Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PEMIKIRAN FILSAFAT IKHWAN AL-SHAFA


Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu : Dr. KH Wahyudi Widodo, MBA,M.Pd.I

Oleh:

Nola Radia Safita (2077011653)


Rahmah Alia Nadhifani (2077011656)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


“SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM “MA’HAD ALY AL-HIKAM” MALANG
DESEMBER 2022
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. Dzat yang Maha Penyayang diantara penyayang, yang
menanamkan cinta dan kasih sayangnya terhadap seluruh hambanya, sehingga kami dapat
menyelesakan penyusunan makalah ini. Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada nabi
tercinta, Nabi Muhammad SAW teladan bagi seluruh umat hingga akhir zaman. Sungguh
suatu karunia terbesar yang telah Allah Swt. Titipkan, ujian dan cobaan tak menyusutkan
penulis pada kehendak Tuhan, baik dalam waktu yang cukup lama penulis menyelesaikan
makalah ini. Doa dan dorongan dari berbagai pihak banyak memberikan kontribusi dalam
penyusunan makalah ini.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada Bapak Dr. KH Wahyudi Widodo, MBA,M.Pd.I selaku dosen pengampu mata
kuliah “Filsafat Islam” yang telah memberikan kami tugas menyusun makalah ini. Serta
seluruh rekan-rekan kelas prodi PAI STAI MA’HAD ALY AL HIKAM yang telah
mendukung penyusunan makalah ini sehingga dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan banyak manfaat dan memberi
keberkahan untuk kita semua. Apabila ada salah kata maupun ejaan dalam penyusunan
makalah ini, kami mohon maaf sedalam-dalamnya karena kami hanya insan biasa yang tak
pernah luput dari kesalahan. Dan atas segala perhatiannya, kami ucapkan banyak terimakasih.

Malang, 11 Desember 2022

i
DAFTAR ISI

COVER…………………………………………………………………………………………
KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN......................................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................2

C. Tujuan Masalah...............................................................................................................2

BAB II........................................................................................................................................3

PEMBAHASAN........................................................................................................................3

A. Biografi Ikhwan Al-Shafa...............................................................................................3

B. Konsep pendidikan Ikhwan al-Shafa..............................................................................4

C. Ciri-Ciri Pemikiran Modern Ikhwan Al-Shafa..................................................................8

BAB III.....................................................................................................................................11

PENUTUP................................................................................................................................11

A. Kesimpulan...................................................................................................................11

B. Saran..............................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang
sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam,
khususnya dari para filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun,
Ikhwan al-Shafa, dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu organisasi
yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Sebagai
perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan al-Shafa menfokuskan
perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan
tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah
Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan
sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.1
Para filsuf tersebut mengemukakan konsep-konsep pendidikan baru di zaman
selanjutnya, konsep-konsep pendidikan itu menjadi landasan dasar pengembangan
pendidikan. Pendidikan dipilih menjadi sarana untuk memperbaiki moral bangsa
penting kita konsep secara sistematis dan struktur, baik dari segi tujuan pendidikan,
pendidikan, maupun peserta didiknya. Karena diharapkan, pendidikan mampu
menciptkan insan yang lebih baik dalam akhlak maupun kecerdasan intelektualnya.
Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu tujuan dari pendidikan adalah
memanusiakan manusia, yang artinya bahwa mengembangkan kemampuan manusia
secara optimal sehingga mampu melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan
perspektifnya.
Salah satu pandangan konsep pendidikan adalah konsep pendidikan menurut
Ikhwan al-Shafa, hal ini menjadi penting karena Ikhwan al-Shafa menitik beratkan
tujuan pendidikan itu untuk pengenalan diri. Selain itu, Ikhwan al-Shafa juga
mengedepankan kepentingan sosial diatas kepentingan pribadi. Hal ini dapat
menimbulkan nilai-nilai baik pada peserta didik, jika nilai ini terus dikembangkan,
maka peserta didik akan menjadi orang yang bermanfaat, dan tentu pernaikan-
perbaikan sosial yang dilakukan di masyarakat sksn mudah di capai. Untuk lebih
jelasnya filsafat dan konsep pendidikan Ikhwan al-Shafa akan dibahas dalam

1
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, hlm. 181.

