Anda di halaman 1dari 15

Surat Al-Baqarah Ayat 30

ُ ِ‫ض خَ لِ يفَ ةً ۖ قَ الُ وا َأ تَ جْ َع ُل فِ يهَ ا َم ْن يُ ْف ِس ُد فِ يهَ ا َو يَ ْس ف‬


‫ك‬ ِ ْ‫اع ٌل فِ ي ا َأْل ر‬ ِ ‫ك لِ ْل َم اَل ِئ َك ِة ِإ نِّ ي َج‬ َ َ‫َو ِإ ْذ ق‬
َ ُّ‫ال َر ب‬
‫ال ِإ نِّ ي َأ ْع لَ ُم َم ا اَل تَ ْع لَ ُم و َن‬ َ َ‫ك َو نُ قَ ِّد سُ ل‬
َ َ‫ك ۖ ق‬ َ ‫اء َو نَ حْ ُن نُ َس بِّ ُح بِ َح ْم ِد‬
َ ‫ال ِّد َم‬
WA IDZ QAALA RABBUKA LILMALAA-IKATI INNII JAA'ILUN FIIL ARDHI
KHALIIFATA QAALUU ATAJ-'ALU FIIHAA MAN YUFSIDU FIIHAA WA YASFIKUD
DIMAA-A WA NAHNU NUSABBIHU BIHAMDIKA WA NUQADDISULAKA QAALA
INNII A'LAMU MAA LAA TA'LAMUUN(A)

Artinya :
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui".(Q.S Al Baqarah : 30)
Tafsir Jalalin Surat Al Baqarah Ayat 30
(Dan) ingatlah, hai Muhammad! (Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi") yang akan
mewakili Aku dalam melaksanakan hukum-hukum atau peraturanperaturan- Ku padanya,
yaitu Adam. (Kata mereka, "Kenapa hendak Engkau jadikan di bumi itu orang yang akan
berbuat kerusakan padanya) yakni dengan berbuat maksiat (dan menumpahkan darah) artinya
mengalirkan darah dengan jalan pembunuhan sebagaimana dilakukan oleh bangsa jin yang
juga mendiami bumi? Tatkala mereka telah berbuat kerusakan, Allah mengirim malaikat
kepada mereka, maka dibuanglah mereka ke pulau-pulau dan ke gunung-gunung (padahal
kami selalu bertasbih) maksudnya selalu mengucapkan tasbih (dengan memuji-Mu) yakni
dengan membaca 'subhaanallaah wabihamdih', artinya 'Maha suci Allah dan aku memuji-
Nya'. (dan menyucikan-Mu) membersihkan-Mu dari hal-hal yang tidak layak bagi-Mu.
=Huruf lam pada 'laka' itu hanya sebagai tambahan saja, sedangkan kalimat semenjak
'padahal' berfungsi sebagai 'hal' atau menunjukkan keadaan dan maksudnya adalah, 'padahal
kami lebih layak untuk diangkat sebagai khalifah itu!'" (Allah berfirman,) ("Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui") tentang maslahat atau kepentingan mengenai
pengangkatan Adam dan bahwa di antara anak cucunya ada yang taat dan ada pula yang
durhaka hingga terbukti dan tampaklah keadilan di antara mereka. Jawab mereka, "Tuhan
tidak pernah menciptakan makhluk yang lebih mulia dan lebih tahu dari kami, karena kami
lebih dulu dan melihat apa yang tidak dilihatnya." Maka Allah Taala pun menciptakan Adam
dari tanah atau lapisan bumi dengan mengambil dari setiap corak atau warnanya barang
segenggam, lalu diaduk-Nya dengan bermacam-macam jenis air lalu dibentuk dan ditiupkan-
Nya roh hingga menjadi makhluk yang dapat merasa, setelah sebelumnya hanya barang beku
dan
tidak bernyawa.

Surat Al-Mukminun Ayat 12-14 (Proses Kejadian Manusia | Terjemah dan Kandungan
Al-Mukminun 12-14)

Artinya: 
       Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah.
Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kukuh (rahim).
Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu
Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk
yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik. (Q.S. al-Mukminun [23]:
12–14)

KANDUNGAN SURAH AL-MUKMINUN AYAT 12–14 :

Pada Surah al-Baqarah [2] ayat 30 Allah Swt. menyatakan kehendak- Nya untuk menjadikan
manusia sebagai khalifah di muka bumi. Pada ayat ke-12 hingga 14 Surah al-Mu’minu-n [23]
dibahas proses penciptaan manusia.
Dalam ayat ini Allah Swt. memaparkan proses penciptaan manusia yang diawali dari saripati
tanah. Dalam ayat yang lain juga dijelaskan tentang tahap pertama manusia ketika ia masih
tersebar di muka bumi dan belum dapat disebut. Pada tahap pertama, bahan-bahan penciptaan
manusia masih tersebar pada tumbuhan dan hewan yang dikonsumsi oleh ayah dan ibu.
Bahan penciptaan manusia itu berupa unsur-unsur kimiawi yang terdapat dalam makanan.
Unsur-unsur tersebut diserap oleh calon ayah dan calon ibu melalui makanan yang
dikonsumsinya.
Unsur-unsur dasar manusia itu diolah sedemikian rupa melalui proses kimiawi dalam tubuh
hingga menjelma menjadi sperma calon ayah dan ovum calon ibu. Sperma dan ovum adalah
dua zat khusus yang dibentuk oleh Allah Swt. dengan membawa bermiliar-miliar informasi
genetika seorang anak manusia. Sperma dan ovum berkembang dan Allah Swt. memperkaya
keduanya dengan kemampuan untuk mengembangkan diri saat bertemu nanti.
Melalui proses penyatuan yang dramatis, sperma dan ovum bertemu dan menyatukan diri.
Proses tersebut terjadi dengan penuh kecermatan dan ketepatan yang hanya bisa diatur oleh
Zat yang Mahapandai atas segala sesuatu. Keduanya bertemu, mengomunikasikan informasi
yang mereka bawa dan berlanjut dalam perkembangan yang luar biasa. Dua sel manusia
berlainan jenis itu menyatu kemudian membelah dan terus membelah. Tiap-tiap sel baru
membentuk jalinan yang kuat di antara mereka. Setelah mulai terbentuk, sel-sel calon
manusia itu mencari tempat berlabuhnya di dinding rahim sang ibu.

