Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

”ALIRAN /PAHAM NILAI-NILAI DALAM PENDIDIKAM ISLAM MENURUT


FILOSOF MUSLIM DAN BARAT”
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu:
Dr. Rosichin Mansur, M.Pd

Disusun Oleh:
Fikri Hari Rustiyawan (22302011011)
M. Shofwan Hadi (22302011012)
Dian Afrilia (22302011013)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2023
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT., atas segala limpahan rahmat,
taufiq, serta hidayah-NYA, sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah pada
mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam yang berjudul ”Aliran/paham Nilai-nilai Dalam
Pendidikan Islam Menurut Filosof Muslim dan Barat”.
Sholawat dan salam senantiasa tercurah limpahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW., yang telah menyampaikan mu’jizat Al-qur’an yang tidak ada habisnya
untuk menjadi sumber kajian dan pedoman hidup yang menuntun ke jalan yang benar bagi
umat islam.
Terselesaikan makalah ini tidak lepas dari dukungan dan motivasi dari berbagai
pihak, sehingga penyusun sampaikan terimakasih yang tidak terhingga kepada yang
terhormat:
1. Prof. Dr. H. Maskuri, M.SI. selaku Rektor Universitas Islam Malang
2. Dr. Rosichin Mansur, M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat
Pendidikan Islam
3. Seluruh teman-teman yang berkontribusi dalam penyusunan makalah ini
Penyususn menyadari bahwa apa yang disajikan pada makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Untuk itu dengan kerendahan hati penyusun meminta kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penyusun menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu penyusuna makalah ini dari awal sampai akhir.

Malang, 10 Oktober 2023

Penyusun
BAB I
Pembahasan Filsafat Pendidikan Islam

1. Pengertian Filsafat Pendidikan


Sebelum mendefinisikan apa itu filsafat pendidikan islam, baiknya
diungkapkan apa itu filsafat. Kata filosofi (philosophy) berasal dari yunani philos
(suka, cinta) dan shopia (kebijaksanaan). Filsafat berarti cinta, kebijaksanaan atau
kebenaran (love of wisdom). Orangnya disebuf filosof dalam bahasa arab disebut
failasuf.1 Orang yang mencintai pengetahuan adalah orang yang menjadikan
pengetahuan sebagai tujuan hidupnya, dengan kata lain ia akan mengabdikan
hidupnya kepada pengetahuan2. Secara sederhana filsafat dapat diartikan sebagai
“alam pikiran” atau “alam berfikir”. Berfilsafat adalah berfikir namun tidak
semua berfikir dapat diartikan sebagai berfilsafat3. Berfilsafat adalah berfikir
secara radikal dan bersungguh-sungguh. Dengan kata nlain, filsafat adalah suatu
ilmu yang mempelajari hakikat suatu kebenaran segala sesuatu dengan
bersungguh-sungguh. Oleh sebab itu, filsafat disebut sebagai induk dari ilmu
pengetahuan (the mother of sciences/ queen of knowledge).
Berikut beberapa pengertian filsafat menurut para ahli:
a. Plato (427-437 SM) mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang
segala sesuatu yang ada4.
b. Aristoteles (384-322 SM) mengatakan bahwa filsafat adalah menyelidiki sebab
dan asas segala benda5.
c. Marcus Tullius Cicero (106-143) merumuskan bahwa filsafat adalah
pengetahuan tentang segala yang maha agung dan usaha-usaha untuk
mencapainya6.

1
Syar'i, A. (2005). Filsafat Pendidikan Islam.
2
Daulay, H. P. (2014). Pendidikan Islam dalam perspektif filsafat. Kencana.
3
KHASANAH, N., ARAVIK, H., & HAMZANI, A. I. (2022). Pemikiran Pendidikan Progresif Abdul
Munir Mulkhan Perspektif Filsafat Pendidikan Islam. Raudhah Proud To Be Professionals: Jurnal Tarbiyah
Islamiyah, 7(1), 30-40.
4
Nurgiansah, H. (2021). Filsafat Pendidikan.
5
Djamaluddin, A. (2014). Filsafat Pendidikan. Istiqra: Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam, 1(2).
6
Kartini, K. (2023). Filsafat Ilmu sebagai Dasar Perkembangan Ilmu Pengetahuan. JURNAL EDUKASI
NONFORMAL, 4(1), 398-407.
d. Al-Farabi (w. 950 M) mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan yang
mempelajari tentang alam maujud dan memiliki tujuan untuk mengetahui
hakikatnya yang sebenarnya7.
e. KBBI menulis bahwa filsafat adalah pengetahuan dan penyidikan dengan akal
budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumnya8.
Dari berbagai definisi diatas dapat dikatakan bahwa para ahli mendefinisikan
filsafat secara berbeda-beda.
Setelah menuliskan pengertian filsafat, penulis akan menekankan pembahasan
pada pendidikan islam. Menurut Zakiah Drajat pendidikan islam merupakan
pendidikan yang lebih berfokus pada perbaikan sikap mental yang akan terwujud
pada amal perbuatan, baik ditujukan untuk diri sendiri maupun orang lain yang
bersifat teoritis dan praktis. Ki Hajar Dewantara mengatakan dalam Azyumardi
Azra, pendidikan pada umumnya daya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan
batin), pikir (intelek), dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan
masyarakat9. Terdapat banyak keanekaragaman definisi tentang pendidikan,
tetapi dari keanekaragaman tersebut terdapat persamaan yaitu terdapat pada
sebuah proses, karena dengan suatu proses seseorang tersebut secara sengaja
mengarahkan pertumbuhan atau perkembangan (yang belum dewasa). Menurut
Yusuf Al-Qardhawi, pendidikan islam sebagai pendidikan bagi manusia
seutuhnya, rohani dan jasmaninya, akal dan hatinya, akhlak dan
keterampilannya10. Sedangkan Sayid Sabiq mendefinisakan pendidikan islam
sebagai suatu aktivitas yang memiliki tujuan untuk membentuk dan
mempersipakan anak didik dari segi jasmani, akal fdan rohaninnya sehingga
bermanfaat bagi dirinya maupun masyarakat11.
Dari berbagai definis diatas dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan
islam adalah suatu konsep berfikir yang dilandaskan atau bersumber dari ajaran
al-Qur’an tentang membina dan mengembangkan kemampuan manusia, serta
membimbing manusia muslim yang pribadinya dijiwai oleh ajaran islam. Dari

