Anda di halaman 1dari 19

HAKIKAT SEJARAH SASTRA

DOSEN PENGAMPU

SAPTIANA SULASTRI, M.Pd.

DISUSUN OLEH:

EVI ERPANI : 311610018


MEGARIA SUKASIH : 311610110
MERRY ANJANI : 311610122
PEBRIYANDI : 311610063

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
PONTIANAK
2017
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga dapat menyelesaikan makalah ini, tanpa pertolongan-Nya mungkin kami
tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.

Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dosen


pengampu kami ibu Saptiana Sulastri, M.Pd. yang telah memberikan materi ini,
agar kami dapat mempelajari dan lebih memahami tentang materi yang kami
kerjakan.

Makalah ini di susun dengan sebaik mungkin agar pembaca dapat mengerti
dan memperluas wawasan tentang Hakikat Sejarah Sastra, yang kami sajikan
berdasarkan pengamatan dari sumber terbaik. Semoga makalah ini menjadi
sumber informasi yang baik dan dapat bermanfaat. Kritik dan saran yang
membangun, sangat kami butuhkan terutama dari dosen pengampu kami guna
menjadi acuan dan pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa yang akan
datang.

Pontianak, Maret 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGATAR.........................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1

A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
C. Tujuan Masalah............................................................................................2
D. Metode Penulisan.........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................3

A. Definisi dan Kedudukan Sejarah Sastra Indonesia.......................................3


B. Studi Sastra...................................................................................................4
C. Pendekatan-Pendekatan Sejarah Sastra........................................................13
BAB III PENUTUP..........................................................................................15

A. Kesimpulan.................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Sejarah sastra merupakan salah satu bagian dari cabang studi sastra. Secara
sederhana dapat diartikan sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang
mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Dengan
pengertian dasar itu, tampaklah bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa
yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu
bangsa.

Sastra Indonesia ialah sastra berbahasa Indonesia, sedangkan hasilnya adalah


sekian banyak puisi, cerita pendek, novel, roman, dan naskah drama berbahasa
Indonesia. Akan tetapi, defenisi yang singkat dan sederhana itu dapat didebat
dengan pendapat yang mengatakan bahwa sastra Indonesia adalah kesseluruhan
sastra yang berkembang di Indonesia selama ini.

Perhatian masyarakat Sastra Indonesia terhadap masalah sejarah kebudayaan,


termasuk sastra, telah tampak sejak awal pertumbuhan Sastra Indonesia di tahun
1930-an sebagaimana terbaca dalam Polemik Kebudayaan suntingan K. Mihardja
(1977). Polimik yang berkembang antara tokoh-tokoh S. Takdir Alisjahbana,
Sanusi Pane, poerbatjaraka, m. Amir, Ki hadjar Dewantara, Adinegoro, dan lain-
lain memang tidak secara khusus memperdebatkan konsep kesusastraan
Indonesia, tetapi memperlihatkan kesadaran mereka terhadap sejarah kebudayaan
Indonesia.

2. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi serta kedudukan sejarah sastra ?.
2. Apa yang dimaksud sejarah sastra Indonesia?.
3. Apa yang dimaksud dengan studi sastra?.
4. Apa saja pendeketan-pendekatan dalam sejarah sastra?.

1
3. TUJUAN MASALAH
1. Memahami definisi serta kedudukan sejarah sastra.
2. Memahami serta mengenal sejarah sastra Indonesia.
3. Memahami serta mengenal tentang studi sastra.
4. Mengetahui pendekatan-pendekatan dalam sejarah sastra.

4. METODE PENULISAN

Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode kepustakaan.