1
makalah ini.
B. Rumusan Masalah

a. Bagaimana biografi dari Ikhwan al-Shafa ?

b. Bagaimana konsep pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa ?

c. Apa saja ciri-ciri pemikiran modern Ikhwan al-Shafa ?


C. Tujuan Masalah
a. Untuk Mengetahui biografi Ikhwan al-Shafa

b. Untuk mengetahui konsep pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa

c. Untuk mengetahui ciri-ciri pemikiran modern Ikhwan al-Shafa

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Ikhwan Al-Shafa


Ikhwan al-Shafa adalah sebuah perkumpulan para mujtahidin yang bergerak
dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Sesuai dengan namanya, Ikhwan Al
Safa berarti persaudaraan yang suci dan bersih. Maka atas utama perkumpulan ini
adalah persaudaraan yang dilakukan secara tulus dan ikhlas, kesekawanan yang suci,
dalam menuju ridlo Ilahi. Perkumpulan ini berkembang pada abad kedua Hijriah di
kota Bashrah, Irak.
Ikhwan al-Shafa merupakan para perkumpulan para mujtahidin dalam bidang
filsafat yang banyak memfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan
pendidikan.
Organisasi ini mengajarkan tentang dasar-dasar agama islam yang didasarkan pada
persaudaraan islamiyah (ukhuwwah islamiyyah), yaitu suatu sikap yang memandang
iman seorang muslim tidak akan sempurna kecuali jika ia mencintai saudaranya
seperti ia mencintai dirinya sendiri. Sebagai sebuah organisai ia memiliki semangat
dakwah dan tablik yang amat militan dan kepedulian yang tinggi terhadap orang
lain.2
Semua anggota perkumpulan ini wajib menjadi guru dan mubaligh terhadap orang
lain yang terdapat di masyarakat.3
Disinilah letak relevansinya berbicara Ikhwan al-Safa dengan pendidikan.
Organisasi yang mereka dirikan bersifat rahasia dan memiliki misi politis. Namun
bersamaan dengan itu pula ada yang menyatakan bahwa organisasi ini lebih
bercorak kebatinan. Mereka sangat mengutamakan pendidikan dan pengajaran yang
berkenaan dengan pembentukan pribadi, jiwa, dan akidah.4
Diantara anggotanya yang dapat diketahui nama-nama mereka adalah
sebanyak lima orang, yaitu:5
a. Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Masyar al-Basti atau dikenal dengan nama al-
Maqdisy
2
Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Al-Tarbiyah Fi Al-Islam, Hlm 227. Dalam Filsafat Pendidikan Islam, H. Abuddin
Nata, 2005. Hlm 231
3
H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Hlm 92-93. Dalam Filsafat Pendidikan Islam, H. Abuddin Nata, 2005.
Hlm 231
4
H. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta 2005. Hlm 231-232
5
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, 2014. Hlm
161

3
b. Abu Hasan Ali Ibnu Harun al-Zanjany
c. Abu Ahmad al-Mahrajani
d. Al-Qufy
e. Zaid Ibnu Rifa’ah
Secara umum yang melatar belakangi kemunculan Ihwan al-Shafa yaitu
keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran-
ajaran diluar Islam, serta untuk membangkitkan kembali rasa cinta kepada ilmu
pengetahuan dikalangan umat Islam. Aktivitas Ikhwan al-Shafa difokuskan untuk
mempelajari filsafat, baik filsafat Yunani, Persia, dan lainnya yang kemudia
dipadukan dengan ajaran Islam, sehingga menjadi satu ikhtisar dan mazhab filsafat
sendiri. Dari hasil pembahasannya, Ikhwan al-Shafa menyusun sebuah buku yang
terdiri dari sebuah risalah yang berjudul “Raisail Ikhwan al-Shafa wa al-Kullah al-
Wafa” yang berjumlah 52 rasail didalamnya.6
Kitab ini terdiri atas empat jilid yang berisikan ikhtisar tentang ppengetahuan
yang ada ketika itu mencangkup semua objek studi manusia, seperti:7
1) 14 risalah tentang matematika yang mencangkup: geometri, astronomi, musik,
geografi, teori, dan praktek seni logika.
2) 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, meliputi: geneologi, minerologi, botani,
hidup dan matinya alam, senang dan sakitnya alam, keterbatasan manusia dan
kemampuan kesadaran.
3) 10 risalah tentang ilmu jiwa meliputi metafisika mahzab Pytagoreanisme dan
kebangkitan alam.
4) 11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, mencangkup kepercayaan dan keyakinan
hubungan alam dengan Tuhan, keyakinan Ikhwan al-Shafa, kenabian dan
keadaanya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Tuhan, magic
dan jimat.

