Anda di halaman 1dari 15

PENDEKATAN FILSAFAT DALAM PENDIDIKAN

Oleh

Oleh
Kelompok 1

Anggota Kelompok 1:
 NI GUSTI AYU SRINISARI ( 202309001 )
 HILDA YUYUNTI THERESIA SURIANTI (202309002 )
 LIRA MELIANI PUTRI SARAGIH ( 202309003 )
 LUH PUTU ELIK SRI KARISMA ( 202309004 )
 MONARISA BR SIAHAAN ( 202309005 )

Tahun Ajaran 2023/2024

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Realitas sebuah perubahan harus disikapi secara flexible, karena itu
merupakan suatu hukum alam dan juga merupakan “realitas keagungan
Tuhan”. Perubahan yang terus bergulir akan mengubah perspektif yang
memandang dunia ini penuh keteraturan menjadi dunia yang penuh tantangan untuk
mencapai ketenangan.
Perubahan tersebut akan membawa rancangan mekanisme atau aturan
tersendiri yang akan menjadi suatu sistem nilai-nilai (systems of values) yang
“luhur” dan juga menjadi pegangan setiap individu, keluarga, atau kelompok
komunitas atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara
tertentu. Hal ini pernah disinyalir oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdence,
futurolog suami istri terkemuka dunia, pada era dekade tahun 90- an yang
meramalkan bahwa abad 21 merupakan era baru (Imam Tholkhah dan Ahmad
Barizi, 2004: 1). Ternyata ramalan dua futurolog dunia tersebut menjadi “kebenaran
tak terbantahkan” bahwa perubahan realitas/era telah menjadi era dengan nilai baru.
Suatu era di mana yang menjadi bagian global dalam kehidupan manusia adalah
fenomena ekonomi global dan informasi. Bahkan pola relasi menggantikan hirarki
sebagai modal utama untuk menyelesaikan semua problema kehidupan.
Dunia pendidikan juga tidak akan bisa lepas dari unsur perubahan.

Maka sangat wajar jika dari perspektif filosofis, pembelajaran (learning) oleh Peter
M. Senge (1994: 23) diartikan dengan study and practice constanly. Karena hal
tersebut tidak lepas dari hukum alam yang akan merongrong pendidikan untuk
menapak tangga yang lebih tinggi dan juga menuntut untuk menempatkan
eksistensinya sesuai dengan tuntutan realitas. Tetapi walaupun dalam realitas
tersebut terus mengalir perubahan-perubahan yang menuntut hal lain pada dunia
pendidikan dan juga pada manusia, tetapi curiosity (sifat ingin tahu) harus tetap
menjadi spirit dalam hidup manusia. Artinya kedinamisan realitas
harus diimbangi dengan gerakan konstruktif-solutif. Meminjam statemen dari

Russel (dalam Abdurrahman Mas‟ud, 2002: 9) bahwa “it is better to be clearly


wrong than vaguely right”, maka sikap seperti itu seharusnya yang dibangun dalam
tatanan kehidupan dalam lingkaran pendidikan dan manusia sendiri untuk
memunculkan suatu sikap optimistik-selektif dan juga untuk menumbuhkan spirit
dalam mencari problem soulving untuk menjawab tuntutan realitas terhadap
pendidikan (way of life long education).
Oleh karena itu, harus adanya pendekatan filsafat terhadap pendidikan
karena Filsafat pendidikan berusaha mencerahkan situasi pendidikan sehingga
hubungan antara unsur-unsur dasar dalam pendidikan menjadi jelas dan orang yang
mempelajarinya pun memperoleh pegangan yang berguna untuk praktik
pendidikan. Unsur-unsur dasar ini adalah anak didik, pendidik, tujuan pendidikan,
metode pendidikan, dan lain-lain. Lapangan filsafat pendidikan adalah lapangan
pergaulan, khususnya pergaulan antara orang dewasa dengan anak dalam masa
pertumbuhannya.

2. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu :

1. Apa yang dimaksud dengan filsafat ?

2. Apa yang dimaksud dengan filsafat pendidikan ?

3. Apa yang dimaksud dengan pendekatan filsafat dalam pendidikan ?

4. Bagaimana cara pendekatan filsafat terhadap dunia pendidikan ?

5. Mengapa adanya pemikiran untuk pendekatan filsafat dalam pendidikan ?

6. Mengapa harus belajar filsafat dalam pendidikan ?

7. Bagaimana hubungan filsafat terhadap pendidikan ?


3 Tujuan

Adapun tujuan yang akan di ingin dicapai, yaitu:

1. mengetahui tentang pengertian filsafat.

2. Untuk mengetahui tentang pengertian dari filsafat pendidikan.

3. Untuk memahami tentang pendekatan filsafat terhadap pendidikan.

4. Untuk mengetahui cara pendekatan filsafat dalam pendidikan.

5. Untuk mengetahui pemikiran awal pendekatan filsafat dalam pendidikan.

6. Untuk mengetahui pentingnya belajar filsafat dalam pendidikan.

7. Untuk mengatahui hubungan filsafat terhadap pendidikan.

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Filsafat

Kata filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia” yang berarti sebagai
cinta kearifan. Akar katanya yaitu philos ( Philia : cinta, senang, suka,) dan
sophia (pengetahuan, hikmah, dan bijaksana). Filsafat merupakan sebuah
disiplin berpikir yang terkait dengan pengetahuan ataupun kebijaksanaan.
Menurut Bertrand Russell juga, “Filsafat adalah antara teologi dan ilmu
pengetahuan terletak suatu daerah tak bertuan”. Dan juga menurut Hasan
Shadini dalam Jalaludin (1997:9), “Filsafat adalah cinta kepada ilmu
pengetahuan atau kebenaran, hikmah dan kebijaksanaan. Sedangkan menurut
Imam Barnadib dalam Jalaludin (1997:9),”Filsafat sebagai pandangan yang
menyeluruh dan sistematis. Jadi filsafat diartikan sebagai cara berfikir atau
pandangan yang sistematis, menyeluruh, dan mendasar tentang suatu
kebenaran.
2. Pengertian Filsafat Pendidikan
Filsafat dan pendidikan merupakan dua istilah yang berdiri pada makna dan
hakikat masing-masing, namun ketika keduanya digabungkan ke dalam satu
tema khusus, maka ia pun memiliki makna tersendiri yang menunjuk ke dalam
suatu kesatuan pengertian yang tidak terpisahkan. Filsafat dan pendidikan juga
memiliki hubungan hakiki dan timbal balik, maka berdirilah filsafat pendidikan
yang berusaha menjawab dan memecahkan persoalanpersoalan pendidikan
yang bersifat filosofis. Dengan kata lain, kemunculan filsafat pendidikan ini
disebabkan banyaknya perubahan dan permasalahan yang timbul dilapangan
pendidikan yang tidak mampu dijawab oleh filsafat. Menurut John Dewey,
seorang filsof Amerika, filsafat merupakan teori umum dan landasan
pertanyaan dan menyelidiki faktor-faktor realita dan pengalaman yang terdapat
dalam pengalaman pendidikan.

Filsafat pendidikan merupakan pengetahuan yang menyelidiki substansi


pelaksanaan pendidikan yang berkaitan dengan tujuan, latar belakang, cara,
hasil, dan hakikat ilmu pendidikan yang berhubungan dengan analisis kritis
terhadap struktur dan kegunaannya. Filsafat pendidikan juga merupakan
jiwa,roh, dan keperibadian sistem kependidikan nasional, karenanya sistem
pendidikan nasional wajarlah dijiwai, didasari dan mencerminkan identitas
pancasila, citra dan karsa bangsa kita, atau tujuan nasional.
Filsafat pendidikan merupakan ilmu filsafat yang mempelajari hakikat
pelaksanaan dan pendidikan. Filsafat pendidikan dapat diartikan juga upaya
mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik,
potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat
berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang
digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Filsafat
pendidikan adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan
praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh
filsafat hidup bangsa “Pancasila” yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan
negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara
Indonesia.
Filsafat pendidikan menurut beberapa ahli, yaitu :

1. Menurut Al-Syaibany (Filsafat Pendidikan,2004:35), filsafat pendidikan adalah


aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk
mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Arti Filsafat
Pendidikan dapat nenjelaskan nilainilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan
untuk mencapainya. Filsafat pendidikan juga bias didefinisikan sebagai kaidah
filosofis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan asfek-asfek pelaksanaan
falsafah umum dan menitikberatkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip dan
kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan
persoalan-persoalan pendidikan secara praktis.

