PROPOSAL TESIS
BAB 1-2-3 & DAFTAR PUSTAKA
Oleh:
KHUFAIFATUL FIKRI
NIM 1909057012
Oleh:
KHUFAIFATUL FIKRI
NIM 1909057012
1
DAFTAR ISI
Daftar Isi
BAB I ............................................................................................................................................................ 3
A. Latar Belakang .................................................................................................................................. 3
B. Pembatasan Masalah ......................................................................................................................... 6
C. Rumusan Masalah ............................................................................................................................. 6
D. Tujuan Penelitian .............................................................................................................................. 6
E. Manfaat Penelitian ............................................................................................................................ 6
BAB II .......................................................................................................................................................... 7
A. Pengertian Feminisme ....................................................................................................................... 7
B. Nilai-Nilai Kearifan Perempuan Jawa .............................................................................................. 8
C. Pengendalian Diri............................................................................................................................ 11
D. Analisis Tokoh ................................................................................................................................ 12
E. Pendidikan Non Formal .................................................................................................................. 13
BAB III....................................................................................................................................................... 15
A. Biografi Khilman Anis .................................................................................................................... 15
B. Sinopsis Hati Suhita ........................................................................................................................ 15
C. Metodologi Penelitian ..................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 17
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Ni Nyoman Karmini, Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama, (Bali: Pustaka Larasan, 2011), hlm. 2.
2
Mursal Esten, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah, (Bandung: Angkasa, 2003). Hlm. 1.
3
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), hlm. 321.
3
tersurat. Dalam tulisannya dia berpendapat bahwa dalam cerita yang dia tulisan ada
pelajaran yang atut dicontoh kepada pembacanya. Karya sastra terbagi menjadi beberapa
macam salah satunya prosa atau dalam prosa biasanya sering dikenal dengan karangan
bebas, Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia offline Prosa ialah karangan bebas,
karangan yang tidak terikat oleh kaidah yang terdapat dalam puisi. Jadi dapat disimpulkan
bawa prosa adalah karangan bebas yang tidak terikat oleh puisi, karena prosa tidak harus
menggunakan rim ajika harus membacanya tidak seperti puisi.
Dalam karangan bebas ini contohnya seperti cerita yang ditulis oleh penulisnya
seperti cerpen atau kumpulan cerpen yang struktur tulisannya masih dibatasi hanya sampai
beberapa kata saja tetapi prosa juga ada bebar-benar tidak dibatasi dala menulisnya sama
seperti pengertian dalam KBBI offline bahwa prosa adalah karangan bebas. Disini saya
mengambil contoh prosa yaitu dengan novel, novel adalah karangan bebas yang ditulis oleh
penulisnya melalui ide-ide yang didapatnya. Dalam penulisan novel harus mengikuti
struktur penulisannya seperti mudahnya dalam menulis novel itu harus ada deskripsi tokoh
dan ada narasi dalam ceritanya.
Novel merupakan karya fiksi yang dibangun oleh unsur-unsur pembangun, yakni
unsur intrinsic dan unsur ekstrinsik. Novel juga diartikan sebagai suatu karangan berbentuk
prosa yang mengandung rangkaian ceritakehidupan seseorang dalam orang lain di
sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat pelaku.4
Pada kesempatan kali ini saya menggunakan novel hati suhita untuk penelitian tesis
saya, tugas akhir dalam sebuah pendidikan untuk menyusun sebuah penelitian dan
insyaallah saya menggunakan novel hati suhita karya Khilman Anis. Dalam judul
penelitian saya menggunakan judul Representasi Wanita Jawa Tokoh Alina Suhita pada
Novel Hati Suhita Karya Khilman Anis dan Pengaplikasian Ilmu Jurnalistik pada Pesantren
Assalafie-Assalafiat Babakan ciwaringin Cirebon.
Dengan judul ini saya menemukan permasalahan dalam novel yang akan saya teliti,
saya menemukan permasalahan dalam novel pada tokoh alina suhita, dalam novelnya
diceritakan bahwa tokoh alina suhita ini digambarkan wanita yang berakhlak baik,
4
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), hlm. 10.
4
tawadhu, cerdas, cantik, hafal Al Quran. Gambaran tokoh alina adalah gambaran santri
ideal yang diidamkan oleh semua laki-laki.
