Anda di halaman 1dari 50

Dewi Anggraeni,dkk

Modul
Filsafat Pendidikan
DAFTAR ISI

Daftar Isi ..................................................................................................................................................... 1


Kedudukan Filsafat Dalam Ilmu Pengetahuan Dan Dalam Kehidupan Manusia ................................ 5
Masalah Pokok Filsafat Dan Pendidikan.................................................................................................. 8
Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan............................................................................................................ 21
Fungsi Pendidikan .................................................................................................................................... 24
Tujuan Pendidikan ................................................................................................................................... 28
Dasar-Dasar Filsafat ............................................................................................................................... 31
Peranan, Fungsi Dan Pendekatan Filsafat Dalam Menyelesaikan Masalah Pendidikan ..................... 36
Objek Filsafat Pendidikan Dalam Perspektif Islam .............................................................................. 40
Pemikiran Tokoh Kontemporer Tentang Pendidikan Islam (Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ismail
Raji Al- Faruqi Dan Implikasinya Terhadap Dunia Pendidikan Islam) ............................................... 44

1
PENGANTAR FILSAFAT PENDIDIKAN
Dewi Anggraeni
UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
dewi.anggraeni@uingusdur.ac.id

Pengertian Filsafat Pendidikan


Filsafat dibutuhkan manusia dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam berbagai lapangan
kehidupan manusia. Jawaban itu merupakan hasil pemikiran yang sistematis, integral, menyeluruh dan mendasar.
Jawaban seperti itu juga digunakan untuk mengatasi masalah-masalah yang menyangkut berbagai bidang
kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan

Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani. Kata ini berasal dari kata philosophia yang berarti cinta
pengetahuan. Terdiri dari kata philos yang berarti cinta, senang dan suka, serta kata shopia berarti
pengetahuan, hikmah dan kebijaksanaan (Ali, 1986: 7). Hasan Shadily (1984:9) mengatakan bahwa
filsafat menurut asal katanya adalah cinta akan kebenaran. Dengan demikian, dapat diarik
kesimpulan bahwa filsafat adalah cinta ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan
kebijaksanaan. Jadi, orang yang berfilsafat adalah orang yang mencintai kebenaran, berilmu
pengetahuan, ahli hikmah dan bijaksana.

Selanjutnya, Imam Barnadib menjelaskan filsafat sebagai suatu pandangan yang menyeluruh dan
sistematis. Menyeluruh karena filsafat bukan hanya pengetahuan, melainkan juga pandangan yang
menembus sampai di balik pengetahuan itu sendiri. Dengan pandangan yang lebih terbuka ini,
hubungan dan pertalian antar semua unsur yang mengarahkan perhatian dan kedalaman mengenai
kebijakan dimungkinkan untuk dapat ditemukan. Sistematis, karena filsafat menggunakan cara
berpikir secara sadar, teliti dan teratur sesuai dengan hukum-hukum yang ada (Imam Barnadib, 1994:
11-12) Karena itu, menurut Harun Nasution, filsafat ialah berpikir menurut tata tertib (logika), bebas
(tidak terikat pada tradisi, dogma, serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke
dasar-dasar persoalan (Nasution, 1973: 24).

Berpikir yang seperti ini, menurut Jujun S. Suriasumantri, adalah sebagai karakteristik dan berpikir
filosofis. Ia berpandangan bahwa berpikir secara filsafat merupakan cara berpikir radikal, sistematis,
menyeluruh dan mendasar untuk suatu permasalahan yang mendalam. Begitupun berpikir secara
spekulatif, termasuk dalam rangkaian berpikir filsafat. Maksud berpikir spekulatif di sini adalah
berpikir dengan cara merenung, memikirkan segala sesuatu sedalam-dalamnya, tanpa keharusan
adanya kontak langsung dengan obyek sesuatu tersebut, dengan tujuan mengetahui hakikat sesuatu
1
(Muhammad Noor Syam, 1986: 25).
Kata pendidikan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan proses pengubahan sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan (Depdiknas, 1999: 213). Dalam arti sederhana, pendidikan sering diartikan
sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat
dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau pedagogi berarti bimbingan atau
pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa (Sudirman
N., dkk., 1992: 4)
Pendidikan secara terminologi, banyak dikemukakan para pakar dalam berbagai definisinya masing-
masing, misalnya :

Langeveld
Pendidikan ialah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada
anak tertuju pada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap
melaksanakan tugas hidupnya sendiri (Langeveld, 1971: 5).
Ahmad D. Marimba
Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan Jasmni dan ruhani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama
(Marimba, 1972: 15).
Driyarkara
Pendidikan ialah pemanusiaan manusia muda atau pengangkatan manusia ke taraf insani
(Driyarkara, 1950: 74).
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran\ agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dari beberapa pengertian di atas, pendidikan menunjukkan suatu proses bimbingan, tuntunan atau
arahan yang melibatkan beberapa unsur, yaitu pendidik, peserta didik, tujuan, alat pendidikan dan
sebagainya.
Dari terminologi Filsafat dan Pendidikan, maka filsafat Pendidikan Menurut al- Syaibani (1979:
36), filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai
jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Artinya filsafat
pendidikan dapat menjelaskan nilai- nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk dicapai.
Dalam hal ini, filsafat, pendidikan dan pengalaman kemanusiaan merupakan faktor yang integral
dalam membangun sebaik-baiknya kehidupan manusia. Sedangkan menurut Imam Barnadib (1993:
3), filsafat pendidikan merupakan ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pendidikan.
2
Oleh karena itu, apabila dihubungkan dengan persoalan pendidikan secara luas, dapat disimpulkan
bahwa filsafat merupakan arah dan pedoman atau pijakan dasar bagi tercapainya pelaksanaan dan
tujuan pendidikan. Jadi, filsafat merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang
pendidikan yang merupakan penerapan analisis filosofis dalam lapangan pendidikan.
Imam Barnadib (1993: 3), mengemukakan bahwa Filsafat Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah
konsep berpikir tentang pendidikan yang bersumber pada ajaran Islam tentang hakikat kemampuan
manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang
seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam

Munir Mulkhan (1993:74) dalam bukunya Paradigma Intelektual Muslim memberikan pengertian
Filsafat Pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis,
radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan
Islam. Dengan kata lain, bahwa filsafat Pendidikan Islam filsafat Pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam
atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam

Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan

Muzayyin Arifin (Arifin, 2005) menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti
memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik. Logis, dan menyeluruh (universal) tentang
pendidikan, yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan
menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Pendapat ini memberi petunjuk
bahwa ruang lingkup filsafat Pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan
pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan.
Ruang lingkup filsafat pendidikan seperti juga ruang lingkup filsafat secara umum meliputi kosmologi,
ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Berikut ini adalah penjelasan terkait dengan ruang lingkup
filsafat pendidikan Islam tersebut menurut Ramayulis:

1. Kosmologi merupakan pemikiran yang berhubungan dengan alam semesta, ruang dan waktu,
kenyataan hidup manusia sebagai ciptaan Tuhan, proses kejadian dan perkembangan hidup
manusia di alam nyata dan lain-lain.
2. Ontologi merupakan pemikiran tentang masalah asal kejadian alam semesta dari mana
asalnya, bagaimana proses penciptaannya dan ke mana akhirnya. Pemikiran ontologi pada
akhirnya akan menentukan bahwa ada sesuatu yang menciptakan alam semesta ini, apakah
pencipta itu bersifat kebendaan (materi) atau bersifat kerohanian (immateri), apakah Ia
banyak/berbilang ataukah tunggal/esa.
3. Epistemologi merupakan pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan
3
manusia diperoleh apakah dari akal pikiran, apakah dari pengalaman inderawi, apakah dari
perasaan/ilustrasi, apakah dari Tuhan.
4. Aksiologi merupakan pemikiran tentang masalah nilai-nilai, misalnya moral, etika, estetika
nilai religius dan sebagainya. Menurut George Thomas, aksiologi mengandung pengertian
lebih luas dari pada etika atau nilai kehidupan yang bertaraf lebih tinggi.

Secara makro yang menjadi ruang lingkup Filsafat Pendidikan adalah objek formal itu sendiri, yaitu
mencari keterangan secara radikal mengenai Tuhan, manusia dan alam yang tidak dapat dijangkau
oleh pengetahuan biasa(Anshari, 1987).

Secara mikro, objek kajian Filsafat Pendidikan adalah pemikiran yang serba mendalam, mendasar,
sistematis, terpadu, logis, menyeluruh dan universal mengenai konsep-konsep pendidikan yang
didasarkan pada ajaran Islam. Konsep-konsep tersebut mencakup lima faktor atau komponen
pendidikan, yaitu: tujuan pendidikan Islam, pendidik, anak didik, alat pendidikan, (kurikulum,
metode, dan penilaian/evaluasi pendidikan), dan lingkungan pendidikan(Nata, 1997).

Mikro
tujuan pendidikan Islam, pendidik,
Makro anak didik, alat pendidikan,
Tuhan, manusia dan alam, "Being" (kurikulum, metode, dan
penilaian/evaluasi pendidikan), dan
lingkungan pendidikan

4
KEDUDUKAN FILSAFAT DALAM ILMU PENGETAHUAN DAN DALAM
KEHIDUPAN MANUSIA
Dewi Anggraeni
UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
Dewi.anggraeni@uingusdur.ac.id

Kedudukan Filsafat dalam Ilmu Pengetahuan


Filsafat sebagaimana kata dasarnya philo dan sophia yang memiliki makna cinta kebijaksanaan.
Dengan kata lain, mempelajari filsafat bukan sekedar gaya-gayaan atau sebagaimana stigma yang
sering dituduhkan yakni membuat orang jadi keblinger melainkan dengan mempelajari, mengkaji dan
merenungkan filsafat sebagai sebuah disiplin ilmu menjadikan manusia memiliki cara pandang, cara
berfikir yang benar, logis. Sehingga dengan pengetahuan yang diperolehnya bisa mengantarkan
kepada kebijaksanaan baik dalam berfikir, bertindak dan bersikap baik untuk dirinya maupun untuk
orang lain. Seorang filusuf harus memperdalam pengetahuan tentang diri sehingga dapat mengetahui
Susila (akhlak) dan dapat berlaku bijaksana. Diri kita yang asli adalah kesadaran/kehidupan itu sendiri.
Inilah kebijaksanaan tertinggi.
Pertanyaannya bagaimana untuk mencapai kebijaksanaan melalui filsafat. Socrates
menegaskan dengan Gnoti Seauton yakni kenalilah dirimu sendiri. Hanya manusia yang mengenal dirinya
sendirilah yang memberikan kemanfaatan karena dia mengenali kelebihan dan kekurangannya
sehingga tidak mudah ditipu daya dan dikuasai oleh kejahatan baik akibat “kebodohan” maupun
“kepintaran”. Bagi Socrates, dengan berfikir hendaknya makin membuat orang untuk mengenal
dirinya sendiri sehingga tahu menegur dan menasihati diri sendiri, bukan sebaliknya. Konsekuensinya,
semakin tinggi dan luas pikiran serta pengetahuan seorang manusia, semakin tinggi pula penguasaan
diri dan kesadaran diri “rendah hati” dalam ketekunan mengemban tugas kemanusiaannya sebagai
makhluk beradab. Maka pengetahuan yang diperolehnya mengantarkan dia untuk menghargai
kemanusiaan.
Gonti Seauton, menunjukkan sebuah kepentingan kemanusiaan yang bersifat fundamental
dalam hal memahami dan mengerjakan pikiran, yang merupakan salah satu ciri keberadaan yang khas
manusia itu. Analisis diri dan pemahaman diri untuk mencapai pengetahuan dan tingkah laku yang
lebih baik. Manusia, melalui pengetahuannya itu, memperoleh kekuatan, tanggungjawab, kesadaran
bathin, kematangan pemikiran atau intelektual, dan rasa percaya diri untuk membangun dirinya
sebagai makhluk beradab yang makin matang (dewasa), tahu diri, dan berendah hati. Gonti Seauton
dalam ajaran agama relevan dengan sebuah hadist man arafa nafsah faqad arafa rabbah “barang siapa
yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya”
Rasa ingin tahu “curiosity” merupakan pintu gerbang menuju filsafat. Salah satu ciri
fundamental manusia sebagai homo sapiens adalah rasa ingin tahu rasa ingin tahu didorong oleh pikiran
5
manusia itu sendiri. Rasa ingin tahu ini jika terus dipupuk maka menjadi potensi ilmu yang melahirkan
ilmu pengetahuan. Seluruh indra yang dimiliki manusia ini sejatinya mengantarkan bagaimana
manusia dapat memuaskan rasa ingin tahunya tersebut. Maka akal atau fikiran manusia ini sebagai
daya “tenaga” yang mampu mengobati, mengubah, dan mendinamisi suasana keraguan, kesangsian
atau kebingungan dan rasa ketidaktahuan yang mencekam dalam diri manusia. Pikiran memberikan
sebuah martabat dan tanggung jawab manusia, bukan sekedar menjadi makhluk pemikir (homo
sapiens), namun akan terus mengembangkan diri menjadi makhluk pekerja keras atau berbudaya
(homo vaber), makhluk sosial (homo social), dan makhluk beragama (homo religius).
Filsafat dalam kajian ilmu pengetahuan memiliki posisi yang sangat urgen, sehingga tak heran
jika filsafat sering dikatakan sebagai mother of science. Istialah ini didasarkan dengan berbagai macam
pertimbangan di antaranya, bahwa filsafat sebagai karakteristik dasarnya adalah mengkaji segala
sesuatu yang ada “being” dapat menembus berbagai sekat keilmuan yang ada guna mencapai
kebenaran. Karakteristik lainnya dari filsafat adalah bersifat radikal, sistematis, universal dalam hal ini
filsafat mengajarkan proses berfikir secara mendalam hingga ke akaranya dalam mengkaji berbagai
hal, sistematis dengan menggunakan cara berfikir yang rasional dengan berbagai pendekatan ilmiah
serta universal melihat dari berbagai aspek. Tidak seperti kacamata kuda. Sehingga filsafat sebagai
sebuah disiplin ilmu menjadi landasan untuk berbagai ilmu pengetahuan. Dari filsafat inilah lahir
berbagai macam ilmu pengetahuan.
Dalam setiap ilmu pengetahuan di dalamanya akan mengkaji berbagai macam hal setidaknya
mengkaji hakikat (apa sesuatu itu), selanjutnya bagaimana cara memperoleh sesuatu itu atau
bagaimana prosesnya dan apa manfaatnya atau apa setelahnya. Ketiga hal yang esensial ini menjadi
lingkup kajian filsafat yang disebut dengan ontology, epsitimology dan aksiology. Ketiga kajian ini
menjadi lingkup dalam kajian filsafat. Dengan kata lain bahwa ilmu pengetahuan tidak terlepas dari
mengkaji tiga lingkup filsafat tersebut.
Pada dasarnya filsafat bertugas memberi landasan filosofi dalam berbagai disiplin ilmu untuk
membangun teori ilmiah. Secara substantif fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan
dan disiplin ilmu masing-masing agar dapat menampilkan teori substantif. Selanjutnya secara teknis
dihadapkan dengan bentuk metodologi, pengembangan ilmu dapat mengoperasionalkan
pengembangan konsep tesis, dan teori ilmiah dari disiplin ilmu masing-masing.