2. Menurut John Dewey (Filsafat Pendidikan,2004:35), filsafat pendidikan


merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang pundamental, baik yang
menyangkut daya piker (intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju
tabiat manusia.

3. Menurut Imam Brnadib (Filsafat Pendidikan,2004:35), filsafat pendidikan


merupakan ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan dalam bidang pendidikan, baginya pendidikan merupakan aplikasi
suatu analisis pilosofis terhadap bidang pendidikan.

4. Menurut Prof. Dr. Hasan Langgulung (1988), Filsafat pendidikan adalah teori
atau ideologi pendidikan yang muncul dari sifat filsafat seorang pendidik dari
penggalaman-pengalamannya dalam pendidikan dan kehidupan dari kajiannya
tentang berbagai ilmu yang berhubungan dengan pendidikan dan berdasar itu
pendidik dapat mengtahui sekolah berkembang.

5. Menurut Zanti Arbi (1998), Filsafat pendidikan didefinisikan sebagai kaidah


filosofis dalam bidang pendidikan yang aspek-aspek pelaksanaan falsafah umum
dan menitik beratkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan yang
menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan-persoalan
pendidikan secara praktis.
3 Pendekatan Filsafat dalam Pendidikan
Dalam penyelenggaraan pendidikan diperlukan adanya pendirian sebagai
kebijakan idiologi yang mempunyai visi tertentu terhadap pendidikan. Kaitan
dengan pendidikan secara bersamaan muncul permasalahan-permasalahan
pendidikan yang perlu dicarikan pemecahannya. Permasalahan dalam
pendidikan sangatlah komplek sehingga tidak cukup didekati dengan perspektif
ilmu pengetahuan semata namun perlu di cari pemecahannya secara filosofis.
Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan filsafat dalam pendidikan.
Menurut Sumardi (2003) filsafat pendidikan tersebut di atas telah
membuahkan dua model besar pendidikan yaitu Pendidikan tradisional (yang
lebih banyak bersumber dari filsafat peren-nialisme, idealisme dan realisme)
dan pendidikan progresif (yang bersumber dari filsafat experimentalisme dan
existensialisme). Pendidikan tradisional merupakan proses transmisi
pengetahuan, fakta/kenyataan yang ditemukan masa lalu. Anak tidak dilatih
untuk menggunakan metode-metode subjektif menganalisis dunia, tetapi otak
mereka diisi dengan pengetahuan untuk dikembangkan lebih lanjut (S.
Gonzales,(1982), Pendidikan Progresif).
Proses pendidikan melibatkan berbagai pihak, sekurang-kurangnya
pendidik dan peserta didik. Partisipasi dari berbagai pihak menjadi modal untuk
mencapai keberhasilan. Progresivisme dan esensialisme merupakan aliran
filsafat pendidikan yang dapat diterapkan sebagai dasar epistemologi untuk
mengembangkan pendidikan yang bersifat partisipasif dengan alasan:
1. Bahwa keduanya menghendaki agar tidak ada pendidikan bercorak otoriter,
sejak berkembangnya aliran ini sampai sekarang;
2. Aliran ini menitikberatkan perhatiannya pada kemajuan Ilmu pengetahuan
dan kebudayaan; 3)
3. Pengalaman merupakan dinamika hidup;

4. Progresivisme tidak hanya mengakui akan adanya ide-ide, teori-teori, atau


cita-cita, tetapi sesuatu yang ada itu harus bermakna bagi suatu kemajuan
atau tujuan yang baik;
5. Progresivisme dan esensialisme mendorong manusia untuk memfungsikan
jiwa untuk membina hidup yang dinamis dan tegar dalam menghadapi
berbagai persoalan yang silih berganti.