Mereka melekat kuat dan membentuk jaringan penghubung antara si calon manusia dengan
sang ibu. Jaringan penghubung ini biasa kita kenal sebagai placenta. Tahap inilah yang dalam
dunia kedokteran modern disebut zygot. Hal ini menunjukkan tanda kekuasaan Allah Swt.
sekaligus kebenaran Al-Qur’an. Seribu empat ratus tahun yang lalu, saat kehidupan bangsa
Arab berada di tepi terjauh dari peradaban, saat orang Badui menganggap bahwa bumi itu
datar, Al-Qur’an menyatakan sesuatu yang baru terlihat pada abad modern ini.
       Sembari membangun interaksi dengan sang ibu, sel-sel baru itu terus diatur oleh Allah
Swt. untuk membelah hingga menjadi segumpal daging kemudian membelah dan membentuk
bagian-bagian tubuh manusia. Tangan, kaki, kepala, jantung, otak, dan semua organ
terbentuk dengan bimbingan Allah Swt. Setelah semua bagian lengkap, Allah Swt.
menyempurnakan bentuknya menjadi bentuk yang sama sekali berbeda dari saat pertama kali
sperma dan ovum bertemu.
Inilah proses pembentukan seorang manusia yang diangkat Allah Swt. sebagai khalifah-Nya
di bumi. Proses yang tersampaikan dalam Surah al-Mukminun ayat 12–14 ini memberi
pelajaran tentang dua hal penting. Pertama, Allah Swt. yang mengatur penciptaan manusia.
Hal ini dengan nyata terlihat dari tahapan-tahapan pembentukan manusia dalam rahim
sang
ibu. Bagaimana dua sel, sperma dan ovum yang setengah menit saja dibiarkan di tempat
terbuka
pasti rusak, dapat bertemu? Siapa yang mengarahkan pertemuan itu? Adakah sang ayah yang
memberikan komando atau si ibu yang menunjukkan rute? Setelah keduanya bertemu, siapa
yang memberikan daya untuk berubah dan membelah?
Sperma dan ovum itu mengetahui dengan sendirinya apa yang harus dilakukan. Allah
Swt. yang telah membuat semua itu menjadi mungkin. Allah Swt. yang memberi daya
sekaligus arah. Allah Swt. yang menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh dua sel lemah
itu. Inilah pelajaran agung dari Sang Maha Pencipta.
Pelajaran kedua dari surah al-mukminun ayat 12-14 ini adalah pelajaran bagi
kesadaran manusia tentang asal usul dirinya dan Tuhan yang telah menciptakannya. Ayat ini
mengajak manusia merenungkan kejadian dirinya. Manusia tidak ada dengan sendirinya
melainkan ada karena diadakan oleh Yang Mahaada. Kesadaran tentang hal ini diharapkan
dapat membawa dampak nyata pada perilaku manusia, kita bersama, untuk menjadi lebih
baik sesuai tuntunan Allah Swt. yang telah menciptakan. Pelajaran Allah Swt. dalam ayat ini
menunjukkan bahwa hadirnya manusia di muka bumi ini diadakan oleh Allah Swt. tentu
bukan tanpa tujuan. Tujuan hadirnya manusia untuk mengemban tugas sebagai khalifah-Nya
di muka bumi ini. Saat kita sadar tentang hal ini, kita mengetahui dari mana kita berasal dan
tugas yang harus kita emban di bumi ini.

