangkan untuk keperluan konsumtif seremonial seperti
refresing, berbagai bentuk selamatan atau tasyakuran dan peresmian
yang memakan biaya harus ditunda. Hindari sedapat mungkin adanya
konflik yang membawa kepada perpecahan. Komlok dapat diibaratkan
sebagai “kangker ganas” atau virus HIV karena menggerogoti daya tahan
lembaga di bidang keuangan, kredibilitas dosen, semangat belajar dan
akhirnya pada kualitas lulusan.

4. Tahap Pembangunan Fisik dan Fasilitas


Beranjak dari tahap konsolidasi tersebut, maka prioritas kebijakan
berikutnya adalah pada persoalan-persoalan penting yang harus segera
ditangani yang hasilnya dapat menunjukkan adanya peningkatan,
misalnya pembangunan sarana fisik dan fasilitas serta peningkatan status.
Pembangunan fisik misalnya di samping secara langsung dapat dilihat
secara riil, juga merupakan prasyarat bagi pemberian atau peningkatan
status.
Di bidang kemahasiswaan perlu diterapkan prinsip “jemput dan antar
mahasiswa”. “Jemput mahasiswa” maksudnya bukan sekedar melayangkan
surat panggilan, pemberian kemudahan-kemudahan atau janji-janji,
melainkan yang lebih penting adalah menciptakan suasana kampus,
suasana belajar, layanan akademik dan administrasi, dan program-
program baru yang mengundang daya tarik mahasiswa. Sedangkan
“antarkan mahasiswa” maksudnya adalah menciptakan suasana kampus
dan belajar yang nyaman dan kondusif bagi pengembangan kreatifitas

210
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:

mahasiswa, sehingga mereka kerasan dan memperoleh imbalan jasa yang


memuaskan. Selanjutnya antarkan mereka sampai pada tingkat sarjana
yang bermasa depan yang cakap di bidangnya dengan standar kompetensi
seorang sarjana, bukan sekedar lulus kuliah atau mendapat ijazah
kesarjanaan. Kebijakan ini merupakan langkah yang paling strategis dan
mungkin juga paling murah untuk menambah jumlah mahasiswa pada
tahun akademik berikutnya. Dengan kebijakan ini mahasiswa berperan
sebagai “buklet hidup” yang melakukan gethok tular yang akan menarik
“adik-adik” mereka mengikuti jejaknya. Hal ini sangat penting karena
bagi PTS yang survivalnya sangat tergantung pada kondisi mahasiswanya.
Untuk mendukung langkah-langkah tersebut, diperlukan adanya
kecerdasan dan keberanian bertindak ke dalam dan keluar dalam
memantapkan pembangunan fisik ini. Karena itu pemanfaatan jasa
Bank dan mengupayakan bantuan dari berbagai pihak termasuk dari
pemerintah, sumbangan pembangunan mahasiswa dan cara-cara lain
yang profit dan rasional. Intinya, untuk meningkatkan dari kondisi
fisik dan fasilitas yang ada, diupayakan usaha terus-menerus dengan
berbagai cara dan jangan merasa lelah. Sebab hanya dengan niat baik
yang diwujudkan dengan karya nyata dan dapat dirasakan oleh semua
pihak, terutama kalangan civitas akademika, itulah jawaban terbaik
terhadap segala bentuk tantangan dan hambatan yang ada. Untuk terus
mem-beck up pembangunan fisik dan fasilitas ini, pembangunan di
sektor lain terutama perekrutan tenaga tetap yang berdedikasi tinggi,
pemantapan administrasi dan kualitas perkuliahan dilakukan sejalan
dengan pembangunan fisik dan fasilitas.

5. Tahap Pembangunan Akademik


Tahap pembangunan akademik berarti tahap memulai pembangunan
perguruan tinggi yang sebenarnya. Sebab dua tahap sebelumnya
(konsolidasi dan pembangunan fisik) hakikatnya merupakan tahap
persiapan walaupun kebanyakan masyarakat kita masih menilai
perguruan tinggi dari kemegahan gedungnya. Tahap pembangunan
akademik berarti pembangunan kualitas keilmuan dan budaya
keilmuan. Hakikat perguruan tinggi adalah sebuah komunitas ekslusif
karena anggota-anggotanya berwatak, berpikir dan bersikap akademik

211
Pendidikan Islam

(akademika admosphare), bukan sebagai kumpulan para sarjana dan


calon-calon sarjana yang melakukan kompromitas intelektual di bawah
atap gedung megah dan serba “wah”. Pembangunan kualitas akademik
juga berarti pembangunan “mental ilmu”, “pembudayaan keilmuan”, dan
menciptakan “kultur keilmuan” terutama bagi para dosen dan mahasiswa.
Hal ini tentunya memerlukan waktu panjang dan biaya cukup besar tetapi
hasilnya tidak dapat dilihat secara langsung sebagaimana pembangunan
fisik dan fasilitas.
Pembangunan kualitas akademik harus dimulai dari para dosennya,
karena itu yang harus pertama kali digerakkan adalah kesiapan, cita-cita
dan keseriusan para dosennya tentang wawasan keilmuan dan perguruan
tinggi masa depan. Bagaimana agar masing-masing dosen mempunyai
kemampuan akademik yang memadai di bidang masing-masing,
sehingga dijadikan idola para mahasiswanya. Dan inilah sebenarnya
yang perlu perhatian serius dan penanganan yang sungguh-sungguh
karena menyangkut perubahan sikap dan kebiasaan-kebiasaan tertentu
sehingga seringkali cukup sulit dan memakan waktu lama.
Karena itu sangat diperlukan wawasan keilmuan dan berbagai
macam pendekatan. Menyekolahkan para dosennya ke jenjang S2 dan
S3 di dalam dan luar negeri adalah sebuah keharusan, tetapi yang lebih
penting adalah sejauh mana mereka dapat berpikir secara bebas, terbuka
dan berani melakukan kajian-kajian kritis dan inovatif melalui budaya
membaca, meneliti, seminar, simposium dan menulis. Disamping itu
kemampuan berbahasa Inggris dan memiliki wawasan dan pengalaman
internasional juga sangat diperlukan dalam era globalisasi seperti era
sekarang ini.
Kesempatan studi lanjut terutama di manca negara sebenarnya
cukup besar, akan tetapi yang seringkali menjadi kendala bagi perguruan
tinggi yang sedang tumbuh adalah faktor bahasa asing terutama Inggis
dan Arab serta keberanian menjalin komunikasi internasional. Karena
itu kemampuan berbahasa asing dan memperluas jaringan-jaringan
komunikasi dan internalisasi merupakan persyaratan lain dalam
membangun kualitas akademik.
Sekarang ini masyarakat semakin pandai dan selektif dalam memilih
perguruan tinggi. Orang kuliah umumnya sudah benar-benar mencari

212
BAB 7 – Interaksi Edukatif Pembelajaran:

ilmu, keterampilan dan profesionalisme yang bisa diandalkan. Demikian


juga kalangan tertentu pemakai lulusan sudah cukup jeli dalam memilih
perguruan tinggi yang terpercaya. Hal ini sejalan dengan keberhasilan
pembangunan diberbagai sektor kehidupan, yang pada gilirannya juga
mensyaratkan peningkatan kualifikasi sumber daya manusia. “Apakah
sama orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui” (Al-
Qur’an).

6. Tahap Pengakuan Masyarakat dan Aktualisasi Diri


Sebagai masyarakat ilmiah yang mengemban amanat Tri Dharma,
perguruan tinggi dikatakan berkualitas apabila secara fungsional berperan
sebagai pusat perubahan, pusat pembaharuan dan kontrol sosial. Perguruan
tinggi sebagai komunitas intelektual dapat memerankan tanggung jawabnya
dengan tampil ke depan dan terjun di tengah-tengah masyarakat untuk
memanfaatkan ilmu dan keterampilannya demi kesejahteraan masyarakat.
Peran itu dapat dilakukan apabila warga perguruan tinggi terutama
dosennya mempunyai profesionalisme di bidangnya, berwawasan luas dan
mempunyai komitmen terhadap nasib bangsa dan umat manusia. Sehingga
sebagian besar hidup dan profesinya dicurahkan untuk mengabdi kepada
kepentingan-kepentingan kemanusiaan, apakah berupa penemuan-
penemuan baru di berbagai bidang ilmu, teknologi dan seni atau dengan
melakukan gerakan pembebasan terhadap segala kondisi dan situasi yang
tidak manusiawi. Dengan kata lain, tugas insan akademis adalah sangat
mulia, yaitu melakukan gerakan humanisasi dan liberalisasi.
Pengakuan dan rasa hormat masyarakat yang tulus terhadap
beberapa almamater seperti UGM, ITB, dan UI untuk perguruan tinggi
dalam negeri, dan kepada Universitas Mc Gill, Universitas Harvard,
Universitas Boston, Universitas Sorbone dan Universitas Al-Azhar untuk
perguruan tinggi manca negara, disebabkan keberadaan perguruan
tinggi tersebut telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, baik dalam
bentuk alumninya yang berkualitas sehingga dapat mengambil peran
strategis dalam masyarakat dan karya-karya ilmiah atau penemuan-
penemuannya berbobot, maupun keterlibatannya secara langsung sebagai
bursa ide dalam memecahkan persoalan-persoalan masyarakatnya.
Perguruan tinggi sebagai komunitas ahlul zikr dan para resi bukan saja

213
Pendidikan Islam

karena mengetahui realitas sosial dan perkembangan mutakhir dunia


dewasa ini, tetapi juga dapat mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan
yang bakal terjadi pada masa datang dengan cermat dan perhitungan
rasional (bahasa Jawa: weruh sak jeroning winarah). Sehingga kalau ada
permasalahan-permasalahan ekonomi, kependudukan, politik, agama
dan lain sebagainya, rujukannya adalah perguruan tinggi.
Karena itu di beberapa perguruan tinggi yang telah memasuki
tahap pengakuan dan aktualisasi diri ini, harga atau citra seorang
dosen ditentukan oleh sejauh mana dapat menyuguhkan kepada
masyarakat karya-karya ilmiah berbobot: telah menulis sekian buku dan
dijadikan rujukan ilmiah, tulisan-tulisannya dimuat diberbagai jurnal,
penelitiannya menjadi bahan analisis menarik, dan melakukan berbagai
penemuan-penemuannya di bidang sains dan teknologi. Bukan terletak
pada banyaknya jam mengajar, mobilnya, rumahnya atau jabatannya.

214
BAB
BAB1

8
SPIRITUALITAS DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Sebelum manusia diciptakan dalam bentuk makhluk bidimensional


meminjam istilah dari Ali Syari’ati- yang terdiri dari jasmani dan ruhani,
ruh manusia telah mengadakan perjanjian dengan Allah, Allah bertanya
kepada ruh manusia: “…Bukankah aku Tuhanmu?”, lalu ruh manusia
menjawab: “Ya, kami bersaksi…!” (QS. Al-A’raf: 172). Artinya, manusia
secara fitrah merupakan makhluk berketuhanan (monotoisme) yang
di dalam dirinya sudah tertanam (built-in). Namun, karena adanya
belenggu-belenggu spiritual yang terus-menerus mengkontaminasi
kesucian fitrah ini, akhir banyak manusia yang lalai dari hakiki
kemanusiaannya tersebut. Ketika fitrah ini hilang dari diri manusia, ia
akan memiliki sifat yang lepas dari hakikat kemanusiaannya. Di mana ia
akan menjadi makhluk pemakan sesamanya –homo homini lupus- yang
membelenggu manusia lainnya untuk dieksploitasi atas kepentingannya
sendiri.
Lepasnya fitrah kemanusiaan tersebut berimplikasi pada terbukanya
kran-kran praktek dehumanisasi yang mengantarkan kehancuran
peradaban manusia. Pada konteks ini, pendidikan merupakan medium
yang paling urgen dalam merekonstruksi problematika kemanusiaan

215
Pendidikan Islam

manusia. Termasuk pada konteks yang lain, pendidikan merupakan


suatu proses yang akan mengantarkan manusia pada kesempurnaan
dan penegasan status sosial, yaitu melalui dialektika dengan diri
sendiri dan realitas kehidupan dalam proses pembelajaran di dunia
pendidikan. Dengan demikian, pendidikan dapat digunakan sebagai
medium pembebasan yang meletakkan pembebasan manusia pada fitrah
kemanusiannya sendiri (Dzakiri, 2000: 54).
Dengan demikian, manusia merupakan entitas yang memegang
peran penting untuk mengangkat derajat kemanusiaan. Polarisasi ini
sangat sejalan dengan pandangan Paulo Freire; di mana dalam konsep
Freire, manusia ditempatkankan sebagai aktor kunci dalam setiap
dinamika yang terjadi di dunia ini. Dengan daya cipta yang ia miliki,
manusia mencoba untuk terus mewarnai dunia kehidupanna. Freire
menegaskan bahwa memanusiakan dunia secara sederhana berarti
mengisi (impregnating) dunia dengan kehadiran manusia yang sengaja
dan berdaya cipta, menanamnya dengan karya manusia (Freire, 2007:
127). Artinya, manusia adalah penguasa atas dirinya serta kehidupan
sosialnya. Oleh karena itu, fitrah manusia adalah menjadi merdeka, serta
menjadi bebas sebagai tujuan akhir dari upaya humanisasi. Di mana
humanisasi juga berarti sebagai pemerdekaan atau pembebasan manusia
dari situasi-situasi yang menindas di luar kehendaknya (Freire, 2007: ix).
Pada bab ini, penulis menekankan bentuk pendidikan yang di
dalamnya terdapat entitas spiritualisasi yang menjadi napas dari semua
aspek dari proses pendidikan. Spiritualisasi pendidikan diharapkan mampu
menjawab seluruh aspek dan dimensi problematika kemanusiaan yang
muncul seiring dengan menguatnya dehumanisasi. Dengan spiritualisasi
pendidikan inilah penulis meyakini mampu untuk menemukan suatu
bentuk pendidikan yang berusaha memahami dan memperlakukan
manusia secara manusiawi, integral, dan adil dengan orientasi pada aspek
ketuhanan maupun kemanusiaan manusia.

A. GAGASAN TENTANG SPIRITUALISASI


PENDIDIKAN
Gagasan tentang spiritualisasi pendidikan merupakan suatu konsep yang
sedang dikembangkan oleh para pembaharu pendidikan. Diakui bahwa,

216
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

konsep ini merupakan sebuah ijtihad dalam rangka mewujudkan visi


spiritualitas dalam semua aspek dari proses pendidikan. Salah seorang
yang telah menulis buku tentang spritualisasi pendidikan berdasarkan
pengalamannya mengembangkan pendidikan adalah Maulawi Saelan.
Maulawi Saelan yang nama lengkapnya adalah Kolonel CPM (Purn.) H.
Maulawi Saelan adalah Pendiri dan sekaligus ketua Yayasan Syifa Budi
Jakarta yang menyelola Lembaga Pendidikkan Al-Azhar Syifa Budi
Jakarta (atau Al-Azhar Kemang) dan Al-Azhar Boarding School. Tulisan
ini merupakan ringkasan dari salah satu bab penelitian penulis tentang
Spritualisasi Pendidikan, dan juga diilhami oleh buku Saelan yang
berjudul Spritualisasi Pendidikan (2002).
Pendidikan merupakan sebuah pergumulan yang sungguh-sungguh,
suci dan mulia untuk membangun jiwa, (watak/karakter) dan kepribadian
sehingga tercipta manusia yang ahsani taqwim (humanisasi), dan
sebaliknya membebaskannya (liberalisasi) dari belenggu-belenggu yang
menghalangi untuk beremansipasi seperti berbagai bentuk kedhaliman,
kemiskinan dan kebodohan. Pendidikan selama ini tidak integrated
dalam memahami manusia. Pendidikan selama ini lebih tepat disebut
pengajaran yang tujuannya agar anak memiliki pengetahuan tetapi tidak
membuat anak cerdas. Padahal dalam Al-Qur’an (Surat al-Jum’ah ayat
2) dikatakan bahwa Rasulullah itu dalam mendidik umatnya meliputi
tîlawah (membacakan) ayat-ayat Allah, tazkiyah (mensucikan) jasmani
dan ruhani manusia, ta’lim (mengajarkan) kitab dan hikmah kepada
orang yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Karena itu, pendidikan
harus memandang manusia secara utuh dan terintegrasi.
Statemen tersebut harus dimaknai bahwa pendidikan itu harus
memandang manusia secara utuh dan terintegrasi dalam rangka
membebaskan manusia dari belenggu-belenggu yang menghalangi
emansipasi kemanusiaan menuju martabatnya yang paling luhur.
Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari dimensi spiritualitasnya. Pendidikan
yang hanya berorientasi kepada dunia materiil akan menjatuhkan martabat
kemanusiaan itu sendiri.
Keinginan yang kuat untuk mengembangkan spiritualisasi pendidikan
antara lain didasari keprihatinan bahwa pendidikan yang ada sekarang
ini telah mengalami pendangkalan makna yaitu pengajaran untuk

217
Pendidikan Islam

mengejar NEM setinggi-tingginya. Akibatnya pendidikan bukan untuk


berorientasi “menjadi” (being) melainkan berorientasi “memiliki” sesuatu
(having) apakah berupa pengetahuan atau keterampilan. Resikonya
kalau pendidikan itu berorientasi kepada kepemilikan (having), maka
persoalan etika dan kepribadian menjadi kurang diperhatikan. Padahal,
semestinya orientasi pendidikan adalah “being”, yaitu agar peserta didik
dapat menjadi dirinya sendiri sesuai dengan dasar-dasar kepribadiannya
dimana setiap manusia diciptakan dalam keunikan. Praktek pendidikan
sekrang ini juga lebih banyak mengabdi pada kepentingan duniawi.
Pandangan ini juga dianggap tidak utuh dan tidak adil terhadap manusia
sebagai subjek didik dan subjek dalam kehidupan ini.
Spiritualisasi pendidikan adalah sebuah konsep pendidikan yang
berusaha memahami dan memperlakukan manusia secara utuh, adil
dan dalam konteks ketuhanan maupun kemanusiaan. Manusia adalah
makhluk yang terdiri dari: ruh, hati nurani, akal dan nafsu yang hidupnya
tidak dapat dipisahkan dengan Tuhan, alam dan masyarakat. Nilai-nilai
spiritual adalah nilai-nilai ideal (adiluhung) yang menjadi pedoman
manusia ketika berhubungan dengan Tuhan, alam dan sesama manusia
dan ketika beraktualisasi diri sebagai hamba Tuhan, makhluk sosial dan
makhluk yang secara jasmaniah terikat dengan hukum alam. Spiritualisasi
pendidikan dengan demikian bukan sebuah konsep pendidikan yang
eksklusif yang mengarahkan manusia sebagai hamba Tuhan semata dan
lantas kehilangan eksistensi atau jati dirinya sebagai manusia sebagaimana
konsep panteisme, melainkan pendidikan yang berbasis pada nilai dalam
berbagai aspek kehidupan manusia. Dalam perspektif Islam, spiritualisasi
pendidikan berarti menyatukan etika religius (ruh) Islam pada semua
aspek proses pendidikan: tujuan, kurikulum, metode dan lingkungan
pembelajaran. Tujuannya adalah agar tercipta output pendidikan yang
memiliki integritas, yaitu orang yang mempunyai pandangan hidup yang
integrated antara Tuhan, manusia dan alam; antara ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK) terintegrasi dan saling memperkokoh keimanan
dan ketaqwaan (IMTAQ); atau antara iman, ilmu dan amal.
Masalah yang terpenting dari spiritualisasi pendidikan bukan pada
tataran ontologis dan epistemologisnya, melainkan pada aksiologisnya.
Ia tidak mempersoalkan secara filosofis hakikat spiritualisasi pendidikan

