Kelompok X :
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya milik Allah Subhanahu wa ta'ala, berkat
limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini
guna memenuhi tugas mata kuliah PPI dengan judul "Pemikiran Pendidikan
Islam Konsep Pemikiran Ikhwan Al Shafaa". Tak lupa pula shalawat dan salam
semoga selalu tercurah kepada teladan kita Rasulullah saw.
Makalah ini disusun dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita
baik itu dari internet maupun buku-buku lainnya. Makalah ini di susun oleh
penyusun dengan berbagai rintangan.
Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar.
Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah Subhanahu
wa ta'ala akhirnya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa
masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya.
Oleh karena itu, kepada dosen pengampu mata kuliah ini, kami meminta masukan
perbaikan termasuk saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.
Judul Halaman
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang
sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam,
khususnya dari para filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun,
Ikhwan al-Shafa, dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu
organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para
filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan al-
Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi
ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh
persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman
seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti
mencintai dirinya sendiri.1
Para filsuf tersebut mengemukakan konsep-konsep pendidikan baru di
zaman selanjutnya, konsep-konsep pendidikan itu menjadi landasan dasar
pengembangan pendidikan. Pendidikan dipilih menjadi sarana untuk memperbaiki
moral bangsa penting kita konsep secara sistematis dan struktur, baik dari segi
tujuan pendidikan, pendidikan, maupun peserta didiknya. Karena diharapkan,
pendidikan mampu menciptkan insan yang lebih baik dalam akhlak maupun
kecerdasan intelektualnya. Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu tujuan dari
pendidikan adalah memanusiakan manusia, yang artinya bahwa mengembangkan
kemampuan manusia secara optimal sehingga mampu melaksanakan hak dan
kewajiban sesuai dengan perspektifnya.
Salah satu pandangan konsep pendidikan adalah konsep pendidikan
menurut Ikhwan al-Shafa, hal ini menjadi penting karena Ikhwan al-Shafa menitik
beratkan tujuan pendidikan itu untuk pengenalan diri. Selain itu, Ikhwan al-Shafa
juga mengedepankan kepentingan sosial diatas kepentingan pribadi. Hal ini dapat
menimbulkan nilai-nilai baik pada peserta didik, jika nilai ini terus dikembangkan,
2
3Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Al-Tarbiyah Fi Al-Islam, Hlm 227
Arifin.Filsafat Pendidikan Islam, Hlm 92-93. Dalam Filsafat Pendidikan Islam,
Nata,abuddin,2005. Hlm 231
Nata,abuddin. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta 2005. Hlm 231-232
sangat mengutamakan pendidikan dan pengajaran yang berkenaan dengan
pembentukan pribadi, jiwa, dan akidah.4
Diantara anggotanya yang dapat diketahui nama-nama mereka adalah sebanyak
lima orang, yaitu:5
1. Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Masyar al-Basti atau dikenal dengan nama
al-Maqdisy
2. Abu Hasan Ali Ibnu Harun al-Zanjany
3. Abu Ahmad al-Mahrajani
4. Al-Qufy
5. Zaid Ibnu Rifa’ah
Secara umum yang melatar belakangi kemunculan Ihwan al-Shafa yaitu
keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran-
ajaran diluar Islam, serta untuk membangkitkan kembali rasa cinta kepada ilmu
pengetahuan dikalangan umat Islam. Aktivitas Ikhwan al-Shafa difokuskan untuk
mempelajari filsafat, baik filsafat Yunani, Persia, dan lainnya yang kemudia
dipadukan dengan ajaran Islam, sehingga menjadi satu ikhtisar dan mazhab
filsafat sendiri. Dari hasil pembahasannya, Ikhwan al-Shafa menyusun sebuah
buku yang terdiri dari sebuah risalah yang berjudul “Raisail Ikhwan al-Shafa wa
al-Kullah al-Wafa” yang berjumlah 52 rasail didalamnya.6 Kitab ini terdiri atas
empat jilid yang berisikan ikhtisar tentang ppengetahuan yang ada ketika itu
mencangkup semua objek studi manusia, seperti:7
1. 14 risalah tentang matematika yang mencangkup: geometri, astronomi, musik,
geografi, teori, dan praktek seni logika.