Pada metode ini, penulis mendapatkan sumber bahan dari buku-buku yang
berhubungan dan berkaitan dengan hakikat sejarah sastra sebagai informasi untuk
penulisan makalah ini.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI SERTA KEDUDUKAN SEJARAH SASTRA INDONESIA

Untuk memperjelas istilah, sejarah sastra perlu dibatasi untuk membedakan


dengan studi yang lain. Secara umum sejarah berarti peristiwa dan kejadian yang
benar-benar terjadi pada masa lampau (KBBI, 1999: 891). Peristiwa atau kejadian
yang benar-benar terjadi itu adalah fakta. Dengan kata lain sejarah sastra mengkaji
data berupa fakta-fakta sastra dengan dua media yaitu berupa fakta tertulis dan
fakta lisan. Fakta tertulis berasal dari media-media tulis seperti surat kabar dan
buku-buku sastra sedangkan fakta-fakta lisan berasal dari pelaku atau sumber
yang dekat dengan pelaku sastra.
Sastra adalah karya estetis imajinatif yang sulit untuk didefinisikan secara
penuh. Hal ini mengingat perkembangan teori sastra mengikuti perkembangan
kreasi sastra yang konvensinya selalu berkembang dan berubah. Akan tetapi, jika
dijabarkan karya sastra meliputi beberapa hal khusus yang membedakan dari
bidang lain. Sastra adalah ekspresi estetis-imajinatif dari seorang individu yang
dimaksudkan untuk menyampaikan ide atau tanggapan terhadap lingkungannya.
Dari dua komponen definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa sejarah sastra
adalah sejarah perkembangan sastra yang terdiri atas rangkaian peristiwa dalam
periode-periode perkembangan sastra suatu bangsa mulai lahir sampai
perkembangan terakhir. Berdasarkan pengertian tersebut, secara khusus, sejarah
sastra indonesia merupakan studi sastra yang mengungkap rangkaian kejadian-
kejadian dalam periode-periode perkembangan kesusastraan Indonesia mulai
kelahiran sampai perkembangan terakhir.
Selanjutnya, dalam pembabakan kesusastraan Indonesia terdapat dua hal yang
terkadang rancu dan membingungkan, yaitu pembangian berdasarkan lahirnya
angkatan sastra dan periodisasi dalam sastra. Pembagian yang lazim dilakukan
adalah dengan membagi babak-babak dalam kesusastraan Indonesia berdasarkan

3
angkatan-angkatan yang terfokus pada pengarang tertentu yang memfokuskan
pada pengarang-pengaran yang berperan pada angkatan tersebut.
Sejarah sastra merupakan salah satu dari tiga cabang ilmu sastra, disamping
Teori sastra dan Kritik sastra (Wellek dan Warren, 1990). Sejarah sastra
mempelajari perkembangan sastra yang dihasilkan oleh suatu masyarakat atau
bangsa. Dalam konteks Indonesia, maka Sejarah Sastra akan mempelajari
perkembangan sastra Nasional (Indonesia). Melalui sejarah sastra, seseorang akan
memahami karya-karya sastra apa saja kah yang pernah dihasilkan masyarakat
atau bangsa tertentu, siapa saja kah para penulisnya, persoalan apa saja kah yang
ditulis dalam karya-karya sastra tersebut?.
Telah cukup banyak buku sejarah sastra Indonesia ditulis orang dan dipakai
sebagai bahan pembelajaran disekolah dan perguruan tinggi di Indonesia.
Beberapa contoh buku tersebut antara lain adalah Pokok dan Tokoh dalam sastra
Indonesia (A. Teeuw, 1945), sastra baru Indonesia (A. Teeuw, 1980), sastra
Indonesia Modern II (A. Teeuw, 1987), perkembangan novel Indonesia ( Uman
Junus, 1974), ikhtisar sejarah sastra Indonesia (Ajip Rosidi, 1969), dan
perkembangan sastra Drama dan Teater Indonesia (Jakop Sumardjo, 1985).