218
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

dan paradigma ilmu pengetahuan yang ada, melainkan terfokus pada


bagaimana peserta didik memiliki keberagamaan yang kuat (religions
conseguence) dan mampu bersaing dengan peserta didik lain dari sekolah
favorit yang lain dalam bidang ilmu pengetahuan.
Spiritualisasi pendidikan juga dapat diartikan sebagai memasukkan
ruh, spirit, semangat, etika religions ke dalam semua aspek pembelajaran.
Tujuannya adalah agar tercipta keselarasan dan kesatuan (integrated)
antara ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan iman dan takwa
(IMTAK) sehingga terwujud lulusan yang insan kamil (waladun shalih)
yaitu anak yang memiliki kekuatan akidah (quwwatul ‘aqidah), kekuatan
ibadah (quwwatul ‘ibadah), kekuatan ilmu (quwwatul ‘ilmi) dan budi
pekerti yang agung atau mulia (akhlaqul karimah). Misalnya, guru yang
mengajarkan biologi, dapat terilhami dan sekaligus menjelaskan ayat-
ayat suci Al-Qur’an dan Hadits yang relevan dan mengemukakan tokoh-
tokoh ilmuwan Islam. Bukankah istilah biologi itu sendiri merupakan
terjemahan dari ilmu hayat yang dikembangkan oleh ilmuwan Muslim.
Spiritualisasi pendidikan dapat dilakukan menangkap etika religius,
spirit (ruh) Islam sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an dan
Sunah (ayat qauliyah) dan nilai-nilai dalam hukum alam (ayat kawniyah/
ayat yang tercipta) menjadi sebuah paradigma. Spiritualisasi pendidikan
adalah mengimplementasi paham tauhid dalam pendidikan yaitu kesatuan
nilai dan kesatuan paradigma. Kata kunci dari spiritualisasi pendidikan
adalah pendidikan harus berangkat dari hakikat manusia sebagaimana
yang dicitrakan Tuhan dalam fitrahnya yaitu sebagai makhluk bertuhan,
makhluk sosial dan makhluk yang terikat dengan alam. Pendidikan Islam
harus mampu mewujudkan manusia sempurna agar keberadaannya
mampu menebarkan keselamatan untuk semua (rahmatan lil ‘alamin)
yaitu tercapainya kebaikan dunia dan akhirat (fi al-dunya hasanah wa
fi‘ al-akhirati hasanah). Kerangka pendidikan Islam yang dikembangkan
di sekolah atau kampus yang diteliti dapat digambarkan dalam gambar
berikut ini:

219
Pendidikan Islam

Mengagungkan dan Mensucikan Asma Allah

Allah Rabbul ‘alamin


(God Spot): Pedidik
Ulul Albab
Sejati (pencipta,
Pemeli hara, Pemberi
Rizki, Pembangkit dan Tujuan Waladun Profesional
Pemberdaya, Shalih
Pengasih, Penyayang
Akhlakul
Karimah

Peserta didik Fitrah

SDM
2) Manusia
Pendidik Kompetensi

Rahmatan Lil ‘Alammin


adalah khali-
fahNya. Allah Personality
4) Model
amendidik ma-
Pendidikan
nusia melalui
Islam
nilai-nilai: Integrated
Ketuhanan, Knowledge
Kemanusiaan
Integrated
dan Kealaman
learning

Integrated
Curriculum

Sistem &
Strategi
3) Karunia Allah
untuk mendewasa-
kan umat, yaitu: fitrah, Etos, Iklim &
agama, masyarakat Kultur Islami
Integrated
dan alam semesta Management

TQ/SB
Management

Sarana
Prasarana

Gambar 8-1: Spiritualisasi Pendidikan

Gambar tersebut menunjukkan mengejewantahkan nilai-nilai Islam untuk


menciptakan model pendidikan yang terbaik. Asumsi yang mendasari
mereka adalah Islam sebagai pedoman hidup sempurna yang datang dari
Tuhan untuk dijadikan pedoman hidup. Kalau Islam itu dipahami dan
diamalkan dengan sungguh-sungguh pasti akan mampu melahirkan
manusia sempurna dengan karya-karyanya yang gemilang, termasuk
karyanya di bidang pendidikan. Jika gamabar tersebut dideskripsikan, maka

220
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

akan muncul karakteristik berikut:


1. Allah Rabbu al ‘Alamin. Allah adalah pendidik sejati. Allah memiliki
sifat, dan perbuatan Yang Maha Sempurna dalam kapasitasnya
sebagai pendidik maupun pemimpin pendidikan. Allah Mahaesa,
Maha Mencipta, Memelihara, Memberi rizki, Adil, Pengasih
dan Penyayang. Sifat-sifat Tuhan sebagai pendidik tersebut yang
seharusnya dapat dipelajari, direnungkan dan dihayati oleh para
pendidik dan para pekerja pendidikan lainnya. Keyakinan ini dapat
memanggil dan menimbulkan kekuatan yang luar biasa berupa
sebuah sikap yang konsisten untuk mendedikasikan hampir seluruh
kehidupannya untuk mengembangkan pendidikan dalam rangka
memperoleh perkenan (ridla) Allah.

2. Manusia adalah khalifah-Nya di bumi. Allah mengangkat manusia


sebagai khalifah-Nya melalui uapaya-upaya pendidikan sepanjang
hayatnya. Allah senantiasa mendidik manusia melalui Al-Qur’an dan
Al-Sunah, fenomena kehidupan kemanusiaan dan fenomena alam.
Karena itu Pendidikan Islam tidak sama dengan Pengajaran Agama
Islam. Pendidikan Islam adalah pendidikan tentang pergumulan
hidup dan kehidupan ini, yaitu bagaimana menyiapkan khalifah,
sebagai generasi penerus umat manusia yang mampu berbuat sesuai
dengan hati nuraninya, mampu menangkap pesan-pesan Tuhan
lewat Al-Qur’an dan Al-Sunah secara arif dan bijaksana, mampu
hidup dan menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmoni
dan mampu mengelola kelangsungan alam.

3. Allah memberikan karunia untuk mendewasakan umat agar mampu


mengemban amanat sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Karunia
itu berupa: a). Fitrah, yaitu potensi kemanusiaan yang sangat luar
biasa yang menurut Allah sendiri sebagai sebaik-baik ciptaan (ahsani
taqwim). Melalui kajian tentang fitrah dan pengembangannya,
seseorang akan mencapai kedewasaan; b). Agama, sebagai pedoman
hidup yang berfungsi sebagai petunjuk (hudan), kabar gembira
(basyiran), peringatan (nadziran) dan lampu penerang (sirajan
munira); dan c). masyarakat tempat dimana manusia berkiprah dan

221
Pendidikan Islam

masing-masing individu menjadi bagiannya adalah tempat bergumul


untuk mendewasakan. Masyarakat adalah laboratorium dan fakultas
kehidupan yang sesungguhnya dalam kehidupan manusia. Masyarakat
sebagai sebuah ciptaan Tuhan memiliki postulat-postulat yang
konstan, mengandung kearifan dan hikmah yang sangat mendalam,
dan merupakan karunia Tuhan agar setiap orang dapat belajar,
mengambil pelajaran, berlatih dan berbuat; serta d). Alam semesta,
alam dengan kadar dan potensinya yang terukur (qadarullah) dan
hukum-hukumnya yang pasti (sunnatullah) merupakan karunia
kehidupan dan sekaligus laboratorium untuk mendewasakan umat.

4. Model pendidikan Islam yaitu upaya umat dalam mengejewantahkan


panggilan Tuhan untuk menyelenggarakan pendidikan kepada
generasi mudanya agar terjadi akselerasi kualitas umat. Di sinilah
lahan untuk mengembangkan pendidikan yang dianggap paling
ideal, paling Islami dan paling kontekstual dengan dinamika
kehidupan umat dan bangsa.

Dari uraian tersebut, secara singkat dapat dikatakan bahwa Allah


telah memberikan contoh pendidikan terhadap hamba-Nya dengan
pendidikan yang terbaik dan integralistik, yaitu pendidikan yang
spiritualistik, humanistik dan naturalistik. Para pendidik dan pekerja
pendidikan seharusnya merasa terpanggil untuk berjihad mewujudkan
pendidikannya sebagai pendidikan yang terbaik, yaitu pendidikan yang
mampu memberikan bekal kepada para terdidiknya menghadapi hari
esok: dunia dan akhirat (fi al-dunya hasanah wa fi al-akhirati hasanah).

B. SPIRITUALISASI TUJUAN PENDIDIKAN


Sebagian besar masyarakat dan juga para pelaku pendidikan beranggapan
bahwa suatu lembaga pendidikan dikatakan sukses apabila peserta didiknya
mampu mencapai nilai akademik yang setinggi-tingginya. Kenyataan ini
memang tidak bisa dibantah. Masyarakat menganggap bahwa pencapaian
prestasi akademik sangat penting dan senantiasa berupaya agar peserta
didiknya memperoleh nilai akademik tertinggi dalam ujian nasional, selalu
berupaya agar peserta didiknya mampu menjuarai event-event baik lokal,

222
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

regional, nasional dan internasional. Pencapaian NUN yang tinggi oleh


masyarakat dijadikan sebagai tolok ukur mutu suatu lembaga pendidikan.
Karena itu ada lembaga pendidikan yang berbuat secara tidak fairness
dengan memberikan perlakuan khusus seperti mengkursuskan muridnya
di Lembaga Bimbingan Belajar.
Sebuah lembaga pendidikan dikatakan efektif, antara lain apabila
berani menampilkan nilai rata-rata kelas dan nilai rata-rata kelas itu tidak
jauh berbeda dengan nilai peserta didik yang tertinggi. Namun yang lebih
penting untuk dikemukakan di sini adalah bagaimana pergumulan untuk
mencapai tujuan pendidikan itu sendiri di samping tujuan pendidikan
yang diperjuangkan.
Lembaga pendidikan Islam mestinya mendapatkan kemudahan
dalam menetapkan tujuan pendidikan sebagai hidden curriculum-nya
karena telah dikemukakan secara jelas dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits
yaitu waladun shalih (anak yang shaleh). Waladun shalih digambarkan
sebagai orang yang memiliki kemantapan akidah, kedalaman spiritual,
keluhuran akhlak, keluasan ilmu dan kematangan profesional. Inilah
gambaran manusia ideal, waladun shalih yaitu manusia yang memiliki
integritas, manusia yang utuh, manusia sempurna (insan kamil).
Dengan merujuk konsep Kecerdasan Majemuk sebagaimana
dikemukakan oleh Howard Gardner (1977), tujuan pendidikan
sebagaimana dikemukakan tersebut, telah meliputi berbagai bentuk
kecerdasan (multiple intelligence) baik intellectual quotient (IQ), emotional
quotient (EQ), adversity quotient (AQ) dan spiritual quotient (SQ). Dalam
merumuskan tujuan pendidikan umat Islam lebih banyak terilhami dan
merujuk pada ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits dan model-model pendidikan Islam dalam sepanjang sejarahnya.
Disamping itu perumusan tujuan pendidikan seharusnya merujuk pada
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Garis-
Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Spiritualisasi tujuan pendidikan yaitu
pembentukan waladun shâlih berdasarkan konsep Islam tentang struktur
kepribadian manusia dikemukakan dalam gambar berikut:

223
Pendidikan Islam

Quwwatul Aqidah

Aql

Quwwatul Ilmi Quwwatul Ibadah

IQ
KEILMUAN SQ AQ
Godspo PENGABDIAN
t

EQ
KEPRIBADIAN
Qalb & Ruhani Jasmani &
Nafsu

Akhlakul Karimah

Gambar: 8-2 Spiritualisasi Tujuan Pendidikan (Waladun Shalih)


yang Dibangun Berdasarkan Struktur Kepribadian Manusia
Gambar tersebut menunjukan bahwa tujuan pendidikan yaitu
waladun shalih harus dibangun berdasarkan pemahaman tentang hakikat
dan struktur kepribadian manusia secara integral. Sehingga waladun
shalih adalah gambaran manusia ideal yaitu manusia yang memiliki
kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Kecerdasan spiritual inilah
yang seharusnya paling ditekankan dalam pendidikan. Hal ini dilakukan
dengan penanaman nilai-nilai etis religius melalui keteladanan dari
komunitas sekolah (kepala madrasah, guru dan karyawan), penguatan
pengamalan peribadatan, pembacaan dan penghayatan kitab suci Al-
Qur’an, penciptaan lingkungan baik fisik maupun sosial yang kondusif.
Sebab kalau spiritualitas anak sudah tertata, maka akan lebih mudah
untuk menata aspek-aspek kepribadian lainnya.
Maksudnya, kalau kecerdasan spiritual peserta didik berhasil
ditingkatkan, secara otomatis akan meningkatkan kecerdasan-kecerdasan
lainnya seperti kecerdasan emosional (emotional quotient), kecerdasan
memecahkan masalah (adversity quotient) dan kecerdasan intelektual
(intellectual quotient). Inilah sebenarnya kunci mengapa lembaga

224
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

pendidikan yang berbasis agama lebih banyak berhasil menjuarai


berbagai even perlombaan baik di tingkat lokal, regional, nasional dan
bahkan internasional. Kejuaraan itu meliputi berbagai bidang seperti
juara sekolah sehat tingkat nasional, juara olimpiade matematika, sains,
Bahasa Inggris tingkat nasional dan internasional, juara melukis anak-
anak tingkat internasional.
Keterpaduan, keserasian dan pencahayaan Godspot (ruh) terhadap
kalbu, akal dan nafsu dan jasad jelas akan memaksimalkan kecerdasan
dan fungsi masing-masing. Dalam konteks tujuan pendidikan, hal ini
akan mampu membentuk peserta didik yang memiliki kekokohan
akidah (quwwatul aqidah), kedalaman ilmu (quwwatul ilmi), ketulusan
dalam pengabdian (quwwatul ibadah) dan keluhuran pribadi (akhlakul
karimah).
Bagaimana profil waladun shalih atau ulul albab dalam realitas sosial
di masyarakat? Apabila dipersonifikasikan profil itu sebagaimana ada
dalam diri Amin Rais, Imaduddin Abdul Rahim, Jalaluddin Rahmad,
Nurcholis Madjid, BJ. Habibie, Syahirul Alim, Susilo Bambang Yudoyono,
Abdurrahman Wahid dan lain sebagainya. Mereka adalah orang yang
ahli di bidangnya masing-masing (kematangan profesional), memiliki
pengetahuan yang luas (keluasan ilmu), perilakunya dapat dicontoh
(keagungan akhlak) dan memiliki spiritualitas (murni, jernih, etos,
ikhlas, taqwa dan tawakkal) yang tinggi (kedalaman spiritual).
Untuk mencapai tujuan pendidikan itu diperlukan kerja keras yang
tidak kenal lelah semua pihak dan kepemimpinan yang mencontoh sifat-
sifat Rasul: siddiq (idealisme dan komitmen), amanah (integritas dan
dedikasi), fathanah (kecerdikan dan keuletan) dan tabligh (terbuka dan
terfokus pada sasaran).

C. INTEGRATED KNOWLEDGE: SPIRITUALISASI


KURIKULUM
Integrated knowledge merupakan sesuatu yang diidam-idamkan oleh
para pemikir dan cendekiawan Muslim. Cara membangun integrasi ilmu
yang paling efektif adalah melalui pendidikan. Di beberapa lembaga
pendidikan Islam ada yang telah mencoba menerapkannya. Hal ini

225
Pendidikan Islam

dapat dilihat dari body of knowledge dari kurikulum yang dikembangkan


baik formal curriculum maupun hidden curriculum-nya. Bagaimana
dasar pemikiran, rumusan dan implementasi integrated knowledge dan
integrated curriculum dalam sistem pembelajarannya?
Segala sesuatu harus dimulai dari syahadah dan diakhiri dengan
mengharap ridla Allah, termasuk dalam pengembangan keilmuan.
Sumber ilmu adalah Allah karena Dia adalah Zat Yang Maha Mengetahui.
Allah menciptakan dan mengajarkan ilmu pengatahuan lewat ayat-ayat
(sign)-Nya berupa alam semesta termasuk di dalamnya manusia sebagai
ayat-ayat kauniyah (ayat tercipta) dan wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits)
sebagai ayat qauliyah (ayat yang terucap). Dengan demikian Islam tidak
mengenal dikotomi apalagi pertentangan antara pengetahuan umum dan
pengetahuan agama karena keduanya berasal dari sumber yang sama
yaitu Allah Yang Mahaesa, mengemban misi yaitu rahmatan lil ’alamin
dan bermuara pada tujuan yang sama yaitu ridla Allah.
Lalu bagaimana hubungan antara kedua ayat Tuhan itu, yaitu ayat-
ayat qauniyah dan ayat-ayat qauliyah? Al-Qur’an bukan kitab suci yang
hanya berbicara tentang persoalan-persoalan ritual saja atau persoalan
keagamaan semata. Al-Qur’an adalah kitab tentang kehidupan yang
berbicara tentang Tuhan, manusia, alam raya, penciptaan dan keselamatan.
Kesalahan yang paling fatal dan yang mengakibatkan munculnya
dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama, karena kesalahan dalam
memahami Islam itu sendiri. Islam dipahami seakan-akan hanya terbatas
pada masalah-masalah seperti: akidah, syariah dan akhlak sehingga
ayat-ayat Al-Qur’an tentang penciptaan, ketuhanan, kemanusiaan, alam
raya dan keselamatan (kelangsungan) kehidupan dunia menjadi tidak
populer. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an tentang persoalan riil kehidupan
dalam berbagai aspeknya menjadi tidak berkembang penafsirannya,
pemaknaannya dan pengamalannya”.
Integrated knowledge juga dapat secara langsung diterapkan tanpa
harus diperdebatkan secara epistemologis. Antara ilmu dan agama
tidak saling bertentangan, sebaliknya saling memperkokoh satu dengan
lainnya. Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi. Untuk itu Allah
memberikan karunia-Nya seperti: blue print (sibghah) kemanusiaan
dengan segala potensinya (fitrah), agama (wahyu) dan alam semesta.