Kedudukan Filsafat dalam Kehidupan Manusia


Sejatinya filsafat bukan hal yang baru dalam kehidupan manusia, dalam keseharian kita tidak terlepas
dari berfikir. Berfikir inilah yang pada akhirnya mengantarkan kita berfilsafat. Berfikir sebagaimana kaidah
ilmiah, berfikir melalui perenungan, penalaran hingga memperoleh pengetahuan ilmiah. Filsafat memandang
manusia sebagai makhluk berpikir (Homo Sapiens), namun filsafat juga menegaskan bahwa tidak semua
manusia, secara otomatis, dapat memanusiakan diri sebagai pemikir sejati. Kesadaran diri sebagai makhluk

6
MASALAH POKOK FILSAFAT DAN PENDIDIKAN
Dewi Anggraeni
UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
Dewi.anggraeni@uingusdur.ac.id

Filsafat sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari manusia, dengan akalnya manusia
dituntut untuk berpikir. Kendati demikian tidak semua lantas kegiatan berpikir dikatakan berfilsafat.
Filsafat memberikan fondasi untuk berpikir secara radikal, sistematis, dan universal untuk mencapai
hakikat kebenaran akan segala sesuatu. Tujuan akhirnya setelah mengetahui hakikat kebenaran
bagaimana mengantarkan kepada tindakan dan perbuatan yang benar sehingga menjadi bijaksana.
Karakteristik filsafat yang universal maka akan berhadapan dengan berbagai persoalan yang
dipertanyakan dari rasa ke-ingin tahu-an akhirnya menjadi pembahasan dalam filsafat.

A. Objek dan Sudut Pandang Filsafat


Dalam mengkaji filsafat akan melekat dengan istilah being yang menjadi objek dalam kajian
filsafat. Being atau wujud atau segala sesuatu yang ada merupakan ojek material dari filsafat. Objek
material adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran (Gegenstand), sesuatu hal yang diselidiki
atau sesuatu hal yang dipelajari (Djamaluddin, 2014; Ritaudin, 2017). Objek material ini mencakup
Tuhan, manusia dan alam termasuk sesuatu yang bersifat abstrak seperti; ide-ide, nilai-nilai moral,
pandangan hidup dan sebagainya.
Objek material filsafat mempertanyakan dan mengkaji tentang segala sesuatu yang meliputi:
a) apa yang ada dalam kenyataan, b) apa yang ada dalam fikiran, c) apa yang ada dalam
kemungkinan(Clark, 2020).
Objek formal adalah cara memandang, meninjau terhadap objek materialnya serta prinsip-
prinsip yang digunakannya (Kristiawan, 2016). Misalnya objek materialnya adalah ‘’manusia’’ maka
manusia ini dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga ada beberapa ilmu yang
mempelajari manusia di antaranya: psikologis, antropologi, sosiologi, pendidikan dsb.
Filsafat pada awalnya mempersoalkan siapa manusia itu. Kajian terhadap persoalan ini
menelusuri hakikat manusia sehingga muncul beberapa asumsi tentang manusia. Misalnya, manusia
adalah makhluk religi, makhluk sosial, makhluk yang berbudaya, manusia adalah hewan yang
berpikir, dan lain sebagainya (Burbules, 2004).
Maka cara pandang filsafat menelaah tiga pokok persoalan, yaitu hakikat benar-salah (logika/
ilmu), hakikat baik-buruk (etika), dan hakikat indah - tidak indah (estetika). Pada dasarnya, pandangan
hidup manusia mencakup ketiga aspek tersebut, sehingga ketiga aspek tersebut sangat diperlukan
dalam pendidikan, terutama dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan.

8
B. Sikap Manusia Terhadap Filsafat
Terlepas dari tabiatnya manusia (given) sebagai makhluk yang berpikir dengan potensi akal
yang dimilikinya untuk memaknai segala realitas dan being yang ada (Pixler, 1992). Dalam kajian yang
lebih jauh dengan menggunakan nalar rasionalnya terdapat berbagai macam pandangan terhadap
kajian-kajian logika termasuk di dalamnya filsafat (Anwar, 2017):
1. Filsafat sebagai ilmu yang sulit dan ruwet sehingga tidak memberikan kemanfaatan. Kajian
dalam filsafat bersifat absurd. Pandangan ini dilontarkan dengan sikap pesimistis
2. Filsafat dengan berbagai kajiannya tidak akan menyampaikan kepada hakikat. Karena hakikat
yang sebenar-benarnya hanya milik Sang Maha Benar. Mengkajinya membuang-buang waktu.
Pandangan ini dilontarkan dengan sikap skeptis.
3. Mengkaji filsafat malah menjadikan orang bersikap aneh, berpikir liar, bahkan keluar dari
koridor agama. Banyak hal yang tidak dapat dijawab oleh akal. Pandangan ini didominasi oleh
doktrin agama yang melarang belajar filsafat.
4. Filsafat sebagai wasilah atau sarana dalam mencapai kebenaran, kebijaksanaan dengan
menggunakan potensi akalnya secara maksimal. Sebagaimana sejatinya manusia sebagai
makhluk yang berpikir. Kendati demikian tidak semua manusia menggunakan potensi
fikirannya untuk mengungkap meaning terhadap realitas. Pandangan ini tidak pula terlepas dari
doktrin-doktrin agama.

C. Masalah Esensial Filsafat dan Pendidikan


Esensi filsafat untuk mengkaji hakikat segala sesuatu being dari pengetahuan akan hakikat yang
benar inilah akan menjadi tindakan yang benar sehingga mewujudkan kebijaksanaan. Secara esensial
bahwa dalam kajiannya filsafat tidak terlepas dari beberapa aspek yakni terkait dengan realitas, nilai
dan pengetahuan (Tesar et al., 2022). Begitu pula dengan pendidikan bahwa ragam aliran yang muncul
dalam filsafat pendidikan bermuara pada hasil pemikiran manusia tentang ketiga hal tersebut (John
Morgan, 2021).
1. Realitas
Mengenai kenyataan, yang selanjutnya menjurus kepada masalah kebenaran. Kebenaran akan
timbul, bila orang telah dapat menarik kesimpulan bahwa pengetahuan yang telah dimiliki ini telah
nyata. Realitas atau kenyataan ini dipelajari oleh metafisika.
Perenialisme sebagai salah satu aliran dalam filsafat yang erat kaitannya dengan pendidikan
berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia ialah jaminan bahwa “reality is universal that is every
where and at every moment the same” realita itu bersifat universal bahwa realita itu ada di mana saja dan
sama di setiap waktu (Noddings, 2016). Realitas yang dikaji tidak hanya ka-ada-an atau kenyataan
yang tampak tetapi kenyataan sejati adalah kodrat terdalam dari realitas, yaitu ide di balik realitas
(bukan sekedar realitas yang tampak). Aspek yang tampak itu akan bergonta-ganti dan hilang (sifat
9
sementara), sedangkan ide itu selalu bersifat tetap (abadi). Melalui sistem ide, filsafat akan tetap hidup
(aktif) yang berusaha menggugat dan mempertanyakan secara radikal sampai mencapai kenyataan,
sebab, atau prinsip-prinsip tertinggi dan universal dari kenyataan(Kristiawan, 2016).
2. Nilai (Value)
Nilai dipelajari oleh cabang filsafat yang disebut aksiologi. Pertanyaan yang dicari jawabnya,
antara lain nilai-nilai yang bagaimanakah yang dikehendaki oleh manusia dan yang dapat digunakan
sebagai dasar hidupnya.
Secara teologis, manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yaitu nilai yang didasarkan kepada
ajaran Tuhan. Untuk dapat sampai ke sana manusia harus berusaha dengan bantuan akal rasionya
yang berarti mengandung nilai kepraktisan (praktik terhadap ajaran agama)
Menurut Aristoteles, kebajikan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang moral dan yang
intelektual. Kebajikan moral adalah kebajikan yang merupakan pembentukan kebiasaan, yang
merupakan dasar dari kebajikan intelektual. Jadi, kebajikan intelektual dibentuk oleh pendidikan dan
pengajaran. Kebajikan intelektual didasari oleh pertimbangan dan pengawasan akal (Burbules, 2004).
3. Pengetahuan
Berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan, seperti apa hak pengetahuan, cara manusia
memperoleh dan menangkap pengetahuan itu, dan jenis-jenis pengetahuan. Pengetahuan dipelajari
oleh epistemologi.
Filsafat mencakup nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dan dijadikan pedoman dalam per-
buatan, terutama dalam pekerjaan mendidik. Dengan kata lain, mendidik adalah merealisasikan nilai-
nilai yang dimiliki pendidik yang sejalan dengan hakikat pendidikan itu sendiri. Nilai-nilai dalam
pendidikan bersumber pada filsafat atau ajaran filsafat, yang telah berakar dalam sosio kultural atau
kepribadian suatu bangsa, yang akan tumbuh sebagai realitas dan filsafat hidup.
Dengan kata lain, bahwa tujuan dari filsafat pendidikan adalah memberikan inspirasi
bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Peranan filsafat pendidikan
memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan Negara bagi masyarakat, memberikan
arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik
di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, M. (2017). Filsafat Pendidkan (2nd ed.). Kencana.
Burbules, N. C. (2004). Philosophy of Education. In Routledge International Companion to Education.
https://doi.org/10.4324/9780203639061-9
Clark, J. (2020). Philosophy of Education in Today’s World and Tomorrow’s: A View from ‘Down
Under.’ Paideusis. https://doi.org/10.7202/1072691ar
Djamaluddin, A. (2014). Filsafat Pendidikan. In Istiqra’: Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam (Vol. 1,
10
Issue 2).
John Morgan, W. (2021). What is a philosophy of education? RUDN Journal of Philosophy.
https://doi.org/10.22363/2313-2302-2021-25-4-565-573
Kristiawan, M. (2016). Filsafat Pendidikan: The Choice is Yours. Vila Pustaa.
Noddings, N. (2016). Philosophy of Education (Fourth). Routledge.
Pixler, P. W. (1992). An Introduction to Philosophy In Education. Idealistic Studies, 22(3), 277–278.
https://doi.org/10.5840/idstudies199222365
Ritaudin, M. S. (2017). Mengenal Filsafat Dan Karakteristiknya. Kalam, 10(2), 127.
https://doi.org/10.24042/klm.v9i1.324
Tesar, M., Hytten, K., Hoskins, T. K., Rosiek, J., Jackson, A. Y., Hand, M., Roberts, P., Opiniano,
G. A., Matapo, J., St. Pierre, E. A., Azada-Palacios, R., Kuby, C. R., Jones, A., Mazzei, L. A.,
Maruyama, Y., O’Donnell, A., Dixon-Román, E., Chengbing, W., Huang, Z., … Jackson, L.
(2022). Philosophy of education in a new key: Future of philosophy of education. Educational
Philosophy and Theory. https://doi.org/10.1080/00131857.2021.1946792

11
POTENSI MANUSIA
Dewi Anggraeni
UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
Dewi.anggraeni@uingusdur.ac.id

Hakikat Manusia dalam Pandangan Filsafat


Berbicara mengenai manusia ibarat kita memasuki perpustakaan yang tersedia dengan
berbagai macam buku dengan judul manusia. Ilustrasi ini menunjukkan bahwa manusia sebagai
makhluk yang kompleks yang dapat dikaji dari berbagai macam aspek termasuk sudut pandang. Akan
banyak ditemukan definisi manusia dengan makna yang berbeda-beda terlepas dari aspek mana yang
dilihat. Tak heran dari semenjak Yunani sebagai rahim kelahiran filsafat hingga saat ini di era disrupsi
industri 4.0 kajian terkait manusia menjadi sebuah topik yang menarik yang diperbincangkan dan
didiskusikan.
Dalam sudut pandang filsafat bahwa kajian terkait manusia bukan saja berguna untuk
mengetahui apa dan siapa manusia secara menyeluruh, melainkan juga untuk mengetahui siapakah
sesungguhnya diri kita di dalam pemahaman tentang manusia yang menyeluruh itu. Sedangkan secara
teoritis, filsafat manusia mampu memberikan kepada kita pemahaman yang esensial tentang manusia,
sehingga pada gilirannya, kita bisa meninjau secara kritis asumsi-asumsi yang tersembunyi dibalik
teori-teori yang terdapat di dalam ilmu-ilmu tentang manusia. Oleh karenanya, dalam kajian hakikat
manusia akan ditemukan berbagai macam pandangan tergantung dari cara pandang mana melihatnya.
Zainal Abidin dalam bukunya filsafat manusia mengemukakan hakikat manusia sebagaimana
berikut:
1. Manusia adalah Homo Sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi
Menurut Immanuel Kant, manusia memiliki aspek kesusilaan karena pada manusia
terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak (categorical imperative). Contoh:
jika kita meminjam barang milik orang lain maka ada perintah yang mewajibkan untuk
mengembalikan barang pinjaman tersebut.
Henderson menyatakan: “Man is creature who makes moral distinctions. Only human beings
question whether an act is morally right or wrong”. Sebagai makhluk yang otonom atau memiliki
kebebasan, manusia selalu dihadapkan pada suatu alternatif tindakan yang harus
dipilihnya. Adapun kebebasan berbuat ini juga selalu berhubungan dengan norma-norma
moral dan nilai-nilai moral yang juga harus dipilihnya. Oleh karena manusia mempunyai
kebebasan memilih dan menentukan perbuatannya secara otonom maka selalu ada
penilaian moral atau tuntutan pertanggung-jawaban atas perbuatannya. Homo Sapiens
erat kaitannya dengan mengatur kesusilaan bagi manusia.

12
2. Manusia adalah Animal Rational, artinya binatang yang berpikir
Dengan pikirannya ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dalam
tindakannya. Dengan pikirannya pula, ia bisa mengatasi naluri kebinatangannya dan
bertindak lebih manusiawi. Berbekal akal budinya aksinya bukan hanya merupakan actus
hominis dalam arti gerakan-gerakan yang hanya dikuasai oleh hukum-hukum biologis,
melainkan merupakan actus humanus dalam arti tindakannya sarat dengan pertimbangan-
pertimbangan nilai.
Pada aspek ini pula manusia sebagai binatang yang berfikir yang membedakan manusia
dengan makhluk hidup lainnya (binatang) dengan akal yang dimilikinya. Maka sejatinya
manusia dengan akalnya harus mampu meluluhkan sifat-sifat kebinatangan yang ada pada
dirinya menjadi sifat-sifat kemanusiaan.
3. Manusia adalah Homo Laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa
Manusia sebagai homo laquen mampu menjelmakan pikiran dan perasaan dalam kata-
kata yang tersusun. Dengan kata-kata yang tersusun itu manusia mampu menciptakan
bahasa sebagai alat komunikasi satu dengan yang lainnya. Maka manusia sebagai makhluk
yang mampu memberikan sekaligus menangkap pesan.
4. Manusia adalah Homo Faber, artinya makhluk yang terampil.
Dia pandai membuat perkakas atau disebut juga Toolmaking Animal yaitu binatang yang
pandai membuat alat. Dalam sejarah perjalanan hidup manusia memberikan deskripsi
bagaimana manusia hidup dan bertahan dari zaman pra sejarah hingga saat ini zaman
digital menunjukkan bagaimana keterampilan manusia dalam mencipta segala sesuatu.
Manusia memiliki inisiatif dan kreatif dalam menciptakan kebudayaan, hidup berbudaya,
dan membudaya. Kebudayaan bertautan dengan kehidupan manusia sepenuhnya,
kebudayaan menyangkut sesuatu yang tampak dalam bidang eksistensi setiap manusia.
Manusia tidak terlepas dari kebudayaan, bahkan manusia itu baru menjadi manusia karena
bersama kebudayaannya). Sejalan dengan ini, Ernst Cassirer menegaskan bahwa “manusia
tidak menjadi manusia karena sebuah faktor di dalam dirinya, seperti misalnya naluri atau akal budi,
melainkan fungsi kehidupannya, yaitu pekerjaannya, kebudayaannya. Demikianlah kebudayaan
termasuk hakikat manusia”

5. Manusia adalah Zoon Politicon, yaitu makhluk yang pandai bekerja sama.
Manusia sering disebut pula dengan makhluk sosial sebagai bagian dari zoon politicon
yang mana dalam hidupnya membutuhkan orang lain dalam bergaul dan bekerja sama
mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka berbagai aturan serta
asas dan norma sangat mengikat dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.

