Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FILSAFAT BAHASA FENOMENOLOGI


Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Bahasa yang dibina oleh
Bapak Dr. Hasan Busri M.Pd.

Disusun oleh:

Halimatus Sa’diah (21801071095)

Moh. Nasrullah (21801071133)

UNIVERSITAS ISLAM MALANG

FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA

Juni 2019

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah-Nya telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah
tentang Filsafat Bahasa Fenomenologi tepat waktu.
Makalah ini disusun dengan berbagai pertimbangan aspek dan fakta yang telah ada.
Pada dasarnya penyusun menyadari bahwa masih banyak kelemahan dalam pembuatan
makalah ini. Penyusun mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar dalam penyusunan makalah ini.

Demikian yang dapat penyusun sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Penyusun memohon kritik dan saran demi kebaikan makalah ini di waktu mendatang.

Malang, 14 Juni 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL

KATA PENGANTAR ............................................................................... ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................................ iv

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... iv

1.3 Tujuan ............................................................................................. iv

BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Fenomenologi ................................................................................. 1

2.1.1 Fenomenologi Transendental .............................................. 7

2.1.2 Fenomenologi Eksistensial................................................... 7

2.1.3 Fenomenologi Persepsi ........................................................ 7

BAB III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 9

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Ilmu filsafat adalah ilmu yang menjadi induk segala pengetahuan. Filsafat merupakan
sebuah sistem yang komprehensif dari ide-ide mengenai keadaan yang murni dan realitas
yang terjadi dalam hidup. Filsafat juga dapat dijadikan paduan dalam kehidupan karena hal-
hal yang berada di dalam lingkupnya selalu menyangkut sesuatu yang mendasar dan
membutuhkan penghayatan. Filsafat digunakan untuk menentukan jalan yang akan diambil
seseorang dalam kehidupannya. Filsafat juga memberi petunjuk mengenai tata cara pergaulan
antara sesama.

Tak lepas dari semua ini, pada dasarnya filsafat adalah bersumber dari
pertumbuhannya pola pikir manusia. Semua yang ada, atau yang telah ada bisa diperhatikan
dan dipikirkan secara rasional. Karena berpikir adalah aktifitas individu dan manusia
mempunyai kemerdekaan untuk berpikir. Berpikir secara mendalam untuk menghasilkan
suatu ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan keabsahannya. Dengan demikian
dapat dikata bahwa berfilsafat adalah mendalami sesuatu secara mendalam berdasarkan
penalaran yang dimiliki seseorang. Dan akhirnya bisa melahirkan aliran fenomenologi yang
akan dipaparkan dalam makalah ini.

Secara material penulisan karya ini memiliki tujuan yang mendasar, yaitu sebagai
pembuka cakrawala pengetahuan filsafat pada umumnya dan fenomenologi pada khususnya,
mengingat pengetahuan filsafat merupakan pengetahuan yang memerlukan energi yang
cukup untuk mempelajarinya, hingga mampu masuk ke “relung” terdalam dari ranah filsafat.

1.2 Rumusan masalah


1. Apa yang dimaksud dengan fenomenologi?
2. Apa yang dimaksud dengan fenomenologi transendental?
3. Apa yang dimaksud dengan fenomenologi eksistensial?
4. Apa yang dimaksud dengan fenomenologi persepsi?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang fenomenologi
2. Untuk mengetahui tentang fenomenologi transendental
3. Untuk mengetahui tentang fenomenologi eksistensial
4. Untuk mengetahui tentang fenomenologi persepsi

iv
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Fenomenologi

Aliran fenomenologi merupakan metode berpikir yang kelahirannya sering


dihubungkan dengan seorang filosof Jerman (berwarga Austria) bernama Edmund Husserl
(1859-1939). Edmund Husserl lahir di Prostejov, suatu wilayah di Cekoslowakia, pada 8
April 1859, dari keluarga Yahudi. Mula-mula ia menyibukkan diri dalam ilmu pasti
(matematika, ilmu alam dan astronomi). Namun ketika di Wina ia mulai tertarik pada filsafat
Franz Brentano (1838-1917). Dalam filsafat Franz Brentano itulah ‘fenomenologi” mula-
mula ada dan menempati tempatnya yang jelas pada Edmund Husserl. Banyak dari kalangan
akademi yang menaruh perhatian besar dan sekaligus mengembangkan fenomenologi Husserl
ini. Di antara mereka itu adalah seperti J.P. Sartre, Maurice Merleau Ponty, Paul Ricoeur,
Martin Heidegger, Emmanuel Levinas, Hans George Gadamer, dan F. Buytendijk (seorang
psikolog dari Belanda).