4
5Maragustam. Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus
Global, 2014. Hlm 161
Nasution,masyim. Filsafat Islam, Jakarta; Gaya Media,2005. Hlm 46
Ibid, hlm 46
6
7
2. 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, meliputi: geneologi, minerologi,
botani, hidup dan matinya alam, senang dan sakitnya alam, keterbatasan
manusia dan kemampuan kesadaran.
3. 10 risalah tentang ilmu jiwa meliputi metafisika mahzab Pytagoreanisme dan
kebangkitan alam.
4. 11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, mencangkup kepercayaan dan
keyakinan hubungan alam dengan Tuhan, keyakinan Ikhwan al-Shafa,
kenabian dan keadaanya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan
Tuhan, magic dan jimat.
Ibid,.hlm 232
9
ibarat kertas putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis
sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak akan dihilangkan.10
a. Cara mendapat ilmu
Ketika lahiri jiwa tidak memiliki pengetahuan sedikitpun, proses
perolehan pengetahuan manusia digambarkan Ikhwan al Safa secara dramatis
dilakukan melalui perlimpahan. Proses perlimpahan itu bermula dari jiwa
universal kepada jiwa manusia setelah terlebih dahulu melalui proses imanasi,
secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya.
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara,
yaitu:
1. Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan
tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan
yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2. Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu
oleh indera.
3. Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-
Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara
langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan
sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin
agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi,
dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir. 11 Konsep Imam ini
disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam
pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam
memilih imam dari kelompoknya sendiri.
Pada bagian lain Ikhwan berpendapat bahwa pada dasarnya semua ilmu itu
harus diusahakan (muktasabah) bukan dari pemberian tanpa usaha. Ilmu yang
demikian dapat diperoleh dengan menggunakan panca indra. Sesuatu yang
terlukis dalam pemikiran itu bukanlah sesuatu yang hekekatnya telah ada dalam
pemikiran, melainkan lukisan tersebut merupakan pantulan yang terjadi karena
10
11Farrukh,omar A. Aliran-Aliran Filsafat Islam, hal. 185-186
adanya kiriman dari panca indra. Jadi bukan karena ide dari alam pikiran. Dengan
panca indra itulah manusia dapat mengetahui sesuatu pandangan seperti
dihasilkan melalui penafsiran terhadap ayat An Nahl 16:78
.وهللا اخرجكم من بطون امهاتكم التعلمون شيأ وجعل لكم السمع واالبصار واالفئدة لعلكم تشكرون
Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian
ilmu, akan tetapi menurutnya panca indra dan akal memiliki keterbatasan dan
tidak mungkin sesuai sampai pada pengetahuan tentang esensi Tuhan. Oleh karena
itu diperlukan pendekatan inisiasi yaitu bimbingan/otoritas ajaran agama.
Oleh karena itu Ikhwan al Safa menolak pendapat yang mengatakan bahwa
pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato
yang beraliran idealisme. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama
alam ide yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Karena itu untuk dapat
mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.
Aliran idealisme inilah yang ditentang oleh Ikhwan al Safa.12
Aliran Ikhwan al Safa lebih dekat dengan aliran John Locke yang bersifat
empirisme. Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena panca indra
berinteraksi dengan alam nyata. Begitu juga dengan cara mendapatkan ilmu itu
harus diusahakan dengan cara membiasakan berpegang pada pembiasaan dan
perenungan. Hal inilah yang dapat memperkuat daya ingatan dan kedalaman ilmu
seseorang.13
b. Tipe ideal guru
Nilai seorang guru bergantung pada caranya menyampaikan ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu mereka mensyariatkan agar guru memiliki syarat-
syarat yang sesuai dengan sikap dan pandangan politik Ikhwan al-Shafa serta
sesuai pula dengan tujuan penyiaran dakwahnya. Keberhasilan siswa tergantung
pada kepada guru yang cerdas, baik akhlaknya, lurus tabi’atnya, bersih hatinya,
12
13 Ibid. Hlm 232-234
Fu’ad,ahmad Op. Cit., Hlm 227-228 dalam Nata,abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta,
Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 234.