B. Konsep pendidikan Ikhwan al-Shafa


Menurut Ikhwan al-Shafa, aktivitas pendidikan dimulai sejak sebelum
kelahiran. Sebab, kondisi dari bayi dan perkembangannya sudah dipengaruhi oleh
keadaan kehamilam dan kesehatan sang ibu yang hamil. Dengan demikian, perhatian
pendidikan harus sudah diberikan sejak masa janin dalam rahim.8
6
Hasyim Nasution, Filsafat Islam, Jakarta; Gaya Media,2005. Hlm 46
7
Ibid, hlm 46.
8
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis, Yogyakarta

4
Dalam sejarah Islam, kelompok ini tampil eksklusif dalam gerakan reformatif
pendidikannya, karena itu mereka adalah ta'limiyyun (pengajaran) dalam
melangsungkan kegiatan keilmuannya organisasi ini memandang pendidikan dengan
pandangan yang bersifat rasional dan empiric, atau perpaduan antara pandangan
yang bersifat intelektual dan faktual. Mereka memandang ilmu sebagai gambaran
dari sesuatu yang diketahui dari alam ini. Dengan kata lain yang dihasilan dari
pemikiran manusia itu terjadi karena mendapat bahan informasi yang dikirim oleh
panca indera.9
Menurut Ikhwan al Safa, hakekat manusia adalah terletak pada jiwanya,
sementara jasad merupakan penjara bagi jiwa, oleh karena itu kelompok ini
membuat perumpamaan bagi orang yang belum dididik dengan ilmu aqidah, ibarat
kertas putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu,
maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak akan dihilangkan.10
a. Cara mendapat ilmu
Ketika lahiri jiwa tidak memiliki pengetahuan sedikitpun, proses perolehan
pengetahuan manusia digambarkan Ikhwan al Safa secara dramatis dilakukan
melalui perlimpahan. Proses perlimpahan itu bermula dari jiwa universal kepada
jiwa manusia setelah terlebih dahulu melalui proses imanasi, secara berproses
manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Menurut Ikhwan al-
Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1) Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang
perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui
hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2) Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh
indera.
3) Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa.
Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari
guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru
mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain,
dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling
akhir.11

2002. Hlm 168


9
Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 232
10
Ibid,.hlm 232
11
Omar A. Farrukh dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam, hal. 185-186

5
Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi
konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap
eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.12
Pada bagian lain Ikhwan berpendapat bahwa pada dasarnya semua ilmu itu
harus diusahakan (muktasabah) bukan dari pemberian tanpa usaha. Ilmu yang
demikian dapat diperoleh dengan menggunakan panca indra. Sesuatu yang terlukis
dalam pemikiran itu bukanlah sesuatu yang hekekatnya telah ada dalam pemikiran,
melainkan lukisan tersebut merupakan pantulan yang terjadi karena adanya kiriman
dari panca indra. Jadi bukan karena ide dari alam pikiran. Dengan panca indra itulah
manusia dapat mengetahui sesuatu pandangan seperti dihasilkan melalui penafsiran
terhadap ayat An Nahl 16:78
‫واهلل اخ رجكم من بط ون امه اتكم التعلم ون ش يأ وجع ل لكم الس مع واالبص ار واالفئ دة لعلكم‬

‫تشكرون‬.

Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian


ilmu, akan tetapi menurutnya panca indra dan akal memiliki keterbatasan dan tidak
mungkin sesuai sampai pada pengetahuan tentang esensi Tuhan. Oleh karena itu
diperlukan pendekatan inisiasi yaitu bimbingan/otoritas ajaran agama.
Oleh karena itu Ikhwan al Safa menolak pendapat yang mengatakan bahwa
pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang
beraliran idealisme. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide
yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Karena itu untuk dapat
mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.
Aliran idealisme inilah yang ditentang oleh Ikhwan al Safa.13
Aliran Ikhwan al Safa lebih dekat dengan aliran John Locke yang bersifat
empirisme. Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena panca indra
12
Konsep Imamiyah (dalam Syiah) gelar Khalifah (Ketua Negara) diubah menjadi Imam. Imam hanya boleh
dilantik oleh Rasulullah s.aw. dan kaum Muslimin tidak berhak memilih Khalifah atau Imam. Rasulullah s.a.w.
telah mewasiatkan Sayidina Ali untuk mengantinya sebagai Imam setelah Rasulullah wafat. Sebagai waris Nabi,
Sayidina Ali terus menerima wahyu dari Allah swt. Sayidina Ali pula tidak mati dan seperti Nabi Isa s.a.w.
beliau di bawa kelangit. Yang mati adalah gantinya. Seperti Nabi Isa a.s. juga, Sayidina Ali akan diutuskan lagi
kepada manusia sebagai Imam Mahdi untuk menghapuskan kezaliman dan kesesatan manusia. Sementara
menunggu Sayidina Ali muncul kembali di dunia, roh beliau sebagai Imam Syi’ah yang pertama berpindah-
pindah dari jasad beliau kepada jasad 11 orang Imam (ada firqah Syi’ah menerima hanya 7 Imam). Imam yang
ke-12 ( atau 7) bernama Muhammad bin Hasan al Mahdi dipercayai tidak mati tapi ghaib (konsep Imam
Ghaib). Sayidinna Ali dipercayai akan muncul kembali ke dunia dalam jasad Imam yang ke-12, Imam Mahdi
yang ghaib itu. Ini dipanggil I’tiqad Ar-Rajah oleh orang Syi’ah. (www.mindarakyat2.tripod.com. Diunduh hari
rabu , 12-09-2018 pukul 11.03 wib.
13
Ibid. Hlm 232-234

6
berinteraksi dengan alam nyata. Begitu juga dengan cara mendapatkan ilmu itu harus
diusahakan dengan cara membiasakan berpegang pada pembiasaan dan perenungan.
Hal inilah yang dapat memperkuat daya ingatan dan kedalaman ilmu seseorang.14
b. Tipe ideal guru
Nilai seorang guru bergantung pada caranya menyampaikan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu mereka mensyariatkan agar guru memiliki syarat-syarat yang sesuai
dengan sikap dan pandangan politik Ikhwan al-Shafa serta sesuai pula dengan tujuan
penyiaran dakwahnya. Keberhasilan siswa tergantung pada kepada guru yang
cerdas, baik akhlaknya, lurus tabi’atnya, bersih hatinya, menyukai ilmu, bertugas
mencari kebenaran, dan tidak bersifat fanatisme terhadap suatu aliran.15
Syarat-syarat guru demikian hanya muncul dari orang-orang yang berada
dalam organisasinya. Berkenaan dengan ini mereka memiliki aturan tentang jenjang
seorang guru yang oleh istilah mereka dikenal dengan nama ashhab al-namus.
Mereka itu adalah mua’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab al-namus adalah
malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal
adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari sesuatu. Guru, ustadz
atau mu’addib dalam hal ini berada pada posisi ketiga. Dalam pola klasifikasi lain
tentang jenjang dakwah kelompok Ikhwan al-Shafa, terbagi menjadi:16
a. Al-Abrar al-Ruhama’ (yang baik pengasih), yaitu anggota kelompok yang berusia
15 tahun-an. Mereka mempunyai karakteristik jernih jiwa, murah hati, manis kata
dan cepat paham.
b. Al-Akhyar al-Ruhama’ (yang terpilih-mulia), yaitu anggota kelompok yang
berusia 30 tahun-an. Mereka bercirirkan concern terhadap ikhwah, murah hati,
lembut, santun dan peduli pada ikhwah.
c. Al-Fudlala’ al-kiram (yang mulia-terhormat), yaitu anggota kelompok yang
berusia 40 tahun-an. Bercirikan otoritatif, direktif, dan pemersatu atas
pertentangan yang ada dengan cara bijak, santun,dan rekonstruktif,
d. Al-Balighun Malakutallahi (yang telah mencapai malakut Allah), yaitu kelompok
yang berusia 50 tahun-an. Bercirikan kepasrahan total, keteguhan jiwa, dan
penyaksian kebenaran.