7
Wiyono, M. (2016). Pemikiran Filsafat Al-Farabi. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 18(1), 67-
80.
8
Herdayati, S. P., & Syahrial, S. T. I. Sekilas Informasi Aksiologi dalam Filsafat Ilmu: Objek
(Identifikasi) Aksiologi.
9
Febriyanti, N. (2021). Implementasi konsep pendidikan menurut ki hajar dewantara. Jurnal
Pendidikan Tambusai, 5(1), 1631-1637.
10
Fitrah, M., & Hamka, S. (2022). Pemikiran pendidikan Yusuf Al-Qardhawi dalam Kitab Al-‘Aql Wa
al-‘Ilm Fi Al-Qur'an. Tawazun: Jurnal Pendidikan Islam, 15(1), 1-14.
11
Oloan, S. (2021). Implementasi Pendidikan Berbasis Akidah Dalam Membentuk Karakter Peserta
Didik di SD Swasta Al-Mawaddah Bagan Batu Kecamatan Bagan Sinembah. TA'DIBAN: Journal of Islamic
Education, 2(1), 13-24.
definisi diatas terdapat persamaan antara filsafat pendidikan secara umum dan
filsafat pendidikan islam, yaitu filsafat pendidikan islam mengkaji tentang
permasalahan yang berhubungan tentang pendidikan seperti manusia subjek dan
objek pendidikan, lingkungan, kurikulum, guru, metode, ruang lingkup. Namun
filsafat pendidikan islam mempunyai perbedaan dengan filsafat pendidikan pada
umumnya yaitu, filsafat pendidikan islam mendasarkan semua masalah
pendidikan pada ajaran islam yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadist.
Dapat dikatakan bahwa islam adalah sifat yang mengiringi filsafat pendidikan.
2. Tujuan Filsafat Pendidikan Islam
Pada hakekatnya tujuan filsafat pendidikan islam identik dengan ajaran
islam. Keduanya memiliki sumber yang sama yaitu al-Qur’an dan al-Hadist. Dari
sumber tersebut munculah suatu pemikiran mengenai masalah-masalah dari
berbagai aspek, termasuk filsafat pendidikan12.
Menurut al-Syaibani filsafat pendidikan islam memiliki beberapa tujuan, yaitu:
a. Membantu para pelaksana dan perancang pendidikan dalam membentuk
suatu pemikiran yang benar terhadap proses pendidikan.
b. Bertujuan untuk memberikan dasar bagi para pengkaji pendidikan secara
umum
c. Menjadi dasar penilaian terhadap pendidikan secara menyeluruh.
d. Memberikan dasar untuk berfikir, dan memberikan bimbingan bagi pelaksana
pendidikan dalam menghadapi tantangan.
e. Bertujuan untuk memberikan pendalaman pemikiran tentang pendidikan
dalam hubungannya dengan faktor-faktor spiritual, kebudayaan, politik,
ekonomi, sosial dan berbagai aspek lainnya.

BAB II

12
Ilham, D. (2020). Persoalan-Persoalan Pendidikan dalam Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Didaktika:
Jurnal Kependidikan, 9(2), 179-188.
Pembahasan pandangan filsuf islam dan barat tentang pendidikan

Ada tiga aliran utama dalam pemikiran filosofis pendidikan Islam, yaitu:
(1) aliran Religius- Konservatif, (2) aliran Religius-Rasional, dan (3) aliran
Pragmatis Instrumental. Dari tiga aliran Jawwad Ridla yang memiliki kesesuaian dengan
konsep pendidikan Islam, salah satunya adalah aliran agamis- konservatif (al-Muhafidz),
karena aliran ini dalam bergumul dengan persoalan pendidikan cenderung bersikap mumi
keagamaan.13 Penjabaran tentang ketiga aliran tersebut dapat dilihat berikut ini.
a. Religius-Konservatif (al-Muhafidz)
Aliran ini cenderung bersikap murni keagamaan. Para ahli dalam aliran ini
memandang ilmu dengan batasan yang sempit, yaitu hanya mencakup ilmu-ilmu yang
dibutuhkan saat sekarang atau hidup di dunia ini, yang jelas-jelas akan membawa
manfaat kelak di Akhirat. Para pengajar harus mengawali belajarnya dengan mengkaji
al-Qur’an al-Karim. Mereka berusaha menghafal al-Qur‟an dan menafsirkannya.
Ulumul Qur’an merupakan induk semua ilmu, lalu dilanjutkan dengan belajar hadis
dan Ulumul Hadis, Ushul Fiqh, Nahwu, dan Sharaf. Para ulama yang termasuk dalam
kategori aliran pemikiran pendidikan ini adalah Al-Ghazali, Zarnuji, Nasiruddin al-Thusi,
Ibnu Jama‟ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan Abdul Hasan Ali bin Muhammad bin
Khalaf (Al-Qabisi).
Menurut aliran konservatif, ilmu dapat dibagi menjadi sebagai berikut. Pertama,
ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu, yaitu ilmu tentang tata cara
melakukan kewajiban yang sudah tiba saatnya dan ilmu- ilmu tentang kewajiban-
kewajiban agama (Ulum al-Fara‟id al-Diniyah). Kedua, ilmu yang wajib kifayah
untuk dipelajari, yaitu ilmu yang dibutuhkan demi tegaknya urusan kehidupan
dunia, misalnya: ilmu kedokteran yang sangat krusial bagi pemeliharaan kesehatan
badan, dan ilmu hitung.14
Kalau kita perhatikan, maka pemikiran aliran konservatif mengarah pada konsep
hierarki nilai yang menstrukturkan ragam jenis ilmu secara vertikal sesuai dengan
penilaian mereka tentang keutamaan masing- masing ilmu. Tokoh utama dalam aliran
ini adalah al-Ghazali.
Konservatif (al-Muhafidz) umumnya didefinisikan sebagai kolot; bersikap
mempertahankan keadaan, kebiasaan, dan tradisi yang telah berlaku. Istilah itulah yang
13
Subaidi, Konsep Pendidikan Islam dengan Paradigma Humanis, (Jurnal Tarbawi Vol. II. No. 2. Juli - Desember
2014), hal. 3
14
Pendapat ini secara detail bisa ditelusuri dalam Al-Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin.
disematkan oleh Muhammad Jawwad Ridha untuk menggambarkan pemikiran al-Ghazali,
Nasiruddin alThusi, Ibnu Jama’ah, Ibnu Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi. 15
Dalam pemikiran pendidikan Islam, aliran konservatif dibedakan dari aliran rasional-
religius, yang menempatkan akal diposisi istimewa dalam pergulatan ilmu pengetahuan
dan aliran pragmatis-instrumental yang lebih realistis dalam merespon tantangan zaman,
sehingga kesan negatif yang muncul, tatkala mendengar istilah konservatif (kolot), yang
secara langsung juga menunjuk pada pribadi dan pemikiran tokoh-tokoh yang telah
disebut.
Citra negatif tersebut semakin menguat dengan adanya pandangan umum bahwa
kemenangan madzab tradisionalis (sunni) atas mu’tazilah sebagai madzhab negara,pada
masa pemerintahan khalifah al-Mutawakkil dinasti Abbasiyah, sebagai penyebab awal
kemunduran peradaban Islam.16 Lembaga-lembaga pendidikan cenderung hanya
mengajarkan ilmu- ilmu yang bersifat tafaqquh fiddin, sedangkan ilmu-ilmu di luar itu
(ilmu sosial dan ilmu alam) tidak pernah diperhatikan bahkan dibuang dari kurikulum
madrasah.17 Dalam hal ini al-Ghazali,menjadi bagian dari ulama madzhab tradisionalis
yang pernah menjabat sebagai Rektor di madrasah Nidzamiyah, karena begitu besarnya
pengaruh al-Ghazali di kalangan sunni (tradisionalis), maka sunni pun identik dengan
madzhab konservatif.
Tujuan pendidikan merupakan konsepsi yang lahir dari refleksi kepercayaan falsafahnya.
Dari bagaimana al-Ghazali memandang hakikat semesta, hakikat Tuhan, hakikat manusia,
hakikat pendidikan, tentang sumber pengetahuan dan validitasnya, tentang nilai, etika dan
estetikanya. Juga dipengaruhi oleh konteks historisnya, di mana dan di saat al-Ghazali
hidup. Baik faktor politik, soaial, ekonomi dan sebagainya. Dari refleksi mendalam
terhadap berbagai faktor itulah, lahir tujuan pendidikan yang bagi al-Ghazali, segala
aktifitas pendidikan memiliki tujuan akhir, mencapai kesempurnaan manusia yang
bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan manusia yang bermuara
pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Menurutnya, setiap manusia pasti mendambakan
kebahagiaan dunia dan akhirat, oleh karena itu, kebahagiaan tersebut hanya dapat tercapai
melalui ilmu dan amal.18