Novel ini menceritakan kisah cinta yang diasari oleh perjodohan dari kedua orang
tua masing-masing, tokoh alina dijodohkan dengan gus biru anak dari kyai dan ibu nyai
tempat dia menimba ilmu di pesantrennya, namun gus biru memberontak perjodohannya
dengan alina tetapi pada akhirnya gus biru juga takluk ditangan ibunya ketika gus biru tidak
bisa menolak permintaan ibunya untuk menikahi alina suhita. Ibu biru sangat tahu karakter
anaknya, dan dia memilih alina bukan tapa sebab, alina adalah anak kyai terpandang di
daerahnya. Sejak dipondok alina dikenal sebagai santri berakhlak baik, tawadhu, cerdas,
cantik, hafal Al Quran. Karena itu orang tua biru memilih alina untuuk gus biru yang akan
menggantikan peran ayahnya untuk melanjutkan pesantren yang sudah lama dirintisnya.
Novel ini menggunakan latar pesantren dan alur dalam ceritanya juga dalam
pesantren. Novel ini menggunakan alur perjodohan anak kyai dengan santrinya. Gus biru
nama tokoh laki-laki dan dia juga seorang aktivis di universitasnya. Dia juga seorang anak
kyai dan dia adalah seorang suami dari alina suhita hasil dari perjodohan orang tua dari gus
biru dan disepakati oleh orang tua alina, namun pernikahannya dengan gus biru tidak
semulus seperti pasangan yang lainnya, alina suhita harus sabar menghadapi suaminya,
karena suaminya sebelum menerima perjodohan dia sempat menentang perjodohannya.
Maka dari itu awal mula pernikahannya tidak semulus seperti pasangan yang lainnya.
Saya mengambil judul ini karena melihat latarnya unik, menggunakan latar
pesantren. Lalu dalam novel ini juga dia tidak terfokus menggambarkan perjodohan saja
tetapi dalam novel ini juga menggambarkan dunia pesantren, dan saya menemukan
permasalahan juga dalam novel ini, dipesantren santri tidak hanya bisa mengaji tetapi santri
juga bisa menulis seperti pada novel ini dijelaskan bahwa ada sebuah acara tentang ilmu
jurnalistik masuk dalam pesantren yang dilakukan oleh rengganis mantan pacar dari gus
biru, rengganis ini aktif di jurnalistik maka rengganis mencoba mengamalkan ilmunya ke
pesantren milik gus biru untuk mengajarkan ilmu jurnalistik pada santri-santrinya. Dan
dalam pesantren tidak hanya diajarkan untuk mengaji dan belajar ilmu agama saja tetapi
dipesantren juga diajarkan ilmu jurnalistik, contohnya seperti menulis mading dipesantren
dalam setiap minggunya dan itu ditulis oleh seorang santri.
5
Berdasarkan permasalahan yang didapat dari peneliti terseebut, dan untuk
mengetahui apakah novel tersebut bisa dipertanggung jawabkan dan dapat membantu
untuk menyelesaikan tugas akhir dari peneliti, dan peneliti menggunakan judul
“Representasi Wanita Jawa Tokoh Alina Suhita pada Novel Hati Suhita Karya
Khilman Anis dan Pengaplikasian Ilmu Jurnalistik pada Pesantren Assalafie-
Assalafiat Babakan ciwaringin Cirebon”.
B. Pembatasan Masalah
Pembatasan Masalah, agar penelitian ini lebih berfokus dan mendalam. Oleh karena
itu, peneliti memfokusnya penelitiannya dan membatasi penelitiannya dengan
Representasi Wanita Jawa Tokoh Alina suhita pada novel Hati Suhita karya Khilman Anis
dan Pengaplikasiannya pada Ilmu Jurnalistik di Pesantren Assalafie-Assalafiat Babakan
Ciwaringin Cirebon. Dengan menggunakan teori Feminisme pada wanita jawa dan
Psikologi Sastra pada tokoh alina suhita.
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan menjadi fokus penelitian adalah sebagai berikut:
6
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Pengertian Feminisme
Feminisme adalah berasal dari bahasa latin Femina yang memiliki arti sifat
keperempuan. Sehingga feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan
posisi perempuan dibanding laki-laki di masyarakat.5 Akibat persepsi ini, timbul
berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut dan menemukan
formula penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan
potensi mereka sebagai manusia.
