Anda di halaman 1dari 15

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN

ISLAM DAN TOKOH-TOKOHNYA

Disusun oleh
Kelompo 10:

1.Radina Marliana (221421022)


2.Nabila (221421034)

Dosen pengampu: Atika Anggraini,S.Pd.,M.Pd

Sekolah Tinggi Agama Islam Rahmaniyah


Sekayu
2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan


hidayah-Nyat karena kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Adapun dalam penulisan makalah ini, materi yang akan dibahas adalah
“ALIRAN- ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DAN TOKOH-TOKOHNYA ”
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan makalah ini banyak
terdapat kekurangan Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan
saran yang membangun demi kesempurnaan penulisan makalah ini

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penyusunan makalah ini, khususnya kepada dosen pembimbing mata
kuliah yang bersangkutan. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua dan dapat menambah wawasan kita dalam mempelajari
“Ulumul Hadist serta dapat digunakan sebagaimana mestinya
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Menurut Islam, pendidikan adalah corak hitam putihnya perjalanan hidup seseorang. Oleh
karena itu ajaran Islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu kegiatan yang
wajib hukumnya bagi pria dan wanita, dan berlangsung seumur hidup semenjak dari buaian
hingga ajal datang (Al- Hadis)-life long education.

Kedudukan tersebut secara tidak langsung telah menempatkan pendidikan sebagai bagian
yang tak terpisahkan dengan hidup dan kehidupan umat manusia. Dalam hal ini Dewey
berpendapat bahwa: "Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan hidup (a necessity of life),
salah satu fungsi sosial (a social function), sebagai bimbingan (as direction), sebagai sarana
pertumbuhan (as means of growth), yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk
disiplin hidup.' lewat transmisi baik dalam bentuk informal, formal maupun nonformal".
Bahkan jauh Lodge mengatakan bahwa: "Pendidikan dan proses hidup dan kehidupan
manusia itu berjalan serempak, tidak terpisah satu sama yang lain-life is education, and
education is life."

Dengan demikian, pendidikan menyandang misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup dan
berproses sejalan dengan dinamikanya hidup serta perubahan-perubahan yang terjadi.
Sebagai akibat logisnya maka pendidikan senantiasa mengandung pemikiran dan kajian, baik
secara konseptual maupun operasionalnya, sehingga diperoleh relevansi dan kemampuan
menjawab tantangan serta memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat

Pemikiran dan kajian tentang pendidikan dilakukan oleh para ahli dalam berbagai sudut
tinjauan dan disiplin ilmu, seperti agama, filsafat, sosiologi, ekonomi, politik, sejarah, dan
antropologi. Sudut tinjauan ini menyebabkan lahirnya cabang ilmu pengetahuan
kependidikan yang berpangkal dari sudut tinjauannya, yaitu pendidikan agama, filsafat
pendidikan, sosiologi pendidikan, dan sebagainya.
B. RUMUSAN MASALAH

BAB II
Pembahasan

a Memahami aliran-aliran utama filsafat pendidikan Islam dan tokoh-


tokohnya

b. Menambah khazanah keilmuan dalam bidang filsafat pendidikan Islam

B. Aliran-aliran Utama dalam Filsafat Pendidikan Islam Meminjam analisis Jawwad Ridha, setidaknya
ada tiga aliran utama dalam pemikiran filosofis pendidikan Islam, yaitu: (1) aliran Agama-
Konservatif, (2) aliran Religius-Rasional. dan (3) aliran Pragmatis- Instrumental. Penjabaran tentang
ketiga aliran tersebut dapat dilihat berikut ini.

