Kelas : 1B
Tugas : Filsafat Pendidikan Islam (1)
Dari beberapa pengertian pendidikan menurut ahli tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa, Pendidikan adalah Bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa
kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak
cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain./
Omar Mohamad al-Toumy al-Syaibany, menurutnya bahwa filsafat pendidikan Islam tidak lain
ialah pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah filsafat dalam bidang pendidikan yang
didasarkan pada ajaran Islam.
Abudin Nata menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam itu merupakan suatu kajian
secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang
didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli,
khususnya para filosof muslim , sebagai sumber sekunder. Selain itu filsafat pendidikan Islam
dapat dikatakan suatu upaya menggunakan jasa filosofis, yakni berfikir secara mendalam,
sistematik, radikal, dan universal tentang masalah-masalah pendidikan, seperti masalah
manusia (anak didik), guru, kurikulum, metode, lingkungan dengan menggunakan al-Qur’an
dan al-Hadis sebagai dasar acuannya. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara
singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat
pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas
tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
Jalaludin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, menyebutkan bahwa Filsafat Pendidikan
Islam itu merupakan hasil pemikiran para filosof berdasarkan sumber yang berasal dari
wahyu Ilahi, sedangkan falsafah pendidikan lainnya berasal dari hasil renungan (pemikiran)
yang didasarkan atas kemampuan rasio. Hasil pemikiran yang bersumber dari wahyu
bagaimanapun memiliki kebenaran yang mutlak, tidak tergantung pada kondisi ruang dan
waktu. Sebaliknya hasil pemikiran berdasarkan rasio, sangat tergantung kepada kondisi
ruang dan waktu.
Kajian Falsafat pendidikan Islam beranjak dari kajian falsafat pendidikan yang termuat
dalam al-Qur’an dan hadis yang telah diterapkan oleh nabi Muhammad SAW selama
hanya beliau, baik selama periode Mekah maupun selama Periode Madinah. Falsafat
Pendidikan Islam yang lahir bersamaan dengan turunnya wahyu pertama itu telah
meletakkan dasar kajian kokoh, mendasar, menyeluruh serta terarah ke suatu tujuan yang
jelas, yaitu sesuai dengan tujuan ajaran islam itu sendiri.
M. Arifin dalam pendahuluan buku Filsafat Pendidikan Islam menyebutkan bahwa Filsafat
Pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematis, logis dan
menyeluruh (universal) tentang pendidikan, yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh ilmu
pengetahuan Agama Islam saja, melainkan menuntut kepada kita untuk mempelajari ilmu-
ilmu lain yang relevan.
Dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, Ia menyebutkan bahwa suatu falsafah yang
hanya membicarakan masalah yang menyangkut bagaimana system pendidikan agama
islam berlangsung dan dilangsungkan di dalam Negara yang berdasarkan Islam di Negara
di mana Islam diajarkan atau dididikkan di dalam lembaga-lembaga pendidikan yang ada
dan berkembang di Negara tersebut. Oleh karena bila hanya demikian sudah bisa
dikatakan sebagai filsafat pendidikan Islam.
Falsafah Pendidikan Islam yang kita kehendaki adalah suatu pemikiran yang serba
mendalam, mendasar, sistematis, terpadu dan logis, menyeluruh serta universal yang
tertuang atau tersusun ke dalam suatu bentuk pemikiran atau konsepsi sebagai suatu
system.
Filsafat Pendidikan Islam adalah falsafah tentang pendidikan yang tidak dibatasi oleh
lingkungan kelembagaan Islam saja atau oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman
keislaman semata-mata, melainkan menjangkau segala ilmu dan pengalaman yang luas
seluas aspirasi masyarakat muslim, maka pandangan dasar yang dijadikan titik tolak
studinya adalah ilmu pengetahuan teoritis dan praktis dalam segala bidang keilmuan yang
berkaitan dengan masalah kependidikan yang ada dan yang akan ada dalam masyarakat
yang berkembang terus tanpa mengalami kemandegan.
Dengan demikian, yang lebih tepat dalam melakukan studi tentang Filsafat Pendidikan
Islam ini adalah bila keduanya dapat terpenuhi yakni segi ilmiah dapat dibenarkan dan dari
segi diniyah dapat dipertanggungjawabkan.