Seiring berjalannya waktu, feminisme bukanlah sekedar sebuah wacana melainkan
sebuah ideologi yang hakikatnya perlawanan, anti, dan bebas dari penindasan, dominasi,
hegemoni, ketidakadilan, dan kekerasan yang dialami perempuan.6 Hal ini mengartikan
bahwa dalam feminisme harus ada aksi untuk membebaskan perempuan dari semua
ketidakadilan, sehingga feminisme juga memiliki arti gerakan-gerakan intelektual yang
muncul dan tumbuh secara akademis maupun bentuk upaya-upaya politik dan sosial
perempuan untuk mengakhiri penindasan yang dialami.
Mansour Fakih juga menjelaskan bahwa feminisme merupakan gerakan yang
berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan
dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut.7
Dengan beragamnya arti feminisme, maka akan sulit mendapatkan definisi feminisme
dalam semua ruang dan waktu. Hal ini terjadi karena feminisme tidak mengusung teori
tunggal, akan tetapi menyesuaikan kondisi sosiokultural yang melatarbelakangi munculnya
5
Aida Fitalaya S. Hubis, “Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan” dalam Dadang S. Anshori, dkk (ed),
Membincangkan Feminisme (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), 19.
6
Ibid., 5.
7
Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
82.
7
paham itu serta adanya perbedaan tingkat kesadaran, persepsi, dan tindakan yang dilakukan
oleh para feminis.8 Dengan demikian feminisme kini bukan lagi sekedar ideologi dan
kepercayaan semata, melainkan suatu ajakan untuk bertindak atau gerakan pembebasan.
Dengan tindakan maka feminisme akan menjadi gerakan pembebasan perempuan
yang nyata dan dapat mengangkat derajat perempuan pada posisi yang sepantasnya. Jika
tidak, maka feminisme hanya akan menjadi retorika saja bahkan keberadaan akan ditelan
waktu.
1. Rukun
Rukun berarti “dalam keadaan selaras”, “tenang dan tentram”, ‘tanpa perselisihan”,
“bersatu dalam maksud untuk saling membantu”. Sikap hidup inilah yang dijunjung tinggi
perempuan Jawa untuk menciptakan masyarakat selaras, serasi dan seimbang, tanpa
pertikaian dan perselisihan. Prinsip ini diperkuat dengan petuah “ Rukun agawe santosa
crah agawe bubrah”. Prinsip ini terlihat dalam suasana, bekerja sama, dalam lingkup
keluarga dan masyarakat. Rukun adalah keadaan ideal, yang diharapkan dapat
dipertahankan dalam semua hubungan sosial, termasuk di dalam keluarga. Kata rukun juga
menunjuk pada cara bertindak. Berlaku rukun berarti saling menghilangkan tanda-tanda
ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi. Dalam Serat Candrarini
dikemukakan secara eksplisit bahwa perempuan harus selalu menghargai kepada sesama,
hidup berdampingan dengan rukun dan damai. 9 Prinsip ini dipegang teguh oleh perempuan
dalam kondisi apapun. Perempuan akan selalu berusaha berusaha tenang, tidak
memunculkan sikap-sikap menimbulkan perselisihan dan keresahan.10 Rukun berarti usaha
untuk menghindari pecahnya konflik, jika konflik terbuka antara suami dan istri sudah
terjadi maka yang terjadi adalah disharmoni. Untuk menghindari terjadinya konflik secara
terbuka, perempuan Jawa memiliki beberapa strategi ketika menyatakan menghadapi
8
Umul Barorah, “Feminisme dan Feminis Muslim” dalam Sri Suhandjati Sukri (ed), Pemahaman Islam dan
Tantangan Keadilan Gender (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 183-184
9
Siti Suhandjati, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), 63
10
Magnis Suseno, Etika Jawa, (Jakarta: PT. Gramedia, 1991), 40
8
persoalan dengan laki-laki atau suami. Pertama melalui diplomasi dalam bentuk rembugan,
dengan cara ini diskusi dilakukan dengan halus, tidak dengan kasar bahkan pemberontakan.
Kedua, perempuan memilih diam untuk menyatakan ketidaksetujuannya. Bagi perempuan
Jawa berbicara keras untuk mempertahakan argumentasi dan memaksakan kemauan
dianggap sebagai tindakan yang tidak pantas. Hal ini terkait dengan strategi diplomasi
masyarakat Jawa, yang mengadopsi huruf Jawa yaitu mati jika dipangku.
