Abstrak
Naskah-naskah Panji Jawa, seperti juga naskah Panji Melayu sedikit sekali
dikaji atau diterbitkan. Hingga kini terdapat kurang dari sepuluh buah yang
dikaji, atau diterbitkan. Di antaranya Panji Jayeng Tilam (BP, 1932), Panji
Narawangsa (BP, 1936), Panji Wulung (Bataviacentrum, 1931), Serat Panji
(1907), Serat Panji Dadap (1932), Wangbang Wideya (The Hague, 1971),
dan Panji Raras I dan II (DPK, 1978).
Apakah makna Panji? Robson memberi komentar sebagai berikut.
“Panji is derivation from Panji, a flag or banner, meaning ‘having
(as) a flag, that is, as a kind of title, the one who has such-and-such in his
flag. The title Panji is found, for instance, in Majapahit period, and
especially in the inscription of the Kediri period” (Cf. Robson, 1971: 13).
Panji yang berasal dari bahasa Jawa terkenal di istana Raja-raja Jawa
Timur, dan selanjutnya berkembang bebas di Bali. Perkembangan cerita
Panji sampai di Malaysia. Cerita Panji dalam bentuk sastra lisan terdiri dari
Lalat Hijau dan Panji Angreni, sering dimainkan dalam pertunjukan wayang
kulit di daerah Kelantan (Cf. Harun Mat Piah, 1980: 28). Cerita Panji juga
berkembang di Siam dan Kamboja.
Cerita Panji amat populer, sebab kerajaan Majapahit dapat
menyalurkan propaganda lewat cerita Panji, dengan demikian amat
memperlancar popularitasnya. Faktor internal, cerita Panji amat terkenal
karena mengekspresikan perasaan manusia yang hampir menimpa seluruh
individu manusia, misalnya hal percintaan, kekecewaan, kerinduan, dan iri
hati, tampak menguasai seluruh isi cerita Panji.
Sari 2 (1) (Januari, 1984) 3 – 24
RUJUKAN
Abdul Rahman Kaeh, 1983, Panji Narawangsa, analisa struktur dan fungsi
dalam hubungannya dengan pendidikan, (Disertasi Ph.D) Fakultas
Pasca Sarjana IKIP Malang, Indonesia.
Abdul Rahman Kaeh, 1976, Hikayat Misa Taman Jayeng Kusuma, Dewan
Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.
Berg, C.C., 1954, “Bijdragen tot de Kennis der Panji-verhalen”, BKI, No.
110.
Berg, C.C., 1928, Inleiding tot de Studie van het Oud-Javaansch,
Soerakarta.
Berg, C.C., 1930, Rangga Lawe, Bibliotheca Javanica I, Weltevreden.
Berg, C.C., 1938, “Javaansche Geschiedschrijving” dalam Stapel, F.W.
(ed.), Geschiedenis van Nederlandsch Indie, vol. II, Amsterdam.
Berg, C.C., 1974, Penulisan Sejarah Jawa, terjemahan dari Javaansche
Geschiedschrijving, Bhratara, Jakarta.
Oleh
Henri Supriyanto
Abstrak:
Tradisi Jawa “Tempo Doeloe” para pujangga menulis Babad atau Hikayat,
berisi kisah pahlawan yang dirajut dengan peristiwa supranatural, yang
penuh kegaiban karena campur tangan para dewa terhadap manusia di muka
bumi. Tradisi inilah yang membuat peristiwa sejarah (history) sering rancu
dengan peristiwa sastra. Misalnya sejarah putra mahkota raja Kediri, prabu
Panji Amiluhur bernama Panji Inu Kertapati (Kameswara) mengawini putri
Jenggala manik, putri raja Panji Amijaya yang bernama Dewi Sekartaji.
Pada peristiwa sastra, posisi asal kerajaan ternyata terbalik. Panji Asmara
Bangun (Panji Inu Kertapati) adalah putra mahkota kerajaan
Jenggalamanik. Dewi Sekartaji, adalah putri raja Panji Lembu Amiluhur
kerajaan Kediri (Panjalu). Inilah inti karya sastra Smaradahana karya Mpu
Darmaja, yang diyakini menjadi induk cerita Panji.
Cerita Panji akhirnya berkembang dalam berbagai versi, pada sastra
tulis, sastra lisan dan sastra setengah lisan (lakon Panji pada seni
pertunjukan rakyat). Sastra tulis cerita Panji berkembang ke tanah Sunda,
Bali dan Sumatra, akhirnya menyebar ke kawasan mancanegara (Asia
Tenggara). Perkembangan zaman, kemajuan teknologi komunikasi pada
ranah budaya global, cerita Panji di tingkat lokal pada masa sekarang
kurang/tidak memperoleh apresiasi para generasi muda. “Festival Tempo
Doeloe” merekonstruksi budaya Panji, mengaktualisasikan khasanah sastra
Panji di tengah-tengah masyarakat masa kini.
Kediri, Singasari
II. Pembahasan
Raja ke-1 :
Mpu Sindok (Cri Maharaja Rake Hino Icana
Wikramadharmatunggadewa) pada tahun 929-947 M.
Raja ke-2 :
Cri Icana Tunggawijaya (dilanjutkan putranya Makura
Wangen Wardhana), pada tahun 947-990 M.
Raja ke-3 :
Cri Dharmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa
pada tahun 991-1016 M.
Raja ke-4 :
Cri Maharaja Raki Cri Lokeswara Dharmawangsa
Airlangga Anantawikramatunggadewa 1019-1041 M
Kerajaan Jenggala
Raja pertama kerajaan Jenggala adalah Panji Garasakan.
Pembelahan kerajaan Panjalu dan Jenggala pada tahun 1042.
Berdasarkan prasasti Turun Hyang yang dikeluarkan Panji
Garasakan bertahun 1044 M. Isi prasasti menyatakan bahwa
Jenggala berperang melawan Panjalu pada tahun 1044 M,
yakni dua tahun sesudah kerajaan dibelah menjadi dua wilayah.
Pada waktu itu yang menjadi raja di Panjalu adalah Cri
Samarawijaya Darmasuparnawahana Teguh Utunggadewa,
pada buku lain disebut prabu Jayanegara atau prabu
Linggajaya, berkuasa pada tahun 1042-1014 M. Raja Jenggala
prabu Panji Garasakan. Inilah catatan perang pertama Panjalu-
Jenggala.