15
Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002),
hal.75
16
George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam (Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi, 2005), h. 25-40.
17
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, ter. Afandi, Hasan Asari (Jakarta : Logos Publishing
House, 1994), hal. 8-9
18
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, hal.43
Memang benar bahwa al-Ghazali merupakan seorang ulama mazhab yang bisa dibilang
sangat militan terhadap tradisi intelektual mazhab tradisionalisnya (sunni), maka jika
pelabelan konservatif (kolot) didasarkan pada bagaimana pandangan dunia al-Ghazali
yang teramat religius tradisionalis dinilai kurang responsif terhadap perkembangan zaman.
Pandangan itu sangat berpengaruh terhadap konsepsi tujuan pendidikannya, mungkin
benar adanya dan bisa diterima, namun perlu juga dicermati, bahwa konklusi-konklusi
yang terakumulasi dalam pandangan filosofisnya bukanlah diperoleh dari tindakan taklid
semata. Melainkan ia peroleh melalui pembacaan dan refleksi yang mendalam sesuai
dengan konteksnya. Maka ketika mengacu pada yang terakhir ini, gagasan al-Ghazali
justru sangat progresif dan bukan anti realitas, setidaknya untuk ukuran pada zamannya
sehingga tuduhan konservatif dalam arti semata mata mempertahankan tradisi sekaligus
menolak kemajuan, tentu tidaklah tepat dialamatkan kepadanya.
Argumentasi ini bisa dipertimbangkan jika melihat bagaimana dinamika pemikiran al-
Ghazali dalam proses pencarian kebenaran. Dan dalam setting sosial yang bagaimana al-
Ghazali hidup dan melahirkan karya-karyanya. Al-Ghazali telah menghabiskan banyak
waktu untuk menyelidiki pengetahuan dan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan
itu. Ia membahas nilai sekaligus bagaimana intelek memainkan peran dalam perolehan
pengetahuan, dan bagaimana manusia bisa memperoleh pengetahuan, bahkan untuk
memuliakan akal,ia menggunakan analogi tubuh menjadi seperti kerajaan, di mana hati
dan pikiran adalah raja dan bagian lain dari tubuh adalah hamba raja, 19 maka jika tuduhan
konservatif dibedakan dari aliran rasional-religius yang memposisikan akal pada posisi
yang istimewa, al-Ghazali pun juga demikian, hanya saja antara akal dan hati (irfan) harus
selaras. Al-Ghazali menegaskan bahwa mereka yang tidak tahu kebenaran akan tinggal di
kegelapan dan kesalahan. Dalam teori pengetahuan, al-Ghazali ingin memberitahu, bahwa
guru perlu menyadari semua proses untuk mengetahui (peran kecerdasan, cara untuk
mengetahui, proses pembelajaran untuk belajar) hubungan mereka dengan murid dalam
pendidikan.20 Imam al-Ghazali memandang pendidikan sebagai sarana atau media untuk
mendekatkan diri (taqarrub) kepada Sang Pencipta (Allah), dan untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak yang lebih utama dan abadi.21