ISI POKOK KANDUNGAN AL-QUR’AN


1) Akidah
Akidah adalah keyakinan, yaitu keyakinan seseorang terhadap Allah, rasul, para malaikat,
kitab-kitab Allah, hari kiamat dan takdir. Didalam Al-Qur’an semua dijelaskan bagaimana
cara kita beriman kepada Allah SWT, beriman kepada rasul, malaikat, kitab-kitab, hari
kiamat dan takdir. Oleh karena itu sudah sepantasnya bagi kita ummat islam untuk
mengetahui isi kandungan Al-Qur’an. Supaya dapat kita jadikan pedoman hidup kita. 
2) Ibadah
Ibadah artinya  tunduk dan taat kepada Allah SWT. yaitu suatu kegiatan yang dapat
dikerjakan manusia untuk menggapai ridha-Nya Allah SWT. didalam Al-Qur’an dijelaskan
tentang bagaimana cara beribadah kepada Allah SWT, didalam nya berisi perintah sholat,
puasa, zakat, haji, kurban dan sebagainya. 
3) Akhlak
Akhlak merupakan prilaku atau tingkah laku manusia, baik akhlak terpuji maupun akhlak
tercela. Diadalam Al-Qur’an menjelaskan tentang bagaimana prilaku akhlak yang baik,
seperti akhlaknya Rasulullah SAW yang disebut dengan “uswatun hasanah” yang dapat  kita
jadikan contoh dan pedoman dalam kehidupan kita. Sebaliknya didalam Al-Qur’an juga
dijelaskan contoh akhlak yang buruk. Seperti akhlak istri Nabi Luth AS, akhlak istri Nabi
Nuh AS, dan akhlak fir’un yang durhaka kepada Allah SWT. maka akhlak buruk inilah yang
wajib kita jauhi, sekaligus dibuang jauh-jauh agar kita selamat didunia dan diakhirat.
4) Hukum
 Hukum merupakan salah satu isi pokok ajaran al-Qur’an yang berisi kaidah-kaidah dan
ketentuan-ketentuan dasar dan menyeluruh bagi umat manusia.  Didalam Al-Qur’an
dijelaskan berbagai hukum-hukum, diantaranya adalah:  hukum jinayat, hukum mu’amalat,
hukum munakahat, hukum faraidh, dan jihad. Yang tujuannya adalah untuk memberikan
pedoman kepada manusia agar kehidupannya menjadi adil, damai, aman, tentram, sejahtera,
dan selamat didunia dan diakhirat. 
5) Peringatan
Peringatan yaitu sesuatu yang memberi peringatan kepada manusia akan ancaman Allah
SWT berupa siksa neraka. Dan peringatan ini juga bisa berupa kabar gembira bagi orang-
orang yang beriman kepada Allah dengan balasan berupa surga-Nya Allah SWT. Didalam
Al-Qur’an banyak sekali berisi peringatan-peringatan kepada kita agar kita tidak melanggar
perintah Allah, seperti peringatan larangan khamar, peringatan tentang agar kita tidak
mendurhakai orang tua, dan peringatan agar kita tidak menyukutukan Allah. Ini semua
bertujuan untuk mengingatkan  kita akan adanya azab Allah dan hari akhir. 
6) Kisah
Didalam Al-Qur’an juga berisi banyak kisah-kisah diantaranya adalah kisah para nabi dan
rasul, kisah hari kiamat, dan kisah kisah orang-orang yang terdahulu, seperti  kisah orang-
orang  yang mengalami kehinaan akibat durhaka kepada Allah SWT, dan kisah orang-orang
yang mendapatkan kejayaan dan kemuliaan disisi Allah karena keta’atan dan keimanannya
kepada Allah SWT.
7) Dasar ilmu pengetahuan sains dan teknologi
Didalam Al-Qur’an juga berisi tentang ilmu pengetahuan sains dan teknologi yang bersifat
potensial  agar dapat dikembangkan guna untuk kemaslahatan dan kesejahteraan hidup
manusia.
Subhanallah, Allah maha memberi ilmu kepada manusia, sehingga begitu banyaknya alat-alat
teknologi yang berkembang sekarang ini, yang dapat kita pergunakan untuk kehidupan
kita.  Itu semua tidak luput dari kekuasaan Allah.  
Oleh karena itu mari kita jadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Dengan memperbanyak
membaca Al-Qur’an dan memahami isi kandungannya. Agar kita selamat didunia dan
diakhirat kelak. Aamiin ya rabbal ‘alamiin….

MACAM-MACAM HADITS
Hadits atau sunnah dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Hadits atau Sunnah Qualiyah
    Hadits Qualiyah yaitu ucapan-ucapan atau sabda Nabi dalam berbagai kesempatan dan
keadaan yang berhubungan dengan penerapan hukum atau ketentuan-ketentuan lain dalam
islam.
     Contohnya seperti sabda Rasulullah saw:

Artinya:

ُ ‫ْال ُمْؤ ِمنُ لِ ْل ُمْؤ ِم ِن َكاْلبُ ْنيَا ِن يَ ُش ُّد بَ ْع‬


‫ضهُ بَ ْعضًا‬
"Orang mukmin dengan orang mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan, satu sama lain
saling menguatkan". (H.R.Muslim)
2. Hadits atau Sunnah Fi'liyah
    Hadits Fi'liyah yaitu perbuatan atau perilaku Nabi untuk memberikan tuntunan atau contoh
pelaksanaan ibadah atau urusan-urusan lain dari islam.
  Contoh:
Artinya:
‫ْض ةَ نَ زَ َل‬ َ ‫ت فَ ِإ َذا اَ َرا َد ْالفَ ِري‬
ْ َ‫ْث تَ َو َّجه‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس لَّ َم ي‬
ُ ‫ُص لِّى َعلَى َرا ِحلَتِ ِه َحي‬ َ َ‫ع َْن َجابِ ٍر ْب ِن َع ْب ِد هللاِ ق‬
َ ُ‫ال َكانَ َرسُوْ ُل هللا‬
ْ ْ
َ‫فَا ْستَقبَ َل الفِ ْبلَة‬

“Dari Jabir berkata, bahwasanya Rasulullah pernah shalat di atas tunggangannya, kemana
saja tunggangannya itu menghadap. Apabila beliau hendak (melaksanakan shalat) fardhu, ia
turun dan menghadap ke kiblat” (HR. Bukhari-Muslim)