Dari penjelasan dan paparan pengertian Filsafat pendidikan Islam yang telah disebutkan
oleh para pakar di atas, dapat disimpilkan bahwa Filsafat Pendidikan Islam adalah suatu
kajian secara filosofis yakni berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal
tentang masalah-masalah pendidikan, seperti masalah manusia (anak didik), guru,
kurikulum, metode, lingkungan , hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan
dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai
oleh ajaran Islam, serta mengapa manusia harus dibina menjadi hamba Allah yang
berkepribadian demikian yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai sumber
primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof muslim , sebagai sumber sekunder.
Berlandaskan basis ontologis, signifikasi berpikir dalam Islam tidak hanya menunjukkan
akan perlunya pengembangan logika dan intelektual, tapi juga moral dan spiritual. Berpikir
secara logis tanpa menghiraukan pertimbangan moral tentu merupakan hasil dari
buruknya spiritualitas seseorang, lebih jauh lagi pada gilirannya ia bisa menggiring
seseorang pada lubang egoisme dan subjektivisme, dimana dalam banyak kasus berbagai
tindak amoral justru dijustifikasi dengan beratasnamakan kemajuan dan keadilan.
Begitu juga berpikir tanpa dihiasi dengan energi spiritual, hanya akan menghasilkan
keputusan kasar karena intuisi belum diaktifkan. Dari pembahasan diatas setidaknya kita
bisa mengetahui bagaimana sebenarnya ciri utama dari filsafat Islam yaitu yang telah
diidentifikasi dengan tepat oleh Seyyed Hossein Nasr sebagai filsafat yang bercorak
kenabian (Prophecy). Maka, filsafat Islam dengan demikian mempunyai tempat penting
dalam tradisi intelektualnya yaitu untuk mencari kebenaran dan kebijaksanaan, inilah
alasan pertama.
Mengenai status filsafat dalam Islam tokoh yang sama dalam salah satu ceramahnya juga
pernah mengatakan bahwa sebagaimana politik ada yang baik dan buruk maka begitu
juga filsafat, ada filsafat yang baik dan yang buruk. Sehingga merupakan suatu keanehan
sebenarnya bagaimana seseorang mengakui ada ekonomi Islam dan politik Islam namun
pada saat yang sama menolak adanya filsafat Islam.
Pada kesempatan itu juga beliau menyampaikan suatu ungkapan menarik yang kemudian
disambut dengan begitu riuhnya oleh para audiens bahwa jika dahulu kaum muslimin di
Baghdad dihadapkan oleh ribuan kuda perang yang siap meluluh-lantakkan suatu pulau,
namun serangan tersebut tidaklah menantang kaum muslimin secara intelektual, berbeda
dengan kondisi saat ini dimana tantangan itu datang dari Barat, yang tidak hanya
meluncurkan serangannya melalui senjata dan alat berat tapi terlebih lagi juga secara
intelektual dan ideologis.
Lebih jauh, hal ini juga telah dikuatkan S.M.N al Attas yang dengan tegas menyatakan
bahwa tantangan terbesar yang dihadapi manusia sekarang adalah tantangan ilmu yang
berasal dari peradaban Barat yang telah bertanggung jawab dalam menimbulkan berbagai
dilema dan kerusakan tidak hanya bagi manusia saja bahkan bagi tiga kerajaan alam.
Berbagai fragmen-fragmen ideologi yang dilahirkannya terus bermunculan dan datang silih
berganti saling bertumpang tindih tidak ada habis-habisnya, malangnya mereka justru
bangga bisa mengkritik dan memperbaiki pencapaian sebelumnya, maka dimulailah dari
tesis kemudian anti tesis hingga sintesis, dari pre modern/pertengahan, modern hingga
post modern. Bagi mereka tidak ada yang pasti kecuali perubahan itu sendiri. Dari apa
yang dihayati Barat ini sesungguhnya mereka telah kehilangan pijakan kebenaran yang
holistik dan universal, sehingga apa yang mereka usahakan justru saling menimbulkan
pertentangan yang diakhiri dengan dualisme.
