Anda di halaman 1dari 19

UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)

PROPOSAL TESIS
BAB 1-2-3 & DAFTAR PUSTAKA

MATA KULIAH PEMBELAJARAN MENULIS

DOSEN PENGAMPU: PROF. DR. H. EMZIR, M. PD

Oleh:

KHUFAIFATUL FIKRI

NIM 1909057012

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
2020
REPRESENTASI WANITA JAWA TOKOH ALINA SUHITA PADA
NOVEL HATI SUHITA KARYA KHILMAN ANIS DAN
PENGAPLIKASIAN ILMU JURNALISTIK PADA PESANTREN
ASSALAFIE-ASSALAFIAT BABAKAN CIWARINGIN CIREBON
PROPOSAL TESIS

Disampaikan untuk memenuhi persyaratan


menulis tesis Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh:

KHUFAIFATUL FIKRI

NIM 1909057012

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
2020

1
DAFTAR ISI

Daftar Isi
BAB I ............................................................................................................................................................ 3
A. Latar Belakang .................................................................................................................................. 3
B. Pembatasan Masalah ......................................................................................................................... 6
C. Rumusan Masalah ............................................................................................................................. 6
D. Tujuan Penelitian .............................................................................................................................. 6
E. Manfaat Penelitian ............................................................................................................................ 6
BAB II .......................................................................................................................................................... 7
A. Pengertian Feminisme ....................................................................................................................... 7
B. Nilai-Nilai Kearifan Perempuan Jawa .............................................................................................. 8
C. Pengendalian Diri............................................................................................................................ 11
D. Analisis Tokoh ................................................................................................................................ 12
E. Pendidikan Non Formal .................................................................................................................. 13
BAB III....................................................................................................................................................... 15
A. Biografi Khilman Anis .................................................................................................................... 15
B. Sinopsis Hati Suhita ........................................................................................................................ 15
C. Metodologi Penelitian ..................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 17

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sebuah karya sastra bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup dalam


masyarakat. Selain itu, sastra juga mengungkapkan nilai-nilai dan penafsiran tentang alam
dan kehidupan. Karya sastra mengungkapkan masalah-masalah manusia dan
kemanuasiaan, tentang makna hidup dan kehidupan. Sastra melukiskan penderitaan-
penderitaan manusia, perjuangannya, kasih sayangnya, nafsunya, dan segala sesuatu yang
dialaminya.1
Karya sastra yang dibuat oleh pengarang pada dasarnya menampilkan peristiwa
yang dihidupkan oleh tokoh yang memegang peran penting dalam cerita. Melalui tokoh
inilah seorang pengarang menciptakan peristiwa-peristiwa yang melukiskan kehidupan
manusia yang berbeda karena setiap manusia memiliki karakter yang berbeda dengan
manusia lainnya.
Karya sastra tidak hanya memberika hiburan bagi pembacanya, tetapi sastra juga
memberikan banyak manfaat bagi pembacanya. Sastra sendiri berasal (dari Bahasa
sansekerta) artinya tulisan, karangan.2
Sebuah karya sastra harus dilihat secara keseluruhan mulai dari tema, alur, amanat,
dan struktur yang ada pada karya sastra. Hal itu dikarenakan karena karya sastra merupakan
kritik terhadap kenyataan-kenyataan berlaku.
Meskipun sebuah karya sastra bersifat fiksi atau imajinatif, dibalik semua itu ada
pesan moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Pesan seseorang tentang
moral, nilai-nilai, dan kecenderungan-kecenderungan, biasanya dipengaruhi oleh
pandangan hidup, way of life, bangsanya.3
Pesan moral yang disampaikan penulis kepada pembaca melalui ceritanya dia
menulis dengan terlihat maupun tidak terlihat atau bisa disebut juga dengan tersirat atau

1
Ni Nyoman Karmini, Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama, (Bali: Pustaka Larasan, 2011), hlm. 2.
2
Mursal Esten, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah, (Bandung: Angkasa, 2003). Hlm. 1.
3
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), hlm. 321.

