Anda di halaman 1dari 334

CERITA PANJI

Sumber Kajian yang Masih Menarik


Abdul Rahman Kaeh
Universiti Malaya

Abstrak
Naskah-naskah Panji Jawa, seperti juga naskah Panji Melayu sedikit sekali
dikaji atau diterbitkan. Hingga kini terdapat kurang dari sepuluh buah yang
dikaji, atau diterbitkan. Di antaranya Panji Jayeng Tilam (BP, 1932), Panji
Narawangsa (BP, 1936), Panji Wulung (Bataviacentrum, 1931), Serat Panji
(1907), Serat Panji Dadap (1932), Wangbang Wideya (The Hague, 1971),
dan Panji Raras I dan II (DPK, 1978).
Apakah makna Panji? Robson memberi komentar sebagai berikut.
“Panji is derivation from Panji, a flag or banner, meaning ‘having
(as) a flag, that is, as a kind of title, the one who has such-and-such in his
flag. The title Panji is found, for instance, in Majapahit period, and
especially in the inscription of the Kediri period” (Cf. Robson, 1971: 13).
Panji yang berasal dari bahasa Jawa terkenal di istana Raja-raja Jawa
Timur, dan selanjutnya berkembang bebas di Bali. Perkembangan cerita
Panji sampai di Malaysia. Cerita Panji dalam bentuk sastra lisan terdiri dari
Lalat Hijau dan Panji Angreni, sering dimainkan dalam pertunjukan wayang
kulit di daerah Kelantan (Cf. Harun Mat Piah, 1980: 28). Cerita Panji juga
berkembang di Siam dan Kamboja.
Cerita Panji amat populer, sebab kerajaan Majapahit dapat
menyalurkan propaganda lewat cerita Panji, dengan demikian amat
memperlancar popularitasnya. Faktor internal, cerita Panji amat terkenal
karena mengekspresikan perasaan manusia yang hampir menimpa seluruh
individu manusia, misalnya hal percintaan, kekecewaan, kerinduan, dan iri
hati, tampak menguasai seluruh isi cerita Panji.
Sari 2 (1) (Januari, 1984) 3 – 24

1 – Panji Pahlawan Nusantara


Penelitian Terdahulu Tentang Cerita Panji
Cerita Panji yang ternyata amat luas daerah
jangkauannya dengan jumlah naskah yang cukup banyak kita
jumpai, memang sudah lama dikenali oleh para pengkaji
bahasa Jawa. Di antara mereka yang mula-mula menyebut
cerita ini ialah Raffles dan Hageman (Cf. Raffles, 1830: 87;
Hageman, 1840: 617), sedangkan Dr. Cohen Stuart dianggap
pula sebagai orang yang pertama menganalisa cerita ini dari
sudut kajian sastera, yaitu ketika beliau meninjau cerita
Jayalengkara, salah sebuah cerita Panji yang dimuatnya dalam
majalah BKI pada tahun 1853 (Cf. Cohen Stuart, 1853: 44;
Poerbatjaraka, 1968: XVII).
Naskah Panji yang cukup banyak itu pernah pula
diterbitkan. Roorda pertama kalinya telah menerbitkan teks
berjudul Raden Panji, tetapi penerbitannya itu digandengkan
pula dengan dua buah cerita wayang berjudul Palasara dan
Pandu. Kemudian edisi Roorda ini telah diterbitkan pula oleh
Dr. Gunning pada tahun 1896 (Cf. Gunning, 1896;
Poerbatjaraka, 1968: XVII). Sejak itu, cerita Panji mulai
mendapat perhatian yang terus-menerus dari kalangan para
peneliti sastera (Cf. Poerbatjaraka, 1968: XVII) hingga kini,
terdapat berbagai corak pendekatan dari pelbagai aspek.
Mereka telah melahirkan beberapa kajian yang berbentuk
makalah ilmiah, semi-ilmiah, juga beberapa buah tesis sarjana
atau disertasi hedoktoran. Di samping itu, pihak penerbit ikut
memberikan sumbangan dengan menerbitkan beberapa buah

2 – Panji Pahlawan Nusantara


naskah, baik dalam bahasa Jawa, maupun bahasa Indonesia
atau Malaysia.
Kalau dilihat dari segi jumlah naskah yang telah
diterbitkan ternyata kurang memadai, terutama sekali jika kita
bandingkan dengan jumlah naskah-naskah yang ada. Hingga
kini terdapat hanya beberapa buah naskah Panji Melayu yang
telah diterbitkan atau yang telah dijadikan bahan kajian,
kemudian diterbitkan. Diantaranya, Syair Ken Tambuhan
(Leiden, 1856, 1886), Hikayat Andaken Penurat (The Hague,
1962), Hikayat Panji Semirang dan Hikayat Ken Tabuhan
(DBP, 1964), Hikayat Cekel Waningpati (DBP, 1965), Panji
Semirang (BP, 1965), Syair Ken Tabuhan (OUP, 1966),
Hikayat Panji Semirang (PA, 1970), Candra Kirana (PJ, 1972),
dan Hikayat Misa Taman Jayeng Kusuma (DBP, 1977).
Naskah Hikayat Cekel Waningpati, misalnya telah
digunakan oleh Rassers sebagai bahan disertasi. Dalam
disertasi yang berjudul De Panji Roman, Rassers telah berhasil
meletakkan garis-garis besar untuk menjabarkan ke seluruh inti
cerita Panji. Kajian Rassers ini dianggap sebagai usaha pertama
penafsiran teks, bukan atas dasar pendekatan perbandingan
ataupun pendekatan sejarah, tidak hanya sekedar filologis,
tetapi atas dasar strukturnya. Hingga kini beliau dapat kita
anggap sebagai orang yang mula-mula menerapkan metode
struktural (Cf. Teeuw, 1973: 220). Namun demikian, tidak
semua orang dapat menerima kajian Rassers ini. Sebagian
menolak karena kajian beliau ini semata-mata dilakukan bagi
kepentingan antropologi. Sedangkan ahli antropologi sendiri

3 – Panji Pahlawan Nusantara


tidak sependapat memberikan pujian. Misalnya Hildred Geertz
telah mengkritik Rassers karena terlalu terpukau oleh karangan
Durkheim dan Mauss yang berjudul Primitive Classification.
Menurut Geertz, Rassers telah mengambil data-data yang ada
dalam sastera Jawa, terutama unsur-unsur mitologi dan
kepercayaan kuno, kemudian ia menyimpulkan adanya
totemisme dalam masyarakat Jawa Purba. Mitos totemisme ini,
dalam perkembangannya kemudian bertukar menjadi mitos
bulan dan matahari. Hal ini menurut Geertz, telah dianggap
oleh Rassers sebagai inti tertua dari cerita Panji (Cf. Hildred
Geertz, 1964: 284-298; Rassers, 1922:369).
Sebaliknya, Locher telah memberikan komentar
mengenai hasil kajian Rassers ini dengan mengatakan bahwa
Rassers yakin apa yang dipandangnya sebagai struktur dasar
cerita Panji, bukan semata-mata mengenai kebudayaan Jawa
atau Jawa-Hindu, tetapi hal tersebut mempunyai arti yang luas
sekali. Menurut Locher, Rassers telah mengadakan kajian
pendahuluan mengenai salah satu karangan Shakespeare, yang
mengandung persamaan yang kena dan menarik sekali dengan
yang dijumpai dalam kajian mengenai cerita Panji (Cf. Locher,
1974: 11-12). Rassers juga telah mengkonstatir bahwa teks-
teks yang oleh peneliti sebelumnya dikatakan sebagai saduran
rusak dari cerita-cerita asli India ternyata tidak benar. Teks-
teks itu dilihatnya mengandung penyimpangan. Oleh karena
itu, ia mengarahkan penelitian ilmiah terhadap teks-teks
tersebut kepada kajian struktur cerita serta fungsinya dalam
masyarakat yang melahirkannya (Cf. Sulastin Sutrisno, 1979:

4 – Panji Pahlawan Nusantara


11). Karya Rassers yang amat berharga ini terbatas sekali
pembacanya kerana penyampaiannya dibuat dalam bahasa
Belanda (Cf. Rassers, 1922; Ras, 1973: 411).
Naskah-naskah Panji Jawa, seperti juga naskah Panji
Melayu, sedikit sekali dikaji atau diterbitkan. Hingga kini
terdapat kurang dari sepuluh buah yang telah dikaji atau
diterbitkan. Diantaranya: Panji Jayengtilem (BP, 1932), Panji
Narawangsa (BP, 1936), Panji Wulung (Bataviacentrum,
1931), Serat Panji (1907), Serat Panji Dadap (1932),
Wangbang Wideya (The Hague, 1971), dan Panji Raras I dan
II (DPK, 1978).
Semua naskah tersebut diterbitkan dalam bahasa Jawa
dengan menggunakan huruf Jawa, kecuali Wangbang Wideya
dan Panji Jayengtilem. Robson telah mengedit dan
menerbitkan naskhah Wangbang Wideya, yaitu hasil dari
kajian untuk disertasi Ph. D. nya (Cf. Robson, 1971).
Penerbitan naskah tersebut dianggap sebagai “….the first Panji
Kidung to appear in print” (Cf. Zoetmulder, 1974: 427). Beliau
telah memaparkan kepada kita sebuah teks sastra Jawa yang
berasal dari zaman Jawa-Tengahan, dan yang dianggap sangat
terbatas sekali pembacanya. Dalam disertasinya, Robson telah
menolak gagasan para peneliti sebelumnya mengenai
pengertian “siklus” dalam cerita Panji. Ia juga menolak
pandangan yang bersifat etnologis dan historis yang
dikemukakan oleh Rassers atau Poerbatjaraka. Kemudian
beliau menegaskan bahawa pendekatan yang bersifat

5 – Panji Pahlawan Nusantara


kesusastraan adalah lebih sesuai digunakan untuk meneliti
cerita Panji karena menurut beliau:
The works called “Panji Story” are in the form in which
they lie before us today plaintly intended as belles-letters and
can therefore validly be examined from this angle (Cf. Robson,
1971: 14).
Pada tempat-tempat tertentu, pandangan dari Robson
memang dapat kita terima, terutama pendekatan yang harus
digunakan untuk menangani cerita Panji ini. Cerita Panji
tergolong ke dalam kategori roman yang lebih bersifat
imaginatif. Karena itu, ia dapat pula dianggap sebagai hasil
sastra. Sebagai hasil karya sastra, ia perlu diteliti dengan
pendekatan sastra. Namun demikian, pendekatan dari sudut
lain, misalnya sejarah dan antropologi dapat juga kita gunakan
sebagai bahan bantu. Dengan demikian, kita dapat sampai
kepada tujuan terakhir, iaitu meletakkan karya sastra ini pada
posisinya yang benar. Barangkali inilah yang dimaksudkan
oleh Robson.
Naskah Panji Jayengtilem telah dijadikan pula sebagai
bahan kajian oleh Noriah @ Jariah Mohamed dalam rangka
memperoleh ijazah M.A.nya. Naskah ini telah ditransliterasi
dari huruf Jawa ke dalam huruf Latin. Disamping memberikan
sinopsis cerita, Noriah telah mengupas keseluruhan isi teks ini
dengan menggunakan pendekatan kesusastraan. Dalam satu
kesimpulan yang dikemukakan, Noriah mengatakan bahawa
sampai sekarang pengarang-pengarang modern masih gemar

6 – Panji Pahlawan Nusantara


memasukkan tema atau alur cerita yang bersifat Panji ke dalam
karya-karya mereka (Cf. Noriah, 1979: 500).
Mereka yang kurang menguasai bahasa Jawa pasti akan
mengalami kesulitan untuk menikmati cerita Panji Jayengtilem
ini secara terperinci. Noriah tidak memberikan terjemahan
lengkap bahasa Indonesianya, tidak seperti yang dibuat oleh
Robson yang menerbitkan Wangbang Wideya lengkap dengan
terjemahan bahasa Inggrisnya (Cf. Noriah, 1979; Robson,
1971).
Di samping itu, Poerbatjaraka telah menghasilkan
karyanya mengenai cerita Panji pada tahun 1940 (Cf.
Poerbatjaraka, 1940). Beliau telah memberi banyak
pengetahuan kepada kita mengenai latar belakang dan sejarah
perkembangan cerita Panji dengan membuat satu perbandingan
yang menyeluruh antara delapan buah naskah-naskah Panji
yang dipilihnya. Poerbatjaraka telah dapat menunjukkan sifat-
sifat Panji yang babak-babak penting, penentuan tercipta dan
penyebarannya ke luar Jawa (Cf. Poerbatjaraka, 1968: 370-
411).
Dalam bukunya Kalangwan, Zoetmulder telah
membicarakan cerita Panji di bawah judul Kidung Literature
(Cf. Zoetmulder, 1974: 427). Menurut beliau, sastra kidung,
khususnya kidung yang bersifat sejarah mengambil bahan-
bahan dari sejarah yang menyangkut kerajaan Majapahit,
meliputi seluruh peristiwa bermula dari kejatuhan Singhasari
hingga ke zaman pemerintahan Hayam Wuruk (Cf.
Zoetmulder, 1974: 409). Selanjutnya beliau juga menyatakan

7 – Panji Pahlawan Nusantara


bahwa cerita Panji ini telah menggunakan bentuk Kidung
dengan bahasa Jawa-Tengahan sebagai medium
penyampaiannya (Cf. Zoetmulder, 1974: 427).
Sebenarnya masih ada beberapa peneliti yang telah
banyak mencurahkan tenaga dan buah fikiran mereka terhadap
cerita Panji ini. Diantaranya, A. Teeuw telah mengedit Syair
Ken Tambuhan pada tahun 1966. Karya beliau ini dapat
dianggap cukup penting, malah dapat dijadikan sebagai model
bagi para pengkaji muda yang ingin menjadikan bidang sastra-
filologi pilihan utama mereka (Cf. Teeuw, 1966).
Kemudian pada tahun 1972, Harun Mat Piah telah
melahirkan sebuah tesis M.A-nya berjudul “Cerita-cerita Panji
Melayu”, diikuti pula oleh J.J. Ras yang banyak sekali menulis
makalah-makalah ilmiah mengenai cerita Panji ini. Salah
sebuah yang terpenting ialah mengenai penilaiannya terhadap
karya besar Rassers De Panji Roman; yang ditulisnya dalam
tahun 1973. Juga Abdul Rahman Kaeh, dalam tahun 1974,
telah memilih Hikayat Misa Taman Jayeng Kusuma sebagai
objek penelitian untuk memperoleh ijazah M.A-nya.
Selanjutnya, kita dapati juga beberapa orang penulis
veteran, yang jauh sebelumnya, telah menyinggung dan
mambahas cerita Panji ini dari berbagai aspek. Mereka terdiri
dari C. Berg (1928, 1930, 1938, 1954), Brandes (1888),
Stutterheim (1935), Hazeu (1897), Poensen (1873), dan lain-
lain. Semua pendapat mereka tidak kita bicarakan secara
terpisah, dan dimana perlu dalam pembicaran selanjutnya akan
kita singgung.

8 – Panji Pahlawan Nusantara


Hingga kini, kita telah mengetahui bahwa cerita Panji
telah dibicarakan dari berbagai sudut. Semakin banyak
pendapat yang dilontarkan, semakin beraneka rupa pendapat
yang disimpulkan. Namun demikian, kita mendapat kesan
bahwa masih banyak diantara hal-hal yang dikemukakan itu
bertentangan sifatnya. Apakah memang demikian keadaannya
atau apakah perlu kita cari kata sepakat? Untuk ini ada baiknya
kita paparkan beberapa aspek yang telah pernah dibicarakan,
sambil di sana-sini kita mencari arah penyatuannya. Aspek
pertama kita mulai dengan:

Apa yang Dimaksudkan dengan Kata “Panji”?


Pada umumnya orang menyebut cerita ini dengan nama
cerita Panji atau serat Panji. Kata “panji” kadang-kadang
dipakai sebagai judul cerita dan digandengkan pula dengan
beberapa perkataan lain. Sebaliknya, ada pula cerita-cerita
Panji yang tidak menyertakan kata “panji” tersebut. Apa
sebenarnya pengertian dari kata “panji” itu? Juynbell
menyatakan “panji” atau “apanji” yang berasal dari kata Jawa
Kuno berarti “bijnaam” = nama keluarga atau “surname”, juga
diartikan sebagai “bijgenaamd” verkreeg een titel” = nama
samaran, dan dipakai juga sebagai gelaran atau “titel” (Cf.
Juynboll, 1923: 330).
Pigeaud ikut pula memberikan arti dari kata “panji” atau
“apanji”, yaitu titel kuno yang nilainya telah berubah mengikut
peredaran waktu. Pada zaman Majapahit dahulu, gelaran Panji
ada hubungannya dengan kerabat diraja. Sedangkan watak-

9 – Panji Pahlawan Nusantara


watak utama dalam cerita roman ketika itu juga memakai
gelaran Panji, tetapi dalam perkembangannya yang kemudian,
gelaran ini bertukar menjadi nama (Cf. Pigeaud, 1967-70, jl. I:
206).
Dalam babad-babad Jawa, nama Panji sering dipakai oleh
raja-raja Jawa zaman dulu (Cf. Poerbatjaraka, 1968:XVII).
Dalam kitab Babad Tanah Jawi, kita jumpai kata “panji”
sebagai nama raja pada urutan ke XXXV dalam silsilah raja-
raja Jawa. Panji dikatakan anak Amiluhur, yang menjadi raja di
Jenggala (Cf. M. Ramlan, 1975: 5). Sebaliknya, kalau kita lihat
dalam kebanyakan naskah-naskah Panji, nama atau gelaran
Panji ini tidak diberikan ketika putera Kuripan itu lahir.
Sebagai contoh, dalam Hikayat Misa Taman Jayeng Kusuma
(MTJK), nama yang diberikan ketika ia lahir ialah Raden
Asmara Jaya, timang-timangan Raden Inu Kertapati Anakan
Asmaraningrat. Nama atau gelar Panji itu muncul ketika ia
sudah dewasa, dan apabila ia memulakan babak-babak
pengembaraan. Contohnya, dalam MTJK ia menukar namanya
menjadi Misa Jayeng Kusuma Sira Panji Jayeng Seteru, Kelana
Adimerta Sira Panji Jayeng Seteru, dan Misa Edan Sira Panji
Jayeng Kusuma.
Kalau kita teliti lebih lanjut ternyata nama Panji ini
dipakai pula oleh tokoh wirawati, tetapi sama seperti wiranya,
nama ini hanya digunakan ketika wirawatinya menyamar diri.
Dalam MTJK, ketika Raden Galuh Lasmipuri menyamar
sebagai lelaki, ia memakai nama Misa Jejuluk sira Panji
Maring Daha. Apa yang sering kita temui ialah gelar Panji itu

10 – Panji Pahlawan Nusantara


hanya digunakan oleh watak utama, baik wira maupun
wirawati, dan tidak pernah dipakai oleh watak-watak lain.
Nama-nama yang dipakai dalam masyarakat kita, baik
pada zaman pra-Islam ataupun sesudah Islam, mempunyai arti
tertentu. Misalnya Padmapuspita berarti teratai yang mekar,
Candra Kirana berarti cahaya bulan, Raden Asmara Agung
berarti Raden yang besar kasihnya, Abdul Rahim berarti yang
sangat pemurah, Nur Badar berarti cahaya bulan, dan
sebagainya.
Sekarang bagaimana pula dengan kata Panji ini? Kira-
kira apakah pengertian yang layak kita berikan? Robson telah
memberikan komentar dengan mengatakan:
Panji is derivation from Panji, a flag or banner, meaning
“having (as) a flag”; that is, as a kind of title, the one who has
such-and-such on his flag. The title Panji if found, for instance,
in the Majapahit period, and especially in the inscriptions of
the Kediri period (Cf. Robson, 1971: 13).
Bagaimana pula hubungan dengan pengertian bendera
(flag) seperti yang dikatakan oleh Robson mengenai tokoh
utama dalam cerita Panji. Apakah bendera di sini dianggap
sebagai lambang kemenangan atau lambang kesaktian, dan
barang siapa yang menggunakan bendera itu akan selalu
selamat?
Robson tidak menjelaskan hal di atas secara terperinci,
kecuali ia mengatakan bahwa terdapat hubungan antara nama
tersebut dengan zaman Majapahit dan Kediri. Sebaliknya,
kalau kita lihat cerita Jayalengkara (Cf. Rassers, 1922: 174),

11 – Panji Pahlawan Nusantara


tokoh Jayalengkara ketika meninggal dan naik ke langit, beliau
telah menurunkan “tunggul wulung”nya ke Majapahit sehingga
terjadi wahak yang dahsyat. Tunggul wulung yang tertancap di
tengah paseban Majapahit itu telah dapat dicabut oleh
Jayengrana dan Majapahit terselamat dari malapetaka.
Jayengrana ini adalah ayah Cekel Waningpati, yaitu wira
dalam kebanyakan cerita Panji.
Dalam hubungan ini ada kemungkinan bahwa gelar Panji
itu diambil dari perkataan “tunggu” (panji-panji atau bendera)
sakti yang berasal dari nenek moyang Raden Panji. Ternyata
ketika gelar itu dipakai oleh wira atau wirawatinya, mereka
terselamat dari sebarang kesulitan.
Gelar Panji muncul ketika watak utama menyamar diri
sewaktu dalam pengembaraan. Ketika itu dalam kebanyakan
cerita Panji, kita menemui kata-kata seperti, “Adapun akan
titiang paduka sangulun ini asal wong gunung, tan wara bumi
astana, kijang kang anusoni, merak kang angumuli” (Cf.
HPKS, Cod. Or. 3242: 280). Kata-kata ini sering diucapkan
oleh wira atau wirawati yang sengaja tidak mau mengenalkan
diri mereka sebagai putera-puteri raja. Mereka lebih senang
dikenal sebagai Kalana.
Kalau kita cocokkan pengertian kata “panji” dengan
pengertian anak raja atau putera mahkota seperti yang
dinyatakan oleh Juynboll atau Pigeaud ternyata kurang tepat,
sebab pengertian dari kata “panji” itu lebih tepat pula kalau
dikaitkan dengan pengertian Pengembara atau Kalana.
Biasanya orang akan merasa takut dan gentar apabila

12 – Panji Pahlawan Nusantara


mendengar adanya Kalana yang mendatangi negeri mereka.
Kalana atau Pengembara ini digambarkan sebagai perampok
atau pemerkosa yang amat kejam. Tetapi ketika mereka
melihat kedatangan Panji, mereka akan berbisik-bisik sesama
sendiri. Kata-kata berikut sering terdengar, “Hai, baik paras
Kalana ini seperti dewa-dewa turun dari kayangan!” atau ,
“Sungguh seperti katamu itu, kita sangkakan bagaimana besar
dan panjangnya maka jadi Kalana, rupanya layak diadap orang
di paseban agung!” (Cf. Abdul Rahman Kaeh, 1976: 228).
Dari pembicaraan di atas kita dapat menyimpulkan
bahwa gelar Panji dalam kebanyakan cerita Panji itu dipakai
oleh seorang Kalana yang sedang mengembara, atau dalam
keadaan menyamar diri. Ia semestinya berasal dari anak raja. Ia
bukan saja sempurna dari sudut ketampangan wajah, tapi juga
memiliki bermacam-macam kelebihan dan keistimewaan.
Meskipun ia terus menyembunyikan asal-usulnya, namun dari
ketampanan wajahnya, orang sudah dapat menduga bahwa ia
bukanlah berasal dari orang kebanyakan.

Apa yang Dimaksudkan dengan Cerita Panji?


Orang Jawa memang boleh berbangga dengan cerita
Panji. Cerita ini memang asli kepunyaan mereka. Cerita-cerita
seperti Ramayana, Mahabharata, Adiparwa, Wirataparwa,
Kakawin Arjunawiwaha, Kakawin Smaradahana, Hikayat Seri
Rama, Hikayat Sang Boma, dan sebagainya tidak dapat
dikatakan asli kepunyaan mereka, karena cerita-cerita tersebut,
walaupun telah digubah dan disesuaikan dengan lingkungan

13 – Panji Pahlawan Nusantara


alam Jawa, tetapi kita masih dapat mengetahui negeri asalnya,
yaitu India. Sebaliknya kalau kita mau mencari negeri asal
cerita Panji ini di tempat lain tentulah tidak mungkin, karena
cerita yang bersifat demikian hanya bisa kita temui di Jawa
saja.
Motif utama untuk berkelana dalam kebanyakan cerita
Panji adalah keputusasaan seorang putera raja, yaitu putera
mahkota Kuripan karena kehilangan tunangannya atau kadang-
kadang isterinya, yaitu puteri Kediri. Dengan demikian maka
terjadilah perjalanan yang panjang untuk mencari orang yang
hilang ini. Akhirnya mereka akan bertemu dan saling mengenal
(Cf. Rassers, 1922: 128-131). Ternyata motif-motif di atas itu
telah digabungkan oleh pengarang sehingga menjadi sebuah
kerangka cerita yang unik, dan dapat dianggap sebagai pola
cerita Panji yang autentik.
Di samping itu, terdapat pula faktor-faktor lain untuk
mengenal sebuah cerita itu Panji atau bukan Panji. Di satu
pihak, ada yang senang memilih jalinan cerita (alur) sebagai
faktor utama, sedangkan di pihak lain ada pula yang lebih
senang memilih nama-nama watak atau latar tempat sebagai
faktor utamanya (Cf. Robson, 1971: 12). Sebaliknya, kita tidak
dapat menganggap persamaan yang terdapat dalam alur cerita
sudah menunjukkan bahwa keseluruhan cerita Panji itu sama
pula isinya. Sebenarnya cerita Panji selalu mengalami beberapa
penyimpangan dan tidak mungkin kita dapat menunjuk yang
mana satu harus menjadi modelnya, kecuali kata Robson,

14 – Panji Pahlawan Nusantara


If it were possible to indicate one example as a
prototype, we should then be able to classify the rest as being
more or less deviant from that, but no-one has yet postulated
that one story in particular is original, and it may never be
possible (Cf. Robson, 1971: 93).
Jadi, keanekaragaman cerita Panji ini tidak
memungkinkan kita membuat rekonstruksi prototaipnya yang
tunggal, juga tentang fakta yang menunjukkan bahwa kita tidak
mengetahui apa-apa mengenai penulisnya yang mula-mula atau
tentang lingkungannya sehingga buat sementara waktu, kita
terpaksa mengatakan “ignoramus” (Cf. Berg, 1974: 93).
Ketika Poerbatjaraka membandingkan delapan buah
cerita Panji Melayu-Jawa-Bali-Kamboja, dia memberikan
kepada kita apa yang dimaksud dengan alur khas cerita Panji.
Menurutnya, cerita ini mengisahkan tentang empat orang Ratu
bersaudara di Jawa. Yang tua menjadi Ratu di Kuripan (Keling
atau Jenggala), yang tengah menjadi Ratu di Daha (Kediri),
yang berikutnya menjadi Ratu di Gagelang, dan yang terakhir
menjadi Ratu di Singasari.
Ratu Kuripan mempunyai dua orang anak lelaki. Anak
sulungnya lahir dari isteri golongan bawahan, sedangkan
anaknya yang kedua (Raden Inu) lahir dari Permaisuri.
Ratu Daha mendapat seorang Puteri jelita bernama
Raden Galuh Candra Kirana. Raden Inu dan Raden Galuh telah
dipertunangkan sejak mereka masih kecil. Suatu hari, Raden
Inu pergi berburu dan ia terpisah dari kawan-kawannya. Raden
Inu bertemu dengan seorang gadis jelita (anak Petinggi,

15 – Panji Pahlawan Nusantara


Demang atau Patih) lalu keduanya jatuh cinta. Permaisuri tidak
setuju lalu mencari akal untuk membunuh kekasih anaknya.
Setelah kekasihnya terbunuh, Inu meninggalkan istana lalu
mengembara. Berbagai halangan dan rintangan ditemukannya
dalam pengembaraannya.
Sementara itu Raden Galuh meninggalkan Daha dengan
kehendak dewa. Saudara lelakinya ikut mencari kehilangannya.
Setelah mengembara beberapa lama dan menempuh
bermacam-macam kesulitan, Inu bertemu dengan Galuh yang
mirip kekasihnya yang terbunuh dahulu. Keduanya pulang ke
Kuripan dan Inu dilantik menggantikan ayahnya (Cf.
Poerbatjaraka, 1968 dan bandingkan pula dengan ikhtisar yang
dibuat oleh Robson, 1969: 10).
Dengan melihat alur khas cerita Panji di atas, kita masih
belum dapat menarik satu kesimpulan yang utuh mengenai
unsur penting yang harus ada dalam sebuah cerita Panji itu.
Meskipun ada yang mengatakan bahwa cerita Panji yang
autentik harus mempunyai unsur “Angreni” yang berfungsi
sebagai pembukaan, namun di dalam naskah Panji dari zaman
Jawa Tengahan, unsur tersebut tidak kita temui (Cf. Robson,
1971: 13; Ras, 1973: 418). Begitu juga dalam naskah Panji
Jawa atau Melayu yang lebih kemudian, unsur tersebut ternyata
tidak ada. Tetapi mengenai hal yang terakhir ini, Poerbatjaraka
memberikan alasan dengan menyebutkan bahwa cerita tersebut
sudah dijadikan bahan lakonan. Kiranya unsur Angreni
tersebut dimasukkan, maka cerita akan menjadi terlalu panjang.
Tambahan pula, bagi setengah masyarakat, unsur tersebut

16 – Panji Pahlawan Nusantara


dianggap sebagai pamali yang harus dielakkan (Cf.
Poerbatjaraka, 1968: 379).
Walau bagaimanapun, jika kita bandingkan antara cerita
Panji dengan cerita yang bukan Panji ternyata selain dari
struktur alurnya berbeda, kita dapati ciri-ciri lain yang juga
berbeda. Ciri-ciri yang kita maksudkan itu dapat berupa nama-
nama pelaku, latar tempat, unsur dan peranan dewa, watak-
watak yang senantiasa bertukar nama, unsur penjelmaan, dan
inkarnasi.
Kita tidak dapat berpijak hanya pada tiga unsur utama
seperti yang dikatakan oleh Rassers untuk menentukan sebuah
cerita itu Panji atau sebaliknya. Cerita-cerita lain memiliki juga
unsur-unsur tersebut. Misalnya Hikayat Seri Rama (HSR) yang
mengisahkan keputusasaan seorang suami terhadap isterinya
yang hilang, di samping adanya unsur pengembangan dan
halangan yang harus diatasi, sama seperti yang terdapat dalam
cerita Panji. Sekarang, apakah HSR itu dapat kita golongkan ke
dalam kelompok cerita Panji? Atau, apakah cerita Panji yang
dipengaruhi oleh HSR? Jawabnya tentulah tidak, sebab cerita
Panji memiliki ciri-ciri khas yang tidak terdapat pada HSR.
Namun demikian, pengaruh epik India ini secara mutlak tidak
dapat dikatakan tidak ada dalam cerita Panji (Cf. Ras, 1973:
428).
Sebaliknya, kalau kita tinggalkan unsur yang dinyatakan
oleh Rassers, kemudian kita ambil nama tempat atau nama
pelaku sebagai unsur terpenting ternyata hal tersebut juga
kurang tepat. Nama pelaku atau latar tempat dalam cerita Panji,

17 – Panji Pahlawan Nusantara


ada kalanya terdapat pula di dalam cerita-cerita yang bukan
Panji. Misalnya dalam sebuah syair Melayu yang berjudul
Syair Cendawan Putih (SCP), nama-nama wataknya seakan-
akan sama dengan nama-nama watak dalam cerita Panji, yaitu
Raden Panji Dewa dan Kusumawati. Tapi nama-nama watak
yang lain ternyata jauh berbeda dengan nama-nama watak
cerita Panji. Jelasnya, nama-nama watak yang seakan-akan
sama hanya terbatas kepada dua watak utamanya saja.
Sedangkan peranan watak-watak tersebut berbeda sekali
dengan peranan yang dibawakan oleh Raden Inu atau Raden
Galuh dalam kebanyakan cerita Panji.
Selanjutnya, apakah tidak ada unsur pengembaraan atau
insiden peperangan dalam SCP tersebut? Memang kedua unsur
tersebut ada, tetapi unsur-unsur seperti itu merupakan unsur-
unsur yang lumrah dan sering terdapat dalam kebanyakan
cerita-cerita lama di Nusantara ini? Suatu hal yang pasti terjadi
dalam cerita Panji ialah penyamaran dan pertukaran nama. Hal
ini tidak terdapat dalam SCP. Apalagi kalau kita cocokkan inti
cerita SCP dengan inti cerita Panji ternyata keduanya jauh
berbeda. Kisah percintaan yang seringkali diikuti oleh unsur-
unsur peperangan, penyamaran, pengembaraan, dan pertemuan
kembali tidak terdapat dalam SCP. Justru itu SCP tidak dapat
kita golongkan ke dalam kategori cerita Panji (Cf. Harun Mat
Piah, 1980: 148-149).
Semua cerita Panji menampilkan alur khas yang sama,
karena itu ada yang menganggap bahwa cerita Panji sama saja
ceritanya. Tapi kalau dianggap keseluruhannya tidak berbeda,

18 – Panji Pahlawan Nusantara


barangkali hal itu tidak benar. Kalau kita uraikan babak demi
babak ternyata di antara beberapa naskah Panji, meskipun
alurnya sama, namun tidak sedikit pula motif-motif lainnya
yang berbeda. Sebagai contoh, selalunya dalam sebuah cerita
Panji terdapat empat buah kerajaan, yaitu Kuripan, Daha,
Gagelang dan Singasari. Tetapi dalam sebuah cerita yang lain,
hanya disebutkan tiga buah, bahkan ada yang menyebutkan dua
buah seperti yang terdapat dalam Syair Ken Tambuhan (Cf.
Teeuw, 1966: XIII).
Contoh lain, wira dan wirawatinya terpisah antara satu
sama lain dan ini terjadi dalam semua cerita Panji. Tetapi
puncak yang menyebabkan mereka terpisah itu tidak sama.
Dalam MTJK, Raden Galuh sengaja melarikan diri karena
merasa kecil hati atas penolakan Raden Inu yang tidak
menyukainya. Sebaliknya dalam CWP, wiranya diculik oleh
musuh dan dibuang ke dalam sungai. Ia tidak mati karena
terdampar ke tepi pantai. Seiringan dengan itu, ia mendapat
kabar tunangannya hilang dari Daha lalu ia mengembara.
Perbedaan-perbedaan kecil yang lain dapat kita lihat,
misalnya peristiwa para Ratu dari ke empat buah kerajaan itu
berkaul karena inginkan putera. Dalam hal ini tidak semua
cerita memasukkan hal tersebut. Begitu juga tempat terjadinya
pertemuan akhir antara pelaku, sering tidak sama. Lazimnya,
pertemuan tersebut terjadi di Gagelang, tetapi ada pula yang
terjadi di tempat lain.
Sebagai kesimpulan, kita dapat mengatakan bahwa
persamaan yang terdapat dalam kebanyakan cerita Panji

19 – Panji Pahlawan Nusantara


terletak pada alurnya yang khas. Sedangkan beberapa
perbedaan yang lain, hanya terletak pada bagian-bagian
sampingan yang dirasakan kurang autentik.

Aspek-aspek yang Sering Mendapat Perhatian Mengenai


Cerita Panji
Ketika meneliti cerita Panji, para peneliti sering
menyingkap dua aspek terpenting. Pertama, mereka membahas
asal-usul cerita Panji yang dihubungkan dengan latarbelakang
sejarah dan dikaitkan pula dengan unsur mitos masyarakat
setempat (Cf. Rassers, 1922; Brandes, 1920: 119-186;
Poerbatjaraka, 1919: 461-489; Berg, 1954: 198-216, 305-334).
Kedua, mereka menitikberatkan sejarah perkem-
bangannya dengan memperbandingkan naskah-naskah yang
ada. Di antara kedua aspek ini ternyata aspek pertama yang
telah banyak menarik perhatian para peneliti, sedangkan aspek
kedua, terutama mengadakan tinjauan dari sudut kesusastraan
amat sedikit dilakukan. Padahal seperti yang telah kita
sebutkan sebelumnya, tinjauan dari sudut ini dirasakan cukup
penting karena selama ini orang menganggap karya-karya
sastra lama tidak memiliki nilai-nilai kesusastraan. Padahal
dalam lipatan kertas usang ini, kita dapat melihat berbagai
bentuk adegan, baik yang menggembirakan, maupun yang
menyedihkan.
Di samping itu, ada pula perkara yang lebih penting dari
itu, misalnya ilmu kesempurnaan, ilmu pengetahuan, ilmu
tentang makna, tentang pengabdian, kesetiaan, perkawinan,

20 – Panji Pahlawan Nusantara


persahabatan dan kesempurnaan cita-cita yang terselit dalam
karya-karya sastra lama. Inilah yang harus dikembangkan
demikian rupa sehingga bahan roman dapat dimanfaatkan demi
pendidikan sekarang; dan sekaligus memuliakan warisan
budaya lama, mengingat pula bahwa cerita tersebut masih amat
digemari masyarakat.
Ketika menguraikan aspek pertama, Rassers telah
menolak tokoh Panji sebagai tokoh sejarah. Kita tidak akan
menemukan satu kesatuan, bahkan keanekaragaman orang
yang hidup pada periode abad ke X hingga abad ke XIV.
Justeru itu, kalau itu tujuan terpenting yang ingin dicari, maka
seorang peneliti akan terbentur pada kegagalan. Namun
demikian, alasan-alasan Rassers dalam membahas faktor dan
arah yang dikemukakannya, patut kita hargai. Sebagai contoh,
beliau hanya mengatakan kemungkinan cerita Panji merupakan
gambaran mitos bulan dan matahari, di mana secara berturut-
turut Panji dan Angreni mewakili matahari dan bulan ternyata
hanya sebagian saja yang benar, dan untuk dapat menafsirkan
secara mutlak tema aslinya, merupakan suatu hal yang tidak
mungkin (Cf. Rassers, 1922: 368-370).
Ketika menyinggung hubungan cerita Panji dengan
sejarah, Rassers menjelaskan bahawa hubungan tersebut
memang ada. Ia memberikan alasan bahwa cerita Panji dibawa
ke India Belakang dan tidak sebaliknya. Namun demikian,
kesadaran sejarah pada tempat dan waktu ternyata tidak
ditemui. Deskripsi terperinci mengenai pusat-pusat cerita yang
bersejarah, yang berhubungan antara satu sama lain, apriori

21 – Panji Pahlawan Nusantara


sudah tidak memungkinkan. Karena itu, Rassers lebih senang
menanggapi cerita Panji ini sebagai cerita mitos suku bangsa
Jawa yang sama kedudukannya dengan Kalangi Manimporok,
sebuah cerita mitos suku Minahasa yang dianggap oleh
Schmidt sebagai, “An ancient complex of Indonesian lunar
mythology” (Cf. Schmidt, 1910; Ras, 1973: 422).
Kita dapati adanya pandangan yang berbeda di kalangan
ahli antropologi dan filologi mengenai pendapat Rassers tadi.
Josselin de Jong, salah seorang di antara pengikut Rassers,
telah meluaskan lagi teori Rassers ini dengan menambah
beberapa unsur metodologi yang didapatinya dari B.
Malinowski untuk menganalisa masalah mitos (Cf.
Koentjaraningrat dalam Sudjatmoko, 1965: 319). Namun
demikian, J.J. Ras berpendapat bahwa dilihat dari kacamata
seorang antropologi. Sebagai seorang ahli antropologi,
penelitian dari sudut kesusastraan seperti yang dilakukan
Rassers, tidak sesuai dengan pandangan seorang ahli filologi.
Rassers bercerita tentang cerita Panji tanpa terlebih dahulu
mengatakan bahawa bermacam-macam cerita Panji itu
sebenarnya adalah daripada tema yang sama. Jadi, apa yang
ditemukan oleh beliau ternyata sukar diterima oleh para
peneliti sastera Indonesia lainnya (Cf. Ras, 1973: 434-435).
Sebelum ini Poerbatjaraka pernah menunjukkan
hubungan cerita Panji dengan kisah percintaan antara Prabu
Kameswara I dengan Permaisurinya, Srikiranaratu. Peristiwa
ini telah diolah dan dijadikan tema dalam kebanyakan cerita
Panji. Bukti yang jelas dapat dilihat dari Kakawin

22 – Panji Pahlawan Nusantara


Smaradahana, pada bait ke 38, baris ke 15-16, yang
mengisahkan tentang Srikiranaratu, sedangkan bait ke 39, baris
ke 1-2, mengisahkan Kameswara sebagai Dahanaraja, dan
dikenal sebagai Panji Surengrana. Hal ini telah dibuktikan
dengan terdapatnya prasasti Kediri (1117-1130M) yang
menyebutkan bahawa raja yang berkuasa ketika itu ialah
Kameswara I, alias Panji (Cf. Poerbatjaraka, 1919: 461-489).
Pendapat Poerbatjaraka di atas disangkal oleh Rassers
dengan alasan bahwa mengidentifikasikan tokoh-tokoh cerita
Panji akan menambahkan kegelapan lagi mengenai cerita
Panji. Tidak ada keselarasan tentang nama tokoh-tokoh dalam
cerita Panji dengan raja dari dua kerajaan itu, malah kedudukan
mereka dalam cerita Panji jadi terbalik (Cf. Rassers, 1922: 13).
Barangkali bagi Poerbatjaraka, apa yang terjadi dari
peristiwa sejarah selalunya benar, sedangkan sastra rakyat
(tradisi lisan) dalam masyarakat tidak selalu benar. Ternyata
Rassers sendiri lupa bahwa beliau telah menunjukkan beberapa
persamaan antara tokoh Panji dengan tokoh-tokoh sejarah
seperti Ken Arok, Raden Wijaya, dan Raja Wirabumi (Cf.
Rassers, 1922: 128-165).
Hingga kini kelihatan beberapa pendapat di atas
bertentangan arah. Tapi untuk menarik satu kesimpulan yang
bulat memang sukar. Sedangkan pendapat-pendapat lain yang
belum kita singgung masih banyak (Cf. Poensen, 1873; Berg,
1954: 194; Brandes, 1888: 377). Namun demikian, dengan
adanya beberapa keterangan dari para peneliti purbakala,
mungkin kita dapat menyimpulkan bahwa pasti ada di antara

23 – Panji Pahlawan Nusantara


periode-periode sejarah yang melahirkan aspirasi hingga
terjadinya babak-babak pengembaraan putera Kuripan, yang
pada tahap-tahap kemudian banyak pula tokoh tambahannya.
Penelitian terhadap peninggalan-peninggalan lama zaman
kerajaan Erlangga, yang ketika hidupnya telah membagi dua
kerajaannya, barangkali dapat menyingkap keinginan generasi
berikutnya untuk menyatukan semula negeri mereka. Secara
simbolik, keinginan tersebut dilukiskan oleh pengarang cerita
Panji lewat perkawinan dalam cerita tersebut. Walaupun cerita
Panji banyak memiliki unsur-unsur anakronisme, namun
bahan-bahan mitos ini, sebenarnya berkumpul di sekitar fakta
sejarah. Contohnya, tokoh Kili Suci, yang berpengaruh dalam
hal-hal kekeluargaan seperti yang terlukis dalam kebanyakan
cerita-cerita Panji, dapat diduga sama dengan puteri Erlangga
yang terpahat buktinya pada prasasti batu bertulis Calcutta (Cf.
Berg, 1974: 93).
Walaupun dalam banyak hal apa yang telah dibahas
masih ada yang bersifat dugaan, namun dilihat dari sudut
sejarah, Jenggala dan Kediri yang disebut dalam cerita Panji
memang pernah wujud. Paling tidak dunia keraton yang
dilukiskan melalui cerita-cerita Panji kelihatan sungguh hidup,
meskipun ia tidak semestinya lukisan tentang keraton Jenggala
atau Kediri, tapi keraton yang diketahui oleh pengarangnya
(Cf. Zoetmulder, 1974: 428).

Bila Lahirnya Cerita Panji?

24 – Panji Pahlawan Nusantara


Untuk memastikan bila lahirnya cerita Panji ini bukanlah
suatu hal yang mudah. Para ahli yang sudah membahas hal ini
bukan saja tidak sependapat, bahkan apa yang telah
dikemukakan oleh mereka masih merupakan ramalan belaka.
Sedangkan untuk mendapatkan bahan-bahan yang kongkrit
seperti naskah Panji yang asli sudah tentu tidak ada. Namun
demikian, para pengkaji masih tidak putus asa, malahan
mereka terus mengeluarkan beberapa pendapat. Di antaranya
Berg telah mengatakan bahwa cerita Panji ini terdapat dalam
bahasa Jawa Kuno dan kemudian diterjemahkan atau disadur
ke dalam bahasa Melayu. Beliau juga telah menyebut tahun
1277 M sebagai tahun permulaan penyebaran cerita Panji ke
luar Jawa, sedangkan tahun 1400 M dianggap sebagai tahun
berakhirnya (Cf. Berg, 1928: 65-71). Dalam satu kajiannya
yang lain, Berg menegaskan bahawa cerita Panji yang berasal
dari bahasa Jawa ini telah terkenal di istana Raja-raja Jawa
Timur, tetapi ia telah terdesak oleh pendukung tradisi Islam,
dan baru di Bali ia dapat berkembang dengan bebas (Cf. Berg,
1930: 258).
Berbagai tanggapan telah timbul mengenai apa yang
telah dilontarkan oleh Berg. Poerbatjaraka, misalnya telah
memperjelaskan jalan fikiran Berg dengan mengatakan, kalau
tahun 1277 M dianggap sebagai tahun permulaan penyebaran
cerita Panji, tentulah tahun terciptanya lebih dahulu dari itu.
Andaikata hal ini benar, maka selama Pamalayu dan tentu saja
sebelum itu, ingatan orang terhadap kerajaan Singasari masih
jelas. Kiranya ada orang yang mengatakan Singasari itu

25 – Panji Pahlawan Nusantara


sezaman dengan Kediri tentulah ia akan ditertawakan orang,
apalagi kalau tulisannya berupa sebuah roman. Akibatnya,
tulisannya tidak akan diterima oleh masyarakat. Berhubungan
dengan itu, pastilah ringkasan Panji yang mula-mula ditulis
ketika ingatan orang terhadap Singasari telah samar-samar,
sehingga orang tidak lagi merasa janggal bila mengatakan
Singasari sezaman dengan Kediri seperti yang digambarkan
dalam cerita Panji (Cf. Poerbatjaraka, 1968: 404-405).
Selanjutnya, Poerbatjaraka telah menunjukkan zaman
kejayaan atau setelah kejayaan Majapahit terjadi semacam
revolusi dalam kesusastraan Jawa. Ketika itu, masyarakat telah
bosan dengan bahan-bahan bacaan yang dibawa dari luar,
khususnya India. Tambahan pula, generasi muda sudah tidak
menguasai lagi bahasa Sanskrit yang amat sukar dipelajari.
Justeru itu mereka lebih senang untuk mengambil bahan-bahan
tempatan dan menciptakan bentuk sastra sendiri. Hasilnya
adalah cerita Panji (Cf. Poerbatjaraka, 1968: 404-405).
Dengan mengemukakan pendapat yang terakhir tadi
berarti Poerbatjaraka menolak pendapat Berg. Memang, kalau
Poerbatjaraka meminta bukti Panji yang ditulis dalam bahasa
Jawa Kuno, sudah tentu Berg tidak mampu memberikannya.
Tetapi yang menganehkan kita ialah Poerbatjaraka pernah
menyebut bahawa prototaip dari cerita Panji itu merupakan
peristiwa percintaan antara Kameswara I dengan
Permaisurinya, Srikiranaratu (1115-1130M). Kalau itu
memang benar, apakah tidak mungkin seabad selepas itu orang
mengkhayalkan kisah percintaan tersebut dalam bentuk cerita

26 – Panji Pahlawan Nusantara


Panji yang masih bersifat lisan? Dan apabila terjadi peristiwa
PaMalayu tahun 1277M, cerita Panji yang masih dalam bentuk
lisan ini mungkin pula dibawa oleh tentara-tentara Jawa keluar
Jawa; barangkali disalurkan melalui wayang kulit atau wayang
topeng. Poerbatjaraka pernah mengatakan bahwa wayang
gedog telah mengambil bahan dari cerita Panji, kemudian
dijadikan pula lakon topeng (Cf. Poerbatjaraka, 1952: 90).
Sebaliknya, kalaulah pendapat Berg itu menurut faham
Poerbatjaraka terlalu awal, barangkali kita harus pula melihat
pada periode kesusastraan Jawa Kuno yang sebenarnya.
Diperkirakan periode tersebut bermula pada abad ke IX dan
berakhir pada abad ke XV (Cf. Robson, 1971: 7). Apakah tidak
mungkin cerita Panji itu muncul pada bagian akhir zaman Jawa
Kuno, dimana Berg sendiri pada tahun 1954 telah mengubah
pendiriannya dengan mengemukakan hipotesis baru, yaitu
prototaip cerita Panji yang sebenarnya bukan Kameswara I,
tetapi Hayam Wuruk? (Cf. Berg, 1954: 189-216; 305-334).
Apakah Berg ingin menimbulkan kesan bahwa cerita itu mula-
mula mendapat bentuknya setelah Prabu Hayam Wuruk
meninggal (1389M)? Kiranya dugaan itu benar, maka besar
kemungkinan bahwa dalam jangka waktu sepuluh tahun
kemudian cerita Panji telah dipahatkan dalam bentuk relief,
yang menurut Stutterheim, ketika meneliti beberapa relief yang
menarik dari Jawa Timur, telah menemui angka tahun 1400M
bersama pahatan relief tersebut di desa Gambjok (Cf.
Stutterheim, 1935: 139 dan seterusnya).

27 – Panji Pahlawan Nusantara


Menyinggung relief cerita Panji yang dijumpai oleh
Stutterheim ini, Poerbatjaraka ikut pula memperjelaskan lagi
situasi tersebut. Beliau mengatakan bahwa terdapat angka
tahun Caka 1335 (1413M) yang dipahatkan pada relief
tersebut. Jadi, berdasarkan angka tahun ini, Stutterheim
menduga bahawa relief itu berasal kira-kira tahun 1400M. Hal
ini ternyata tidak diragukan pula oleh Poerbatjaraka (Cf.
Poerbatjaraka, 1968: 408).
Sebetulnya dasar pengukuran yang digunakan untuk
membagi periode dalam kesusastraan Jawa ternyata kurang
jelas. Sebagian orang membagikannya mengikuti angka tahun,
sedangkan sebagian lagi membagikannya mengikut ukuran
bahasa. Sekarang kita mengenal hanya tiga periode, yaitu
periode Jawa Kuno, Jawa Tengahan dan Jawa Baru.
Poerbatjaraka, dalam Kepustakaan Jawanya, telah
membagikan hasil-hasil kesusastraan Jawa kepada tujuh bagian
yang dapat kita kelompokkan kepada tiga periode yang
tersebut di atas. Pertama, periode Jawa Kuno yang mencakup
kitab-kitab Jawa Kuno tua, kitab-kitab Jawa Kuno bertembang
(Kakawin), dan kitab-kitab Jawa Kuno baru. Kedua, periode
Jawa Tengahan yang mencakup kitab-kitab syair bahasa Jawa
Tengahan dan kitab-kitab zaman Islam. Ketiga, periode
Surakarta Awal. Kitab-kitab yang lahir pada zaman Islam tadi
dapat dibagi dua, yaitu sebagian memakai bahasa Jawa
Tengahan, sedangkan sebagian lagi memakai bahasa Jawa
Baru.

28 – Panji Pahlawan Nusantara


Suatu hal yang agak aneh ialah penggolongan yang
dibuat oleh Poerbatjaraka terhadap kitab Kakawin Haricraya.
Kitab ini dikarang pada tahun Caka 1496 (1574M). Sekarang
kita perlu bertanya, kenapa cerita yang lahir pada tahun 1400M
(misalnya cerita Panji) digolongkan ke dalam periode Jawa
Tengahan, sedangkan Kakawin Haricraya yang ditulis pada
tahun 1574M digolongkan ke dalam periode Jawa Kuno?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, barangkali kita
dapat melihatnya dari dua sudut. Pertama, Poerbatjaraka
menggunakan unsur bahasa untuk menentukan
penggolongannya. Kedua, mungkin ia menggunakan bentuk
karya tersebut untuk menentukannya. Dilihat dari sudut
pertama ternyata karya-karya yang lahir pada zaman Islam,
sebagian tergolong ke dalam periode Jawa Tengahan,
sedangkan sebagian lagi tergolong ke dalam periode Jawa
Baru. Justru itu, sebagian dari karya-karya periode Jawa
Tengahan, kalau dilihat dari sudut bahasanya dapat pula
digolongkan ke dalam periode Jawa Kuno. Barangkali ini yang
terjadi pada kitab Kakawin Haricraya tersebut.
Sudut kedua berkaitan dengan soal bentuk. Kitab
Haricraya memakai bentuk Kakawin, sedangkan karya-karya
Kakawin bukan saja menggunakan media bahasa Jawa Kuno.
bahkan mengambil bahan dan peraturan yang berasal dari
India. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Robson yang
mengatakan bahwa hasil sastra Jawa Kuno mencakup secara
tradisi bentuk-bentuk Kakawin (Cf. Robson, 1971: 7).

29 – Panji Pahlawan Nusantara


Kita juga mengenal bentuk Kidung yang berbeda dari
Kakawin, Kidung tidak menggunakan bahan dari India. Ia
menggunakan bahan-bahan khas dari Indonesia. Justru itu
bentuk Kidung dapat pula dianggap sebagai hasil sastra zaman
Jawa Tengahan. Oleh karena cerita Panji menggunakan bentuk
Kidung, lalu sebagian peneliti menggolongkannya sebagai
hasil zaman Jawa Tengahan (Cf. Zoetmulder, 1974: 427;
Poerbatjaraka, 1952: 89; Robson, 1971: 6-15).
Selanjutnya, Poerbatjaraka memperjelaskan lagi batas
kelahiran cerita Panji dengan menyebutkan Pararaton.
Menurutnya, terdapat banyak persamaan di antara nama-nama
dalam Pararaton dengan nama-nama dalam cerita Panji.
Persamaan tersebut dapat dijadikan bukti bahwa penyusunan
cerita Panji yang pertama sama waktunya, atau mungkin lebih
kemudian dari Pararaton. Sebaliknya kita lihat Pararaton
selesai ditulis pada tahun Caka 1535 (1613M). Tetapi menurut
Vlekke, Pararaton dicipta kira-kira selepas tahun 1481M,
sedangkan sebagiannya mungkin telah ada sejak pertengahan
abad ke XIV (Cf. Vlekke, 1945: 40).
Sekarang yang perlu ditanyakan ialah, apakah
penyusunan cerita Panji lebih kemudian dari Pararaton itu
bermakna sesudah tahun Caka 1535 (1613M)? Tentu hal itu
tidak mungkin karena angka tahun tersebut terlalu jauh ke
belakang. Sebaliknya, kalau kita mengambil pengertian bahwa
sebagian dari Pararaton telah ada sebelum pertengahan abad ke
XIV (kurang lebih 1320M); maka persetujuan Poerbatjaraka
terdapat penemuan Stutterheim dapat pula kita terima. Jadi

30 – Panji Pahlawan Nusantara


cerita Panji yang mungkin tercipta beberapa tahun sesudahnya,
harus mengambil masa yang agak lama untuk dapat meresap
selera masyarakat, sebelum ia dipahatkan dalam bentuk relief
pada tahun 1400M atau 1413M itu.
Dari sekian banyak pendapat yang telah kita tampilkan di
atas ternyata kesimpulan yang mutlak mengenai kelahiran
cerita Panji, masih belum dapat diputuskan. Hingga kini kita
hanya mampu memperkirakan bahwa dalam jangka masa
seratus tahun, yaitu antara tahun 1330M hingga tahun 1430M,
cerita Panji yang amat populer itu mulai mendapat bentuk dan
kemudian dituliskan.

Penyebaran Cerita Panji ke Luar Jawa


Pada umumnya kita telah dapat meletakkan periode
timbulnya cerita Panji, meskipun untuk hal itu pintu masih
terbuka, masih ada kemungkinan-kemungkinan lain. Kalau
untuk sementara kita terima periode 1330M-1430M, maka
bermakna periode tersebut meliputi zaman-zaman
kegemilangan dan kemerosotan kerajaan Majapahit, yaitu
mencakup pemerintahan Hayam Wuruk (1350M-1389M);
meninggalnya Gajah Mada (1364M); dan pemerintahan
Wikrama Wardana (1389M-1429M). Ternyata periode
timbulnya cerita Panji dapat dicocokkan dengan zaman
kegemilangan dan kemerosotan kerajaan Majapahit. Dalam
hubungan ini, apakah kita dapat memperkirakan tahun
penyebarannya?

31 – Panji Pahlawan Nusantara


Kalau kita menolak gagasan Berg yang mengatakan
bahwa cerita Panji itu dibawa ke luar ketika terjadinya
peristiwa PaMalayu pada tahun 1277M, karena alasan terlalu
awal; maka barangkali kita dapat mengambil tahun 1343M,
yaitu ketika terjadi sekali lagi ekspedisi Jawa menaklukkan
Bali. Penaklukan ini telah disebut dalam kitab
Nagarakertagama, dan bagi setengah orang, tindakan Gajah
Mada menaklukkan Bali itu dianggap sesuatu yang radikal (Cf.
Wojowasito, 1960: 57-58; Robson, 1971: 9). Bermula dari
tahun itu hingga terbinanya Kraton Samprangan dan Gelgel
(1550M-1600M), Bali telah mengambil alih usaha
memperkembangkan tradisi kebudayaan Majapahit. Dan salah
satu genre sastra yang ikut dikembangkan adalah cerita Panji
(Cf. Robson, 1971: 8-9).
Kita dapat melihat perkembangan kesusastraan di Bali
dari sudut lain. Nampak dari merosotnya kerajaan Majapahit
hingga kekuasaannya diambil alih oleh penguasa Islam awal
abad ke XVI menjadikan kesusastraan Hindu Jawa ketika itu
terdesak. Raja Majapahit yang menentang Islam pindah ke
Bali, dan keturunannya telah mengembangkan tradisi
kesusastraan Hindu-Jawa tersebut. Karena itu, Pigeaud telah
menempatkan cerita Panji ke dalam periode Jawa-Bali, yaitu
termasuk hasil-hasil sastra antara tahun-tahun 1500M hingga
dewasa ini. Juga dalam masa perkembangan kesusastraan
pesisir Jawa pada abad-abad ke XVI dan ke XVII, cerita Panji
berkembang ke seluruh Nusantara dan akhirnya sampai pula ke
negeri di Timur India (Cf. Pigeaud, 1967-70, Jld. I:206).

32 – Panji Pahlawan Nusantara


Perkembangan Cerita Panji di Malaysia
Pada umumnya, sastra Melayu dapat dibagi dalam dua
kategori, yaitu sastra tradisional dan sastra moden. Sastra
tradisional terbagi pula kepada dua kelompok, yaitu sastra
rakyat dan sastra istana. Sastra rakyat berbentuk lisan,
sedangkan sastra istana berbentuk tulisan. Perkembangan
kedua-duanya beriringan pada tahap yang kemudian, tetapi di
antara keduanya, sastra rakyatlah yang mula-mula lahir. Sastra
istana lahir bersama datangnya bentuk tulisan ke dalam
masyarakat Melayu. Dalam hubungan ini, tulisan Jawi (huruf
Arab-Melayu) datang bersama Islam ke Malaka pada tahun
1403M, dan sejak tahun tersebut, sastra istana ini mulai
mendapat bentuknya.
Sastra rakyat dianggap sebagai sastra golongan illiterate,
dan muncul bersama lahirnya masyarakat sesuatu bangsa (Cf.
Ismail Hussein, 1970: 223). Dengan demikian, sifat lisan sastra
itulah yang menentukan sastra tersebut sastra rakyat (Cf. Alan
Dundes, 1965: 11). Biasanya, sastra ini mengalami suatu
proses yang dikenal sebagai transmisi, yaitu penuturannya
disampaikan melalui mulut ke mulut, dari generasi ke generasi,
atau dari satu budaya ke budaya yang lainnya (Cf. Alan
Dundes, 1965: 5). Biasanya sastra ini disampaikan oleh
penuturnya, yaitu penglipurlara. Tempat berkembang sastra ini
sukar diketahui karena ia berkembang di kalangan rakyat itu
sendiri.

33 – Panji Pahlawan Nusantara


Sastra istana adalah kepunyaan golongan literate. Ia
hidup dan berkembang di negara kota. Namun tidak mungkin
pula seorang penglipurlara yang dianggap genius di kalangan
masyarakat, tidak berkesempatan untuk menampilkan
kepandaiannya di kalangan masyarakat istana. Begitu juga
sebaliknya, kalangan rakyat tentu pula mengetahui keadaan di
negara kota mereka. Karena itu, sebagian dari cerita-cerita
rakyat menampilkan kisah-kisah sekitar kehidupan raja-raja,
seperti cerita Awang Sulung Merah Muda, Raja Donan, Malim
Demam, Nakhoda Tenggang, atau cerita Panji.
Sastra tradisional yang merangkumi dua kelompok sastra
terbagi pula ke dalam dua bentuk, yaitu prosa dan puisi. Cerita
Panji terdapat dalam semua bentuk tersebut. Sebagai contoh,
kita mengenal cerita Panji dalam bentuk prosa (hikayat) seperti
Hikayat Cekel Waningpati, Hikayat Panji Semirang, Hikayat
Misa Teman Jayeng Kusuma, Hikayat Dewa Asmara Jaya, dan
sebagainya. Dalam bentuk puisi, kita temui antara lain: Syair
Ken Tambuhan, Syair Jaran Temasya, Syair Misa Gumitar,
sedangkan cerita Panji dalam bentuk lisan terdiri dari Lalat
Hijau dan Panji Angreni, yang sering dimainkan dalam
pertunjukan wayang kulit di daerah Kelantan (Cf. Harun Mat
Piah, 1980: 28).
Adapun batas waktu antara sastra tradisional dengan
sastra moden ditentukan oleh terciptanya mesin cetak pada
abad ke XIX. Berhubungan dengan ini, semua hasil-hasil sastra
yang lahir sebelum munculnya mesin cetak itu dianggap

34 – Panji Pahlawan Nusantara


sebagai hasil sastra tradisional, sedangkan hasil-hasil sastra
sesudah mesin cetak dianggap pula sebagai hasil sastra moden.
Seperti yang telah kita sebutkan bahwa pusat
pengembangan kesusastraan Melayu, khususnya sastra tulisan,
terjadi di negara kota. Dalam hubungan ini, negara kota yang
terkemuka di Alam Melayu ialah Melaka. Puncak
kegemilangan kerajaan Melaka berakhir dengan kedatangan
kuasa Portugis pada tahun 1511M. Kemudian, pusat
pengembangan kebudayaan Melayu pindah ke Johor dan
akhirnya ke Aceh. Sejak itu, hubungan antara masyarakat
Islam di Semenanjung dengan masyarakat Islam di Indonesia
bertambah erat (Cf. Harun Mat Piah, 1980: 25).
Sebaliknya, jika kita lihat jauh sebelum itu, sebenarnya
sudah ada kontrak antara Melaka dengan Majapahit, dan ini
terjadi pada masa pemerintahan Hayam Wuruk yang amat luas
jajahan takluknya (Cf. Wojowasito, 1960, VI: 59-61). Arus lalu
lintas antara kedua bangsa serumpun pasti terjadi, terutama
dalam bidang politik dan kebudayaan.
Sekarang, kalau kita tanyakan kapan masuknya cerita
Panji ke dalam khasanah kesusastraan Melayu ternyata sukar
untuk memberikan suatu jawaban yang konkrit. Tetapi dalam
Hikayat Hang Tuah, kita dapat melihat adanya pengaruh cerita
Panji, sedangkan kitab Sejarah Melayu, yang terkarang pada
tahun 1612M ternyata dipengaruhi pula oleh Hikayat Hang
Tuah. Dalam hal ini, kita dapat mengatakan bahwa Hikayat
Hang Tuah lebih dulu lahir daripada Sejarah Melayu.
Barangkali inilah yang menyebabkan Winstedt menarik

35 – Panji Pahlawan Nusantara


kesimpulan bahawa cerita Panji itu telah terkenal di Malaka
pada abad ke XV (Cf. Winstedt, 1969: 54).
Kemudian pada tahun 1736M, Werndly telah
menerbitkan sebuah Kamus dengan mendaftarkan pula
beberapa buah cerita Panji. Ini membuktikan bahawa cerita
tersebut sudah ada jauh sebelum tahun 1736M itu (Cf.
Werndly, 1736: hujungan; Winstedt, 1920: 163-165).
Sebaliknya Francois Valentijn, sepuluh tahun sebelum itu,
telah memiliki sebuah naskhah Panji berjudul Misa Gomitar
(Cf. Francois Valentijn, 1926, Jld. V). Ini dapat pula
memperkuat dugaan kita bahwa cerita Panji sudah ada sebelum
tahun 1726M, atau mungkin sejak dua ratus tahun sebelumnya
sehingga terbitnya Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu
sudah terkena pengaruhnya.

Perkembangan Cerita Panji di Siam dan Kamboja


Hubungan antara Siam dengan Malaka memang telah
lama terjalin. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa peristiwa
dalam kitab Sejarah Melayu (Cf. Shellabear, 1961: 106).
Berdasarkan adanya hubungan antara dua kerajaan ini,
barangkali cerita Panji yang sudah lama berkembang di
Malaka, kemudian masuk ke Siam kira-kira akhir abad ke XV
(Cf. Krommamun Phitthayalap Phrittiyakon, 1975: 73-74).
Daerah Patani di selatan Siam memang mempunyai hubungan
dengan Semenanjung dan Jawa. Tambahan pula, Patani dalam
masa pemerintahan Raja Ijau dan Raja Biru (1584M-1624M)
disebut sebagai sebuah pusat perdagangan antara bangsa

36 – Panji Pahlawan Nusantara


termasuk Jambi, Jawa, Makasar, dan Malaka seperti yang
dilukiskan oleh Peter Flores (Cf. Teeuw, 1970: 13). Hal ini
dapat kita jadikan bukti bahwa Patani sudah mempunyai
hubungan yang erat dengan Indonesia dan Semenanjung ketika
itu.
Dalam satu jamuan makan di istana Patani, ketika
menghormati Sultan Pahang pada tahun 1612M, sejenis drama
(Makyung) telah dipertontonkan. Drama ini menggunakan
bahan lakon dari Jawa (Cf. Mubin Sheppard, 1972: 58). Ada
kemungkinan di antara cerita-cerita yang dimainkan itu
termasuk pula cerita Panji (Cf. Rattiya Saleh, 1979: 86).
Selanjutnya, terdapat pula sebuah keterangan dari
Damrong Racha Nuphap yang mengatakan bahwa seorang
perempuan dari Patani, yang menjadi hamba Puteri Raja
Marommakot (1732M-1758M), telah membawa cerita-cerita
Inau (Panji) masuk ke kota Ayutthaya (Cf. Krom Phraya
Damrong Racha Nuphap, 1965: 102-105). Menurut Putra
Dhani Nivat, perempuan tersebut bernama Yai Yavo (Cf.
Dhani Nivat, 1947: 101). Dalam bahasa Siam tidak terdapat
bunyi “j”, karena itu bunyi tersebut diganti dengan bunyi “y”.
Sedangkan kata “yai” mungkin dari “nyai” yang bererti nenek.
Jadi, “yai yavo” bererti nenek Jawa. Berdasarkan hal ini,
Rattiya Saleh menarik kesimpulan bahwa cerita Panji mulai
dikenal orang di Patani antara akhir abad ke XVI hingga awal
abad ke XVII. Kemudian cerita ini telah sampai pula ke
Ayutthaya antara tahun 1732M-1758M, yaitu zaman

37 – Panji Pahlawan Nusantara


pemerintahan Phracau Yu Hua Barromakot (Cf. Rattiya Saleh,
1979: 90).
Di Kamboja, seperti yang kita ketahui hanya terdapat
sebuah naskah cerita Panji, yaitu naskah yang telah dibicarakan
oleh Poerbatjaraka (Cf. Poerbatjaraka, 1968: 44-78). Dalam
naskah Kamboja ini, tokoh Inu disebut sebagai Eynao,
sedangkan di Siam disebut Inao. Ada kemungkinan kedua-
duanya diambil dari kata yang berasal dari ejaan huruf Jawi,
yang pada umumnya boleh saja ditransliterasikan menjadi
Eynao atau Inao. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa
Panji Kamboja tersebut telah dipengaruhi oleh Panji Melayu,
atau mungkin berasal dari Tanah Melayu.
Seperti halnya dengan negeri Thai, perhubungan antara
Kamboja dengan Semenanjung sudah lama terjalin. Alasan kita
ialah sampai kini orang dari daerah Kelantan mempunyai
hubungan kekeluargaan dengan orang di Selatan Kamboja.
Apakah dulu pernah terjadi perpindahan orang dari Kelantan
ke Kamboja? Kemungkinannya ada, karena di Kamboja
terdapat beberapa nama kampung seperti Kampung Sum,
Kampung Kleng, Kampung Chanang, dan sebagainya.
Kata “kampung” merupakan kata Melayu asli yang
berarti “desa”. Mungkin orang dari Kelantan yang menetap di
situ memberikan nama-nama tersebut, dan akhirnya mereka
menyebut nama desanya sebagai kampung. Kalau hal ini dapat
kita terima, maka kemungkinan pula orang inilah yang
membawa cerita Panji masuk ke Kamboja. Meskipun ada yang
mengatakan bahwa cerita Panji masuk ke Kamboja lewat India,

38 – Panji Pahlawan Nusantara


tapi Poerbatjaraka telah meraguinya (Cf. Poerbatjaraka, 1968:
44).

