Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

SEJARAH SASTRA INDONESIA PERIODE 1953-1961


Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah: Sejarah Sastra Indonesia

Dosen Pengampu : Dheni Harmaen, M.Sn. dan Yeni Cania Puspita, M.Pd.

Disusun oleh :

Sitta Fadla Biyadillah

205030019

KELAS A

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PASUNDAN (UNPAS)

2020-202
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Segala puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan berkat
dan rahmatNya penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Sejarah Sastra
Indonesia Periode 1953-1961 ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari pak Dheni
Harmaen, M.Sn. dan ibu Yeni Cania Puspita, M.Pd. pada mata kuliah Sejarah Sastra
Indonesia. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
sastra bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terimakasih kepada pak Dheni Harmaen, M.Sn. dan ibu
Yeni Cania Puspita, M.Pd. selaku dosen pengampu Sejarah Sastra Indonesia yang
telah memberikan tugas ini sehingga penulis dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai bidang studi yang penulis tekuni.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan
demi makalah yang lebih baik.

Bandung, 27 November

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. I


DAFTAR ISI............................................................................................................................ II
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 2
1.1 LATAR BELAKANG ....................................................................................................... 2
1.2 RUMUSAN MASALAH ................................................................................................... 2
1.3 TUJUAN ........................................................................................................................ 2
BAB II ISI ................................................................................................................................ 3
2.1 PENGERTIAN SEJARAH SASTRA .................................................................................... 3
2.2 SEJARAH SASTRA PERIODE 1953-1961 ........................................................................ 4
A. Krisis Sastra ................................................................................................................ 5
2.3 PENGARANG .................................................................................................................. 5
A. Tokoh Pengarang ........................................................................................................ 6
2.4 PENGARANG WANITA .................................................................................................... 9
2.5 PENYAIR ...................................................................................................................... 11
A. Tokoh Penyair ........................................................................................................... 11
2.6 ANALISIS KARYA SASTRA .......................................................................................... 14
BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 18
3.1 KESIMPULAN ............................................................................................................... 18
3.2 SARAN .......................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Membicarakan perkembangan sastra suatu bangsa tentunya harus
membicarakan sejarah sastra. Kehadiran kesusastraan Indonesia tidak dapat lepas dari
sejarah yang melahirkan dan membesarkannya. Beberapa ahli sastra memberikan
argumen yang dijadikan landasan pijakan kapan kelahiran sastra Indonesia.

Kehidupan sastra Indonesia sejak kelahiran sampai sekarang sangatlah marak.


Banyak sastrawan yang lahir pada setiap masa dan membawa bentuk-bentuk yang
berbeda dengan masa sebelumnya. Berbagai peristiwa kesusastraan datang silih
berganti mewarnai perjalanan sastra Indonesia. hasil sastra yang dilahirkan terus
bertambah setiap saat.

Periode sastra adalah penggolongan sastra baik berupa karya sastra itu sendiri
maupun pengarangnya. Penggolongan sasra tentunya didasarkan pada waktu
kemunculan karya sastra tersebut, sehingga menghasilkan karya yang sesuai dnegan
kondisi sosial maupun budaya yang ada pada saat itu.

Dalam perkembangan periodisasi sastra, sastra yang muncul setelah sastra


Melayu lama atau sastra klasik adalah sastra modern. Kata “modern” dalam tataran
sastra Indonesia, merupakan simbol yang digunakan untuk mnegukur seberapa
intensifnya pengaruh Barat dalam perkembangan dan kehidupan sastra pada masa itu.
Sedangkan sastra Indonesia modern sendiri menurut Dermawan (1986:2) adalah
sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia dan isinya memancarkan sikap
watak bangsa Indonesia.

Sastra Indonesia berarti sastra berbahasa Indonesia yang sudah berkebang


sejak awal abad ke-20 sebagaimana tampak pada penerbit pers (surat kabar, majalah)
baik dari usaha kalangan swasta maupun pemerintahan Kolonial Belanda. Dan
selanjutnya berkembang bersama sastra daerah (Melayu, Sunda, Jawa, Bali, dan lain-
lain).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian sejarah sastra?
2. Bagaimana sejarah sastra pada periode 1953-1961?
3. Apa yang dimaksud dengan pengarang dan penyair?
4. Siapa saja pengarang Indonesia pada tahun 1953-1961?
5. Siapa saja penyair Indonesia?

1.3 Tujuan
1. Agar mengetahui sastrawan tahun 1953 hingga 1961
2. Agar mengetahui tokoh-tokoh penyair dan pengarang
3. Menambah wawasan penulis dan membaca

2
BAB II
ISI

2.1 Pengertian Sejarah Sastra


Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa sejarah adalah kejadian dan
peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Pergantian generasi yang terjadi
terus menerus menjadikan upaya menyajikan sejarah menjadi aktivitas yang sangat
menarik dan penuh kepentingan. Jika sejarah merepresentasikan realitas, bisa jadi apa
yang kita pahami tentang suatu peristiwa berbeda dari versi umum yang dirilis oleh
pemerintah atau versi resmi.

Menurut Lexemburg dalam Pengantar Ilmu Sastra menjelaskan bahwa sejarah sastra
ialah ilmu yang membahas periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis,
pengarang-pengarang, dan reaksi pembaca. Sedangkan menurut Zulfanur Z.F. dan Sayuti
Kurnia, sejarah sastra adalah ilmu yang mempelajari perkembangan sejarah suatu bangsa
daerah, kebudayaan, jenis karya sastra, dan lain-lain.

Sifat asli sejarah yaitu fleksibel, yang artinya menyesuaikan dengan kepentingan para
pemiliknya. Berarti tidak ada satu versi tunggal terhadap sejarah. Yang mengapung hadir
ke permukaan pembaca dan pendengar adalah versi pemilik peristiwa tersebut.

Dengan demikian, sejarah sastra adalah pengetahuan yang mencakup uraian deskripsi
tentang fungsi sastra dalam masyarakat, riwayat para sastrawan, riwayat pendidikan
sastra, sejarah munculnya genre-genre sastra, kritik, perbandingan gaya, dan
perkembangan kesusastraan.

Sejarah sastra tidak hanya memberikan gambaran tentang perkembangan karya sastra
suatu bangsa, tetapi perkembangan sastra daerah atau sastra lokal, dan perkembangan
sastra lainya sebagai bentuk hasil budaya bangsa. Sejarah sastra juga dapat digunakan
untuk penelitian secara khusus dan budaya secara umum. Dengan sejarah sastra kita dapat
mengetahui persoalan-persoalan yang timbul dalam kesustraan selama ini.

Persoalan sastra yang erat kaitannya dengan perubahan zaman dan gejolak sosial
politik yang secara teoretis dipercaya besar pengaruhnya terhadap warna kehidupan
sastra. Karena pada dasarnya peristiwa-peristiwa kesusastraan selalu ada kaitannya
dengan peristiwa sosial politik yang terjadi pada suatu bangsa. Peristiwa sosial politik
tidak hanya pijakan penulisan sejarah sastra tapi menjadi bahan penulisan atau latar
sebuah karya sasta.