3
tersurat. Dalam tulisannya dia berpendapat bahwa dalam cerita yang dia tulisan ada
pelajaran yang atut dicontoh kepada pembacanya. Karya sastra terbagi menjadi beberapa
macam salah satunya prosa atau dalam prosa biasanya sering dikenal dengan karangan
bebas, Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia offline Prosa ialah karangan bebas,
karangan yang tidak terikat oleh kaidah yang terdapat dalam puisi. Jadi dapat disimpulkan
bawa prosa adalah karangan bebas yang tidak terikat oleh puisi, karena prosa tidak harus
menggunakan rim ajika harus membacanya tidak seperti puisi.
Dalam karangan bebas ini contohnya seperti cerita yang ditulis oleh penulisnya
seperti cerpen atau kumpulan cerpen yang struktur tulisannya masih dibatasi hanya sampai
beberapa kata saja tetapi prosa juga ada bebar-benar tidak dibatasi dala menulisnya sama
seperti pengertian dalam KBBI offline bahwa prosa adalah karangan bebas. Disini saya
mengambil contoh prosa yaitu dengan novel, novel adalah karangan bebas yang ditulis oleh
penulisnya melalui ide-ide yang didapatnya. Dalam penulisan novel harus mengikuti
struktur penulisannya seperti mudahnya dalam menulis novel itu harus ada deskripsi tokoh
dan ada narasi dalam ceritanya.
Novel merupakan karya fiksi yang dibangun oleh unsur-unsur pembangun, yakni
unsur intrinsic dan unsur ekstrinsik. Novel juga diartikan sebagai suatu karangan berbentuk
prosa yang mengandung rangkaian ceritakehidupan seseorang dalam orang lain di
sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat pelaku.4
Pada kesempatan kali ini saya menggunakan novel hati suhita untuk penelitian tesis
saya, tugas akhir dalam sebuah pendidikan untuk menyusun sebuah penelitian dan
insyaallah saya menggunakan novel hati suhita karya Khilman Anis. Dalam judul
penelitian saya menggunakan judul Representasi Wanita Jawa Tokoh Alina Suhita pada
Novel Hati Suhita Karya Khilman Anis dan Pengaplikasian Ilmu Jurnalistik pada Pesantren
Assalafie-Assalafiat Babakan ciwaringin Cirebon.
Dengan judul ini saya menemukan permasalahan dalam novel yang akan saya teliti,
saya menemukan permasalahan dalam novel pada tokoh alina suhita, dalam novelnya
diceritakan bahwa tokoh alina suhita ini digambarkan wanita yang berakhlak baik,

4
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), hlm. 10.

4
tawadhu, cerdas, cantik, hafal Al Quran. Gambaran tokoh alina adalah gambaran santri
ideal yang diidamkan oleh semua laki-laki.
Novel ini menceritakan kisah cinta yang diasari oleh perjodohan dari kedua orang
tua masing-masing, tokoh alina dijodohkan dengan gus biru anak dari kyai dan ibu nyai
tempat dia menimba ilmu di pesantrennya, namun gus biru memberontak perjodohannya
dengan alina tetapi pada akhirnya gus biru juga takluk ditangan ibunya ketika gus biru tidak
bisa menolak permintaan ibunya untuk menikahi alina suhita. Ibu biru sangat tahu karakter
anaknya, dan dia memilih alina bukan tapa sebab, alina adalah anak kyai terpandang di
daerahnya. Sejak dipondok alina dikenal sebagai santri berakhlak baik, tawadhu, cerdas,
cantik, hafal Al Quran. Karena itu orang tua biru memilih alina untuuk gus biru yang akan
menggantikan peran ayahnya untuk melanjutkan pesantren yang sudah lama dirintisnya.
Novel ini menggunakan latar pesantren dan alur dalam ceritanya juga dalam
pesantren. Novel ini menggunakan alur perjodohan anak kyai dengan santrinya. Gus biru
nama tokoh laki-laki dan dia juga seorang aktivis di universitasnya. Dia juga seorang anak
kyai dan dia adalah seorang suami dari alina suhita hasil dari perjodohan orang tua dari gus
biru dan disepakati oleh orang tua alina, namun pernikahannya dengan gus biru tidak
semulus seperti pasangan yang lainnya, alina suhita harus sabar menghadapi suaminya,
karena suaminya sebelum menerima perjodohan dia sempat menentang perjodohannya.
Maka dari itu awal mula pernikahannya tidak semulus seperti pasangan yang lainnya.
Saya mengambil judul ini karena melihat latarnya unik, menggunakan latar
pesantren. Lalu dalam novel ini juga dia tidak terfokus menggambarkan perjodohan saja
tetapi dalam novel ini juga menggambarkan dunia pesantren, dan saya menemukan
permasalahan juga dalam novel ini, dipesantren santri tidak hanya bisa mengaji tetapi santri
juga bisa menulis seperti pada novel ini dijelaskan bahwa ada sebuah acara tentang ilmu
jurnalistik masuk dalam pesantren yang dilakukan oleh rengganis mantan pacar dari gus
biru, rengganis ini aktif di jurnalistik maka rengganis mencoba mengamalkan ilmunya ke
pesantren milik gus biru untuk mengajarkan ilmu jurnalistik pada santri-santrinya. Dan
dalam pesantren tidak hanya diajarkan untuk mengaji dan belajar ilmu agama saja tetapi
dipesantren juga diajarkan ilmu jurnalistik, contohnya seperti menulis mading dipesantren
dalam setiap minggunya dan itu ditulis oleh seorang santri.