"Nabi Saw (meluruskan) shaf-shaf kami ketika kami akan melakukan shalat. Apabila shaf-
shaf kami telah lurus, barulah Nabi Saw. bertakbir".(HR. Muslim)
3. Hadits atau Sunnah Taqririyah
    Hadits Taqririyah yaitu pernyataan/persetujuan Nabi terhadap suatu perbuatan yang
dilakukan sahabat atau seseorang dihadapan beliau, atau perbuatan seseorang di tempat lain
yang di laporkan kepada beliau, lalu beliau diam. Diamnya Nabi menandakan persetujuan,
sebab kalau tidak setuju, maka Nabi akan menolaknya atau melarangnya.
  Contoh:

ِ‫ال َخالِ ٌد فَاجْ ت ََررْ تُ هُ فََأ َك ْلتُ هُ َو َر ُس وْ ُل هللا‬ ِ ْ‫ال اَل َولَ ِك ْن لَ ْم يَ ُك ْن بِ َأر‬
َ َ‫ض قَ وْ ِم ْي ُكلُ وْ ا فَِإنَّهُ َحاَل ٌل ق‬ َ ‫َأ َح َرا ٌم ال‬
َ َ‫ضبُّ يَا َرسُوْ َل هللاِ ق‬
َّ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ْنظُ ُر ِإل‬
‫ي‬ َ
“Apakah biawak ini haram? Nabi menjawab: “tidak, hanya saja (binatang ini) tidak ada di
daerah kaumku. Makanlah, karena itu halal”. Khalid berkata: “Segera aku memotongnya dan
memakannya, sedangkan Rasulullah menyaksikanku”. (HR. Bukhari-Muslim)
 Dihadits lain Rasulullah bersabda
Artinya:
"Kami (para sahabat) melakukan shalat dua rakaat sesudah terbenam matahari (sebelum
shalat Maghrib). Rasulullah Saw. melihat apa yang kami lakukan tetapi beliau tidak
menyuruh dan tidak pula melarang kami". (HR. Muslim)
Adapun conto-contoh hadits dari hadits qouliyah, fi’liyah dan taqririyah tersebut adalah
sebagai berikut :
Contoh Hadits Qouliyah (Ucapan)

ِ ‫ِإنَّ َما اَْأل ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬


‫ت (رواه البخارى ومسلم‬
“Segala amalan itu mengikuti niat (orang yang meniatkan)”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Seluruh ulama hadits telah sepakat dan ikut meriwayatkannya.
Selain itu ada contoh hadits yang lainnya, yaitu :
‫ث (رواه الدرقطني عن جابر‬ ِ ‫صيّةَ لِ َو‬
ٍ ‫ار‬ ِ ‫الَ َو‬
“tidak ada wasiat (tidak boleh diwasiatkan) untuk orang yang menerima pusaka (warisan)”.
(HR. Ad-Daruquthny dari Jabir)
Hadits ini adalah hadits masyhur, ibn Hazm mengatakan bahwa itu hadits mutawatir.

Contoh Hadits Fi’liyah (Perbuatan)


Contoh-contoh hadits yang berupa perbuatan Nabi (fi’liyah) banyak kita temukan,
diantaranya seperti cara-cara nabi melakukan shalat (baik shalat wajib maupun shalat sunah),
tata cara mengerjakan ibadah haji, memutuskan sebuah perkara yang terjadi di para sahabat
berdasarkan saksi dan berdasarkan sumpah, dan adab-adab berpuasa. Semua hadits yang
berkaitan dengan hal-hal ini diterima dari nabi dengan perantaraan sunnah fi’liya (hadits
dalam bentuk perbuatan), lalu kemudian para sahabat menukilnya.
Contohnya hadits nabi untuk meneladani nabi dalam urusan shalat, Nabi saw bersabda :

َ ُ‫صلُّوْ ا َك َما َرَأ ْيتُ ُموْ نِ ْي ا‬


‫صلِّ ْي (رواه البخارى ومسلم عن مالك‬ َ
“Bershalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku bershalat”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim
dari Malik ibn Huwairits)
Selain hadits tentang shalat, contoh lainnya adalah hadits tentang haji. Nabi bersabda :
‫ُخ ُذوْ ا َعنِّي َمنَا ِس َك ُك ْم (رواه مسلم عن جابر‬
“ambilah dariku cara-cara mengerjakan haji”. (HR. Muslim dari Jabir)

Untuk Contoh Hadits Taqriri (Penetapan)


Untuk contoh hadits taqriri (penetapan) adalah sebagai berikut :
Diriwatkan oleh Al-Bukhari dan Imam Muslim bahwa sahabat Khalid bin Walid memakan
dhab (sejenis biawak) yang kemudian dihidangkan kepada Nabi saw, akan tetapi Nabi enggan
untuk memakannya. Lalu sebagian sahabat (Khalid) bertanya: “Apakah kita diharamkan
makan dhab, wahai Rasulullah?” Nabi saw menjawab :
‫ ُكلُوْ ا فَِإنَّهُ َحاَل ٌل‬،‫ض قَوْ ِمي‬ َ ‫ َولَ ِكنَّهُ لَي‬،َ‫ال‬
ِ ْ‫ْس فِى اَر‬
“Tidak, hanya saja binatang ini tidak ada di negeriku (oleh karena itu aku tidak suka
memakannya). Makanlah, sesungguhnya dia (dhab) halal”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Beberapa contoh hadits di atas adalah contoh hadits qouliyah, fi’liyah dan taqririyah.
Sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh lain, namun disini hanya disebutkan salah
satunya saja.