Melalui sejarah sastra para pengarang dapat melihat jelas dan mengahayati karya-
karya pengarang sebelumnya baik sifat-sifat maupun coraknya sehingga dapat
menciptakan karya sastra baru dengan melanjutkan atau menyimpangi konvensi-konvensi
karya sebelumnya.

3
Sejarah sastra merupakan bagian dari ilmu sastra. Ilmu sastra adalah ilmu yang
mempelajari tentang sastra dengan berbagai permasalahannya. Sejarah sastra adalah ilmu
yang memperlihatkan perkembangan karya sastra dari waktu ke waktu, para penulis
memilih karya-karya yang menonjol, karya-karya puncak suatu kurun waktu, ciri-ciri dari
setiap kurun waktu perkembangannya, peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar masalah
sastra.

Sejarah sastra memiliki cakupan yang luas dan kompleks, meliputi sejarah sastra sebuah
bangsa atau nasional. Pengertian nasional ditandai dengan batas suatu negara. Jadi,
sejarah sastra Amerika dan Inggris walaupun sama-sama menggunakan bahasa Inggris,
adalah dua hal yang berbeda. Sejarah sastra sebuah bangsa yang lainnya mencakup ,
sejarah sastra Indonesia, Cina, Jepang, Mesir danlain.

Penulisan sejarah sastra dapat juga mencakup penulisan tentang sejarah


kepengarangan seseorang sejak awal penulisan sampai pada perkembangannya terakhir
atau juga dapat mencakup sejarah pembelajaran sastra di sekolah. Hal yang bisa digali
dalam penulisan tersebut diantaranya ialah sejak kapan sastra masuk ke sekolah,
bagaimana kurikulum sastra yang digunakan pada waktu dulu sampai sekarang,
bagaimana metode pengajarannya, bagaimana guru-guru apakah memiliki kompetensi
mengajar sastra atau tidak.

2.2 Sejarah Sastra Periode 1953-1961


Selepas Indonesia merdeka banyak perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang
termasuk budaya. Perubahan tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba pada saat setelah
proklamasi. Selama masa pendudukan Jepang sudah terjadi tandatanda perubahan yang
diperlihatkan beberapa sastrawan tetapi tidak segera muncul ke permukaan karena
tertekan oleh kekuasaan Jepang. Proklamasi menciptakan suasana jiwa dan penciptaan
bebas dan merdeka yang seblumnya terkekang.

Berkat kebebasan tersebut berbagai pemikiran dan penciptaan karya sastra kembali
marak. Hal ditandai dengan muncul berbagai penerbitan seperti Panca Raya, Panji
Masyarakat, Genta, Basis, Pembangunan, Siasat, Nusantra, Gema Suasana, Mimbar,
Pujangga Baru, dan Seniman. Di antara penerbitan tersebut yang paling menonjol adalah
siasat dengan lampiran kebudayaannya “Gelanggang”. Siasat adalah mingguan yang
diterbitkan oleh Soedjatmoko dan Rosihan Anwar.

Mengisi kemerdekaan tidaklah semudah yang diangankan. Berbagai penyelewengan


menyebabkan timbulnya berbagai krisis, krisis ahlak, krisis ekonomi dan berbagai krisis
yang lainnnya. Hal tersebut diperparah dengan pertikaian-pertikaian antar golongan yang
juga melibatkan sastrawan yang berbeda aliran dan pandangannya. Maka, periode ini
lahirlah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang mendukung realisme sosial yang
berbeda dengan Generasi Gelanggang yang mendukung Humanisme Universal.

Berbagai pertikaian itulah yang akhirnya membuat para sastrawan tidak lagi menulis
karya-karya penting yang diterbitkan menjadi sebuah sehingga beberapa pemerhati sastra

4
menganggap kondisi waktu itu sebagai “krisis sastra”. Beberapa karya muncul lebih
banyak di berbagai majalah yang memunculkan isitilah “sastra majalah”.

A. Krisis Sastra
Pada bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan sebuah simposium tentang
“Kesulitan-kesulitan Zaman Peralihan Sekarang” dalam simposium itu dilontarkan istilah
“Krisis Akhlak”, “Krisis Ekonomi” dan berbagai krisis lainnya.

Tahun 1953 di Amsterdam diselenggarakan simposium tentang kesusastraan


Indonesia antara lain berbicara dalam simposium itu Asrul Sani, Sultan Takdir Ali
Sjahbana, Prof. Dr. Werthim dan lain-lain. Disinilah untuk pertama kali dibicarakan
tentang “Impasse (kemacetan) dan “krisis sastra Indonesia” sebagai akibat dari gagalnya
revolusi Indonesia, tetapi persoalan tentang krisis baru menjadi bahan pembicaraan yang
ramai ketika terbit majalah konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. Nomor pertama
majalah ini memuat essay Soejatmako berjudul “Mengapa konfrontasi” dalam karangan
ini secara tandas dikatakan oleh penulisnya bahwa sastra penulisnya sedang mengalami
krisis.

Soejatmoko mengatakan bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis karena


yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar sekitar psikologisme
perseorangan semata-mata” roman-roman besar tak ada ditulis.

Karangan Soejatmoko ini mendapat reaksi hebat, terutama dari kalangan sastrawan
sendiri seperti : Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, Boejong Saleh, dan lain-lain. Begitu
pula H.B. Jassin dalam simposium sastra mengemukakan sebuah prosaran yang diberinya
judul “Kesusastraan Indonesia Modern tidak ada krisis” dengan bukti-bukti dari
dokumentasi yang kengkap, Jassin pun menolak sebutan adanya krisis maupun impasse
dalam kehidupan sastra Indonesia.

Dalam tulisan berjudul “Situasi 1954” yang ditujukan kepada sahabatnya Ramadhan
K.H, Nugroho Notosusanto mencoba mencari latar belakang timbulnya penamaan
“Impasse sastra Indonesia” yang bagi dia tidak lebih hanya sebuah “Mite” (dagangan
belaka). Menurut Nugroho asal timbulnya mite itu ialah pasimisme yang berjangkit dari
kalangan orang-orang tertentu pada masa sesudah kedaulatan. Kecuali itu Nogroho pun
melihat kemungkinan bahwa golongan “Old Cracks” angkatan 1945 pada sekitar tahun
1945 mengalami masa keemasan, pada masa sesudah tahun 1950 mengalami
kemunduran.

Sitor Sitomurang dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Krisis” H.B Jassin dalam
majalah Mimbar Indonesia mengemukakan pendapatnya bahwa yang ada bukanlah krisis
sastra melainkan krisis ukuran menilai sastra. Sitor berkesimpulan bahwa krisis yang
terjadi ialah krisis dalam diri Jassin sendiri karena ukurannya tidak matang.