B. STUDI SASTRA

Studi sastra meliputi tiga hal, yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan kritik
sastra (Wellek & Warren, 1963: 38). Teori sastra bekerja dalam bidang teori
yang mengakumulasi konvensi karya-karya sastra, misalnya penyelidikan hal
yang berhubungan dengan apakah sastra itu, apakah hakikat sastra, dasar-dasar
sastra, membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan teori-teori dalam bidang
sastra, bermacam-macam gaya, teori komposisi sastra, jenis-jenis sastra (genre),
teori penilaian, dan sebagainya. Kritik sastra adalah ilmu sastra yang berusaha
menyelidiki karya sastra dengan langsung menganalisis, memberi pertimbangan
baik buruknya karya sastra, bernilai seni atau tidaknya. Sejarah sastra bertugas
menyusun perkembangan sastra dari mulai timbulnya hingga perkembangannya

4
yang terakhir, misalnya sejarah timbulnya suatu kesusastraan, sejarah jenis sastra,
sejarah perkembangan gaya-gaya sastra, sejarah
perkembangan pikiran-pikiran manusia yang dikemukakan dalam karya-karya
sastra, dan sebagainya (Pradopo, 1995:9).
Ketiga studi sastra di muka memiliki kaitan satu sama lain. Satu studi sastra
mendukung studi sastra yang lain. Teori sastra memerlukan sejarah sastra karena
sebuah teori terus berkembang. Perkembangan ini dihadirkan oleh sejarah sastra
yang secara diakronis membandingkan periode-periode dalam kesusastraan
sebuah bangsa. Perkembangan tersebut kemudian diformulasikan dalam sebuah
teori yang membedakan dengan konvensi sastra sebelumnya. Hal ini pernah
terjadi pada puisi Indonesia periode 20 40-an yang beranjak semakin jauh dari
konvensi puisi Indonesia lama. Sebelum tahun 40-an puisi adalah bentuk sastra
yang terikat, yaitu terikat pada persajakan akhir yang sama seperti pada pantun
dan syair, terikat pada jumlah kata atau suku kata pada tiap baris, dan terikat
pada jumlah baris dalam tiap bait. Sejak tahun 40-an konvensi tersebut sudah
tidak berlaku lagi. Pada periode tersebut yang paling dipentingkan adalah
ungkapan jiwa dan secara struktur pemadatan bentuk ungkapan.
Sejarah sastra memerlukan pemahaman teori sastra. Seseorang hampir tidak
mungkin membahas periode sastra tertentu tanpa mengetahui konvensi/teori sastra
sebelumnya. Dengan pengetahuan tersebut bisa ditentukan apakah persamaan dan
perbedaan antar keduanya. Jika tidak terdapat perbedaan signifikan, periode
tersebut akan dimasukkan ke dalam angkatan sebelumnya.

1. Hakikat Sastra Sebagai Objek Studi Ilmiah


Lefevere (1977:28) menyatakan bahwa pada dasarnya poetika satra hanya
dapat ditemukan dalam karya sastra itu sendiri. Pernyataan tersebut
mengindikasikan bahwa hanya karya sastra lah yang menjadi objek utama studi
sastra. Oleh karena itu, studi sastra yang mencangkupi empat pembagian besar,
yaitu kritik sastra, teori sastra, sejarah sastra, dan sastra perbandingan (Darma,
1990:344;1995:145) tetap menempatkan karya sastra sebagai objek primernya.

5
Tentu saja yang dimaksud adalah karya sastra lengkap dengan berbagai genrenya
(puisi, novel, cerpen, drama, dan sejenisnya), meski sudah jelas bahwa objek
utama studi sastra adalah karya sastra, persoalan yang mucul kemudian adalah
karya sastra yang mana dan seperti apa yang dapat dijadi objek studi sastra.
Mengenai hal ini Lefevere (1977:52-55) menyatakan bahwa karya sastra yang
dapat menjadi objek studi sastra adalah karya yang bernilai. Artinya beragam
pengalaman manusia baik dalam demensi perseorangan maupun dimensi sosial.
Selaian itu, Budi Darma (1995:59,62,65;1995:153) menjelaskan bahwa karya
sastra yang pantas menjadi objek studi sastra adalah karya yang baik, dalam arti
bahwa karya tersebuat inspiratif, sublim, menyodorkan pemikiran, membuka
kesadaran, menambah wawasan, dan mempunyai daya gugah yang tinggi.
Menurut karya-karya yang demikian mampu mengugah kritikus untuk menulis
kritik yang baik, dan mampu pula menarik minta pengarang unuk menulis
karangan yang lebih baik. Dalam kasus ini muncullah persoalan penting yang
perlu diperhatiakan. Dengan adanya berbagai disiplin ilmu yang lain masuk ke
dalam bidang studi sastra, akibatnya objek studi sastra bukan hanya karya-karya
yang baik atau bernilai saja, melainkan juga karya-karya yang tergolong kitch.
Dapat disebutkan, misalnya, dalam studi sosiologi sastra. Dalam studi ini, yang
menjadi dasar kajian tidak hanya nilai estetika, tetapi juga masalah-masalah
sosiologis yang terkandung bertentangan dengan konsep estetika sastra. Kendati
demikian, kita tetap yakin bahwa betapapun sosiologisnya, studi sosiologi sastra,
karya sastra tetap menjadi objek kejianya meskipun bukan objek yang utama.