226
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

Dari situlah manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.


Tujuannya adalah untuk menciptakan kebahagiaan dunia dan akhirat
(rahmatan lil-‘alamin) dan mardlatillah”.
Dari pemikiran-pemikiran tersebut, integrated knowledge dapat
digambarkan sebagaimana yang tampak pada gambar berikut ini:
APPLIED
SCIENCE

Akidah
PURE
SCIENCE

Fikih
Teologi

Tasawuf
Psikologi

Ekonomi
Antropologi

al-Qur’an
& al-Hadits Bahasa
Sejarah
Allah YME
sumber Manusia
ilmu Sibghoh/ sebagai Politik Rahmatan lil Ridlo
(Tauhid) Fitrah Khalifah Filsafat ’alamin Allah
Rabb
Hukum
Alam Matematika
Semesta

Pendidikan
Fisika

Kedokteran
Kimia

Pertanian
Biologi

Teknik

Gambar: 8-3 Integrated Knowledge dan Spiritualisasi Pendidikan

Gambar tersebut menunjukkan, Allah Yang Mahaesa adalah


asal atau sumber dari segala apapun dalam kehidupan ini termasuk
sumber ilmu pengetahuan. Perbedaan-perbedaan dalam kehidupan ini
seperti siang-malam, jasmani-ruhani dan laki-laki-perempuan, bukan
merupakan lawan melainkan sebagai pasangan. Demikian pula antara
agama dan ilmu pengetahuan adalah pasangan. Sebagai pasangan,
memang antara agama dan ilmu pengetahuan memiliki perbedaan
terutama secara epistemologis. Tetapi justru perbedaan itulah yang akan

227
Pendidikan Islam

melahirkan kekuatan bagi siapa yang menyandang keduanya. Beragama


yang sekaligus berilmu pengetahuan akan membentuk orang menjadi
shaleh yaitu yang digambarkan dalam tujuan pendidikan sebagai orang
yang memiliki kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu
dan kematangan profesional.

D. SPIRITUALISASI SUBJEK DIDIK (GURU DAN


PESERTA DIDIK)

1. Memuliakan Guru
Guru memiliki kedudukan dan peran yang paling penting dalam proses
pendidikan. Lembaga pendidikan unggul adalah lembaga pendidikan
yang mengunggulkan, meninggikan derajat gurunya. Sebaliknya lembaga
pendidikan yang tidak unggul akan menempatkan guru sebagai layaknya
seorang pekerja. Abdul Jalil salah seorang kepala sekolah berprestasi di
Malang Jawa Timur mengatakan: “Kami berusaha menempatkan guru
pada kedudukan yang semestinya. Kita hormati, kita angkat derajat dan
kedudukannya, kita layani, kita perhatikan kesejahteraannya, kita beri
seragam yang bagus. Saya sendiri setiap hari memakai jas lengkap dengan
dasinya. Semua ini bukan apa-apa tetapi karena ingin menjunjung
lembaga ini, lembaga keguruan”.
Posisi strategis guru dalam kegiatan pendidikan disebabkan
karena yang terpenting dalam proses pendidikan itu adalah interaksi
antara guru dan murid. Komponen-komponen lain dalam sistem
pendidikan itu sifatnya hanya pendukung interaksi itu. Karena itu kalau
menginginkan sebuah pendidikan yang bermutu, maka meningkatkan
mutu guru adalah yang utama. Lembaga pendidikan diibaratkan tempat
para resi yang memiliki “kesaktian” dan keberadaannya didatangi orang
dari berbagai penjuru. Bangunan sekolah itu ibarat “sangkar” dan guru
ibarat ‘burung”nya. Sangkar menjadi tidak berarti kalau burungnya
tidak pandai “berkicau”. Tetapi burung yang berkualitas seperti burung
“Perkutut Kung” biasanya sangkarnya juga bagus. Lembaga pendidikan
yang hebat adalah yang gurunya hebat. Dalam pandangan Islam, guru
harus kita pandang sebagai waratsatul anbiya’ (pewaris Nabi) atau duta

228
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

Tuhan. Adalah sebuah kezaliman kalau sekolah tidak memuliakan


mereka. Mereka bukan robot dan bukan sekedar sebagai pekerja. Mereka
adalah aktor yang sesungguhnya dalam proses pendidikan. Di tangan
merekalah mutu pembelajaran dipertaruhkan.

2. Menghargai Peserta didik


Sekolah yang efektif adalah sekolah yang menghargai peserta didiknya.
Peserta didik tidak dianggap sebagai objek, melainkan sebagai subjek
dan sosok pribadi yang memiliki potensi, motivasi, cita-cita, perasaan,
pengalaman dan kebutuhan-kebutuhan sebagai manusia seperti rasa
aman, harga diri dan aktualisasi diri. Pemahaman dan penghargaan
seperti inilah yang kemudian melahirkan kepedulian dan pelayanan
yang berkualitas terhadap peserta didik. Kepala sekolah dan para guru
seharusnya memanggil peserta didiknya dengan penuh rasa sayang,
memperlakukan mereka dengan ikhlas dan penuh kasih layaknya
anaknya sendiri baik di kelas maupun di luar kelas. Berikut dikemukakan
salah satu contoh sebuah dialog kepedulian seorang kepala sekolah (KS)
terhadap peserta didiknya yang terlambat datang:

KS : “Kenapa Kamu terlambat”


Peserta didik : “Sebenarnya saya sudah berusaha tidak
terlambat tetapi karena angkot enggan membawa anak
sekolah, sehingga Saya terlambat. Saya harus dua kali
naik angkot
KS : “Berapa jauh jarak tempuh dari rumah ke sekolah?”
Peserta didik : “Sekitar 5 km”
KS : “Kamu kok kelihatan pucat, apa Kamu sakit?”
Peserta didik : “Tidak”
KS : “Sudah makan pagi”
Peserta didik : “Belum”
KS : ”Orang tuamu kerjanya apa?”
Peserta didik : “Jual nasi pecel”
KS : “Lho kok tidak sarapan sekalian”
Peserta didik : “Orangtua Saya jual nasi pecel di Jakarta”

229
Pendidikan Islam

KS : ”Terus bagaimana makan Kamu”


Peserta didik : “Nanti waktu istirahat beli roti Rp. 500,- dan siangnya
beli lagi roti Rp. 500,-“

Seorang kepala sekolah dan guru yang memiliki kepedulian terhadap


peserta didiknya akan mengetahui kondisi dan problem yang dihadapi
peserta didiknya baik yang berhubungan secara langsung dengan sekolah
maupun yang tidak. Dengan mengetahui persoalan atau kesulitan yang
dihadapi peserta didik, kepala sekolah dan guru akan bersikap lebih arif
dan bijaksana dalam memberikan pelayanan pendidikan dan berusaha
membantu mencarikan jalan keluarnya. Hubungan guru-murid menjadi
dekat, saling memahami, saling empati dan saling menghargai. Kondisi
ini membantu kesuksesan guru dalam mengajar dan membantu murid
dalam belajar.
Sebaliknya apabila seorang guru dan kepala sekolah tidak memiliki
kepedulian terhadap peserta didiknya. Hubungan antar peserta didik dan
guru beserta kepala sekolah menjadi jauh, bersifat transaksional sehingga
saling menuntut, saling menyalahkan, guru mengajar tidak dengan enjoy,
suasana kelas tegang dan bahkan peserta didik protes atau demonstrasi
terhadap guru atau kepala sekolahnya.
Salah satu indikator kepedulian sekolah terhadap peserta didiknya
adalah ramainya kunjungan peserta didik ke kantor Bimbingan dan
Konseling (BK). Peserta didik tidak terbebani ketika kantor BKnya ramai
dikunjungi peserta didik. Peserta didik yang datang bukan hanya yang
memiliki masalah sehingga perlu penanganan secara kuratif, melainkan
ada yang sekedar minta nasihat, diskusi kiat belajar sukses, diskusi
masalah kepribadian dan lain sebagainya. Kantor BK tidak terkesan
ekslusif dan angker serta menakutkan dan memberikan kesan negatif
bagi para pengunjungnya, melainkan tampak santai, familiar, dan ramai.
Sekolah yang efektif tidak hanya menuntut agar peserta didik
menghormati guru sebagaimana misalnya dikemukakan dalam kitab
“Ta’limu al-Muta’allim” karya al-Zarnuzyi, melainkan gurulah yang
memberikan keteladanan terlebih dulu tentang bagaimana menghargai
dan menghormati peserta didiknya. Dengan cara ini, niscaya peserta
didik akan bersikap serupa terhadap gurunya. Sebaliknya guru yang

230
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

hanya menuntut agar peserta didiknya menghargai dan menghormati


dirinya dengan tanpa adanya keteladanan, ada kecenderungan guru
tersebut menggunakan pendekatan struktural dan bahkan kekerasan
dalam mendidik peserta didiknya, seperti pendekatan hukuman.
Penghargaan dan kepedulian terhadap peserta didik tidak hanya
ditujukan kepada peserta didik yang berprestasi atau peserta didik yang
memiliki kelebihan lainnya saja, tetapi juga peserta didik yang bermasalah
dan bahkan terhadap peserta didik yang tidak dapat dipertahankan lagi
sebagai peserta didik alias harus dikembalikan kepada orang tuanya alias
dikeluarkan. Pernah ada seorang kepala sekolah harus mengeluarkan
(DO) salah satu peserta didiknya setelah yang bersangkutan tiga
kali melakukan pelanggaran relatif serius. Berdasarkan kesepakatan
sebelumnya dengan orangtua peserta didik, bahwa apabila peserta didik
yang bersangkutan melakukan pelanggaran lagi harus dikeluarkan.
Dengan kalimat yang menyejukkan kepala sekolah itu mengatakan
kepada wali murid dan peserta didik yang bersangkutan: “Dengan
ucapan mohon maaf dan terima kasih, sesuai dengan perjanjian yang
telah kita sepakati, saya harus mengembalikan si Fulan kepada Bapak
dan Ibu. Mungkin sekolah ini tidak cocok atau kurang diminati putera
Bapak atau Ibu. Mudah-mudahan dengan peristiwa ini semua pihak
dapat mengambil pelajaran dan hikmah dan semoga si Fulan ini menjadi
anak yang shaleh”.
Di balik statemen yang diucapkan dengan bahasa yang halus tersebut
sebenarnya mengandung sikap yang tegas dan kasih saying sekaligus.
Setelah dua tahun kemudian si Fulan datang menemui kepala sekolah
itu untuk menyampaikan rasa terima kasihnya karena telah lulus dari
sekolah yang baru dan telah berubah. Hikmah yang dapat diambil dari
peristiwa itu adalah dalam menghadapi peserta didik yang bersikap tidak
semestinya memang harus tegas tetapi dengan cara yang bijaksana, peduli
dan penuh kasih. Kekerasan yang dihadapi dengan kekerasan cenderung
akan melahirkan kekerasan baru yang berlarut-larut. Menyadarkan
kesalahan dan mengalahkan keburukan seringkali tidak bisa kontan
tetapi seringkali bertahap. Dalam kasus si Fulan memerlukan waktu dua
tahun.

231
Pendidikan Islam

Penghargaan terhadap peserta didik dilakukan semenjak peserta


didik masuk halaman sekolah yang disambut dengan selamat datang
(salaman) oleh terutama kepala sekolah, wakil kepala sekolah, wali
kelas dan para guru. Salaman ini dampaknya luar biasa bagi peserta
didik apabila kepala sekolah dan guru melakukannya dengan penuh
penghargaan, penuh perhatian, kepedulian dan doa kepada para peserta
didik yang pikirannya masih segar (fresh). Peserta didik merasa bangga,
merasa dihargai, dihormati, diperhatikan dan merasa dipentingkan
keberadaannya. Hubungan timbal balik yang bersifat etis ini pada
gilirannya akan menumbuhkan sikap saling empati, saling menghargai,
saling menjaga, saling menghormati dan saling peduli antara peserta
didik dengan guru maupun dengan kepala sekolah.
Penghargaan adalah bagian dari piramida kebutuhan dasar manusia
menurut Maslow. Dengan dihargai peserta didik akan merasa tersanjung,
tumbuh rasa percaya diri, merasa diperhitungkan eksistensinya dan
akhirnya peserta didik mampu mengaktualisasikan seluruh potensi
secara maksimal dan mampu mengekspresikan perasaan, minat dan
bakatnya tanpa rasa ketakutan, minder atau rendah diri.
Dengan sikap penuh penghargaan terhadap peserta didik, sekolah
berusaha memberikan layanan yang terbaik, memfasilitasi kebutuhan
peserta didik baik kebutuhan jasmani, ruhani maupun sosial. Sekolah
seharusnya menyediakan kantin dan toko yang memenuhi kebutuhan
jajanan dan makanan yang higienis, enak dan dengan harga yang
terjangkau serta selalu terkontrol. Sekolah menyediakan fasilitas untuk
menyalurkan minat dan bakat seperti berbagai jenis olahraga dan seni,
pramuka, dan dokter cilik, polisi cilik dan lain sebagainya. Dalam hal
pakaian, sekolah menetapkan corak, motif, kain dan mode yang bagus
sehingga modis, modern, sehat, memenuhi syarat dalam hal menutup
aurat dan tidak mengganggu aktivitas anak.

3. Hubungan Spiritualitas dan Profesionalitas


Menjadi guru adalah sebuah panggilan hidup untuk menebarkan salam,
rahmat, karunia, kasih sayang dan hikmah Allah kepada peserta didik.
Guru yang bekerja (mengajar, mendidik) hanya untuk mencari nafkah
dan kehormatan dirinya akan berbeda dengan mereka yang bekerja

232
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

karena Allah dan untuk mengharap karidaan Allah, walaupun di antara


mereka sama-sama menyenangi profesinya sebagai guru.
Dilihat dari motivasi kerjanya, guru dalam melaksanakan
tugasnya dapat dikelompokkan menjadi dua: bekerja sebagai sarana
mencari nafkah dan kehormatan, dan yang kedua bekerja karena
pengabdian kepada Allah dan untuk mengharap ridlanya. Guru yang
motivasi kerjanya untuk mencari nafkah dan kehormatan dirinya
tidak akan sebaik guru yang kerjanya didasari ikhlas karena Allah dan
mendedikasikan perbuatannya untuk Allah (mengharap ridla Allah).
Sehebat apa pun manusia itu tidak akan mampu mengalahkan sifat
berubah-ubah (labilitas) yang ada pada dirinya. Apalagi hidup itu tidak
selalu menawarkan kemudahan, tetapi juga berbagai kesulitan. Karena
itu manusia memerlukan keimanan kepada Zat Yang Maha Kekal (Al-
Baqi’) sebagai tempat mengadu, tempat bergantung sebagai sandaran
(Al-Shamad) dalam menghadapi perubahan. Orang yang bekerja
dengan motivasi keduniawian apalagi jenis pekerjaan yang rutin seperti
mengajar akan cepat terasa seakan berada dalam sistem yang mekanik
dan menimbulkan kebosanan. Bekerja menjadi hampa dan kehilangan
makna. Dalam kondisi seperti ini, sehebat apapun orang itu, tidak akan
mampu mengalahkan kebosanan dan kejenuhan yang datang dari dalam
dirinya atau dari luar dirinya. Di samping itu, orang yang bekerja dengan
motif-motif yang bersifat duniawi, akan mendorong yang bersangkutan
berperilaku transaksional. Jiwa pengabdian, kepedulian, pengorbanan
dan pelayanan yang diberikan kepada orang lain terbatas, bahkan
cenderung menuntut dan mendahulukan hak dari pada menunaikan
kewajibannya.
Berbeda dengan guru yang bekerja karena sebuah panggilan
keimanannya kepada Tuhan dan dalam rangka mengharap ridla-Nya.
Guru yang seperti ini akan memiliki kekuatan pendorong, daya tahan
dan energi ganda dalam mengemban tugasnya dan dalam menghadapi
perubahan. Ia tidak bekerja secara transaksional, melainkan lebih
bersifat altruistik. Sifat altruistik muncul dari keterpanggilan imannya
kepada Tuhan dan dari pengharapannya akan perkenan (ridla) Tuhan
yang menghendaki karya yang ikhlas (quality of human being) dan karya
yang berkualitas (quality of product). Spiritualitas dengan demikian
sangat berpengaruh pada profesionalitas dalam hal apa saja termasuk
profesi keguruan.

