Anda di halaman 1dari 26

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/331672517

KAJIAN BERBAGAI ALIRAN FILSAFAT.

Presentation · March 2019


DOI: 10.13140/RG.2.2.17600.79367

CITATIONS READS

0 26,687

1 author:

Nurfarhanah Nurfarhanah
Universitas Negeri Padang
35 PUBLICATIONS 33 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Nurfarhanah Nurfarhanah on 12 March 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KAJIAN BERBAGAI ALIRAN FILSAFAT DAN KAITANNYA DENGAN
MUTU PENDIDIKAN

Oleh:

NURFARHANAH

A. Pendahuluan

Filsafat ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang


sesuatu sampai keakar-akarnya. Filsafat membahas sesuatu dari segala
aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran
menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya
relatif.
Dalam garis besarnya ada empat cabang filsafat, yaitu:
1. Metafisika ialah filsafat yang meninjau tentang hakikat segala sesuatu yang
terdapat di alam ini.
2. Epistemologi ialah filsafat yang membahas tentang pengetahuan dan
kebenaran.
3. Logika ialah filsafat yang membahas tentang cara manusia berfikir dengan
benar.
4. Etika ialah filsafat yang menguraikan tentang perilaku manusia, nilai, dan
norma masyarakat serta ajaran agama.

Hubungan Antara Filsafat dan Ilmu


Suatu ilmu baru muncul setelah terjadi pengkajian dalam filsafat. Filsafat
merupakan tempat berpijak bagi kegiatan pembentukan ilmu itu. Karena itu
filsafat dikatakan sebagai induk dari semua bidang ilmu. Pada taraf
selanjutnya, ilmu menyatakan dirinya otonom, ia bebas sama sekali dengan

1
konsep-konsep dan norma-norma filsafat. Jujun (1981) membagi tingkat
perkembangan ilmu menjadi dua bagian:
1. Tingkat empiris ialah ilmu yang baru ditemukan di lapangan.
2. Tingkat penjelasan atau teoritis ialah ilmu yang sudah
mengembangkan suatu struktur teoritis.

Pendidikan adalah merupakan salah satu bidang ilmu. Sama halnya


dengan ilmu-ilmu yang lain pendidikan lahir dari induknya yaitu filsafat. Sikun
Pribadi (1989) menggambarkan hubungan filsafat, filsafat pendidikan, ilmu
pendidikan, ilmu pendidikan praktis, perbuatan mendidik, pengalaman
mendidik, dan keyakinan mendidik, sebagai berikut:
1. filsafat umum menjadi sumber segala kegiatan manusia.
2. filsafat pendidikan dijabarkan dari filsafat.
3. ilmu pendidikan dijabarkan dari filsafat pendidikan.
4. ilmu pendidikan praktis dijabarkan dari teori-teori pendidikan.
5. perbuatan mendidik menerapkan teori pendidikan praktis.
6. sebagai akibat dari perbuatan mendidik, akan mendapatkan
pengalaman tentang mendidik.
7. pengalaman mendidik memberi umpan balik kepada teori pendidikan
yang terdapat dalam ilmu mendidik.
8. ilmu pendidikan memberi umpan balik kepada filsafat pendidikan.
9. ilmu pendidikan juga mengadakan hubungan dengan pengalaman
mendidik.
10. perbuatan-perbuatan mendidik bisa menimbulkan keyakinan
tersendiri tentang pendidikan.

Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan ialah hasil pemikiran dan perenungan secara
mendalam sampai keakar-akarnya mengenai pendidikan. Filsafat itu akan
menjawab tiga pertanyaan pokok sebagai berikut (Ateng Sutisna, 1990):
1. apakah pendidikan itu?
2. apa yang hendak ia capai?
3. bagaimana cara terbaik merealisasi tujuan-tujuan itu?

Zanti Arbi (1988) menceritakan tentang maksud filsafat pendidikan


sebagai berikut:
1. Menginspirasikan, maksudnya memberi inspirasi kepada para
pendidik untuk melaksanakan ide tertentu dalam pendidikan.

2
2. Menganalisis, maksudnya memeriksa secara teliti bagian-bagian
pendidikan agar dapat diketahui secara jelas validitasnya.
3. Mempreskiptifkan, maksudnya upaya menjelaskan atau memberi
pengarahan kepada pendidik melalui filsafat pendidikan.
4. Menginvestigasi, maksudnya memeriksa atau meneliti kebenaran
suatu teori pendidikan.
Filsafat pendidikan juga mengingatkan kepada kita agar sangat hati-hati
menyusun suatu teori. Struktur teori itu harus jelas, tidak tumpang tindih,
dianalisis bagian-bagiannya, cabang-cabangnya dan ranting-rantingnya,
pengertian dan tujuan pendidikan itu serta cara-cara mencapai tujuan. Agar
uraian tentang filsafat pendidikan ini menjadi lebih lengkap, berikut akan
dipaparkan tentang beberapa aliran filsafat pendidikan yang dominan adalah:
1. Esensialis
2. Perenialis
3. Progresivis
4. Rekonstruksionis
5. Eksistensialis
Filsafat pendidikan esensialis bertitik tolak dari kebenaran yang telah
terbukti berabad-abad lamanya. Filsafat pendidikan perenialis tidak jauh
berbeda dengan filsafat pendidikan esensialis, kalau kebenaran yang esensial
pada esensialis ada pada kebudayaan klasik dengan great book nya, maka
kebenaran perenialis ada pada wahyu tuhan. Aliran progresivisme mempunyai
jiwa perubahan, relativitas, kebebasan, dinamika, ilmiah, dan perbuatan nyata.
Menurut filsafat ini, tidak ada tujuan yang pasti, begitu pula tidak ada
kebenaran yang pasti. Filsafat pendidikan rekonstruksionis merupakan variasi
dari progresivisme, yang menginginkan kondisi manusia pada umumnya harus
diperbaiki (Callahan, 1983). Filsafat pendidikan eksistensialis berpendapat
bahwa kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya individu
manusia itu sendiri.