Untuk menunjukkan pengertian fenomenologi yang pasti dan satu sampai saat ini
dirasakan sulit. Fenomenologi dalam bahasa inggris yaitu phenomenology berasal dari bahasa
yunani phenomenon dan logos. Phenomenon berarti tampak, sedangkan logos berarti ilmu.
Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai ilmu tentang gejala-
gejala yang tampak atau menampakkan diri. Dengan demikian, secara sederhana seperti
dikatakan Ricoeur, istilah ini dapat diartikan sebagai “ilmu tentang fenomen-fenomen atau
tentang yang nampak”. Pada awalnya metode pemikiran ini berarti “fenomenologi
psikologis”, yaitu “psikologi deskriptif”, suatu psikologi yang berkehendak hanya mencatat
mengenai apa yang dilihat tanpa mencari penjelasan-penjelasan (keterangan-keterangan)
tentang sebab gejala-gejala. Kemudian pada Edmund Husserl menjadi fenomenologi
transendental, pada Maurice Merleau Ponty menjadi fenomenologi persepsi, dan pada Paul
Ricoeur menjadi fenomenologi eksistensial.

2.1.1 Fenomenologi Transendental

Fenomenologi transendental berusaha untuk menghubungkan syarat-syarat


penampakan benda-benda dengan struktur subjektifitas manusiawi, atau dengan kehidupan
subjek sendiri kepada siapa dan bagi siapa benda-benda tampak. Benda-benda (fenomen)
yang nampak itu, menurut Edmund Husserl, tidak seperti pada Descartes, padanya tidak ada
dinding yang menutupinya. Bagi Edmund Husserl, yang nampak (fenomen) itu adalah
realitas sendiri yang tampak. Antara subjek (kita) dan realitas (objek) tidak ada dinding atau
selubung yang memisahkan, realitas itu sendiri menampakkan pada kita. Husserl menyatakan
bahwa hubungan antara persepsi dengan bendanya tidaklah pasif. Justru sebaliknya,
kesadaran manusia secara aktif membentuk objek pengalaman.

CONTOH:

1
Ketika kita melihat sebuah benda, maka benda tersebut seakan memberi tahu suatu hal
kepada orang yg melihatnya. Misalnya ketika kita melihat sebuah gadget / gawai, benda
tersebut seolah-olah memberi tahu kita bahwa gadget tersebut menarik atau unik.

Ketika kita melihat wanita yang mempunyai hidung mancung, berkulit bersih, dan
pipi yang merona, maka secara tidak langsung raganya / jiwanya mengatakan dia memiliki
rupa yang cantik.

Fenemonologi transendental ini oleh Edmund Hausserl didasarkan pada tiga pijakan,
yaitu intensionalitas, konstitusi (constitution), dan reduksi. Intensionalitas (Latin, intendere:
“menuju ke”) mengambil dari Franz Brentano, artinya, “tidak ada hal yang menyadari tanpa
hal yang disadari”. Maksud yang terkandung dalam ungkapan itu, bahwa kesadaran kita tidak
dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya ada kesadaran perlu diandaikan tiga
perkara, yaitu bahwa ada suatu “subjek”, dan subjek itu terbuka untuk objek-objek.
Kesadaran yang selalu mengarah kepada objek-objek disebut oleh Edmund Husserl dengan
“intensionalitas”. Dengan demikian, dalam pandangan Husserl, kesadaran tidak ditentukan
oleh persepsi, artinya oleh kesadaran sendiri pada benda-benda, tetapi oleh distansi (jarak)
dan absensinya)”. Distansi dan absensi ini adalah daya untuk mengungkapkan makna. Intensi
untuk mengungkapkan makna bisa saja kosong dan bahkan tidak mungkin untuk dipenuhi,
seperti halnya dengan pernyataan-pernyataan yang mustahil. Persepsinya hanya merupakan
suatu contoh tervilegi mengenai pemenuhan oleh intuisi. Kalau begitu kesadaran adalah
intensional dengan dua cara, yaitu karena adanya makna, dan karena pemenuhan intuitif.
Disini, kesadaran berarti sama dengan parole (ucapan, tuturan) dan persepsi.