1. Aliran Konservatif (al-Muhafidz)

Aliran ini cenderung bersikap mumi keagamaan. Para ahli dalam aliran ini memandang ilmu dengan
batasan yang sempit, yaitu hanya mencakup ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang atau hidup di
dunia ini, yang jelas-jelas akan membawa manfaat kelak di Akhirat. Para pengajar harus mengawali
belajarnya dengan mengkaji al-Qur'an al-Karim. Mereka berusaha menghafal al-Qur'an dan
menafsirkannya. Ulumul Qur'an merupakan induk semua ilmu, lalu dilanjutkan dengan belajar hadis
danUlumul Hadis, Ushul Fiqh, Nahwu, dan Sharaf. Para ulama yang termasuk dalam kategori aliran
pemikiran pendidikan ini adalah Al-Ghazali, Zarnuji. Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama'ah, Sahnun, Ibnu
Hajar al-Haitami, dan Abdul Hasan Ali bin Muhammad bin Khalaf (Al-Qabisi).

Menurut aliran konservatif. ilmu dapat dibagi menjadi sebagai berikut. Pertama, ilmu yang wajib
dipelajari oleh setiap individu, yaitu ilmu tentang tata cara melakukan kewajiban yang sudah tiba
saatnya dan ilmu- ilmu tentang kewajiban-kewajiban agama (Ulum al-Fara'id al-Diniyah). Kedua, ilmu
yang wajib kifayah untuk dipelajari, yaitu ilmu yang dibutuhkan demi tegaknya urusan kehidupan
dunia, misalnya: ilmu kedokteran yang sangat krusial bagi pemeliharaan kesehatan badan, dan ilmu
hitung.

Kalau kita perhatikan, maka pemikiran aliran konservatif mengarah pada konsep hierarki nilai yang
menstrukturkan ragam jenis ilmu secara vertikal sesuai dengan penilaian mereka tentang keutamaan
masing- masing ilmu, Tokoh utama dalam aliran ini adalah al-Ghazali.

2. Aliran Religius Rasional (al-Diniy al-Aqlany)

Menurut Ridha, aliran ini tidak jauh berbeda dengan aliran pemikiran tradisionalis-tekstualis
(Naqliyyun) nama lain dari Konservatif - dalam hal relasi pendidikan dengan tujuan agama. Aliran
pemikiran pendidikan ini mengakui bahwa semua ilmu dan sastra yang tidak mengantarkan
pemiliknya menuju kehidupan akhirat, dan tidak memberikan makna sebagai bekal di sana, maka
ilmu demikian hanya akan menjadi bomerang bagi si pemilik tadi kelak di akhirat

Namun, aliran ini mempunyai perbedaan dengan yang pertama pada saat membahas persoalan
pendidikan, karena cenderung bersikap rasionalis-filosofis. Kecenderungan ini menjadi jalan masuk
bagi pemerhati yang ingin mengkaji strategi atau program pendidikannya. Kecenderungan rasionalis-
filosofis secara eksplisit terugkap dalamrumusan mereka tentang ilmu dan belajar yang jauh berbeda
dengan

Aliran Religius-Rasional banyak membangun konsep-konsepnya dari pemikiran filsafat Yunani dan
berusaha menyelaraskan pemikiran filsafat Yunani dengan pandangan-pandangan dasar dari
orientasi keagamaan yang dipedomaninya.

3. Aliran Pragmatis (al-Dzaraa'iy)

Tokoh utama aliran ini adalah Ibnu Khaldun. Pemikiran Ibnu Khaldun lebih banyak bersifat pragmatis
dan lebih berorientasi pada dataran aplikatif-praktis. Dia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan
berdasarkan

tujuan fungsionalnya, bukan berdasar nilai substansialnya semata.

Aliran Pragmatis yang digulirkan Ibnu Khaldun merupakan wacana baru dalam pemikiran pendidikan
Islam. Apabila kalangan Konservatif mempersempit ruang lingkup sekuler di hadapan rasionalitas
Islam dan mengaitkannya secara kaku dengan pemikiran atau warisan salaf. sedangkan kalangan
Rasionalis dalam sistem pendidikan (program kurikuler) berpikiran idealistik sehingga memasukkan
semua disiplin keilmuan yang dianggap substantif bernilai, maka Ibnu Khaldun mengakomodir ragam
jenis keilmuan yang nyata terkait dengan kebutuhan langsung manusia, baik berupa kebutuhan
spiritual-ruhaniah maupun kebutuhan material-jasmaniah.