Kenapa Cerita Panji Amat Populer?


Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada hasil kesusastraan
yang bersemangat Jawa yang penyebarannya di seluruh
Kepulauan Nusantara menyamai penyebaran cerita Panji (Cf.
Poerbatjaraka, 1968: 409-410).
Kata-kata Poerbatjaraka di atas itu seolah-olah mau
menempatkan cerita Panji pada kedudukan yang teratas dalam
perspektif sejarah sastra Jawa tradisional. Kita tidak dapat
menyangkal hal itu, karena kalau kita lihat pada cerita-cerita
yang lahir sebelumnya, seperti Pararaton, Nagarakertagama,
Calon Arang, atau Tantu Panggelaran; juga cerita-cerita
sesudahnya, seperti Damar Wulan, Pangeran Wijaya, Sri
Tanjung, atau Sorandaka tidak dapat menyamai luasnya
jangkauan cerita Panji ini. Daya apakah yang dimiliki oleh
cerita ini hingga begitu sekali dikagumi orang? Untuk
menjawab secara mutlak memang tidak mungkin, namun kita
dapat membagikan pandangan kita kepada dua faktor utama,
yaitu:
Faktor Luaran
Sebagai sebuah hasil sastra, cerita Panji dicipta oleh
pengarang untuk bacaan masyarakat. Apa yang disajikan tidak
akan terlepas dari dunia masyarakat atau dirinya sendiri, karena
ia adalah sebagian dari masyarakat itu. Pada umumnya
pengarang cerita Panji ini tentu telah mengetahui atau paling

39 – Panji Pahlawan Nusantara


tidak, telah mendengar peristiwa-peristiwa yang telah terjadi
dalam rentetan sejarah bangsanya. Peristiwa-peristiwa sejarah
seperti pembagian kerajaan Jenggala atau adanya kerajaan-
kerajaan lain seperti Kediri, Singasari, dan Majapahit; juga
tokoh-tokoh sejarah seperti Erlangga, puteri Erlangga,
Kameswara I, Srikiranaratu, Ken Arok, Ken Dedes, Raden
Wijaya, dan sebagainya tentu telah diketahui atau didengarnya.
Begitu pula peperangan, pembunuhan dan perpecahan di
kalangan raja-raja Jawa seperti yang dilukiskan oleh kitab
Pararaton atau Babad Tanah Jawi; juga sebuah laporan historis
dari Rijckloff Van Goens mengenai tragedi yang terjadi
sewaktu pemerintahan Sunan Amangkurat (Cf. Dick Hartoko,
1979: 1-5) ternyata cukup menyayat serta memilukan hati.
Barangkali hal-hal semacam inilah yang telah mengilhamkan
para pujangga istana untuk menciptakan cerita Panji. Secara
implisit, mungkin pengarang yang anonim ini ingin
menyampaikan pesan “bersatu teguh, bercerai roboh” pada
kerabat-kerabat diraja yang sering bermusuhan.
Gambaran cerita yang tertumpu kepada beberapa
kerajaan Jawa itu tidak semestinya tepat dengan segala
peristiwa yang pernah terjadi dalam sejarah. Namun Majapahit
yang bertindak sebagai patron kepada cerita Panji, tentu
mempunyai hubungan geneologi dengan beberapa kerajaan
yang selalu disebut-sebut dalam kebanyakan cerita Panji itu.
Dengan menampilkan sifat-sifat kepahlawanan raja-raja
keturunan mereka, Majapahit dapat menyalurkan secara
implisit propaganda kekuasaannya. Sebagian dari propaganda

40 – Panji Pahlawan Nusantara


tersebut disampaikan lewat cerita Panji. Hal tersebut ikut pula
memperlancar penyebarannya.
Walaupun Islam telah berkuasa di Malaka dan sekitarnya
ternyata pengaruh kebudayaan pra-Islam tidak dapat dibuang
sepenuhnya. Selera masyarakat masih gemar cerita yang
bercorak fantasi atau supernatural. Oleh karena cerita Panji
tidak bersifat doktrin keagamaan, dan berbeda dengan cerita-
cerita sebelumnya yang banyak mengandung ajaran-ajaran
keagamaan serta cita-cita yang bersifat kehinduan; maka
kedatangan cerita Panji dianggap sebagai suatu detik peralihan
dalam kesusastraan Melayu ketika itu sehingga ia dapat
berkembang serta diterima oleh masyarakat tanpa sebarang
halangan (Cf. Harun Mat Piah, 1980: 32).
Di samping itu, bentuk-bentuk (prosa, puisi, atau wayang
kulit) yang melatari cerita Panji memang sesuai dengan selera
masyarakat lama. Bentuk prosa (hikayat) misalnya,
mempunyai ciri-ciri tersendiri. Pembacaan hikayat memang
menjadi kebiasaan bagi masyarakat Melayu, sama seperti
orang Jawa yang terbiasa dengan wayang. Tambahan pula
hikayat-hikayat yang bercorak pahlawan, yang
menggambarkan kegagahan dan keberanian wiranya, seperti
Hikayat Muhammad Ali Hanafiah, Hikayat Amir Hamzah,
Hikayat Hang Tuah atau hikayat-hikayat Panji; apabila
dibacakan dengan cara yang menarik dapat menimbulkan
semangat keberanian pembaca atau pendengarnya. Contohnya
ketika Malaka diserang oleh Portugis, pada malam harinya
orang-orang Malaka membaca Hikayat Amir Hamzah untuk

41 – Panji Pahlawan Nusantara


menaikkan semangat keberanian mereka (Cf. Shellebear, 1961:
272-275).
Bentuk syair atau tembang (puisi) juga memiliki ciri khas
untuk dinikmati. Syair atau tembang dilagukan mengikuti
irama-irama tertentu. Kalau pembawa lagunya memang
seorang ahli, dan suaranya merdu, maka penonton akan terbuai
mendengarkannya tanpa menyadari waktu yang telah
dilewatkan.
Begitu juga wayang kulit atau wayang topeng yang
memainkan cerita Panji, sangat disukai oleh masyarakat sejak
dulu hingga sekarang. Seringkali cerita Panji yang dimainkan
lewat wayang ini ditontonkan pula dalam pesta perkawinan
diraja, dan kemudian merata di kalangan masyarakat umum
(Cf. Ras, 1973: 438-440). Hal ini dapat saja terjadi, mengingat
masyarakat ketika itu amat terbatas sekali jenis hiburan
mereka.
Faktor Dalaman
Apakah tidak ada genre sastra lain yang dapat menjadi
saingan cerita Panji? Jawabnya ada, tetapi cerita-cerita tersebut
merupakan cerita-cerita yang dibawa dari luar, khususnya
cerita-cerita yang disadur dari cerita-cerita Hindu (India).
Sebagian dari masyarakat Jawa (golongan tua) sudah amat
terbiasa dengan cerita-cerita saduran sastra Hindu itu,
sedangkan sebagian lagi (golongan-muda) menginginkan
sesuatu yang lebih menarik; dan yang tidak terlalu bersifat
doktrin seperti cerita-cerita Hindu sebelumnya (Cf.
Poerbatjaraka, 1968: 404). Jadi, kelahiran cerita Panji dianggap

42 – Panji Pahlawan Nusantara


membawa angin baru, dan tentu saja sambutan dari masyarakat
ketika itu amat menggalakkan.
Mengapa cerita-cerita yang sezaman dengan cerita Panji
juga kurang menarik? Jawabnya, cerita-cerita seperti Pararaton
atau Nagarakertagama tidak dapat digolongkan ke dalam
kelompok roman, sedangkan cerita-cerita roman seperti
Damarwulan atau Hikayat Hang Tuah tidak dapat menyaingi
cerita Panji. Ini adalah disebabkan kedua cerita tersebut hanya
menitikberatkan soal kepahlawanan tanpa diimbangi oleh
faktor-faktor lain. Padahal faktor-faktor yang erat bertalian
dengan perasaan manusia yang hampir menimpa setiap
individu atau paling disukai untuk dikhayalkan, misalnya
percintaan, kemarahan, kekecewaan, kerinduan, dan iri hati
tampak menguasai seluruh cerita Panji; sedangkan faktor-
faktor tersebut kurang ditonjolkan dalam Damarwulan atau
Hikayat Hang Tuah.
Di samping itu, pembaca cerita Panji mungkin tertarik
pada kepintaran pengarang memasukkan unsur erotik dan
adegan-adegan ranjang, yang secara alamiah diingini oleh
semua manusia. Unsur-unsur tersebut disampaikan secara
samar-samar sehingga sifat “keterlaluannya” dapat diimbangi
(Cf. WW, 1971: 208-210).
Unsur-unsur lain yang ikut membangun cerita Panji
seperti humor, moral, etik, dan lukisan-lukisan budaya
masyarakat Jawa (lihat V disertasi penulis tentang hal ini
dalam Bab VI dan VII) telah diolah oleh pengarangnya lewat
penyampaian yang cukup indah. Keindahan tersebut memukau

43 – Panji Pahlawan Nusantara


Poerbatjaraka dan di dalam sebuah komentarnya mengenai
cerita Panji, dia menyebutkan:
Karena indahnya, maka seketika keluar, sudah amat
terkenal. Kemudian disalin berulang kali . . . Karena indah
dapat mengakibatkan timbulnya dongeng-dongeng wayang
gedog dan lakon topeng . . . (Cf. Poerbatjaraka, 1952: 89-90).
Jadi, paduan antara unsur-unsur di atas, dan tentunya
dibantu pula oleh aspek-aspek lain menjadikan cerita Panji ini
dapat menjangkau perjalanan yang begitu jauh. Meskipun
cerita ini memaparkan secara keseluruhan, ”of realistic
Javanese world” (Cf. Zoetmulder, 1974: 428); namun cerita
tersebut bukan saja sesuai untuk dunia Jawa, bahkan inti
temanya yang bersifat universal itu dapat pula merangkumi
dunia Melayu, Siam, dan Kamboja.

44 – Panji Pahlawan Nusantara


DAFTAR SINGKATAN
BKI = Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde,
terbitan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde, Leiden.
BP = Balai Pustaka
Cf. = Confer (Compare)
Cod. Or. = Codex Orientalist of the Library of University of
Leiden.
DBP = Dewan Bahasa dan Pustaka
DPK = Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
HPKS = Hikayat Panji Kuda Semirang
HSR = Hikayat Seri Rama
IKIP = Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
MTJK = Hikayat Misa Taman Jayeng Kusuma
OUP = Oxford University Press
PA = Pustaka Antara
PJ = Pustaka Jaya
SCP = Syair Cendawan Putih

RUJUKAN
Abdul Rahman Kaeh, 1983, Panji Narawangsa, analisa struktur dan fungsi
dalam hubungannya dengan pendidikan, (Disertasi Ph.D) Fakultas
Pasca Sarjana IKIP Malang, Indonesia.
Abdul Rahman Kaeh, 1976, Hikayat Misa Taman Jayeng Kusuma, Dewan
Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.
Berg, C.C., 1954, “Bijdragen tot de Kennis der Panji-verhalen”, BKI, No.
110.
Berg, C.C., 1928, Inleiding tot de Studie van het Oud-Javaansch,
Soerakarta.
Berg, C.C., 1930, Rangga Lawe, Bibliotheca Javanica I, Weltevreden.
Berg, C.C., 1938, “Javaansche Geschiedschrijving” dalam Stapel, F.W.
(ed.), Geschiedenis van Nederlandsch Indie, vol. II, Amsterdam.
Berg, C.C., 1974, Penulisan Sejarah Jawa, terjemahan dari Javaansche
Geschiedschrijving, Bhratara, Jakarta.

45 – Panji Pahlawan Nusantara


Brandes, J., 1888, “Lets over een oudere Dipanegara”, TBG vol. 32.
Cohen, S., 1853, “Djajalengkara” dalam BKI, halaman 44 dan seterusnya.
Damrong Racha Nuphap, Krom Phraya, 1965, Taman Lakhon Inau, ed. 4,
Bangkok, Khlang Witthaya.
Dhani Nivat, Prince, 1947, “Siamese Version of the Panji Romance, dalam
India Antique, Leiden.
Dick Hartoko, 1969, Bianglala Sastera, (berasal dari Oost Indische Spigel,
Karya Rob Nieuwenhuys), Penerbit Djamabatan, Djakarta.
Dundes, Alan, 1965, The Study of Folklore, Prentice-Hall, Inc.
Englewoodcliff.
Geertz, Hildred, 1964, The Journal of Asian Studies, vol. XXIV, No. 1.
Gunning, J.G.H., 1896, Panji-verhalen, Leiden, Brill.
Hageman, J., 1849, “Algemene Geschiedenis van Java” dalam Indisch
Archief, Jilid I (tahun pertama).
Harun Mat Piah, 1980, Cerita-cerita Panji Melayu, Dewan Bahasa dan
Pustaka, Kuala Lumpur.
Hazeu, G.A.J., 1897, Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche tooneel,
Leiden.
Ismail Hussein, 1970, “Masalah Pensejarahan Sastera Melayu Baru” dalam
Penulis, tahun 4, bil, 1-3.
Juynboll, H.H., 1923, Oudjavaansch-Hollandsche Woordenlijst, Leiden.
Koentjaraningrat, R.M., 1965, “Use of anthropological method in
Indonesian Historiography” dalam Sudjatmoko, (ed.) An
Introduction to Indonesian Historiography, E.J. Brill, Leiden.
Locher, G.W., 1974, “Willem Huibert Rassers: Roosendaal 16 September
1877 – Leiden 15 Mei 1973”, BKI, 130, I, hal. 1-15.
Noriah @ Jariah Mohamad, 1977, Panji Jayengtilam dalam Satu Tinjauan,
(Thesis M.A.), Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysia Barat.
Phitthalayap Phrittiyakon, Krommamunm, 1975, Wican Nithan Pan-yi ru
Inau, Ruang Phra Ram, Bangkok, Krom Sillapkon.
Pigeaud, Th.G.Th., 1967-1970, Literature of Java, vol. I-III, The Hague-
Martinus Nijhoff.

46 – Panji Pahlawan Nusantara


Poensen, C., 1873, “De Wajang” in: Mededeelingen v.w. het Ned.
Zendelinggenootschap, 17, Jaargang.
Poerbatjaraka, R.M. Ng., 1919, “Historische gegegens uit de Smaradhana”,
TBG, deel 58, halaman 461-489.
Poerbatjaraka, R.M. Ng., 1940, Panji-verhalen Onderling Vergelekan,
Bandung.
Poerbatjaraka, R.M. Ng., 1968, Tjerita Panji dalam Perbandingan,
(Terjemahan dari Panji-verhalen Onderling Vergeleken) oleh H.B.
Jassin dan Zubir Usman, Gunung Agung, Jakarta.
Poerbatjaraka, R.M. Ng., Tarjan Hadidjaja, 1952, Kepustakaan Djawa,
Djakarta.
Raffless, T.S. 1830, The History of Java, London.
Ramlan, M., 1976, Babad Tanah Jawa, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala
Lumpur.
Ras, J.J., 1973, “The Panji Roman and W.H. Rassers’ analysis of its
theme”, BKI, deel 129.
Rassers, W.H., 1922, De Panji-Roman, Antwerpen (Disertasi Leden).
Rattiya Saleh, 1979, Panji Thai dalam Perbandingan dengan Cerita-Cerita
Panji Melayu, (Thesis M.A.), Universiti Kebangsaan Malaysia,
Malaysia Barat.
Robson, S.O., 1969, Hakajat Andaken Penurat, The Hague-Martinus
Nijhoff.
Robson, S.O., 1971, Wanghang Wideya – A Javanese Panji Romance,
(Disertasi Leiden), The Hague-Martinus Nijhoff.
Schmidt, W., 1910, Grundlinien einer Vergleichung der Austronesischen
Volker, Vienna.
Shellabear, W.G., 1961, Sejarah Melayu, (ed.), Singapura.
Sheppard, Mubin, 1972, Taman Indera-Malay Decorative Arts and
Pastimes, Oxford University Press, Kuala Lumpur.
Stutterheim, W.F., 1935, “Enkele interessante feliefs van Oost-Java”,
Djawa 15.

47 – Panji Pahlawan Nusantara


Sulastin Sutrisno, 1979, Hikayat Hang Tuah Analisa Struktur dan Fungsi
(Disertasi Ph.D.), Fakultas Sastera dan Kebudayaan, Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta.
Teeuw, A., 1973, “Herdenking van Willem Huibert Rassers, (16 September
1877 – 15 Mei 1973)”, Jaarboek der Koninklijke Nederlandse
Akademic van Wetenschappen, halaman 214-21.
Teeuw, A., 1966, Syair Ken Tambuhan, Oxford University Press, Kuala
Lumpur.
Teeuw, A. and D.K. Wyatt, 1970, Hikayat Patani-The Story of Patani, 2 jil.
Bibliotheca Indonesia 5, The Hague.
Valentijn, F., 1926, Oud en Nieuw Oost-Indien, vol. V, Dordrecht,
Amsterdam.
Vlekke, Bernard H.M., 1945, Nusantara – A History of the East Indian
Archipelago, Cambridge, Mass, USA.
Werndly, G.H., 1736, Maleische Spreakkunst uit de eige Schriften door
Maleiers Opgemaakt, Amsterdam.
Winstedt, R.O., 1969, A History of Classical Malay Literature, Oxford
University Press, Kuala Lumpur.
Winstedt, R.O., 1920, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jil. II Cet. ke VI,
Djakarta.
Zoetmulder, P.J., 1974, Kalangwan – A Survey of Old Javanese Literature,
The Hague-Martinus Nijhoff.

48 – Panji Pahlawan Nusantara


HUBUNGAN SEJARAH DAN SUSASTRA
Kerajaan Panjalu, Jenggala dan Susastra Panji

Oleh
Henri Supriyanto

Abstrak:
Tradisi Jawa “Tempo Doeloe” para pujangga menulis Babad atau Hikayat,
berisi kisah pahlawan yang dirajut dengan peristiwa supranatural, yang
penuh kegaiban karena campur tangan para dewa terhadap manusia di muka
bumi. Tradisi inilah yang membuat peristiwa sejarah (history) sering rancu
dengan peristiwa sastra. Misalnya sejarah putra mahkota raja Kediri, prabu
Panji Amiluhur bernama Panji Inu Kertapati (Kameswara) mengawini putri
Jenggala manik, putri raja Panji Amijaya yang bernama Dewi Sekartaji.
Pada peristiwa sastra, posisi asal kerajaan ternyata terbalik. Panji Asmara
Bangun (Panji Inu Kertapati) adalah putra mahkota kerajaan
Jenggalamanik. Dewi Sekartaji, adalah putri raja Panji Lembu Amiluhur
kerajaan Kediri (Panjalu). Inilah inti karya sastra Smaradahana karya Mpu
Darmaja, yang diyakini menjadi induk cerita Panji.
Cerita Panji akhirnya berkembang dalam berbagai versi, pada sastra
tulis, sastra lisan dan sastra setengah lisan (lakon Panji pada seni
pertunjukan rakyat). Sastra tulis cerita Panji berkembang ke tanah Sunda,
Bali dan Sumatra, akhirnya menyebar ke kawasan mancanegara (Asia
Tenggara). Perkembangan zaman, kemajuan teknologi komunikasi pada
ranah budaya global, cerita Panji di tingkat lokal pada masa sekarang
kurang/tidak memperoleh apresiasi para generasi muda. “Festival Tempo
Doeloe” merekonstruksi budaya Panji, mengaktualisasikan khasanah sastra
Panji di tengah-tengah masyarakat masa kini.

49 – Panji Pahlawan Nusantara


Peta Kuna

Kediri, Singasari

50 – Panji Pahlawan Nusantara


I. Pendahuluan

HUBUNGAN sejarah dan susastra telah lama menjadi topik


pembahasan di lingkungan pakar sejarah dan pakar susastra.
Misalnya pada tahun 1958, Sir Richard Winsted menyajikan
karya ilmiah A History of Classical Malay Literature.
C.C.Berg pada tahun 1965 menyajikan karya ilmiah The
Javanese Picture of The Past (dalam Soedjatmoko, dkk.-ed. An
Introduction to Indonesian Historiography).
Sehubungan dengan pernyataan tersebut, layak diingat
teori Robert Scholes yang membahas makna fakta dan fiksi,
pada bukunya yang berjudul Element of Fiction (dalam Djoko
Apsanti, 1992:6). Sejarah mengacu ke fakta, sedang dunia
sastra mengacu ke fiksi. Istilah fakta dalam bahasa Latin facere
yang memiliki arti membuat atau membentuk (to shape),
berusaha membuat hubungan akrab antara kedua unsur
tersebut.
Apsanti Djokosujatno (1992:6) menyatakan bahwa fakta
berarti sesuatu yang telah dilakukan (a thing done), dan fiksi
selalu mengandung pengertian sesuatu yang direka/rekaan (a
thing made). Selanjutnya dikatakan bahwa fakta itu tamat
riwayatnya pada saat peristiwa itu selesai, eksistensinya hanya
sekilas. Peristiwa peperangan perebutan tahta kerajaan atau
kekuasaan pada masa lalu akan berubah menjadi catatan atau
data. Dalam perkembangan selanjutnya baik fakta maupun
fiksi terkumpul dalam history yang memiliki makna ganda,
yaitu hal-hal yang telah terjadi (a recorded version of things
supposed to happen).

51 – Panji Pahlawan Nusantara


Kata story (fiksi) bermula dari kata history. Sehubungan
dengan uraian tersebut, Djoko Apsanti (1992:7) menyatakan
bahwa dalam bahasa Perancis historie mempunyai tiga macam
makna yaitu sejarah, cerita, dan cerita yang direka. Pernyataan
tersebut sesuai dengan pendapat Kuntowijoyo (1981:18) yang
menyatakan bahwa karya sastra dapat menjadi sarana bagi
pengarang untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan
tanggapannya mengenai suatu peristiwa sejarah. Dalam kaitan
masalah tersebut, genre sastra tulis yang berbentuk prosa dan
puisi dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa
sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi
pengarang atau penuturnya.
Istilah fiksi sering dirancukan dengan istilah imajinasi.
Istilah imaginasi berasal dari bahasa latin imaginatie, imajinasi
dalam bahasa Inggris imagination, yang berarti kegiatan
membayangkan atau membentuk kesan-kesan atau konsep-
konsep mental yang sesungguhnya tidak ada bagi indera-indera
seperti itu. Istilah imajinasi bersinonim dengan kata Yunani
phantasia (fantasi) yang bermakna peniruan. Filosof seperti
Thomas Hobbes, Emmanuel Kant, Coleridge dan Crose telah
menganalisis makna imajinasi dari berbagai aspek. Crose
beranggapan imajinasi sebagai kreasi intuisi seseorang amat
penting dalam proses kegiatan kreasi estetis (Lorens, 1992:8).

II. Pembahasan

Sekilas Sejarah Panjalu

52 – Panji Pahlawan Nusantara


Sebelum membahas cerita Panji, sebaiknya difahami
secara sekilas sejarah Kediri (Panjalu dan Jenggala). Dinasti
Empu Sindok yang berkuasa selama 300 tahun, pada awalnya
menetapkan ibukota kerajaan Sindok pada kwartal pertama
abad X di Watu Galuh (sekitar Jombang). Pada zaman Prabu
Darmawangsa pada abad X, ibukota dipindahkan ke Timur di
Watanmas, di kaki gunung Penanggungan (di sebelah Selatan
Sidoarjo) yang pada tahun 1006 diserang raja Wura-Wuri.
(Prasasti Pucangan, 1041, Kawuryan, 2006:14).
Tahun 1042 Airlangga memindahkan ibukota kerajaan ke
Daha. Sejak Mpu Sindok sampai dengan Airlangga, dinasti
Sindok yang menjadi raja adalah sebagai berikut.

Raja ke-1 :
Mpu Sindok (Cri Maharaja Rake Hino Icana
Wikramadharmatunggadewa) pada tahun 929-947 M.
Raja ke-2 :
Cri Icana Tunggawijaya (dilanjutkan putranya Makura
Wangen Wardhana), pada tahun 947-990 M.
Raja ke-3 :
Cri Dharmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa
pada tahun 991-1016 M.
Raja ke-4 :
Cri Maharaja Raki Cri Lokeswara Dharmawangsa
Airlangga Anantawikramatunggadewa 1019-1041 M

53 – Panji Pahlawan Nusantara


Pada tahun 1041, Prabu Airlangga melakukan
pembelahan kerajaan (Jawa Kuna “Hanyar Hablah”) menjadi
dua wilayah kerajaan, yakni Panjalu dan Jenggala.
Prabu Airlangga adalah sosok tokoh sejarah berjiwa
besar dan tokoh yang amat mencintai anak-anaknya. Ia
mengetahui bahwa anak dari permaisuri tidak rukun dengan
anak dari isteri selir. Upaya pertama ia mengutus Mpu Baradah
ke kerajaan Marwadewadi Bali, agar anaknya dapat dinobatkan
menjadi raja di Bali. Harapan ini pupus, setelah Mpu Kuturan
menolak permintaan Prabu Airlangga
Prabu Airlangga akhirnya mengutus Mpu Baradah agar
membagi kerajaan menjadi dua wilayah, yakni kerajaan
Panjalu dan kerajaan Jenggala.

Kerajaan Jenggala
Raja pertama kerajaan Jenggala adalah Panji Garasakan.
Pembelahan kerajaan Panjalu dan Jenggala pada tahun 1042.
Berdasarkan prasasti Turun Hyang yang dikeluarkan Panji
Garasakan bertahun 1044 M. Isi prasasti menyatakan bahwa
Jenggala berperang melawan Panjalu pada tahun 1044 M,
yakni dua tahun sesudah kerajaan dibelah menjadi dua wilayah.
Pada waktu itu yang menjadi raja di Panjalu adalah Cri
Samarawijaya Darmasuparnawahana Teguh Utunggadewa,
pada buku lain disebut prabu Jayanegara atau prabu
Linggajaya, berkuasa pada tahun 1042-1014 M. Raja Jenggala
prabu Panji Garasakan. Inilah catatan perang pertama Panjalu-
Jenggala.

54 – Panji Pahlawan Nusantara


Berdasarkan prasasti Kambangputih dan prasasti
Malenga, tahun 1052 M, terjadilah peperangan yang kedua.
Panji Garasakan melawan raja Panjalu Prabu Haji Linggajaya
atau prabu Jayanegara yang berkuasa tahun 1042-1104. Ia
adalah raja dari permaisuri Raja Airlangga, atau raja ke-5
kerajaan Panjalu.
Prasasti Banjaran bertahun 1052 M (berada di wilayah
Surabaya) prabu Alanjung Ahyes (adik prabu Garasakan) akan
merebut kembali Jenggala yang diserang raja Panjalu. Ia waktu
itu mengungsi di hutan Marsma. Di antara tahun 1052 sampai
dengan 1059 di Jenggala terjadi pergantian raja. Yang bertahta
tahun 1059 adalah Rakai Halu Pu Juru Samarotsaha
Karnakesana Sangkakirtisingha Jayantaka Tunggadewa atau
prabu Jayantaka.
Berdasarkan prasasti Ngantang (Hantang) tahun 1135 M,
raja Panjalu adalah prabu Jayabaya memerintah tahun 1130-
1157 M. Ia mengalahkan kerajaan Jenggala, prasasti Ngantang
menyebutnya Panjalu Jayanti. Setelah peristiwa tersebut, prabu
Jayabaya memerintahkan penulisan kisah yang bersumber pada
Mahabharata, Mpu Sedah diperintah menulis kisah
Bharatayuda. Penulisan buku ini dilanjutkan oleh Mpu
Panuluh, dengan candra sangkala Sanga kudha sudha
candrama atau tahun 1079 Saka (=1157 M). Penulisan kisah
Bharatayuda ini memiliki makna yang unik, yakni cerminan
pandangan hidup budaya Hindu Jawa, yakni munculnya
peperangan di lingkungan keluarga besar, tidak sekedar
memori, tetapi juga rasa penyesalan yang dalam, karena

55 – Panji Pahlawan Nusantara


Jayabaya telah menyerang kerajaan yang rajanya masih satu
darah keturunan prabu Airlangga, atau perang karena tanah
warisan.
Raja Panjalu ke-12 bergelar Cri Maharaja Cri
Kameswara Triwikramawataranindita Cenggalancana
Digjayatunggadewa. Pada waktu itu pujangga Mpu Darmaja
mengarang buku Smaradahana. Isinya mengisahkan
perkawinan Icyana Dharma dan Cri Kirana (putri Jenggala).
Poerbatjaraka berpendapat bahwa buku Smaradahana inilah
yang menjadi induk Cerita Panji.
Berdasarkan uraian singkat di depan, yang bersumber
dari buku Negara Kertagama, ternyata nama-nama raja
Jenggala tidak selengkap raja-raja Panjalu (Megandaru, W.
Kawuryan, 2006).
Dinasti Empu Sindok sesudah prabu Airlangga yang
menjadi raja di Panjalu sebagai berikut.

Raja ke-5 :
Cri Linggajaya atau Jayanegara, pada tahun 1042-1104
Raja ke-6 :
Cri Jayawarsa Digdaya Sastraprabu, pada th. 1104-
1115 M
Raja ke-7 :
Cri Maharaja Bameswara Sakala Buwana Tustikarana
Sarwaniwayyawira Parakrama Digdaya Utungga Dewa,
pada tahun 1115-1130 M.
Raja ke-8 :

56 – Panji Pahlawan Nusantara


Cri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Cri Dameswara
Madusudha Wataranindita Suhersinga, pada th. 1130-
1157 M
Raja ke-9 :
Rake Sirika Cri Sarwawacswara Janardhanawatara
Wijayagraja Samasinghanada Niwarryawirya Parakrama
Digjayatunggadewanama, pada tahun 1157-1169 M.
Raja ke-10 :
Rake Hino Cri Arryecwara Madhusudanawatararijaya
Parakramatunggadewanama, pada tahun 1169-1171 M.
Raja ke-11 :
Cri Kroncharriyadipa Handhabuwanapalaka
Parakramanindita Digjayotunggadewanama Cri Candra,
pada th. 1171-1182 M.
Raja ke-12 :
Cri Maharaja Kamecwara Triwikramawataranindita
Cenggalancana Digjayotunggadewa, pada tahun 1182-
1185 M
Raja ke-13 :
Cri Maharaja Triwikrama Watara Anindita
Crenggalancana Digdaya Utunggadewa. Pada sejarah
umum lebih populer disebut Prabu Kertajaya atau
Dhandhanggendhis, pada tahun 1185-1222 M, sebagai
raja terakhir dinasti Mpu Sindok.

Data nama-nama raja tersebut berbeda dengan data raja-


raja Panjalu dan Jenggala pada buku The History of Java, karya

57 – Panji Pahlawan Nusantara


Thomas Stamford Raffles. Buku sejarah yang ditulis Raffles
tampaknya bersumber pada data sejarah lisan, yang
ditulis/dicatat oleh tokoh masyarakat lokal pada zamannya.
Raffles menyatakan bahwa Raja Dewa Kusuma mendirikan
kerajaan Jenggala di bekas hutan Jeng’awan. Nama Jenggala
dalam bahasa Jawa Kuna mengacu ke nama seekor anjing
piaraan raja Dewa Kusuma. Anak-anaknya dikirim ke India.
Setelah putra raja Dewa Kusuma dari India pulang ke Jawa,
Kerajaannya dibagi ke putra-putranya.
Thomas Stamford Raffles (2008:440) menyusun silsilah
raja Jawa pada 1082-1084 tahun Jawa sebagai berikut.
1. Lembu Amijaya, raja Kediri.
2. Lembu Amisena, raja Ngurawan
3. Lembu Amilu’eh (Ami Luwih), raja Singasari,
dan
4. Lembu Amiluhur, raja Jenggala, dilanjutkan
oleh raja Panji Suria Amisesa.

2.3 Relevansi Sejarah dan Karya Sastra


Nama-nama raja Jawa yang ditulis Raffles terkait dengan
nama-nama Raja Jawa pada cerita susastra Panji.
Bagaimanakah hubungan Sejarah dan Susastra itu? Sebagai
pengantar untuk memahami susastra Panji di bawah ini
disajikan perbedaan antara peristiwa Sejarah dan peristiwa di
dalam Karya Sastra.

Peristiwa Sejarah

58 – Panji Pahlawan Nusantara


1. Perkawinan R. Wijaya
Mahisa Anabrang memimpin ekpedisi ke Pamalayu, ia
memboyong Dara Petak dan Dara Jingga. Sepuluh hari sesudah
perang Tartar, R.Wijaya mengawini Dara Petak & Dara Jingga.
Prasasti bertarih 1305 S, Jayanegara sebagai taruna muda di
Dahanapura.
2. Piagam Kudadu
Arya Adikara, putra Arya Wiraraja memberontak ke
Majapahit. Arya Adikara terbunuh.
3. Kematian Gajah Mada
Pada buku Negara Kertagama, Gajah Mada meninggal
dunia pada tahun Saka 1285 (1363 M), dimuat pada pupuh
LXX-LXXI (Slamet Mulyana, 1979:159). Tempat Mada Ka Ri
Pura (Pasuruan).

Peristiwa Sastra

1. Kidung Panji Wijayakrama


R.Wijaya bergelar Sang Rama Wijaya memperisteri Dara
Petak dan Dara Jingga. Dara Petak (Dyah Indreswari) dalam
Negara Kertagama berputra Kalagemet, menjadi Raja di
Kediri.
2. Kidung Ranggalawe
Ranggalawe adalah putra Banyak Widhe. Ia “mbalela”
(memberontak) ke Majapahit, karena tidak diangkat menjadi
Amangku Bhumi. Ranggalawe terbunuh di Kali Tambak beras.

59 – Panji Pahlawan Nusantara


1. Kematian Gajah Mada
Kidung Sundayana, ditulis th. 1775 S (1853 M), Gajah
Mada meninggal dunia sesudah perang Bubat

Berdasarkan ilustrasi tersebut, dapat dikatakan bahwa


sejarah memiliki ciri utama mendeskripsikan suatu peristiwa
atau kejadian penting didukung data yang memiliki nilai
kesejarahan. Sebaliknya pada karya sastra memiliki ciri
pencitraan atau penarasian suatu peristiwa dan penggambaran
suasana peristiwa. Pada karya sastra pemaparannya
berdasarkan imajinasi pengarangnya.
Suatu toponimi atau nama tempat yang memiliki nilai
kesejarahan seringkali menimbulkan perbedaan penafsiran.
Sering terjadi pula nama yang sama untuk menyebutkan lokasi
yang berbeda. Dalam hal ini tafsiran Gegelang memiliki
tafsiran yang beragam sebagai berikut.
1. Gegelang = Daha (menurut Krom, berdasarkan kronik
Cina, bahwa Kalang, sebuah nama daerah, mempunyai
ibukota Daha/Taha. Jadi Kalang diidentifikasikan sebagai
Gegelang, dan Taha = Daha. (Krom, 1926:274-275).
2. Gegelang = ‘Eggingglang’, bekas suatu kerajaan, kini
tinggal reruntuhan penuh belantara di sebelah Barat
Gunung Wilis (Pararaton: 98, catatan kaki 2).
3. Gegelang = Pagutan (MALAT, Purbatjaraka
menginterpretasikan ‘pagutan’ berasal dari kata ‘pagut’ =
pertautan di antara dua ujung = Gelang (Gegelang)=
Pagotan, tempat pabrik gula di kawasan Madiun.

60 – Panji Pahlawan Nusantara


4. Gegelang = berdasarkan Surat Centhini, waktu tempuh
perjalanan tiga hari dari Gua Selamangleng (Gunung
Klothok, Kediri), turun ke Barat, memutar ke Utara, lalu ke
Barat lagi sepanjang kaki Gunung Wilis (Centhini, kutipan
Purbatjaraka, 1940:337).
5. Gegelang = di kaki Gunung Wilis, sebelah Barat
(Purbatjaraka, 1940:337).

Demikianlah kerumitan studi naskah kesejarahan, yang


mewajibkan pihak peneliti untuk membaca naskah sebanyak-
banyaknya, khususnya yang saling berkaitan.

2.4 Susastra Panji


2.4.1. Tokoh Panji pada sejarah
Istilah sejarah atau history dipahami oleh budayawan
Indonesia setelah intelektual Indonesia mempelajari konsep
sejarah dari dunia Barat. Bangsa Indonesia pada periode awal
lebih lekat dengan istilah Babad, Tambo, dan Hikayat. Ciri
khas genre budaya menyajikan seperangkat tokoh, latar tempat,
latar peristiwa pada zamannya. Peristiwa itu sering dikaitkan
dengan angka kejadian yang diwujudkan dalam bentuk Candra
Sangkala atau Surya Sangkala, angka tahun peristiwa yang
dirajut dalam kalimat. Misalnya pada karya sastra “Panji
Gandrung Angreni”, Candra sangkala guna paksa kaswareng
rat, artinya “guna = 3; paksa = 2; kaswareng = 7; rat (jagat) =
1”. Bila dibaca dari belakang menunjuk ke angka 1723 Syaka
atau 1801 M.

61 – Panji Pahlawan Nusantara


Perdebatan yang berulangkali muncul ialah Serat Babad
Tanah Jawi, Pararaton dan Negara Kretagama (serta karya
yang sejenisnya) itu termasuk karya sastra ataukah karya
sejarah? Pendapat yang moderat menyatakan bahwa karya
tersebut termasuk sejarah yang didongengkan (rumusan
pengertian yang kompromistis).
Siapakah tokoh Panji dalam sejarah Kediri, Singasari,
dan Majapahit? Para sejarawan berpendapat bahwa Panji atau
Kameswara dikaitkan dengan Kameswara I, karena istrinya itu
bernama Candra Kirana (Poerbatjaraka, 1940:363).
Pramudito dalam bukunya yang berjudul Kitab Negara
Kertagama (Sejarah Tata Pemerintahan dan Peradilan Kraton
Majapahit) menjelaskan bahwa cerita Panji tampak pada
kerajaan Kediri yang dibelah menjadi dua negara. Raja
membagi dua kerajaan menjadi dua bagian yakni, kerajaan
Panjalu (dengan ibu kota Daha) dan kerajaan Jenggala yang
berpusat di lereng gunung Penanggungan. Pada masa muda
raja Erlangga pernah mengungsi ke Penanggungan, ketika
Kediri diserang raja Wura-wari. Wilayah pengungsian diberi
nama Kahuripan tidak jauh di Porong. Dikisahkan bahwa putra
raja Erlangga (putra mahkota) berselisih dengan putra dari
selir. Raja Jenggala pada tahun 1045-1059 adalah Panji
Garasakan lalu digantikan oleh Panji Alanjung Ahyes. Ia
digantikan oleh Sri Maharaja Rakai Halu Pu Juru
Samarathasaha Karnakesana Ratna Sangkha Kirtisingha
Jayataka Tungga Dewa pada tahun 1059. Catatan penting pada
buku tersebut pada tahun 1135 M, Jenggala dihancurkan oleh

62 – Panji Pahlawan Nusantara


Jayabhaya, raja Panjalu (berdasarkan prasasti Ngantang,
“Panjalu Jayanti”).
Pramudito (2006:99) menerangkan bahwa pada tahun ini
telah hadir raja baru bernama Sri Maharaja Sri Kameswara
Triwikrama Awatara Ani Wariwirya Parakrama Anindhita
Digdaya Utungga Dewa. Berdasar prasasti Ceker bertarih 11
September 1185, sang raja disamakan dengan raja Dewa
Kamajaya, yang memegang peranan penting dalam kakawin
Smaradahana karya Empu Darmaja. Permaisuri sang raja
bernama Kirana Ratu berasal dari Jenggala. Dengan demikian
pendapat Pramudita berbeda dengan pendapat R.M
Poerbatjaraka yang mengacu ke raja Kameswara I yang
seharusnya dibaca Bameswara.
Uraian singkat di atas adalah data pada sejarah Kediri
dan Jenggala. Karya sastra merupakan karya sejarah yang
dinarasikan (didongengkan), mengutamakan peranan tokoh,
petualangan hidupnya, latar tempat, dan latar peristiwa yang
unik. Sastra merajut data sejarah menjadi karya fiksi yang
hidup, memiliki daya tarik untuk dinikmati sebagai karya sastra
(karya imajinatif).

2.4.2. Tokoh Panji pada Susastra


Penyebaran karya sastra Panji dalam bentuk buku sastra
telah dirilis oleh Balai Poestaka, antara lain buku yang
berjudul: Panji Sekar, Panji Dhadap. Pada zaman kejayaan
Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan daerah

63 – Panji Pahlawan Nusantara


buku-buku tersebut ada yang diterbitkan kembali, misalnya
Serat Panji (Panji mBedah Nagari Bali) pada tahun 1979.
Panji Jayeng Tilam (tembang berbahasa Jawa) ditulis
dalam huruf Jawa dan pernah dilatinkan. Panji Gandrung
Angreni dan Panji Klayan Tanjungsari (edisi Roorda Gunning),
Panji Verhalen Onderling Ver gelekan (Poerbatjaraka, tertulis
dalam bahasa Belanda), De Panji Roman (Rassers, berbahasa
Belanda), Hikayat Panurat (Robson, berbahasa Melayu,
komentar dalam bahasa Inggris).
Pada zaman Kameswara (1115-1130 M) Mpu Darmaja
mengarang Smaradahana (Raja Kediri) dan Sri Kirana
(Jenggala). Pada zaman Jayabhaya (1130-1157 M), Mpu Sedah
dan Panuluh mengarang Bharatayudha. Dr. Gunning telah
menerbitkan Bharatayuda ke dalam huruf Latin pada tahun
1930 M. Memasuki zaman Singasari Mpu Tan Akung
mengarang buku Lubdhaka. Pada buku tersebut Mpu Tan
Akung menyebut raja Girindrawangsa, yang dimaksudkan
adalah Raja Ken Arok.
P.J Zoetmulder (1983:533) menyatakan bahwa secara
eksklusif kidung dan bahasa Jawa Tengahan telah dipakai
untuk menyajikan kisah-kisah Panji. Ia mengatakan bahwa
kidung-kidung tersebut berisi kisah romantik, dicampur
legenda dan dideskripsikan secara realistis mengenai
kehidupan dan dunia orang Jawa.
R.M Poerbatjaraka (1968) dalam bukunya yang berjudul:
“Tjerita Panji dalam Perbandingan” telah membandingkan 8

64 – Panji Pahlawan Nusantara


versi cerita Panji. Kedelapan cerita Panji yang dimaksudkan
ialah:
1. Hikayat Panji Kuda Semirang
2. Hikayat Panji Semirang
3. Hikayat Galuh Digantung
4. Hikayat Cekel Wenengpati
5. Hikayat Misa Jayeng Tilam
6. Hikayat Dewa Asmara Jaya
7. Hikayat Undakan Panurat
8. Panji Kamboja dan Panji Thailand
Cerita Panji yang tergolong muda berbentuk tembang
macapat berjudul Panji Jayeng Tilam karya R. Ng.
Ranggawarsita (Langeen Co Betawi, 1865) belum terbahas
pada buku Panji dalam Perbandingan karya Poerbatjaraka.

2.4.3. Problematika Pada Cerita Panji


W.H.Rassers telah memilih cerita Panji untuk
disertasinya yang berjudul De Panji Roman (Liaw Jock
Fang,1991:17). Ia berpendapat bahwa cerita Panji merupakan
mitos bulan dan matahari yang menggambarkan struktur
masyarakat zaman Kediri. Pada perkembangan selanjutnya
banyak sarjana yang tidak sependapat dengan W.H.Rassers.
Mereka yang menolak pendapat W.H.Rassers ialah
K.A.H.Hidding, Th.Pengeaud, B.M.Goslings, Poerbatjaraka
dan J.J. Ras.
K.A.H. Hidding berpendapat bahwa cerita Panji ialah
lambang kekuatan yang terdapat di dalam tubuh manusia.

65 – Panji Pahlawan Nusantara


Th.G.Th. Pigeaud menolak pembagian dua golongan (noiety)
yang dikatakan Rassers terjadi dalam masyarakat Indonesia
purba. B.M.Goslings, sependapat bahwa cerita Panji ialah
cerita suci. W.F.Stuterheim menolak pendapat Rassers yang
mengatakan cerita Panji menjadi pola sastra di Jawa.
Sebaliknya, H.B.Sarkar (Sarjana India) berpendapat bahwa
cerita Panji merupakan satu mitos alam (Nature Myth) dan
tidak ada hubungannya dengan totemisme (Koentjaraningrat,
1975:135-142).
C.C. Berg berpendapat bahwa cerita Panji terjadi pada
tahun 1227 M yakni pada masa Pamalayu sampai kira-kira
1400. Zaman keemasan cerita Panji adalah zaman Majapahit,
demikian pernyataan C.C. Berg dalam Kidung Sundayana
(1928 M). Poerbatjaraka tidak sependapat dengan pendapat
C.C.Berg. Ia berpendapat bahwa cerita Panji yang asli tercipta
pada atau sesudah masa kejayaan Majapahit (1293-1520)
(Liaw Jock Fang, 1991:120). Pendapat-pendapat di atas tidak
disepakati oleh Setyawati Sulaeman (ahli purbakala) yang
mengatakan bahwa cerita Panji telah populer pada tahun 1375
M (Hutomo, 1993:12). Ia mengatakan bahwa cerita Panji
adegan Panji Kertolo dan panakawannya Prasanta telah
terpacak pada relief Candi Penataran di Blitar.
J.J. Ras berpendapat bahwa cerita Panji merupakan satu
episode dalam sejarah Legendaris Jawa. Oleh karena itu, cerita
Panji terdapat dalam kitab-kitab seperti Babad Tanah Jawi,
Serat Kanda, dan cerita Jayalengkara. Cerita Panji yang
termuat pada Babad Daha Kediri sebagai berikut:

66 – Panji Pahlawan Nusantara


Ratu Sri Gentayu dari Jenggala mempunyai lima orang
anak, Pertama Dewi Kilicusi seorang biku yang menetap di
Gunung Kepucangan. Kedua, Raden Kusuma atau Prabu
Lembu Amiluhur yang menggantikan ayahandanya di
Jenggala. Ketiga, Prabu Amerdadu yang menjadi raja di Daha.
Keempat Prabu Lembu Pengarang raja Urawan.Kelima, Prabu
Amerjaya raja Singasari.
Lembu Amiluhur menghendaki puteranya Panji Kuda
Rawisrengga kawin dengan putri Daha. Pada saat itu Panji
sudah berkenalan dengan Dewi Angreni, anak perempuan Patih
Daha, yang kemudian dikawininya. Biku Kilisuci campur
tangan, karena Dewi Sri telah menitis pada orang yang salah.
Kalau Angreni mati, jiwa Dewi Sri bisa berpindah ke Candra
Kirana.
Dengan demikian perkawinan Wisnu dan Dewi Sri dapat
dilangsungkan melalui Raden Inu dan Candra Kirana.
Dewi Angreni lalu dibunuh. Ketika Inu akan mengawini
puteri kerajaan Daha (Candra Kirana) Inu kemudian diusir dari
kerajaan. Inu mengembara, akhirnya sampailah ke wilayah
kerajaan pamannya (Prabu Lembu Pengarang) di kerajaan
Urawan. Pamannya amat iba hatinya, lalu ia dikawinkan
dengan anaknya.
Pada waktu itu terdengar berita bahwa kerajaan Daha
diserang kerajaan Hindustan. Prabu Lembu Pengarang, raja
Urawan memerintah Inu agar membantu Daha dan agar
menuntut supaya Candra Kirana diserahkan kepadanya. Raja
Hindustan dapat dikalahkan, dan biku Kilisuci turun dari

67 – Panji Pahlawan Nusantara


Gunung Kapucangan, ikut campur tangan untuk menikahkan
Inu dengan Candra Kirana. Dengan demikian dapat
dilangsungkan perkawinan titisan Wisnu (Raden Inu) dengan
titisan Dewi Sri (Candra Kirana). Dalam cerita tersebut,
dikisahkan bahwa Inu adalah cucu Erlangga (titisan Dewa
Wisnu).

III. Simpulan dan Harapan

Simpulan
1. Tokoh Panji dalam Sejarah Panjalu Jenggala adalah
tokoh identifikasi raja Panjalu ke-12, yakni Sri Maharaja
Kameswara yang berkuasa pada tahun 1182-1185 M.
Poerbatjaraka berpendapat bahwa tokoh Panji Inu (Hino)
Kertapati adalah raja Panjalu ke-7. Pendapat tersebut ditolak
oleh pakar sejarah yang lain, sebab raja ke-7 bernama
Bameswara, bukan Kameswara seperti tersebut di atas.
2. Identitas tokoh utama sebutan kerajaannya terbalik.
Pada bidang studi sejarah, Kameswara adalah raja Kediri yang
mengawini Dewi Sekartaji, putri kerajaan Jenggala. Sedangan
pada susastra tulis, lisan dan setengah lisan, Panji Inu Kertapati
adalah putra mahkota kerajaan Jenggala Manik, Putra raja
Lembu Amiluhur. Ia mengawini dewi Sekartaji, putri Panji
Lembu Amijaya, raja Kediri (Panjalu).
3. Panji Pahlawan Nusantara tampak pada susastra tulis,
lisan dan setengah lisan (lakon seni pertunjukan rakyat),
misalnya pada Wayang Topeng Malang Panji Inu Kertapati

68 – Panji Pahlawan Nusantara


selalu membebaskan kerajaan Jenggala dan Kediri dari
ancaman musuh dari kerajaan mancanegara atau Kerajaan
Sabrang (kerajaan dari Seberang lautan).
4. Persamaan tema pada sejarah dan susastra.
Persamaan tema pada sejarah dan susastra yang
dimaksudkan ialah upaya mempersatukan kerajaan Panjalu dan
Jenggala melalui perkawinan antar keturunan kerajaan (inter
marriage policy). Perkawinan antar keluarga kerajaan ini lebih
lanjut dapat ditelusuri pada keluarga kerajaan Majapahit.
5. Sebaran cerita Panji sampai ke wilayah Asia Tenggara
dapat dikaitkan dengan pengaruh kejayaan kerajaan Majapahit
pada abad ke-15 dan sesudahnya.

Harapan
1. Cerita Panji diharapkan dicetak ulang dan difungsikan
sebagai bacaan sastra untuk siswa SD, SMP, dan SMA. Di
samping itu diperlukan bacaan ilmiah populer untuk bacaan
siswa SMA dan mahasiswa di Perguruan Tinggi.
2. Aktualisasi seni pertunjukan rakyat diharapkan dikemas
pada ragam teater modern untuk apresiasi masyarakat modern
di kampus dan masyarakat umum. Genre seni pertunjukan ini
diharapkan dapat didokumentasikan pada media elektronika
(CD, VCD, film) dan selanjutnya dipublikasikan di media
televisi.
3. Harapan tersebut dapat terwujud jika kerjasama empat
unsur/komponen masyarakat dilibatkan secara utuh.
Empat komponen yang dimaksudkan sebagai berikut:

69 – Panji Pahlawan Nusantara


a. pemerintah berfungsi sebagai pelindung;
b. seniman dan budayawan sebagai kreator;
c. masyarakat penonton sebagai apresiator terlibat secara
dinamis;
d. kritikus budaya sebagai pemikir seni budaya
diharapkan terlibat secara aktif.

70 – Panji Pahlawan Nusantara


CATATAN PUSTAKA

1. Istilah fakta dan fiksi yang mengacu ke teori Robert Scholes ini
dikembangkan dari makalah karya Apsanti Djokosujatno yang berjudul
Roman Sejarah: Definisi dan Fungsinya, pada Seminar Sastra dan
Sejarah: 30-31 Oktober 1992 di Fakultas Sastra UI – Depok (Jawa
Barat).
2. Peristiwa Sastra dan Peristiwa Sejarah tersebut disarikan dari karya
Slamet Mulyana pada bukunya yang berjudul Negara Kretagama dan
Tafsir Sejarahnya, Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1979.
3. Pendapat sarjana-sarjana sastra tentang Cerita Panji disarikan dari buku
karya Liaw Jock Fang dalam bukunya yang berjudul Sejarah
Kesusastraan Melayu Klasik, 1991, Jakarta: Erlangga, 117-150.
4. Teori Rassers dan kritik para sarjana sastra terhadap teorinya dapat
dibaca pada buku Anthropology In Indonesia, karya Koentjaraningrat,
Gravenhage, 1975, 135-142.
5. Silsilah dinasti Isyana dan Raja-raja Kediri secara kronologis
merupakan rekonstruksi sejarah Kediri dengan sumber bahan karya
Soewoyo R. yang dimuat secara bersambung pada harian Suara
Indonesia (27-29 April 1982) yang berjudul Napak Tilas Sejarah, Lima
Kerajaan Pernah Berdiri di Malang, dilengkapi karya S. Wojowasito
dan kawan-kawan dalam bukunya Sejarah Kabupaten Malang, 1976.
6. Hubungan sastra dan sejarah dalam kaitannya dengan sejarah Kediri
dan zaman keemasan sastra klasik tersebut mengacu ke karya I Kuntara
Wiryamartana yang berjudul Tradisi Sastra Jawa dan Hikayat Kisah
Sejarah, pada majalah Basis, Maret 1986, XXXV, hal 97-106.
7. Karya Sastra Zaman Kediri disarikan dari buku karya Tardjan
Hadidjaja dan R.M.Ng. Poerbatjaraka yang berjudul Kepustakan Jawa,
1957, Jakarta: Jambatan.

71 – Panji Pahlawan Nusantara


DAFTAR PUSTAKA

Baried, Siti Baroroh, dkk. 1982. Panji Citra Pahlawan Nusantara. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Berg, C.C. 1928. Inleiding Tot De Studie van Het Oud Javaansch (Kidung
Sundayana), Uitgave Departement van Onderwijs & Eeredienst,
Drukkerij’De Bliksem, Surakarta.
Fang, Liauw Jock, 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta:
Erlangga.

Hutomo, Suripan Sadi, 1993 A. “Crita-Crita kang Tinemu Ana Candhi-


candhi Jaman Majapahit” (bahasa Jawa). Surabaya: Penyebar
Semangat, No. 18, 1 Mei 1993, halaman 10-12.
1993 B. “Kedudukan Syair ‘Carang Kulina’ dari Banjarmasin dalam Cerita
Panji”. Surabaya: Media Pendidikan Ilmu Pengetahuan, No.
66A/Th.XV/6/1993, Juni 1993, halaman 1-10.
Kawuryan, Megandaru,W, 2006. Tata Pemerintahan Negara Kertagama
Kraton Majapahit. Jakarta: Panji Pustaka.
Kuntawijaya, 1981. “Peristiwa Sejarah dan Karya Sastra”. Jakarta: Tifa
Sastra No. 42, IX, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Kuntjaraningrat, 1975. Anthropology in Indonesia. Gravenhage, halaman
135-142.
Murgiyanto, M.Sal dan Munardi, AM. 1979/1980. Topeng Malang:
Pertunjukan Drama Tari Tradisional di Kabupaten Malang.
Jakarta: Proyek Sasana Budaya, Direktorat Jendral Kebudayaan,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1940. Panji Verhalen Onderling Vergeleken.
Bandung: Bibliotheca Javanica, Koninklijk Bataviaash
Genootschap van Kunsten en Wetenschapen, deel 9, A.C. Nix &
Co.
1954. Kapustakan Djawi. Jakarta: Djambatan.
1968. Tjerita Pandji dalam Perbandingan. Djakarta: PT Gunung Agung.
Pramudito, Bambang, 2006. Kitab Negara Kertagama, Sejarah Tata
Pemerintahan dan Peradilan Kraton Majapahit. Yogyakarta:
Gelombang Pasang.

72 – Panji Pahlawan Nusantara


Ranggawarsita, Raden Ngabehi. 1966. Pandji Djajeng Tilam. Jakarta: Balai
Pustaka, Cetakan Kedua.
Rassers, W.H. 1982. Panji, The Culture Hero. A Structural Study of
Relegion in Java. Leyden: Koninkklijk Institut voor Taal Land en
Volkenkunde.
Setyawati, Edi. 1983. “Topeng dalam Budaya”, dalam Seni Pertunjukan
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Supriyanto, Henri, 1991. Cerita Panji pada Teater Topeng Malang.
Surabaya: Pusat Penelitian IKIP Surabaya (belum diterbitkan).
1994. Transkripsi Lakon “Rabine Panji”. Surakarta: Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia (belum diterbitkan).
1993. “Hubungan Sastra dan Sejarah”. Lakon Panji Pada Teater Topeng di
Kabupaten Malang. Jakarta: Lembaran Sastra Universitas
Indonesia, halaman 1-12.
Supriyanto, Henri dan Adi Pramono, M. Soleh. 1997. Drama Tari Wayang
Topeng Malang. Malang: Padepokan Seni Mangun Dharma
Tumpang.
Timoer, Sunarto, 1989. “Asal-Usul dan Identitas Pertunjukan Wayang
Topeng di Jawa Timur”. (Makalah Temu Budaya). Surabaya:
Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Provinsi Jawa
Timur.

73 – Panji Pahlawan Nusantara


HIKAYAT PANJI
Analisis Cerita Rakyat
Oleh Soenarto Timoer (alm.)

1. Pendahuluan
MASA sebelum kedatangan orang-orang bangsa Barat di
Indonesia, kita tidak mengenal buku-buku sejarah seperti yang
kita kenali sekarang. Yang kita namai sejarah ialah apa yang
kita temui dalam bentuk serat babad, tambo, hikayat, dan
sebagainya, yang mempunyai ciri-ciri khas yang dengan tajam
dapat kita bedakan dari buku-buku sejarah yang umum kita
pakai sekarang.
Kalau sejarah merupakan catatan rangkaian peristiwa
masa lampau yang menguraikan segi-segi kehidupan
kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan, dengan segala gejala
dan gejolak sepanjang perkembangan masyarakat, bangsa, dan
negara itu, yang semuanya dapat kita tanggapi secara nalariah
obyektif, maka babad, tambo, hikayat, sekalipun mencatat atau
menuturkan rangkaian peristiwa sejarah, namun oleh
penyusunnya telah dibumbui dengan kemukjizatan dan
dituturkan secara terselubung sedemikian rupa sehingga sifat

74 – Panji Pahlawan Nusantara


kesejarahannya menjadi kabur sama sekali. Maka berubahlah
kisah sejarah tersebut menjadi semacam dongeng belaka,
menjadi ein Dichtung der Wahrheit, atau barangkali dapat kita
istilahkan dengan ‘sejarah yang didongengkan’. Hal-hal yang
dituturkan dalam babad, tambo, atau hikayat, (selanjutnya kita
sebut ‘babad’ saja), tidak atau kurang sekali menyinggung
soal-soal kemasyarakatan yang luas, soal kebangsaan, atau pun
soal kenegaraan, melainkan segalanya berpusar pada peraga
utama yang menjadi ‘lakon’ dalam babad itu, yaitu raja-raja
yang sedang berkuasa, para satria dan hulubalang yang erat
hubungannya dengan raja yang bersangkutan. Kalau pun ada
disinggung-singgung soal masyarakatnya, soal kebangsaan
atau pun negara, maka itu hanya semata-mata sebagai latar
belakang di mana raja hidup; jadi masyarakat yang ada
kaitannya dengan kepentingan saja; soal kebangsaan adalah
kebangsaan sang raja dalam arti kata yang sempit, misalnya
‘kesukuan’, atau lebih sempit lagi ‘kewangsaan’; sedangkan
kalau mengenai soal negara, maka yang diartikan negara ialah
sang raja jua (raja = negara).
Dalam pada itu, cara menuturkan perilaku atau
kehidupan raja-raja tersebut pun sifatnya memuja secara
berlebih-lebihan, dengan demikian maka lahirlah ‘dongengan-
dongengan fantastik’ yang kalau ditilik dengan kacamata abad
XX ini sangat tidak masuk akal (irrasional), dan menggelikan.
Sifat keluarbiasaan seseorang yang membedakan diri
secara mencolok sekali dari masyarakat umum sekitarnya,
misalnya keberanian, kecerdasan akal pikiran, atau

75 – Panji Pahlawan Nusantara


keperbawaannya, mudah membuat orang hormat, segan, takut
terhadapnya secara berlebihan. Sesuai dengan alam rasa dan
pikiran masyarakat di zaman itu yang serba tahayul, animistik,
dan pengaruh agama Hindu dengan kepercayaannya akan
dewa-dewa atau pun kekuatan-kekuatan di luar manusia, maka
orang luar biasa tadi mudah sekali mendapatkan pemujaan luar
biasa pula, dan dianggap sebagai keturunan atau titisan dewa-
dewa. Dengan demikian tumbuhlah sikap budaya kultus dan
mitos masyarakat terhadap tokoh yang luar biasa tersebut.
Kemunculan seorang raja dan penguasa baru di jaman dahulu
kala pada hakikatnya tidak lepas dari sikap budaya masyarakat
demikian itu.
‘Sejarah yang didongengkan’ bertolak pangkal pada
fakta sejarah. Lambang-lambang atau yang dalam bahasa Jawa
disebut ‘pasemon’, berfungsi untuk menutupi segi-segi yang
kurang baik agar terasa ‘lebih bagus’ atau ‘lebih sopan’, atau
untuk maksud-maksud tertentu yang bersifat politik. Menafsiri
lambang yang terdapat pada ‘sejarah yang didongengkan’
adalah merekonstruksi lambang itu untuk memperoleh kembali
gambaran fakta sejarah yang sebenarnya.
‘Sejarah yang didongengkan’ ini banyak contohnya,
misalnya Ken Arok (Prabu Rajabasa Sang Amurwabumi di
Tumapel), Jaka Tingkir (Prabu Hadiwijaya di Pajang),
Panembahan Senapati dan Baron Sekender, Panembahan
Senapati dengan Nyai Ratu Rara kidul, dan masih banyak lagi.
Di samping ‘sejarah yang didongengkan’ terdapat pula
‘dongeng yang disejarahkan’. Keduanya menunjukkan ciri-ciri

76 – Panji Pahlawan Nusantara


yang sama, sama-sama mengandung atau merupakan lambang
atau pasemon. Namun perbedaan yang hakiki ialah bahwa
tolakpangkal ‘dongeng yang disejarahkan’ bukan fakta sejarah,
melainkan dongeng. Dongeng yang diwarnai sejarah, tokoh-
tokoh peraganya diberi silsilah yang dikaitkan dengan tokoh-
tokoh sejarah, bahkan kadang-kadang disertai angka tahun
segala berupa kronogram (candrasangkala atau suryasangkala),
sehingga dengan demikian apa yang dituturkan seolah-olah
benar-benar terjadi. Contoh kena sekali dalam hal ini ialah
Damarwulan yang kemudian menjadi raja Majapahit bergelar
Martawijaya menurut Serat Kandha, Prabu Brawijaya menurut
Serat Damarwulan.
Menafsiri lambang yang terdapat pada ‘dongeng yang
disejarahkan’ ialah merekonstruksi gagasan atau ide sang
pujangga yang disiratkan dalam dongeng itu, yang sama sekali
tidak ada hubungannya dengan sejarah.
Tetapi karena menampilkan ciri-ciri yang sama itu, maka
tidaklah mudah untuk menentukan mana ‘dongeng yang
disejarahkan’ dan mana ‘sejarah yang didongengkan’, atau
bahkan sering terjadi penyampurbauran antara keduanya.
Demikianlah Hikayat Panji misalnya selalu memancing
pertanyaan: sejarahkah? atau dongeng?
Dalam paparan berikut ingin saya mencoba meneliti
gambaran fakta yang tesamar dalam Hikayat Panji ini. Sejauh
mana nilai-nilai sejarah yang dikandungnya, yang
ditransformasikan melalui pengisahan yang penuh dengan gaya
romantik itu.

77 – Panji Pahlawan Nusantara


2. Panji dalam Kepustakaan
Penyebaran karya sastra Panji berupa buku cetakan tidak
pernah mencapai oplah besar, dan jarang mengalami cetak
ulang. Balai pustaka Jakarta telah berjasa menerbitkan Hikayat
Panji ini sebelum Perang Dunia II. Beberapa dapat saya sebut
di sini: Panji Sekar, Panji Raras, Panji Dhadhap (dalam bahasa
dan huruf Jawa, tembang). Baru sekitar tahun 1980 buku-buku
tersebut diterbitkan kembali melalui Proyek Penerbitan Buku
Sastra Indonesia dan Daerah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, dicetak oleh Balai Pustaka dengan alih aksara
Latin berikut terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Juga
oleh Proyek yang sama diterbitkan Serat Panji (Panji Mbedhah
Nagari Bali) tahun 1979. Sayang sekali buku-buku tersebut
tidak diperdagangkan untuk umum.
Panji Jayeng Tilam (Jawa, tembang) mengalami satu kali
cetak ulang dan alih aksara Latin pada jaman kemerdekaan
setelah melewati jarak waktu lama. Menyusul cetak ulang
ketiga Panji Semirang (prosa, bahasa Indonesia).
Dalam pada itu berbagai penerbit Belanda sebelum
perang menerbitkan pula Panji Gandrung Angreni dan Panji
Klayan Tanjungseta (edisi Roorda – Gunning, bahasa dan
huruf Jawa, prosa), Panji Verhalen Onderling Vergeleken
(Purbatjaraka, bahasa Belanda), De Panji Roman (Rassers,
bahasa Belanda), De Geschiedenis Van Het Rijk Kediri atau
Babad Kediri (naskah Mas Soemasentika, bahasa dan huruf

78 – Panji Pahlawan Nusantara


Jawa, prosa, edisi Van dan Broek, dengan sertai terjemahannya
ke dalam bahasa Belanda).
Sesudah perang: Hikayat Andaken Panurat (Robson,
bahasa Melayu, terjemahan dan komentar bahasa Inggris), dan
Wangbang Wideya (Robson, bahasa Jawa, terjemahan dan
komentar bahasa Inggris).
Itulah buku-buku yang kebetulan ada dalam koleksi saya,
sebagian cetak asli, sebagian fotokopi.
Dari sekian banyak cerita Panji tersebut, mana yang
babon aslinya, tidak diketahui dengan pasti. Menarik sekali
Panji Gandrung Angreni edisi Roorda – Gunning tersebut.
Bahasanya prosa dengan gaya Jawa Timuran (Surabayan
Gresik). Angka tahun yang terdapat di dalamnya berupa
sangkala ‘guna paksa kaswareng rat’ (1723 Saka = 1801
Masehi). Menilik gaya bahasa dan pemilihan kata-katanya,
demikian Purbatjaraka, jelas lebih kuna dari angka tahun
tersebut. Ini membuktikan bahwa naskah Palembang tersebut
hanya salinan saja dari babon asli yang jauh lebih tua. Agaknya
naskah babon asli Panji Palembang ini, karena bagusnya,
sekejap saja telah menjadi mashur dan berpengaruh sekali
terhadap timbulnya berbagai macam versi atau sempalan cerita
Panji lainnya (Purbatjaraka, 1954:84).
Dengan demikian dapatlah kiranya kita berasumsi bahwa
naskah asli Panji Angreni dari Palembang tersebut merupakan
pakem induk segala cerita Panji. Hal ini mungkin dikuatkan
oleh Babad Kediri edisi Soemasentika – Broek tersebut yang
menceritakan kisah Panji dan Angreni yang pada garis

79 – Panji Pahlawan Nusantara


umumnya sama, walaupun Babad Kediri menurut penulisnya,
Soemasentika, berdasarkan tutur seorang prewangan (medium,
melalui jalan spiritual). Tetapi bukan mustahil, bahwa
penuturnya pernah membaca atau mendengar Panji-Angreni
yang asli.
Berbicara tentang Panji-Angreni Palembang (yang asli),
Berg berpendapat, bahwa penyebaran cerita Panji ke nusantara
terjadi pada jaman Singasari dengan adanya ekspedisi
Pamalayu yang dilakukan oleh Raja Kertanegara pada tahun
1277 Masehi (Berg, 1928:65).
Purbatjaraka menolak pendapat Berg tersebut dengan
argumentasinya, bahwa selama Pamalayu, pastilah ingatan
orang kepada Singasari masih sangat hidup. Umpama pada
waktu itu ada orang menulis sesuatu, meskipun berupa roman,
yang menceritakan bahwa Singasari sezaman dengan Daha
Kediri seperti tersebut dalam cerita Panji, pasti ditertawakan
oleh pembaca, dan tulisannya tidak akan diterima oleh publik.
Redaksi Panji yang asli mestilah ditulis pada zaman ketika
ingatan orang kepada Singasari telah agak samar-samar, pada
suatu masa ketika orang tidak merasa janggal bila Singasari
dikatakan sejaman dengan Daha dalam cerita Panji dan
Candrakirana. Belia berpendapat, bahwa penulisan cerita Panji
yang mula-mula ialah pada zaman kejayaan kemudian
Majapahit. Dan penyebarannya ke pulau-pulau terjadi jauh
kemudian (Purbatjaraka, 1940:363).
Beliau membuat argumentasi tersebut berdasarkan
tafsiran beliau bahwa Panji sinonim dengan Kameswara I, Raja

80 – Panji Pahlawan Nusantara


Kediri tahun 1115-1130, atas pertimbangan, bahwa
permaisurinya bernama Sri Kirana Ratu yang
diidentifikasikannya sebagai Candrakirana isteri panji.
(Purbatjaraka, 1954:21-22).
Catatan :
Waktu Purbatjaraka menuliskan pendapat beliau, belum
ada koreksi atas sebutan nama Kameswara yang memerintah di
Kediri antara tahun 1115-1130 Masehi, sehingga beliau
menyebut ada dua Kameswara: Kameswara I tahun 1115-1130
dan Kameswara II tahun 1182-1185 Masehi. Ternyata
Kameswara I harus dibaca Bameswara.
Identifikasi Purbatjaraka tersebut perlu ditinjau kembali,
sebab besar kemungkinan bahwa Panji tidak identik dengan
Kameswara.
Tetapi baiklah kita buktikan lebih dahulu dengan uraian-
uraian berikut. Namun sebelumnya ada baiknya kiranya kita
bicarakan Panji sebagai mitos.

