Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

“ Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Ikhwan Al-Shafaa”

Dosen Pengampu: Dr. Muhajir Abd. Rahman M. Pd. I

Kelompok X :

1. Rosmiati Umasugi (170301104)


2.

JURUSAN PENDIDIKAN AGAM ISLAM (PAI)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AMBON (IAIN)

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh.

Segala puji dan syukur hanya milik Allah Subhanahu wa ta'ala, berkat
limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini
guna memenuhi tugas mata kuliah PPI dengan judul "Pemikiran Pendidikan
Islam Konsep Pemikiran Ikhwan Al Shafaa". Tak lupa pula shalawat dan salam
semoga selalu tercurah kepada teladan kita Rasulullah saw.

Makalah ini disusun dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita
baik itu dari internet maupun buku-buku lainnya. Makalah ini di susun oleh
penyusun dengan berbagai rintangan.

Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar.
Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah Subhanahu
wa ta'ala akhirnya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa
masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya.
Oleh karena itu, kepada dosen pengampu mata kuliah ini, kami meminta masukan
perbaikan termasuk saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah ini dapat diambil


manfaatnya dan besar keinginan kami makalah sederhana ini dapat menginspirasi
para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang berkaitan pada makalah-
makalah selanjutnya.

Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh.


DAFTAR ISI

Judul Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i

KATA PENGANTAR ................................................................................ ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.2 Bagaimana biografi dari Ikhwan al-Shafa….……………………………..3


2.2 Pemikiran tentang konsep pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa………….5

2.3 Ciri-ciri modern/global pemikiran Ikhwan al-Shafa……….,…………..…10

2.4 Implikasi pemikiran pendidikan Ikhwan al-Shafa di era global……….….16

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang
sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam,
khususnya dari para filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun,
Ikhwan al-Shafa, dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu
organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para
filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan al-
Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi
ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh
persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman
seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti
mencintai dirinya sendiri.1
Para filsuf tersebut mengemukakan konsep-konsep pendidikan baru di
zaman selanjutnya, konsep-konsep pendidikan itu menjadi landasan dasar
pengembangan pendidikan. Pendidikan dipilih menjadi sarana untuk memperbaiki
moral bangsa penting kita konsep secara sistematis dan struktur, baik dari segi
tujuan pendidikan, pendidikan, maupun peserta didiknya. Karena diharapkan,
pendidikan mampu menciptkan insan yang lebih baik dalam akhlak maupun
kecerdasan intelektualnya. Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu tujuan dari
pendidikan adalah memanusiakan manusia, yang artinya bahwa mengembangkan
kemampuan manusia secara optimal sehingga mampu melaksanakan hak dan
kewajiban sesuai dengan perspektifnya.
Salah satu pandangan konsep pendidikan adalah konsep pendidikan
menurut Ikhwan al-Shafa, hal ini menjadi penting karena Ikhwan al-Shafa menitik
beratkan tujuan pendidikan itu untuk pengenalan diri. Selain itu, Ikhwan al-Shafa
juga mengedepankan kepentingan sosial diatas kepentingan pribadi. Hal ini dapat
menimbulkan nilai-nilai baik pada peserta didik, jika nilai ini terus dikembangkan,

1Nata Abbudin. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta 2005.  hlm. 181


maka peserta didik akan menjadi orang yang bermanfaat, dan tentu pernaikan-
perbaikan sosial yang dilakukan di masyarakat sksn mudah di capai. Untuk lebih
jelasnya filsafat dan konsep pendidikan Ikhwan al-Shafa akan dibahas dalam
makalah ini
B.  Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi dari Ikhwan al-Shafa?
2. Bagaimana pemikiran tentang konsep pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa?
3. Bagaimana ciri-ciri modern/global pemikiran Ikhwan al-Shafa?
4. bagaimana implikasi pemikiran pendidikan Ikhwan al-Shafa di era global ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Ikhwan al-Shafa


Ikhwan al-Shafa adalah sebuah perkumpulan para mujtahidin yang
bergerak dalam bidang filsafat dan  ilmu pengetahuan. Sesuai dengan namanya,
Ikhwan Al Safa berarti persaudaraan yang suci dan bersih. Maka atas utama
perkumpulan ini adalah persaudaraan yang dilakukan secara tulus dan ikhlas,
kesekawanan yang suci, dalam menuju Ridlo Ilahi. Perkumpulan ini berkembang
pada abad kedua Hijriah di kota Bashrah, Irak. Ikhwan al-Shafa merupakan para
perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang banyak memfokuskan
perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan.
Organisasi ini mengajarkan tentang dasar-dasar agama islam yang
didasarkan pada persaudaraan islamiyah (ukhuwwah islamiyyah), yaitu suatu
sikap yang memandang iman seorang muslim tidak akan sempurna kecuali jika ia
mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Sebagai sebuah
organisai ia memiliki semangat dakwah dan tablik yang amat militan dan
kepedulian yang tinggi terhadap orang lain. 2 Semua anggota perkumpulan ini
wajib menjadi guru dan mubaligh terhadap orang lain yang terdapat di
masyarakat.3 Disinilah letak relevansinya berbicara Ikhwan al-Safa dengan
pendidikan.
               Informasi lain menyebutkan bahwa organisai ini didasarkan oleh
kelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Organisasi yang mereka
dirikan bersifat rahasia dan memiliki misi politis. Namun bersamaan dengan itu
pula ada yang menyatakan bahwa organisasi ini lebih bercorak kebatinan. Mereka