5
Berdasarkan permasalahan yang didapat dari peneliti terseebut, dan untuk
mengetahui apakah novel tersebut bisa dipertanggung jawabkan dan dapat membantu
untuk menyelesaikan tugas akhir dari peneliti, dan peneliti menggunakan judul
“Representasi Wanita Jawa Tokoh Alina Suhita pada Novel Hati Suhita Karya
Khilman Anis dan Pengaplikasian Ilmu Jurnalistik pada Pesantren Assalafie-
Assalafiat Babakan ciwaringin Cirebon”.

B. Pembatasan Masalah
Pembatasan Masalah, agar penelitian ini lebih berfokus dan mendalam. Oleh karena
itu, peneliti memfokusnya penelitiannya dan membatasi penelitiannya dengan
Representasi Wanita Jawa Tokoh Alina suhita pada novel Hati Suhita karya Khilman Anis
dan Pengaplikasiannya pada Ilmu Jurnalistik di Pesantren Assalafie-Assalafiat Babakan
Ciwaringin Cirebon. Dengan menggunakan teori Feminisme pada wanita jawa dan
Psikologi Sastra pada tokoh alina suhita.
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan menjadi fokus penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Representasi Wanita Jawa pada Novel Hati Suhita


2. Bagaimana Pengaplikasian Ilmu Jurnalistik dipesantren
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini diharapakan untuk mengetahui teori feminisme pada tokoh
Alina Suhita pada novel Hati Suhita karya Khilman Anis dan untuk mengetahui
Pengaplikasian Ilmu Jurnalistik pada pesantren Assalafie-Assalafiat di Babakan
Ciwaringin Cirebon.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoritis.
1. Manfaat teoritis, hasil analisis dapat dijadikan referensi bagi peneliti yang sedang
menyusun tugasnya dengan sumber yang sama novel hati suhita dengan menggunakan
Ilmu Jurnalistik.

6
BAB II
KAJIAN TEORITIS

A. Pengertian Feminisme

Feminisme adalah berasal dari bahasa latin Femina yang memiliki arti sifat
keperempuan. Sehingga feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan
posisi perempuan dibanding laki-laki di masyarakat.5 Akibat persepsi ini, timbul
berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut dan menemukan
formula penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan
potensi mereka sebagai manusia.
Seiring berjalannya waktu, feminisme bukanlah sekedar sebuah wacana melainkan
sebuah ideologi yang hakikatnya perlawanan, anti, dan bebas dari penindasan, dominasi,
hegemoni, ketidakadilan, dan kekerasan yang dialami perempuan.6 Hal ini mengartikan
bahwa dalam feminisme harus ada aksi untuk membebaskan perempuan dari semua
ketidakadilan, sehingga feminisme juga memiliki arti gerakan-gerakan intelektual yang
muncul dan tumbuh secara akademis maupun bentuk upaya-upaya politik dan sosial
perempuan untuk mengakhiri penindasan yang dialami.
Mansour Fakih juga menjelaskan bahwa feminisme merupakan gerakan yang
berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan
dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut.7
Dengan beragamnya arti feminisme, maka akan sulit mendapatkan definisi feminisme
dalam semua ruang dan waktu. Hal ini terjadi karena feminisme tidak mengusung teori
tunggal, akan tetapi menyesuaikan kondisi sosiokultural yang melatarbelakangi munculnya

5
Aida Fitalaya S. Hubis, “Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan” dalam Dadang S. Anshori, dkk (ed),
Membincangkan Feminisme (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), 19.
6
Ibid., 5.
7
Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
82.