C. Tokoh-tokoh Utama Aliran Filsafat Pendidikan Islam.

1. Al Ghazali

a. Biografi

Abu Hamid Al-Ghazali dilahirkan pada pertengahan abad ke-5 H. bertepatan dengan tahun 450 M di
Thus, sebuah kota di Khurasan. Tidak lama setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia. Pada
masakecil, Al-Ghazali hidup dalam kemiskinan. Tetapi ia mendapat bimbingan seorang sufi, yang
kelak me-masukkannya ke satu sekolah penampungan anak-anak tak mampu.

Di Thus, Al-Ghazali belajar berbagai ilmu pengetahuan. Setelah itu, ia pergi ke Jurjan, kemudian ke
Naisabur, pada saat Imam Haramain "Cahaya Agama", Al-Juwaini, menjabat sebagai kepala
Madrasah Nizhamiyyah. Di bawah asuhan Al-Juwaini ini. Al-Ghazali mempelajari ilmu figh, ushul,
mantiq, dan kalam, hingga kematian memisahkan keduanya ketika Al-Juwaini meninggal dunia.

Pada tahun 478 H Al-Ghazali keluar dari Naisabur menuju ke Mu'askar dan menetap disana sampai
diangkat menjadi tenaga pengajar di Madrasah Nizhamiyyah di Baghdad pada tahun 484 M. Di
tempat ini, Al-Ghazali mencapai puncak prestisius dalam karir keilmuannya.

Karena suatu persoalan, ia keluar dari Madrasah Nizhamiyyah menuju pengasingan padang pasir
selama sembilan tahun. Dalam rentang waktu itu, Al-Ghazali berkunjung ke Syam. Hijaz, dan Mesir
untuk kemudian kembali ke Naisabur. Setelah itu, ia kembali ke Thus hingga menghembuskan nafas
terakhirnya pada 14 Jumadil Akhir 505 H.

b. Pandangan Al-Ghazali Tentang Pendidikan 1. Tujuan Pendidikan

Al-Ghazali termasuk ke dalam sufistik yang banyak menaruh perhatian besar terhadap pendidikan,
karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya.
Demikian hasil pengamatan Ahmad Fuad al-Ahwani terhadap

pemikiran pendidikan al-GhazaliMenurut H.M. Arifin sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, al-
Ghazali adalah penganut faham idealism yang konsekuen terhadap agama sebagai dasar
pandangannya. Dalam masalah pendidikan, al- Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme. Hal ini
antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik.
Menurutnya, seorang anak tergantung kepada orang tua dan anak yang mendidiknya.

Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT.. bukan untuk
mencari kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan
uang Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri kepada Allah, akan
dapat menimbulkan kedengkian, kebencian, dan permusuhan."

Rumusan tujuan pendidikan yang demikian ini sejalan dengan firman Allah SWT. tentang tujuan
penciptaan manusia, yaitu:

‫) وما خلقت الجن واإلنس إال ليعبدون‬


"Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku." (QS.al-Dzariyat: 56]

2. Pendidik

Sejalan dengan pentingnya pendidikan mencapai tujuan di atas, al- Ghazali juga menjelaskan tentang
ciri-ciri pendidik yang boleh melaksanakan pendidikan. Ciri-ciri tersebut adalah:

a. Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri.

b. Guru jangan mengharapkan materi (upah) sebagai tujuan dari pekerjaannya (mengajar), karena
mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. sedangkan upahnya adalah
terletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan

ilmu yang diajarkannya.

c. Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam

menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari

keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepala Allah. d. Guru harus mendorong
muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia

dan akhirat. e. Di hadapan muridnya, guru harus memberikan contoh baik, seperti

berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah hati dan berakhlak terpuji

lainnya. f. Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat

intelektual dan daya tangkap anak didiknya.

g. Guru harus mengamalkan yang diajarkannya, karena ia menjadi

idola di mata anak didiknya.


h. Guru harus memahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya. sehingga di samping tidak akan salah
dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak

didiknya.

i. Guru harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikiran
anak didik tersebut akan dijiwai oleh keilmuan itu."