2.3 Pengarang
Karya sastra hadir ditengah kehidupan manusia, karena dihadirkan oleh penulis atau
pengarang. Menurut Yunus (1985:2) penulis adalah tokoh yang amat penting dalam dunia

5
sastra. Pengarang menjadi subjek yang melahirkan karya, namun dalam perkembangan ilmu
sastra, penulis tidaklah menjadi yang terpenting. Pandangan tersebut merupakn teori para
cendikawan sastra masa lalu yang mengungkapkan terlepasnya peran pengarang terhadap
karya sastra.

Untuk menyoroti kedudukan pengarang, Foucault mulai dengan konsep yang


mengarah pada pandangan positivitas. Kesatuan sebuah wacana ditentukan oleh suatu periode
tertentu, yang merupakan Iingkup komunikasi antara pengarang dan iImuwan lainnya.
Pandangan kedua adalah apriori sosiohistoris pengarang sebagai individu. Sejauhmana
seorang pengarang diindividualisasikan dalam suatu budaya, lalu sejauhmana keotentikan
sarana-sarana penunjangnya. Oleh karena itu aturan-aturan di luar individu pengarang itulah
yang menentukan karya sastra. Pandangan yang ketiga adalah tentang sesuatu yang ditulis
atau dikatakan pengarang adalah arsip.

Pengarang sebagai pencetus ide, demikian pula penguasa, panglima, gereja, dan
negara tidaklah penting. Masalah yang penting adalah 'mekanismemekanisme' kuasa dan
strategi kuasa'. Kuasa bukan milik perseorangan atau lembaga melainkan strategi yang
berkaitan satu sama lain dan senantiasa bergeser. Kuasa tidak dilokalisir pada seorang
pengarang melainkan terdapat dimana-mana.

Pengarang tidak terbentuk dengan secara tiba-tiba melalui penandaan sederhana pada
tulisan-tulisan seseorang. Penamaan pengarang berasal dari langkah-Iangkah yang cukup
rumit yang bertujuan untuk menyusun suatu kesatuan rasionaI. Bangunan kesatuan-kesatuan
rasional tersebut diberi suatu tanda dimensi yang 'realistik' sebagai suatu daya kreasi
seseorang, dituang dalam tulisan.

A. Tokoh Pengarang
Ada beberapa tokoh pengarang, yaitu:

1. Nugroho Notosusanto
Pengarang tidak terbentuk dengan secara tiba-tiba melalui penandaan sederhana
pada tulisan-tulisan seseorang. Penamaan pengarang berasal dari langkah-Iangkah
yang cukup rumit yang bertujuan untuk menyusun suatu kesatuan rasionaI.
Bangunan kesatuan-kesatuan rasional tersebut diberi suatu tanda dimensi yang
'realistik' sebagai suatu daya kreasi seseorang, dituang dalam tulisan.
2. A.A Navis
A.A. Navis lebih tepat digolongkan kepada angakatan „45. Ia lahir di
Padangpanjang 17 November 1924. Ia baru muncul dalam gelanggang sastra
Indonesia pada tahun 1955, yaitu ketika ia mengumumkan cerpennya yang
pertama yang sekaligus menjadi terkenal berjudul “Robohnya Surau Kami”.
Cerpen ini kemudian diterbitkan bersama-sama dengan beberapa buah cerpen lain
dengan judul Robohnya Surai Kami (1956). Ketika dicetak ulang beberapa tahun
kemudian, buku ini mengalami perubahan isi. Ada cerpen-cerpen baru
ditambahkan, tetapi ada juga cerpen lama yang dicabut.
Kumpulan cerpen navis yang lain ialah Hujan Panas (1964) dan Bianglala (1964).

6
Pada umumnya cerpen-cerpen Navis padat dan mempunyai latar belakang sosial
psikologis yang luas. Navis banyak mengkritik orang-orang yang melakukan
syari‟at agama (Islam) secara membuta dan taklid saja, karena menurut dia Islam
harus dihayati secara rasional dan penuh prikemanusiaan.
Kecuali menulis cerpen, Navis pun telah menulis sebuah roman berjudul Kemarau
(1967). Juga dalam roman ini masalah agama dan pelaksanaannya mendapat
sorotan pengarang secara tajam. Berdasarkan buah tangannya yang nyata banyak
mempersoalkan masalah-masalah keimanan dan keagamaan Islam, pantas benar
Navis disebut sebagai seorang pengarang Islam.
3. Tisnoyuwono
Trisnoyuwono sudah mulai menulis cerpen-cerpen picisan pada tahun lima
puluhan awal. Kumpulan cerpennya yang pertama laki-laki dan Mesiu (1957)
mendapat hadiah sastra nasional dari B.M.K.N. tahun 1957-1958. Cerpen-cerpen
Trisnoyuwono menarik karena ia melukiskan manusia dalam situasinya lengkap
dengan ketakutan, nafsu birahi, kelemahan dan kekuatannya. Kumpulan
cerpennya yang kedua berjudul Angin Laut (1958) tidak begitu meyakinkan.
Kumpulan cerpennya yang berikutnya berjudul Di Medan Perang (1961) nilainya
lebih baik. Terutama cerpen “Di Medan Perang” yang dijadikan judul kumpulan
ini sangat kuat dan mengesan. Tak kelirulah kalau cerpen ini juga dianggap
sebagai cerpennya terakhir ialah Kisah-Kisah Revolusi (1965),
Salah sebuah cerpen yang dimuat Laki-laki dan Mesiu Kemudian dikerjakannya
menjadi sebuah roman, judulnya sama dengan judul roman cerpen asalnya, yaitu
Pagar Kawat Berduri (1962). Roman ini dibuat film oleh Asrul Sani sebagai
sutradara dan roman ini telah pula menyebabkan Trisnoyuwono mendapat Hadiah
Sastra Yamin.
Di samping itu Trisnoyuwono yang lahir di Yogyakarta 5 Desember 1926 menulis
pula beberapa buah roman lain berjudul Bulan Madu (1962), Petualang (1963) dan
lain-lain.
4. Iwan Simatupang
Iwan Simatupang (lahir di Sibolga pada tanggal 18 Januari 1928) mula-mula
menulis sajak, kemudian esai. Cerpen-cerpen dan drama-drama yang ditulisnya,
juga roman-romannya, tidaklah terikat oleh logika, plot dan perwatakan yang
biasa. Drama absurd Eugene Ionesco dan lain-lainnya yang sesudah Perang Dunia
kedua mendapat perhatian yang besar bukan saja di Eropa. Di antara drama-drama
yang sudah diselesaikannya, banyak yang kemudian dimuat dalam majalah-
majalah, antara lain yang berjudul “Bulan Bujur Sangkar‟, “Taman‟, RT Nol/RW
Nol‟.
Di antara cerpen-cerpennya patut disebut „lebih Hitam dari Hitam‟ (Siasat Baru
1959) sebagai sebuah cerpen yang baik sekali menyalam ke gua dasar jiwa
manusia, mencari kebenaran antara sadar dan tak sadar.
Iwan pun banyak menulis roman. Beberapa di antaranya berjudul Ziarah, Kering
dan Merahnya Merah (1968). Yang menonjol dalam roman-roman (dan juga
cerpen-cerpen, esai dan drama-dramanya) ialah gayanya yang padat.
5. Toha Mohtar