3. Panji Sebagai Mitos


Dalam penyajian karangan ini saya tidak akan membahas
Panji sebagai mitos secara mendalam atau pun mendetil. Bagi
yang berminat untuk mendalaminya, saya persilakan membaca
sumber-sumber karangan yang sebagian saya sebutkan berikut.
Dalam disertasinya untuk mencapai gelar Doctor in de
Leetteren en Wijsbegeerte di Rijsuniversiteit Leiden
Nederland, Rassers mengajukan sebuah teori, bahwa Panji
adalah sebuah mitos bulan (De Panji Roman, 1922).

81 – Panji Pahlawan Nusantara


Perjalanan bulan mulai paro terang sampai bulan purnama,
kemudian semakin menyusut kembali selama paro gelap,
untuk kemudian beralih ke paro terang seperti semula menuju
bulan purnama lagi. Semua itu dilambangkan dengan
perjalanan hidup Panji yang mendekati Candrakirana (= bulan
paro terang) untuk mendapatkan kebahagiaan bersatu dengan
Candrakirana (= bulan purnama). Kemudian datang musuh
menggait Sang Candrakirana, dan Panji pun merana (= bulan
mengecil, paro gelap), mengejar si pencuri. Musuh dikalahkan,
dan Panji kembali menuju ke cerah kebahagiaan berkumpul
lagi dengan kekasihnya (= paro terang sampai bulan purnama
lagi).
Purbatjaraka dan Goslings menganggap teori mitos bulan
Rassers tersebut terlalu dicari-cari. Tetapi kalau Purbatjaraka
merasa tidak perlu menanggapi lebih lanjut (Purbatjaraka,
1940:348 catatan kaki), maka Goslings menyanggahnya
dengan panjang lebar (Goslings, 1939:34 dst).
Di samping cerita Panji sebagai mitos bulan oleh Rassers
tersebut, terdapat pula anggapan lain yang menyatakan Panji
sebagai mitos air, dalam hal ini mitos sungai Brantas, yaitu
dalam kisah Andhe-andhe lumut. Kata 'lumut' itu sendiri sudah
mengingatkan kita kepada tempat yang basah (berair),
sedangkan tempat tinggal Andhe-andhe Lumut (= Panji dalam
samaran) berada di seberang sungai Brantas. Untuk
mencapainya, kelima orang gadis masing-masing bernama
Kleting Abang, Kleting Ijo, Kleting Biru, Kleting Wungu, dan
Kleting Kuning yang ingin 'ngunggah-unggahi' (melamar untuk

82 – Panji Pahlawan Nusantara


diperistri) Andhe-andhe Lumut harus menyeberangi sungai
tersebut yang dijaga oleh seekor ketam raksasa bernama Yuyu
Kangkang.
Mitos sungai Brantas ini dikaitkan pula dengan mitos
Airlangga. Pekerjaan raksasa pernah dilakukan Raja Airlangga
ini ialah pembendungan sungai Brantas untuk menundukkan
aliran airnya yang sering mengakibatkan banjir, sekaligus
dimanfaatkan untuk pengairan tanah persawahan (Prasasti
Klagen 959 Saka - 1037 Masehi). Ini berarti meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat petani di lembah
Brantas. Peristiwa besar dan mulia itu disyukuri dan dikenang
oleh masyarakat petani dan selalu dikaitkan dengan keharuman
nama Airlangga. Meskipun pribadi Airlangga sebagai manusia
pada masa-masa kemudian dilupakan oleh sejarah, namun
pekerjaan raksasa itu tetap hidup dalam pikiran masyarakat
petani; tetap dikenang dan dimitoskan; mitos Airlangga.
Karena pekerjaan raksasa tersebut erat sekali hubungannya
dengan sungai Brantas, maka mitos sungai Brantas akhiraya
pun dijalinkan pula dengan mitos Airlangga, sebab Andhe-
andhe Lumut melambangkan padi yang menghijau terhampar
luas di lembah Brantas berkat pengairan yang sempurna
melalui bendungan raksasa Airlangga tersebut (Wirjosuparto,
1958 :58-60).
Sangat menarik dalam mitos air ini ialah terkaitkannya
nama Andhe-andhe Lumut (yang tiada lain daripada nama
samaran Panji) dengan tokoh Airlangga, yang agaknya tidak
secara kebetulan. Hal ini sangat menarik karena ada

83 – Panji Pahlawan Nusantara


relevansinya terhadap penelitian sejarah dengan menggunakan
Hikayat Panji sebagai sumbernya.

4. Hikayat Panji Sebagai Sumber Sejarah


Demikian banyak nama alias yang dimiliki Panji dalam
bermacam-macam versi yang terdapat dalam literatur, namun
tidak satupun jelas menunjukkan identitasnya, tokoh siapakah
sebenarnya ia dalam sejarah. Juga nama tokoh-tokoh lainnya
yang ada kaitannya dengan Panji seperti Candrakirana alias
Sekartaji, Dewi Kilisuci, Lembuamiluhur, Lembupangarang,
Lembumerdhadhu, Lembumerjaya, Kelana Sewandana, dan
lain-lain, semua itu tidak terdapat dalam sejarah.
Apakah mereka itu tokoh-tokoh dongeng yang
disejarahkan, jadi fiktif berdasarkan mitos yang sudah
mentradisi? Ataukah mereka tokoh-tokoh sejarah yang
didongengkan, dimitoskan? Kalau mereka tergolong yang
pertama, jadi fiktif, masalahnya hanya dapat disoroti dari segi
kesastraan semata. Tetapi kalau tergolong pada kelompok
tersebut terakhir, jadi tokoh-tokoh sejarah yang didongengkan,
dimitoskan, maka kita akan mencari identitas masing-masing
di balik nama mereka yang samar itu. Dan rupanya orang lebih
tertarik untuk menerima yang akhir ini, sebab sudah sejak lama
para sarjana dan cendekiawan Indonesia maupun asing seolah-
olah seperti berlomba-lomba untuk membuat tapsiran dengan
segala argumentasi masing-masing. Adapun masyarakat Jawa
sendiri, umumnya yang bukan cendekia, cenderung
menganggap cerita Panji sebagai cukilan sejarah tanpa reserve.

84 – Panji Pahlawan Nusantara


Hal ini karena pengaruh 'babad', jenis penulisan sejarah
tradisional Jawa yang banyak dibaca oleh masyarakat luas.
Prof. Purbatjaraka, sebagaimana telah kita singgung di
muka, menyebut-nyebut Raja Kameswara I dari Kediri (tahun
Masehi 1115-1130) sebagai tokoh populer yang dalam cerita
Panji terkenal dengan nama Prabu Inu Kertapati alias Sang
Panji himself. Beliau pun menyatakan bahwa permaisuri Raja
Kameswara tersebut bernama Sri Kirana Ratu yang
diidentifikasikannya sebagai Candrakirana, isteri Panji
(Purbatjaraka, 1954 :21-22).
Rassers mencatat adanya berbagai tafsiran oleh beberapa
tokoh cendekia mengenai hubungan Panji dengan sejarah,
seperti;
1. Nyahi Gedhe Pucangan atau Kilisuci = anak perempuan
Raja Airlangga Sri Sanggramawijaya, yang didapat dari
hasil perkawinannya dengan putri asal Sriwijaya;
2. Panji = Kameswara (mengutip pendapat Purbatjaraka);
3. Panji = Ken Arok (Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi),
sedang Candrakirana = Ken Dhedes;
4. Perjalanan Gunungsari melalui samudera dihubungkan
dengan peristiwa ekspedisi Pamalayu, terjadi pada tahun
1297 Masehi, ketika Raja Kertanagara dari Singasari
mengirimkan militer ke Sumatra;
5. Panji = Raden Wijaya, menantu Kertanagara dan pendiri
dinasti Bra Wijaya di Majapahit;
6. Panji = Bra Hyang Wisesa atau juga disebut
Wikramawardana, menantu Hayam Wuruk. Ini

85 – Panji Pahlawan Nusantara


dihubungkan dengan peristiwa diboyongnya Bra Daha oleh
Hyang Wisesa sebagaimana disebut dalam PARARATON:
'Bhre Daha ingemban denira Bhra Hyang Wisesa, bhinakta
mangilen'. Bhre Daha = Candrakirana.

Rassers dalam komentarnya terhadap berbagai tafsiran


identifikasi tokoh Panji dan lain-lain tersebut dengan tokoh-
tokoh dan peristiwa sejarah, menganggap perbuatan sia-sia
belaka, dan harus ditinggalkan. Panji adalah mitos yang
bersumber dari fiksi seorang folkloris Jawa tradisional kuna,
demikian tukasnya.
Namun dalam kesempatan ini saya ingin mencoba
menampilkan Panji sebagai 'tokoh sejarah', setidak-tidaknya
meneliti identitasnya dalam sejarah. Dalam pada itu saya ingin
menguji sampai sejauh mana jenis kesastraan Jawa tersebut
mampu menunjang usaha penelitian sejarah. Dalam kajian ini
saya mencoba menggunakan metode perbandingan.

4.1. Babad Kediri


Babad Kediri (Soemasentika/Broek, 1873/1902)
menuturkan, bahwa setelah kematian Angreni isterinya yang
pertama, Panji Yudarawisrengga alias Panji Jayakusuma
menolak dikawinkan dengan saudara sepupunya Candrakirana,
putri Prabu Lembumerdhadhu di Kediri. la, Panji,
meninggalkan Jenggala pergi ke Urawan (Ngurawan) kepada
pamannya sendiri yang menjadi raja di sana, Prabu

86 – Panji Pahlawan Nusantara


Lembupangarang. Kemudian Panji kawin dengan putri
pamannya itu yang bernama Dewi Surengrana.

Catatan
Lokasi Ngurawan, Purbatjaraka mengutip Panji
Jayakusuma, bahwa 'dari Mamenang ke selatan terdapat hutan
Urawan tempat Lembupangarang mendirikan keratonnya'.
Mamenang adalah ibukota kerajaan Daha (= Kediri)
dahulu. Sekarang sebuah desa dalam wilayah kecamatan Pagu,
kabupaten Kediri.
Penentuan lokasi Ngurawan ini perlu karena ada
relevansinya dengan uraian selanjutnya di belakang.

4.2. Thothokkerot
Tatkala pecah perang antara Kediri dan Hindustan karena
lamaran Raja Hindustan Kelana Sewandana kepada Dewi
Candrakirana ditolak, yang berkesudahan dengan tewasnya
Sang Kelana, maka akhirnya Panji pun dikawinkan juga
dengan Candrakirana. Perkawinan ini atas saran dan prakarsa
Dewi Kilisuci, bibi Sang Panji dan Candrakirana, untuk
mencegah bahaya perang oleh raja-raja mancanegara yang
banyak menginginkan Candrakirana.
Surengrana tidak senang dimadu. la pencemburu. Melihat
Candrakirana selalu dikerot-kerotkan giginya karena menahan
dendam dan benci. Itulah sebabnya ia mendapat julukan 'Dewi
Thothokkerot'. (Babad Kediri: 96).

87 – Panji Pahlawan Nusantara


Berbicara tentang 'Thothokkerot', di desa Bulupasar,
kecamatan Pagu (Kediri), berbatasan dengan Menang (atau
Mamenang) dan kota kecamatan Gurah, terdapat sebuah
patung besar, tinggi + 4 meter, menggambarkan seorang
raksasi duduk berjigang, yang oleh penduduk setempat
dinamakan 'Reca Thothokkerot'. Letaknya di tengah sawah
dalam sebuah lubang (sumuran) sedalam kira-kira 3 meter dan
garis tengah 4 meteran. Keadaannya masih cukup baik,
meskipun beberapa bagian rusak karena perbuatan tangan
manusia. Tempat itu kini sudah dipugar oleh Dinas Purbakala
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Gambar 1).

Catatan
Apa hubungannya Reca Thothokkerot ini dengan
Surengrana dari Ngurawan? Patung perwujudannyakah?
Entahlah, tetapi lepas dari patung perwujudan atau bukan,
(saya cenderung menganggap sebuah patung dwarapala), yang
jelas, menurut orang Jawa, orang yang pencemburu itu disebut
butarepan (= buto arepan, bernapsu seperti buto, raksasa).
Apakah dengan demikian Surengrana karena pencemburu,
karena buto arepan, lalu diwujudi rasaksi (buto perempuan)?
Terdapat anggapan lain, bahwa butarepan berarti 'rebut
arepan' maksudnya 'berebut di muka' atau dalam bahasa asing
dapat disebut: 'ambisius'.

4.3. Buto Nyai dari Lodhoyong

88 – Panji Pahlawan Nusantara


Apa yang oleh penduduk desa Bulupasar disebut Reca
Thothokkerot, menurut BABAD KEDIRI (Soemasentika/
Broek) konon adalah sebuah patung yang didirikan oleh Prabu
Jayabaya dari Mamenang (Daha, Kediri), dimaksudkan sebagai
monumen untuk memperingati seorang rasaksi bernama Buto
Nyai, berasal dari Lodhoyong daerah pantai selatan, yang
ngunggah-unggahi (melamar untuk diperisteri) Prabu
Jayabaya, tetapi keburu dibunuh beramai-ramai oleh penduduk
Daha. Namun sebelum ajalnya sampai, Sang Prabu yang diberi
tahu dan segera datang di tempat peristiwa, masih sempat
mendengar pengakuan Buto Nyai. Bersabdalah Sang Prabu:
'Dewa belum mengabulkan keinginanmu. Tetapi 20 tahun lagi
di sebelah barat akan berdiri negara Prambanan, dan
Perwatasari adalah rajanya. Dialah jodohmu'.
Atas titah baginda, tempat rasaksi dibunuh itu dinamakan
desa Gumuruh karena ketika berlangsungnya pembunuhan
suara penduduk ramai bergemuruh. Desa tempat berdirinya
monumen patung Buto Nyai disebut desa Nyaen.
Catatan
Desa Nyaen sekarang sudah berubah menjadi desa
Bulupasar, sedangkan Nyaen tinggal merupakan sebuah
pedukuhan yang disebut 'blok', blok Nyaen. Adapun patung
Buto Nyai sendiri terletak di blok Puthuk. Di Blok Nyaen
konon hanya makamnya saja, makam Buto Nyai, yang sampai
kini masih dijadikan tempat 'nyadran' bagi penduduk Bulupasar
(lihat peta).

89 – Panji Pahlawan Nusantara


Sekarang mengenai lokasi Lodhoyong. Menurut dongeng
rakyat, kota Lodhaya termasuk pantai selatan Blitar, konon asal
mulanya bernama Lodoyong, karena di tempat itu dahulu
terdapat sebuah pohon Lo (Elo) yang miring tumbuhnya.
(Miring = Jw. Dhoyong). Apakah dengan demikian Lodhoyong
= Lodhaya sekarang?
Ngurawan atau Urawan pun daerah selatan, dilihat dari
Mamenang (Daha, Kediri). Jadi kira-kira pun daerah Blitar dan
sekitar, termasuk Lodhaya.
Surengrana pencemburu, buto arepan, dijuluki
Thothokkerot, gambarnya (karikaturnya) berupa rasaksi.
Dengan demikian apakah tidak mungkin bahwa Buta Nyai dari
Lodhoyong itu identik dengan Surengrana dari Ngurawan?
Hal yang menarik ialah bahwa Surengrana isteri Panji.
Dan Buto Nyai ingin diperisteri Prabu Jayabaya. Meskipun
tidak sampai, namun diramalkan oleh baginda, -(di mata orang
Jawa Prabu Jayabaya adalah peramal ulung)-, bahwa jodohnya
adalah Prabu Perwatasari dari Prambanan 20 tahun kemudian
(yang dimaksud reinkarnasi Buto Nyai).
Hemat saya ini adalah permainan kata pasemon saja.
Lepas dari nama, tempat, dan waktu yang berlainan, (hal yang
tidak menjadi masalah penting dalam kesastraan Jawa klasik),
selebihnya boleh dikatakan identik antara keduanya, yaitu Buto
Nyai dan Dewi Surengrana. Buto Nyai yang patungnya disebut
'Reca Thothokkerot', Surengrana yang dijuluki 'Thothokkerot'.
Meskipun tempat asal mereka berlainan, yang satu Lodhoyong,

90 – Panji Pahlawan Nusantara


yang lain Ngurawan, namun keduanya menempati lokasi di
daerah selatan.

4.4. Wadalwredi dari Gegelang


Salah satu versi dongeng Panji pernah dituturkan nenek
waktu saya masih kanak-kanak, mengisahkan bahwa Raden
Putra atau Panji Putra digandrungi oleh seorang perempuan
buruk rupa bernama Thothokkerot.
Dalam kepustakaan Panji yang berhasil saya himpun,
tidak pernah saya jumpai nama Thothokkerot, kecuali dalam
Babad Kediri Soemasentika/Broek, itu pun sebagai julukan
putri Ngurawan isteri Panji Dewi Surengrana yang tentunya
tidak 'buruk rupa'. Lagi pula tokoh Thothokkerot dalam versi
nenek saya tersebut tidak mempersonifikasikan tokoh
Surengrana dalam Babad Kediri. Alur ceritanya lain sama
sekali.
Tetapi dalam Panji Kudanarawangsa (Purbatjaraka,
1940:215 dst) terdapat tokoh perempuan bernama Wadalwredi
dari kampung pembantaian Gegelang, anak Bramanatandha.
Wadalwredi digambarkan sebagai rasaksi yang ingin merebut
cinta Panji dari Candrakirana. Candrakirana berhasil
disingkirkan dengan bantuan Batari Durga, dan Wadalwredi
pun muncul menjadi isteri Panji dengan mengaku diri Dewi
Candrakirana, yang karena kehendak dewata telah berubah
menjadi buruk rupa. Kalau sudah tiba saatnya kelak akan pulih
kembali kecantikannya semula, demikianlah tutur pengakuan
Wadalwredi.

91 – Panji Pahlawan Nusantara


Dalam Panji Jayakusuma (ibid.:103 dst.) disebutkan
bahwa Wadalwredi adalah putri Urawan, mempunyai alias
Retna Cindhaga, anak Prabu Lembumangarang (ibid. : 111).
Catatan
Dari plot, tema, dan sifatnya, saya melihat tokoh
Wadalwredi (Kudanarawangsa) sinonim dengan Thothokkerot.
Kalau Wadalwredi = Retna Cindhaga putri Prabu
Lembumangarang (sic) raja Urawan, dalam pada itu
Thothokkerot adalah julukan Dewi Surengrana, putri Prabu
Lembupangarang dari Ngurawan dan isteri Panji (Babad
Kediri), maka semakin kuatlah dugaan saya, bahwa Retna
Cindhaga identik pula dengan Surengrana alias Wadalwredi
alias Thothokkerot alias Buto Nyai.
Dalam pada itu Babad Kediri Soemasentika/Broek juga
menyebutkan, bahwa ketika terjadi perang Daha - Hindustan,
balatentara Hindustan (Kelana Sewandana) menarik diri ke
dalam kapalnya, lalu menyusuri Brantas ke selatan dengan
harapan dapat melepaskan diri dari serangan balatentara Daha
melalui pantai selatan ke lautan lepas. Tetapi usaha mereka
gagal karena salah perhitungan dan akhirnya terkepung di
sebuah desa di sebelah selatan Daha. Desa tersebut kemudian
dinamakan desa Ngepung, sebagai kenangan terhadap
peristiwa tersebut. Pengepungan dilakukan dari tiga jurusan:
sebelah utara oleh balatentara dari Jenggala, sebelah timur
balatentara Ngurawan, dan sebelah barat seberang Brantas,
balatentara Kediri (Daha) dan Panaraga (Babad Kediri, op. cit.
59).

92 – Panji Pahlawan Nusantara


Lepas dari benar tidaknya terjadinya perang Daha -
Hindustan tersebut, yang menarik ialah bahwa balatentara
Ngurawan yang ikut mengepung balatentara Hindustan,
menempati posisi 'sebelah timur', dengan sendirinya sebelah
timur seberang Brantas di sebelah selatan Daha. Ini berarti,
bahwa posisi demikian tidak akan mungkin andaikata
Ngurawan (atau Gegelang) terletak di sebelah barat Gunung
Wilis (Pagotan, Eggingglangh, Madiun), atau di sebelah utara
Wilis (Ngrawan dekat Berbek, Nganjuk). Lebih masuk akal
kalau Ngurawan (Gegelang) merupakan sebuah wilayah yang
meliputi kawasan Blitar dan/atau Blitar selatan, bahkan sangat
boleh jadi termasuk Wlingi, Srengat, sampai Tulungagung
sekalipun.
Robson dalam Wangbang Wideya (1971 : 312) pun
menyebut 'Gegelang, a kingdom, an ally of Kuripan'
(Gegelang, sebuah kerajaan, sekutu Kuripan). Kuripan, atau
Kahuripan, adalah ibukota kerajaan Jenggala yang terletak di
kawasan sekitar Malang. Agaknya terasa janggal kalau
Gegelang, seandainya terletak di daerah Madiun atau Berbek
menjadi sekutu Kahuripan. Letaknya terlalu jauh, lagi pula
terhalang oleh sederet gunung-gunung Wilis, Kendheng,
Pananggungan, Welirang, Anjasmara, Arjuna, Kawi, Butak,
dan Kelut. Lebih masuk akal kiranya kalau Gegelang terletak
di kawasan Kediri (Daha seperti teori Krom), atau Gegelang
sinonim dengan Urawan, sebab selain berbatasan langsung
dengan Jenggala, dari ibukota Kahuripan pun mudah dicapai
dengan menyusuri lembah dan sungai Brantas.

93 – Panji Pahlawan Nusantara


Agaknya pun bukan suatu kebetulan terjadinya
keparalelan kaitan Panji-Surengrana-Ngurawan (Babad Kediri)
dan Panji-Wadalwredi-Gegelang (Panji Kudanarawangsa).
Keparalelan yang menggelitik untuk meneliti lebih jauh.

4.5. Calonarang dari Girah


Di luar siklus Panji terdapat naskah lain yang menarik
untuk dijadikan bahan pembanding: Calonarang.
Calonarang adalah nama seorang perempuan, terkenal
sebagai seorang tukang sihir yang sakti. Ia hidup menjanda
bersama seorang anak gadisnya bemama Retna Manggali,
tinggal di desa Girah. Meskipun anaknya sudah dewasa dan
cantik pula parasnya, namun tiada lelaki seorang pun yang
meminangnya, mungkin karena takut atau memang sengaja
menjauhi karena profesi ibunya yang tercela itu. Ini membuat
si janda Girah penasaran dan melampiaskan sakit hatinya
kepada penduduk Girah. Dengan bantuan Batari Durga, Dewi
Kejahatan yang dipujanya, disebarkannya wabah penyakit
dahsyat yang membawa banyak korban kematian.
Raja Airlangga mendengar peristiwa itu, lalu turun
tangan dan mengirim ekspedisi untuk menumpas Calonarang.
Kemarahan Calonarang semakin menjadi, wabah penyakit
semakin mengganas dan meluas, bala prajurit Airlangga pun
lumpuh dan binasa. Kemudian Airlangga minta bantuan
seorang pendeta sakti bernama Mpu Baradhah.
Untuk mendinginkan amarah Calonarang, Mpu Baradhah
melamar Retna Manggali untuk dikawinkan dengan salah

94 – Panji Pahlawan Nusantara


seorang muridnya Bahula. Retna Manggali kawin, amarah
Calonarang lenyap, dan lenyap pula wabah penyakit.
Melalui Retna Manggali, dengan perantaraan suaminya,
Baradhah berhasil mengetahui rahasia kesaktian Calonarang,
dan akhirnya Calonarang pun dapat dibinasakan.
Catatan
Cerita Calonarang lebih populer di Bali daripada di Jawa.
Sebabnya orang Bali percaya bahwa tokoh Calonarang ini
personifikasi Ratu Mahendradatta, atau juga yang disebut
Gunapriyadarmapatni, permaisuri Darmaudayana Warmadewa
(Udayana), keduanya orangtua Airlangga. Kemudian Ratu
Mahendradatta dicerai karena menganut aliran Tantrisme
dalam agama Budha Mahayana yang melakukan kegiatan-
kegiatan ilmu sihir. Itulah sebabnya Calonarang pun mendapat
julukan dari masyarakat Bali 'Sang Walu Natha ring Girah'.
('walu' = janda). Karena sakit hati, Sang bekas Ratu dan janda
ini membalas dendam dengan membuat malapetaka di dalam
negeri dengan ilmu sihirnya.
Karena perbuatannya itu Mahendradatta kemudian
diasingkan ke hutan rimba raya. Dari sana ia menimbulkan
malapetaka baru yang lebih dahsyat lagi.
Mahendradatta diperkirakan wafat antara tahun 1007-
1011 Masehi (Saka 929-933) karena prasasti yang dikeluarkan
Udayana pada tahun Saka 933 nama Mahendradatta sudah tak
disebut-sebut lagi, sedang dalam prasasti-prasasti sebelumnya,
(terakhir Saka 929), nama Mahendradatta selalu menduduki
tempat utama di atas Udayana. Di atas makamnya di Burwan

95 – Panji Pahlawan Nusantara


(Bali) didirikan patung Durga sedang murka membunuh
Mahisaasura. Itulah sebabnya mengapa Calonarang
diidentifikasikan sebagai isteri Udayana Mahendradatta.
Tetapi siapakah yang memusuhi Mahendradatta
sebenarnya? Udayana suaminya? Atau Airlangga putranya?
Dalam pustaka Calonarang jelas disebutkan bahwa
Airlanggalah yang menumpas Calonarang, atau lebih tepatnya
Mpu Baradhah atas titah Airlangga. Tetapi karena Airlangga
baru pada tahim 1019 naik tahta sebagai raja, itupun di
Jenggala Jawa Timur, jadi paling tidak 8 tahun lebih kemudian
setelah ibundanya (Mahendradatta) wafat, maka tidak
mungkinlah Calonarang merupakan personifikasi
Mahendradatta.
Atau seandaipun hapusnya nama Mahendradatta dari
percaturan negara bukan karena wafat, melainkan karena
pengasingannya di hutan rimba raya seperti diceritakan di
muka, mengingat kedudukan Airlangga di Jawa dan
Mahendradatta di Bali, sedang yang berkuasa di Bali Udayana
atau Marakata (adik Airlangga), maka identifikasi Calonarang
= Mahendradatta pun masih diragukan kalau tidak dapat
dikatakan mustahil. Identifikasi Calonarang = Mahendradatta
besar kemungkinan berdasarkan salah duga semata. Mungkin
saja Calonarang memang janda seorang raja menurut tutur
tradisi semula, tetapi tidak jelas raja siapa. Hanya karena
kebetulan Mahendradatta menganut ilmu gaib (sihir) aliran
Tantrisme yang memuja Bhairawi Mahakali (Durga), yang
menyebabkan konfliknya dengan suaminya Raja Udayana,

96 – Panji Pahlawan Nusantara


maka masyarakat Bali tanpa pikir panjang mengaitkan
perikehidupan Mahendradatta dengan Calonarang. Hal ini saya
kemukakan karena ada relevansinya dengan uraian kita
selanjutnya di belakang nanti.
Hal yang menarik lagi mengenai Calonarang ini ialah
desa Girah yang menjadi tempat tinggalnya. Girah
mengingatkan kita kepada kota kecamatan Gurah yang
letaknya berdekatan dengan desa Bulupasar, tempat Reca
Thothokkerot. Girah pun mengingatkan kita kepada desa
Gumuruh yang didirikan atas titah Prabu Jayabaya setelah
terjadi pengeroyokan dan pembunuhan terhadap Buto Nyai
(Babad Kediri).
Girah, gurah, gemerah mungkin bentuk 'krama' (bahasa
halus) dari kata atau nama desa Gumuruh, karena kelajiman
orang desa di Jawa yang suka meng-'krama'-kan juga nama
tempat-tempat seperti misalnya Kediri menjadi Kedinten,
Madura - Medunten, Mataram - Mentawis, Semarang -
Semawis, bahkan Mukuh, sebuah desa di kecamatan Pagu
(Kediri) di-'krama'-kan menjadi Mekah.
Calonarang seorang juru sihir, menurut anggapan umum;
orang yang bernafsu jahat. Orang jahat dalam fantasi orang
Jawa selalu digambarkan sebagai 'buto' (rasaksa, rasaksi),
Bandingkan dengan topeng 'Rangda' atau 'Leyak' di Bali yang
sangat ekspresif menggambarkan potret Calonarang atau suatu
personifikasi napsu jahat.
Memang beberapa hal menarik dapat kita temui dari
paparan kisah Calonarang ini. Kalau kita jajarkan dan kita

97 – Panji Pahlawan Nusantara


bandingkan peristiwa Calonarang ini dengan peristiwa Buto
Nyai (Babad Kediri), maka kita akan memperoleh gambaran
sebagai berikut:
a. keduanya sama-sama perempuan, yang satu 'walu natha'
(Calonarang), yang lain 'ingin diperisteri raja' (Buto Nyai
dengan Jayabaya);
b. yang satu diwujudkan rasaksi (Calonarang), yang lain
berwujud rasaksi (ButoNyai);
c. tempat peristiwa yang satu di Girah (Calonarang), yang
lain di desa Gumuruh (guruh, gumerah, gurah = girah?)
(Buto Nyai);
d. Calonarang memuja Batari Durga, Buta Nyai diarcakan
dalam wujud ' reca Thothokkerot' menurut tradisi penduduk
setempat (Bulupasar). Mungkinkah reca Thothokkerot ini
patung Durga? Mengingat atribut-atribut yang dikenakan
(jamang, subang, dan kalung yang dihiasi dengan
tengkorak-tengkorak manusia) bukanlah mustahil (Gambar
2). Dalam hal ini Museum Pusat Jakarta pun menerbitkan
sebuah risalah bernomor seri 4MP/AR/75 dengan judul
Durga Mahisasura Mardhini. Pada halaman 12 disebutkan
bahwa 'juga di Jawa Timur ada patung wanita yang
menggambarkan Durga, dan oleh penduduk disebut sebagai
patung Totok Kerot'.

Di muka telah saya sebutkan bahwa saya cenderung


menduga patung dwarapala). Lagi-lagi suatu persamaan yang
menakjubkan, meskipun dalam garis besar. Detil-detil

98 – Panji Pahlawan Nusantara


perbedaan kiranya sudah tak berarti lagi. Namun hati agaknya
belum merasa puas kalau semua itu belum teruji kebenarannya
seoptimal mungkin, meskipun hipotetis. Saya akan
mengajukan satu bahan pembanding lagi, yang terakhir,
semoga dapat menjadi batu penguji yang cukup menentukan.

4.6. Prasasti Pucangan


Prasasti Airlangga yang kini tersimpan di museum
Calcutta India, yang disebut pula Prasasti Pucangan, tahun
Saka 963 (= 1041 Masehi), pada bagian yang berbahasa
Sangsakerta, menyebutkan bahwa di antara musuh-musuh
Airlangga terdapat seorang perempuan yang memiliki kekuatan
luar biasa seperti rasaksi layaknya, seorang penguasa (Ratu?)
yang menguasai daerah selatan yang biadab dan sukar
ditembus manusia. Tetapi akhirnya musuh ini pun ditaklukkan
juga oleh Airlangga, yaitu pada tahun Saka 954 atau Masehi
1032 (bait 26-27 Prasasti Pucangan, Kern, 1917-VII: 95,101).
Catatan
Perempuan penguasa kuat laksana rasaksi dari daerah
selatan ini, (untuk selanjutnya demi kepraktisan kita sebut saja
Ratu Rasaksi), mengingatkan kita kepada Buto Nyai dari
Lodhoyong, daerah pantai selatan (= Lodhaya, Blitar Selatan,
Ngurawan?). Besar kemungkinan Buto Nyai pun seorang
penguasa daerah pantai selatan, atau setidak-tidaknya bukan
'buto sembarangan', karena ia telah berani 'ngunggah-unggahi'
seorang raja besar seperti Prabu Jayabaya dalam pandangan
orang Jawa.

99 – Panji Pahlawan Nusantara


Ratu Rasaksi dalam prasasti Pucangan ditaklukkan pada
tahun 1032 oleh Airlangga. Bagaimana nasibnya sesudah itu?
Mati? Atau masih hidup mendapat pengampunan? Prasasti
Pucangan tidak menyebut apa pun tentang ini, tetapi
menyebutkan, bahwa Airlangga adalah raja maha bijak dan
pengampun. Apakah ini merupakan isyarat tidak langsung,
bahwa Ratu Rasaksi mendapat pengampunan? Dan sesuai
dengan politik Airlangga, daerah yang 'biadab' itu lalu
di-'peradabkan'? Dan bagaimana pula cara
'memperadabkannya'?
Adalah menjadi tradisi raja-raja di Jawa Timur, terutama
Airlangga, dalam menjalankan kebijakan pemerintahannya
menganut politik budaya dengan menjembatani jurang pemisah
antara hinduisme keraton dan tradisi pribumi di desa-desa.
Keraton dan desa saling mendekati dan saling menerima dan
memberi. Desa menjadi lebih hinduistis, dan keraton pun tidak
malu-malu lagi menerima tradisi pribumi (baca: kerakyatan)
dalam kehidupan keraton. Dalam hal ini perempuanlah yang
memegang peranan penting. Dalam perkawinan, orang-orang
'keraton yang berdarah luhur tidak lagi mengambil putri-putri
ningrat dari lingkungannya sendiri melulu, melainkan juga
mengambil perempuan-perempuan desa. Sekalipun derajat dan
kedudukan perempuan-perempuan tersebut tidak amat penting,
namun sebagai ibu dan pengasuh putra-putra suami masing-
masing merupakan suatu jembatan yang menghubungkan. desa
dan keraton, rakyat pribumi dan kaum ningrat (Stutterheim,
1952 : 51).

100 – Panji Pahlawan Nusantara


Karena inter-marriage policy ini sudah mentradisi, maka
tidak heran kalau kita menjumpai adanya mitos kawin
campuran yang dilakukan oleh raja-raja di Jawa seperti
misalnya: Buto Nyai dan Jayabaya, Ratu Baka (inkarnasi Buta
Nyai) dan Perwatasari, Rasaksi Endang Sasmitapuri dan
Brawijaya, Ratu Rara Kidul dan Panembahan Senapati.
Dapatkah semua itu kita jadikan petunjuk untuk
berspekulasi bahwa dalam melaksanakan politiknya, Airlangga
juga mengawini wanita pribumi, dalam hal ini Ratu Rasaksi
bekas musuhnya dari daerah selatan yang telah ditaklukkan
itu?
Prof. Kern berpendapat bahwa episode Ratu Rasaksi dari
daerah selatan yang disebut dalam prasasti Pucangan itu
kemudian dijadikan tema cerita Calonarang (Kern, 1917-VIII :
95, catatan kaki 2). dan Calonarang adalah 'walu natha'
menurut tradisi Bali.
Satu petunjuk lain. Di tahun 1035 pujangga keraton, Mpu
Kanwa, menggubah sebuah pujasastra Arjuna Wiwaha (AW).
(Yamin, Tatanegara Majapahit IV: 208). AW digubah dengan
maksud untuk melambangkan perkawinan Airlangga. Dengan
siapa? Putri Sriwijaya seperti disangkakan orang selama ini?
Tidak mungkin. Sebab perkawinan Airlangga dengan putri
Sriwijaya telah berlangsung antara 1019-1021. Putri Sriwijaya
adalah Sri Sanggramawijaya, setelah perkawinannya dengan
Airlangga, sekaligus diangkat menjadi Rakryan Mahamantri i
Hino. Namanya pertama kali sebagai mahamantri I Hino
dimuat dalam prasasti Cane tahun Saka 945 atau 1021 Masehi.

101 – Panji Pahlawan Nusantara


Dalam pada itu, antara sekitar tahun 1030-1035 merupakan
tahun-tahun bergejolaknya api perjuangan Airlangga
mempersatukan wilayah negaranya. Kalau dalam tahun-tahun
itu terjadi perkawinan Airlangga dan Sanggramawijaya,
pastilah ini merupakan peristiwa besar dan penting karena
merupakan perkawinan politik tingkat tinggi antara dua tokoh
dari dua negara besar yang sederajat tetapi terpisah demikian
jauhnya, dan menyangkut pula nasib dan kepentingan negara
masing-masing. Adalah mustahil sekali, bahwa peristiwa
sepenting itu tidak tercatat dalam prasasti Pucangan tersebut
yang pada hakikatnya adalah semacam memoar yang
menyangkut kehidupan pribadi Airiangga dan negara.
Seandainya Arjuna Wiwaha (AW) memang
melambangkan perkawinan Airlangga, maka perkawinan itu
niscaya bersifat tertutup, dilakukan tanpa banyak menarik
perhatian atau memang sengaja dilakukan secara diam-diam
(Jw. climen). Suatu hal yang dimungkinkan kalau perkawinan
itu tidak sama derajatnya antara kedudukan suami (di sini
seorang raja besar) dan isteri (kaula pribumi). Apalagi kalau
kedudukan isteri bukan sebagai permaisuri, melainkan sebagai
selir saja. Siapakah selir itu?
Bukan hal yang mustahil bahwa untuk kepentingan
politik, Airlangga telah mengambil kebijakan mengangkat Ratu
Rasaksi, bekas taklukannya, sebagai isterinya. Bekas Ratu
yang pernah menjadi musuh Airlangga yang tangguh dan
berbahaya, kini menjadi sekutu dengan kedudukan yang
khusus, mempunyai dua aspek politis yang menguntungkan

102 – Panji Pahlawan Nusantara


menurut perhitungan Airlangga, yaitu mengurangi jumlah
lawan yang tangguh dan membuatnya menjadi kawan
perjuangan yang tangguh pula untuk memerangi musuh yang
lebih besar dan berbahaya, yaitu Wijaya dari Wengker. Sebab
Wijaya ini, setelah dikalahkan pada tahun 1030 ternyata masih
sanggup bangkit melawan lagi.
Dala pada itu AW pun mempunyai tujuan lain pula.
Sebagai pujangga yang cukup arif dan berpandangan jauh,
maka melalui kakawinnya dengan tema yang penuh dramatik
pertarungan tajam antara baik dan buruk, antara bijak dan
angkara, semuanya dituangkan dalam motif perkawinan
campuran 'sura-asura', Mpu Kanwa secara halus dan hati-hati
memperingatkan Airlangga akan bahaya-bahaya dan kesulitan-
kesulitan yang mungkin timbul dari kebijakannya memperisteri
seorang rasaksi (baca: perempuan pribumi yang dianggap
'biadab'), yang nota bene bekas musub pula (Airlangga - Ratu
Rasaksi = sura - asura). Sebagaimana kita ketahui, AW
mengisahkan keinginan Prabu Niwatakawaca (asura) untuk
memperisteri Dewi Supraba (sura), dan berakhir dengan
kefatalan.
Kalau kita kaitkan kembali Ratu Rasaksi dengan Dewi
Surengrana, putri Raja Lembupangarang, dan isteri Panji, maka
kita akan menemukan suatu identifikasi yang mengejutkan.
Etimologis 'Dewi Surengrana' (sura ing rana) berarti
perempuan yang gagah berani dalam perang'. Daerah
kedudukannya Ngurawan = Lodhaya di kawasan Blitar =
daerah selatan. Menilik namanya Surengrana, di samping putri

103 – Panji Pahlawan Nusantara


seorang raja agaknya dia pun memegang peranan dalam
pertahanan negerinya yang sedikit banyak memenuhi identitas
Ratu Rasaksi sebagai penguasa (dan panglima perang) daerah
selatan menurut prasasti Pucangan. Julukan 'rasaksi' lazim
diberikan oleh suatu pihak kepada musuhnya, seperti halnya
kaum kolonial Belanda dahulu menyebut pejuang kemerdekaan
Indonesia sebagai ekstremis, pengacau, bandit, dan sebagainya.
Kalau Surengrana adalah isteri Panji (yang kemudian
menjadi raja Kahuripan/Jenggala dan Kediri bergelar Prabu Inu
Kertapati), dan Calonarang disebut 'walu natha', maka hal ini
menguatkan teori terjadinya (atau pernah terjadinya) inter-
marriage antara Ratu Rasaksi dari daerah selatan dan
Airlangga (yang nota bene menjadi raja Kahuripan/Jenggala
dan Kediri).
Kalau Surengrana adalah pula Thothokkerot, dan
Thothokkerot identik dengan Buto Nyai, identik pula dengan
Wadalwredi, Retna Cindhaga, dan entah siapa lagi, maka
kiranya tidak perlu diragukan lagi bahwa Thothokkerot, Buto
Nyai sinonim dengan Calonarang, sinonim pula dengan Ratu
Rasaksi dalam prasasti Pucangan.
Dan tokoh Panji yang amat populer dalam kesusastraan
Jawa itu tidak mungkin lain daripada Raja Airlangga sendiri.
Dengan demikian, kalau Calonarang disebut 'walu natha', maka
yang dimaksud dengan 'natha' di sini tentunya pun Airlangga
pula.
Hubungan segi tiga Surengrana-Panji-Candrakirana
dengan demikian dapatlah kita interpretasikan sebagai

104 – Panji Pahlawan Nusantara


hubungan segi tiga: Ratu Rasaksi -Airlangga-
Sanggramawijaya.
Ratu Rasaksi, bagaimanapun juga orang pribumi, bekas
ratu dan penguasa, merasa kuat karena ikatannya dengan bumi
kelahiran dan rakyat kawulanya, tradisi dan kepercayaannya.
Di samping itu menganggap dirinya lebih tahu, lebih
berpengalaman, dan merasa sejajar dengan Airlangga.
Bukanlah ia di samping seorang isteri pun menjadi sekutu pula
dalam memerangi Wijaya, raja Wengker? Bahkan lebih dari
itu, ia pernah menjadi lawan tangguh Airlangga yang tidak
mudah dikalahkan.
Sebaliknya Sri Sanggramawijaya bukan orang pribumi.
Ia seorang asing pendatang dari Sriwijaya, menjadi permaisuri
Airlangga (orang asing pula, pendatang dari Bali) dengan
membawa misi politik. Bukan tidak ada artinya kedudukan
permaisuri sekaligus merangkap jabatan Rakryan Mahamantri.
Pentingnya kedudukan Sanggramawijaya di samping Airlangga
tersirat dalam cerita Panji, yaitu yang jelas sekali
memperlihatkan keutamaan kedudukan Candrakirana sebagai
isteri Panji di atas Surengrana. Atau sangat boleh jadi karier
politik Airlangga selama ini dibayangi oleh kekuasaan Sri
Sanggramawijaya selaku permaisuri dan Mahamantri, tetapi
kemudian mendapatkan saingan yang tidak ringan dari Ratu
Rasaksi, setelah yang akhir ini kawin dengan Airlangga. Suatu
rivalitas politik dalam lingkungan keluarga raja yang dapat
membelokkan arah garis politik yang diambil semula.

105 – Panji Pahlawan Nusantara


Ya, demikianlah kiranya kita harus menginterpretasikan
kisah kecemburuan Surengrana alias Thothokkerot terhadap
Candrakirana, yaitu persaingan atau konflik politik antara Ratu
Rasaksi dan Sanggramawijaya. Dan siapakah gerangan tokoh
kita Ratu Rasaksi ini?
Van Naerssen dalam disertasinya untuk mencapai gelar
Doctor di Leiden tahun 1941 dengan judul Oudjavaansche
Oorkonden in Duitsche en Deensche Verzamelingen
menyebutkan antara lain adanya sebuah prasasti berangka
tahun 937 Saka = 1015 Masehi yang dikeluarkan oleh seorang
Ratu yang menyebut diri dengan ‘cri mahadewi siniwi ring
kadiri’ (Sri Mahadewi yang memerintah di Kadiri).

5. Penutup
Kalau teori yang terpaparkan di atas kita terima,
alangkah banyak hal-hal yang selama ini masih gelap sekitar
kehidupan Airlangga dan peristiwa-peristiwa politik yang
menyangkutnya akan terungkap, misalnya:
a. hubungan Airlangga-Dharmawangsa-Sriwijaya dan
sangkutannya dengan Sri Sanggramawijaya
Dharmaprasadauttunggadewi;
b. sebab-musabab kepindahan ibukota kerajaan Airlangga dan
Wwatanmas ke Kahuripan;
c. pelepasan hak sebagai putri mahkota dan waris tahta oleh
putri sulung Airlangga;
d. peranan aktif Mpu Baradhah dalam kehidupan politik
Airlangga;

106 – Panji Pahlawan Nusantara


e. latar belakang pembagian kerajaan yang semula
dipesatukan dengan susah payah menjadi dua kerajaan
terpisah dan masing-masing berdaulat: Jenggala dan
Panjalu (Kediri)

Tetapi semua itu di luar tujuan karangan ini yang hanya


bermaksud mengungkapkan nilai sejarah yang
ditransformasikan melalui Hikayat Panji. Bagi yang berminat
menelaah sejarah Airlangga lebih lanjut, silakan membaca
tulisan saya “Thothokkerot, Balai Pustaka 1981”, atau makalah
saya “Hari Jadi Kadiri dan Sejarah yang Melatarbelakanginya”
yang saya ajukan dalam Simposium Sejarah Kediri oleh
Lembaga Javanologi dan Universitas Kadiri di Yogyakarta 28-
29 September 1984. Terima kasih.

Surabaya, 6 Mei 1986


Lembaga Javanologi Surabaya

* Soenarto Timoer, budayawan Surabaya telah wafat

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Berg, C. C.
1928 – Inleding Tot De Studie Van Het Oud Javaansch (Kidung
Sundayana), Uitgave Departement van Onderwijs & Eeredienst,
Drukkerij ‘De Bliksem’, Surakarta.
Coslings, B. M.
1938 – De Wajang Op Java En Op Bali (In het Verleden en het
Heden), J.M. Meulenhoff Uitgever, Amsterdam.
Kern, Prof. Dr. H.

107 – Panji Pahlawan Nusantara


1917 – Verspreide Geschriften, deel VII, Martinus Nijhoff, ‘s-
Gravenhage.
Krom, Dr. N.J.
1926 – Hindoe-Javaansche Geschiedenis, Koninklijk Institut voor
de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, Martinus
Nijhoff, ‘s-Gravenhage.
Paku Buwana IV
1932 – Panji Dhadhap, jl. I-II, (tembang, huruf Jawa), Bale
Pustaka Batawi-Sentrem.
1933 – Panji Sekar, (tembang, huruf Jawa), Bale Pustaka,
Batawi-Sentrem.
1933 – Panji Raras, jl. I-II (tembang, huruf Jawa), Bale Pustaka,
Batawi-Sentrem.
Purbatjaraka, Prof. Dr. R.M. Ng.
1926 – Arjuna-Wiwaha, tekst en vertaling, Bidjdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, Marinus
Nijhoof, ‘s-Gravenhage.
1940 – Panji-Verhalen Onderling Vergeleken, Bibliotheca
Javanica, Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen, deel 9, A.C., Nix & Co. Bandoeng.
1954 – Kapustakawan Djawi, Penerbit Djambatan, Djakarta
Ranggawarsita, Raden Ngabei
1966 – Pandji Djajeng Tilam, tjetakan kedua, Balai Pustaka,
Djakarta.
Rassers, Willem Huibert
1922 – De Pandji-Roman, Academisch Proefschrift Doctor in de
Letteren en Wijsbegeerte, Boekdrukkerij D. de Vos – van Kleef,
Roodestraat 44, Antwerpen.
Robson, S.O.
1969 – Hikajat Andaken Menurat, Bibliotheca Indonesica, Vol. 2
Koninklijk Instituut voor Tall-, Land – en Volkenkunde, Martinus
Nijhoff, The Hague.
1971 – Wangbang Wideya, a Javanese Panji Romance,
Bibliotheca Indonesia, Vol. 6, Koninklijk Institut voor Taal-,
Land-en Volkenkunde, Martinus Nijhoff, The Hague.
Rooarda, Prof. T. / Dr. J.G.H. Gunning
1896 – Pandji-Verhalen in Het Javaansch (Panji Kudawanengpati
Gandrung Angreni en Panji klayan Tanjungseta), Boekhandel en
Drukkerij voorheen E.J. Brill, Leiden.

108 – Panji Pahlawan Nusantara


Sastrawinata, S.
1969 – Pandji Semirang, tjetakan ketiga, PN. Balai Pustaka,
Jakarta.
Soemasentika, Mas / Palmer W. van den Broek
1902 – De Geschiedenis Van Het Rijk Kediri (Cariyosipun
Negari Kedhiri kala ing Kina-kina), opgeteekend 1873,
Boekhandel en Drukkerij voorheen E.J. Brill, Leiden.
Soenarko H. Poespito
1979 – Serat Panji (Panji mBedhah Nagari Bali), jl. 2, Proyek
Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Soenarto Timoer
1980 – Damarwulan, Sebuah Lakon Wayang Krucil, Kupasan
Segi Falsafah dan Simboliknya, PN. Balai Pustaka, Jakarta.

1981 – Thothokkerot, Cerita Rakyat sebagai Sumber Penelitian


Sejarah, PN. Balai Pustaka, Jakarta.

1984 – Hari Jadi Kadhiri dan Sejarah yang Melatarbelakanginya,


makalah dalam Simposium Sejarah Kediri Kuna, Lembaga
Javanologi dan Universitas Kadiri, 28-29 September 1984,
Yogyakarta.
Stutterheim, Dr. W.F.
1952 – Het Hunduisme in De Archipel, Cultuurgeschiedenis van
Indonesie II, derde druk, J.B. Wolters, Djakarta, Groningen.
Wirjosuparto, Drs. Sutjipto
1958 – Apa Sebabnya Kediri dan Daerah Sekitarnya Tampil ke
Muka dalam Sedjarah, Makalah untuk Kongres Ilmu Pengetahuan
Nasional I di Malang, Departemen Urusan Research Nasional,
Djakarta.
Yamin, Prof. Mr. H. Muhammad
1962 – Tatanegara Madjapahit, Parwa IV, Jajasan Prapantja,
Djakarta.
Zoete, Beril de / Walter Spies
1973 – Dance and Drama in Bali, Oxford University Press,
London, New York, Melbourne, Kuala Lumpur, Bhrata Jakarta.

109 – Panji Pahlawan Nusantara


Pemakai Tekes Raden Panji dan
Rakyat pada Relief Candi Jago dan
Candi Penataran
Lidya Keiven

Abstrak
Kalau saya memperbandingkan dan meringkas segala yang sudah saya
utamakan mengenai tokoh ber-tekes di dalam Candi Jago dan Candi
Panataran, hasilnya begini:
Candi Jago adalah contoh awal dengan tokoh ber-tekes, dan di sini
dia merepresentasikan rakyat jelata saja. Candi Panataran – dengan
arsitekturnya dan reliefnya lebih muda sedikit – mempertunjukkan tokoh
ber-tekes sebagai rakyat jelata dan sebagai Panji atau setidaknya sebagai
bangsawan. Pada dua situs tokoh ber-tekes punya kaitan yang dekat dengan
dunia manusiawi dan dapat fungsi menerima dan mengantar para
pengunjung candi. Dia membantu mempersiapkan pengunjung untuk masuk
dunia yang lebih sakral. Di Candi Jago itu jelas dalam hierarki vertikal, di
Candi Panataran jelas dalam hierarki horisontal. Ternyata tekes itu pada
zaman Majapahit termasuk pakaian orang biasa, sehingga untuk para
pengunjung candi lebih gampang mengidentifikasikan diri sendiri dengan
tokoh ber-tekes dan ceritanya. Lain dengan tokoh dalam cerita dari sastra
India seperti Ramayana dan Mahabharata, tokoh itu lebih jauh dari dunia
manusiawi dan sudah masuk dunia sakral; di situ kita ketemu hanya sedikit
gambar tekes dan hanya untuk para pengabdi dan untuk para prajurit.
Kenyataan bahwa cerita Panji – yaitu ciptaan sastra Jawa Timur
sendiri yang tidak ada kaitan dengan sastra India yang lama – dimasukkan
dalam gambar relief di candi berarti bahwa sastra yang asli Jawa Timur itu
sudah diakui untuk dimasukkan dalam konteks agama yang berasal dari
India. Di Candi Panataran Panji berfungsi sebagai intermediator antara
dunia manusiawi dan dunia agama. Pada candi yang lebih muda lagi cerita
Panji lebih sering digambarkan dan akhirnya sebagai puncaknya malah ada
suatu arca Panji dengan ukurannya dan aksesorisnya yang biasanya dipakai
untuk arca dewa (FIG).

110 – Panji Pahlawan Nusantara


SEBELUM agama Islam masuk Indonesia pada sekitar awal
abad yang ke-16, kebanyakan penduduk kepulauan Indonesia
menganut agama Hindu dan Buddha. Dua agama itu dan
kebudayaan yang terkait dengannya, sudah masuk dari India
sejak sekitar abad pertama Masehi. Di Jawa lama-lama
didirikan beberapa pusat kerajaan yang berdasarkan pada
agama Hindu dan Buddha itu. Yang terkenal adalah kerajaan di
Jawa Tengah yang punya cukup kepintaran dan power untuk
menciptakan Candi Borobudur dan Candi Prambanan, yaitu
pada sekitar abad yang ke-8 sampai ke-10 (FIG peta Jawa).
[Candi adalah tempat pemujaan para dewa dan pendharmaan
raja]. Kemudian pada awal abad ke-10 pusat kekuasaan pindah
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Di Jawa Timur muncul pusat
kekuasaan di Kediri dan yang berikutnya di Singosari.
Akhirnya pada akhir abad ke-13 didirikan kerajaan Majapahit
dengan pusatnya di sekitar Trowulan.
Selama kekuasaan di Jawa Timur agama Hindu dan
Buddha terus dianut oleh para penguasa dan oleh masyarakat.
Dalam arsitektur candi, dalam cara penghiasannya dengan
relief dan juga dalam cara arca dewa ada banyak unsur baru
yang muncul di periode Jawa Timur dibandingkan dengan
periode Jawa Tengah. Di Jawa Tengah hubungan dengan
kesenian India masih kuat, dan di Jawa Timur para arsitek dan
seniman ternyata lebih berani dan lebih kreatif untuk
menciptakan unsur-unsur khas yang lain. Misalnya dalam
arsitektur kita melihat perbedaan antara candi di Jawa Tengah

111 – Panji Pahlawan Nusantara


yang aturannya konsentris seperti Candi Borobudur, sementara
itu di Jawa Timur aturan candi kebanyakan berteras atau
berundak seperti Candi Jago (FIG) dan Candi Panataran (FIG).
Orientasi candi di Jawa Timur penting: biasanya candi menuju
ke gunung, misalnya Candi Panataran menuju ke Gunung
Kelud. Juga dalam ragam relief dan arca ada ciptaan baru,
misalnya dalam kesenian relief ada unsur yang mirip dengan
wayang kulit yang belum ada di Jawa Tengah. Pada bidang
sastra juga ada kreasi baru: di samping kakawin ditulis puisi
sebagai kidung. Salah satu versi kidung adalah cerita Panji.
Khususnya pada zaman Majapahit yang berdiri dari
tahun 1293 s.d. awal abad ke-16 perkembangan kesenian yang
khas itu sampai pada puncaknya. Salah satu unsur yang khas
dalam kesenian relief dan arca adalah tokoh yang mengenakan
tekes sebagai penutup kepalanya. Dulu para arkeolog Belanda
(misalnya Stutterheim 1936: 198) menyebut tekes itu sebagai
Panji-petje atau Panji-cap, karena dianggap selalu dipakai oleh
tokoh Panji yang terkenal dari cerita Panji. Tetapi ada banyak
contoh untuk tokoh yang ber-tekes yang jelas bukan
mempresentasikan Raden Panji.
Saya memberi beberapa contoh untuk tokoh ber-tekes
secara kronologisnya:
- Candi Jago (1280-1350): rakyat jelata dalam cerita Tantri
yang memukul buaya.
- Candi Panataran, Candi Induk (c. 1320-1350): dua orang
pembantu dengan Khrisna dalam Krishnayana

112 – Panji Pahlawan Nusantara


- Candi Surawana (c. 1350): Sidapaksa dalam cerita Sri
Tanjung
- Candi Panataran, Teras Pendopo (1375): Panji?
- Candi Tigowangi, Pendopo Kecil (akhir abad 14): seorang
tukang, rakyat jelata
- Arca kecil yang ditemukan di Boyolangu, belum dapat
diketahui interpretasinya
- Panji dari Selokelir di gunung Penanggungan (c. 1450) (8
FIG)

Saya mau berkonsentrasi pada dua candi saja, yaitu


Candi Jago dan Candi Panataran, yang adalah contoh yang
signifikan.

Candi Jago
Candi Jago didirikan (FIG) oleh Raja Kertanagara untuk
pemujaan atau pendharmaan almarhum Raja Wishnuwardhana,
yaitu ayahnya. Kertanagara sendiri adalah raja terakhir dari
kerajaan Singosari; Kertanagara terkenal sebagai penganut dua
agama Hindu dan Buddha sekaligus. [Mungkin Anda akan
tanya, kok kenapa candi itu dipilih kalau masih termasuk
zaman Singosari]. Pendirian candinya pada sekitar tahun 1280,
dan penghiasan dengan relief ternyata baru selesai pada sekitar
tahun 1350. Jadi reliefnya memang dari zaman Majapahit awal.
Arsitektur candinya berteras, masuknya di sebelah barat, dan
setiap teras dihias dengan relief naratif. Dari bawah ke atas
adalah cerita Tantri, Angling Dharma, Kunjarakarna, mungkin
Sudhanakumara-Awadana, Parthayajna, Arjunawiwaha dan

113 – Panji Pahlawan Nusantara


Krishnayana (FIG: groundplan). Jadi ada cerita yang
berdasarkan agama Hindu dan Buddha, yaitu berkaitan dengan
anutan Raja Kertanagara.
Ada beberapa tokoh ber-tekes yang muncul dalam relief
naratif itu: di dalam relief cerita Tantri, dalam Anglingdharma,
Kunjarakarna, Sudhanakumara-Awadana. Tetapi tidak ada
tokoh ber-tekes dalam relief Parthayajna, Arjunawiwaha dan
Krishnayana yang semua di teras-teras paling atas. Ini ada
suatu contoh dari relief-relief cerita Tantri. Itu adalah cerita
moral yang memberi contoh perilaku binatang atau manusia
dan hasilnya perilaku itu. “Buaya dan kerbau” (FIG): Tiga
orang memukul buaya yang sebelumnya berlaku jahat terhadap
kerbau. Tiga orang itu pakai tekes, tekesnya agak kecil. [Masih
ada contoh tekes dalam relief Tantri lain, tapi dibiarkan di
sini]. Karakter tokoh ber-tekes ini termasuk rakyat jelata.
Dalam relief Angling Dharma ada dua adegan dengan
gambar Dewa Wairocana, yaitu dewa dalam agama Buddha (2
FIG). Dewa itu didampingi oleh dua pembantu yang pakai
tekes. Tekes itu justru lebih besar dan pinggirnya tajam sekali
kalau dibandingkan dengan tekes dalam relief Tantri tadi.
Dalam relief Kunjakarna, suatu cerita agama Buddha, Dewa
Wairocana digambar lagi dengan dua pembantunya. Ada tiga
adegan yang mirip sekali, di sini saya tunjukkan duanya (2
FIG). Tiga adegan itu semua mirip juga dengan adegan dari
Angling Dharma yang saya tunjuk tadi, dan cara gambarnya
orang ber-tekes itu identik. Apalagi mereka semua pegang

114 – Panji Pahlawan Nusantara


tempolong sirih untuk Dewa Wairocana, dan mereka semua
dihias dengan anting-anting, kalung dan gelang.
Dalam relief Sudhanakumara-Awadana ada satu adegan
mirip lagi: Di sini dua pembantu dengan tekes duduk dekat
dengan seorang raja (FIG), tapi tanpa tempolong. Dalam relief
Kunjarakarna ada adegan lain dengan tokoh ber-tekes, yaitu
gambar di neraka: Penjaga dengan iringan para penebus dosa.
Penjaga itu pakai tekes dengan pinggirnya tajam, dan penebus
dosa itu mengenakan tekes juga, tapi kecil dan kurang tajam
pinggirnya.
Kalau saya memberi ringkasan mengenai ikonografi
tokoh ber-tekes itu, kita melihat banyak kesamaan:
Ada tokoh ber-tekes yang pakai tekes kecil dan
pinggirnya kurang tajam, sepertinya di relief Tantri dan pada
penebus dosa di Kunjarakarna. Mereka semua tidak dapat
hiasan. Mereka termasuk rakyat jelata. Para tokoh ber-tekes di
Angling Dharma, Kunjakarna dan Sudhanakumara yang adalah
pembantu dewa atau raja, semua pakai tekes besar dan
pinggirnya tajam. Mereka dihias dengan anting-anting, gelang
dan kalung. Mereka termasuk golongan lebih atas dalam
masyarakat.
Saya juga tertarik dengan pertanyaan mengenai posisi
reliefnya dalam candi. Pada tahun-tahun terakhir dalam
penelitian candi memang banyak ahli memfokus pada
pertanyaan itu (Klokke 1995; Worsley 1986; 1996; O’Brien
1988; 1990). Secara ringkas hasilnya begini: Candi-candi di
Jawa Timur biasanya berorientasi ke gunung, berarti bagian

115 – Panji Pahlawan Nusantara


belakang candinya menuju ke gunung itu. Di sebelah depan
candinya relief-relief biasanya memberi representasi cerita atau
adegan cerita yang ada kaitan dengan dunia manusiawi atau
peperangan, sementara bagian belakang candinya yang menuju
ke gunung itu ada representasi dengan adegan lebih sakral dan
yang ada lebih banyak berkaitan dengan para dewa.
Kalau kita melihat aturan horisontal di Candi Jago (FIG
Jago groundplan): Para tokoh ber-tekes yang termasuk rakyat
jelata plus penjaga neraka itu semua hanya direpresentasikan di
bagian barat candinya, sedangkan semua tokoh ber-tekes yang
lebih tinggi statusnya posisinya di bagian selatan, timur atau
utara. Menurut Kathleen O’Brien (1988, 1990) yang pernah
membuat riset dalam mengenal Candi Jago, candi ini adalah
semacam mandala; tapi bagian baratnya tinggal di luar
mandala formal itu dan dapat hiasan relief yang isi ceritanya
lebih duniawi.
Mengenal hierarki vertikal dan simbolismenya belum ada
banyak penelitian (FIG Jago ganz). Di Candi Jago kita melihat
bahwa relief naratif yang pakai tokoh ber-tekes pada dua teras
di bawah itu punya lebih banyak kaitan dengan dunia orang
biasa kalau dibandingkan dengan naratif pada tiga teras atas
yang menceritakan mengenai para pahlawan dari Mahabharata,
yaitu Arjuna dan Krishna. Semakin ke atas kita semakin keluar
dari dunia manusiawi dan moralitas dan masuk dunia sakral.
Juga cerita yang digambarkan di atas itu dianggap sebagai
lambang untuk raja ideal (Klokke 1993: 143-147; O’Brien
1990).

116 – Panji Pahlawan Nusantara


Menariknya para tokoh ber-tekes tidak muncul dalam
dunia sakral di bagian atas candinya, tetapi hanya dalam dunia
yang lebih manusiawi yang posisinya di bagian bawah candi.
Di teras paling bawah ada 8 adegan dengan tekes, di teras
kedua ada 3 adegan saja. Berarti jumlah tokoh ber-tekes
berkurang semakin kita ke atas. Jadi posisi tokoh ber-tekes di
Candi Jago sesuai dengan arti dan simbolisme pada dua
hierarki itu.
Sudah menjadi jelas dari semua diskusi di atas itu bahwa
tidak ada tokoh Panji di Candi Jago. Tetapi ada kenyataan
bahwa waktu itu (awal abad ke-14) tekes sudah menjadi ragam
atau gaya khas sebagai penutup kepala untuk rakyat, sehingga
sudah sempat dipakai untuk merepresentasikan rakyat jelata
dan para pengabdi dalam relief candi. Sedangkan tokoh dari
cerita dengan latar belakang India seperti Arjuna dan Krishna
digambarkan dengan supit urang sebagai hiasan kepalanya,
atau para dewa direpresentasikan dengan hiasan yang masih
berdasarkan tradisi seni Jawa Tengah.

Candi Panataran
Kita akan pindah ke Candi Panataran dan melihat situasi
di situ. Candi Penataran (FIG) dianggap sebagai candi pusat
untuk kerajaan Majapahit dan terdiri atas tiga halaman yang
berteras dan yang menuju ke gunung Kelud. Masuknya dari
barat dan tiga halaman itu berderet menuju ke timur. Di dalam
komplek candi tersebarnya beberapa bangunan. Kita teringat
dengan aturan pura di Bali yang juga punya tiga halaman

117 – Panji Pahlawan Nusantara


dengan macam-macam bangunan yang dapat fungsi sendiri-
sendiri. Fungsi tiga halaman di Panataran ternyata memang
mirip dengan pura di Bali zaman kini: Halaman pertama untuk
menerima dan mempersiapkan sesajen, halaman di belakang
dengan bangunan induk untuk memuja para dewa. Selain itu di
Panataran ada juga dua tempat pemandian atau petirtaan:
Satunya beberapa ratusan meter di luar sebelum masuk
komplek candi, dan yang kedua pas di sebelah halaman induk
komplek candinya.
Di Candi Panataran ditemukan banyak inskripsi. Menurut
itu sudah ada bangunan sakral oleh Raja Srengga dari Kediri
pada tahun 1197 AD. Kebanyakan inskripsi adalah antara awal
abad ke-14 s.d. pertengahan abad ke-15, yaitu zaman inti
Majapahit. Berarti bangunan-bangunan tidak dikonstruksikan
pada waktu yang sama, tapi selama satu abad tersebarnya.
Banyak bangunan dalam komplek candi dihias dengan
relief naratif. Tokoh ber-tekes muncul pada Teras Pendopo
(1375 AD), pada Candi Naga, pada Pendopo Kecil, pada
Dwarapala di depan Candi Induk (1347 AD), pada Candi Induk
(mungkin antara 1323-1347 AD), barangkali pada Petirtaan
dalam (1415 AD) dan pada Petirtaan luar (FIG groundplan).
Teras Pendopo dihias dengan 80 adegan relief. Kaki
Pendopo dilingkari oleh ukiran naga. Dalam relief ada banyak
representasi tokoh ber-tekes (FIG). Dalam tahun 1978
Suleiman Satyawati pernah membuat deskripsinya yang dalam
sekali; sebelumnya sudah ada ahli Belanda [seperti Galestin
(1939) atau Van Stein Callenfels (1919)] yang membuat

118 – Panji Pahlawan Nusantara


interpretasi beberapa adegan relief-reliefnya. Belum semua
bisa diidentifikasikan dengan naratif tertentu. Yang ternyata
jelas adalah identifikasi beberapa adegan dengan cerita Sang
Satyawan, cerita Bubuksha dan Gagak Aking, dan cerita Sri
Tanjung. Walaupun saya tidak dapat menemukan cerita dalam
sastra kuno yang persis cocok dengan gambar-gambar lain
dalam reliefnya, untuk saya toh menjadi jelas bahwa ada cerita
romantis antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
direpresentasikan. Saya juga ikut dugaan Suleiman Satyawati
dalam bukunya bahwa sebagian relief adalah representasi cerita
Panji. Saya memberi beberapa contoh reliefnya: (4 FIG)
Kita melihat lebih persis pada ikonografinya: Tokoh ber-
tekes ini selalu dipresentasikan dengan kain panjang, gelung,
tekesnya besar dengan pinggir tajam, dan selalu jelas kelihatan
sedikit rambutnya pada dahinya. Ternyata dia termasuk
masyarakat status atas, jadi bangsawan. Perempuan yang
ditunjuk bersama tokoh bertekes pakai hiasan juga, rambutnya
biasanya panjang yang adalah tanda ikonografis untuk wanita
muda. Ada banyak adegan dengan presentasi yang khas untuk
orang yang bercinta dan rindu kekasihnya. Dalam suatu naskah
dulu (Kieven 2003) saya pernah mendiskusikan posisi pecinta
dalam relief: Si pria dan si wanita duduk bersama, si wanita di
atas pangkuan pria. Untuk pria khas posisinya dengan satu kaki
lurus, yang lainnya bengkok dan di atas kaki lurus; Untuk si
wanita posisi khasnya dengan kepala bengkok dan satu tangan
ke atas dan memegang kepalanya; kalau wanita sendiri sedang
dalam posisi ini berarti dia rindu pada pria. (2 FIG)

119 – Panji Pahlawan Nusantara


Ternyata dalam cerita-cerita yang digambarkan ada
beberapa adegan perpisahan dan pertemuan lagi antara si pria
dan si wanita, yang adalah unsur khas dalam cerita Panji.
Selain kemungkinan besar bahwa ada presentasi cerita Panji
pada relief di Teras Pendopo, menarik juga kalau kita lihat
lebih dalam pada adegan-adegannya. Seringkali ditunjuk
adegan dengan presentasi yang ada kaitan dengan agama:
Misalnya cerita Sang Satyawan [Ringkasannya: Sang
Satyawan melamar untuk menikah Suwistri, anaknya seorang
raja; dan setelah menikah Sang Satyawan meninggalkan
istrinya untuk bertapa. Akhirnya istrinya ketemu suaminya lagi
dan dapat ajaran dharma sambil ikut bertapa, dan dua-duanya
menjadi satu di pertapaan di atas Gunung Meru.] (2 FIG)
Selain itu ada beberapa adegan dalam relief cerita lain
yang merepresentasikan seorang pertapa bersama dengan tokoh
ber-tekes (2 FIG). Di sini saya hanya bisa menunjuk suatu
pilihan adegan. Dari pilihan itu sudah menjadi jelas bahwa
tokoh ber-tekes pada Teras Pendopo dapat peran sebagai
seorang pencinta tunangan atau istrinya dan peran lainnya
sebagai pengantar agama dan pengajar dharma.
Kita meneruskan pada halaman kedua dengan Candi
Naga (FIG). Di situ ada beberapa relief kecil saja yang
menunjuk adegan dengan tokoh ber-tekes yang masuk rakyat
jelata. Yang menarik adalah naga yang dipegang oleh beberapa
pendeta. Kalau kita mengingat lagi Teras Pendopo, itu juga
dilingkari oleh naga-naga.

