Oleh:
i
DAFTAR ISI
COVER…………………………………………………………………………………………
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................2
C. Tujuan Masalah...............................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN........................................................................................................................3
BAB III.....................................................................................................................................11
PENUTUP................................................................................................................................11
A. Kesimpulan...................................................................................................................11
B. Saran..............................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang
sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam,
khususnya dari para filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun,
Ikhwan al-Shafa, dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu organisasi
yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Sebagai
perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan al-Shafa menfokuskan
perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan
tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah
Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan
sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.1
Para filsuf tersebut mengemukakan konsep-konsep pendidikan baru di zaman
selanjutnya, konsep-konsep pendidikan itu menjadi landasan dasar pengembangan
pendidikan. Pendidikan dipilih menjadi sarana untuk memperbaiki moral bangsa
penting kita konsep secara sistematis dan struktur, baik dari segi tujuan pendidikan,
pendidikan, maupun peserta didiknya. Karena diharapkan, pendidikan mampu
menciptkan insan yang lebih baik dalam akhlak maupun kecerdasan intelektualnya.
Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu tujuan dari pendidikan adalah
memanusiakan manusia, yang artinya bahwa mengembangkan kemampuan manusia
secara optimal sehingga mampu melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan
perspektifnya.
Salah satu pandangan konsep pendidikan adalah konsep pendidikan menurut
Ikhwan al-Shafa, hal ini menjadi penting karena Ikhwan al-Shafa menitik beratkan
tujuan pendidikan itu untuk pengenalan diri. Selain itu, Ikhwan al-Shafa juga
mengedepankan kepentingan sosial diatas kepentingan pribadi. Hal ini dapat
menimbulkan nilai-nilai baik pada peserta didik, jika nilai ini terus dikembangkan,
maka peserta didik akan menjadi orang yang bermanfaat, dan tentu pernaikan-
perbaikan sosial yang dilakukan di masyarakat sksn mudah di capai. Untuk lebih
jelasnya filsafat dan konsep pendidikan Ikhwan al-Shafa akan dibahas dalam
1
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, hlm. 181.
1
makalah ini.
B. Rumusan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
b. Abu Hasan Ali Ibnu Harun al-Zanjany
c. Abu Ahmad al-Mahrajani
d. Al-Qufy
e. Zaid Ibnu Rifa’ah
Secara umum yang melatar belakangi kemunculan Ihwan al-Shafa yaitu
keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran-
ajaran diluar Islam, serta untuk membangkitkan kembali rasa cinta kepada ilmu
pengetahuan dikalangan umat Islam. Aktivitas Ikhwan al-Shafa difokuskan untuk
mempelajari filsafat, baik filsafat Yunani, Persia, dan lainnya yang kemudia
dipadukan dengan ajaran Islam, sehingga menjadi satu ikhtisar dan mazhab filsafat
sendiri. Dari hasil pembahasannya, Ikhwan al-Shafa menyusun sebuah buku yang
terdiri dari sebuah risalah yang berjudul “Raisail Ikhwan al-Shafa wa al-Kullah al-
Wafa” yang berjumlah 52 rasail didalamnya.6
Kitab ini terdiri atas empat jilid yang berisikan ikhtisar tentang ppengetahuan
yang ada ketika itu mencangkup semua objek studi manusia, seperti:7
1) 14 risalah tentang matematika yang mencangkup: geometri, astronomi, musik,
geografi, teori, dan praktek seni logika.
2) 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, meliputi: geneologi, minerologi, botani,
hidup dan matinya alam, senang dan sakitnya alam, keterbatasan manusia dan
kemampuan kesadaran.
3) 10 risalah tentang ilmu jiwa meliputi metafisika mahzab Pytagoreanisme dan
kebangkitan alam.
4) 11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, mencangkup kepercayaan dan keyakinan
hubungan alam dengan Tuhan, keyakinan Ikhwan al-Shafa, kenabian dan
keadaanya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Tuhan, magic
dan jimat.