7
Pengarang yang sejak awal tahun lima puluhan produktif menulis cerpen-cerpen
dalam majalah-majalah hiburan (anehnya tak pernah dia menulis dalam majalah
sastra atau kebudayaan!) dengan nama samaran yang selalu berganti-ganti ialah
Toha Mohtar. Ia mengejutkn dunia sastra Indonesia dengan sebuah roman
berjudul pulang (1958). Roman ini mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N.
tahun 1958.
Sebagai roman Pulang sangat sederhana, tetapi justru karena kesederhanaannya
maka ia terasa jernih bening setelah penulis Pulang, Toha Mohtar menulis pula
Daerah Tak Bertuan (1963), sebuah kisah revolusi yang digali dari pengalaman
perjuangan di Surabaya ketika para pemuda mempertahankannya dari serbuan
tentara sekutu. Roman ini tidaklah menandingi Pulang yang ditulisnya lebih
dahulu. Belakangan terbit pula romannya yang lain yang berjudul Bukan Karena
Kau (1968) dan Kabut Rendah (1968).
6. Subagio Sastrowardojo
Subagio Sastrowardojo lebih dikenal sebagai penyair dan bukunya yang pertama
merupakan kumpulan sajak, yaitu Simphoni (1957). Cerpen-cerpennya dibukukan
dengan judul Kejantanan di Sumbing (1965).
Cerpennya „Perawan Tua‟ sangat menyaran, melukiskan keadaan jiwa seorang
gadis yang karena mau setia kepada kekasihnya yang gugur dalam pertempuran
melawan belanda lalu menghadapi hidupnya yang sepi. „Perawan Tua‟ merupakan
salah sebuah prosa terindah yang pernah ditulis dalam bahasa Indonesia. Sajak
Subagio yang belum diterbitkan sebagai buku antara lain yang termuat dalam
naskahnya Daerah Perbatasan dan Salju.
7. Motinggo Boesje
Motinggo Boesje lahir di Kupang kota, Lampung tanggal 12 November 1937.
Buku yang ditulis dan diterbitkannya berupa roman-roman. Ia pun menulis cerpen
dan drama. Drama-Drama yang ditulisnya umumnya berbentuk novela mengikuti
cara penulisan drama Utuy T. Sontani.
Dengan drama pula Motinggo pertama kali menarik perhatian orang kepadanya.
Ketika ia mendapat hadiah dalam sayembara penulisan drama yang diadakan
tahun 1958. Dramanya Malam Jahanam mendapat hadiah pertama. Drama lainnya
yang ditulis kemudian ialah antara lain Badai Sampai Sore (1962), Nyonya dan
Nyonya (1962), Malam Pengantin di Bukit Kera (1963) dan lain-lain.
Sebelum menulis drama, Motinggo menulis cerpen dan sajak. Cerpennya
kemudian dibukukan antara lain Dalam Keberanian Manusia (1962), Nasehat
Untuk Anakku (1963), Matahari Dalam Kelam (1963) dan lain-lain.
Kemudan yang secara manakjubkan tak habis-habisnya ditulis Motinggo ialah
roman. Diantaranya Tidak Menyerah (1962) merupakan cerita menarik yang
secara simbolik melukiskan tentang palimo pemburu tua yang kesepian pantang
menyerah kepada harimau tua yang mengganas di kampungnya. Sejuta Matahari
(1963) mengungkapkan suatu persoalan sosial 1944 (1962) merupakan roman
sebuah revolusi. Masih banyak lagi roman-roman Motinggo yang lain. Misalnya :
Dosa Kita Semua (1963), Tiada Belas Kasihan (sebuah roman pendek, 1963),
Batu Serampok (juga sebuah legenda, 1963), Titisan Dosa di atasnya (1964),

8
Ahim-Ha, Manusia Sejati (1963), Perempuan itu Bernama barabah (1963), Dia
Musuh Keluarga (1968) dan lain-lain.
8. Rijono Pratikto
Rijono Pratikto lahir di Tegal tanggal 27 Agustus 1932) telah mulai menulis sejak
masih duduk di SMP. Cerpen-cerpennya dimuat dalam majalah terkemuka di
Jakarta sejak tahun 1949. Rijono merupakan pengarang yang paling banyak
menulis cerpen di Indonesia. Cerpen permulaannya kemudian diterbitkan dengan
judul Api dan Beberapa Cerita Pendek Lain (1951). Cerpen-cerpennya kemudian
mendapat ciri sebagai „cerita-cerita serem‟. Cerpen semacam ini dibukukan dalam
Si Rangka dan Beberapa Cerita Pendek lain (1958). Karangan-karangan Rijono
yang masih tersimpan antara lain „fragmen roman dalam persiapan seperti Gua‟
(dalam Indonesia), „Dua Manusia Sepanjang Bukit‟ (dalam Gelanggang/Siasat)
dan lain-lain.
9. SM. Ardan
Yang nama sebenarnya Sjahmardan (lahir di Medan tanggal 2 Pebruari 1932)
mula-mula menulis sajak, kemudian cerpen dan esai serta kritik. Sajaknya dimuat
dalam kumpulan bertiga dengan Ajip Rosidi dan Sobron Aidit berjudul Ketemu di
Jalan (1956). Cerpennya melukiskan kehidupan masyarakat rendah Jakarta
dikumpulkan dalam buku Terang Bulan Terang di Kali (1955). Ardan menyadur
cerita rakyat Jakarta yang terkenal ke dalam bentuk drama tetapi ditulis secara
penulisan roman yaitu Nyai Dasima (1965).
10. Sukanto SA.
Sukanto SA lahir di Tegal tanggal 30 Desember 1930. Ia banyak menulis cerpen.
Tetapi sebagian saja yang dimuat dalam kumpulannya Bulan Merah (1958).
11. Alex A.xandre Leo
Merupakan nama samaran Zulkarnain (Lahir di Lahat tanggal 19 Agustus 1934),
menulis cerpen dikumpulkannya menjadi buku berjudul Orang yang Kembali
(1956). Ia pun menulis serangkaian satira (cerita sindiran) tentang „kisah-kisah
dari negeri Kambing‟. Tuhan 1963 ia menerbitkan sebuah roman berjudul
mendung yang disebutnya “sebuah novela sukaduka cerita sebuah rumah tangga‟.
12. Bokor Hutasuhut
Ia lahir di Balige tanggal 2 Juli 1934. Cerpen-cerpen yang dibukukan dalam
kumpulannya Datang Malam (1960). Ia pun menerbitkan dua buah roman yaitu
Penakluk Ujung Dunia (1964), dan Tanah Kesayangan (1965). Penakluk Ujung
Dunia dikerjakannya kembali dari sebuah cerita rakyat Batak. tanah Kesayangan
merupakan sebuah roman yang mengambik jaman penjajahan Jepang sebagai latar
belakangnya.