Dengan konsep “intensionalitas” itu maka Edmund Husserl telah menggugat konsep
“kesadaran” dari Descartes yang dalam tempo cukup lama telah mendominasi pikiran Barat,
yaitu kesadaran yang dimengerti sebagai kesadaran tertutup (cogito tertutup), suatu kesadaran
mengenal diri sendiri (subjek) dan hanya melalui cara itu realitas dapat diketahui.

Istilah konstitusi (constitution) yang digunakan Husserl adalah merujuk kepada


pengertian “suatu proses penampakkan fenomen-fenomen kepada kesadaran subjek”, atau
juga bisa diartikan sebagai aktivitas kesadaran yang memungkinkan nampaknya realitas.
Menurut Husserl, fenomen-fenomen itu mengkonstitusi di dalam kesadaran. Mafhum alfad-
nya, dunia nyata adalah dikonstitusi oleh kesadaran. Itu terjadi ketika dunia nyata menjadi
gejala yang menampakkan bagi kesadaran intensionalitas.

Selanjutnya Edmund Husserl, mengajukan reduksi fenomenologis atau reduksi


transendental, yang dicanangkan bagi usaha menangkap hakikat objek-objek. Reduksi
fenomenologis ini didasarkan pada asumsi bahwa agar kita benar-benar bisa menangkap
hakikat objek-objek (dunia), maka kita harus menangguhkan segala macam kepercayaan
tentang adanya dunia, tapi bukan kesangsian tentang dunia seperti yang ada pada metode
cogito ergo sum Descartes, mungkin dunia ada, mungkin tidak ada. Reduksi transendental
adalah suatu reduksi netralitas, ada atau tidak adanya dunia nyata tidak mempunyai peranan
lagi, tidak relevan. Masalah ini dapat dikesampingkan dengan tidak merugikan. Reduksi
transendental ini menyingkirkan segala macam yang mengganggu pencapaian kita terhadap

2
dunia real. Pertama, ia menyingkirkan segala sesuatu yang subjektif, kita harus objektif,
terbuka terhadap semua gejala yang akan diajak bicara. Kedua, reduksi menyingkirkan
seluruh pengetahuan tentang objek yang diselidiki melalui sumber lain. Terakhir,
menyingkirkan seluruh tradisi pengetahuan, artinya, segala yang sudah dikatakan mesti,
untuk sementara dilupakan dan disimpan. Ketiga reduksi ini ditolak oleh murid-murid
Husserl. Mereka tidak menyetujui prinsip reduksi ini.

Tujuan dari seluruh filsafat Edmund Husserl itu, sebagaimana selintas sudah
dijelaskan, adalah untuk mencapai hal-hal yang nyata (dunia real) yang menjadi titik tolak
ilmu pengetahuan. Tujuan dari reduksi transendental ialah menyaksikan bagaimana benda-
benda dan dunia dikonstitusi sebagai dunia-dunia objektif dengan “dunia yang dialami”
(lebenswelt) sebagai titik tolak.

2.1.2 Fenomenologi Eksistensial

Fenomenologi transendental dari Edmund Husserl oleh Paul Ricoeur dijadikan


sebagai metode untuk menjelaskan problematik eksistensi. Karena itu fenomenologi dari Paul
Ricoeur lazim disebut fenomenologi eksistensial. Fenemonologi eksistensial, menurut Paul
Ricoeur, adalah mengadakan peralihan antara fenomenologi transendental, yang lahir dari
reduksi setiap benda kepada penampakan baginya, dan antologi, yang memulihkan masalah
“makna ada” untuk segala yang disebut “bereksistensi”.

Secara etimologis eksistensialisme memiliki akar dari kata eksistensi (Latin existentia,
dari kata exsistere ‘menjadi ada’, dari ex- ‘keluar’ + sistere ‘mengambil tempat’). Secara
umum eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagaimana adanya sembari keluar
dari dirinya, atau cara berada manusia. Eksistensialisme adalah sebuah paham atau salah satu
aliran filsafat yang memusatkan perhatiannya pada kebebasan manusia, tanggung jawab
pribadi, dan pentingnya seorang individu untuk menentukan pilihannya. Filsafat ini
memandang segala apa yang ada dengan berpangkal pada eksistensi. Eksistensi berbeda
dengan esensi yang merupakan sesuatu yang menjadikan individu itu ada. Secara umum,
eksistensialisme dapat dipahami sebagai paham di mana seseorang memiliki kebebasan
mutlak atas pikirannya dan setiap pribadi bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Pokok
permenungan filsafat eksistensialisme adalah keseluruhan realitas manusia.