Terkhusus bagi dunia muslim, Barat dengan sekularisasinya telah merongrong kedalam
relung jiwa dan pikiran masyarakat muslim sekarang baik tanpa disadari atau tidak, yang
kemudian oleh al Attas disebut “loss of adab”, singkatnya mereka telah kehilangan
kemampuan untuk bisa berlaku dengan benar terhadap segala sesuatu baik secara disiplin
pikiran, rohani atau jasadi, hingga timbullah berbagai penyimpangan baik yang kurang
(ifrath) atau berlebih (tafrith).
Dari sinilah penting bagi kita mempelajari dan menggali kembali konsep-konsep holistik
dan integral yang telah dihasilkan oleh para filsuf kita dahulu, bagaimana mereka bisa
menggabungkan antara etika dan filsafat dalam bernegara, bagaimana logika dan
transendensi, fisika dan metafisika bisa dipertemukan, bagaimana wahyu dan akal bisa
didamaikan, dsb, kesemuanya bagi al Attas mencerminkan apa yang beliau sebut dengan
metode Tauhid dalam ilmu pengetahuan. Inilah alasan kedua, yaitu untuk membangun
konstruk pemikiran (epistemologi, metafisika, kosmologi, etika, dsb) yang mapan dan
kokoh sesuai dengan worldview Islam.
Alasan ketiga, yaitu lanjutan dari hal diatas yaitu sebagai bekal untuk berinteraksi
(engagement) dan berhadapan dengan filsafat dan pemikiran dari Barat dalam konteks
dialog peradaban. Disini penting kita tekankan bahwa tidak ada peradaban yang dapat
lahir tanpa meminjam unsur-unsur dari peradaban lain atau sebelumnya, sebagaimana
Islam yang banyak menerima warisan peradaban sebelumnya begitu pula Barat yang
dahulu banyak berhutang pada Islam, dalam prosesnya selalu ada proses apropriasi dan
naturalisasi untuk menegasi dan mengafirmasi unsur mana yang dianggap dekonstruktif
dan mana yang potensial.
Malangnya, saat ini dimana peradaban Islam berada didalam hegemoni Barat, telah
memunculkan dua tipologi pendekatan ekstrim terhadapnya. Ada yang begitu tertutup
sehingga menolak berbagai macam hal yang berbau Barat dan sebaliknya ada yang begitu
terbuka sehingga menerima berbagai hal dari Barat tanpa kritis.
Dua sikap ini tentu sangat naif sekali karena tidak bisa menilai dan menempatkan sesuatu
dengan tepat. Terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi muslim harus
mengakui kekalahannya, bahkan di zaman globalisasi dan revolusi industri 4.0 saat ini
dimana dunia berusaha didigitalisasi, mau tidak mau manusia dituntut untuk selalu
mengikuti perkembangan IPTEK kalau ingin tetap bisa bertahan hidup. Maka, sikap yang
tepat tentu adalah yang pertengahan yaitu dengan tetap terbuka namun kritis, untuk
urusan dunia kita bisa lebih leluasa berbeda dengan urusan agama yang harus
disandarkan pada otoritas ulama.
Hal ini adalah agar seorang pemikir muslim tidak mudah tergiur dengan pemikiran Barat,
disamping untuk menjaga identitas dan originalitas pemikiran mereka. Mengingat
pentingnya peran golongan ini dalam suatu masyarakat dimana mereka adalah agen
perubahan sebenarnya (a tiny creative minority) yang pemikirannya kemudian diikuti oleh
kaumnya. Maka, jika sampai para pemikir kita banyak yang terpengaruh dengan Barat
bahkan sampai muncul inferioritas terhadapnya itu adalah karena mereka tidak paham
terhadap ajaran dan terutama tradisi intelektual Islam sendiri.
Di zaman sekarang tentu persoalan demikian bukan soal baru terutama bagi para pelajar
di perguruan tinggi dimana wacana ilmu pengetahuan telah dihegemoni oleh worldview
Barat, sehingga tidak aneh kemudian seorang yang dulunya seorang muslim yang taat
malah menganut paham-paham seperti Feminisme, Marxisme, bahkan Ateisme, dsb, hal
itu terjadi karena iman dan pemahaman agama yang mereka jalankan masihlah sekedar
dogma dan imitasi (taqlid), sehingga ketika mereka dihadapkan dengan persoalan-
persoalan mendasar iman mereka tergoyahkan.