3
B. Filsafat, Teori dan Praktek Pendidikan

Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia yang berarti cinta
pengetahuan. Sementara Hasan Shadily (1984:9) mengatakan bahwa filsafat
menurut asal katanya berarti cinta akan kebenaran. Dengan demikian dapat
ditarik pengertian bahwa filsafat adalah cinta pada ilmu pengetahuan atau
kebenaran. Jadi orang yang berfilsafat adalah orang yang mencintai kebenaran,
berilmu pengetahuan, dan bijaksana (Jalaluddin, 2007:15).
Sementara itu Harun Nasution (1973:24) mengatakan bahwa filsafat ialah
berfikir menurut tata tertib (logika), bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma,
serta agama), dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar
persoalan. Sejalan dengan itu Imam Bernadib menjelaskan bahwa filsafat
sebagai pandangan yang menyeluruh dan sistematis.
Dari berbagai uraian tentang filsafat dapat diambil suatu pengertian
bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan komprehensif yang berusaha
memahami persoalan-persoalan yang timbul di dalam keseluruhan ruang
lingkup pengalaman manusia. Dengan demikian diharapkan manusia dapat
mengerti dan memiliki pandangan yang menyeluruh dan sistematis mengenai
alam semesta dan tempat manusia ada di dalamnya (Jalaluddin, 2007:18).
Lebih lanjut Jalaluddin (2007:18) mengatakan bahwa filsafat dibutuhkan
manusia dalam upaya menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dalam
berbagai lapangan kehidupan. Jawaban itu merupakan hasil pemikiran yang
sistematis, integral, menyeluruh dan mendasar. Jawaban seperti itu juga
digunakan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang menyangkut berbagai
bidang kehidupan manusia, termasuk bidang pendidikan.
Sekarang timbul pertanyaan, apa yang dimaksud dengan filsafat
pendidikan?, dalam hal ini Al-Syaibany (1979:36) mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang
menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan
memadukan proses pendidikan. Maksudnya, filsafat pendidikan dapat
menjelaskan nilai-nilai dan keinginan yang diusahakan untuk mencapainya.

4
Dalam hal ini, filsafat, filsafat pendidikan, dan pengalaman kemanusiaan
merupakan faktor yang integral.
Filsafat pendidikan bisa didefinisikan sebagai kaidah filosofis dalam
bidang pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan filsafat
umum dan menitikberatkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan
yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan-
persoalan pendidikan secara praktis.
Untuk dapat memahami lebih baik pengertian filsafat pendidikan, perlu
dipahami beberapa pengertian konsep pendidikan itu sendiri. Pendidikan
adalah bimbingan secara sadar dari pendidik terhadap perkembangan jasmani
dan rohani anak didik menuju terbentuknya manusia yang memiliki
kepribadian utama yang ideal. Yang dimaksud dengan kepribadian utama atau
ideal adalah kepribadian yang memiliki kesadaran moral dan sikap mental
secara teguh dan sungguh-sungguh memegang dan melaksanakan ajaran atau
prinsip-prinsip nilai (filsafat) yang menjadi pandangan hidup secara individu,
masyarakat maupun filsafat bangsa dan Negara (Jalaluddin, 2007:21)
Poerwakawatja (1976:214) menjelaskan bahwa pendidikan dalam arti
yang luas adalah semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk
mengalihkan pengetahuan, pengalaman, kecakapan, dan keterampilannya
kepada generasi muda, sebagai usaha menyiapkan generasi muda agar dapat
memahami fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani. Upaya ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kedewasaan dan kemampuan anak untuk
memikul tanggung jawab moral dri segala perbuatannya.
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu pemahaman bahwa filsafat
pendidikan merumuskan kaidah-kaidah, norma-norma dan atau ukuran
tingkahlaku yang sebenarnya dilaksanakan oleh manusia dalam hidup dan
kehidupannya.
Keberadaan filsafat dalam ilmu pendidikan bukan bersifat insidental.
Maksudnya filsafat itu merupakan teori umum dari pendidikan, landasan dari
semua pemikiran mengenai pendidikan. Filsafat mengajukan pertanyaan-

5
pertanyaan dan menyelidiki aspek-aspek realita dan pengalaman yang banyak
didapatkan dalam bidang pendidikan.
Dalam hubungan antara filsafat (umum) dan filsafat pendidikan, menurut
Jalaluddin (2007:23) filsafat pendidikan memiliki beberapa batasan: (1) filsafat
pendidikan merupakan pelaksana pandangan filsafat dan kaidah filsafat dalam
bidang pengalaman kemanusiaan yang disebut pendidikan; (2) mempelajari
filsafat pendidikan karena adanya kepercayaan bahwa kajian itu sangat penting
dalam mengembangkan pandangan terhadap proses pendidikan dalam upaya
memperbaiki keadaan pendidikan; (3) filsafat pendidikan memiliki prinsip-
prinsip, kepercayaan, konsep, andaian yang terpadu satu sama lain
Secara makro, apa yang menjadi objek pemikiran filsafat adalah
permasalahan kehidupan manusia, alam semesta, dan alam sekitarnya, juga
merupakan objek pemikiran filsafat pendidikan. Namun secara mikro, ruang
lingkup filsafat pendidikan adalah: (1) merumuskan secara tegas sifat hakikat
pendidikan (the nature of education); (2) merumuskan sifat hakikat manusia
sebagai subjek dan objek pendidikan (the nature of man); (3) merumuskan
secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama, dan
kebudayaan; (4) merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, dan
teori pendidikan; (5) merumuskan hubungan antara filsafat Negara (ideologi),
filsafat pendidikan, dan politik pendidikan (sistem pendidikan); (6)
merumuskan sistem nilai-norma atau isi moral pendidikan yang merupakan
tujuan pendidikan (Tim Dosen IKIP Malang).