15
c. Alam, yakni bentuk empiris (phenoumenon) segala yang sesuatu sebagaimana
adanya.
d. Perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya, atau sering disebut
sebagai noumenon, ragam dan macamnya, serta kaitan fungsionalnya dengan
kenyataan empiris (phenoumenon).
Keistemewaan Pemikiran Ikhwan al Safa dalam Etos Keilmuan
Bahwa Ikhwan al Safa di dalam etos keilmuannya tidak membatasi diri
hanya pada satu sumber, melainkan dari berbagai pandangan yang luas dan
menyeluruh tentang sumber-sumber pengetahuan. Selain itu keistimewaan yang
paling menonjol, bahwa mereka menolak fanatisme dan berpegang pada
kebebasan berfikir kritis untuk mencari kebenaran, sehingga mereka mampu
untuk mempengaruhi generasinya untuk memahami keragaman dan perbedaan
pemikiran, serta pluraritas aliran pemikiran dalam pengembangan dinameka
keilmuan dan akselerasi derap langkah kemajuan intelektual sosialnya melalui
sistem pendidikan yang efektif.16
Kelompok ini mampu memerankan fungsi strategis dalam sejarah gerakan
pemikiran Islam, dan memberikan pengaruh yang positif serta Para sejarawan
kontemporer pun mengakui kontribusi besar yang telah diberikan kelompok ini
dalam memacu perkembangan pemikiran Islam, yaitu berupa:17
a. Totalitas kelompok Ikhwan al-Shafa dalam mengabdi untuk kehidupan
intelektual di abad ke-empat hijriah, hingga merekalah yang paling fasih
berbicara tentang masalah ini.
b. Perintisan program penyusunan karya ensiklopedia pemikiran keislaman,
yaitu dengan risalah-risalah populer mereka.
c. Pencerdasan dan pencerahan masyarakat luas melalui program pengajaran
aneka ragam ilmu dan filsafat.
3. Ciri-Ciri Modern/Global Pemikiran Ikhwan Al-Shafa
a. Al-Tawfiq Dan Al-Talfiq
16
17M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis.
Hlm 148-149
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, 2005. Hlm. 150-151
Pemikiran al-tawfiq (rekonsiliasi) Ikhwan al-Shafa terlihat pada tujuan pokok
bidang keagamaan yang hendak dicapainya, yakni merekosiliasikan atau
menyelaraskan antara agama dan filsafat dan antara agama-agama yang ada.
Usaha ini terlihat dari ungkapan mereka bahwa syariah telah dikotori bermacam-
macam kejahilan dan dilumuri berbagai kesesatan, satu-satunya jalan
membersihkannya adalah dengan filsafat.18
Ikhwan al-Shafa berusaha memadukan filsafat dengan agama dengan
menurunkan metafisika dan ilmu pengertian dari puncak spekulatif murni yang
tidak dapat dijangkau secara aktif-praktis. Dengan demikian, harus dimunculkan
satu tingkat kepercayaan yang menengahi tingkat kepercayaan yang telah ada,
tingkat yang cocok bagi orang-orang pilihan dan bagi orang kebanyakan yaitu
tinggkat kepercayaan yang cocok bagi keduanya, yang berakar pada akal,
dipotong oleh kitab suci, dan dapat diterima oleh semua kelompok pencari
kebenaran.19
Disamping itu Ikhwan al-Shafa juga memadukan agama-agama yang
berkembang pada waktu itu dengan berasaskan filsafat, seperti Islam, Kristen,
Majusi, Yahudi dan lain karena, menurut mereka tujuan agama adalah sama yaitu
mendekatkan diri kepada Tuhan.20
b. Metafisika
Adapun mengenai ketuhanan, Ikhwan al-Shafa melandasi pemikiran kepada
bagian. Menurut mereka, ilmu bilangan adalah lidah yang mempercayakan
tentang tauhid, al-tanzih, dan meniadakan sifat dan tasybih, serta dapat menolak
sikap orang yang mengingkari keesaan Tuhan. Dengan kata lain, pengetahuan
tentang angka membawa kepada pengakuan tentang keesaan Tuhan, karena
apabila angka satu rusak, maka rusaklah semuanya. Selanjutnya mereka katakan,
angka satu belum angka dua dan dalam angka dua terkandung pengertian
kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu adalah angka pemula dan ia lebih dahulu
18
19Sirajudin Zar, Filsafat Islam : Filosof Dan Filsafatnya, Jakarta, 2004. Hlm.143
Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 47
Ibid., hlm 47
20
dari angka dua atau angka lainnya. Karena itu keutamaan terletak pada yang
dahulu, yakni angka satu. Sedangkan angka dua dan lainnya terjadi kemudian.