2
3Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Al-Tarbiyah Fi Al-Islam, Hlm 227
Arifin.Filsafat Pendidikan Islam, Hlm 92-93. Dalam Filsafat Pendidikan Islam,
Nata,abuddin,2005. Hlm 231
 Nata,abuddin. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta 2005. Hlm 231-232
sangat mengutamakan pendidikan dan pengajaran yang berkenaan dengan
pembentukan pribadi, jiwa, dan akidah.4
Diantara anggotanya yang dapat diketahui nama-nama mereka adalah sebanyak
lima orang, yaitu:5
1. Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Masyar al-Basti atau dikenal dengan nama
al-Maqdisy
2. Abu Hasan Ali Ibnu Harun al-Zanjany
3. Abu Ahmad al-Mahrajani
4. Al-Qufy
5. Zaid Ibnu Rifa’ah
Secara umum yang melatar belakangi kemunculan Ihwan al-Shafa yaitu
keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran-
ajaran diluar Islam, serta untuk membangkitkan kembali rasa cinta kepada ilmu
pengetahuan dikalangan umat Islam. Aktivitas Ikhwan al-Shafa difokuskan untuk
mempelajari filsafat, baik filsafat Yunani, Persia, dan lainnya yang kemudia
dipadukan dengan ajaran Islam, sehingga menjadi satu ikhtisar dan mazhab
filsafat sendiri. Dari hasil pembahasannya, Ikhwan al-Shafa menyusun sebuah
buku yang terdiri dari sebuah risalah yang berjudul “Raisail Ikhwan al-Shafa wa
al-Kullah al-Wafa” yang berjumlah 52 rasail didalamnya.6 Kitab ini terdiri atas
empat jilid yang berisikan ikhtisar tentang ppengetahuan yang ada ketika itu
mencangkup semua objek studi manusia, seperti:7
1. 14 risalah tentang matematika yang mencangkup: geometri, astronomi, musik,
geografi, teori, dan praktek seni logika.

4
5Maragustam. Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus
Global, 2014. Hlm 161
Nasution,masyim. Filsafat Islam, Jakarta; Gaya Media,2005. Hlm 46

Ibid, hlm 46

6
7
2. 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, meliputi: geneologi, minerologi,
botani, hidup dan matinya alam, senang dan sakitnya alam, keterbatasan
manusia dan kemampuan kesadaran.
3. 10 risalah tentang ilmu jiwa meliputi metafisika mahzab Pytagoreanisme dan
kebangkitan alam.
4. 11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, mencangkup kepercayaan dan
keyakinan hubungan alam dengan Tuhan, keyakinan Ikhwan al-Shafa,
kenabian dan keadaanya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan
Tuhan, magic dan jimat.

2.    Konsep Pendidikan Ihwan al-Shafa


               Menurut Ikhwan al-Shafa, aktivitas pendidikan dimulai sejak sebelum
kelahiran. Sebab, kondisi dari bayi dan perkembangannya sudah dipengaruhi oleh
keadaan kehamilam dan kesehatan sang ibu yang hamil. Dengan demikian,
perhatian pendidikan harus sudah diberikan sejak masa janin dalam rahim.8 Dalam
sejarah Islam, kelompok ini tampil eksklusif dalam gerakan reformatif
pendidikannya, karena itu mereka adalah ta'limiyyun (pengajaran) dalam
melangsungkan kegiatan keilmuannya organisasi ini memandang pendidikan
dengan pandangan yang bersifat rasional dan empiric, atau perpaduan antara
pandangan yang bersifat intelektual dan faktual. Mereka memandang ilmu sebagai
gambaran dari sesuatu yang diketahui dari alam ini. Dengan kata lain yang
dihasilan dari pemikiran manusia itu terjadi karena mendapat bahan informasi
yang dikirim oleh panca indera.9      
Menurut Ikhwan al Safa, hakekat manusia adalah terletak pada jiwanya,
sementara jasad merupakan penjara bagi jiwa, oleh karena itu kelompok ini
membuat perumpamaan bagi orang yang belum dididik dengan ilmu aqidah,

8Ridla,jawwad M. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-


Filosofis, Yogyakarta 2002. Hlm 168
 Nata,abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 232