4 Cara Pendekatan Filsafat dalam Pendidikan


1. Pendekatan sinopti

Sejarah pendidikan sebagai ilmu pendidikan historis meneliti


obyeknya dan berusaha memberikan deskripsi peristiwa sejarah pendidikan
secara individual. Di lain pihak filsafat mendekati masalah pendidikan
secara sinoptik atau komprehensif. Sinoptik mempunyai pengertian
memadukan pandangan, yaitu kata sin yang artinya bersama atau
memadukan, dan kata optik artinya penglihatan, pandangan, dan thesa
berarti pendirian. Jadi pengertian sinoptik adalah memadukan pandangan
secara keseluruhan, sehingga membentuk suatu sistem pemikiran tertentu
secara utuh.

2. Pendekatan Normatif

Pendekatan filsafat terhadap pendidikan tidak bersifat deskriptif


seperti ilnu, melainkan bersifat normatif. Pendekatan normatif itu ialah
pendekatan yang memikirkan norma yang hendak dicapai oleh suatu
pendidikan, Norma yang dimaksud disini adalah tentang tujuan pendidikan.
Dengan demikian filsafat pendidikan menunjukan jalan yang terbaik bagi
pemecahan masalah pendidikan, karena filsafat pendidikan mempelajari
apa yang seharusnya terjadi.
3. Pendekatan Kritis Radikal

Perbedaan pendekatan ilmiah dan filsafah bukan hanya pada obyek


kajiannya, tetapi juga pada asumsi yang digunakan. Pendektan ilmiah selalu
didasarkan pada satu atau beberapa asumsi dasar (basic assumption),
sedangkat filsafat mendekati masalahnya dengan jalan menguji asumsi
dasarnya. Pengujian asumsi dasar inilah yang disebut kritis radikal, dimana
alat dan kondisi sesuatu yang diukur harus dengan sesuatu yang sama
dibutuhkan oleh teori dan praktek pendidikan.
5 Pemikiran awal tentang filsafat dalam pendidikan
Pada dasarnya awal dari pemikiran filsafat adalah pengetahuan, hal ini
mengenai pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai
dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Ilmu
merupakan bagian dari pengetahuan yang dipelajari untuk bisa mengetahui
segala sesuatu di dalam kehidupan. Sering kali seseorang mempunyai keinginan
untuk mengetahui sesuatu. Sesuatu yang ingin diketahui itu ada dalam
kehidupan sehari-hari. Ada kalanya, rasa ingin tahu itu hanya sekedar
keingintahuan yang sebentar. Di sisi lain, terkadang ada juga seseorang yang
ingin mengetahui suatu hal karena memang benar-benar ingin tahu. Sehingga
dia akan mencari apa yang ingin diketahuinya itu sampai dia mendapatkannya.
Setelah hal yang dicari itu didapatkan, itulah yang dinamakan ilmu
pengetahuan. Ada lagi saat-saat ketika seseorang ingin mendapatkan suatu
pengetahuan, orang itu akan menemui keraguan dalam mengambil keputusan.
Rasa ragu-ragu inilah yang nantinya akan menghasilkan suatu kepastian. Pada
saat rasa ingin tahu sesorang muncul dan menemui keraguan dalam membuat
keputusan itulah yang memulai adanya filsafat. Pemikiran filsafat didorong
untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu.