Raja ke-5 :
Cri Linggajaya atau Jayanegara, pada tahun 1042-1104
Raja ke-6 :
Cri Jayawarsa Digdaya Sastraprabu, pada th. 1104-
1115 M
Raja ke-7 :
Cri Maharaja Bameswara Sakala Buwana Tustikarana
Sarwaniwayyawira Parakrama Digdaya Utungga Dewa,
pada tahun 1115-1130 M.
Raja ke-8 :
Peristiwa Sejarah
Peristiwa Sastra
Simpulan
1. Tokoh Panji dalam Sejarah Panjalu Jenggala adalah
tokoh identifikasi raja Panjalu ke-12, yakni Sri Maharaja
Kameswara yang berkuasa pada tahun 1182-1185 M.
Poerbatjaraka berpendapat bahwa tokoh Panji Inu (Hino)
Kertapati adalah raja Panjalu ke-7. Pendapat tersebut ditolak
oleh pakar sejarah yang lain, sebab raja ke-7 bernama
Bameswara, bukan Kameswara seperti tersebut di atas.
2. Identitas tokoh utama sebutan kerajaannya terbalik.
Pada bidang studi sejarah, Kameswara adalah raja Kediri yang
mengawini Dewi Sekartaji, putri kerajaan Jenggala. Sedangan
pada susastra tulis, lisan dan setengah lisan, Panji Inu Kertapati
adalah putra mahkota kerajaan Jenggala Manik, Putra raja
Lembu Amiluhur. Ia mengawini dewi Sekartaji, putri Panji
Lembu Amijaya, raja Kediri (Panjalu).
3. Panji Pahlawan Nusantara tampak pada susastra tulis,
lisan dan setengah lisan (lakon seni pertunjukan rakyat),
misalnya pada Wayang Topeng Malang Panji Inu Kertapati
Harapan
1. Cerita Panji diharapkan dicetak ulang dan difungsikan
sebagai bacaan sastra untuk siswa SD, SMP, dan SMA. Di
samping itu diperlukan bacaan ilmiah populer untuk bacaan
siswa SMA dan mahasiswa di Perguruan Tinggi.
2. Aktualisasi seni pertunjukan rakyat diharapkan dikemas
pada ragam teater modern untuk apresiasi masyarakat modern
di kampus dan masyarakat umum. Genre seni pertunjukan ini
diharapkan dapat didokumentasikan pada media elektronika
(CD, VCD, film) dan selanjutnya dipublikasikan di media
televisi.
3. Harapan tersebut dapat terwujud jika kerjasama empat
unsur/komponen masyarakat dilibatkan secara utuh.
Empat komponen yang dimaksudkan sebagai berikut:
1. Istilah fakta dan fiksi yang mengacu ke teori Robert Scholes ini
dikembangkan dari makalah karya Apsanti Djokosujatno yang berjudul
Roman Sejarah: Definisi dan Fungsinya, pada Seminar Sastra dan
Sejarah: 30-31 Oktober 1992 di Fakultas Sastra UI – Depok (Jawa
Barat).
2. Peristiwa Sastra dan Peristiwa Sejarah tersebut disarikan dari karya
Slamet Mulyana pada bukunya yang berjudul Negara Kretagama dan
Tafsir Sejarahnya, Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1979.
3. Pendapat sarjana-sarjana sastra tentang Cerita Panji disarikan dari buku
karya Liaw Jock Fang dalam bukunya yang berjudul Sejarah
Kesusastraan Melayu Klasik, 1991, Jakarta: Erlangga, 117-150.
4. Teori Rassers dan kritik para sarjana sastra terhadap teorinya dapat
dibaca pada buku Anthropology In Indonesia, karya Koentjaraningrat,
Gravenhage, 1975, 135-142.
5. Silsilah dinasti Isyana dan Raja-raja Kediri secara kronologis
merupakan rekonstruksi sejarah Kediri dengan sumber bahan karya
Soewoyo R. yang dimuat secara bersambung pada harian Suara
Indonesia (27-29 April 1982) yang berjudul Napak Tilas Sejarah, Lima
Kerajaan Pernah Berdiri di Malang, dilengkapi karya S. Wojowasito
dan kawan-kawan dalam bukunya Sejarah Kabupaten Malang, 1976.
6. Hubungan sastra dan sejarah dalam kaitannya dengan sejarah Kediri
dan zaman keemasan sastra klasik tersebut mengacu ke karya I Kuntara
Wiryamartana yang berjudul Tradisi Sastra Jawa dan Hikayat Kisah
Sejarah, pada majalah Basis, Maret 1986, XXXV, hal 97-106.
7. Karya Sastra Zaman Kediri disarikan dari buku karya Tardjan
Hadidjaja dan R.M.Ng. Poerbatjaraka yang berjudul Kepustakan Jawa,
1957, Jakarta: Jambatan.
Baried, Siti Baroroh, dkk. 1982. Panji Citra Pahlawan Nusantara. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Berg, C.C. 1928. Inleiding Tot De Studie van Het Oud Javaansch (Kidung
Sundayana), Uitgave Departement van Onderwijs & Eeredienst,
Drukkerij’De Bliksem, Surakarta.
Fang, Liauw Jock, 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta:
Erlangga.
1. Pendahuluan
MASA sebelum kedatangan orang-orang bangsa Barat di
Indonesia, kita tidak mengenal buku-buku sejarah seperti yang
kita kenali sekarang. Yang kita namai sejarah ialah apa yang
kita temui dalam bentuk serat babad, tambo, hikayat, dan
sebagainya, yang mempunyai ciri-ciri khas yang dengan tajam
dapat kita bedakan dari buku-buku sejarah yang umum kita
pakai sekarang.