Ibid,.hlm 232

9
ibarat kertas putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis
sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak akan dihilangkan.10
a.    Cara mendapat ilmu
Ketika lahiri jiwa tidak memiliki pengetahuan sedikitpun, proses
perolehan pengetahuan manusia digambarkan Ikhwan al Safa secara dramatis
dilakukan melalui perlimpahan. Proses perlimpahan itu bermula dari jiwa
universal kepada jiwa manusia setelah terlebih dahulu melalui proses imanasi,
secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya.
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara,
yaitu:
1. Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan
tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan
yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2. Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu
oleh indera.
3. Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-
Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara
langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan
sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin
agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi,
dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir. 11 Konsep Imam ini
disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam
pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam
memilih imam dari kelompoknya sendiri.
Pada bagian lain Ikhwan berpendapat bahwa pada dasarnya semua ilmu itu
harus diusahakan (muktasabah) bukan dari pemberian tanpa usaha. Ilmu yang
demikian dapat diperoleh dengan menggunakan panca indra. Sesuatu yang
terlukis dalam pemikiran itu bukanlah sesuatu yang hekekatnya telah ada dalam
pemikiran, melainkan lukisan tersebut merupakan pantulan yang terjadi karena

10
11Farrukh,omar A. Aliran-Aliran Filsafat Islam, hal. 185-186
adanya kiriman dari panca indra. Jadi  bukan karena ide dari alam pikiran. Dengan
panca indra itulah manusia dapat mengetahui sesuatu pandangan seperti
dihasilkan melalui penafsiran terhadap ayat An Nahl 16:78
.‫وهللا اخرجكم من بطون امهاتكم التعلمون شيأ وجعل لكم السمع واالبصار واالفئدة لعلكم تشكرون‬
Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian
ilmu, akan tetapi menurutnya panca indra dan akal memiliki keterbatasan dan
tidak mungkin sesuai sampai pada pengetahuan tentang esensi Tuhan. Oleh karena
itu diperlukan pendekatan inisiasi yaitu bimbingan/otoritas ajaran agama.
Oleh karena itu Ikhwan al Safa menolak pendapat yang mengatakan bahwa
pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato
yang beraliran idealisme. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama
alam ide yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Karena itu untuk dapat
mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.
Aliran idealisme inilah yang ditentang oleh Ikhwan al Safa.12
Aliran Ikhwan al Safa lebih dekat dengan aliran John Locke yang bersifat
empirisme. Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena panca indra
berinteraksi dengan alam nyata. Begitu juga dengan cara mendapatkan ilmu itu
harus diusahakan dengan cara membiasakan berpegang pada pembiasaan dan
perenungan. Hal inilah yang dapat memperkuat daya ingatan dan kedalaman ilmu
seseorang.13
b.    Tipe ideal guru
Nilai seorang guru bergantung pada caranya menyampaikan ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu mereka mensyariatkan agar guru memiliki syarat-
syarat yang sesuai dengan sikap dan pandangan politik Ikhwan al-Shafa serta
sesuai pula dengan tujuan penyiaran dakwahnya. Keberhasilan siswa tergantung
pada kepada guru yang cerdas, baik akhlaknya, lurus tabi’atnya, bersih hatinya,

12
13 Ibid. Hlm 232-234
 Fu’ad,ahmad Op. Cit., Hlm 227-228 dalam Nata,abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta,
Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 234.

Nata,abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 234


menyukai ilmu, bertugas mencari kebenaran, dan tidak bersifat fanatisme terhadap
suatu aliran.14
Syarat-syarat guru demikian hanya muncul dari orang-orang yang berada
dalam organisasinya. Berkenaan dengan ini mereka memiliki aturan tentang
jenjang seorang guru yang oleh istilah mereka dikenal dengan nama ashhab al-
namus. Mereka itu adalah mua’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab al-
namus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru
jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari
sesuatu. Guru, ustadz atau mu’addib dalam hal ini berada pada posisi
ketiga. Dalam pola klasifikasi lain tentang jenjang dakwah kelompok Ikhwan al-
Shafa, terbagi menjadi:15
1. Al-Abrar al-Ruhama’ (yang baik pengasih), yaitu anggota kelompok yang
berusia 15 tahun-an. Mereka mempunyai karakteristik jernih jiwa, murah
hati, manis kata dan cepat paham.
2. Al-Akhyar al-Ruhama’ (yang terpilih-mulia), yaitu anggota kelompok
yang berusia 30 tahun-an. Mereka bercirirkan concern terhadap ikhwah,
murah hati, lembut, santun dan peduli pada ikhwah.
3. Al-Fudlala’ al-kiram (yang mulia-terhormat), yaitu anggota kelompok
yang berusia 40 tahun-an. Bercirikan otoritatif, direktif, dan pemersatu
atas pertentangan yang ada dengan cara bijak, santun,dan rekonstruktif,
4. Al-Balighun Malakutallahi (yang telah mencapai malakut Allah), yaitu
kelompok yang berusia 50 tahun-an. Bercirikan kepasrahan total,
keteguhan jiwa, dan penyaksian kebenaran.
Ikhwan al-Shafa membagi sumber pengetahuan menjadi empat dimensi:
a. Kitab suci yang diturunkan, misal Taurat, Injil, dan Al-Qur’an.
b. Kitab-kitab yang disusun oleh para hukama’ (orang-orang bijak) dan filosof,
baik beruppa Matematika, fisika-kealaman, Sastra dan filsafat.

14Ridla,jawwad M Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-


Filosofis, Yogyakarta 2002. Hlm 147-148.