Karena itu terbuktilah bahwa lainya bahwa yang Esa (Tuhan) lebih dahulu dari
lainnya seperti dahulunya angka satu dari angka yang lain.21
Ikhwan al-Shafa juga melakukan al-tanzih, meniadakan sifat dan tasybih
kepada Tuhan. Tuhan adalah pencipta segala yang ada dengan cara al-
faidh (emanasi) dan memberi bentuk tanpa waktu dan tempat, cukup dengan
firman-Nya kun fa kana. Maka adalah segala yang dikendaki-Nya. Ia berada pada
segala sesuatu tanpa berbaur dan bercampur, seperti adanya angka satu dalam
tiap-tiap bilangan. Sebagaimana bilangan satu tidak dapat dibagi dan tidak serupa
deng an bilangan lain. Demikian pula Tuhan tidak ada menyamai dan
menyerupai-Nya. Tetapi, ia jadikan fitrah manusia untuk dapat mengenal-Nya
tanpa belajar.22
Tentang ilmu Tuhan, Ikhwan al-Shafa beranggapan bahwa seluruh
pengetahuan (al-ma’lumat) berada dalam ilmu Tuhan sebagaimana beradanya
seluruh bilangan dalam satu. Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu Tuhan dari
zat-Nya sebagaimana bilangan yang banyak dari bilangan yang satu yang
merupakan seluruh bilangan. Demikian pula ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu
yang ada.23
Berkaitan dengan penciptaan alam, pemikiran Ihwan al-Shafa merupakan
perpaduan antara pendapay Aristoteles, Plotinus dan Mutakallimin. Bagi Ikhwan
al-Shafa, Tuhan adalah pencipta dan mutlak Esa. Dengan kemauannya sendiri
Tuhan menciptakan Akal Pertama atau Akal Aktif (al-‘aql al-fa’al) secara
emanasi. Kemudian, Allah menciptakan materi pertama (al-hayula al-ula).n
demikian, jika Allah kadim, lengkap dan sempurna, maka akal pertama ini juga
demikian halnya. Pada Akal Pertama ini lengkap segala potensi yang akan muncul
pada wujud berikutnya. Sementara jiwa terciptanya secara emanasi dengan
perantaran akal, maka jiwa kadim dan lengkap, tetapi tidak sempurna. Dengan
21Ibid., hlm 48
Ibid., hlm 48
Ibid., hlm 49
22
23
demikian juga halnya materi pertama karena terciptanya secara emanasi dengan
perantaran jiwa, maka Materi Pertama adalah kadim, dan tidak lengkap, dan tidak
sempurna.