Proses perkembangan ke arah pemikiran filasafat dapat dibedakan, seperti:

a. Karakteristik Filsafat yang terdiri dari karakter menyeluruh (tidak puas


mengenali ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri); karakter
mendasar (tidak percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar); dan karakter
spekulatif (mencurigai atau memilih buah pikir yang dapat kita andalkan)
b. Filsafat sebagai peneratas pengetahuan, yang merupakan langkah awal
untuk mengetahui segala pengetahuan.Semua ilmu baik ilmu alam maupun
ilmu soaial, bertolak dari pengembangannya bermula sebagai filsafat.
Sekiranya kita sadar bahwa filsafat adalah marinir bukan pionir karena
bukan pengetahuan yang bersifat merinci.
c. Bidang telaah filsafat, yang menelaah segala masalah yang mungkin dapat
dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir dia
mempermasalahkan hal-hal yang pokok, terjawab masalah yang satu diapun
mulai merambah.
d. Cabang Filsafat, yang terdiri dari: Epistimologi (Filsafat Pengetahuan),
Etika (Filsafat Moral), Etestika (Filsafat Seni), Metafisika, Politik (Filsafat
Pemerintahan), Filsafat Agama, Filsafat Ilmu, Filsafat Pendidikan, Filsafat
Hukum, Filsafat Sejarah dan Filsafat Matematika.
e. Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistimologi yang secara spesifik
mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Filsafat Ilmu dibagi menjadi
filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial, namun tidak terdapat
perbedaan yang secara prinsip antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial
dimana keduanya memiliki ciri-ciri keilmuan yang sama.

6 Pentingnya Belajar Filsafat Dan Hubungannya Dalam Dunia Pendidikan


Pada dasarnya pendidikan adalah proses memanusiakan manusia secara
manusiawi agar peserta didik memiliki nilai kemanusiaan. Nilai-nilai
kemanusiaan merupakan intisari dari tujuan pendidikan, baik dalam hal
pembentukan kepribadian, keterampilan maupun sikap dan kemampuan untuk
patuh kepada perintah Tuhan, taat beribadah, dan menjalankan tugas sebagai
khalifah di muka bumi dengan sebaikbaiknya. Dengan kata lain, nilai-nilai
kemanusiaan yang diharapkan adalah kesediaan seseorang untuk berserah diri
kepada Tuhan sehingga memperoleh keselamatan dan kedamaian.
Banyak faktor yang menentukan keberhasilan pendidikan, diantaranya
adalah faktor landasan filsafat, terutama dalam hal menentukan arah dan tujuan
pendidikan yang diharmoniskan dengan nilai-nilai filsafat baik secara
ontologis, epistemologis, maupun aksiologis.
Ontologis berkenaan dengan pertanyaan mengapa harus ada pendidikan,
bagaimana merancang pendidikan, serta apa yang ingin dicapai setelah
pendidikan dilakukan. Adapun ranah epistemologi berkenaan dengan proses
dan pengetahuan apa yang akan digunakan dalam proses serta ilmu
pengetahuan apa yang akan diperoleh peserta didik setelah proses ditempuh.
Sedangkan aksiologi berkenaan dengan nilai-nilai kegunaan atau manfaat dari
pendidikan tersebut.
Berkenaan dengan landasan-landasan epistemologi, terdapat berbagai aliran
yang dapat digunakan dengan berbagai karakter dan kekhasannya. Dalam
penelitian, telaah difokuskan kepada dua aliran yang sudah ada sejak lama,
yakni aliran progresivisme dan esensialisme.
1. Aliran Progresivisme