7
paham itu serta adanya perbedaan tingkat kesadaran, persepsi, dan tindakan yang dilakukan
oleh para feminis.8 Dengan demikian feminisme kini bukan lagi sekedar ideologi dan
kepercayaan semata, melainkan suatu ajakan untuk bertindak atau gerakan pembebasan.
Dengan tindakan maka feminisme akan menjadi gerakan pembebasan perempuan
yang nyata dan dapat mengangkat derajat perempuan pada posisi yang sepantasnya. Jika
tidak, maka feminisme hanya akan menjadi retorika saja bahkan keberadaan akan ditelan
waktu.

B. Nilai-Nilai Kearifan Perempuan Jawa

1. Rukun

Rukun berarti “dalam keadaan selaras”, “tenang dan tentram”, ‘tanpa perselisihan”,
“bersatu dalam maksud untuk saling membantu”. Sikap hidup inilah yang dijunjung tinggi
perempuan Jawa untuk menciptakan masyarakat selaras, serasi dan seimbang, tanpa
pertikaian dan perselisihan. Prinsip ini diperkuat dengan petuah “ Rukun agawe santosa
crah agawe bubrah”. Prinsip ini terlihat dalam suasana, bekerja sama, dalam lingkup
keluarga dan masyarakat. Rukun adalah keadaan ideal, yang diharapkan dapat
dipertahankan dalam semua hubungan sosial, termasuk di dalam keluarga. Kata rukun juga
menunjuk pada cara bertindak. Berlaku rukun berarti saling menghilangkan tanda-tanda
ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi. Dalam Serat Candrarini
dikemukakan secara eksplisit bahwa perempuan harus selalu menghargai kepada sesama,
hidup berdampingan dengan rukun dan damai. 9 Prinsip ini dipegang teguh oleh perempuan
dalam kondisi apapun. Perempuan akan selalu berusaha berusaha tenang, tidak
memunculkan sikap-sikap menimbulkan perselisihan dan keresahan.10 Rukun berarti usaha
untuk menghindari pecahnya konflik, jika konflik terbuka antara suami dan istri sudah
terjadi maka yang terjadi adalah disharmoni. Untuk menghindari terjadinya konflik secara
terbuka, perempuan Jawa memiliki beberapa strategi ketika menyatakan menghadapi

8
Umul Barorah, “Feminisme dan Feminis Muslim” dalam Sri Suhandjati Sukri (ed), Pemahaman Islam dan
Tantangan Keadilan Gender (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 183-184
9
Siti Suhandjati, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), 63
10
Magnis Suseno, Etika Jawa, (Jakarta: PT. Gramedia, 1991), 40

8
persoalan dengan laki-laki atau suami. Pertama melalui diplomasi dalam bentuk rembugan,
dengan cara ini diskusi dilakukan dengan halus, tidak dengan kasar bahkan pemberontakan.
Kedua, perempuan memilih diam untuk menyatakan ketidaksetujuannya. Bagi perempuan
Jawa berbicara keras untuk mempertahakan argumentasi dan memaksakan kemauan
dianggap sebagai tindakan yang tidak pantas. Hal ini terkait dengan strategi diplomasi
masyarakat Jawa, yang mengadopsi huruf Jawa yaitu mati jika dipangku.

Demikian juga dengan manusia, jika diemong, dihadapi dengan halus, tidak
memberontak, diterima dengan pasrah, dipangku, maka pihak yang berseberangan
pendapat akan menyerahkan tanpa sadar semua kepentingannya.11 Terdapat satu
argumentasi yang dipegang oleh perempuan Jawa bahwa untuk dapat “menundukkan”
pendapat suami perempuan Jawa memilih untuk diam, karena terdapat ungkapan umum
bahwa seseorang yang dilarang melakukan sesuatu, jusru penasaran dan akan melakukan
perbuatan yang dilarang atau tidak disetujui tersebut, namun jika disuruh maka orang Jawa
justru enggan melaksanakannya (Nek dikon kaya dielikake, nek dielikake kaya dikon
(kalau disuruh seperti dilarang, kalau dilarang seperti disuruh).12 Hal serupa seperti
diungkapkan dalam Serat Yadnyasusila bahwa perempuan yang baik adalah yang memiliki
sikap luluh, artinya “cair”, mengalir, dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi,
tidak seperti batu yang keras dan kaku. Hal ini penting sebagai bekal bagi tugas merumat
segala sesutu dalam lingkungan kewajibannya.13 Tidak jauh berbeda diungkapkan dalam
Serat Wulang Jayalengkara, bahwa seorang pemimpin yang baik haruslah memiliki watak
“Wong Catur” pertama, retna atau permata, wataknya adalah pengayom dan pengayem,
karena khasiat batu-permata adalah untuk memberikan ketentraman dan melindungi diri.
Kedua, watak estri atau wanita, adalah berbudi luhur, bersifat sabar, bersikap santun,
mengalahkan tanpa kekerasan atau pandai berdiplomasi. Ketiga, watak curiga atau keris,
seorang pemimpin haruslah memiliki ketajaman olah-pikir, dalam menetapkan policy dan
strategi di bidang apa pun. Keempat, watak paksi atau burung, mengisyaratkan watak yang
bebas terbang kemana pun, agar dapat bertindak independen tidak terikat oleh kepentingan