233
Pendidikan Islam

4. Spiritualitas Sebagai Seorang Pendidik


Menjadi kepala sekolah atau guru bukanlah hal yang mudah.
Kelihatannya saja mudah dan menyenangkan, tetapi sebenarnya sangat
sulit dan harus siap dengan segala hambatan dan tantangannya. Statemen
itu memang sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Kepala Sekolah
dan guru di sekolah pada dasarnya memiliki jam kerja lebih panjang
bahkan dibanding dengan jam kantor lainnya. Guru harus sudah berada
di sekolah pada pukul 06-30 dan pulang pada pukul 16.00. Seorang
Kepala Sekolah memiliki jam kantor lebih panjang lagi karena harus
datang paling awal dan pulang paling akhir. Jam kantor yang panjang
masih ditambah dengan persiapan mengajar untuk hari berikutnya dan
tugas-tugas dari peserta didik yang harus diselesaikan. Menghadapi tugas
berat ini, tidak semua guru mampu bertahan. Terbukti ada saja guru
yang lantas mengajukan pindah tugas atau mengundurkan diri. Itulah
sebabnya sekolah dalam hal ini kepala sekolah perlu membuat siasat
bagaimana agar guru dan seluruh komunitas sekolah termasuk peserta
didik memiliki motivasi, daya tahan dan energi ruhaniah yang kokoh
sehingga akselerasi menuju sekolah unggul dapat dicapai.
Dalam rangka memperkokoh basis spiritualitas bagi seluruh
komunitas sekolah (guru, karyawan, peserta didik) dilakukan antara
lain dengan langkah-langkah: pemahaman, pelatihan, pembiasaan dan
pembudayaan.

a. Pemahaman
Pembinaan keagamaan lebih menekankan pada pemahaman dan
penghayatan dari pada sekedar tahu. Sebagai contoh, peserta didik
bukan hanya tahu syarat dan rukun wudu yang benar sebagai
syarat sahnya shalat, melainkan memahami makna masing-masing
tindakan dalam wudu dan dapat menghayati dan menikmati serta
memaknai tindakannya itu (wudu) dalam hidupnya. Sehingga ketika
melakukan wudu bukan sekedar sebagai syarat syahnya shalat secara
fiqih tetapi dapat mengambil makna dan hikmahnya secara spiritual.
Keberagamaan yang hanya didasarkan pada pengetahuan dan
kesadaran syariah atau kesadaran eksoteris semata justru akan menjadi

234
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

beban bagi peserta didik. Sebaliknya, keberagamaan yang didasarkan


pada pemahaman dan penghayatan akan mampu menciptakan pola
keberagamaan yang esoteris atau kesadaran spiritual dan mampu
menjadi kebutuhan peserta didik.

b. Pelatihan
Untuk dapat mengamalkan nilai dan ajaran agama peserta didik dan
guru harus dilatih sebelum menjadi kebiasaan dan kebutuhan. Agar
dapat membaca Al-Qur’an dengan fasih, peserta didik harus dilatih
membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar dan dengan penuh
penghayatan baik bacaan maupun isinya. Dalam hal ini dilakukan
sebelum peserta didik memulai pelajaran pertama atau mulai pukul
06.30-06.45.
Dalam menjalankan ajaran Islam baik yang wajib maupun yang
sunah, peserta didik juga perlu dilatih seperti melakukan shalat
duha, shalat zuhur dan Asar, berkorban, manasik haji, bersedekah
kepada fakir miskin dan anak yatim, peduli kepada sesama teman
maupun guru yang mendapat musibah, shalat malam dan lain
sebagainya.

c. Pembiasaan
Setelah memiliki pemahaman dan keterampilan, langkah berikutnya
adalah pembiasaan. Tugas sekolah adalah mempersiapkan peserta
didik untuk menjadi anggota masyarakat yang baik. Karena itu sekolah
harus membangun kebiasaan-kebiasaan, iklim dan kultur yang
kondusif yang mampu membentuk karakter dan kepribadian peserta
didik. Pembiasaan itu pada hakikatnya adalah mengembangkan
everyday life, membangun kultur dan iklim sekolah.
Perkataan, semua warga sekolah harus membiasakan perkataan yang
baik. Ucapan yang baik itu sangat penting artinya dalam kehidupan
ini. Karena itu Islam sangat mempedulikan masalah ucapan atau
perkataan ini dan memerintahkan umatnya untuk membiasakan
berkata yang baik atau diam. Dalam Al-Qur’an kita mengenal istilah-
istilah seperti: qauwlan ma’rufan (perkataan yang pantas), qauwlan
syadidan (perkataan yang berbobot (ilmiah, filosofis, hikmah),

235
Pendidikan Islam

qauwlan kariman (perkataan yang mulia, penuh rasa hormat


dan penghargaan), qaulan maisuran (perkataan yang jelas, mudah
dipahami), qauwlan baligha (perkataan yang tegas, menghujam),
qauwlan tsaqilan (perkataan yang berbobot, sabdo pandito ratu).
Kualitas perkataan akan menggambarkan kualitas kepribadian
seseorang. Dan kepribadian seseorang akan mudah diketahui
dari ucapan dan rangkaian kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Karena itu pembiasaan untuk pelaku mengatakan perkataan
yang baik benar-benar mendapatkan perhatian. Anak-anak harus
dibiasakan mengucapkan kata-kata yang benar seperti ucapan
salam, tasbih, istighfar, tahmid, dan tahlil dalam kehidupan sehari-
hari. Ucapan salam ketika bertemu dengan sesama; ucapan tasbih
ketika menemukan keajaiban dan keta’juban; ucapan istighfar ketika
menyadari kesalahannya, dan seterusnya.
Ucapan itu menggambarkan kesadaran akan kehadiran Tuhan atau
upayanya untuk menghadirkan Tuhan dalam dirinya sehingga segala
tindakannya dilakukan dengan penuh kesadaran dan memiliki
nilai spiritualitas. Ucapan-ucapan tersebut sangat penting untuk
mengendalikan emosi dan untuk membentuk watak atau karakter
anak. Ucapan salam (assalamu‘alaikum) di samping bermakna doa
kepada orang yang ditemui, juga berfungsi mampu menetralisir emosi
diri dan prasangka-prasangka negatif (su’udlan). Ucapan istighfar
(astaghfirullah) di samping sebagai wujud kesadaran akan kesalahan
dan kekhilafan yang merupakan kelemahan manusia, juga berfungsi
merubah emosi yang marah dan tak terkendali menjadi tenang dan
terkendali. Ucapan hamdalah (alhamdilillah) di samping merupakan
perilaku etis untuk senantiasa berterima kasih kepada Allah juga
mampu mengendalikan rasa bahagia yang meluap-luap menjadi
bahagia yang terkendali. Demikian ucapan-ucapan lainnya terbukti
sangat fungsional dalam pembentukan watak dan karakter.

d. Sikap dan Perbuatan


Di samping perkataan yang baik, sikap dan perbuatan baik juga
harus dibiasakan. Sikap dan perbuatan muncul dari pemahaman
(pengertian) terhadap norma baik-buruk, benar-salah, dan pantas-

236
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

tidak pantas yang dibiasakan. Tanpa dibiasakan, norma-norma


tersebut hanya akan menjadi pengetahuan yang tidak fungsional
dalam pembentukan perilaku. Norma-norma yang membentuk
sikap yang dikembangkan di sekolah adalah norma-norma yang
menjadi kunci keberhasilan pengembangan sekolah tersebut seperti
sikap kesungguhan, sikap kepedulian, sikap kebersamaan, sikap
kekeluargaan dan sikap saling percaya. Sikap kesungguhan dan
usaha maksimal (perfeksionistik) harus ditanamkan kepada peserta
didik dan dicontohkan oleh kepala sekolah dan guru dalam belajar,
dalam berpenampilan dan dalam berbuat apa saja harus dilakukan
dengan penuh kesungguhan sebagai manivestasi pengalaman ajaran
agama. Uswah hasanah harus dilakukan oleh kepala sekolah dan
guru untuk penciptaan iklim, dan climate yang kondusif.

e. Penampilan
Berpenampilan yang baik juga harus dibiasakan melalui contoh,
perhatian, kepedulian kepala sekolah dan guru. Berpakaian yang rapi
semisal memakai jas dan dasi dapat meningkatkan citra positif dan
membentuk budaya organisasi ysng efektif. Berpenampilan yang baik
merupakan salah satu bentuk kepedulian terhadap lembaga. Tanpa
kami mau menghargai lembaga ini, apakah kemudian orang lain
mau menghargainya? Karena itu guru, karyawan dan peserta didik
dibiasakan untuk berpenampilan yang baik. Kalau saya dan Bapak-
Ibu guru ada di depan pintu untuk meyambut kedatangan peserta
didik, kami sekaligus akan memberikan teguran kepada peserta didik
yang berpenampilan kurang pantas. Bagaimana bajunya, dasinya,
sepatunya, rambutnya, jilbabnya, raut mukanya kami perhatikan. Ini
kami lakukan antara lain sebagai bentuk kepedulian kami kepada
peserta didik dan lembaga”. Demikian ucapan salah seorang kepala
sekolah berprestasi kepada penulis.
Penampilan bangunan dan lingkungan fisik juga sangat perlu
diperhatikan. Penampilan fisik sekolah yang indah mampu
menyimpan sejuta kata akan budaya yang dikembangkan di sekolah
itu. Pembangunan fisik bukan merupakan tujuan, melainkan
sebagai salah satu media untuk pembangunan SDM. Di samping itu,

237
Pendidikan Islam

pembangunan SDM yang antara lain berupa merubah mental suatu


komunitas memerlukan waktu yang lama, sedangkan pembenahan
fisik dapat dilihat hasilnya dalam sehari. Dalam hal ini prinsip:
“Mulailah dari diri sendiri, mulailah dari sekarang dan mulailah
dari yang kecil-kecil” perlu diterapkan. Prinsip ini benar-benar perlu
dilaksanakan. Mulai dari diri sendiri berarti lebih mengutamakan
keteladanan dari pada perintah atau hukuman. Mulai dari sekarang
berarti tidak pernah menunda pekerjaan sampai nanti apabila
sekarang dapat dituntaskan, dan mulai dari yang kecil-kecil berarti
ada kesadaran dan perencanaan strategis bahwa untuk mencapai yang
besar harus dimulai dari yang kecil, yang mampu dilaksanakan dan
dicontohkan saat ini. Contoh mengawali pekerjaan yang besar dari
hal-hal yang kecil adalah membersihkan dan merapikan meja dan
ruangan kantor, setelah itu merapikan halaman, taman dan seterusnya
sampai seluruh lingkungan sekolah tampak bersih dan indah.

f. Penciptaan Kultur dan Iklim Pembelajaran yang Kondusif


Para ahli pendidikan mengatakan bahwa indikator sekolah yang
baik ditentukan oleh education climate-nya. Pembelajaran yang baik
akan melahirkan suasana yang kondusif bagi proses pendidikan.
Education climate yang baik akan berfungsi untuk memperbaiki atau
meningkatkan kualitas kerja bagi guru dan karyawan, mendorong
peserta didik untuk memperjuangkan perolehan prestasi dan
membentuk perubahan perilaku peserta didik. Education climate-lah
yang sebenarnya berperan melatih, membiasakan dan membentuk
karakter peserta didik menuju kesuksesan.

Sekolah yang tidak memiliki education climate yang bagus proses


pembelajarannya sedikit sekali membekas dalam kehidupan peserta didik.
Apa yang diajarkan guru di kelas akan mudah dilupakan. Pelajaran pada
semester Pertama misalnya telah dilupakan pada semester kedua dan
seterusnya ibarat melukis di atas pasir kering. Proses pembelajaran di
sekolah yang tidak akan fungsional hanya melalui teaching dan schooling
dan sedikit sekali yang bersifat learning dalam merubah tingkah laku.

238
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

Untuk menciptakan education climate yang kondusif, pendidikan itu


harus menyenangkan, mencerdaskan dan mengasyikkan. Menyenangkan
maksudnya harus mampu membangkitkan motivasi peserta didik. Untuk
itu guru harus aktif dan kreatif, mencari terobosan-terobosan dalam
meningkatkan kompetensi dan personalitinya sehingga seorang guru
menjadi profesional dalam mengajar berkepribadian, keteladanan dan
dapat memberikan inspirasi bagi peserta didiknya.
Sedangkan mencerdaskan maksudnya bahwa pembelajaran harus
mampu mengembangkan suasana keberanian, keterbukaan dan persamaan
sehingga mampu menumbuhkan imajinasi, cita-cita dan kreativitas.
Dan akhirnya, pembelajaran harus mengasyikkan, yaitu bagaimana
menumbuhkan kepedulian dan keterlibatan peserta didik. Peserta didik
merasakan asyiknya melakukan kerja keilmuan seperti di laboratorium,
perpustakaan, kebun percobaan, bengkel atau berdiskusi dengan sesama
teman dan guru.

E. SPIRITUAL LEADERSHIP: THE PROBLEM


SOLVER KRISIS KEPEMIMPINAN DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
Keprihatinan tentang keberadaan lembaga pendidikan Islam di tanah air
yang sebagian besar mutunya belum mengembirakan. Semangat umat
untuk menyelenggarakan pendidikan sebenarnya sangat tinggi yang
ditandai dengan banyaknya jumlah lembaga pendidikan Islam. Akan
tetapi semangat yang tinggi tersebut seringkali kurang disertai dengan
sikap profesionalisme dalam penyelenggaraan sehingga pendidikan Islam
di tanah air sebagian besar berada dalam siklus negatif atau lingkaran
setan permasalahan (un solvable problems). Peserta didik sedikit dan
bermutu rendah, fisik dan fasilitas minim, profesionalisme dan gaji
guru rendah, proses pembelajaran tidak efektif, kualitas output rendah,
kepercayaan masyarakat rendah dan seterusnya.
Untuk memecahkan permasalahan tersebut dan sekaligus dalam
rangka melakukan pembaharuan pendidikan Islam menjadi sekolah
yang baik (good school) bukan sekedar membutuhkan berbagai teori
modernisasi dan pemberdayaan, melainkan jihad; yaitu usaha kerja

239
Pendidikan Islam

keras lahir dan batin, penuh kesungguhan, keikhlasan, pengorbanan,


kepahlawanan, keteladanan dan kepedulian dengan memobilisasi segala
sumber daya untuk mencapai suatu cita-cita bersama, suci dan luhur.
Jihad dengan demikian merupakan kata kunci (key word) untuk merubah
kondisi pendidikan Islam dari tidak diminati menjadi berprestasi,
dari tidak berkualitas menjadi berkualitas, dari tidak berdaya menjadi
berdaya. Beratnya perjuangan untuk melakukan perubahan terhadap
pendidikan Islam disebabkan kondisi pendidikan Islam yang sebagian
besar menghadapi siklus negatif atau terbelenggu oleh lingkaran setan
ketidakberdayaan.
Pembaharuan suatu lembaga pendidikan perlu lebih ditekankan
pada faktor budaya yang antara lain berupa kepemimpinan kepala
sekolah yang kuat (strong leadership). Kepemimpinan yang kuat adalah
kepemimpinan yang efektif. Penelitian Edmonds (1979) mengemukakan,
sekolah-sekolah yang dinamis yang senantiasa berupaya meningkatkan
prestasi kerjanya dipimpin oleh kepala sekolah yang baik dan penelitian
Hallinger dan Lithwood (1994) yang menyimpulkan bahwa sekolah
yang efektif senantiasa dipimpin oleh kepala sekolah yang efektif
pula. Kedua penelitian tersebut didasarkan pada asumsi bahwa kepala
sekolah merupakan pemimpin dan salah satu agen perubahan sekolah
yang terpenting. Kepala sekolah yang memiliki kepemimpinan yang
kuat menurut Blumberg dan Greenfield (1980) mampu memerankan
diri dalam delapan peran: Organisator (the organizer), pengakrobat
berdasarkan nilai (the value-based juggler), penolong sejati (the authentic
helper), perantara (the broker), humanis (the humanist), katalis (the
catalyst), rasionalis (the rationalist), dan politikus (the politician).
Persoalannya adalah model kepemimpinan yang bagaimana
yang cocok dan mampu merubah pendidikan Islam yang sebagian
besar terbelenggu dalam lingkaran ketidakberdayaan (siklus negatif)
menjadi lingkaran keberdayaan (siklus positif)? kepemimpinan
yang mampu mengembangkan ruh al-jihâd? kepemimpinan yang
mampu mengembangkan pendidikan Islam menjadi pendidikan yang
efektif? Model kepemimpinan yang dimaksud tentu bukan model
kepemimpinan yang biasa, melainkan kepemimpinan yang luar biasa.
Model kepemimpinan apakah itu?.

240
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

Model kepemimpinan itu menurut Percy (1997) adalah “the leadership


SQ” atau “the corporate mystic” menurut Hendricks dan Ludeman (1996);
“kepemimpinan dimensi keempat” menurut Herry Tjahjono (2003);
“kepemimpinan yang mengembangkan kecerdasan emosi” menurut
Coleman (2003); “executive EQ” menurut Cooper (2002); dan “Sawaf dan
powerful leaders” menurut Ary Ginanjar Agustian (2003).

1. Konsep Spiritual Leadership


Istilah “kepemimpinan” telah banyak kita kenal, baik secara akademik
maupun sosiologik. Akan tetapi ketika kata kepemimpinan dirangkai
dengan kata “spiritual” menjadi “kememimpinan spiritual”. Istilah
“spiritual” adalah bahasa Inggris berasal dari kata dasar “spirit”. Dalam
Oxford Advanced Learner’s Dictionary (1995) misalnya, istilah spirit
antara lain memiliki cakupan makna: jiwa, arwah/roh, semangat, hantu,
moral dan tujuan atau makna yang hakiki. Sedangkan dalam Bahasa
Arab, istilah spiritual terkait dengan yang ruhani dan ma’nawi dari segala
sesuatu.
Makna inti dari kata spirit berikut kata jadiannya seperti spiritual dan
spiritualitas (spirituality) adalah bermuara kepada kehakikian, keabadian
dan ruh; bukan yang sifatnya sementara dan tiruan. Dalam perspektif
Islam, dimensi spiritualitas senantiasa berkaitan secara langsung dengan
realitas Ilahi, Tuhan Yang Mahaesa (tauhid). Spiritualitas bukan sesuatu
yang asing bagi manusia, karena merupakan inti (core) kemanusiaan itu
sendiri. Manusia terdisi dari unsur material dan spiritual atau unsur jasmani
dan ruhani. Perilaku manusia merupakan produk tarik-menarik antara
energi spiritual dan material atau antara dimensi ruhaniah dan jasmaniah.
Dorongan spiritual senantiasa membuat kemungkinan membawa
dimensi material manusia kepada dimensi spiritualnya (ruh, keilahian).
Caranya adalah dengan memahami dan menginternalisasi sifat-sifat-Nya,
menjalani kehidupan sesuai dengan petunjuk-Nya dan meneladani Rasul-
Nya. Tujuannya adalah memperoleh ridla-Nya, menjadi “sahabat” Allah,
“kekasih” (wali) Allah. Inilah manusia yang suci, yang keberadaannya
membawa kegembiraan bagi manusia-manusia lainnya.
Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang membawa
dimensi keduniawian kepada dimensi spiritual (keilahian). Tuhan adalah

241
Pendidikan Islam

pemimpin sejati yang mengilhami, mempengaruhi, melayani dan


menggerakkan hati nurani hamba-Nya dengan cara yang sangat bijaksana
melalui pendekatan etis dan keteladanan. Karena itu kepemimpinan
spiritual disebut juga sebagai kepemimpinan yang berdasarkan etika
religius. Kepemimpinan yang mampu mengilhami, membangkitkan,
mempengaruhi dan menggerakkan melalui keteladanan, pelayanan,
kasih sayang dan implementasi nilai dan sifat-sifat ketuhanan lainnya
dalam tujuan, proses, budaya dan perilaku kepemimpinan.
Dalam perspektif sejarah, kepemimpinan spiritual telah dicontohkan
dengan sangat sempurna oleh Muhammad SAW. Dengan integritasnya
yang luar biasa dan mendapatkan gelar sebagai al-amin (terpercaya),
Muhammad SAW mampu mengembangkan kepemimpinan yang paling
ideal dan paling sukses dalam sejarah peradaban umat manusia. Sifat-
sifatnya yang utama yaitu siddiq (integrity), amanah (trust), fathanah
(smart) dan tabligh (openly) mampu mempengaruhi orang lain dengan
cara mengilhami tanpa mengindoktrinasi, menyadarkan tanpa menyakiti,
membangkitkan tanpa memaksa dan mengajak tanpa memerintah.
Uraian tersebut menggambarkan bahwa persoalan spiritualitas
semakin diterima dalam abad 21 yang oleh para futurolog seperti
Aburdene dan Fukuyama dikatakan sebagai abad nilai (the new age).
Dalam perspektif sejarah Islam, spiritualitas telah terbukti menjadi
kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan individu-individu yang
suci, memiliki integritas dan akhlakul karimah yang keberadaannya
bermanfaat (membawa kegembiraan) kepada yang lain. Secara sosial,
kekuatan spiritualitas mampu membangun masyarakat Islam mencapai
puncak peradaban, mampu mencapai predikat khaira ummat dan
keberadaannya membawa kebahagiaan untuk semua (rahmatan lil
’alamin).
Kepemimpinan spiritual diyakini sebagai solusi terhadap krisis
kepemimpinan saat ini. Kepemimpinan spiritual merupakan puncak
evolusi model atau pendekatan kepemimpinan karena berangkat dari
paradigma manusia sebagai makhluk rasional, emosional dan spiritual
atau makhluk yang struktur kepribadiannya terdiri dari jasad, nafsu,
akal, kalbu dan ruh. Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan
sejati dan pemimpin yang sesungguhnya. Dia memimpin dengan etika

242
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

religius yang mampu membentuk karakter, integritas dan keteladanan


yang luar biasa. Ia bukan seorang pemimpin yang memimpin karena
pangkat, kedudukan, jabatan, keturunan, kekuasaan dan kekayaan.
Kepemimpinan spiritual bukan berarti kepemimpinan yang anti
intelektual. Kepemimpinan spiritual bukan hanya sangat rasional,
melainkan justru menjernihkan rasionalitas dengan bimbingan hati
nuraninya. Kepemimpinan spiritual juga tidak berarti kepemimpinan
dengan kekuatan gaib sebagaimana terkandung dalam istilah “tokoh
spiritual” atau “penasehat spiritual”, melainkan kepemimpinan dengan
menggunakan kecerdasan spiritual, ketajaman mata batin atau indera
keenam. Kepemimpinan spiritual juga tidak bisa disamakan dengan
yang serba esoteris (batin) yang dilawankan dengan yang serba eksoteris
(lahir, formal), melainkan berupaya membawa dan memberi nilai dan
makna yang lahir menuju rumah batin (spiritual) atau memberi muatan
spiritualitas dan kesucian terhadap segala yang profan.
Kajian dan penelitian tentang kepemimpinan spiritual dengan
berbagai variasi peristilahannya semakin menarik dan semakin banyak
dilakukan akhir-akhir ini. Demikian juga pelatihan dan buku-buku atau
majalah-majalah tentang spiritualitas termasuk di dalamnya kecerdasan
spiritual semakin banyak bermunculan dengan tiras yang tinggi.
Kajian tentang kepemimpinan spiritual dalam berbagai bidang telah
dilakukan oleh para peneliti terdahulu antara lain oleh beberapa peneliti
sebagaimana dikemukakan tersebut dan terbukti sangat efektif. Dalam
konteks pendidikan Islam dengan berbagai persoalan yang menyertainya,
kepemimpinan spiritual adalah salah satu solusi paling efektif untuk
melakukan perubahan.