120 – Panji Pahlawan Nusantara


Kita masuk halaman induk dan mengunjungi Pendopo
Kecil yang di sebelah kanan Candi Induk. Di situ ada empat
adegan relief naratif saja, dan semuanya dapat representasi
seorang tokoh ber-tekes (4 FIG). Tokoh itu termasuk golongan
atas karena dapat hiasan seperti anting-anting dan gelang.
Dalam dua adegan tokoh ber-tekes itu ditunjuk bersama
perempuan. Ceritanya tidak diketahui, tapi ternyata hubungan
antara si laki-laki dan si wanita adalah unsur pokok karena ada
dua adegan dengan pasangan. Saya tidak bisa memutuskan
apakah itu cukup untuk mengidentifikasikannya dengan cerita
Panji.
Sebelum masuk Candi Induk kita harus melewati 4
dwarapala besar yang menjaga dua tangganya. Bagian
belakang ke-4 dwarapala itu semua dihias dengan relief (2
FIG), ceritanya Tantri atau gambar binatang. Salah satunya
dihias dengan relief cerita Tantri yang merepresentasikan
seorang tokoh ber-tekes.
Candi Induk adalah candi yang arsitekturnya mirip
dengan Candi Jago, yaitu bangunan berundak (FIG). Teras di
bawah dihias dengan relief cerita Ramayana, khususnya
dengan bagian ceritanya tentang Hanuman yang masuk
Lengka, dan teras kedua dengan cerita Krishnayana. Teras atas
dihias dengan beberapa arca naga. [Badan candinya sekarang
terletak di sebelah utara Candi Induknya; jadi kesannya hari ini
tidak asli.]
Di Candi Induk hanya ada sedikit gambar tokoh ber-
tekes. Dalam relief Ramayana ada satu kera dalam pasukan

121 – Panji Pahlawan Nusantara


Hanuman yang ber-tekes (FIG), posisinya di sebelah belakang
candinya. Dalam relief Krishnayana ada 5 adegan dengan
tokoh ber-tekes, semuanya merepresentasikan pengabdi
Krishna atau prajurit dalam pasukannya (2 FIG); jadi mereka
semua termasuk golongan masyarakat bawah atau tengah dan
tidak dapat peran penting dalam reliefnya. Para pahlawan
dalam relief Ramayana dan Krishnayana di sini, yaitu
Hanuman dan Krishna, digambarkan dengan supit urang dan
dengan banyak hiasan.
Petirtaan Dalam dengan sumur air alami dihiaskan
dengan relief cerita Tantri. Dua pintu masuk dihias dengan
relief orang yang tingginya 1 m, kakinya masuk air (2 FIG).
Sebelah kiri ada dua laki-laki, sebelah kanan pasangan laki-laki
dan perempuan. Sayang sekali atas kepalanya dua orang
hilang, tapi unsur wajahnya mirip sekali dengan presentasi
yang biasa untuk tokoh ber-tekes, yaitu ada sedikit ikal rambut
yang kelihatan pada dahinya. Karena kakinya 4 orang itu
semua masuk air, ada impresi seolah mereka mau mengajak
para pengunjung untuk masuk juga.
Setelah segala penelitian saya mengenai Candi Panataran
saya mengembangkan interpretasi baru seperti berikutnya:
Saya melihat ada kesamaan dengan konsep Tantra dalam
agama Hindu. Sang pertapa yang ikut yoga Tantra
mengusahakan menaikkan energinya dari bagian bawah
badannya sampai ke atas kepalanya. Energi itu disimbolkan
oleh dewi Sakti, istrinya dewa Siwa. Ada konsep bahwa
kenaikkan energi lewat beberapa cakra, yaitu tempat tertentu di

122 – Panji Pahlawan Nusantara


dalam badan orangnya. Di atas kepala dalam Sahasrara-cakra
dewi Sakti akan menjadi satu dengan dewa Siwa. Unifikasi itu
adalah simbol untuk penyatuan orangnya dengan dewa. Setelah
unifikasi itu energi akan turun dan disimpan di Anandakanda-
padma-cakra di daerah hati. Cakra pada hati itu dalam teks
India sering dibandingkan dengan tempat indah pada laut atau
telaga. Konsep Tantra itu ternyata pada zaman Jawa Kuno
dikenal di Jawa [menurut misalnya sebutan nama Ida dan
Pinggala dalam kakawin Nagarakertagama; Ida dan Pinggala
adalah dua jalan dalam kenaikan energi dalam badan orang].
Ada juga paralel lain dengan suatu cerita yang terkenal
dalam sastra Jawa kuno – Dewaruci: Menurut cerita itu Bhima
mendapat tugas untuk mencari amerta, yaitu air suci, pada
gunung Meru. Tapi setelah Bhima tidak dapat amerta di situ,
dia turun dan masuk laut. Di situ dia ketemu dengan Dewaruci
yang mengajarinya untuk mendapat amerta dan prajnaparamita
(pengetahuan/kebijaksanaan paling tinggi) di dalam dirinya
sendiri.
Saya melihat kesamaan dua konsep itu dengan Candi
Panataran (FIG groundplan + layout) karena pada Teras
Pendopo ada banyak adegan mengenai cinta dan duka dan
unifikasi laki-laki dengan perempuan; jadi di situ kita baru
diintroduksikan pada tujuan akhir dalam jalur Tantra. Dan juga
ada banyak adegan dengan ajaran agama. Jadi Teras Pendopo
berfungsi sebagai semacam pengantar dan persiapan. Terus
para pengunjung harus melewati beberapa tempat dan
bangunan, misalnya Candi Naga yang punya tema amerta.

123 – Panji Pahlawan Nusantara


Kalau mengunjungi Pendopo Kecil dalam halaman induk, di
situ juga ada gambarnya air. Dan akhirnya kalau naik Candi
Induk yang sama dengan naik gunung, ada lagi beberapa
adegan dengan air – misalnya dalam Ramayana waktu
Hanuman bersama pasukan kera menyeberangi laut intuk
masuk Lengka [menariknya adegan itu digambarkan di sebelah
belakang candinya].
Dan adegan terakhir dalam relief-relief pada teras atas,
yaitu Krishnayana, menunjukkan persatuan Krishna dengan
Rukmini pada telaga. Berartinya persatuan dewa dan dewi
yang menurut jalur Tantra adalah simbol untuk unifikasi orang
dengan dewa, sudah terjadi. Situasi di atas Candi Induk paralel
dengan Sahasrara-cakra, yaitu tempat di atas kepala orang.
Situasi di atas itu paralel juga dengan puncak gunung dalam
cerita Dewaruci, karena bangunan candi adalah simbol untuk
gunung Meru. Di sebelah Krishna dan Rukmini ada seorang
bidadari yang mandi dan dia sepertinya mau mengajak kita
untuk mandi juga. Kita turun dari “gunung” dan bisa masuk
Petirtaan di mana kita bisa mandi sendiri. Petirtaan itu sama
simbolismenya dengan Anandakanda-padma-cakra, yaitu cakra
hati, di mana disimpan energi dari penyatuan dengan dewa
dalam jalur Tantra. Petirtaan itu juga bisa dimengerti sebagai
tempat penemuan amerta oleh Bhima di dalam laut.
Apakah peran si tokoh ber-tekes dalam segala
interpretasi ini? Saya melihat bahwa tokoh ber-tekes itu selalu
mendapat fungsi untuk mengantar si pengunjung: Di Teras
Pendopo dia sebagai Sang Satyawan atau sebagai Raden Panji

124 – Panji Pahlawan Nusantara


menyambut para pengunjung. Isi cerita-cerita yang
digambarkan di sini, adalah dekat dengan manusia – banyak
duka dan cinta, dan ada juga pengantaran dalam agama. Tokoh
ber-tekes membantu si pengunjung dalam persiapannya untuk
masuk komplek candi.
Di Candi Naga tokoh ber-tekes adalah orang dari rakyat
jelata dan berfungsi sebagai pengantar juga, biar perhatian para
pengunjung ditarik ke candi itu, dengan tema amerta. Terus
Pendopo Kecil dalam halaman induk ternyata berfungsi
sebagai persiapan untuk akhirnya masuk Candi Induk, dan di
sini tokoh ber-tekes dapat fungsi lagi sebagai pengantar, kali
ini sebagai seorang bangsawan, mungkin Panji, jadi fungsinya
mirip dengan yang di Teras Pendopo. Sebelum naik Candi
Induk, tempat yang paling sakral untuk memuja para dewa, ada
tokoh ber-tekes sebagai rakyat jelata di belakang satu
Dwarapala, sebagai pengantar terakhir.
Akhirnya di Candi Induk sendiri hanya ada sedikit tokoh
ber-tekes sebagai prajurit atau sebagai pengabdi; di situ sama
seperti di Candi Jago mereka hanya dapat peran bawah. Yang
punya peran utama – Hanuman dan Krishna – digambarkan
dengan supit urang. Di Petirtaan Dalam saya menduga bahwa
satu atau dua laki-laki merepresentasikan seorang bangsawan
yang mungkin adalah Panji, dan mereka jelas mengajak untuk
masuk air, jadi fungsinya mereka adalah pengantar juga.
Dalam Petirtaan ini kita bisa dapat purifikasi.
Dalam semua contoh itu si tokoh ber-tekes berfungsi
sebagai pengantar – baik dengan artinya rakyat jelata baik

125 – Panji Pahlawan Nusantara


sebagai Panji. Atau mungkin malah lebih persis kalau saya
katakan tokoh ber-tekes berfungsi sebagai intermediator antara
dunia manusiawi dan dunia sakral, sampai akhirnya orang dari
dunia manusiawi bisa mendapat purifikasi dalam dunia sakral.
Menurut interpretasi saya air sebagai amerta ternyata
adalah tema pokok dalam Candi Panataran. Itu didukung oleh
banyak representasi para naga. Simbolisme naga ada banyak
kaitan dengan air: Naga hidup di dalam air; menurut tradisi
dari India yang juga diceritakan dalam Tantu Panggelaran,
yaitu teks Jawa Kuno, naga mengadukan laut yang
memperhasilkan amerta; dan energi dalam jalur Tantra yang
mau menyatukan dengan dewa yang disebut dengan nama
Kundalini biasanya direpresentasikan sebagai naga [Serpent’s
power = Kundalini].
Tentang posisi tokoh ber-tekes di dalam aturan
arsitektural di Candi Panataran agak sulit memberi interpretasi,
karena bangunan-bangunan tidak dikonstruksi pada waktu
yang sama, tapi berikut-ikut saja, jadi tidak ada satu konsep
koheren dalam posisi relief. Yang jelas adalah bahwa di depan
ada banyak tokoh ber-tekes dan semakin kita masuk ke
halaman induk semakin mereka berkurang. Jadi secara hierarki
horisontal jelas perkurangannya yang sesuai dengan tahap-
tahap dalam proses masuk ke dunia sakral.
Kalau saya membandingkan dan meringkas segala yang
sudah saya utamakan mengenai tokoh ber-tekes di dalam Candi
Jago dan Candi Panataran, hasilnya begini:

126 – Panji Pahlawan Nusantara


Candi Jago adalah contoh awal dengan tokoh ber-tekes,
dan di sini dia merepresentasikan rakyat jelata saja. Candi
Panataran –dengan arsitekturnya dan reliefnya lebih muda
sedikit– mempertunjukkan tokoh ber-tekes sebagai rakyat
jelata dan sebagai Panji atau setidaknya sebagai bangsawan.
Pada dua situs tokoh ber-tekes punya kaitan yang dekat dengan
dunia manusiawi dan dapat fungsi menerima dan mengantar
para pengunjung candi. Dia membantu mempersiapkan
pengunjung untuk masuk dunia yang lebih sakral. Di Candi
Jago itu jelas dalam hierarki vertikal, di Candi Panataran jelas
dalam hierarki horisontal.
Ternyata tekes itu pada zaman Majapahit termasuk
pakaian orang biasa, sehingga untuk para pengunjung candi
lebih gampang mengidentifikasikan diri sendiri dengan tokoh
ber-tekes dan ceritanya. Lain dengan tokoh dalam cerita dari
sastra India seperti Ramayana dan Mahabharata, tokoh itu lebih
jauh dari dunia manusiawi dan sudah masuk dunia sakral; di
situ kita ketemu hanya sedikit gambar tekes dan hanya untuk
para pengabdi dan untuk para prajurit.
Kenyataan bahwa cerita Panji –yaitu ciptaan sastra Jawa
Timur sendiri yang tidak ada kaitan dengan sastra India yang
lama– dimasukkan dalam gambar relief di candi berarti bahwa
sastra yang asli Jawa Timur itu sudah diakui untuk dimasukkan
dalam konteks agama yang berasal dari India. Di Candi
Panataran Panji berfungsi sebagai intermediator antara dunia
manusiawi dan dunia agama. Pada candi yang lebih muda lagi
cerita Panji lebih sering digambarkan dan akhirnya sebagai

127 – Panji Pahlawan Nusantara


puncaknya malah ada suatu arca Panji dengan ukurannya dan
aksesorisnya yang biasanya dipakai untuk arca dewa (FIG).

Panji pada Relief Candi Jago

128 – Panji Pahlawan Nusantara


Bibliografi:
Galestin, Th.P.:
1939 De onverklaarde reliefs van tjandi Kedaton. In:Cultureel Indie.
Leiden. pp. 154-156.
Kieven, L.:
2003 Loving Couples Depicted in Temple Reliefs in East Java of the
Majapahit Time. In: Anna Karlstrom & Anna Kallen (eds.):
Fishbones and Glittering Emblems. Southeast Asian Archaeology
2002: 335-348. Museum of Far Eastern Antiquities Stockholm.
Klokke, Marijke J.:
1993 Tantri reliefs on Javanese candi. Leiden.
1995 On the orientation of ancient Javanese temples: the example of
Surowono, in: Paul van der Velde (ed.), HAS Yearbook 1994: 73-
86. Leiden.
O’Brien, K.:
1988 ‘Candi Jago as Mandala: Symbolism of its Narratives (Part I)’,
RIMA Vol. 22, Summer 1988: 1-61.
1990 ‘Candi Jago: A Javanese Interpretation of the Wheel of Existence?
Part 2’, RIMA Vol. 24, Winter 1990: 23-85.
Stein Callenfels, P.V. van:
1919 Verklaring van de basrelief-series. A. De Bubuksah-serie aan het
pendapaterras te Panataran. B. De bareliefs van het tweede terras
van Tjandi Toempang. TBG 58: 348-390.
Stutterheim, W.F.:
1936 Voorloopig Bericht omtrent enkele vondsten op den
Penanggoengan in 1935. Djawa 16: 194-200.
Suleiman, Satyawati:
1978 The Pendopo Terrace of Panataran. Proyek Pelita Pembinaan
Kepurbakalaan dan Peninggalan Nasional. Jakarta.
Worsley, Peter:
1986 Narrative Bas-Reliefs at Candi Surawana. in: Marr, D.G. and
Milner, A.C.: Southeast Asia in the 9th to 14th centuries.
Singapore. S. 335-367.

129 – Panji Pahlawan Nusantara


1996 ‘On the Ordering of the Narrative Reliefs at Candi Surowono, East
Java, a response to Marijke Klokke, ,”On the Orientation of
Ancient Javanese Temples: The Example of Candi Surowono”,
HAS Yearbook 1994’, in: Paul van der Velde (ed.), HAS
Yearbook 1995, pp. 220-3, Leiden: HAS.67

130 – Panji Pahlawan Nusantara


Kearifan Budaya Lokal
dalam Cerita Panji
(Resepsi Pembaca ‘Dalam dan Luar Negeri’
terhadap Cerita Panji)

Setya Yuwana Sudikan


FBS Unesa

Abstrak
Cerita Panji amat terkenal di Jawa Timur, berkembang di Nusantara
akhirnya terkenal pula di Malaysia, Kamboja, dan Thailand. Perkembangan
diperkirakan dalam bentuk sastra lisan dan dalam bentuk wayang kulit.
Sastra Panji menarik perhatian para peneliti di bidang susastra, sejarah dan
antropologi. Tokoh Panji merupakan keteladanan di bidang budi pekerti
yang luhur. Peranan lain tokoh Panji sebagai seniman dan pengembang
kebudayaan di Nusantara. Panji memiliki wajah tampan, berwatak satria,
bersikap lemah lembut, rajin menuntut ilmu pengetahuan dan bertabiat
jujur. Panji simbol pemimpin dan negarawan yang berjiwa besar serta amat
dicintai rakyatnya.

131 – Panji Pahlawan Nusantara


Pendahuluan
CERITA Panji merupakan cerita dari Jawa Timur yang sangat
populer di Pulau Jawa pada akhir abad ke-14 (Braginsky,
1998:57), bahkan pesebaran ceritanya tidak hanya di kepulauan
Nusantara tetapi hingga ke wilayah Thailand, Malaysia dan
Burma sehingga mempengaruhi kesusastraan Melayu klasik.
Hal itu terlihat dalam penulisan Sejarah Melayu pada bab IX
yang menyebutkan bahwa cerita Panji merupakan “pseudo”
dalam Sejarah Melayu (Braginsky, 1998:58).
Nama Panji sudah populer di lingkungan masyarakat
Jawa Timur sejak zaman Kediri, Singosari dan Majapahit. Pada
perjalanan sejarah zaman kerajaan Kediri dinasti Mpu Sindok
menghadirkan nama raja Prabu Airlangga lalu raja ketujuh
yang bergelar Panji Kameswara (1115-1130 M), raja kedelapan
Prabu Jayabaya yang bergelar Sang Mapanji Jayabhaya (1130-
1157 M). Dalam buku The History of Java karya Raffles,
dijumpai nama tokoh Panji Lembu Amiluhur, Panji Amisena,
Panji Inu Kertapati, dan lain-lain.
Fakta sejarah, nama Panji tidak selalu melekat pada
tokoh raja/bangsawan kerajaan. Pada zaman Singosari, penulis
buku Pararaton menjelaskan bahwa ayah angkat Ken Arok
yang bernama Bango Samparan, seorang pencuri dan penjudi
yang hidup di Desa Karuman mempunyai anak lima orang,
yang laki-laki bernama Panji Bawuk, Panji Kuncung, Panji
Kunal, dan Panji Kenekung. Artinya telah terjadi pergeseran
muatan makna Panji yang dipakai di lingkungan
bangsawan/kerajaan ke pedesaan. Nama putra Ken Arok

132 – Panji Pahlawan Nusantara


dengan Ken Umang bernama Panji Tohjoyo dan Panji Sudhatu.
Namun putra Ken Arok dengan Ken Dedes bernama Panji
Saprang (Pararaton, pupuh 46-47) (Mangkudimeja, 1979:23).
Poerbatjaraka (1940:368) berpendapat bahwa cerita Panji
pertama-tama ditulis pada zaman kejayaan Majapahit atau
zaman kemunduran Majapahit, kira-kira tahun 1400.
Persebarannya ke seluruh Nusantara terjadi jauh kemudian.
Cerita Panji yang mula-mula itu ditulis dalam sastra Jawa
Tengahan, bukan sastra Jawa Kuna.
Sebelum itu, Berg telah meneliti bahwa cerita Panji
terjadi pada zaman Pamalayu, tahun 1277, sebagai terminus a
quo sampai kira-kira tahun 1400 sebagai terminus ad quem,
jadi, pada abad ke 13 dan 14. Sebelumnya, Berg berpendapat
bahwa cerita itu tersebar luas pada zaman kejayaan Majapahit
dan menyebutkan pengaruhnya di seluruh Nusantara (Berg,
1928). Hal itu berarti cerita Panji pertama muncul pada zaman
sastra Jawa Kuno. Hal itu dikuatkan lagi dengan pendapatnya
bahwa cerita Panji itu (barangkali) sudah populer dalam
lingkungan istana-istana Jawa Timur, tetapi kedudukannya
terdesak dan baru kemudian berkembang secara bebas di Bali
(Berg, 1930). Menurut dia, pendapatnya (Berg, 1928 dan 1930)
sebenarnya didasarkan pada teori sejarah yang dikemukakan
oleh Krom (Berg, 1954).
Hal itu berbeda dengan pendapat Poerbatjaraka yang
menyatakan bahwa tidak mungkin ada cerita Panji dalam
bahasa Jawa Kuno atas dasar alasan; (1) semasa Pamalayu
ingatan orang pada Singasari (1222-1292) masih jelas, hingga

133 – Panji Pahlawan Nusantara


tidak akan dipandang Singasari sezaman dengan Daha (1045-
1222); (2) bahasa cerita Panji yang mula-mula ditulis adalah
Jawa Tengahan dan bukan Jawa Kuno, karena tidak pernah
terdapat naskah Jawa Kuno yang berisi cerita Panji; (3) cerita
Panji ditulis dalam sajak Tengahan atau macapat, dan
kemudian dalam metrum India seperti lazimnya puisi-puisi
Jawa Kuno yang tradisional; (4) nama-nama tempat ada
persamaannya dengan yang terdapat dalam Pararaton dan
babad; (5) sebutan tokoh-tokoh cerita Panji seperti Undakan,
Jaran, Mahesa, Kebo, Lembu terdapat dalam Negarakrtagama
(tahun 1365); (6) satu episode cerita Panji terdapat pada satu
relief. Pada kaki orang yang berdiridi tengah (dikenal sebagai
Panji tertulis angka tahun 1355 Caka, yaitu 1413 M, tahun
terpahatnya relief itu. Dengan alasan tersebut, Poerbatjaraka
tidak setuju dengan pendapat Berg yang menyatakan bahwa
Panji muncul dalam kesastraan Jawa Kuno (Baried, 1987:4).
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami penyebaran
cerita Panji baik di Nusantara maupun di luar negeri, yaitu:
Malaysia, Singapura, Brunei, Kamboja, dan Thailand. Selain
itu, usia cerita Panji dapat ditelusuri dari zaman kemunduran
kerajaan Majapahit, meskipun materi yang dikisahkan pada
zaman Kediri.

Panji dalam Ranah Sastra Lisan di Nusantara


Cerita Panji tumbuh berkembang dalam genre tradisi
lisan dengan berbagai varian ceritanya, di antaranya Panji Inu
Kertapati – Dewi Candrakirana, Panji Asmarabangun – Dewi

134 – Panji Pahlawan Nusantara


Sekartaji, Panji Laras, Andhe-andhe Lumut, Dewi Limaran,
Genthana-genthini, Dewi Kotesan, Utheg-utheg Ugel, Keong
Emas, Timun Emas dan Kethek Ogleng. Danandjaja
(1984:112) mengklasifikasikan cerita Panji sebagai legenda
siklus dan dapat digolongkan ke dalam jenis cerita
berkelompok yang menceritakan suatu tokoh atau kejadian
serta “bermotif” perjalanan. (Selanjutnya periksa lampiran
makalah ini).

Panji dalam Ranah Sastra Tulis di Asia Tenggara


Kepopuleran cerita Panji pada masa lampau terekam
jejaknya dalam naskah-naskah kuna yang sangat banyak dan
tersimpan di berbagai perpustakaan, baik di dalam maupun di
luar negeri. Cerita Panji juga dikenal dalam berbagai macam
naskah dan tertulis dalam berbagai bahasa di Asia Tenggara.
Akan tetapi kesemuanya berasal dari cerita Panji Jawa.
Naskah-naskah yang berisi teks cerita Panji hadir dalam
berbagai judul, yaitu Panji atau Galuh Candra Kirana, seperti
Serat Panji Jayakusuma, Panji Angreni, Panji Jayengtilam,
Hikayat Panji Digantung, Hikayat Panji Kuda Semirang, dan
Hikayat Panji Dhadap, tetapi ada juga yang menggunakan
judul lain, seperti Syair Ken Tambuhan, Hikayat Cekel
Wanengpati, dan Andhe-andhe Lumut (Baried, 1987).
Rattiya Saleh (1988:179), menyatakan bahwa cerita Panji
atau Inau sudah dikenal oleh masyarakat Thailand sejak
berabad-abad yang lampau. Masyarakat Thailand mengenalnya
lewat sastra lisan, wayang kulit, makyung, dan lakhon nai.

135 – Panji Pahlawan Nusantara


Kira-kira pada awal abad ke delapan belas, ditemukan cerita
Panji dalam bentuk tulis yang ditulis oleh orang Thailand
sendiri. Naskah-naskah tersebut adalah Dalang (the greater
tale of Inau) dan Inau (the lesser tale of Inau). Kedua buah
naskah ini ditulis oleh dua orang putri Phracau Yu Hua
Barommakot (1732-1758) yang bernama Caufa Ying Kunthon
dan Caufa Ying Mongkut.
Orang-orang Thailand yang berbahasa Thailand lebih
mengenal cerita Panji dengan nama Nithan Inau (the Inau tale).
Sementara itu orang-orang Thailand yang berbahasa Melayu
yang bertempat tinggal di daerah selatan Thailand, mereka
lebih mengenalnya dengan nama ceghito Ino (the story of Inu).
Sebaliknya, kalau dimaksud dengan nama cerita Panji mereka
akan menunjuk hanya kepada cerita Pan-yi Samirang (Panji
Semirang) dan Pa-nyi Semeghe saja.
Dari beberapa fakta dan keadaan yang telah dibicarakan
di atas kemungkinan cerita-cerita jenis ini telah mulai
berkembang di Patani. Dari Patani barulah dibawa ke
Ayuttahya. Perkembangan ini berkemungkinan melalui negeri
Malaka terutama pada zaman kejayaan kerajaan Malaka yaitu
zaman pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1459-1477).
Karena pada zaman itu kerajaan melayu Malaka mempunyai
hubungan politik dan kebudayaan yang erat dengan kerajaan
melayu Patani. Selain itu, kedua negara itu menganut agama
Islam. Agama membawa mereka lebih dekat dan merapatkan
pula perhubungan kemasyarakatan.

136 – Panji Pahlawan Nusantara


Suatu kemungkinan lain ialah orang-orang Melayu di
Patani menerima cerita-cerita Panji melalui orang-orang Jawa
yang datang berdagang di Patani pada zaman itu yaitu zaman
kejayan kerajaan Melayu Patani atau kira-kira pada zaman
pemerintahan Raja Ijau dan Raja Biru (1584-1624) atau
sebelumnya. Caranya mungkin melalui cerita-cerita lisan yang
diceritakan atau dimainkan dalam bentuk wayang kulit oleh
orang-orang Melayu pada zaman itu. Kemudian diadaptasikan
kepada permainan Makyung oleh orang Melayu di Patani. Dari
beberapa orang tersebut, akhirnya cerita-cerita jenis ini
berkembang sampai ke istana raja Thai di Ayutthaya. Pada
zaman pemerintahan Phracau Yu Hua Barommakot (1732-
1758) dipercayai telah muncul dua buah naskhah (Inau Lek dan
Inau Yai) yang tertulis dalam bentuk puisi bot lakhon yaitu
dengan tujuan untuk digunakan sebagai bahan dalam
pementasan Lakhon Nai (Court Dance Drama).
Kabarnya yang menulis cerita tersebut adalah puteri
baginda sendiri (Caufa Ying Kunthon dan Caufa Ying
Mongkut). Bahan-bahan cerita tersebut dipercayai diterima dari
permainan Makyung di negeri Patani. Yang menjadi tukang
cerita kepada puteri yang berdua itu ialah seorang perempuan
Islam yang bernama Yai Yawo berasal dari keturunan orang
tawanan dari Patani.
Menurut Rattiya Saleh (1988:ix) di Thailand paling tidak
dikenal ada delapan naskah Panji yang ditulis dalam bahasa
Melayu, yaitu: Hikayat Misa Jayeng Kusuma, Hikayat Endang
Malat Rassami, Hikayat Dewa Asmara Jaya, Hikayat Cekek

137 – Panji Pahlawan Nusantara


Waneng Pati, Hikayat Kuda Semirang Seri Panji Pandai-rupa,
Syair Angreni, Syair Ken Tambuhan, dan Hikayat Panji
Semirang.

Panji dalam Ranah Seni Pertunjukan di Nusantara


Sejak dahulu seni pertunjukan dan seni sastra dalam
kebudayaan Jawa telah berkembang berdampingan dan
hubungan yang saling mempengaruhi antara keduanya. Banyak
karya sastra yang lahir dan mengacu pada cerita sebagai lakon
yang dipentaskan dalam seni pertunjukan berdasarkan karya
sastra tertentu. Demikian pula yang terjadi dalam cerita Panji,
ada yang digubah dalam bentuk karya sastra dan banyak pula
seni pertunjukan yang menampilkan lakon berdasarkan cerita
Panji (Pigeaud, 1938). Cerita Panji menjadi repertoar beberapa
seni pertunjukan di Jawa Timur dan Jawa Tengah, di
antaranya: Topeng Dalang (Wayang Topeng) Malangan,
Wayang Beber Pacitan, Wayang Krucil, Wayang Thengul, dan
seni tari (beksa), Kethek Ogleng, dan Andhe-andhe Lumut (di
Tuban).
Ragam lakon topeng di Malang termasuk ragam sastra
lisan, bersumber pada cerita Panji. Kekhususan lakon-lakon
topeng di Malang dipentaskan berdasarkan daya ingat sang
dalang, sebab para dalang tidak menggunakan sumber sastra
tulis. Lakon rekaan baru ki dalang tersebut disebut lakon
carangan. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa lakon
tersebut sangat bervariasi. Hal tersebut apabila dikaitkan
dengan wilayah beberapa teater topeng di Malang mengacu ke

138 – Panji Pahlawan Nusantara


kedua wilayah geografis yang berbeda yakni geografis Malang
Timur (Kecamatan Jabung dan Kecamatan Tumpang) dan
geografis Malang Selatan (Kecamatan Pakisaji dan Kecamatan
Sumberpucung) (Supriyanto, 1997:10).
Sal Murgiyanto dan A.M. Munardi (1979) mendes-
kripsikan judul lakon teater topeng, di antaranya: (1) Panji
Reni, (2) Perkawinan Panji (Rabine Panji), (3) Panji Laras, (4)
Sayembara Sada Lanang, (5) Geger Gunung Wilis, (6) Keong
Emas, (7) Mlati Putih Wetan, (8) Walang Sumirang –
Walangwati, (9) Badher Bang Sisik Kencana, dan (10) Kayu
Apyun. Henri Supriyanto (1997:11) mendeskripsikan topeng
daerah Malang Timur (Kecamatan Tumpang) terdiri atas 9
(Sembilan) lakon, yaitu: (1) Panji Krama (“Rabine Panji”), (2)
Panji Dipenggal Lehernya (Sekar Tenggek Lunge Jangge), (3)
Gajah Abuh atau Kudanarawangsa, (4) Walang Sumirang, (5)
Tumenggung Jayakusuma, (6) Perkawinan Gunungsari (Rabine
Gunungsari), (7) Gunungsari Kembar, (8) Jaka Imam Takiyur,
dan (9) Bethara Kala Lahir (Lakon ini untuk upacara ruwatan).
Wayang beber yang dikenal selama ini ternyata ada dua
macam. Wayang beber yang ada di Gunung Kidul yang
mementaskan ceritera Remeng Mangunwijaya, sedangkan
yang ada di Pacitan mementaskan ceritera Raden Panji dan
Dewi Candrakirana (Jawa Timur). Wayang beber dengan
bentuknya sebagai lukisan, selain memiliki cirri-ciri khusus
sebetulnya dapat difungsikan sebagai elemen estetik, tetapi
karena adanya keyakinan tentang nilai sakralnya barangkali
wayang ini hampir tidak pernah dijumpai sebagai elemen

139 – Panji Pahlawan Nusantara


estetik sebagaimana wayang kulit purwa. Sebenarnya wayang
beber bukan hanya merupakan ciri khas Jawa Timur (Pacitan)
atau Surakarta dikarenakan karya ini (salinan) terdapat pula di
Pura Mangkunegaran (Afatara, 2009:189).
Wayang krucil (terbuat dari kayu berbentuk pipih) dan
wayang thengul (terbuat dari kayu berbentuk bulat) di daerah
Nganjuk, Bojonegoro, Ngawi, Tuban, Kediri, Trenggalek
(Jawa Timur) dan Blora (Jawa Tengah) juga mempertunjukkan
lakon Panji Asmarabangun – Dewi Sekartaji dengan berbagai
varian ceriteranya. Tokoh-tokoh lakon wayang dengan ceritera
Panji sering diidentifikasikan dengan tokoh Wisnu dan, analogi
dengan Ramayana dan Mahabarata di India sebagai sumber
ceritera wayang. Pada cerita Panji yang tidak bersumber pada
karya sastra India, jika tokoh utamanya kemudian diidentifikasi
dengan Wisnu dan Sri, maka hal itu tentulah melalui cerita
wayang yang telah lama dikenal di kalangan masyarakat sejak
zaman Jawa kuna.
Di kalangan masyarakat pedesaan cerita Panji juga
digarap dalam bentuk seni pertunjukan rakyat dan
dipertontonkan di pinggir-pinggir jalan sebagai mata
pencaharian oleh para pengamen. Mereka berkeliling dan
berpindah-pindah dari desa-ke desa, bahkan mereka sering pula
mengamen di kota-kota kecamatan, atau kabupaten di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Sebagai contoh dapat ditampilkan
seni pertunjukan rakyat dengan lakon cerita Panji, yaitu dikenal
dengan nama Andhe-andhe Lumut dan Kethek Ogleng (Kasdi,
2009:88).

140 – Panji Pahlawan Nusantara


Struktur dan Inti cerita Panji
Struktur cerita Panji selalu menampilkan sejumlah raja
bersaudara di Jawa. Ada cerita yang menyebut empat orang
raja bersaudara tanpa menyebutkan namanya serta tidak
menampilkan tokoh pendeta putri Kili Suci. Ada segolongan
cerita yang seperti di depan tetapi menghadirkan pendeta Kili
Suci. Cerita lain menyebutkan nama-namanya. Setelah itu, ada
pula cerita, yang menyebutkan empat atau tiga raja laki-laki
dengan seorang saudara perempuan; atau tiga orang raja laki-
laki dengan seorang saudara perempuan ataupun empat saudara
laki-laki dan dua orang saudara perempuan dipandang naskah
muda (Poerbatjaraka, 1940).
Cerita Panji Jawa pada umumnya menyebut nama empat
kerajaan yaitu Jenggala atau Kuripan, Daha atau Kediri atau
Mamenang, Gegelang atau atau Urawan, dan Singasari. Cerita
Panji bukan Jawa umumnya menyebutkan sebagai kerajaan
yang ketiga Gegelang (Baried, 1987:2-3).
Inti cerita Panji, sebagai berikut: (1) pelaku utama adalah
Inu Kertapati, putra raja Kuripan dan Candra Kirana, putri raja
Daha, (2) pertemuan Panji dengan kekasih pertama, seorang
dari kalangan rakyat, dalam perburuan, (3) terbunuhnya
kekasih tersebut, (4) hilangnya Candra Kirana, calon
permaisuri Panji, (5) adegan-adegan pengembaraan dua tokoh
utama, dan (6) bertemunya kembali dua tokoh utama, yang
kemudian diikat dalam perkawinan (Poerbatjaraka, 1940).

Panji dalam Kajian Sastra, Sejarah, dan Antropologi

141 – Panji Pahlawan Nusantara


Cerita Panji sebagai karya sastra telah membangkitkan
minat studi para ahli dari berbagai bidang, misalnya bidang
filologi dan sastra dilakukan oleh Cohen Stuart (1854),
Poerbatjaraka (1940), Teeuw (1960), Ras (1973), dan Robson
(1979), kajian dari segi sejarah oleh Berg (1928, 1930, dan
1954); dan antropologi oleh Rassers (1922) (Baried, 1987:2).
Sarjana Belanda yang merintis pengkajian terhadap cerita
Panji yaitu Cohen Stuart. Sastra Panji yang ditelaah berjudul
Jayalengkara termuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land, en
Volkenkund (BKI) tahun 1854. Rintisan kajian Cohen Stuart
ternyata membangkitkan minat pakar lainnya sehingga
penelitian terhadap Panji semakin marak dan menghasilkan
karya ilmiah yang sangat menggembirakan.
W.H. Rassers (1922) mengkaji cerita Panji dengan
menggunakan pendekatan antropologis. Ia telah memilih cerita
Panji untuk disertasinya yang berjudul De Panji Romans. Ia
berpendapat bahwa cerita Panji merupakan mitos bulan dan
matahari yang menggambarkan struktur masyarakat pada
zaman Kediri. Pada perkembangan selanjutnya banyak sarjana
yang tidak sependapat dengan temuan W.H. Rassers. Para
sarjana yang menolak temuan Rassers tersebut yaitu K.A.H.
Hidding, Th. G. Th. Pigeaud, B.M. Goslings, Poerbatjaraka,
dan J.J. Ras (Supriyanto, 1997:14).
K.A.H. Hidding berpendapat bahwa cerita Panji ialah
lambang kekuatan yang terdapat di dalam tubuh manusia. Th.
G. Th. Pigeaud menolak pembagian dua golongan (noity) yang
dikatakan Rassers terjadi dalam masyarakat Indonesia purba.

142 – Panji Pahlawan Nusantara


B.M. Goslings, sependapat bahwa cerita Panji adalah cerita
suci. W.F. Stuterheim menolak pendapat Rassers yang
mengatakan bahwa cerita Panji menjadi pola sastra di Jawa.
Sebaliknya, H.B. Sarkar (sarjana India) berpendapat bahwa
cerita Panji merupakan satu mitos alam (nature Myth) dan
tidak ada hubungannya dengan totemisme (periksa
Koentjaraningrat, 1975:135-142).
Pada tahun 1928 C.C. Berg melakukan penelitian tentang
waktu terjadinya cerita Panji. Ia berpendapat bahwa cerita
Panji terjadi pada tahun 1227 M yakni pada masa Pamalayu
sampai kira-kira 1400. Zaman keemasan cerita Panji ialah
zaman Majapahit, demikian pernyataan C.C. Berg dalam
Kidung Sundayana (1928 M). Poerbatjaraka tidak sependapat
dengan pendapat C.C. Berg. Ia berpendapat bahwa cerita Panji
yang asli tercipta pada atau masa sesudah kejayaan Majapahit
(1293-1520) (Fang, 1991:120). Pendapat-pendapat di atas tidak
disepakati oleh Setyawati Suleman (ahli purbakala) yang
menyatakan bahwa cerita Panji telah populer pada tahun 1375
M (Hutomo, 1993:12). Ia mengatakan bahwa cerita Panji
adegan Panji Kertolo dan panakawannya Prasanta telah
terpacak pada relief candi Penataran di Blitar.
Pengkajian cerita Panji dengan pendekatan filologis
pernah dilakukan oleh J.J. Ras pada tahun 1973. Hasil kajian
J.J. Ras menunjukkan bahwa cerita Panji digubah dalam
kaitannya dengan peristiwa perkawinan kerajaan di zaman pra-
Islam. Identifikasi perkawinan Panji-Galuh Candrakirana
dengan dewa Wisnu-dewi Sri menunjukkan unsur kiasan yang

143 – Panji Pahlawan Nusantara


khas untuk menggambarkan peristiwa perkawinan kerajaan.
J.J. Ras berpendapat bahwa cerita Panji merupakan satu
episode dalam sejarah legendaris Jawa. Oleh karena itu, cerita
Panji terdapat dalam kitab-kitab seperti Babad Tanah Jawi,
Serat Kandha, dan cerita Jayalengkara. Ras (1973)
menyimpulkan bahwa di dalam cerita Panji terkandung mitos
perkawinan para penguasa Jawa purba sebagai awal
terbentuknya (cikal bakal) masyarakat Jawa.
Peneliti lain yaitu Teeuw (1960) berdasarkan naskah
Melayu yang berjudul Syair Ken Tambuhan. Cerita ini
tergolong cerita Jawa Melayu dengan penampilan Panji, putra
raja Koripan sebagai tokoh utamanya, yang menjalin kasih
dengan Candrakirana, putri raja Daha. Keduanya sering
berpisah dan terlibat dalam berbagai peristiwa dan pada
akhirnya kedua kekasih itu bertemu kembali. Dalam
pengembaraan itu keduanya sering melakukan penyamaran
diri, namun keduanya dapat berkumpul lagi dan mengikat tali
perkawinan.
Selain Poerbatjaraka, sarjana Indonesia yang telah
mengkaji cerita Panji yaitu I Gusti Ngurah Bagus dkk.
(1980/1981), Siti Baroroh Baried dkk. (1987), Henricus
Supriyanto (1997), M. Dwi Cahyono (2008), Aminuddin Kasdi
(2009), Sumarno (2009), Djoko Prakoso (2009), dll.
I Gusti Ngurah Bagus dkk (1980/1981) dalam
penelitiannya yang berjudul Cerita Panji dalam Sastra Klasik
Bali, Geguritan Pakang Raras, menyimpulkan bahwa sifat
keutamaan tokoh Panji yaitu sebagai orang yang mampu

144 – Panji Pahlawan Nusantara


menyesuaikan diri dengan keadaan, mampu
menguasai/menahan diri, rendah hati dan bersopan-santun
menghormati orang lain, tidak membalas dendam, saleh dan
jujur, dan setia kepada kekasih. Pembawaan Panji seperti itu
yang memperoleh asuhan dan didikan istana yang baik telah
dapat melahirkan tokoh manusia yang utuh, berpribadi yang
luhur, dan berwibawa sehingga mempunyai daya tarik yang
kuat.
Siti Baroroh Baried dkk. (1987) dalam penelitiannya
yang berjudul “Panji: Citra Pahlawan Nusantara,”
menyimpulkan bahwa cerita Panji benar-benar mengisahkan
pahlawan bangsa dalam segala aspeknya. Sebagai tokoh kiasan
inisiasi Panji mengisahkan kemajuan. Ia adalah manusia yang
secara sukarela dan atas kekuatan sendiri berserah kepada
perubahan melalui inisiasi. Dirinya yang lama mati, tetapi ia
menang dan dilahirkan kembali, ia telah sanggup mengatasi
batasan-batasan pribadi, batasan waktu dan tempat, untuk
mencapai nilai-nilai kemanusiaan yang wajar dan umum
berlaku. Perjuangan itulah yang oleh mitos dan dongeng
dilambangkan, khususnya dengan jelas dalam cerita Panji.
Henricus Supriyanto (1993) menulis artikel “Hubungan
Sastra dan Sejarah: Lakon Panji pada Teater Topeng di
Kabupaten Malang dalam jurnal Lembaran Sastra Universitas
Indonesia, No. 19/Februari 1993. Artikel itu akhirnya masuk
dalam buku “Drama Tari Wayang Topeng Malang” yang
ditulis bersama M. Soleh Adi Pramono. Buku ini menekankan
pada keterkaitan cerita Panji dengan lakon topeng Malangan,

145 – Panji Pahlawan Nusantara


analisis unsur kesastraan, transkripsi lakon, dan deskripsi seni
pertunjukan. Penulis memiliki perhatian khusus pada aspek
hubungan cerita Panji dengan sejarah Singasari dan Kediri
pada masanya.
M. Dwi Cahyono (2008) dalam kajiannya yang berjudul
“Keteladanan Panji dalam Pengembangan Lingkungan
Kesenian Lokal” menyimpulkan bahwa Panji adalah pribadi
yang piawai dalam berolah seni. Bahkan, beberapa cabang seni
dikuasainya. Kemampuan yang demikian didapatkan melalui
pembelajaran, baik dengan cara nyuwita maupun magang.
Model pendidikan di lingkungan kraton, yang
mempersyaratkan seorang bangsawan terampil dalam berolah
seni menjadi pemicu bagi Panji untuk menimba pengetahuan
serta keterampilan seni. Tokoh Panji digambarkan sebagai
piawai dalam berolah seni. Selain sebagai pelaku seni, sebagai
bangsawan (ksatria) yang memimpin pemerintahan, Panji
melakukan pengembangan kesenian di wilayah kekuasaannya,
baik di lingkungan kraton maupun di luar kraton. Panji
berperan sebagai pengayom dan pengembang seni. Oleh karena
itu, cukup alasan untuk menyatakan bahwa Panji adalah
maecenas kesenian Jawa masa lalu.
Aminuddin Kasdi (2009) dalam kajiannya yang berjudul
“Nilai-nilai Edukatif Ceritera Panji dalam Perspektif Budaya
Nusantara” menyimpulkan sastra Panji yang digubah menjadi
metrum macapat mengandung amanat yang sarat dengan nilai-
nilai kehidupan, juga telah mampu memberikan kenikmatan
estetis dan kemamfaatan bagi masyarakat. Oleh karena itu,

146 – Panji Pahlawan Nusantara


juga mampu bertahan dari masa ke masa dalam berbagai
bentuk transformasinya.
Dalam kajiannya yang berjudul “Menelusuri cerita Panji
dari Aspek Sejarah dan Budaya pada Masa Kadiri”, Sumarno
(2009) belum menemukan benang merah antara cerita Panji
dengan sejarah kerajaan Kediri pada masa lampau. Ia hanya
bercerita tentang raja-raja yang memerintah di kerajaan Kediri
dan karya sastra yang dihasilkan pada zaman itu. Di pihak lain,
tradisi lisan yang berkembang di masyarakat banyak yang
berlatar kerajaan Kediri seperti Andhe-andhe Lumut, Raden
Panji dan Galuh Candrakirana, Panji Angreni, dll.
R. Djoko Prakoso (2009) dalam kajiannya yang berjudul
“Tokoh Panji dalam Tradisi Tari dan Pertunjukan Topeng di
Jawa” lebih menekankan pada berbagai jenis tari yang
melukiskan tokoh Panji dari masa ke masa.
Sebenarnya masih ada beberapa kajian mengenai Panji di
antaranya yang ditulis Raminah Baribin (1985) “Cerita Panji:
Jejak dan Pengaruhnya dalam Kesusastraan Indonesia” dalam
Bahasa – Sastra – Budaya, Ratna Manikam Untaian
Persembahan kepada Prof. Dr. P.J. Zoetmulder (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press); Agus Aris Munandar (1992)
“Citra Panji dalam Masyarakat Majapahit Akhir” dalam
Lembaran Sastra Universitas Indonesia, No. 17, Juli 1992; dan
penelitian H. Karsono Saputra (1998) yang berjudul Aspek-
aspek Kesastraan Serat Panji Angreni (Jakarta: Fakultas Sastra
UI).

147 – Panji Pahlawan Nusantara


Kearifan Budaya Lokal dalam cerita Panji

a. Keteladanan Tokoh Panji: Budi Pekerti Luhur


Panji adalah tokoh teladan yang menjadi penghubung
rakyat, raja, dewa dan pengikat tali kehidupan antara makhluk
dan khaliknya dalam jagad raya yang utuh. Sifat-sifat Panji
yang menunjukkan nilai-nilai luhur seorang pahlawan dapat
ditemui secara universal dan berlaku di segala zaman:
penampilannya yang menawan hati, sikapnya yang rendah hati,
berkemauan teguh, memiliki harga diri yang tinggi, berani dan
tak gentar menghadapi bahaya. Dia mencintai rakyat
rakyatnya, selalu adil, jujur, saleh, dan sabar bukan pendendam
(Baried, 1987:197).
Gambaran fisik Panji mendukung keluhuran budi dan
perilakunya. Pada wujud lahiriah dia bagaikan dewa asmara,
berwajah rupawan, menawan hati siapa yang memandangnya,
dan tak ada yang dapat menandinginya. Kesempurnaan wujud
fisik membantu tugasnya dalam melawan kejahatan dan
kelaliman, dengan berkali-kali melakukan peperangan yang
selalu diakhiri dengan kemenangan.
Panji sebagai tokoh raja agung adalah pelindung
rakyatnya, memerintah dengan murah hati, menjunjung tinggi
dan mengembalikan kebesaran serta kejayaan negeri-negeri
yang ditakhlukkannya dan menciptakan suasana teduh semesta.
Dalam hubungannya dengan rakyat, semenjak menjadi putra
mahkota, ia selalu dapat menampilkan diri sebagai tokoh satria
utama yang bijaksana dan adil, dan membawa rakyatnya
kepada kehidupan makmur dan aman.

148 – Panji Pahlawan Nusantara


Sikap keagungannya menunjukkan bahwa dia hidup
mengikuti norma-norma agama; hidupnya dituntun oleh
kepercayaan dan kepatuhannya kepada dewa, sikap yang
sampai sekarang masih perlu dikembangkan di Indonesia. Hal
itulah yang mendasari sikap baik dan buruk dalam perilaku
Panji, orang-orang di sekitarnya, dan lawan atau musuhnya.
Sebagai perorangan, tampak sikap hormatnya terhadap
orang tua, juga saat dia diperlakukan secara kejam. Terhadap
kekasih, Panji bersikap cinta dan setia. Kedua pihak saling
menunjang dengan keuletan dan ketabahan, guna mengatasi
segala rintangan dan hambatan menuju ke puncak kejayaan.
Percintaan mereka membuahkan perkawinan yang mempunyai
arti sosial serta arti kosmo-magis ialah berupa datangnya
kemakmuran Negara dan rakyatnya. Lambang adanya
kemakmuran diperjelas dengan hadirnya perhatian masyarakat
terhadap kesenian pada umumnya. Berbagai cabang kesenian
hidup pada saat itu, seperti seni sastra, seni tari, seni suara, dan
seni pentas. Bahkan, tokoh Panji pun menguasai cabang-
cabang kesenian tersebut.
Secara menyeluruh dapat diambil simpulan bahwa cerita
Panji benar-benar mengisahkan pahlawan bangsa dalam segala
aspeknya. Sebagai tokoh kiasan, inisiasi Panji melambangkan
kemajuan. Ia adalah manusia yang secara sukarela dan atas
kekuatan sendiri berserah pada perubahan melalui inisiasi.
Dirinya yang lama mati, tetapi ia menang dan dilahirkan
kembali, ia telah sanggup mengatasi batasan-batasan pribadi,
batasan waktu dan tempat, untuk mencapai nilai-nilai

149 – Panji Pahlawan Nusantara


kemanusiaan yang wajar dan umum berlaku. Perjuangan itulah
yang oleh mitos dan dongeng dilambangkan, khususnya
dengan jelas dalam cerita Panji.

b. Tokoh Panji sebagai Seniman dan Pengembang


Kebudayaan
M. Dwi Cahyono (2008) dalam kajiannya mengenai
sejumlah cerita Panji berkesimpulan bahwa tokoh-tokoh Panji
digambarkan sebagai pribadi yang bukan saja gemar namun
juga piawai dalam berolah seni. Panji acapkali diceritakan
sebagai pemain musik, penari, pemain seni-drama dan
sendratari, penulis puisi, seniman serba bisa, dan sebagai
pengembang kesenian (Cahyono dalam Nurcahyo, 2009:103-
114).
Pernyataan yang sama dikemukakan oleh R.M. Yunani
Prawiranegara (dalam Nurcahyo, 2009:135-136) bahwa Panji
dicitrakan sebagai panutan yang serba bisa. Panji dikenal
sebagai musisi (Panji Angraeni, Hikayat Panji Kuda Semirang,
Kidung Malat, prasasti candi Penataran), sebagai penari (Kitab
Wangbang Wetan, Kidung Malat, Panji Angraeni), sebagai
pemain sendratari (Kitab Wangbang Wideya, Panji Kuda
Semirang, Kidung Malat), sebagai seniman serba bisa (Kidung
Harsawijaya, Kidung Malat), dan sebagai pengembang
kebudayaan (Hikayat Panji Kuda Semirang). Dalam berbagai
karya sastra, Panji juga disebutkan sebagai pelindung
(Maecenas) seni sekaligus pelaku seni yang serba bisa.

150 – Panji Pahlawan Nusantara


Selanjutnya, R.M. Yunani Prawiranegara (dalam
Nurcahyo, 2009:136) menyatakan dari beberapa sumber sastra,
babad, maupun data arkeologis, karakter tokoh Panji dapat
dirumuskan sebagai berikut: (1) berwajah tampan sebagai
ksatria, (2) bersikap pendiam dan anggun, (3) berjiwa lemah
lembut, manjing ajur ajer, (4) gemar menuntut ilmu dan gemar
membaca, (5) seniman gamben dan mumpuni berbagai cabang
seni (6) bertabiat jujur dan lurus hati, (7) taat kepada orang tua
terutama ibu, (8) menyayangi binatang, terutama hewan
piaraan, (9) ramah dan sopan terhadap sesamanya, (10) setia
dan menghormati para isterinya, (11) simpatik dan menarik
karena memiliki ilmu asmara (asmaragama, asmaratantra,
asmaranala, dan asmaraturida), (12) pandai menulis di kertas
lontar, (13) pahlawan perang sehingga dijuluki kusuma yudha,
(14) piawai menari dan bermain gamelan, (15) piawai
mendalang wayang.

DAFTAR PUSTAKA
Baried, Siti Baroroh, (dkk). 1987. Panji: Citra Pahlawan Nusantara. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Cahyono, M. Dwi. 2009. “Keteladanan Panji dalam Pengembangan
Lingkungan”, dalam Konservasi Budaya Panji (Penyunting Henri
Nurcahyo). Surabaya: Dewan Kesenian Jawa Timur, hlm. 99-122.
Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Dongeng, Gosip, dan
Lain-lain. Jakarta: Grafiti Press
Kasdi, Aminudin. 2009. Nilai-nilai Edukatif Cerita Panji dalam Perspektif
Budaya Nusantara”, dalam Konservasi Budaya Panji (Penyunting
Henri Nurcahyo). Surabaya: Dewan Kesenian Jawa Timur, hlm.
75-98.

151 – Panji Pahlawan Nusantara


Pigeaud, Theodore G. Th. 1967. Literature of Java, Synopsis of Javanese
Literature, 900-1900 A.D. Jilid 1. The Hague: Martinus Nijhoff.
Poerbatjaraka. 1940. Panji-Verhalen Onderling Vergelekan. Bibliotheca
Javanica 9. Bandung.
-------, Tjerita Panji dalam Perbandingan. Djakarta: Gunung Agung.
Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja. 1952. Kepustakaan Djawa. Djakarta:
Djambatan.
Prawironegoro, RM. Yunani. 2009. “Sang Panji Pahlawan Kebudayaan”,
dalam Konservasi Budaya Panji (Penyunting Henri Nurcahyo).
Surabaya: Dewan Kesenian Jawa Timur, hlm. 129-172.
Ras, J.J. 1973. “The Panji Romance and W.H. Rassers Analysis of its
Theme”, dalam BKI 129. The Hague.
-------, “Function and Background of Indonesiam Panji Tales”, XXIX th
International Congress of Orientaliste. Paris.
Rassers. 1922. De Pandjiroman. Disertasi. Leiden.
--------, 1959. Panji, The Culture Hero: as Structural Study of Religion in
Java, “s-Gravenhage.
Robson, S.O. 1971. Wangbang Wideya: A Javanese Panji Romance. 's-
Gravenhage. N.V. Nederlandsche Boek-en Steendrukkerij
V/H.H.J. Smite.
Saleh, Rattiya. 1988. Panji Thai dalam Perbandingan dengan Cerita-cerita
Panji Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kementerian Pendidikan Malaysia.
Sumarno. 2009. “Menelusuri Cerita Panji dari Aspek Sejarah dan Budaya
pada Masa Kadiri,” dalam Konservasi Budaya Panji (Penyunting
Henri Nurcahyo). Surabaya: Dewan Kesenian Jawa Timur, hlm.
33-68.
Supriyanto, Henri. 1993. “Hubungan Sastra dan Sejarah: Lakon Panji pada
Teater Topeng di Kabupaten Malang”, dalam Lembaran Sastra
Universitas Indonesia, Seri Penerbitan Ilmiah, No.19/Februari
1993, hlm. 1-15.
Supriyanto, Henri dan M. Soleh Adi Pramono. 1997. Drama Tari Wayang
Topeng Malang. Tumpang – Malang: Padepokan Seni Mangun
Dharma.

152 – Panji Pahlawan Nusantara


Lampiran:

1. Dewi Limaran
Lakon Panji juga menjadi lakon wayang topeng Malang
dengan judul “Tumenggung Jaya Kusuma”. Saudagar Dadapan
yang sudah punya anak Dewi Tebu Ireng, memungut anak
yang bernama Dewi Limaran yang diperlakukan semena-mena.
Ketika saudagar berlayar, Tebu Ireng memesan golekan
(boneka) emas, sedang Dewi Limaran hanya memesan
kembang pundhak dengan bonggolnya.
Ketika terjadi bencana di laut, saudagar menyebut nama
Tebu Ireng, tetapi badai malah mengamuk. Setelah menyebut
nama Dewi Limaran, badai mereda. Setelah dagangan terjual
habis, saudagar segera membeli golekan emas pesanan Tebu
Ireng. Namun, ketika akan membeli kembang pundhak pesanan
Limaran, saudagar berselisih dengan Patih Tanjungpura. Maka,
terjadilah peperangan antara saudagar dengan Patih
Tanjungpura.
Perang berhasil dipisah oleh Raja Tanjungpura yang
kemudian menanyakan apa maksud saudagar. Semula saudagar
mengaku mencari kembang pundhak dengan bonggolnya itu
atas pesanan Tebu Ireng, tetapi raja tak percaya. Setelah
saudagar disiksa, ia mengaku bahwa yang pesan adalah Dewi
Limaran anak angkatnya.
Tak percaya begitu saja, Raja Tanjungpura meminta
saudagar untuk mendatangkan Dewi Limaran kepadanya.
Setelah bertemu, keduanya berpelukan karena sang Dewi

153 – Panji Pahlawan Nusantara


Limaran ternyata Dewi Sekartaji yang menghilang dari istana.
Sedangkan Raja Tanjungpura tiada lain adalah Raden Panji
yang sedang mengembara mencari istrinya Sekartaji.

2. Genthana-genthini
Cerita ini merupakan mitologi Jawa tentang ruwatan.
Menurut mitologi Jawa, dua anak laki-laki dan perempuan
(kendhana-kendhini) adalah membawa balak (sukerta)
sehingga harus diruwat. Demikian pula dengan Genthana dan
adiknya (Genthini). Ketika Genthana pergi berlayar, burung
bakung yang besar membunuh Genthini yang ditinggalkan di
rumah. Setelah dibunuh, mayat Genthini digeletakkan di
pinggir sungai.
Betapa terkejutnya Genthana melihat adiknya sudah
tewas. Dengan diikhtiari obat dedaunan, atas kehendak Tuhan
Genthini bisa hidup kembali. Mendapat penuturan adiknya,
Genthana menjadi marah besar lalu mengambil pedang untuk
membunuh burung bakung. Ketika pedang disabetkan, burung
badhar kembali menjadi dewa dan Genthana-Genthini kembali
ke wujud aslinya sebagai Panji dan Dewi Sekartaji.

3. Dewi Kotesan
Seorang janda miskin tinggal di dusun kecil. Kehidupan
sehari-harinya di gubuk tua itu hanya dari hasil menjual daun
jati ke pasar. Suatu hari, ketika mencari sumber di air yang
bening, ada ikan kotesan minta ikut di rumahnya. Maka dibawa
pulanglah ikan kotesan itu dan disimpan dalam air di periuk.

154 – Panji Pahlawan Nusantara


Suatu hari janda tua pergi ke pasar. Betapa terkejutnya
ketika pulang, di rumah sudah tersedia makanan yang enak-
enak. Begitu peristiwa itu terjadi setiap hari tanpa tahu siapa
yang memasaknya. Di hari berikutnya, datang seorang
pemburu diiringi punakawannya ke rumah janda tua itu untuk
menginap.
Di malam harinya, pemburu itu bermimpi bertemu
dengan seekor ikan kotesan. Tetapi ketika ditanya, janda tua itu
merahasiakan keberadaan ikan kotesan. Tetapi ketika pemburu
mencari air minum sendiri, secara tak sengaja tangannya
bersentuhan dengan ikan kotesan. Merasa tersentuh tubuhnya,
kotesan meloncat keluar periuk dan berubah wujud menjadi
seorang putri cantik. Ternyata pemburu itu mengenalinya
karena dia tiada lain adalah Dewi Sekartaji istrinya yang
menghilang dari istana Daha.
Ketika keduanya sedang berpelukan, janda tua itu
terkejut. Apalagi periuknya sudah pecah dan ikan kotesan tak
ada lagi.
“Mbok, anak Mbok kini sudah selesai menjalani
lakonnya sebagai ikan kotesan. Dan pemburu itu tiada lain,
Raden Panji suamiku sendiri,” kata Dewi Sekartaji.
Menghadapi Raden Panji putra Jenggala dan Dewi
Sekartaji putri Daha, Mbok Randha menghaturkan maaf dan
sembah sujudnya

4. Utheg-utheg Ugel
Utheg-utheg ugel, sengkelit budi bujel.

155 – Panji Pahlawan Nusantara


“Nyang endi Gel?”
“Golek lo!”
“Kidul kono ana lo.”
Begitulah petikan dialog bentuk tembang mengiringi
dongeng ini dikala sang nenek meninabobokan cucunya.
Ditemani punakawan Raden Panji Seputra bernama Utheg-
utheg Ugel, Dewi Candrakirana berhati sedih lantaran dicurigai
berselingkuh dengan lelaki lain. Sang Dewi mengandung,
padahal selama ini sang dewi ditinggalkan sendirian di rumah
karena Raden Panji berburu untuk waktu yang lama.
Suatu hari di hutan, Utheg-utheg ugel pergi mencari lo
untuk makanan tuannya karena sedang nyidam. Maka
terdengarlah tetembangan seperti di atas. Di jalan, Utheg
bertemu dengan Raden Panji yang kemudian malah
mengajaknya berkelana ke hutan. Tiga hari Utheg Ugel tidak
pulang, Sang Dewi kemudian menyusul, didampingi burung
Thithu kesayangannya. Dengan suara “thithu, thithu”, sang
burung memandu tuannya sampai bertemu Raden Panji. Tetapi
baru beberapa hari bertemu dan memadu kasih, Raden Panji
meninggalkan istrinya kembali di tengah hutan hanya ditemani
burung Thithu dan kadal hijau. Sementara itu, Utheg Ugel
pergi mengikuti Raden Panji.
Di tengah hutan itulah, Sang Dewi melahirkan putranya
yang diberi nama Panji Laras. Sejak kecil, Panji Laras sudah
berteman dengan para binatang di tengah hutan. Ketika ingin
seekor jago, burung gagak mencarikan telurnya kemudian
ditetaskan ke seekor ular berbisa. Menetaslah telur dengan

156 – Panji Pahlawan Nusantara


seekor jago wiring galih. Kalau berkokok ayam jago ini
demikian.
“Cukurukuuuk Jagone Panji Laras, putrane Panji
Seputra, omahe tengah alas, payone godhong klaraaaas.”
Panji Laras bertanya pada ibunya, siapa Panji Seputra itu,
tetapi sang ibu tak mau menjawab jujur. Kebetulan Utheg Ugel
dan dua punakawan lain, Jodeh dan Prasanta, datang menemani
Sang Dewi. Utheg Ugel bercerita bahwa Panji Seputra adalah
ayahnya yang kini telah berada di Kerajaan Jenggala.
Suatu hari, Panji Laras membawa ayam jagonya menuju
Jenggala mencari ayahnya. Lantaran adu ayam jagonya itulah,
Panji Laras bisa bertemu dengan Raden Panji Seputra ayahnya,
yang kemudian memerintahkan untuk menyusul Dewi
Candrakirana di hutan untuk kembali je Kerajaan Jenggala.

5. Keong Emas
Jalan cerita dongeng ini, mirip cerita Dewi Kotesan.
Cuma dalam cerita ini, binatang yang menjadi piaraan janda
tua dan disimpan di air dalam periuk itu berupa Keong Emas.
Cerita ini juga mengisahkan kisah pengembaraan Dewi
Candrakirana dan Raden Panji sampai kemudian bisa bertemu
lagi.

6. Timun Emas
Kisah ini pernah diangkat di layar lebar di tahun 60-an
dengan sutradara Ki Nartosabdo. Kisahnya dimulai dari Dewi
Sekartaji yang menyamar menjadi perawan desa bernama

157 – Panji Pahlawan Nusantara


Timun Emas yang ngenger ikut Mbok Randha (janda)
Dhadhapan. Ketika Timun Emas mencari kayu bakar, dia
kepergok Buta Ijo (raksasa hijau). Buta Ijo jatuh cinta
kemudian mengejarnya.
Sambil berlari karena dikejar-kejar, Timun Emas
menyebar biji jagung di belakangnya. Anehnya, biji jagung
yang disebar langsung menjadi ladang jagung. Buta Ijo yang
terlena langsung memakan buah jagung, dan lupa kepada
Timun Emas. Setelah ingat, ia mengejar lagi. Tetapi di jalan ia
bertemu dengan ladang ketimun sehingga terlena memakannya.
Ladang ketimun itu berasal dari hasil penyebaran biji ketimun
oleh Timun Emas.
Begitu ingat, Buta Ijo mengejar lagi. Tetapi, Timun Emas
sudah kehabisan biji-bijian di tangannya, sehingga ia melolong
minta tolong. Saat itulah muncul seorang petani yang memberi
pertolongan dengan melempar batu ke kepala Buta Ijo. Dalam
peperangan itu, Buta Ijo tewas terantuk batu gunung. Ternyata,
pemuda petani itu tiada lain Raden Panji yang kemudian
menikahi Timun Emas sebagai garwa selir. Untuk sementara
waktu, keduannya tinggal di rumah Mbok Randha Dhadhapan
sampai kemudian kembali ke Jenggala.