Jadi, berhubungan dengan alam materi secara langsung, sehingga kemurnian
tauhid dapat terpelihara dengan sebaik-baiknya. Lengkapnya rangkaian proses
emanasi adalah Allah maha pencipta dan dari-Nya timbullah: Akal Pertama atau
Akal Aktif (al-Aql wa al-Fa’al), Jiwa Universal (al-nafs al-kulliyah), Materi
Pertama (al-hayula al-ula), Potensi Jiwa Universal (al-thabi’ah al-fa’ilah), Materi
Absolut atau Materi Kedua (al-jism al-muthlaq), Alam Planet-planet (‘alam al-
falak), Materi gabungan yang terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan dan hewan.24
Kedelapan mahiyah diatas bersama zat Allah yang mutlak, semournalah
jumlah bilangan menjadi sembilan. Angka sembilan ini membentuk substnsi
organik pada tubuh manusia yaitu tulang, sumsum, daging, urat saraf, kulit,
rambut dan kuku.25
Segala sesuatu di alam ini adakalnya berupa materi, bentuk, jauhar
atau aradh. Jauhar yang pertama adalah materi dan bentuk.
Sedangkan aradh yang pertama adalah tempat, gerak dan zaman.
Salah satu pemikiran Ikhwan al-Shafa yang mengagumkan adalah rentetan
emanasi ke delapan. Mereka telah mendahului Charles Darwin (1809-1882 M)
tentang rangkaina kejadian alam secara evolusi. Menurut mereka, alam mineral,
alam tumbuh-tumbuhan, alam hewan merupakan satu rentetan yang sambung
menyambung. Obyek-obyek fisik tersusun atas empat unsur yang menimbulkan,
melalui perantaran empat kualitas utama, onyek-obyek gabungan di dunia ini,
yaitu meneral tumbuh-tumbuhan dan hewan. Jadi, tingkatan penciptaan yang
paling rendah adalah meneral dan paling tinggi mencapai puncaknya pada
manusia sebagai khalifoah Allah di muka bumi, yang merupakan tapal batas
antara urutan malaikat dan hewan.26
24 Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya,.Hlm 149
Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 49
25
26Ibid.,hlm 50
Ibid., hlm 51
Ibid., hlm 52
Menurut Ikwan al-Shafa, yang dalam hal ini dipengaruhi oleh kaum stoik,
tubuh manusia merupakan munuatur alam sementara sebagai keseluruhan
(ikosmos).27
Tentang logika, Ikhwan al-Shafa mengajukan konsep alur berpikir yang lurus,
yaitu urutan berpikir sistematis: (1) analisis (al-tahlil), untuk mengetahui obyek
inderawi secara rinci, (2) definitif (al-had) untuk mengetahui hakikat species
(naw’) dan (3) deduktif (al-burhan), untuk mengetahui henus (al-jins).28
c. Jiwa Manusia
Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangannya jiwa
manusia banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa
dalam perkembangannya, jiwa dibatu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa
untuk berkembang.29
Pengetahuan diperoleh melalui proses berpikir. Anak-anak pada mulanya
seperti kertas putih bersih dan belum ada coretan. Lembaran pytih tersebut akan
tertulis dengan adanya tanggapan panca indera yang menyalurkannya ke otak
bagian depan yang memiliki daya imajinasi (al-quwwat al-mutakhayyilat). Dari
sini meningkat ke daya berpikir (al-quwwat al-mufakkirat) yang terdapat pada
otak bagian tengah. Pda tingkat ini manusia sanggip membedakan antara benar
dan salah, antara baik dan buruk. Setelah itu, disalurkan ke daya ingatan (al-
quwwat al-hafizhat) yang terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ini
seseorang telah sanggup menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh daya
berpikir. Tingkatan terakhr adalah daya berbicara (al-quwwat al-nathiqat), yaitu
kemampuanmengungkapkan pikiran dan ingatan lewat bahasa tulis kepada
pembaca.30
27
28
29
30Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 52
Ibid., hlm 53
d. Moral
Adapun tentang moral, Ikhwan al-Shafa bersifat rasionalitas. Untuk itu
suatu tindakan harus berlangsung bebas merdeka. Dalam mencapai tingkat moral