11
Christina S. Handayani, Kuasa Wanita Jawa, (Yogyakarta: Lkis, 2004), 150
12
Ibid, 152
13
Sumaatmaka, Serat Yadnyasusila, (Solo: Perpustakaan Reksapustaka, 1929), 53

9
satu golongan, sehingga pendapatnya pun bisa menyejukkan semua lapisan masyarakat.14
Mengamati ungkapan tersebut di atas jelas terlihat bahwa watak yang diharapkan dari
seorang pemimpin salah satunya adalah watak seperti yang dimiliki oleh perempuan
bersifat sabar, bersikap santun, dan mengalahkan tanpa kekerasan atau pandai
berdiplomasi.

Untuk mewujudkan kerukunan, terdapat prinsip lain yang harus dipegang manusia
Jawa, yaitu gotong royong. Gotong royong artinya saling membantu dan bersama-sama
dalam melakukan pekerjaan. Prinsip ini mengandalikan bahwa manusia pada dasarnya
tidak dapat hidup sendiri, selalu bergantung pada sesamanya, oleh karena itu harus
berusaha menjaga hubungan baik dan selalu bersedia membantu sesamanya. Demikian
juga dalam kehidupan berumah tangga, dilakukan pembagian pekerjaan bagi semua
anggota keluarga dan semua dilakukan dengan gotong royong. Perempuan sebagai istri
tahu persis apa yang harus dilakukan dalam keluarga, demikian juga dengan suami. Dalam
praktek hidup sehari-hari, peran dan posisi suami istri saling menggantikan. Jika istri
hendak bepergian untuk suatu keperluan, maka suami harus menjaga anak di rumah.
Demikian pula sebaliknya. Semua dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip gotong
royong dan bekerja sama.

2. Hormat

Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang dalam cara berbicara dan membawa diri
selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan
kedudukannya. Perempuan Jawa memegang prinsip ini dalam hubungan baik dengan
suami maupun dengan orang lain. Prinsip hormat didasari pendapat bahwa semua
hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkhis, bahwa keteraturan itu bernilai pada
dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankan dan membawa diri
sesuai dengannya.15

Terdapat tiga perasaan yang dipelajari manusia Jawa dalam pendidikan sejak mulai
balita hingga dewasa :

14
Poerbotjaraka, Kepustakaan Djawi, (Djakarta: Djambatan, 1952), 34
15
Magnis, 61

10
1) Wedi artinya takut terhadap akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan. Termasuk di sini
adalah wedi terhadap orang yang harus dihormati.
2) Isin artinya rasa malu, merasa bersalah. Isin dan sikap hormat merupakan satu kesatuan.
Manusia Jawa merasa isin apabila tidak dapat menunjukkan sikap hormat yang tepat
terhadap orang yang pantas dihormati.
3) Sungkan merupakan rasa isin dan malu sekaligus dalam arti lebih positif. Rasa sungkan ini
berhubungan erat dengan rasa hormat penuh kesopanan kepada orang yang lebih tua, atau
sesama yang belum dikenal sebagai bentuk pengekangan halus terhadap kepribadian
sendiri demi hormat kepada pribadi orang lain.
Dalam kaitannya dengan perasaan hormat ini, perempuan Jawa dituntut untuk
memiliki perasaan wedi lan bekti ing laki (takut dan berbakti kepada suami). Seperti yang
diungkap dalam Serat Centhini, bahwa tiga hal yang harus diingat istri dalam perkawinan
adalah, gemi (hemat), wedi (takut) dan gumati (kasih sayang) kepada suami dan anak-
anaknya.16 Sebagai bentuk sikap hormat istri terhadap suami dapat dicontohkan adanya
nasihat untuk tidak membuka rahasia dan aib suami (aja miyak ing wewadine wong
kakung). Jika perempuan berani membuka aib suami, itu berarti mempermalukan dirinya
sendiri.17 Sikap hormat ini terutama ditujukan kepada suami, karena suami dianggap
sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap nasib istri.
Ungkapan ekstrim yang memperlihatkan posisi perempuan Jawa dengan terhadap suami
adalah swarga nunut, neraka katut. (Ungkapan tersebut pada perkembangannya akan
mendapatkan reinterpretasi baru oleh perempuan itu sendiri). Jika istri tidak hormat
terhadap suami maka akibat yang ditimbulkan sangatlah besar, karena hal tersebut akan
mendatangkan ketidakharmonisan.