7. Kethek Ogleng
Mengisahkan Candrakirana (Sekartaji) yang pergi
mengembara dengan nama samaran Nyi Limaran. Di tengah
hutan ia tersesat dan menumpang di rumah seorang janda tua

158 – Panji Pahlawan Nusantara


dan sangat miskin. Pekerjaan setiap harinya mencari kayu
bakar dan dijualnya keluar desa yang terdekat.
Ada seekor monyet besar yang melintas di dekat rumah
janda itu, dan terlihat sekilas olehnya Nyi Limaran sedang
duduk di gubuk. Monyet itu sangat mengagumi kecantikan Nyi
Limaran dan seketika itu ia jatuh cinta kepadanya. Tiap hari
monyet itu datang mengunjungi Nyi Limaran dengan
membawa buah-buahan sangat banyak. Lama kelamaan Nyi
Limaran mencium niatan yang tidak baik dari si monyet, dan
untuk menghindarinya, Nyi Limaran lalu pergi meninggalkan
rumah dengan diam-diam. Si monyet merasa sangat kehilangan
dan berusaha untuk mencarinya.
Akhirnya si monyet berhasil menemukan Nyi Limaran di
tengah hutan, jauh dari rumahnya. Monyet ingin
memperkosanya, tetapi Nyi Limaran dengan segala akalnya
mencoba untuk mencegah maksud jahat si monyet itu. Ia pura-
pura menanggapi cinta si monyet dan melontarkan puji-pujian
yang berlagu, tetapi isinya penuh sindiran. Misalnya dahi
terlalu menonjol, ekornya terlalu panjang, telinganya terlalu
kasar, tetapi si monyet yang tergila-gila dengan Limaran selalu
dapat mengelak sindiran itu, misalnya dahi menonjol justru
tanpak gagah, dan tangan terlalu kasar disebabkan lupa cuci
tangan setelah memakan katan, ekor panjang karena ingin
menyamai punggawa istana, dan seterusnya.
Kebetulan pada waktu itu Panji Inu Kertapati sedang
berburu dan melintas di dekat mereka. Dari kejauhan ia melihat
ada seorang wanita yang menghadapi bahaya diganggu seekor

159 – Panji Pahlawan Nusantara


monyet besar, Panji segera melepaskan anak panahnya dan
tepat menembus dada hewan itu. Si monyet rebah di tanah dan
menemui ajalnya. Akhirnya Panji mengetahui bahwa Nyi
Limaran tiada lain adalah Putri Candrakirana, kekasihnya
sendiri yang menyamar seebagai orang desa dalam
pengembaraan mencari suaminya. Keduanya lalu kembali ke
kerajaan.
Kedua cerita Panji di atas menjadi populer di masyarakat,
berkat sering dipentaskan sebagai seni pertunjukan rakyat. Di
samping itu juga menjadi cerita dongeng yang sering
dituturkan kepada anak-anak sebelum tidur oleh orangtuanya.
Cerita Panji yang menjadi sebuah dongeng seperti itu yang
juga berkembang di kalangan masyarakat

8. Panji Laras
Ada seorang raksasi (raksasa perempuan) yang bernama
Wadal Kardi yang menginginkan menjadi istri Panji Kertapati.
Ia lalu menyamar sebagai Putri Sekartaji dan masuk ke dalam
istana Jenggala. Oleh karena kekuatan ilmunya, Panji
menganggap dialah Sekartaji yang sebenarnya. Melihat
kejadian seperti itu, Putri Sekartaji yang sebenarnya merasa
tidak tahan dan pergi mengembara ke tengah hutan. Ketika itu
Sekartaji yang sesungguhnya sedang mengandung. Tiap hari ia
bertapa dan memohon kepada dewata agar Panji, suaminya,
terhindar dari malapetaka yang sedang mengancamnya. Selama
tinggal di hutan, ia mendapat perlindungan dari seorang petapa.
Menjelang saat melahirkan, tiba-tiba ada seekor burung elang

160 – Panji Pahlawan Nusantara


dan menjatuhkan sebutir telur ayam di depan Putri Sekartaji.
Telur itu lalu dipungut lalu dirawat, dengan sebaik-baiknya
sampai menetas. Anak ayam itu lalu dipelihara dan lama
kelamaan menjadi seekor ayam yang indah bulunya.
Tiada lama kemudian sang putri melahirkan seorang bayi
laki-laki dan diberi nama Panji Laras (nama lain adalah Cindhe
Laras). Semakin besar kesukaan Panji Laras setiap hari hanya
bermain-main dengan ayam jantan peliharaannya. Setelah
berumur delapan tahun, Panji Laras bertanya kepada ibunya
siapa sebenarnya ayahnya. Ibunya tidak sampai hati untuk
menjawab dan mengatakan Panji Laras tidak berayah. Tetapi
ayam jantan kesayangannya berkokok dan berucap seperti
manusia, “ibumu mengasingkan diri di hutan, ayahmu adalah
Raden Putra di Jenggala.”
Sementara itu, Sekartaji palsu (raksasa Wadal Kardi)
juga telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang wujudnya
seperti raksasa. Setelah besar kegemarannya adalah adu ayam.
Ia sering ikut adu ayam di gelanggang.
Pada suatu hari, ketika di Jenggala diadakan sambung
ayam di gelanggang, Panji Laras meminta izin kepada ibunya
untuk mengadu ayamnya ke Jenggala. Dengan berat hati
ibunya mengizinkannya karena tidak sampai hati
mengecewakan anaknya.
Di tengah gelanggang berkali-kali ayam sabungan Panji
Laras dapat mengalahkan lawan-lawannya, hal ini menarik
perhatian Pangeran Raksasa (putra Panji dengan Sekartaji
palsu). Panji Laras ditantang dengan uang yang besar

161 – Panji Pahlawan Nusantara


jumlahnya, karena Panji Laras tidak mampu bertaruh dengan
uang, ia lalu mempertaruhkan dengan lehernya. Pangeran
Raksasa menerima taruhan itu. Sabunganpun dimulai dan
terjadi pertarungan yang sangat hebat dan mempesona
penonton. Tetapi ayam Pangeran Raksasa mati terkapar kena
taji ayam Panji Laras. Pangeran Raksasa menjadi marah dan
seketika itu juga menyerang Panji Laras. Terjadi pertikaian
diantara keduannya, dan akhirnya Pangeran Raksasa mati
ditusuk oleh keris Panji Laras. Sebelum ditangkap oleh para
punggawa kerajaan, Panji Laras segera masuk ke hutan dan
pulang ke rumahnya.
Mendengar berita kematian putranya, Panji Inu Kertapati
menjadi gusar, lalu mengejar pembunuhnya. Panji Inu
Kertapati berhasil menemukan rumah Panji Laras, dan anak itu
sedang duduk meratap di sisi ibunya. Panji mengenali wanita
itu yang tiada lain adalah istrinya yang telah lama menghilang.
Panji merasa berbahagia dapat bertemu kembali dan bangga
sekali kepada anaknya yang kini sudah tumbuh menjadi besar.
Mereka bertiga lalu kembali ke kerajaan.
Sekartaji palsu, yang sebenarnya adalah raksasi Wadal
Kardi, telah mendengar berita bahwa Panji telah menemukan
kembali istrinya yang sebenarnya dan akan segera kembali ke
istana. Karena sedih kehilangan putranya, yaitu Pangeran
Raksasa dan cemas bahwa tipu dayanya selama ini akan
terbongkar, raksasi Wadal Kardi lalu meninggalkan istana
dengan diam-diam, masuk ke dalam hutan belantara, dan pada
akhirnya binasa dimangsa oleh binatang buas.

162 – Panji Pahlawan Nusantara


Raja Jenggala menyambut kedatangan Panji Inu
Kertapati bersama istri dan anaknya dengan pesta perayaan
besar-besaran. Selanjutnya Panji dinobatkan sebagai raja di
Jenggala mengantikan tahta ayahandanya.

9. Ande-Ande Lumut
Ceritanya bersumber dari kisah seorang janda dari desa
Dadapan, namanya Mbok Randha Sembogo. Mbok Randha
memiliki empat orang puteri yang bernama Kleting Abang,
Kleting Ijo, Kleting Biru, dan Kleting Dadu (abu-abu).
Disamping empat anaknya mbok rondo juga memiliki seorang
anak angkat bernama Kleting Kuning. Anak angkat ini
diperlakukan tidak baik oleh ibu dan anak-anak Mbok Randha.
Pada suatu hari ada kesempatan untuk melamar Andhe-
Andhe Lumut yang tidak lain adalah putra dari kerajaan
Jenggala. Keempat puteri Mbok Randha datang hendak
mengajukan lamaran, sementara Kleting Kuning dilarang ikut,
apalagi mengajukan diri menjadi calon isteri Andhe-Andhe
Lumut, Kleting Kuning sangat dibenci bahkan dilumuri dengan
kotoran oleh saudara-saudaranya agar tampak kumuh dan bau
tak sedap.
Di tengah perjalanan keempat putri tersebut mendapat
rintangan yaitu tidak dapat menyeberangi kali (sungai) yang
arusnya sangat deras. Melihat peristiwa itu dijadikan
kesempatan oleh Yuyu Kangkang (kepiting raksasa) untuk
nemawarkan jasa menyeberangkan keempat puteri yang
memang membutuhkan jasa dari Yuyu Kangkang. Yuyu

163 – Panji Pahlawan Nusantara


Kangkang menyanggupi permintaan bantuan keempat puteri
dengan syarat semuanya harus mau memberi hadiah ciuman
kepada Yuyu Kangkang. Setelah disepakati maka keempat
puteri tersebut diantar menyebrangi sungai. Sementara nasib
Kleting Kuning tidak demikian. Ketika hendak menyebrang
sungai tidak ada yang mau menolong. Rupanya Yuyu
Kangkang telah difitnah oleh keempat puteri agar tidak mau
menyeberangkan saudaranya Kleting Kuning yang sudah
dilumuri dengan kotoran.
Kleting Kuning memanjatkan doa kepada sang Dewa
agar dapat menyeberang sungai. Dewa mengabulkan
permohonannya dengan tiba-tiba air sungai menjadi kering dan
sang Dewa memberi petunjuk kepada Kleting Kuning agar
berhati-hati dalam perjalanan.
Setelah sampai di rumah Andhe-Andhe Lumut keempat
puteri yang lain telah menyampaikan maksud kedatangannya
yaitu mengajukan diri untuk menjadi isteri Andhe-Andhe
Lumut. Tetapi Andhe-Andhe Lumut telah mengetahui
kecurangan keempat puteri yang telah datang lebih dahulu
karena telah bermesraan dengan Yuyu Kangkang. Akhirnya
tiba giliran Kleting Kuning untuk menyampaikan maksud yang
sama dengan keempat puteri terdahulu. Ande Ande Lumut
sebaliknya menerima dengan senang hati lamaran Kleting
Kuning untuk menjadi istrinya. Ia mengetahui bahwa
sebenarnya Kleting Kuning adalah Dewi Sekartaji dari
Kerajaan Pangjalu (Daha = Kadiri).

164 – Panji Pahlawan Nusantara


Dengan perkawinan Ande Ande Lumut yang tidak lain
adalah putra dari Jenggala dengan Kleting Kuning puteri dari
Pangjalu maka sebagai simbol bersatunya kedua kerajaan yang
dibagi pada masa akhir raja Airlangga. Sementara sungai yang
menjadi penghalang dari keduanya tidak lain adalah sebagai
simbol bahwa sungai tersebut memiliki peranan penting yang
melintasi kerajaan tersebut. Kedua kerajaan itu dipisahkan oleh
sungai Lamong yang sejak Mpu Bharada dijadikan sebagai
pembatasnya.

10. Panji Inu Kertapati


Di Jawa ada empat kerajaan, yaitu Kuripan (Jenggala),
Daha (Kediri), Gegelang dan Singasari, yang dipimpin oleh
empat raja yang masih bersaudara. Raja Kuripan memiliki anak
bernama Inu Kertapati, sedangkan raja Daha mempunyai anak
perempuan yang diberi nama Galuh namun lebih dikenal
dengan nama Candra Kirana. Maka maksud kedua raja itu
adalah mengawinkan kedua anak mereka.
Pada suatu hari sewaktu Inu Kertapati sedang berburu, ia
jatuh cinta kepada Mertalangu anak seorang kepala desa.
Percintaan ini menghalangi dilangsungkannya perkawinan Inu
dengan Candra Kirana. Maka Mertalangu dibunuh oleh ibu Inu
sendiri. Inu Kertapati sangat sedih dan meninggalkan
orangtuanya dengan diam-diam. Setelah bertapa dan
mengumpulkan kesaktian, ia mengembara tanpa suatu tujuan
dan berkelakuan seperti orang gila. Kerajaan mana yang ia
jumpai selalu diperangi dan selalu ia menang. Sementara itu

165 – Panji Pahlawan Nusantara


Candra Kirana meninggalkan orangtuanya pula, dan menjadi
pertapa dengan nama Endang Sangulara. Kemudian ia pura-
pura menjadi laki-laki dengan nama Panji Semirang,
mengembara tanpa tujuan dan memerangi kerajaan-kerajaan
yang ia jumpai.
Dalam pengembaraan itu Inu sampai di Gegelang, dan
mengabdi kepada sang raja. Di situ ternyata ada juga seorang
kelana yang mengabdi yaitu Panji Semirang. Inu sangat tertarik
pada Panji Semirang, tetapi Semirang selalu mengelak untuk
menjalin hubungan yang akrab. Ketika Gegelang diserang
musuh, Inu dan Semirang bersama-sama memimpin tentara
Gegelang dan berhasil menghancurkan musuh tadi. Akan tetapi
dalam pesta yang diadakan untuk merayakan kemenangan itu,
Semirang ternyata tidak ada. Dia telah meninggalkan
Gegelang. Inu sangat sedih dan memulai lagi
pengembaraannya.
Panji Semirang mendirikan kerajaan di Danuraja dan
menjadi perempuan kembali sebagai raja puteri. Suatu ketika
datanglah musuh yang sangat kuat, yang kecewa karena
pinangannya ditolak oleh raja puteri. Berkat bantuan Inu
Kertapati, yang dalam pengembaraannya sampai juga di
Danuraja, musuh itu dapat ditumpas.
Inu Kertapati jatuh cinta pada Endang Sangulara, raja
Danuraja itu, yang serupa benar dengan kekasihnya dahulu,
Mertalangu. Pinangannya diterima jikalau Inu dapat
melaksanakan perkawinan mereka di balai Tenjomaya yang
ada di kahyangan. Setelah pengalaman yang beraneka warna

166 – Panji Pahlawan Nusantara


akhirnya balai Tenjomaya dapat juga dipindahkan ke Danuraja.
Kini Inu Kertapati dan Candra Kirana dapat saling mengenal,
dan mereka mengirimkan utusan ke Daha dan Kuripan agar
orangtua mereka dapat menghadiri perkawinan mereka. Raja
Gegelang dan Singasari juga diundang hadir.
Sebagai akhir cerita maka Inu Kertapati menjadi Raja
Kahuripan dan Perbatasari (saudara Candra Kirana) menjadi
Raja Daha. Betapa perjalanan cinta kasih antara Panji dan
Candra Kirana mengalami suka dan duka yang harus dilakukan
dengan pengembaraan, penyamaran bahkan perang. Keduanya
telah dipertemukan dan dipersatukan dalam kehidupan yang
bahagia setelah menjalani berbagai liku gejolak tantangan.
Betapa bila memang jodoh takkan lari kemana, bila memang
telah digariskan toh pada akhirnya akan bersatu jua.

167 – Panji Pahlawan Nusantara


Harga Perempuan dalam Cerita
Andhe-Andhe Lumut dan
Dewi Sri Tanjung

Oleh: Ayu Sutarto

Abstrak
“Andhe-Andhe Lumut”, salah satu cerita Panji versi Jawa, mencerminkan
dominasi laki-laki terhadap perempuan Jawa. Dalam cerita Panji versi Jawa
ini tokoh laki-laki sangat menang dan sangat dominan. Pesan yang
terkandung dalam cerita ini adalah pesan patriarkhi, di mana laki-laki sangat
mendominasi perempuan dan tubuhnya. Laki-laki adalah sosok yang
menguasai, dan perempuan adalah sosok yang dikuasai. Laki-laki adalah
sosok yang menikmati, dan perempuan adalah sosok yang dinikmati.
Dalam cerita Panji versi Using, “Dewi Sri Tanjung”, yang menjadi wira
bukan laki-laki, tetapi perempuan. Tokoh laki-laki berada dalam posisi yang
kalah dan salah. Raja Sulahkrama adalah sosok yang tidak tahu diri. Ia ingin
merebut isteri seorang patih yang berbakti kepadanya. Cintanya yang
ditolak membuat ia gelap mata sehingga menyebabkan orang lain celaka.
Patih Sidapaksa/Sidapeksa yang gagah berani dan sakti ternyata bukan
sosok yang bermoral kuat dan arif. Ia lebih percaya kepada Raja daripada
kepada orang yang mencintainya. Akibatnya ia kehilangan semua yang
dimilikinya: cinta, pendamping hidup, dan dirinya sendiri.
Orang Banyuwangi menyebut dirinya sebagai orang “Using”, yang berarti
“orang yang berkata tidak”. Salah satu pesan budaya yang terkandung
dalam kata Using “Tidak” adalah tidak mau menjadi Jawa. Menjadi Using
juga berarti tidak mau menjadi Bali, meskipun dalam tampilan budayanya
yang disebut Using merupakan sentuh budaya antara Jawa dan Bali.

168 – Panji Pahlawan Nusantara


Pendahuluan
Para pakar ilmu sosial mengakui bahwa susastra,
termasuk susastra lisan, merupakan salah satu sumber
informasi mengenai tingkah laku, nilai-nilai, dan cita-cita yang
khas dari berbagai lapisan yang terdapat dalam suatu
masyarakat, kelompok-kelompok kekeluargaan atau dari
generasi-generasi. Akan tetapi, sosiologi sastra sebagai bidang
penelitian tersendiri masih sering diabaikan. Para peneliti
sastra lebih tertarik untuk menelaah karya sastra sebagai karya
seni dan menelaah pengarang karya-karya tersebut, tetapi
terkesan tidak tertarik kepada masyarakat yang berperan
sebagai pewaris pasifnya (penikmat, consumer, audience) (Ras,
1985:1).
Dari kacamata sosiologi seni, kesenian adalah produk
masyarakat dan masyarakat adalah produk kesenian. Sebagai
suatu proses sosiohistoris, produksi karya seni tergantung
kepada sejumlah faktor yang berbeda-beda. Produksi tersebut
ditentukan oleh alam dan kebudayaan, geografi dan waktu serta
tempat, biologi dan psikologi, dan kelas ekonomi serta kelas
sosial (Hauser, 1982:94). Sebagai kritik sosial, seni merupakan
produk dari kondisi sosial dan bukan produsennya. Seni baru
merupakan produsen kondisi sosial apabila kelahirannya
merupakan reaksi terhadap masyarakat, yang kemudian
dikondisikan oleh kontradiksi, ketegangan, dan konflik.

169 – Panji Pahlawan Nusantara


Dengan demikian setiap kritik sosial bermakna sebagai kritik
diri dari masyarakat bersangkutan (Hauser, 1982:310).
Masyarakat dan kesenian adalah dua entitas yang tidak
terpisahkan karena semua produk seni, termasuk susastra, tidak
pernah tercipta dalam keadaan tanpa siapa-siapa.
Seni tidak tercipta dalam situasi tanpa apa dan siapa
(vacuum); seni bukan hanya merupakan karya seseorang tetapi
karya seorang seniman yang terkait dengan ruang dan waktu,
yang memberi tanggapan dan reaksi terhadap masyarakat
karena seorang seniman merupakan bagian penting dari
masyarakat dan yang piawai mengemukakan gejala sosial-
budaya. Oleh karena itu seorang pengamat, pemerhati, atau
kritikus yang menggunakan telaah sosiologis dituntut untuk
mampu memahami lingkungan sosial seniman bersangkutan
(Scott, 1962:123).
Cerita rakyat Jawa seringkali dituduh terlalu berfihak
kepada laki-laki. Laki-laki adalah makhluk yang lebih kuat,
dominan, sempurna, heroik, dan lebih menentukan. Sebaliknya
perempuan seringkali diposisikan sebagai kanca wingking
“bukan penentu kebijakan” atau suwarga nunut neraka katut “
ke surga ikut serta ke neraka terbawa serta”. Berbeda dari
sastra tulis, yang pada umumnya dimonopoli oleh golongan
atas dan mereka yang melek huruf, sastra lisan memiliki
khalayak yang lebih luas karena bentuk sastra ini dikenal luas,
baik di kalangan kelas atas maupun kelas bawah yang buta
huruf. Sastra lisan dikenal hingga ke pelosok-pelosok, tersebar
melalui berbagai seni pertunjukkan atau orang tua yang

170 – Panji Pahlawan Nusantara


bercerita di kamar-kamar tidur sebagai pengantar tidur, baik
kepada anak-anaknya maupun cucu-cucunya. Oleh karena itu,
di kalangan masyarakat tertentu, sastra lisan seringkali
memiliki pengaruh yang lebih kuat dan merata dibanding sastra
tulis.
Makalah ini berusaha membedah perbedaan pesan yang
diusung dalam salah satu cerita Panji versi Jawa yang dikenal
dengan cerita “Andhe-Andhe Lumut”, dan cerita Panji versi
Using (Banyuwangi) yang dikenal dengan cerita “Dewi Sri
Tanjung”. Telaah sosiologis ini dimaksudkan untuk
mengetahui apakah ada hubungan antara cerita rakyat dengan
dunia batin pewaris aktifnya. Maksudnya, apakah cerita
“Andhe-Andhe Lumut” mencerminkan dunia batin orang Jawa
dan cerita “Dewi Sri Tanjung” mencerminkan dunia batin
orang Using (Banyuwangi)? Dunia batin yang dimaksud
berkaitan erat dengan tingkah laku, nilai-nilai, dan cita-cita
khas pewarisnya, baik yang aktif maupun yang pasif.

Harga Perempuan dalam “Andhe-Andhe Lumut” dan


“Dewi Sri Tanjung”
Sejarah kesenian mencatat bahwa cerita Panji pada
awalnya tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
masyarakat dan kebudayaan Jawa, tepatnya Jawa Timur.
Seiring dengan perjalanan waktu, cerita Panji menyebar luas ke
berbagai daerah di kawasan Nusantara, bahkan melintasi batas
negara hingga ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja dengan
alur dan bahasa yang berbeda. Cerita Panji yang semula berupa

171 – Panji Pahlawan Nusantara


naskah kemudian mengalami proses adaptasi, penyaduran, dan
penuturan kembali dengan menggunakan bahasa yang dimiliki
oleh masyarakat setempat. Di samping tersebar melalui tradisi
lisan, cerita Panji juga tersebar melalui jalur seni pertunjukan
dalam berbagai bentuk kesenian rakyat (Wibisono, 2001:274).
Cerita Panji mengalami proses transformasi dari masa ke
masa. Perubahan yang terjadi terkait dengan nama tokoh, alur,
latar, dan jenis pesan yang diusung. Ketika mengalami
penyalinan, penyaduran, dan penulisan kembali, cerita Panji
sering disertai dengan penambahan, pengurangan, dan
pengubahan oleh para penyalin, penyadur, dan penceritanya
sehingga melahirkan berbagai versi. Namun demikian, cerita
Panji masih tetap dapat dikenali berdasarkan tema, struktur,
dan alur ceritanya (Baried, 1987:12-13).
Besarnya jumlah versi di kalangan masyarakat Jawa
menunjukkan bahwa cerita Panji sangat digemari, dan juga
mengukuhkan betapa kuatnya kreativitas para pewaris aktifnya
dari generasi berikutnya. Apabila hingga saat ini cerita Panji
masih hidup di tengah pewarisnya, baik dalam bentuk sastra
tulis, sastra lisan, maupun seni pertunjukan, maka senyatanya
cerita Panji tetap memiliki daya pikat dalam kehidupan
masyarakat yang mengenalnya. Selain memberikan kepuasan
estetis kepada masyarakat, cerita Panji juga mengusung nilai-
nilai moral dan suri teladan yang dapat dijadikan rujukan
dalam kehidupan bermasyarakat.
Cerita Panji berkisah tentang perjalanan cinta Inu
Kertapati dengan kekasihnya yang bernama Candrakirana. Inu

172 – Panji Pahlawan Nusantara


Kertapati adalah putra mahkota kerajaan Kuripan/Jenggala, dan
Candrakirana merupakan putri raja kerajaan Daha/Kedhiri.
Dalam cerita Panji nama-nama lain dari Inu Kertapati adalah
Panji Kudawanengpati, Panji Asmarabangun, Panji
Kudalalean, Panji Jayengtilam, Raden Putra, dan sebagainya.
Orang Jawa yang bertempat tinggal di pedesaan mengenalnya
dengan sebutan Raden Panji. Sedangkan sebutan lain untuk
Candrakirana ialah Galuh, Sekartaji, dan lain-lain, tetapi
masyarakat pedesaan pada umumnya menyebutnya dengan
Dewi Sekartaji. Versi cerita Panji dalam khazanah sastra Jawa
Baru juga sangat bervariasi. Muncul sejumlah cerita Panji yang
digubah dalam bentuk karya sastra Jawa, antara lain Panji
Kudawanengpati, Panji Jayalengkara, Panji Laras, Panji
Suryawisesa, Panji Dhadhap, Panji Madubrangta, Panji Jaka
Sumilir, dan Panji Bayan Pethak, tetapi pada umumnya karya-
karya sastra tersebut hampir memiliki alur dan tema yang tidak
jauh berbeda (Wibisono, 2001:276-277).
Beberapa ahli berpendapat jika berpegangan pada tolok
ukur bahwa tokoh Panji selalu digambarkan bertopi tekes,
maka akan banyak tokoh Panji yang dijumpai dalam relief-
relief candi di Jawa Timur. Tokoh Sidapeksa suami Sri
Tanjung yang dipahatkan di Candi Surawana dan Jabung akan
juga dianggap sebagai tokoh Panji. Demikian pula tokoh Sang
Satyawan yang dipahatkan pada pendapa teras II candi
Panataran dan dua figur pria dalam relief cerita Kunjarakarna
di Candi Jago akan juga dianggap sebagai tokoh Panji.
R.M.Ng. Poerbatjaraka (1968) sepakat dengan pendapat W.F.

173 – Panji Pahlawan Nusantara


Stutterheim yang menyatakan bahwa relief tokoh Panji dan
para pengiringnya yang ditemukan di daerah Gambyok, Kediri,
dibuat sekitar tahun 1400. M. Stutterheim juga menyimpulkan
bahwa cerita Panji muncul dan berkembang pada zaman
keemasan Majapahit (atau akhir kejayaan kerajaan Majapahit),
dan ditulis dalam bahasa Jawa Tengahan. Penyebarannya ke
luar Jawa terjadi pada masa yang lebih kemudian lagi, dengan
cara dari mulut ke mulut (melalui tradisi lisan).
Wira dalam cerita Panji adalah Inu Kertapati, putra Raja
Kuripan/Jenggala, dan Candra Kirana putri Raja Daha/Kedhiri.
Awalnya Raden Panji jatuh cinta kepada Angreni (versi Panji
Angreni), putri patih Jenggala. Tentu saja cinta Raden Panji
tidak direstui oleh ayahandanya, dan Angreni dituduh sebagai
biang keladi retaknya hubungan antara Raden Panji dan
Candrakirana. Angreni memilih bunuh diri, sebelum dibunuh.
Candra Kirana, calon permaisuri Panji, kemudian menghilang.
Karena cinta dan kewajiban, baik Raden Panji maupun Candra
Kirana melakukan penyamaran dan pengembaraan yang
akhirnya bertemu dan bersatu dalam ikatan perkawinan, sesuai
dengan harapan raja dan seluruh rakyat Kerajaan Jenggala dan
Daha/Kedhiri.
Tokoh Panji dikenal dalam berbagai kisah sebagai
seorang pahlawan yang luhur budinya, tinggi kesaktiannya, dan
mengetahui berbagai bidang seni. Pada pokoknya sosok Panji
menggambarkan seorang sosok laki-laki yang ideal dalam
masanya. Panji adalah seorang pahlawan, yang oleh Rassers
(1982) disebut sebagai the Culture Hero (Pahlawan

174 – Panji Pahlawan Nusantara


Kebudayaan). Kata pahlawan (hero) merujuk kepada berbagai
sosok dengan kapasitas yang berbeda, antara lain, pendiri suatu
agama atau suatu negara; orang yang sangat sempurna karena
memiliki sifat mulia, seperti berani, pemurah, setia dan lain-
lain; pahlawan juga bermakna sebagai pemimpin perang, atau
yang gugur dalam peperangan, atau tokoh utama dalam karya
sastra (Baried 1987:16).
Salah satu versi cerita Panji yang sangat akrab dengan
masyarakat Jawa dan dikenal luas hingga ke pelosok-pelosok
adalah cerita rakyat yang bertajuk “Andhe-Andhe Lumut”.
James Danandjaya (1984) berpendapat bahwa kisah “Andhe-
Andhe Lumut” adalah kisah Cinderella Jawa (Javanese
Cinderella). Tetapi dilihat dari alurnya, harga perempuan
dalam “Andhe-Andhe Lumut” lebih “murah” dari harga laki-
laki. Yang dimaksud lebih murah dalam konteks ini adalah
bahwa hampir semua tokoh perempuan dalam cerita rakyat
tersebut membutuhkan sosok Panji sebagai sosok paling ideal
untuk mendampingi hidupnya.
Dalam cerita “Andhe-Andhe Lumut” Raden Panji
dilukiskan bagaikan Arjuna yang dalam cerita pewayangan
disebut sebagai lelananging jagad (pejantan dunia), yang
tampan, sakti, dan selalu dikelilingi perempuan. Tetapi Raden
Panji yang sangat sakti ketika menghadapi musuh ternyata
sosok yang sangat lemah ketika harus berhadapan dengan
perempuan. Meskipun demikian, tokoh-tokoh perempuan
dalam cerita Panji juga sangat lemah. Mereka sama sekali tidak
memiliki daya tawar dalam menghadapi Raden Panji. Terkait

175 – Panji Pahlawan Nusantara


dengan perempuan, Panji juga berprilaku cengeng dan lemah.
Ia melarikan diri dari kesedihan dengan cara mengembara dan
melakukan penyamaran setelah kehilangan cinta.
Cerita rakyat “Andhe-Andhe Lumut” menampilkan
banyak tokoh perempuan. Dalam cerita ini terdapat dua single
parent alias janda, yakni mBok Randha Dhadhapan, ibu
angkat Andhe-Andhe Lumut, dan seorang janda lain yang
memiliki tujuh orang puteri, tetapi yang bungsu merupakan
anak angkat. Dalam cerita rakyat Jawa predikat janda hampir
selalu identik dengan kemiskinan. Pada zaman dahulu belum
dikenal istilah randha teles (janda kaya) seperti yang sering
disebut dalam sastra Jawa modern. Kedua janda tersebut hidup
di desa, suatu wilayah yang, baik dalam peradaban maupun
fasilitas, sangat jauh berbeda dari nagara atau kota. Nagara itu
kota, suatu wilayah yang dekat dengan kekuasaan (cedhak
ratu, adoh watu), sedangkan desa merupakan wilayah yang
jauh dari nagara (cedhak watu, adoh ratu), jauh dari pusat
kekuasaan.
Dalam “Andhe-Andhe Lumut” ketidakperawanan juga
digugat. Andhe-Andhe Lumut, yang tiada lain adalah Raden
Panji, putra raja Jenggala, tidak mau menerima keenam putri
mBok Randha yang bernama awal Kleting karena mereka
sudah tidak suci lagi. Sikap Andhe-Andhe Lumut adalah
cermin sikap lelaki Jawa yang mengganggap keperawanan
(virginity) sebagai kebutuhan karena dianggap sebagai
persembahan yang sangat berarti pada lelaki Jawa pada saat
itu, dan barangkali juga saat sekarang. Kleting Abang, Kleting

176 – Panji Pahlawan Nusantara


Ijo, Kleting Biru, dan Kleting yang lain ditolak oleh Andhe-
Andhe Lumut karena dianggap sebagai sisane si Yuyu
Kangkang (perempuan bekas dari Yuyu Kangkang). Dalam
seni pertunjukan tradisional Jawa, proses pelamaran para gadis
Kleting tersebut diungkapkan melalui tembang yang sangat
akrab dengan masyarakat pedesaan Jawa. Tembang tersebut
merupakan dialog antara Andhe-Andhe Lumut dan mBok
Randha Dhadhapan, yang berbunyi sebagai berikut.

mBok Randha:
Putraku si Andhe Andhe Lumut
Tumuruna ana putri kang unggah-unggahi
Putrine, Ngger, kang ayu rupane
Kleting Abang iku kang dadi asmane

Andhe-Andhe Lumut:
Adhuh, Ibu, kula dereng purun
Adhuh, Ibu kula mboten mudhun
Nadyan ayu, sisane si Yuyu Kangkang

mBok Randha:
Putraku si Andhe Andhe Lumut
Temuruna ana putri kang unggah-unggahi
Putrine, Ngger, kang ayu rupane
Kleting Ijo iku kang dadi asmane

Andhe-Andhe Lumut:
Adhuh, Ibu, Ibu sampun meksa
Kang putra taksih dereng kersa
Amargi putra taksih nandang asmara

177 – Panji Pahlawan Nusantara


mBok Randha Dhadapan:
Putraku si Andhe-Andhe Lumut
Temuruna ana putri kang unggah-unggahi
Putrine, Ngger, kang ayu rupane
Kleting Kuning iku kang dadi asmane

Terjemahan
Andhe-Andhe Lumut, putraku
Kemarilah, ada putri yang melamarmu
Putri ini cantik jelita
Kleting Abang adalah namanya

Andhe-Andhe Lumut:
Tidak ibu, saya tidak mau
Tidak ibu, saya tidak ingin bertemu
Meskipun cantik, ia bekas kekasih Yuyu Kangkang

Andhe-Andhe Lumut, putraku


Kemarilah, ada putri yang melamarmu
Putri ini cantik jelita
Kleting Ijo adalah namanya

Maaf ibu, jangan memaksa


Putramu belum juga mau menerima
Karena saya masih terpikat asmara

Andhe-Andhe Lumut, putraku


Kemarilah, ada putri yang melamarmu
Putri ini tampak papa dan hina
Kleting Kuning adalah namanya

178 – Panji Pahlawan Nusantara


Lamaran semua gadis dengan nama awal Kleting, kecuali
si bungsu Kleting Kuning, ditolak oleh Andhe-Andhe Lumut.
Tetapi pada saat Kleting Kuning datang melamar, Andhe-
Andhe Lumut serta merta menyambutnya dengan gembira
karena ia tahu bahwa Kleting Kuning sejatinya merupakan
penyamaran Dewi Candrakirana atau Dewi Sekartaji yang
sangat mencintai dirinya. Selama ikut mBok Randha Kleting
Kuning mendapat perlakuan yang sangat buruk. Bahkan ketika
ia menyusul kakak-kakaknya untuk melamar Andhe-Andhe
Lumut, mBok Randha mengoles tubuhnya dengan kotoran
binatang sehingga berbau busuk, dan Yuyu Kangkang tidak
mau menyeberangkannya.
Berikut ini jawaban Andhe-Andhe Lumut kepada ibu
angkatnya ketika Kleting Kuning datang melamarnya.

Andhe-Andhe Lumut:
Adhuh, Ibu, kula inggih Purun
Kang putra inggih badhe mudhun
Nadyan ala punika kang
putra suwun

Terjemahan:
Ibunda, saya menerima lamarannya
Saya akan datang menemuinya
Meski tidak jelita, inilah perempuan yang saya minta

Dalam cerita rakyat “Andhe-Andhe Lumut” harga


perempuan sangat murah karena mereka bukan sosok yang
dibutuhkan oleh laki-laki, tetapi yang membutuhkan. Mereka

179 – Panji Pahlawan Nusantara


bukan dipinang, tetapi meminang (ngunggah-unggahi) laki-
laki. Cerita rakyat yang sangat populer ini juga mengusung
pesan tentang pentingnya keperawanan (virginity). Andhe-
Andhe Lumut tidak mau menerima keenam gadis mBok
Randha yang cantik karena mereka dianggap sebagai sisane
Yuyu Kangkang (bekasnya Yuyu Kangkang). Dalam perjalanan
untuk melamar Andhe-Andhe Lumut keenam gadis tersebut
diseberangkan oleh Yuyu Kangkang “Ketam Besar” karena
pada saat itu bengawan “sungai besar” sedang meluap airnya.
Tetapi Yuyu Kangkang tidak menolong dengan tulus. Binatang
tersebut minta upah “ciuman” (ungkapan syahwat laki-laki).
Bagi orang Jawa, yuyu atau ketam, terutama ketam
belangkas, adalah lambang kerukunan antara laki-laki-
perempuan atau suami-isteri karena binatang yang biasanya
ditemukan dalam keadaan berpasangan itu, selalu bertumpuk.
Ketam jantan yang tubuhnya lebih kecil selalu menempel pada
punggung ketam betina yang bertubuh lebih besar (seperti
orang bersenggama). Ketika menyeberangi sungai besar,
situasinya terbalik; Yuyu Kangkang (laki-laki) berada di bawah
dan para gadis Kleting (perempuan) berada di atas.
Cerita Andhe-Andhe Lumut juga mengusung pesan
dominasi kelas bangsawan. Pertemuan cinta Raden Panji dan
Sekartaji adalah pertemuan cinta dan kepentingan. Keduanya
sama-sama darah biru, trahing narendra rembesing madu
(keturunan raja yang berdarah biru). Keenam gadis Kleting
putri mBok Randha ditolak bukan hanya karena mereka sisane
si Yuyu Kangkang, tetapi karena mereka bukan darah biru,

180 – Panji Pahlawan Nusantara


bukan keturunan bangsawan. Di sini jurang kelas sosial sangat
ditampakkan. Berbeda kasta berarti berbeda martabat.
Pernikahan antara keturunan darah biru dengan orang biasa
dianggap tidak pantas.
Dalam masyarakat Jawa, untuk menentukan jodoh
dikenal persyaratan bibit (keturunan), bobot (martabat), dan
bebet (kekayaan). Keinginan para gadis anak mBok Randha
merupakan pesan tersendiri. Keinginan seperti itu merupakan
cerminan impian gadis desa Jawa untuk memperoleh bibit,
bobot, dan bebet. Dalam konteks ini cerita “Andhe-Andhe
Lumut” berfungsi sebagai sistem proyeksi (projection system),
yakni cerminan angan-angan kolektif. Banyak gadis-gadis desa
Jawa yang berharap bisa bersanding dengan lelaki yang
memiliki bibit, bobot, dan bebet, agar nasibnya berubah.
Mereka berkeyakinan bahwa apabila disunting oleh lelaki yang
memiliki kapasitas seperti itu, mereka akan bisa menikmati
hidup yang layak dan bermartabat.
Dalam cerita rakyat “Andhe-Andhe Lumut” sosok
perempuan tidak memiliki pilihan dan kekuatan untuk
membuat keputusan. Dewi Sekartaji alias Candrakirana
berpegang teguh kepada kemauan orang tuanya, yakni menikah
dengan Raden Panji. Tetapi sejatinya, cerita “Andhe-Andhe
Lumut” juga mengusung pesan diskriminatif di antara kelas
sosial. Para gadis Kleting, meskipun cantik, tetapi karena
bukan darah biru, tidak memperoleh kesempatan untuk
bersanding dengan Raden Panji. Dari kacamata ini, sejatinya
cerita “Andhe-Andhe Lumut” merupakan cerminan budaya

181 – Panji Pahlawan Nusantara


kekuasaan dan budaya patriarkhi. Lelaki sangat mendominasi
tubuh perempuan, dan perempuan tidak mempunyai kekuatan
untuk melawan dominasi itu.
Di atas telah disinggung bahwa tokoh Sidapeksa, suami
Sri Tanjung, yang terdapat pada relief Candi Surawana dan
Jabung, adalah juga dianggap sebagai tokoh Panji. Nama
Sidapaksa/Sidapeksa dan Sri Tanjung mengingatkan kita
kepada legenda asal-usul Banyuwangi yang tokoh utamanya
juga bernama Sidapeksa dan Sri Tanjung. Melihat tema yang
diusungnya, cerita rakyat Using (Banyuwangi) ini dapat
digolongkan ke dalam cerita Panji. Bedanya, yang menjadi
hero (wira) dalam cerita yang bertajuk “Dewi Sri Tanjung”
bukan laki-laki, tetapi perempuan.
Dalam cerita “Andhe-Andhe Lumut”, cinta yang terpisah
dipertemukan, tetapi dalam cerita Panji versi Using “Dewi Sri
Tanjung”, cinta yang bertemu dipisahkan. Dalam “Andhe-
Andhe Lumut” terjadi happy ending, tetapi dalam “Dewi Sri
Tanjung” terjadi sad ending. Dalam cerita Panji versi Using ini
tokoh yang terpuji bukan laki-laki, melainkan perempuan.
Sidapeksa, meskipun seorang Patih yang tampan dan sakti
seperti Panji, ia tampak tidak matang dan tidak arif. Akibatnya,
tokoh Sri Tanjung, tokoh perempuan dalam cerita “Dewi Sri
Tanjung”, berhasil menenggelamkan semua tokoh laki-laki.
Dalam cerita “Andhe-Andhe Lumut” yang menjadi hero
(wira) adalah laki-laki, tetapi dalam “Dewi Sri Tanjung” yang
menjadi wira adalah perempuan. Gejala ini persis yang terjadi
pada cerita Cinderella di Eropa. Tokoh Cinderella dari negara

182 – Panji Pahlawan Nusantara


Skandinavia bukan sosok perempuan, melainkan laki-laki yang
bernama Askeladen “Putra Abu”. Begitulah yang terjadi pada
cerita rakyat. Sebuah cerita rakyat seringkali merupakan
kesatuan dari berbagai cerita atau tale plot yang berbeda.
Karena kebanyakan cerita rakyat tidak memiliki judul, maka
setiap pewaris dengan leluasa memberikan judul seenaknya
(Danandjaya, 1984:84). Ini juga terjadi dalam cerita Panji yang
tumbuh dalam masyarakat Jawa.
Dalam cerita Panji versi Using “Dewi Sri Tanjung” harga
diri laki-laki sangat murah, tetapi harga diri perempuan sangat
mahal. Sulahkrama, seorang raja besar, ingin merebut istri
Sidapaksa, Dewi Sri Tanjung. Padahal Sidapaksa seorang patih
yang amat loyal dan menjadi tulang punggung kerajaan. Nafsu
syahwat Sang Raja telah mengalahkan pemahamannya
terhadap nilai-nilai mulia. Dengan licik ia menyuruh Sidapaksa
untuk pergi ke tempat jauh, dan kemudian Sang Raja berusaha
menaklukkan hati Dewi Sri Tanjung. Sidapaksa ternyata bukan
sosok laki-laki yang arif, yang bisa mengukur dan membaca
kesetiaan istrinya. Dia begitu percaya dengan apa yang
dikatakan Sang Raja sehingga tega menghabisi nyawa istrinya
yang dituduh berselingkuh akibat fitnah Sang Raja.
Ditinjau dari kacamata moral, tokoh Sulahkrama dan
Sidapaksa adalah laki-laki yang salah dan kalah. Sebaliknya,
tokoh Dewi Sri Tanjung tampil sebagai sosok yang
berkarakter. Dewi Sri Tanjung bisa dengan tegas dan gagah
berani berkata tidak kepada Sang Raja yang sangat
dihormatinya. Cinta dan kesetiaannya kepada Sidapeksa tidak

183 – Panji Pahlawan Nusantara


bisa tergantikan oleh cinta dari laki-laki lain yang memiliki
kekuasaan dan kedudukan lebih tinggi. Bagi Dewi Sri Tanjung,
cinta, kesetiaan, dan tanggung jawab seorang istri, tidak bisa
ditawar atau digadaikan. Jadi, citra Dewi Sri Tanjung lebih
kuat dan lebih berkarakter daripada citra Dewi Sekartaji yang
tidak bisa berkata tidak, baik kepada orang tuanya maupun
kepada Raden Panji.
Dalam cerita rakyat “Dewi Sri Tanjung”, Sri Tanjung
menjadi sosok perempuan yang paling sentral. Ia dikagumi dan
dibutuhkan oleh laki-laki. Harga kemanusiaannya sangat tinggi
karena ia dibutuhkan oleh banyak orang. Sulahkrama yang
Raja membutuhkan, begitu pula Sidapeksa. Sosok perempuan
yang ditampilkan melalui cerita “Dewi Sri Tanjung” sangat
ideal: cantik, setia, berbudi luhur, bertanggung jawab, dan mau
berkorban, sedangkan tokoh laki-laki yang ditampilkan sangat
penuh kelemahan secara moral. Akhirnya dapat digarisbawahi
bahwa harga perempuan dalam cerita Panji versi Using lebih
tinggi daripada harga laki-laki, baik dalam cerita Panji versi
Using maupun versi Jawa (Andhe-Andhe Lumut).
Penutup
“Andhe-Andhe Lumut”, salah satu cerita Panji versi
Jawa, mencerminkan dominasi laki-laki terhadap perempuan
Jawa. Dalam cerita Panji versi Jawa ini tokoh laki-laki sangat
menang dan sangat dominan. Pesan yang terkandung dalam
cerita ini adalah pesan patriarkhi, di mana laki-laki sangat
mendominasi perempuan dan tubuhnya. Laki-laki adalah sosok
yang menguasai, dan perempuan adalah sosok yang dikuasai.

184 – Panji Pahlawan Nusantara


Laki-laki adalah sosok yang menikmati, dan perempuan
adalah sosok yang dinikmati.
Dalam cerita Panji versi Using, “Dewi Sri Tanjung”,
yang menjadi wira bukan laki-laki, tetapi perempuan. Tokoh
laki-laki berada dalam posisi yang kalah dan salah. Raja
Sulahkrama adalah sosok yang tidak tahu diri. Ia ingin merebut
isteri seorang patih yang berbakti kepadanya. Cintanya yang
ditolak membuat ia gelap mata sehingga menyebabkan orang
lain celaka. Patih Sidapaksa/Sidapeksa yang gagah berani dan
sakti ternyata bukan sosok yang bermoral kuat dan arif. Ia lebih
percaya kepada Raja daripada kepada orang yang
mencintainya. Akibatnya ia kehilangan semua yang
dimilikinya: cinta, pendamping hidup, dan dirinya sendiri.
Wira dalam cerita Panji versi Using bukan laki-laki yang
tergila-gila kepada perempuan, atau sebaliknya, tetapi sosok
perempuan yang berparas cantik yang memiliki budi pekerti
luhur. Wira perempuan terpaksa dibunuh bukan karena
bersalah, melainkan karena ketamakan laki-laki dan
ketidakarifan orang yang dicintainya. Pergeseran dari wira
laki-laki kepada wira perempuan ini diduga juga merupakan
bagian dari perlawanan budaya masyarakat Using terhadap
kebudayaan Jawa yang dominan.
Kesimpulan ini sejalan dengan sikap masyarakat Using
terhadap Jawa, yang secara budaya tidak mau menjadi Jawa.
Orang Banyuwangi menyebut dirinya sebagai orang “Using”,
yang berarti “orang yang berkata tidak”. Salah satu pesan
budaya yang terkandung dalam kata Using “Tidak” adalah

185 – Panji Pahlawan Nusantara


tidak mau menjadi Jawa. Menjadi Using juga berarti tidak mau
menjadi Bali, meskipun dalam tampilan budayanya yang
disebut Using merupakan sentuh budaya antara Jawa dan Bali.

SUMBER PUSTAKA

Baried, Siti Baroroh. 1987. Panji: Citra Pahlawan Nusantara. Jakarta:


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Danandjaja, James. 1984. Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan
Lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers.
______. 1976. “A Javanese Cinderella Tale with a Pedagogical Value”.
Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia. Jilid VI. No. 2, Mei.
Finnegan, Ruth. 1992. Oral Traditions and the Verbal Arts: A Guide to
Research Practices. London: Routledge.
Hauser, Arnold. 1982. The Sociology of Art. Chicago: The University of
Chicago Press.
Irsam. 2008. “Cerita Panji dalam Masyarakat Majapahit Akhir” (online).
http://irsam.multiply.com/journal/item/19 diakses tanggal 14 Mei
2010.
Ningsih, Sri dkk. 2000. Cerita Rakyat Using Banyuwangi. Surabaya: Balai
Penelitian Bahasa.
Nurcahyo, Henri. 2009. Konservasi Budaya Panji. Surabaya: Dewan
Kesenian Jawa Timur.
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1968. Tjerita Pandji dalam Perbandingan.
Diterjemahkan oleh Zuber Usman dan H.B. Jassin. Djakarta:
Gunung Agung.
Ras, J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: Grafitipers.
Rassers, W.H. 1982. Panji The Culture Hero. Second Edition. The Hague:
Martinus Nijhoff.
Scott, Wilbur. 1962. Five Approaches of Literature. New York: Macmillan
Publishing Co.Inc.
Sedyawati, Edi dkk. (editor). 2001. Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum.
Jakarta: Balai Pustaka.
Sudjarwadi, dkk. 1996. Struktur Sastra Lisan Using Banyuwangi. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

186 – Panji Pahlawan Nusantara


Sumarno. 2009. “Menelusuri Cerita Panji dari Aspek Sejarah dan Budaya
pada Masa Kadiri” dalam Henri Nurcahyo (editor). Konservasi
Budaya Panji. Surabaya: Dewan Kesenian Jawa Timur.
Sutarto, Ayu dkk. 2009. “Mutiara yang Tersisa: Kearifan Lokal dalam
Cerita Rakyat Madura, Tengger, dan Using”. Laporan Penelitian.
Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember.
Sutarto, Ayu. 2003. “Etnografi Masyarakat Using”. Laporan Penelitian.
Surabaya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa
Timur.
Wibisono, Singgih. 2001. “Cerita Panji” dalam Sedyawati (editor). Sastra
Jawa Suatu Tinjauan Umum. Jakarta: Balai Pustaka.

187 – Panji Pahlawan Nusantara


CERITA PANJI:
Sebuah Strategi Kebudayaan
Oleh
Dr. Sunu Catur Budiyono, M.Hum
Universitas PGRI Adibuana (Unipa) Surabaya

Abstrak:
Menghadirkan kembali cerita Panji dalam konteks sosio-kultural
masyarakat yang berubah dan terbuka membutuhkan strategi kebudayaan
yang relevan serta melibatkan interelasi kekuasaan tiga aktor dominan yakni
negara, pasar, dan masyarakat sipil. Demikian juga, menempatkan Panji
sebagai identitas budaya selalu terlibat dalam pergumulan di antara, di satu
pihak, kebutuhan untuk menghasilkan identitas yang unik dan spesifik, dan
di pihak lain, tuntutan untuk merespon pelabelan dan stigma yang
diberikan oleh individu atau kelompok lain. Identitas dibentuk oleh
berbagai ragam elemen yang menghasilkan formasi identitas yang dinamis.
Dengan demikian, terdapat ruang yang terbuka bagi individu maupun aktor
sosial untuk mengkonstruksi dan atau merekonstruksi identitasnya sesuai
dengan konteks di mana identitas tersebut dipresentasikan.

Kata Kunci: Identitas, strategi kebudayaan,

A. Pendahuluan
Membahas cerita Panji dalam berbagai perspektif dan
kertas kerja sebenarnya merupakan upaya restorasi dari suatu
kultur yang pernah jaya pada masa lampau. Apakah kejayaan

188 – Panji Pahlawan Nusantara


itu masih tersisa pada saat ini? Maka jawabannya terdapat di
dalam benak atau ingatan anak-anak kita yang duduk di bangku
SD, SMP, dan SMA/SMK itu. Sudah kenalkah mereka dengan
cerita Panji? Tahukah mereka bahwa cerita Panji merupakan
simbol dari kebesaran dan kekuatan kultural, politik, dan
ekonomi dari suatu bangsa yang berdaulat di masa lalu yang
bernama “nusantara”?
Cerita Panji tentu tidak akan sampai ke Melayu,
Thailand, Kamboja, maupun Vietnam jika tidak didukung oleh
kekuatan kultural, politik, dan ekonomi yang tangguh . Dengan
kata lain, cerita Panji menjadi besar karena didukung oleh
bangsa yang besar. Cerita Panji tidak hanya semata-mata di
dukung oleh beragam faktor eksternal tersebut tetapi telah
menjadi bagian dari kehidupan warga budaya masyarakatnya.
Ia bukan hanya sekedar pelipur lara, tetapi telah menjadi mitos
yang dalam batas tertentu menjadi frame of reference bagi
masyarakat pendukungnya. Bahkan lebih dari itu, cerita panji
telah menjadi bagian dari suatu proses religius masyarakat. Hal
ini dapat dilihat dari dipahatkannnya cerita Panji dalam
berbagai bangunan candi di Jawa Timur antara lain candi
Gambyok, Penataran, Jabung, dan Surawana. Fenomena ini
menandakan bahwa Panji tidak hanya tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat kebanyakan, tetapi yang lebih penting
adalah menjadi bagian dari suatu proses politik kebudayaan.

B. Panji sebagai Identitas

189 – Panji Pahlawan Nusantara


Dengan mengusung Panji, maka identitas etnik Jawa
diakui sebagai identitas nasional dan menjadi wacana dominan.
Pada dasarnya, hal tersebut merepresentasikan strategi kutural
yang dipilih dan dicoba untuk dikembangkan. Dengan kata
lain, identitas senantiasa berada dalam konteks pergumulan;
identitas bukan sesuatu yang given, melainkan merupakan
wacana yang selalu terbuka untuk diinterpretasikan,
diperdebatkan, bahkan didekonstruksi oleh komunitasnya
(Anoegrajekti, 2003:66-67). Demikian pula, posisi Panji yang
berada dalam “wilayah publik” apalagi ia diupayakan untuk
menjadi sentral dari identitas yang senantiasa dipresentasikan
dalam ruang kontestasi.
Identitas berada dalam proses yang cair dan bersifat
jamak serta senantiasa dinegosiasikan. Identitas dapat
mengalami perubahan (changing) serta perbedaan penonjolan
(shifting) dalam konteks interaksi maupun pengaruh sosial
budaya yang lain. Hal ini memungkinkan bagi warga bangsa
mengganti identitas dirinya melalui manipulasi, mobilisasi,
atau klaim atas identitas tertentu (Riyanto, 2003). Dengan
demikian, identitas merupakan sesuatu yang terbuka terhadap
pengaruh sosial budaya yang datang dari dalam maupun luar
serta memungkinkan untuk dikonstruksi, didekonstruksi, dan
direkonstruksi. Identitas tidak hanya diekspresikan secara
verbal tetapi juga melalui material kultural terutama pada
makna dan image tentang simbol tertentu terkait dengan
properti budaya.

190 – Panji Pahlawan Nusantara


Dengan demikian, identitas senantiasa dikonstruksi dan
direinterpretasi baik secara individu maupun kolektif. Menurut
Castells (1998:7; 2004:8) identitas senantiasa dikonstruksi
melalui konteks tanda dan relasi kekuasaan. Selanjutnya
pembentukan identitas dapat dibedakan dalam tiga perspektif
yakni legitimizing identity, resistance identity, dan project
identity, Castells (2004:7).
Ketiga bentuk dan sumber pembangunan identitas
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Legitimizing identity: dikenalkan oleh institusi dominan
masyarakat untuk menyebarkan dan merasionalisasi
dominasi mereka vis a vis (berhadapan) aktor sosial.
2. Resistance identity: diturunkan oleh aktor-aktornya yang
berada dalam posisi atau kondisi didevaluasi dan atau
distigmatisasi oleh logika dominasi, membangun
perlindungan, perlawanan, dan pertahanan diri atas dasar
prinsip berbeda dari, atau menentang, yang selanjutnya
merembet ke institusi masyarakat.
3. Project identity: ketika aktor sosial, membangun identitas
baru dengan mendefinisikan kembali posisi mereka
dalam masyarakat, mencari transformasi struktur sosial
secara menyeluruh. Misalnya, gerakan feminisme,
perlawanan terhadap identitas perempuan dan hak-hak
perempuan, menantang patriarkisme, keluarga patriarkal,
dan masuk dalam struktur produksi, reproduksi,
seksualitas, dan personalitas dalam sejarah masyarakat.

191 – Panji Pahlawan Nusantara


Secara alamiah, identitas yang dimulai sebagai
perlawanan mungkin menyebabkan proyek, dan mungkin juga
menjadi dominan dalam institusi masyarakat, menjadi
pelegitimasi identitas untuk merasionalkan dominasi mereka.
Dari sudut pandang teori sosial, tidak ada identitas yang pokok,
dan tidak ada identitas yang mempunyai nilai progresif atau
regresif di luar konteks historis. Berbeda dari yang lain,
identitas adalah perkara yang sangat penting, beruntung setiap
orang yang memiliki identitas.
Setiap proses pembangunan identitas membawa pada
sebuah hasil perbedaan dalam pembentukan masyarakat.
Legitimizing identity melahirkan sebuah masyarakat sipil;
sejumlah institusi dan organisasi merupakan rangkaian yang
membentuk dan mengorganisasikan aktor sosial. Dalam hal ini,
Identitas merasionalkan sumber dominasi struktural.
Bangunan identitas kedua adalah identitas untuk
perlawanan Resistance identity, yang mengarah pada formasi
kelompok atau komunitas. Tipe ini mungkin merupakan yang
paling penting dari bangunan identitas dalam masyarakat.
Identitas tipe ini mengkonstruk bentuk perlawanan kolektif
terhadap penindasan dan ketidakadilan, biasanya didasarkan
pada identitas yang nyata, yang secara jelas didefinisikan oleh
sejarah, geografi, atau biologi, yang membuatnya lebih mudah
untuk menetapkan batas perlawanan. Misalnya, nasionalisme
yang didasarkan etnisitas, di satu sisi sering memunculkan rasa
alienasi, di sisi lain memunculkan kebencian terhadap

192 – Panji Pahlawan Nusantara


ketidakadilan dalam politik, ekonomi, atau sosial (Castells,
2004:10).
Pembangunan pertahanan identitas atas institusi atau
idiologi dominan, membalik nilai penghakiman untuk
menguatkan kembali batas identitas. Dalam sejumlah kasus,
isue muncul dari saling perpindahan antara identitas yang
dikeluarkan atau terangkat. Jawaban dari semua hanya dapat
ditemukan secara empirik dan historis, mempunyai pengaruh
apakah masyarakat tetap sebagai masyarakat atau bagian lain
dalam konstelasi suku, kadang-kadang secara eufimistik
dinamakan komunitas (Eriksen, 1993:30).
Proses ketiga dari konstruksi identitas adalah project
identity, yang diproduksi informan. Sebagaimana yang
didefinisikan oleh Alain Tourine dalam Castells (2004:10)
sebagai: keinginan informan sebagai individu, penciptaan
sejarah personal, pemberian makna terhadap keseluruhan
realitas kehidupan individu. Transformasi individu ke dalam
informan merupakan hasil kebutuhan mengkombinasi dari dua
afirmasi: individu melawan masyarakat, dan individu melawan
pasar.
Informan tidaklah bersifat individual, sekalipun mereka
dibuat oleh dan dalam individu. Mereka merupakan kumpulan
aktor sosial tempat individu mendapatkan makna holistik
dalam pengalaman mereka. Dalam kasus ini, pembangunan
identitas adalah proyek dari hidup yang berbeda, mungkin
didasarkan atas identitas yang ditindas, tetapi berkembang
menuju transformasi masyarakat sebagai perpanjangan dari

193 – Panji Pahlawan Nusantara


proyek identitas ini. Sebagai contoh masyarakat post-
patriarchal, pembebasan perempuan, laki-laki, anak, melalui
realisasi identitas perempuan.
Bagaimana dan oleh siapa perbedaan tipe identitas
dikonstruksi, dan apa hasilnya, hal itu tidak dapat ditujukan
secara umum, karena identitas merupakan perkara konteks
sosial. Zaretsky dalam (Castells, 2004:11) mengatakan bahwa
identitas politik harus dikondisikan secara historis. Identitas
harus mengacu pada konteks khusus yang muncul dari konteks
sosial, dinamika identitas akan bisa dipahami dengan lebih
baik jika membandingkannya dengan karakterisasi identitas.
Dalam sebuah teorisasi kekuasaan, Giddens (2003:51)
menyatakan bahwa identitas diri bukan sebuah sifat pembeda
yang dimiliki individu. Ia adalah diri yang secara reflektif
dipahami oleh seseorang dalam term biografinya. Dalam hal
ini, penting untuk diketahui apa yang seseorang kerjakan dan
mengapa seseorang mengerjakan?
Dalam perspektif teori karakterisasi Giddens (2003:8)
pembangunan identitas dalam periode late modernity
melahirkan masyarakat jaringan. Proses konstruksi identitas
dalam masyarakat jaringan (network society) membentuk
bentuk baru atas perubahan sosial. Hal ini karena network
society didasarkan pada sistem yang terbelah antara lokal dan
global untuk individual dan kelompok sosial. Berkaitan dengan
hal ini, Castells (2004:11) memisahkan dalam kerangka
perbedaan ruang-waktu antara kekuasaan dan pengalaman.
Sampai saat ini, refleksi life-planing menjadi tidak mungkin

194 – Panji Pahlawan Nusantara


kecuali untuk kelompok elit yang berada tanpa waktu-ruang
yang berasal dari jaringan global dan lokal. Bangunan
keintiman berdasar pada kepercayaan, membutuhkan sebuah
redefinisi identitas secara otonom sepenuhnya sebagai lawan
logika jaringan kerja dari institusi dan organisasi dominan.
Panji sebagai sebuah identitas budaya, akan senantiasa
terlibat dalam pergumulan tiga aktor utama yakni negara,
masyarakat, dan pasar. Dalam konteks seperti itu, maka
proposisi-proposisi identitas berikut dapat menjelaskan
kerumitan posisi Panji sebagai identitas budaya yang sekaligus
dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan strategi
kebudayaan. Proposisi-proposisi identitas yang dimaksud dapat
dikemukakan sebagai berikut.
Pertama, identitas individu atau sebuah kelompok sosial
hanya relevan dalam hubungannya dengan individu atau
kelompok lain. Dengan kata lain, eksistensi identitas selalu
terikat oleh konteks sosial.
Kedua, identitas tidak pernah tunggal melainkan jamak
(multiplicity of identity) dan selalu berubah dari satu konteks
sosial ke konsteks yang lain.
Ketiga, kejamakan identitas tidak hanya dipresentasikan
melalui pernyataan diri (self expression), melalui simbol dan
atribut yang kompleks, melainkan juga lapis-lapis yang
berbeda kedalamannya (multilayers of identity).
Keempat, identitas dibentuk oleh berbagai ragam elemen
yang menghasilkan formasi identitas yang dinamis. Dengan
demikian, terdapat ruang yang terbuka bagi individu maupun

195 – Panji Pahlawan Nusantara


aktor sosial untuk mengkonstruksi dan atau merekonstruksi
identitasnya sesuai dengan konteks di mana identitas tersebut
dipresentasikan.
Kelima, identitas dinegosiasikan dari waktu ke waktu
dalam dan melalui interaksi sosial.
Keenam, Individu selalu terlibat dalam pergumulan di
antara, di satu pihak, kebutuhan untuk menghasilkan identitas
yang unik dan spesifik, dan dipihak lain, tuntutan untuk
merespon pelabelan dan stigma yang diberikan oleh individu
atau kelompok lain.
Ketujuh, dalam masyarakat multietnik, identitas tidak
saja berfungsi sebagai penanda (marker) dan pembeda
(signifer) melainkan juga sebagai pengada (being maker).
Kedelapan, dalam masyarakat multietnik proses
mengonstruksi (dan mendekonstruksi) identitas senantiasa
terjadi dalam sebuah spektrum yang bergerak dari asimilasi
dan akulturasi hingga rivalitas, kompetisi, dan bahkan konflik.
Kesembilan, proses mengonstruksikan identitas tidak
sepenuhnya bebas dari interelasi kekuasaan di antara tiga aktor
dominan, yakni negara (state), pasar (market), dan masyarakat
(civil society).
Kesepuluh, dalam penciptaan identitas, aktor-aktor
dominan terlibat dalam hubungan penuh paradoks, dari yang
berhubungan dengan arah yang saling melengkapi
(complementary) hingga ke arah hubungan yang saling
meniadakan.

196 – Panji Pahlawan Nusantara


C. Strategi Kebudayaan
Persoalan yang kita hadapi kemudian adalah mengapa
cerita yang telah menjadi arus utama kebudayaan
(kesusastraan) di masa lalu itu “nyaris lenyap” tanpa jejak?
Gejala ini bukan tanpa sebab atau merupakan sebuah kelalaian
dari suatu generasi yang “tidak peduli” terhadap kebudayaan.
Sebaliknya, (menurut hemat saya), hal ini merupakan akibat
dari suatu strategi politik kebudayaan yang dipilih.
Jika kita melihat pada masa kolonial, terdapat peristiwa
penting yang menjadi titik tolak mengenai pilihan strategi
politik kebudayaan itu. Peristiwa Polemik Kebudayaan antara
Sutan Takdir, Sanusi Pane, Soepomo, Ki Hajar Dewantoro
serta tokoh-tokoh yang lain, telah meletakkan dasar dan pilihan
mengenai strategi kebudayaan yang akan ditempuh oleh
Indonesia. Dalam polemik tersebut, setidak-tidaknya terdapat
tiga pemikiran utama yang berkembang.
Pertama, pandangan yang dikemukakan oleh STA,
bahwa untuk memajukan dan mengembangkan kebudayaan
Indonesia harus bertolak dari nilai-nilai kebudayaan yang
unggul. Nilai kebudayaan itu mencakup progresif, dinamis,
individualistik, intelektualistik, dan materialistik. Sementara
itu, nilai-nilai tersebut tidak terdapat dalam kebudayaan
Indonesia lama, sebaliknya ia justru datang dari kebudayaan
penjajah (Barat). Dengan demikian, kebudayaan yang
dikembangkan merupakan sesuatu yang baru serta tidak lagi
abai terhadap kebudayaan lama. Dalam konteks seperti itu,

197 – Panji Pahlawan Nusantara


maka akan terjadi diskontinuitas kebudayaan antara yang lama
dan baru.
Kedua, pandangan bertolak belakang dengan pemikiran
STA dikemukakan oleh Sanusi Pane, bahwa strategi yang
ditempuh untuk mengembangkan kebudayaan Indonesia harus
didasarkan atas kebudayaan lama dengan nilai-nilai kolektif,
religius, dan menakankan rasa. Kebudayaan lama harus
menjadi pondasi bagi kebudayaan baru Indonesia yang akan
dibangun. Dengan demikian, terjadi kontinuitas kebudayaan
sehingga sesuatu yang akan dibangun menjadi semakin kokoh.
Ketiga, pemikiran yang dikemukakan oleh Soepomo dan
Ki Hajar Dewantoro, yang merupakan kompromi dari dua
pemikiran di atas yakni mengawinkan antara kebudayaan lama
dan baru, antara kebudayaan nasional dan kebudayaan dunia.
Dalam hal ini terjadi kontinuitas sekaligus konvergensi
kebudayaan yang terlibat di dalamnya.
Dari ketiga pemikiran kebudayaan yang bersaing
tersebut, manakah yang dipilih kemudian? Untuk menjawab
pertanyaan itu, marilah kita lihat pemikiran tentang
kebudayaan yang berlangsung dalam generasi berikutnya.
Menarik untuk diperhatikan Surat Kepercayaan Gelanggang ,
di mana para seniman Indonesia menyebut dirinya sebagai
“ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia.” Keindonesiaan
mereka tidak ditentukan oleh ciri-ciri etnik atau warisan
budaya dari masa lampau, melainkan oleh kesatuan dari
berbagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara-suara
yang dilontarkan dari segala sudut dunia, dan dilontarkan

198 – Panji Pahlawan Nusantara


kembali dalam bentuk suara sendiri. Mereka tidak akan melap-
lap kebudayaan lama sampai mengkilat dan untuk dibanggakan
(Rosidi, 1986:85).
Kemudian pada tahapan berikutnya, dalam Manifes
Kebudayaan tahun 1963 para seniman dan cendekiawan
Indonesia berbicara tentang “pendirian, cita-cita, dan politik
kebudayaan nasional.” Tujuan kebudayaan nasional
“mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami
sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-
bangsa.”
Jika diperhatikan, peralihan dari kosmopolitanisme
kebudayaan kepada nasionalisme kebudayaan terasa dalam
kedua dokumen tersebut. Sebaliknya, tidak terjadi peralihan
dari etnisisme/lokalisme kebudayaan kepada nasionalisme
kebudayaan. Dalam strategi politik kebudayaan yang demikian,
pada posisi manakah kebudayaan lama berada? Di manakah
tempat tumbuh dan berkembang cerita Panji maupun lainnya?

D. Problema Kontinuitas
Persoalan yang dihadapi sekarang (seperti yang
dikemukakan Kleden, 1987:161) adalah bagaimana
menghubungkan kebudayaan nasional dengan kebudayaan
daerah, bagaimana mengembangkan relasi dan sikap
kebudayaan nasional terhadap kebudayaan asing? Gagasan Ki
Hadjar Dewantara tentang asas “tri-kon” yang terdiri atas
paham: konsentrisitas, kontinuitas, dan konvergensi barangkali
dapat memberikan jawaban. Konsentrisitas menekankan

199 – Panji Pahlawan Nusantara


adanya suatu pusat (sentrum) dari mana suatu perkembangan
mulai digerakkan. Perkembangan tersebut pada tahap lebih
lanjut akan kembali memperkuat pusat. Kontinuitas mengacu
perkembangan suatu kebudayaan dalam konteks waktu.
Kebudayaan yang ada pada hari ini merupakan kelanjutan dari
masa lampau dan yang akan berlanjut ke masa depan.
Konvergensi menunjuk gerak kebudayaan dalam konteks
ruang. Kebudayaan “nasional” bersama-sama dengan
kebudayaan daerah dan kebudayaan bangsa lain menuju suatu
kebudayaan baru, “kebudayaan Indonesia.”
Bertolak dari ketiga asas tersebut, maka dapat
dirumuskan beberapa dilema strategi kebudayaan yang sudah
dan akan terus dihadapi oleh bangsa Indonesia (Kleden,
1987:162). Pertama, dilema antara konsentrisitas dan
konvergensi, yaitu dilema antara pilihan untuk mengutamakan
kebudayaan nasional/kepribadian bangsa dan kebudayaan
dunia/internasional. Persoalan di sini adalah pilihan untuk
memastikan pendirian dan menegaskan orientasi. Apakah kita
memilih sikap memperkuat kebudayaan nasional dengan
melakukan seleksi dan internalisasi unsur-unsur kebudayaan
internasional demi kepentingan kebudayaan nasional, atau kita
mengangkat dan menyesuaikan kebudayaan nasional dengan
perkembangan internasional, sehingga kebudayaan nasional
dapat disejajarkan dan diintegrasikan dengan kebudayaan
dunia?
Kedua, dilema antara konsentrisitas dan divergensi. Jika
konsentrisitas dan konvergensi merupakan dilema ke luar,

200 – Panji Pahlawan Nusantara


maka konsentrisitas dan divergensi merupakan dilema ke
dalam, berupa masalah antara kebudayaan nasional dan
kebudayaan daerah. Problem yang dihadapi dalam konteks ini
adalah bagaimana kita mengembangkan kebudayaan nasional
yang tidak mematikan kebudayaan daerah? Bagaimana
memberi kesempatan kebudayaan daerah yang tidak
menghalangi terbentuknya kebudayaan nasional? Sebagai
contoh jika bahasa Indonesia mendapat perhatian penuh
sebagai bahasa ilmu dan teknologi serta sebagai bahasa
kebudayaan dan seni, maka di manakah posisi bahasa daerah
agar dapat berkembang sebagai local genius. Demikian pula
masuknya televisi ke pelosok pedesaan menjadi counter
cultural dan semakin mengurangi waktu orang untuk
menceritakan babat atau menyanyikan tembang.
Ketiga, dilema antara konsentrisitas dan kontinuitas.
Dalam konteks ini, konsentrisitas menyebabkan bahwa masa
lampau dan masa depan bertemu dalam masa kini. Sebaliknya,
kontinuitas membuka kembali masa kini, baik ke masa depan
maupun ke masa lampau. Implikasinya bahwa kepentingan
masa kini tidak senantiasa menjadi kepentingan mutlak.
Bagaimana membela kepentingan masa kini tanpa menutup
dialektik dengan masa lampau dan masa depan. Sebaliknya,
bagaimana kita menyelamatkan masa depan tanpa
mengorbankan masa kini.