2.4 Pengarang Wanita


Periode ini dicirikan dengan bermunculan para penulis muda banyak yang bebas
mengeksplorasi bahasa dan tak terkungkung menabukan seks. Pengarang wanita tersebut
salah satunya Djenar Mahesa Ayu. dengan karyanya Mereka Bilang, Saya Monyet.
Kumpulan cerita pendek (cerpen) yang memuat 11 cerpen ditulis Djenar pada 2001-2002.
Sedangkan novel pertamanya adalah Nayla (2005) yang mengangkat secara ringan berbagai

9
persoalan penyimpangan seks. Kemudian kumpulan cerpen Jangan Main-main dengan
Kelaminmu (2004) yang juga mengangkat persoalan seks.

Pengarang perempuan yang penting pada periode ini adalah Oka Rusmini. Oka
melalui novel Tarian Bumi (2000) dan Kenanga (2003) menggugat tradisi adat, budaya, dan
agama yang selalu memojokan posisi perempuan. Dalam Tarian Bumi, tokoh utama Ida Ayu
Telaga Pidada, perempuan bangsawan yang karena menikah dengan seorang Wayan, lelaki
dari kasta yang lebih rendah, kerap dituding sebagai biang kesialan keluarga. Telaga akhirnya
iklas menanggalkan kasta kebangsawanannya dan memilih menjadi perempuan sudra yang
utuh.

Dari generasi ini muncul juga penulis-penulis yang khusus menghadirkan tema-tema
Islami, misalnya dua bersaudara Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia. Karya mereka juga
diapresiasi oleh masyarakat dengan banyaknya jumlah buku yang terjual. Ketika Mas Gagah
Pergi, kumpulan cerpen perdana Helvy Tiana, pertama terbit pada 1997 dengan oplah 5.000
eksemplar terjual dalam sebulan. Ketika Mas Gagah Pergi, ternyata banyak memperoleh
respons dari para pembacanya. Sebagian di antara pembaca mengaku termotivasi untuk
memakai kerudung atau jilbab setelah membaca buku fiksi tersebut. Mereka terpengaruh oleh
perilaku tokoh dalam cerita fiksi.

Penulis lainnya yang mengusung tema Islami adalah Abidah el khalieqi dengan novel
Geni Jora (2004). Dalam novelnya itu melakukan gutatan terhadap hal memojokkan
perempua dengan mengaitkan tradisi Jawa dan pesantren.

Salah satu pengarang wanita yang terkenal yaitu N.H Dini. N.H. Dini nama
lengkapnya Nurhajati Srihardini lahir di Semarang tanggal 29 Pebruari 1936. Mulai menulis
cerpen-cepen yang dimuat dalam majalah kisah dan lain-lain. Pada cerpen-cerpen itu tidak
ada lagi protes-protes yang berkisar pada soal-soal kewanitaan yang dunianya terjepit di
tengah dunia laki-laki. Tokoh wanita Dini ialah manusia-manusia yang berontak karena
hendak memperjuangkan harga dirinya sebagai manusia. Dalam cerpen „Dua Dunia‟
dikisahkan Dini tentang Iswanti seorang janda muda yang sakit tipus yang diceraikan
suaminya karena si suami main gila dengan ibu tirinya sendiri. Cerpen itu kemudian bersama
dengan beberapa buah cerpennya yang lain dibukukan dengan judul Dua Dunia (1956).

Dalam cerpen-cerpen itu Dini menunjukan perhatiannya yang besar terhadap


kepincangan-kepincangan sosial yang dia lihat dan terjadi disekelilingnya . Misalnya dalam
cerpennya „Kelahiran‟ dan „Perempuan Warung‟.

Setelah terbit dengan kumpulan cerpen itu, Dini kemudian menerbitkn sebuah roman
pendek berjudul Hati Yang Damai (1961). Ceritanya tentang seorang isteri penerbang yang
ketika suaminya mendapat kecelakaan lalu terlibat dalam cinta segi empat hingga akhirnya ia
menemukan kedamain dan keluasan hati suaminya.

Dini kemudian menikah dengan seorang diplomat Perancis. dan ketika mengkuti
suaminya bertugas di Jepang ia menulis sebuah roman yang berjudul namaku Hiroko, setelah
dari Jepang ia mengikuti suaminya ke Perancis yang berjudul Pada Sebuah Kapal, yang

10
diumumkan pada majalah-majalah sastra dan Horison, naskah roman lain yang sudah
diselesaikannya berjudul la Barka.

Kecuali Nh. Dini pada periode ini kita pun mencatat beberapa pengarang wanita lain
Surtingsih, Dyantinah B, Supeno dan Hartini ialah para penulis cerpen yang dimuat dalam
majalah. Tetapi sebegitu jauh belum ada data-data untuk mencatat kegiatan mereka lebih
daripada menyebut nama-namanya saja.

2.5 Penyair
Penyair adalah sebutan bagi pengarang syair, pengarang sajak, pujangga. Syair adalah
puisi lama yang tiap-tiap baitnya terdiri atas empat larik yang berakhir dengna a-a-a-a bunyi
yang sama. Seperti karya penyair terkenal sepanjang hayat, Kahlil Gibran menuliskan
beberapa tentang penyair. Seperti :

Penyair adalah orang yang tidak bahagia,


karena betapa pun tinggi jiwa mereka,
mereka tetap diselubungi airmata.
Penyair adalah adunan kegembiraan dan kepedihan dan ketakjuban,
dengan sedikit kamus
Penyair adalah burung yang membawa keajaiban.
Dia lari dari kerajaan syurga lalu tiba di dunia ini
untuk berkicau semerdu-merdunya dengan suara bergetar.
Bila kita tidak memahaminya dengan cinta di hati,
dia akan kembali mengepakkan sayapnya
lalu terbang kembali ke negeri asalnya.

Begitulah penyair, begitu dalam memaknai kehidupan, cinta dan kekagumannya.


Karya yang diciptakan itu bukan sebuah pendapat, tapu sebuah nyanyian luka yang
mendalam didalam jiwanya atau mulutnya yang tersenyum.