13
6. Manusia adalah Homo Economicus, manusia memiliki keinginan
Manusia disebut sebagai makhluk ekonomi, karena mereka selalu ingin memenuhi
kebutuhannya secara rasional untuk mencapai kesejahteraan serta mempertahankan
hidup. Sebagai homo economicus, manusia mempunyai kebutuhan dan juga keinginan.
Dimana kebutuhan merupakan hal yang diperlukan oleh manusia untuk hidup.
Sementara itu, keinginan merupakan sesuatu yang sifatnya lebih luas dan juga tidak
terbatas. Untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan inilah, manusia menggunakan
berbagai cara yang rasional untuk mencapai kesejahteraan. Meski begitu, hampir setiap
manusia tidak pernah merasa puas dan selalu mempunyai kebutuhan dan keinginan yang
baru.
7. Manusia adalah Homo Religious, yaitu makhluk yang beragama.
Aspek keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia yang
terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yang
diwujudkan dalam sikap dan perilaku.
Sebagai makhluk yang beragama, manusia memiliki potensi untuk mampu beriman dan
bertakwa kepada Tuhan YME. Dalam konsep Islam manusia sebagai makhluk religious
memiliki dua fungsi yakni sebagai ibadullah dan khalifatullah
8. Manusia adalah Animal Educadum dan Animal Educable
Konsep ini dikemukakan oleh filusuf pendidikan Belanda M. J. Langeveld bahwa manusia
adalah makhluk yang harus dididik dan dapat dididik. Oleh karena itu, unsur rohaniah
merupakan syarat mutlak terlaksananya program-program pendidikan.
Dengan kata lain, bahwa dalam diri manusia terdapat unsur yang materi dan non materi.
Unsur materi disebut dengan jasad dan non materi disebut dengan ruhani yang mana
bahwa proses pendidikan tidak hanya tertuju kepada aspek jamaniyah semata melainkan
pula aspek ruhaniyah.
Konsep ini sejalan dengan ajaran Islam bahwa manusia terdiri dari jiwa yang berasal dari
non materi yang biasa disebut dengan an-nafs memiliki tiga daya;
1) Daya pikir yang disebut akal yang dipertajam dengan berfikir. Para filosof Muslim
mempertajamnya dengan melalui dorongan ayat-ayat kauniyyah; ayat-ayat mengenai
alam kosmos, yang mengandung perintah kepada manusia agar memikirkan dan
meneliti alam sekitarnya
2) Daya rasa di dada yang dipertajam dengan Ibadah. Intisari dari semua ibadah adalah
mendekatkan diri kepada Tuhan. Di sisi lain, ibadah merupakan sarana untuk
menyucikan roh atau jiwa manusia
3) Daya nafsu yang dikekang dengan mengendalikan segala bentuk keinginan nafsu.

14
Manusia yang mengikuti hawa nafsu yang demikian, akan jatuh derajatnya lebih
rendah dari makhluk binatang. Sebaliknya, daya nafsu yang memperoleh bimbingan
dari hati nuraninya melalui keimanannya atau manusia yang mampu mengendalikan
hawa nafsunya akan menjadi lebih tinggi derajatnya dari makhluk lainnya termasuk
Malaikat.

Manusia dan Sistem Nilai


Kehidupan manusia tak dapat dipisahkan dengan nilai, moral etika. Nilai-nilai menjadi
landasan sangat penting yang mengatur semua perilaku manusia. Nilai menjadi sumber kekuatan
dalam menegakkan suatu ketertiban dan keteraturan sosial. Demikian hal, moral sebagai landasan
perilaku manusia yang menjadikan kehidupan berjalan dalam norma-norma kehidupan yang
humanis-religius. Menurut Robert M.Z. Lawang, nilai adalah gambaran mengenai apa yang
diinginkan, yang pantas, yang berharga, yang mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki
nilai itu perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai itu.
Berbicara terkait dengan nilai dalam filsafat erat kaitannya dengan aksiologi. Dalam filsafat
aksiologi membahas dua aspek utama yakni etika dan estetika. Etika berasal dari bahasa Yunani kuno
yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika mempunyai arti yaitu ilmu
tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (Bertens, 2000). Sedangkan estetika
suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua
aspek dari apa yang kita sebut keindahan. Estetika adalah hal yang mempelajari kualitas keindahan
dari obyek, maupun daya impuls dan pengalaman estetik pencipta dan pengamatannya.
Jika estetika disandingkan dengan etika, maka etika berkaitan dengan nilai tentang baik–
buruk, sedangkan estetika berkaitan dengan hal yang indah–jelak. Sesuatu yang estetik berarti
memenuhi unsur keindahan (secara estetik murni maupun secara sempit, baik dalam bentuk, warna,
garis, kata, ataupun nada). Maka dalam kajian filsafat, manusia dalam melakukan berbagai
tindakannya tidak terlepas dari nilai baik etika maupun kepantasan estetika.

Potensi (Fitrah) Manusia dalam Pandangan Filsafat


Mengenai potret potensi yang dimiliki oleh manusia al-Qur‘an telah mensinyalir dengan
berbagai istilah yang digunakan seperti:
1. Basyar
Kata Basyar dalam Al-quran disebut 36 kali, memberikan referensi pada manusia sebagai
makhluk Biologis. Sebagai makhluk biologis, manusia memiliki raga atau fisik yang dapat
melakukan aktivitas fisik, tumbuh, memerlukan makanan, berkembang biak dan lain
sebagainya.
2. al-Insan
15
Kata Insan yang berasal dari kata al-Uns dinyatakan dalam alQuran sebanyak 65 kali. Insan
dapat diartikan secara etimologis adalah harmonis, lemah lembut, tampak atau pelupa. Tidak
hanya disebut sebagai al-nas, dalam al-Quran manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan
raganya juga disebut sebagai al-Insan merujuk kepada kemampuannya dalam menguasai ilmu
dan pengetahuan.
3. Bani Adam
Bani Adam di sebutkan dalam al-Quran sebanyak 9 kali. Adam di dalam al-Quran mempunyai
pengertian manusia dengan keturunannya yang mengandung pengertian basyar, insan dan an-
Nas. Islam memandang manusia sebagai bani Adam untuk menghormati nilai-nilai
pengetahuan dan hubungannya dalam masyarakat.
4. al-Nas
Dalam al-Quran manusia juga disebut dengan al-Nas sebanyak 241 kali. Kata al-Nas dalam
al-Quran cenderung mengacu pada hakikat manusia dalam hubungannya dengan manusia
lain atau dalam masyarakat. Manusia sebagaimana disebutkan dalam ilmu pengetahuan adalah
makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa keberadaan manusia lainnya.

Fitrah merupakan sifat pembawaan manusia (yang ada sejak lahir). Fitrah secara istilah berarti
suatu kekuatan atau kemampuan (potensi yang terpendam) yang menetap dalam diri manusia sejak
awal. Hakikat fitrah manusia adalah sebagian sifat-sifat ketuhanan (potensi/ fitrah) yang harus
ditumbuhkembangkan secara terpadu oleh manusia dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari
baik dalam kehidupan individu maupun sosialnya, karena kemuliaan seseorang di sisi Allah lebih
ditentukan oleh sejauh mana kualitas yang ada dalam diri manusia dikembangkan sesuai dengan sifat-
sifat ketuhanan tersebut, bukan dilihat dari segi materi, fisik atau jasadnya. Fitrah merupakan potensi
dasar yang dimiliki oleh peserta didik yang dapat mengantarkan kepada tumbuhnya daya kreativitas
dan produktivitas, serta komitmen terhadap nilai-nilai Ilahi dan insani.

16
PENGERTIAN PENDIDIKAN, SEJARAH LAHIRNYA FILSAFAT PENDIDIKAN
Marianda Mellian Tidjani(20522056), Elok Nida Purwita(20522066), Inas Salisa Ilma(20522080), dan
Vivi Juanda Pasa(20522129)
UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
marianda.mellian.tidjani@mhs.uingusdur.ac.id, elok.nida.purwita@mhs.uingusdur.ac.id,
inas.salisa.ilma@mhs.uingusdur.ac.id, vivi.juanda.pasa@mhs.uingusdur.ac.id

Filsafat bagi manusia adalah kegiatan olah otak yang mampu menemukan pemahaman yang
mencerahkan dalam setiap problematik yang kita hadapi. Bahkan aktivitas pemikiran mampu
memperkuat dan memperkukuh akidah seorang, hanya saja ketika filsafat melepaskan dari
pengetahuan agama, maka alat ukur rasional menjadi kebenaran dalam ilmu pengetahuan, dan agama
tidak menjadi alat ukur kebenaran.

A. Pengertian Pendidikan
Pengertian pendidikan (UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003) adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Kata pendidikan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan proses pengubahan sikap
dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan (Depdiknas, 1999: 213). Dalam arti sederhana, pendidikan sering diartikan
sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat
dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau pedagogi berarti bimbingan atau
pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa (Sudirman N.,
dkk., 1992: 4)
Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) menjelaskan tentang
pengertian pendidikan yaitu: tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya,
pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai
manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-
tingginya.
Hadari Nawawi (1988) mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia, baik di dalam maupun di luar sekolah.
Dengan redaksional yang berbeda, Hasan Langgulung (1986) mengartikan pendidikan sebagai usaha
mengubah dan memindahkan nilai kebudayaan kepada setiap individu dalam suatu masyarakat.
Dari beberapa pengertian di atas, pendidikan menunjukkan suatu proses bimbingan,
tuntunan atau arahan yang melibatkan beberapa unsur, yaitu pendidik, peserta didik, tujuan, alat
pendidikan dan sebagainya.

17
B. Sejarah Lahirnya Filsafat Pendidikan
Filsafat diakui sebagai induk ilmu pengetahuan ( the mother of sciences ) yang mampu menjawab
segala pertanyaan dan permasalahan. Mulai dari masalah yang berhubungan dengan alam semesta
hingga masalah manusia dengan segala problematik dan kehidupannya.
Menurut John Dewey, seorang filosof Amerika, filsafat merupakan teori umum dan landasan
pertanyaan dan menyelidiki faktor-faktor realitas dan pengalaman yang terdapat dalam pengalaman
pendidikan. Karena itu filsafat dan pendidikan memiliki hubungan hakiki dan timbal balik, filsafat
pendidikan yang berusaha menjawab dan memecahkan persoalan-persoalan pendidikan yang bersifat
filosofis dan memerlukan jawaban secara filosofis.
Filsafat mulai berkembang dan berubah fungsi, dari sebagai induk ilmu pengetahuan menjadi
semacam pendekatan perekat kembali sebagai ilmu pengetahuan yang telah berkembang pesat dan
terpisah satu dengan lainnya.
Filsafat diajarkan pula dalam agama dalam konsep pemikiran spiritualisme Hindu para filosof
Hindu berpikir untuk mencari jalan lepas dari ikatan duniawi agar bisa masuk dalam kebebasan yang
menurut mereka sempurna yang dikenal dengan Karma. Filsafat Buddha berkeyakinan bahwa segala
sesuatu yang ada di dunia ini terliputi oleh sengsara yang disebabkan oleh “Cinta” terhadap suatu
yang berlebihan.

Pemikiran Filsafat Yunani Kuno Hingga Abad Pertengahan


Masa pra-Socrates diwarnai pula oleh munculnya kaum sofisme. Kaum sofis ini pertama kali
di Athena. Sofis berasal dari kata sofhos yang berarti cendekiawan. Sebutan ini semula diberikan
kepada orang-orang pandai ahli filsafat, ahli bahasa, dan lain-lain. Aliran sofis dipelopori oleh
Protogoras. Menurut kaum sofis, manusia menjadi ukuran kebenaran : tidak ada kebenaran yang
berlaku secara universal, kebenaran hanya berlaku secara individual. Kebenaran itu menurut saya,
dan retorika merupakan alat utama untuk mempertahankan kebenaran (Salam, 1982:107). Dalam
sejarah kaum sofis adalah kelompok yang pertama kali mengorganisasi pendidikan kaum muda.
Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Socrates ( 470- 399 SM )
Dalam sejarah filsafat, Socrates adalah salah seorang pemikir besar kuno yang gagasan
filosofis dan metode pengajarannya sangat mempengaruhi teori dan praktik pendidikan di seluruh
dunia barat. Socrates lahir di Athena ( Smith, 1986:19 ). Prinsip dasar pendidikan, menurut Socrates
adalah metode dialektis. Metode ini di gunakan Socrates sebagai dasar teknis pendidikan yang
direncanakan untuk mendorong seseorang berpikir cermat, untuk menguji coba diri sendiri dan
untuk memperbaiki pengetahuannya. Seorang guru tidak boleh memaksakan gagasan-gagasan atau
pengetahuannya kepada seorang siswa, karena seorang siswa dituntut untuk bisa mengembangkan
pemikirannya sendiri dengan berpikir secara kritis.
Metode ini tidak lain digunakan untuk meneruskan intelektualitas, mengembangkan
18
kebiasaan-kebiasaan dan kekuatan mental seseorang. Dengan kata lain, tujuan pendidikan yang benar
adalah untuk merangsang penalaran yang cermat dan disiplin mental yang akan menghasilkan
perkembangan intelektual yang terus menerus dan standar moral yang tinggi ( Smith. 1986:25 ).
Pemikiran filsafat pendidikan menurut Plato (427-347 SM)
Plato dilahirkan dalam keluarga aristrokrasi di Athena, serikat 427 SM (Smith, 1986:29).
Menurut Plato, pendidikan itu sangat perlu, baik bagi dirinya selaku individu maupun sebagai warga
negara. Negara wajib memberi pendidikan kepada setiap warga negaranya. Namun demikian, setiap
peserta didik harus diberi kebebasan untuk mengikuti ilmu sesuai bakat, minat, dan kemampuan
masing-masing jenjang usianya. Sehingga pendidikan itu sendiri memberikan dampak dan perubahan
bagi kehidupan pribadi, bangsa, dan negara.
Menurut Plato, idealnya dalam sebuah negara pendidikan memperoleh tempat yang paling
utama dan mendapatkan perhatian yang sangat mulia, maka ia harus diselenggarakan oleh negara.
Karena pendidikan itu sebenarnya merupakan suatu tindakan pembebasan dari belenggu
ketidaktahuan dan ketidak benaran. Dengan pendidikan, orang-orang akan mengetahui apa yang
benar dan apa yang tidak benar. Dengan pendidikan pula, orang-orang akan mengenal apa yang baik
dan apa yang jahat, apa yang patut dan apa yang tidak patut (Raper,1988:110).
Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Aristoteles (367-345 SM)
Aristoteles adalah murid plato. Aristoteles lahir tahun 394 SM, di Stagira, sebuah kota kecil
di semenanjung Chalcidice di sebelah barat laut Egea. Ayahnya, Nichomachus adalah dokter perawat
Amyntas II, raja Macedonia, dan ibunya, Phaesta mempunyai nenek moyang terkemuka.
Menurut Aristoteles, agar orang bisa hidup baik maka ia harus mendapatkan pendidikan.
Pendidikan bukanlah soal akal semata-mata, melainkan soal memberi bimbingan kepada
perasaanperasaan yang lebih tinggi, yaitu akal, guna mengatur nafsu-nafsu. Akal sendiri tidak berdaya,
sehingga ia memerlukan dukungan perasaan yang lebih tinggi agar di arahkan secara benar.