Kalau sejarah merupakan catatan rangkaian peristiwa
masa lampau yang menguraikan segi-segi kehidupan
kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan, dengan segala gejala
dan gejolak sepanjang perkembangan masyarakat, bangsa, dan
negara itu, yang semuanya dapat kita tanggapi secara nalariah
obyektif, maka babad, tambo, hikayat, sekalipun mencatat atau
menuturkan rangkaian peristiwa sejarah, namun oleh
penyusunnya telah dibumbui dengan kemukjizatan dan
dituturkan secara terselubung sedemikian rupa sehingga sifat
Catatan
Lokasi Ngurawan, Purbatjaraka mengutip Panji
Jayakusuma, bahwa 'dari Mamenang ke selatan terdapat hutan
Urawan tempat Lembupangarang mendirikan keratonnya'.
Mamenang adalah ibukota kerajaan Daha (= Kediri)
dahulu. Sekarang sebuah desa dalam wilayah kecamatan Pagu,
kabupaten Kediri.
Penentuan lokasi Ngurawan ini perlu karena ada
relevansinya dengan uraian selanjutnya di belakang.
4.2. Thothokkerot
Tatkala pecah perang antara Kediri dan Hindustan karena
lamaran Raja Hindustan Kelana Sewandana kepada Dewi
Candrakirana ditolak, yang berkesudahan dengan tewasnya
Sang Kelana, maka akhirnya Panji pun dikawinkan juga
dengan Candrakirana. Perkawinan ini atas saran dan prakarsa
Dewi Kilisuci, bibi Sang Panji dan Candrakirana, untuk
mencegah bahaya perang oleh raja-raja mancanegara yang
banyak menginginkan Candrakirana.
Surengrana tidak senang dimadu. la pencemburu. Melihat
Candrakirana selalu dikerot-kerotkan giginya karena menahan
dendam dan benci. Itulah sebabnya ia mendapat julukan 'Dewi
Thothokkerot'. (Babad Kediri: 96).
Catatan
Apa hubungannya Reca Thothokkerot ini dengan
Surengrana dari Ngurawan? Patung perwujudannyakah?
Entahlah, tetapi lepas dari patung perwujudan atau bukan,
(saya cenderung menganggap sebuah patung dwarapala), yang
jelas, menurut orang Jawa, orang yang pencemburu itu disebut
butarepan (= buto arepan, bernapsu seperti buto, raksasa).
Apakah dengan demikian Surengrana karena pencemburu,
karena buto arepan, lalu diwujudi rasaksi (buto perempuan)?
Terdapat anggapan lain, bahwa butarepan berarti 'rebut
arepan' maksudnya 'berebut di muka' atau dalam bahasa asing
dapat disebut: 'ambisius'.
5. Penutup
Kalau teori yang terpaparkan di atas kita terima,
alangkah banyak hal-hal yang selama ini masih gelap sekitar
kehidupan Airlangga dan peristiwa-peristiwa politik yang
menyangkutnya akan terungkap, misalnya:
a. hubungan Airlangga-Dharmawangsa-Sriwijaya dan
sangkutannya dengan Sri Sanggramawijaya
Dharmaprasadauttunggadewi;
b. sebab-musabab kepindahan ibukota kerajaan Airlangga dan
Wwatanmas ke Kahuripan;
c. pelepasan hak sebagai putri mahkota dan waris tahta oleh
putri sulung Airlangga;
d. peranan aktif Mpu Baradhah dalam kehidupan politik
Airlangga;
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Berg, C. C.
1928 – Inleding Tot De Studie Van Het Oud Javaansch (Kidung
Sundayana), Uitgave Departement van Onderwijs & Eeredienst,
Drukkerij ‘De Bliksem’, Surakarta.
Coslings, B. M.
1938 – De Wajang Op Java En Op Bali (In het Verleden en het
Heden), J.M. Meulenhoff Uitgever, Amsterdam.
Kern, Prof. Dr. H.
Abstrak
Kalau saya memperbandingkan dan meringkas segala yang sudah saya
utamakan mengenai tokoh ber-tekes di dalam Candi Jago dan Candi
Panataran, hasilnya begini:
Candi Jago adalah contoh awal dengan tokoh ber-tekes, dan di sini
dia merepresentasikan rakyat jelata saja. Candi Panataran – dengan
arsitekturnya dan reliefnya lebih muda sedikit – mempertunjukkan tokoh
ber-tekes sebagai rakyat jelata dan sebagai Panji atau setidaknya sebagai
bangsawan. Pada dua situs tokoh ber-tekes punya kaitan yang dekat dengan
dunia manusiawi dan dapat fungsi menerima dan mengantar para
pengunjung candi. Dia membantu mempersiapkan pengunjung untuk masuk
dunia yang lebih sakral. Di Candi Jago itu jelas dalam hierarki vertikal, di
Candi Panataran jelas dalam hierarki horisontal. Ternyata tekes itu pada
zaman Majapahit termasuk pakaian orang biasa, sehingga untuk para
pengunjung candi lebih gampang mengidentifikasikan diri sendiri dengan
tokoh ber-tekes dan ceritanya. Lain dengan tokoh dalam cerita dari sastra
India seperti Ramayana dan Mahabharata, tokoh itu lebih jauh dari dunia
manusiawi dan sudah masuk dunia sakral; di situ kita ketemu hanya sedikit
gambar tekes dan hanya untuk para pengabdi dan untuk para prajurit.
Kenyataan bahwa cerita Panji – yaitu ciptaan sastra Jawa Timur
sendiri yang tidak ada kaitan dengan sastra India yang lama – dimasukkan
dalam gambar relief di candi berarti bahwa sastra yang asli Jawa Timur itu
sudah diakui untuk dimasukkan dalam konteks agama yang berasal dari
India. Di Candi Panataran Panji berfungsi sebagai intermediator antara
dunia manusiawi dan dunia agama. Pada candi yang lebih muda lagi cerita
Panji lebih sering digambarkan dan akhirnya sebagai puncaknya malah ada
suatu arca Panji dengan ukurannya dan aksesorisnya yang biasanya dipakai
untuk arca dewa (FIG).
Candi Jago
Candi Jago didirikan (FIG) oleh Raja Kertanagara untuk
pemujaan atau pendharmaan almarhum Raja Wishnuwardhana,
yaitu ayahnya. Kertanagara sendiri adalah raja terakhir dari
kerajaan Singosari; Kertanagara terkenal sebagai penganut dua
agama Hindu dan Buddha sekaligus. [Mungkin Anda akan
tanya, kok kenapa candi itu dipilih kalau masih termasuk
zaman Singosari]. Pendirian candinya pada sekitar tahun 1280,
dan penghiasan dengan relief ternyata baru selesai pada sekitar
tahun 1350. Jadi reliefnya memang dari zaman Majapahit awal.