Eksistensialisme dan fenomenologi menyajikan sikap atau pandangan yang


menekankan kepada eksistensi manusia, artinya kualitas-kualitas yang membedakan antara
individual (perorangan) dan tidak membicarakan manusia secara abstrak atau membicarakan
alam atau dunia secara umum dalam mencari esensinya. Eksistensialisme berusaha
memahami kondisi manusia sebagaimana memanifestasikan dirinya di dalam situasi – situasi
konkret. Kondisi manusia yang dimaksud bukan hanya ciri – ciri fisiknya (misalnya tubuh
orang dan tempat tinggalnya), tetapi juga seluruh momen yang hadir pada saat itu (misalnya
perasaan senangnya, absurditasnya, kecemaannya, kegelisahannya, kebebasannya, dan
banyak lagi gejala eksistensial lainnya). Jadi, eksistensialisme sebagai sebuah paham sedang
fenomenologi sebagai metodenya.

3
Eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya
itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang
sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya. Adapun ilmu-ilmu lain
yang berkaitan dengan eksistensialisme adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia
seperti sosiologi (berkaitan dengan manusia dan keberadaannya di dalam lingkungan sosial),
antropologi (berkaitan antar manusia dengan lingkungan budaya). Eksistensialisme
mempersoalkan keberadaan manusia, dan keberadaan itu dihadirkan lewat kebebasan.

Namun, menjadi eksistensialis bukan selalu harus menjadi seorang yang lain dari pada
yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali
manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi
dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan
tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme.

CONTOH:

Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter,
desainer, insinyur, guru, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh
eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan
sendiri.

2.1.3 Fenomenologi Persepsi

Tokoh lainnya yang meneruskan konsepsi Edmund Husserl adalah seorang filosof
Perancis bernama Maurice Merleau Ponty (1908-1961). Dalam menjelaskan pemikiran
filosofisnya itu, Merleau Ponty tidak hanya melanjutkan pemikiran Edmund Husserl, tapi
juga melakukan kritikan dengan menggunakan pemikiran Edmund Husserl sendiri. Produk
kajiannya itu ia beri nama “Phenomenologie de la perception” (fenomenologi persepsi,
phenomenologi of perception). Dalam karyanya itu Maurice Merleau Ponty membicarakan
tema-tema besar dari fenomenologi, seperti “ reduksi fenomenologi”, “eidos”, dan
“intensionalitas”.

Dengan berpijak pada jalan berpikir yang telah dirintis oleh Edmund Husserl, Merleau
Ponty mengidentifikasi fenomenologi ke dalam delapan ciri

1. Fenomenologi adalah studi tentang esensi-esensi, seperti esensi persepsi dan esensi
kesadaran.
2. Fenomenologi merupakan suatu filsafat yang menempat' kan kembali esensi-esensi
dalam eksistensi dan berpendapat bahwa manusia serta dunia tidak dapat dimengerti
kecuali dengan bertitik tolak pada “faktisitas” mereka.
3. Fenomenologi adalah suatu filsafat transendental yang menaruh antara kurung anggapan-
anggapan sikap natural dengan maksud memahaminya dengan lebih baik.
4. Fenomenologi merupakan filsafat yang menganggap dunia selalu “sudah ada”,
mendahului segala refleksi, sebagai suatu kehadiran yang tak terasingkan.

4
5. Fenomenologi berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan kembali kontak langsung dan
wajar dengan dunia, supaya akhirnya dunia dapat diberikan suatu status filosofis.
6. Fenomenologi adalah suatu yang mempunyai ambisi menjadi suatu “ilmu rigorus”
(semua tahap pemikiran dipertanggungjawabkan secara saksama), tetapi di lain pihak
ingin juga mempertanggungjawabkan ruang, waktu, dan dunia sejauh “dihayati”.
7. Fenomenologi adalah ikhtiar untuk secara langsung melukiskan pengalaman kita
sebagaimana adanya, tanpa memperhatikan asal-usul psikologisnya dan keterangan-
keterangan kausal yang dapat disajikan oleh ilmuwan, sejarawan, dan sosiolog.
8. Fenomenologi dapat dipraktikkan dan diakui sebagai suatu cara pendekatan atau gaya
berpikir, dan ia sudah merupakan suatu gerakan, sebelum mencapai kesadaran filosofis
yang penuh. Maksudnya, fenomenologi sudah berjalan sejak lama dan pengikut-
pengikutnya terdapat di mana-mana: Hegel, Kierkegard, Marx, Nietzsche, dan Freud.
9. Fenomenologi merupakan gerakan yang sama sekali berbeda dengan gerakan kembali ke
kesadaran dari para idealis. Fenomenologi untuk menjalankan suatu deskripsi murni
menyingkirkan prosedur, baik prosedur analisis refleksif maupun prosedur keterangan
ilmiah.
Karena sangat diperlukan penjelasan lebih lanjut mengenai konsepsi fenomenologi
yang dikembangkan para filosof setelah meninggalnya Edmund Husserl, dan juga untuk
mengetahui bagaimana pemikiran filosofis mereka di bidang bahasa, maka akan dijelaskan
secara terpisah dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya. Untuk itu, marilah kita simak
uraian selanjutnya.