Jika tipe ideal guru yang dikehendaki al-Ghazali tersebut di atas dilihat dari persfektif guru sebagai
profesi nampak diarahkan pada aspek moral dan kepribadian guru, sedangkan keahlian, profesi dan
penguasaan terhadap materi yang diajarkan dan metode yang harus

dikuasainya nampaknya kurang diperhatikan. Hal ini dapat dimengerti karena paradigma (cara
pandang) yang digunakan untuk menentukan guru tersebut adalah paradigma tasawuf yang
menempatkan guru sebagai figur sentral, idola, bahkan mempunyai kekuatan spiritual. dimana sang
murid sangat bergantung kepadanya. Dengan posisi seperti ini nampak guru memegang peranan
penting dalam pendidikan. Hal ini mungkin kurang sejalan lagi dengan pola dan pendekatan dalam
pendidikan yang diterapkan pada masyarakat modern saat ini.

Tipe ideal guru yang dikemukakan al-Ghazali yang demikian sarat dengan normal akhlak itu, masih
dianggap relevan jika tidak dianggap satu-satunya model, melainkan jika dilengkapi dengan
persyaratan yang lebih bersifat akademis dan profesi. Guru yang ideal di masa sekarang adalah guru
yang memiliki persyaratan kepribadian sebagaimana dikemukakan al-Ghazali dan persyaratan
akademis profesional.

3. Murid

Sejalan dengan prinsip bahwa menuntut ilmu pengetahuan itu sebagai ibadah dan mendekatkan diri
kepada Allah, maka bagi murid dikehendaki hal-hal sebagai berikut:

a. Seorang murid di hadapan guru selayaknya senantiasa memulai

pertemuan dengan mengucapkan salam kepada guru, tidak banyak berbicara di hadapannya.

b. Ikut berdiri ketika dia berdiri dan tidak mengatakan, "fulan mengatakan sesuatu yang berbeda
dengan yang Anda katakan." c. Tidak bertanya kepada teman ketika duduk di hadapan guru.
d. Tidak tertawa ketika guru berbicara. e. Tidak memperlihatkan kepadanya apa yang bertentangan

dengan pendapatnya. f. Tidak memegang bajunya ketika dia berdiri.

g. Tidak meminta penjelasan tentang suatu masalah di tengah perjalanan hingga sampai ke
rumahnya dan tidak bertanya ketika dia merasa jenuh."

Ciri-ciri murid yang demikian itu nampak juga masih dilihat dari persfektif tasawuf yang
menempatkan murid sebagaimana murid tasawuf di hadapan gurunya. Ciri-ciri tersebut untuk masa
sekarang tentu masih perlu ditambah dengan ciri-ciri yang lebih membawa kepada kreatifitas dan
kegairahan dalam belajar

4. Kurikulum

Secara tradisional kurikulum berarti mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk
menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Kurikulum
tersebut disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Pandangan al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu
pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dan yang wajib dipelajari oleh
anak didik menjadi tiga kelompok, yaitu:

a Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tidak ada

manfaatnya bagi manusia di dunia ataupun di akhirat, misalnya

ilmu sihir, nujum, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari

akan membawa mudharat dan akan meragukan terhadap

kebenaran adanya Tuhan. Oleh karena itu ilmu ini harus

dijauhi.
b. Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit. Misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Ilmu ini bila
dipelajari akan membawa seseorang kepada jiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan
serta dapat mendekatkan diri kepada Allah.

c. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh

diperdalam, karena ilmu ini dapat membawa kepada

kegoncangan iman dan ilhad (meniadakan Tuhan) seperti ilmu

Jika diamati secara seksama, nampak al-Ghazali menggunakan dua pendekatan dalam membagi ilmu
pengetahuan. Pertama pendekatan fiqih yang melahirkan pembagian ilmu pada yang wajib dan
fardhu kifayah. Kedua pendekatan tasawuf (akhlak) yang melahirkan pembagian ilmu pada yang
terpuji dan tercela. Hal ini akan semakin jelas jika dihubungkan dengan tujuan pendidikan tersebut di
atas, yaitu pendekatan diri kepada Allah.