Arsitektur candinya berteras, masuknya di sebelah barat, dan
setiap teras dihias dengan relief naratif. Dari bawah ke atas
adalah cerita Tantri, Angling Dharma, Kunjarakarna, mungkin
Sudhanakumara-Awadana, Parthayajna, Arjunawiwaha dan
Candi Panataran
Kita akan pindah ke Candi Panataran dan melihat situasi
di situ. Candi Penataran (FIG) dianggap sebagai candi pusat
untuk kerajaan Majapahit dan terdiri atas tiga halaman yang
berteras dan yang menuju ke gunung Kelud. Masuknya dari
barat dan tiga halaman itu berderet menuju ke timur. Di dalam
komplek candi tersebarnya beberapa bangunan. Kita teringat
dengan aturan pura di Bali yang juga punya tiga halaman
Abstrak
Cerita Panji amat terkenal di Jawa Timur, berkembang di Nusantara
akhirnya terkenal pula di Malaysia, Kamboja, dan Thailand. Perkembangan
diperkirakan dalam bentuk sastra lisan dan dalam bentuk wayang kulit.
Sastra Panji menarik perhatian para peneliti di bidang susastra, sejarah dan
antropologi. Tokoh Panji merupakan keteladanan di bidang budi pekerti
yang luhur. Peranan lain tokoh Panji sebagai seniman dan pengembang
kebudayaan di Nusantara. Panji memiliki wajah tampan, berwatak satria,
bersikap lemah lembut, rajin menuntut ilmu pengetahuan dan bertabiat
jujur. Panji simbol pemimpin dan negarawan yang berjiwa besar serta amat
dicintai rakyatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Baried, Siti Baroroh, (dkk). 1987. Panji: Citra Pahlawan Nusantara. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Cahyono, M. Dwi. 2009. “Keteladanan Panji dalam Pengembangan
Lingkungan”, dalam Konservasi Budaya Panji (Penyunting Henri
Nurcahyo). Surabaya: Dewan Kesenian Jawa Timur, hlm. 99-122.
Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Dongeng, Gosip, dan
Lain-lain. Jakarta: Grafiti Press
Kasdi, Aminudin. 2009. Nilai-nilai Edukatif Cerita Panji dalam Perspektif
Budaya Nusantara”, dalam Konservasi Budaya Panji (Penyunting
Henri Nurcahyo). Surabaya: Dewan Kesenian Jawa Timur, hlm.
75-98.
1. Dewi Limaran
Lakon Panji juga menjadi lakon wayang topeng Malang
dengan judul “Tumenggung Jaya Kusuma”. Saudagar Dadapan
yang sudah punya anak Dewi Tebu Ireng, memungut anak
yang bernama Dewi Limaran yang diperlakukan semena-mena.
Ketika saudagar berlayar, Tebu Ireng memesan golekan
(boneka) emas, sedang Dewi Limaran hanya memesan
kembang pundhak dengan bonggolnya.
Ketika terjadi bencana di laut, saudagar menyebut nama
Tebu Ireng, tetapi badai malah mengamuk. Setelah menyebut
nama Dewi Limaran, badai mereda. Setelah dagangan terjual
habis, saudagar segera membeli golekan emas pesanan Tebu
Ireng. Namun, ketika akan membeli kembang pundhak pesanan
Limaran, saudagar berselisih dengan Patih Tanjungpura. Maka,
terjadilah peperangan antara saudagar dengan Patih
Tanjungpura.
Perang berhasil dipisah oleh Raja Tanjungpura yang
kemudian menanyakan apa maksud saudagar. Semula saudagar
mengaku mencari kembang pundhak dengan bonggolnya itu
atas pesanan Tebu Ireng, tetapi raja tak percaya. Setelah
saudagar disiksa, ia mengaku bahwa yang pesan adalah Dewi
Limaran anak angkatnya.
Tak percaya begitu saja, Raja Tanjungpura meminta
saudagar untuk mendatangkan Dewi Limaran kepadanya.
Setelah bertemu, keduanya berpelukan karena sang Dewi
2. Genthana-genthini
Cerita ini merupakan mitologi Jawa tentang ruwatan.
Menurut mitologi Jawa, dua anak laki-laki dan perempuan
(kendhana-kendhini) adalah membawa balak (sukerta)
sehingga harus diruwat. Demikian pula dengan Genthana dan
adiknya (Genthini). Ketika Genthana pergi berlayar, burung
bakung yang besar membunuh Genthini yang ditinggalkan di
rumah. Setelah dibunuh, mayat Genthini digeletakkan di
pinggir sungai.
Betapa terkejutnya Genthana melihat adiknya sudah
tewas. Dengan diikhtiari obat dedaunan, atas kehendak Tuhan
Genthini bisa hidup kembali. Mendapat penuturan adiknya,
Genthana menjadi marah besar lalu mengambil pedang untuk
membunuh burung bakung. Ketika pedang disabetkan, burung
badhar kembali menjadi dewa dan Genthana-Genthini kembali
ke wujud aslinya sebagai Panji dan Dewi Sekartaji.
3. Dewi Kotesan
Seorang janda miskin tinggal di dusun kecil. Kehidupan
sehari-harinya di gubuk tua itu hanya dari hasil menjual daun
jati ke pasar. Suatu hari, ketika mencari sumber di air yang
bening, ada ikan kotesan minta ikut di rumahnya. Maka dibawa
pulanglah ikan kotesan itu dan disimpan dalam air di periuk.
4. Utheg-utheg Ugel
Utheg-utheg ugel, sengkelit budi bujel.
5. Keong Emas
Jalan cerita dongeng ini, mirip cerita Dewi Kotesan.
Cuma dalam cerita ini, binatang yang menjadi piaraan janda
tua dan disimpan di air dalam periuk itu berupa Keong Emas.
Cerita ini juga mengisahkan kisah pengembaraan Dewi
Candrakirana dan Raden Panji sampai kemudian bisa bertemu
lagi.