Merleau Ponty (1908-1961):

Merleau Ponty lahir di Perancis tahun 1908 dan meninggal dunia pada tahun 1961.
Dari tahun 1926 sampai 1930 ia belajar di “Ecole normale superieur.” Setelah mengikuti
wajib militer pada tahun (1930-1931), ia menjadi guru filsafat. Dalam pemikiran filsafatnya
ia banyak mendapat inspirasi dari Edmund Husserl dan Martin Heidegger. Meskipun Merleau
Ponty termasuk penganut fenomenologi, namun cara berpikirnya berbeda dengan para
fenomenolog lainnya. Ia sangat enggan untuk merencanakan suatu sistem, yang dia lakukan
hanya berupa refleksi dari segala keheranannya dan mencari pertanyaan-pertanyaan. Dasar
filsafatnya adalah ambiquitas atau ambiguitas (kedwiartian), dan ini menjadi ciri filsafat
Merleau Ponty. Jika dia berbicara tentang jasmani maka dia juga berbicara tentang rohani;
jika ia berbicara tentang badan maka ia pun berbicara tentang roh, dan begitu sebaliknya.
Cara berpikir semacam ini sangat berbeda dengan metode berpikir Descartes yang
memisahkan res ekstensa (badan) dari res cogitans (kesadaran), hukum mekanik dari hukum
spiritual. Dalam pandangan Merleau Ponty, manusia muncul sebagai badan roh dan roh
badan, rohani dan jasmani.

Fenomenologi, menurut Merleau Ponty, harus berbicara dengan dua lidah dan melihat
dua hal sekaligus. Dunia yang dialami (lebenswelt), baginya, tidak pernah diasalkan kepada
satu arti saja. Realitas tentang dunia itu berliku-liku dan mempunyai banyak dimensi.
Menurut Merleau Ponty, pengetahuan manusia selalu fragmenter dan tempat-tempat terang
dipisahkan dari tempat-tempat gelap. Jika filsafat memfokuskan pada satu dimensi dari

5
banyak dimensi tentang realitas, maka yang lainnya berada dalam kegelapan. Karena itu,
Merleau Ponty merasa curiga terhadap filosof yang berbicara dengan terang dan jelas. Ia
mengatakan bahwa Sartre dekat pada rasioanalisme karena justru ia melukiskan bayangan
tanpa tempat yang gelap. Ungkapan ini merupakan bentuk keberatannya terhadap gaya
bahasa Sartre yang amat jelas sebagaimana gaya bahasa yang dikemukakan para filosof
Perancis pada umumnya.

Menurut Merleau Ponty jalan filsafat itu selalu penuh dengan risiko. Jika kita
berfilsafat, maka kita belum tahu di mana kita akan berakhir. Filsafat tidak akan pernah
sampai pada kebenaran absolut sebagaimana dicita-citakan Hegel. Filsafat itu akan terus
bergerak maju dan berdialektika tanpa ujung, karena kebenaran tidak pernah pasti (definit)
dan absolut. Berfilsafat adalah bertanya. Tugas filosof adalah mencari tahu yang tidak
diketahui, tapi ia bukan yang serba mengetahui.

Dasar ambiguitas yang dikembangkan Merleau Ponty itu ditujukan untuk mengkritisi
pemikiran objektifistis dari realisme dan subjektifistis dari idealisme. Kedua aliran pemikiran
ini senantiasa bertentangan. Bagi realisme realitas seluruhnya dapat diketahui secara objektif,
ia tidak tergantung pada manusia dan ia merupakan keseluruhan yang tertutup. Ini
bertentangan dengan idealisme. Menurut idealisme, tidak ada realitas yang terlepas dari
pemikiran, realitas itu sama dengan realitas yang dipikirkan. Jadi, dunia ada sejauh
tergantung pada roh absolut (Hegel) atau sejauh tergantung kepada kesadaran yang absolut.