E. Simpulan

201 – Panji Pahlawan Nusantara


Mengangkat kembali Panji sebagai sebuah identitas
budaya membutuhkan strategi kebudayaan relevan. Kehadiran
budaya sanding dan budaya tanding di dalam pergumulan
kompetitif tidaklah mudah untuk diselesaikan. Oleh karena itu,
keterlibatan dan interelasi kekuasaan tiga aktor dominan dalam
menentukan identitas dan strategi kebudayaan menjadi sangat
penting.

DAFTAR PUSTAKA

Anoegrajekti, Novi. 2003. Identitas dan Siasat Perempuan Gandrung dalam


Srinthil Media Perempuan Mutikultural. Jakarta: Desantara.
Anoegrajekti, Novi. 2007. Penari Gandrung dan Gerak Sosial Banyuwangi,
dalam Srinthil Media Perempuan Mutikultural. Jakarta: Desantara.
Castells, Manuel. 1998. The Power of Identity. Oxford: Blackwell.
Castells, Manuel. 2004. The Power of Identity (New Edition). Oxford:
Blackwell.
Fang, Liaw Yoek. 1982. Sejarah Kesusastraan Melayu Klassik. Singapura:
Pustaka Nasional PTE LTD.
Giddens, Anthony. 2003a. Masyarakat Post-Tradisional. Yogyakarta:
IRCiSoD.
Giddens, Anthony. 2003b. Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial.
Pasuruan: Pedati.
Kayam, Umar. 1981. Seni Tradisi Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.
Kenny, Michael. 2004. The Politics of Identity. Cambridge: Polity Press.
Kleden, Iganas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta:
LP3ES.
Kusumah, Siti Dloyana. 1997. Kajian Nilai Budaya Naskah Kuno Sekartaji.
Jakarta: Depdikbud.
Mihardja, Achdiat K. 1977. Polemik Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Murgiyanto, Sal M. dan A.M. Munardi. 1979. Topeng Malang: Pertunjukan
Dramatari Tradisional di Daerah Kabupaten Malang. Jakarta:
Depdikbud.
Rosidi, Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Binacipta.

202 – Panji Pahlawan Nusantara


Supriyanto, Henri dan M. Soleh Adi Pramono. 1997. Drama Tari Wayang
Topeng Malang. Malang: Padepokan Seni Mangun Dharma.
Timoer, Soenarto. 1979. Topeng Dhalang di Jawa Timur. Jakarta:
Depdikbud.
Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang.
Jakarta: Djambatan.

Konstruksi Habitus Jender dalam


Wacana Cerita ”Ande-Ande Lumut”
Oleh
Dr. Lilik Wahyuni, M.Pd.

Abstrak:
Ande-ande Lumut merupakan salah satu bentuk cerita rakyat yang yang
digunakan oleh kelompok dominan untuk menginternalisasi ideologi agar
diterima sebagai suatu kebenaran. Aktivitas kewacanaan cerita Ande-ande
Lumut disikapi sebagai bentuk dinamis praktik internalisasi ideologi jender
yang membentuk habitus jender. Ideologi jender yang terepresentasi dalam
wacana Ande-ande Lumut adalah ideologi patriarki dan ideologi kesetaraan.
Internalisasi idelogi jender dalam wacana Ande-ande Lumut dilakukan
penutur melalui strategi penghalusan sehingga budaya patriarki bisa
diterima sebagai suatu kebenaran.

203 – Panji Pahlawan Nusantara


Kata Kunci: konstruksi, habitus jender, wacana cerita Ande-ande Lumut

ANDE-ande Lumut merupakan salah satu bentuk cerita rakyat


yang dikenal dalam berbagai versi. Versi yang banyak dikenal
adalah versi yang mengaitkan dengan bersatunya kembali
Kerajaan Jenggala dan Kediri.
Sebagai seni rakyat atau folklore, Ande-ande Lumut
merupakan bagian dari budaya yang dalam penampilannya
menggunakan media bahasa. Budaya yang berinteraksi di
dalam seni tersebut akan tampak pada bahasa yang digunakan.
Dikemukakan oleh Hymes bahwa bahasa dan folklor
merupakan aspek-aspek budaya yang secara otomatis menjadi
bagian dari faktor-faktor kehidupan masyarakat pendukungnya
(Hymes, 1973: 128). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa
bahasa merupakan tubuh folklor. Dengan begitu, folklor
merupakan salah satu sarana (objek) penelitian bahasa dalam
kaitannya dengan sosial masyarakatnya (Hymes, 1973: 132).
Sebagai salah satu bentuk kebudayaan, Ande-ande
Lumut memiliki fungsi tertentu bagi masyarakat tuturnya.
Ande-ande Lumut digunakan oleh kelompok dominan untuk
menginternalisasi ideologi agar diterima sebagai suatu
kebenaran. Sebagaimana dikatakan Radeliffle-Brown (dalam
Koentjaraningrat, 1964:68) bahwa fungsi dari unsur-unsur
kebudayaan adalah untuk memelihara keutuhan dan sistematik
struktur sosial.

204 – Panji Pahlawan Nusantara


Sejalan dengan pandangannya terhadap bahasa,
penelitian ini menyikapi ujaran di cerita Ande-ande Lumut
sebagai representasi dari otoritas kelompok dominan. Dalam
kaitannya dengan tindakan sosialnya, Ande-ande Lumut
disikapi sebagai arena konstruksi habitus pelaku yang
menghasilkan tindakan sosial. Aktivitas kewacanaan cerita
Ande-ande Lumut disikapi sebagai bentuk dinamis praktik
internalisasi ideologi jender yang membentuk habitus jender.

Seni sebagai Ekspresi Identitas yang Estetik


Kesenian merupakan identitas budaya yang
diekspresikan secara estetik yang khas. Bagi warga etnis,
identias, dalam hal ini seni, identik dengan eksistensi dari etnik
itu sendiri (Barth, 1988:19; Manuati, 2004; Susanto, 2003:8).
Melalui identitas, suatu etnis tertentu mengomunikasikan
“dirinya” dengan warga etnis lain. Walaupun pada dasarnya
individu yang memiliki identitas, tetapi identitas selalu dilihat
sebagai kelompok sosial di mana individu termasuk di
dalamnya.
Kesenian merupakan salah satu karya budaya yang
mampu menjadi identitas bagi kelompok etnis pendukungnya.
Dalam hal ini, kesenian dipandang sebagai sign (tanda budaya)
(Kleden-Probonegoro, 2003:40; Berger,1984:95). Melalui
budaya dan subbudaya di mana masyarakat berada atau
berpartisipasi, identitas suatu masyarakat dapat dibentuk
(Manuati, 2004:25).

205 – Panji Pahlawan Nusantara


Sebagai tanda budaya, seni mempunyai dua wilayah
pergelaran yakni privat atau lingkungan kelompok etnik dan
publik (antaretnik). Seni yang digelar di ruang publik,
berorientasi pada komuditas (baik politik maupun ekonomi)
selain sebagai eksternalisasi dari budaya etnik dengan
karakteristiknya sendiri. Secara politis berarti seni
dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk kepentingan
tertentu pula.
Sebagai sarana komunikasi, seni dikonstruk oleh budaya
global meskipun tetap membawa budaya lokal. Sebagai
identitas budaya lokal, kesenian (1) menegosiasikan dirinya
dalam arena budaya yang lebih luas di antara budaya sanding
lainnya maupun budaya tanding dengan karakteristik bahasa
dan estetika (2) kesenian merupakan budaya yang “menghidupi
dan dihidupi” pendukungnya, (3) ketika budaya menjadi
industri maka ia mengalami entropi dan parapehernalia.

Bahasa sebagai Praktik Penyusunan Fenomena Sosial


Menurut Bourdieu, hubungan komunikasi antara
pengirim dan penerima dilakukan dengan proses penyusunan
simbol bahasa oleh pengirim dan pembongkaran kode atau
simbol bahasa oleh penerima. Informasi yang dikirimkan oleh
penutur melalui proses penyusunan simbol dapat dipahami oleh
penerima melalui proses pembongkaran dan pemahaman
simbol.
Menurut Bourdieu (1994) hubungan komunikasi tidak
hanya sampai pada proses pertukaran bahasa. Konteks sosial

206 – Panji Pahlawan Nusantara


atau pasar linguistik juga menentukan berhasil tidaknya
pemahaman suatu wacana dari pengirim kepada penerima.
Perbedaan linguistik dalam beberapa cara dapat
mengekspresikan hubungan kekuasaan. Variasi aksen, intonasi,
dan kosakata merefleksikan perbedaan posisi dalam tatanan
sosial. Ujaran individu mempunyai derajat otoritas yang
berbeda. Kata-kata dibebani dengan beban yang tidak sama
bergantung pada siapa yang menuturkannya dan bagaimana
mereka bertutur. Beberapa kata yang diujarkan dalam keadaan
tertentu mempunyai daya dan keyakinan yang tidak sama
dengan jika diujarkan pada tempat yang lalin.
Sebuah wacana juga merupakan kumpulan tanda atau
simbol yang bertujuan untuk dinilai dan diapresiasi atau
bertujuan untuk dipatuhi dan dipercaya. Dipatuhi dan
dipercaya berkaitan dengan otoritas yang ingin dicapai oleh
pelaku sosial. Otoritas ini adalah bentuk kekuasaan tertinggi,
yaitu kekuasaan simbolik. Kekuatan kata atau ucapan bukan
hanya terletak pada kata dan ucapan itu sendiri akan tetapi juga
pada siapa yang mengucapkannya.
Menurut Bourdieu (1991:168) dalam setiap proses
pemroduksian wacana selalu terdapat maksud-maksud yang
tersembunyi di balik simbol-simbol yang digunakan. Sistem
simbolik dapat memenuhi fungsi politiknya, yaitu sebagai
instrumen yang membantu memenuhi hasrat untuk berkuasa.
Kelas yang dominan akan menyebarkan pengaruh-pengaruh
ideologis dengan melegitimasi kebenaran dirinya sendiri.
Sistem simbolik ini diciptakan dan dipergunakan, baik oleh

207 – Panji Pahlawan Nusantara


keseluruhan kelompok ataupun sekumpulan ahli yang memiliki
otonomi di bidang produksi dan reproduksi kekuasaan
simbolik.
Reproduksi dan perubahan pemerolehan makna, dalam
istilah umumnya, merupakan tindak politik. Politik dalam teori
wacana tidak harus dipahami sebagai, misalnya, politik partai.
Sebaliknya, politik merupakan suatu konsep yang luas yang
mengacu pada cara kita senantiasa menyusun fenomena sosial
dengan cara-cara yang meniadakan cara-cara yang lain.
Tindakan merupakan artikulasi yang sifatnya mungkin, yakni,
penetapan sementara makna dalam suatu bidang yang tak bisa
diputuskan dan yang bisa mereproduksi atau mengubah wacana
yang ada dan dengan demikian juga organisasi masyarakat.
Oleh sebab itu, politik tidak hanya merupakan permukaan
yang merefleksikan realitas sosial yang lebih luas, melainkan
organisasi sosial yang merupakan hasil proses politik yang
terus menerus.
Dalam perjuangan antara wacana-wacana tertentu terjadi
proses pengorganisasian masyarakat yang dilakukan oleh para
aktor yang berbeda. Mereka berusaha mempromosikan cara-
cara yang berbeda dalam mengorganisasikan masyarakat.
Kadang, praktik-praktik sosial yang bernuansa kekuasaan
dirasa sebagai hal yang sangat alami sehingga hampir tidak
bisa dikenali bentuk kekuasaannya. Misalnya, laki-laki
merasakan sebagai suatu kewajaran dalam mahami dan
memperlakukan perempuan sebagai suatu kelompok yang
memiliki karakteristik-karakteristik yang berbeda. Tapi ketika

208 – Panji Pahlawan Nusantara


muncul gerakan feminisme baru disadari bahwa selama ini
perempuan dipandang dan diperlakukan sebagai milik laki-laki
yang harus melayani laki-laki dan bertindak sesuai dengan
keinginan laki-laki. Sebagaimana dikatakan Haryatmoko
(2003:17) bahwa upaya menggambarkan dirinya, perempuan
harus menoleh pada laki-laki untuk bisa menemukan kata yang
tepat dan disetujui. Hampir semua iklan produk kecantikan,
pakaian, perlengkapan perempuan, selalu diukur
keberhasilannya dari kemampuan pemakainya memikat laki-
laki. Untuk menyebut bagian-bagian dari tubuhnya, perempuan
memakai kata-kata yang dipilih oleh laki-laki. Penguasaan atas
wacana menjadikan dominasi laki-laki seakan-akan sebagai
sesuatu yang alamiah dan bisa diterima. Bahkan situasi yang
paling menyiksa dan tidak bisa ditoleransi pun bisa tampak
wajar. Seorang perempuan rela menganggung malu dan tidak
mau mengungkapkan nama kekasih yang menghamilinya
supaya nama baik dan karier laki-laki itu tidak ternodai.
Dengan begitu, dominasi laki-laki tersebut sebenarnya
merupakan kekerasan, yang oleh Bourdieu disebut dengan
“kekerasan simbolis” atau kekerasan yang tak kasat mata.
Wacana-wacana yang ditetapkan secara ketat sehingga
dirasa sebagai suatu kewajaran dalam teori wacana disebut
bersifat objektif. Dengan begitu, objekvitas merupakan hasil
historis perjuangan dan proses politik. Objektivitas merupakan
wacana yang terendapkan yang selanjutnya diterima sebagai
nilai. Wacana yang menjadi nilai tersebut selanjutnya
mendominasi pasar dalam praktik sosial.

209 – Panji Pahlawan Nusantara


Pada saat satu bahasa menjadi wacana yang
mendominasi pasar, ia menjadi norma yang diterima
kebenarannya. Harga, nilai, bahkan makna wacana-wacana lain
ditentukan oleh doxa. Dunia sosial penuh dengan doxa yaitu
wacana yang diterima begitu saja sebagai kebenaran dan tidak
pernah lagi dipertanyakan sebab-sebabnya, apalagi
kebenarannya.
Dunia sosial sebagai arena pertarungan terus bergerak
dinamis. Wacana-wacana yang terpinggirkan akan terus
berusaha untuk menghancurkan tatanan doxa dan siap-siap
mengambil posisinya. Dalam upaya menghancurkan doxa
terjadi pertarungan antara wacana yang bertentangan dengan
doxa (heterodoxa) dan wacana yang terus berusaha
mempertahankan doxa (orthodoxa). Doxa biasanya didukung
oleh kelompok sosial yang dominan dan berkuasa yang
menikmati status quo. Oleh karena itu, biasanya mereka akan
mempertahankan dengan segala cara, karena mereka
diuntungkan oleh doxa tersebut.
Dalam kaitannya dengan wacana patriarki, ketika
perempuan masuk dalam dinamika wacana laki-laki, dia harus
tunduk dalam kategori-kategori yang telah ditetapkan laki-laki.
Bila perempuan menetapkan skema pemikiran yang merupakan
hasil dominasi, dia sudah kalah sebelum bertanding melawan
laki-laki. Akan tetapi, bila pemikiran dan persepsi perempuan
terstruktur sejalan dengan struktur pemikiran dan persepsi laki-
laki, maka berarti perempuan sudah berada dalam posisi
mengakui dan tunduk terhadap laki-laki karena mereka

210 – Panji Pahlawan Nusantara


menggunakan kosakata dan kategori yang dibangun oleh laki-
laki.
Melihat kenyataan di atas, banyak perempuan yang
terjebak dengan gerakan feminisme yang menuntut kesetaraan
jender. Kesetaraan jender yang diartikan sebagai tututan akan
pemenuhan hak-hak yang sama justru akan menjebak
perempuan dalam logika wacana laki-laki. Dikatakan terjebak
karena perempuan menggunakan perbendaharaan kata dan
kategori yang merupakan bagian dari dunia laki-laki.
Penggunaan asumsi yang biasa digunakan laki-laki seperti “hak
bukan anugerah, tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan” dan
“perjuangan adalah agresivitas, yakni suatu bentuk superioritas
fisik” justru memberikan pembenaran kepada laki-laki untuk
menentukan hukum dan memberlakukannya.
Cara yang seharusnya dilakukan perempuan dalam
menuntut kesetaraan jender adalah dengan membangun wacana
baru yang mampu membongkar institusi-institusi sosial yang
dibangun oleh laki-laki. Pembongkaran perlu dilakukan karena
ketika mendefinisikan peran-peran dalam institusi-institusi
sosial itu kriteria yang dipakai selama ini disesuaikan dengan
nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan laki-laki. Meskipun
banyak yang mengatakan bahwa suatu profesi atau institusi
sosial netral dari perspektif jender, kenyataannya adalah laki-
laki mempunyai kesempatan lebih banyak daripada perempuan.
Sekarang ini banyak institusi yang terbuka bagi perempuan,
akan tetapi keputusan utama lebih banyak pada perempuan.
Bahkan ironisnya, ketidak-percayaan terhadap perempuan

211 – Panji Pahlawan Nusantara


sebagai pengambil keputusan tidak hanya dilakukan oleh laki-
laki akan tetapi juga oleh perempuan. Untuk mencalonkan diri
sebagai pemimpin, perempuan seringkali tidak punya
keberanian. Kalaupun punya, seringkali ada pandangan tidak
percaya baik dari laki-laki maupun perempuan lainnya. Bahkan
kalaupun akhirnya dipercaya menjadi seorang pemimpin,
perempuan sering kali diuji oleh laki-laki dan perempuan.
Keadaan tersebut tentu saja berbeda dengan jika yang
mencalonkan diri menjadi seorang pemimpin adalah laki-laki.

Praktik Konstruksi Habitus Jender dalam Wacana Ande-


ande Lumut
Dalam kaitannya dengan praktik kewacanaan, habitus
jender dikonstruks oleh ideologi kelompok dominan, dalam hal
ini budaya patriarki. Habitus jender merupakan hasil
internalisasi dalam bentuk pemikiran, persepsi, dan penalaran
masyarakat terhadap kaidah bahasa laki-laki sebagai kelompok
dominan dan perempuan sebagai kelompok subordinat.
Pemikiran, persepsi, dan penalaran tersebut dipengaruhi oleh
konteks sosial budaya patriarki yang menempatkan laki-laki
dalam posisi dominan dan perempuan dalam posisi subordinat.
Pengalaman diperlakukan secara berbeda oleh budaya patriarki
membentuk sikap laki-laki dan perempuan dengan derajat yang
berbeda . Ideologi jender dan internalisasi ideologi jender
sebagai praktik internalisasi habitus jender tersebut dapat
dipaparkan sebagai berikut.

212 – Panji Pahlawan Nusantara


Ideologi Jender dalam Wacana Ande-ande Lumut
Dalam kajian ini, laki-laki dan perempuan ditempatkan
sebagai subjek sosial. Melalui praktik kewacanaan yang
kompleks, mereka mengkonstruk kesadaran ideologis melalui
proses negosiasi dalam wacana. Dalam proses dialektik
negosiasi, makna diproduksi dan direproduksi oleh penutur dan
mitra tutur. Ideologi ini merupakan faktor moral karena tindak
yang dilakukan laki-laki dan perempuan sesuai dengan
kesadaran moral yang dimilikinya. Ideologi yang terepresentasi
dalam wacana Ande-ande Lumut adalah laki-laki sebagai
pemilik perempuan, laki-laki sebagai pelindung perempuan,
dan laki-laki sebagai pengambil keputusan.

Ideologi Patriarki
Sebagai wacana doxa, wacana Ande-ande Lumut
merepresentasikan ideologi patriarki. Dalam wacana ini, laki-
laki ditempatkan sebagai “diri” yang harus bertanggung jawab
terhadap perempuan. Bahasa dalam wacana Ande-ande Lumut
digunakan untuk mengkonstruk habitus masyarakat agar
menerima ideologi patriarki sebagai suatu kebenaran. Laki-laki
ditempatkan dalam posisi dominan dengan segala otoritasnya
dan perempuan dalam kelompok subordinat tanpa otoritas.
Laki-laki ditempatkan sebagai diri yang ideal dan sempurna,
karena memiliki sifat luhur, seperti berani, pemurah, dan setia
sebagaimana dapat dilihat pada data berikut.

Adhuh, Ibu, Ibu sampun meksa


Kang putra taksih dereng kersa

213 – Panji Pahlawan Nusantara


Amargi putra taksih nandhang asmara

Adhuh, Ibu, kula inggih purun


Kang putra inggih badhe mudhun
Nadyan ala punika kang putra suwun

Ibu:
Piye to ngger kowe kuwi
sing ayu-ayu ora gelem
malah sing ala kok ditampa
ki piye to ngger

Ande Ande Lumut:


Oh.. inggih..
Sejatosipun pun Kleting Kuning punika
inggih garwa kula
Piyambakipun Dewi Sekartaji ibu

Dari data di atas dapat dilihat sifat luhur laki-laki yang


berusaha untuk memperjuangkan miliknya. Melalui ujaran
“Sejatosipun pun Kleting Kuning punika inggih garwa kula”,
dapat dilihat perjuangan Raden Panji untuk mempertahankan
perempuan yang menjadi miliknya. Dalam pencariannya, laki-
laki menunjukkan kesetiaannya melalui penghadiran fakta
bahwa dirinya tidak tergoda oleh perempuan lain. Meskipun
banyak perempuan cantik yang datang kepadanya, laki-laki
tetap setia dengan istrinya sebagaimana dapat dilihat pada
ujaran “Piye to ngger kowe kuwi, sing ayu-ayu ora gelem
malah sing ala kok ditampa”.

214 – Panji Pahlawan Nusantara


Dalam cerita Ande-ande Lumut juga dapat kesetian laki-
laki terhadap perempuan yang menjadi istrinya. Karena
kesetiaannya, laki-laki rela meninggalkan kekuasaan dan
segala bentuk kemewahan yang dimilikinya. Melalui ujaran
“Amargi putra taksih nandhang asmara” dapat dilihat diri laki-
laki yang tidak tergoda oleh perempuan lain karena masih
mencintai istrinya.
Sebagai wacana doxa, dalam wacana Ande-ande Lumut
juga dapat dilihat diri laki-laki yang menjadi penentu norma
sosial. Sebagaimana dapat dilihat pada ujaran “Kang putra
taksih dereng kersa” dan “Kang putra inggih badhe mudhun”,
dapat dilihat praktik konstruksi persepsi, pemahaman,
penghargaan, dan pengevaluasian laki-laki agar berani
mengambil keputusan. Laki-laki cenderung diposisikan sebagai
penguasa pada arena publik. Menggunaan skema tentang
“kekuasaan” merujuk pada kondisi psikologis yang
menyenangkan digunakan untuk mempengaruhi laki-laki agar
mempertahankan dominasi dengan melestarikan posisi dirinya
sebagai pemimpin.
Melalui cerita di atas juga dapat dilihat sikap ambivalen
laki-laki. Pengalaman hidup dalam budaya patriarki yang
menempatkan laki-laki dalam kelompok penguasa dengan
segala otoritasnya dan perempuan dalam kelompok subordinat
tanpa otoritas serta pengetahuan akan adanya gerakan
feminisme yang menuntut kesetaraan laki-laki dan perempuan
menyebabkan laki-laki bersikap ambivalen. Di satu sisi, laki-
laki menghargai peran publik pada perempuan yang

215 – Panji Pahlawan Nusantara


ditunjukkan dengan pemberian kesempatan kepada perempuan
untuk melamar laki-laki. Di sisi lain, laki-laki cenderung
mempertahankan posisinya sebagai kelompok yang paling
unggul, paling tinggi, dan paling hebat di arena publik yang
ditunjukkan melalui penghadiran fakta bahwa laki-laki tidak
menyukai perempuan yang bersikap asusila.

Ideologi Kesetaraan
Wacana Ande-ande Lumut merepresentasikan ideologi
kesetaraan yang menempatkan laki-laki dan perempuan dalam
posisi setara. Dalam wacana ini, perempuan diberi kesempatan
yang setara dengan laki-laki. Sebagaimana laki-laki,
perempuan juga diberi kesempatan untuk mengungkapkan
dirinya sebagaimana dilihat pada data berikut.

Putraku si Andhe Andhe Andhe Lumut


Temuruna ana putri kang unggah-unggahi
Putrine, ngger, sing ayu rupane
Klenthing Abang iku kang dadi asmane

Dari data di atas dapat dilihat diri perempuan yang berani


mengungkapkan rasa cintanya bahkan melamar (unggah-
unggahi) laki-laki yang dicintainya. Melalui ujaran “Temuruna
ana putri kang unggah-unggahi”, dapat dilihat perjuangan
perempuan untuk mendapatkan laki-laki yang dicintainya.
Dalam budaya patriarki, laki-laki merupakan penentu
pasangan. Akan tetapi, dalam wacana Ande-ande Lumut dapat
dilihat bahwa perempuan juga mempunyai hak untuk

216 – Panji Pahlawan Nusantara


menentukan pasangan. Melalui fakta di atas dapat dilihat
bahwa perempuan tidak lagi bersikap inferior akan tetapi sudah
bersikap superior.
Untuk mencapai tujuannya, perempuan menyingkirkan
semua penghalang. Akan tetapi, perjuangan perempuan masih
terlihat emosional sebagaimana dapat dilihat pada diri
perempuan yang merelakan dirinya untuk “dicium” oleh Yuyu
Kangkang asal bisa menyeberangi sungai tersebut.
Melalui cerita di atas, penutur mengkonstruk sikap
ambivalen perempuan. Di satu sisi, perempuan ditempatkan
sebagai pekerja keras yang dibuktikan dengan keberanian
mereka melamar Ande-ande Lumut. Di sisi lain, perempuan
ditempatkan sebagai pekerja yang kurang hati-hati karena
mereka tidak memikirkan efek samping dari perbuatannya
(efek dari ciuman Yuyu Kangkang).

Internalisasi Ideologi dalam Wacana Ande-ande Lumut


Internalisasi ideologi dalam wacana Ande-ande Lumut
merepresentasikan pergerakan ideologi yang bersifat dinamis.
Ideologi patriarki dan ideologi kesetaraan saling berebut untuk
menjadi doxa. Kelompok orthodoxa yang menikmati status quo
berusaha keras mempertahankan doxa.
Bahasa dalam cerita Ande-ande Lumut dikaji sesuai
dengan konteks atau berdasarkan kesempatan (occasioned).
Wacana Ande-ande Lumut disikapi sebagai media kelompok
dominan menginternalisasi habitus jender sesuai dengan
ideologi mereka. Dalam aktivitas kewacanaan tersebut, publik

217 – Panji Pahlawan Nusantara


melakukan pemrosesan batin terhadap informasi yang
diperoleh dari arena sosial, selanjutnya diinternalisasi menjadi
sikap dan pola pikir laki-laki dan perempuan.
Praktik pemertahanan ideologi patriarki tersebut berjalan
secara halus dan dipandang sebagai suatu kebenaran oleh
semua pihak. Agar tidak diketahui tujuannya, pencerita
menggunakan strategi penghalusan untuk “memaksa”
kelompok lain agar mematuhi kaidah yang ditanamkannya .
Strategi penghalusan dilakukan oleh pelaku konstruksi jender
untuk membuat bentuk kekerasan simbolik menjadi tidak
tampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dipilih
secara “tak sadar” . Dampaknya, perempuan secara tidak sadar
masuk dalam logika laki-laki yaitu merelakan dirinya menjadi
objek bagi laki-laki. Dengan dasar untuk mendapatkan haknya,
perempuan merelakan dirinya mengikuti sayembara yang
diselenggarakan laki-laki. Bahkan dalam upaya memenangkan
sayembara, perempuan menghalalkan segala cara. Perempuan
juga terjebak dalam agresivitas laki-laki sebagaimana dapat
dari diri klenting kuning yang melakukan penyerangan dengan
kekerasan terhadap Yuyu Kangkang yang menghalangi
usahanya.
Dalam kaitannya dengan wacana patriarki, perempuan
dalam wacana Ande-ande Lumut masuk dalam ideologi
patriarki. Kebiasaan berada pada posisi subordinat
menyebabkan perempuan dengan sukarela menuruti kemauan
laki-laki. Hal itu dapat dilihat dalam cerita tentang para
klenting, kecuali klenting kuning, yang tunduk pada kategori

218 – Panji Pahlawan Nusantara


laki-laki, yakni bersedia ditolong laki-laki dengan imbalan
“ciuman”. Perempuan masih menempatkan dirinya sebagai
objek pemuas nafsu laki-laki. Kebebasan perjuangan
perempuan telah menyebabkan mereka tunduk dalam kategori-
kategori yang telah ditetapkan laki-laki.
Sebagaimana dapat dilihat pada ujaran “Adhuh, Ibu, kula
mboten purun”, “Adhuh, Ibu, Ibu sampun meksa”, dan
“Adhuh, Ibu, kula inggih purun” dapat dilihat diri laki-laki
yang tidak mau diatur oleh orang lain. Pola pikir laki-laki
tersebut sejalan dengan struktur pemikiran dan persepsi laki-
laki yang mempertahankan superioritas fisik. Sebagai bentukan
budaya patriarki, laki-laki tidak mau tunduk terhadap
perempuan. Meskipun tampak menempatkan perempuan dalam
posisi setara, laki-laki tetap mempertahankan dominasinya.
Praktik internalisasi melalui wacana Ande-ande Lumut
mengkonstruk sikap ambivalen laki-laki dan perempuan. Di
satu sisi, perempuan ditempatkan sebagai pekerja keras yang
dibuktikan dengan keberanian mereka melamar (unggah-
unggahi) Ande-ande Lumut. Di sisi lain, perempuan
ditempatkan sebagai pekerja yang kurang hati-hati karena
mereka tidak memikirkan efek samping dari perbuatannya
(efek dari ciuman Yuyu Kangkang).
Melalui cerita di atas juga dapat dilihat sikap ambivalen
laki-laki. Pengalaman hidup dalam budaya patriarki yang
menempatkan laki-laki dalam kelompok penguasa dengan
segala otoritasnya dan perempuan dalam kelompok subordinat
tanpa otoritas serta pengetahuan akan adanya gerakan

219 – Panji Pahlawan Nusantara


feminisme yang menuntut kesetaraan laki-laki dan perempuan
menyebabkan laki-laki bersikap ambivalen. Di satu sisi, laki-
laki menghargai peran publik pada perempuan yang
ditunjukkan dengan pemberian kesempatan kepada perempuan
untuk melamar laki-laki. Di sisi lain, laki-laki cenderung
mempertahankan posisinya sebagai kelompok yang paling
unggul, paling tinggi, dan paling hebat di arena publik yang
ditunjukkan melalui penghadiran fakta bahwa laki-laki tidak
menyukai perempuan yang bersikap asusila.
Wacana Ande-ande Lumut merepresentasikan fakta
bahwa bahasa yang digunakan pencerita merupakan media dan
wadah kegiatan interaksi yang mempunyai struktur yang khas
sesuai dengan kekhasan struktur dan fungsi sosial pemakainya.
Dengan demikian, pemakaian bahasa dalam komunikasi dalam
wacana Ande-ande Lumut tidak bersifat pasif-statis tetapi
bersifat aktif-dinamis. Maksudnya yaitu bentuk tuturan yang
digunakan pencerita merupakan wujud kedinamisan tingkah
laku masyarakat. Perilaku tersebut dipengaruhi oleh latar
belakang sosial. Tuturan seseorang selalu berubah sesuai
dengan latar belakang sosial yang mempengaruhinya. Dengan
kata lain, tuturan yang dibuat oleh penutur bergantung pada
konteks dan situasi tuturannya.

Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan
sebagai berikut:

220 – Panji Pahlawan Nusantara


1) Ideologi yang tergambar dalam wacana Ande-ande
Lumut adalah ideologi patriarki dan ideologi kesetaraan.
2) Internalisasi ideologi dilakukan penutur melalui
strategi penghalusan sehingga budaya patriarki bisa diterima
sebagai suatu kebenaran.

Saran
Berdasarkan kajian ini diharapkan agar masyarakat
mampu memanfaatkan cerita Ande-ande Lumut untuk
meningkatkan pola pikir multikultural masyarakat. Melalui
wacana Ande-ande Lumut diinternalisasi budaya komunikasi
multiarah dan dialogis sehingga memperbesar peluang
masyarakat untuk mengaktualkan diri masing-masing. Melalui
cara tersebut diharapkan terjadi relasi positif antara laki-laki
dan perempuan.

DAFTAR RUJUKAN

Berger, Peter L., Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan:
Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Bourdieu, Pierre. 1994. Language and Symbolic Power. Cambridge,
Massachusetts: Harvard University Press.
Brooks, A. 2005. Posfeminisme & Cultural Studies: Sebuah Pengantar
Paling Komprehensif. Diterjemahkan oleh s. Kunto Adi Wibowo.
Yogyakarta: Jalasutra.
Coates, J. 1991. Women, Men, and Language: A Sociolinguistic account of
Sex Differences in Language. London: Longman.
Fairclough, N. 1989. Language and Power. New York: Longman.
Fairclough, N. 1992. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity
Press.

221 – Panji Pahlawan Nusantara


Fairclough, N. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of
Language. London and New York: Longman.
Foucault, M. 2000. Seks & Kekuasaan: Sejarah Seksualitas. Jakarta:
Gramedia.
Haryatmoko. 2003. Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa dalam
BASIS No. 11—12 Desember 2003.
Kuntjara, E. 2003. Gender, Bahasa dan Kekuasaan. Jakarta: PT. BPK
Gunung Mulia.
Kusumah, Siti Dloyana. 1997. Kajian Nilai Budaya Naskah Kuno Sekartaji.
Jakarta: Depdikbud.
Murgiyanto, Sal M. dan A.M. Munardi. 1979. Topeng Malang: Pertunjukan
Dramatari Tradisional di Daerah Kabupaten Malang. Jakarta:
Depdikbud.
Remlinger, K. 1999. Widening the Lens of Language and Gender Research:
Integrating Critical Discourse Analysis and Cultural Practice
Theory. Linguistik Online, 2 No 1, (http://www.linguistik-
online.de/heft1 99/remlinger.hatm diakses 17 Februari 2005.
Ritzer, G. 2000. Sociological Theory. United States: The McGraw-Hill
Companies House.
Ritzer, G and Douglas J. Gordon. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:
Prenada Media.
Rusdiarti, S. R. 2003. Bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan, dalam
BASIS No. 11—12 Desember 2003.
Supriyanto, Henri dan M. Soleh Adi Pramono. 1997. Drama Tari Wayang
Topeng Malang. Malang: Padepokan Seni Mangun Dharma.
Titscher dkk. 2000. Methods of Text and Discourse Analysis. London: Sage
Publications.
Timoer, Soenarto. 1979. Topeng Dhalang di Jawa Timur. Jakarta:
Depdikbud.
Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang.
Jakarta: Djambatan.

222 – Panji Pahlawan Nusantara


Sendratari Topeng Berlakon Panji
Masa Majapahit
Rakitan dan Fungsi dalam Konteks Sosio-Budaya
Keraton dan Luar-Keraton

Oleh
Drs. M. Dwi Cahyono, M.Hum
(Universitas Negeri Malang)

Abstrak:
Tari dan sendratari topeng telah meniti perjalanan panjang sejarahnya,
setidaknya telah ada semenjak pemerintahan raja Balitung (X Masehi).
Mulanya sendratari berproperti topeng membawakan cerita asing
Ramayana dan Mahabharata asal India. Dalam perkembangannya, cerita-
cerita lokal Jawa juga dijadikan sebagai lakon, yang diantaranya adalah
cerita Panji. Javanisasi dalam berbagai aspek budaya sejak masa kerajaan
Singhasari dan kian menguat pada masa keemasan Majapahit, turut melatari
dijadikannya cerita Panji sebagai lakon sendra-tari topeng, khususnya
dalam gambuh dan raket lalangkaran. Sendratari topeng berlakon Panji
merupakan perwujudan dari transformasi cerita Panji, dari susastra lisan ke
susastra literal,dan kemudian diekspresikan ke media lain dalam bentuk
seni pertunjukan. Popularitasnya di masyarakat Jawa menjadikannya
banyak diminati, bukan hanya oleh warga budaya di luar keraton, namun
digemari pula oleh warga keraton. Sendratari topeng berlakon Panji
dipentaskan dalam sejumlah hajat untuk berbagai kepentingan, sehingga
kala itu telah terdapat beragam fungsi yang diemban atas panyajiannya,
baik fungsi rekreatif, ekonomis, religis maupun politis. Untuk bisa
memenuhi ragam fungsi itu, maka sejumlah komponen seni pertunjukan,
seperti pemain, waditra dan musisi pengiring, pentas, lakon, penonton dan

223 – Panji Pahlawan Nusantara


penyelanggara pertunjukan dirakit sedemikian rupa sebagai suatu entitas
yang mampu menghadirkan karya seni yang layak saji, menarik dan
bermakna.

Kata-kata Kunci: Sendra-tari topeng, Lakon Panji, Rakitan, Fungsi, Sosio-


budayaKeraton dan Luar Keraton

A. Prolog
Untuk kali ketiga semenjak tahun 2008, “Budaya Panji”
diusung sebagai tema sentral dalam seminar bertaraf
internasional di Jawa Timur. Seminar-seminar tersebut adalah
salah sebuah komponen integral untuk serangkaian upaya
untuk mengingatkan kembali (rememory) pada khasanah
budaya Panji, yang semenjak pasca kemerdekaan RI perlahan
kian dilupa orang, tidak terkecuali oleh orang Jawa sendiri
yang sejatinya justru adalah pemangku utamanya. Lewat forum
seminar ini, dan simultan dengan itu dipentaskan ragam seni
pertunjukan berlakon Panji, studi ekskursi ke situs arkeologi
yang memuat jejak budaya Panji, penerbitan buku tentang
aspek-aspek budaya Panji dan upaya-upaya lain yang sejalan,
kesemuanya itu adalah wujud ikhtiar dari manusia masa kini
untuk tak sekedar mengingatnya kembali.
Lebih dari itu dimaksudkan untuk merevitalisasikan dan
mentransformasikannya ke dalam konteks budaya masa kini
dan masa datang guna memetik makna dan teladan
daripadanya. Berbagai aktivitas budaya yang berpayung
“Festival Budaya Panji” itu apabila secara intensif digarap dari
tahun ke tahun, niscaya akan menjadikan Panji dan berbagai
aspeknya yang menyejarah di Jawa bahkan berpengaruh luas di

224 – Panji Pahlawan Nusantara


daratan Asia Tenggara bakal menguat sebagai ikon budaya
Jawa Timur, terlebih bila mengingat bahwa Jawa Timur
merupakan panggung sejarahnya.
Makalah partisipan dalam “Seminar Internasional
Budaya Panji” (Malang, 23 Mei 2010)” ini mengusung pokok
telaah mengenai seni pertunjukan (performing arts) jenis
sendratari, yang para pelakonnya mengenakan topeng serta
membawakan lakon Panji. Pada masa sekarang seni-drama
(sendra) tari topeng berlakon Panji masih eksis di Jawa ataupun
di Bali. Malahan, secara ajeg topeng dalang Malangan
membawakan lakon Panji pada setiap pementasannya. Hanya
saja, yang ditelaah di dalam tulisan ini bukanlah sendratari
topeng berlakon Panji pada masa kini, namun hasil
perunutannya pada masa lalu.
Tulisan ini dengan demikian adalah kajian historis
mengenai sendratari topeng Jawa berlakon Panji, khususnya
pada masa pemerintahan Majapahit (XIV- XVI Masehi)
berdasarkan ungkapan data epigrafis, filologis serta
komplemantasi dari data arkeologis. Apa yang diharapkan
dapat diperoleh dari telaah ini adalah pembukti bahwa
sendratari topeng Jawa berlakon Panji memiliki akar sejarah
panjang, setidak-tidaknya semenjak masa Majapahit. Bila
benar demikian, berarti keberadaannya terus bersinambung
hingga kini, dan bukan tidak mungkin prospektif untuk masa
datang.
Secara lebih khusus sendratari topeng berlakon Panji
masa Majapahit itu akan ditelaah perihal rakitan dan fungsinya.

225 – Panji Pahlawan Nusantara


Sebagai suatu karya seni yang dipresentasikan di hadapan
khalayak penonton, seni pertunjukan ini dirakit sedemikian
rupa, dengan melibatkan sejumlah komponen seperti penari,
pemusik, lakon, pentas, penonton dan fasilitator pementasan.
Pada sisi lain penyajiannya bukanlah tanpa maksud, melainkan
dimaksudkan untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu. Oleh
karenanya dapat dikatakan bahwa ada fungsi-fungsi tertentu
atas pementasannya. Rakitan dan ragam fungsinya tak bisa
dilepaskan dari konteks sosio-budaya padamana ia hadir, yang
dalam konteks kemonarkhian Jawa masa lampau dapat
dikategorikan ke dalam konteks sosio-budaya keraton dan luar-
keraton. Di balik adanya persamaan pokok diantaranya, pada
kedua konteks yang berlainan itu sendra-tari topeng berlakon
Panji amat boleh jadi memiliki detail bentuk sajian (rakitan)
maupun fungsi yang juga berlainan. Untuk itulah, maka
keberadaannya dalam seni pentas perlu didudukkan secara
kontekstual.
Untuk mengungkapkan rakitan dan fungsi sendratari
topeng Jawa pada masa Majapahit, baik yang tumbuh dan
berkembang di lingkungan keraton ataupun di luar-keraton,
sumber data tekstual berupa prasasti dan susastra amat besar
kontrisbusinya. Sementara sumber data artefaktual hanya
memberikan informasi yang terbatas. Kedua jenis sumber data
itu didayagunakakan seoptimal mungkin sebagai sumber
informasi. Kendati demikian perlu pula disadari bahwa tidak
semua detailnya dapat diungkapkan dengan sama jelas.
Keterbatasan kemampuan ungkap dari masing-masing sumber

226 – Panji Pahlawan Nusantara


data itu, utamanya dilatari oleh sifat kurang menguntungkan
dari seni pertunjukan, yakni “berlalu dalam waktu” atau berada
di luar kelompok “seni awet” (Sedyawati, 1981). Oleh
karenanya, dapat difahami bila data seni pertunjukan masa
lampau yang sampai kepada kita hanyalah “informasi sisa”
(Sedyawati, 1977), yang bukan saja tak lengkap namun acap
fragmentaris.

B. Sejarah Kajian Sendratari Topeng Jawa Berlakon


Panji
Sejauh diketahui tulisan perdana mengenai seni
pertunjukan di Jawa berproperti topeng berasal dari catatan
Scott (1602-1605) – yang dikutip Schrieke (1929), tentang
sendratari topeng raket di keraton Banten berlakon Panji.
Tulisan berikut tentang tari topeng berasal dari Radermacher
dan Hogendrorp (1799). Perihal pertunjukan topeng, baik
sebagai tari murni, sendratari maupun paparan sekilas
mengenai properti topeng tercmaktub dalam buku karya T.S.
Rafflles (1817). Tulisan lain, khususnya mengenai asal-usul
topeng Jawa, antara lain berasal dari Oetaja (1895).
Dikemukakannya bahwa seni topeng Jawa sungguh-sungguh
merupakan pertunjukan asli daerah Jawa Tengah. Pendapat
Oetaja ini sejalan dengan J.L.Brandes (1899), yang
menyatakan bahwa seni pertunjukan topeng adalah pertunjukan
asli Jawa. Pendapat keduanya berbeda dengan Veth (1907),
yang menyatakan bahwa pertunjukan topeng berasal dari
Pasundan dan kemudian dibawa ke Jawa Tengah.

227 – Panji Pahlawan Nusantara


Pendapat Veth pada alinea di atas dalam telaah pada
bagian lain akan diberikan bantahan, dengan mengemukakan
banyak data tekstual dan artefaktual yang memberi bukti
bahwa seni pertujukan topeng telah ada di Jawa semenjak masa
Hindu-Buddha. Selain data yang berasal dari masa Hindu-
Buddha, sebenarnya tari topeng Jawa juga didapati
informasinya dalam “Serat Cabolang dan Centini” – yang studi
filologisnya dilakukan oleh Th. G. Th. Pigeaud (1933).
Bahkan ada manuskrip Jawa dari keraton Surakarta yang
secara khusus membicarakan tentang topeng, dengan judul
“Kawruh Topeng”. Manuskrp ini pernah dikaji oleh H.H.
Juynboll (1901), dan selanjutnya oleh Koesoemawardaja dan
Reksapraja (1902). Sejalan dengan buki-bukti itu, maka cukup
alasan apabila Pigeaud (1929) dalam hubungan dengan wayang
wong (wayang orang) mengemukakan pendapatnya bahwa seni
pertujukan ini bukanlah tiruan dari wayang kulit, melainkan
merupakan bentuk terpisah, yang berkembang dari wayang
ataupun drama topeng. Tulisan lain yang juga membicakan
tentang teater topeng berasal dari Djajengwinata (1930).
Salah satu bentuk sendratari Jawa yang erat hubungannya
dengan tari topeng adalah sebuah dramatari percintaan, yang
lazim dinamakan “tari kelono”. Tarian ini pernah dibicarakan
oleh Resink dan A.J. Wilken (1924). Salah satu lakon yang
sejak dahulu hingga kini banyak dibawakan dalam sendratari
topeng adalah “Cerita Panji”. Perihal dongeng Panji, W.H.
Rassers (1931) pernah melakukan telaah detail, termasuk
pendapatnya yang menyatakan bahwa dongeng Panji penuh

228 – Panji Pahlawan Nusantara


dengan anasir totemisme dan merupakan seni drama yang
berhubungan dengan ritus inisiasi.
Sejumlah tulisan tentang sendratari topeng dan
khususnya sendratari topeng Jawa dengan lakon Panji yang
dipaparkan oleh para penulis-perintis di atas cenderung
berkisar pada kurun waktu abad XVI hingga sekarang. Paparan
untuk masa yang lebih tua, termasuk pada masa Hindu-
Buddha, masih sangat kurang. Tulisan yang demikian baru
berasal dari Pigeaud (TBG 65 th. 1925), yang pernah
melakukan telusur terhadap sejumlah seni pertunjukan di Jawa
yang berbentuk raket, sori-tekes, wayang, dalang, panjak,
punakawan, banyol, kidung, cantang-balung, amen maupun tari
topeng.
Ada sejumlah sumber data tekstual Hindu-Buddha yang
digunakan sebagai rujukan, seperti Nagarakrtagama, Pararaton,
Tantu Panggelaran dan kitab Calon Arang dan prasasti-
prasasti masa Singhasari. Selain itu ditelusurinya pada sumber
data testual Jawa Baru, seperti Babad Tanah Jawi, Serat
Centini dan Cabolang. Namun demikian, fokus dari tulisannya
tetaplah seni pertujukan yang berkembang abad XIX – ketika
bukunya itu dituliskan.
Demikian pula R.M. Soedarsono (1983). Ia hanya
mengungkap sekilas telusur historis mengenai teater Jawa,
sebagai latar bagi fokus telaahnya untuk wayang wong. Secara
singkat dikemukakan bahwa ada sejumlah seni pertunjukan
Jawa maupun Bali Kuna yang diberitakan di dalam sumber
data tekstual, diantaranya berkenaan dengan sendra-tari topeng

229 – Panji Pahlawan Nusantara


seperti tapukan, raket dan gambuh. Tulisan lain yang secara
khusus menelaah seni pertujukan, tak terkecuali tari dan
sendra-tari topeng pada masa Hindu-Buddha berasal dari M.
Dwi Cahyono (2000) yang bertajuk “Rakitan dan Fungsi Seni
Pertunjukan pada Masyarakat Jawa Kuna abad ke-10 hingga 16
Masehi”.
Untuk menspesifikasikan telaah pada sendratari topeng
Jawa berlakon Panji, khususnya pada masa Majapahit, telaah
ini sengaja dilakukan, agar akar sejarah dari sendratari topeng
Jawa dan drama Panji berbentuk sendratari dapat diungkap
secara lebih jelas. Namun, dengan adanya keterbatasan sumber
data yang dieksplorasi, baik dalam kuantitas maupun
kualitasnya, menyebabkan pengungkapan tentangnya bukan
tak terbatas. Jadi, hanya akan diungkap sebatas data yang
tersedia.

B. Data Sejarah Sendratari Topeng Jawa Berlakon


Panji
Pertunjukan tari, dengan penari mengenakan topeng,
telah berlangsung begitu lama di berbagai belahan dunia.
Malahan, ada pendapat yang menyatakan bahwa tari topeng
telah dikenal sejak jaman Prasejarah. Lukisan dinding goa
(rock painting) di goa prasejarah Altamira (Prancis), yang
menggambarkan seseorang berkepala rusa, ditafsirkankan
sebagai penari bertopeng binatang. Boleh jadi lukisan ini
berhubungan dengan totemisme. Data piktorial demikian
belum dijumpai di sistus-situs Prasejarah Indonesia. Namun

230 – Panji Pahlawan Nusantara


demikian, bukan berarti bahwa topeng belum dikenal di
Indonesia pada jaman Prasejarah. Temuan topeng emas sebagai
penutup muka bagi jasad, yang diketemukan di situs kubur
megalitik Pasir Angin memberi bukti bahwa topeng telah
dikenal, meski belum diketahui dengan pasti apakah kala itu
juga telah dipergunakan sebagai properti tari.
Pada sejumlah warga etnik bersahaja di Nusantara, yang
hingga beberapa dasawarsa lampau masih hidup dalam tataran
pra-aksara, tidak jarang didapati adanya seni pertunjukan yang
mengenakan properti topeng. Kebudayaan mereka tipis atau
bahkan nyaris tidak tersentuh oleh pengaruh budaya India dan
Cina. Hal ini menjadi bukti tak langsung bahwa seni tari,
sendratari ataupun teater topeng bukan tidak mungkin telah
mereka kenal sebelum terjadinya difusi budaya asing
(utamanya India dan Cina) pada masa Hindu-Buddha sejak
permulaan tarikh Masehi. Bila benar demikian, maka tidak
harus tergesa menafsirkan bahwa kesenian berproperti
merupakan hasil difusi budaya asing. Ada indikator bahwa
kesenian itu adalah produk lokal sejak jaman Parasejarah, yang
kemudian dikayakan dari segi bentuk figuratif dan unsur
ceritanya oleh anasir seni asing.
Tidak semua tarian bertopeng mementaskan lakon
tertentu. Bisa jadi ia adalah tari murni yang tak berlakon. Oleh
karenanya, perlu dibedakan antara tari topeng dan sendratari
topeng. Berkenaan dengan sendratari topeng, sudah barang
tentu terdapat berbagai lakon yang ditarikan, dan salah satu
diantaranya adalah lakon Panji. Sebagai suatu sendra-tari, tari

231 – Panji Pahlawan Nusantara


ini pastilah baru muncul setelah kemunculan cerita Panji. Atas
dasar pemikian demikian, maka dalam paparan berikut
dibedakan antara pentarikhan sendratari topeng dan sendratari
topeng berlakon Panji. Untuk hal pertama, dilacak keberadaan
sendratari topeng di Jawa masa Hindu-Buddha, lepas dari
lakon apa yang dipentaskan.
Sedangkan untuk hal kedua, dipaparkan secara khusus
sendratari topeng yang membawakan lakon Panji. Kesejarahan
keduanya berlainan, yang pertama tentu lebih tua daripada
yang kedua, lantaran susastra Panji baru hadir di masyarakat
Jawa pada penghujung masa Hindu-Buddha.

1. Tarikh, Bentuk, Pemanfaatan Tari dan Sendratari


Topeng
Ketika berbicara tentang tarikh, maka urusannya tidak
lepas dari sumber informasi yang menghadirkan keterangan
mengenai waktu bilamanakah suatu hal tumbuh dan
berkembang. Khusus untuk kategori tarikh mutlak (absolud
dating), sumber tekstual memberi kontribusi penting, tidak
terkecuali tarikh mutlak sendra-tari topeng di Jawa. Tarikh
yang tersurat dalam sumber data tekstual tertua mengenai
sendra-tari topeng di Jawa itu tidak harus diartikan bahwa
pementasan sendra-tari topeng baru ada kala itu. Oleh karena,
bisa jadi telah ada jauh sebelumnya, hanya saja peristiwa
pementasannya tidak tercatat pada sumber tekstual atau belum
diabadikan dalam sumber artefaktual.

232 – Panji Pahlawan Nusantara


Seni pertunjukan yang berproperti topeng hadir dalam
bentuk tari dan atau dramatari, yang dapat dibedakan lagi
menjadi: (1) tari yang tidak sepenuhnya mengandung cerita, (2)
tari yang sepenuhnya mengandung cerita. Edi Sedyawati
(1980/81) bahkan mengkategorikannya menjadi tiga, yaitu: (1)
tari sepenuhnya, baik yang tidak ataupun mengandung cerita;
(2) tari yang terpadu dengan unsur-unsur seni lain seperti
dialog, nyanyian ataupun dialog dan nyanyian; serta (3) tari
yang terpadu dengan permainan seperti permainan yang
akrobatik, demonstrasi kekebalan, sulapan atapun dengan dua
atau lebih permainan tersebut.
Untuk kategori ke-2 dari kedua kategorisasi itu, orang
lazim menyebut dengan “dramatari atau seni dramatari
(sendratari)”. Sebagai suatu istilah, sebutan “sendratari” baru
digunakan pada tahun 1960an, yaitu untuk menamai
pementasan tari Ramayana di kompleks Candi Prambanan,
yang berupa tarian tanpa dialog. Terkait dengan kategorisasi
tari itu, seni pertunjukan berproperti topeng bisa hadir baik
sebagai kategori pertama ataupun kategori kedua.
Sumber data tekstual Jawa masa Hindu-Buddha
menyebut tarian yang berproperti topeng dengan beragam
sebutan, yaitu matapuk atau matapukan maupun matapel atau
patapelan. Kata “tapuk” dan “tapel” menunjuk kepada properti
tari yang berupa topeng. Sedangkan istilah “topeng” itu sendiri
baru muncul pada akhir Hindu-Buddha, sebagaimana disebut
dalam Kidung Malat (II.15b). Sayang sekali tak semua
ungkapan tentangnya disertai penjelasan perihal

233 – Panji Pahlawan Nusantara


perwujudannya, apakah berupa tarian yang tak sepenuhnya
mengandung cerita ataukah tarian yang sepenuhnya
mengandung cerita (dramatari). Disamping itu, terdapat
beberapa istilah lain yang juga menunjuk kepada pertunjukan
tari berroperti topeng, seperti “raket, [raket] lalangkara[n],
gambuh, dan amenji-menji (Cahyono, 2000).
Prasasti Alasantan (IV.17-19) bertarikh Saka 861 (939
M) memberitakan bahwa rangkaian acara dalam ritus manusuk
sima di Wanua (Desa) Alasantan disemarakkan oleh tari
topeng (tapukan). Penarinya yang bernama Kampalan
memperoleh imbalan (pasek-pasek) sebesar 2 masa. Semetara
di dalam prasasti Himad (C.16-21) bertarikh Saka 852 (930 M)
disebutkan bahwa penari tapukan yang bernama Wuwub
mendapat imbalan sebesar 4 masa. Informasi ini memberi
petunjuk bahwa telah semenjak dulu dikenal adanya imbalan
bagi jasa seni. Jumlahnya bisa saja berbeda untuk acara yang
sejenis namun di tempat pementasan yang berlainan. Prasasti
lain yang lebih tua, yaitu prasasti Wimalasrama (XI) dari masa
pemerintahan raja Balitung menyatakan bahwa penari topeng
(atapukan) bernama si Jaladi memperoleh pasek-pasek berupa
wdihan 1 hlai (helai) serta pasek pageh sebesar 2 kupang.
Kurang dapat diketahui perihal latar pembedaan jumlah
imbalan yang diberikan kepada penari topeng itu. Apakah
terkait dengan kemampuan dana pihak memberi imbalan
ataukah mendasarkan pada kualitas senimannya. Yang jelas
kala itu sajian tari topeng telah masuk dalam kancah ekonomi
dalam arti luas. Bahkan, prasasti Kamban (Ia.5) bertarikh Saka

234 – Panji Pahlawan Nusantara


893 (971 M) dengan tegas menyatakan bahwa tapukan
merupakan salah satu bidang usaha selain tarimba.
Prasasti Wimalasrama tersebut juga memberi informasi
bahwa pertunjukan topeng (atapukan) dipentaskan di panggung
(stage), sebagaimana diindikatori oleh perkataan “atapukan
pinanggung”. Dalam kitab Brahmandapurana (I) pentas tari
topeng yang berada di kerajaan Bharatawarsa disebut dengan
“patapelan”. Prasasti lain yang juga memberitakan mengenai
seni pertunjukan topeng – dengan sebutan “[m]atapukan”,
adalah prasasti Patakan (B.1) bertarikh Saka 943 (1031 M),
Cane (B.14-15) bertarikh Saka 943, Trun Hyang A (A.28-29)
dari pemerintahan Airlangga, Garaman (IV.A.1-2) bertarih
Saka 975 (1053 M) dan Balawi (VIIB.6) bertarikh Saka 1227
(1305 M). Penyebutan itu dalam konteks profesi yang
disandang oleh kelompok wargga kilalan.
Pementasan tari topeng juga diberitakan dalam sejumlah
susastra. Selain disebut dalam susastra Brahmanadapurana
yang disinggung diatas, kakawin Sumanasantaka (CXXIII.3)
mengkisahkan bahwa tatkala berlangsung pernikahan Aja dan
Indumati, tokoh Aja yang baru memperoleh kemenangan
diibaratkan dengan “tampil kehadapan khalayak seperti
keluarnya tapel yang belum mengenaikan kain’. Hal ini
menyiratkan informasi bahwa salah sebuah properti dalam
tarian topeng adalah kain. Tari topeng (tapel) sebagai
pertunjukan penyemarak pernikahan juga diberitakan dalam
kakawin Kresnayana (XXXII.8), yaitu ketika berlangsung
perkawinan [yang gagal] antara raja Cedi dan Rukmini. Selain

235 – Panji Pahlawan Nusantara


itu dikisahkan dalam kakawin Hariwangsa (XVIII.8), yaitu
menjelang pernikahan Cedi dan Rukmini. Serupa itu, Hikayat
Panji Kuda Semairang menceitakan bahwa ketika berlangsung
pesta pernikahan di keraton Daha, pasangan-pasangan
pengantin diarak berkeliling alon-alon untuk menyaksikan
berbagai pentas yang didirikan, diantaranya pentas tari topeng.
Selain pada upacara perkawinan, sajian tari topeng dihadirkan
pula pada upacara pemakaman. Kidung Sunda (III)
menyatakan bahwa salah sebuah sajian seni pada kremasi jasad
Hayam Wuruk adalah tari topeng (patapelan).
Pemain seni pertunjukan topeng bukan hanya berasal dari
kalangan rakyat jelata, namun tidak tertutup kemungkinan
dimainkan oleh bangsawan, bahkan pejabat tinggi kerajaan.
Kitab gancaran Pararaton (VIII) memberitakan bahwa
manakala maharaja Hayam Wuruk memainkan tari topeng
(anapuk), maka panggilannya adalah “dalang Tritaraju”. Pada
paparan berikut akan banyak diperoleh informasi mengenai
pemain tari dan sendratari topeng yang berasal dari lingkungan
keraton, baik raja, bangsawan hingga abdi dalem. Seni
pertunjukan topeng bukanlah monopoli warga luar-keraton,
namun digemari pula oleh warga lingkungan dalam keraton
(watek/wargga i jro).
Gambaran mengenai suasana pertunjukan manakala
berlangsung pementasan tari topeng diperoleh dalam Kidung
Harswijaya (II.144b), yang memberitakan bahwa penonton
wayang (awayang) dan tari topeng (anapuk) penuh sesak.
Dalam pertujukan topeng, suasana riang bergelak tawa adalah

236 – Panji Pahlawan Nusantara


suasana pertunjukan yang dicoba bangun oleh penyaji seni.
Dalam hubungan itu, Kidung Malat (VIII.162a) memberitakan
bahwa dalang Anteban diminta untuk mempertunjukkan
sendra-tari topeng. Tingkah lakunya berharap dapat sambutan
tawa penonton. Serupa itu, kakawin Sumanasantaka (CXIII.6)
menceritakan bahwa pada pernikahan Aja dan Indumati
dipentaskan tarian topeng yang lucu (pirus-amirus men-men).