19
Latefah Alkanderi, “Exploring Education In Islam: Al-Ghazali’s Model of the Master-Pupil
Relationshipapplied to Educational Relationships Within the Islamic Family” (2001), h. 93-97.
20
Eko Sumadi, Konservatisme Pendidikan Islam, (At-Tajdid: Vol. 02 No.02 Juli – Desember 2018), hal. 210
21
Moch. Yasyakur, Konsep Ilmu (Keislaman) Al-Ghozali dalam Perkembangan Pendidikan Islam Masa Kini,
(Edukasi Islami Jurnal Pendidikan Islam Vol. 03, Juli 2014), hal. 621
b. Religius Rasional (al-Diniy al-‘Aqlaniy)
Menurut Ridla, aliran ini tidak jauh berbeda dengan aliran pemikiran
tradisionalis-tekstualis (Naqliyyun) – nama lain dari Konservatif – dalam hal relasi
pendidikan dengan tujuan agama. Aliran pemikiran pendidikan ini mengakui bahwa
semua ilmu dan sastra yang tidak mengantarkan pemiliknya menuju kehidupan
akhirat, dan tidak memberikan makna sebagai bekal di sana, maka ilmu demikian
hanya akan menjadi bomerang bagi si pemilik tadi kelak di akhirat.
Namun, aliran ini mempunyai perbedaan dengan yang pertama pada saat
membahas persoalan pendidikan, karena cenderung bersikap rasionalis-
filosofis. Kecenderungan ini menjadi jalan masuk bagi pemerhati yang
ingin mengkaji strategi atau program pendidikannya. Kecenderungan rasionalis-
filosofis secara eksplisit terugkap dalam rumusan mereka tentang ilmu dan
belajar yang jauh berbeda dengan rumusan aliran tradisionalis-tekstualis.
Aliran Religius-Rasional banyak membangun konsep-konsepnya dari pemikiran
filsafat Yunani dan berusaha menyelaraskan pemikiran filsafat Yunani dengan
pandangan-pandangan dasar dari orientasi keagamaan yang dipedomaninya.
Pendidikan Islam dalam pendekatan religius-rasional mempunyai maksud bahwa
pendidikan tidak hanya menggarap hal-hal yang berisfat rasional-empirik namun juga
sebagai proses pendidikan yang meyakini akan adanya suatu yang bersifat
transendental. Hal ini sama dengan apa yang diungkapkan oleh Ikhwan al-Shafa,
bahwa pendekatan religius-rasional dalam pendidikan Islam diartikan sebagai
pendidikan Islam yang bisa mengantarkan manusia menuju concern terhadap akhirat,
dengan menggunakan analisis rasional filosofi yang mengaktualisasikan potensi-
potensi yang dimiliki manusia atau individu, sehingga esensi pendidikan adalah
transformasi ragam potensi menjadi kemampuan aktual. 22 Artinya, pendekatan religius-
rasional dalam pendidikan Islam adalah sebuah perpaduan pandangan antara keyakinan
terhadap sesuatu yang transendental dan keyakinan rasional objektif yang mana
puncaknya adalah garapan pendidikan Islam berupa ranah ukhrawi dan duniawi dalam
konteks ontologis, epistemologis maupun aksiologisnya.
Dengan kata lain pendidikan Islam dalam pendekatan religius-rasional adalah
pendidikan yang menyatukan antara jasmani dan rohani sebagai sebuah proses
pembinaan dan bimbingan yang dijalankan berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah
untuk mengembangkan potensi yang ada pada peserta didik dengan memadukan dzikir,
22
Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, hal. 78
fikir, amal shaleh hingga terbentuk manusia insan kamil, yaitu manusia yang cerdas
intelektual, emosional-moral, dan religius-spiritual. Pendidikan seperti ini perlu,
karena dalam fakta sejarah menunjukkan peradaban Islam yang demikian dahsyat
terjadi ketika agama ini memposisikan pendidikan Islam dengan sangat percaya diri
bersikap terbuka terhadap sains dan filsafat serta membiarkan para pemikirnya
mencerna warisan para cendikiawan terdahulu hingga mampu melakukan eksplorasi
berbagai gagasan baru tanpa merasa takut sedikit pun keimanan mereka terancam,
karena semangat tauhid lah yang menjadi motifnya.23
Secara universal epistemologi pendidikan Islam dalam pendektan religius-rasional
mempunyai tiga epistemologi yang saling melengkapi, yaitu pertama wahyu bisa
berbentuk teks (alQur’an dan hadis) dan intuisi (Ilham), epistemologi yang pertama ini
dalam kesarjanaan muslim tidak ada perdebatan. Kedua indra atau sesuatu yang
empirik. Dalam Islam terdapat banyak firman Tuhan yang menyatakan bahwa
pengalaman panca indra hendaknya diperankan sepenuhnya untuk meneliti gejala alam
raya dan kejadian diri manusia sendiri guna mengukuhkan kebenaran tentang adanya
Zat Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa seperti firman tuhan: apakah mereka tidak
melihat binatang unta itu, bagaimana ia diciptakan; dan kepada langit bagaiaman
ditinggikan; dan kepada gunung-gunung bagaiamana ditancapkan dengan kokohnya
dan kepada bumi bagaimana ia dihamparkan (QS. Ghasyiah, 17-20). Melalui observasi
dan studi langsung dalam pengalaman itulah manusia akan mampu memperkokoh
iman dan taqwanya kepada khaliknya.
Ketiga akal rasio, pun sama dengan penggunaan indra, akal juga menempati posisi
yang istimewa dalam Islam, banyak firman Tuhan yang menyinggung pentingnya
penggunaan akal, Tuhan menyuruh manusia untuk memakai akalnya dan bahkan
mencela bagi yang tidak menggunakannya seperti firman Tuhan: dan di bumi ini
terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-
tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan
air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang
lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rad: 4).