A. Tokoh Penyair
Terdapat tokoh penyair di Indonesia periode 1953-1961, yaitu:

1. Toto Sudarto Bachtiar


Toto Sudarto Bachtiar (lahir di Paliman, Ceribon, tanggal 12 Oktober 1929) telah
mulai mengumumkan sajak-sajaknya sekitar tahun 1950. Sajaknya yang terkenal
“Ibukota Senja” ditulisnya pada tahun 1951. Sebagian besar sajak-sajaknya telah
dikumpulkan dan diterbitkan menjadi dua buah buku, masing-masing berjudul
Suara (1956) dan Etsa (1958). “Kumpulan sajak 1950-1955” telah menyebabkan
penyairnya mendapat hadiah sastra nasional dari BMKN sebagai penyair terbaik
tahun 1955-1956. Sebagai penyair ia senantiasa merindukan kemerdekaan yang
disebutnya „tanah air dan laut semua suara‟ dan „ tanah air penyair dan
pengembara‟. Toto banyak sekali menerjemahkan, baik sajak maupun cerpen atau
karangan-karangan lain ke dalam bahasa Indonesia. Sebagian kecil dari
terjemahan-terjemahan cerpennya dikumpulkan dalam Bunglon (1965) yang

11
antara lain memuat cerpen-cerpen buah tangan Anton Chekhov, Rainer Maria
Rilke, Ernest Hemingway, dan lain-lain.
2. WS. Rendra
Nama lengkapnya Wilibrodus Surendra Broto (lahir di Solo tanggal 7 Nopember
1935) ialah penyair Indonesia terpenting pada masa ini. Sajak-sajaknya yang
permulaan, tampak pengaruh nyanyian-nyanyian dolanan kanakkanak Jawa dan
pengaruh penyair Spanyol Federico Garcia (1899-1936) yang pada tahuntahun itu
banyak diterjemahkan oleh Asrul Sani dan Ramadhan K.H. Kemudian sajak-
sajaknya yang permulaan itu dimuat dalam buku kumpulan sajaknya yang pertama
berjudul Balada orang-orang Tercinta (1957). Rendra mendapat hadiah sastra
nasional untuk puisi tahun 1955-1956 sebagai salah seorang penyair terbaik.
Sebuah sajaknya yang permulaan yang juga dimuat dalam kumpulan terbaik.
Sebuah sajaknya yang permulaan yang juga dimuat dalam kumpulan itu berjudul
“Terbunuhnya Atmo Karpo”. Sajak-sajaknya sebagian telah diterbitkan dalam
Rendra : 4 Kumpulan Sajak (1961), yaitu yang terkumpul dalam “Kakawin-
Kawin‟, „malam stanza‟, „nyanyian dari jalanan‟ dan sajak-sajak dua belas perak‟.
Sajak-sajak yang ditulisnya selama ia di Amerika kian menunjukkan kematangan
dan kesederhanaan pengucapannya, antara lain „Nyanyian Angsa‟, Khotbah‟,
„Bluess untuk Bonnie, dan lain-lain. Selain menulis sajak, Rendra pun menulis
cerpen. Diterbitkan dalam sebuah kumpulan berjudul ia Sudah Bertulang (1963).
Juga banyak bergerak di lapangan drama. Ia bertindak sebagai sutradara, pemain
dan banyak pula menulis drama-drama asli dan menerjemahkan drama-drama
asing untuk dimainkannya. Ia telah menerjemahkan kata penulis drama klasik
Yunani Sophokles (496-406 sebelum Masehi) berjudul Oedipus San raja, karya
pengarang drama Irlandia Bernard Shwa berjudul Arms and the Man, dari
pengarang drama Prancis kelahiran Rumania Eugene Ionesco (lahir 1908)
berjudul Kereta Kencana, dari pengarang Jerman Bertold Brecht (lahir 1890)
beberapa drama pendeknya dan lain-lain.
3. Ramadhan K.H
Lengkapnya Ramadhan Karta Hadimadja lahir di Bandung 16 Maret 1927, baru
tampi namanya sebagai penulis sekitar tahun 1952. Mula-mula menulis cerpen,
kemudian menulis sajak. Ia pun seorang penerjemah yang telah berjasa
memperkenalkan sajak-sajak dan drama-drama Federico Garcia lorca ke dalam
bahasa Idonesia yang diterjemahkannya dari bahasa Spanyol. Karya-karya penting
lorca sudah diterjemahkannya semua. Yang sudah terbit dramanya Yerman saja
(1959). Yang lain-lain diumumkan dalam majalah saja, antaranya drama „Rumah
Bernada Alba‟ dalam majalah Indonesia dan buku-buku sajaksajak Lorca
terpenting seperti Cancioes dan Romancero Gitano. Sajaknya sendiri ditulisnya
ketika ia baru pulang dari Spanyol, dan dibukukan dengan judul Priangan Si Jelita
(1958). Untuk buku itu ia mendapat hadiah sastra nasional dari B.K.M.N. tahun
1957-1958 untu puisi.
4. Kirdjomuljo
Kirdjomuljo (lahir di Yogyakarta tahun 1930) ialah salah seorang penyair
Indonesia yang banyak sekali menulis sajak. Tahun 1953-1956 banyak di

12
antaranya yang dimuat dalam majalah-majalah. Tahun 1955 terbit buku kumpulan
sajaknya berjudul Romance Perjalan. Romance Perjalanan jilid-jilid selanjutnya
tidak pernah terbit, meskipun kono naskahnya sudah disiapkan penyairnya.
Kirdjomuljo juga menulis banyak drama. Yang pernah terbit menjadi buku hanya
satu yaitu yang berjudul „Nona Maryam‟ yang diterbitkan dalam satu jilid dengan
drama buah tangan W.S. Rendra berjudul „Orang-orang di Tikungan Jalanan
(1955). Dua tiga buah lagi pernah dimuat dalam majalah Budaya Yogyakarta,
diantaranya „Penggali Intan‟ (1957).

Berikut juga ada beberapa penyair pada periode ini yaitu:


1. Hartojo Andangdjaya
Hatojo Andangdjaya (lahir di Solo tanggal 4 Juli 1930), mengumumkan sajak-
sajaknya dalam majalah-majalah terkemuka di Jakarta dan kota-kota lain. Ia
pun banyak menerjemahkan sajak-sajak asing ke dalam bahasa Indonesia,
antaranya Tukang kebun buah tangan penyair India Rabindranath Tagore.
2. M. Hussyn Umar
M. Hussyn Umar (Lahir di Medan tanggal 21 Janurai 1931) kecuali menulis
sajak, banyak menulis cerpen dan drama radio.
3. Odeh Suardi
Odeh Suardi lahir di Sumedang tanggal 6 September 1930 menulis sajak-sajak
yang diilhami oleh agama yang dipeluknya, agama Kristen. Ia menulis sajak
dalam majalahmajalah Zenith, gelanggang/siasat, Seni, Mimbar Indonesia dan
lain-lain.
4. Sugiarta Sriwibawa
Sugiarta Sriwibawa lahir di Solo tanggal 31 Maret 1932 menulis sajak-sajak
yang berat karena permasalahan dan nadanya. Sajak-sajaknya dikumpulkan
dalam kumpulan berjudul Lentera jalan yang sampai sekarang belum terbit.
Sugiarta banyak penulis cerpen dengan gayanya yang lirikal dan puitis, juga
menulis pandangan-pandangan tentang seni dan sastra di samping
menerjemahkan cerpen-cerpen dan esai-esai tentang seni dan sastra.
5. Surachman R.M
Surachman R.M. (lahir di Cibatu, garut, 19 September 1936) sajak-sajaknya
menunjukkan perhatian yang besar terhadap masalah-masalah sosial. Ia
terkenal pula sebagai penulis yang banyak menulis sajak dalam bahasa
daerahnya, bahasa Sunda. Kumpulan sajaknya berbahasa Sunda telah terbit
berjudul Surat Kayas (1968).
6. Ayatrohaedi
Ayatrohaedi (lahir di Jatiwangi, Majalengka, pada tanggal 5 Desember 1939)
menulis sajak-sajak dan cerpen-cerpen, baik dalam bahasa Indonesia maupun
Sudan, ia pun seorang penyair yang banyak menyanyaikan tanah kelahiran,
ibunda, dan segala yang dekat dengan hidupnya.