C. Filsafat Pendidikan
Filsafat ialah upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami, mendalami, dan
menyelami secara radikal, integral, dan sistematik mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia.
Sehingga, dapat menghasilkan pengetahuan tentang hakikatnya yang dapat dicapai akal manusia dan
bagaimana seharusnya sikap manusia setelah mencapai pengetahuan yang diinginkan.
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani. Kata ini berasal dari kata philosophia yang berarti
cinta pengetahuan. Terdiri dari kata philos yang berarti cinta, senang dan suka, serta kata shopia
berarti pengetahuan, hikmah dan kebijaksanaan (Ali, 1986: 7). Hasan Shadily (1984:9) mengatakan
bahwa filsafat menurut asal katanya adalah cinta akan kebenaran. Dengan demikian, dapat diarik
kesimpulan bahwa filsafat adalah cinta ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan
kebijaksanaan. Jadi, orang yang berfilsafat adalah orang yang mencintai kebenaran, berilmu
19
pengetahuan, ahli hikmah dan bijaksana.
Dr. Yahya Qahar, menjelaskan pengertian pendidikan adalah filsafat yang bergerak di
lapangan pendidikan, yang mempelajari proses kehidupan dan alternatif proses pendidikan dalam
pembentukan watak. Ia menyoroti dan memberikan pandangan tentang: a) nilai-nilai yang seharusnya
menjadi dasar pendidikan dan pandangan hidup; b) pandangan tentang manusia yang di didik; c)
tujuan pendidikan; d) sistem dan praktik pendidikan (teori pendidikan); dan e) bahan pendidikan.
Prof. Dr. Hasan Langgulung menjelaskan filsafat pendidikan merupakan penerapan metode
dan pandangan filsafat dalam bidang pengalaman manusia yang disebut pendidikan. Filsafat
pendidikan adalah mencari konsep-konsep yang dapat menyelaraskan gejala yang berbeda dalam
pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Amka, H. (2019). Filsafat Pendidikan (1st ed). Nizamia Learning Center.


Anwar, M. (2017). Filsafat Pendidkan (2nd ed.). Kencana.
Bahri, Samsul. (2020). Filsafat Pendidikan Islam (1 st ed). CV. Adanu Abimata.
Syar'i, Ahmad. (2020) Filsafat Pendidikan Islam (1 st ed). CV. Narasi Nara.

20
ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Ahmad Satria, Naila Tamamil Asna, Muhamad Rifqi Khaedar, Hazahra Nursabila Putri,Alifhia Nurazizah
UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
ahmad.satria@mhs.uingusdur.ac.id, naila.tamamil.asna22027@mhs.uingusdur.ac.id
, muhammad.rifqi.khaedar@mhs.uingusdur.ac.id, hazahra.nursabila.putri@mhs.uingusdur.ac.id
, alifhia.nurazizah@mhs.uingusdur.ac.id

Dalam proses pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat atau para
filosof sepanjang kurun waktu dengan objek permasalahan hidup didunia, telah melahirkan
berbagai macam pandangan. Pandangan-pandangan para filosof itu, ada kalanya satu dengan
yang lain hanya bersifat saling kuat-menguatkan, tapi tidak jarang pula yang berbeda atau
berlawanan. Hal ini antara lain disebabkan oleh pendekatan yang di pakai oleh mereka berbeda,
walaupun untuk objek permasalahannya sama. Karena perbedaan dalam sistem pendekatan
itu,maka kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan menjadi berbeda pula, bahkan tidak sedikit
yang saling berlawanan. Selain iu faktor zaman dan pandangan hidup yang melatar belakangi
mereka,serta tempat di mana mereka bermukim juga ikut mewarnai pemikiran mereka.

A. Aliran Fenomenologi
Fenomenologi adalah suatu aliran filsafat kontemporer yang muncul di awal abad ke 20 yang
diletakkan dasar-dasarnya oleh Edmund Husserl. Aliran ini merupakan suatu aliran
epistemologi dengan semacam intuisi untuk menentukan kebenaran atau kenyataan ilmiah, dan
sekaligus untuk membebaskan diri dari pengaruh atau prasangka-prasangka yang bersifat
simpati, menghargai, atau menolak. Adanya aliran fenomenologi dalam sejarah pemikiran
filsafat merupakan reaksi terhadap ajaran filsafat sebelumnya yang memisahkan manusia dari
realitas murni. Aliran ini bersikap kritis terhadap skeptisisme, relativisme, rasionalisme, dan
materialisme.

Menurut Husserl, kita banyak mengakarkan konsep-konsep dasar kita dari lifeworld, yaitu dunia
keseharian manusia seperti rumah, pekerjaan, hobbi, dunia dimana kita bekerja, bergaul, makan,
tidur, dan sebagainya. Kita berpikir dunia seperti ini sebagai yang objektif dan independen, lalu
kitalah yang memberi makna. Kita dalam kehidupan sehari-hari biasa bergumul dan
bersentuhan dengan institusi dan praktek-praktek sosial, seperti uang, pasar, rekreasi, dan
sekolah misalnya, lalu kita membicarakan hal-hal yang berkaitan dengannya dalam bahasa dan
cara berpikir yang biasa berlaku dalam masyarakat umum (commonsense) tanpa menghiraukan
hakikat yang sesungguhnya. Untuk memahami lifeworld seperti ini dengan benar, kita harus
menggambarkannya secara fenomenologis, yaitu dengan memahami konsep-konsep tersebut
untuk dicari makna esensinya.

21
Husserl mengontraskan lifeworld (dunia keseharian) dengan dunia sebagaimana digambarkan
oleh sains. Dalam dunia keilmuan, realita diturunkan dari apa yang dapat diukur dan
diekspresikan secara matematis, dan itu dilakukan karena independensi manusia. Realita segala
sesuatu di luar ini dilalaikan. Padahal menurut Husserl, sains itu sendiri dibangun di atas
pengalaman langsung kita di dunia ini. Sains tidak hanya menempatkan kembali alam ini dengan
abstraksi, tetapi ia juga telah menjelaskan manusia termasuk kita sebagai suatu fenomena alam,
suatu objek tanpa kehidupan yang paling dalam. Psikologi dan sosiologi, khususnya
memfokuskan pada perilaku yang dapat diobservasi, melupakan pemikiran dan intensi yang
memberikan makna atas perilaku tersebut.

Salah satu dari lifeworld adalah dunia pendidikan yang biasa kita lihat, kita alami, dan kita
pikirkan eksistensi dan esensinya sepanjang kehidupan manusia. Untuk mencari makna yang
mendasar dari fenomena pendidikan, dengan memakai kaca mata fenomenologi, misalnya kita
dapat memisahkan suatu konsep dari pengalaman mengajar. Pendidikan dalam konsep
fenomenologis adalah perubahan pengalaman itu secara mendasar.
.

B. Aliran Strukturalisme
Ferdinand de Saussure, dalam hal ini, membuat prinsip-prinsip dasar dalam bahasa, di
antaranya dengan menentukan distingsi-distingsi yang nantinya memainkan peranan penting
dalam strukturalisme, yaitu signifiant dan signifie, lantas langage, parole, dan langue, dan
akhirnya sinkroni dan diakroni. Inti dari pandangan Saussure tentang tanda terletak pada
pembedaan antara signifiant dan signifie. Kedua istilah itu menunjuk kepada “penanda” dan
“yang ditandakan”. Signifiant merupakan bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna.
Ia adalah aspek material dari bahasa, yaitu apa yang dikatakan atau didengar, dan apa yang
ditulis atau dibaca. Sedangkan signifie merupakan gambaran mental, pikiran, atau konsep.
Signifie adalah aspek mental dari bahasa.
Dari pandangan yang digagas oleh Saussure ini, berarti ia telah memulai strukturalisme
dalam ilmu bahasa, dan oleh para penganut formalisme Rusia strukturalisme diterapkan dalam
ilmu kesusastraan, serta dewasa ini oleh Levi-Strauss diterapkan pada etnologi. Oleh karenanya,
teori linguistik Saussure merupakan pengikat utama yang mempersatukan tokoh-tokoh
strukturalisme dalam aliran yang sama, yaitu adanya kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip
dasar linguistiknya walaupun berbeda dalam lapangan keilmuan.

22
C. Aliran Humanisme
Humanisme adalah suatu pemikiran filsafat yang menjunjung tinggi nilai- nilai dan
kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai kriteria segala sesuatu. Humanisme
mempunyai objek utama yaitu sifat hakiki manusia beserta batas-batas dan kecenderungan
alamiahnya. Humanisme sebagai istilah, dalam sejarah intelektual, selalu menyoroti persoalan-
persoalan kemanusiaan yang sering digunakan di dalam kajian bidang filsafat.
Istilah humanisme mempunyai riwayat dan pemaknaan yang kompleks. Humanisme,
sebagai sebuah term mulai dikenal dalam dikursus wacana filsafat sekitar awal abad ke 19. Istilah
humanisme baru digunakan pertama kali dalam literatur di Jerman sekitar tahun 1806 dan di
Inggris sekitar tahun 1860. Istilah humanisme diawali dari term humanis atau humanum (yang
manusiawi) yang jauh lebih dulu dikenal, yaitu mulai sekitar masa akhir zaman skolastik di Italia
pada abad ke 14 hingga tersebar ke hampir seluruh Eropa di abad ke 16.
Term humanis (humanum) tersebut dimaksudkan untuk menggebrak kebekuan gereja
yang memasung kebebasan, kreatifitas, dan nalar manusia yang diinspirasi dari kejayaan
kebudayaan Romawi dan Yunani. Gerakan humanis berkembang dan menjadi cikal bakal
lahirnya renaisance di Eropa. Dalam perkembangannya, humanisme di Eropa menampilkan
penentangan yang cukup gigih terhadap agama (dalam hal ini Kristen) dan mencapai
puncaknya, ketika Auguste Comte mendeklarasikan “agama humanitarian” dan menggantikan
agama yang dianggap tidak humanis.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, M. (2017). Filsafat Pendidkan (2nd ed.). Kencana.
Burbules, N. C. (2004). Philosophy of Education. In Routledge International Companion to Education.
https://doi.org/10.4324/9780203639061-9
Clark, J. (2020). Philosophy of Education in Today’s World and Tomorrow’s: A View from ‘Down
Under.’ Paideusis. https://doi.org/10.7202/1072691ar
Djamaluddin, A. (2014). Filsafat Pendidikan. In Istiqra’: Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam (Vol. 1,
Issue 2).
John Morgan, W. (2021). What is a philosophy of education? RUDN Journal of Philosophy.
https://doi.org/10.22363/2313-2302-2021-25-4-565-573
Kristiawan, M. (2016). Filsafat Pendidikan: The Choice is Yours. Vila Pustaa.
Noddings, N. (2016). Philosophy of Education (Fourth). Routledge.
Widodo Ardi Sembodo. (2015) Pendidikan Dalam Perspektif Aliran-Aliran Filsafat. Yongyakarta.

23
FUNGSI PENDIDIKAN

Latifatul Illiyah, Indah Yuniati, Dinar Nimas Shabila, Muh Choir Maulana
UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
latifatul.illiyah@mhs.uingusdur.ac.id, indah.yuniati@mhs.uingusdur.ac.id,
dinar.nimas.shabila@mhs.uingusdur.ac.id, muh.choir.maulana@mhs.uingusdur.ac.id

Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga dan meneruskan warisan
budaya dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, kita perlu memahami unsur-unsur yang diwariskan,
proses pewarisan, dan cara pewarisannya agar warisan budaya kita dapat terjaga dengan baik. Selain
itu, pendidikan juga dapat berperan sebagai alat transformasi budaya, di mana pendidikan tidak hanya
mempertahankan budaya yang ada, tetapi juga dapat membentuk dan memodifikasi budaya sebagai
fungsi utamanya. Hal ini dapat terjadi jika pendidikan selalu berhubungan dengan kebutuhan dan
tuntutan budaya saat ini, serta didukung dengan kebijakan publik yang seirama.

A. Pendidikan Sebagai Pemelihara Dan Penerus Warisan Budaya


Pendidikan memainkan peran penting dalam menjaga dan meneruskan warisan budaya dari
generasi ke generasi. Ahli teori pendidikan mengakui bahwa semua tradisi kultural memiliki akar-akar
pembentukannya dan kontinuitas budaya hanya mungkin terjadi jika pendidikan memelihara warisan
ini dan meneruskannya ke generasi baru. Namun, ide-ide khusus tentang apa yang tercakup dalam
warisan budaya tidak selalu jelas dan bisa memunculkan penafsiran atau penekanan yang berbeda
mengenai nilai-nilai budaya apa yang harus diwariskan ke generasi berikutnya. Oleh karena itu, yang
terpenting adalah bagaimana transmisi dari kearifan-kearifan bangsa, kebenaran-kebenaran, dan nilai-
nilai dasar yang sudah terakumulasi ini dapat ditegakkan kembali
Dalam pewarisan budaya, Fortes mengidentifikasi tiga variabel yang perlu diperhatikan:
unsur-unsur yang diwariskan, proses pewarisan, dan cara pewarisannya. Unsur-unsur yang diwariskan
adalah nilai-nilai budaya, tradisi masyarakat, dan pandangan hidup masyarakat yang mengandung
kearifan, kebenaran, esensial, dan ideal. Proses transmisi meliputi proses-proses imitasi, identifikasi,
dan sosialisasi. Imitasi berarti meniru tingkah laku dari sekitar; di dalam lingkungan keluarga, dan
lebih luas lagi dalam masyarakat lokal. Proses identifikasi berjalan sepanjang hayat sesuai dengan
tingkat manusia itu sendiri. Kemudian nilai atau unsur-unsur budaya tersebut haruslah
disosialisasikan, artinya harus diwujudkan dalam kehidupan yang nyata di dalam lingkungan yang
semakin lama semakin meluas
Dalam pewarisan budaya, ada dua bentuk cara untuk mentransmisikannya: peran serta dan
bimbingan. Yang pertama dapat berwujud keikutsertaan dalam kegiatan sehari-hari di dalam
lingkungan masyarakat, dan yang kedua dapat berupa instruksi, persuasi, rangsangan, dan hukuman.
Dalam pelaksanaan bimbingan ini dapat melalui pranata-pranata tradisional seperti inisiasi, upacara

24
keagamaan atau tradisi, sekolah agama, dan juga sekolah-sekolah formal. (Sembodo Ardi Widodo,
2015)