Satu hal lagi yang menjadi persoalan dalam kaitanya dengan objek studi
sastra adalah sifat karya sastra itu sendiri. Karya sastra adalah hasil kegiatan
kreatif manusia yang berkaitan dengan imajinasi, intuisi, abstraksi kehidupan.
Memnag benar bahwa karya sastra mempergunakan bahsa sebagai mediumnya
sehingga studi sastra dan linguistik berkaitan erat (Culler, 1982:2;
Uhlembeck,1991:18), tetapi yang menjadi objek utama studi sastra bukan medium
ekspeksi bahasanya, melainkan kehidupan itu sendiri. Karena kehidupan pada

6
hakitkanya merupakan abstraksi jelas bahwa studi sastra menitikberatkan
perhatianya pada penhayatan, bukan kognisi, sehingga sulit dirumuskan secara
formulatif jadi studi sastra berbeda dengan studi bahasa, bahkan berbeda pula
dengan studi-studi lainya, karena objek studi sastra adalah kehidupan yang sudah
terabstrasikan dalam karya sastra (Darma, 1990:338,340). Oleh karena dalam
studi ilmiah sastra, kerya sastra sebagai objek studi memiliki karakterristik
tersendiri yang khas yang berbeda dengan objek-objek studi ilmu lain.

2. Hakikat Studi Ilmiah Sastra

Seperti diketehui bahwa tujuan ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya studi


sastra adalah untuk mencapai suatu kebenaran atau stidaknya kebenaran yang
paling mendekati kebenaran (Popper Via Lefevere, 1977:10). Dalam disiplin ilmu
pengetahuan, kebenaran itu dapat diakui sebagai kebenaran apabila melalui tahap-
tahap tertentu mampu mempertahankan kebenaranya secara objektif tahap-tahap
tertentu mampu mempertahankan kebenaranya secara objektif. Tahap-tahap
tertentu yang dimaksudkan itu secara berjenjanng meliputi pengetahuan,
pemahaman, penerapan, analisis, sinteksis, dan evaluasi (Darma, 1990:344).
Sementara itu, objektifitas kebenaran ilmu pengetahuan terletak pada kenyataan
bahwa ia dapat diuji secara intersubjektif, dan jika tidak, ia tidak termasuk ilmiah
(Levere, 1977:10-11) .

Studi sastra termasuk salah satu bidang (Cabang) ilmu pengetahuan. Sebagai
bidang ilmu pengetahuan, tentu saja studi sastra melalui tahap-tahap seperti yang
telah disebutkan dituntut untuk dapat mencapai suatu kebenaran. Selaian itu,
sebagai ilmu yang ilmiah studi sastra dituntut pula memiliki presyaratan dan
langkah-langkah metologis sebagai mana bidang ilmu pengetahuan umumnya.
Persyaratan dan langkah-langkah metodologis itu antara lain, misalnya,
perumusan masalah (berdasarkan fakta, bebas dari prasangka), perumusan dan
pengujian hipotesis, analisis data berdasarkan teori dan metode, interpretasi
objektif, menarik kesimpulan, dan seterusnya. Akan tetapi harus diakui bahwa

7
semua itu tergantung antara lain pada objek studi ilmu yang bersangkutan. Oleh
karena itu, dalam studi sastra, keilmiahan studi sastra ditentukan pula oleh
objeknya yaitu karya sastra.