Demikian juga dengan manusia, jika diemong, dihadapi dengan halus, tidak
memberontak, diterima dengan pasrah, dipangku, maka pihak yang berseberangan
pendapat akan menyerahkan tanpa sadar semua kepentingannya.11 Terdapat satu
argumentasi yang dipegang oleh perempuan Jawa bahwa untuk dapat “menundukkan”
pendapat suami perempuan Jawa memilih untuk diam, karena terdapat ungkapan umum
bahwa seseorang yang dilarang melakukan sesuatu, jusru penasaran dan akan melakukan
perbuatan yang dilarang atau tidak disetujui tersebut, namun jika disuruh maka orang Jawa
justru enggan melaksanakannya (Nek dikon kaya dielikake, nek dielikake kaya dikon
(kalau disuruh seperti dilarang, kalau dilarang seperti disuruh).12 Hal serupa seperti
diungkapkan dalam Serat Yadnyasusila bahwa perempuan yang baik adalah yang memiliki
sikap luluh, artinya “cair”, mengalir, dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi,
tidak seperti batu yang keras dan kaku. Hal ini penting sebagai bekal bagi tugas merumat
segala sesutu dalam lingkungan kewajibannya.13 Tidak jauh berbeda diungkapkan dalam
Serat Wulang Jayalengkara, bahwa seorang pemimpin yang baik haruslah memiliki watak
“Wong Catur” pertama, retna atau permata, wataknya adalah pengayom dan pengayem,
karena khasiat batu-permata adalah untuk memberikan ketentraman dan melindungi diri.
Kedua, watak estri atau wanita, adalah berbudi luhur, bersifat sabar, bersikap santun,
mengalahkan tanpa kekerasan atau pandai berdiplomasi. Ketiga, watak curiga atau keris,
seorang pemimpin haruslah memiliki ketajaman olah-pikir, dalam menetapkan policy dan
strategi di bidang apa pun. Keempat, watak paksi atau burung, mengisyaratkan watak yang
bebas terbang kemana pun, agar dapat bertindak independen tidak terikat oleh kepentingan
11
Christina S. Handayani, Kuasa Wanita Jawa, (Yogyakarta: Lkis, 2004), 150
12
Ibid, 152
13
Sumaatmaka, Serat Yadnyasusila, (Solo: Perpustakaan Reksapustaka, 1929), 53
9
satu golongan, sehingga pendapatnya pun bisa menyejukkan semua lapisan masyarakat.14
Mengamati ungkapan tersebut di atas jelas terlihat bahwa watak yang diharapkan dari
seorang pemimpin salah satunya adalah watak seperti yang dimiliki oleh perempuan
bersifat sabar, bersikap santun, dan mengalahkan tanpa kekerasan atau pandai
berdiplomasi.
Untuk mewujudkan kerukunan, terdapat prinsip lain yang harus dipegang manusia
Jawa, yaitu gotong royong. Gotong royong artinya saling membantu dan bersama-sama
dalam melakukan pekerjaan. Prinsip ini mengandalikan bahwa manusia pada dasarnya
tidak dapat hidup sendiri, selalu bergantung pada sesamanya, oleh karena itu harus
berusaha menjaga hubungan baik dan selalu bersedia membantu sesamanya. Demikian
juga dalam kehidupan berumah tangga, dilakukan pembagian pekerjaan bagi semua
anggota keluarga dan semua dilakukan dengan gotong royong. Perempuan sebagai istri
tahu persis apa yang harus dilakukan dalam keluarga, demikian juga dengan suami. Dalam
praktek hidup sehari-hari, peran dan posisi suami istri saling menggantikan. Jika istri
hendak bepergian untuk suatu keperluan, maka suami harus menjaga anak di rumah.
Demikian pula sebaliknya. Semua dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip gotong
royong dan bekerja sama.
2. Hormat
Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang dalam cara berbicara dan membawa diri
selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan
kedudukannya. Perempuan Jawa memegang prinsip ini dalam hubungan baik dengan
suami maupun dengan orang lain. Prinsip hormat didasari pendapat bahwa semua
hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkhis, bahwa keteraturan itu bernilai pada
dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankan dan membawa diri
sesuai dengannya.15
Terdapat tiga perasaan yang dipelajari manusia Jawa dalam pendidikan sejak mulai
balita hingga dewasa :
14
Poerbotjaraka, Kepustakaan Djawi, (Djakarta: Djambatan, 1952), 34
15
Magnis, 61
10
1) Wedi artinya takut terhadap akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan. Termasuk di sini
adalah wedi terhadap orang yang harus dihormati.
2) Isin artinya rasa malu, merasa bersalah. Isin dan sikap hormat merupakan satu kesatuan.
Manusia Jawa merasa isin apabila tidak dapat menunjukkan sikap hormat yang tepat
terhadap orang yang pantas dihormati.