Islam sebagai sebuah peradaban yang pernah berdiri memimpin peradaban lainnya
selama berabad-abad tentu bukan soal remeh temeh, terutama yang sering dinilai dari
kacamata sosial dan historis. Nilai sebuah peradaban adalah berdasarkan struktur
pemikiran dan ideologinya yang kemudian mewarnai berbagai prestasinya baik secara
kultural dan saintifik. Dari sini sudah tentu sejauh mana berbagai pencapaian oleh
peradaban Islam itu dihasilkan merupakan manifestasi dari canggihnya tradisi pemikiran
mereka. Maka, belajar filsafat (Islam) justru seharusnya tidak hanya menjadikan yang
berkaitan semakin radikal, holistik dan komprehensif dalam berpikir sebagaimana yang
lumrah diketahui tapi juga semakin kritis dengan pemikiran serta ideologi asing.
Lebih jauh lagi, kenapa ilmu-ilmu teoritis seperti filsafat, literatur, dsb yang tergolong ilmu
sosial dalam sebuah masyarakat terutama hari ini dimana umumnya seseorang hanya
fokus untuk menguasai satu bidang saja begitu urgen dan harus tetap digalakkan karena
ketika masyarakat didominasi oleh para insinyur, teknokrat atau saintis yang hanya ahli
pada bidang ilmu kealaman dan teknologi dapat terancam kehilangan kompas moralitas
untuk dapat menjaga nilai-nilai normatif entah dari budaya atau agama mereka. Sehingga
tanpa dibekali dengan ilmu-ilmu ini atau minimnya orang yang mempelajarinya yang
mengakibatkan suara mereka tidak didengar sangat memungkinkan seseorang dan
masyarakat terjebak relativisme nilai dalam historisitas waktu.
Untuk menjawab persoalan mendasar ini tentu di butuhkan pemahaman yang dalam
terutama dimana dizaman millenial sekarang (baik di dunia muslim atau tidak) dimana
disiplin ini banyak dilihat sebelah mata karena dianggap tidak bermanfaat (praktis),
akhirnya muncullah manusia-manusia primitif baru yang hanya melibatkan dirinya secara
pragmatis dan kepekaan sosialnya kurang. Pendidikan bagi mereka tidak lebih dari
sekedar pelatihan kerja.
Selanjutnya, yang kelima kenapa harus mempelajari filsafat secara Islam adalah sebagai
counter atas berbagai kontestasi para orientalis dalam bidang ini. Karena tidak jarang
mereka berbuat tidak adil, manipulatif dan bias dalam kesarjanaannya, entah itu mereduksi
fakta, mendistorsi sejarah atau menutupinya. Seringkali Islam hanya dianggap peniru,
penjiplak dan pengepul warisan-warisan dari tradisi lain, bagi mereka Islam tidak
mempunyai tradisi rasional.
Kesimpulan-kesimpulan tendensius ini sering kali muncul karena para orientalis lebih
gandrung menggunakan pendekatan historis-filologis dari pada logis-analitis, artinya
warisan para ulama’ dulu hanya dikait-kaitkan dengan apa yang ada dalam tradisi lain
seperti Yunani, Yahudi, Persia dan Kristen, sehingga gagal melihat kreatifitas dan
originalitas para ulama muslim. Tidak aneh kemudian kenapa subjek Filsafat Islam di
universitas-universitas Barat tidak masuk dalam departemen Filsafat yang mayoritasnya
digolongkan di studi ketimuran.
Karena itu diperlukan usaha-usaha lebih serius untuk menyaingi apa yang telah mereka
hasilkan, terutama untuk menghilangkan berbagai mitos yang hingga hari ini masih
diterima secara luas. Disisi lain meski tidak dipungkiri terdapat golongan yang lebih objektif
dalam hal ini, sayangnya tokoh dari kaum muslimin sendiri masihlah tidak sebanding
jumlahnya. Tentu merupakan aib sebenarnya jika orang lain lebih mengetahui agama kita
daripada kita sendiri.