15
c. Alam, yakni bentuk empiris (phenoumenon) segala yang sesuatu sebagaimana
adanya.
d. Perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya, atau sering disebut
sebagai noumenon, ragam dan macamnya, serta kaitan fungsionalnya dengan
kenyataan empiris (phenoumenon).
Keistemewaan Pemikiran Ikhwan al Safa dalam Etos Keilmuan
Bahwa Ikhwan al Safa di dalam etos keilmuannya tidak membatasi diri
hanya pada satu sumber, melainkan dari berbagai pandangan yang luas dan
menyeluruh tentang sumber-sumber pengetahuan. Selain itu keistimewaan yang
paling menonjol, bahwa mereka menolak fanatisme dan berpegang pada
kebebasan berfikir kritis untuk mencari kebenaran, sehingga mereka mampu
untuk mempengaruhi generasinya untuk memahami keragaman dan perbedaan
pemikiran, serta pluraritas aliran pemikiran dalam pengembangan dinameka
keilmuan dan akselerasi derap langkah kemajuan intelektual sosialnya melalui
sistem pendidikan yang efektif.16
Kelompok ini mampu memerankan fungsi strategis dalam sejarah gerakan
pemikiran Islam, dan memberikan pengaruh yang positif serta Para sejarawan
kontemporer pun mengakui kontribusi besar yang telah diberikan kelompok ini
dalam memacu perkembangan pemikiran Islam, yaitu berupa:17
a. Totalitas kelompok Ikhwan al-Shafa dalam mengabdi untuk kehidupan
intelektual di abad ke-empat hijriah, hingga merekalah yang paling fasih
berbicara tentang masalah ini.
b. Perintisan program penyusunan karya ensiklopedia pemikiran keislaman,
yaitu dengan risalah-risalah populer mereka.
c. Pencerdasan dan pencerahan masyarakat luas melalui program pengajaran
aneka ragam ilmu dan filsafat.
3.    Ciri-Ciri Modern/Global Pemikiran Ikhwan Al-Shafa
a. Al-Tawfiq Dan Al-Talfiq
16
17M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama  Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis.
Hlm 148-149
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, 2005. Hlm. 150-151
Pemikiran al-tawfiq (rekonsiliasi) Ikhwan al-Shafa terlihat pada tujuan pokok
bidang keagamaan yang hendak dicapainya, yakni merekosiliasikan atau
menyelaraskan antara agama dan filsafat dan antara agama-agama yang ada.
Usaha ini terlihat dari ungkapan mereka bahwa syariah telah dikotori bermacam-
macam kejahilan dan dilumuri berbagai kesesatan, satu-satunya jalan
membersihkannya adalah dengan filsafat.18
Ikhwan al-Shafa berusaha memadukan filsafat dengan agama dengan
menurunkan metafisika dan ilmu pengertian dari puncak spekulatif murni yang
tidak dapat dijangkau secara aktif-praktis. Dengan demikian, harus dimunculkan
satu tingkat kepercayaan yang menengahi tingkat kepercayaan yang telah ada,
tingkat yang cocok bagi orang-orang pilihan dan bagi orang kebanyakan yaitu
tinggkat kepercayaan yang cocok bagi keduanya, yang berakar pada akal,
dipotong oleh kitab suci, dan dapat diterima oleh semua kelompok pencari
kebenaran.19
          Disamping itu Ikhwan al-Shafa juga memadukan agama-agama yang
berkembang pada waktu itu dengan berasaskan filsafat, seperti Islam, Kristen,
Majusi, Yahudi dan lain karena, menurut mereka tujuan agama adalah sama yaitu
mendekatkan diri kepada Tuhan.20
b. Metafisika
Adapun mengenai ketuhanan, Ikhwan al-Shafa melandasi pemikiran kepada
bagian. Menurut mereka, ilmu bilangan adalah lidah yang mempercayakan
tentang tauhid, al-tanzih, dan meniadakan sifat dan tasybih, serta dapat menolak
sikap orang yang mengingkari keesaan Tuhan. Dengan kata lain, pengetahuan
tentang angka membawa kepada pengakuan tentang keesaan Tuhan, karena
apabila angka satu rusak, maka rusaklah semuanya. Selanjutnya mereka katakan,
angka satu belum angka dua dan dalam angka dua terkandung pengertian
kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu adalah angka pemula dan ia lebih dahulu

18
19Sirajudin Zar, Filsafat Islam : Filosof Dan Filsafatnya, Jakarta, 2004. Hlm.143
Hasyimsah  Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 47
 Ibid., hlm 47