2. Spiritual Leadership di antara Model


Kepemimpinan Lainnya
Pada dasarnya kepemimpinan itu tidak ditentukan oleh pangkat, jabatan
dan kedudukan seseorang. Kepemimpinan muncul bukan dari kondisi
eksternal dari keindahan seseorang (other beauty of human being),
melainkan dari keindahan jiwanya (inner beauty of spiritual human
being). Kepemimpinan muncul dari sebuah proses panjang dan sebuah
keputusan untuk menjadi pemimpin. Ketika seseorang menemukan

243
Pendidikan Islam

keyakinan dasar (core belief) dan nilai-nilai dasar (core values) yang
dijadikan pegangan hidupnya, ketika seseorang menetapkan visi dan misi
hidupnya, ketika seseorang merasa damai dalam dirinya (inner peace),
memiliki karakter yang kokoh (integritas), ketika ucapan dan tindakannya
mampu memberikan pengaruh kepada orang lain secara suka rela, ketika
keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat
itulah seseorang menjadi pemimpin yang sesungguhnya.
Terdapat dua model kepemimpinan apabila dilihat sumber
tindakan kepemimpinan yaitu kepemimpinan konvensional dan
kepemimpinan spiritual. Yang dimaksud kepemimpinan konvensional
adalah kepemimpinan yang lazim diterapkan dalam berbagai lembaga
formal dan sebagaimana dikemukakan dalam literatur-literatur ilmiah
selama ini. Kepemimpinan konvensional menggunakan paradigma
positivistik atau paradigma ilmiah dalam perilaku kepemimpinannya.
Blanchard dalam hal ini mengatakan, kalau kepemimpinan sejati adalah
kepemimpinan yang muncul dari dalam diri keluar untuk melayani
mereka yang dipimpinnya (leadership from inside out), kepemimpinan
konvensional sebaliknya, muncul dari luar ke dalam (leadership from
outside in) lewat penghormatan dan pujian (honor and praise).
Kepemimpinan spiritual dalam tulisan ini bukan berarti
kepemimpinan yang tidak rasional atau yang serba supra rasional.
Kepemimpinan spiritual yang dimaksud di sini adalah kepemimpinan
yang lebih banyak mengandalkan kecerdasan spiritual (ruhani, soul,
ruh, hati nurani) dalam kegiatan kepemimpinan. Sinetar (2001)
mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai pemikiran yang terilhami
yaitu ketajaman pemikiran yang tinggi yang sering kita katakan
menghasilkan sifat-sifat supernatural: intuisi, petunjuk moral yang
kokoh, kekuasaan atau otoritas batin, kemampuan membedakan yang
salah dan yang benar dan kebijaksanaan.
Sementara itu Zohar dan Marshal (2000) menyebut kecerdasan
spiritual sebagai the ultimate intelligence. Kalau dalam diri manusia
terdapat ketiga jenis kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual (intellectual
quotient, IQ), kecerdasan emosional (emotional quotient, EQ) dan
kecerdasan spiritual (spiritual quotient, SQ), maka kata Zohar dan Marshal
(2000) SQ merupakan fundasi yang diperlukan bagi keefektifan dua

244
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

kecerdasan yang lain, “SQ is the necessary foundation for the functioning
of both IQ and EQ. It is our ultimate intelligence”.
Kepemimpinan spiritual juga bisa diartikan sebagai kepemimpinan
yang sangat menjaga nilai-nilai etis dan menjunjung tinggi nilai-nilai
spiritual. Mereka melakukan pekerjaan dengan cara yang memuaskan
hati lewat pemberdayaan, memulihkan dan menguntungkan siapa
saja yang berhubungan dengannya. Mereka tidak hanya mampu
menghadirkan uang, tetapi juga hati dan jiwa mereka dalam bekerja.
Mereka terlibat sepenuhnya (involve) dalam aktivitas organisasi (bisnis)
yang dipimpinnya sebagai bentuk komitmennya yang paling dalam
yaitu komitmen spiritualitas (Hendricks dan ludeman, 1996). Percy
(1997) dalam hal ini mengatakan: “dan ketika anda bermukim di rumah
spiritualitas, tidak ada lagi jurang menganga dan daerah perbatasan
antara keyakinan dan tindakan. Jurang itu diisi dengan esensi dan selaku
manusia yang utuh. Anda dan objek komitmen anda telah menyatu
sempurna”.
Kepemimpinan spiritual oleh Tjahjono (2003) disebut sebagai
kepemimpinan dimensi keempat, yaitu kepemimpinan yang lebih
mendasarkan pada iman dan hati nurani dalam kualitas kepemimpinannya
atau kepemimpinan yang membersihkan hati, memberi, melayani,
mencerahkan dan memenangkan jiwa berdasarkan semangat syukur dan
kasih. Barangkali, kepemimpinan spiritual identik dengan kepemimpinan
profetik, meminjam istilahnya kuntowijoyo (1991), yaitu kepemimpinan
yang mengemban visi dan misi suci sebagai sebuah panggilan kedalaman
religius (ketuhanan) mengandung tiga komponen: humanisasi,
liberalisasi dan transendensi. Prijosaksono sendiri mengemukakan
konsep Q-Leader. Sejalan dengan konsep multiple quotient. Q dalam Q
Leader berarti seorang pemimpin yang memiliki IQ, EQ dan SQ.
Kepemimpinan spiritual yang dimaksud dalam tulisan ini
berparadigma pada etika religius dalam setiap perilaku dan proses
kepemimpinannya. Etika religius yang dimaksud di sini tidak semata-mata
etika yang dieksplorasi dari keyakinan religius, melainkan juga etika yang
lahir dari pengalaman spiritual seorang pemimpin, spiritualitas yang hidup
dalam aktivitas keseharian. Sebab agama terutama agama terorganisasi
(organized religion) biasanya terkait dengan aspek-aspek spiritualitas yang

245
Pendidikan Islam

terorganisasi yang meliputi seperangkat peraturan, iman, dan tradisi.


Kepemimpinan spiritual dan beberapa istilah lain seperti kepemimpinan
atas nama Tuhan, kepemimpinan dengan ESQ (emotional spiritual
quotient), Q. leader kepemimpinan dimensi keempat, kepemimpinan
yang mencontoh Tuhan dan kepemimpinan profetik merupakan
kepemimpinan yang mendasarkan diri pada etika religius atau cara
hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Etika religius adalah prinsip-
prinsip moral-etis yang diderivasi dari perilaku etis Tuhan terhadap
hamba-Nya (manusia), perilaku etis manusia terhadap Tuhannya dan
perilaku etis manusia terhadap sesamanya. Nilai-nilai etis itu dalam
kadar yang sempurna telah dicontohkan oleh Nabi dengan bantuan dan
anugerah yang datang dalam bentuk wahyu Al-Qur’an.
Kepemimpinan spiritual merupakan model kepemimpinan
komprehensip yang menggabungkan berbagai pendekatan dan sekaligus
kekuatan penggerak kepemimpinan seperti kekuatan intelektual, moral,
emosional, dan spiritual. Kepemimpinan spiritual merupakan gabungan
dari model kepemimpinan etik, asketik dan mistik. Kepemimpinan spiritual
bukan sekedar orang yang kaya tentang pengetahuan spiritual, melainkan
lebih menekankan pada kesadaran spiritual (spiritual awareness) yaitu
sebuah penghayatan hidup. Kalau Levin mengatakan bahwa kecerdasan
spiritual merupakan puncak kecerdasan (the highest level of intelligence),
maka kepemimpinan spiritual merupakan kepemimpinan yang
menggunakan seluruh kecerdasan atau puncak kecerdasan kepemimpinan.
Dalam millenium ketiga yang juga dikenal sebagai the new age dimana
nilai-nilai etis dan spiritualitas memegang peran penting dalam berbagai
aspek kehidupan manusia di satu sisi, dan kecepatan laju perubahan dan
persaingan global yang mengarah pada pola kehidupan yang turbulent
di sisi lain, kepemimpinan spiritual akan memegang peran penting
tidak hanya dalam bidang sosial dan keagamaan, melainkan dalam
bisnis global. Dunia pendidikan sebagai noble industry dan merupakan
institusi yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas sumber daya
manusia dan kualitas peradaban di masa depan paling tepat menerapkan
kepemimpinan spiritual ini.

246
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

3. Karakteristik Kepemimpinan Spiritual


Seiring dengan ditemukannya konsep kecerdasan spiritual yang justru
dianggap sebagai the ultimate intelligence dan sebagai fondasi yang
diperlukan bagi keefektifan dua bentuk kecerdasan yang lain (intellectual
quotient atau IQ, dan emotional quotient atau EQ), muncul pula berbagai
konsep kepemimpinan yang mendasarkan diri pada paradigma, konsep
dan karakteristik kecerdasan spiritual tersebut. Hendricks dan Ludeman
(1996) misalnya mengemukakan The Corporate Mystic sebagai konsep
kepemimpinan spiritual, Parcy (1997) mengemukakan Going Deep,
sebuah eksplorasi kedalaman spriritual dalam hidup dan kepemimpinan,
Zaluchu (2003), mengemukakan kepemimpinan spiritual dalam
perspektif al-Kitab, Tjahjono mengemukakan kepemimpinan demensi
keempat sebagai konsep kepemimpinan spiritual dan sebagai jawaban atas
krisis kepemimpinan. Agustian (2001) mengemukakan kepemimpinan
spiritual berdasarkan rukun iman dan rukun Islam yang dia sebut sebagai
powerfull leader, Prijosaksono mengemukakan konsep kepemimpinan
sejati dan Blancard (2001) mengemukakan konsep servant leadership
(kepemimpinan yang melayani), dan mungkin masih banyak lagi kajian
tentang kepemimpinan spiritual dalam ragam perspektif dan dalam
ragam kasus.
Blanchard dan kawan-kawan memiliki konsep yang menarik tentang
kepemimpinan yang berbasis etik ini. Dalam bukunya yang sangat
terkenal “Leadership by The Book” ia mengemukakan konsep servant
leadership (kepemimpinan yang melayani) yang menurut penulis identik
dengan kepemimpinan yang berbasis etis ini. Servant leadership menurut
Blanchard dan kawan-kawan merupakan kepemimpinan yang nyaris
sempurna karena terkandung di dalamnya tiga karakter yaitu pendeta,
profesor dan profesional. Tiga kekuatan karakter tersebut memiliki
potensi luar biasa untuk membawa keberhasilan dalam kepemimpinan
di dunia bisnis. Tiga aspek kepemimpinan tersebut adalah hati yang
melayani (servant heart), kepala atau pikiran yang melayani (servant
head) dan tangan yang melayani (servant hand).
Sebagaimana dikemukakan di muka, kepemimpinan spiritual adalah
kepemimpinan yang berbasis pada etika religius, kepemimpinan atas

247
Pendidikan Islam

nama Tuhan, yaitu kepemimpinan yang terilhami oleh perilaku etis Tuhan
dalam memimpin makhluk-makhluk-Nya. Dalam panggung sejarah, para
Rasul Tuhan adalah contoh terbaik bagaimana kepemimpinan spiritual
ditegakkan. Para Rasul Tuhan itu terilhami bagaimana kepemimpinan
Tuhan dan untuk selanjutnya mereka terapkan dalam memimpin sesama
manusia.
Berikut dikemukakan pokok-pokok karakteristik kepemimpinan
spiritual yang berbasis pada etika religius yang dirujuk dari berbagai
sumber tersebut: kejujuran sejati, fairness, pengenalan diri sendiri, fokus
pada alam shaleh, spiritualisme yang tidak dogmatis, bekerja lebih
efisien, membangkitkan yang terbaik dalam diri sendiri dan orang lain,
keterbukaan menerima perubahan, think globally act locally, disiplin
tetapi tetap fleksibel, santai dan cerdas, dan kerendahan hati.

a. Kejujuran sejati
Rahasia sukses para pemimpin besar dalam mengemban misinya
adalah memegang teguh kejujuran. Bahkan dalam berperangpun
kejujuran tetap ditegakkan walaupun harus dilakukan secara taktis-
diplomatis. Berlaku jujur senantiasa membawa kepada keberhasilan
dan kebahagiaan pada akhirnya, walaupun mungkin pada boleh
jadi terasa pahit. Orang yang jujur adalah orang yang memiliki
integritas dan kepribadian yang utuh sehingga dapat mengeluarkan
kemampuan terbaiknya dalam situasi apapun. Orang yang jujur
adalah orang yang memiliki integritas dan integritas adalah mulia
dan menjadi kekuatan yang luar biasa untuk meraih kesuksesan.
Integritas adalah sebuah kejujuran, tidak pernah berbohong dan
kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Dengan integritas
seseorang akan dipercaya, dan kepercayaan akan menciptakan
pengaruh dan pengikut.
Tugas yang berat tidak mungkin diserahkan dan diemban oleh orang
yang tidak jujur, tidak amanah. Dengan kejujuran sesuatu yang
dianggap oleh orang lain sebagai mimpi atau angan-angan, tetapi
bisa dilakukan dengan baik oleh orang yang jujur. Keberhasilan
Muhammad menghadapi kekuatan kafir Quraisy yang dominan
dalam kultur dan struktur jahiliyah adalah sesuatu yang luar

248
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

biasa dan mission impossible bagi orang biasa. Tapi bagi Nabi yang
mendapatkan predikat al-amin (yang dapat dipercaya), kejujuran
adalah sesuatu yang harus dilaksanakan dan terbukti sukses.
Sebaliknya kebohongan senantiasa membawa kehancuran dan
kesulitan. Orang yang berbohong adalah orang yang memperkosa
suara hati nuraninya sendiri dan berakibat pada kegelisahan. Orang
yang sekali berbohong akan melakukan hal yang sama untuk menutupi
kebohongan sebelumnya dan seterusnya sampai ia mendapatkan
predikat pembohong. Orang yang berbohong bagaikan menggali
lubang kuburnya sendiri yang semakin lama semakin dalam. Dalam
berbisnis untung dan rugi itu hal biasa, akan tetapi kalau kebohongan
bukan hanya akan mendapatkan kerugian tetapi juga kehinaan.
Sifat lain yang bertolak belakang dari kejujuran adalah kepura-puraan.
Antara kebohongan dan kepura-puraan bagaikan dua sisi mata uang.
Kalau kebohongan biasanya secara eksplisit diucapkan lewat lisan atau
tulisan dan relatif mudah dideteksi, sedangkan kepura-puraan berupa
tindakan yang lebih sulit dideteksi tetapi dampaknya bisa jadi lebih
parah. Kepura-puraan adalah tindakan yang dilakukan tidak dengan
sepenuh hati yang pasti akan melahirkan kegagalan. Pendidik yang
mengajar dengan setengah hati, pegawai yang memberikan layanan
setengah hati, dokter yang mengobati pasien dengan setengah hati,
petani yang bertani dengan setengah hati tidak akan memperoleh
hasil kecuali sebuah kegagalan. Kepura-puraan adalah penyakit
masyarakat dan bangsa yang sangat berbahaya.

b. Fairness
Pemimpin spiritual mengemban misi sosial menegakkan keadilan di
muka bumi, baik adil terhadap diri sendiri, keluarga dan orang lain.
Bagi para pemimpin spiritual, menegakkan keadilan bukan sekedar
kewajiban moral religius dan tujuan akhir dari sebuah tatanan
sosial yang adil, melainkan sekaligus dalam proses dan prosedurnya
(strategi) keberhasilan kepemimpinannya. Fairness menurut Rawls
(1997) merupakan strategi untuk memecahkan moralitas sosial
melalui sebuah kontrak sosial berdasarkan the principle of greatest
equal liberty dan the principle of fair equality of opportunity.