Posisi yang dilakukan Merleau Ponty terhadap kedua aliran besar pemikiran yang
saling bertentangan itu berada di tengah-tengah. Sebab, meskipun antara keduanya saling
bertentangan, tapi keduanya sepakat bahwa realitas itu bisa dipahami secara tuntas. Paham
inilah yang ditentang Merleau Ponty. Menurut dia, pemikiran subjek (kita) tidak pernah
mengerti secara tuntas, artinya, subjek yang mengenal tidak pernah merupakan subjek yang
hanya mengenal. Antara dunia riil dan subjek terdapat hubungan dialektika: tidak ada subjek
tanpa dunia, dan tidak ada dunia tanpa subjek. Dengan begitu, Merleau Ponty menolak
pemikiran yang mengorbankan subjek untuk dunia dan mengorbankan dunia untuk subjek
sebagaimana ada pada realisme dan idealisme.

Prinsip ambiguitas itu diterapkan Merleau Ponty dalam fenomenologi yang ia


kembangkan. Seperti sudah disinggung, Merleau Ponty menyebutnya sebagai
“Phenomenologie de la perception” atau fenomenologi persepsi (Phenomenology of
Perception).

Istilah “persepsi” atau “pengamatan” yang dipakai oleh Merleau Ponty mengandung
pengertian yang luas. Pengertiannya tidak hanya mengamati dengan mata telanjang terhadap
suatu benda (objek), tapi meliputi seluruh hubungan subyek (pengamat, kita) dengan dunia.
Karena itu, istilah “persepsi” ini berhubungan erat dengan tema-tema dalam filsafat modern
seperti tentang dunia, tubuh, intersubjektifitas, esensi dan eksistensi, makna dan bahasa.

CONTOH:

6
Ketika kita melakukan pengamatan terhadap burung, maka kita dapat mengetahui
bahwa burung adalah hewan yang cantik sebab memiliki bulu yang warnanya beraneka
ragam, selain itu burung juga memiliki sayap yang digunakan untuk terbang, dan juga burung
memiliki paruh yang digunakan untuk makan. Namun, disisi lain kita juga harus mengetahui
bahwa tidak semua jenis burung yang memiliki sayap bisa terbang, misalnya seperti burung
unta, kasuari, dan lain-lain.

Menurut Merleau Ponty bahwa semua aktivitas kognitif (mengenal) muncul dari
aktivitas pengamatan sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu alam berakar dalam
kepercayaan terhadap pengamatan (waktu melihat dan mendengar kita percaya adanya suatu
dunia di luar kita). Berpersepsi atau mengamati ialah mengalami benda-benda, hal itu
memang tidak berarti bahwa warna merah yang kita lihat merupakan sifat dari dunia, tetapi
realitas dari pengamatan letaknya dalam arah (intensi) pengamatan.Mengamat-amati ialah
memilih suatu posisi, mengarahkan diri. Kalau sikap badan berubah pengamatan juga
berubah. Merleau Ponty berpendapat bahwa pancaindera menghasilkan pengamatan yang
mempunyai corak dan organisme, satu organisme menciptakan berbagai corak pengamatan
sesuai dengan bentuk dari indera. Tingkah laku ialah membentuk lingkungan secara
sistematis. Ini seperti ada pada psikologi Gestallt yang berarti bahwa sifat realitas berubah
dengan corak dari keseluruhan.

Merleau Ponty berpendapat bahwa mencari esensi persepsi berarti menyatakan bahwa
persepsi tidak diandaikan benar saja, tetapi merupakan jalan masuk kepada kebenaran.
Berpersepsi atau mengamati sama dengan percaya pada dunia. Maksudnya, dunia adalah apa
yang kita persepsi. Dunia, dalam pandangan Merleau Ponty, bukanlah dunia yang kita
pikirkan, melainkan yang kita hayati. Kita senantiasa terbuka terhadap dunia, dan tidak dapat
disangkal, kita berkomunikasi dengan dunia, tapi kita tidak memilikinya. Karena itu, dunia
tidak dapat dikuasai sepenuhnya. “Ada suatu dunia” atau lebih baik lagi “Dunia ada”; bagi
tesis tetap dalam hidup saya ini tak pernah dapat saya berikan alasan terdalam,” tegas
Merleau Ponty.