Aliran filsafat progresivisme ini senantiasa berusaha mengembangkan


asas kemajuan dalam semua realita, terutama dalam kehidupan untuk tetap
survive terhadap semua tantangan hidup manusia. Kemudian, bagi yang
menganut aliran ini dalam bertindak harus praktis, dalam melihat segala
sesuatu harus mampu menemukan manfaat dari segi keunggulannya.
Menurut Muis(2004), Progresivisme disebut instrumentalisme,
eksperimental, atau environmentalisme. Disebut instrumentalisme, karena
aliran ini beranggapan bahwa potensi atau kemampuan intelegensi manusia
sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, dan untuk mengembangkan
kepribadian. Dinamakan eksperimental atau empirik karena aliran tersebut
menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran
suatu teori. Progresivisme dinamakan juga environmentalisme karena aliran
ini menganggap bahwa lingkungan hidup ini mempengaruhi pembinaan
kepribadian seseorang. (Muis, 2004).
Pendapat lain menyatakan bahwa aliran progresivisme sepaham dengan
psikologi pragmatisme yang berpendapat bahwa suatu keterangan itu benar
kalau kebenaran itu sesuai dengan realitas, atau suatu keterangan akan
dikatakan benar kalau kebenaran itu sesuai dengan kenyataan. Aliran
progresivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang
meliputi ilmu hayat, antropologi, dan psikologi. Ilmu hayat berguna bagi
manusia untuk mengetahui semua masalah dirinya secara biologis dan
kehidupan. Ilmu antropologi berguna bagi manusia agar mengenal dirinya,
bahwa manusia memiliki pengalaman dan kemampuan mencipta budaya,
sehingga manusia dapat mencari dan menciptakan hal baru. Adapun
psikologi berguna bagi manusia bahwa dirinya mampu berpikir, bahkan
memikirkan tentang dirinya, tentang lingkungan, pengalaman masa lalu,
harapan di masa depan, sifat-sifat alam, serta dapat menguasai dan mengatur
alam dan lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya.
Pandangan dari segi pendidikannya : Progresivisme merupakan teori
yang mucul dalam reaksi terhadap pendidikan tradisional yang selalu
menekankan kepada metode formal pengajaran. Pada dasarnya teori ini
menekankan beberapa prinsip, antara lain;
1) Proses pendidikan berawal dan berakhir pada peserta didik;

2) Peserta didik adalah sesuatu yang aktif, bukan pasif;

3) Peran guru hanya sebagai fasilitator, pembimbing, dan pengarah;

4) Sekolah harus menciptakan iklim yang bersifat kooperatif dan


demokratif;
5) Aktifitas pembelajaran lebih focus pada pemecahan masalah bukan
untuk mengajarkan materi kajian.
2. Aliran Esensialisme

Pada dasarnya, filsafat pendidikan esensialisme bertitik tolak dari


kebenaran yang dianggap telah terbukti selama berabad-abad lamanya. Jika
dilihat dari segi proses perkembangannya, esensialisme merupakan
perpaduan antara ide-ide filsafat idealisme dan realisme. Aliran tersebut
akan tampak lebih mantap dan kaya akan ide-ide, apabila hanya mengambil
salah satu dari aliran atau posisi sepihak. Pertemuan dua aliran tersebut
bersifat elektik, yakni keduanya berposisi sebagai pendukung, tidak ada
yang melebur menjadi satu atau tidak melepaskan identitas dan ciri masing-
masing (Anwar, 2015).
Aliran esensialisme memandang bahwa pendidikan bertumpu pada
dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk yang dapat menjadi
sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang
terarah, tidak menentu dan kurang stabil. Maka dari itu, idealnya pendidikan
harus berpijak di atas nilai-nilai yang sekiranya dapat mendatangkan
kestabilan, telah teruji oleh waktu, tahan lama, serta nilainilai yang memiliki
kejelasan dan telah terseleksi (Anwar,2015). Adapun nilai-nilai yang
dianggap dapat dijadikan pijakan, yaitu nilai-nilai yang berasal dari
kebudayaan dan filsafat yang korelatif. Puncak refleksi dari gagasan ini
adalah pada pertengahan abad kesembilan belas (Barnadib, 1997).
Konsep essensialisme, pendidikan bertujuan untuk meneruskan warisan
budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuan inti yang terakumulasi dan
telah bertahan dalam kurun waktu yang lama. Budaya tersebut merupakan
suatu kehidupan yang telah teruji oleh waktu dalam tempo lama. Selain itu
tujuan pendidikan esensialisme adalah mempersiapkan manusia untuk
hidup. Namun demikian bukan berarti sekolah lepas tanggung jawab, akan
tetapi memberi kontribusi tentang bagaimana merancang sasaran mata
pelajaran sedemikian rupa, yang pada akhirnya memenuhi kebutuhan
peserta didik untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi kehidupan.
3. Aliran pragmatisme