23
Nur Sahed, Eko Sumadi Suheri dan Sahputra Rangkuti, Pendekatan Rasional-Religius dalam Pendidikan Islam
(Kajian Terhadap Falsafah Dasar Iqra’), Tarbawiyah: Jurnal Ilmiah Pendidikan :: Volume 02; Nomor 01, Juni
2018, hal. 60
Oleh sebab itu, akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan, akal memainkan
peran penting bukan dalam bidang kebudayaan atau peradaban saja, tetapi juga dalam
bidang agama. Dalam membahas masalah-masalah keagamaan, fakta sejarah
menunjukkan banyak ulama Islam tidak semata-mata berpegang pada wahyu, tetap
juga bergantung pada akal. Bisa dilihat dalam pembahasan-pembahasan bidang fiqh,
teologi dan filsafat.24
Dilihat dari itu semua, maka bisa diambil benang merah bahwa epistemologi
pendidikan Islam dalam pendekatan religius-rasional adalah bersandar pada kekuatan
spiritual, pendidikan Islam dibangun berdasarkan kesadaran spiritual yang bersumber
dari tuhan yang berupa wahyu, serta rasional-empiris menjadi kesadaran ilmiah dalam
membangun pendidikan Islam. Artinya pendekatan religius rasional mempunyai
epistemologi pendidikan Islam yang berciri khas pemaduan antara empirik rasional
dan wahyu.
c. Pragmatis Instrumental (al-Dzarai’iy)
Tokoh utama aliran ini adalah Ibnu Khaldun. Pemikiran Ibnu Khaldun lebih banyak
bersifat pragmatis dan lebih berorientasi pada dataran aplikatif-praktis25 Dia
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya, bukan
berdasar nilai substansialnya semata.
Aliran Pragmatis yang digulirkan Ibnu Khaldun merupakan wacana baru dalam
pemikiran pendidikan Islam. Apabila kalangan Konservatif mempersempit ruang
lingkup sekuler di hadapan rasionalitas Islam dan mengaitkannya secara kaku
dengan pemikiran atau warisan salaf, sedangkan kalangan Rasionalis dalam
sistem pendidikan (program kurikuler) berpikiran idealistik sehingga
memasukkan semua disiplin keilmuan yang dianggap substantif bernilai,
maka Ibnu Khaldun mengakomodir ragam jenis keilmuan yang nyata terkait
dengan kebutuhan langsung manusia, baik berupa kebutuhan spiritual-ruhaniah
maupun kebutuhan material-jasmaniah.
Hakikat pendidikan menurut pragmatisme adalah menyiapkan anak
didik dengan membekali seperangkat keahlian dan keterampilan teknis agar
mampu hidup di dunia yang selalu berubah. Konsep pendidikan Dewey yang
berlandaskan pragmatisme, menilai suatu pengetahuan berdasarkan guna
pengetahuan dalam masyarakat. Yang diajarkan adalah pengetahuan yang
24
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI press, 1986), hal. 71
25
Pragmatis dan Pragmatisme. Kata yang pertama berarti inti pragmati dan menentukan nilai pengetahuan
berdasarkan kegunaan praktisnya. Lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 877.
segera dapat dipakai dalam penghidupan masyarakat sehari-hari. Seperti
yang diketetahui bahwa pragmatisme merupakan paham yang
memberlakukan hal secara praktis. Pragmatisme memandang bahwa
pendidikan yang diselenggarakan berpusat pada peserta didik dan
diupayakan agar sesuai dengan minat serta kebutuhan-kebutuhannya agar
mampu mengatasi persoalan hidup secara praktis. 26
Sedangkan Tujuan pendidikan Pada filsafat pendidikan Barat, ilmu
berfokus pada dunia yang ditempatinya sehingga kemajuan teknologi dan
berbagai ideologi berkembang pesat. Kepuasan duniawi menciptakan
persaingan material yang nyata sehingga cenderung memanfaatkan alam secara
maksimal. Sedangkan filsafat pendidikan Islam menekankan perkembangan
jiwa dan realitas di luar dunia yang tampak. Pendidikan bertujuan untuk
membantu manusia menyadari jati dirinya dan menggunakan potensinya untuk
menjadi hamba Allah dengan tetap berpegang pada tugas sebagai Khalil-Nya.
Menjunjung tinggi kesederhanaan dan keharmonisan kehidupan duniawi,
filsafat pendidikan Islam membawa seseorang ke puncak fitrah sehingga ia
dapat mencapai ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan sekaligus saat hidup
di dunia dan kehidupan setelah kematian.
Kurikulum Pendidikan Kurikulum menurut KBBI adalah “seperangkat
mata pelajaran yang diajarkan di suatu lembaga pendidikan atau program
pembelajaran melalui kegiatan tertentu untuk mencapai suatu tujuan.” Lebih
mendasar lagi, kata Yunani - curriculum ( berasal dari kata - curare ) yang
berarti tempat berjalan, dalam bahasa Arab disebut - manhaj yang berarti jalan
yang ditempuh manusia dalam bidang kehidupan, dan dalam bahasa latin
disebut disebut - curere yang berarti perlombaan dengan titik awal dan titik
akhir.
Demikian pula dalam bidang pendidikan, pelajaran pertama, tahapan
pembelajaran dan cara penguasaan materi untuk mencapai tujuan juga telah
ditentukan (rencana). Secara lebih luas, kita dapat memahami makna kurikulum
dengan segala pengalaman belajar yang berorientasi dan sejalan dengan
program pendidikan yang telah direncanakan setiap saat agar potensi anak
berkembang secara maksimal. Program tersebut terdiri dari empat aspek utama,
yaitu

26
Galuh Nashrullah Kartika Mayangsari R, Aliran Pragmatisme dalam Pandangan Filssafat Pendidikan Islam,
(HARATI, Volume 07 Nomor 13 Januari-Juni 2016), hal. 14
(1) arah dan tujuan pendidikan,
(2) bahan pembentuk pengalaman, pengetahuan dan keterampilan,
(3) metode atau metode pengajaran dan bimbingan, dan
(4) metode atau cara pengajaran. menilai hasil dari proses mental dan fisik.
Keempat aspek tersebut terangkum dalam hakikat pendidikan Islam yang
dikaitkan dengan tujuan menciptakan manusia untuk berbakti kepada Allah
serta wakil-Nya di muka bumi. Mengomentari filosofi pendidikan Islam,
Muhammad Fadhil Al-Jamili berpendapat bahwa di dalam Alquran dan hadis
terdapat kerangka dasar pedoman operasional dalam menyusun kurikulum.
Pertama, tauhid sebagai keyakinan yang teguh kepada tuhan-tuhan agar
manusia dapat menciptakan tatanan dunia yang harmonis dan bermakna untuk
memanusiakan manusia guna mencapai kehidupan yang sejahtera di muka
bumi, dan selanjutnya dalam proses pendidikan.
Kedua, urutan bacaannya tertulis dalam wahyu pertama QS. Al Alaq/96: 1-5.
Kegiatan membaca dalam pendidikan Islam melibatkan proses mental yang
tinggi, identifikasi, hafalan, pengamatan, pengucapan, refleksi dan kreativitas
dan tidak terbatas pada membaca dalam bentuk tertulis, tetapi juga membaca
tanda-tanda tanda di alam. Mengulas kepada kurikulum pendidikan barat,
terdapat lima belas ciri pendidikan barat sekuler yaitu:
1) percaya pada rasionalitas,
2) sains untuk sains,
3) satu-satunya metode, cara untuk mengetahui realitas,
4) netralitas emosional sebagai prasarat kunci menghadapi rasionalitas,
5) tidak memihak,
6) tidak adanya bias,
7) penggantungan pendapat,
8) reduksionisme,
9) fragmentasi,
10) universalisme,
11) individualisme,
12) netralitas,
13) loyalitas kelompok,
14) kebebasan absolute, dan
15) tujuan membenarkan sarana.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa isi dari kurikulum pendidikan barat
bercirikan empat hal:
a. Arah dan tujuan dari pendidikan barat adalah murni kepada urusan materi
duniawi.
b. Materi, pengetahuan dan keterampilan terbentuk dari hasil pemikiran
rasional para filsuf barat.
c. Metode yang dipakai bersifat umum dan bebas menggunakan berbagai
cara serta sarana yang ada.
d. Penilaian dilakukan dengan apa yang terlihat, yaitu kesuksesan dan
kebahagiaan hidup selama di dunia.