B. Pendidikan Sebagai Alat Transformasi Budaya


Berbeda dengan pandangan sebelumnya, ada sementara pendidik dan analis sosial yang
mempertahankan bahwa pendidikan dapat memainkan peran kreatif dalam memodifikasi dan bahkan
membentuk kembali budaya sebagai fungsi utamanya. Dalam kerangka ini, pendidikan tidak bisa
dipisahkan dari kebijakan publik. Kemajuan pada aspek pendidikan akan menjadi terbatas tanpa
adanya kemajuan dalam pengambilan kebijakan publik. Pendidikan harus selalu berhubungan dengan
apa yang menjadi kebutuhan dan tuntutan budaya sekarang, dan bahkan harus berperan aktif dalam
membentuk budaya masa depan. Dan ini tentunya harus didukung dengan kebijakan-kebijakan
publik yang seirama dengan peran kreatif pendidikan itu sendiri. Ide bahwa pendidikan itu
mempunyai peran kreatif-konstruktif dalam pembentukan masyarakat berakar dari tradisi Amerika.
Secara implisit ide ini telah terekspresikan dalam keyakinan publik di mana pendidikan itu memiliki
kekuatan konstruktif dalam hubungannya dengan problem-problem budaya.
Pendidikan menjadi suatu proses sosial, alat yang sangat efektif dan utama dalam rekonstruksi
sosial. Munculnya pandangan tentang fungsi pendidikan seperti ini berakar dari ide dan karya-karya
nyata John Dewey khususnya, dan para pengikutnya secara umum. Tesis utamanya adalah bahwa
sekolah itu bukanlah melulu institusi residual untuk mempertahankan sesuatu sebagaimana adanya.
Tetapi pendidikan mempunyai fungsi kreatif dalam pembentukan individu, dan pada gilirannya
pembentukan budaya. Ini berarti dalam fungsi pendidikan dan persekolahan itu ada kesatuan antara
terma psikologis dan sosial. Dalam konteks ini, Dewey mengatakan:
Saya yakin bahwa semua pendidikan dihasilkan oleh partisipasi individu-individu dalam kesadaran sosial.
Proses ini secara terus-menerus membentuk kekuatan-kekuatan individual, memenuhi kesadarannya, membentuk
kebiasaan-kebiasaannya, melatih ide-idenya, dan menggerakkan perasaan dan emosinya. Pendidikan yang paling
tehnikal dan formal di dunia ini tidak dapat menyimpang dari proses umum ini. Proses pendidikan tersebut
mempunyai dua sisi, psikologi dan sosiologi, salah satunya tidak dapat disubordinasikan dan dilalaikan.
Pengetahuan tentang kondisi-kondisi sosial pada situasi peradaban sekarang adalah penting agar dapat, sebagaimana
mestinya, menginterpretasikan kekuatan-kekuatan anak, dan bahwa sekolah itu yang terutama adalah institusi
social
Menurut Dewey merupakan wujud dari masyarakat yang maju secara intensional, ditegakkan
untuk perubahan, dan terorganisir secara rasional dan seilmiah mungkin. Peran pendidikan dalam
masyarakat seperti ini adalah untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang memungkinkan bagi
individu-individu untuk mengontrol lingkungannya dari pada melulu tunduk kepada lingkungannya.
Masyarakat yang maju akan berusaha membentuk pengalaman generasi muda sedemikian rupa ke
arah yang lebih baik dari pada sekedar mereproduksi kebiasaan-kebiasaan sekarang, sehingga
25
masyarakat dewasa masa depan dapat menjadi lebih baik baginya. Keandalan potensi pendidikan
sebagai agen konstruktif perbaikan masyarakat ini menjadi suatu kenyataan, suatu realitas yang tidak
hanya sekedar mengembangkan anak dan pemuda, namun juga masyarakat masa depan di mana
mereka akan menjadi unsur utama
Ide fundamental kedua dari konsep ini adalah apresiasi yang mendalam terhadap fakta
perubahan dalam budaya modern dan makna dari perubahan sosial itu. Jika masyarakat dan budaya
berubah, maka itulah tugas dari sekolah-sekolah untuk memainkan peran konstruktif dalam
perubahan itu. Pendidikan harus menyesuaikan tujuan dan program-programnya dengan kondisi-
kondisi yang berubah ini, dan jika mungkin memberikan ramalan-ramalan situasi budaya dan
masyarakat masa depan, khususnya kondisi-kondisi dari perubahan yang cepat yang dihasilkan oleh
teknologi modern. Sebaliknya, pendidikan menjadi tidak nyata, hampa dan tidak berdaya guna karena
ia tidak dapat menyiapkan generasi muda kepada pertanggungjawaban sosial budaya yang selalu
dinamis, dan dapat mengantisipasi problem-problem kehidupan kontemporer.
Untuk menghadapi kondisi yang selalu berubah, berarti bahwa tujuan dan program-program
pendidikan itu harus direncanakan untuk mengimplementasikan tujuan-tujuan tersebut, termasuk
orientasi yang berhubungan dengan penggunaan material-material harus dirubah juga. Inilah
pentingnya menggunakan inteligensi kritis dan sikap-sikap ilmiah dalam memahami dan memecahkan
problem-problem sosial dan kemanusiaan. Kualitas-kualitas ini dapat digali untuk perluasan
kurikulum, yaitu bahwa materi pelajaran dalam pendidikan akan berarti bagi pengalaman dan
perhatian-perhatian budaya yang sedang berjalan, dan pengalaman itu digunakan sebagai kunci untuk
memaknai pengetahuan dan untuk menerjemahkan materi pelajaran ke dalam perilaku dan tindakan.
(Sembodo Ardi Widodo, 2015)

C. Pendidikan Sebagai Pengembangan Individu


Pencabangan dua dari pemikiran filosofis John Dewey memberikan aksentuasi pada
pengembangan individu sebagai fungsi utama pendidikan. Sebagian besar energi dari gerakan
pendidikan progresif dicurahkan kepada peran kreatif pendidikan dalam masyarakat dengan
menitikberatkan pada pengembangan individu yang kreatif. Titik pandang ini telah
diimplementasikan dengan memusatkan usaha-usaha pendidikan pada pengembangan semua
kekuatan individual, khususnya pada imajinasinya yang kreatif, kebebasan, independensi,
kemandirian dalam meneliti, dan kekuatan-kekuatan fisik dan emosinya
Secara ekstrem pandangan ini memunculkan suatu konsep child-centered school yang menaruh
perhatiannya kepada selfexpression yang kreatif, individualitas, aktivitas, bebas dari pembebanan, dan
tumbuh dari dalam dirinya sendiri. Prinsip utama dari konsep pendidikan yang berpusat pada anak
ini adalah untuk memelihara “keseluruhan” anak, khususnya apa yang kreatif dan spontanitas dalam
dirinya. Ide ini akan memindahkan anak ke dalam pusat aktivitas pendidikan, dan membiarkannya
26
bebas mengembangkan diri sebagai personalitas yang unik.
Interpretasi dari pengembangan individu ini mempengaruhi program-program dan praktek-
praktek sekolah untuk lebih meluaskan fungsi sosial pendidikan. Sekolah tidak hanya harus
memperkenalkan murid-murid kepada skill-skill dan kekuatan-kekuatan yang diperlukan agar selalu
survive atau untuk self-realization dalam budaya kita, tetapi pendidikan juga harus bekerja sebagai
penyatuan kekuatan dalam membentuk keyakinan dan sikap-sikap yang menjadikannya koheren
dengan ketentuan-ketentuan cara hidup yang demokratis. (Sembodo Ardi Widodo, 2015).

DAFTAR PUSTAKA

Widodo, S. A. (2015). Pendidikan dalam perspektif aliran aliran filsafat. Yogyakarta: Idea Press.

27
TUJUAN PENDIDIKAN
Anin Widyasari, Prayoga Sumahamijaya, Arif Hatami F.Y., Muslihatun Nisa, Dwi Sulistya Putra
UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
anin.widyasari@mhs.uingusdur.ac.id , prayoga.sumahamijaya@mhs.uingusdur.ac.id ,
arif.hatami.fery.yanzah@mhs.uingusdur.ac.id , muslihatun.nisa@mhs.uingusdur.ac.id ,
dwi.sulistya.putra@mhs.uingusdur.ac.id

Setiap kegiatan pendidikan ialah bagian dari suatu proses yang diharapkan guna menuju ke suatu
tujuan, dan semua tujuan ini ditentukan oleh tujuan-tujuan akhir. Pada umumnya esensi ditentukan
oleh masyarakat yang dirumuskan dengan singkat dan padat. Seperti kematangan, integritas atau
kesempurnaan pribadi (meliputi integritas jasmaniah, intelektual, emosional dan etis, serta individu
ke dalam diri manusia paripurna), dan terbentuknya kepribadian muslim.
Dalam pengertian yang sederhana, pendidikan dapat membawa perubahan entah cepat ataupun
lambat, terbuka dan terpendam. Perubahan ini membawa kebutuhan yang bertambah banyak dan
beragam sehingga kemungkinan pendapat yang mengatakan bahwa pendidikan mencetuskan harapan
adalah benar, karena harapan itu terletak pada pendidikan.

A. Fungsi Tujuan Pendidikan


Di dalam pengertian pendidikan telah disebutkan tujuan pendidikan dimana suatu usaha
sadar yang didalamnya terdapat sebuah awalan dan akhiran. Pada umumnya, suatu usaha akan
berakhir apabila suatu tujuan telah tercapai. Berikut adalah fungsi tujuan pendidikan yang dimaksud,
yaitu : a) Mengakhiri tujuan tersebut; b) Mengarahkan tujuan tersebut; c) Sebuah tujuan dapat menjadi
titi pangkal untuk mencapai tujuan lainnya, baik tujuan baru atau tujuan lanjutan serta tujuan awal; d)
Memberikan penilaian (sifat) pada semua usaha tersebut.
Jhon S. Brubacher dalam bukunya “Modern Philosophies of Education” berpendapat bahwa
‘Educational aims perform time important functions all of which are normative. In the first place they give direction to
the educative process for education to slip into such a tough- less pattern underscores the second funtions aims perform.
Aims not only should give direction to education but should motivate it as well finally, aims have the function of provid-
ing a criterion for evaluating the educational process. ‘
Dari uraian diatas maka dapat dipahami tujuan pendidikan melaksanakan 3 fungsi penting yang
bersifat normatif, yaitu :
a. Tujuan pendidikan memberi petunjuk pada proses yang bersifat edukatif.
b. Tujuan pendidikan harus memberi motivasi yang bersifat sebaik mungkin.
c. Tujuan pendidikan berfungsi untuk jadi pedoman atau penyediaan berbagai kriteria ketika
memberi nilai pada proses pendidikan.
Tujuan pendidikan mempunyai fungsi guna menyediakan berbagai kriteria untuk mengevaluasi
suatu proses pendidikan. Maknanya ketika seseorang akan menguji atau memberi pengakuan pada
anak didik ataupun sekolah, maka harus memiliki acuan tujuan pendahuluan. Ketika menentukan
28
anak didik ataupun menentukan sekolah yang menginginkan suatu hasil namun sebenarnya belum
pernah tercapai, hal tersebut merupakan langkah yang kurang adil, sebab, hal tersebut tidak akan
memberikan manfaat meski tujuan tersebut mungkin bisa tercapai.

B. Cara Menentukan Tujuan Pendidikan


Menurut para ahli pendidikan, seperti John S. Brubacher, dapat dilakukan tiga cara dalam
menetapkan tujuan pendidikan yaitu: (1) A historical analysis of social institutions approach; (2) A
Sociological analysis of current life approach; dan (3) Normative philosophy approach.
1. A Historical Analysis of Social Institutions Approach
Pendekatan ini adalah suatu pendekatan yang berpusat pada realitas yang ada dan telah
tumbuh sepanjang sejarah bangsa tersebut seperti pandangan dan kenyataan hidup, tata
sosial, serta kebudayaan. Kritik pada pendekatan ini akan menghasilkan status quo pada analisis
sejarah sehingga dapat menyatakan apa yang terjadi serta apa yang diinginkan masyarakat saat
itu. Disisi lain, analisis ini tidak dapat digunakan untuk menetapkan apa yang diinginkan
masyarakat di masa yang akan datang karena pendekatan ini dianggap tidak mampu
memprediksi dan merencanakan tentang bentuk serta nilai-nilai sosial yang dikehendaki oleh
generasi selanjutnya.
2. A Sociological Analysis of Current Life Approach
Pendekatan ini berdasarkan analisis tentang kehidupan aktual. Pendekatan ini dapat
menggambarkan kenyataan kehidupan melalui analisis deskriptif tentang seluruh kehidupan
masyarakat, baik aktivitas, motivasi terhadap aktivitas itu, serta tentang meminta dan tujuan
dari aktivitas itu. Di lain sisi, pendekatan ini dapat menjabarkan perwujudan pendidikan
seperti kurikulum, dan beberapa kegiatan penunjang, analisis proses belajar mengajar, dan
lainnya, serta segala sesuatu yang terkait dalam analisis kebutuhan sosial, analisis jabatan,
untuk dipersiapkan oleh pendidikan secara aktif.
3. Normative Philosophy Approach
Pendekatan yang melalui nilai-nilai filsafat normatif, seperti filsafat negara dan moral. Pada
dasarnya, proses pendidikan melestarikan kebudayaan dan mewariskan nilai- nilai yang hidup
sebagai pandangan hidup dan filsafat hidup sebagai eksistensi bangsa dengan kebudayaannya.
Ketika menentukan tujuan Pendidikan, filsafat dan pandangan hidup merupakan suatu dasar
yang wajib. Masing-masing bangsa mempunyai filsafat hidup yang kemungkinan berbeda
dengan bangsa lain. Begitu pula tentang ideologi masing-masing negara yang mungkin
berbeda dengan negara lain. Dari pandangan hidup dan filsafat hidup itulah, negara
menentukan cita-cita kehidupan dan kehidupan ideologi. Negara yang demikian biasa disebut
"filsafat negara".

29
C. Kriteria Kualifikasi Tujuan Pendidikan
Kriteria kualifikasi disini merupakan kriteria guna melengkapi syarat kelengkapan tujuan
pendidikan. Jhon Dewey dalam bukunya yaitu “Democracy and Education” menuliskan kriteria
tujuan yang baik, yaitu :
a. Tujuan yang telah ada wajib menciptakan perkembangan yang lebih baik dari kondisi
sebelumnya. Hal ini didasarkan pada pemikiran pertimbangan yang mengarah pada sumber
serta kesulitan dari situasi yang ada.
b. Tujuan harus fleksibel dan bisa diubah menyesuaikan keadaan. Tujuan akhir yang dibuat
memiliki hubungan dengan segala kondisi konkret dan situasi.
c. Tujuan tersebut harus menggambarkan kebebasan dalam kegiatan. Istilah “tujuan dalam
pandangan” bersifat sugestif guna memberi pandangan tentang sebuah proses.

Tujuan berarti penerimaan tanggung jawab guna observasi, perkiraan, serta persiapan yang
diperlukan untuk melaksanakan sebuah fungsi pendidikan. Apapun jenis tujuannya akan mempunyai
nilai jika mendukung untuk kegiatan observasi, pilihan, dan perencanaan dalam melaksanakan
kegiatan dari waktu ke waktu. Tujuan tersebut akan rusak apabila menghambat pikiran orang yang
sehat.
Berdasarkan pertimbangan kualifikasi , maka terdapat ciri khusus dalam tujuan pendidikan
yang baik, yaitu :
a. Tujuan pendidik harus ditegakkan berdasarkan aktivitas serta keperluan yang sebenarnya dari
orang-orang yang di didik.
b. Sebuah tujuan harus bisa diterjemahkan menjadi metode kerja sama dengan kegiatan-kegiatan
anak yang berada dalam proses pengajaran.
c. Para pendidik berhati-hatu pada tujuan yang diperkirakan bersifat umum serta meliputi tujuan
akhir karena hal ini dapat membawa seseorang ke maksud yang lain.

Suatu tujuan pendidikan menunjukkan hasil dari proses alamiah yang membawa kepada
kesadaran, menjadikannya sebagai faktor penentuan observasi, serta memilih cara untuk bertindak.
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan dalam pendidikan, kegiatan sadar akan tujuan guna
memberi ketentuan yang pasti ketika memilih materi, metode, alat evaluasi, di samping memberikan
arah tujuan kegiatan adalah hal yang penting.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Muhammad. (2017). Filsafat Pendidikan (2nd ed.). Jakarta : Kencana
Brubcaher, John Seiler. (1939). Modern Philosophies of Education. New York : Mcgraw-Hill

30
DASAR-DASAR FILSAFAT
Sabila Khanifa, Ikhwanul Risqon, Wafiyatul Ahdi, Apriyanti Umami, Augusta Ghozy Falah
UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
Sabila.khanifa@mhs.uingusdur.ac.id, IKhwnul.risqon@mhs.uingusdur.ac.id,
Wafiyatul.ahdi@mhs.uingusdur.ac.id, Apriyanti.umami@mhs.uingusdur.ac.id
Augusta.ghozy.falah@mhs.uingusdur.ac.id

Perkembangan pengetahuan sangat dipengaruhi oleh ilmu dimana ilmu dibangun berdasarkan
metode ilmiah yang bersifat objektif, ada aturan atau prosedur eksplisit yang mengikat; bersifat
empiris karena dapat dibuktikan, diketahui dan diukur; dapat menjelaskan dan memprediksi peristiwa
dalam bidang ilmunya. Pengetahuan berkembang secara signifikan karena mengikuti kaidah ilmiah,
seperti karya ilmiah yang ditulis secara ilmiah, dalam pengertiannya tulisan ilmiah adalah karya
seorang ilmuwan (yang berupa hasil pengembangan) yang ingin mengembangkan ilmu pengetahuan.