C. Pengendalian Diri

Pengendalian diri yang dimaksud adalah kemampuan untuk membatasi dan


mengekang segala bentuk kehendak dalam rangka menjaga keseimbangan dan keselarasan
hidup. Sebuah nilai yang dipandang penting dan berhubungan dengan pengendalian diri

16
Kamajaya, Karkono, Kebudayaan Jawa: Perpaduannya dengan Islam, IKAPI (Yogyakarta: IKAPI, 1995),61
17
Sri Suhandjati, 47

11
ini, dapat dilihat pada ungkapan sak madya dan sak cukupe. Artinya yang sedang-sedang
saja, yang menengah, cukupan, tidak terlalu dan tidak ekstrim. Sebagai contoh adalah urip
sak madya, artinya hidup yang sedang-sedang saja, tidak terlalu kaya atau tidak terlalu
miskin. Inilah nilai yang dianggap ideal oleh manusia Jawa. Manusia Jawa juga harus
selalu bersifat konform terhadap sesamanya, artinya harus selalui diingat bahwa seseorang
tidak boleh kelihatan lebih menonjol, melebihi orang lain dalam masyarakat.18 Erat terkait
dengan prinsip pengendalian diri ini, manusia Jawa selain harus sak madya juga harus
prasojo (sederhana). Bahkan secara lebih ekstrim, manusia Jawa dituntut untuk andhap
asor, bersedia menganggap diri lebih rendah daripada orang lain.

Perempuan Jawa dituntut memiliki kemampuan pengendalian diri. Perempuan


harus bersikap sak madya. Misalnya dalam pergaulan perempuan dituntut untuk prasojo
dan andhap asor. Sebagai contoh, tidak terlalu memamerkan harta kekayaan yang dimiliki
dan tidak terlalu banyak bicara. Bagi manusia Jawa, derajat dan harga diri seseorang
ditentukan oleh budi pekerti dan ucapan yang keluar dari mulut (Ajining diri, ana ing lathi
lan pekerti). Manusia Jawa juga meyakini bahwa dengan pengendalian diri akan diperoleh
kematangan pribadi, maksudnya, ketika seseorang telah mampu menyerap sifat-sifat yang
bertentangan dalam diri serta mampu membatinkan perasan-perasaan yang bertentangan
tersebut dapat dikatakan sebagai pribadi matang.

D. Analisis Tokoh

Menurut Nurgiyantoro, istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita,


misalnya sebagai penjawab terhadap pertanyaan: siapakah tokoh utama novel itu? Atau ada
berapa orang jumlah pelaku novel itu? Atau siapakah tokoh protagonis dan antagonis
dalam novel itu? dan sebagainya.19 Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan dan karakterisasi-
karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk
pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita.
Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban
terhadap pertanyaan “siapakah tokoh utama novel itu?” atau “ada berapa orang jumlah

18
Magnis Suseno,51
19
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: PT Gajah Mada University Press, 1995), 165

12
pelaku novel itu?” atau “siapakah tokoh protagonis dan antagonis dalam novel itu?” dan
sebagainya.20 Selanjutnya, Sudjiman mengatakan bahwa tokoh adalah individu rekaan
yang mengalamiperistiwa atau berkelakuan di dalam berbagai peristiwa cerita. Tokoh pada
umumnya berwujud manusia, tetapi ada juga berwujud binatang atau benda yang
diinsankan.21 Seperti pada pembelajaran Bahasa Indonesia pada teks cerita fabel dalam
tokohnya mengganti dengan binatang.
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro), tokoh cerita merupakan orang yang
ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama oleh pembaca ditafsirkan memiliki
kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan
dilakukan dalam tindakan.22 Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa tokoh
sangat diperlukan dalam sebuah karya sastra karena melalui tokoh dapat digambarkan
bagaimana jalannya sebuah cerita. Seperti yang dikemukakan oleh Sumardjo bahwa tokoh
dalam sebuah cerita adalah orang yang mengambil bagian dan mengalami peristiwa-
peristiwa yang digambarkan dalam plot.23
Penokohan adalah cara pengarang menggambarkan atau melukiskan tokoh dalam
cerita yang ditulisnya. Dalam penokohan watak atau karakter tokoh dapat dilihat melalui
dialog tokoh, penjelasan tokoh, dan penggambaran fisik. Penokoham dan tokoh
dalam sebuah cerita sangat erat kaitannya sebab perwatakan tokoh digambarkan melalui
penampilan si tokoh.