2.1  Pengertian Al-Qur’an
Al-qur’an menurut bahasa berarti “bacaan”, sedangkan menurut istilah adalah
“Firman Allah yang diturunkan dan dibacakan kepada Muhammad Saw secara mutawatir”.
Yang dimaksud mutawatir disini adalah berita yang disampaikan kepada sejumlah orang dan
diriwayatkan (diterima) pula oleh sejumlah orang yang tidak mungkin bisa berkonspirasi
untuk melakukan kebohongan.[1]
Para ulama dalam bidang ilmu al-qur’an telah mendefinisikan al-qur’an menurut
pemahaman mereka masing-masing baik secara etimologi maupun terminologi. Secara
etimologi para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-qur’an sebagai berikut :
a.       Menurut Al-lihyany
Kata Qur’an adalah bentuk masdar dari kata kerja (fi’il)          artinya membaca,
dengan perubahan bentuk kata/tasrif (                                             ). Dari tasrif tersebut,
kata         artinya bacaan yang bermakna isim maf’ul (                 ) artinya yang dibaca, karena
al-qur’an itu dibaca maka dinamailah al-qur’an. Kata tersebut selanjutnya digunakan untuk
kitab yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad. Pendapat ini berdasarkan firman
Allah dalam Qs. Al-qiyamah : 17-18
“sesungguhnya Kami yng akan mengumpulkannya (di dada mu) dan membacakannya.
Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaan itu”.
b.      Menurut Al-Asy’ari
Kata Qur’an berasal dari lafaz " qur'anan" yang berarti menggabungkan sesuatu
dengan yang lain. Kemudian kata tersebut dijadikan sebagai nama Kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi-Nya, mengingat bahwa surat-suratnya, ayat-ayatnya, dan huruf-
hurufnya beriring-iringan dan yang satu digabungkan kepada yang lain.   
c.       Menurut Al-Farra’
Kata al-qur’an berasal dari lafaz            "  merupakan bentuk jama’ dari kata             
yang berarti petunjuk atau indikator, mengingat bahwa ayat-ayatnya satu sama lain saling
membenarkan.
d.      Menurut Asy-syafi’i
Kata Al-qur’an adalah isim ‘alam, bukan kata bentukan dari kata apapun dan sejak
awal memang digunakan sebagai nama khusus bagi kitab suci yang diturunkan Allah SWT
kepada Nabi Muhammad Saw sebagaimana halnya dengan nama-nama kitab suci sebelumnya
yang memang merupakan nama khusus yang diberikan oleh Allah SWT.
Ditinjau dari pengertian secara terminologi, para ulama juga berbeda pendapat dalam
mendefinisikan al-qur’an, beberapa pendapat ulama mengenai definisi al-qur’an antara lain :
1.      Syeikh Muhammad Khudari Beik
Dalam kitab Tarikh at-Tasyri al-Islam, Syeikh Muhammad Khudari Beik mengemukakan
definisi al-qur’an sebagai berikut:
“ Al-Qur’an ialah lafaz (firman Allah SWT) yang berbahasa arab yang diturunka kepada
Muhammad Saw untuk difahami isinya dan selalu diingat, yang disampaikan dengan cara
mutawatir yang ditulis dalam mushaf yang dimulai dengan surat al-fatihah dan diakhiri
dengan surat an-Nas ”
2.      Subkhi Salih
Subkhi Salih mengemukakan definisi al-qur’an sebagai berikut :
“ Al-Qur’an adalah kitab (Allah SWT) yang mengandung mu’jizat  yan diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw, yang ditulis dalam mushaf-mushaf, yang disampaikan secara
mutawatir, dan bernilai ibadah membacanya”.
3.      Syeikh Muhammad Abduh
Syeikh Muhammad Abduh mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut :
“Kitab (Al-Qur’an) adalah bacaan yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang terpelihara
didalam dada orang yang menjaganya dengan menghafalnya (yakni) orang-orang islam.”
Dari ketiga pendapat diatas, dapat disimpulkan beberapa unsur dalam pengertian al-qur’an
sebagai berikut :
a.       Al-Qur’an adalah firman atau Kalam Allah SWT
b.      Al-Qur’an terdiri dari lafal berbahasa arab
c.       Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhamammad Saw
d.      Al-Qur’an merupakan kitab Allah SWT yang mengandung mu’jizat bagi Nabi 
Muhammad Saw, yang diturunkan dengan perantara Malaikat Jibril.
e.       Al-Qur’an disampaikan dengan cara mutawatir (berkesinambungan)
f.       Al-Qur’an merupakan bacaan mulia dan membacanya merupakan ibadah
g.      Al-Qur’an dituliskan daam mushaf-mushaf, yang diawali dengan surat al-fatihah dan
diakhiri dengan surat an-Nas
h.      Al-Qur’an senantiasa terjaga atau terpelihara kemurniannya dengan adanya sebagian
orang islam yang menjaganyra dengan menghafal al-Qur’an sebagaimana dalam Qs. Al-Hijr :
9
“ sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan pasti Kami (pula) yang
memeliharanya.”
Al-Qur’an adalah pedoman atau petunjuk bagi umat manusia, karenanya setiap
ketetapanhukum harus didasarkan pada Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“ Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena
(membela) orang-orang yang khianat”. (Qs. An-Nisa: 105)
Dengan demikian, segala ketetapan hukum harus didasarkan pada Al-Qur’an, sebab
Al-Qur’an adalah way of life (pedoman hidup) bagi manusia, terutama orang-orang yang
beriman agar memperoleh keselamatan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun diakhirat. 
Ketetapan hukum yang terekam dalam al-Qur’an ada yang bersifat rinci dan ada yang
bersifat bersifat global. Ayat-ayat hukum yang bersifat rinci pada umumnya berhubungan
dengan masalah ibadah, keluarga, dan hukum waris. Sedangkan ayat-ayat hukum yang
bersifat global umumnya berkaitan dengan masalah perekonomian, ketatanegaraan,
perundang-undangan dan lain-lain.
Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur’an diantaranya memuat beberapa hal sebagai berikut :
a.       Hukum yang berkaitan dengan akidah, yakni ketetapan tentang wajib beriman kepada
Allah SWT, para malaikat, kitab-kitab, para rosul, hari akhir, dan qadha-qadar Allah SWT.
b.      Tuntunan yang berkaitan dengan   akhlak (budi pekerti), agar orang-orang mukmin
memiliki sifat-sifat terpuji.
c.       Hukum yang berkaitan dengan aktifitas manusia yaitu amal ibadah, hokum yang
berkaitan dengan masyarakat, hukum yang berkaitan dengan masalah social, dll.
Sebagai seseorang yang berpegang teguh pada al-Qur’an,  kita harus emiliki budi pekerti
yang luhur karena al-Qur’an berisikan tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran
agar orang muslim memiliki budi pekerti yang baik dan etika kehidupan yang sesuai dengan
al-Qur’an. 

