Anda di halaman 1dari 10

Nama : Norhasanah

Kelas : 1B PAI Semester 1

Tugas : Filsafat Pendidikan Islam (4)

1. Jelaskan dengan ringkas gambaran dan proses penciptaan manusia dalam Al-qur’an !

Fase Penciptaan Manusia

Al-Qur’an menggunakan istilah 'kegelapan' karena memang proses penciptaan


manusia dalam perut ibu terjadi di dalam rahim yang gelap. Dalam buku elektronik Basic
Human Embryology sebuah buku referensi utama dalam bidang embriologi, fakta ini
diuraikan sebagai berikut:

Kehidupan dalam rahim memiliki tiga tahapan yaitu, Pre-Embrionik; dua setengah
minggu pertama, embrionik; sampai akhir minggu kedelapan, dan Fetus atau janin; dari
minggu kedelapan sampai kelahiran. Secara ringkas, ciri-ciri utama tahap perkembangan
tersebut adalah sebagai berikut :

 Tahap Pra-embrionik
Pada tahap pertama, zigot tumbuh membesar melalui pembelahan sel, dan
terbentuklah segumpulan sel yang kemudian membenamkan diri pada dinding
rahim. Seiring pertumbuhan zigot yang semakin besar sel-sel penyusunnya
pun mengatur diri sendiri guna membentuk tiga lapisan.
 Tahap Embrionik
Tahap kedua berlangsung selama lima setengah minggu. Pada masa ini
bayi disebut sebagai embrio.pada tahap ini organ dan sistem tubuh bayi mulai
terbentuk dari lapisan-lapisan sel tersebut.
 Tahap Fetus
Tahap ini dimulai sejak kehamilan minggu kedelapan hingga masa
kelahiran. Ciri khusus tahapan ini adalah bahwa fetus sudah menyerupai
manusia, dengan wajah dan kedua tangan kakinya. Meskipun pada awalnya
memiliki panjang hanya 3 cm, kesemua organnya sudah jelas. Tahap ini
berlangsung kurang lebih selama 30 minggu, dan perkembangan berlanjut
sampai minggu kelahiran.

Proses Penciptaan Manusia dalam Alquran

Di dalam ayat yang lainnya, Allah SWT juga menjelaskan tentang proses penciptaan
manusia secara runtut. Misalnya dalam QS. Al-Mu’minun: 12-14 ;

Artinya: “Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan
tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami
jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha suci Allah, Pencipta yang paling
baik.”

Dalam ayat di atas, ada beberapa proses penciptaan manusia yang dapat dijelaskan
sebagaimana ayat di atas, yaitu:

 Sulalah min thin (Saripati Tanah)

Saripati tanah yang dimaksud adalah suatu zat yang berasal dari bahan makanan
(baik tumbuhan maupun hewan) yang bersumber dari tanah, yang kemudian dicerna
menjadi darah, kemudian diproses hingga akhirnya menjadi sperma.
 Nuthfah (Air Mani)

Makna asal kata ‘nuthfah’ dalam bahasa Arab berarti setetes yang dapat membasahi.
Dalam tafsir Al Misbah, yang dimaksud dengan nuthfah adalah pancaran mani yang
menyembur dari alat kelamin pria yang mengandung sekitar dua ratus juta benih manusia,
tetapi yang berhasil bertemu dengan ovum wanita hanya satu.

Proses Penciptaan Manusia dari Fase ke Fase

 Alaqah (Segumpal Darah)

Alaqah diambil dari kata alaqa yang artinya sesuatu yang membeku, tergantung atau


berdempet. Sehingga dapat diartikan sebagai sesuatu yang bergantung di dinding rahim.

 Mudghah (Segumpal Daging)

Dalam ilmu kedokteran, ketika sperma pria bergabung dengan sel telur wanita intisari
bayi yang akan lahir terbentuk. Sel tunggal yang dikenal sebagai zigot dalam ilmu biologi
ini akan segera berkembangbiak dengan membelah diri hingga akhirnya menjadi
segumpal daging. Melalui hubungan ini zigot mampu mendapatkan zat-zat penting dari
tubuh sang ibu bagi pertumbuhannya.