3) Sungkan merupakan rasa isin dan malu sekaligus dalam arti lebih positif. Rasa sungkan ini
berhubungan erat dengan rasa hormat penuh kesopanan kepada orang yang lebih tua, atau
sesama yang belum dikenal sebagai bentuk pengekangan halus terhadap kepribadian
sendiri demi hormat kepada pribadi orang lain.
Dalam kaitannya dengan perasaan hormat ini, perempuan Jawa dituntut untuk
memiliki perasaan wedi lan bekti ing laki (takut dan berbakti kepada suami). Seperti yang
diungkap dalam Serat Centhini, bahwa tiga hal yang harus diingat istri dalam perkawinan
adalah, gemi (hemat), wedi (takut) dan gumati (kasih sayang) kepada suami dan anak-
anaknya.16 Sebagai bentuk sikap hormat istri terhadap suami dapat dicontohkan adanya
nasihat untuk tidak membuka rahasia dan aib suami (aja miyak ing wewadine wong
kakung). Jika perempuan berani membuka aib suami, itu berarti mempermalukan dirinya
sendiri.17 Sikap hormat ini terutama ditujukan kepada suami, karena suami dianggap
sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap nasib istri.
Ungkapan ekstrim yang memperlihatkan posisi perempuan Jawa dengan terhadap suami
adalah swarga nunut, neraka katut. (Ungkapan tersebut pada perkembangannya akan
mendapatkan reinterpretasi baru oleh perempuan itu sendiri). Jika istri tidak hormat
terhadap suami maka akibat yang ditimbulkan sangatlah besar, karena hal tersebut akan
mendatangkan ketidakharmonisan.
C. Pengendalian Diri
16
Kamajaya, Karkono, Kebudayaan Jawa: Perpaduannya dengan Islam, IKAPI (Yogyakarta: IKAPI, 1995),61
17
Sri Suhandjati, 47
11
ini, dapat dilihat pada ungkapan sak madya dan sak cukupe. Artinya yang sedang-sedang
saja, yang menengah, cukupan, tidak terlalu dan tidak ekstrim. Sebagai contoh adalah urip
sak madya, artinya hidup yang sedang-sedang saja, tidak terlalu kaya atau tidak terlalu
miskin. Inilah nilai yang dianggap ideal oleh manusia Jawa. Manusia Jawa juga harus
selalu bersifat konform terhadap sesamanya, artinya harus selalui diingat bahwa seseorang
tidak boleh kelihatan lebih menonjol, melebihi orang lain dalam masyarakat.18 Erat terkait
dengan prinsip pengendalian diri ini, manusia Jawa selain harus sak madya juga harus
prasojo (sederhana). Bahkan secara lebih ekstrim, manusia Jawa dituntut untuk andhap
asor, bersedia menganggap diri lebih rendah daripada orang lain.
D. Analisis Tokoh
18
Magnis Suseno,51
19
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: PT Gajah Mada University Press, 1995), 165
12
pelaku novel itu?” atau “siapakah tokoh protagonis dan antagonis dalam novel itu?” dan
sebagainya.20 Selanjutnya, Sudjiman mengatakan bahwa tokoh adalah individu rekaan
yang mengalamiperistiwa atau berkelakuan di dalam berbagai peristiwa cerita. Tokoh pada
umumnya berwujud manusia, tetapi ada juga berwujud binatang atau benda yang
diinsankan.21 Seperti pada pembelajaran Bahasa Indonesia pada teks cerita fabel dalam
tokohnya mengganti dengan binatang.
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro), tokoh cerita merupakan orang yang
ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama oleh pembaca ditafsirkan memiliki
kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan
dilakukan dalam tindakan.22 Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa tokoh
sangat diperlukan dalam sebuah karya sastra karena melalui tokoh dapat digambarkan
bagaimana jalannya sebuah cerita. Seperti yang dikemukakan oleh Sumardjo bahwa tokoh
dalam sebuah cerita adalah orang yang mengambil bagian dan mengalami peristiwa-
peristiwa yang digambarkan dalam plot.23
Penokohan adalah cara pengarang menggambarkan atau melukiskan tokoh dalam
cerita yang ditulisnya. Dalam penokohan watak atau karakter tokoh dapat dilihat melalui
dialog tokoh, penjelasan tokoh, dan penggambaran fisik. Penokoham dan tokoh
dalam sebuah cerita sangat erat kaitannya sebab perwatakan tokoh digambarkan melalui
penampilan si tokoh.