Filsafat pendidikan Barat mendasarkan pemikiran fundamentalnya pada


nalar (akal sehat). Filsafat pendidikan Islam juga merupakan gagasan yang
radikal, namun tidak dapat dipisahkan dari kaidah-kaidah Islam. Filsafat
pendidikan Islam menggunakan sebagai landasan utamanya wahyu Allah yang
dibawa kepada Nabi Muhammad oleh malaikat Jibril.
Filsafat pendidikan Islam sendiri telah menjadikan nilai-nilai agama sebagai
landasan pengembangan ilmu pengetahuan. Pendidikan dilakukan untuk
mencapai keselamatan dan kebahagiaan dunia dan masa depan yang dijanjikan
Tuhan. Menurut Azyumarsi Azra dikutip dalam Ummi Mahmudah ada beberapa
aspek yang menjadi titik tolak untuk membandingkan filsafat pendidikan Islam
dengan Barat, antara lain:
1) Penguasaan ilmu pengetahuan adalah kewajiban dalam Islam;
2) Pengembangan pengetahuan melalui penekanan nilai akhlak ditujukan untuk
pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan umum;
3) Penyesuaian pendidikan disesuaikan dengan umur, kemampuan,
perkembangan jiwa, dan bakat anak. Dalam Islam, ini terbagi menjadi tiga
tahap yaitu: penanaman tauhid (0-7 tahun), tahap pendisiplinan (7-14 tahun),
dan tahap persahabatan (14 tahun ke atas);
4) Pengembangan kepribadian berdasarkan kemampuan fisik dan mental yang
diamanahkan Allah; dan
5) Penekanan pengamalan ilmu pengetahuan secara bertanggung jawab agar
bermanfaat bagi dirinya dan orang lain sebagai amal shaleh.
Proses Belajar Karena sekularistik- Aktivitas belajar-mengajar ialah amal
Mengajar materialistik, maka motif ibadah, berkaitan erat dengan pengabdian
dan objek belajar- kepada Allah
mengajar semata-mata
masalah keduniaan
Tanggungjawa Semat-mata urusan Disamping tanggungjawab kemanusiaan,
b belajar manusia juga tanggungjawab keagamaan. Karena
mengajar dalam belajar mengajar, terdapat hak-hak
Allah dan hak-hak makhluk lainnya pada
setiap individu, khususnya bagi orang
yang berilmu
Kepentingan Belajar hanyalah untuk Belajar tidak hanya untuk kepentingan
Belajar kepentingan dunia, hidup dunia sekarang, tetapi juga untuk
sekarang dan di sini kebahagiaan hidup di akhirat nanti
Konsep Barat pada umumnya Islam mengaitkannya dengan pahala dan
Pendidikan tidak mengaitkan dosa karena kebajikan dan akhlak mulia
pendidikan dengan merupakan unsur pokok dalam
pahala dan dosa. Ilmu itu pendidikan Islam.
bebas nilai (values free).
Tujuan Akhir Hidup sejahtera di dunia Terwujudnya insan kamil (manusia
Pendidikan secara maksimal baik sempurna dan paripurna), yang
sebagai warga Negara pembentukannya selalu dalam proses
maupun sebagai warga sepanjang hidup (has a beginning but not
masyarakat. an end).
Tabel Perbandingan Nilai Pendidikan filsuf islam dan barat:
5 Qaulan, nukilan dari al-Qur`an Yang Relevan Terkait Perbandingan Pendidikan
Islam dan Pendidikan Barat:
1. QAULAN SADIDA

Qaulan Sadida berarti pembicaran, ucapan, atau perkataan yang benar dan
tegas, baik dari segi substansi (materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa). Dari
segi substansi, komunikasi Islam harus menginformasikan atau menyampaikan
kebenaran, faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa
atau memanipulasi fakta.
Seperti makna Firman Allah: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-
orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah,
yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Qaulan Sadida –
perkataan yang benar” (QS. 4:9), “Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS. Al-
Hajj:30).
Dalam dunia pendidikan Islam dan Barat, Qaulan Sadida dapat dicontohkan
dengan memberikan pengetahuan yang benar. Dalam artian sebagai pendidik harus
benar-benar menguasai materi yang akan diajarkan. Sehingga tidak terjadi
kebohongan, kesalahan yang nantinya menyesatkan.