14
Ahmad Fu’ad al-Ahnawi, Op. Cit., Hlm 227-228 dalam Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 234.
15
Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 234
16
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis, Yogyakarta
2002. Hlm 147-148.

7
Ikhwan al-Shafa membagi sumber pengetahuan menjadi empat dimensi:
a) Kitab suci yang diturunkan, misal Taurat, Injil, dan Al-Qur’an.
b) Kitab-kitab yang disusun oleh para hukama’ (orang-orang bijak) dan filosof, baik
beruppa Matematika, fisika-kealaman, Sastra dan filsafat.
c) Alam, yakni bentuk empiris (phenoumenon) segala yang sesuatu sebagaimana
adanya.
d) Perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya, atau sering disebut sebagai
noumenon, ragam dan macamnya, serta kaitan fungsionalnya dengan kenyataan
empiris (phenoumenon).

C. Ciri-Ciri Pemikiran Modern Ikhwan Al-Shafa


a. Al-Tawfiq Dan Al-Talfiq
Pemikiran al-tawfiq (rekonsiliasi) Ikhwan al-Shafa terlihat pada tujuan pokok
bidang keagamaan yang hendak dicapainya, yakni merekosiliasikan atau
menyelaraskan antara agama dan filsafat dan antara agama-agama yang ada. Usaha ini
terlihat dari ungkapan mereka bahwa syariah telah dikotori bermacam-macam
kejahilan dan dilumuri berbagai kesesatan, satu-satunya jalan membersihkannya
adalah dengan filsafat.17
Ikhwan al-Shafa berusaha memadukan filsafat dengan agama dengan
menurunkan metafisika dan ilmu pengertian dari puncak spekulatif murni yang tidak
dapat dijangkau secara aktif-praktis. Dengan demikian, harus dimunculkan satu
tingkat kepercayaan yang menengahi tingkat kepercayaan yang telah ada, tingkat yang
cocok bagi orang-orang pilihan dan bagi orang kebanyakan yaitu tinggkat
kepercayaan yang cocok bagi keduanya, yang berakar pada akal, dipotong oleh kitab
suci, dan dapat diterima oleh semua kelompok pencari kebenaran.18
Disamping itu Ikhwan al-Shafa juga memadukan agama-agama yang
berkembang pada waktu itu dengan berasaskan filsafat, seperti Islam, Kristen, Majusi,
Yahudi dan lain karena, menurut mereka tujuan agama adalah sama yaitu
mendekatkan diri kepada Tuhan.19
b. Metafisika
Adapun mengenai ketuhanan, Ikhwan al-Shafa melandasi pemikiran kepada
bagian. Menurut mereka, ilmu bilangan adalah lidah yang mempercayakan tentang
17
Sirajudin Zar, Filsafat Islam : Filosof Dan Filsafatnya, Jakarta, 2004. Hlm.143
18
Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 47
19
Ibid., hlm 47