Pragmatisme merupakan suatu aliran modern yang mengajarkan bahwa


yang benar membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-
akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima apa
saja asalkan praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, mistik semua bisa
diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asal membawa akibat yang
praktis yang bermanfaat. Dengan demikian dasar pragmatis merupakan
manfaat bagi hidup praktis.
Aliran ini memandang realitas sebagai sesuatu yang secara tetap
mengalami perubahan terus menerus. Pragmatis adalah satu aliran yang
lebih mementingkan orientasi kepada pandangan anti posentris (berpusat
pada manusia) kemampuan kreativitas dan pertumbuhan manusia kearah
hal-hal yang bersifat praktis, kemampuan kecerdasan dan individual serta
perbuatan dalam masyarakat.
C. PENUTUP

Kesimpulan
Filsafat pendidikan merupakan pengetahuan yang menyelidiki substansi pelaksanaan pendidikan yang
berkaitan dengan tujuan, latar belakang, cara, hasil, dan hakikat ilmu pendidikan yang berhubungan dengan
analisis kritis terhadap struktur dan kegunaannya. Filsafat pendidikan juga merupakan jiwa, roh, dan
kepribadian sistem kependidikan nasional, karenanya sistem pendidikan nasional wajarlah dijiwai, didasari
dan mencerminkan identitas pancasila, citra dan karsa bangsa kita, atau tujuan nasional.
Ada tiga pendekatan filsafat pendidikan yakni pendekatan sinoptik, normatif, dan kritis radikal.
Dimana pendekatan sinoptik adalah memadukan pandangan secara keseluruhan, sehingga membentuk suatu
sistem pemikiran tertentu secara utuh. Sedangkan pendekatan normatif ialah pendekatan yang memikirkan
secara mendalam norma yang seharusnya di capai pendidikan, dan pendekatan krisis radikal adalah
pendekatan ilmiah yang selalu didasarkan pada satu atau beberapa asumsi dasar.
Pada dasarnya awal dari pemikiran filsafat adalah pengetahuan, hal ini dimulai dengan rasa ingin tahu,
rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan keduaduanya. Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang
dipelajari untuk bisa mengetahui segala sesuatu di dalam kehidupan. Banyak faktor yang menentukan
keberhasilan pendidikan, diantaranya adalah faktor landasan filsafat, terutama dalam hal menentukan arah dan
tujuan pendidikan yang diharmoniskan dengan nilai-nilai filsafat baik secara ontologis, epistemologis,
maupun aksiologis.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. (2006). Motivasi dalam Strategi Pembelajaran dengan Pendekatan 'ARCS'.


Ahmadi, A. (2007). Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Anwar, M. (2015). Filsafat Pendidikan. Kencana
Barnabid, I. (1997). Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode.
Dwiloka, B. (2005). Teknik Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: Rineka Cipta.
Faiz, A. D. (2018). Etika Bimbingan dan Konseling dalam Pendekatan Filsafat Ilmu. Indonesian Journal of
Educational Counseling, 2(1), 1-12.
Jalaludin. (2012). Filsafat pendidikan : manusia, pendidikan. Jakarta: PT Raja Grapindo Perseda.
Mas’ud, A. (2002). Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Relegius Sebagai Paradigma
Pendidikan Islam.
Muhmidayeli. (2011). Filsafat Pendidikan. Bandung: PT Refika Aditma.
Muis, I. (2004). Pendidikan Partisiptif Menimbang Konsep Fitrah dan Progesivisme Jhon Dewey.
Salahudin, A. (2011). Filsafat pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia.
Senge, P. M. (1994). The Fifth Discipline.
Sumardi. (2003). Pendidikan Progresif: Paradiguana untuk mengejar ketertinggalan
kwalitas di Indonesia.
Suriasumantri, J. S. (1985). Filsafat ilmu: Sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Suriasumantri, J. S. (1988). Filsafat ilmu. Jakarta: Sinar Harapan.
Tafsir, A. (2004). Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Pengetahuan.
Yunus, H. A. (2016). Telaah Aliran Pendidikan Progresivisme dan Esensialisme dalam Perspektif Filsafat
Pendidikan. Jurnal Cakrawala Pendas, 2(1).

Anda mungkin juga menyukai