6. Timun Emas
Kisah ini pernah diangkat di layar lebar di tahun 60-an
dengan sutradara Ki Nartosabdo. Kisahnya dimulai dari Dewi
Sekartaji yang menyamar menjadi perawan desa bernama
7. Kethek Ogleng
Mengisahkan Candrakirana (Sekartaji) yang pergi
mengembara dengan nama samaran Nyi Limaran. Di tengah
hutan ia tersesat dan menumpang di rumah seorang janda tua
8. Panji Laras
Ada seorang raksasi (raksasa perempuan) yang bernama
Wadal Kardi yang menginginkan menjadi istri Panji Kertapati.
Ia lalu menyamar sebagai Putri Sekartaji dan masuk ke dalam
istana Jenggala. Oleh karena kekuatan ilmunya, Panji
menganggap dialah Sekartaji yang sebenarnya. Melihat
kejadian seperti itu, Putri Sekartaji yang sebenarnya merasa
tidak tahan dan pergi mengembara ke tengah hutan. Ketika itu
Sekartaji yang sesungguhnya sedang mengandung. Tiap hari ia
bertapa dan memohon kepada dewata agar Panji, suaminya,
terhindar dari malapetaka yang sedang mengancamnya. Selama
tinggal di hutan, ia mendapat perlindungan dari seorang petapa.
Menjelang saat melahirkan, tiba-tiba ada seekor burung elang
9. Ande-Ande Lumut
Ceritanya bersumber dari kisah seorang janda dari desa
Dadapan, namanya Mbok Randha Sembogo. Mbok Randha
memiliki empat orang puteri yang bernama Kleting Abang,
Kleting Ijo, Kleting Biru, dan Kleting Dadu (abu-abu).
Disamping empat anaknya mbok rondo juga memiliki seorang
anak angkat bernama Kleting Kuning. Anak angkat ini
diperlakukan tidak baik oleh ibu dan anak-anak Mbok Randha.
Pada suatu hari ada kesempatan untuk melamar Andhe-
Andhe Lumut yang tidak lain adalah putra dari kerajaan
Jenggala. Keempat puteri Mbok Randha datang hendak
mengajukan lamaran, sementara Kleting Kuning dilarang ikut,
apalagi mengajukan diri menjadi calon isteri Andhe-Andhe
Lumut, Kleting Kuning sangat dibenci bahkan dilumuri dengan
kotoran oleh saudara-saudaranya agar tampak kumuh dan bau
tak sedap.
Di tengah perjalanan keempat putri tersebut mendapat
rintangan yaitu tidak dapat menyeberangi kali (sungai) yang
arusnya sangat deras. Melihat peristiwa itu dijadikan
kesempatan oleh Yuyu Kangkang (kepiting raksasa) untuk
nemawarkan jasa menyeberangkan keempat puteri yang
memang membutuhkan jasa dari Yuyu Kangkang. Yuyu
Abstrak
“Andhe-Andhe Lumut”, salah satu cerita Panji versi Jawa, mencerminkan
dominasi laki-laki terhadap perempuan Jawa. Dalam cerita Panji versi Jawa
ini tokoh laki-laki sangat menang dan sangat dominan. Pesan yang
terkandung dalam cerita ini adalah pesan patriarkhi, di mana laki-laki sangat
mendominasi perempuan dan tubuhnya. Laki-laki adalah sosok yang
menguasai, dan perempuan adalah sosok yang dikuasai. Laki-laki adalah
sosok yang menikmati, dan perempuan adalah sosok yang dinikmati.
Dalam cerita Panji versi Using, “Dewi Sri Tanjung”, yang menjadi wira
bukan laki-laki, tetapi perempuan. Tokoh laki-laki berada dalam posisi yang
kalah dan salah. Raja Sulahkrama adalah sosok yang tidak tahu diri. Ia ingin
merebut isteri seorang patih yang berbakti kepadanya. Cintanya yang
ditolak membuat ia gelap mata sehingga menyebabkan orang lain celaka.
Patih Sidapaksa/Sidapeksa yang gagah berani dan sakti ternyata bukan
sosok yang bermoral kuat dan arif. Ia lebih percaya kepada Raja daripada
kepada orang yang mencintainya. Akibatnya ia kehilangan semua yang
dimilikinya: cinta, pendamping hidup, dan dirinya sendiri.
Orang Banyuwangi menyebut dirinya sebagai orang “Using”, yang berarti
“orang yang berkata tidak”. Salah satu pesan budaya yang terkandung
dalam kata Using “Tidak” adalah tidak mau menjadi Jawa. Menjadi Using
juga berarti tidak mau menjadi Bali, meskipun dalam tampilan budayanya
yang disebut Using merupakan sentuh budaya antara Jawa dan Bali.
mBok Randha:
Putraku si Andhe Andhe Lumut
Tumuruna ana putri kang unggah-unggahi
Putrine, Ngger, kang ayu rupane
Kleting Abang iku kang dadi asmane
Andhe-Andhe Lumut:
Adhuh, Ibu, kula dereng purun
Adhuh, Ibu kula mboten mudhun
Nadyan ayu, sisane si Yuyu Kangkang
mBok Randha:
Putraku si Andhe Andhe Lumut
Temuruna ana putri kang unggah-unggahi
Putrine, Ngger, kang ayu rupane
Kleting Ijo iku kang dadi asmane
Andhe-Andhe Lumut:
Adhuh, Ibu, Ibu sampun meksa
Kang putra taksih dereng kersa
Amargi putra taksih nandang asmara
Terjemahan
Andhe-Andhe Lumut, putraku
Kemarilah, ada putri yang melamarmu
Putri ini cantik jelita
Kleting Abang adalah namanya
Andhe-Andhe Lumut:
Tidak ibu, saya tidak mau
Tidak ibu, saya tidak ingin bertemu
Meskipun cantik, ia bekas kekasih Yuyu Kangkang
Andhe-Andhe Lumut:
Adhuh, Ibu, kula inggih Purun
Kang putra inggih badhe mudhun
Nadyan ala punika kang
putra suwun
Terjemahan:
Ibunda, saya menerima lamarannya
Saya akan datang menemuinya
Meski tidak jelita, inilah perempuan yang saya minta
SUMBER PUSTAKA
Abstrak:
Menghadirkan kembali cerita Panji dalam konteks sosio-kultural
masyarakat yang berubah dan terbuka membutuhkan strategi kebudayaan
yang relevan serta melibatkan interelasi kekuasaan tiga aktor dominan yakni
negara, pasar, dan masyarakat sipil. Demikian juga, menempatkan Panji
sebagai identitas budaya selalu terlibat dalam pergumulan di antara, di satu
pihak, kebutuhan untuk menghasilkan identitas yang unik dan spesifik, dan
di pihak lain, tuntutan untuk merespon pelabelan dan stigma yang
diberikan oleh individu atau kelompok lain. Identitas dibentuk oleh
berbagai ragam elemen yang menghasilkan formasi identitas yang dinamis.