Sampai tahap inilah muncul persoalan yang paling mendasar. Karena objek
studi sastra seperti telah dipaparkan didepan adalah karya sastra, bukan yang lain
(bahasa, psikologi, masyarakat, dan sebagainya), sementara karya sastra adalah
abstraksi kehidupan yang sulit diformulasikan (Darma, 1990:340) jelas bahwa
studi sastra sulit untuk mencapai objektivitas . karena sulit untuk mencapai
objektivitas, konsenkuensinya ialah sulit pula untuk menetapkan metode dan
teorinya. Realitas ini lah yang menyebabkan munculnya anggapan bahwa studi
sastra tidak ilmiah, yang salah satu sebabnya ialah karena objeknya berupa karya
imajinatif, intuitif, abraktif, dan menyangkut perasaan terdalam manusia yang
tidak dapat dibuktikan dengan angka-angka.

Memang benar bahwa titik berat studi sastra adalah penghayatan karena
objeknya berupa kristalisasi dari abstraksi kehidupan (Darma, 1990:339-340).
Itulah sebabnya, didalam studi sastra dituntut adanya kepekaan yang tinggi.
Karena kepekaan tidak dapat diartikulasikan dan diformulasikan dengan jelas,
keilmiahan studi sastra tidak eksplisif, tetapi implisif. Bagaimana pun juga studi
sastra mampu membuktikan diri sebagai studi ilmiah karena didalamnya terdapat
unsur fakta atau data, inperensi atau simpulan, dan judgment atau pendapat. Selain
itu langsung atau tidak studi sastra yang baik selalu mendepankan inquiri, masalah
hipotesis terselubur, dan jawaban terhadap inquiri dan masalah, serta pembuktian
terhadap hipotesis terselubung tersebut (Darma, 1990:341). Tahap-tahap dalam
studi sastra tidak berjenjang secara hierarkis seperti dalam ilmu pengetahuan pada
umumnya dari pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sinteksis, dan
akhirnya ke evaluasi, tetapi lebih bersifat melebar. Itulah perbedaan tahap-tahap
kogmisi dan penghayatan. Akan tatapi, menurut Budi Darma (1990:344),
perbedaan tahap-tahap tersebut hanyalah perbedaan titik berat.

8
Levere (1977:52) mengusulkan bahwa ada dua aspek yang perlu diperatikan
dalam upaya mengilmiahkan studi sastra. Dua aspek itu ialah, pertama, perlu ada
pendefinisian ulang terhadap studi sastra, dan kedua, perlu mengikuti beberapa
konsep yang diambil dari teori evolusi. Aspek yang kedua ini diajukan karena,
menurut Levere, konsep-konsep dalam teori evolusi dianggap sudah mapan dan
mampu memberikan definisi yang memuaskan terhadap berbagai fenomena-
fenomena yang diamati dalam perkembangan sastra.

Berkenaan dengan aspek pertama, Levere menjelaskan bahwa hendaknya


tugas studi sastra ditinjau kembali hakikat dan definisi karerna objeknya adalah
karya sastra yang bermuara pada pengalaman baik dalam demensi personal
maupun dimensi sosial. Sementra itu, penyajian prosedur yang didefinisikan itu
antara lain meliputi unsur-unsur yang terdiri atas jenis, bentuk, dan retorik, selain
itu juga unsur-unsur seperti toko-toko prototipik, suasana, alur, simbol, sindiran,
kutipan, dan juga parodi. Dengan peninjauan kembali mengenai hal ini,
dimukinkan akan diperoleh pemecahan terhadap berbagai permasalahan yang
berkaitan dengan statemen tentang sastra. Disiplin yang membuat statemen
tentang sastra ini oleh Levere (1977:53) disebut dengan istilah meta sastra.