dimaksud, seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan materi. Harus
memupuk rasa cinta untuk bisa sampai kepada ekstase. Percaya tanpa usaha,
mengetahui tanpa berbuat adalah sia-sia.31
Kesabaran dan ketabahan, kelembutan dan kehalusan kasih kasayang,
keadilan, rasa syukur, mengutakan kebajikan, gemar berkorban untuk orang lain
kesemuanya harus menjadi karakteristik pribadi. Sebaliknya, hahasa kasar,
kemunafikan, penipuan, kedzaliman, dan kepalsuan harus dikiks habis hingga
timbul kesucian perasaan, cinta terhadap sesaman manusia, dan keramahan
terhadap alam.32
Jiwa yang telah dibersihkan akan mampu bentuk-bentuk cahaya sepiritual
dan entitas-entitas yang bercahaya. Semakin suci jiwa, maka semakin dapat
memahami makna dasae yang tersembunyi dalam kitab suci dan kesesuaianya
dengan pengetahuan rasional dalam filsafat. Sebaliknya, selama jiwa terperosok
dalam daya pikat keinginan-keinginan dan kesenangan-kesenangannya, ia tidak
dapat mengetahui makna kitab suci dan tidak bisa merenungkan apa yang ada di
dalamnya. Demikian juga setelah peristiwa kematian, dia tidak akan bisa terbebas
dari beban-bebanya dan tidak bisa masuk syurga dan dia akan dimasukkan ke
dalam neraka. Itu adalah akibat dari kekufuran, kesalahan, kebodohan dan
kebutaan terhadap makna dasar kitab suci.
e. Bilangan
Tujuan Ikhwan al-Shafa membicarakan bilangan untuk mendemonstrasikan
bagaimana sifat bilangan itu bila diterapka dalam sesuatu, sehingga siapa saja
yang mendalami bilangan dengan segala hukum-hukumnya, sifat-sifat dasarnya,
jenis-jenisnya akan memahami jumlah macam-macam benda.33
31
32
33Ibid., hlm 55
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis.
Hlm 16
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, 2005. Hlm. 182
4. Implikasi Dan Relevansi Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al- Shafa Di Era
Global
Ada beberapa implikasi dari pemikiran pendidikan Ikwan al-Shafa di era
global, diantaranya sebagai konsekuensi formulasi relasi komplementar dari
konsepsi Ikhwan al-Shafa tentang manusia, pengetahuan, ilmu/program kurikuler
dan belajar, maka mereka membangun teori pendidikan yang komprehensif,
sempurna dan gradual.34
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga
cara, yaitu: indera, akal untuk berpikir murni dan inisiasi. 35 Melalui panca indera
yang dengannya manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-
perubahan yang dapat ditangkap oleh indera. Dengan akal prima atau berpikir
murni yang dibantu dengan indera, sebagai alat untuk memahami dan
menggambarkan sesuatu agar seseorang mencapai hakikat yang menuntunya
beriman, akal yang dapat menangkap hal-hal abstrak, akal sebagai dorongan
moral dan untuk mengambil pelajaran/hikmah. 36 Melalui inisiasi yang berkaitan
erat dengan doktrin esoteris Ihwan al-Shafa, yakni melalui cara ini seseorang
mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam
pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya.37 Dalam artian bahwa manusia
dapat belajar pengetahuan melalui apapun, termasuk melalui alam. Dengan begitu
BAB III
PENUTUP
44
Organisasi ini mengajarkan tentang dasar-dasar agama islam yang didasarkan
pada persaudaraan islamiyah (ukhuwwah islamiyyah), yaitu suatu sikap yang
memandang iman seorang muslim tidak akan sempurna kecuali jika ia mencintai
saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Ibid,.hlm 232
Farrukh,omar A. Aliran-Aliran Filsafat Islam, hal. 185-186
Ibid.,hlm 50
Ibid., hlm 51
Ibid., hlm 52
Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya,.Hlm 152
Ibid., hlm 152
Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 52
Ibid., hlm 53
Ibid., hlm 55
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif
Sosiologis-Filosofis.
Hlm 164