Dari keseluruhan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa al-Ghazali adalah seorang ulama
besar yang menaruh perhatian yang cukup tinggi terhadap pendidikan. Corak pendidikan yang
dikembangkannya tampak dipengaruhi oleh pandangannya terhadap tasawuf dan fikih. Hal ini tidak
mengherankan karena dalam kedua bidang ilmu tersebut itulah al-Ghazali memperlihatkan
kecenderungannya yang besar. Konsep pendidikan yang dikemukakannya nampak selain sistematik
dan komprehensif juga secara konsisten sejalan dengan sikap dan kepribadiannya sebagai seorang
sufi.

2. Ikhwan Al-Shafa

a. Riwayat Singkat Ikhwan Al-Shafa

Ikhwan al-Shafa adalah perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang banyak
memfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Perkumpulan ini berkembang
pada abad ke dun Hijriah di kota Bashrah. Irak. Organisasi ini antara lain mengajarkan tentang dasar-
dasar agama Islam yang didasarkan pada persaudaraan Islam, yaitu suatu sikap yang memandang
iman seorang

muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.
Sebagai sebuah organisasi ia memiliki semangat dakwah dan tabligh yang amat militan dan
kepedulian yang tinggi terhadap orang lain." Semua anggota perkumpulan ini wajib menjadi guru
dan mubaligh terhadap orang lain yang terdapat di masyarakat. Di sinilah letak relevansinya
berbicara Ikhwan al-Shafa terhadap pendidikan.

Informasi lain menyebutkan bahwa organisasi ini didirikan oleh kelompok masyarakat yang terdiri
dari para filosof. Organisasi yang mereka dirikan bersifat rahasia dan memiliki misi politis. Namun
bersamaan dengan itu ada pula yang mengatakan bahwa organisasi ini lebih bercorak kebatinan.
Mereka sangat mengutamakan pendidikan dan pengajaran yang berkenaan dengan pembentuk
pribadi, jiwa, dan akidah

b. Pandangan Pendidikan

Batasan ilmu menurut Ikhwan al-Shafa adalah gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada benak
(jiwa) orang yang mengetahui Lawan dari ilmu adalah kebodohan, yaitu tiadanya gambaran yang
diketahui pada jiwanya. Jiwa para ilmuwan, secara riil-aktual berilmu. sedangkan jiwa para pelajar,
berilmu secara potensial. Belajar dan mengajar tiada lain adalah mengaktualisasikan hal-hal
potensial, melahirkan hal-hal yang terpendam dalam jiwa. Aktivitas seperti itu bagi guru dinamakan
dengan mengajar, dan bagi pelajar dinamakan dengan belajar.

Ikhwan al-Shafa mengatakan bahwa jiwa pelajar adalah berilmu (mengetahui) secara potensial,
artinya kesiapan untuk belajar (educable). Dengan demikian, proses pengajaran adalah usaha
transformative terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil atau upaya transformative
terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu

c. Tokoh-tokoh Utama Filsafat Pendidikan Islam

Ada tiga tokoh utama dalam filsafat pendidikan Islam, pertama, al- Ghazali. Ia adalah seorang ulama
besar yang menaruh perhatian yang cukup tinggi terhadap pendidikan. Corak pendidikan yang
dikembangkannya tampak dipengaruhi oleh pandangannya terhadap tasawuf dan fikih. Hal ini tidak
mengherankan karena dalam kedua bidang ilmu tersebut itulah al-Ghazali memperlihatkan
kecenderungannya yang besar. Konsep pendidikan yang dikemukakannya nampak selain sistematik
dan komprehensif juga secara konsisten sejalan dengan sikap dan kepribadiannya sebagai seorang
sufi. Kedua, Ikhwan al-Shafa. Pandangan Ikhwan al-Shafa mengenai pendidikan sangat dipengaruhi
oleh pandangan kelompoknya dan terkesan ekslusif dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
spiritulitas belaka, kurang membicarakan mengenai proyeksi kehidupan di dunia. Namun demikian,
sebagai sebuah organisasi ia nampak solid dalam menggalang misi dakwah yang dianutnya. Ketiga,
Ibnu Khaldun. Ia adalah seorang tokoh yang menaruh perhatian besar terhadap pendidikan. Konsep
pendidikan yang dikemukakannya nampak sangat dipengaruhi oleh pandangannya terhadap
manusia sebagai makhluk yang harus dididik, dalam rangka melaksanakan fungsi sosialnya di tengah-
tengah masyarakat. Pendidikan adalah alat untuk membantu seseorang agar dapat hidup
bermasyarakat dengan baik.