Dalam kaitanya dengan aspek kedua, Levere (1977:55)menyatakan bahwa


studi sastra perlu mengikuti konsep pendekatan evolusional karena konsep
tersebut sesuai dengan alam dan pertumbuhan serta relevansi dan transmisi ilmu
pengetahuan. Ada pun konsitensisnya adalah (1) penhetahuan yang didapat
dibagikan melalui membaca dan menulis sastra adalah termasuk pengetahuan non
ilmiah kareana permasalahan atau pengalamanya berkaitan dengan hal-hal,
misalnya cinta atau kematian, yang tidak dapat dipecahkan. (2) pengetahuan
ilmiah atas prosedurnya terdapat dalam penyajian yang berupa uraian dan
deskripsi tentang pengalaman. dan (3) pengetahuan meta sastra pengetahuan.
Berkenaan dengan yang ke tiga, pembicaraan mengenai meta sastra menjadi
penting jika suatu saat nilai sastra terancam mungkin oleh prosedur atau oleh
bahasa yang dipakai atau permainan bahasa (Language game ) tidak lagi dapat

9
dipahami berdasarkan berbagai pandangan diatas dapat dinyatakan bahwa pada
hakikatnya studi sastra merupakan suatu studi ilmu pengetahuan yang ilmiah.
Meskipun objeknya adalah sesuatu yang lebih bersifat non ilmiah, studi sastra
tetap menunjukan keilmiahannya karena berbagai persyaratan dan langkah-
langkah metodoligisnya secara prinsipil tidak jauh berbeda dengan tahap dalam
ilmu pengetahuan umunya. Karena titik berat studi sastra terletak pada ensensi
karya sastra itu sendiri sebagai objek ia berbeda dengan abjek studi lainya
keilmiahan studi sastra memiliki sifat yang tersendiri pula. Itulah sebabnya
dikatakan bahwa studi sastra memiliki keilmiahan nya sendiri.

Demikian antara lain berbagai persoalan yang berkenaan dengan hakikat studi
ilmiah sastra. Untuk selanjutnya, paparan berikut difokuskan pada harapan masa
depan sebagai suatu refleksi atasa pernyataan studi ilmiah sastra masa lalu dan
masa kini.

3. Studi Ilmiah Sastra yang Diharapkan

Seperti telah di paparkan di atas bahwa secara historis studi sastra sudah
mengalami perkembangan yang menarik. Berbagai perdebatan yangb muncul
telah merwanai dan justru telah menetapkan studi sastra sebagai bidang studi
ilmiah. Akan tetapi, kendati sampai saat ini studi sastra telah menyatakan diri
sebagai bidang studi ilmiah, pada kenyataan orang masi memandang sebelah mata
dan masi meragukan keilmiahannya. Apalagi saat ini banyak muncul kajian
interdisipliner yang di sertai dengan pencitaan metode dan teori yang lebih
canggih. Hal demikiaanlah yang semakin mematarkan keraguan terhadap
eksistensi studi sastra.

Berkenaan dengan hal tersebut, perlu kiranya mulai saat ini diterlusuri
kembali berbagai hal yang berkaitan dengan studi ilmiah sastra. Karena studi
ilmiah satsra tidak terlepas dari persoaalan teori, metode, dan berbagai persyaratan
metodologis lainya, perlulah persoaalan tersebut di coba dipertanyakan,
dievaluasi, dirumuskan, dan ditetapkan kembali konsep-konsep studi sastra

10
berdasarkan prosedur-prosedur ilmiah sastra khususnya dan ilmu pengetahuan
pada umumnya. Dengan cara demikian dimungkinkan akan ditemukan suatu pola
atau bentuk ideal studi sastra yang diharapkan.

Dalam persoalan teori (sekaliagus metode) misalnya perlu teori tersebut


dipahami secara kreatif dan evaluatif. Bagaimana sejarah kemunculanya,
bagimana kebenaranya, apakah secara prosedural sesuai objeknya, atau apakah
konsep-konsepnya logis atau tidak, teori tersebut perlu diuji kembali. Melalui
cara-cara demikan tentu akan dapat ditetapkan metode studi yang lebih tepat
karena secara ensensial teori yang satu dan lainya memiliki metode yang berbeda.
Menurut sejarah perkembanganya, teori yang muncul lebih kemudian dianggap
lebih baik dari pada teori terdahulu karena penciptaan teori yang lebih
kemudian disertai upaya menutupi kelamahan-kelemahan teori yang suadah ada.
Akan tetapi, tidak perlu teori tersebut diterima secara langsung, lugas dan apa
adanya karena pada hakikatnya stiap teori memiliki kelebihan yang kekurangan.
Hanya yang perlu dicari jawabanya adalah apakah teori tersebut mampu
mempertahankan, diri baik secara teoretis, historis, maupun pramatis dalam
menghadapi fenome personal dan sosial kehidupan.