Dalam prakata “Phenomenologie de 1a perception” (Phenomenology of Perception)


untuk disertasi doktor-nya, Merleau Ponty menguraikan mengenai pandangannya yang tertuju
pada dan mengamati suatu dunia. Ia menguraikan sebagai berikut:

“Seandainya saya berkata bersama sensualisme bahwa yang ada hanyalah “keadaan-
keadaan kesadaran” dan seandainya saya berusaha memperbedakan persepsi saya dari mimpi
saya melalui jalan “kriteria”, maka saya tidak akan menangkap fenomena dunia. Jika saya
dapat berbicara tentang “mimpi” dan “kenyataan”, bertanya=tanya tentang pembedaan antara
tahap imajiner dan tahap real dan dapat menyangsikan “yang real”, maka hal itu
dimungkinkan karena saya melakukan pembedaan ini mendahului setiap analisis dan karena
saya mempunyai pengalaman tentang real maupun imajiner. Maka persoalannya bukannya
menyelidiki bagaimana pemikiran kritis dapat menemukan ekuivalen-ekuivalen lain untuk
pembedaan tadi. Yang penting ialah membeberkan pengetahuan asli kita tentang “yang real”
dan melukiskan persepsi mengenai dunia sebagai apa yang mendasari ide kebenaran kita.

7
Jadi, kita tidak perlu bertanya-tanya apakah kita sungguh-sungguh memersepsi suatu dunia.
Sebaliknya, haruslah kita katakan: dunia adalah apa yang kita persepsi”.

Hal lain yang menjadi jelas dari analisis persepsi ialah tentang pemaknaan. Konsep ini
berhubungan erat dengan “esensi” dan “reduksi eidetis”. Yang dimaksud dengan reduksi
eidetis di sini adalah sama artinya dengan apa yang dimaksud oleh Husserl. Menurut Husserl,
reduksi eidetis ialah suatu kesadaran yang mengarahkan diri kepada “eidos”, esensi
atauhakikat sesuatu dengan intuisi tentang hakikat ( wesensschau). Menurut Merleau Ponty,
konsep ini berarti bahwa tak mungkin kita mengambil persepsi kita akan dunia sebagai tema
bagi penelitian filsafat tanpa menghentikan kesatuan kita dengan dunia, tanpa meninggalkan
minat kita untuk dunia yang menandai kita sebagai manusia. Tak mungkin kita merefleksikan
dunia tanpa mundur dari keterlibatan kita, supaya dunia sendiri tampak sebagai tontonan,
tanpa beralih dari eksistensi kita sebagai fakta ke eksistensi kita sebagai hakikat, dari Desein
(eksistensi manusia) ke Wesen (hakikat).

Akan tetapi, lanjut Ponty, yang jelas bahwa esensi itu di sini bukanlah tujuan,
melainkan sekadar sarana dan bahwa yang harus dimengerti serta dikonseptualisasi dan
memolarisasikan semua fiksasi konseptual kita ialah justru keterlibatan kita tentang dunia.

Melalui esensi-esensi itu, tidak berarti bahwa filsafat Ponty mengambil esensi-esensi
itu sebagai objek, tetapi sebaliknya, bahwa eksistensi kita begitu erat tersimpul dalam dunia
sehingga ia tidak dapat mengenal dirinya pada saat ia menerjunkan diri lebih dalam dan ia
membutuhkan suatu Wilayah idealitas untuk mengenal serta merebut faktisitasnya. Dalam
menjelaskan gagasannya ini, Ponty mengkritisi pemikiran mazhab positivisme Wina
(Lingkaran Wina) yang menegaskan bahwa kita hanya dapat mencapai makna-makna.
Kesadaran, bagi mazhab Wina, sama dengan diri kita sendiri (subjek). Menurut mereka,
“kesadaran” adalah suatu makna yang muncul lambat dalam waktu serta pelik sifatnya, yang
hanya boleh kita pakai dengan hati-hati dan baru setelah kita beberkan beraneka macam
makna yang telah menyumbangkan pada pembentukannya, sepanjang proses perkembangan
semantis kata itu. Pemikiran positivisme logis ini, menurut Merleau Ponty, sangat berlawanan
dengan pemikiran Husserl. Sebab apa pun pergeseran-pergeseran arti yang akhirnya
memberikan kita kata dan pengertian “kesadaran” sebagai perolehan bagi bahasa, namun kita
selalu mempunyai kemungkinan untuk secara langsung menghubungi apa yang ditunjukkan
dengannya. Kita selalu mempunyai pengalaman tentang diri kita sendiri, tentang kesadaran
yang identik dengan diri kita sendiri. “Pengalaman inilah yang merupakan tolok ukur bagi
semua makna dalam bahasa”. Demikian Merleau Ponty dalam “Prakata” disertasinya.