D. Penutup
1. Kesimpulan

a. Aliran-aliran Filsafat Pendidikan Islam

Ada tiga aliran utama dalam filsafat pendidikan Islam, pertama. aliran konservatif, Aliran ini
cenderung bersikap murni keagamaan. Para ahli dalam aliran ini memandang ilmu dengan batasan
yang sempit. yaitu hanya mencakup ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang atau hidup di dunia
ini, yang jelas-jelas akan membawa manfaat kelak di Akhirat. Kedua, Aliran Religius-Rasional (al-Diniy
al-Aqlany), Menurut Ridha, aliran ini tidak jauh berbeda dengan aliran pemikiran tradisionalis-
tekstualis (Naqliyyun) nama lain dari Konservatif - dalam hal relasi pendidikan dengan tujuan agama.
Aliran pemikiran pendidikan ini mengakui bahwa semua ilmu dan sastra yang tidak mengantarkan
pemiliknya menuju kehidupan akhirat, dan tidak memberikan makna sebagai bekal di sana, maka
ilmu demikian hanya akan menjadi bomerang bagi si pemilik tadi kelak di akhirat. Ketiga. Aliran
Pragmatis (al-Dzaraa'iy). Tokoh utama aliran ini adalah Ibnu Khaldun. Pemikiran Ibnu Khaldun lebih
banyak bersifat pragmatis dan lebih berorientasi pada dataran aplikatif-praktis. Dia
mengkalsifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya, bukan berdasar nilai
substansialnya semata. Aliran Pragmatis yang digulirkan Ibnu Khaldun merupakan wacana baru
dalam pemikiran pendidikan Islam. Apabila kalangan Konservatif mempersempit ruang lingkup
sekuler di hadapan rasionalitas Islam dan mengaitkannya secara kaku dengan pemikiran atau
warisan salaf. sedangkan kalangan Rasionalis dalam sistem pendidikan (program kurikuler)
berpikiran idealistik sehingga memasukkan semua disiplin keilmuan yang dianggap substantif
bernilai, maka Ibnu Khaldun

Daftar Pustaka

A. Mukti Ali, Ibn Chaldun dan Asal-Usul Sosiologi, Bagian Pertama, Cet. 1; Yogyakarta: Yayasan Nida,
1970.

Ahmad Fuad al-Ahwani, Al-Tarbiyah fi al-Islam, Mesir: Dar al-Misriyah, tanta tahun.

Ali Muhammad Wafi, Ibnu Khaldun, Riwayat dan Karyanya, alih bahasa Ahmadie Thaha, Cet. 1:
Jakarta: Grafitipers, 1985.

Ali Al-Jumbulati. Dirasatun Muqaaranatun fit-Tarbiyatil Islamiyyah, terj. M.

Arifin, Cet. 1; Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. Cet. 1: Ciputat:
Logos Wacana Ilmu.

24
Muhammad Jawwad Ridha, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Persfektif Sosiologis-Filosofis),
alih bahasa Mahmud Arif dari judul "al- Fikr al-Tarbawi al-Islamiyyu Muqaddimat fi Ushulih al-Ijtima
ivati al- Aqlamiyyat", Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002.

Rupert C. Lodge, Philosophy of Education, Harch & Brothers, New York, 1947. Sa'id Hawwa, Al-
Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus, terj. Abdul Amin dkk. cet. V;

Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007.

Anda mungkin juga menyukai