Untuk memperjelas masalah tersebut, perlu kiranya dibaca artikel Culer


Beyond Interpratation (1981:3-17). Dalam artikel tersebut Culer membicarakan
masalah Interpretasi (penafsiran dan pemaknaan) karya sastra mulai dari aliran
New Criticism sampai dengan Deconstruction. Menurutnya (1981:6-7) New
Criticism pada mulanya berhasil menemukan model penelitian (teori) yang begitu
menjanjikan, tetapi karena beberapa hal akhinya mengalami kegagalan. Lalu
muncullah model teori dari aliran Psyhoalalytic. Namun, karena model
interpretasi yang dilakukan oleh aliran tersebut ternyata juga hanya dianggap
suatu kumpulan tema-tema, teori (kritik) psikoanalitik gagal pula memberikan
pemahaman yang lebih baik mengenai masalah interksi logika dengan teks sastra
(Culler, 1981:10).

11
Demikian juga dengan munculnya semeotik, kritik dialetik, estetika resepsi,
dan dekonstuksi. Pada dasarnya setiap teori yang diajukan oleh mereka memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tidak ada alasan bagin kita untuk
menggap bahwa kritik (interpretasi) tertentu paling valik karena pembaca akan
terus membaca dan menginterpretasikan karya sastra dan hendaknya krituhus
berusaha terus mencari suatu interpretasi karena interpretasi apapun merupakan
aktivitas yang legal (Culler, 1981:16-17).

Oleh karena setiap teori selalu memiliki kekurangan disamping kelebihan


sehingga setiap saat berubah dengan demikian menunjukan adanya
ketidakkonsistenan konsep, dewasa ini muncul anggapan bahwa dalam studi
(kritik) sastra tidak lagi diperlukan teori. Kareana itulah muncul isitilah penolakan
teori seperti yang dipaparkan oleh Paul de Man dalam tulisannya The Resistance
to Theory (1986). Namun, dalam tulisan itu Paul de Man telah memberikan
argumentasi bahwa bagaimana pun tidak akan ada yang mampu menolak teori
(1986:19) karena semakin teori itu ditolak, semakin tumbuh suburlah teori
tersebut, tidak memperdulikan apakah ketumbuh suburannya itu merupakan
sebuah kemenagan ataukah justru kehancuran.

Demikian sekedar contoh perlunya berbagai masalah yang berkaitan dengan


studi sastra dievaluasi dan dicermati kembali. Sesungguhanya masih banyak hal
yang pantaas dibahas lebih dalam, misalnya bagimana posisi dan sikap studi sastra
terhadap bidang ilmu lain yang dicoba untuk diintergrasikan, misalnya sosiologi,
psikologi, dan linguistik. Khusus dengan yang terakhir ini yakni linguistik, studi
sastra tidak mungkin mengingkari hubungan erat dengannya karena seperti
dikatakan Uhlenbeck (1991:32) linguistik mampu memberikan bantuan yang baik
dalam studi sastra, khususnya dalam hal pemahaman semantik bahsa sastra.
Sementara itu Culler (1982:21) juga menunjukan, meskipun bukan merupakan
alat untuk menginterpretasi sastra, lebih sebagai metode interpretasi objetif,
linguistik tetap merupakan pengetahuan yang cocok bagi usaha pengembangan

12
mengenai nilai sistrematik fungsi bahasa sastra teori tentang matra (irama), pola-
pola suara, sintaksis naratif, dan teori tentang kohenseresi simantik.