C. Aliran-aliran Filsafat Pendidikan


Berikut ini akan dijelaskan beberapa aliran- aliran filsafat pendidikan
yaitu:
1. Filsafat Pendidikan Idealisme
Idealisme adalah salah satu aliran filsafat yang tertua. Aliran filsafat ini
sudah ada sejak zaman Yunani Kuno yang berasal dari tulisan-tulisan Plato
(427-347). Smith (dalam Ansyar, 1989:23) mengatakan bahwa ciri utama

6
aliran ini adalah pendekatan rasio terhadap semua masalah, yaitu pemakaian
cara-cara berfikir deduktif.
Menurut Plato, pendidikan itu sangat perlu, baik bagi dirinya selaku
individu maupun sebagai warga negara. Negara wajib memberikan pendidikan
kepada setiap warga negaranya. Namun demikian setiap peserta didik harus
diberi kebebasan untuk mengikuti ilmu sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuan masing-masing sesuai dengan jenjang usianya. Sehingga
pendidikan itu sendiri akan memberikan dampak dan perubahan bagi
kehidupan pribadi, bangsa, dan Negara (Jalaluddin, 2007:78).
Lebih lanjut Plato mengatakan bahwa idealnya dalam sebuah negara,
pendidikan memperoleh tempat yang paling utama dan mendapatkan perhatian
yang paling luas. Malahan, karena pendidikan adalah tugas dan panggilan yang
sangat mulia, maka ia harus diselenggarakan oleh negara. Karena pendidikan
itu sebenarnya merupakan suatu tindakan pembebasan dari belenggu
ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Dengan pendidikan, orang-orang akan
mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak benar. Dengan pendidikan pula,
orang-orang akan mengenal apa yang baik dan apa yang jahat, apa yang patut
dan apa yang tidak (Raper dalam Jalaluddin, 2007:79).
Dengan demikian, jelaslah bahwa peranan pendidikan yang paling utama
bagi manusia adalah membebaskan dan membaharui. Pembebasan dan
pembaruan itu akan membentuk manusia utuh, yakni manusia yang berhasil
menggapai segala keutamaan dan moralitas jiwa yang mengantarkannya pada
ide yang tinggi yaitu kebajikan, kebaikan, dan keadilan. Cita-cita agung Plato
itu terus digenggamnya sampai akhir hayat.
Menurut Plato, tujuan pendidikan adalah untuk menemukan kemampuan-
kemampuan ilmiah setiap individu dan melatihnya sehingga individu
bersangkutan menjadi seorang warga negara yang baik, warga masyarakat yang
harmonis, yang dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara efisien sebagai
seorang anggota masyarakat. Plato juga menekankan perlunya pendidikan
direncanakan dan diprogramkan sebaik-baiknya agar mampu mencapai sasaran
yang diidamkan. Dengan kata lain, pendidikan yang baik haruslah

7
direncanakan dan diprogramkan dengan baik agar dapat berhasil dengan baik.
Karena itu, dalam melaksanakan program pendidikan itu, pemerintah harus
melakukan motivasi, semangat loyalitas, kebersamaan dan kesatuan cinta akan
kebaikan dan keadilan.
Disisi lain, Plato mengatakan bahwa pendidikan dapat direncanakan dan
diprogram menjadi 3 (tiga) tahap sesuai tingkat usia. Pertama, pendidikan
yang diberikan kepada taruna hingga sampai dua puluh tahun. Kedua, dari
usia dua puluh tahun sampai tiga puluh tahun. Ketiga, dari tiga puluh tahun
sampai usia empat puluh tahun. Namun Plato tidak menyinggung pendidikan
dasar (elementary education) bagi anak dibawah usia taruna dan pendidikan
bagi orang dewasa.
Sejalan dengan perkembangan kehidupan di Eropah, dalam abad
pertengahan filsafat yang membicarakan tentang hakikat manusia adalah
Antropologi Filsafat. Dalam hal ini terdapat tiga mazhab utama yang secara
mendasar membicarakan hakikat manusia, yaitu Idealisme, Materialisme, dan
Vitalisme. Isme-isme yang berkembang dewasa ini pada dasarnya bertumpu
pada ketiga isme tersebut (Sutardjo A. Wiramihardja, 2007:138).
Berbicara tentang filsafat idealisme dewasa ini, sering dihubungkan
dengan idealisme Jerman. Diantara tokoh terkenal dalam filsafat idealisme
Jerman adalah Fichte, F.W.J Scheling, Hegel dan lain-lain. Namun demikian
filsafat idealisme yang berkembang pada masa ini adalah kelanjutan
pengembangan dari filsafat idealisme yang sudah ada sejak zaman Yunani
kuno, dengan filosufnya yang terkenal adalah Plato (Sutardjo A. Wiramihardja,
2007:138).
Menurut filsafat Idealisme, roh adalah kenyataan sejati. Sehingga aliran
ini juga disebut spiritualisme. Manusia primer dipandang sebagai makhluk
rohani, disamping itu manusia juga disebut makhluk rasional artinya makhluk
yang berbudi atau makhluk berakal. Dengan demikian pada dasarnya manusia
memandang idealisme sebagai makhluk berbudi atau rohani yang membudaya.
Idealisme memandang seluruh kenyataan dengan menekankan pada yang
tidak beruang, suprasensual, tidak tergambarkan, normatif, dan bertjuan. Oleh