A. Pengertian filsafat sebagai ilmu


Filsafat sebagai ilmu memiliki beberapa persyaratan antaralain dasar ontologis, epistimologis, dan
aksiologis. Menurut Prawironegoro (2010:19) ilmu pengetahuan merupakan kumpulan pengetahuan
yang disusun secara sistematis yang memberikan jawaban atas pertanyaan: (1) ontologi yakni “Apa”
yang ingin diketahui, (2) epistimologi yakni “Bagaimana” cara memperoleh pengetahuan, dan (3)
aksiologis yakni untuk apa “Kegunaan” dari ilmu pengetahuan bagi kehidupan umat manusia.

A. Peninjauan ilmu secara ontologi, epistimologi, aksiologi.


Ilmu Ditinjau Secara Ontologi
Secara bahasa, menurut Machfud (2018:84) ontologi berasal dari Bahasa Yunani yang asal katanya
adalah “Ontos” dan “Logos”. Ontos adalah “yang ada” sedangkan Logos adalah “ilmu”.
Sederhananya, ontologi merupakan ilmu yang berbicara tentang yang ada. Secara istilah, ontologi
adalah cabang dari ilmu filsafat yang berhubungandengan hakikat hidup tentang suatu keberadaan
yang meliputi keberadaan segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.

Menurut Dewi Rokhmah (2021:177) Ontologis dasarnya berbicara tentang hakikat “yang ada” ilmu
pengetahuan, hakikat objek pengetahuan, dan hakikat hubungan subjek-objek ilmu. Bagaimana ilmu
pengetahuan ditinjau secara ontologi maka pembahasannya adalah ontologi melakukan pemeriksaan,
melakukan analisis terhadap ilmu pengetahuan berdasarkan apakah ilmu pengetahuan itu benarbenar
ada atau tidak ada.

Adapun karakteristik menurut Mohammad Adib (2011:69-74) ontologi ilmu pengetahuan antara lain
sebagai berikut: Pertama, ilmu berasal dari suatu penelitian. Kedua, adanya konsep pengetahuan

31
empiris dan tidak ada konsep wahyu. Ketiga, pengetahuan bersifat rasional, objektif, sistematik,
metodologis, observatif, dan netral. Keempat, menghargai asas verifikasi (pembuktian), eksplanatif
(penjelasan), keterbukaan dan dapat diulang kembali, skeptisisme yang radikal, dan berbagai metode
eksperimen. Kelima, melakukan pembuktian bentuk kausalitas (causality) dan terapan ilmu menjadi
teknologi. Ketujuh, mengakui pengetahuan dan konsep yang relatif serta logika-logika ilmiah.
Kedelapan, memiliki berbagai hipotesis dan teori-teori ilmiah. Kesembilan, memiliki konsep tentang
hukum-hukum alam yang telah dibuktikan.

Ilmu ditinjau secara Epistimologi


Secara bahasa, menurut Agus Arwani (2017:127) epistemologi berasal dari Bahasa Yunani yang asal
katanya Episteme artinya “pengetahuan” dan Logos artinya “ilmu”. Secara istilah, epistemologi
adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang sumber pengetahuan, metode, struktur, dan benar tidaknya
suatu pengetahuan tersebut.

Menurut Novi Khomsatun (229-231) Ketika ontologi berusaha mencari secara reflektif tentang yang
ada, berbeda epistemologi berupaya membahas tentang terjadinya dan kebenaran ilmu. Landasan
epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, karena menjadi tempat
berpijak dimana suatu pengetahuan yang baik ialah yang memiliki landasan yang kuat.

Epistemologi dasarnya berbicara tentang dasar, sumber, karakteristik, kebenaran, dan cara
mendapatkan suatu pengetahuan. Aspek terpenting yang dibahas dalam epistemologi yaitu sumber
pengetahuan dan metode pengetahuan. Kedua hal itu dibicarakan dalam epistemologi dan ada juga
kuantitas pengetahuan juga dibahas di epistemologi. Jadi ketika ilmu pengetahuan disoroti melalui
epistemologi maka pembahasannya terarah pada bagaimana sumber yang dipakai oleh para ilmuwan
di dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan metodenya seperti apa karena setiap jenis ilmu itu
mempunyai sumber dan metode pengetahuan yang tidak sama, boleh jadi sama tapi tentu ada
karakteristik atau nuansa yang membedakan ilmu tersebut.

Ilmu ditinjau Secara Aksiologi


Aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang berarti nilai dan logos yang berarti ilmu.
Sederhananya aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Aksiologis dasarnya berbicara tentang hubungan
ilmu dengan nilai, apakah ilmu bebas nilai dan apakah ilmu terikat nilai. Karena berhubungan dengan
nilai maka aksiologi berhubungan dengan baik dan buruk, berhubungan dengan layak atau pantas,
tidak layak atau tidak pantas. Ketika para ilmuwan ingin membentuk satu jenis ilmu pengetahuan
maka sebenarnya dia harus atau telah melakukan uji aksiologis. Contohnya apa gunanya ilmu
Manajemen Pendidikan Islam yaitu kajian-kajian aksiologi yang membahas itu. Jadi pada intinya
32
kajian aksiologi itu membahas tentang layak atau tidaknya sebuah ilmu pengetahuan, pantas atau
tidaknya ilmu pengetahuan itu dikembangkan. Kemudian aksiologi ini juga yang melakukan
pengereman jika ada ilmu pengetahuan tertentu yang memang tingkat perkembangannya begitu
cepat, sehingga pada akhirnya nanti akan mendehumanisasi atau membuang nilai-nilai yang dipegang
kuat oleh umat manusia.

Berpijak pada landasan aksiologi, suatu pernyataan ilmiah dapat dianggap benar bila pernyataan
ilmiah tersebut mengandung unsur aksiologi di dalamnya yaitu adanya nilai manfaat bagi kehidupan
manusia. Ilmu pengetahuan memiliki ruh yang menginginkan adanya nilai manfaat dari ilmu
pengetahuan tersebut, sehingga pengamalan terhadap ilmu tersebut juga harus berlandas pada tata
nilai yang ada di masyarakat. Menghilangkan unsur aksiologis dari ilmu pengetahuan berarti telah
memperlemah posisi dari ilmu tersebut dari sudut pandang filsafat ilmu pengetahuan. (Dewi
Rokhmah, 2021:183-184).

B. Dasar-Dasar Filsafat Sebagai Ilmu


1. Dasar Ontologi
a. Objek materi
Objek filsafat pertama-tama adalah objek materi. Objek materi adalah
sesuatu yang dijadikan sasaran pemikiran, sesuatu yang diselidiki atau
sesuatu yang dipelajari oleh filsafat, yang sangat luas yakni mencakup
segala realitas, kenyataan atau sesuatu yang ada atau mungkin ada
baik yang nyata (Skala) maupun yang abstrak (Niskala). Verhak dan
Imam (1999) menunjukan bahwa objek materi filsafat dibagi menjadi
tiga (3) yakni manusia, alam dan Tuhan. Ketiganya dilihat dari hakikat
yang skala (nyata) dan niskala (tidak tampak). Manusia dan
tindakannya beserta hasil tindakannya dan alam merupakan objek
filsafat yang nyata (Skala) sedangkan Tuhan termasuk objek materi
filsafat yang niskala.
b. Objek Formal Filsafat
Objek formal yakni segi khusus, aspek, tema, prespektif atau prinsipprinsip yang
digunakan dalam mengkaji objek materi (Leahy, 1981).
Objek Formal merupakan cara memandang, cara meninjau yang
dilakukan oleh seseorang peneliti terhadap objek materialnya beserta
prinsip-prinsip yang digunakannya (Mudhofir, 2002:22). Jadi, objek
formal filsafat adalaj segi khusus, aspek, tema, persepektif, atau
prinsip-prinsip yang digunakan dalam mengkaji objek materi.
33
2. Dasar Epistimologi
Dasar epistimlogi yang dimiliki filsafat mencakup antara metode yang digunakan
untuk pedoman mengkaji ilmu. Tujuan berfilsafat adalah mencari the first causes dan the
last causes, maka dari itu filsafat mengenal berbagai metode filsafat yakni:
a. Metode kritis reflektif
Metode kritis reflektif yakni cara memahami suatu objek filsafat secara mendalam dan
mendasar. Kegiatan ini dilakukan secara berulang-ulang sehingga memerlukan proses
pemikiran secara terusmenerus sampai menemui kebenaran/telah puas atas jawaban
masalah yang dikajinya.
b. Metode dialektika-dialog/dialektika-kritis.
Proses dialektik mengandung arti dialog antara duapendirian yang bertentangan
pemikiran dengan memakai pertemuan antara ide, sedang kan kritis meupakan sikap yang
tidak mau menerima sebelum dilakukan pengujian. Dengan demikian dapat disimpulkan
metode dialektika-dialog merupakan metode yang menekankan pada dialog kritis untuk
membedah masalah guna melahirkan pengetahuan yang benar berlandaskan pada
argumentasi/alasan yang kuat.
c. Metode dialeka hegel
Metode ini berintikan pada pemecahan masalah dengan mengikuti tiga langkah yakni
tesa, antitesa, dan sintesa. Menurut (Budianto, 2005:16- 17; Supono, 2007 )
mengemukakan bahwa prinsip dasar metode dialektika ala Hegel adalah mengembangkan
suatu proses berpikir yang dinamis dalam memecahkan suatu masalah, lewat argumen
yang kontradiktif atau berhadapan guna mewujudkan suatu kesepakatan yang rasional
atau logis.
d. Metode Intuitif
Intuisi adalah apa yang oleh sebagian orang disebut perasaan hati, hati nurani, firasat,
supra kesadaran, dorongan yang mengatakan kepada Anda untuk menempuh suatu arah
atau arah lain, dan yang bila digabung dengan latihan akan memberi anda alat dalam
membuat keputusan yang mantap.
e. Metode Skeptis
Metode ini berintikan pada gagasan bahwa, untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar, maka seseorang harus meragu-ragukan segalanya. Dalam rangka mencapai
kebenaran yang pasti, rasio harus berperan semaksimal mungkin.
f. Metode fenomenologi
Metode ini berarti ilmu tentang fenomena yang pada dasarnya adalah hakikat atau
edios tentang suatu penampakan diri atau tampil sebagaimana adanya dalam kesadaran
34
manusia.
g. Metode eksistensialisme
Filsafat ini memandang gejala berpangkal pada eksistensi atau cara manusia berada
didunia. Prinsip dasar adalah lebih menghargai subjektifitas daripada objektifitas, dalam
prinsip ini nilai lebih diposisikan lebih penting dari pada fakta.
h. Metode Analitik
Filsafat ini adalah suatu metode yang khas dalam filsafat untuk menjelaskan,
menguraikan, dan mengji kebenaran-kebenaran ungkapan dari filosofis.

3. Dasar Aksiologis
Dasar aksiologis mengukap tentang apakah kegunaan dari ilmu bagi kita? Adapun
dasar-dasar pemikiran filsafat antara lain:
a. Makna kata filsafat, yang menyiratkan bahwa berfilsafat memberikan peluang untuk
menjadi lebih bijaksana dan lebih berwawasan luas dalam melihat dan memecahkan
permasalahan.
b. Memunculkan ide yang toleran terhadap sudut pandang dan semakin membebsakan
diri dari dogmatisme.
c. Pengkajian membawa perubahan pada keyakinan nilai-nilai dasar seseorang yang pada
gilirannya dapat mempengaruhi arah kehidupan pribadi maupun profesinya
d. Tidak sebatas tambahan kognisi tetapi mengembangkan pemikiran kritis, luas, dan
holistika.
e. Posisi kepemimpinan yang memikul tanggungjawab dalam berbagai profesi, dan
permasalahan makna hidup.

Daftar Pustaka

Samuji, S. (2022). PENGERTIAN, DASAR-DASAR DAN CIRI-CIRI FILSAFAT. Jurnal


Paradigma, 13(01), 1-16.
Rokhmah, D. (2021). Ilmu dalam Tinjauan Filsafat: Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi. CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman, 7(2), 172-186.
Suharto, T. (2014). Filsafat Pendidikan Islam: Menguatkan Epistemologi Islam dalam
Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

35
PERANAN, FUNGSI DAN PENDEKATAN FILSAFAT DALAM MENYELESAIKAN
MASALAH PENDIDIKAN
Amanda Lufiyana, Dinny Safira, Ihsana El Khuluqo, Muhammad Athoillah Annafi’, Vicka Amelia Putri
UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
amanda.lufiiyana@mhs.uingusdur.ac.id,
dinny.safira@mhs.uingusdur.ac.id,ihsana.el.khuluqo@mhs.uingusdur.ac.id,muhammad.athoillah.an
nafi@mhs.uingusdur.ac.id,vicka.amelia.putri@mhs.uingusdur.ac.id

Pendidikan merupakan pilar utama pembangunan manusia dan masyarakat bangsa tertentu. Karena
itu diperlukan beberapa alasan dan prinsip tertentu untuk menentukan arah dan tujuan pendidikan.
Beberapa landasan pendidikan yang sangat berperan penting dalam menetapkan tujuan pendidikan
adalah landasan filosofis, sosiologis, dan budaya. Selain itu, yayasan iptek memajukan pendidikan
untuk melangkah maju ke masa depan. Pendidikan tidak hanya dipahami melalui pendekatan ilmiah
secara parsial dan deskriptif, tetapi harus dilihat secara holistik, sedangkan penelitian pendidikan
secara komprehensif dapat dilakukan melalui pendekatan filosofis.

A. Peranan Filsafat Dalam Menyelesaikan Masalah Pendidikan


Scope dan peranan pendidikan dalam arti luas yaitu seperti dilukiskan oleh Richey dalam buku
“Planning For Teaching, an Intriduction to Education”, antara lain sebagai berikut: Istilah
“pendidikan” berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu
masyarakat yang baru (generasi muda) bagi penunaian kewajiban dan tanggung jawabnya di dalam
masyarakat. Jadi pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas daripada proses yang berlangsung di
dalam sekolah saja. Pendidikan adalah suatu aktivitas sosial yang efensial yang memungkinkan
masyarakat tetap ada dan berkembang.

Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para perencana pendidikan, dan
orang-orang yang bekerja di dalamnya. Hal tersebut akan mewarnai perbuatan mereka secara arif dan
bijaksana, menghubungkan usaha-usaha pendidikannya dengan falsafah umum, falsafah bangsa dan
negara. Pemahaman akan filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba,
mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.