Dengan demikian, terdapat ruang yang terbuka bagi individu maupun aktor
sosial untuk mengkonstruksi dan atau merekonstruksi identitasnya sesuai
dengan konteks di mana identitas tersebut dipresentasikan.
A. Pendahuluan
Membahas cerita Panji dalam berbagai perspektif dan
kertas kerja sebenarnya merupakan upaya restorasi dari suatu
kultur yang pernah jaya pada masa lampau. Apakah kejayaan
D. Problema Kontinuitas
Persoalan yang dihadapi sekarang (seperti yang
dikemukakan Kleden, 1987:161) adalah bagaimana
menghubungkan kebudayaan nasional dengan kebudayaan
daerah, bagaimana mengembangkan relasi dan sikap
kebudayaan nasional terhadap kebudayaan asing? Gagasan Ki
Hadjar Dewantara tentang asas “tri-kon” yang terdiri atas
paham: konsentrisitas, kontinuitas, dan konvergensi barangkali
dapat memberikan jawaban. Konsentrisitas menekankan
E. Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
Abstrak:
Ande-ande Lumut merupakan salah satu bentuk cerita rakyat yang yang
digunakan oleh kelompok dominan untuk menginternalisasi ideologi agar
diterima sebagai suatu kebenaran. Aktivitas kewacanaan cerita Ande-ande
Lumut disikapi sebagai bentuk dinamis praktik internalisasi ideologi jender
yang membentuk habitus jender. Ideologi jender yang terepresentasi dalam
wacana Ande-ande Lumut adalah ideologi patriarki dan ideologi kesetaraan.
Internalisasi idelogi jender dalam wacana Ande-ande Lumut dilakukan
penutur melalui strategi penghalusan sehingga budaya patriarki bisa
diterima sebagai suatu kebenaran.
Ideologi Patriarki
Sebagai wacana doxa, wacana Ande-ande Lumut
merepresentasikan ideologi patriarki. Dalam wacana ini, laki-
laki ditempatkan sebagai “diri” yang harus bertanggung jawab
terhadap perempuan. Bahasa dalam wacana Ande-ande Lumut
digunakan untuk mengkonstruk habitus masyarakat agar
menerima ideologi patriarki sebagai suatu kebenaran. Laki-laki
ditempatkan dalam posisi dominan dengan segala otoritasnya
dan perempuan dalam kelompok subordinat tanpa otoritas.
Laki-laki ditempatkan sebagai diri yang ideal dan sempurna,
karena memiliki sifat luhur, seperti berani, pemurah, dan setia
sebagaimana dapat dilihat pada data berikut.
Ibu:
Piye to ngger kowe kuwi
sing ayu-ayu ora gelem
malah sing ala kok ditampa
ki piye to ngger
Ideologi Kesetaraan
Wacana Ande-ande Lumut merepresentasikan ideologi
kesetaraan yang menempatkan laki-laki dan perempuan dalam
posisi setara. Dalam wacana ini, perempuan diberi kesempatan
yang setara dengan laki-laki. Sebagaimana laki-laki,
perempuan juga diberi kesempatan untuk mengungkapkan
dirinya sebagaimana dilihat pada data berikut.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan
sebagai berikut:
Saran
Berdasarkan kajian ini diharapkan agar masyarakat
mampu memanfaatkan cerita Ande-ande Lumut untuk
meningkatkan pola pikir multikultural masyarakat. Melalui
wacana Ande-ande Lumut diinternalisasi budaya komunikasi
multiarah dan dialogis sehingga memperbesar peluang
masyarakat untuk mengaktualkan diri masing-masing. Melalui
cara tersebut diharapkan terjadi relasi positif antara laki-laki
dan perempuan.
DAFTAR RUJUKAN
Berger, Peter L., Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan:
Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Bourdieu, Pierre. 1994. Language and Symbolic Power. Cambridge,
Massachusetts: Harvard University Press.
Brooks, A. 2005. Posfeminisme & Cultural Studies: Sebuah Pengantar
Paling Komprehensif. Diterjemahkan oleh s. Kunto Adi Wibowo.
Yogyakarta: Jalasutra.
Coates, J. 1991. Women, Men, and Language: A Sociolinguistic account of
Sex Differences in Language. London: Longman.
Fairclough, N. 1989. Language and Power. New York: Longman.
Fairclough, N. 1992. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity
Press.
Oleh
Drs. M. Dwi Cahyono, M.Hum
(Universitas Negeri Malang)
Abstrak:
Tari dan sendratari topeng telah meniti perjalanan panjang sejarahnya,
setidaknya telah ada semenjak pemerintahan raja Balitung (X Masehi).