8
karena itu idealisme mempersoalkan roh, jiwa (psyche), dan idea pribadi
(persona).
Dalam memahami manusia, filsafat Idealisme dapat dikelompokkan
kedalam 4 kelompok, yaitu: Idealisme Rasional, Idealisme Etis, Idealisme
Estetis, dan Idealisme Religius.
Hakikat manusia menurut filsafat idealisme rasional adalah kesanggupan
untuk berfikir. Dalam hal ini Aristoteles (380-322 SM) menggolongkan jiwa
vegetatif, animal, dan human kedalam jiwa manusia. Jiwa manusia
menunjukkan ciri-ciri yang khas. Kesanggupan manusia untuk berfikir disebut
nous (budi).
Filosuf mazhab Idealisme abad pertengahan yang terkenal adalah Hegel.
Filsafat Hegel mencoba mencari yang mutlak diantara yang tidak mutlak. Yang
mutlak itu roh (jiwa), tetapi roh itu menjelma pada alam. Roh ini dalam intinya
adalah idea yang berarti “berfikir” (Poedjawijatna, 2005:116). Menurut Hegel
(1770-1831), arti, makna, atau nous bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh tiap-
tiap manusia, melainkan manusia menjadi alat nous yang meliputi seluruh
alam semesta. Perbuatan manusia bukan berdasarkan kecakapannya sebagai
individu, melainkan merupakan perbuatan nous yang mempergunakannya
sebagai alat (Sutardjo A. Wiramihardja, 2007:138).
Menurut Hegel (Poedjawijatna, 2005: 117) kemanusiaan merupakan
bagian dari idea yang mutlak, Tuhan sendiri. Idea yang berfikir itu adalah
gerak, bukan gerak yang maju terus, melainkan gerak yang menimbulkan gerak
lain. Gerak ini akan menimbulkan thesis, antithesis, dan sintesis. Proses ini
disebut oleh Hegel “dialektika”. Lebih lanjut Hegel mengatakan bahwa Filsafat
akhirnya merupakan synthesis dari seni dan agama, yang merupakan paduan
yang lebih tinggi. Di sinilah idea mengenal dirinya dengan sempurna. Isi
filsafat tidak berlainan dari isi agama, akan tetapi yang dalam agama masih
merupakan gambaran, dalam filsafat idea mencakup isinya sebgai idea.
Sehubungan dengan itu Negara merupakan penjelmaan idea yang tertinggi di
dunia. Oleh karena idea itu ilahi, maka negara tak lain daripada “Tuhan yang
ada di dunia”.

9
Hakikat manusia menurut filsafat idealisme etis, ialah kemauannya.
Manusia primer dipandang sebagai makhluk sosial. Kant (1724-1804) pernah
mengatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini dapat diperalat, kecuali
manusia sebagai makhluk berbudi yang memiliki tujuan terhadap dirinya
sendiri. Dengan perkatan lain, manusia bukan diperalat, melainkan
memperalat. Menurut Kant, hukum kesusilaan tidak datang dari luar diri
manusia, tetapi datang dari budinya sendiri.
Filsafat idealisme estetis memandang perasaan sebagai hakikat manusia.
Menurut Goethe (1749-1832), kenyataan merupakan karya kesenian, demikian
pula kehidupan manusia. Berdasarkan pembawaannya yang wajar, manusia
harus menjadi kepribadian yang selaras dengan seluruh kosmos.
Akhirnya, filsafat idealisme religious memandang kepercayaan sebagai
hakikat manusia. Menurut Plato (427-347), manusia dengan erosnya,
senantiasa menuju pada idea-idea yang bersifat rohani. Sebenarnya, kehidupan
di dunia adalah maya. Kehidupan yang sejati hanya ditemukan di dalam alam
idea, yaitu Tuhan merupakan idea tertinggi. Agustinus (354-430) memandang
Tuhan sebagai roh yang menciptakan idea-idea itu.
Dalam perkembangannya, pendukung idealisme mengasumsikan bahwa
kebenaran berada terpisah dari individu atau masyarakat tempat dia hidup.
Kebenaran itu harus didapatkan, oleh sebab itu dia dianggap bersifat mutlak.
Idealisme meletakkan tekanan lebih bersifat pada aspek intelektual, dan agak
mengabaikan aspek fisik. Dengan demikian dapat dipahami bahwa aliran ini
menginginkan pendidikan diarahkan kepada usaha pewarisan kekayaan
kultural yang mengandung kebenaran-kebenaran sepanjang abad. Diharapkan
agar pelajar bergerak mendekati hal-hal yang ideal dengan mencontoh guru-
guru mereka dalam mendiskusikan ide-ide (Johnson, 1968 dalam Ansyar,
1989:23)
Dewasa ini, idealisme tidak memegang peranan yang demikian penting,
seperti abad-abad sebelumnya. Kini, idealisme hidup dalam aliran Neo-
Kantianisme dan Neo-Hegelianisme. Neo Kantianisme merupakan gerakan di
Jerman yang bangkit sebagai reaksi terhadap dua kecenderungan yang

10
berkembang pada abad ke-19, yaitu materialisme metafisika yang ilmiah dan
materialisme ilmiah yang dogmatis.

2. Filsafat Pendidikan Empirisme


Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal.
Istilah empirisme di ambil dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba
atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin empirisme adalah lawan dari
rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran
yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan diperoleh atau
bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan
hidung.
Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan
pengalaman manusia. Ajaran-ajaran pokok empirisme yaitu:
1. Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang
dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
2. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan
akal atau rasio.
3. Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
4. Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak
langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika
dan matematika).
5. Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas
tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita.
Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh
dari pengalaman.
6. Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas
Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh
berikutnya, John Locke dan David Hume.