4
Dalam sejarah Islam, kelompok ini tampil eksklusif dalam gerakan reformatif
pendidikannya, karena itu mereka adalah ta'limiyyun (pengajaran) dalam
melangsungkan kegiatan keilmuannya organisasi ini memandang pendidikan dengan
pandangan yang bersifat rasional dan empiric, atau perpaduan antara pandangan
yang bersifat intelektual dan faktual. Mereka memandang ilmu sebagai gambaran
dari sesuatu yang diketahui dari alam ini. Dengan kata lain yang dihasilan dari
pemikiran manusia itu terjadi karena mendapat bahan informasi yang dikirim oleh
panca indera.9
Menurut Ikhwan al Safa, hakekat manusia adalah terletak pada jiwanya,
sementara jasad merupakan penjara bagi jiwa, oleh karena itu kelompok ini
membuat perumpamaan bagi orang yang belum dididik dengan ilmu aqidah, ibarat
kertas putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu,
maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak akan dihilangkan.10
a. Cara mendapat ilmu
Ketika lahiri jiwa tidak memiliki pengetahuan sedikitpun, proses perolehan
pengetahuan manusia digambarkan Ikhwan al Safa secara dramatis dilakukan
melalui perlimpahan. Proses perlimpahan itu bermula dari jiwa universal kepada
jiwa manusia setelah terlebih dahulu melalui proses imanasi, secara berproses
manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Menurut Ikhwan al-
Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1) Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang
perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui
hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2) Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh
indera.
3) Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa.
Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari
guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru
mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain,
dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling
akhir.11
5
Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi
konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap
eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.12
Pada bagian lain Ikhwan berpendapat bahwa pada dasarnya semua ilmu itu
harus diusahakan (muktasabah) bukan dari pemberian tanpa usaha. Ilmu yang
demikian dapat diperoleh dengan menggunakan panca indra. Sesuatu yang terlukis
dalam pemikiran itu bukanlah sesuatu yang hekekatnya telah ada dalam pemikiran,
melainkan lukisan tersebut merupakan pantulan yang terjadi karena adanya kiriman
dari panca indra. Jadi bukan karena ide dari alam pikiran. Dengan panca indra itulah
manusia dapat mengetahui sesuatu pandangan seperti dihasilkan melalui penafsiran
terhadap ayat An Nahl 16:78
واهلل اخ رجكم من بط ون امه اتكم التعلم ون ش يأ وجع ل لكم الس مع واالبص ار واالفئ دة لعلكم
تشكرون.
6
berinteraksi dengan alam nyata. Begitu juga dengan cara mendapatkan ilmu itu harus
diusahakan dengan cara membiasakan berpegang pada pembiasaan dan perenungan.
Hal inilah yang dapat memperkuat daya ingatan dan kedalaman ilmu seseorang.14
b. Tipe ideal guru
Nilai seorang guru bergantung pada caranya menyampaikan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu mereka mensyariatkan agar guru memiliki syarat-syarat yang sesuai
dengan sikap dan pandangan politik Ikhwan al-Shafa serta sesuai pula dengan tujuan
penyiaran dakwahnya. Keberhasilan siswa tergantung pada kepada guru yang
cerdas, baik akhlaknya, lurus tabi’atnya, bersih hatinya, menyukai ilmu, bertugas
mencari kebenaran, dan tidak bersifat fanatisme terhadap suatu aliran.15
Syarat-syarat guru demikian hanya muncul dari orang-orang yang berada
dalam organisasinya. Berkenaan dengan ini mereka memiliki aturan tentang jenjang
seorang guru yang oleh istilah mereka dikenal dengan nama ashhab al-namus.
Mereka itu adalah mua’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab al-namus adalah
malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal
adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari sesuatu. Guru, ustadz
atau mu’addib dalam hal ini berada pada posisi ketiga. Dalam pola klasifikasi lain
tentang jenjang dakwah kelompok Ikhwan al-Shafa, terbagi menjadi:16
a. Al-Abrar al-Ruhama’ (yang baik pengasih), yaitu anggota kelompok yang berusia
15 tahun-an. Mereka mempunyai karakteristik jernih jiwa, murah hati, manis kata
dan cepat paham.
b. Al-Akhyar al-Ruhama’ (yang terpilih-mulia), yaitu anggota kelompok yang
berusia 30 tahun-an. Mereka bercirirkan concern terhadap ikhwah, murah hati,
lembut, santun dan peduli pada ikhwah.
c. Al-Fudlala’ al-kiram (yang mulia-terhormat), yaitu anggota kelompok yang
berusia 40 tahun-an. Bercirikan otoritatif, direktif, dan pemersatu atas
pertentangan yang ada dengan cara bijak, santun,dan rekonstruktif,
d. Al-Balighun Malakutallahi (yang telah mencapai malakut Allah), yaitu kelompok
yang berusia 50 tahun-an. Bercirikan kepasrahan total, keteguhan jiwa, dan
penyaksian kebenaran.