2. Tarikh, Bentuk dan Transformasi Sendratari Topeng


Berlakon Panji
Sebelum menelaah sendratari topeng berlakon Panji
terlebih dulu dibicarakan tentang seni-drama Jawa, terlepas
apapun sebutannya, terlepas apakah dipadu dengan tarian
ataukah tidak, dan terlepas apakah mengenakan properti topeng
ataukah tidak. Seletah itu barulah dibicarakan sendratari
topeng, khususnya yang membawakan cerita Panji. Sejauh data
yang sampai ke tangan kita, prasasti Wilasrama (IX.a) dari
masa pemerintahan raja Balitung adalah sumber tekstual tertual
mengenai seni-drama Jawa. Prasasti yang dikeluarkan ketika
kerajaan Mataram masih berpusat di Jawa Tengah ini
memberitakan bahwa seorang pemain wayang wwang (wayang
orang) yang bernama si Randingah mendapat pasek-pesek
berupa wdihan 1 hlai dan pasek pageh 2 kupang (?, ed).
Wayang wwang merupakan bentuk khusus dari teater wayang,
yang dimainkan oleh manusia dan banyak memeragakan gerak
tari, sehingga dapat juga dimasukkan dalam kategori
sendratari. Prasasti ini juga memberitakan bahwa wayang

237 – Panji Pahlawan Nusantara


wwang dimainkan di atas panggung (awayang wwang
pinanggungan). Disamping wayang wwang, pada rangkaian
ritus manusuk sima itu disajikan men-men dan wayang.
Bertindak sebagai dalang adalah si Kapulungan. Sayang sekali
tak diperoleh informasi mengenai lakon apa yang dibawakan
dalam pertunjukan ini.
Perihal lakon wayang wwang, berita tertua didapati
dalam prasasti Wukajana atau Sungsang yang bertarikh Saka
830 (908 M). yaitu pementasan wayang (mawayang) berlakon
“Bima Kumara” yang diekspresikan dengan tarian. Jadi,
semacam wayang wwang yang banyak melibatkan gerak tari.
Seorang pemain yang bernama si Nalu membawakan cerita
sambil menari (mangigal), memerankan tokoh Kicaka
(Naersen, B.K.I. 95 Th. 1937). Apabila mencermati cerita yang
dibawakan, bisa dibilang bahwa prasasti Wukajana adalah
sumber data tertua yang memberitakan tentang pementasan
wiracarita Mahabarata dalam sendra-tari. Sedangkan informasi
pementasan wayang yang menyajikan lakon Ramayana baru
didapati dalam Hikayat Panji Kuda Semirang (Poerbatjaraka,
1968:33-34). Dalam kaitan dengan properti tari yang berupa
topeng, tidak diperoleh informasi apakah pelakon wayang
mengenakan topeng ataukah tidak.
Seni drama di Jawa yang dipentaskan dalam bentuk
teater ataupun seni drama tari menyajikan berbagai cerita
(lakon). Baik lakon yang bersumber pada susastra tulis (literal)
ataupun susastra lisan (oral), khususnya susastra tertentu yang
populer pada masanya. Seiring popularitas wiracarita

238 – Panji Pahlawan Nusantara


Ramayana dan Mahabarata pada masyarakat Jawa Kuna, lakon
yang mulanya dibawakan dalam teater dan dramatari Jawa
adalah lakon yang diambil dari bagian (kanda atau parwa)
tertentu kedua wiracarita tersebut, atau cerita gubahan
(carangan) daripadanya. Sudah barang tentu minat terhadap
seni-drama tidak melulu pada susastra asing Ramayana dan
Mahabarata yang merupakan susastra asal India, namun tak
terkecuali juga pada susastra lokal dengan latar sejarah, sosio-
budaya maupun geografis Jawa semisal cerita Panji, yang pada
masa Majapahit sangat populer di Tanah Jawa dan Bali.
Popularitas cerita adalah pertimbangan utama dalam
mengalihsaji (transformasi) kan cerita dari suatu bentuk
ekspresi ke bentuk ekspresi lain. Cerita populer yang pada
mulanya dituangkan dalam media ekspresi tulisan (literal
story) lantas diekspresikan ke dalam media ekspresi tutur
menjadi susastra lisan (oral story), atau ke dalam media
piktorial berwujudkan relief candi, dan bukan tidak mungkin
ke dalam seni pertunjukan yang berupa sendratari. Berdasarkan
pemikiran demikian, maka sendratari berlakon Mahabarata,
Ramayana ataupun cerita Panji adalah wujud transformasi dari
susastra literal ataupun oral ke dalam seni pertunjukan.
Sejalan dengan transformasi sebagaimana dipaparkan
dalam alinea di atas, sangat boleh jadi sendratari Jawa berlakon
Panji merupakan wujud transformasi cerita Panji, entah cerita
literal ataupun oral mengenai dramatika Panji – ke dalam seni
pertunjukan. Dengan demikian, pastilah sendratari topeng
berlakon Panji itu baru muncul setelah cerita Panji cukup

239 – Panji Pahlawan Nusantara


populer dalam kehidupan budaya Jawa. Terkait dengan itu,
apabila ada pertanyaaan “bilamana mula pertama hadir
sentratari topeng Jawa yang berlakon Panji?” maka
jawabannya adalah setelah cerita-cerita Panji hadir dan menjadi
populer pada masyarakat Jawa. Banyak pendapat menyatakan
bahwa cerita Panji hadir pada masa Majapahit, khususnya masa
keemasan hingga dekadensi Majapahit, yaitu pada pertengahan
abad XIV hingga paro-pertama abad XVI. Prakiraan tarikh
kemunculan dan popularitasnya itu sejalan dengan tarikh
penulisan susastra-susastra yang memuat informasi mengenai
telah adanya sendra-tari topeng di Jawa dengan lakon Panji,
yang kebanyakkan disurat pada masa Majapahit.
Sebagai pembukti tentang itu, berikut dipaparkan
kutipan-kutipan informasi dari sejumlah susastra masa
Majapahit, yang memuat informasi bahwa kala itu sendratari
berlakon Panji telah menjadi seni pentas yang digemari oleh
warga masyarakat Jawa. Dalam kakawin Kresnayana (XXXI.9)
misalnya, diberitakan bahwa pada malam hari jelang rencana
pernikahan Rukmini dan Cedi, para wanita yang menemani
Rukmini di taman sari menyajikan tari topeng berlakon Panji
(amenji-menji). Sajian tarinya amat mengagumkan. Gerak
tangan penari begitu manis dilihat, bagai bunga bakung tertiup
angin. Kakawin Kresnayana adalah susastra gubahan
wiracaraita Mahabarata, buah karya rakawi Mpu Triguna, yang
ditulis semasa pemerintahan Sri Warsajaya. Menurut P.J.
Zoetmulder (1985: 385), raja Sri Warsajaya dapat diidentifikasi
dengan raja yang namanya disebut dalam prasasti Sirah Keting

240 – Panji Pahlawan Nusantara


bertarikh Saka 1126 (1204 M), yaitu Sri Jayawarsa Digwijaya
Sastraprabhu.
Apabila benar amenji-menji adalah sendratari topeng
berlakon Panji, berarti telah ada setidaknya semenjak akhir
pemerintahan Kerajaan Kadiri. Simpulan demikian itu
hendaknya tidak tergesa diambil, sebab pengartian amenji-
menji sebagai suatu sendratari berlakon Panji hanyalah tafsir
istilah, terlebih hingga sejauh ini belum diperoleh satupun
informasi masa lalu –baik prasasti ataupun susastra– yang
tegas menyebut lakon Panji dalam pementasan amenji-menji.
Tafsir yang demikian tidak jauh berbeda dengan tafsir terhadap
istilah “raket”, yang juga menyatakannya sebagai sendratari
topeng berlakon Panji. Berbagai susastra jelas-jelas yang
memberitakan pementasan sendratari berlakon Panji
merupakan susastra yang disurat pada masa pemerintahan
Majapahit, seperti Nagarakretagama (XCI.5), Pararaton (VIII),
Kidung Harsawijaya (VI.91a), Kidung Ranggalawe (IV.56),
Kidung Malat (II.156), Wangbang Wideya (I.59a-68b),
Nawaruci (86.25) maupun Tantri (Kadiri) (I.83b). Hal ini
sejalan dengan fenomena yang terjadi pada seni pahat (relief
cerita dan seni arca) yang menampilkan cerita dan tokoh Panji,
yang hampir seluruhnya berasal pula dari masa Majapahit.
Sebagaimana dikemukanan di atas, istilah lain yang
diprakirakan menunjuk kepada sendratari adalah “raket”.
Secara harafiah, kata “raket” berarti tarian yang pemainnya
mengenakan topeng (Zoetmulder, 1982: 1491). Sejalan dengan
itu, Hazeau (1897), Stutterheim (1933) dan Pigeaud (1938)

241 – Panji Pahlawan Nusantara


menyatakan bahwa istilah ini menunjuk pada pertunjukan
topeng (maskervertoning). Begitu pula C. Holt (1967)
menyatakan bahwa reket adalah tari topeng dalam bentuk
tertentu atau khas, yang menurut Poerbatjaraka (1926) dan
Pigeaud (1962) kekhasannya terletak pada cerita yang
dibawakan, yaitu Calon Arang. Perihal lakon yang dibawakan
dalam raket, berbeda dengan pendapat keduanya, Soedarsono
(1990) menyatakan bahwa yang dibawakan adalah cerita Panji.
Pendapat Soedarsono didukung oleh I Made Bandem (1978)
dan Robson (1971), yang menyatakan bahwa raket adalah
nama lain dari gambuh, yang sejak dulu hingga kini senantiasa
mementaskan cerita Panji. Pendapat terakhir itu sesuai dengan
keterangan Scott (1602-1605), yang memberi hasil pencatatan
bahwa cerita yang dibawakan pada pementasan raket di
keraton Banten adalah cerita Panji.
Pendapat bahwa cerita yang dibawakan dalam raket
senantiasa cerita Panji perlu disikapi dengan hati-hati. Oleh
karena pertunjukan raket sudah disebut di dalam kitab
Adiparwa (195.9), susastra terjemahan dari bahasa Sanskreta
ke bahasa Jawa Kuna pada masa pemerintahan raja
Dhammawamsa Tguh. Selain itu raket juga diberitakan di
dalam prasasti Dinoyo A (12) dari masa pemerintahan Pu
Sindok, yang menyebut “juru ning mangrakat (pemimpin
komunitas seniman raket)” bernama Pataweh yang mendapat
pasek-pasek 1 masa dan wdihan 1 yugala. Sementara itu,
prasasti Dragung atau Pojok (Ia.11-13) bertarikh Saka 1022
(1100 M) menyatakan bahwa pemain raket bernama Sowati

242 – Panji Pahlawan Nusantara


mendapat pasek-pasek 4 masa dan wdihan jenis syani himi-
himi.
Prasasti-prasasti dan sejumlah susastra di atas berasal
dari sebelum pemerintahan kerajaan Jenggala dan Panjalu
(Kadiri), yang menjadi ajang/lokasi tinggal para tokoh cerita
Panji. Ketika itu (abad X-XI M) cerita Panji tentu belum
muncul. Keraguan itu kian menguat karena pertunjukan raket
ternyata telah diberitakan dalam prasasti yang jauh lebih tua,
yaitu prasasti-prasasti raja Balitung, seperti Rongkap (823 Saka
= 901 M) dan Kasugihan (829 Saka = 907 M), yang juga
memuat “juru ning mangrakat”. Atas dasar pertimbangan
tersebut, tidak tertutup kemungkinan bahwa raket – dan juga
amaenji-menji – adalah sendra-tari topeng, namun tak
senantiasa membawakan cerita/ lokon Panji. Boleh jadi, pada
mulanya yang dibawakan bukan cerita Panji, lantas pada masa
yang lebih muda banyak dipentaskan cerita Panji. Bisa juga
terjadi bahwa lakon yang dibawakan pada awal sejarah raket
dan amenji-menji adalah cerita lokal, yang tidak bersumber
kepada Mahabarata dan Ramayana asal India. Bila benar
demikian, berarti ide dasarnya sama dengan pementasan
sendra-tari topeng berlakon Panji.
Sangatlah mungkin bahwa ketika pemerintahan Majaphit
cerita yang dibawakan di dalam raket adalah lakon Panji. Hal
ini dikuatkan oleh pemberitaan dalam kakawin
Nagarakretagama (XCI.4), yang menyatakan bahwa salah satu
sajian pada perhelatan akbar setiap Bulan Caitra adalah raket.
Para penonton dari kalangan rakyat berharap dapat

243 – Panji Pahlawan Nusantara


menyaksikan drama-tari raket, yang antara lain dimainkan oleh
Hayam Wuruk bersama dengan tokoh cerita Shori (seorang
ksatria), penyanyi (gitada), dan delapan orang tekes (putri)
yang cantik-candi serta pantas. Sajian drama-tari (raket,
anraket, atau pangraketan) juga diberitakan dalam susastra lain
masa Majapahit, yaitu Kidung Harsawijaya (VI.91a),
Wangbang Wideya (I.62a) dan Tantri (Kadiri) (I.83b).
Salah sebuah varian raket adalah apa yang disebut “raket
lalangkara”. Wangbang Wideya (I.60a) menunjukkan bahwa
raket lalangkara adalah bentuk baru dari gambuh (Robson,
1971). Hal ini berarti bahwa gambuh telah ada sejak sebelum
adanya raket lalangkara. Adapun gambuh itu sendiri menurut
Bandem (1980/1981) adalah drama-tari yang pada masa lalu
pernah dipentaskan di istana Majapahit dan di Bali dari tahun
1343 hingga abad XVI Masehi. Pendapatnya sejalan dengan
Zoetmuldet (1982:582), yang mengemukakan bahwa gambuh
adalah pertunjukan dramatik yang terdapat di Bali. Sebenarnya
gambuh tidak melulu terdapat di Bali, namun pada masa lalu
pernah pula berkembang luas di Jawa. Perihal ini diberitakan
dalam sejumlah susastra, seperti Kidung Malat (II.15b),
Wangbang Wideya (I.60b, 69a, 82a dan 90a) dan Nawaruci
(86.25). Wangbang Wideya mengkisahkan sajian gambuh yang
dimainkan oleh Panji Wireswara. Busana yang dikenakan oleh
pemain berwarna hitam dan berkain (wastra) pada bagian
bawah tubuhnya.
Ada hubungan erat antara raket lalangkara dan gambuh.
Dalam kaitan itu susastra Nawaruci (86.25) menyebutkan

244 – Panji Pahlawan Nusantara


bahwa penyajian alalangkaran – varian sebutan bagi raket
lalangkaran – didahului oleh penyajian gambuh (anggambuh)
dan resitasi cerita (amacangah). Varian sebutan lainnya, yaitu
“linangkara”, dijumpai di dalam Kidung Ranggalawe (IV.56),
yang menurut Berg (1930) maupun Zoetmulder (1982) adalah
satu bagian dari pertunjukan lalangkaran yang dilakukan oleh
warga dalam keraton.
Wangbang Wideya (I.59a-68b) mengisahkan bahwa
untuk bisa mempertemukan Sang Dewi dan Panji Wireswara,
maka Bayan dan Carang Lengkara mengajukan usul agar Panji
[Wireswara] memainkan raket. Sang Putri pasti tertarik
menyaksikannya, karena para pengikut Panji merupakan
pemain raket yang berbakat. Carang Lengkara berkata kepada
Raden Sanghamatra bahwa Panji Wireswara berniat untuk
memainkan raket lalangkaran. Sang Putri berkomentar bahwa
permainannya amat baik, sehingga ia berlama-lama
menontonnya. Ranggawicitra berkata “.............. kamu
memerankan Kulante, Ajaran Wipraksa memerankan pendeta
guru (dang guru) dan Banyak Sudra memainkan musik
(agamel), Carang Lengkara melawak (anapeteta)”. Dalam
sajian reket lalangkaran ini, raja menduduki singgasananya
yang berlokasi di sebeleh utara pendapa. Ketika Kulante dan
Pendeta guru beraksi saling berolok, maka sontak para
penonton gempar, dan diantaranya berkomentar “..... selama
hidup saya belum pernah menyaksikan raket seperti ini”. Hal
ini adalah berkat kepiawian sang sutradara (sang amawa).

245 – Panji Pahlawan Nusantara


Sayang sekali pemberitaan yang terbilang panjang dalam
kitab Wangbang Wideya itu tidak menyebut lakon apa yang
dibawakannya. Kendati demikian kita memperoleh informasi
berharga, antara lain perihal para pemain dan tokoh perannya,
diantaranya adalah tokoh Kulante, pendeta guru dan pelawak
Informasi lain yang didapat adalah bahwa pertunjukan raket itu
dilangsungkan di lingkungan dalam keraton, dimainkan oleh
warga dalam keraton, dan melibatkan peran sutradara.

C. Rakitan SendraTari Topeng Berlakon Panji Masa


Majapahit
Sebagai sebuah karya seni yang dipertunjukkan di
hadapan khalayak penonton guna memenuhi kepentingan
tertentu, seni pertunjukan tidaklah asal saji. Sebaliknya
dikemas sedemikian rupa dengan jalan mensinergikan
sejumlah komponen kesenian menjadi sebuah entitas kesenian
yang layak saji, menarik dan bermakna. Atau dengan perkataan
lain, ada sejumlah komponen seni yang dengan sengaja dirakit
untuk dapat menghasilkan suatu produk seni. Perakitan dalam
seni pertunjukan adalah hal penting bagi sukses suatu
pementasan seni.
Secara harafiah, istilah “rakit” dan “merakit” berarti
menyusun, menggabung bagian-bagian sehingga dapat
berfungsi (Adiwimarta, 1983). Penyusunan adalah hal penting
dalam perakitan. Terkait itu kata “merakit” bisa juga secara
harafiah diartikan sebagai menyusun atau mengatur dengan
rapi (Poerwadarminta, 1982). Merujuk pada arti istilah itu,

246 – Panji Pahlawan Nusantara


“rakitan seni pertujukan” dapat didefinisikan sebagai segala
tata-wujud pertunjukan maupun penataan yang berkenaan
dengan dimana suatu pertunjukan seni diadakan, dimana
diletakkan para pemain musik, serta dimana para penonton
berada (Sedyawati, 1981). Rentang aktivitas “merakit”
terhitung sejak penggarapan ataupun penataan sejumlah
komponen/bagian pembentuk tata-wujud pertunjukan seni
hingga tata cara penyiapan dalam program pementasan seni.
Suatu seni pertunjukan yang telah dirakit itu selanjutnya
disajikan ke hadapan khalayak penonton, sehingga lahir
penampilan seni pertunjukan. Dalam rangkaian ini, rakitan seni
pertunjukan adalah bagian dari tradisi penampilan. Bagian-
bagian lainnya adalah tata-rupa (tata-penampakan), tata pentas,
penggunaan alat-alat bantu, kostum dan rias wajah (Sedyawati,
1981). Sejumlah komponen seni yang terintegtrasi dalam
pementasan sendratari topeng adalah: (1) penari [yang
sekaligus pelakon cerita], (2) waditra dan musisi pengiring, (3)
properti sendratari topeng, (4) lakon, (5) pentas dan
kelengkapan pentas, serta (6) penonton. Komponen 1 s.d. 5
secara keseluruhan dirakit dan kemudian disajikan ke hadapan
penonton. Terkait dengan komponen-komponen itu, berikut
dipaparkan komponen-komponen sendratari topeng Jawa
berlakon Panji pada masa Majapahit. Mengingat bahwa sumber
data masa lampau tentang itu “bukan tak terbatas”, baik secara
kuantitas ataupun kualitasnya, maka tidak semua komponen
tersebut diperoleh gambarannya dengan sama rinci.

247 – Panji Pahlawan Nusantara


1. Penari dan Sekaligus Pelakon Cerita
Salah satu komponen sendratari topeng yang cukup
banyak diberitakan di dalam sumber data tekstual adalah
pemain, yang dalam hal ini adalah penari dan sekaligus
pelakon cerita. Sejumlah prasasti Jawa, antara lain
Wimalasrama dari pemerintahan Balitung, Himad (930 M) dan
Alasantan (929 M) memuat berita tentang pemain tari topeng
(tapukan, atapukan), yang disertai dengan penyebutan nama
penari dan pasek-pasek (imbalan) atas jasa seni yang diberikan
padanya, Mereka berturut-turut bernama Si Jaladi, Wuwub dan
Kampalan. Serupa dengan itu, sejumlah prasasti lainnya, yaitu
Dinoyo A dari pemerintahan Pu Sindok dan Dragung atau
Pojok (1100 M) menyebut tentang penyaji sendratari topeng
(raket) beserta posisinya di dalam komunitas penari topeng,
nama dan imbalan yang diberikan kepadanya. Berturut-turut
disebut mengenai seseorang dalam posisinya sebagai juru ning
mangrakat dan seorang pemain wanita bernama Sowati.
Menilik nama-nama mereka itu, seperti si Jaladi,
Wuwub, Kampalan dan Sowati, maka amat boleh jadi para
pemain ini berasal dari kalangan rakyat pribumi Jawa, baik
berjenis kelamin pria artaupun wanita. Partikel “si” dalam
sebutan “Si Jaladi”, dengan jelas menunjuk kepada strata sosial
kerakyatan. Terkait itu, terdapat sejumlah prasasti seperti
Patakan (1031 M), Cane (1031 M), Trun Hyang A dari masa
pemerintahan Airlangga, Garaman (1053 M) dan Balawi
(1305 M), yang menyatakan bahwa para pemain seni
pertunjukan topeng termasuk dalam wargga kilalan (w.k).

248 – Panji Pahlawan Nusantara


Kelompok w.k. menunuk kepada komunitas di lingkungan
pedesaan berdasakan profesinya. Pekerjaan yang
dibudidayakannya tidak hanya bidang pertanian, namun
termasuk juga pekerjaan sebagai pedagang, perajin dan
seniman. Sebagai penyandang profesi, maka kepadanya
dikenai pungutan pajak oleh pemerintah kerajaan sesuai
dengan batas yang ditentukan (Sedyawati, 1985), yang
dipungut oleh petugas khusus pemungut pajak (mangilala
drawya haji). Guna memudahkan koordinasi ke dalam, yaitu
pada komunitas profesi sejenis, serta dalam rangka kemudahan
penarikan pajak, maka dibentuklah organisasi profesi sejenis
lengkap dengan ketuanya. Posisi “juru ning mangrakat” adalah
sebagai pemimpin (juru) pada komunitas seniman sejenis yang
menyakinan sendra-tari topeng (rakat, raket).
Kendati sumber data prasasti menyebut bahwa pemain
tari dan sendratari topeng berasal dari warga masyarakat di luar
lingkungan keraton, namun bukan berarti bahwa kesenian ini
hanya dimainkan oleh seniman luar-keraton. Sumber data
susastra justru memberi banyak informasi bahwa warga dalam
keraton (watek i jro, margga i jro), mulai dari raja, para
bangsawan hingga abdi dalem tampil sebagai penari dan
pemain sendratari topemg. Pararaton (VIII) misalnya,
memberitakan bahwa ketika maharaja Hayam Wuruk ketika
tampil ke pentas untuk penyajikan sendratari topeng (anapuk),
julukannya adalah “Dalang Tritaraju”. Pemberitaan ini sejalan
dengan informasi dari Nagarakretagama (XCI.4), yang
mengemukakan bahwa para penonton dari kalangan rakyat

249 – Panji Pahlawan Nusantara


berharap untuk bisa menyaksikan maharaja Hayam Wuruk,
yang dalam pekan hiburan rakyat setiap bulan Caitra tampil
sebagai pemain seni dramatari raket. Jika kedua informasi ini
dikomparasikan, tampak bahwa istilah “anapuk” dalam
Pararaton dan “raket” dalam Nagarakretagama yang dimainkan
oleh Hawam Wuruk menunjuk pada seni pertunjukan yang
sama, yaitu sendra-tari topeng.
Raja Hayam Wuruk oleh Nagarakretagama (LXVI.4,
XCI.3, XCI.6-7) dicitrakan sebagai seorang yang piawai dan
multi talenta pada sejumlah cabang seni pertunjukan, seperti
menari (mangigel), melaras lagu (resep alango), menyanyi
dengan suara merdu (anggita), dan melawak (mabanyol).
Pararaton (VIII) menambahkan bahwa Hayam Wuruk juga
mahir memainkan tari topeng (anapuk), memainkan tokoh
wanita dalam seni-drama (amadoni), memainkan wayang
(awayang), maupun melawak (abanyol). Bukan hanya Hayam
Wuruk, para raja lain di lingkungan kemaharajaan Majapahit
juga handal berkesenian. Nagarakretagama (XCI.5)
menyatakan bahwa dalam suatu pertunjukan raket, raja
Kretawarddhana menjadi panjak (pemain gamelan pembuka).
Sementara Kidung Malat (XXIV, LXXXIII, LXXXV)
menyatakan bahwa raja Lasem piawi memainkan wayang,
Gunungsari mahir menabuh gamelan [utamanya kangsi] dan
menyajikan resitasi cerita (abacangah). Kepiawian yang
demikian juga dimiliki oleh para tokoh Panji dan
pengikutkanya, sebagaimana dikisahkan di dalam susastra-

250 – Panji Pahlawan Nusantara


susastra Panji, seperti Wangbang Wideya, Wasengsari, Hikayat
Panji Kuda Semirang, Kidung Malat dan Panji Anggraeni.
Menurut pemberitaan Paparaton di atas, nama sebutan
raja Hayam Wuruk sebagai pemain sendratari topeng adalah
“dalang Tritaraju”. Unsur sebutan “dalang” untuk penari
topeng juga dijumpai dalam Kidung Malat (VIII.162a), yang
mengkisahkan bahwa “dalang” Anteban diminta untuk
menyajikan sendatari topeng. Pernyataan ini memunculkan
pertanyaan, apakah sebutan “dalang” itu menunjuk kepada
pemian yang secara khusus menjadi penutur cerita dan
penyampai dialog tokoh peran. Oleh karena muka pemain
tertutup topeng, maka dialognya diwakili oleh suara dalang.
Jika benar demikian mirip dengan yang terdapat pada topeng
dalang. Posisi dalang dalam topeng dalang serupa dengan
sutradara. Dalam kaitan itu, sendratari topeng masa Majapahit
telah menyertakan peran sutradara. Wangbang Wideya (I.59a-
68b) menyebut adanya sutradara (sang amawa) dalam seni
drama-tari raket lalangkaran.
Walau tidak amat detail, sumber data susastra
memberitakan perilaku pemain tari dan dramatari topeng.
Kresnayana (XXXI.9) memberitakan bahwa para wanita yang
menemani Rukmini di taman menyajikan tarian topeng
berlakon Panji (amenji-menji). Tariannya sangatlah
mengagumkan. Gerak tari tangannya begitu manis dilihat,
bagai bunga bakung tertiup angin. Informasi yang tersirat
adalah tarian yang lemah gemulai. Disamping menari, pemain
sendra-tari topeng juga menyajikan gerak dan dialog yang

251 – Panji Pahlawan Nusantara


komis. Kidung Malat (VIII.162a) menyatakan bahwa dalang
Anteban diminta untuk menyajikan sendratari topeng. Ia
berharap tingkah lakunya mendapat sambutan tawa penonton.
Serupa itu, Sumanasantaka (CXIII.6) menceritakan bahwa
pada pernikahan Aja dan Indumati, antara lain dipentaskan tari
topeng yang lucu (pirus-amirus men-men). Sementara itu
Wangbang Wideya (I.59a-68b) mengkisahkan bahwa Sang
Putri memberikan komentar bahwa sajian raket lalangkaran
yang tengah ditontonnya amat baik. Carang Lengkara tampil
sebagai pelawak (anapeteta). Ketika Kulante dan Dang Guru
beraksi saling berolok, sontak para penonton gempar, bahkan
diantaranya ada berkomentar “........ selama hidup saya belum
pernah menyaksikan raket seperti ini”.

2. Waditra dan Pemain Musik Pengiring


Komponen sendratari topeng yang berupa perangkat
musik (waditra) dan musisi pengiring adalah komponen yang
diperoleh informasinya dalam sumber data takstual maupun
artefaktual, kendatipun tidak cukup rinci. Satu-satunya data
artefaktual yang terkait dengan tari topeng adalah relief di
batur Candi Rimbi, yang menggambarkan seorang penari
bertopeng binatang dengan waditra pengiring sebuah reyong.
Waditra reyong sebagai pengiring tari juga didapati pada
Pendapa Teras II di komplek Candi Penataran, yang
menggambarkan tarian tunggal seorang wanita dengan iringan
empat buah reyong dan sebuah simbal, yang disaksikan oleh
dua orang ksatria bertopi tekes dan seorang punakawan

252 – Panji Pahlawan Nusantara


Sayang sekali tidak jelas apakah penari mengenakan topeng
ataukah tidak.
Sebagai tari ataupun sendratari, tidak diragukan apabila
sendratari topeng Jawa berlakon Panji diiringi dengan satu atau
lebih waditra pengiring (ansambel). Sayang sekali sejauh ini
belum diperoleh data yang menyebut waditra lengkap
pengiring tari. Wangbang Wideya (I.59a-68b) hanya
menyebutkan bahwa Banyak Sudra memainkan musik
(agamel) pada suatu pementasan raket lalangkarang di
lingkungan keraton.

3. Properti Sendratari Topeng


Dalam wujudnya sebagai sendratari topeng, tentu
properti utama seni pertujukan ini adalah topeng. Keberadaan
topeng sebagai properti tari di Jawa pada masa Hindu-Buddha
sebenarnya bukan baru ada semenjak adanya sendratari
berlakon Panji pada masa Majapahit, namun telah dikenal jauh
sebelumnya, setidaknya semenjak abad X. Berbagai sumber
data tekstual Hindu-Buddha, baik prasasti ataupun susastra,
banyak menyebut properti tari yang berbentuk topeng dengan
beragam sebutan, seperti tapuk, tapel dan topeng itu sendiri.
Yang dimaksud dengan topeng adalah gambaran figuratif
dari bahan kayu yang diukir [dan diwarnai], yang ditapukkan
atau ditapalkannya ke wajah pemain, sebagai gambaran
perwatakan (karakter) dari tokoh peran yang ditampilkan
dalam suatu cerita lewat simbolisasi visual yang dipusatkan
pada gambaran wajah (Soedarsono, 1990; Sedyawati, 1993).

253 – Panji Pahlawan Nusantara


Sayang sekali maraknya penyebutan topeng dalam sumber-
sumber data tekstual itu tidak sesemarak keberadaannya dalam
dalam sumber data artefaktual. Sudah barang tentu sukar
berharap dapat menemukan topeng kayu dari masa Hindu-
Buddha di masa sekarang, lataran bahan baku topeng tidak
tahan usia, terlebih lagi di daerah tropis. Namun demikian,
beruntung masih dapat menjumpai gambaran tentang topeng
dalam sumber data artefaktual yang berbentuk relief candi
ataupun seni arca, meski itu tidak banyak.
Sejauh diketahui, satu-satunya relief candi yang
menggambarkan penari bertopeng adalah relief pada batur
Candi Rimbi, yang menggambarkan seorang penari bertopeng
kepala binatang dengan iringan reyong. Sedangkan dalam seni
arca, hingga sejauh ini belum didapati arca penari yang
mengenakan topeng. Alih-alih di Bali mendapati arca
Bhairawa di Pura Kbo Edan dan arca Chatuhkaya di Pejeng
yang dipahatkan dengan topeng menutupi wajahnya.
Keterbatasan informasi piktorial tentang topeng tersebut
mengundang pertanyaan “bagaimanalah sosok topeng para
tokoh peran dalam sendratari topeng Jawa berlakon Panji pada
masa Majapahit?”
Kendati belum diperoleh data artefaktual dalam bentuk
topeng untuk menjawabnya, namun terdapat data artefaktual
lain yang bisa dipertimbangkan untuk memprakirakan
sosoknya, yaitu gambaran raut wajah masing-masing tokoh
cerita pada relief candi yang memuat cerita Panji maupun pada
arca Panji. Dasar pemikirannya adalah bahwa releif candi

254 – Panji Pahlawan Nusantara


merupakan ekspresi visual lakon Panji. Gambaran wajah
masing-masing tokoh peran tidak jauh berbeda dengan raut
wajah tokoh-tokoh peran yang diekspresikan pada topeng kayu
penutup wajah pemain sendra-tari topeng berlakon Panji.
Data artefaktual bisa juga dimanfaatkan untuk
memprakirakan bentuk busana dan aksesori tokoh peran.
Hanya saja, perlu disadari tentang kemungkinan adanya beda
antara properti pemain sendratari topeng di lingkungan keraton
dan di luar-keraton. Busana dan aksesori pemain sendratari
topeng luar-keraton tentulah lebih bersahaja daripada pemain
yang berada di lingkungan keraton. Busana dan aksesori
kebesaran tokoh yang divisalkan dalam seni arca dan relief
candi masa Majapahit memberi kita gambaran tentang busana
dan aksesori para ksatria (Panji) dan permaisurinya.
Sumber data testual yang berupa susastra hanya
menginformasikan serba sedikit perihal busana tokoh-tokoh
peran dalam sendra-tari topeng masa Majapat. Wangbang
Wideya (I.59a-68b) menyatakan bahwa dalam memainkan
gambuh, Panji Wireswara mengenakan busana warna hitam
dan berkain (wastra) pada bagian bawah tubuhnya. Perihal kain
sebagai busana tari, Sumanasantaka (CXXIII.3) mengibaratkan
Raja yang tergesa-gesa tampil ke hadapan khalayak ketika baru
mendapatkan kemenangan ibarat keluarnya tapel yang belum
mengenakan kain. Gambaran tentang penari topeng yang
mengenakan kain bawahan juga didapat di relief batur Candi
Rimbi, yang melukiskan seorang penari topeng yang

255 – Panji Pahlawan Nusantara


bertenjang dada, hanya mengenakan kain bawahan hingga
sedikit di bawah lutut.

4. Lakon Sendratari Topeng


Sebagai suatu sendratari, lakon merupakan unsur yang
penting. Sayang sekali tidak semua sumber data tekstual yang
didapat memuat informasi mengenai lakon apa yang
dibawakannya. Nagarakretagama ((XCI.4) adalah salah satu
sumber data yang sedikit dapat memberi kejelasan mengenai
lakon yang dibawakan dalam pertunjukan raket, yang boleh
jadi adalah lakon Panji tertentu. Hal ini diindikatori oleh
tampilnya tokoh-tokoh peran seperti Shori (ksatria) dan tekes
(putri). Susastra lainnya yang juga sedikit memberikan
gambaran mengenai lakon yang dibawakan adalah Wangbang
Wideya (I.59a-68b), yang dalam pementasan raket lalangkaran
menampilkan tokoh peran Kulante, Dang Guru dan pelawak.
Lakon ini kemungkinan juga merupakan cerita Panji tertentu.
Jika benar demikian, berarti lakon yang disajikan dalam
sendra-tari topeng (raket) masa Majapahit adalah lakon Panji.
Kendati ada kemungkinan bahwa lakon yang dibawakan
dalam pertunjukan raket masa Majapahit adalah lakon Panji,
namun tak boleh tergesa menarik simpulan bahwa raket
senantiasa mementaskan lakon Panji. Sebagaimana telah
dikemukakan terdahulu, raket telah ada sejak masa pra
pemerintahan Jenggala dan Panjalu (Kadiri), yang notabene
menjadi latar sejarah dan ajang peristiwa dalam cerita-cerita
Panji. Ada kemungkinan pengambilan lakon Panji pada

256 – Panji Pahlawan Nusantara


pertunjukan raket terjadi pada masa Majapahit, yakni seiring
dengan popularitas cerita-cerita Panji pada masyarakat Jawa.
Sebelumnya lakon Panji lazim dipentaskan dalam gambuh.
Terkait dengan itu I Made Bandem (1980/1981)
mengemukakan bahwa gambuh adalah dramatari yang pernah
dipentaskan di istana Majapahit dan Bali sejak tahun 1343
hingga abad XVI Masehi. Dengan menjejaki gambuh, dalam
perkembangannya raket turut membawakan lakon Panji.
Kemasan baru dari raket itulah kiranya yang disebut “raket
lalangkaran”. Oleh karenanya, Robson (1971) –dengan
mengutip keterangan Wangbang Wideya (I.60a) , menyatakan
bahwa raket lalangkara[n] adalah bentuk baru dari gambuh.

5. Pentas Sendratari Topeng


Relief pada batur Candi Rimbi memperlihatkan
pementasan tari topeng tanpa panggung. Penari topeng yang
merupakan penari tunggal dengan iringan sebuah alat musik
berbertuk reyong itu menari di atas tanah. Gambaran ini
kiranya tepat untuk tari topeng yang berlangsung di luar-
keraton. Dengan perkataan lain, tari dan sendratari topeng ada
yang tampil tanpa panggung pertunjukan, namun sebaliknya
ada pula yang ditampilkan di atas panggung. Prasasti
Wimalasrama juga menyatakan adanya pertunjukan topeng
(atapukan) yang dipentaskan di atas panggung (stage). Hal ini
tercermin oleh perkataan “atapukan pinanggung”. Dalam kitab
Brahmandapurana (I) pentas tari topeng di kerajaan
Bharatawarsa disebut dengan “patapelan”. Susastra lain yang

257 – Panji Pahlawan Nusantara


menyinggung tentang pentas tari topeng adalah Hikayat Panji
Kuda Semairang, yang mengkisahkan bahwa ketika
berlangsung pesta pernikahan di Daha, pasangan-pasangan
pengantin diarak keliling alun-alon guna menyaksikan berbagai
pentas yang didirikan, diantaranya adalah pentas tari topeng.
Lokasi pentas pertunjukan di dalam lingkungan keraton
dinyatakan oleh Wangbang Wideya (I.59a-68b), yang berlokasi
di sebelah utara pendapa.

6. Penonton dan Suasana Pertunjukan


Seni petunjukan tanpa penonton (audience) bukanlah
seni pertunjukan yang sesungguhnya. Oleh karena itu penonton
adalah unsur yang juga penting dalam suatu pementasan seni
pertunjukan. Penonton sendratari topeng Jawa bukan melulu
dari kalangan pedesaan di luar-keraton, namun banyak juga
yang berasal dari lingkungan keraton. Pementasan tari dan
sendra-tari topeng dalam rangkaian acara manusuk sima
tentulah penonton yang berada di luar-keraton, yaitu warga
desa yang desanya tengah ditetapkan sebagai perdikan (sima,
swatantra) dan warga dari desa-desa tetangganya.
Ada pula pertunjukan tari dan sendratari topeng yang
secara eksklusif hanya ditonton oleh warga dalam suatu
keraton (wargga i jro, watek i jro). Namun ada pula
pementasan seni pertunjukan di lingkungan keraton yang
terbuka untuk disaksikan oleh masyarakat umum. Misalnya,
seni pertujukan yang dipentaskan di lingkungan keraton
manakala berlangsung pernikahan keluarga kerajaan, upacara

258 – Panji Pahlawan Nusantara


penobatan raja, ritus kematian keluarga raja dan keluarganya,
upacara lepas panen, dsb. merupakan adalah peristiwa
pementasan seni yang dibuka bagi seluruh warga kerajaan.
Salah satu seni pertunjukan yang diminati oleh khalayak
penonton adalah tari dan sendratari topeng. Hal demikian
tergambar di dalam Kidung Harsawkijaya (II.144b), yang
menyatakan bahwa penonton wayang (awayang) dan tari
topeng (anapuk) penuh sesak. Antusiasme penonton terhadap
sendratari topeng antara lain dipicu oleh daya tarik pertunjukan
ini. Terkait itu, Wangbang Wideya (I.59a-68b) mengisahkan
bahwa untuk mempertemukan Sang Putri dengan Panji
Wireswara, maka Bayan dan Carang Lengkara menyarankan
agar Panji Wireswara menyajikan raket. Menurutnya, Sang
Putri bakal tertarik untuk menyaksikannya, sebab para
pengikut Panji adalah pemain raket yang berbakat.
Ketertarikan Sang Putri terhadapnya itu tercermin dalam
komentarnya bahwa permainannya sangat baik. Sementara
seorang penonton lainnya berujar“......... selama hidup saya
belum pernah menyaksikan raket seperti ini”. Gambaran
demikian didapati dalam Nagarakretagama (XCI.4), bahwa
para penonton dari kalangan rakyat berharap bisa menyaksikan
raket yang dimainkan oleh Hayam Wuruk.
Puncak keriangan penonton adalah manakala masuk sesi
lawakan (pabanyolan). Oleh karenanya lawak merupakan unsur
penting dalam sendratari topeng berlakon Panji. Kemeriahan
penonton juga meletup tatkala terjadi dialog seru dari para
tokoh peran. Wangbang Wadeya (I.59a-68b) menggambarkan,

259 – Panji Pahlawan Nusantara


ketika Kulatante dan Dang Guru beraksi saling olok, sontak
para penonton gempar. Gelak tawa penonton adalah suasana
pertunjukan yang diharap dapat diciptakan oleh pemain
sendratari topeng. Kidung Malat (VIII.162a) menyatakan
bahwa tingkah laku dalang Anteban disertai harapan untuk
mendapat sambutan tawa penonton. Pendek kata, tari atau
sendra-tari topeng yang lucu adalah sajan segar yang
senantiasa diharap oleh penonton. Dalam kaitan itu
Sumanasantaka (CXIII.6) menyatakan bahwa pada acara
pernikahan Aja dan Indumati dipentaskan tari topeng yang lucu
(pirus-amirus men-men).

7. Penyelenggara Pementasan
Terlaksananya pementasan seni pertunjukan sangat
bergantung kepada adanya penyelenggara pementasan, yang
antara lain adalah seseorang, sekelompok orang atau suatu
pihak yang bertindak sebagai penanggap. Dalam rangkaian
acara manusuk sima, pementasan tari dan sendratari topeng
dimungkinkan berkat adanya sandangan dana dari warga desa
bersangkutan. Adapun pementasan seni pertunjukan dalam
kerangka perhelatan kenegaraan di lingkungan keraton
terselenggara berkat topangan dana dari pihak kerajaan.
Penanggap merupakan unsur penting bagi terselenggara
pementasan tari dan sendratari topeng. Namun demikian,
dalam kasus tertentu suatu pementasan tari topeng bisa saja
muncul atas inisiatif dari pemainnya sendiri. Gambaran
demikian dijumpai dalam Kresnayana (XXXI.9), bahwa malam

260 – Panji Pahlawan Nusantara


hari jelang rencana pernikahan Rukmini dan Cedi, para wanita
yang menemani Rukmini di taman menyajikan tarian topeng
(amenji-menji) untuk menghibur gundah hati Rukmini.

E. Ragam Fungsi Sendratari Topeng Berlakon Panji


Masa Majapahit
Suatu karya seni dicipta bukan melulu untuk memenuhi
kepentingan rekreatif, namun terbuka kemungkinan untuk
dimanfaatkan bagi kepentingan-kepentingan lain. Hal demikian
tidak terkecuali pada seni pertunjukan. Jenis kesenian ini
diciptakan dan dipertunjukkan ke hadapan khalayak penonton
untuk beragam kepentingan. Dengan perkataan lain, ada
beragam fungsi yang diemban oleh seni pertunjukan,
tergantung dari sudut kepentingan seniman penyaji, tujuan
orang yang menyaksikan dan konteks penyajiannya.
Sesuai dengan ragam fungsinya itu, berikut ditelaah
mengenai ragam fungsi yang diemban oleh sendratari topeng
Jawa, baik yang dipentaskan di lingkungan keraton ataupun di
luar keraton. Informasi yang terkandung dalam sumber data
tekstual (prasasti dan susastra) adalah bahan berharga untuk
menyingkap ragam fungsinya. Kendati sumber data tekstual itu
tidak secara eksplisit menyatakan fungsi yang diembannya,
namun maksud dan konteks penyajiannya memberi bahan
berharga untuk menganalisis ragam fungsinya.

1. Fungsi Rekreatif

261 – Panji Pahlawan Nusantara


Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan
akan hiburan. Dalam kaitan itu, seni pertunjukan seringkali
dimanfaatkan sebagai wahana untuk memenuhi hasrat manusia
akan hiburan. Pementasan seni pertunjukan untuk tujuan
rekreatif bisa hadir secara tersendiri atau dapat juga
dirangkaikan dengan hajat lain, seperti upacara manusuk sima,
upacara penikahan, upacara kematian, upacara lepas panen,
dsb. Data tekstual banyak memberitakan mengenai fungsi
rekreatif dari seni tari dan sendra-tari topeng. Kakawin
Kresnayana (XXXI.9) misalnya, menyatakan bahwa guna
menghibur hati tuannya (Rukmini) yang tengah dalam
kegundahan hati jelang pernikahan paksa antara dirinya dan
raja Cedi, para dayang yang menemaninya di taman
menyajikan sendratari topeng (amenji-menji).
Fungsi rekreatif tari dan sendratari topeng tergambar
jelas dengan adanya sesi lawakan (mabanyol), sebagai bagian
integral dari rangkaian pementasannya. Bahkan, bagi para
penonton, sesi ini adalah saat yang dinanti-nantikan, serupa
dengan adegan goro-goro pada wayang kulit ataupun wayang
orang. Pelawak oleh karenanya adalah pemain pokok dalam
sendratari topeng. Hayam Wuruk itu sendiri menurut kakawin
Nagarakretagama (LXVI.6-7) adalah pelawak (pabanyol)
amatir yang piawai. Sejalan dengan itu, Pararaton (VIII)
menyatakan bahwa ketika tampil memainkan wayang
(awayang) dan melawak (abanyol), nama panggilannya adalah
“Gagak Ketawang”.

262 – Panji Pahlawan Nusantara


2. Fungsi Ekonomik
Kebutuhan ekonomi bisa dipenuhi dengan menggunakan
beragam cara. Salah satu diantaranya adalah dengan “menjual”
jasa seni. Pada konteks ini, kesenian adalah suatu komoditas
ekonomik, merupakan bidang usaha. Hal demikian diberitakan
dalam prasasti Kamban (971 M), yang menyatakan bahwa tari
topeng (tapukan) merupakan suatu bidang usaha. Atas
penyajian seninya, maka pemain tari dan sendratari topeng
memperoleh imbalan. Berkenaan dengan itu, sejumlah prasasti
yang memberitakan mengenai pemberikan imbalan
terhadapnya, lantaran telah turut menjadi penyemarak dalam
acara manusuk sima.

Prasasti Sajian Seni Penerima Jumlah & Bentuk


Imbalan
Wimalasrama Tari topeng Si Jaladi Wdihan 1 helai dan 2
(atapulan) kupang
Himad Tari topeng Wuwub 4 masa
(atapulan)
Alasantan Tari topeng Kampalan 2 masa
(atapulan)
Dinoyo A Sendratari Pataweh Wdihan 1 yugala dan 1
topeng (raket) masa
Dragung Sendratari Sowati Wdihan dan 4 masa
topeng (raket)

Sebagai suatu bidang usaha yang dijalankan oleh rakyat


di sebuah kerajaan, maka atas hasil penjualan jasa seninya itu
pihak kerajaan menarik pungutan pajak padanya sesuai dengan
batas yang telah ditetapkan. Oleh karenanya, dapat difahami

263 – Panji Pahlawan Nusantara


bila dalam sumber data epigrafis, para penjual jasa seni, yang
antara lain berupa tari dan sendratari topeng dimasukkan dalam
kelompok wargga kilalan, yakni kelompok orang yang karena
profesi keseniannya maka mereka dikenai pungutan pajak oleh
pihak kerajaan. Untuk memudahkan penarikan pajak kepada
para seniman penari topeng itu, dibetuk organisasi atau
komunitas seniman sejenis, yang diketuai oleh “Juru ing
Mangrakat”. Jabatan ini disebut-sebut dalam sejumah prasasti
masa Hindu-Buddha, bahkan sejak masa pemerimntahan raja
Balitung (awal abad X).

3. Fungsi Religis
Pementasan sendratari topeng ada juga yang
dilangsungkan dalam kaitan dengan upacara religis. Salah
sebuah peristiwa religis yang disemarakkan dengan
pementasan sendratari topeng adalah ritus manusuk sima, yaitu
upacara penetapan suatu desa atau sebidang tanah sebagai
perdikan (sima, swatantra). Salah satu acara dalam rangkaian
acara pada hajatan desa ini, tepatnya seusai ritual manusuk
sima, adalah pementasan satu atau lebih seni pertunjukan.
Diantaranya adalah tari topeng (tapukan, atapukan). Perihal ini
disebut dalam prasasti Wimalasrama dari masa pemerintahan
raja Balitung, Himad (930 M) dan Alasantan (939 M). Varian
dari sendratari topeng yang disebut “raket” juga dipentaskan
dalam rangkaian acara manusuk sima, seperti disebut dalam
prasasti Dinoyo A dari masa pemerintahan Pu Sindok,

264 – Panji Pahlawan Nusantara


Dragung/Pojok (1100 M) serta prasasti Rongkap (901 M) dan
Kasugihan (907 M).
Ritus lain yang juga disemarakkan dengan tari dan
sendratari topeng adalah ritus pernikahan. Sejumlah sumber
data susastra, antara lain Sumanasantaka (CXXIII.3),
Kresnayana (XXXII.8), Hariwangsa (XVIII.8), dan Hikayat
Panji Kuda Semirang memberitakan tentang pementasan tari
topeng (tapel) sebagai sajian seni penyemarak upacara
perkawinan yang dilangsungkan di lingkungan kerajaan,
Sementara Kidung Sunda (III) menyatakan bahwa salah satu
sajian seni pada upacara kremasi bagi jasad raja Hayam Wuruk
adalah tari topeng (patapelan). Sendratari topeng berlakon
Panji (raket) menurut informasi dari kakawin Nagarakretagama
(LXVI.4, XCI.3, XCI.6-7) dan juga dalam kitab Pararaton
(VIII) adalah salah sebuah sajian seni pertunjukan yang
dipentaskan dalam ritus tahunan lepas panen setiap bulan
Caitra di lingkungan istana Majapahit.
Apabila dicermati, ritus manusuk sima, penikahan,
kremasi jasad raja maupun upacara lepas panen yang
disemarakkan dengan tari dan sendratari topeng itu pada
dasarnya berkenaan dengan sesi “peralihan”. Berturut-turut
adalah peralihan dari desa biasa menjadi desa bersatus
perdikan, peralihan status sepasang manusia dari lajang
menjadi berkeluarga, perlihan dari alam kehidupan (dunia) ke
alam kematian, maupun peralihan dari musim penghujan ke
musim kemarau. Penyemarakkan keempat ritus peralihan itu,
yang diantara dengan pementasan tari dan sendratari topeng –

265 – Panji Pahlawan Nusantara


termasuk juga sendratari topeng berlakon Panji –
mengingatkan kepada teori Rassers (1931), yang menyatakan
bahwa dongeng Panji adalah seni drama yang berhubungan
dengan ritus inisiasi. Prinsip dasar ritus inisiasi adalah juga
“peralihan”. Sedangkan terkait dengan pementasan tari topeng
sebagai penyemarak ritus kremasi bagi jasad Hayam Wuruk
sebagaimana diberitakan pada Kidung Sunda (III),
mengingatkan kita kepada fungsi topeng emas sebagai penutup
muka bagi jasad di kubur Megalitik.

4. Fungsi Politis
Bagi penguasa, memberikan hiburan kepada rakyat
adalah salah satu bentuk dharmma dari raja, yang pada
gilirannya dapat menjadi tali pengikat kesetiaan rayat terhadap
penguasa bersangkutan. Terkait dengan itu, pada perhelatan
kenegaraan yang jatuh bersamaan dengan hari pernikahan
keluarga raja, upacara tahunan lepas panen, kremasi jasad raja
dan keluarganya, upacara penobatan, dsb., penguasa
menyuguhkan aneka seni pertunjukan di lingkungan keraton.
Bahkan dalam acara itu, raja dan para bangsawan acap tampil
sebagai penyaji seni pertunjukan.
Hal demikian dicontohkan oleh Hayam Wuruk, yang
menurut keterangan Nagarakretagama (LXVI.4, XCI.3, XCI.6-
7) maupun Pararaton (VIII) tampil di pentas sebagai seniman,
tidak terkecuali dalam sendratari topeng (raket) berlakon Panji.
Dengan cara demikian maka Hayam Wuruk berkomunikasi
secara langsung dengan rakyatnya dan sekaligus mencitrakan

266 – Panji Pahlawan Nusantara


dirinya sebagai penguasa yang piawai serta peduli terhadap
perkembangan seni yang diminati oleh kebanyakan warganya.
Selain Hayam Wuruk, dalam sejumlah susastra dikisahkan
bahwa para Panji dan pengikutnya, keluarga raja, para
bangsawan maupun abdi dalemnya acap tampil dalam
pementasan seni pertunjukan.
Dalam konteks budaya-politik, khususnya pada masa
Keemasan hingga Akhir kemonarkhian Majapahit, pementasan
lakon Panji pada seni pertunjukan, relief candi, bahkan
mengkultuskannya sebagai dewa lokal adalah perwujudan
budaya-politik dan religio-politik. Yang secara simbolik
diarahkan kepada ide dasar mengenai penyatuan (integrasi)
Jawa, lebih luas lagi dengan integrasi Nusantara – sejalan
dengan doktrin politik “Sumpah Hamukti Palapa”.
Kejayaan masa lalu yang secara simbolik dirintis dan
dipersembahkan oleh para tokoh Panji menurut tuturan
dongeng Panji dijadikan wahana pemicu semangat kenegaraan
warga Majapahit, khususnya bagi para ksatria (bangsawan),
untuk mengulang sukses masa lalu. Fungsi intinya sebagai
pemicu bagi semangat integrasi kian dirasa manakala pada
penghujung pemerintahan Majapahit, yaitu ketika kerajaan
terakbar di Jawa masa Hindu-Buddha ini didera oleh
gelombang pergolakan politik yang mengarah pada
disintegrasi.

F. Epilog

267 – Panji Pahlawan Nusantara


Tari dan sendratari topeng Jawa berlakon Panji adalah
salah sebuah khasanah budaya luhur Jawa telah meniti
perjalanan panjang sejarahnya, Sebagai suatu tarian, yang para
penarinya mengenakan properti topeng (tapuk, tapel), seni
pertunjukan ini diketahui telah hadir riil di Jawa setidaknya
semenjak masa pemerintahan kerajaraan Mataram. Kemudian
berlanjut dan berkembang hingga memasuki periode
Majapahit. Dalam sejumlah hal, tradisinya masih eksis pada
sejumlah tempat di Jawa dan Bali. Boleh jadi, akar tradisi tari
topeng Jawa menelusup ke masa yang jauh lebih tua, yakni ke
dalam tradisi Megalitik pada jaman Prasejarah.
Sentuhannya dengan berbagai anasir budaya asing,
utamanya dengan budaya India dan Cina kian mengayakan
figurisasi serta isi cerita yang dibawakan dalam tari dan
sendratari topeng Jawa. Wiracarita Ramayana dan Mahabarata
turut mengisi unsur lakon pada seni pertunjukan ini. Kendati
demikian, jaidirinya sebagai produk budaya lokal tidak
menyebabkan tari dan sendratari topeng Jawa tenggelam ke
dalam pesona budaya India. Bahkan pada masa Majapahit,
seiring kian menyeruaknya Javanisasi di berbagai ekspresi
budaya Jawa, sendratari tapeng Jawa pun merakitkan diri ke
dalam konteks budaya setempat. Cerita-cerita asli Jawa –
termasuk pula cerita Panji – turut memberi bentuk baru kepada
sendra-tari topeng Jawa.
Sukses yang telah diperoleh oleh gambuh dengan
mengitegrasikan lakon Panji ke dalam bentuk sajian
pertunjukannya dijejaki pula oleh sendratari topeng, yang

268 – Panji Pahlawan Nusantara


konon dinamai dengan “raket”. Cerita-cerita Panji pun lantas
dijadikan sebagai lakon dalam pementasannya. Walhasil,
terbentuklah apa yang dinamakan “raket lalangkara[n]”, yang
menurut S.O. Robson (1971) berdasarkan keterangan dalam
Wangbang Wideya (I.60a) dinyatakan sebagai bentuk baru dari
gambuh.
Popularitas susastra Panji khususnya pada masa
Keemasan Kerjaan Mapajahit telah mendorong bagi terjadinya
transformasi cerita oral dan literal Panji ke dalam media-media
ekspresi lain, tak terkecuali ke dalam seni pertunjukan.
Hasilnya antara lain berupa sendra-tari topeng berlakon Panji.
Sebagai seni pertunjukan yang begitu populer pada jamannya,
sendratari topeng berlakon Panji ini dipentaskan di berbagai
lingkungan budaya keraton maupun di luar-keraton dalam
berbagai perhelatan untuk beragam tujuan.
Oleh karena itu, dapatlah dimengerti bila kala itu
sendratari topeng Jawa berlakon Panji telah mengemban
beragam fungsi, baik fungsi rekreatif, ekonomik, religis
maupun politis.
Akankah eksistensi sendratari topeng berlakon Panji itu
bakal terus eksis pada masa kini dan mendatang? Apakah
orang Jawa masa kini mampu mentransformasikan rakitan
bentuk dan fungsinya sesuai dengan aras jaman? Hal itu
terpulang pada orang Jawa itu sendiri sebagai pemangku
utamanya.
Seminar dan Festival Budaya Panji III, yang kali ini (20-
23 Mei 2010) diselenggarakan di Malang hanyalah sekedar

269 – Panji Pahlawan Nusantara


wahana untuk mengingatnya kembali, untuk memetik makna
dan teladan darinya, dan sebagai pemantik semangat untuk
merevitalisasikan budaya Panji bagi masa kini dan masa
datang. Semoga membuahkan makna.
Ma
lang, 12 Mei 2010

KEPUSATAKAAN

Adiwimarta, Sri Sukesi (Ketua), 1983, Kamus Bahasa Indonesia. Jilid II.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Depdikbud.
Bandem, I Made dan Frederik deBoer, 1978, “Gambuh: A Classical
Balinese Drama”. Asia Music 10 (1), hal. 115-127.
Berg, C.C., 1927, Kidung Sunda. Inleiding, Teks, Vertaling en
Antikeningen. BKI 63. Hal. 1-61.
--------------, 1930, “Ranggalawe, Middejjavaasch Historische Roman. BJ
1”, Weltevreden.
-------------, 1931, Kidung Harsa-Wijaya. Middle-Javaansche Historische
Roman. BKI 88: 1-283.
Brandes, J.L., 1899, “Een Jayapatra of Acte van Eene Recterlijke Uitspraak
van Caka 849”, T.B.G. XXXII.
----------------, 1920, Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van
Tumapel en van Madjapahit. Uitgegeven en Toegelicht. Tweede
druk bewerk door N.J. Kroom. VBG 62.
Cahyono, M. Dwi, 2000, Rakitan dan Fungsi Seni Pertunjukan pada
Masyarakat Jawa Kuna Abad ke-10 hingga 16 Masehi. Tesis
Magister Arkeologi pada Universitas Indonesia. Jakarta.
Gonda, J,. 1932, Oud-Javaansche Brahmanda-purana, vertaal door -, BJ 6.
Bandoeng.
Hazeau, G.A.J., 1897, Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Toneel.
Disertasi. Leiden: Rijks Universiteit.
Holt, Claire, 1967, Art in Indonesia, Continuites and Change. New
York: Ithaca, Cornel University.

270 – Panji Pahlawan Nusantara


Juynboll, H.H., 1906, Adiparwa Oudjavaansche Prozageschrijft. The
Hague: S’Gravenhage.
Pigeaud, Th.. G. Th., 1933, De Serat Cabalong en de Serat Tjentini.
Bandoeng: A.C. Nix & Co.
-------------------------, 1938, Javaansche Volksvertonongen: Bijdrage tot
Beschrijving van Land en Volk. Batavia: Volkslecture.
-------------------------, 1969-1962, Java in the 14th Century. A Study in
Cultural History. 5 Vols. The Hague: Martinus Nijhoff.
Poebatjaaka, R.M. Ng., 1926, De Calon Arang, BKI 82, hal. 110-180.
---------------------------, 1968, Tjerita Pandji dalam Perbandingan.
Terjemahan: Zuber Usman dan H.B. Yassin. Djakarta: Gunung
Agung.
Prijohoetomo, 1934, Nawaroetji, Inleiding, Middlejavaansche Vertaling.
Vergeleken met de Bimasoetji in Oud-Javaansch Metrum.
Groningen.
Raffles, T.S., 1965, History of Java. 2 Volume. Kuala Lumpur, London,
New York: Oxford University
Rassers, W.H., 1931, Panji The Culture Hero: A Structural Study of
Religion in Java. The Hague. Nijhoff (Dutch ed 1922).
Resik-Wilken A.J., 1924. “De Overklaarde Tempel Reliefs of het
Hoofdgebouw van Tjandi Kedaton”, BKI Afl. 4.
Robson. S.O., 1971, “Wangbang Wideya. A Javanese Panji Romance”,
Bibl. Ind. 6.The Hague.
Santoso, Soewito, 1986, Kresnayana, The Kresna Legend in Indonesia.
New Delhi: International Academy of Indian Culture.
Sedyawati, Edi, 1980, Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar
Harapan.
------------------, 1985, “Pengaruh India pada Kesenian Jawa: Suatu
Tinjauan Proses Akulturasi”, dalam Pengaruh India, Islam, dan
Barat dalam Proses Pembentukan Kebudayaan Jawa. Editor:
Soedarsono. Javanologi: Dirjen Kebudayaan Depdikbud. Hal. 1-
12.
------------------, 1990, “The Dramatic Priciples of Javanese Naratife Temle
Relief”. SAOS. Juni-Agustus 1990.
------------------, 1992, “Topeng dalam Budaya”, Seni Pertunjukan
Indonesia. Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI)
dan PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

271 – Panji Pahlawan Nusantara


Soedarsono, R.M., 1983, Wayang Wong in the Yogyakarta Kraton: History,
Ritual Aspect, Literary Aspect an Caracterization. Disertasi pada
Univ. Michigan.
Teew, A., 1950, Hariwangsa, Teks en Critisch Apparat. VKI deel IX.
S’Gravenhage Martinus Nijhoff.
Zoetmulder, P.J., 1982, Javanese-Inglish Dictionary. KITLV. Leiden.
S’Gravenhage Martinus Nijhoff.
--------------------, 1985, Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Panjang.
Jakarta: Jambatan.

Unsur-Unsur Autochton
Dalam Cerita Panji Kudanarawangsa
Karya R.Ng.Ranggawarsita

(Analisis Struktural Antropologi Rassers)

Oleh
Anung Tedjowirawan
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Abstrak

272 – Panji Pahlawan Nusantara


Cerita Panji pada mulanya adalah cerita rakyat yang muncul di Jawa Timur
dan kemudian tumbuh berkembang ke seluruh Nusantara bahkan menyebar
sampai ke Melayu, Siam, dan Kamboja. Poerbatjaraka dan Berg
sependapat bahwa cerita Panji mempunyai latar belakang sejarah. Hanya,
Poerbatjaraka meletakkan tokoh Panji pada zaman Kediri dengan rajanya
Kameswara dengan permaisurinya Sri Kirana Ratu. Sedangkan Berg pada
zaman kerajaan Majapahit dengan rajanya Hayam Wuruk. W.H. Rassers
menghubungkan tokoh Panji dengan Ken Arok dan Raden Wijaya.
Bambang Yudoyono menghubungkan tokoh Panji dengan Prabu Jayabaya.
Namun Agus Aris Munandar berpendapat bahwa rentang peristiwa-
peristiwa sejarah yang dijadikan bingkai bagi cerita Panji adalah pada masa
runtuhnya Singasari (1294 M) sampai dengan masa pemerintahan
Rajasanagara (Hayam Wuruk) di Majapahit (1350-1389 M). Kisah Panji
melambangkan perkawinan Hayam Wuruk dengan Paduka Sori (Indudewi)
dari Daha.
Sĕrat Panji Jayèngtilam dan Sĕrat Panji Kudanarawangsa adalah dua
diantara tujuh puluh buah karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita yang
mengambil Panji sebagai tokohnya. Didalam konstruksi teks-teks
Pustakaraja, pujangga R. Ng. Ranggawarsita hanya menempatkan empat
karya cerita Panji yaitu Sĕrat Jayalengkara, Sĕrat Darmakusuma, Sĕrat
Catasi Panuwaka, dan Sĕrat Suryawisesa. Sĕrat Panji Kudanarawangsa
pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka 1936, Seri No. 1246. Poerbatjaraka
juga membicarakan sĕrat ini dalam bukunya yang berjudul Pandji Verhalen
Onderling Vergeleken (1940) yang kemudian diterjemahkan oleh Zuber
Usman dan H.B. Jassin menjadi Tjeritera Pandji dalam Perbandingan
(1968). Dalam bukunya tersebut Poerbatjaraka menilai bahwa Sĕrat Panji
Kudanarawangsa bermutu rendah, seni puisinya kurang, dan bahasa yang
digunakan tampak kikuk.
Yayasan Paheman Radyapustaka Surakarta (1970) dan Maharkesti
(Lembaga Sejarah dan Anthropologi, 1972) pernah mentranskripsi Sĕrat
Panji Kudanarawangsa. Anung Tedjowirawan (1979) dalam skripsinya
yang berjudul Tinjauan Sĕrat Panji Kudanarawangsa Karya R. Ng.
Ranggawarsita mengadakan perbandingan atas ketiga teks Panji
Kudanarawangsa terbitan Balai Pustaka di atas dengan naskah turunan Panji
Kudanarawangsa koleksi Perpustakaan Sanabudaya Yogyakarta (No.
PB.A.62) maupun Panji Kudanarawangsa dalam Tjeritera Pandji dalam
Perbandingan yang bersumberkan naskah Brandes No. 295. Moeljono
Sastronaryatmo dan R.Aj. Indri Nitriani (1989) mentranskripsi dan
menyadur Sĕrat Panji Kudanarawangsa dan menerbitkannya dalam Proyek

273 – Panji Pahlawan Nusantara


Penerbitan Bacaan Indonesia dan Daerah (Depdikbud). Abdul Rahman
Kaeh (1989) juga menerbitkan Panji Narawangsa yang diterbitkannya di
Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur, Malaysia. Christine
Permanasari (2008) dalam skripsinya mentransliterasi, menerjemahkan dan
menganalisis gaya bahasa yang terkandung dalam Sĕrat Panji
Kudanarawangsa ini. Pada tahun yang sama ia juga membuat suatu tulisan
tentang Stilistika dalam Sĕrat Panji Kudanarawangsa. Menurut Christine
Permanasari bahwa Sĕrat Panji Kudanarawangsa menggunakan 26 jenis
gaya bahasa dengan jumlah seluruhnya 586 gaya bahasa.
Willem Huibert Rassers adalah sarjana Barat pertama yang mengkaji
cerita Panji dengan pendekatan antropologi dengan menggunakan bahan
utama Hikayat Cekel Wanengpati (sebuah cerita Panji versi Melayu).
Dalam disertasinya, De Panji Roman (1922) Rassers mengemukakan
adanya unsur-unsur autochton (pribumi) dalam cerita Panji yang meliputi:
totemisme, sistem klasifikasi, mite, perkawinan eksogami, stam heros, dan
inisiasi.
Teori struktural antropologi Rassers ternyata dapat pula untuk
mengungkapkan bahwa di dalam cerita Panji Kudanarawangsa mengandung
unsur-unsur autochton (pribumi) yang meliputi: (a) totemisme, (b) sistem
klasifikasi, (c) myte, (d) perkawinan eksogami (cross cousin), (e) stam
heros, dan (f) inisiasi, bahkan unsur-unsur pribumi lainnya, misalnya batik
dan wayang.

Kata kunci: unsur-unsur autochton-Panji Kudanarawangsa – R. Ng.


Ranggawarsita

Pengantar
Panji (Raden Sinom, Raden Putra Kasatriyan, Ki Putra
Marabangun, Ki Panji Putra, Raden Inukertapati, Ki
Wanengpati, Raden Kuda Rawisrengga, Narpasunu, Prabu
Atmaja) adalah putra raja Jenggala yang kemudian diangkat
sebagai pahlawan kebudayaan (culture hero) di Asia Tenggara.
Nama panji sendiri berarti 'gelar bangsawan, nama pangkat
dalam ketentaraan, nama pangkat setingkat wedana'

274 – Panji Pahlawan Nusantara


(Prawiroatmodjo, 1957: 246), yang pada jaman kerajaan Daha
lazimnya untuk menyebut putra raja keturunan Jenggala.
Dalam kesastraan Jawa, cerita Panji merupakan jenis
karya sastra yang sangat populer dibandingkan karya-karya
Jawa lainnya. Cerita Panji pada mulanya adalah cerita rakyat
yang muncul pertama kali di Jawa Timur, kemudian tumbuh
dan berkembang dengan pesat. Penyebaran cerita tersebut ke
seluruh Nusantara, bahkan sampai ke Melayu, Siam, dan
Kamboja (Poerbatjaraka, 1964). Di Bali muncul cerita Panji
yang lebih terkenal dengan nama Malat, di Palembang timbul
Panji Angrèni, di Melayu terdapat Panji Sĕmirang.
Kepopuleran cerita Panji dalam versi Melayu sangat nyata
karena didapati lebih dari 100 judul cerita Panji yang dicipta
(Noriah dan Mariyam, 2005: 2-3). Setelah melewati Melayu,
maka cerita Panji menyebar ke Kamboja. Di Kamboja nama
‘Inu’ menjadi Eyno, sedangkan ‘Candrakirana’ menjadi
Bossaba (Poerbatjaraka, 1968).
Ada juga cerita lain yang merupakan bagian cerita Panji,
antara lain Dongèng Panji Raras, Andhé-Andhé Lumut (Tatik
Harpawati, 1986 dan Siti Rahayu, 1993), Kèn Limaran, dan
Kĕthèk Oglèng.
Adapun inti cerita Panji menurut Poerbatjaraka adalah:
(1) pelaku utama adalah Inu Kertapati, putra raja Kuripan dan
Candrakirana, putri raja Daha, (2) pertemuan Panji dengan
kekasih pertama, seorang dari kalangan rakyat, dalam
perburuan, (3) terbunuhnya kekasih tersebut, (4) hilangnya
Candrakirana, calon permaisuri Panji, (5) adegan-adegan

275 – Panji Pahlawan Nusantara


pengembaraan dua tokoh utama, dan (6) bertemunya kembali
dua tokoh utama yang kemudian diikat dengan perkawinan
(Baroroh-Baried, dkk., 1982).
Dalam sejarahnya, cerita Panji mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Pada Kesastraan Jawa Pertengahan
(Majapahit), cerita Panji yang muncul, misalnya: Panji
Wijayakrama, Wangbang Widéya, Smara Wédana, Dangdang
Pĕtak, Undakan Pangrus, Wasèng Sari, Indra Wismara, Singa
Brahmara, Misa Gagang, Mantri Wadak, Kuda Rawi Sandi,
Lembu Raga, Smara Wijaya, Mantri Weka, Mantri Jawa, Cili
Naya, Dangdang Ireng, Marut Smara, Panji Semirang (dari
Lombok) dan Malat Kung. Kitab Panji yang lahir pada zaman
Kartasura dan Surakarta, misalnya: Panji Ambarmanik, Panji
Angrèni (Amung Ananingsih, 1993), Panji Angronakung
(Tristiwati, 1990), Panji Asmarabangun, Panji Blitar, Panji
Dhadap (Pertiwi, 1990), Panji Jayakusuma, Panji Jayalĕngkara,
Panji Jayèngsari, Panji Jayèngtilam (Sutarman, 1986), Panji
Kudanarawangsa (Tedjowirawan, 1979), Panji
Kudawanèngpati, Panji Madubrangta, Panji Musna (Suharti,
1993), Panji Ngrénaswara, Panji Paniba (Dharmawati, 1992),
Panji Panuba, Panji Raras, Panji Sĕkar, Panji Sĕmbawa, dan
Panji Suryawasésa. Adapun Kitab Panji yang tercipta di
Melayu antara lain: Hikayat Andakan Pangurat, Hikayat
Awang Sulung Merah Muda, Hikayat Carang Kulina, Hikayat
Carang Misa Kembar Sari, Hikayat Cekel Wanengpati, Hikayat
Dewa Asmara Jaya, Hikayat Galuh Digantung, Misa

276 – Panji Pahlawan Nusantara


Tandreman, Hikayat Naya Kusuma, Hikayat Panji Kuda
Semirang (Noriah dan Mariyam, 2005: ix-x).

Penelitian Terhadap Cerita Panji


Cerita Panji sebagai karya sastra telah membangkitkan
minat para ahli dalam berbagai bidang untuk menelitinya.
Dalam bidang filologi dan sastra, penelitian Panji dilakukan
oleh Poerbatjaraka di dalam bukunya Pandji Verhalen
Onderling Vergeleken (1940), yang kemudian diterjemahkan
oleh Zuber Usman dan H. B. Jassin menjadi “Tjeritera Pandji
dalam Perbandingan” (1968); Teeuw dalam bukunya Shair Ken
Tambunan (1960), Ras dalam The Panji Romance and W. H.
Rassers Analysis of Its Theme (1973) dan Function and
Background of Indonesian Panjitales (1973), serta Robson
dalam bukunya Hikajat Undakan Panurat (1969) dan
Wangbang Wideya, A Javanese Panji Romance (1971). Kajian
dari segi sejarah dilakukan oleh Berg di dalam bukunya De
Middeljavaansche Historische Traditie (1927). Dalam bidang
antropologi, kajian cerita Panji dilakukan oleh Rassers dalam
bukunya De Panji Roman (1922). Rassers juga menulis Panji,
the Culture Hero: A Structural Study of Religion In Java
(1959). Anung Tedjowirawan (2004) mengikuti jejak Rassers
dengan membuat tulisan berjudul 'Persejajaran Unsur-unsur
Autochton Dalam Cerita Panji Angrèni dengan Cerita Pantun
Mundinglaya Dikusumah'. Disamping itu penelitian tentang
Panji juga dilakukan oleh Winsted dalam tulisannya The Panji
Tales (1941) dan juga dalam A Panji Tale from Kelantan

277 – Panji Pahlawan Nusantara


(1949) (Noriah dan Mariyam, 2005: 228). Adapun Baroroh-
Baried, dkk. meneliti unsur kepahlawanan Panji di dalam
bukunya Panji: Citra Pahlawan Nusantara (1982).
Berg mengemukakan bahwa ada cerita Panji berbahasa
Jawa Kuna yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Berg
mengatakan pula bahwa penyebaran cerita Panji kurang lebih
1277 M (Pamalayu) sampai 1400 M. Jadi, cerita Panji tercipta
sebelum 1277 M. Menurut Berg, epos Panji yang berasal dari
bahasa Jawa barangkali sudah populer dalam lingkungan istana
raja-raja Jawa Timur. Cerita itu terdesak ke belakang oleh
pendukung tradisi Hindu dan dianggap sastra yang kurang
bermutu. Baru di Bali dapat berkembang dengan bebas
(Poerbatjaraka, 1968).
Pendapat Berg disanggah oleh Poerbatjaraka.
Poerbatjaraka berpendapat bahwa timbulnya cerita Panji pada
zaman kejayaan Majapahit atau sesudahnya. Jadi timbulnya
cerita Panji bukannya sebelum 1277 M, melainkan sekitar 1400
M. Karena itu, tentu saja penyebarannya jauh di kemudian hari.
Di dalam Babad Tanah Jawi, Resi Gentayu berputra lima
orang, yaitu Rara Suciyan (Kili), Lembu Amiluhur (raja
Jenggala), Lembu Peteng (raja Daha), Lembu Pangarang
(Mangarang, raja Gegelang), dan bungsunya Nyai Ragil Sregi
Wangsa (Mregi Wangsa) yang kawin dengan Lembu Amijaya
(raja Singasari). Lembu Amiluhur berputra Inu Kertapati.
Lembu Peteng berputra Candrakirana. Inu Kertapati dan
Candrakirana kawin dan melahirkan Kuda Laleyan. Kuda

278 – Panji Pahlawan Nusantara


Laleyan bertahta di Pajajaran (Damono dan Sondakh, 2004:
20).
Resi Gentayu diidentifikasikan oleh G. P. Rouffaer
adalah Airlangga (Kartadirja, 1975). Dalam Babad Tanah Jawi
diterangkan bahwa Panji adalah cucu Resi Gentayu atau
Airlangga. Airlangga wafat pada 971 Ç dan dimakamkan di
Tirtha. Poerbatjaraka berpendapat bahwa latar belakang cerita
Panji adalah sejarah kerajaan Kediri sebagaimana termuat di
dalam Kakawin Smaradahana dengan beberapa bagian
mengenai peristiwa di kerajaan tersebut (Poerbatjaraka, 1940;
Siti Baroroh Baried, dkk., 1982). Dengan demikian,
Kameswaralah yang dihubungkan dengan Panji. Pada masa
pemerintahan Kameswara ditulis Kakawin Wŗţtāsañcaya oleh
Mpu Tan Akung. Selain itu ditulis Kakawin Smaradahana oleh
Mpu Dharmaja. Dalam Kakawin Smaradahana diterangkan
bahwa Kameswara adalah titisan Dewa Kama dan mempunyai
permaisuri bernama Sri Kirana Ratu (Candrakirana).
Akan tetapi, pendapat Poerbatjaraka tersebut dibantah
oleh Berg yang menyatakan bahwa latar belakang cerita Panji
adalah Kerajaan Majapahit dengan rajanya, (H) Ayam Wuruk.
Inti teori Berg adalah keinginan untuk menjelaskan pendapat
yang pernah dikemukakan sebelumnya serta pendapatnya yang
didasarkan atas teorinya berkenaan dengan sejarah Majapahit.
Berg membuktikan perkiraannya bahwa tampak jelas
persamaan antara roman Panji yang menceritakan bahwa Panji
mengalahkan banyak raja dan ekspansi yang dilakukan oleh
Negara Majapahit pada pertengahan abad ke 14.