Sebagai penutup, sampai hari ini kita masih menyaksikan berbagai pandangan sinis
terhadap bidang ini bahkan mayoritasnya dari kaum muslim sendiri. Ketika kata filsafat
disebut yang muncul dalam benak mereka adalah ajaran-ajaran liberalisme, pluralisme,
ateisme, dll. Ini masih belum diperburuk lagi dengan para pembelajarnya yang sering
terkesan anti otoritas, sering berkata vulgar dan urak-urakan. Kata filsafat bahkan begitu
dekat dengan kata sesat. Kalau sudah begini bagaimana mungkin filsafat yang sesat
digandengkan dengan Islam.
Disinilah perlu kita tekankan bahwa definisi filsafat dimaksudkan tidaklah sama dengan
apa yang banyak dipahami orang-orang. Filsafat dalam Islam bukanlah sekedar
berspekulasi dan berlogika tanpa bimbingan wahyu. Berfilsafat dalam Islam juga bukan
sekedar membual kata-kata tanpa mengamalkannya. Berfilsafat dalam Islam merupakan
manifestasi dari titah Tuhan untuk berpikir dan memaksimalkan anugrah ini sesuai dengan
kapasitasnya.
5. Dasar dan tujuan pendidikan islam !
Pendapat lain menyatakan bahwa dasar pendidikan Islam adalah Al Qur’an, karena :
"Kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril kedalam qalbu Rasulullah
SAW dengan menggunakan bahasa Arab dan disertai dengan kebenaran agar dijadikan
hujjah (penguat) dalam hal pengakuannya sebagai Rasul, dan agar dijadikan sebagai
undang-undang bagi seluruh umat manusia, di samping merupakan amal ibadah bagi yang
membacanya. (Abdul Wahab Khalaf,1997,39). Firman Allah SWT yaitu: Artinya: “…Dan
barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah mendapatkan
kemenangan”. (QS. Al Ahzab: 71).
Dalam Hadits Rasulullah SAW, Artinya : “ Telah diberitakan kepadaku dari Malik bahwa
sesungguhnya Malik telah menyampaikan berita tersebut bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda, Aku tinggalkan kepadamu dua perkara dan kamu tidak akan tersesat
berpegang kepada keduanya yaitu kitab Allah (Al Qur’an) dan As Sunnah ”. (HR. Buhori)
(Malik bin Anas, Al Muwaththa’, 1970, 109). Berdasarkan uraian di atas dapat diperjelas
bahwa dasar dari pendidikan Islam adalah Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Keduanya yang menjadi pedoman dan tuntunan hidup umat Islam dalam segala
aktivitasnya tersebut dalam usaha melaksanakan pendidikan Islam, baik masalah materi,
metode maupun tujuan pendidikan Islam.
Seperti yang telah dikemukakan dua pendapat di atas dapat diperjelas bahwa tujuan
pendidikan Islam adalah untuk menciptakan manusia yang mengabdi kepada Allah SWT,
mewujudkan generasi yang beriman dan bertaqwa, beramal shaleh, berakhlak mulia, serta
mampu berdiri sendiri sebagai salah satu dari ciri kepribadian muslim sejati. Dengan
pengabdian itu manusia akan mendapat keseimbangan hidup antara kehidupan dunia dan
kehidupan akhirat sebagaimana yang telah dicita-citakan setiap muslim sesuai dengan
kehidupan yang diinginkan. Sebagaimana firman Allah yaitu, Artinya: “ Dan carilah pada
apa yang dianugerahkan Allah SWT kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan
janganlah kamu melupakan kebahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan”. (QS. Al Qashash: 77).
Tujuan pendidikan Islam juga dapat dipahami berdasarkan dari firman Allah yaitu, Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa
kepadanya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama
Islam”.(QS. Ali Imran: 102) Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa tujuan hidup
manusia untuk menjadi seorang muslim, orang yang berserah diri kepada Allah SWT
dalam arti mengabdi dan menyembah kepada-Nya.
Bisa disimpulkan, bahwa tujuan utama pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup
manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu
taat dan bertakwa kepada-Nya, serta dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia
dan akhirat. Oleh karena itu, dasar pendidikan Islam harus berpedoman pada dasar
hukum Islam itu sendiri yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Dua hal itulah yang menjadi landasan
utama dalam pendidikan Islam, dan tentu saja ditambah dengan hasil pemikiran manusia
(ra’yu) sepanjang itu tidak menyalahi Al-Qur’an dan Hadits.