20
dari angka dua atau angka lainnya. Karena itu keutamaan terletak pada yang
dahulu, yakni angka satu. Sedangkan angka dua dan lainnya terjadi kemudian.
Karena itu terbuktilah bahwa lainya bahwa yang Esa (Tuhan) lebih dahulu dari
lainnya seperti dahulunya angka satu dari angka yang lain.21
Ikhwan al-Shafa juga melakukan al-tanzih, meniadakan sifat dan tasybih
kepada Tuhan. Tuhan adalah pencipta segala yang ada dengan cara al-
faidh (emanasi) dan memberi bentuk tanpa waktu dan tempat, cukup dengan
firman-Nya kun fa kana. Maka adalah segala yang dikendaki-Nya. Ia berada pada
segala sesuatu tanpa berbaur dan bercampur, seperti adanya angka satu dalam
tiap-tiap bilangan. Sebagaimana bilangan satu tidak dapat dibagi dan tidak serupa
deng an bilangan lain. Demikian pula Tuhan tidak ada menyamai dan
menyerupai-Nya. Tetapi, ia jadikan fitrah manusia untuk dapat mengenal-Nya
tanpa belajar.22
Tentang ilmu Tuhan, Ikhwan al-Shafa beranggapan bahwa seluruh
pengetahuan (al-ma’lumat) berada dalam ilmu Tuhan sebagaimana beradanya
seluruh bilangan dalam satu. Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu Tuhan dari
zat-Nya sebagaimana bilangan yang banyak dari bilangan yang satu yang
merupakan seluruh bilangan. Demikian pula ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu
yang ada.23
Berkaitan dengan penciptaan alam, pemikiran Ihwan al-Shafa merupakan
perpaduan antara pendapay Aristoteles, Plotinus dan Mutakallimin. Bagi Ikhwan
al-Shafa, Tuhan adalah pencipta dan mutlak Esa. Dengan kemauannya sendiri
Tuhan menciptakan Akal Pertama atau Akal Aktif (al-‘aql al-fa’al) secara
emanasi. Kemudian, Allah menciptakan materi pertama (al-hayula al-ula).n
demikian, jika Allah kadim, lengkap dan sempurna, maka akal pertama ini juga
demikian halnya. Pada Akal Pertama ini lengkap segala potensi yang akan muncul
pada wujud berikutnya. Sementara jiwa terciptanya secara emanasi dengan
perantaran akal, maka jiwa kadim dan lengkap, tetapi tidak sempurna. Dengan
21Ibid., hlm 48
 Ibid., hlm 48
 Ibid., hlm 49
22
23
demikian juga halnya materi pertama karena terciptanya secara emanasi dengan
perantaran jiwa, maka Materi Pertama adalah kadim, dan tidak lengkap, dan tidak
sempurna.
Jadi, berhubungan dengan alam materi secara langsung, sehingga kemurnian
tauhid dapat terpelihara dengan sebaik-baiknya. Lengkapnya rangkaian proses
emanasi adalah Allah maha pencipta dan dari-Nya timbullah: Akal Pertama atau
Akal Aktif (al-Aql wa al-Fa’al), Jiwa Universal (al-nafs al-kulliyah), Materi
Pertama (al-hayula al-ula), Potensi Jiwa Universal (al-thabi’ah al-fa’ilah), Materi
Absolut atau Materi Kedua (al-jism al-muthlaq), Alam Planet-planet (‘alam al-
falak), Materi gabungan yang terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan dan hewan.24
Kedelapan mahiyah diatas bersama zat Allah yang mutlak, semournalah
jumlah bilangan menjadi sembilan. Angka sembilan ini membentuk substnsi
organik pada tubuh manusia yaitu tulang, sumsum, daging, urat saraf, kulit,
rambut dan kuku.25
Segala sesuatu di alam ini adakalnya berupa materi, bentuk, jauhar
atau aradh. Jauhar yang pertama adalah materi dan bentuk.
Sedangkan aradh yang pertama adalah tempat, gerak dan zaman.
              Salah satu pemikiran Ikhwan al-Shafa yang mengagumkan adalah rentetan
emanasi ke delapan. Mereka telah mendahului Charles Darwin (1809-1882 M)
tentang rangkaina kejadian alam secara evolusi. Menurut mereka, alam mineral,
alam tumbuh-tumbuhan, alam hewan merupakan satu rentetan yang sambung
menyambung. Obyek-obyek fisik tersusun atas empat unsur yang menimbulkan,
melalui perantaran empat kualitas utama, onyek-obyek gabungan di dunia ini,
yaitu meneral tumbuh-tumbuhan dan hewan. Jadi, tingkatan penciptaan yang
paling rendah adalah meneral dan paling tinggi mencapai puncaknya pada
manusia sebagai khalifoah Allah di muka bumi, yang merupakan tapal batas
antara urutan malaikat dan hewan.26
24 Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya,.Hlm 149
Hasyimsah  Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 49

25
26Ibid.,hlm 50
Ibid., hlm 51
Ibid., hlm 52
              Menurut Ikwan al-Shafa, yang dalam hal ini dipengaruhi oleh kaum stoik,
tubuh manusia merupakan munuatur alam sementara sebagai keseluruhan
(ikosmos).27
Tentang logika, Ikhwan al-Shafa mengajukan konsep alur berpikir yang lurus,
yaitu urutan berpikir sistematis: (1) analisis (al-tahlil), untuk mengetahui obyek
inderawi secara rinci, (2) definitif (al-had) untuk mengetahui hakikat species
(naw’) dan (3) deduktif (al-burhan), untuk mengetahui henus (al-jins).28