Brubacher dalam buku “Modern Philosphies of education” menulis tentang peranan filsafat
pendidikan secara terinci, dan pokok pemikirannya tentang fungsi filsafat dalam pendidikan, yang
akan dibahas berikut ini:
1. Fungsi Spekulatif
Filsafat dalam pendidikan berusaha mengerti keseluruhan persoalan pendidikan dan

36
mencoba merumuskannya dalam satu gambaran pokok sebagai pelengkap bagi data yang
telah ada dari segi ilmiah. Filsafat pendidikan berusaha mengerti keseluruhan persoalan
pendidikan dan antar hubungannya dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi
pendidikan.
2. Fungsi Normatif
Sebagai penentu arah, pedoman untuk apa pendidikan itu. Asas ini tersimpul dalam tujuan
pendidikan, jenis masyarakat apa yang ideal yang akan dibina. Khususnya norma moral yang
bagaimana sebaiknya yang manusia cita-citakan. Bagaimana filsafat pendidikan memberikan
norma dan pertimbangan bagi kenyataan-kenyataan normatif dan kenyataan-kenyataan
ilmiah, yang pada akhirnya membentuk kebudayaan.
3. Fungsi Kritik
Terutama untuk memberi dasar bagi pengertian kritis rasional dalam pertimbangan dan
menafsirkan data-data ilmiah. Misalnya, data pengukuran analisa evaluasi baik kepribadian
maupun achievement (prestasi). Kritik berarti pula analisis dan komparatif atas sesuatu, untuk
mendapat kesimpulan. Bagaimana menetapkan klasifikasi prestasi itu secara tepat dengan
data-data obyektif (angka-angka, statistik). Juga untuk menetapkan asumsi atau hipotesa yang
lebih resonable. Filsafat harus kompeten, mengatasi kelemahan-kelemahan yang ditemukan
bidang ilmiah, melengkapinya dengan data dan argumentasi yang tak didapatkan dari data
ilmiah.
4. Fungsi Teori dan Praktek
Semua ide, konsepsi, analisa dan kesimpulan-kesimpulan filsafat pendidikan adalah berfungsi
teori. Teori ini adalah dasar bagi pelaksanaan/ praktek pendidikan. Filsafat memberikan
prinsip-prinsip umum bagi suatu praktek.
5. Fungsi Integratif
Mengingat fungsi filsafat dalam pendidikan sebagai asa kerohanian atau rohnya pendidikan,
maka fungsi integratif filsafat pendidikan adalah wajar. Artinya, sebagai pemadu fungsional
semua nilai dan asas normatif dalam ilmu pendidikan (ingat, ilmu kependidikan sebagai ilmu
normatif). Dalam mengkaji peranan filsafat pendidikan, dapat ditinjau dari tiga lapangan
filsafat, yaitu metafisika, epistimologi, dan aksiologi (Usiono, 2006:98-99).

B. Fungsi Filsafat Dalam Pendidikan

Terlepas dari tabiatnya manusia (given) sebagai makhluk yang berpikir dengan potensi akal
yang dimilikinya untuk memaknai segala realitas dan being yang ada (Pixler, 1992). Dalam kajian yang
lebih jauh dengan menggunakan nalar rasionalnya terdapat berbagai macam pandangan terhadap
kajian-kajian logika termasuk di dalamnya filsafat (Anwar, 2017):
37
5. Filsafat sebagai ilmu yang sulit dan ruwet sehingga tidak memberikan kemanfaatan. Kajian
dalam filsafat bersifat absurd. Pandangan ini dilontarkan dengan sikap pesimistis
6. Filsafat dengan berbagai kajiannya tidak akan menyampaikan kepada hakikat. Karena hakikat
yang sebenar-benarnya hanya milik Sang Maha Benar. Mengkajinya membuang-buang waktu.
Pandangan ini dilontarkan dengan sikap skeptis.
7. Mengkaji filsafat malah menjadikan orang bersikap aneh, berpikir liar, bahkan keluar dari
koridor agama. Banyak hal yang tidak dapat dijawab oleh akal. Pandangan ini didominasi oleh
doktrin agama yang melarang belajar filsafat.
8. Filsafat sebagai wasilah atau sarana dalam mencapai kebenaran, kebijaksanaan dengan
menggunakan potensi akalnya secara maksimal. Sebagaimana sejatinya manusia sebagai
makhluk yang berpikir. Kendati demikian tidak semua manusia menggunakan potensi
fikirannya untuk mengungkap meaning terhadap realitas. Pandangan ini tidak pula terlepas dari
doktrin-doktrin agama.

C. Pendekatan Filsafat Dalam Pendidikan

Filsafat, sebagai the mother of knowledge. memiliki peran dalam pengembangan keilmuan dalam
berbagai bidang. Pendekatan filsafat dalam pengembangan keilmuan dapat dilakukan dengan
menggali dan mengembangkan aspek-aspek filosofis dalam keragaman cabang ilmu filsafat dan ilmu
pengetahuan. Selain itu, pengembangan keilmuan juga dilakukan dengan menerapkan pendekatan
filsafat melalui penggalian dan eksplorasi kearifan-kearifan lokal yang pada aspek-aspek agama dan
budaya lokal. Pendidikan dengan pendekatanfilosofis, yaitu adalah pendekatan yang sesuai dengan
karakteriktis pemikiran filsafat yang meliputi pendekatan secara Sinoptik, Pendekatan secara
Normatif, dan Pendekatansecara kritis radikal.
1. Pendekatan Sinoptik
Pendekatan sinoptik itu didasarkan pada ciri filsafat yang memandang dunia (universe) secara
komprehensif, berbeda dengan ilmu yang mencoba memahami suatu bagian dari lingkungan
kita. Tiap-tiap ilmu memperhatikan salah satu bidang kehidupan manusia. Bidang kehidupan
yang diteliti oleh ilmu disebut obyek ilmu. Misalnya obyek kajian ilmu pendidikan (pedagogik)
adalah situasi pendidikan, yaitu hubungan antara pendidik dengan anak didik ketika pendidik
dengan sengaja berusaha membantu anak didik itu dalam perkembangannya ke arah
kedewasaan (Suyitn.Y, 2009).

2. Pendekatan Normatif
Pendidikan normatif artinya nilai atau aturan dan ketentuan yang berlaku dan dijunjung tinggi
dalam kehidupan manusia. Pendekatan normatif terhadap pendidikan tidak bersifat deskriptif
38
seperti ilmu, melainkan bersifat normatif. Pendekatan normatif ituialah mendekati masalah
pendidikan darisudut apa yang seharusnya terjadi. Dengandemikian, filsafat pendidikan
menunjukkanjalan yang terbaik bagi pemecahan masalahpendidikan, karena filsafat
pendidikanmempelajari apa yang seharusnya terjadi. Filsafat pendidikan memikirkan secara
mendalam norma yang seharusnya dicapai oleh pendidikan, baik dalam arti pendidikan mikro
maupun makro.

3. Pendekatan Kritis Radikal


Perbedaan pendekatan ilmiah dan filsafiah bukan hanya pada obyek kajiannya, tetapi juga
pada asumsi yang digunakan. Pendekatan ilmiah selalu didasarkan pada satu atau beberapa
asumsi dasar (basic assumption), sedangkan filsafat mendekati masalahnya dengan jalan
menguji asumsi dasarnya. Pengujian asumsi dasar inilah yang disebut kritis radikal. Baik ilmu
maupun filsafat memikirkan persoalannya secara kritis, tetapi hanya filsafat yang memikirkan
persoalannya secara radikal. Sebagai ilustrasi dapat dideskripsikan sebagai berikut: Ilmu alam
menemukan teori gravitasi. Teori inimengatakan bahwa setiap benda yang dijatuhkan dari
atas, akan jatuh ke bawah, karena ada gaya tarik bumi.

DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin dan Abdullah. 2017. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Jujun S. Suriasumantri. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Prasetya. 2002. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Saifullah, Ali. tt. Antara Filsafat Dan Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Posted by Iyanalbalangi
at 5:46 AM.
Thabrani, Abdul Muis. 2015. Filsafat Dalam Pendidikan. Jember: IAIN Jember Press.

39
OBJEK FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Dede Herawati, Nur Hilda Ariza Zinta, Lanuta Putrihati, Amelia Sughro, Anggita Dwi Anugrah
UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Filsafat ialah ilmu yang menuntun manusia berfikir rasional-logis dan radikal guna memperoleh
sebuah kebenaran. Sedangkan pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan Latihan bagi peranannya di masa mendatang. Maka
dapat disimpulkan bahwa filsafat dalam pendidikan islam adalah sikap berpikir rasional-logis dan
radikal untuk mencapai sebuah kebenaran guna menciptakan kesadaran untuk berkembang bagi para
peserta didik dengan tetap berpacu pada media keislaman contohnya Al-Quran, hadist, dll untuk
mencapai perspektif islam yang pastinya dapat dipertanggunjawbkan dan berguna di masa depan .

A. Tuhan dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam


Secara asasi, setiap manusia memiliki kecenderuangan untuk beragama untuk percaya adanya Tuhan,
meskipun dengan sebutan yang berbeda. Kalangan filsuf ada yang menyebutnya Penggerak Pertama,
Pencipta Alam atau Akal pertama.

Pembahasan tentang eksistensi Tuhan secara filosofis sebenarnya menuntut pembuktian yang
berdasarkan nalar. Inilah yang menjadi perdebatan kaum filsuf, kaum teolog dan kaum sufi. Menurut
Amin Abdullah, perdebatan antar ketiganya dalam tradisi keilmuan Islam begitu sengit sehingga tak
jarang terjadi saling mengkafirkan, memurtadkan dan mensekularkan. Perdebatan terjadi karena
epistemologi yang digunakan ketiganya berbeda. Dengan mengikuti kerangka ilmu filsafat
Mohammad Abid Al-Jabiri, kaum filosofis menerapkan epistemologi burhani yang bersumber dari
akal, kaum ushuliyyin menggunakan epistemologi bayani yang bersumber dari teks, sementara kaum
sufi menerapkan epistemologi irfani yang lebih menekankan pada intuisi." Beberapa argumen yang
dikemukakan oleh para filsuf dengan argumen burhani-nya.

Berkaitan dengan eksistensi Tuhan adalah sebagai berikut:


1. Al-Kindi seorang filsuf Arab (w.sekitar 866 M) dengan argumen kebaruan (dalil al-huduts)
nya. Ia mengatakan bahwa alam semesta ini betapapun luasnya adalah terbatas. Karena
terbatas, alam tidak mmungkin memiliki awal yang tidak terbatas. Oleh karena itu, alam yang
terbatas ini tidak mungkin bersifat azali (tidak mempunya awal). Ia mesti memiliki titik awal
dalam waktu, dan materi yang melekat padanya juga terbatas oleh gerak dan waktu jika materi,
gerak dan waktu dari alam ini terbatas, berarti alam semesta ini baru (hudust). Segala sesuatu
yang baru bagi Al-Kindi pasti dicipta (muhdats). Kalau alam dicipta maka memunculkan

40
adaya pencipta. Itulah Tuhan sebagai sebab pertama. Dalam kajian filsafat argumen kebaruan
Al-Kind disebut dengan argumen kosmologi,yang menggunakan hukum "sebab-akibat".
2. Ibnu Sina (w. 1037 M) melalui argumen kemungkinan ( dalil al-jawaz) atau kontingesi. Ia
membagi wujud dalam tiga kategori: Wujud Niscaya (wajib al- wujud) adalah wujud yang
senantiasa harus ada dan tidak boleh tidak ada, wujud mungkin (mumkin al-wujud) adalah
wujud yang boleh saja ada atau tinda, dan wujud mustahil (mumtani al-wujud) adalah wujud
yang keberadaannya tidak terbayangkan oleh akal. Alam ini adalah wujud yang boleh ada dan
boleh tidak ada. Karena alam merupakan wujud yang boleh ada. alam bukan wujud niscaya,
namun karena alam juga boleh tidak ada maka dapat dikatakan wujud mustahi. Akan tetapi
nyatanya bumi ini ada maka dipastikan sebagai wujud yang mungkin. Terma "mungkin adalah
potensial kebalikan dari aktual. Dengan mengatakan bahwa alam ini mungkin pada
dirinya,berarti sifat dasar alam adalah potensial,boleh ada dan tidak bisa mengada dengan
sendirinya. Karena alam ini potensial, ia tidak mungkin ada (mewujud) tanpa adanya sesuatu
yang telah aktual, yang telah mengubahnya dari potensial menjadi aktualitas. Itulah tuhan
yang wujud niscaya. Argumen kemungkinan ini sering disebut dalil ontologi karena
pendekatannya menggunakan filsafat wujud.

3. Ibnu Rusyd (w. 1198 M) dengan argumen rancangan (dalil al-inayah). Dengan pemikiran
rasional-religiusnya berpendapat bahwa perlengkapan (fasilitas) yang ada di alam ini
diciptakan untuk kepentingan manusia. Hal ini merupakan bukti adanya Tuhan Yang Maha
Pengasih lagi Penyayang. Melalui "rahmat" yang ada di alam ini, membuktikan bahwa Tuhan
ada. Selain itu penciptaan alam yang menakjubkan, seperti adanya khidupan organik, persepsi
indrawi,dan pengenalan intelektual merupkan bukti lain adanya Tuhan melalui konsep
penciptaan keserasian. Penciptaan ini secara rasional bukanlah suatu kebetulan, melainkan
haruslah dirancang oleh agen yang dengan sengaja dan kebetulan dan bijaksana melakukannya
dengan tujuan tertentu. Oleh karena berdasarkan pandangan adanya keserasian Tuhan,
konsep Tuhan menurut Ibnu Rusyd ini sering disebut pandangan teleologis.

B. Manusia dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam

Manusia dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam Filsafat manusia atau antropologi filsafat adalah
bagian integral dari system filsafat yang secara spesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia. Sebagai
bagian dari system filsafat, secara metodis ia memiliki kedudukan yang kurang lebih setara dengan
cabang-cabang filsafat lainnya seperti; etika, kosmologi, epistomologi, filsafat sosial dan estetika.
Manusia adalah makhluk paling sempurna , hal itu dikarenakan manusia memiliki kelebihan
disbanding makhluk Allah SWT lainya. Manusia diberikan akal oleh Tuhan untuk kemudian membuat
41
mereka merasa ingin tahu dan memicu diri mereka untuk berkembang. Untuk memenuhi rasa ingin
tahu tersebut maka manusia dituntut untuk mempelajari segala hal yang belum mereka tahu.
1. Eksistensi manusia sebagai individu
Tahap estetis Tahap estetis adalah tahap dimana orientasi hidup manusia sepenuhnya
diarahkan untuk mendapatkan kesenangan. Manusia estetis ini juga sering disebut sebgai
manusia yang hidup tanpa jiwa, ia tidak memiliki akar dan isi dalam jiwanya. Kemauannya
adalah meningkatkan diri pada kecenderungan masyarakat dan zamannya.
2. Tahap etis
Pada tahap ini cara berpikir manusia sudah berubah, Ketika manusia memilih tahap ini
sebagai jalan hidupnya maka ia harus siap untuk meninggalkan prinsip kesenangan
(hedonism). Manusia akan lebih focus pada passion nya, menjalani hidup sesuai dengan nilai-
nilai kemanusiaan yang telah dipilihya secara bebas.
3. Tahap religious
Di tahap ini terdapat lompatan yang begitu besar dari tahap estetis dan etis. Pada tahap ini
dapat diartikan sebgai masa manusia melebur Bersama Tuhan, meneguhkan iman guna
mendapatkan nilai dari kata religius itu sendiri. Butuh kematangan akal dan hati agar dapat
berkembang dan bertahan pada tahap ini.

C. Alam dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam


Kedudukan Manusia dan Alam
1. Sebagai pemanfaat dan penjaga kelestarian alam (QS Al Baqarah: 60)
2. Sebagai peneliti alam (QS Al Baqarah: 164)
3. Sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi (QS Al Anam: 165)
4. Sebagai makhluk yang paling tinggi dan mulia (QS Al isra : 70)
5. Sebagai hamba Allah (QS Al Imran 83)
6. Sebagai makhluk yang dapat dididik dan pendidik (QS. Al Alaq: 1-5)

Manusia merupakan bagian dari alam. Manusia bukanlah suatu entitas yang memisahkan diri dari
alam tempat ia berada, melainkan ia bersatu dengan alam. Whitehead mengatakan bahwa unsur-unsur
yang ada di dalam alam juga terdapat dalam diri manusia. Pada manusia unsur-unsur itu bersifat alami.
Unsur-unsur alami membentuk badan manusia, juga pada alam. Unsurunsur yang dimaksud misalnya
dalam tubuh manusia mengandung zat-zat seperti air, besi, asam, kapur dan lain-lain. Zat-zat seperti
ini, juga terdapat dalam alam.