Sebagai saran bagi seorang muslim, terutama mereka yang bergelut dibidang pendidikan
Islam, disarankan untuk betul-betul mengetahui dan memahami dasar-dasar, norma atau
etika serta harus mampu untuk mengaplikasikannya dalam proses belajar mengajar agar
dapat menghasilkan intelektual muslim yang cerdas, berwawasan dan taat dalam
beribadah, sehingga tujuan penciptaan manusia yaitu untuk beribadah kepada Allah serta
menjadi khalifah dimuka bumi benar-benar dapat dijalankan.
Pendekatan atau Approach dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “ came near
(menghampiri), go to (jalan ke) dan way path dengan (arti jalan). Dalam pengertian ini
dapat dikatakan bahwa approach adalah cara menghampiri atau mendatangi sesuatu.
H.M. Habib Thaha mendefiniskan pendekatan adalah cara pemprosesan subyek atas
obyek untuk mencapai tujuan. Pendekatan ini juga berarti cara pandang terhadap sebuah
obyek permasalahan, dimana cara pandang tersebut adalah cara pandang yang luas.
Sedangkan Oteng Sutisna, lebih praktis dalam memahami pengertian ”pendekatan”.
Pendekatan adalah apa yang hendak ia kerjakan dan bagaimana ia akan mengerjakan
sesuatu.
Penggunaan istilah ”pendekatan” memiliki arti yang berbeda-beda tergantung kepada
obyek apa yang akan menjadi tema sentral perencanaan kerja dan kajian pemikiran yang
akan dikembangkan. Dalam konteks belajar, approach dipahami sebagai segala cara atau
strategi yang digunakan peserta didik untuk menunjang efesiensi dan efektivitas dalam
proses pembelajaran tertentu. Dengan demikian sesungguhnya approach adalah
seperangkat langkah operasional yang direkayasa sedemikian rupa, untuk memecahkan
masalah atau untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Approach dalam pengertian tersebut
membutuhkan pandangan falsafi (mendasar) terhadap subyek materi yang diajarkan,
selanjutnya akan melahirkan metode mengajar yang dijabarkan dalam bentuk teknik
penyajian pembelajaran.
Beberapa pakar pendidikan memberikan pengertian yang berbeda-beda sesuai dengan
tinjauan yang mereka kembangkan dan dengan demikian maka terjadi variasi dan
polarisasi pengembangan pemikiran pendidikan. Berikut ini dikemukakan beberapa
defenisi pendidikan Islam menurut para ahli, diantaranya ialah:
AL-Toumy al-Syaibany
Pendidikan Islam sebagai suatu proses untuk mengubah tingkah laku indivdu pada
kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya dengan cara pengajaran sebagai
suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara berbagai profesi asasi dalam
masyarakat.
Fadhil al-Jamaliy
Di dalam buku Filsafat Pendidikan Islam karya Prof. DR. H. Ramayulis dijelaskan, bahwa
ruang lingkup filsafat pendidikan Islam itu seperti juga ruang lingkup yang terdapat pada
filsafat secara umum yang meliputi kosmologi, ontologi, epistimologi dan aksiologi.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Kosmologi merupakan pemikiran yang berhubungan dengan alam semesta, ruang dan
waktu, kenyataan hidup manusia sebagai ciptaan Tuhan, proses kejadian dan
perkembangan hidup manusia di alam nyata dan lain-lain.
Ontologi merupakan pemikiran tentang masalah asal kejadian alam semesta dari mana
asalnya, bagaimana proses penciptaannya dan kemana akhirnya. Pemikiran ontologi
pada akhirnya akan menentukan bahwa ada sesuatu yang menciptakan alam semesta ini,
apakah pencipta itu bersifat kebendaan (materi) atau bersifat kerohanian (immateri),
apakah ia banyak/berbilang atau tunggal/esa.
Epistimologi merupakan pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan
manusia diperoleh, apakah dari akal pikiran, apakah dari pengalaman indrawi, apakah
dari perasaan/ilustrasi, apakah dari Tuhan.
Aksiologi merupakan pemikiran tentang masalah nilai-nilai, misalnya nilai moral, etika,
estetika, nilai religius dan sebagainya. Menurut George Thomas, aksiologi mengandung
pengertian lebih luas daripada etika atau nilai kehidupan yang bertaraf lebih tinggi.