c. Jiwa Manusia
Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangannya jiwa
manusia banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa
dalam perkembangannya, jiwa dibatu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa
untuk berkembang.29
Pengetahuan diperoleh melalui proses berpikir. Anak-anak pada mulanya
seperti kertas putih bersih dan belum ada coretan. Lembaran pytih tersebut akan
tertulis dengan adanya tanggapan panca indera yang menyalurkannya ke otak
bagian depan yang memiliki daya imajinasi (al-quwwat al-mutakhayyilat). Dari
sini meningkat ke daya berpikir (al-quwwat al-mufakkirat) yang terdapat pada
otak bagian tengah. Pda tingkat ini manusia sanggip membedakan antara benar
dan salah, antara baik dan buruk. Setelah itu, disalurkan ke daya ingatan (al-
quwwat al-hafizhat) yang terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ini
seseorang telah sanggup menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh daya
berpikir. Tingkatan terakhr adalah daya berbicara (al-quwwat al-nathiqat), yaitu
kemampuanmengungkapkan pikiran dan ingatan lewat bahasa tulis kepada
pembaca.30

Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya,.Hlm 152


Ibid., hlm 152

27
28
29
30Hasyimsah  Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 52
Ibid., hlm 53
d. Moral
Adapun tentang moral, Ikhwan al-Shafa bersifat rasionalitas. Untuk itu
suatu tindakan harus berlangsung bebas merdeka. Dalam mencapai tingkat moral
dimaksud, seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan materi. Harus
memupuk rasa cinta untuk bisa sampai kepada ekstase. Percaya tanpa usaha,
mengetahui tanpa berbuat adalah sia-sia.31
Kesabaran dan ketabahan, kelembutan dan kehalusan kasih kasayang,
keadilan, rasa syukur, mengutakan kebajikan, gemar berkorban untuk orang lain
kesemuanya harus menjadi karakteristik pribadi. Sebaliknya, hahasa kasar,
kemunafikan, penipuan, kedzaliman, dan kepalsuan harus dikiks habis hingga
timbul kesucian perasaan, cinta terhadap sesaman manusia, dan keramahan
terhadap alam.32
Jiwa yang telah dibersihkan akan mampu bentuk-bentuk cahaya sepiritual
dan entitas-entitas yang bercahaya. Semakin suci jiwa, maka semakin dapat
memahami makna dasae yang tersembunyi dalam kitab suci dan kesesuaianya
dengan pengetahuan rasional dalam filsafat. Sebaliknya, selama jiwa terperosok
dalam daya pikat keinginan-keinginan dan kesenangan-kesenangannya, ia tidak
dapat mengetahui makna kitab suci dan tidak bisa merenungkan apa yang ada di
dalamnya. Demikian juga setelah peristiwa kematian, dia tidak akan bisa terbebas
dari beban-bebanya dan tidak bisa masuk syurga dan dia akan dimasukkan ke
dalam neraka. Itu adalah akibat dari kekufuran, kesalahan, kebodohan dan
kebutaan terhadap makna dasar kitab suci.
e. Bilangan
Tujuan Ikhwan al-Shafa membicarakan bilangan untuk mendemonstrasikan
bagaimana sifat bilangan itu bila diterapka dalam sesuatu, sehingga siapa saja
yang mendalami bilangan dengan segala hukum-hukumnya, sifat-sifat dasarnya,
jenis-jenisnya akan memahami jumlah macam-macam benda.33

31
32
33Ibid., hlm 55
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama  Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis.
Hlm 16
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, 2005. Hlm. 182
4.    Implikasi Dan Relevansi Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al- Shafa Di Era
Global
Ada beberapa implikasi dari pemikiran pendidikan Ikwan al-Shafa di era
global, diantaranya sebagai konsekuensi formulasi relasi komplementar dari
konsepsi Ikhwan al-Shafa tentang manusia, pengetahuan, ilmu/program kurikuler
dan belajar, maka mereka membangun teori pendidikan yang komprehensif,
sempurna dan gradual.34
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga
cara, yaitu: indera, akal untuk berpikir murni dan inisiasi. 35 Melalui panca indera
yang dengannya manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-
perubahan yang dapat ditangkap oleh indera. Dengan akal prima atau berpikir
murni yang dibantu dengan indera, sebagai alat untuk memahami dan
menggambarkan sesuatu agar seseorang mencapai hakikat yang menuntunya
beriman, akal yang dapat menangkap hal-hal abstrak, akal sebagai dorongan
moral dan untuk mengambil pelajaran/hikmah. 36 Melalui inisiasi yang berkaitan
erat dengan doktrin esoteris Ihwan al-Shafa, yakni melalui cara ini seseorang
mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam
pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya.37 Dalam artian bahwa manusia
dapat belajar pengetahuan melalui apapun, termasuk melalui alam. Dengan begitu

Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus


Global, 2014. Hlm 71-72
Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 182
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama  Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis.
Hlm 156
34
35
36
37Ibid., hlm 156
Ibid., hlm 152
Maragustam,  Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus
Global, 2016. Hlm 164
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama  Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis.
Hlm 156
Ibid., hlm 156
Ibid., hlm 152
Maragustam,  Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus
Global, 2016. Hlm 164
akan membuat seseorang akan mengenal sumber dari segala sumber ilmu, yakni
Allah swt.
Secara tersirat bahwa dalam konsep manusia (peserta didik) Ihkwan al-
Shafa secara halus menguatkan pengakuan mereka tentang ragam potensi
psikomotorik, kognitif, dan efektif pada masing-masing individu. 38 Hal ini tentu
releva dengan pendidikan yang ada pada zaman sekarang ini yang dalam
pembelajaran dikelas sangat mengutamakan ketiga ranah tersebut dalam setiap
aspek yang diajarkan didalam kelas, tidak terkecuali penilaian dan evaluasi dalam
pembelajaran yang bersifat autentik yang mencangkup ketiga ranah tersebut.
Pandangan Ikwan al-Shafa menempatkan fungsi-fungsi spiritual yang
bersifat efektif pada hirarki paling atas dan mulia dibanding dengan fungsi-fungsi
lainnya.39 Hal ini bisa dikatakan bahwa Ikhwan al-Shafa sangat mengedepankan
religiousitas dan akhlak seseorang sebagai bagian dari tujuan pendidikan. Selain
itu, tujuan luhur kependidikan yaitu pengenalan diri.40 Melalui pengenalan
seseorang terhadap dirinya sendiri maka ia akan dapat mengenal Tuhannya.
Busyairi Madjidi menjelaskan bahwa beberapa contoh pokok pikiran
mereka mengenai pendidikan dan pengajaran masih relevan dengan pendidikan
dan pengajaran dengan pendidikan modern sekarang. Diantaranya ialah tujuan,
kurikulum, dan metode pendidikan.41
a) Mengenai tujuan pendidikan Ikhwan al-Shafa melihat bahwa tujuan
pendidikan haruslah dikaitkan dengan keagamaan. Tiap ilmu, kata mereka
merupakan malapetaka bagi pemiliknya bila ilmu itu tidak ditujukan kepada
keridhoan Allah dan kepada akhirat. Dalam hal ini Ikhwan al-Syafa
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan (aqliyah) kepada 3 (tiga) kategori,
yaitu: matematika, fisika,dan metafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada
pada kedudukan yang sama, yaitu sama bertujuan menghantar peserta didik
mencapai dunia dan akhirat.42
38
39
40
41
42Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Hlm 184
b) Kurikulum pendidikan tingkat akademis mereka berpendapat agar dalam
kurikulum tersebut mencangkup logika, filsafat, ilmu jiwa, pengkajian kitab
agama samawi, kenabian, ilmu syariat dan ilmu-ilmu pasti. Namun yang
lebih diberi perbatian adalah ilmu keagamaan yang merupakan tujuan akhir
dan pendidikan (M. Athiyah al-Abrasyi, 1975).
c) Mengenai metode pengajaran Ikhwan al-Shafa mengemukakan prinsip: “hal
yang konkrit kepada abstrak” berkata dalam Rasailnya: “Seharusnya orang
yang akan mempelajari dasar-dasar segala yang ada (maujudat), ialah agar
mengetahui dasar-dasar menurut hakekatnya yaitu agar mempelajari segala
yang konkrit dan dapat diraba. Dengan demikian akan terbuka pikirannya
dan menjadi kuat untuk mempelajari yang abstrak.
d) Perbedaan bakat individu dan sebab-sebabnya
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa anak-anak didik, dapat menerima
suatu kepandaian  bila sesuai dengan pembawaan mereka masing-masing.
Sementara ada orang yang berbakat pada satu macam kepandaian atau
beberapa macam kepandaian. Mereka dengan gampang menerima kepandaian
itu sampai mencapai prestasi yang tinggi. Dalam waktu yang singkat sudah
dapat diketahui dari pekerjaan mereka, bahwa mereka betul-betul berbakat.
Tapi ada juga orang yang memerlukan dorongan yang besar dan upaya yang
keras untuk mengejar suatu kepandaian, karena tak sesuai dengan bakat
pembawaannya, dan tidak ada bintang yang membawa bekal pada hari
kelahirannya lalu gagal. Dalam pada itu terdapat pula sebagian orang yang
sama sekali tidak mempelajari kepandaian, dia kosong dari berbagai macam
kepandaian. Hal ini disebabkan pada waktu kelahirannya tidak ada bintang  di
buruj yang menyambutnya dan membekalinya dengan suatu bakat. Sekiranya
pada waktu kelahirannya terdapat salah satu dari tiga bintang yang
menyambutnya tentuulah dia punya bekal kepandaian yang akan dipelajarinya.
Ketiga bintang itu ialah Mirrich (Mars), kejora (Venus) dan Uthaarid
(Mercury). Setiap macam kepandaian memerlukan gerak kelincahan dan
ketekunan (rajin) dan kecerdasan. Bintang Mars mempunyai gerak/lincah,
bintang kejora (Zahrah) mempunyai sifat-sifat rajin (ketekunan) dan bintang
Mercury mempunya kepintaran. Adapun empat benda di langit lainnya,
tidaklah memberi suatu kepandaian profesional, tapi pekerjaan pada umumnya
yang cocok baginya. Empat benda langit itu ialah matahari, bintang Zuhal
(saturnus), bintang Musytari (Yupiter) dan bulan.43
     Bila hari kelahiran disambut Matahari dia tidak punya kepandaian karena
sombongnya, seperti halnya anak-anak para raja. Bila kelahiranya disambut oleh
Yupiter, dia tidak akan belajar kepandaian dan tidak pula tahu
karena zuhud dan wara’, dia sudah rela dan ikhlas menerima sedikit saja dari
kebutuhan duniawi, dan perhatiannya yang besar pada kepentingan
akhirat.  Seperti halnya nabi-nabi dan orang-orang mengikuti jejaknya. Bila
lahirnya disambut oleh Bintang Saturnus, maka dia tidak bekerja dan tidak belajar
karena malas,  dan tabiatnya yang berat untuk bergerak. Dia sudah merasa senang
dengan kehinaan dan kemiskinan, seperti halnya orang yang minta-minta. Bila
hari kelahiranya disambut oleh bulan yang berada di buruj (gugusan bintang)
maka dia tidak akan bekerja karena rendah dan lembeknya tabiatnya dan lemah
pikirannya. Seperti halnya kaum wanita dan sebagian laki-laki yang menyerupai
wanita.44