Dengan demikian, manusia sebagai bagian dari alam, menjadi jelas dari kenyataan bahwa prinsip-
prinsip universal berlaku, baik bagi pengalaman manusia maupun bagi pristiwa-pristiwa alami yang
42
terjadi di luar diri manusia. Hukum alam dalam arti tertentu juga berlaku dalam diri manusia. Misalnya
hukum gravitasi tidak hanya berlaku untuk buah yang jatuh dari pohon, tetapi juga untuk badan
manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Fabianus Selatang.” Memahami Manusia dan Alam dalam Terang Filsafat Proses Alfred North
Whitehead dan Relevansinya Bagi Teologi” Jurnal Kateketik dan Pastoral Vol 5 No 1 (2020)
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, hal 33
Pokok Kajian Filsafat Pendidikan Islam. uinmalang.ac.id. 12 November 2013. 17 Maret 2023.
https://uinmalang.ac.id/r/131101/pokok-kajian-filsafat-pendidikan-islam.html
Rostitawati, T. (2018). Tuhan, Manusia dan Alam dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam. Jurnal
Irfani, Vol 14 No 1
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Menguatkan Epitemologi Islam dalam Pendidikan,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hal.60

43
PEMIKIRAN TOKOH KONTEMPORER TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
(Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ismail Raji Al- Faruqi dan Implikasinya terhadap dunia
pendidikan Islam)

Lailatur Rizqiyah, Aura Maulia, Muhammad Zela Afkar, Tri Hana Prameswari, Anita Aprillia
Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
lailatur.rizqiyah@mhs.uingusdur.ac.id, aura.maulia@mhs.uingusdur.ac.id,
muhammad.zela.afkar@mhs.uingusdur.ac.id,
tri.hana.prameswari@mhs.uingusdur.ac.id, anita.aprillia@mhs.uingusdur.ac.id

Ismail Raji Al-Faruqi merupakan seorang cendekiawan muslim yang memadukan ajaran Islam dan
esensi tauhidnya dengan ilmu pengetahuan dan seni. Dalam mengikat unsur yang berbeda tersebut,
tauhid membentuk sains dan budaya dalam bingkainya tersendiri. Berpegang teguh pada prinsip
tauhid merupakan suatu keniscayaan dan merupakan fundamen dari seluruh kesalehan, religiusitas,
dan kebaikan. Berpegang pada tauhid berarti menghayati perintah-perintah Tuhan sebagai kewajiban,
dan mengaktualisasikan nilai-nilai yang tersirat dalam perintah-perintah tersebut. Doktrin tauhid ini
memadukan penegasan klasik sentralitas keesaan Tuhan (monoteisme) dengan interpretasi modernis
(ijtihad) dan penerapan Islam dalam kehidupan modern.

A. Biografi Ismail Raji Al- Faruqi


Al- faruqi dilahirkan di Jaffa (Yaifa) pada tanggal 1 Januari 1921 Palestina dan meninggal pada tahun
1986. Ayahnya adalah seorang qadi (hakim) terpandang di Palestina, bernama Abdul Huda Al-
Faruqi. Meskipun Al- Faruqi dilahirkan di Palestina yang notabene negara Muslim tetapi pendidikan
dan pengalaman studinya sebagian besar diperoleh dari Barat, bahkan dapat dikatakan bahwa
pendidikan Al Faruqi lebih banyak diperoleh dari Barat. Al- Faruqi menghabiskan masa studinya di
Barat karena di tanah kelahirannya kurang kondusif untuk menempuh pendidikan. Waktu itu,
Palestina masih tentram dan damai dalam naungan kekuasaan pemerintah Arab di Damaskus, mes
kipun juga sedang berada di bawah kekuasaan kolonial Inggris. Sampai akhirnya orang- orang bangsa
Yahudi berdatangan, mendirikan pemukiman sendiri, dan perlahan mulai menggerogoti dan mulai
menguasai. Palestina pun mulai bergejolak.

Perjalanan intelektual atau pengalaman awal pendidikannya dimulai dengan belajar di College Des Freres
(St. Joseph) Lebanon sejak tahun 1926 sampai mendapatkan sertifikat pada tahun 1936, setelah
sebelumnya melewati proses pendidikan awal di Madrasah di tempat kelahirannya. Pada tahun 1941,
Al- Faruqi melanjutkan studinya di American University of Beirut dengan mengambil bidang kajian
filsafat sampai kemudian berhasil meraih gelar sarjana muda (Bachelor of Art). Setelah mendapat gelar
B.A, Al- Faruqi sempat menjadi pegawai pemerintah Palestina di bawah mandat Inggris. Jabatan

44
sebagai pegawai negeri diembannya selama empat tahun, untuk kemudian ia diangkat sebagai
Gubernur Galilea. Posisi sebagai Gubernur ini ternyata merupakan jabatan Gubernur terakhir dalam
sejarah pemerintahan Palestina pada waktu itu, karena sejak tahun 1947 provinsi yang dipegang oleh
Al- Faruqi dikuasai oleh Israel. Keadaan ini membuat Al- Faruqi harus hijrah dan pindah ke Amerika
Serikat pada tahun 1948.

Di Negara Paman Sam itu garis kehidupannya berubah. Dia dengan tekun menggeluti dunia
akademis, sehingga ia mendapat gelar masternya di bidang filsafat di Universitas Indiana, AS, pada
tahun 1949 dengan judul Thesis on Justifying The God Metaphysic dan Epistemology of Value (Tentang
Pembenaran Kebaikan Metafisika dan Epistemologi Ilmu). Sementara gelar doktornya diraih dari
Universitas Indiana. Tak hanya itu, Al- Faruqi juga memperdalam ilmu agama di Universitas Al-
Azhar Kairo, Mesir selama empat tahun.

Setelah selesai menempuh studi di Kairo, Al- Faruqi mulai berkiprah di dunia kampus dengan
menjadi dosen di Universitas McGill, Montreal, Kanada selama dua tahun. Kemudian, pada tahun
1962 Al- Faruqi pindah ke Karachi, Pakistan. Setahun setelahnya, pada tahun 1963, Al- Faruqi
kembali ke AS dan memberikan kuliah di Fakultas Agama Universitas Chicago. Setelah mendirikan
program pengkajian Islam di University Syracuse, New York dan kemudian pindah ke Temple University,
Philadelphia memantapkan dirinya sebagai tenaga ahli dalam pengkajian Islam.

Al- Faruqi pernah memegang jabatan penting dalam kapasitasnya sebagai ilmuwan. Diantaranya
kepala studi keislaman di Temple University, AS; Direktur Institut Islam di University Chicago,
Direktur Institut Internasional Pemikir Islam di Washington dan presiden Institut Studi Lanjutan
Washington. Selain itu, dia juga menjadi guru besar tamu di berbagai negara, seperti di University
Mindanao City, Filipina dan di Universitas Qum, Iran. Dia pula perancang utama kurikulum The
American Islamic College Chicago. Al- Faruqi berpendapat bahwa Zionisme harus dihancurkan
dengan cara berperang dikarenakan tidak ada cara lain selain berperang. Lantaran pemikirannya
tersebut Al- Faruqi dan istrinya, Dr. Lois Lamya serta keluarganya tewas oleh kelompok yang tak
dikenal. Untuk mengenang jasa- jasa, usaha dan karyanya, organisasi masyarakat Islam di Amerika
Utara (ISNA) mengabadikan dengan mendirikan The Ismail and Lamya Al- Faruqi Memorial Fund, yang
bermaksud melanjutkan cita- cita “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”.

B. Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Cara berpikir Faruqi benar- benar didasarkan pada pola islamisasi, ia sangat gigih dalam menyuarakan
tentang bagaimana mensintesiskan dua bidang keilmuan Barat dan Islam) yang berbeda. Bahkan, ia
merupakan penggagas islamisasi internasional setelah dirinya benar- benar mendapatkan inspirasi
45
dari seseorang yang bernama Syed Naquib Al- Attas. Hal ini berawal dari masalah yang sedang terjadi
di kalangan umat Islam sendiri yang dianggap sebagai konsumen pengetahuan Barat hingga masalah
politik praktis sekularisme sekali pun. Umat Islam seolah latah dengan pengetahuan Barat, hingga
apapun yang berasal dari Barat langsung dicerna tanpa pikir ulang.

Islamisasi merupakan suatu upaya mereformulasikan kembali-kembali ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepada umat Islam dengan berdasarkan ajaran dan cita-cita Islam. Al-Faruqi memberikan pengertian
Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu memberikan definisi baru, mengatur data-data, memikirkan lagi
jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasikan kembali kesimpulan-kesimpulan,
memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-
disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi Islam.

Dalam melihat fenomena di masyarakat yang mengalami problem serius tersebut, al-Faruqi bergerak
hatinya untuk memberikan obat, yaitu dengan gagasan yang ditawarkan berupa islamisasi ilmu. Ismail
Raji al-Faruqi mengatakan bahwa islamisasi ilmu adalah mengislamkan disiplin-disiplin ilmu atau
tepatnya menghasilkan buku-buku pegangan (buku dasar) di perguruan tinggi dengan menuangkan
kembali disiplin ilmu modern ke dalam wawasan Islam, setelah dilakukan kajian kritis terhadap kedua
sistem pengetahuan Islam dan Barat. Islamisasi pengetahuan merupakan suatu cara mengislamkan
ilmu-ilmu Islam (tradisional) dengan ilmu modern (sekuler) dengan menyesuaikan ajaran dan visi
Islam. Disamping itu, al-Faruqi juga memberikan langkah-langkah procedural bagi terlaksananya
program islamisasi ilmu.

Ide tentang islamisasi ilmu pengetahuan al-Faruqi berkaitan erat dengan idenya tentang tauhid. Secara
tradisional dan dalam ungkapan yang sederhana, tauhid menurut al-faruqi adalah keyakinan dan
kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Bagi AI-Faruqi, esensi peradaban Islam adalah Islam
itu sendiri dan esensi Islam adalah Tauhid atau peng-Esaan terhadap Tuhan, tindakan yang
menegaskan Allah sebagai yang Esa, pencipta mutlak dan transenden, penguasa segala yang ada. Dan
secara sederhana, tauhid adalah keyakinan dan kesaksian bahwa “tiada Tuhan kecuali Allah”, penafian
ini mengandung makna yang sangat kaya dan agung, karena semua keanekaragaman, kekayaan dan
sejarah, kebudayaan dan pengetahuan, kearifan dan peradaban Islam ada dalam kalimat la ilaha illallah.

Dengan demikian islamisasi ilmu pengetahuan ini sebenarnya bukanlah menolak sama sekali tentang
produk Barat. Islamisasi ilmu pengetahuan justru lebih kepada usaha atau langkah-langkah untuk
memastikan apakah produk Barat, begitu juga produk pemikiran Islam sendiri, masih relevan atau
tidak jika dibenturkan pada realitas saat ini. Jika tidak relevan maka selanjut nya akan dicarikan
alternatifnya untuk menyongsong realitas. Kemudian perlu diketahui bahwa Faruqi ternyata
46
mencetuskan ide islamisasi ilmu pengetahuan ini pada suatu dasar penting dalam Islam, yaitu tauhid;
begitu juga dalam merumuskan prinsip-prinsipnya, berprinsip pada tauhid yang terdiri dari lima
macam pokok, antara lain;
1. Prinsip keesaan Tuhan (the unity of Allah SWT), implikasinya dalam kaitannya dengan ilmu
pengetahuan, bahwa sebuah pengetahuan bukan untuk menerangkan dan memahami realitas,
melebihkan melihatnya sebagai bagian yang integral dari eksistensi tuhan. Karena itu, islamisasi
ilmu mengarahkan pengetahuan pada kondisi analisa dan sintesa tentang hubungan realitas
yang dikaji dengan hukum Tuhan.
2. Kesatuan ciptaan (unity of creation), bahwa semesta ini baik yang material psikis spasial (ruang),
biologis maupun etnis adalah kesatuan yang integral. Dalam kaitannya dengan islamisasi ilmu,
maka setiap penelitian dan usaha pengembangan keilmuan harus diarahkan sebagai refleksi dari
keimanan dan realisasi ibadah kepadanya.
3. Kesatuan kebenaran dan pengetahuan (unity of truth and knowledge), kebenaran bersumber pada
realitas, dan realitas bersumber dari satu yaitu Tuhan. Maka, apa yang disampaikan lewat wahyu
tidak bertentangan dengan realitas yang ada, karena keduanya diciptakan oleh Tuhan.
4. Kesatuan hidup (unity of life), yang meliputi amanah, khilafah, dan Kaffah (Komprehensif).
5. Kesatuan manusia (unity of humanity) yang universal mencakup seluruh umat manusia tanpa
terkecuali. Maka, pengembangan sains harus berdasar pada kemaslahatan manusia secara
universal.

C. Implikasi Gagasan Ismail Raji Al-Faruqi Dalam Dunia Pendidikan Islam


Beberapa implikasi pemikiran Ismail Raji Al Faruqi dalam dunia pendidikan Islam, yaitu:
1. Aspek kelembagaan
Aspek ini menyangkut sebuah lembaga yang diharapkan pasca islamisasi yaitu integrasi
keilmuan; memadukan dua sistem pendidikan yakni sistem pendidikan umum dan Islam.
Hal ini menunjukkan agar dikotomisasi ilmu pengetahuan itu dapat dihapus dan menjadi
suatu bentuk keterpaduan pendidikan yakni ilmu-ilmu yang bersifat keislaman dan ilmu-
ilmu umum.

2. Aspek kurikulum
Prinsip utama dalam kurikulum Islam yaitu mengacu pada al-Qur’an dan hadits. Dalam rumusan
kurikulum islamisasi ilmu pengetahuan, telah dimasukkan berbagai disiplin keilmuan
integratif. Dengan demikian, lembaga pendidikan memiliki kurikulum terkini dan responsif
terhadap permasalahan saat ini serta tetap berada di dalam naungan nilai-nilai keislaman.
47
3. Aspek pendidikan
Pendidikan untuk tingkat dasar dan lanjutan harus memiliki pendidik yang berkepribadian Islam
dan memiliki kualifikasi atau basic keislaman yang berkualitas tinggi. Untuk tingkat
universitas, juga harus memiliki pendidik yang memiliki visi keislaman dan pribadi yang baik.
Selain itu, dalam segi evaluasi, penting juga dilakukan interview yang berkaitan dengan
akidah, keimanan, sikap dan jiwa terhadap jabatan, bahkan pendidik juga dituntut untuk
terampil dalam menggunakan strategi dan metode pembelajaran serta pengelolaan
manajemen pendidikan. Dengan demikian, semuanya ini nantinya mengacu pada nilai-nilai
tauhid.

Berikut ini beberapa model pendidikan yang dapat diaplikasikan berkaitan dengan islamisasi
ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini, yaitu:
1. Model pendidikan umum (modern) yang dilengkapi dengan disiplin keilmuan Islam. Ini bisa
berupa sekolah umum Islam yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum.
2. Model pendidikan tradisional yang dimodernisasi dengan memasukkan ilmu pengetahuan
dan teknologi Hal ini bisa berupa pesantren modern.
3. Model pendidikan sintesis dari keduanya secara seimbang.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Muhammad, Chalil. 2014. Pengembangan Kurikulum Islam Dalam Perspektif Ismail Raji Al-
Faruqi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Rusydiyah, Evi, Fatimatur. 2019. Aliran dan Paradigma Pemikiran Pendidikan Agama Islam. Surabaya:
UIN Sunan Ampel.
Soleh, A, Khudori. 2011. Mencermati Islamisasi Ilmu Ismail R Al Faruqi. Ulul Albab Volume 12 No.1
Tahun 2011.
Zuhdiyah. 2016. Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-Faruqi. Tadrib Volume II No. 2 Tahun 2016.

48
In Collaboratioon with
Mahasiswa Tadris Bahasa Inggris
UIN K.H. Abdurrahman Wahid
Pekalongan

Anda mungkin juga menyukai