20
Nurgiyantoro, 165
21
Panuti, Sudjiman. Memahami Cerita Rekaan. (Yogyakarta: Nurcahaya, 1988), 16
22
Nurgiyantoro, 165
23
Yacob, Sumardjo. Memahami Kesusastraan. (Bandung: Alumni, 1998), 144
13
formal, atau sebagai penambah dan pelengkap dari pembelajaran yang sudah didapatkan
dibangku persekolahan. Menurut PP nomor 73 tahun 1991 tentang pendidikan luar
sekolah bahwa “pendidikan luar sekolah mencakup pendidikan umum, pendidikan
keagamaan, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan dan pendidikan kejuruan”.
Perlu adanya pembenahan pendidikan yaitu bukan hanya dalam materi pembelajaran, tapi
juga dalam penanaman nilai-nilai dalam akhlak disuatu pembelajaran salah satunya
melalui pendidikan keagamaan yaitu pondok pesantren.
Pesantren merupakan salah satu bentuk pendidikan non formal berbasis agama
islam sebagai pengganti dan juga pelengkap dari adanya pendidikan formal dalam
penanaman nilai-nilai dan akhlak didalam proses pembelajarannya, sehingga melalui
pondok peantren peserta didik dapat mengembangkan potensi, sikap, keterampilan, nilai-
nilai keagamaan dan pengembangan nilai moral. Dimana, dalam perkembangannya selalu
tumbuh dan berkembang. Menurut Sutarto, pada awalnya pendidikan nonformal berbentuk
pondok pesantrian, yang sekarang dikenal dengan pondok pesantren, yang proses
pembelajarannya diarahkan pada pengembangan potensi penge-tahuan, sikap,
keterampilan, nilai-nilai keagamaan dan pengembangan nilai moral.
14
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Novel pertama Khilma Anis terbit pada tahun 2008 berjudul Jadilah Prnamaku,
Ning (JPN), novel JPN diterbitkan oleh Matapena Yogyakarta. Novel tersebut banyak
digemari oleh pembaca sampai masuk cetakan ketiga. Selain novel JPN, Khilma Anis
juga menulis buku panduan menulis yang berjudul Ngaji Fiksi bersama rekan-rekan
penulis Matapena, buku tersebut berisi panduan menulis fiksi untuk pemula. Disamping
menulis novel dan buku, Khilma Anis juga aktif di komunitas Matapena sebagai pemateri
dan fasilitator pada setiap pelatihan menulis fiksi dan nonfiksi yang diadakan di pesantren
dan sekolah se- Jawa dan Bali.24
24
Khilma Anis, Hati Suhita (Yogyakarta: Telaga Asmara, 2019), 403-404.
15
seorang istri yang disambut penolakan terang-terangan suami, tepat ketika perempuan
masa lalu suami muncul menjalin komunikasi layaknya sepasang kekasih, adalah
penderitaan yang mengiringi konflik batinnya selama beberapa purnama.
Namun yang tersemat dalam nama Suhita, adalah kekuatan tiada bandingan. Suhita
menelan semua getir itu sendirian. Merebahkannya di dalam sujud, melantunkannya dalam
ayat-ayat Tuhan yang ia hapal seluruhnya, juga tengadah doa di tempat orang-orang suci
disemayamkan.
Mustika Ampal dan Pengabsah Wangsa, menjadi ujung dari kisah cinta rumit dan
dramatis ini. Bahwa cinta adalah kesediaan total untuk menerima takdir serta melapaskan
diri dari segala hal yang berpotensi memusnahkan bahagia.
C. Metodologi Penelitian
25
J. Moleong, Lexy. Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), 6
26
Ibrahim, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Alfabet, 2015), 103
16
DAFTAR PUSTAKA
Aida Fitalaya S. Hubis, “Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan” dalam Dadang S. Anshori,
dkk (ed), Membincangkan Feminisme Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.
J. Moleong, Lexy. Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2014.
Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.
Mursal Esten, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah, Bandung: Angkasa, 2003.
Ni Nyoman Karmini, Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama, Bali: Pustaka Larasan, 2011.
Siti Suhandjati, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2001.
Sumaatmaka, Serat Yadnyasusila, Solo: Perpustakaan Reksapustaka, 1929.
Umul Barorah, “Feminisme dan Feminis Muslim” dalam Sri Suhandjati Sukri (ed), Pemahaman
Islam dan Tantangan Keadilan Gender. Yogyakarta: Gama Media, 2002
17
18