11
a. John Locke (1632-1704)
Lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di Oates
Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan kedokteran. Pemikiran John
termuat dalam tiga buku pentingnya yaitu essay concerning human
understanding, terbit tahun 1600; letters on tolerantion terbit tahun 1689-
1692; dan two treatises on government, terbit tahun 1690. Aliran ini muncul
sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan
bahwa kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah
pengalaman manusia yang diperoleh melalui panca indera. Dengan ungkapan
singkat Locke :
Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi
(otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang masih putih, baru
melalui pengalamanlah kertas itu terisi.
Dengan demikian dia menyamakan pengalaman batiniah (yang
bersumber dari akal budi) dengan pengalaman lahiriah (yang bersumber dari
empiris).
b. David Hume (1711-1776).
David Hume lahir di Edinburg Scotland tahun 1711 dan wafat tahun
1776 di kota yang sama. Hume seorang nyang menguasai hukum, sastra dan
juga filsafat. Karya tepentingnya ialah an encuiry concercing human
understanding, terbit tahun 1748 dan an encuiry into the principles of moral
yang terbit tahun 1751.
Pemikiran empirisnya terakumulasi dalam ungkapannya yang singkat
yaitu I never catch my self at any time with out a perception (saya selalu
memiliki persepsi pada setiap pengalaman saya). Dari ungkapan ini Hume
menyampaikan bahwa seluruh pemikiran dan pengalaman tersusun dari
rangkaian-rangkaian kesan (impression). Pemikiran ini lebih maju selangkah
dalam merumuskan bagaimana sesuatu pengetahuan terangkai dari
pengalaman, yaitu melalui suatu institusi dalam diri manusia (impression, atau
kesan yang disistematiskan) dan kemudian menjadi pengetahuan. Disamping
itu pemikiran Hume ini merupakan usaha analisias agar empirisme dapat di

12
rasionalkan teutama dalam pemunculan ilmu pengetahuan yang di dasarkan
pada pengamatan “(observasi) dan uji coba (eksperimentasi), kemudian
menimbulkan kesan-kesan, kemudian pengertian-pengertian dan akhirnya
pengetahuan, rangkaian pemikiran tersebut.

Beberapa bentuk atau jenis empirisme diantaranya:


1. Empirio-kritisisme
Disebut juga Machisme, sebuah aliran filsafat yang bersifat subyektif-
idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini
adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi,
keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai
gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah
elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran
ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume
tatapi secara sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral
filsafat. Aliran ini juga anti metafisik.
2. Empirisme Logis
Analisis logis modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan
problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-
pandangan berikut:
a. Ada batas-batas bagi Empirisme. Prinsip sistem logika formal dan prinsip
kesimpulan induktif tidak dapat dibuktikan dengan mengacu pada
pengalaman.
b. Semua proposisi yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada
proposisi-proposisi mengenai data inderawi yang kurang lebih
merupakan data indera yang ada seketika
c. Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat kenyataan yang terdalam pada
dasarnya tidak mengandung makna.
3. Empiris Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak
sampai pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat dilacak secara

13
demikian itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan melawan
kepastian atau masalah kekeliruan melawan kebenaran telah menimbulkan
banyak pertentangan dalam filsafat. Ada pihak yang belum dapat menerima
pernyataan bahwa penyelidikan empiris hanya dapat memberikan kepada
kita suatu pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan
bahwa pernyataan-pernyataan empiris, dapat diterima sebagai pasti jika
tidak ada kemungkinan untuk mengujinya lebih lanjut dan dengan begitu tak
ada dasar untuk keraguan. Dalam situasi semacam iti, kita tidak hanya
berkata: Aku merasa yakin (I feel certain), tetapi aku yakin. Kelompok
falibisme akan menjawab bahwa: tak ada pernyataan empiris yang pasti
karena terdapat sejumlah tak terbatas data inderawi untuk setiap benda, dan
bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai habis sama sekali.

3. Filsafat Pendidikan Naturalisme


Secara definitif naturalisme berasal dari kata “nature”, terkadang
pendefinisian “nature” hanya dalam makna dunia material saja, sesuatu selain
fisik secara otomatis menjadi “supranatural.” Tetapi dalam realita, alam terdiri
dari alam material dan alam spiritual, masing-masing dengan hukumnya
sendiri. Era Pencerahan, misalnya, memahami alam bukan sebagai keberadaan
benda-benda fisik tetapi sebagai asal dan fondasi kebenaran. Ia tidak
memperlawankan material dengan spiritual, istilah itu mencakup bukan hanya
alam fisik tetapi juga alam intelektual dan moral.
Salah satu ciri yang paling menakjubkan dari alam semesta adalah
keteraturan. Benak manusia sejak dulu menangkap keteraturan ini, terbit dan
tenggelamnya matahari, peredaran planet-planet dan susunan bintang-bintang
yang bergeser teratur dari malam ke malam sejak pertama kali manusia
menyadari keberadaannya di dalam alam semesta, hanya merupakan contoh-
contoh sederhana. Ilmu pengetahuan itu sendiri hanya menjadi mungkin karena
keteraturan tersebut yang kemudian dibahasakan lewat hukum-hukum
matematika. Tugas ilmu pengetahuan umumnya dapat dikatakan sebagai

14
menelaah, mengkaji, menghubungkan semua keteraturan yang teramati. Ilmu
pengetahuan bertujuan menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa.
Naturalisme merupakan teori yang menerima “nature” (alam) sebagai
keseluruhan realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat dengan
bermacam-macam arti, mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia,
sampai kepada sistem total dari fenomena ruang dan waktu. Natura adalah
dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains alam. Istilah naturalisme adalah
sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan dualistik
terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada (wujud) di atas atau di luar
alam.
Aliran filsafat naturalisme didukung oleh tiga aliran besar yaitu realisme,
empirisme dan rasionalisme. Pada dasarnya, semua penganut naturalisme
merupakan penganut realisme, tetapi tidak semua penganut realisme
merupakan penganut naturalisme. Imam Barnadib menyebutkan bahwa
realisme merupakan anak dari naturalisme. Oleh sebab itu, banyak ide-ide
pemikiran realisme sejalan dengan naturalisme. Salah satunya adalah nilai
estetis dan etis dapat diperoleh dari alam, karena di alam tersedia kedua hal
tersebut.
Beberapa tokoh dan pandangan aliran filsafat naturalisme yaitu:
1. Plato (427 – 347 SM)
Salah satu anasir dasar adalah perbedaan yang nyata antara gejala
(fenomena) dan bentuk ideal (eidos), dimana plato berpandangan bahwa,
disamping dunia fenomen yang kelihatan, terdapat suatu dunia lain, yang
tidak kelihatan yakni dunia eidos. Dunia yang tidak kelihatan itu tercapai
melalui pengertian (theoria). Apa arti eidos dan hubungannya dengan dunia
fenomena bahwa memang terdapat bentuk-bentuk yang ideal untuk segala
yang terdapat dibumi ini. Tetapi asalnya tidak lain daripada dari sumber
segala yang ada, yakni yang tidak berubah dan kekal, yang sungguh-
sungguh indah dan baik yakni budi Ilahi (nous), yang menciptakan eidos-
eidos itu dan menyampaikan kepada kita sebagai pikiran. Sehingga dunia
eidos merupakan contoh dan ideal bagi dunia fenomena.