Contoh Kasus Kebohongan Pendidikan Barat :


Pemahaman asal-usul alam dan segala penghuninya bekerja dengan
sendirinya tanpa ada peran dari sebuah kekuatan yang sering disebut sebagai “Sang
Pencipta”. Alam tercipta dan terjadi secara mandiri melalui prinsip evolusi dan
revolusi, dimana kedua prinsip tersebut merupakan sebuah proses alamiah yang
semakin lama berkembang semakin komplek tanpa ada akhir dari proses tersebut.
Jika dikaji secara mendalam, banyak sekali kelemahan yang disajikan dalam ilmu
pengetahuan barat tersebut yang justru seolah-olah dimunculkan untuk menjauhkan
diri manusia dari konsep penciptaan alam yang sebenarnya. Perlu diingat bahwa ilmu
pengetahuan barat juga merupakan hasil karya manusia, oleh karena itu, ilmu
tersebut juga muncul dari segala keterbatasan manusia.
Ilmu pengetahuan barat diperkenalkan terhadap kita melalui kurikulum
pendidikan yang ada sekarang ini. Padahal sebenarnya, banyak hal dalam ilmu
pengetahuan tersebut merupakan sebuah kebohongan publik yang dilegalisir oleh
semua umat manusia yang ada di dunia sekarang ini. Berbagai hal yang disebutkan
sebagai hasil observasi dengan didukung oleh fakta ternyata hanya berupa praduga
yang diragukan kebenarannya. Bahkan ilmu pengetahuan barat seolah-olah
menafikan adanya peran sang pencipta dalam perwujudan kehidupan di alam
semesta ini. Yang lebih parahnya, ajaran sang pencipta seolah-olah dipaksakan untuk
mengikuti rasionalitas ilmu pengetahuan barat yang tidak jelas sumbernya.
Manusia sekarang ini seolah-olah dijejali dengan pemahaman bahwa
sejarah bergerak dari titik nol sampai tak terhingga. Pemahaman asal-usul alam dan
segala penghuninya bekerja dengan sendirinya tanpa ada peran dari sebuah kekuatan
yang sering disebut sebagai “Sang Pencipta”. Alam tercipta dan terjadi secara mandiri
melalui prinsip evolusi dan revolusi, dimana kedua prinsip tersebut merupakan
sebuah proses alamiah yang semakin lama berkembang semakin komplek tanpa ada
akhir dari proses tersebut.
Padahal kalau kita mau mengkajinya secara mendalam, banyak sekali
kelemahan yang disajikan dalam ilmu pengetahuan barat tersebut yang justru seolah-
olah dimunculkan untuk menjauhkan diri kita dari konsep penciptaan alam yang
sebenarnya. Perlu diingat bahwa ilmu pengetahuan barat juga merupakan hasil karya
manusia, oleh karena itu, ilmu tersebut juga muncul dari segala keterbatasan manusia.
Manusia dengan segala keterbatasannya adalah makhluk yang tidak bisa mencipta
ilmu. Apapun yang dilakukan oleh manusia adalah hasil yang diserap melalui
pendidikan yang ditempuhnya (formal dan non formal) dengan menggunakan indra
yang disediakan oleh sang pencipta untuk menanggapi. Tanpa adanya informasi yang
masuk terlebih dahulu ke dalam penanggapan manusia, tidak akan tercetus sebuah
ide yang akan membawanya ke arah sebuah pencerahan yang disebut sebagai ilmu
pengetahuan.
Teori penciptaan bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya, teori evolusi
yang menyebutkan bahwa manusia merupakan hasil akhir dari proses evolusi dari
makhluk primata, teori tentang alam yang tak terhingga hingga teori tentang makhluk
lain yang setara dengam manusia yang berada di luar tata surya diperkenalkan dalam
kurikulum pendidikan yang kita terima di sekolah. Bahkan teori-teori tersebut juga
masuk ke dalam kurikulum-kurikulum pendidikan yang berbasis agama, yang
sebenarnya isi dari teori tersebut sangat berlawanan dengan konsep ajaran yang
diperkenalkan di dalam ajaran agama. Hal yang semakin parah lagi, justru konsep
ajaran agama yang seolah-oleh menyesuaikan diri dengan teori-teori tersebut yang
semakin lama semakin menghilangkan konsep ajaran keagamaan itu sendiri.
Teori bahwa matahari berputar pada porosnya, bulan bergerak mengelilingi
matahari dan bumi yang diungkapkan oleh Nicolaus Copernicus sebagai hasil
penelitiannya pada abad XV apakah bukan sebagai hasil mengutip dari yang
disebutkan dalam Al-Qur’an surat Yasin ayat 38 dan 39 yang merupakan ajaran bagi
penganut agama Islam yang menyebutkan bahwa matahari itu berputar pada
porosnya serta bulan bergerak pada garis edarnya membentuk kalenderisasi yang kita
kenal sekarang ini.

2. QAULAN BALIGHA
Kata baligh berarti tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya. Qaulan Baligha
artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah
dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit
atau bertele-tele.
Seperti makna Firman Allah: “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah
mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari
mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka Qaulan Baligha
– (perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.)“ (QS An-Nissa :63).
Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan
hendaklah disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan dan menggunakan
bahasa yang dimengerti oleh mereka. ”Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus
menjelaskan dengan bahasa kaumnya” (QS.Ibrahim:4)
Gaya bicara dan pilihan kata dalam berkomunikasi dengan orang awam tentu
harus dibedakan dengan saat berkomunikasi dengan kalangan cendekiawan.
Berbicara di depan anak TK tentu harus tidak sama dengan saat berbicara di depan
mahasiswa. Dalam konteks Pendidikan Islam maupun Barat guru dituntut
menggunakan bahasa akademis dan baku saat berkomunikasi di depan murid-murid.

3. QAULAN MA’RUFA
Kata Qaulan Ma`rufan disebutkan Allah dalam QS An-Nissa :5 dan 8, QS. Al-
Baqarah:235 dan 263, serta Al-Ahzab: 32. Qaulan Ma’rufa artinya perkataan yang baik,
ungkapan yang pantas, santun, menggunakan sindiran (tidak kasar), dan tidak
menyakitkan atau menyinggung perasaan. Qaulan Ma’rufa juga bermakna
pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat).
Seperti makna Firman Allah: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-
orang yang belum sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja
dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan
Ma’rufa( kata-kata yang baik.)” (QS An-Nissa :5) “Dan apabila sewaktu pembagian itu
hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu
(sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa- (perkataan yang baik)”
(QS An-Nissa :8).
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekadar mengucapkan (kepada mereka) Qaulan Ma’rufa – (perkataan yang baik…)”
(QS. Al-Baqarah:235).
“Qaulan Ma’rufa – (perkataan yang baik) dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah
yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha
Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 263).
Qaulan Ma’rufa bagi seorang pendidik akan menjadi sebuah keteladanan.
Tutur kata seorang guru mencerminkan dirinya. Seorang peserta didik akan merasa
segan karena wibawa seorang pendidik berawal dari tutur katanya. Dalam situasi
apapun seorang pendidik harus mampu mengendalikan perkataannya kepada siapa
saja.