E. Pendidikan Non Formal

Pendidikan non formal merupakan pendidikan diluar bangku persekolahan sebagai


pengganti, penambah, maupun pelengkap dari pendidikan persekolahan. Pendidikan non
formal sebagai wadah untuk masyarakat yang tidak berkesempatan mengenyampendidikan

20
Nurgiyantoro, 165
21
Panuti, Sudjiman. Memahami Cerita Rekaan. (Yogyakarta: Nurcahaya, 1988), 16
22
Nurgiyantoro, 165
23
Yacob, Sumardjo. Memahami Kesusastraan. (Bandung: Alumni, 1998), 144

13
formal, atau sebagai penambah dan pelengkap dari pembelajaran yang sudah didapatkan
dibangku persekolahan. Menurut PP nomor 73 tahun 1991 tentang pendidikan luar
sekolah bahwa “pendidikan luar sekolah mencakup pendidikan umum, pendidikan
keagamaan, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan dan pendidikan kejuruan”.
Perlu adanya pembenahan pendidikan yaitu bukan hanya dalam materi pembelajaran, tapi
juga dalam penanaman nilai-nilai dalam akhlak disuatu pembelajaran salah satunya
melalui pendidikan keagamaan yaitu pondok pesantren.

Pesantren merupakan salah satu bentuk pendidikan non formal berbasis agama
islam sebagai pengganti dan juga pelengkap dari adanya pendidikan formal dalam
penanaman nilai-nilai dan akhlak didalam proses pembelajarannya, sehingga melalui
pondok peantren peserta didik dapat mengembangkan potensi, sikap, keterampilan, nilai-
nilai keagamaan dan pengembangan nilai moral. Dimana, dalam perkembangannya selalu
tumbuh dan berkembang. Menurut Sutarto, pada awalnya pendidikan nonformal berbentuk
pondok pesantrian, yang sekarang dikenal dengan pondok pesantren, yang proses
pembelajarannya diarahkan pada pengembangan potensi penge-tahuan, sikap,
keterampilan, nilai-nilai keagamaan dan pengembangan nilai moral.

14
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Biografi Khilman Anis


Khilma Anis Wahidah atau yang lebih dikenal dengan nama Khilma Anis, beliau
lahir di Jember, pada tanggal 04 Oktober 1986. Khilma merupakan putri dari pasangan
KH. Lukman Yasir, M.Si dan Dra. HJ. Hamidah Sri Winarni, M.Pd.I. Serta istri dari
Chazyal Mazda Choirizyad Tajussyarof dan dikaruniai dua orang buah hati yaitu Rasyiq
Nibras dan Nawaf Mazaya. Khilma Anis mengawali dunia menulisnya di majalah
SUSANA (Suara Santri Assaidiyah) Tambakberas, Jombang. Dia juga menjadi redaktur di
majalah ELITE (majalah siswa-siswi MAN Tambakberas, Jombang) dan juga pemimpin
redaksi majalah KRESIBA (Kreativitas Siswa-siswi Jurusan Bahasa) di sekolah dan
pesantren Assaidiyah, Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang.

Novel pertama Khilma Anis terbit pada tahun 2008 berjudul Jadilah Prnamaku,
Ning (JPN), novel JPN diterbitkan oleh Matapena Yogyakarta. Novel tersebut banyak
digemari oleh pembaca sampai masuk cetakan ketiga. Selain novel JPN, Khilma Anis
juga menulis buku panduan menulis yang berjudul Ngaji Fiksi bersama rekan-rekan
penulis Matapena, buku tersebut berisi panduan menulis fiksi untuk pemula. Disamping
menulis novel dan buku, Khilma Anis juga aktif di komunitas Matapena sebagai pemateri
dan fasilitator pada setiap pelatihan menulis fiksi dan nonfiksi yang diadakan di pesantren
dan sekolah se- Jawa dan Bali.24