Mulanya sendratari berproperti topeng membawakan cerita asing
Ramayana dan Mahabharata asal India. Dalam perkembangannya, cerita-
cerita lokal Jawa juga dijadikan sebagai lakon, yang diantaranya adalah
cerita Panji. Javanisasi dalam berbagai aspek budaya sejak masa kerajaan
Singhasari dan kian menguat pada masa keemasan Majapahit, turut melatari
dijadikannya cerita Panji sebagai lakon sendra-tari topeng, khususnya
dalam gambuh dan raket lalangkaran. Sendratari topeng berlakon Panji
merupakan perwujudan dari transformasi cerita Panji, dari susastra lisan ke
susastra literal,dan kemudian diekspresikan ke media lain dalam bentuk
seni pertunjukan. Popularitasnya di masyarakat Jawa menjadikannya
banyak diminati, bukan hanya oleh warga budaya di luar keraton, namun
digemari pula oleh warga keraton. Sendratari topeng berlakon Panji
dipentaskan dalam sejumlah hajat untuk berbagai kepentingan, sehingga
kala itu telah terdapat beragam fungsi yang diemban atas panyajiannya,
baik fungsi rekreatif, ekonomis, religis maupun politis. Untuk bisa
memenuhi ragam fungsi itu, maka sejumlah komponen seni pertunjukan,
seperti pemain, waditra dan musisi pengiring, pentas, lakon, penonton dan
A. Prolog
Untuk kali ketiga semenjak tahun 2008, “Budaya Panji”
diusung sebagai tema sentral dalam seminar bertaraf
internasional di Jawa Timur. Seminar-seminar tersebut adalah
salah sebuah komponen integral untuk serangkaian upaya
untuk mengingatkan kembali (rememory) pada khasanah
budaya Panji, yang semenjak pasca kemerdekaan RI perlahan
kian dilupa orang, tidak terkecuali oleh orang Jawa sendiri
yang sejatinya justru adalah pemangku utamanya. Lewat forum
seminar ini, dan simultan dengan itu dipentaskan ragam seni
pertunjukan berlakon Panji, studi ekskursi ke situs arkeologi
yang memuat jejak budaya Panji, penerbitan buku tentang
aspek-aspek budaya Panji dan upaya-upaya lain yang sejalan,
kesemuanya itu adalah wujud ikhtiar dari manusia masa kini
untuk tak sekedar mengingatnya kembali.
Lebih dari itu dimaksudkan untuk merevitalisasikan dan
mentransformasikannya ke dalam konteks budaya masa kini
dan masa datang guna memetik makna dan teladan
daripadanya. Berbagai aktivitas budaya yang berpayung
“Festival Budaya Panji” itu apabila secara intensif digarap dari
tahun ke tahun, niscaya akan menjadikan Panji dan berbagai
aspeknya yang menyejarah di Jawa bahkan berpengaruh luas di
7. Penyelenggara Pementasan
Terlaksananya pementasan seni pertunjukan sangat
bergantung kepada adanya penyelenggara pementasan, yang
antara lain adalah seseorang, sekelompok orang atau suatu
pihak yang bertindak sebagai penanggap. Dalam rangkaian
acara manusuk sima, pementasan tari dan sendratari topeng
dimungkinkan berkat adanya sandangan dana dari warga desa
bersangkutan. Adapun pementasan seni pertunjukan dalam
kerangka perhelatan kenegaraan di lingkungan keraton
terselenggara berkat topangan dana dari pihak kerajaan.
Penanggap merupakan unsur penting bagi terselenggara
pementasan tari dan sendratari topeng. Namun demikian,
dalam kasus tertentu suatu pementasan tari topeng bisa saja
muncul atas inisiatif dari pemainnya sendiri. Gambaran
demikian dijumpai dalam Kresnayana (XXXI.9), bahwa malam
1. Fungsi Rekreatif
3. Fungsi Religis
Pementasan sendratari topeng ada juga yang
dilangsungkan dalam kaitan dengan upacara religis. Salah
sebuah peristiwa religis yang disemarakkan dengan
pementasan sendratari topeng adalah ritus manusuk sima, yaitu
upacara penetapan suatu desa atau sebidang tanah sebagai
perdikan (sima, swatantra). Salah satu acara dalam rangkaian
acara pada hajatan desa ini, tepatnya seusai ritual manusuk
sima, adalah pementasan satu atau lebih seni pertunjukan.
Diantaranya adalah tari topeng (tapukan, atapukan). Perihal ini
disebut dalam prasasti Wimalasrama dari masa pemerintahan
raja Balitung, Himad (930 M) dan Alasantan (939 M). Varian
dari sendratari topeng yang disebut “raket” juga dipentaskan
dalam rangkaian acara manusuk sima, seperti disebut dalam
prasasti Dinoyo A dari masa pemerintahan Pu Sindok,
4. Fungsi Politis
Bagi penguasa, memberikan hiburan kepada rakyat
adalah salah satu bentuk dharmma dari raja, yang pada
gilirannya dapat menjadi tali pengikat kesetiaan rayat terhadap
penguasa bersangkutan. Terkait dengan itu, pada perhelatan
kenegaraan yang jatuh bersamaan dengan hari pernikahan
keluarga raja, upacara tahunan lepas panen, kremasi jasad raja
dan keluarganya, upacara penobatan, dsb., penguasa
menyuguhkan aneka seni pertunjukan di lingkungan keraton.
Bahkan dalam acara itu, raja dan para bangsawan acap tampil
sebagai penyaji seni pertunjukan.
Hal demikian dicontohkan oleh Hayam Wuruk, yang
menurut keterangan Nagarakretagama (LXVI.4, XCI.3, XCI.6-
7) maupun Pararaton (VIII) tampil di pentas sebagai seniman,
tidak terkecuali dalam sendratari topeng (raket) berlakon Panji.
Dengan cara demikian maka Hayam Wuruk berkomunikasi
secara langsung dengan rakyatnya dan sekaligus mencitrakan
F. Epilog
KEPUSATAKAAN
Adiwimarta, Sri Sukesi (Ketua), 1983, Kamus Bahasa Indonesia. Jilid II.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Depdikbud.
Bandem, I Made dan Frederik deBoer, 1978, “Gambuh: A Classical
Balinese Drama”. Asia Music 10 (1), hal. 115-127.
Berg, C.C., 1927, Kidung Sunda. Inleiding, Teks, Vertaling en
Antikeningen. BKI 63. Hal. 1-61.
--------------, 1930, “Ranggalawe, Middejjavaasch Historische Roman. BJ
1”, Weltevreden.
-------------, 1931, Kidung Harsa-Wijaya. Middle-Javaansche Historische
Roman. BKI 88: 1-283.
Brandes, J.L., 1899, “Een Jayapatra of Acte van Eene Recterlijke Uitspraak
van Caka 849”, T.B.G. XXXII.
----------------, 1920, Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van
Tumapel en van Madjapahit. Uitgegeven en Toegelicht. Tweede
druk bewerk door N.J. Kroom. VBG 62.