2.2  Pengertian Hadits
Dalam islam, sumber hukum setelah al-Qur’an adalah Hadits, yaitu sumber hukum
kedua yang digunakan dalam Islam. Kedudukan sunnah sebagai sumber ajaran islam kedua
setelah al-Qur’an sangatlah penting, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Oleh
karena pentingnya pemahaman tentang sunnah, Abu Hanifah pernah mengatakan bahwa
tanpa sunnah tidak ada seorangpun yang dapat memahami al-Qur’an. Dari pernyataan
tersebut, dapat difahami bahwa seseorang tidak akan bisa memahami Islam secara utuh tanpa
mamahami hadits Nabi.
Pengertian Hadits menurut bahasa berarti “yang baru”, “yang dekat” atau “warta”
yaitu sesuatu yang dibicarakan. Sedangkan menurut istilah pengertian hadis ialah “segala
ucapan Nabi Saw, segala perbuatan serta keadaan atau perilaku beliau”. Sedangkan
pengertian hadis menurut Muhaddistin adalah segala apa yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw, baik itu hadits marfu (yang disandarkan kepada Nabi), hadits mauquf (yang
disandarkan kepada sahabat), atau hadits maqthu’ (yang disandarkan pada tabi’in).
Menurut Ushuliyyin hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhamammad Saw, selain al-Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
takrir Nabi saw, yang bersangkut paut dengan hukum syara’. MenurutFuqaha hadits adalah
segala sesuatu yang ditetapkan Nabi saw yang tidak ada kaitannya dengan masalah fardu atau
wajib.
Hadits Nabi sering juga disebut dengan sunnah, sementara istilah sunnah menurut para ulama
ahli hadits memiliki pengertian “ segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir (persetujuan) beliau.”
Hadits dan sunnah memiliki pengertian yang berbeda namun secara umum memiliki
persamaan yaitu sama-sama bersumber dari Rosulullah Saw. Menurut ahli hadits sunnah
adalah segala yang bersumber dari nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, tabiat, budi pekerti, maupun perjalanan hidupnya baik sebelum beliau diangkat
menjadi Rosul maupun sesudahnya. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sunnah
lebih luas dari hadits karena meliputi segala yang datang dari Muhammad saw baik sesudah
maupun sebelum beliau diangkat menjadi seorang rosul.
Menurut Usul Fikih, sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muammad saw,
selain al-Qur’an baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang pantas untuk
dijadikan dalil bagi peetapan hukum syara’ (hukum agama).
Hadits adalah sumber hukum islam yang kedua setelah al-Qur’an. Karena kedudukannya
sebagai penafsir dan pedoman pelaksanaa yang otentik terhadap al-Qur’an. Karenanya umat
islam wajib berpedoman kepada hadits-hadits Nabi saw. Allah berfirman :
“Apa yang diberikan Rosul kepada mu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkan lah.”(Qs. Al-Hasyr:7)
Berpedoman dengan teguh kepada hadits secara implicit sama dengan berpedoman kepada
Al-Qur’an. Sebab banyak ayat maupun hadits yang menggandengkan perintah untuk taat
kepada Allah da Rosulnya atau secara terpisah agar berpedoman kepada apa yang berasal dari
Rosul. Hadits sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an telah dinyatakan
melalui keterangan sunnah, sebagaimana sabda Rosulullah Saw:
“Telah aku tinggalkan dua perkara untuk kalian, kalian tidak aan sesat selama-lamanya
selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Nabi-
Nya” (HR. Malik)
Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an adalah sebagai berikut :
1.      Memperkuat hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an.
2.      Memberikan penjelasan atau rincian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat
global.
3.      Menentukan ketentu atau hukum yang belum disebutkan dalam al-qur’an.
Secara garis besar, kualitas hadits dibagi menjadi dua yaitu mutawatir dan ahad, yang
dimaksud dengan hadits  mutawatir adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah
orang dari sejumlah orang yang jumlahnya cukup banyak pula yang tidak memungkinkan
melakukan kebohongan bersama. Sementara, yang dimaksud dengan hadits ahad adaah hadits
yang diriwayatkan oleh orang perorangan jumlahnya tidak mencapai jumlah mutawatir.
Karena persyaratan hadits mutawatir cukup ketat, maka jumlahnya bisa dibilang sangat
sedikit.
Adapun hadits ahad dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu :
1.      Shahih, hadits yang memiliki mata rantai sanad yang bersambung, tidak bertentangan