15
2. Aristoteles (384 – 322 SM)
Aristoteles menyatakan bahwa mahluk-mahluk hidup didunia ini terdiri atas
dua prinsip:
 Prinsip formal, yakni bentuk atau hakekat adalah apa yang mewujudkan
mahluk hidup tertentu dan menentukan tujuannya.
 Prinsip material, yakni materi adalah apa yang merupakan dasar semua
mahluk.
Sesudah mengetahui sesuatu hal menurut kedua prinsip intern itu
pengetahuan tentang hal itu perlu dilengkapi dengan memandang dua prinsip
lain, yang berada diluar hal itu sendiri, akan tetapi menentukan adanya juga.
Prinsip ekstern yang pertama adalah sebab yang membuat, yakni sesuatu yang
menggerakan hal untuk mendapat bentuknya. Prinsip ekstern yang kedua
adalah sebab yang merupakan tujuan, yakni sesuatu hal yang menarik hal
kearah tertentu. Misalnya api adalah untuk membakar, jadi membakar
merupakan prinsip final dari api. Ternyata pandangan tentang prisnip ekstern
keuda ini diambil dari hidup manusia, dimana orang bertindak karena
dipengaruhi oleh tujuan tertentu, pandangan ini diterapkan pada semua
makhluk alam.
3. William R. Dennes (Filsuf Modern)
Beberapa pandangan- pandangannya menyatakan bahwa:
 Kejadian dianggap sebagai ketegori pokok, bahwa kejadian merupakan
hakekat terdalam dari kenyataan, artinya apapun yang bersifat nyata pasti
termasuk dalam kategori alam
 Yang nyata ada pasti bereksistensi, sesuatu yang dianggap terdapat diluar
ruang dan waktu tidak mungkin merupakan kenyataan dan apapun yang
dianggap tidak mungkin ditangani dengan menggunakan metode-metode
yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam tidak mungkin merupakan
kenyataan
 Analisa terhadap kejadian-kejadian, bahwa faktor-faktor penyusun
segenap kejadian ialah proses, kualitas, dan relasi

16
 Masalah hakekat terdalam merupakan masalah ilmu, bahwa segenap
kejadian baik kerohanian, kepribadian, dan sebagainya dapat dilukiskan
berdasarkan kategorikategori proses, kualitas dan relasi
 Pengetahuan ialah memahami kejadian-kejadian yang saling
berhubungan, pemahaman suatu kejadian, atau bahkan kenyataan,
manakala telah mengetahui kualitasnya, seginya, susunanya, satuan
penyusunnya, sebabnya, serta akibat-akibatnya.

4. Filsafat Pendidikan Pragmatisme


Aliran ini pertama kali tumbuh di Amerika pada tahun 1878. Ketika itu
Charles Sanders Pierce (1839–1914) menerbitkan sebuah makalah yang
berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Namun pragmatisme sendiri lahir
ketika William James membahas makalahnya yang berjudul ”Philosophycal
Conceptions and Practical Result” (1898) dan mendaulat Pierce sebagai Bapak
Pragmatisme. Selanjutnya aliran ini makin berkembang berkat kerja keras dari
William James dengan berbagai karya tulisnya. Karya tulisnya itu antara lain
adalah, “A Pluralistic Essay”, “Essay in Radical Empiricism”, “The Will to
Believe”, dan “The Varieties of Religious Experience”. John Dewey juga ikut
mengambil bagian dalam mempopulerkan aliran ini. Karya–karyanya antara
lain adalah “Democracy and Education”, “Reconstruction in Philosophy”,
“How We Think”, dan “Experience in Education”. Namun ia dan para
pengikutnya lebih suka menyebut filsafatnya sebagai Instrumentalisme.
Pengantar Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang
dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi
filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 - 1910) di Amerika
Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori
semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmatisme
ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai
doktrin pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun
1978. Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh
dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di

17
segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh
sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan
adalah John Dewey (1859 - 1952).
Sekilas tentang pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat
Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan
sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dangan
Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme
merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh
mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika. Bagi kebanyakan rakyat
Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakekat
serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat
dirasakan amat teoritis. Rakyat Amerika umumya menginginkan hasil yang
kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh
karena itu, pertanyan what is harus dieliminir dengan what for dalam filsafat
praktis.
Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran
oleh Pierce digagas sebagai teori arti. Dalam kaitan dengan ini, dinyatakan:
According to the pragmatic theory of truth, a proposition is true in so far as it
works or satisfies, working or satisfying being described variously by different
exponent on the view (Menurut teori pragmatis tentang kebenaran, suatu
proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku [works] atau
memuaskan [satisfies], berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan
berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut). Sementara itu, James
menominalisasikan pragmatisme sebagai teori cash value. James kemudian
menyatakan: "True ideas are those that we can assimilate, validate,
corrobrate, and verify. False ideas are those that we can not" (Ide-ide yang
benar menurut James adalah ide-ide yang dapat kita serasikan, kita umumkan
berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Sebaliknya ide yang salah adalah ide
yang tidak demikian).
Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa
suatu gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan

18
masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan
sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan tersebut hilang. Dalam
kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi
positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini
muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang dasar
pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah tertentu.
Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatis terhadap
perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang
berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.
Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragam
berasal dari bahasa Yunani yang berarti tindakan atau action. Sedangkan
pengertian isme sama dengan pengertian isme–isme yang lainnya yang
merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran berpikir. Dengan demikian filsafat
pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan. Pragmatisme
menganggap bahwa suatu teori dapat dikatakan benar apabila teori itu bekerja.
Ini berararti pragmatisme dapat digolongkan ke dalam pembahasan tentang
makna kebenaran atau theory of thurth.
Hal ini dapat kita lihat dalam buku William James yang berjudul The
Meaning of Thurth. Menurut James kebenaran adalah sesuatu yang terjadi pada
ide. Menurutnya kebenaran adalah sesuatu yang tidak statis dan tidak mutlak.
Dengan demikian kebenaran adalah sesuatu yang bersifat relatif. Hal ini dapat
dijelaskan melalui sebuah contoh. Misalnya ketika kita menemukan sebuah
teori maka kebenaran teori masih bersifat relatif sebelum kita membuktikan
sendiri kebenaran dari teori itu.
Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode
berpikir yang mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu
harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu
postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan dan ditemukan
berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan perdebatan.
Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta, artinya ada sangkut
pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan

19
yang telah diper umum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta, yang lebih
menarik lagi adalah pragmatisme menjadikan konsekuensi–konsekuensi praktis
sebagai standar untuk menentukan nilai dan kebenaran.
Meurut aliran ini hakikat dari realiatas adalah segala sesuatu yang dialami oleh
manusia. Ia berpendapat bahwa inti dari realiatas adalah pengalaman yang
dialami manusia. Ini yang kemudian menjadi penyebab bahwa pragmatisme
lebih memperhatikan hal yang bersifat keaktualan sehingga berimplikasi pada
penentuan nilai dan kebenaran.

D. Relevansi Aliran-Aliran Filsafat dalam Peningkatan Mutu Pendidikan


1. Filsafat Naturalisme terhadap Pendidikan
Aliran filsafat naturalisme memandang bahwa manusia diciptakan agar
dapat belajar dan berpikir untuk kembali kepada penciptaNya, dalam hal ini
implikasi di dunia nyata bahwa proses pendidikan dilakukan dengan berafiliasi
kepada prinsip ke-Tuhanan.
Dimensi utama dan pertama dari pemikiran aliran filsafat naturalisme di
bidang pendidikan adalah pentingnya pendidikan itu sesuai dengan
perkembangan alam. Manusia diciptakan dan ditempatkan di atas semua
makhluk, karena kemampuannya dalam berfikir. Peserta didik harus
dipersiapkan kepada dan untuk Tuhan. Untuk itu pendidikan yang signifikan
dengan pandangannya adalah pendidikan ketuhanan, budi pekerti dan intelek.
Pendidikan tidak hanya sebatas untuk menjadikan seseorang mau belajar,
melainkan juga untuk menjadikan seseorang lebih arif dan bijaksana.
Terdapat lima tujuan pendidikan paham naturalisme yang sangat terkenal
yang diperkenalkan Herbert Spencer melalui esai-esainya yang terkenal
berjudul “Ilmu Pengetahuan Apa yang Paling Berharga?”. Kelima tujuan itu
adalah (1) Pemeliharaan diri; (2) Mengamankan kebutuhan hidup; (3)
Meningkatkan anak didik; (4) Memelihara hubungan sosial dan politik; (5)
Menikmati waktu luang.
Dalam perspektif Al-Qur’an, alam diciptakan untuk manusia dan salah
satu misi diciptakannya manusia adalah untuk mengelolah dan memakmurkan

20
alam dengan sebaik-baiknya. Tugas ini merupakan bagian dari bentuk
pengabdian manusia sebagai khalifah kepada penciptanya. Agar dapat
mengolah dan memakmurkan alam, manusia perlu mengalami proses
pendidikan, di mana alam telah menyediakan beragam fasilitas untuk
kepentingan pendidikan ini.
Apa saja yang disediakan alam dapat difungsikan sebagai materi ajar atau
sumber belajar sekaligus sebagai media pembelajaran. Dalam surah Ali Imran
(3) ayat 190 – 191 Allah berfirman:

Artinya :

Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan perbedaan malam dan
siang merupakan tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) Orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau sedang berbaring dan
memikirkan penciptaan langit dan bumi…” (Q.S. Ali Imran (3) : 190-191)

Langit, bumi, siang dan malam disebut sebagai tanda-tanda atau ayat-
ayatNya. Begitu juga apa saja yang ada di alam merupakan tanda-tanda akan
kekuasaan dan adanya Allah. Untuk mengenal Allah sebagai pemilik alam,
jalan yang paling dekat adalah dengan mempelajari tanda-tanda Allah di alam
tersebut.
Implikasi di bidang pendidikan terhadap aliran filsafat naturalisme
memandang bahwa sekolah merupakan hal utama yang akan mengembangkan
proses belajar tiap peserta didik untuk dapat menemukan dan mengembangkan
kepribadiannya dengan memperhatikan karakteristik dan perkembangan alam
yang ada.

2. Filsafat Pragmatisme terhadap Pendidikan


Filsuf paragmatisme berpendapat bahwa pendidikan harus mengajarkan
seseorang tentang bagaimana berfikir dan menyesuaikan diri terhadap
perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Sekolah harus bertujuan untuk
mengembangkan pengalaman-pengalaman yang akan memungkinkan
seseorang terarah kepada kehidupan yang baik.