Proses Penciptaan Manusia Hingga Sempurna

 Idzam (Tulang atau Kerangka)

Di dalam fase ini embrio akan mengalami perkembangan dari bentuk sebelumnya yang
hanya berupa segumpal daging hingga berbalut kerangka atau tulang.
 Kisa Al-Idzam Bil-Lahim (Penutupan Tulang)

Pengungkapan fase ini dengan kisa yang berarti membungkus, dan lahm (daging)
diibaratkan pakaian yang membungkus tulang, selaras dengan kemajuan yang dicapai
embriologi yang menyatakan bahwa sel-sel tulang tercipta sebelum sel-sel daging, dan
bahwa tidak terdeteksi adanya satu sel daging sebelum terlihat sel tulang.

 Insya (Mewujudkan Makhluk Lain)

Tahap ini menandakan bahwa ada sesuatu yang dianugerahkan kepada manusia yang
menjadikannya berbeda dari makhluk lainnya, yaitu ruh yang menjadikan berbeda dengan
makhluk lainnya.

2. Jelaskan dengan ringkas kedudukan manusia dalam Al-qur’an !


 Manusia sebagai hamba Allah

Hamba Allah berarti orang yang senantiasa tunduk, patuh, taat terhadap semua
yang diberikan Allah atas dirinya. Seseorang yang menjalankan semua hukum-hukum
yang telah ditetapkan oleh Allah dan menjalankan apa-apa yang diperintahkan-Nya.
Dapat dimaknai pula seseorang yang bergantung dalam hidup dan matinya hanya
kepada Allah semata, sehingga tidak ada pengingkaran, penghianatan, dan pengufuran
terhadap kekuasaan Allah. Setiap manusia mengetahui bahwa dirinya adalah makhluk
yang lemah dan terdapat kekuatan besar di atas segala-galanya. Kekuatan
supranatural yang dirasakan setiap manusia adalah kekuatan Allah sang pemilik
kerajaan langit dan bumi.
Manusia yang tidak memiliki pemahaman tentang kekuatan tersebut, akan
mengasumsikan Tuhan sebagai benda-benda yang memiliki kekuatan gaib, sehingga
muncullah keyakinan-keyakinan di luar ajaran yang telah diajarkan Allah melalui para
nabi.

Namun, pada hakikatnya semua manusia percaya bahwa pemilik kekuasaan yang
Mahatinggi adalah wujud (ada). Hal tersebut disebabkan karena manusia merupakan
makhluk beragama. Allah telah memberikan potensi beragama kepada setiap manusia
yang lahir ke dunia dalam wujud kesaksiannya kepada Allah ketika berada di alam roh.
Kesaksian tersebut dijelaskan dalam Surah Al-A'raf ayat 172 berikut.

ُ ‫َو اِ ۡذ اَخَ َذ َربُّكَ ِم ۡۢن بَنِ ۡۤى ٰا َد َم ِم ۡن ظُه ُۡو ِر ِهمۡ ُذ ِّريَّتَهُمۡ َو اَ ۡشهَ َدهُمۡ ع َٰلٓى اَ ۡنفُ ِس ِهمۡ‌ ۚ اَلَ ۡس‬
ۚۛ ‌‫ت بِ َربِّ ُكمۡ‌ ؕ قَ الُ ۡوا بَ ٰلى‬
َ‫َش ِه ۡدنَا‌ۛۚ اَ ۡن تَقُ ۡولُ ۡوا يَ ۡو َم ۡالقِ ٰي َم ِة ِانَّا ُكنَّا ع َۡن ٰه َذا ٰغفِلِ ۡين‬
Artinya: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): 'Bukanlah aku ini Tuhanmu?' Mereka (anak-anak Adam menjawab: 'Betul,
Engkau Tuhan kami') kami menjadi saksi "
Konsekuensi logis dari kesaksian terhadap ketuhanan adalah wujud penghambaan
diri kepada Tuhannya, yaitu menyembah dan beribadah kepada-Nya.
Allah swt. berfirman dalam Surah Adz-Dzariyat ayat 56 berikut.

َ ‫ت ۡال ِج َّن َوااۡل ِ ۡن‬


‫س اِاَّل لِيَ ۡعبُد ُۡو ِن‬ ُ ‫َو َما خَ لَ ۡق‬
Artinya: "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah
kepada-Ku"

Berdasarkan ayat di atas, dapat dimaknai bahwa seluruh aktivitas manusia di dalam
kehidupan dunia dalam rangka beribadah kepada Allah. Oleh karena itu, setiap
perbuatan harus diniatkan ibadah dan hanya mengharapkan rida Allah semata. Dalam
literature Islam, dikenal ibadah mahdah (khas) dan ibadah ghairu mahdah (ammah).
Ibadah mahdah berarti ibadah yang telah ditentukan tata cara dan waktu
pelaksanaannya, seperti: shalat, zakat, puasa, haji, sedekah, dan sebagainya tanpa
adanya penambahan sedikut pun. Jika ada penambahan, maka hal tersebut disebut
bid'ah. Adapun ibadah ghairu mahdah adalah ibadah yang tidak ditentukan tata cara
dan waktu pelaksanaannya karena menyangkut banyak aspek kehidupan manusia,
sehingga manusia dituntut kreatif dan inovatif mengembangkan ibadah tersebut asal
tidak bertentangan dengan hukum Islam, yaitu Alquran dan hadis.

Pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut harus mengembangkam potensi Rabbaniyah,


yaitu sifat-sifat ketuhanan dalam diri manusia, sehingga sifat-sifat tersebut
teraktualisasikan dalam berbagai tindakan sehari-hari, baik kepada Allah, diri sendiri,
sesama manusia, dan alam sekitarnya.

 Manusia sebagai Khalifah

Manusia memiliki kedudukan di bumi sebagai khalifah dijelaskan dalam Surah Al-
Baqarah ayat 30 yang Artinya: "Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi.” Istilah khalifah, dalam bentuk mufrad (tunggal) dapat diartikan sebagai penguasa
politik, yaitu hanya ditujukan kepada nabi-nabi. Adapun untuk manusia menggunakan
istilah khalaif yang berarti penguasa yang lebih luas daripada penguasa politik.
Manusia sebagai penguasa di muka bumi atau dalam kata lain manusia bertugas
memakmurkan bumi dan segala yang ada di dalamnya, baik tumbuhan, hewan, dan
benda-benda.
Selain itu, manusia juga memiliki peran dalam memimpin sesamanya menuju jalan
Ilahi, saling bergantian dan pewarisan kepemimpinan agar tercipta kemakmuran di
muka bumi sebagaimana dipaparkan dalam Surah Hud ayat 61 berikut.

‫اۡل‬
‫است َۡع َم َر ُكمۡ فِ ۡيهَا‬ ِ ‫هُ َو اَ ۡن َشا َ ُكمۡ ِّمنَ ا َ ۡر‬
ۡ ‫ض َو‬

Artinya: ".... Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu
pemakmurnya"

Hubungan manusia dengan alam semesta, bukan merupakan hubungan antara


penakluk dan yang ditakluk atau hubungan hamba dan tuan, melainkan hubungan
partner dalam ketundukan kepada Allah. Kemampuan manusia mengelola dan
memakmurkan bumi, bukan semata kekuatan manusia, melainkan Allah telah
menundukkan alam semesta untuk manusia, sehingga manusia dapat memanfaatkan
apa yang ada dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, perlunya sikap moral dan etika dalam melaksanakan fungsi
kekhalifahannya di muka bumi. Pada dasarnya, kekuasaan manusia tidaklah bersifat
mutlak, sebab kekuasannya dibatasi oleh kekuasaan Allah, sehingga seorang khalifah
tidak boleh melawan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah. Kekhalifahan
tidak dapat dijalankan dengan begitu saja, sebab kekhalifahan membutuhkan ilmu
pengetahuan, pengajaran, keterampilan dalam mengelola dan memimpin. Oleh karena
itu, pentingnya pendidikan untuk membentuk khalifah yang unggul dan senantiasa
mengajak kepada ketaatan kepada Allah swt..

Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut.

 Manusia memiliki kedudukan sebagai hamba Allah yang bertugas untuk


senantiasa beribadah kepada Allah semata.

Apa pun aktivitas yang dijalankan oleh manusia di muka bumi, hendaknya
ditujukan untuk beribadah dan mencari rida Allah swt.

 Manusia memiliki kedudukan sebagai khalifah yang berarti pemimpin, pengganti


Allah, dan penguasa bumi. Manusia harus menjalankan kepemimpinannya sejalan
dengan ketetapan dan hukum-hukum Allah swt. karena pada hakikatnya
kepemimpinan manusia bukanlah kepemimpinan mutlak dan segala-galanya,
karena pemimpin yang sebenarnya hanyalah Allah semata.
3. Jelaskan dengan ringkas implikasi konsep manusia terhadap pendidikan islam !