Cahyono, M. Dwi, 2000, Rakitan dan Fungsi Seni Pertunjukan pada
Masyarakat Jawa Kuna Abad ke-10 hingga 16 Masehi. Tesis
Magister Arkeologi pada Universitas Indonesia. Jakarta.
Gonda, J,. 1932, Oud-Javaansche Brahmanda-purana, vertaal door -, BJ 6.
Bandoeng.
Hazeau, G.A.J., 1897, Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Toneel.
Disertasi. Leiden: Rijks Universiteit.
Holt, Claire, 1967, Art in Indonesia, Continuites and Change. New
York: Ithaca, Cornel University.
Unsur-Unsur Autochton
Dalam Cerita Panji Kudanarawangsa
Karya R.Ng.Ranggawarsita
Oleh
Anung Tedjowirawan
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Pengantar
Panji (Raden Sinom, Raden Putra Kasatriyan, Ki Putra
Marabangun, Ki Panji Putra, Raden Inukertapati, Ki
Wanengpati, Raden Kuda Rawisrengga, Narpasunu, Prabu
Atmaja) adalah putra raja Jenggala yang kemudian diangkat
sebagai pahlawan kebudayaan (culture hero) di Asia Tenggara.
Nama panji sendiri berarti 'gelar bangsawan, nama pangkat
dalam ketentaraan, nama pangkat setingkat wedana'
Asmaradana
1. Kadéyan sadaya cawis, kothak lawan gadĕbogan, wus tinata
gamĕlané, cĕcĕprèt lan sulingira, gambang lan calapila, rĕbabé lawan
calĕmpung, gĕndèr lawan gambang gangsa.
2. Pĕpak sasmitané sami, calĕmpung saron lan kĕndhang, kĕthuk
kĕnong lan kongsiné, rongsèng kalawan sanépa, sapujan lawan kĕmanak,
pĕpak ponang ricik agung, kadéyan sami gamĕlan.
3. Sira Radèn Wukirsari, anabuh salukat mĕmbat, Ki Punta anabuh
ĕgong, Ki Kértala nabuh kĕndhang, Ki Pamadé agambang, Ki Prasanta
anyalĕmpung, Ki Sadulumur angrĕbab.
15. Sakathahé kang aningali, sadaya sami kasmaran, aningali
pamayangé, maring satriya Ngaldaka, sĕmbada polahira, kathah kang
dulu, lir gĕrah wong kasinoman.
Sinom
19. Utamaku lamun wayang, patĕmon putra lan putri, nora nĕrajang
kĕkĕran, wignyaningsun yĕn aringgit, ing tata lawan titi, pan nora wĕlèh
ing sĕmu, wĕruh ing subasita, ing gunaningsun, sun aringgit, waonana
wawayangku kasatriyan.
Simpulan
Cerita Panji pada mulanya adalah cerita rakyat yang
muncul di Jawa Timur dan kemudian tumbuh berkembang ke
seluruh Nusantara bahkan menyebar sampai ke Melayu, Siam,
dan Kamboja.
Oleh
Arif Mustofa
ABSTRAK
Salah satu ragam wayang, yaitu wayang Beber. Di Indonesia, tidak banyak
bisa dijumpai Wayang Beber. Beberapa wayang Beber yang penulis ketahui
yaitu wayang Beber dari Cilacap, Wayang Beber dari Surakarta, Wayang
Beber dari Wonosari, dan Wayang Beber dari Pacitan tidak semuanya
masih dipertunjukkan. Hingga saat ini, wayang Beber yang masih sering
dipertunjukkan yaitu Wayang Beber dari Pacitan. Lakon yang dibawakan
wayang Beber Pacitan yaitu “Kawine Dewi Sekartaji. Pola Alur cerita
menunjukkan bahwa wayang beber Pacitan merupakan salah satu kisah
Panji. Pola tersebut dapat disebut sebagai pola alur Bulan Sabit, seperti
yang disampaikan Purbatjaraka (1968). Yaitu berawal dari keadaan tenang
(gelap), kemudian akan mengalami konflik secara perlahan (sabit, hingga
purnama), penyelesaian konflik (purnama meredup), dan ending cerita
(kembali ke gelap).
D. Penutup
Wayang beber Pacitan merupakan pepunden bagi
masyarakat desa Gedompol Kabupaten Pacitan. Karena
dianggap sebagai barang yang dikeramatkan, maka wayang ini
akan terus dipertunjukkan karena dianggap membawa berkah.
Hal ini merupakan salah satu penyebab wayang Beber Pacitan
tidak ditinggalkan masyarakat penikmatnya.
Di sisi lain, tidak semua orang dapat menjadi dalang
wayang Beber. Sebab, Wayang Beber Pacitan diwariskan
secara turun temurun, yaitu diturunkan kepada keturunan laki-
laki. Artinya, jika dalang tidak memiliki anak laki-laki, maka
ia harus menurunkannya kepada anak laki-laki dari saudara
laki-laki atau menunggu cucu laki-laki. Selain itu, terdapat
keyakinan bahwa dalam satu periode hanya terdapat satu
SUMBER PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2003. 2003. Mistik Kejawen; Sinkretisme,
Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Jogjakarta:
Narasai
2005. Tradisi Lisan Jawa. Yogyakarta: Narasi
Guridno, Pandam. 1988. Unsur-Unsur Pertunjukan Wayang Purwa.
Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan. Pengantar Study
Sastra Lisan. Surabaya: HISKI
Hazeu, G.A.J. 1979. Wayang Lan Gegepokanipun Ing Tanah Jawi. Jakarta:
Gramedia Pustaka
Kern, R.A. 1909. De Wajang Beber Van Patjitan. Alih Bahasa Bagyo
Suharyono (1997). Surakarta: Tidak diterbitkan
Purbatjaraka. 1968. Carita Panji dalam Perbandingan. Jakarta: Gunung
Agung
Rochimdakas. 1994. Perjalanan Wayang Beber (makalah). Surabaya : Tidak
diterbitkan
Kata Pengantar
Editor
Henri Supriyanto
Himpunan Makalah
Editor
Henri Supriyanto
BAYUMEDIA PUBLISHING
bekerjasama dengan
Malang, 2012
E-mail : Bayumedia@telkom.net
ISBN : …………………………………