B. Sinopsis Hati Suhita


Alina Suhita, perempuan dari trah darah biru pesantren dengan moyang pelestari
ajaran Jawa, sejak remaja terikat perjodohan. Ketika hari pernikahan tiba, Gus Birru
suaminya, menumpahkan kekesalan dengan tidak mau menggauli Suhita. Tinggal dalam
satu kamar tapi tempat tidur terpisah sejak malam pertama pernikahan. Tanpa
perbincangan apalagi kehangatan, namun bisa bersandiwara sebagai pasangan pengantin
mesra ketika di luar.
Alina Suhita begitu patuh. Khas tawadhu' santri. Baginya, mikul duwur mendem
jeu menjadi pegangan yang mutlak diterima dan dilakukan tanpa reserve. Gejolak hasrat

24
Khilma Anis, Hati Suhita (Yogyakarta: Telaga Asmara, 2019), 403-404.

15
seorang istri yang disambut penolakan terang-terangan suami, tepat ketika perempuan
masa lalu suami muncul menjalin komunikasi layaknya sepasang kekasih, adalah
penderitaan yang mengiringi konflik batinnya selama beberapa purnama.
Namun yang tersemat dalam nama Suhita, adalah kekuatan tiada bandingan. Suhita
menelan semua getir itu sendirian. Merebahkannya di dalam sujud, melantunkannya dalam
ayat-ayat Tuhan yang ia hapal seluruhnya, juga tengadah doa di tempat orang-orang suci
disemayamkan.
Mustika Ampal dan Pengabsah Wangsa, menjadi ujung dari kisah cinta rumit dan
dramatis ini. Bahwa cinta adalah kesediaan total untuk menerima takdir serta melapaskan
diri dari segala hal yang berpotensi memusnahkan bahagia.

C. Metodologi Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian


kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan
prosedur statistik atau cara kuantifikasi lainnya.25 Lalu penelitian saya juga menggunakan
Kajian Pustaka. Karena penelitian saya menggunakan sebuah novel karya dari Khilman
Anis. Adapun subjeck penelitian yang diambil adalah novel Hati Suhita karya Khilman
Anis. Data penelitian ini adalah menggunakan Repesentasi Wanita Jawa Tokoh Alina
Suhita pada Novel Hati Suhita Karya Khilman Anis dan Pengaplikasinnya pada Ilmu
Jurnalistik di Pesantren Assalafie-Assalafiat Babakan Ciwaringin Cirebon. untuk waktu
pengambilan dataya dari tanggal 15 Juli sampai waktu yang belum ditentukan. Subjeck
penelitiannya berupa kajian pustaka dari novel Khilman Anis. Teknik pengumpulan data
pada penelitian ini adalah dengan metode Kajian Pustaka dengan menggunakan novel.
Analisis data adalah proses menyikapi data, menyusun, memilih dan mengolahnya ke
dalam satu susunan yang sistematis dan bermakna.26 Analisis data pada penelitian ini
adalah deskriptif kualitatif.

25
J. Moleong, Lexy. Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), 6
26
Ibrahim, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Alfabet, 2015), 103

16
DAFTAR PUSTAKA

Aida Fitalaya S. Hubis, “Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan” dalam Dadang S. Anshori,
dkk (ed), Membincangkan Feminisme Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.

Christina S. Handayani, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: Lkis, 2004.

Ibrahim, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Alfabet, 2015.

J. Moleong, Lexy. Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2014.

Kamajaya, Karkono, Kebudayaan Jawa: Perpaduannya dengan Islam, IKAPI, Yogyakarta:


IKAPI, 1995.

Khilma Anis, Hati Suhita, Yogyakarta: Telaga Asmara, 2019.

Magnis Suseno, Etika Jawa, Jakarta: PT. Gramedia, 1991.

Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.

Mursal Esten, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah, Bandung: Angkasa, 2003.

Ni Nyoman Karmini, Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama, Bali: Pustaka Larasan, 2011.

Panuti, Sudjiman. Memahami Cerita Rekaan. Yogyakarta: Nurcahaya, 1988.

Poerbotjaraka, Kepustakaan Djawi, Djakarta: Djambatan, 1952.

Siti Suhandjati, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2001.
Sumaatmaka, Serat Yadnyasusila, Solo: Perpustakaan Reksapustaka, 1929.

Umul Barorah, “Feminisme dan Feminis Muslim” dalam Sri Suhandjati Sukri (ed), Pemahaman
Islam dan Tantangan Keadilan Gender. Yogyakarta: Gama Media, 2002

Yacob, Sumardjo. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni, 1998.

17
18

Anda mungkin juga menyukai