13
2.6 Analisis Karya Sastra
Karya sastra adalah sebuah bentuk seni yang dituangkan melalui bahasa. Analisa
karya sastra adalah satu cara untuk lebih menganal karya sastra tersebut. Dengan menganalisa
akan mengetahui makna dari karya sastra tersebut.

2 contoh analisis karya sastra, yaitu:

1. Analisis karya sastra puisi


Pada tahun 1957, W.S Rendra membuat kumpulan sajak yang berjudul “Balada
OrangOrang Tercinta”. Kumpulan sajaknya mendapat Hadiah Sastra Nasional Badan
Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Di bawah ini analisis salah satu
kumpulan sajak Balada Orang-Orang Tercinta, yang berjudul “Ada Tilgram Tiba
Senja”.

Ada Tilgram Tiba Senja


Karya W.S. Rendra
(Ada tilgram tiba senja dari pusar kota yang gila disemat di dada bunda).
(BUNDA, LETIHKU TANDAS KE TULANG ANAKDA KEMBALI PULANG).
Kapuk randu! Kapuk randu! Selembut tudung cendawan kuncup-kuncup di
hatiku pada mengembang bemerkahan.
Dulu ketika pamit mengembara kuberi ia kuda bapanya berwarna sawo muda
cepat larinya jauh perginya.
Dulu masanya rontok asam jawa untuk apa kurontokkan air mata? Cepat
larinya jauh perginya.
Lelaki yang kuat biarlah menuruti darahnya menghunjam ke rimba dan pusar
kota. Tinggal bunda di rumah menepuki dada melepas hari tua, melepas doa-
doa cepat larinya jauh perginya.
Elang yang gugur tergeletak elang yang gugur terebah satu harapku pada
anak ingat 'kan pulang 'pabila lelah.
Kecilnya dulu meremasi susuku kini letih pulang ke ibu hatiku tersedu hatiku
tersedu.
Bunga randu! Bunga randu! Anakku lanang kembali kupangku.
Darah, o, darah ia pun lelah dan mengerti artinya rumah.
Rumah mungil berjendela dua serta bunga di bendulnya bukankah itu mesra?
Ada podang pulang ke sarang, tembangnya panjang berulang-ulang - Pulang
ya pulang, hai Petualang!
Ketapang. Ketapang yang kembang berumpun di dekat perigi tua anakku
datang, anakku pulang kembali kucium, kembali kuriba.

Dari judulnya /Ada Tilgram Tiba Senja/ di sana W.S Rendra melukiskan bahwa sang
aku dalam syair ini berjauhan dengan sang dia yang menjadi tujuan syair ini. /ada
tilgram tiba senja/,/dari pusar kota yang gila/,/disemat di dada bunda/.
Bait pertama menyiratkan bahwa ada sebuah pesan (telegram) yang datang dari
tempat yang jauh dari bayangan sang penerima pesan yaitu bunda. Dan di terima oleh

14
bunda dengan sangat bahagia. /Bunda, letihku tandas ke tulang/,/anakda kembali
pulang/.
Pada bait kedua menggambarkan dengan gamblang bahwa bait ini menceritakan isi
pesan itu (telegram). /Kapuk randu! Kapuk randu/,/selembut tudung
cendawan/,/kuncup-kuncup di hatiku/,/pada mengembang bermerkahan/.
Pada bait ketiga W.S Rendra menggambarkan bahwa tokoh bunda dalam syair ini
begitu bergembira, diumpamakan bagai kapuk randu yang sudah matang dan keluar
kapasnya. /dulu ketika pamit mengembara/,/ku beri ia kuda bapaknya/,/berwarna sawo
matang/,/cepat larinya/,/jauh perginya/.
Pada bait keempat ini menyiratkan bahwa ketika tokoh anaknya akan mengembara,
sang bunda memberikan keberanian yang digambarkan dengan „kuda bapaknya‟. Dan
sang anak pun pergi jauh merantau. /dulu masanya rontok asam jawa/,/untuk apa ku
rontokan air mata?/,/cepat larinya/,/jauh perginya/.
Pada bait kelima ini menyiratkan hari ketika sang anak pergi, dan bunda dalam syair
ini meneguhkan hati. /Lelaki yang kuat biarlah menuruti darahnya/,/menghujam ke
rimba dan pusar kota/.
Pada bait keenam ini menyiratkan bagaimana tokoh bunda pada syair ini memahami
atau mengerti bahwa takdir seorang laki-laki sudah sewajarnya mengembara. /tinggal
bunda di rumah menepuki dada/,/melepas hari tua, melepas doa-doa/,/cepat
larinya./jauh perginya/.
Pada bait ke tujuh digambarkan bagaimana kesabaran tokoh bunda yang berdoa
untuk anaknya yang sedang merantau. /Elang yang gugur tergeletak/,/Elang yang
gugur terebah/,/satu harapku pada anak.
Pada bait ini di jelaskan sosok Elang yang menggambarkan tokoh anak yang gagah
berani. Di sana di tulis elang yang gugur tergeletak dan terebah menjelaskan bahwa
sekuat-kuatnya seorang anak laki-laki ternyata bisa jatuh juga atau bisa lelah juga.
Dan pada bait ini digambarkan harapan tokoh bunda yang berharap bila anaknya
sudah lelah ia bisa kembali pada sang bunda. /kecilnya dulu meremasi susuku/,/kini
letih pulang ke ibu/,/hatiku tersedu/,/hatiku tersedu/.
Pada bait ini menggambarkan bagaimana tokoh anaknya ketika kecil, yang diberi
kasih sayang. Kemudian sang anak pulang dari pengembaraannya dan betapa
bahagianya hati sang bunda. /bunga randu! Bunga randu!/,/anakku lanang kembali ku
pangku/ Kembali pada bait ini menggambarkan bunga randu sebagai ungkapan
kebahagiaan, dan dalam bait ini digambarkan bahwa sang bunda sudah menunggu
anknya untuk kembali kepangkuaannya. /darah, o, darah/,/ia pun lelah/,/dan mengerti
artinya rumah/.
Pada bait ini kembali kata “darah” menjadi gambaran tentang semangat seorang
pemuda. Kemudian tokoh anak yang sudah lelah dalam pengembaraannya dan
akhirnya kembali juga ke rumah. /rumah mungil berjendela dua/,/serta bunga
dibendulnya/,/bukankah itu mesra?/.
Pada bait ini mendeskripsikan bagaimana keadaan rumah yang tokoh anak
tinggalkan sekarang. /ada podang pulang ke sarang/,/tembangnya panjang berulang-
ulang/,/pulangnya pulang, hari petualang!/.