Kendati beragam masalah yang berkitan dengan hakikat studi sastra sudah
banyak dibahs para ahli, contohnya seperti yang ditunjukan diatas, baimanapun
kita wajib untuk menelusur ulang apa yang telah mereka argumentasikan. Untuk
dapat melakukan hal ini tentu kita wajib memiliki pengetahuan yang memadai,
kreatipitas yang tinggi, kepekaan yang tajam, daya nalar yang kuat, dan tentu saja
banyak membaca apa pun, tidak terkecuali karya-karya sastra. Jika cara ini telah
dilakukan, setidaknya setengah dari harapan kita terhadap studi ilmiah sastra yang
ideal akan dapat dicapai. Demikian antara lain apa yang dapat diharapkan pada
masa-masa mendatang.

C. Pendekatan-Pendekatan Sejarah Sastra


1. Pendekatan Tradisional
Sejarah sastra dikembangkan terutama pada abad kesembilan belas. Pendekatan
yang digunakan beragam. Berikut beberapa pendekatan yang utama:
1) Pendekatan yang mengacu pada sejarah umum.
2) Pendekatan yang mengacu pada karya dan atau tokoh besar sastra.
3) Pendekatan yang mengacu pada tema-tema karya sastra dan
perkembangannya.
4) Pendekatan yang mengacu pada asal usul karya sastra.

2. Pendekatan Lain
A. Pendekatan Jenis sastra
Pendekatan ini mempertimbangkan hal-hal berikut.
1) Konsep jenis sastra modern yang dinamik, yaitu bahwa karya sastra tidak
hanya mengikuti konvensi, tetapi juga sering merombaknya.
2) Fungsi jenis sastra tertentu tidak hanya ditentukan oleh ciri-ciri intrinsiknya,
tetapi juga oleh kaitan atau pertentangan dengan jenis lain.

13
3) Hubungan ambigu antara karya individual dan norma-norma jenis sastra,
yaitu hubungan intertekstual karya-karya individual.
4) Sejarah sastra selalu berkaitan dengan sejarah umum.
5) Penerimaan (resepsi) sastra oleh masyarakat pembaca dari masa ke masa
menentukan dinamikan sejarah sastra (Teeuw, 1984: 311-329).

14
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Secara khusus, sejarah sastra indonesia merupakan studi sastra yang
mengungkap rangkaian kejadian-kejadian dalam periode-periode
perkembangan kesusastraan Indonesia mulai kelahiran sampai
perkembangan terakhir.
2. Sejarah sastra mengkaji data berupa fakta-fakta sastra dengan dua media
yaitu berupa fakta tertulis dan fakta lisan. Fakta tertulis berasal dari media-
media tulis seperti surat kabar dan buku-buku sastra sedangkan fakta-fakta
lisan berasal dari pelaku atau sumber yang dekat dengan pelaku sastra.
3. Studi sastra meliputi tiga hal yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan kritik
sastra.
4. Teori sastra memerlukan sejarah sastra karena sebuah teori terus
berkembang. Perkembangan ini dihadirkan oleh sejarah sastra yang secara
diakronis membandingkan periode-periode dalam kesusastraan sebuah
bangsa. Perkembangan tersebut kemudian diformulasikan dalam sebuah
teori yang membedakan dengan konvensi sastra sebelumnya.
5. Pendekatan tradisional sejarah sastra dikembangkan terutama pada abad
kesembilan belas.

15
DAFTAR PUSTAKA

Adiwimarta, Sukesi. 1983. Sejarah dan Perkembangan Pusat Pembinaan dan


Pengembangan Bahasa. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta : Muhammadiyah University


Press.

Pringgodo, A. G. 1997. Ensiklopedia Umum. Jakarta : Kanisius.

Faulkner, Peter. 1991. Modernisme Seri Konsep Sastra. Kuala Lumpur : Dewan
Bahasa dan Pustaka.

Suwondo, Tirto. 2011. Studi Sastra. Yogyakarta : Gama Media.

Eneste, Pamasuk. 2000. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Jakarta : Gramedia.

Yudiono. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta : Gramedia.

16

Anda mungkin juga menyukai