249
Pendidikan Islam

Seorang pemimpin yang ketahuan bahwa dia tidak berlaku adil


terhadap orang lain terutama yang dipimpinnya, maka akan sia-sialah
perkataan, peraturan dan kebijakan-kebijakan yang telah dibuatnya:
tidak akan ditaati dan dihormati secara tulus atau sukarela. Percy
(1997) dalam hal ini mengatakan “tanpa kepemimpinan tidak akan
ada pengikut dan tiada pengikut (follower) tanpa kejujuran dan
inspirasi” (no leadership without follower and no follower without
honest and inspiration.

c. Semangat Amal Shaleh


Kebanyakan pemimpin suatu lembaga, mereka sebenarnya bekerja
bukan untuk orang dan lembaga yang dipimpin, melainkan untuk
“keamanan”, “kemapanan” dan “kejayaan” dirinya. Tetapi pemimpin
spiritual bersikap sebaliknya, yaitu untuk memberikan konstribusi,
dharama atau amal shaleh bagi lembaga dan orang-orang yang
dipimpinnya. Seorang spiritualis rela bersusah payah, bekerja tak
kenal waktu dan lelah untuk bisa memberikan kontribusi terbaiknya,
senyampang masih punya kesempatan dan kemampuan untuk
berdedikasi kepada Tuhan dan sesama. Mereka bekerja bukan semata-
mata karena jabatannya, melainkan sebuah panggilan (calling) hati
nuraninya, panggilan spiritualitasnya sebagai hamba Tuhan dan
mendedikasikan seluruh hidupnya untuk Tuhan. Orientasi hidup
seorang spiritualis bukan untuk “memiliki” sesuatu (to have) apakah
berupa kekayaan, jabatan, dan simbol-simbol kebanggaan duniawi
lainnya, melainkan untuk “menjadi” sesuatu (to be).

d. Membenci Formalitas dan Organized Religion


Bagi seorang spiritualis, formalitas tanpa isi bagaikan pepesan
kosong. Organized religion biasanya hanya mengedepankan dogma,
peraturan, perilaku dan hubungan sosial yang terstruktur yang
berpotensi memecah belah. Tindakan formalitas perlu dilakukan
untuk memperkokoh makna dari substansi tindakan itu sendiri dan
dalam rangka merayakan sebuah kesuksesan, kemenangan. Pemimpin
spiritual lebih mengedepankan tindakan yang genuine dan substantif
(esoteric). Kepuasan dan kemenangan bukan ketika mendapatkan

250
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

pujian, piala dan sejenisnya, melainkan ketika memberdayakan


(empowerment), memampukan (enable) mencerahkan (enlighten)
dan membebaskan (liberation) orang dan lembaga yang dipimpinnya.
Ia puas ketika dapat memberikan sesuatu dan bukan ketika menerima
sesuatu. Pujian dan sanjungan manusia apabila tidak disikapi secara
arif justru dapat membahayakan dan mengancam kemurnian dan
kualitas karya dan kepribadiannya. Karena itu pujian yang ia harapkan
adalah pujian dan keridaan Tuhan semata.

e. Sedikit Bicara Banyak Kerja dan Santai


Banyak bicara banyak salahnya, banyak musuhnya, banyak dosanya
serta sedikit kontemplasinya dan sedikit karyanya. Seorang pemimpin
spiritual adalah pemimpin yang sedikit bicara banyak kerja. Dia
paham betul dengan pepatah Arab yang mengatakan qaul hal
afshah min lisan al-maqal (keteladanan lebih menghunjam daripada
perkataan) Serta hadits: “man kana yu’minu bi il-lah wa al yaum il-
akhir fal yaqul khairan au liyasmut” atau tarkuhu ma la ya’ni (Barang
siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata
yang baik atau diam). Dalam hadits lain ditambahkan “Barang siapa
beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah meninggalkan apa-
apa yang tiada berguna”). Dengan prinsip itu dia dapat bekerja secara
efisien dan efektif. Dia sangat menghargai waktu dan berbagai sumber
daya. Orang Barat mengatakan waktu adalah uang dan orang Arab
mengatakan waktu adalah pedang, sementara pemimpin spiritual
mengatakan waktu adalah spirit (Tuhan, roh, soul, kekuatan).
Walaupun seorang pemimpin spiritual sangat efektif dan efisien
dalam bekerja dan pekerjaan yang diselesaikan sambung-
menyambung seakan tidak ada habisnya, namun dia tidak merasa
sibuk, tidak merasa menjadi orang penting, tidak menjadi pelit
untuk melayani orang lain. Sebaliknya ia tetap santai, ramah dan
biasa-biasa saja. Ia tetap bisa “mementingkan urusan yang penting
dan tidak merasa paling penting ketika ia dipentingkan pada saat-
saat genting”. Hal ini dikarenakan ia memiliki kesadaran pribadi dan
jati diri yang kokoh dan kepercayaan yang mendalam bahwa Tuhan

251
Pendidikan Islam

selalu membimbingnya. Hal ini (pengenalan terhadap jati diri dan


kedekatannya dengan Tuhan) mampu membuat dirinya menjadi
tenang dan bahagia dimanapun berada dan dalam menghadapi
berbagai persoalan yang berat sekalipun. Ahlul Hikmah mengatakan:
“man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” (barang siapa mengenal
jati dirinya akan mengenal Tuhannya), dan Al-Qur’an mengatakan:
“Ketahuilah, dengan menghadirkan Tuhan dalam dirinya, hati akan
menjadi tenang”.

f. Membangkitkan yang Terbaik Bagi Diri Sendiri dan Orang Lain


Sebagaimana dikemukakan di muka, pemimpin spiritual berupaya
mengenali jati dirinya dengan sebaik-baiknya. Upaya mengenali jati
diri itu juga dilakukan terhadap orang lain terutama para kolegial,
relasi dan orang-orang yang dipimpinnya. Jati diri itu meliputi potensi
lahiriah seperti kecakapan dan profesionalitas, hoby, kondisi kesehatan,
dan potensi batin seperti watak dan karakternya. Dengan mengenali
jati diri ia dapat membangkitkan segala potensinya dan dapat bersikap
secara arif dan bijaksana dalam berbagai situasi. Dengan mengenali
jati diri ia dapat membangkitkan dengan cara yang memikat,
“memukul” tanpa menyakiti, mengevaluasi tanpa menyinggung harga
diri. Dengan mengenali jati diri ia dapat berperilaku, menghormati
dan memperlakukan diri sendiri dan orang lain “apa adanya”. Ketika
menghadapi orang-orang yang menyulitkan, seorang trouble maker,
dan menjadi source of problem sekalipun ia tetap dengan cara yang arif
dan bijaksana dan tetap menghargai jati dirinya. Dengan cara seperti
itu pemimpin spiritual diibaratkan seperti samudra yang semangat
(ombak)nya senantiasa bergelora tetapi air (lingkungan)nya tetap
jernih dan menjernihkan setiap yang keruh yang datang padanya.

g. Keterbukaan Menerima Perubahan


“Perubahan” adalah kata yang paling disukai bagi kelompok tertindas
dan sebaliknya paling ditakuti oleh kelompok mapan. Pimpinan
biasanya dikategorikan sebagai kelompok mapan dan pada umumnya
berusaha menikmati kemapanannya dengan menolak perubahan.
Kalaupun ia gencar mengadakan perubahan adalah dalam rangka
mempertahankan atau mengamankan posisinya.
252
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

Pemimpin spiritual berbeda dengan pemimpin pada umumnya. Ia


tidak alergi dengan perubahan dan juga bukan penikmat kemapanan.
Pemimpin spiritual memiliki rasa hormat bahkan rasa senang dengan
perubahan yang menyentuh diri mereka yang paling dalam sekalipun.
Ia sadar bahwa kehadirannya sebagai pemimpin memang untuk
membawa perubahan. Ia sadar bahwa perubahan adalah hukum
alam (sunnatullah). Semua yang ada di alam ini akan berubah kecuali
Yang Membuat Perubahan itu sendiri. Iqbal (Smith, 1963) dalam hal
ini mengatakan: “intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup
adalah gerak. Kafir yang aktif lebih baik dari Muslim yang suka tidur”.
Pemimpin spiritual berkeyakinan bahwa lembaga yang ia pimpin
bukan untuk dirinya, bukan simbol prestasi dan prestise dirinya dan
juga bukan untuk keluarga dan kroni-kroninya, melainkan sebaliknya
dirinya adalah untuk lembaga bahkan kalau perlu rela hancur
asalkan lembaga yang dipimpinnya berjaya. Lembaga yang dipimpin
merupakan wahana beraktualisasi diri dan berdedikasi kehadirat
Tuhan. “Inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil
‘alamin” (Sesungguhnya ibadahku, pengorbananku, hidup dan matiku
hanya untuk Allah semata, Tuhan semesta alam). Begitulah kira-kira
komitmen seorang pemimpin spiritual, komitmen yang dibaca dalam
doa iftitah shalat.

h. Pemimpin yang Dicintai


Pemimpin pada umumnya sering tidak perduli apakah mereka dicintai
para karyawannya atau tidak. Bagi mereka dicintai atau dibenci itu
tidak penting, yang penting dihormati dan memperoleh legitimasi
sebagai pemimpin. Bahkan sebagian di antara mereka merasa tidak
perlu dicintai karena hal itu akan menghalangi dalam mengambil
keputusan yang sulit yang menyangkut persoalan karyawannya.
Pernyataan ini mungkin ada benarnya, akan tetapi bagi pemimpin
spiritual, kasih sayang sesama justru merupakan ruh (élan vital,
spirit) sebuah organisasi. Cinta kasih kata Percy tidak sama dengan
belas kasihan ketika melihat ke bawah yang miskin papa, jiwa-jiwa
terlantar dibanding kita. Cinta kasih adalah sikap menginginkan yang
lebih untuk orang-orang lain dibandingkan untuk dirinya sendiri.

253
Pendidikan Islam

Cinta kasih bagi pemimpin spiritual bukanlah cinta kasih dalam


pengertian sempit yang dapat mempengaruhi objektifitas dalam
pengambilan keputusan dan memperdayakan kinerja lembaga, tetapi
cinta kasih yang memberdayakan, cinta kasih yang tidak semata-mata
bersifat perorangan, tetapi cinta kasih struktural yaitu cinta terhadap
ribuan orang yang dipimpinnya.
Dengan cinta kasih ini interaksi sosial tidak diliputi dengan suasana
ketegangan dan serba formal, melainkan hubungan yang cair dan
bahkan suasana canda. Hendricks dan Ludeman bahkan mengatakan:
“satu-satunya cara terbaik untuk menilai kesehatan sebuah tim atau
sebuah perusahaan adalah dengan mengetahui seberapa sering
mereka bercanda”. Dengan cinta kasih pimpinan bukan atasan semata,
melainkan bisa menjadi teman, orangtua dan mentor sekaligus.

i. Think Globally and Act Locally


Statemen tersebut merupakan visi seorang pemimpin spiritual.
Memiliki visi jauh ke depan dengan fokus perhatian kekinian. Dalam
hal yang paling abstrak (spirit, soul, ruh) saja ia dapat meyakini,
memahami dan menghayati, maka dalam kehidupan nyata ia tentu
lebih dapat memahami dan menjelaskan lagi walaupun kenyataan
itu merupakan cita-cita masa depan. Ia memiliki kelebihan untuk
menggambarkan idealita masa depan secara mendetail dan bagaimana
mencapainya kepada orang lain seakan-akan gambaran masa depan
itu sebuah realitas yang ada di depan mata. Ia mampu membangkitkan
dan mengarahkan imajinasi seseorang kepada visinya. Orang Jawa
akan mengatakan: “weruh sajeroning winarah” (tahu apa yang akan
terjadi). Pemimpin spiritual mampu mendiskripsikan seolah-olah
ganjaran sebuah perbuatan sudah dimiliki sekarang juga, kesuksesan,
kemenangan, kejayaan, nama baik, prestasi seakan sudah dapat
dicicipi oleh kita saat ini dan di sini.
Di sisi lain pemimpin spiritual juga memiliki visi pada persoalan
kekinian dan kedisinian, di depan mata. Ia bukan seorang filosof
yang karena asyiknya menengadah ke langit sampai lupa bumi
tempat berpijak, atau seorang sufi yang terpesona oleh samudera

254
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

cinta Tuhannya sampai melupakan sisi kemanusiaannya. Ia tidak


kehilangan eksistensi dan jati dirinya meskipun ia sangat dekat
dengan Tuhan. Ia sadar bahwa “zona kehidupan” manusia berputar
dan saling mempengaruhi antara dimensi waktu masa lalu, masa kini
dan masa depan. Pemimpin spiritual bagaikan seorang pengemudi
yang berorientasi pada tujuan tetapi tidak pernah terlena kapan dan
dimana ia berada dan hanya sekali-kali melihat ke belakang melalui
kaca spionnya.

j. Disiplin Tetapi Fleksibel dan Tetap Cerdas dan Penuh Gairah


Kedisiplinan pemimpin spiritual tidak didasarkan pada sistem
kerja otoritarian yang menimbulkan kekakuan dan ketakutan,
melainkan didasarkan pada komitmen dan kesadaran yaitu kesadaran
spiritual yang oleh Percy dianggap sebagai bentuk komitmen yang
paling tinggi setelah komitmen politik, komitmen intelektual dan
komitmen emosional. Pemimpin spiritual adalah orang yang berhasil
mendisiplinkan diri sendiri dari keinginan, godaan dan tindakan
destruktif atau sekedar kurang bermanfaat atau kurang patut.
Kebiasaan mendisiplinkan diri ini menjadikan pemimpin spiritual
sebagai orang yang teguh memegang prinsip, memiliki disiplin yang
tinggi tetapi tetap fleksibel, cerdas, bergairah dan mampu melahirkan
energi yang seakan tiada habisnya.

k. Kerendahan Hati
Posisi sebagai pemimpin yang dianggap berhasil dan sering diundang
dalam berbagai forum sebagai pembicara dan mendapat bahana
tepuk tangan bahkan standing ovation adalah sangat sukar untuk
tidak berpikir bahwa semua itu karena “saya”: Kecerdasan yang tinggi,
bakat, kekuatan dan talenta yang luar biasa, gaya yang menawan,
kecakapan mumpuni, pengetahuan yang luas, bahkan merasa paling
dekat dengan Tuhan. Seorang pemimpin “biasa” sering terjebak dalam
kebanggaan yang sebenarnya adalah tipuan konyol belaka.
Seorang pemimpin spiritual menyadari sepenuhnya bahwa semua
kedudukan, prestasi, sanjungan dan kehormatan itu bukan karena
dia dan bukan untuk dia, melainkan karena dan untuk Zat Yang

255
Pendidikan Islam

Maha Terpuji, subhanallah. Sikap rendah hati menurut Parcy adalah


pengakuan bahwa anda tidak mempunyai karunia untuk memimpin,
namun karunia itu yang memiliki anda”, sementara al-Shadr (2003)
mengatakan bahwa kerendahan hati adalah “memperhatikan
kedudukan orang lain dan menghindari perilaku arogan terhadap
mereka”. Pemimpin spiritual menyadari bahwa pemujaan terhadap
diri sendiri sangat melelahkan jiwa, sikap bodoh dan awal dari
kebangkrutan. Dirinya hanyalah sekedar saluran, media. Allahlah
sesungguhnya yang memberi kekuatan, petunjuk, pertolongan
ibarat air, dirinya hanyalah pipa-pipa atau saluran, dan bukan
airnya itu sendiri. Ia bangga dan bersyukur bahwa dirinyalah yang
dipilih untuk menyalurkan karunia kepemimpinannya kepada umat
manusia.
Demikianlah karakteristik kepemimpinan spiritual: kejujuran sejati,
fairness, pengenalan diri sendiri, fokus pada amal shaleh, spiritualisme
yang tidak dogmatis, bekerja lebih efisien, membangkitkan yang terbaik
dalam diri sendiri dan orang lain, keterbukaan menerima perubahan,
think globally act locally, disiplin tetapi tetap fleksibel, santai dan cerdas,
dan kerendahan hati. Karakteristik ini merupakan rangkuman dari tipe
ideal dari sejumlah pemimpin spiritual berdasarkan hasil penelitian.
Mungkin tidak ada seorang pemimpin spiritual yang memiliki semua
karakteristik tersebut dengan sempurna walaupun dia telah berusaha
dengan sungguh-sungguh. Sebab bagaimanapun juga manusia itu
tempatnya salah dan lupa (al-insânu mahallu khata’ wa al-nisyân). Tetapi
sekiranya Zat Yang Maha Sempurna menghendaki dan memanggil
hamba nya untuk mengemban karunia kepemimpinan-Nya, semua yang
tidak mungkin akan menjadi kenyataan

4. Spiritual Leadership: The Problem Solver


pendidikan Islam
Sebagaimana dikemukakan dalam dalam pendahuluan pada sub bab
ini, cara yang paling ampuh merubah siklus negatif lembaga-lembaga
pendidikan Islam menjadi siklus positif adalah melalui kepemimpinan
spiritual. Dengan kata lain pemimpin spiritual adalah faktor dominan

256
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

terjadinya perubahan dari sekolah tidak diminati menjadi berprestasi.