15
Pada bait ini digambarkan podang yang pulang ke sarang yang berarti sejauh apapun
seorang anak pergi merantau iapun kembali ke rumahnya. Dan digambarkan bahwa
hari pulangnya sang perantau tiba. /ketapang. Ketapang yang kembang/,/berumpun di
dekat perigi tua/,/anakku datang, anakku pulang/,/kembali kucium, kembali keriba/.
Pada bait ini digambarkan bagaimana kebahagian sang bunda, yang menunggu
anknya pulang sebentar lagi. Dengan bahagianya sang bunda akan menyambutnya
dengan penuh kasih sayang.
2. Analisis karya sastra cerpen
Dua Dunia
Karya Nh. Dini
Sinopsis: Iswanti adalah seorang isteri yang setia. Di usianya yang muda dia
terkena penyakit tifus. Dia di jodohkan oleh Darwono oleh kedua orang
tuanya. Dia mempunyai seorang anak bernama Kanti. Iswanti selalu percaya
terhadap Darwono, sehingga dia tidak pernah curiga sedikit pun bahwa
Darwono akan berselingkuh. Beberapa bulan setelah itu, Iswanti selalu
menahan sakit hati terhadap ibu tirinya Darwono, Iswanti selalu dianggap
tidak ada. Awalnya Iswanti berfikir bahwa hubungan Darwono dan ibu tirinya
hanya sebatas kasih sayang antara ibu dan anak. Suatu hari Iswanti melihat
Darwono tidur dipangkuan ibunya dengan penuh nafsu bukan lagi kasih
sayang kepada ibu, tetapi lebih dari itu. Beberapa kali ia menahan rasa sakit
itu. Akhirnya batas kesabaran Iswanti pun habis. Dia pergi meninggalkan
Darwono dan ibu tirinya bersama Kanti anaknya. Iswanti bekerja keras untuk
menghidupi keluarganya. Ternyata tanpa sepengetahuan Iswanti, ibu dan
ayahnnya Iswanti menerima uang dari Darwono. Iswanti sangat kecewa
ketika mengetahui hal itu. Dia merasa seharusnya uang yang ia dapatkan dari
bekerja dan pensiunan ayahnya cukup untuk menghidupi kebutuhan
keluarganya, tetapi ternyata tidak demikian. Ibu Iswanti memiliki hutang yang
cukup banyak karena ibunya penggila judi dan belum lagi hutang pernikahan
adiknya, yang selama ini selalu ditutupi oleh ayahnya. Ayahnya baru
memberitahu Iswanti setelah ibunya meninggal. Ayahnya ingin meminta
tolong kepada Darwono tetapi Iswanti menolak secara halus dia tidak mau
terlibat lagi dengan Darwono. Dia menuntut cerai kepada Darwono, dan
hasilnya menurut hukum islam anak perempuan itu ikut bapanya, tetapi
Iswanti tidak menerima Kanti di asuh oleh Darwono.

Judul : Dua Dunia

Tema : Kesetiaan

Tokoh dan Penokohan : 1. Iswanti (Protagonis)

2. Darwono (Antagonis)

3. Kanti (Tritagonis)

4. Bapa Iswanti (Tritagonis)

16
5. Ibu Iswanti (Tritagonis)

6. Ibu Tiri Darwo (Tritagonis)

Latar : di Kamar

Alur/Plot : Maju

Sudut pandang : Orang pertama tunggal

Penyelesaian : Sad Ending

Amanat : Ketika sudah berkeluarga sebaiknya janganlah tinggal satu atap dengan
orang tua atau keluarga.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sejarah sastra adalah pengetahuan yang mencakup uraian deskripsi tentang fungsi
sastra dalam masyarakat, riwayat para sastrawan, riwayat pendidikan sastra, sejarah
munculnya genre-genre sastra, kritik, perbandingan gaya, dan perkembangan kesusastraan.

Sastra pada periode 1953-1961 iniu mengalami berbagai penyelewengan


menyebabkan timbulnya berbagai krisis, krisis ahlak, krisis ekonomi dan berbagai krisis yang
lainnnya. Sebuah pertikaian yang akhirnya membuat para sastrawan tidak lagi menulis karya-
karya penting yang diterbitkan menjadi sebuah sehingga beberapa pemerhati sastra
menganggap kondisi waktu itu sebagai “krisis sastra”. Beberapa karya muncul lebih banyak
di berbagai majalah yang memunculkan isitilah “sastra majalah”.

Sebuah karya sastra pasti selalu ada pengarangnya, pengarang adalah sebutan bagi
orang yang membuat atau menciptakan karangan. Padan kata pengarang adalah penulis atau
sastrawan. Pengarang menjadi subjek yang melahirkan karya, namun dalam perkembangan
ilmu sastra, penulis tidaklah menjadi yang terpenting. Pandangan tersebut merupakn teori
para cendikawan sastra masa lalu yang mengungkapkan terlepasnya peran pengarang
terhadap karya sastra. Terdapat 14 okoh terkenal pengarang pada masa periode 1953 hingga
1961.

Pada masa itu juga banyak sekali pengarang wanita yang tidak kalah hebat karyanya
dengan yang lain, yaitu N.H Dini, Surtingsih, Dyantinah B, Supeno dan Hartini yang juga
mneulis cerita pendek pada masanya.

Penyair adalah sebutan bagi pengarang syair, pengarang sajak, pujangga. Syair adalah
puisi lama yang tiap-tiap baitnya terdiri atas empat larik yang berakhir dengna a-a-a-a bunyi
yang sama. Terdapat 4 penyair terkenal pada masa periode 1953 hingga 1961, dan pada masa
periode sekarang kurang lebih terdapat 6 penyair yang kita kenal.

Ada perbedaan antara penyair dan pengarang. Yaitu penyair ialah orang yang mebuat
puisi berdasarkan imajinasinya, padanan sebutannya adalah pujangga. Sedangkan pengarang
adalah orang yang menulis cerita sesuai apa yang akan diceritakan, biasanya disebut dengan
penulis atau sastrawan.

Analisis karya sastra sangatlah diperlukan untuk mengetahui makna yang terdapat
pada suatu karya sastra. Dengan menganalisa, kita bisa sedikit merasakan emosi dari sang
penulis dalam karya nya, dan juga pesan yang sesungguhnya akan cepat dan tepat
tersampaikan bagi pembaca.

3.2 Saran
Sangat diharapkan pada pembaca untuk memberikan saran pada makalah ini yang
jauh dari kata sempurna dan sangat menerima kritik demi membuat makalah yang lebih baik.

18
DAFTAR PUSTAKA

Erowati, R. (2011). Sejarah Sastra Indonesia. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah.

Widyastuti, S. H. (1993). Pengarang, Karya, dan Teks. Pengarang, Karya, dan Teks, 12.

10menit.wordpress.com, “Revisi Analisa Karya Sastra, Analisa Karya Sastra”.


<https://10menit.wordpress.com/tugas-kuliah/revisi-analisa-karya-sastra/> [Diakses, 27 November
2020]

19

Anda mungkin juga menyukai