dengan riwayat hadits kebanyakan, tidak mengandung cacat, serta diriwayatkan oleh seorang
perawi yang adil dan akurat periwayatannya.
2.      Hasan, hadits hasan tidak jau berbeda dengan pengertian hadits shohih. Yang
membedakan antara keduanya hanya pada kualitas perawinya, dimana perawi hadits hasan
tidak sepopuler hadits shahih.
3.      Dha’if, sebuah hadits yang tidak memenuhi beberapa kriteria hadits shahih maupun
hasan.
2.3  Pengertian Ijtihad
Yang dimaksud dengan metode ijtihad adalah sebuah cara atau upaya untuk menggali
dasar hukum islam yang belum disebutkan secara tegas dalam al-Qur’an maupun hadits
dengan menggunakan ra’yu (ijtihad). Menurut Muhammad Syaltut bahwa penetapan hukum
berdasarkan pada ra’yu ini disebut ijtihad. Masalah-masalah yang boleh diijtihadkan oleh
masalah-masalah didalam al-Qur’an dan hadits yang belum ditemukan hukumnya secara jelas
dan rinci.
Dasar yang boleh menetapkan hukum berdasarkan ijtihad ini antara lain adalah dialog Nabi
Muhammad Saw dengan Mu’adz bin Jabal pada waktu dia diutus menjadi penguasa di
Yaman sebagai berikut 
“(Nabi Muhammad Saw bertanya) : “bagaimana engkau menetapkan hukum bila
dihadapkan kepada mu suatu perkara yang memerlukan penetapan hukum ?” Mu’adz
menjawab : “aku putuskan dengan Kitabullah (Al-Qur’an)”. Lalu, Nabi bertanya lagi.
“Seandainya kamu tidak menemukannya dalam al-Qur’an?” Mu’adz menjawab : “aku
putuskan dengan sunnah Rasul-Nya”. Selanjutnya Nabi bertanya :”seandainya jika dalam
as-sunah pun tidak ada ?” Mu’adz menjawab : “aku putuskan berdasarkan pendapatku
sendiri (ijtihad). (memperhatikan jawaban Mu’adz seperti itu) Nabi menepuk dada Mu’adz
seraya bersabda : “ segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan utusan seorang rosul
dengan sesuatu yang dikehendak Rosulullah.”
Dari dialog diatas, dapat diketahui bahwa sumber hukum islam selain Al-Qur’an, as-sunnah,
ada juga sumber hukum islam yang berdasarkan pada ra’yu atau ijtihad. Adapun pengertian
ijtihad secara bahasa berarti bersungguh-sungguh, rajin, giat. Kemudian dikalangan para
ulama, perkataan ijtihad ini khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-
sungguh dari seorang ahli hukum (fuqaha) untuk mengetahui hukum syariat. Jadi dengan
demikian ijtihad adalah perbuatan menggali hukum syar’iyyah dan dalil-dalilnya yang
terperinci dalam syariat. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Imam al-Ghazali mendenisikan ijtihad sebagai usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid
dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum-hukum syariat. Ijtihad mempunyai peranan
penting dalam penetapan status hukum suatu masalah yang tidak atau belum ada hukumnya
secara rinci, baik dalam al-Qur’an maupun as-sunnah. Tanpa ada ijtihad banyak masalah
yang dihadapi manusia tidak dapat dipecahkan karena tidak diketemukan hukumnya dalam
kedua sumber pokok tersebut. Dengan ijtihad, masalah-masalah yang belum ada hukumnya
menjadi jelas status hukumnya.
Dalam penetapan hasil ijtihad memungkinkan jika terjadinya perbedaan, karena masing-
masing mujtahid mempunyai sudut pandang ataupun latar belakang pendidikan yang berbeda.
Adapun menurut Syeikh Muhammad Khudlari hukum ijtihad itu dikelompokkan menjadi :
1.      Wajib ‘ain, yaitu bagi orang-orang yang ditanya tentang sesuatu masalah, dan masalah
itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa yang
ia sendiri juga ingin mengetahui hukumnya.
2.      Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tntang sesuatu dan sesuatu itu tidak
hilang sebelum diketahui hukumnya, sedang selain dia ada mujtahid lain. Apabila seorang
mujahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban
mujtahid yang lain telah gugur.
3.      Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.
Adapun seorang yang akan menjadi mujtahid harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti
syarat umum, khusus dan syarat pelengkap.
a.       Syarat umum : Baligh, berakal sehat, memahami masalah, beriman.
b.      Syarat khusus : mengetahui ayat al-qur’an yang berhubungan dengan masalah yang
dianalisis, mengetahui sunnah Nabi yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis.
Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam, yaitu kemaslahatan hidup didunia dan
diakhirat, mengetahui kaidah-kaidah kulliyyah yaitu kaidah yang diistinbatkan dari dalil-dalil
syara’, mengetahui kaidah-kaidah bahasa arab, mengetahui ilmu ushul fikih, mengetahui ilmu