Dimana terdapat lembaga pendidikan Islam yang maju, di dalamnya pasti
terdapat “orang besar” yaitu orang yang memiliki puncak piramida etika
religius (nafs al-mutnainnah, taqwa dan ikhlas). Implementasi puncak
etika religius dalam kehidupan sehari-hari akan melahirkan orang yang
memiliki komitmen (kepedulian) dan dedikasi (pengabdian), sabar, rela
berkorban, berjuang tanpa kenal lelah dan ikhlas. Inilah orang yang
memiliki spiritualitas, orang yang mampu menjadi soko guru tegaknya
lembaga pendidikan Islam. Orang-orang inilah yang rela menafkahkan
hidupnya untuk mengembangkan pendidikan Islam. Ia berjihad untuk
pendidikan Islam dengan hartanya dan jiwanya. Inilah pemimpin
spiritual dalam pendidikan Islam.
Bagaimana pemimpin spiritual dalam mengembangkan pendidikan
Islam? Dan peran apa saja yang dilakukan dalam mengembangkan
pendidikan Islam?.

a. Sebagai Pembaharu
Keberhasilan pemimpin spiritual dalam mengembangkan pendidikan
Islam tidak lepas dari perannya sebagai pembaharu. Gagasan-gagasan
atau ide-ide baru senantiasa keluar dari hasil kontemplasi, penjelajahan
dan pengembaraan intelektualnya yang luas.

b. Pemimpin Spiritual Sebagai Pemimpin Organisasi Pendidikan


Sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya,
lembaga pendidikan merupakan noble industry (industri mulia)
yang merupakan gabungan dari lembaga yang bersifat profit seperti
perusahaan, industri dan jasa dan lembaga non profit seperti lembaga
sosial kemasyarakatan, lembaga dakwah, dan lembaga nirlaba lainnya.
Karena itu dari sisi kelembagaan, kekuatan-kekuatan kepemimpinan
spiritual sangat cocok untuk memimpin lembaga pendidikan.
Pemimpin spiritual mampu memerankan diri sebagai seorang
entrepreneur, corporate dan pebisnis (businessman) yang handal
sehingga mampu mengefektifkan budaya dan proses organisasi dan
mengembangkan usaha dan memperbesar laba. Di sisi lain, pemimpin
spiritual juga mampu berperan sebagai seorang tokoh pergerakan,

257
Pendidikan Islam

seorang ruhaniawan, relawan dan volunteer yang pandai menarik


simpati dan menggerakkan massa, tokoh spiritual dan seorang pekerja
sosial. Itulah sebabnya, lembaga pendidikan yang memiliki dimensi
sebagai organisasi profit dan organisasi sosial dan dakwah sangat tepat
dipimpin oleh orang yang mengembangkan kepemimpinan spiritual.

c. Pemimpin Spiritual Sebagai Administrator Proses Pembelajaran


Kepala sekolah selama ini lebih banyak berperan hanya sebagai
administrator pembelajaran. Tugas mereka seakan sudah selesai
apabila proses pembelajaran dapat berlangsung dengan lancar dan
tertib. Pemimpin spiritual memandang tugas sebagai administrator
sebagai tugas rutin dan karena itu diserahkan pelaksanaannya kepada
masing-masing pimpinan bidang atau unit. Ini tidak berarti tugas
sebagai administrator tidak penting, melainkan secara organisatoris
telah ada pembagian tugas dan sekaligus sebagai bentuk pengkaderan.
Posisi pemimpin spiritual dalam hal ini berperan sebagai pengilham,
pencerah dan pembangkit.

d. Pemimpin Spiritual Sebagai Pendidik


Salah satu kekuatan yang menyebabkan pemimpin spiritual berhasil
dalam mengembangkan pendidikan adalah karena perannya sebagai
pendidik (murabbi). Di depan muridnya ia tetap seorang guru
yang mau menyapa dan peduli sehingga memiliki hubungan yang
harmoni, dekat, akrab dan khurmah. Di depan guru dan karyawan ia
adalah seorang teman sesama guru yang senasib dan seperjuangan.
Dengan sesama guru ia tetap egaliter, dekat dan akrab disamping
juga peduli. Bukan hanya dengan sesama guru, dengan muridpun
pemimpin spiritual dapat bergurau dengan renyah dan riang.
Dilihat dari proses pembelajaran di lembaga pendidikan, pemimpin
spiritual terbukti mampu mengefektifkan proses pembelajaran dan
melakukan berbagai inovasi. Sedang apabila dilihat dari substansi dan
esensi pendidikan, pemimpin spiritual terbukti mampu mengembangkan
pemikiran dan ide-ide baru yang brillian, mencerahkan dan
memberdayakan sehingga pendidikan benar-benar mampu memerankan
fungsi pokoknya, bukan sekedar fungsi formalnya. Kepemimpinan

258
BAB 8 – Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam

spiritual adalah kepemimpinan atas dasar taqwa, kepemimpinan dengan


semangat jihad dan kepemimpinan yang totalitas. Hati (heart), kepala
(head) dan tangan (hand)nya digunakan untuk berhidmat dan melayani
yang dipimpinnya dalam rangka mencari ridaTuhan (mardlotillah).
Kepemimpinan spiritual dan beberapa istilah lain seperti
kepemimpinan atas nama Tuhan, kepemimpinan yang mencontoh
Tuhan, kepemimpinan profetik, kepemimpinan dimensi keempat dan
kepemimpinan dengan ESQ (emotional spiritual quotient), merupakan
kepemimpinan yang mendasarkan diri pada etika religius atau cara hidup
yang sesuai dengan kehendak Tuhan dan perilaku etis Tuhan. Etika religius
adalah prinsip-prinsip moral-etis yang diderivasi dari perilaku etis Tuhan
terhadap hamba-Nya (manusia), perilaku etis manusia terhadap Tuhannya
dan perilaku etis manusia terhadap sesamanya. Nilai-nilai etis itu dalam
kadar yang sempurna telah dicontohkan oleh Nabi dengan bantuan
dan anugerah yang datang dalam bentuk wahyu Al-Qur’an. Karenanya
pemimpin spiritual adalah pemimpin yang memiliki komitmen, dedikasi
dan integritas yang kokoh karena memiliki dasar dan orientasi nilai yang
absolut.
Perilaku pemimpin spiritual dalam melakukan inovasi proses
pembelajaran dilakukan dengan mengembangkan konsep spiritualisasi
pendidikan. Spiritualisasi pendidikan dikembangkan dalam empat hal:
(1) spiritualisasi tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan harus mengarah
pada pembentukan keshalehan, yakitu shaleh dalam berperilaku, shaleh
dalam berilmu, dan shaleh dalam berprofesi. (2) spiritualisasi kurikulum.
Allah adalah sumber ilmu yang digali lewat wahyu, fitrah (sibghah) dan
alam semesta dan kemudian manusia mampu melahirkan berbagai bidang
ilmu dan teknologi (iptek). Agar iptek dapat membawa pada rahmatan lil
’alamin, diperlukan manusia yang beriman dan bertaqwa (imtak) yaitu
manusia mampu mengintegrasikan iptek dengan asal dan tujuannya
yaitu nilai-nilai ilahiah; (3) spiritualisasi proses pembelajaran. Proses
pembelajaran hakikatnya adalah dialog antara Tuhan dan peserta didik
lewat guru. Guru diibaratkan sebagai “pipa” penyalur rahmat dan berkat
dari Allah kepada peserta didik; (4) spiritualisasi subjek didik. Sebagai
“pipa” penyalur rahmat dan berkat dari Tuhan, guru harus menjadi orang
yang bersih, tidak bermasalah dan terhormat sehingga dapat membersihkan

259
Pendidikan Islam

hati dirinya sendiri dan hati peserta didik. Guru dan peserta didik adalah
orang yang hatinya bersih dan “raksasa tidur” dalam diri mereka bangkit
sehingga semua potensi kecerdasan (IQ, EQ dan SQ) dapat terintegrasi
dan dapat bekerja secara maksimal. Guru dan murid bukan semata-mata
sebagai “instrumen” melainkan harus menjadi spiritual human being. Guru
dan murid bukan orang yang punya ilmu (having knowledge), punya agama
(having religion) dan punya pengetahuan spiriritualitas (having spirituality),
melainkan menjadi (being), yaitu berpengetahuan (being knowledge),
beragama (being religion) dan berspiritual (being spirituality).
Spiritualitas yang dikembangkan dalam kepemimpinan adalah
spiritualitas asketik, yaitu intensitas pengabdian kepada Tuhan yang
dijalankan dalam kegairahan kerja sehingga dapat membuahkan
keshalehan. Spiritualitas asketik dalam tesis Weber merupakan basis teologis
dan etis lahirnya semangat kapitalisme. Hal ini terbukti dari pertumbuhan
lembaga secara signifikan, dan pertumbuhan lembaga itu diperlukan
dalam rangka penumpukan kapital. Misalnya, biaya pendidikan menjadi
tidak murah lagi yang ditandai dengan biaya sumbangan pembangunan
dan SPP atau BP3 naik berlipat ganda. Semua itu dilakukan dalam rangka
memenuhi kebutuhan fisik dan fasilitas, melengkapi media pembelajaran,
peningkatan kesejahteraan guru dan karyawan dan dana abadi. Kemajuan
sekolah termasuk di dalamnya prestasi peserta didik adalah instrumen
untuk melipatgandakan kapital.c

260
BAB1

DAFTAR PUSTAKA

A.E.Dubin. 1991. The Principles as Chief Exutive Officer. London: The


Falmer Press.
Abdulbaqi, Muhammad Fu’ad. Al-Mu’jam al-Mufahras. Indonesia:
Maktabah Dahlan.
Abdullah, Amin. 2002. The Idie of Universality Ethical Norms in Ghazali
and Kant (terj. Hamzah). Bandung: Mizan.
Abdullah, Taufik (ed).1993. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan
Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
Abraham, M. Francis, Perspectives on Modernization: Toward a General
Theory of World Development, Washington: University of America,
1980.
Agustian, Ary Ginanjar. 2004. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan
Emosi dan Spiritual ESQ. Jakarta: Arga.
Agustion, Ary Ginanjar. ESQ Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: Arga.
2001.
Akhdinirwanto, Wakhid dan Ida Ayu Sayogyani. 2009. Cara Mudah
Mengembangkan Profesi Guru. Yogyakarta: Sabda Media kerjasama
PW Agupena.

261
Pendidikan Islam

Al-Ghazali, Imam Abu Hamid. 1990. Muhtashar Ihya’ ‘Ulumuddin.


Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah.
Ali, Yunasir. 1977. Manusia Citra Ilahi. Jakarta: Paramadina.
Al-Sadr, Sayyid Mahdi. 2003. The Ahl ul-Bayt; Ethical Role Models (terj.
Ali bin Yahya). Jakarta: Pustaka Zahra.
Al-Shon’ani, Sayyid Imam Muhammad bin Isma’il al-Kahlani. Subul ul-
Salam. Bandung: Maktabah Dahlan.
Amin, Ahmad. 1995. Al-Akhlak (terj. Farid Ma’ruf). Jakarta: Bulan
Bintang.
Amir, Mafri. 1999. Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam.
Jakarta: Logos.
Anwar, Yesmil dan Adang. 2008. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta:
Grasindo.
Apter, David E. 1965. The Politics of Modernization. Chicago: University
of Chicago Press.
Arifin, Imron. 1998. Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengelola
Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Berprestasi, Studi Multi Kasus
Pada MIN Malang I MI Mamba’ul Ulum, dan SDN Ngaglik I Batu
di Malang, Disertasi di IKIP Malang Program Pascasarjana Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang.
Armstrong, Thomas. 2002. Multiple Intelligence in the Classroom (terj.
Yudhi Murtanto). Bandung: Kaifa.
Autry, James A. 1991. Love and Profit: The Art of Caring Leadership. New
York: Morrow.
Azizy, A. Qodri. 2002. Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika
Sosial. Semarang: Aneka Ilmu.
Azra, Azyumardy, 2000. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos.
Bafadal, Ibrahim. 1995. Proses Perubahan di Sekolah, Studi Kasus pada
Tiga Sekolah Dasar yang Baik di Sumekar, Disertasi pada Program
Pascasarjana Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang.
Baharuddin & Moh. Makin. 2007. Pendidikan Humanistik: Konsep, Teori
Dan Aplikasi Praksis Dalam Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruz
Media.

262
Daftar Pustaka

Bakhtiar, Laleh. 1994. Moral Healing Through the Most Beautiful Names:
the Practice of Spiritual Chivairy, Volume III. Chicago: the Institute
of Traditional Psychoethic and Guidance.
Bakhtiar, Laleh. 2002. Meneladani Akhlak Allah Melalui Asma’ Al-Husna.
Bandung: Mizan.
Bancard, Kenneth dan Johnson Spencer, M.D. 2001. The One Minute
Manager. Jakarta: PT Elek Media Komputindo.
Barizi, Ahmad. 2009. Menjadi Guru Unggul: Bagaimana Menciptakan
Pembelajaran Yang Produktif & Profesional. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Barry, William A. and William J. Connolly. 1982. The Practice of Spritual
Direction. San Francisco: Harper & Row.
Bass Bernard, M. 1985. Leadership and Performance Beyond Expectations.
New York: Free Press.
Bastaman, Hanna Djumhana. 2001 Integrasi Psikologi dengan Islam
Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil & Pustaka
Pelajar.
Beeby, C.E. 1987. Assessment of Indonesian Education A Guide in Planning.
Terj. BP3K dan YIIS. Jakarta: LP3ES.
Bellah, Robert N. 2000. Beyon Belief Essay on Religion in a Post-Traditional
World (terj. Rudi Harisyah alam). Jakarta: Paramadina.
Benefiel, Margaret. “Spritual Direction for Organization: Towards
Articulating a Model”. Presence (An International Journal of Spritual
Direction) 2, no. 3 (Sept 1996).
Blancard, Ken et. All. 2002. Empowerment Takes More than Minute. (terj.
Y. Maryono). Yogyakarta: Amara Books.
Blumberg, A. & W. Greenfield. 1980. The Effective Principle: Perspectives
on School Leadership. Boston: Allyn and Bacon Inc.
Buchori, Mochtar. 2001. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius.
Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta:
Gramedia.
Buzon, Tony. The Power of Spiritual Intellegence: 10 Ways Top tap Into
Your Spritual Genius (terj. Alex Tri Kancono. W. dan Febrina Fialita).
Jakarta: Gramedia.

263
Pendidikan Islam

Coles Robert. 2000. Menumbuhkan Kecerdasan Moral. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.
Conger, Jay A., and Associates. 1994. Spirit at Work: Discovering in the
Leadership. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Conger, Jay A., and Associates. 1997. The Charismatic Leader (terj. Anton
Adiwiyoto). Jakarta: Imarupa Aksara.
Connolly, Peter (Ed.). 1999. Approach to the Study of Relogion. London
and New York: Cassel.
Cooper, Robert K & Ayman Sawaf. 1998. Executive EQ: Kecerdasan
Emisional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Covey, Stephen R. 1990. The Seven Habits of Highly Effective People. New
York: Simon & Schuster Inc.
Cuzer, Howard J. 1999. Ethical Theory and Moral Problems. Canada:
Wadsworth Publishing Company.
Dae, Mimi dan Marsha Welch. 2002. 10 Prinsip Spiritual Parenting.
Bandung: Kaifa.
Dalin, Per. et. al. 1994. How School Improve an International Report.
London: Cassell.
Darajat, Zakiah. 1995. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Daulay, Asrul Daulay (Edit.). 2012. Pendidikan dan Pemberdayaan
Masyarakat. Medan: Perdana Publishing.
Davis, Garry A. & Margaret A. Thomas. 1989. Effective Schools and
Effective Teacher, Boston: Allyn and Bacon.
Dawson, Roger. 1997. Tiga Belas Rahasia Kekuatan. Jakarta: Prenhalindo.
Departemen Agama. Al-Qur’an Terjemahnya.
Depertemen Agama. 1997. Seri Informasi Pendidikan Islam. Bagian
Proyek EMIS Perguruan Islam Tingkat Dasar Dirjen Bagais
Departemen Agama.
Dewey, John. 1964. Democracy and Education. New York: the Macmillan
Company.
Dhavamony, Mariasusi. 1995. Phenomenology of Religions (terj. Kelompok
Studi Agama Driyakarya). Yogyakarta: Kanisius.

264
Daftar Pustaka

Djalil, Abdul. 1999. Kepemimpinan dan Inovasi Pendidikan Islam Studi


Kasus pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri Malang I, Tesis Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang.
Doe, Mimi Walch, Marsha. 2001. 10 Prinsip Spiritual Parenting. Bandung:
Kaifa
Dougherty, Rose Mary. 1995. Group Spiritual Direction: Communy for
Discernment. Mahwah, NJ: Paulist Press.
Drucker, Peter.1990. Managing The-Non Profit Organization. New York:
Harper Collins
Dryden, Gordon & Jeanneette Vos. 1999. The Learning Revolution, The
Change the Way the World Learns, Torrance, CA. USA: The Learning
Web.
Dzakiri, Muh Hanif. 2000. Paulo Freire, Islam dan Pembebasan. Jakarta:
Djambatan.
Edward, Paul. 1999. The Spiritual Intelligence Handbook. USA Morris
Publishing.
Edwards, Tilden. 1980. Spiritual Friend: Reclaiming the Gift of Spiritual
Direction. New York: Paulist Press.
Eliade, Mircea (Ed. In Chief). 1995. The Encyclopedia of Religion. New
York: Simon & Schuster Macmillan.
Etzioni, Amitai. 1985. Modern Organization. (trj. Suryatin). Jakarta: UI-
Press.
Fachrudin, Keberdayaan Pendidikan Islam: Telaah Sistematis Historis,
Disertasi di IAIN Yogyakarta.
Fakhry, Majid. 1996. Ethical theories in Islam (terj. Zakiyuddin Baidhawy).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Pusat Studi Islam UM Surakarta.
Fazlurrahman, 1987. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam. Taufik
Adnan Amal (Penyunting). Bandung: Mizan.
Fazlurrahman. 1980. Major Themes the Quran. Chicago: Bibliotheca
Islamica.
Finzel, Hans. 2002. the Top ten Mistakes Leadership Make. Jakarta:
Interaksara.
Fischer, Kathleen. 1988. Womwn at The Well: Feminist Perspectives on
Spiritual Direction. Mawah, NJ: Paulist Press.

265
Pendidikan Islam

Freire, Paulo. 2007. Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan Dan


Pembebasan. Peterj.: Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Frymeir, J., et. al. 1984. One Hundred Good Scvhools, Indiana: Phi Dhelta
Kappa Publication.
Gardner, R.L. 1999. Benchmarking Organization Culture: Organizational
as a Primary Factor in Safety Performanca. Professional Safety.
Gaspers, Vincent. 2002. Total Quality Management. Jakarta: Gramedia.
Getteng, Abd. Rahman. 1995. Muhammadiyah dan Pembaharuan
Pendidikan Islam. Jakarta: IAIN Jakarta, 17 Oktober
Gibson, James L. et. al. 1992. Organisasi Perilaku Struktur Proses Jilid 1da
2. Jakarta: Erlangga.
Goleman, Daniel. 1995. Emotional Intelligence. Canada: Bantam Book.
Goleman, Daniel. 1999. Working With Emotional Intelligence, New York:
Bantam Books.
Gordon, Thomas. 1990. Teachers Effectives Training (penyadur Mudjito).
Jakarta: Rajawali Press.
Gratton, Carolyn. 1992. The Art of Spiritual Guidance: A Comtemporary
Approach to Growing in the Spirit. New York: Crossroad.
Griffin, Emillie. 1993. The Reflective: A Spirituality of Business and
Enterpriese. New York: Crossroad.
Guenther, Margaret, 1992. Holy Listening: The Art of Spiritual Guidance.
Cambridge, MA: Cowley Publications.
Hallinger, F. & K. Leithwood. 1994. Introduktion: Exploring the Impact of
Principal Leadership. School Effectiveness and School Improvement.
Hamalik, Oemar. 2007. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Haqqi, Ahmad Mu’adz. 1421 H. Al-Arba’una Haditsan fi al-Akhliq Ma’a
Syarhiha. Beirut: Dar Thuwaiq.
Harjana, AM. 1993. Penghayatan Agama: Yang Otentik & Tidak Otentik.
Yogyakarta: Kanisius.
Hart, Michael. 1985. Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah.
Jakarta: Midas Surya Grafindo.
Hasri, Salfen. 2004. Manajemen Pendidikan: Pendekatan Nilai dan Budaya
Organisasi. Makasar: Yapma.