4. QAULAN KARIMA
Qaulan Karima adalah perkataan yang mulia dibarengi dengan rasa hormat
dan mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama. Dalam ayat
tersebut perkataan yang mulia wajib dilakukan saat berbicara dengan kedua orangtua.
Kita dilarang membentak mereka atau mengucapkan kata-kata yang sekiranya
menyakiti hati mereka.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orangtuamu dengan sebaik-
baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, seklai kali janganlah kamu mengatakan kepada
kedanya perkatan ‘ah’ dan kamu janganlah membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka Qaulan Karima (ucapan yang mulia)” (QS. Al-Isra: 23).
Qaulan Karima harus digunakan khususnya saat berkomunikasi dengan
kedua orangtua atau orang yang harus kita hormati. Dalam dunia pendidikan islam
dan pendidikan barat, seorang pendidik mengharapkan dihormati oleh peserta
didiknya haruslah ia terlebih dahulu yang memberi contoh bagaimana menghormati
orang lain.
5. QAULAN LAYINA
Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang
enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati. Dalam Tafsir
Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran, bukan dengan
kata kata terus terang atau lugas, apalagi kasar.
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan Qulan Layina –( kata-kata yang
lemah-lembut…)” (QS. Thaha: 44).
Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun
agar berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati
komunikan (orang yang diajak berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya
tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita. Dalam dunia pendidikan barat kata-
kata kasar dan suara (intonasi) yang bernada keras dan tinggi masih sering
digunakan. Berbeda dengan dunia pendidikan islam dimana kata-kata yang lemah-
lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat
menyentuh hati.
BAB III
Kesimpulan
Penjelasan tentang pendidikan Islam dan Barat menurut sebahagian para
filsuf dari tinjauan keduanya, memperlihatkan adanya kesenjangan pola berfikir yang
digunakan para ilmuwan mereka, sehingga menghasilkan karakter yang berbeda. Jika
sumber dan metodologi ilmu di Barat bergantung sepenuhnya kepada akal semata,
kaedah empiris, rasional dan cenderung materialistik serta mengabaikan dan
memandang sebelah mata cara memperoleh ilmu melalui wahyu dan kitab suci, maka
metodologi dalam ilmu pengetahuan Islam bersumber dari kitab suci al-Qur’an yang
diperoleh dari wahyu, hadits dan sunnah Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam, serta
ijtihad para ulama, sehingga kegunaan akal adalah sebagai penguat sekaligus
penopang daripada sumber utama tersebut.
Jika Westernisasi ilmu hanya menghasilkan ilmu-ilmu sekuler yang
cenderung menjauhkan manusia dengan agamanya sehingga terjadi kekalutan di
dalamnya, maka Islamisasi ilmu justru mampu membangunkan pemikiran dan
keseimbangan antara aspek rohani dan jasmani pribadi muslim yang akan
menambahkan lagi keimanannya kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Islam
mempunyai sifat eksklusif sekaligus inklusif.
Dengan makna, ketika berhadapan dengan masalah teologi dan hakikat sifat-sifat
ketuhanan, seorang muslim tidak boleh berkompromi dengan persepsi tokoh atau
faham agama lain, sebaliknya ketika membicarakan masalah pendidikan, nilai-nilai
moral dan etika, maka pintu komunikasi, dialog dan kerjasama dapat dibuka seluas-
luasnya. Namun demikian, sejatinya bagi para pelaku praktisi pendidikan islam,
tertuntut untuk mengusung dan senantiasa menjunjung tinggi pemikiran-pemikiran
filsuf-filsuf muslim seperti layaknya pemikiran dari figur mulia Al-Farabi dan Hujjatul
Islam al-Imam al-Ghazali rahimahullah terutama dalam filsafat pendidikan islam,
tentu dengan tinjauan relevansi sesuai dengan masa.
Daftar Pustaka
Syar'i, A. (2005). Filsafat Pendidikan Islam.
Daulay, H. P. (2014). Pendidikan Islam dalam perspektif filsafat. Kencana.
KHASANAH, N., ARAVIK, H., & HAMZANI, A. I. (2022). Pemikiran Pendidikan
Progresif Abdul Munir Mulkhan Perspektif Filsafat Pendidikan Islam. Raudhah
Proud To Be Professionals: Jurnal Tarbiyah Islamiyah, 7(1), 30-40.
Nurgiansah, H. (2021). Filsafat Pendidikan.
Djamaluddin, A. (2014). Filsafat Pendidikan. Istiqra: Jurnal Pendidikan dan
Pemikiran Islam, 1(2).
Kartini, K. (2023). Filsafat Ilmu sebagai Dasar Perkembangan Ilmu Pengetahuan. JURNAL
EDUKASI NONFORMAL, 4(1), 398-407.
Wiyono, M. (2016). Pemikiran Filsafat Al-Farabi. Substantia: Jurnal Ilmu-
Ilmu Ushuluddin, 18(1), 67-80.
Herdayati, S. P., & Syahrial, S. T. I. Sekilas Informasi Aksiologi dalam
Filsafat Ilmu: Objek (Identifikasi) Aksiologi.
Febriyanti, N. (2021). Implementasi konsep pendidikan menurut ki hajar
dewantara. Jurnal Pendidikan Tambusai, 5(1), 1631-1637.
Fitrah, M., & Hamka, S. (2022). Pemikiran pendidikan Yusuf Al-
Qardhawi dalam Kitab Al-‘Aql Wa al-‘Ilm Fi Al-Qur'an. Tawazun: Jurnal
Pendidikan Islam, 15(1), 1-14.
Oloan, S. (2021). Implementasi Pendidikan Berbasis Akidah Dalam
Membentuk Karakter Peserta Didik di SD Swasta Al-Mawaddah Bagan Batu
Kecamatan Bagan Sinembah. TA'DIBAN: Journal of Islamic Education, 2(1), 13-24.

Anda mungkin juga menyukai