Dalam pandangan Merleau Ponty, bahwa Husserl telah memisahkan esensi-esensi dari
eksistensi. Esensi-esensi yang terpisah adalah esensi-esensi dari bahasa. Menjadi tugas
bahasalah untuk memunculkan esensi-esensi dalam suatu keadaan terpisah yang sebetulnya
hanya nampaknya demikian, karena berkat bahasa esensi-esensi itu masih bertumpu pada
kehidupan Antepredikatif dari kesadaran. Antepredikatif adalah sesuatu yang belum
diungkapkan, yang masih terpendam dalam pengalaman tanpa suara.

8
Berdasarkan pada uraian ini, maka menjadi jelas bahwa makna bahasa dalam
pandangan Merleau Ponty memiliki hubungan erat dengan subjek yang berbicara. Artinya
bahwa bahasa itu tidak pernah terlepas dari subjek yang berbicara. Atau, bahasa itu selalu
berlangsung dalam rangka tingkah laku. Dengan demikian, kata itu sendiri sungguh-sungguh
memiliki makna. Ini berlawanan dengan empirisme dan intelektualisme. Bagi empirisme,
bahasa tidak lain sejumlah gejala fisiologis yang berlangsung dalam hukum-hukum sebab
akibat (causilitas). Bahasa hanyalah suatu proses yang bersifat mekanistis. Kata-kata muncul
sebagai akibat adanya rangsangan tertentu terhadap organisme. Karena itu makna-makna dari
suatu bahasa sangat tergantung pada rangsangan-rangsangan tersebut. Sedangkan
intelektualisme memandang bahasa sebagai sistem tanda yang berfungsi untuk
menyampaikan pemikiran batin seseorang kepada orang lain. Karena itu satu-satunya sumber
makna adalah pemikiran, sedangkan kata-kata yang keluar hanyalah bentuk sampingan. Yang
terpenting bagi intelektualisme adalah subjek yang berpikir, bukan subjek yang berbicara.

Cara pandang emprisme ataupun intelektualisme itu oleh Merleau Ponty dapat diatasi
dengan ambiguitas. Pikiran atau makna, menurut Merleau Ponty, tidak mendahului perkataan,
tetapi terjelma dalam perkataan itu sendiri. Perkataan dan pikiran tidak mungkin dipisahkan,
seperti juga badan tidak dapat dipisahkan dari rohani. Kesepian tidak mungkin lagi karena
manusia tertangkap dalam jaringan makna dan tanda. Bahasa menciptakan dunia seperti
dunia menciptakan bahasa, tidak terdapat garis di mana yang satu menghidupkan yang lain.
Bukankah ini ambiguitas?

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Istilah fenomenologi sendiri diambil dari kata “fenomen” yang artinya “gejala yang
nampak”. Dengan demikian, secara sederhana seperti dikatakan Ricoeur, istilah ini dapat
diartikan sebagai “ilmu tentang fenomen-fenomen atau tentang yang nampak”.

Kemudian pada Edmund Husserl menjadi fenomenologi transcendental, fenomenologi


yang berusaha untuk menghubungkan syarat-syarat penampakan benda-benda dengan
struktur subjektifitas manusiawi, atau dengan kehidupan subjek sendiri kepada siapa dan
bagi siapa benda-benda tampak.

Paul Ricoeur menjadi fenomenologi eksistensial adalah peralihan antara fenomenologi


transendental, yang lahir dari reduksi setiap benda kepada penampakan baginya, dan
antologi, yang memulihkan masalah “makna ada” untuk segala yang disebut
“bereksistensi”.

Maurice Merleau Ponty menjadi fenomenologi persepsi, dalam menjelaskan


pemikiran filosofisnya itu, Merleau Ponty tidak hanya melanjutkan pemikiran Edmund
Husserl, tapi juga melakukan kritikan dengan menggunakan pemikiran Edmund Husserl
sendiri. Produk kajiannya itu ia beri nama “Phenomenologie de la perception” (fenomenologi
persepsi, phenomenologi of perception). Dalam karyanya itu Maurice Merleau Ponty
membicarakan tema-tema besar dari fenomenologi, seperti “ reduksi fenomenologi”, “eidos”,
dan “intensionalitas”.

10
DAFTAR RUJUKAN

Hidayat, Ahmad Asep. 2016. Filsafat Bahasa Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan
Tanda. Bandung: Rosdakarya Bandung

11

Anda mungkin juga menyukai