266
Daftar Pustaka

Hatch, M.J. 1997. Organization Theorry: Modern Symbolic and Post


Modern Perspectives. New York: Oxford University Press.
Hebblethwaite, Brian. 1982. Christian Ethics in the Modern Age.
Philadelphia: The Westminster Press.
Hendricks, Gay dan Kate Ludeman. 2002. The Corporate Mystic (terj.
Fahmy Yamami). Bandung: Kaifa.
Heresy dan Blanchard. 1982. Management of Organizational Behavior
(terj. Agus Dharma). Jakarta: Erlangga.
Hergenhahn, B.R. 1986. An Introduction to the History of Psychology.
California: Wadsworth Publishing Company.
Hickman, Craig R. 1992. Mind of a Manager Soul af a Leader. New York:
John Wiley & Sons, Jacobsen, Steve. Hearts to God Hands to Work:
Connecting Spirituality and Work. Bethesda, MD: Alban Institute.
Hill, Winfred F. 2009. Theories of Learning: Teori-Teori Pembelajaran
(Konsepsi, Komparasi dan Signifikansi, Peterj.: M. Khozim. Bandung:
Nusa Media.
Iqbal, M. Zafar. 1996. Teachers Training: The Islamic Perspective.
Islamabad: Institute of Policy Studies and International Institute of
Islamic Thouhgt.
Ismail, Andar (Peny.). 2003. Mulai dari Musa dan Segala Nabi. Jakarta:
Gunung Mulia.
Izutsu, Toshihiko. 1966. Ethico Religious Concepts in the Qur’an. Montreal:
McGill Universty Instutute of Islamic Studies McGill University
Press.
Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi, (ed). 2001. Reformasi Pendidikan dalam
Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adi Cita.
Jalaluddin, Santi Asromo 1990. K.H. Abdul Halim: Studi Tentang
Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Disertasi di IAIN
Jakarta.
Jarolimek, John. 1981. The School in Contemporary Society. New York:
Mcmillan.
Jaya, Yahya. 1994. Spiritual Islam dalam Menumbuhkan Kepribadian dan
Kesehatan Mental. Jakarta: Ruhama.
Job, Rueben. 1996. A Guide to Spiritual Discernment. Nashville: Upper
Room Books.
267
Pendidikan Islam

Johnson, Doyle Paul. 1994. Sociological Theory Classical Founders and


Contemporary Perpsctives (terj. Robert M.Z. Lawang). Jakarta:
Gramedia.
Kanungo, Rabindra N. and Manuel Mendonca. 1996. Ethical Dimensions
of Leadership. London: Sage.
Karel A. Steenbrink, 1986. Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan
Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES.
Keller, Suzanne. Beyond the Ruling Class, the Role of the Strategic Eliotes
in Modern Societies (terj. Zahara D. Noer). Jakarta: Rajawali Press.
Kelsey, Morton T. 1983. Companions on the Inner Way: The Art of Spiritual
Guidance. New York: Crossroad.
Khan, Mohammad Wasiullah. 1981. Educatin and Society in the Muslim
World. Jeddah: Hodder and Stoughton King Abdulaziz University.
Kontowijoyo. 1991. Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. Bandung:
Mizan.
Kung, Hans. 2002. A Global Ethic for Global Politics and Economics (terj.
Ali Noer Zaman). Yogyakarta: Qalam.
Levin, Michael, 2000. Spiritual Intelligence, Awakening the Power of
Michael Levin, Spiritual Intelligence, Awakening the Power of Your
Spirituality and Intuition, London: Hodder & Stoughton.
Long, Jimmy, et. al. 1995. Small Group leaders’ handbook: the Next
generation. Downrs Grove, IL: Intervarsity pres.
Lowell, John T and Kimball Wiles. 1983. Supervision for Better School.
Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
M. Patton. 1980. Qualitative Eveluation Method, Baverly Hill California:
Sage Publication.
Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktirn dan Peradaban. Jakarta:
Paramadina.
Madjid, Nurcholish. 2000. Pesan-pesan Taqwa. Jakarta: Paramadina.
Mahali, Mudjab A. 1984. Al-Ghazali Tentang Etika Kehidupan.
Yogyakarta: BPFE.
Martin, Richard C. 1985. Approaches to Islam in Religious Studies.
Arizona: The University of Arizona Press.
Mas’ud, Abdurrahman. 2002. Menggagas Pendidikan Non Dikhotomik.
Yogyakarta: Gama Media.
268
Daftar Pustaka

Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.


Maxwell, John C. 1995. Mengembangkan Kepemimpinan di dalam Diri
Anda. Jakarta: Binarupa Aksara.
Maxwell, John C. 2002. The Power of Leadership. Terj. Arvin Saputra.
Jakarta: Interaksara.
May, Larry et. al. 1998. Applied Ethics A Multicultural Approach. New
Jersey: Prentice Hall.
McDermott, Clinton W. 1987. Honest Christianity Personal Strategies for
Spiritual Growth. Philadelphia: The Westminster Press.
Mikklesen, Britha. 1999. Method for Development Work and Research: A
Guide for Practitioner. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Miles, Mathew B. And A. Michael Huberman. 1992. Qualitative Data
Analysis. Beverly Hill, CA: Sage.
Minarti, Sri. 2013. Ilmu Pendidikan Islam: Fakta Teoritis-Normatif &
Aplikatif-Normatif. Jakarta: Amzah.
Miskawaih, Ibn. 1968. Tahdzibu ‘I-Akhlaq. Beirut: The American
University of Beirut.
Moedjiarto. 2002. Sekolah Unggul. Data Graha Pustaka.
Morgan, Michael. 1996. Creating Workforce Innovation (terj. Palupi Tyas
R). Jakarta: Gramedia.
Morris, Danny E. and Charles M. Olsen. 1997. Discerning God’s Will
Together: A Spiritual Practive for the Church. Bethesda, MD: Alban
Publications.
Mueller, Joan. 1996. Faithful Listening: Discernment in Everyday Life.
Kansas City: Sheed & Ward.
Mulkhan, Munir. 2000. Islam Murni dalam Masyarakat Petani.
Yogyakarta: Bentang.
Mulyadi. 2000. Total Quality Management. Yogyakarta: Aditya Media.
Murgatrroyd, Stephen and Colin Morgan. 1994. Total Quality Management
and the School. Buckingham, Philadelphia: Open University Press.
Muthahhari, Murtadha. 1997. The Unschooled prophet (terj. Dicky Soryan
dan Agustin). Bandung: Mizan.
Najati, M. Utsman. (ed). 2002. Islamic Spirituality Foundations (terj.
Ramani Astuti). Bandung: Mizan.

269
Pendidikan Islam

Najati, M. Utsman. 2003. Al-Hadits al_Nabawi wa al-Ilmu al-Nafs (terj. R.


Soejadi Djojopranoto). Jakarta: Rajawali Press.
Nasution, Harun. 1986. Pembaruan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan
Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Nelson, Clarence A. 1978. Human Behavior in Educational Administration.
New Jersey: Prentice-Hall.
O’dea, Thomas F. 1992. Sociology of Religion. (terj. Yasogama). Jakarta:
Rajawali Press.
Olsen, Charles M. 1995. Transforming Church Boards into Communities
of Spiritual Leaders. Bethesda, MD: Alban Institute.
Ouchi. W.G. 1981. Theory Z. New York: Addison-Wesly.
Oxford. 1995. Oxford Advanced Learners’s Dictionary. Oxford University
Press.
Pakasi, Soepartinah. 1981. Pembaharuan Pendidikan Dasar, Action
Research Selama 5 Tahun pada Sekolah Dasar Laboratorium IKIP
Malang, Jakarta: Bharata.
Pall, Daniel L. 1996. Seven Theories of Religion. New York: Oxford
University Press.
Palmer, Parker J. Leading from Within: Reflections on Spirituality and
Leadership. Washington, DC: Potter’s House Book Service, 1990
(appears also as chapter 2 in Conger’s Spirit at Work).
Percy, Ian. 2003. Going Deep. Exploring Spirituality in Life and
Leandership. Arizona: Inspired Production Press.
Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan
Bercorak Indonesia. Jakarta: Bina Rineka Cipta.
Poloma, Margaret M. Contemporary Sociological Theory. (terj. Tim
Penerjemah Yasogama). Jakarta: Rajawali.
Prama, Gede. 2003. Jalan-jalan Penuh Keindahan: dari Kejernihan untuk
Kepemimpinan Kehidupan. Jakarta: Gramedia.
Preedy, Margaret (Ed.). 1993. Comtemporary Schools of Metescience.
Sweden: Berlingska Boktryckeriet.
R.G. Owens.1991. Organizational Behavior in Education. Fifth Edition.
Boston: Sage Publication.
Rahardjo, M. Dawam. 1996. Ensiklopedi Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina.

270
Daftar Pustaka

Rawls, John. 1997. A Theory of Justice. New York: Columbia University


Press.
Ritzer, George. 1988. Contemporary Sociological Theory. New York: Alfred
a. Knopf.
Ritzer, George. 1992. Sociology: A Multiple Science. Penyadur: Alimandan.
Jakarta: Rajawali Pres.
Robbins, Stephens P. 1994. Organication Theory: Structure, Design and
Application. Terj. Jusuf Udaya. Jakarta: Arcan.
Robbins, Stephens P. 1996. Organization Behavior: Concepts, Controversies,
Aplications (terj. Hadyana Pudjatmaka). Jakarta: Prehalindo.
Robertson, Roland (ed). 1988. Sociolog of Religion. (terj. Achmad Fedyani
Saefuddin). Jakarta: Rajawali Pres.
Ruswa. 1997. Colonial Experience and Muslim Educational Reform: a
Comparation of the Aligarh and the Muhammadiyah Movement.
Montreal Canada: Institute of Islamic Studies McGill University.
Saelan, Maulawi. 2002. Spiritualisasi Pendidikan, Pendidikan Alternatif
Abad 21. Jakarta: Yayasan Syifa Budi.
Sagala, Syaiful. 2008. Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung:
Alfabeta.
Samsul Hadi, M. dan Rasmianto. 2004. Konversi STAIN menjadi UIN.
Aditya Media Bekerjasama dengan UIN Malang.
Sanders, J. Oswald. 1980. Spiritual Leadership. Moody, 1967, rev, ed.
Scaarens, Jaap. 1994. Effective Schooling: Research, Theory and Parctice.
London and New York: Rotledge.
Sergiovanni, T.J. dan D.L. Elliot. 1975. Educational and Organizational
Leadership in Elementary School. Englewood Cliffs, N.J.; Prentice-
Hall, Inc.
Siddiq, Dja’far. 1997. Konsep Pendidikan Muhammadiyah: Sistematisasi
dan Interpretasi Berdasar Perspektif Ilmu Pendidikan. IAIN Sunan
Kalijaga (disertasi tidak dipublikasikan).
Sidi, Indra djati. 2001. Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma
Baru Pendidikan. Jakarta: Paramadina.
Simuh. 1999. Sufisme Jawa. Yogyakarta: Bentang.
Sinetar, Marsha. 2001. Spiritual Intelligence (terj. Soesanto Boedidarmo).
Jakarta: Elex Media Komputindo.
271
Pendidikan Islam

Smith, Donald Eugene. 1970. Religion and Political Development, an


Analytic Study. Boston. Massachusetts: Little Brown Company.
Smith, W.C. 1963. Modern Islam in India. Lahore: Ashraf.
Sobary, Mohammad. 1995. Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi.
Yogyakarta: Bentang.
Soejono, Ag. 1978. Aliran Baru dalam Pendidikan Jilid 1 dan 2. Bandung:
CV. Ilmu.
Staats, Arthur W. 1964. Human Learning, Studies Extending Conditioning
Principle to Complex Behavior. New York, Holt Rinehart and
Winston, Inc.
Stoltz, Paul G. 2000. Adversity Quotient: Menggugah Hambatan Menjadi
Peluang. Jakarta: Grasindo.
Sudarmanto, YB. 1989. Ethical Dimensions of Leadership: Implikasinya
bagi Kita. Jakarta: Departemen Agama.
Sukarji dan Umiarso. 2014. Manajemen dalam Pendidikan Islam:
Konstruksi Teoritis dalam menemukan Kebermaknaan Pengelolaan
Pendidikan Islam. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Sukidi. 2002. Rahasia Sukses Hidup Bahagia Kecerdasan Spirutual
Mengapa SQ Lebih Penting Daripada IQ dan EQ. Jakarta: Gramedia.
Suparno, Paul et. al. 2002. Reformasi Pendidikan, Sebuah Rekomendasi.
Yogyakarta: Kanisius.
Suprayetno Wagiman, 1997. The Modernization of the Pesantren’n
Education System to Meet the Needs Of Indonesian Commonities,
Montreal Canada: Institute of Islamic Studies McGill University.
Suprayogo, Imam. 1998. Reformasi Visi Pendidikan Islam. Malang: STAIN
Press.
Suprayogo, Imam. 2004. Memelihara Sangkar Ilmu. Malang: UIN Press.
Suprayogo, Imam. 2004. Pendidikan Berparadigma Al-Qur’an. Malang:
UIN Press.
Suprayogo, Imam. 2004. Rekontruksi Kajian KeIslaman: Sebuah Tawaran
Ontologis dan Epistimologis, dalam A. Malik Fadjar et. al. Horizon
Baru Pengembangan Pendidikan Islam. Malang: UIN Press.
Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral. Yogyakarta: Kanisius.

272
Daftar Pustaka

Suseno, Franz Magnis. 1991. Etika Politik. Jakarta: Gramedia.


Suseno, Franz Magnis. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:
Kanisius.
Susilo, M. Joko. 2007. Pembodohan Siswa Tersistematis. Yogyakarta: Pinus
Book Publisher.
Suyanto dan Djihad Hisyam. 2000. Refleksi Dan Reformasi Pendidikan
Indonesia Memasuki Millenium III. Yogyakarta: Adi Cita.
Suyanto. 2002. Selayang Pandang MIN Malang I.
Tafsir, Ahmad 1987. Konsep Pendidikan Formal dalam Muhammadiyah,
IAIN Jakarta (Disertasi tidak dipublikasikan).
The University of Cicago. 1982. The Chicago Manual of Style. Chicago:
The University of Chicago Press.
Tjahjono, Harry,. 2003. Kepemimpinan Dimensi Keempat. Jakarta: Elek
Media Komputindo.
Tjaya, Thomas Hidya. 2008. Humanisme dan Skolastisisme: Sebuah Debat.
Yogyakarta: Kanisius.
Tobroni dan Syamsul Arifin. 1984. Islam Pluralisme Budaya dan Politik.
Yogyakarta: SI Press.
Tobroni, dan Imam Suprayogo. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tobroni,. et. al. 1999. Muhammadiyah dan Aktualisasi Misi Islam. Malang:
UMM Press.
Tony Townsend, Effective Schooling: Research, Theory and Practice,
London and New York: Roudledge, 1994.
Torrance, James B. 1996. Airship, Community & the Triune God of Grace:
Downers Grove, IL: Intervarsity Press.
Turner, Bryn S. 1991. Religion and Social Trheory. London: Sage
Publication
Ulwan, Abdullah Nasih. 1992. Tarbiyatu Al-Aulad Fi Al-Islam. Terj.
Khalilullah Ahmas Maskur Hakim Bandung: Remaja Rosdakarya.
Universitas Islam Negeri. 2004. Proses Perubahan STAIN Menjadi UIN
Malang. Malang: UIN Press.
Weber, Max. 1962. The Sosiology of Religion. Boston: Beacon Press.
Weber, Max. 2000. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Terj.

273
Pendidikan Islam

Yusup Priyasudiarjo. Surabaya: Pustaka Promethea.


Whyte, David.1996. The Heart Aroused: Poetry and the Preservation of the
Soul in Corporate America. New York: Currency Doubleday.
Widjayakusuma, M. Karebet dan M. Ismail Yusanto. 2003. Pengantar
Manajemen Syari’at. Jakarta Selatan: Khoirul Bayan.
Winarto, Paulus. 2003. Firs Step To Be an Entrepreneur. Jakarta: Elex
Media Kompotindo
Wordl Bank, 1998. Education in Indonesia: From Crisis to Recovery.
Education Sector Unit, East Asia and Pacific Regional Office.
Zaluchu Fotarisman. 2003. Kepemimpinan dalam Nama Tuhan.
Yogyakarta: Gloria Graffa.
Zohar, Danah dan lan Marshal. 2000. SQ: Spiritual Intellegence, The
Ultimate Intelligence. London: Bloomsbury.
Zohar, Danah dan lan Marshal. 2001. Memanfaatkan Kecerdasan
Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai
Kehidupan. Bandung: Mizan.

274
Tentang Penulis

BAB1

TENTANG PENULIS

Prof. Dr. H. Tobroni, M.Si. adalah guru besar


bidang Ilmu Filsafat pendidikan Islam Fakultas
Agama Islam dan Ketua Program Doktor Pendidikan
Agama Islam (PAI) Universitas Muhammadiyah
Malang dan Dosen luar biasa di Program Doktor
UIN Malang. Tahun 2008 menjadi Research Fellow
di Centre for Civilizational Dialogue University of
Malaya Malaysia; tahun 2009-2010 menjadi Visiting
Professor di University of Malaya Malaysia. Gelar
doktornya diraih dari Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Memperoleh certificate
dalam bidang Methodology of Arabic Teaching dari
Leipzig University Jerman (2003); certificate on Education System in
Europe di Hamburg University Jerman (2003), dan certificate on Higher
Education Leadership and Management di McGill University Canada
(2006). Melakukan visiting academic and collaboration dengan beberapa
universitas di luar negeri seperti Malaysia, Australia, Singapura, Thailand,
Saudi Arabia dan China, Vietnam dan Kamboja.

275
Pendidikan Islam

Menulis beberapa buku antara lain: Islam Pluralisme Budaya dan


Politik (SI Press); Pendidikan Islam: Paradigma Teologis, Filosofis dan
Spiritualitas (UMM Press), The Spiritual Leadership Pengefektifan
Organisasi Noble Industri Melalui Pendekatan Spiritual Etis (UMM Press);
Percepatan Peningkatan Mutu Pendidikan (UMM Press); Pengembangan
Mutu Perguruan Tinggi: Lesson Learn dari beberapa Perguruan Tinggi
Terkemuka di Dunia (UMM Press); Metodologi Penelitian Sosial-Agama
(Remaja Rosda Karya Bandung); Rekonstruksi Pendidikan Agama untuk
Membangun Etika Sosial dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara,
(UMM Press); Relasi kemanusiaan dalam Keberagamaan: Membangun
Etika Sosial Melalui Pendidikan (Putra Karya Dewanti Bandung);
Dinamika Hubungan Antara Etnik dan Agama di Indonesia: Kasus Jawa
Timur (Centre For Civilisational Dialogue University of Malaya).
Aktifitas lainnya antara lain: Menjadi Asesor Badan Akreditasi
Nasional (BAN PT); Staf Ahli di Spiritual Capital Management (SCM)
PT Telkom Pusat; Asesor Sertifikasi dosen Kopertais IV Jawa Timur;
Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Pendidikan Tinggi;
External Examiner University of Malaya (UM) Malaysia; dan external
assessor di International Islamic University Malaysia (IIUM), dan
Assosiation Muslim Community in ASEAN (AMCA).

270

Anda mungkin juga menyukai