21
Tujuan-tujuan pendidikan tersebut meliputi:
 Kesehatan yang baik
 Keterampilan-keterampilan dan kejujuran dalam bekerja
 Minat dan hobi untuk kehidupan yang menyenangkan
 Persiapan untuk menjadi orang tua
 Kemampuan untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah
sosial
Tambahan tujuan khusus pendidikan di atas yaitu untuk pemahaman
tentang pentingnya demokrasi. Menurut pragmatisme pendidikan hendaknya
bertujuan menyediakan pengalaman untuk menemukan/memecahkan hal-hal
baru dalam kehidupan peribadi dan kehidupan sosial.
Menurut para filsuf paragmatisme, tradisi demokrasi adalah tradisi
memperbaiki diri sendiri (a self-correcting tradition). Pendidikan berfokus
pada kehidupan yang baik pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
Kurikulum pendidikan pragmatisme “berisi pengalaman-pengalaman yang
telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa.Adapun kurikulum
tersebut akan berubah”
Ajaran pragmatisme lebih mengutamakan penggunaan metode
pemecahan masalah (problem solving method) serta metode penyelidikan dan
penemuan (inquiri and discovery method). Dalam praktiknya (mengajar),
metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan,
bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif,
sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh
agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa
yang dicita-citakan dapat tercapai.
Dalam pembelajaran, peranan guru bukan “menuangkan” pengetahuanya
kepada siswa. Setiap apa yang dipelajari oleh siswa haruslah sesuai dengan
kebutuhan, minat dan masalah pribadinya. Pragmatisme menghendaki agar
siswa dalam menghadapi suatu pemasalahan, hendaknya dapat merekonstruksi
lingkungan untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya.

22
Untuk membantu siswa guru harus berperan:
a. Menyediakan berbagai pengalaman yang akan memuculkan motivasi. Field
trips, film-film, catatan-catatan, dan tamu ahli merupakan contoh-contoh
aktivitas yang dirancang untuk memunculkan minat siswa.
b. Membimbing siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifik
c. Membimbing merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam
kelas guna memecahkan suatu masalah
d. Membantu para siswa dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan
masalah.
e. Bersama-sama kelas mengevaluasi apa yang telah dipelajari, bagaimana
mereka mempelajarinya, dan informasi baru yang ditemukan oleh setiap
siswa.
Edward J. Power (1982) menyimpulkan pandangan pragmatisme bahwa
“Siswa merupakan organisme rumit yang mempunyai kemampuan luar biasa
untuk tumbuh, sedangkan guru berperan untuk memimpin dan membimbing
pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan
siswa”. Callahan dan Clark menyimpulkan bahwa orientasi pendidikan
pragmatisme adalah progresivisme. Artinya, pendidikan pragmatisme menolak
segala bentuk formalisme yang berlebihan dan membosankan dari pendidikan
sekolah yang tradisional. Anti terhadap otoritarianisme dan absolutisme dalam
berbagai bidang kehidupan.

E. Kesimpulan
Filsafat Pendidikan dari dunia Barat/Eropa sudah dimulai ditransfer ke
Indonesia semenjak sebelum abad 19, (Redja Mudyahardjo: 2004) Adapun
Filsafat Barat yang diadopsi itu ialah:
1. Filsafat Naturalisme (kenyataan yang sebenarnya adalah alam semesta fisik
ini).
2. Filsafat Idealisme (kenyataan itu tersusun atas substansi sebagaimana
gagasan-gagasan ide atau spirit.)

23
3. Filsafat Realisme (kenyataan itu berbeda dengan jiwa. Kenyataan itu tidak
sepenuhnya bergantung kepada jiwa yang mengetahui). Realisme termasuk
bagian dari Naturalisme.
4. Filsafat Pragmatisme (kegunaan beserta kemampuan perwujudan nyata
adalah hal-hal yang mempunyai kedudukan utama di sekitar pengetahuan
mengenai sesuatu itu).
Empat dasar filsafat tersebut, selanjutnya berkembang menjadi empat
aliran Filsafat Pendidikan, seperti yang dijelaskan (Theodore Brameld,
Philosophies of Education, in Cultural Persfektive; 1958, hal. 73):
a. Progresivisme; (menghendaki pendidikan yang pada hakekatnya progresif.
Tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang
terus menerus)
b. Esensialisme; (menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang
tinggi yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan)
c. Perenialisme; (menghendaki agar pendidikan kembali kepada jiwa yang
menguasai abad pertengahan (tata kehidupan yang rasional)
d. Rekonstruksionisme; (menghendaki agar anak didik dapat dibangkitkan
kemampuannya untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan
perubahan dan perkembangan masyarakat.)

24
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim.

Bobbi De Porter, Mike Hernacki. 2000. Quantum Learning, Membiasakan


Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Bandung : Kaifa.

Syaripudin, Tatang. 2006. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Percikan


Ilmu.Diposkan oleh ASWEL di Minggu, Juni 01, 2008 Label: Ilmu
Pendidikan .

Pidarta, Made. 2000. Landasan Kependidikan. Jakarta : Rineka Cipta.

Al-Syaibani, O.M.A. 1979. Filsafat Pendidikan Islam. (Alih bahasa) Hasan


Langulung. Jakarta: Bulan Bintang

Ansyar, Muhammad,. 1989. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta:


Depdikbud

Barnadib, Imam,. 1990. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset.

George R. Knight, 1982, Issues and Alternatives in Educational Philosophy,


Michigan : Andrew University Press.

Hardiman, F. Budi., 2004. Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama


Hadiwijono, Harun. 1985. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius: Yogyakarta

Jalaluddin Rakhmat, 2000, Meraih Cinta Ilahi : Pencerahan Sufistik, Bandung :


PT. Remaja Rosda karya.

Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2007. Filsafat Pendidikan. Jogyakarta: Ar-Ruzz


Media.

Poedjawijatna, I.R., 2005. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka


Cipta.

Wiramihardja, Sutardjo A., 2007. Pengantar Filsafat. Bandung: Refika Aditama

25

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai