Anda di halaman 1dari 19

PERBANDINGAN PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM DAN BARAT

Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah
Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Wawan Ridwan, S.Pd., M.Pd.

Oleh :
Aditya Epriansah 12520.0024
Wardah Nurkhalida 12520.0051

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) SABILI
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah ‫ ﷻ‬yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Perbandingan Pemikiran Filsafat Islam dan Barat. Selanjutnya shalawat
beserta salam semoga disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬yang
menjadi suri tauladan dalam setiap sikap dan tindakan kita sebagai seorang
intelektual muslim.
Penulisan Makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Filsafat Pendidikan Islam di Sekolah Tinggi Agama Islam SABILI. Selain
itu, penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat sekaligus menambah
wawasan bagi pembaca.
Ucapan terimakasih penulis tujukan kepada Bapak Wawan Ridwan, S.Pd.,
M.Pd. Sebagai dosen pengampu mata kuliah, yang telah memberikan pengarahan
dan bimbingan serta masukan-masukan bermanfaat dalam pembuatan makalah
ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan baik dari segi isi maupun dari segi penggunaan bahasa yang jauh dari
sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan
agar memperbaiki kekurangan dan kelemahan dalam makalah ini.

Bandung, 04 November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
1.3. Tujuan ................................................................................................ 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
2.1. Pemikiran Filsafat Islam .................................................................... 3
2.2. Pemikiran Filsafat Barat ..................................................................... 8
2.3. Perbandingan Pemikiran Filsafat Islam dan Barat ........................... 11
BAB III.................................................................................................................. 14
PENUTUP ............................................................................................................. 14
3.1. Kesimpulan ...................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sejarah pemikiran dimulai ketika muncul para pemikir/filsuf yang memulai
menentang mitos-mitos yang dipercaya dan berkembang dalam masyarakat.
Mereka mulai menanamkan kesadaran pada masyarakat bahwa manusia
mempunyai kemampuan akal pikir yang dapat digunakan sebagai alat untuk
mencari jawaban terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi. Sebelum muncul
para filsuf, masyarakat pada waktu itu masih dibelenggu dan percaya pada
mitos-mitos sehingga ketika menghadapi persoalan (pertanyaan) dalam
kehidupannya jawaban selalu bersumber pada mitos. Pada waktu itu, masyarakat
sangat percaya pada mitos-mitos tentang Dewa Dewi di Olympus (mitologi
Yunani) sehingga ketika manusia pada waktu itu takjub terhadap gejala alam
seperti adanya halilintar (geledek) maka orang percaya bahwa saat itu Zeus
sedang berburu. Ketika ada pertanyaan mengapa tiba-tiba air banyak jatuh dari
langit (hujan), orang percaya bahwa Dewi Dewi di Olympus sedang menangis.
Para filsuf mulai meletakkan penghormatan terhadap kemampuan akal pikir untuk
menemukan dan mengembangkan pengetahuan, serta mendobrak hegemoni dan
mendelegitimasi mitologi.
Filsafat Islam tidak dapat dipisahkan dari filsafat Yunani kuno sebagai awal
munculnya sejarah perkembangan filsafat. Filsafat Islam memiliki kisah tersendiri
dalam sejarah perkembangannya, dan filsafat Barat juga memiliki riwayat yang
berbeda dalam perjalanan sejarah mereka.
Studi filsafat dapat membantu dalam membangun keyakinan keagamaan
berdasarkan kematangan intelektualitas. Tokoh filsafat Islam maupun filsafat Barat
memiliki peran besar dalam mempengaruhi perkembangan peradaban dan ilmu
pengetahuan berikutnya. Maka hal ini sangat perlu untuk mempelajari tokoh-tokoh
keduanya sekaligus membandingkan untuk memahami buah pemikirannya.
Menurut Zubaidi tokoh filsafat Barat antara lain Rene Descartes, David Hume,
Imanuel Kant, Hegel, dan lain-lain. Kemudian Harun Nasution mengatakan bahwa
filosof Islam yang pertama muncul di abad ke-9 M adalah

1
2

Al-Kindi, ar-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain. Dalam makalah ini akan
di bahas perbandingan antara filsafat barat dan filsafat islam
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar pemikiran filsafat islam ?
2. Bagaimana konsep dasar pemikiran filsafat barat ?
3. Apa perbedaan pemikiran filsafat islam dan barat ?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dasar pemikiran filsafat islam.
2. Untuk mengetahui konsep dasar pemikiran filsafat barat
3. Untuk mengetahui perbandingan pemikiran filsafat islam dan barat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pemikiran Filsafat Islam
Filsafat Islam merupakan hasil pemikiran seorang pemikir mengenai
ketuhanan, kenabian, kemanusiaan, alam realitas ontologi, pandangan tentang
hakikat ruang, waktu, dan materi. Selain itu, berkembang juga dalam ilmu kalam,
ul fiqh, dan tasawuf yang berasaskan ajaran Islam sebagai bentuk alur pemikiran
yang logis dan sistematis. Filsafat Islam berupaya memadukan antara wahyu
dengan akal, serta untuk menjelaskan bahwa wahyu tidak bertentangan dengan
akal manusia. Beberapa pendapat mengatakan bahwa filsafat Islam adalah
pemikiran yang lahir dari dunia Islam untuk menjawab tantangan zaman yang
berkaitan dengan Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat.
Selain itu juga dianggap sebagai pembahasan tentang alam dan manusia yang
tersinari ajaran Islam.
Oliver Leaman menjelaskan bahwa sejarah filsafat Islam yang asli tidak harus
dipengaruhi filsafat Yunani. Hal ini karena menurutnya, sebelum mengenal
filsafat dari Yunani, para cendekiawan Muslim sudah mengenal ilmu yang
menggunakan akal pikiran dalam menarik sebuah hukum (yang dimaksud adalah
istimbat hukum fikih dan usul fiqh). Maka, seorang orientalis asal Universitas
Kentucky USA ini menerangkan bahwa jika menganggap filsafat Islam bermula
dari proses penerjemahan teks-teks Yunani atau hanya nukilan dari filsafat
Aristoteles atau Neo-Platonis adalah kesalahan besar. Sejarah keaslian filsafat
Islam tidak seperti yang dijelaskan Ernest Renan (1823-1893 M) dan Pierre
Duhem (1861-1916 M).1

https://www.kompasiana.com/darunurdianna/5da74c1a097f3643bb1fe5b2/pengertian-filsafat-sejarah-filsa
fat-dan-filsafat-islam#:~:text=Filsafat%20Islam.%20Filsafat%20Islam%20merupakan%20hasil%20pemikiran
%20seseorang,sebagai%20bentuk%20alur%20pemikiran%20yang%20logis%20dan%20sistematis.

3
4

Filsafat Islam dalam keberadaannya tidaklah luput dari suatu proses historis.
Pemaparan terhadap sejarah munculnya filsafat Islam sangatlah penting dilakukan
untuk mengawali pembicaraan tentang perkembangan pemikiran Islam dan juga
perkembangan dalam dunia keilmuannya. Memahami sejarah perkembangan
filsafat Islam, dapat diawali dengan mengetahui awal mula penggunaan
argumentasi rasional terhadap pembuktian keberadaan Tuhan. Hal itu diawali oleh
Ali Ibn Abi Thalib dalam karyanya yang berjudul Nahj Al-Balaghah (Path of
Eloquence) yang berisi tentang bukti-bukti rasional terhadap keesaan Tuhan (Nasr,
1996: 4). Karya tersebut meskipun masih berada pada ranah teologis yaitu dalam
ilmu kalam, tetapi telah memperlihatkan kesadaran umat Islam sejak abad pertama
keberadaan Islam atas pentingnya peranan rasio manusia dalam menyelami dan
memahami ajaran Islam, sekaligus untuk melindungi dan mempertahankan Islam
dengan jalan penguatan pemaknaan secara rasional. Tentunya hal tersebut tidak
lepas dari pengaruh dasar ajaran Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur'an. Penggunaan
akal (al-'aql), dalam Al-Qur'an memiliki keutamaan tersendiri, seperti halnya yang
dinyatakan dalam QS: Al-Anfaal, 22 sebagai berikut;

َّ‫بَّ شَرَّ إِن‬ ُّ ‫ِين ْالبُ ْك َُّم ال‬


ِ ‫ص ُّمَّ هللا َِِّ ِع ْن َّدَ الد َوا‬ ََّ ‫لَ الذ‬ ََّ ‫يَ ْع ِقلُو‬
َّ ‫ن‬
“ Sesungguhnya makhluk yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah;
orang-orang yang pekak dan tuli, yang tidak mau menggunakan akal (alladzinna
laa ya'qiluun).”

Hal tersebut menjelaskan begitu pentingnya penggunaan akal dalam ajaran


Islam. Makhluk yang mampu menggunakan akalnya dianggap memiliki tingkatan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk yang tidak mau menggunakan
akalnya. Akal dianggap sebagai anugerah termulia dari Tuhan untuk manusia, dan
hal itu yang merupakan salah satu alasan mudahnya filsafat masuk ke dalam Islam
(Black, 2006: 130).
Penggunaan akal dianggap penting dalam memahami dan menyelesaikan
berbagai permasalahan dalam aspek keagamaan pada masa awal perkembangan
pemikiran Islam, yaitu untuk mempertahankan bangunan teologi dari Islam. Hal
tersebut tidak dapat dipahami tanpa merujuk pada keberadaan aliran pemikiran
5

Islam yang tertua yang telah mendasari diri pada kebutuhan pemikiran Islam atas
keberadaan penalaran terhadap dalil-dalil naql, yaitu mazhab Mu'tazilah (Ali,
1991: 15). Mazhab ini dapat dikatakan sebagai salah satu aliran filsafat karena
telah sedikit banyak mengalami keintiman dengan dunia filsafat dari pengaruh
budaya Hellenis, tetapi sekaligus juga dapat dipahami sebagai mazhab sistematik
dalam ilmu kalam. Mazhab ini merupakan pioneer dari pemikiran umat Muslim
atas penggunaan jawaban rasional dalam membahas berbagai hal yang berkenaan
dengan hukum-hukum agama, baik dalam bidang kemanusiaan, kosmologi, dan
teologi. Bidang tersebut termuat dalam lima prinsip dasar, yaitu:
1. Keesaan (al-tawhid) yang menggeser pemahaman atas sifat-sifat Ilahiah ke
esensi Ilahi;
2. Keadilan (al-adl) yang menyatakan manusia sebagai ciptaan mampu
melakukan proses transcendence dengan kemerdekaannya;
3. Janji dan ancaman (al-wa'd wa'l-wa'id);
4. Posisi Muslim dan perbuatan dosa (al-manzilah bayn al manzila tayn);
5. Anjuran manusia berbuat baik (al-amr bi'l ma'ruf wa 'l-nahy 'an al-munkar)
(Nasr, 1996: 7,8,9).
Argumentasi rasional dari mazhab ini menyematkan suatu pandangan tentang
kehendak bebas manusia, bahwa manusia-lah yang mampu memilih atas apa yang
akan ditindakkannya, dan perhitungan dalam hisab dilakukan berdasarkan
tindakannya tersebut.
a. Aliran-Aliran Dalam Filsafat Islam
Perkembangan aliran pemikiran dalam tradisi Islam secara historis, dan
pembedaan muatan kajiannya, terbagi setidaknya menjadi dua fase besar, yaitu
fase penguatan bangunan teologis dalam Islam dan fase integrasi tradisi
pemikiran Yunani Kuno dengan Islam. Keduanya merupakan fase ketika ilmu
mulai mengalami perkembangan dalam dunia Islam. Pada fase pertama, yang
memiliki peranan utama adalah kaum muttakalimun yang menyebarkan ilmu
kalam untuk memberi bukti dan menghalau keraguan terhadap agama (Nasr,
1995: 4). Aliran dalam filsafat Islam sedikitnya terbagi menjadi tiga aliran
besar yaitu aliran Paripatetik (Hikmah Masya'iyah); aliran iluminasi (Hikmah
Israqiyah), dan aliran Hikmah Muta'aliyah sebagai sintesisnya.
6

1. Aliran Paripatetik (Hikmah Masya’iyah)


Beberapa tokoh dalam aliran ini antara lain:
a. Al-Kindi
Al-Kindi adalah tokoh yang telah mengawali pemikiran dalam aliran
Paripatetik. Al-Kindi seringkali dikatakan sebagai filsuf pertama dalam
tradisi pemikiran Islam, karena dirinya telah berhasil memadukan antara
agama dengan filsafat, wahyu dengan akal. Al-Kindi, dalam hubungannya
dengan ilmu, membagi ilmu menjadi tiga macam, yaitu ilmu fisika yang
berkaitan dengan berbagai hal yang dapat ditangkap dengan panca indera,
ilmu matematika yang terdiri atas ilmu hitung, astronomi, teknik, dan
musik, kemudian ilmu ketuhanan (al-rububiyah) yang memiliki tingkat
paling tinggi dan tidak berkaitan dengan benda (Hanafi, 1976: 27). Dalam
hal ini memperlihatkan bahwa dalam pandangan Al-Kindi, ilmu tidak
hanya terbatas pada hal yang fisik dan mampu dihitung atau diukur, tetapi
ilmu juga dapat berkaitan dengan aspek metafisis yang tak mampu digapai
oleh panca indera manusia, seperti halnya dengan ilmu ketuhanan tersebut,
dan dianggap memiliki tingkatan tertinggi.
b. Al-Farabi
Aliran paripatetik ini kemudian dilanjutkan oleh Abu Nasr
Muhammad Al-Farabi. Al-Farabi adalah salah satu pemikir Islam yang
tidak hanya telah mengintegrasikan filsafat dengan agama, tetapi juga
telah mampu meletakkan dasar-dasar dalam bangunan filsafat dalam dunia
Islam. Dan karena hal tersebut Al-Farabi disebut sebagai
AlMu'allimuts-Tsani (guru kedua) setelah Aristoteles (Ali, 1991: 40). Hal
ini memperlihatkan besarnya nama Al-Farabi dan pengaruhnya terhadap
perkembangan filsafat dan ilmu dalam dunia Islam. Menurut Al Farabi,
filsafat hadir lebih dahulu daripada agama, karena semua kebenaran agama
harus dipahami dan dinyatakan pada mulanya melalui cara-cara rasional
sebelum kebenaran itu diambil Nabi (Abdullah, 1995: 151). Hal tersebut
menjelaskan bahwa Al-Farabi menaruh pemahamannya terhadap filsafat
secara lebih luas sebagai penggunaan akal. Al-Farabi, dalam hal ini ingin
menghantarkan pengertian filsafat sebagai salah satu ciri mutlak dari
7

kemanusiaan. Akal dipahami sebagai daya berpikir yang memungkinkan


manusia memahami berbagai pengertian, sehingga dapat membedakan
yang mulia dari yang hina serta menguasai seni dan ilmu (Hamdi, 2004:
77).
c. Ibnu Sina
Ibn Sina dalam bidang epistemologi memberikan pemahaman tentang
daya dalam diri manusia untuk mencapai pengetahuan tertinggi yaitu
dengan akal teoritis, yang dibagi menjadi: akal materiil (al-'aql al-hayulani)
yang merupakan potensi; akal bakat (al-'aql bi al- malakah) akal yang telah
mulai dilatih dalam melakukan abstraksi; akal aktuil (al-'aql bi al-fi'l) yang
telah dapat lebih mudah berpikir tentang halhal abstrak; dan akal
perolehan (al-'aql al mustafad) yang di dalamnya arti-arti abstrak tersebut
tersedia (Nasution, 1992: 36, 37). Ibn Sina memahami bahwa akal dalam
melakukan refleksi filosofis (burhani) merupakan satu-satunya sarana
manusia dalam mencapai kebenaran ilmu, termasuk dalam menangkap
pancaran nur Akal Mutlak (Tuhan). Tuhan memiliki posisi sebagai
Wajibul-Wujud dan akal murni yang merupakan penggerak pertama yang
menggerakkan secara total segala yang bekerja, bukan sebagai pencipta
(Durant, 1961: 71. 72). Hal tersebut terkait dengan proses emanasi, yaitu
proses ketika Tuhan sebagai Penggerak Pertama memancarkan akal
pertamanya dengan hierarkihierarkinya sampai dengan akal fa'al yang
memancarkan segala yang ada di bumi.
2. Aliran Illuminasi (Hikmah Israqiyah)
Pengalaman spiritual dalam aliran Israqiyah mendapatkan tempat
sebagai salah satu sumber dari pengetahuan. Seperti halnya pada
pemikiran emanasi dari Al-Farabi dan Ibn Sina, dalam pemikiran
Suhrawardi pada aliran Israqiyah pengalaman spiritual/ pengalaman
intuitif merupakan sumber dari kebenaran yang hadir seperti kilat,
dipahami sebagai suatu arus cahaya yang kemudian membentuk suatu
pemahaman tertentu, dan proses tersebut ditempuh melalui beberapa
tahapan, yaitu: (1) pembebasan dari kecenderungan duniawi dan
perangkap jasmani untuk menerima pengalaman Ilahi; (2) memasuki
8

tahapan illuminasi, dengan menemui cahaya ilham (al-anwar al-Sanihah);


(3) tahap pembangunan sistem kebenaran dengan logika diskursif; (4)
pengungkapan/ penulisan (Bagir, 2005: 139). Aliran ini memberikan ruang
untuk pencapaian kebenaran melalui pengalaman spiritual (intuisi) dengan
menggabungkannya dengan logika diskursif sebagai alat verifikasinya. Hal
tersebut menjelaskan bahwa Suhrawardi bukanlah sufisme murni.
3. Aliran Hikmah Muta’aliyah
Aliran Hikmah Muta'aliyah atau theosofi transendental dikenal dari
pemikiran Mulla Shadra. Mulla Shadra adalah seorang pemikir Islam yang
berasal dari Syiraz, di daerah itulah dirinya dilahirkan, Shadra dalam dunia
keilmuan, membagi ilmu menjadi dua macam: ilmu yang diperoleh dari
latihan dan belajar (husuli/axquired), dan ilmu yang diperoleh melalui
pemberian langsung dari Tuhan (hudhuri/innate) (Shadra, 1981: 134). Ilmu
husuli dalam hal ini adalah ilmu yang keberadaan datanya diperlihatkan
dalam gambaran tentang objek pada diri subjek yang terjadi karena
interaksi antara subjek dan objek yang sama-sama berdiri sendiri. Ilmu
hudhuri, di sisi lain adalah ilmu yang sumbernya berasal dari Tuhan secara
langsung, yang dalam hal ini objek muncul secara eksistensial dalam diri
subjek, keduanya tidak terpisah dan validitasnya tidak terbatas dalam
dualisme benar dan salah. Shadra memahami bahwa dalam proses
mencapai pengetahuan, dapat dilalui dengan tiga cara, dimulai dari
pengalaman rohani kemudian dicari dukungan rasio, lalu diselaraskan
dengan syariat; kedua, diawali dari pemikiran rasional kemudian dihayati
dengan pengalaman rohani, dan setelah itu dicari dukungan syariat; ketiga,
bermula dari ajaran syariat kemudian dirasionalkan, dan seterusnya
dipertajam dengan penghayatan rohani (Shadra, 1981: 324).
2.2. Pemikiran Filsafat Barat
Filsafat Barat adalah sebutan yang digunakan untuk pemikiran-pemikiran
filsafat dalam dunia Barat atau Occidental. Yunani adalah tempat dimana lahir
filsafat dan ilmu pengetahuan, sekitar 600 tahun sebelum Masehi. Dalam
pemikiran alam sekitar mereka, para filsofos Yunani seperti Thales, Anaximenes,
Anaximandros, Heraclitus, Democritus yang diikuti oleh Phytagoras, Socrates,
9

Plato, dan Aristoteles banyak memakai akal dalam melahirkan dan


mengembangkan ilmu pengetahuan. Lembaran-lembaran sejarah menunjukan
bahwa di Barat pada era medieval terjadi pertentangan yang sangat sengit antara
ilmu pengetahuan dan agama. Hamdan Maghribi (2007:5). Ada beberapa aliran
penting dalam Filsafat Barat.
a. Filsafat Renaisans
Zaman Renaisans adalah penyisihan agama dari dunia, sehingga standard
kebenaranpun beralih dari aturan-aturan di luar manusia yang bersifat supernatural
kepada penelitian Ilmiah. 2 Kebenaran harus dibuktikan; bukan, tidak cukup
dengan kata-kata. Maka William Ockham (1295-1349) memproklamirkan bahwa
kebenaran melalui pengetahuan empirislah yang sempurna. 3
b. Rasionalisme
Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal
merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Rasionalisme adalah
paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam
memperoleh dan mengetes pengetahuan. Jika empirisme mengatakan bahwa
pengetahuan diperoleh dengan alam mengalami objek empiris, maka rasionalisme
mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam
berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika. Dalam aliran
rasionalisme ada dua macam bidang, yaitu bidang agama dan bidang filsafat.
Dalam bidang agama rasionalisme adalah lawan autoritas, dan biasanya
digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Sementara dalam bidang filsafat
rasionalisme adalah lawan empirisme dan terutama berguna sebagai teori
pengetahuan. Sebagai lawan empirisisme, rasionalisme berpendapat bahwa
sebagian dan bagian penting pengetahuan datang dari penemuan akal. Contoh
yang paling jelas ialah pemahaman kita tentang logika dan matematika. 4

c. Empirisme

2 William J. Bouwsma (1959), The Interpretation of Renaissance Humanism, Washington D.C. : American
Historical Association, h. 16
3 Poedjawijatna (2002), Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Rineka Cipta, h. 98
4 Achmadi Asmoro, 2010, Filsafat Ilmu, PT Raja Grafind Persada, Jakarta.
10

Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua
pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan
bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika
dilahirkan.
Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan
experience. Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani (empeiria) dan dari kata
experieti yang berarti “berpengalaman dalam”, “berkenalan dengan”, “terampil
untuk”. Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa
pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang
menggunakan indera.
Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai
Empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari
dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang
dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah
satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal.5
d. Materialisme
Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang
dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri
atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah
satu-satunya substansi. Sebagai teori, materialisme termasuk paham ontologi
monistik. Akan tetapi, materialisme berbeda dengan teori ontologis yang
didasarkan pada dualisme atau pluralisme. Dalam memberikan penjelasan tunggal
tentang realitas, materialisme berseberangan dengan idealisme. Materialisme tidak
mengakui adanya entitas–entitas nonmaterial seperti tuhan, malaikat, setan, roh,
dan sebagainya. Hanya realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu
merupakan manifestasi dari aktivitas materi. Materi dan aktivitasnya bersifat
abadi. Pada awalnya, materialisme tidak mendapat banyak perhatian karena
dianggap aneh dan mustahil. Baru pada abad pertengahan abad 19, materialisme
tumbuh subur sekali di Barat. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
tersebut antara lain:

5 Achmadi, Asmoro. 2003. Filsafat Umum. Rajawali Press, Jakarta.


11

Orang dengan paham materialisme mempunyai harapan-harapan yang besar


atas ilmu pengetahuan. Paham materialisme berpegang pada kenyataan-kenyataan
yang mudah dimengerti, bukan pada dalil-dalil abstrak. Teori-teorinya jelas
berdasarkan teori-teori pengetahuan yang sudah umum. Namun, paham
materialisme banyak ditentang oleh para tokoh agama karena terang-terangan
tidak mengakui Tuhan.Seorang anti-materialisme bernama Friedrich Paulsen
berkata “Kalau materialisme itu benar, maka segala sesuatu di dunia ini akan
dapat diterangkan, termasuk bagaimana atom membentuk teori materialisme itu
sendiri yaitu dapat berfikir dan berfilfasaf”.tenyata hal itu sama sekali tak dapat
diterangkan oleh kaum materialisme. Filsafat materialisme inilah yang
mempengaruhi filosof alam dalam menyelidiki asal-usul kejadian alam ini. Di
antara filosof-filosof alam tersebut adalah:
 Thales (625-545 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah air.
 Anaximandros (610-545 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah apeiron,
yaitu unsur yang tak terbatas.
 Anaximenes (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah udara.
 Heraklitos (540-475 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah api.
 Demokritus (460-360 SM) berpendapat bahwa hakikat alam adalah
atom-atom yang amat banyak dan halus. Atom-atom itulah yang menjadi asal
kejadian alam semesta.
2.3. Perbandingan Pemikiran Filsafat Islam dan Barat
Wahyu dalam Islam menjadi sumber kebenaran, dan dalam dunia keilmuan
kaum Mutakallimun dengan ilmu kalam membuktikan bahwa Islam bukanlah
antithesis dari ilmu, untuk mempertahankan bangunan teologis dari Islam. Filsuf
Islam pun sejak abad ke-8 M mencoba melakukan integrasi antara sumber-sumber
ilmu dari Yunani untuk diabsahkan tidak menegasi norma agama. Berdasarkan
uraian tersebut terdapat perbedaan besar antara pandangan tentang ilmu dalam
tradisi Barat yang semakin memisahkan diri dengan bidang mental berupa
keyakinan, kepercayaan, dan metafisika, dengan ilmu dalam pandangan Islam
yang tetap mempertahankan dasar epistemologis utamanya yang berupa wahyu
Ilahi yang turun pada nabi.
12

Filsafat Barat yang sering kali dianggap sebagai pangkal dari kajian filsafat,
sering diidentikkan dengan suatu penyajian sejarah perkembangan pemikiran yang
berawal dari masa klasik sampai dengan post-modern. Di bawah besarnya
pengaruh pemikiran Barat tersebut, namun demikian terdapat tradisi pemikiran
lain yang berasal dari belahan bumi lainnya, seperti filsafat India, filsafat Cina,
dan filsafat Islam yang memiliki kekhasan masing-masing. Apabila filsafat Barat
cenderung menempatkan akal manusia sebagai sumber dari penelaahan dengan
cara semakin hari semakin melepaskan diri dari objek, hal tersebut berbeda
dengan filsafat Timur termasuk dalam hal ini filsafat Islam. Al-Qur'an yang
notabene adalah wahyu, dalam filsafat Islam berusaha dirasionalisasikan agar
membumi dan mampu dikomunikasikan terhadap manusia, dan itulah fungsi dari
akal manusia (al-'aql), yang dalam Islam sangat berimpitan dengan keberadaan
al-qalb dalam proses memperoleh pengetahuan dan pemahaman terhadap
dalil-dalil agama.
Latar epistemologis dalam filsafat Islam memiliki perbedaan yang sangat
mendasar apabila dibandingkan dengan filsafat Barat. Karakteristik pemikiran
Barat sangatlah teguh terhadap keberadaan pembaharuan sesuai dengan jiwa
kebebasan bangsa Yunani, tetapi sekaligus rapuh karena berlandaskan pada
sejarah perdebatan yang berlangsung sejak berabad-abad silam dan kemudian
menghasilkan berbagai aliran pemikiran yang bersifat dialektis dan tidak pernah
sampai pada suatu bentuk akhir. Beberapa contoh aliran tersebut adalah idealisme,
realisme, rasionalisme, dan empirisme.
Filsafat Islam sendiri memiliki keteguhan yang lebih kuat apabila
dibandingkan dengan gerak perkembangan pemikiran filsafat Barat, karena
aliran-aliran dalam filsafat Islam berada pada lingkaran yang terus mengalami
perkembangan dengan tetap mempertahankan suatu titik tumpu utamanya yang
berupa unsur religiusitas. Filsafat Islam dalam hal ini memiliki dua sisi yang
berbeda dengan mengandalkan metode-metode tertentu untuk membangun
argumentasi rasional sekaligus berada dalam pengaruh quasi religius yang amat
dominan, baik tentang apa yang dianggap sebagai kebenaran primernya, ataupun
dalam pemilihan premis-premis silogismenya (Bagir, 2005: 73). Hal tersebut yang
kemudian menjelaskan bahwa filsafat Islam dengan proses rasionalisasi dengan
13

fungsi akal (al-'aql) mencoba membumikan dan mengkomunikasikan


sumber-sumber keagamaan kepada nalar manusia. Suatu sikap eklektis dalam
mengintegrasikan antara unsur-unsur terbaik dalam paradigma Barat dengan
wahyu berupa Al-Qur'an.
14

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada karakterisitik yang khas antara
keilmuan Barat dan Keilmuan Islam baik dari aspek ontologis, epistemologis dan
aksiologisnya. Perbedaan yang paling mencolok adalah beranjak dari pengakuan
adanya Tuhan dan tidak. Dari pengakuan eksistensi akan adanya Tuhan ini sangat
mempengaruhi konsep ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu.
Perjalanan filsafat Barat dimulai dari masa Yunani Kuno, yang terfokus pada
pemikiran asal kejadian alam secara rasional. Segala sesuatu harus atas dasar
logika. Kemudian masa abad pertengahan filsafat berubah arah menjadi bersifat
teosentrik, segala kebenaran ukurannya adalah ketaatan pada Gereja, maka
mereka banyak berasal dari kalangan pendeta (agamawan). Pada perjalanan
berikutnya para pendeta dogmatis itu ditinggal para ilmuwan yang kemudian
beralih pada pemikiran yang bercorak bebas, radikal, dan rasional yang realis.
Filafat Islam segala bentuk pemikiran ilmuwan muslim yang mendalam
secara teoritis maupun empiris, bersifat universal yang berlandaskan Wahyu.
Filsafat Islam merupakan pengembangan filsafat Plato dan Aristoteles yang telah
dilandasi dengan ajaran Islam dan memadukan antara filsafat dan Agama, filsafat
yang berciri religius dan berusaha sekuat tenaga memasukkan teks agama dengan
akal.
15

DAFTAR PUSTAKA

1. Nurdiana,Daru.(2020).Pengertian Filsafat.Retrieved November 06, 2020


from
https://www.kompasiana.com/darunurdianna/5da74c1a097f3643bb1fe5b2/
pengertian-filsafat-sejarah-filsafat-dan-filsafat-islam#:~:text=Filsafat%20I
slam.%20Filsafat%20Islam%20merupakan%20hasil%20pemikiran%20ses
eorang,sebagai%20bentuk%20alur%20pemikiran%20yang%20logis%20d
an%20sistematis.
2. William J. Bouwsma (1959), The Interpretation of Renaissance Humanism,
Washington D.C. : American Historical Association, h. 16
3. Poedjawijatna (2002), Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Rineka
Cipta, h. 98
4. Achmadi Asmoro, 2010, Filsafat Ilmu, PT Raja Grafind Persada, Jakarta.
5. Achmadi, Asmoro. 2003. Filsafat Umum. Rajawali Press, Jakarta.
6. Ali, Yunasril, 1991, Perkembangan Pemikiran Falsafati dalam Islam,
IKAPI, Jakarta.
7. Anshari, Endang Saifuddin, 1987, Ilmu, Filsafat, dan Agama, Bina Ilmu,
Surabaya.
8. Bagir, Haidar, 2005, Filsafat Islam, M

Anda mungkin juga menyukai