14
Ahmad Fu’ad al-Ahnawi, Op. Cit., Hlm 227-228 dalam Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 234.
15
Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 234
16
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis, Yogyakarta
2002. Hlm 147-148.
7
Ikhwan al-Shafa membagi sumber pengetahuan menjadi empat dimensi:
a) Kitab suci yang diturunkan, misal Taurat, Injil, dan Al-Qur’an.
b) Kitab-kitab yang disusun oleh para hukama’ (orang-orang bijak) dan filosof, baik
beruppa Matematika, fisika-kealaman, Sastra dan filsafat.
c) Alam, yakni bentuk empiris (phenoumenon) segala yang sesuatu sebagaimana
adanya.
d) Perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya, atau sering disebut sebagai
noumenon, ragam dan macamnya, serta kaitan fungsionalnya dengan kenyataan
empiris (phenoumenon).
8
tauhid, al-tanzih, dan meniadakan sifat dan tasybih, serta dapat menolak sikap orang
yang mengingkari keesaan Tuhan. Dengan kata lain, pengetahuan tentang angka
membawa kepada pengakuan tentang keesaan Tuhan, karena apabila angka satu rusak,
maka rusaklah semuanya. Selanjutnya mereka katakan, angka satu belum angka dua
dan dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu
adalah angka pemula dan ia lebih dahulu dari angka dua atau angka lainnya. Karena
itu keutamaan terletak pada yang dahulu, yakni angka satu. Sedangkan angka dua dan
lainnya terjadi kemudian. Karena itu terbuktilah bahwa lainya bahwa yang Esa
(Tuhan) lebih dahulu dari lainnya seperti dahulunya angka satu dari angka yang lain.20
Ikhwan al-Shafa juga melakukan al-tanzih, meniadakan sifat dan tasybih
kepada Tuhan. Tuhan adalah pencipta segala yang ada dengan cara al-faidh (emanasi)
dan memberi bentuk tanpa waktu dan tempat, cukup dengan firman-Nya kun fa kana.
Maka adalah segala yang dikendaki-Nya. Ia berada pada segala sesuatu tanpa berbaur
dan bercampur, seperti adanya angka satu dalam tiap-tiap bilangan. Sebagaimana
bilangan satu tidak dapat dibagi dan tidak serupa deng an bilangan lain. Demikian
pula Tuhan tidak ada menyamai dan menyerupai-Nya. Tetapi, ia jadikan fitrah
manusia untuk dapat mengenal-Nya tanpa belajar.21
Tentang ilmu Tuhan, Ikhwan al-Shafa beranggapan bahwa seluruh
pengetahuan (al-ma’lumat) berada dalam ilmu Tuhan sebagaimana beradanya seluruh
bilangan dalam satu. Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu Tuhan dari zat-Nya
sebagaimana bilangan yang banyak dari bilangan yang satu yang merupakan seluruh
bilangan. Demikian pula ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu yang ada.22
c. Jiwa Manusia
Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangannya jiwa
manusia banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa
dalam perkembangannya, jiwa dibatu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk
berkembang.23
Pengetahuan diperoleh melalui proses berpikir. Anak-anak pada mulanya
seperti kertas putih bersih dan belum ada coretan. Lembaran pytih tersebut akan
tertulis dengan adanya tanggapan panca indera yang menyalurkannya ke otak bagian
depan yang memiliki daya imajinasi (al-quwwat al-mutakhayyilat). Dari sini
20
Ibid., hlm 48
21
Ibid., hlm 48
22
Ibid., hlm 49
23
Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya,.Hlm 152
9
meningkat ke daya berpikir (al-quwwat al-mufakkirat) yang terdapat pada otak bagian
tengah. Pada tingkat ini manusia sanggup membedakan antara benar dan salah, antara
baik dan buruk. Setelah itu, disalurkan ke daya ingatan (al-quwwat al-hafizhat) yang
terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ini seseorang telah sanggup
menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh daya berpikir. Tingkatan terakhr
adalah daya berbicara (al-quwwat al-nathiqat), yaitu kemampuanmengungkapkan
pikiran dan ingatan lewat bahasa tulis kepada pembaca.24
d. Moral
Adapun tentang moral, Ikhwan al-Shafa bersifat rasionalitas. Untuk itu suatu
tindakan harus berlangsung bebas merdeka. Dalam mencapai tingkat moral dimaksud,
seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan materi. Harus memupuk rasa
cinta untuk bisa sampai kepada ekstase. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa
berbuat adalah sia-sia.25
e. Bilangan
Tujuan Ikhwan al-Shafa membicarakan bilangan untuk mendemonstrasikan
bagaimana sifat bilangan itu bila diterapka dalam sesuatu, sehingga siapa saja yang
mendalami bilangan dengan segala hukum-hukumnya, sifat-sifat dasarnya, jenis-
jenisnya akan memahami jumlah macam-macam benda.26
24
Ibid., hlm 152
25
Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 52
26
Ibid., hlm 55
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
11
DAFTAR PUSTAKA
[1] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, hlm. 181.
[2] Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Al-Tarbiyah Fi Al-Islam, Hlm 227. Dalam Filsafat Pendidikan
Islam, H. Abuddin Nata, 2005. Hlm 231
[3] H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Hlm 92-93. Dalam Filsafat Pendidikan Islam, H.
Abuddin Nata, 2005. Hlm 231.
[4] H. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta 2005. Hlm 231-232
[5] Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi
Arus Global, 2014. Hlm 161.
[6] Hasyim Nasution, Filsafat Islam, Jakarta; Gaya Media,2005. Hlm 46
[7] Ibid, hlm 46.
[8] M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-
Filosofis, Yogyakarta 2002. Hlm 168
[9] Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005.
Hlm 232
[10] Ibid,.hlm 232
[11] Omar A. Farrukh dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam, hal. 185-186
[12] Konsep Imamiyah (dalam Syiah) gelar Khalifah (Ketua Negara) diubah menjadi Imam.
Imam hanya boleh dilantik oleh Rasulullah s.aw. dan kaum Muslimin tidak berhak memilih
Khalifah atau Imam. Rasulullah s.a.w. telah mewasiatkan Sayidina Ali untuk mengantinya
sebagai Imam setelah Rasulullah wafat. Sebagai waris Nabi, Sayidina Ali terus menerima
wahyu dari Allah swt. Sayidina Ali pula tidak mati dan seperti Nabi Isa s.a.w. beliau di bawa
kelangit. Yang mati adalah gantinya. Seperti Nabi Isa a.s. juga, Sayidina Ali akan diutuskan
lagi kepada manusia sebagai Imam Mahdi untuk menghapuskan kezaliman dan kesesatan
manusia. Sementara menunggu Sayidina Ali muncul kembali di dunia, roh beliau sebagai
Imam Syi’ah yang pertama berpindah-pindah dari jasad beliau kepada jasad 11 orang Imam
(ada firqah Syi’ah menerima hanya 7 Imam). Imam yang ke-12 ( atau 7) bernama
Muhammad bin Hasan al Mahdi dipercayai tidak mati tapi ghaib (konsep Imam Ghaib).
Sayidinna Ali dipercayai akan muncul kembali ke dunia dalam jasad Imam yang ke-12, Imam
Mahdi yang ghaib itu. Ini dipanggil I’tiqad Ar-Rajah oleh orang Syi’ah.
(www.mindarakyat2.tripod.com. Diunduh hari rabu , 12-09-2018 pukul 11.03 wib.
[13] Ibid. Hlm 232-234
[14] Ahmad Fu’ad al-Ahnawi, Op. Cit., Hlm 227-228 dalam Dr. H. Abuddin Nata, MA.
Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 234.
[15] Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005.
Hlm 234
[16] M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-
Filosofis, Yogyakarta 2002. Hlm 147-148.
[17] Sirajudin Zar, Filsafat Islam : Filosof Dan Filsafatnya, Jakarta, 2004. Hlm.143
[18] Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 47.
[19] Ibid., hlm 47
[20] Ibid., hlm 48
[21] Ibid., hlm 48
[22] Ibid., hlm 49
[23] Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya,.Hlm 152
[24] Ibid., hlm 152
[25] Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 52
[26] Ibid., hlm 55
12