mantik, mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah ashliyah (semacam praduga
tak bersalah), mengetahui soal-soal ijma’.
c.       Syarat-syarat pelengkap : mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’iy yang berkaitan
dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya, mengetahui masalah-masalah yang
diperselisihkan oleh para ulama dan yang akan mereka sepakati, mengetahui bahwa hasil
ijtihad itu tidak bersifat mutlak.
2.4 Al-Qur’an, Hadits dan Ijtihad sebagai Sumber Pendidikan
Sudah kita ketahui bersama, bahwa Islam adalah sebuah system hidup yang harus diterapkan
dalam kehidupan, karena Islam mempunyai sumber hukum yang langsung diturunkan oleh
Allah yaitu Al-Qur’an, mukjizat terbesar umat muslim. Karena didalam Al-Qur’an Allah
telah menuliskan hukum-hukum dan tatacara beribadah, bermasyarakat, dsb. Karena Islam
bukan hanya doktrin agama saja, Islam lah yang mempunyai aturan yang sangat lengkap dan
terperinci. Namun, ada beberapa hal yang tidak secara jelas Allah gambarkan dalam Al-
Qur’an, akan tetapi adapula hadits rosulullah yang dijadikan sumber hukum yang kedua yaitu
segala perbuatan, perkataan, yang berasal dari Nabi Muhammad saw.
Islam sebagai panduan hidup manusia tak hanya membiacarakan ibadah yang bersifat
horizontal saja (Hablu minalloh) akan tetapi membicarakan pula mengenai Hablu minafsi dan
Hablu Minannas. Termasuk salah satunya adalah bidang pendidikan.
Dalam islam, pendidikan sangat penting karena sudah jelas Allah telah berfirman dalam Al-
Qur’an dalam Qs. Al-Mujadalah : 11
“ wahai orang-orang yang beriman ! apabila dikatakan kepada mu, “berilah kelapangan
didalam majelis-majelis”, maka lapangkan lah, niscaya Allah akan memberika kelapangan
untuk mu. Dan apabila dikatakan “berdirilah kamu”, maka berdiri lah niscaya Allah akan
mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah maha teliti
apa yang kamu kerjakan.”
Keutamaan dalam menuntut ilmu atau berpendidikan banyak dijelaskan dalam ayat Al-
Qur’an maupun as-sunnah. Dengan begitu, sudah jelas bahwa Islam mengatur mengenai
pendidikan. Lalu, bagaimana pendidikan dalam Islam ? 
Menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban bagi setiap kaum muslim laki-laki maupun
perempuan, keutamaan dalam menuntut ilmu sudah banyak dijelaskan misalnya, Allah akan
menjaga orang-orang yang menuntut ilmu karena-Nya, mengangkat derajatnya, dsb. System
islam dalam mengatur urusan pendidikan sendiri yaitu menjadikan sumber pelajaran atau
bahan ajar yaitu berdasarkan apa yang ada dalam Al-Qur’an dan As-sunnah. Pada awal
pendidikan seorang anak yang didahulukan adalah pemahaman tauhid terhadap siswa
tersebut. Pemahaman dan penanaman sifat tauhid sangat penting karena dengan mengetahui
hakikat dirinya sebagai seorang hamba, anak akan senantiasa ingat bahwa ada yang selalu
mengawasi, ada yang selalu memperhatikan dan maha tahu segala sesuatu yang ada ada diri
kita. Dengan begitu,
Anak akan melaksanakan Ihsan dari sejak dini, kalaupun si anak melakukan kesalahan, ia
akan ingat bahwa ada yang maha mengetahui.
        Dalam Islam, ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah adalah integrasi yang sudah ada
didalam al-Qur’an, jauh sebelum para ilmuwan menemukan riset. Oleh karena itu, islam tidak
hanya mengajarkan atau memiliki pengetahuan yang bersifat rohaniah saja, melainkan ilmiah
pun ada dalam islam. Karena antara dalil dan ilmu pengetahuan saling menyeimbangkan satu
sama lain, ini membuktikan bahwa ada sang pencipta dan ada yang menciptakan. Dan semua
ini adalah bukti akan kebesaran Allah SWT.

3.1  Simpulan
Al-Qur’an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai
mukjizat melalui perantara malaikat jibril, sedangkan Hadits adalah segala yang dating dari
Nabi saw baik perkataan, perbuatan maupun taqir, lalu yang dimaksud dengan ijtihad adalah
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh penguasa atau pemimpin yang status hukum
tersebut belum ada dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah.
Al-qur’an merupakan sumber hukum Islam pertama  yang didalamnya terkandung segala
ilmu pengetahuan dan segala aturan dalam kehidupan. Hadits merupakan sumber hukum
Islam yang kedua setelah al-qur’an, hadits berfungsi untuk mempertegas dan memperjelas
hukum yang disampaikan dalam Al-Qur’an. Lalu, jika status suatu hukum belum ditemukan
dalam Al-Qur’an dan As-sunnah, maka para pemimpin atau ulama boleh melakukan ijtihad.

Anda mungkin juga menyukai