Para ahli pendidikan islam pada umumnya sependapat bahwa teori dan praktek
kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia. Pembicaraan
diseputar persoalan ini adalah merupakan sesuatu yang sangat vital dalam pendidikan.
Tanpa kejelasan tentang konsep ini, pendidikan akan meraba-raba, dan bahkan bisa jadi
pendidikan Islam tidak akan dapat dipahami secara jelas tanpa terlebih dahulu memahami
konsep Islam yang berkaitan dengan pengembangan individu seutuhnya. Identitas
manusia muslim secara sempurna dapat diperoleh setelah fungsinya sebagai makhluk,
pendidik dan si terdidik, hamba Allah (‘abd) dan khalifah Allah, serta potensi lainnya benar-
benar telah dilakukan integrasi secara seimbang dalam kesatuan yang utuh. Penekanan
pada salah satunya meninggalkan yang lain berakibat tidak sempurnanya identitas
manusia sebagai insan kamil atau muslim kaffah (Assegaf, 2011: 163).
Bila pendidikan Islam semata-mata menekankan pembentukan pribadi muslim yang
sanggup mengabdi, beribadah, dan berakhlak karimah, akibatnya pribadi yang terbentuk
adalah kesalehan individual yang mengabaikan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan bisa dipastikan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan diambil oleh
umat yang lain.

Begitu juga sebaliknya, bila pendidikan Islam hanya memfokuskan perannya sebagai
pembentuk khalifah di muka bumi yang sanggup menguasai ilmu dan teknologi dan
menguak rahasia alam untuk dikelola demi kemakmuran hidup di dunia, tanpa memberi
keseimbangan terhadap fungsinya sebagai hamba Allah SWT, maka manusia bisa pandai,
tetapi jiwa dan hatinya kosong dari cahaya ilahi.
Dari uraian terdahulu tentang hakekat manusia dalam konsep Islam, dapat dilihat
implikasi penting konsep tersebut dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, yaitu:
 Sudah diketahui bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki dua komponen
materi dan immateri (jasmani dan rohani), maka konsepsi itu menghendaki proses
pembinaan yang mengacu ke arah realisasi dan pengembangan komponen-
komponen tersebut. Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan Islam harus dibangun
di atas konsep kesatuan (integrasi) antara pendidikan qalbiyah dan aqliyah
sehingga mampu menghasilkan manusia muslim yang pintar secara intelektual
dan terpuji secara moral. Jika kedua komponen itu terpisah atau dipisahkan dalam
proses kependidikan Islam, maka manusia akan kehilangan keseimbangannya
dan tidak akan pernah menjadi pribadi-pribadi yang sempurna ( insan kamil).
 Al-quran menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah
sebagai khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah SWT membekali
manusia dengan seperangkat potensi. Dalam konteks ini, maka pendidikan Islam
harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah pengembangan potensi yang
dimiliki manusia secara maksimal, sehingga dapat diwujudkan dalam bentuk
kongkrit, dalam kompetensi-kompetensi yang bermuatan hard skill dan soft skill.
 Fungsionalisasi pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya sangat bergantung
kepada sejauh mana kemampuan umat Islam menterjemahkan dan
merealisasikan konsep tentang hakekat manusia dan fungsi penciptaannya dalam
alam semesta ini.

Dalam hal ini, pendidikan Islam harus dijadikan sarana yang kondusif bagi proses
transformasi ilmu pengetahuan dan budaya Islami dari satu generasi kepada
generasi berikutnya. Posisi manusia sebagai khalifah dan ‘abd menghendaki
program pendidikan yang menawarkan sepenuhnya penguasaan ilmu
pengetahuan secara totalitas, agar manusia tegar sebagai khalifah dan taqwa
sebagai dari aspek ‘abd.
 Agar pendidikan Islam berhasil dalam prosesnya, maka konsep hakekat manusia
dan fungsi penciptaannya dalam alam semesta harus sepenuhnya
diakomodasikan dalam perumusan teori-teori pendidikan Islam melalui
pendekatan kewahyuan, empirik keilmuan dan rasional filosofis. Dalam hal ini
harus dipahami pula bahwa pendekatan keilmuan dan filosofis hanya merupakan
media untuk menalar pesan-pesan Allah yang absolut, baik melalui ayat-ayat-Nya
yang bersifat tekstual (qur’aniyah), maupun ayat-ayat-Nya yang bersifat
kontekstual (kauniyah), yang telah dijabarkan-Nya melalui sunnatullah.
 Proses internalisasi nilai-nilai Islam kedalam invividu atau pribadi seseorang harus
dapat dipadukan melalui peran individu maupun orang lain (guru), sehingga dapat
memperkuat terwujudnya kesatuan pola dan kesatuan tujuan menuju terbentuknya
mentalitas yang sanggup mengamalkan nilai dan norma Islam dalam diri insan
kamil (Arifin, 2010: 158).

Anda mungkin juga menyukai