8
tauhid, al-tanzih, dan meniadakan sifat dan tasybih, serta dapat menolak sikap orang
yang mengingkari keesaan Tuhan. Dengan kata lain, pengetahuan tentang angka
membawa kepada pengakuan tentang keesaan Tuhan, karena apabila angka satu rusak,
maka rusaklah semuanya. Selanjutnya mereka katakan, angka satu belum angka dua
dan dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu
adalah angka pemula dan ia lebih dahulu dari angka dua atau angka lainnya. Karena
itu keutamaan terletak pada yang dahulu, yakni angka satu. Sedangkan angka dua dan
lainnya terjadi kemudian. Karena itu terbuktilah bahwa lainya bahwa yang Esa
(Tuhan) lebih dahulu dari lainnya seperti dahulunya angka satu dari angka yang lain.20
Ikhwan al-Shafa juga melakukan al-tanzih, meniadakan sifat dan tasybih
kepada Tuhan. Tuhan adalah pencipta segala yang ada dengan cara al-faidh (emanasi)
dan memberi bentuk tanpa waktu dan tempat, cukup dengan firman-Nya kun fa kana.
Maka adalah segala yang dikendaki-Nya. Ia berada pada segala sesuatu tanpa berbaur
dan bercampur, seperti adanya angka satu dalam tiap-tiap bilangan. Sebagaimana
bilangan satu tidak dapat dibagi dan tidak serupa deng an bilangan lain. Demikian
pula Tuhan tidak ada menyamai dan menyerupai-Nya. Tetapi, ia jadikan fitrah
manusia untuk dapat mengenal-Nya tanpa belajar.21
Tentang ilmu Tuhan, Ikhwan al-Shafa beranggapan bahwa seluruh
pengetahuan (al-ma’lumat) berada dalam ilmu Tuhan sebagaimana beradanya seluruh
bilangan dalam satu. Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu Tuhan dari zat-Nya
sebagaimana bilangan yang banyak dari bilangan yang satu yang merupakan seluruh
bilangan. Demikian pula ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu yang ada.22
c. Jiwa Manusia
Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangannya jiwa
manusia banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa
dalam perkembangannya, jiwa dibatu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk
berkembang.23
Pengetahuan diperoleh melalui proses berpikir. Anak-anak pada mulanya
seperti kertas putih bersih dan belum ada coretan. Lembaran pytih tersebut akan
tertulis dengan adanya tanggapan panca indera yang menyalurkannya ke otak bagian
depan yang memiliki daya imajinasi (al-quwwat al-mutakhayyilat). Dari sini

20
Ibid., hlm 48
21
Ibid., hlm 48
22
Ibid., hlm 49
23
Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya,.Hlm 152

9
meningkat ke daya berpikir (al-quwwat al-mufakkirat) yang terdapat pada otak bagian
tengah. Pada tingkat ini manusia sanggup membedakan antara benar dan salah, antara
baik dan buruk. Setelah itu, disalurkan ke daya ingatan (al-quwwat al-hafizhat) yang
terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ini seseorang telah sanggup
menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh daya berpikir. Tingkatan terakhr
adalah daya berbicara (al-quwwat al-nathiqat), yaitu kemampuanmengungkapkan
pikiran dan ingatan lewat bahasa tulis kepada pembaca.24
d. Moral
Adapun tentang moral, Ikhwan al-Shafa bersifat rasionalitas. Untuk itu suatu
tindakan harus berlangsung bebas merdeka. Dalam mencapai tingkat moral dimaksud,
seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan materi. Harus memupuk rasa
cinta untuk bisa sampai kepada ekstase. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa
berbuat adalah sia-sia.25
e. Bilangan
Tujuan Ikhwan al-Shafa membicarakan bilangan untuk mendemonstrasikan
bagaimana sifat bilangan itu bila diterapka dalam sesuatu, sehingga siapa saja yang
mendalami bilangan dengan segala hukum-hukumnya, sifat-sifat dasarnya, jenis-
jenisnya akan memahami jumlah macam-macam benda.26

24
Ibid., hlm 152
25
Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 52
26
Ibid., hlm 55

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Ikhwan al-Shafa adalah sebuah perkumpulan para mujtahidin yang bergerak


dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Sesuai dengan namanya, Ikhwan Al
Safa berarti persaudaraan yang suci dan bersih. Maka atas utama perkumpulan ini
adalah persaudaraan yang dilakukan secara tulus dan ikhlas, kesekawanan yang suci,
dalam menuju ridlo Ilahi. Perkumpulan ini berkembang pada abad kedua Hijriah di
kota Bashrah, Irak.
Kitab ini terdiri atas empat jilid yang berisikan ikhtisar tentang ppengetahuan
yang ada ketika itu mencangkup semua objek studi manusia, seperti:
1) 14 risalah tentang matematika yang mencangkup: geometri, astronomi, musik,
geografi, teori, dan praktek seni logika.
2) 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, meliputi: geneologi, minerologi, botani,
hidup dan matinya alam, senang dan sakitnya alam, keterbatasan manusia dan
kemampuan kesadaran.
3) 10 risalah tentang ilmu jiwa meliputi metafisika mahzab Pytagoreanisme dan
kebangkitan alam.
4) 11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, mencangkup kepercayaan dan keyakinan
hubungan alam dengan Tuhan, keyakinan Ikhwan al-Shafa, kenabian dan
keadaanya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Tuhan, magic
dan jimat.
Menurut Ikhwan al Safa, hakekat manusia adalah terletak pada jiwanya,
sementara jasad merupakan penjara bagi jiwa, oleh karena itu kelompok ini
membuat perumpamaan bagi orang yang belum dididik dengan ilmu aqidah,
ibarat kertas putih bersih, belum ternoda apapun juga.

11
DAFTAR PUSTAKA
[1] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, hlm. 181.
[2] Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Al-Tarbiyah Fi Al-Islam, Hlm 227. Dalam Filsafat Pendidikan
Islam, H. Abuddin Nata, 2005. Hlm 231
[3] H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Hlm 92-93. Dalam Filsafat Pendidikan Islam, H.
Abuddin Nata, 2005. Hlm 231.
[4] H. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta 2005. Hlm 231-232
[5] Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi
Arus Global, 2014. Hlm 161.
[6] Hasyim Nasution, Filsafat Islam, Jakarta; Gaya Media,2005. Hlm 46
[7] Ibid, hlm 46.
[8] M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-
Filosofis, Yogyakarta 2002. Hlm 168
[9] Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005.
Hlm 232
[10] Ibid,.hlm 232
[11] Omar A. Farrukh dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam, hal. 185-186
[12] Konsep Imamiyah (dalam Syiah) gelar Khalifah (Ketua Negara) diubah menjadi Imam.
Imam hanya boleh dilantik oleh Rasulullah s.aw. dan kaum Muslimin tidak berhak memilih
Khalifah atau Imam. Rasulullah s.a.w. telah mewasiatkan Sayidina Ali untuk mengantinya
sebagai Imam setelah Rasulullah wafat. Sebagai waris Nabi, Sayidina Ali terus menerima
wahyu dari Allah swt. Sayidina Ali pula tidak mati dan seperti Nabi Isa s.a.w. beliau di bawa
kelangit. Yang mati adalah gantinya. Seperti Nabi Isa a.s. juga, Sayidina Ali akan diutuskan
lagi kepada manusia sebagai Imam Mahdi untuk menghapuskan kezaliman dan kesesatan
manusia. Sementara menunggu Sayidina Ali muncul kembali di dunia, roh beliau sebagai
Imam Syi’ah yang pertama berpindah-pindah dari jasad beliau kepada jasad 11 orang Imam
(ada firqah Syi’ah menerima hanya 7 Imam). Imam yang ke-12 ( atau 7) bernama
Muhammad bin Hasan al Mahdi dipercayai tidak mati tapi ghaib (konsep Imam Ghaib).
Sayidinna Ali dipercayai akan muncul kembali ke dunia dalam jasad Imam yang ke-12, Imam
Mahdi yang ghaib itu. Ini dipanggil I’tiqad Ar-Rajah oleh orang Syi’ah.
(www.mindarakyat2.tripod.com. Diunduh hari rabu , 12-09-2018 pukul 11.03 wib.
[13] Ibid. Hlm 232-234
[14] Ahmad Fu’ad al-Ahnawi, Op. Cit., Hlm 227-228 dalam Dr. H. Abuddin Nata, MA.
Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 234.
[15] Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005.
Hlm 234
[16] M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-
Filosofis, Yogyakarta 2002. Hlm 147-148.
[17] Sirajudin Zar, Filsafat Islam : Filosof Dan Filsafatnya, Jakarta, 2004. Hlm.143
[18] Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 47.
[19] Ibid., hlm 47
[20] Ibid., hlm 48
[21] Ibid., hlm 48
[22] Ibid., hlm 49
[23] Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya,.Hlm 152
[24] Ibid., hlm 152
[25] Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 52
[26] Ibid., hlm 55

12

Anda mungkin juga menyukai