BAB III
PENUTUP

Ikhwan al-Shafa adalah sebuah perkumpulan para mujtahidin yang bergerak


dalam bidang filsafat dan  ilmu pengetahuan.
43Maragustam,  Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus
Global, 2016. Hlm 165
Ibid,. Hlm 166

44
Organisasi ini mengajarkan tentang dasar-dasar agama islam yang didasarkan
pada persaudaraan islamiyah (ukhuwwah islamiyyah), yaitu suatu sikap yang
memandang iman seorang muslim tidak akan sempurna kecuali jika ia mencintai
saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.

Secara umum yang melatar belakangi kemunculan Ihwan al-Shafa yaitu


keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran-
ajaran diluar Islam, serta untuk membangkitkan kembali rasa cinta kepada ilmu
pengetahuan dikalangan umat Islam. Aktivitas Ikhwan al-Shafa difokuskan untuk
mempelajari filsafat, baik filsafat Yunani, Persia, dan lainnya yang kemudia
dipadukan dengan ajaran Islam, sehingga menjadi satu ikhtisar dan mazhab
filsafat sendiri. Dari hasil pembahasannya, Ikhwan al-Shafa menyusun sebuah
buku yang terdiri dari sebuah risalah yang berjudul “Raisail Ikhwan al-Shafa wa
al-Kullah al-Wafa” .

DAFTAR PUSTAKA

Nata,abuddin. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta 2005.  hlm. 181.


Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Al-Tarbiyah Fi Al-Islam, Hlm 227.
Arifin.Filsafat Pendidikan Islam, Hlm 92-93. Dalam Filsafat Pendidikan Islam,
Nata,abuddin,2005. Hlm 231.

Nata,abuddin. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta 2005. Hlm 231-232


Maragustam. Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter
Menghadapi Arus Global, 2014. Hlm 161.
Nasution,masyim. Filsafat Islam, Jakarta; Gaya Media,2005. Hlm 46
Ibid, hlm 46.
Ridla,jawwad M. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif
Sosiologis-Filosofis, Yogyakarta 2002. Hlm 168
Nata,abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 232

Ibid,.hlm 232
Farrukh,omar A. Aliran-Aliran Filsafat Islam, hal. 185-186

Ibid. Hlm 232-234


Fu’ad,ahmad Op. Cit., Hlm 227-228 dalam Nata,abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta,
Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 234.

Nata,abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 234

Ridla,jawwad M Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif


Sosiologis-Filosofis, Yogyakarta 2002. Hlm 147-148.
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama  Teori Pendidikan Islam: Perspektif
Sosiologis-Filosofis. Hlm 148-149
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, 2005. Hlm. 150-151
Sirajudin Zar, Filsafat Islam : Filosof Dan Filsafatnya, Jakarta, 2004. Hlm.143
Hasyimsah  Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 47.
Ibid., hlm 47
Ibid., hlm 48
Ibid., hlm 48
Ibid., hlm 49
Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya,.Hlm 149
Hasyimsah  Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 49.

Ibid.,hlm 50
Ibid., hlm 51
Ibid., hlm 52
Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya,.Hlm 152
Ibid., hlm 152
Hasyimsah  Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 52
Ibid., hlm 53
Ibid., hlm 55
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama  Teori Pendidikan Islam: Perspektif
Sosiologis-Filosofis.
Hlm 164

Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, 2005. Hlm. 182

Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter


Menghadapi Arus Global, 2014. Hlm 71-72
Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana
Ilmu.2005. Hlm 182
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama  Teori Pendidikan Islam: Perspektif
Sosiologis-Filosofis. Hlm 156
Ibid., hlm 156
Ibid., hlm 152
Maragustam,  Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter
Menghadapi Arus Global, 2016. Hlm 164
Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Hlm 184

Maragustam,  Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter


Menghadapi Arus Global, 2016. Hlm 165
Ibid,. Hlm 166

Anda mungkin juga menyukai