279 – Panji Pahlawan Nusantara


Menurut Berg, di belakang struktur mitos cerita Panji
tersembunyi ingatan kepada situasi politik pada zaman
Majapahit Raya. Di dalam Kakawin Nagarakrtagama karya
Mpu Prapanca (Mulyana, 1979), wilayah Majapahit Raya
meliputi Melayu, Jambi, Palembang, Toba, Darmasraya,
Kandhis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Prokan, Kampar, Pane,
Kampe, Haru, Mandailing, Tamihang, Perlak, Padang, Lewas,
Lamori, Batan, Lampung, Barus. Negara-negara di Pulau
Tanjung Negara: Kapuas, Kalingan, Sampit, Kota Lingsa, Kota
Waringin, Sambas, Lawas, Kadandangan, Barune, Kalka,
Saludung, Solot, Pasir, Barito, Sawahu, Tabalung, Tanjung
Kutai, Malano, Hujung Medini, Pahang, Langka Suka,
Saimwang, Kelantan, Trengganu, Johor, Paka, Muar, Dungun,
Tumasik, Kalang, Kedah, Jerai, Kanjapingiran. Di sebelah
timur Jawa, yaitu Bali, Bedahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun,
Taliwang, Pulo Sapi, Dompo, Sang Hyang Api, Bima, Seran,
Hutan Kendali, Pulau Gurun (Lombok Merah), Sasak, Wilayah
Bantayan, Luwuk, Uda Makat Raya, Pulau-pulau Makasar,
Buton, Banggawai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Salat,
Muar, Wanda(n), Ambon Maluku, Wanin, Seram dan Timor.
Dari situasi zaman inilah dengan tokoh rajanya (H)Ayam
Wuruk timbul cerita (roman) Panji. Ayam Wuruklah yang
disebut Inu dalam kesastraan Jawa Kuna yang artinya ‘putra
mahkota’ (Baroroh-Baried, dkk., 1985).
Dalam hal latar belakang cerita Panji, Poerbatjaraka dan
Berg sependapat bahwa cerita Panji mempunyai latar belakang
sejarah. Hanya, Poerbatjaraka meletakkan tokoh yang

280 – Panji Pahlawan Nusantara


digambarkannya pada zaman Kediri, sedangkan Berg
meletakkan pada zaman Kerajaan Majapahit dengan rajanya
Ayam Wuruk (Baroroh-Baried, dkk., 1985). W.H. Rassers
menghubungkan tokoh Panji dengan Ken Arok (Angrok)
pendiri kerajaan Singasari pada tahun 1222 M, tetapi ia juga
menghubungkan tokoh Panji dengan Raden Wijaya, menantu
Kertanegara di Singasari (Ras, 1973 dalam Munandar, 2005:
6).
Pendapat Rassers yang menghubungkan tokoh Panji
dengan Ken Arok sukar dikonstruksi argumennya, sebab
karakter kedua tokoh tersebut saling bertentangan. Ken Arok
pada waktu muda adalah “preman” yang kerapkali melakukan
tindakan kriminal, sebaliknya karakter Panji adalah satria yang
santun, mahir dalam berbagai macam kesaktian dan kesenian
dan tidak pernah melakukan tindakan kriminal sebagaimana
Ken Arok (Munandar, 2005: 14).
Lain lagi dengan Bambang Yudoyono yang berpendapat
bahwa gelar “Apanji” pada Jayabaya mengilhami cerita-cerita
Panji. Dalam prasasti Hantang (Ngantang) 1057 Ç, gelar Raja
Jayabaya adalah “Sri Maharaja Sang Apanji Jayabhaya Sri
Warmmeswara Madhusudanawatara Nandita Surasingha
Parakrama Digjayottunggadewanama”. Gelar “Sang Apanji”
pada Jayabaya tersebut ternyata sangat terkenal, baik pada
zaman Kediri maupun pada masa-masa sesudahnya. Dari gelar
ini kemudian timbul bermacam-macam versi dan variasinya,
misalnya: Panji Inu Kĕrtapati, Panji Kuda Sĕmirang, dan Panji
Kuda Laléyan (Yudoyono, 1984).

281 – Panji Pahlawan Nusantara


Menanggapi perbedaan pendapat antara Poerbatjaraka
dengan C.C. Berg seperti yang diuraikan di atas maka Agus
Aris Munandar menilai ketidakkonsistenan pendapat Berg.
Menurut Agus Aris Munandar jika tersebarnya cerita Panji
seiring terjadinya Pamalayu (1277 M), sementara latar
belakang cerita Panji adalah semasa pemerintahan Hayam
Wuruk (1350-1389 M) maka bagaimana mungkin suatu cerita
yang belum terbentuk tetapi sudah menyebar. Sangat menarik
apabila mencermati tesis Agus Aris Munandar yang
menyatakan bahwa rentang terjadinya peristiwa-peristiwa yang
menjadi bingkai sejarah cerita Panji adalah sejak runtuhnya
Singasari (1292 M) hingga era pemerintahan Rajasanagara
(Hayam Wuruk) di tahun 1350-1389 Masehi. Peristiwa-
peristiwa sejarah yang penting pada waktu itu adalah:
1. Runtuhnya Singasari akibat serangan dari
Jayakatwang; 2. Pelarian Krtarajasa Jayawarddhana (Raden
Wijaya) disertai kawan-kawannya dari Singasari dan
mengungsi ke Madura untuk menemui Arya Wiraraja; 3.
Raden Wijaya dan kawan-kawan membangun pedukuhan
Majapahit di hutan Tarik; 4. Pemberontakan-pemberontakan
dalam zaman pemerintahan Jayanagara di Majapahit (1309-
1328 M); 5. Masa pemerintahan Tribhuwanottunggadewi
Jayawisnuwarddhani, dan aktivitas pemadaman pemberontakan
yang dilakukan oleh pasukan Majapahit yang dipimpin
langsung oleh sang ratu; 6. Masa keemasan Majapahit
dibawah kekuasaan Hayam Wuruk: kemahiran Hayam Wuruk
dalam berolah seni, perjalanan-perjalanan raja itu sebagaimana

282 – Panji Pahlawan Nusantara


yang diuraikan dalam Desawarnnana, peristiwa Bubat,
pernikahan Hayam Wuruk dengan sepupunya yang menurut
Pararaton disebut Paduka Sori (Munandar, 2005: 21).
Peristiwa-peristiwa sejarah yang terekam di dalam
prasasti, Kakawin Nagarakrtagama (Desawarnnana) maupun
Pararaton itulah yang kemudian dihadirkan secara metafora ke
dalam berbagai kisah Panji, terutama dalam Panji Angrèni
(Palembang), Hikayat Panji Kudasemirang dan cerita Panji
Kamboja.

Penelitian Terhadap Panji Kudanarawangsa


Pujangga besar R. Ng. Ranggawarsita mencipta kurang
lebih 70 karya yang meliputi berbagai bidang. Sĕrat Panji
Jayèngtilam dan Sĕrat Panji Kudanarawangsa adalah dua
diantara tujuh puluh buah karya pujangga tersebut yang
mengambil Panji sebagai tokohnya. Didalam konstruksi teks-
teks Pustakaraja, pujangga R. Ng. Ranggawarsita hanya
menempatkan empat karya cerita Panji yaitu Sĕrat
Jayalengkara, Sĕrat Darmakusuma, Sĕrat Catasi Panuwaka, dan
Sĕrat Suryawisesa. Dalam hal ini Sĕrat Jayalengkara, Sĕrat
Darmakusuma dan Sĕrat Catasi Panuwaka termasuk ke dalam
kelompok Sĕrat Mahaprana, sedangkan Sĕrat Suryawisesa
termasuk dalam kelompok Sĕrat Mahakrasma. Baik Sĕrat
Mahaprana dan Sĕrat Mahakrasma adalah bagian dari Sĕrat
Pustakaraja Puwara (Tedjowirawan, 2009: 168).
Sĕrat Panji Kudanarawangsa pernah diterbitkan oleh
Balai Pustaka 1936, Seri No. 1246. Poerbatjaraka juga pernah

283 – Panji Pahlawan Nusantara


membicarakan sĕrat ini dalam bukunya yang berjudul Pandji
Verhalen Onderling Vergeleken (1940) yang kemudian
diterjemahkan oleh Zuber Usman dan H.B. Jassin menjadi
Tjeritera Pandji dalam Perbandingan (1968). Dalam bukunya
tersebut Poerbatjaraka menilai bahwa Sĕrat Panji
Kudanarawangsa bermutu rendah, seni puisinya kurang, dan
bahasa yang digunakan tampak kikuk.
Yayasan Paheman Radyapustaka Surakarta pada tahun
1970 pernah mentranskripsi Sĕrat Panji Kudanarawangsa. Hal
yang sama juga dilakukan oleh Maharkesti (Lembaga Sejarah
dan Anthropologi, 1972). Anung Tedjowirawan (1979) dalam
skripsinya yang berjudul Tinjauan Sĕrat Panji Kudanarawangsa
Karya R. Ng. Ranggawarsita mengadakan perbandingan atas
ketiga teks Panji Kudanarawangsa terbitan Balai Pustaka di
atas dengan naskah turunan Panji Kudanarawangsa koleksi
Perpustakaan Sanabudaya Yogyakarta (No. PB.A.62) maupun
Panji Kudanarawangsa dalam Tjeritera Pandji dalam
Perbandingan yang bersumberkan naskah Brandes No. 295.
Dalam skrispsinya ia juga menganalisis strukturnya,
diantaranya: tema dan motif, penokohan, alur, setting, tendensi,
bahasa dan kesusastraan, dan sebagainya. Moeljono
Sastronaryatmo dan R.Aj. Indri Nitriani (1989) mentranskripsi
dan menyadur Sĕrat Panji Kudanarawangsa dan
menerbitkannya dalam Proyek Penerbitan Bacaan Indonesia
dan Daerah (Depdikbud). Abdul Rahman Kaeh (1989) juga
menulis buku yang berjudul Panji Narawangsa yang
diterbitkannya di Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur,

284 – Panji Pahlawan Nusantara


Malaysia. Christine Permanasari (2008) dalam skripsinya
mentransliterasi, menerjemahkan dan menganalisis gaya
bahasa yang terkandung dalam Sĕrat Panji Kudanarawangsa
ini. Pada tahun yang sama ia juga membuat suatu tulisan
tentang Stilistika dalam Sĕrat Panji Kudanarawangsa ini, yang
diajukan dalam Seminar Internasional Pujangga R. Ng.
Ranggawarsita di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta. Menurut Christine Permanasari bahwa
Sĕrat Panji Kudanarawangsa banyak menggunakan bermacam-
macam jenis gaya bahasa. Dengan menggunakan teori
stilistika, dapat dilihat bahwa pujangga R. Ng. Ranggawarsita
dalam menciptakan Sĕrat Panji Kudanarawangsa menggunakan
gaya bahasa klimaks sebanyak 7 buah, gaya bahasa antiklimaks
2 buah, gaya bahasa pararelisme 4 buah, gaya bahasa repetisi
epizeuksis 3 buah, gaya bahasa aliterasi 5 buah, gaya bahasa
asonansi 4 buah, gaya bahasa apofasis atau pretesio 7 buah,
gaya bahasa asindeton 8 buah, gaya bahasa polisindeton 5
buah, gaya bahasa eufemismus 5 buah, gaya bahasa litotes 9
buah, gaya bahasa prolepsis atau antisipasi 9 buah, gaya bahasa
hiperbol 116 buah, gaya bahasa paradoks 7 buah, gaya bahasa
persamaan atau simile 149 buah, gaya bahasa metafora 55
buah, gaya bahasa fabel 4 buah, gaya bahasa personifikasi 60
buah, gaya bahasa eponim 15 buah, gaya bahasa epitet 4 buah,
gaya bahasa sinekdoke 7 buah, gaya bahasa antonomasia 2
buah, gaya bahasa ironi 50 buah, gaya bahasa sarkasme 16
buah, gaya bahasa satire 25 buah, dan gaya bahasa inuendo 9
buah.

285 – Panji Pahlawan Nusantara


Penggunaan gaya bahasa tersebut bertujuan supaya dapat
memberikan tekanan terhadap ungkapan-ungkapan yang
dipakainya, dan menimbulkan unsur-unsur misalnya unsur
humor, sehingga dengan berbagai gaya bahasa yang digunakan,
pembaca lebih mudah memahami dan berimajinasi terhadap
keadaan yang sebenarnya. Selain itu, supaya efek yang
diinginkan tiap-tiap gaya bahasa dapat tercapai.
Salah satu tolok ukur keindahan karya sastra yaitu
terletak pada keindahan gaya bahasa yang digunakannya.
Dalam hal ini, Sĕrat Panji Kudanarawangsa memenuhi kriteria
keindahan itu, terbukti dari ketepatan penerapan penggunaan
gaya bahasanya. Keindahan, kepuitikan Sĕrat Panji
Kudanarawangsa sangatlah wajar apabila mengingat
penciptanya yaitu R. Ng. Ranggawarsita. Beliau adalah penulis
yang ulung terutama dalam bentuk puisi tradisional (tembang
Macapat). Bahkan menurut Ras, R. Ng. Ranggawarsita juga
seorang penulis prosa yang bermutu, meskipun dalam kawasan
sastra klasik (Ras, 1985: 3). Namun, jika Poerbatjaraka
menyatakan bahwa Sĕrat Panji Kudanarawangsa bermutu
rendah, seni puisinya kurang, dan bahasanya tampak kikuk,
tentu beliau mempunyai standar penilaian tersendiri
(Permanasari, 2008: 351-352).
Disamping itu Sunarto AS. (ahli seni tari dari STSI
Wilwatikta Surabaya) pernah menaruh minat yang besar pada
cerita Panji Kudanarawangsa. Hal ini dibuktikannya dengan
sendratari ciptaannya yang digali dan diangkat dari cerita Panji
tersebut dan mementaskannya ke berbagai negara.

286 – Panji Pahlawan Nusantara


Teori Rassers
Willem Huibert Rassers adalah sarjana Barat pertama
yang mengkaji cerita Panji dengan pendekatan antropologi
(Ekadjati, 1978) dengan menggunakan bahan utama Hikayat
Cekel Wanengpati (sebuah cerita Panji versi Melayu). Dalam
disertasinya, De Panji Roman (1922) Rassers mengemukakan
adanya unsur-unsur autochton (pribumi) dalam cerita Panji
yang meliputi: totemisme, sistem klasifikasi, mite, perkawinan
eksogami, stamheros, dan inisiasi.
Dalam disertasinya, Rassers berpendapat bahwa asal usul
cerita Panji tidak lain adalah cerita atau mitos bulan dan
matahari, yang membayangkan susunan masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang bersifat totemisme.
Artinya masyarakat Jawa terjadi dari dua golongan yang
eksogami, kedua golongan ini sebenarnya bermusuhan. Akan
tetapi karena susunan masyarakatnya, pemuda yang satu
golongan terpaksa mencari gadis dari golongan lain atau
sebaliknya (Liauw Yock Fang, 1975). Rassers juga
membuktikan adanya hubungan erat antara cerita Panji dan
cerita-cerita yang ada sebelum zaman Hindu di Indonesia
(mitologi Indonesia) dan juga ada hubungannya dengan cerita-
cerita yang berasal dari India (Ekadjati, 1978). Pendekatan
struktural antropologi atas cerita Panji versi Melayu di depan
berakhir dengan suatu teori bahwa cerita Panji itu berlatar
belakang mitos asal-usul suku bangsa Jawa. Ceritanya
mengandung kisah inisiasi para nenek moyang, yaitu Inu dan

287 – Panji Pahlawan Nusantara


Candrakirana sebelum mereka mencapai kesempurnaan dan
kedewasaan dalam perkawinan yang kemudian menghasilkan
suku bangsa Jawa sebagai keturunan mereka. Inisiasi
diungkapkan dalam bentuk cerita pengembaraan tokoh utama.
Mitos ini milik suku bangsa Jawa sejak masih berupa
masyarakat klan yang eksogami (Rassers dalam Baried, dkk.,
1982).
Rassers mengaitkan tema cerita Panji dengan totemisme.
Ia menjumpai hubungan yang erat antara tema cerita Panji dan
data-data antropologi. Menurut Rassers, cerita Panji
mempunyai hubungan erat dengan unsur-unsur kebudayaan
masyarakatnya, tetapi bukanlah roman sejarah.
Beberapa kelemahan dalam penelitian Rassers (1922)
dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Pertama, Rassers memakai
sumber teks (Hikayat Cekel Wanengpati) yang di dalam
golongan bentuk cerita Panji relatif muda dan telah mengalami
penambahan dan perubahan. Padahal, penelitian tentang makna
asal atau makna purba seharusnya bersumberkan teks yang tua
dan seasli mungkin. Kelemahan ini disebabkan oleh karena
pilihan teks tidak didahului telaah kritikal mengenai teks-teks
Panji yang ada. Suatu hal yang tentunya di luar jangkauan
Rassers sebagai ahli antropologi (Baried, dkk., 1982). Kedua,
Rassers mengambil kesimpulan tentang masyarakat Jawa
berdasarkan sumber dalam bahasa Melayu (Ras dalam
Baroroh-Baried, dkk., 1982). Cerita Panji memang pertama-
tama timbul dalam bahasa Jawa dan kemudian disalin
(diciptakan) kembali dalam bahasa Melayu, Bali, Sasak,

288 – Panji Pahlawan Nusantara


bahkan Kamboja. Dapat dipastikan bahwa dengan adanya
pemindahan bahasa, akan terjadi adaptasi-adaptasi dalam
kebudayaan masyarakat penyambut yang baru sehingga sudah
tidak sejalan dengan situasi asli Jawanya (Baroroh-Baried,
dkk., 1982). Dari sudut filologi pun Ras menilai bahwa
amatlah gegabah untuk mencomot saja satu cerita Panji tanpa
melalui pemilihan yang teliti terlebih dahulu (Ekadjati, 1978)
berbagai bentuk (cerita Panji) yang ada dan tidak pula
membuktikan bahwa pada hakikatnya bentuk-bentuk yang
berbeda itu merupakan variasi dari tema yang itu-itu juga
(Baroroh-Baried, dkk, 1982).
Terlepas dari berbagai kelemahan Rassers seperti yang
ditunjukkan oleh Poerbatjaraka maupun Ras, pandangan baru
Rassers yang sangat tajam ini cukup mengejutkan dan
membuka mata para peneliti selanjutnya serta terasa sekali
nilainya. J. L. Swelengrebel dalam disertasinya Korawaçrama
(1936) telah mendukung penemuan Rassers. Di dalam
disertasinya, Swelengrebel mengemukakan bahwa pada
dasarnya di dunia ini harus ada keseimbangan antara unsur-
unsur yang saling bertentangan sekaligus saling mengisi.
Dalam Korawaçrama, Vyasa mendapat perintah dari
Vrahaspati dan Paramesthi untuk menghidupkan Korawa.
Dihidupkannya kembali Korawa dengan jelas menunjukkan
konteks historis cerita Korawaçrama, yakni pandangan tentang
keseimbangan antara dua kelompok demi kesejahteraan dunia.
Baik Pandawa maupun Korawa harus hadir bersama di dunia
karena tanpa kehadiran salah satu di antara keduanya dunia

289 – Panji Pahlawan Nusantara


menjadi tidak normal (Jayaatmaja, 2000). Dengan hadirnya
Korawa di dunia, keseimbangan dapat tetap dipelihara. Mula-
mula Korawa dihancurkan, kemudian mereka membalas
dendam kepada Pandawa. Namun, Korawa tidak berhak
membunuh mereka karena Pandawa juga tidak dapat
dimusnahkan. Kehadiran Pandawa dan Korawa sangat
menentukan tegaknya tertib kosmos karena keduanya menjadi
pengisi dunia (Jayaatmaja, 2000).
Di dalam Korawaçrama dapat dilihat adanya kesadaran
pentingnya pemikiran kosmologis. Budaya yang beradab
semacam itu meyakini hubungan yang sangat erat antara dunia
atas dan dunia bawah, di dunia makhluk satu pihak dan dunia
Ilahiah di lain pihak. Korawaçrama menggambarkan keserasian
antara dunia bawah yang diwakili Korawa dan dunia atas yang
diwakili Pandawa. Keduanya menjamin kestabilan. Di dalam
konteks sukha (kebahagiaan) dan dukha (penderitaan), baik
Korawa maupun Pandawa harus mengalami sukha-dukha
secara bergantian dan hanya terpaut oleh waktu. Kelak pada
kemudian hari Pandawa akan mengalami dukha dengan
menjadi perusak di segala penjuru dan mengalami kematian
dengan cara candala. Sebaliknya, kelak Korawa akan
mengalami sukha dengan syarat mereka harus menempa diri
dengan bertapa di açrama sehingga kesaktian mereka
menyamai Rahwana dan memperoleh anugerah yang sama
dengannya dari Brahma (Jayaatmaja, 2000). Atas petunjuk
Vyasa, Bhisma dan para Korawa kemudian berguru kepada
Sang Rama Parasu. Setelah Sang Rama Parasu memberikan

290 – Panji Pahlawan Nusantara


ajaran kepada para Korawa, ia memerintahkan mereka untuk
bertapa.

Unsur-unsur Autochton dalam Cerita Panji


Kudanarawangsa
Dalam tulisan ini, saya akan menggunakan Sĕrat Panji
Kudanarawangsa yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1936),
Seri No. 1246, tebal 120 halaman, yang terbagi dalam 14
babak, berbentuk tembang Macapat dengan jumlah 48 pupuh,
terdiri atas 719 bait, dan menggunakan huruf Jawa. Sĕrat Panji
Kudanarawangsa menceritakan Dewi Candrakirana (Sekartaji),
putri Daha yang dibuang ke hutan dan kemudian oleh Bathara
Narada ia diubah menjadi laki-laki dengan nama Panji
Kudanarawangsa, kemudian ia diperintahkan kembali kepada
suaminya yaitu Raden Panji (Inu Kertapati) dalam bentuk
penyamaran. Sementara itu, seorang tokoh lain yaitu Wadal
Wredi datang ke Jenggala dengan menyamar dan mengaku
bahwa dirinya adalah Dewi Candrakirana yang tengah terkena
kutukan.
Dalam bentuk penyamaran sebagai laki-laki itulah
karakter Dewi Sekartaji yang cantik jelita, berbudi halus,
lemah lembut, tabah, berubah menjadi sangat kontras. Panji
Kudanarawangsa digambarkan bersifat latah, agak kasar,
congkak, sombong, dan suka mencela orang lain. Cacian dan
cercaan Kudanarawangsa terhadap Candrakirana palsu terasa
kocak tetapi tajam menikam hati. Dalam hal ini, Panji
Kudanarawangsa seolah-olah dijadikan sarana bagi pujangga

291 – Panji Pahlawan Nusantara


R. Ng. Ranggawarsita untuk menunjukkan kepandaian,
kelebihan, kemahiran sang pujangga di dalam merangkai kata
dan melukiskan berbagai perumpamaan-perumpamaan dengan
menggunakan gaya bahasanya sendiri (Tedjowirawan, 1979;
Permanasari, 2008: 319-320).
Dengan mendasarkan diri pada teori struktural
antropologi Rassers, unsur-unsur autochton dalam cerita Panji
Kudanarawangsa dapat diungkapkan sebagai berikut.
1. Totemisme
Totemisme adalah kecenderungan sikap untuk
menganggap binatang atau tumbuh-tumbuhan sebagai nenek
moyang. Nama binatang atau tumbuh-tumbuhan kemudian
diambil sebagai nama marga atau suku. Penamaan marga
disesuaikan dengan kepandaian nenek moyang. Apabila nenek
moyang itu pandai memanjat, mereka menamakan marga
mereka kera. Demikian pula terjadinya nama-nama suku
lembu, kuda, dan sebagainya.
Dalam Sĕrat Panji Kudanarawangsa, unsur-unsur
totemisme yang menonjol misalnya: (1) kuda (horse) untuk
penamaan Kudanarawangsa, Kuda Jayengsekar, Kuda
Jayengtilam (Candrakirana, Sekartaji), Patih Kudanawarsa
(Patih Jenggala), Kuda Rawisrengga (Panji), Undakan (Kuda)
Astracapa (Lempung Karas) dan Kuda Bebangah (2) kĕbo
‘kerbau’ (buffalo) untuk penamaan Kebo Wanengbumi
(Prasanta), Kebo Kenanga (Pamade), Kebo Prakosa (Punta),
Kebo Kanigara (Kertala), (3) macan ‘harimau’ (tiger) untuk
penamaan Macan Galak (Perwira Pasukan Seberang), (4) singa

292 – Panji Pahlawan Nusantara


(lion) untuk penamaan Patih Jayasinga (Patih Kerajaan
Urawan), (5) gajah (elephant) untuk penamaan Gajah Kaladaru
(Patih Kerajaan Seberang), dan (6) gagak (crow) untuk
penamaan Gagak Pranala (Panji) dan Gagak Permada (Perwira
Pasukan Seberang).
2. Sistem Klasifikasi
Sistem klasifikasi terjadi karena adanya dua unsur yang
saling bertentangan, tetapi saling isi serta melengkapi untuk
mencapai keseimbangan dunia atau dapat dikatakan dualistis
komplementer. Seandainya ada sedih, harus pula ada rasa
gembira; ada gelap, harus ada terang; ada siang, harus ada
malam; begitu dan seterusnya.
Dalam Sĕrat Panji Kudanarawangsa, Panji
(Asmarabangun), putra Raja Keling (Janggala atau Kuripan)
berpasangan dengan Dewi Sekartaji atau Candrakirana, putri
Raja Mamenang (Daha atau Kadiri). Kedua putra raja tersebut
telah dikawinkan, namun beberapa waktu kemudian Sekartaji
diculik dewa dan ditempatkan di hutan. Kemudian oleh Sang
Hyang Narada, Candrakirana (Sekartaji) diubah menjadi
seperti laki-laki dengan diberi nama Kudanarawangsa (Wasi
Jayengresmi). Ia diminta mengabdi pada Panji di Jenggala. Di
pihak lain Bathari Durga membawa Wadal Werdi dari
Pejagalan untuk masuk ke Jenggala dan mengaku sebagai
Candrakirana yang sedang mendapat cobaan dewa dengan
menjelma seperti raksasi. Dia menginginkan agar dapat kawin
dengan Panji.

293 – Panji Pahlawan Nusantara


Panji Kudanarawangsa (Candrakirana) sekalipun ia
tampak laki-laki namun sifat perempuannya misalnya dalam
hal berpakaian masih menampakkan kerapian. Meskipun
Candrakirana didandani seperti laki-laki, namun Panji sangat
sayang kepadanya, seperti ditunjukkannya pada Sekartaji,
istrinya dahulu. Namun Candrakirana sebagai
Kudanarawangsa memiliki karakter yang berbeda dengan Dewi
Sekartaji. Panji Kudanarawangsa digambarkannya bersifat
latah, agak kasar, congkak, sombong dan suka mencela orang
lain terutama kepada Candrakirana palsu (Wadal Werdi).
Cacian dan cercaan Panji Kudanarawangsa terasa kocak tetapi
tajam menikam hati. Sebaliknya Panji digambarkan tetap setia
terhadap istrinya meskipun Candrakirana (palsu) bentuknya
berubah seperti raksasi. Namun ia tetap sayang kepada istrinya
itu. Dibalik kesetiaan Panji, maka tampaklah ia bodoh, tidak
tajam penglihatan batinnya bahwa yang tengah ia hadapi
adalah Wadal Werdi dari Pejagalan. Wadal Werdi yang tampak
seperti raksasi dan tetap menampakkan sifat-sifatnya yang
buruk, dalam hal makan ia sangat rakus, senang bersolek dan
berhias diri serta gila untuk dipuji. Meskipun demikian Panji
tetap mencintainya karena keampuhan mantra guna pengasihan
yang dirapalkan Wadal Werdi yang tidak dapat diatasi oleh
Panji. Sekalipun demikian tetap dikatakan bahwa Panji
mewakili golongan laki-laki, sedangkan Dewi Sekartaji atau
Candrakirana mewakili golongan wanita.
Dipandang dari sudut kebaikan dan keburukan, Panji
maupun Panji Kudanarawangsa (Candrakirana) adalah sebagai

294 – Panji Pahlawan Nusantara


lambang kebaikan. Adapun Wadal Werdi maupun Prabu
Kelana Sewandana (raja Seberang) yang melamar Mindaka
(putri raja Urawan) adalah sebagai lambang keburukan. Dalam
peperangan yang terjadi antara kebaikan (Panji dan saudara-
saudaranya) melawan keburukan (Prabu Kelana Sewandana
dan pasukannya) akhirnya dimenangkan kebaikan.
3. Myte
Myte adalah cerita yang dianggap benar-benar terjadi dan
dianggap sakral oleh pendukungnya. Di dalamnya juga
menceritakan dewa-dewa atau makhluk setengah dewa.
Dalam cerita Panji Kudanarawangsa, tokoh Panji
(Asmarabangun) dan Dewi Sekartaji (Candrakirana) dapat
dimitoskan sebagai matahari dan bulan. Hal ini sebenarnya
sudah tersirat di dalam penamaan tokoh-tokohnya. Tokoh Panji
seringkali memakai nama dengan unsur matahari. Dalam Panji
Kudanarawangsa tokoh Panji juga bernama Panji Kuda
Rawisrengga. Dalam hal ini kata rawi sendiri berarti 'matahari'.
Adapun nama Candrakirana memiliki unsur bulan karena kata
candra berarti 'bulan'.
Dalam Panji Kudanarawangsa para tokoh utamanya
sering berkaitan dengan keberadaan dewa. Hal ini bisa dilihat
ketika Candrakirana diculik Dewa dan dijatuhkan di hutan, ia
melakukan samadi sehingga kahyangan menjadi goncang.
Karena itu Sang Hyang Narada diminta turun menjumpai
Candrakirana dan kemudian merubahnya menjadi seperti laki-
laki dengan diberi nama Panji Kudanarawangsa (Wasi
Jayengresmi) dan diperintahkan untuk mengabdi kepada Panji

295 – Panji Pahlawan Nusantara


di Jenggala. Demikian pula sewaktu Sekartaji yang menyamar
sebagai Citralangenan dan berada di Pesanggrahan Kalidadung
dan ketika ia mau diperistri oleh Kalana Sewandana (raja
Seberang) maka ia pun melakukan samadi. Pada waktu itulah
Panji (Tumenggung Cakranegara) yang menyamar sebagai
dewa menjumpai Citralangenan (Sekartaji) dan membawanya
pergi ke kerajaan Urawan.
Pada pihak lain, Wadal Werdi dari Pejagalan dibawa
Bathari Durga dan dimasukkan ke dalam istana Jenggala untuk
menggantikan posisi Sekartaji yang hilang. Ia diminta
mengakui bahwa dirinya sebagai Candrakirana yang tengah
mendapat cobaan dewa, sehingga bentuk tubuhnya berubah
menjadi seperti raksasi. Namun pada waktu Wadal Werdi
ketahuan kedoknya dan akan dibunuh oleh utusan Panji yaitu
Punta dan Kertala maka Bathari Durga secepatnya mengangkat
dan menyelamatkannya untuk ditempatkan kembali ke
Pejagalan.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pencarian Panji atas
hilangnya Candrakirana (Sekartaji) atau sebaliknya pencarian
Candrakirana atas hilangnya Panji (pada versi cerita Panji yang
lain) dapat diibaratkan sebagai perjalanan matahari mencari
bulan (siang hari), atau pun bulan mengejar matahari (malam
hari). Pada akhirnya Panji bertemu kembali dengan
Candrakirana, demikian pula yang terjadi dalam cerita Panji
Kudanarawangsa.
4. Perkawinan Eksogami

296 – Panji Pahlawan Nusantara


Perkawinan eksogami (cross cousin) adalah perkawinan
di luar marga, dan tidak sedarah. Perkawinan eksogami banyak
dianut oleh masyarakat Jawa. Anak dari saudara sesama
perempuan tidak boleh dikawinkan, tetapi anak saudara laki-
laki dengan perempuan boleh dikawinkan.
Di dalam cerita Panji Kudanarawangsa, Panji adalah
putra raja Jenggala, sedangkan Dewi Sekartaji adalah putra raja
Daha. Panji dan Sekartaji sudah dikawinkan. Di dalam
kebanyakan cerita Panji dikatakan bahwa Panji adalah putra
Prabu Lembu Amiluhur (Jenggala), sedangkan Dewi Sekartaji
(Candrakirana) adalah putri Prabu Lembu Amijaya (Daha atau
Kediri). Dengan demikian menurut pandangan masyarakat
Jawa, Panji boleh dikawinkan dengan Candrakirana. Demikian
pula terjadinya perkawinan antara Carang Waspa (Astracapa),
adik Panji, dengan Mindaka (putri Raja Urawan) maupun
perkawinan antara Onengan (Ragil Kuning), adik Panji yang
lain, dengan Gunungsari (Wukirsantun) putra raja Daha.
Di dalam kesastraan Jawa yang lebih tua (misalnya di
dalam Mahābhārata) maka perkawinan antara putra sesama
saudara laki-laki lazim terjadi, misalnya perkawinan Pancawala
(putra Yudhistira) dengan Dewi Pergiwati (putri Arjuna),
Gatotkaca (putra Bima) dengan Dewi Pergiwa (putri Arjuna).
Dalam kesastraan Jawa Pertengahan perkawinan antara putra
saudara laki-laki juga tampak, misalnya di dalam Kidung Sri
Tanjung (Prijono, 1938), yakni terjadinya perkawinan antara
Sidapaksa (putra Nakula) dengan Sri Tanjung (putri Sadewa).
5. Stam Heroes

297 – Panji Pahlawan Nusantara


Stam heroes adalah pahlawan suku yang menumbuhkan
pahlawan besar. Didalam cerita Panji pada umumnya selain
unsur-unsur cinta, unsur-unsur peperangan juga menduduki
posisi yang penting. Kedua unsur tersebut saling melengkapi.
Dalam Sĕrat Panji Kudanarawangsa yang mengambil
tokoh utama Sekartaji (Candrakirana), sekalipun tidak seperti
cerita Panji pada umumnya yang menampilkan banyak
peperangan, maka peperangan yang terjadi dalam Sĕrat Panji
Kudanarawangsa ini misalnya peperangan antara Panji dengan
seekor banteng yang buas. Peperangan tersebut berakhir
dengan ditundukkannya banteng tersebut yang ternyata adalah
penjelmaan Kuda Bebangah, putra Begawan Sukarti dari
pertapaan Pancuran. Dengan diiringkan Kuda Bebangah, Panji
dan saudara-saudaranya kemudian menghadap Begawan
Sukarti untuk mendapatkan nasihat-nasihat dan berbagai ilmu
yang berharga. Atas nasihat Begawan Sukarti, Panji dan
saudara-saudaranya pergi ke kerajaan Urawan dalam
penyamaran untuk mengabdi kepada Prabu Bauwarna. Pada
waktu itu raja Urawan tengah bersedih hati karena putrinya
dilamar oleh Prabu Kalana Sewandana (raja sakti dari
Seberang). Panji dan saudara-saudaranya diminta untuk
membantu raja Urawan untuk melawan Prabu Kalana
Sewandana. Dalam peperangan yang dahsyat akhirnya Prabu
Kalana Sewandana dapat dibunuh oleh Carang Waspa
(Astracapa).
Peperangan-peperangan dan kemenangan yang dicapai
Panji dan saudara-saudaranya semakin mengukuhkan status

298 – Panji Pahlawan Nusantara


kepahlawanan mereka bagi sukunya (keluarga raja Jenggala).
Oleh karena itu mereka dapat dikatakan sebagai stam heros.
Sedyawati Suleman menilai bahwa diciptakannya tokoh Panji
sebagai ksatria pribumi oleh keluarga raja Kediri adalah dalam
rangka menandingi tokoh 'ksatria impor' dari India, seperti para
Pandhawa dan Rama yang banyak diacu oleh keluarga raja-raja
Majapahit yang sedang berkuasa (Munandar, 2005: 7).
6. Inisiasi
Inisiasi adalah masa peralihan untuk menempuh hidup
baru dengan meninggalkan hidup yang lama atau cara untuk
mengantarkan seorang anak ke dalam lingkungan kedewasaan.
Dalam masyarakat kita kenal peristiwa “sunat”. Dalam suku
pedalaman, hal seperti itu kadang-kadang dilakukan dengan
keras, misalnya seseorang yang ingin masuk ke dalam
lingkungan kehidupan dewasa, harus diadu sebagai ujiannya.
Dalam cerita Panji Kudanarawangsa, Sekartaji
(Candrakirana) menghadapi cobaan yang sangat berat. Ia harus
berpisah dari suaminya dengan cara yang menyedihkan yaitu
diculik dan dijatuhkan di tengah hutan. Candrakirana kemudian
bersamadi dan oleh Sang Hyang Narada ia diubah seperti laki-
laki dan diberi nama Kudanarawangsa (Wasi Jayengresmi). Ia
harus mengabdi kepada Panji, suaminya, di Jenggala dan harus
menyaksikan suaminya menikah lagi dengan wanita lain yaitu
Wadal Werdi, yang mengaku sebagai dirinya, yang tengah
menerima cobaan dari Dewata. Sekartaji menjadi tahu bahwa
suaminya sangat setia dan mencintai dirinya, sehingga
meskipun Sekartaji palsu (Wadal Werdi) buruk rupa, tetapi

299 – Panji Pahlawan Nusantara


Panji tetap mencintainya. Dalam hal ini Panji juga tampak
bodoh dan tidak berdaya untuk membebaskan dirinya dari
pengaruh buruk mantra guna-guna (pengasihan) yang
dirapalkan Wadal Werdi.
Panji Kudanarawangsa kemudian dengan sedih
meninggalkan Jenggala pada tengah malam. Ia masuk ke hutan
belantara yang gelap gulita. Pada waktu ia pergi meninggalkan
kerajaan Jenggala, binatang-binatang malam seakan-akan
menganjurkan agar ia menjauhi Panji. Sekartaji akhirnya
menyamar sebagai Citra Langenan dan ditemukan oleh seorang
patih dari kerajaan Seberang dengan maksud akan
dipersembahkan kepada rajanya yaitu Prabu Kalana
Sewandana untuk dijadikan sebagai istri.
Pada pihak lain Panji setelah ditinggalkan oleh Panji
Kudanarawangsa serta membaca suratnya, bahwa Panji
Kudanarawangsa adalah Sekartaji, menjadi sangat sedih
sehingga jatuh pingsan. Panji menjadi sangat marah pada
Candrakirana palsu, karena itu ia segera memerintahkan Punta
dan Kertala untuk membunuh Wadal Werdi. Namun sewaktu
Wadal Werdi akan dibunuh, maka Bathari Durga segera
menyelamatkannya. Sekartaji dan Panji berhasil mengatasi
berbagai cobaan hidup sehingga akhirnya mereka disatukan
kembali dalam kebahagiaan.
Disamping unsur-unsur autochton (pribumi) berdasarkan
teori Rassers di atas maka unsur-unsur autochton dalam cerita
Panji Kudanarawangsa lainnya adalah mengenai batik dan
wayang. Adapun mengenai batik dapat disimak dalam

300 – Panji Pahlawan Nusantara


percakapan Panji Kudanarawangsa yang mencela para putri
(selir Panji) yang dianggapnya kurang mahir di dalam merada
dan membatik. Para selir Panji pun membalas dengan
mengatakan bahwa Panji Kudanarawangsa tentu tidak dapat
membatik karena dia berasal dari gunung. Namun Panji
Kudanarawangsa dapat membuktikan kemahirannya di dalam
membatik sehingga para selir Panji menjadi terkejut, kagum
bercampur malu. Dialog Panji Kudanarawangsa dengan para
selir Panji tersebut dapat dilihat pada Sĕrat Panji
Kudanarawangsa pupuh XIII Asmaradana seperti kutipan
berikut:
4. ... angling Kudanarawangsa.
5. Olèhira anungging, kaya cinakar ing ayam, nora patut dadi wadon,
angur padha cawĕtana, kambi amikul kranjang, lan aja anganggo
pinjung, yèn nora bisa mĕrada.
6. Mojar sagung para sèlir: Wong Agung wagĕd punapa, amung
nandur kĕnthang cĕngkèh, nandur kimpul matun gaga, pantuné wong
aldaka, karyané amadun kayu, mĕngko sanggup bisa mrada.
7. Sawĕnèh mangkya slir, angling: Ki Undhakan Narawangsa, déné
tĕka langguk baé, sanggup bisa amĕrada, nadyan silih bangkita, iya
wantuné wong gunung, mangsa siha ngungkulana.
8. Goningsun mangké nunungging, sigra Kudanarawangsa mundhut
kampuh piniraos, para sĕlir duk tumingal, sami éram sadaya, aningali
sang abagus, pan samya kagyat sadaya.
9. Panunggingé mapan sami, lan Dèwi Candrakirana, mapan kĕmbar
nora roro, traping warna iya tunggal, Ki Kudanarawangsa, tuhu
wignya sang abagus, dèn sambiya ura-ura.

Adapun mengenai unsur autochton (pribumi) wayang


dan karawitan (gamĕlan) di dalam Sĕrat Panji Kudanarawangsa

301 – Panji Pahlawan Nusantara


tampak dari para kadéhan Panji di dalam memainkan gamĕlan.
Di samping itu juga tampak dari kemahiran Panji
Kudanarawangsa di dalam memainkan wayang (Gĕdhog)
seperti tampak pada pupuh XXI Asmaradana bait 1, 2, 3 dan 15
maupun pupuh XXII, Sinom bait 19 seperti kutipan berikut:

Asmaradana
1. Kadéyan sadaya cawis, kothak lawan gadĕbogan, wus tinata
gamĕlané, cĕcĕprèt lan sulingira, gambang lan calapila, rĕbabé lawan
calĕmpung, gĕndèr lawan gambang gangsa.
2. Pĕpak sasmitané sami, calĕmpung saron lan kĕndhang, kĕthuk
kĕnong lan kongsiné, rongsèng kalawan sanépa, sapujan lawan kĕmanak,
pĕpak ponang ricik agung, kadéyan sami gamĕlan.
3. Sira Radèn Wukirsari, anabuh salukat mĕmbat, Ki Punta anabuh
ĕgong, Ki Kértala nabuh kĕndhang, Ki Pamadé agambang, Ki Prasanta
anyalĕmpung, Ki Sadulumur angrĕbab.
15. Sakathahé kang aningali, sadaya sami kasmaran, aningali
pamayangé, maring satriya Ngaldaka, sĕmbada polahira, kathah kang
dulu, lir gĕrah wong kasinoman.
Sinom
19. Utamaku lamun wayang, patĕmon putra lan putri, nora nĕrajang
kĕkĕran, wignyaningsun yĕn aringgit, ing tata lawan titi, pan nora wĕlèh
ing sĕmu, wĕruh ing subasita, ing gunaningsun, sun aringgit, waonana
wawayangku kasatriyan.

Simpulan
Cerita Panji pada mulanya adalah cerita rakyat yang
muncul di Jawa Timur dan kemudian tumbuh berkembang ke
seluruh Nusantara bahkan menyebar sampai ke Melayu, Siam,
dan Kamboja.

302 – Panji Pahlawan Nusantara


Poerbatjaraka dan Berg sependapat bahwa cerita Panji
mempunyai latar belakang sejarah. Hanya, Poerbatjaraka
meletakkan tokoh Panji pada zaman Kediri, sedangkan Berg
pada zaman kerajaan Majapahit dengan rajanya Hayam Wuruk.
Namun Agus Aris Munandar berpendapat bahwa rentang
peristiwa-peristiwa sejarah yang dijadikan bingkai bagi cerita
Panji adalah pada masa runtuhnya Singasari (1294 M) sampai
dengan masa pemerintahan Rajasanagara (Hayam Wuruk) di
Majapahit (1350-1389 M). Kisah Panji melambangkan
perkawinan Hayam Wuruk dengan Paduka Sori (Indudewi)
dari Daha.
Dari analisis struktural antropologi terhadap cerita Panji
Kudanarawangsa, dapat diungkapkan bahwa cerita tersebut
mengandung unsur-unsur autochton (pribumi) yang meliputi:
(a) totemisme, (b) sistem klasifikasi, (c) myte, (d) perkawinan
eksogami (cross cousin), (e) stam heros, dan (f) inisiasi.
Totemisme yang menonjol dalam cerita Panji
Kudanarawangsa, misalnya: (1) kuda, (2) kĕbo “kerbau”, (3)
macan “harimau”, (4) gajah, dan (5) gagak. Sistem klasifikasi
dalam cerita Panji Kudanarawangsa tampak pada tokoh Panji
Marabangun (Kuda Rawisrengga) yang berpasangan dengan
Dewi Sekartaji (Candrakirana).
Dalam hal perkawinan eksogami (cross cousin), maka
Panji dengan Sekartaji dapat dikawinkan, karena mereka bukan
dalam marga yang sama. Panji adalah putra Prabu Lembu
Amiluhur, sedangkan Dewi Sekartaji putri Prabu Lembu
Amijaya. Demikian pula halnya perkawinan antara Carang

303 – Panji Pahlawan Nusantara


Waspa (Lempungkaras), adik Panji, dengan Mindaka (putri
Prabu Bauwarna di kerajaan Urawan).
Panji Marabangun (Inu Kertapati) beserta saudara-
saudaranya menampakkan kepahlawanannya (stam heros)
ketika melakukan peperangan-peperangan di dalam
pengembaraan, misalnya pertempuran Panji melawan seekor
banteng buas penjelmaan Kuda Bebangah maupun
pertempurannya melawan pasukan Prabu Kalana Sewandana
(raja Seberang).
Dalam hal inisiasi maka Panji Kudanarawangsa (Dewi
Candrakirana) maupun Panji Marabangun akhirnya dapat
mengatasi berbagai cobaan berat yang mereka alami sehingga
mereka dapat hidup bahagia.
DAFTAR PUSTAKA
Ananingsih, Amung.1993. “Analisis Struktur Panji Angreni”. Skripsi
(S1). Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi Ing Taoen
1647. Kaetjap wonten ing tanah Nederland Okthof.
Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bharata.
Baroroh-Baried, Siti.dkk.1982. Panji, Citra Pahlawan Nusantara. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departeman
Pendidikan dan Kebudayaan.
_______. 1985. Unsur Kepahlawanan dalam Kesastraan Klasik Jawa.
Yogyakarta: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Departeman Pendidikan dan
Kebudayaan.
Brandes, J.L.A. 1920. Pararaton (Ken Arok) Of Het Boek der koningen van
Tumapĕl en van Majapahit uitgegeven en toegelicht Tweede druk
bewerkt door N.J. Krom. VBG. 62.
Damono, Sapardi Djoko dan Sonya Sondakh (penyunting). 2004. Babad
Tanah Jawi (Buku I). Jakarta: Amanah Lontar.

304 – Panji Pahlawan Nusantara


Darusuprapta. 1969. Titik-titik Hubungan Pada Tjeritera Ardjuna
Sasrabahu-Rama-Mahabharata-Pandji-Damarwulan-Menak dalam
Chasanah Kesastraan Djawa. Dalam Buletin Fakultas Sastra dan
Kebudayaan UGM No.1. Yogyakarta: Fakultas Sastra dan
Kebudayaan.
Dharmawati Hardjanti. 1992. “Cerita Panji Paniba, Tinjauan Umum dan
Analisis Unsur Sastra”. Skripsi (SI). Fakultas Sastra Universitas
Gadjah Mada
Djati, Widodo, 1986. “Cerita Pantun Mundinglaya Dikusuma dalam
Perbandingan Terbatas”. Skripsi (SI). Yogyakarta: Fakultas Sastra
Universitas Gadjah Mada.
Ekadjati, E.S. 1978. Babad (Karya Sastra Sejarah) sebagai Obyek Studi
Lapangan Sastra, Sejarah dan Antropologi. Bandung: Lembaga
Kebudayaan Universitas Pajajaran.
“Kisah Jayaprana-Layonsari dan Bangsacara Ragapadmi dalam
Kesejajarannya dengan Tipe Dongeng Union Letter dan Duka Cerita
Percintaan Lain (Analisis Motif, Fungsi sebagai Cerita Rakyat)”.
Skripsi (SI). Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Harpawati, Tatik.1986. “Serat Ande-ande Lumut, Sepintas Sorotan Secara
Struktural Terbatas”. Skripsi Sarjana Muda. Yogyakarta: Fakultas
Sastra Universitas Gadjah Mada.
Jayaatmaja, Manu. 2000. Teks dan Konteks di Mahendragiri: Interpretasi
Tentang Korava sebagai Siswa Rama Parasu dalam Koravasrama.
Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Mohamed, Noriah dan Mariyam Salim. 2005. Sastera Panji. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mulyana, Slamet.1979. Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:
Bhratara Karya Aksara.
Munandar, Agus Arif. 2005. Bingkai Sejarah yang Menjadi Acuan Kisah
Panji. Makalah Seminar Internasional Jawa Kuna: Mengenang
Jasa-Jasa Prof. Dr. P.J. Zoetmulder S.J. Kajian Bahasa, Sastra dan
Budaya Jawa Kuna. Program Studi Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya UI.

305 – Panji Pahlawan Nusantara


Permanasari, Christine. 2008. “Serat Panji Kudanarawangsa karya R. Ng.
Ranggawarsita: Transliterasi, Terjemahan, dan Analisis Gaya
Bahasa”. Skripsi (S1). Yogyakarta: Jurusan Sastra Nusantara,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
_______ . 2008. “Serat Panji Kudanarawangsa karya R. Ng. Ranggawarsita:
Sepintas Sorotan secara Stilistika” dalam Proceedings Seminar
Internasional Aktualisasi Teks-teks Ranggawarsitan dalam Konteks
100 Tahun Kebangkitan Nasional. Yogyakarta: Jurusan Sastra
Nusantara, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Pertiwi, Agnes Sukeksi Tyas.1990. “Tinjauan Struktural Cerita Panji
Dhadhap Karya Sinuhun Pakubuwana IV”. Skripsi (SI). Yogyakarta:
Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Poerbatjaraka, dan Tardjan Hadidjaja. 1957. Kepoestakaan Djawa. Kolff,
Djakarta: Djambatan.
Poerbatjaraka. 1968. Tjeritera Pandji dalam Perbandingan (Terjemahan
Zuber Usman dan H.B. Jassin). Djakarta: Gunung Agung.
Prawiroatmodjo, S. 1957. Bausastra Djawa-Indonesia. Surabaya: Express &
Marfian.
Rahayu, Siti.1993. “Tinjauan Cerita Andhe-Andhe Lumut (Pendekatan
Resepsi Sastra)” Skripsi (SI). Yogyakarta: Fakultas Sastra
Universitas Gadjah Mada.
Ranggawarsita, R.Ng. 1936. Pandji Djajengtilam. BP. Seri No. 1013,
Betawi-Centrem: Bale Poestaka.
_______ . 1936. Pandji Koedanarawangsa. BP. Seri No. 1246. Betawi-
Centrem: Bale Poestaka.
_______ . 1970. Pandji Koedanarawangsa. Soerakarta: Jajasan Paheman
Radya Poestaka.
_______ . 1989. Panji Kudanarawangsa. Alih Bahasa Moeljono
Sastronaryatmo dan R.Aj. Indri Nitriani. Jakarta: Proyek Pengadaan
Buku Bacaan Indonesia dan Daerah, Depdikbud.
Rassers, 1975. “Dongeng-dongeng Panji dari Jawa” dalam Lauw Yock
Fang. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Singapura: Pustaka
Nasional.

306 – Panji Pahlawan Nusantara


Rosidi, Ajip. Tanpa tahun. Tjandrakirana. Djakarta: Pustaka Djaja.
Santosa, Soewito. Tanpa tahun. Babad Tanah Jawi (Galuh-Mataram).
Surabaya : Citra Jaya.
Suharti. 1993. “Analisis Struktur Serat Panji Musna.” Skripsi (SI).
Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Swelengrebel, J.L. 1936. Korawasrama. Een Oud Javaansch Proza
Geschriff, Uitgegeven, Vertaald en Toegelicht. Sanpoort:
N.V.Uitgeverij, v.h.C.A.Mees.
Tedjowirawan, Anung. 1979. “Tinjauan Serat Panji Kudanarawangsa Karya
R. Ng. Ranggawarsita”. Skripsi Sarjana Muda. Yogyakarta: Fakultas
Sastra Universitas Gajah Mada.
_______. 2009. “Persejajaran Unsur-unsur Autochton dalam Cerita Panji
Angreni dengan Cerita Pantun Mundinglaya Dikusumah” dalam
Menelusuri Kebesaran Pujangga R. Ng. Ranggawarsita melalui
Karya-karya Ciptaannya (Sebuah Bunga Rampai I). Yogyakarta:
Unit Penerbitan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
_______. 2009. “Dari Gendrayana ke Bambang Sudarsana (Sebuah Suksesi
Kepemimpinan di Ngastina Menurut Teks-Teks Pustakaraja Madya
Karya R. Ng. Ranggawarsita” dalam Menelusuri Kebesaran
Pujangga R. Ng. Ranggawarsita melalui Karya-karya Ciptaannya
(Sebuah Bunga Rampai I). Yogyakarta: Unit Penerbitan Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Tristiwati, Iryatmi Nur Ambar. 1990. “Serat Panji Angronakung (Tinjuan
Dari Segi Struktur Cerita)”. Skripsi (SI), Yogyakarta: Fakultas Sastra
Universitas Gajah Mada.
Yudoyono, Bambang. 1984. Sang Prabu Sri Adji Djojobojo 1135-1157.
Jakarta : Karya Unipress.
Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan, Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang,
terjemahan Dick Hartaka. Jakarta: Djambatan.

307 – Panji Pahlawan Nusantara


PANJI DALAM PERTUNJUKAN WAYANG BEBER
PACITAN LAKON ”KAWINE DEWI SEKARTAJI”

Oleh

Arif Mustofa

ABSTRAK
Salah satu ragam wayang, yaitu wayang Beber. Di Indonesia, tidak banyak
bisa dijumpai Wayang Beber. Beberapa wayang Beber yang penulis ketahui
yaitu wayang Beber dari Cilacap, Wayang Beber dari Surakarta, Wayang
Beber dari Wonosari, dan Wayang Beber dari Pacitan tidak semuanya
masih dipertunjukkan. Hingga saat ini, wayang Beber yang masih sering
dipertunjukkan yaitu Wayang Beber dari Pacitan. Lakon yang dibawakan
wayang Beber Pacitan yaitu “Kawine Dewi Sekartaji. Pola Alur cerita
menunjukkan bahwa wayang beber Pacitan merupakan salah satu kisah
Panji. Pola tersebut dapat disebut sebagai pola alur Bulan Sabit, seperti
yang disampaikan Purbatjaraka (1968). Yaitu berawal dari keadaan tenang
(gelap), kemudian akan mengalami konflik secara perlahan (sabit, hingga
purnama), penyelesaian konflik (purnama meredup), dan ending cerita
(kembali ke gelap).

308 – Panji Pahlawan Nusantara


A. Pengantar

“hanononton ringgit asekel mudu hidapun/ huwus wruh tuwin yan


walulang inukir molah angocap/ hatur ning wang tresneng wisaya malaha
tan wihikana/ ritwan yan maya sahan haning bhaha shilauman (Kakawin
Arjuna Wiwaha bait 59)”

Kakawin Jawa kuno di atas kurang lebih mengisahkan


suasana pertunjukan wayang. Menurut Kakawin tersebut,
penonton dalam pertunjukan wayang banyak yang menangis,
heran, dan kagum serta prihatin hatinya. Meski mereka tahu
bahwa yang dilihat itu hanya kulit yang dipahat dan digerak-
gerakkan seumpama manusia, namun mereka terhanyut dalam
suasana yang mistis, sebab mereka seakan melihat bayangan
yang keluar seperti setan/siluman.
Kakawin di atas secara tersurat jelas menunjukkan bahwa
wayang merupakan salah satu pertunjukan yang sangat
dinikmati dan dijadikan pelajaran hidup. Yang menjadi
pertanyaan adalah, bagaimanakah yang terjadi saat ini?
Wayang, sebagaimana disebutkan di atas, kemudian
banyak mengalami perkembangan ragam. Kalau pada awalnya
diberi nama Wayang karena memiliki bayangan, maka dalam
perkembangannya, istilah wayang tidak hanya mengacu kepada
pertunjukan dari kulit yang ditatah dan menghasilkan bayangan
karena disinari oleh lampu Blencong. Bahkan pertnjukan tanpa
bayanganpun banyak yang diberi nama wayang. Salah satu
jenis wayang yang ditonton bukan bayangannya yaitu Wayang
Beber.

309 – Panji Pahlawan Nusantara


Wayang Beber, dinamakan demikian karena
mempertunjukkannya dengan cara dibeber (beber:
dibentangkan). Beber berasal dari kata : bar, ber, dan
sebagainya yang artinya lepas, pergi, pisah, yakni bagi benda
semula mengumpul, rapat atau gulungan. Jadi wayang Beber
itu hanyalah merupakan gambar wayang kulit yang dicat di
atas kertas Jawa, dan gambar tersebut dapat digulung dan
dibeber bila hendak dipertunjukkan (Hazeu,1979:89).
Seni pertunjukan Wayang Beber, pada masa abad XII-
XV sangat populer di Jawa. Namun, saat ini secara perlahan-
lahan mulai terabaikan keberadaannya. Kemundurannya tidak
diketahui secara tepat. Namun, penulis-penulis Barat mengira
bahwa mulai abad ke XIX seni pertunjukan wayang Beber ini
semakin surut (Hazeu, 1902:3). Kenyataan ini bisa dibenarkan,
karena saat ini wayang Beber tidak lagi dikenal masyarakat
secara luas.
Dalam buku Babad Tanah Jawa karangan Meinsma,
menunjukkan bahwa pada abad XV wayang Beber sudah
sangat populer. Dalam Babad Tanah Jawa (pada halaman 15)
disebutkan bahwa ketika Jaka Tingkir dilahirkan, waktu itu
sedang diadakan pertunjukan wayang Beber. Itulah sebabnya
Jaka Tingkir diberi nama Mas Karebet (Hazeu, 1979:91).
Sedangkan pada tahun 1889 di “Makayangan”, tempat Bupati
Gunung Kidul, juga diadakan pertunjukan wayang Beber untuk
merayakan Pangeran yang dikhitan (Kern,1909:338). Kedua
data diatas menunjukkan bahwa pada abad XV hingga abad

310 – Panji Pahlawan Nusantara


XVIII wayang Beber masih populer sebagai hiburan
masyarakat rendahan maupun para pembesar.
Meski beberapa Wayang Beber di Indonesia telah tidak
lagi dipentaskan, namun Wayang Beber Pacitan, hingga saat
ini masih eksis dipentaskan dan mempunyai massa tersendiri.
Meskipun tujuan pementasan bukan sebagai hiburan tetapi
lebih sekadar sebagai upacara Ruwatan dan melaksanakan ujar
atau sumpah.

B. Kisah Panji dalam Wayang Beber Pacitan


Wayang Beber Pacitan, yang berada di Desa Gedompol
Kecamatan Donorojo, mengisahkan perjalanan Joko Kembang
Kuning mempersunting Dewi Sekartaji. Alur Cerita lakon
“Kawine Dewi Sekartaji” ini berpola Sirkuler, yaitu diawali
keadaan damai dan berakhir pada keadaan semula. Berikut
disajikan sinopsis pertunjukan Wayang Beber Pacitan dalam
lakon “Kawine Dewi Sekartaji” berdasar pada beberan atau
adegan.

No Gulungan Bebera Sinopsis Adegan


ke n ke

1 1 Satu Jejer kerajaan Kediri. Raja menyam-


paikan perihal hilangnya Dewi Sekartaji
dari Istana. Raja Mengumumkan sayem-
bara menemukan Dewi Sekartaji.

2 Dua Jaka kembang Kuning ikut dalam sayem-


bara. Lalu segera melakukan perjalanan

311 – Panji Pahlawan Nusantara


mencari Dewi Sekartaji.

3 Tiga Di Katumenggungan Paluombo, Dewi


Sekartaji menjadi anak angkat
Tumenggung Paluombo

4 Empat Jaka Kembang Kuning bersama para


Abdinya, mengadakan barong Terbang di
pasar Katumenggungan Paluombo.
Pertunjukan tersebut bertujuan untuk
memancing Dewi Sekartaji keluar rumah.
Teknik ini berhasil. Di pasar tersebut,
akhirnya Dewi Sekartaji ditemukan.

5 2 Satu Jaka Kembang Kuning Pulang ke


Kademangan Kuning untuk menemui
orang tuanya, Ki Demang Kuning

6 Dua Di Kerajaan Kediri, Mbok Mindugo


menolak maskawin dari Prabu Klana
yang diantar oleh Retna tenggaron

7 Tiga Karena ditolak mentah-mentah, Retna


Tenggaron menantang berkelahi Mbok
Minduga. Perang dimenangkan Mbok
Minduga.

8 Empat Raden Gandarepa bercekcok dengan


Sedahrama di paseban kerajaan Kediri.

9 3 Satu Ki Tawang Alun, anak buah jaka


kembang Kuning datang ke Kerajaan
Kediri dan melerai percekcokan tersebut.

10 Dua Di Istana Kerajaan Kediri. Prabu

312 – Panji Pahlawan Nusantara


Brawijaya memanggil Patih Tanda
Prawira Mantri Arya Deksa Negara,
menayakan hasil sayembara.

11 Tiga Suasana di Kerajaan Sabrang. Retna


Tenggaron datang menyampaikan kabar
bahwa ia telah dikalahkan oleh Mbok
Minduga.

12 Empat Empat Prabu Klana gending Pita datang


ke Kediri untuk memaksa segera
dinikahkan dengan Dewi Sekartaji.
Terjadi percekcokan antara Raden Klana
dengan Raden Gandarepa.

13 4 Satu Di kademangan Kuning, Jaka Kembang


Kuning menerima kabar bawha Ki
Tawang Alun telah terluka dan kalah
dalam pertempuran dengan Klana
Gendingpita. Bersama Naladremo, Jaka
Kembang Kuning segera menyusul ke
Istana Kerajaan Kediri.

14 Dua Suasana kesedihan atas kekalahan Ki


Tawang Alun.

15 Tiga Jaka Kembang Kuning bertemu dengan


Ki Tawang Alun di Kerajaan Kediri.

16 Empat Jaka Kembang Kuning menyuruh Gangga


Warsita untuk bertapa ke tengah hutan
untuk menguji kesetiaan.

17 5 Satu Di kerajaan Kediri, Raja bergembira,


sebab Ki Tawang Alun telah sembuh.

313 – Panji Pahlawan Nusantara


Jaka Kembang Kuning Menyerahkan
mahkota perang dan keris Kyai
Sengkelap kepada Ki Tawang Alun
sebagai bekal mengalahkan Klana
Gendingpita

18 Dua Di kerajaan Sabrang, Klana bersedih


karena tidak bisa mempersunting Dewi
Sekartaji. Atas usul adiknya, Klana
bermaksud menyamar menjadi raden
Gandarepa dan masuk ke Kaputren
Kerajaan Kediri.

19 Tiga Penyamaran Klana diketahui oleh Raden


Gandarepa sendiri, hingga terjadi
perkelahian.

20 Empat Ki Tawang Alun berperang melawan


Raden Klana. Dalam pertempuran itu,
Raden Klana terbunuh.

21 6 Satu Ki Tawang Alun mengambil harta


rampasan ke kerajaan Sabrang.

22 Dua Jaka Kembang Kuning Menemui Patih


Tanda Prawira Deksa Negara untuk
menagih janji Sayembara.

23 Tiga Jaka kembang Kuning dengan pakaian


kebesaran menemui Dewi Sekartaji di
Istana.

24 Empat Pernikahan Dewi Sekartaji dengan Jaka


kembang Kuning.

314 – Panji Pahlawan Nusantara


Wayang Beber Pacitan terdiri atas 24 adegan yang
dipisah dalam enam gulungan wayang. Dengan kata lain, tiap
gulungan wayang terdiri 4 (empat) adegan. Adegan ke-24 tidak
dibuka karena alasan etika. Sebab, di beberan ke 24 terdapat
lukisan yang dianggap tabu. Sehingga, untuk menggantikan
beberan terakhir, beberan ke-23 dibuka separoh, sisanya
dijadikan beberan ke-24.
Alur cerita di atas menunjukkan bahwa keadaan Kerajaan
Kediri, pada awalnya damai. Namun, sejak Dewi Sekartaji
meninggalkan Istana, keadaan berubah menjadi kacau.
Kekacauan ini terus berlanjut hingga Jaka Kembang Kuning
berhasil menemukan Dewi Sekartaji. Setelah Jaka Kembang
Kuning berhasil menemukan Dewi Sekartaji, keadaan belum
sepenuhnya normal kembali. Sebab, muncul tokoh lain,
pembuat kekacauan, yaitu raden Klana. Setelah Klana berhasil
dihilangkan dengan cara dikalahkan, keadaan kembali seperti
semula.
Pola alur cerita di atas menunjukkan adanya kemiripan
dengan pola alur kisah Panji. Yaitu berawal dari keadaan
damai, kemudian terjadi konflik dan diakhiri dengan keadaan
damai seperti semula. Pola ini oleh Purbatjaraka (1968)
dikatakan sebagai pola bulan sabit

C. Sesaji dalam Pertunjukan Wayang Beber


Menurut Sumardi (Dalang Wayang Beber), penanggap
wayang Beber wajib menyediakan sesaji yang harus ada pada

315 – Panji Pahlawan Nusantara


waktu pertunjukan berlangsung. Sesaji ini berfungsi sebagai
persembahan kepada Yang Maha Kuasa agar pertunjukan
berjalan lancar dan segala keinginan penanggap terkabul.
Sesaji yang harus disediakan dengan maksud ngruwat
yaitu: (1) Kembang/bungan dan kemenyan, (2) Ayam
panggang dan Tumpak Tumpeng, (3) Pisang raja dua sisir, (4)
gambir, sirih, dan tembakau, (5) Kwali dan kendi yang masih
baru, (6) kain putih, (7) gabah atau padi, (8) seekor ayam
hidup, dan (9) dua butir kelapa. Sedangkan menanggap dengan
maksud luaran, sesaji yang harus disediakan yaitu: (1)
kembang dan menyan, (2) Ayam panggang dan Tumpak
tumpeng, (3) pisang raja dua sisir, (4) gambir, sirih, dan
tembakau yang dapat diganti dengan rokok.
Kembang/bunga dan kemenyan yang dibakar dan
diletakkan dibelakang dalang merupakan simbol pemujaan
untuk memanjatkan doa agar semua keinginan penanggap
terkabul. Asap kemenyan yang mengepul diyakini dapat
mengantarkan sesaji kepada Yang Maha Kuasa.
Panggang ayam dan tumpak tumpeng merupakan simbol
perjuangan dan pengorbanan. Ayam panggang adalah simbol
perjuangan. Sedangkan tumpak tumpeng yang terdiri atas ketan
dan beras adalah simbol keuletan. Dalam berjuang manusia
diharap selalu ulet dan pantang menyerah seperti ketan yang
lengket. Tumpak yang terbuat dari ketan yang dimasak lalu
ditumbuk dan dibentuk pipih bulat, merupakan landasan
tempat ditaruhnya tumpeng atau nasi yang dicetak dengan
tempurung kelapa.

316 – Panji Pahlawan Nusantara


Pisang Raja dua sisir dan kelapa dua butir melambangkan
pertanian. Letak geografis Kabupaten Pacitan yang berbatu dan
berbukit hanya cocok ditanami buah pisang dan kelapa.
Sebagian besar pekarangan penduduk, ditanami pisang dan
kelapa. Penggunaan pisang raja dan kelapa pada sesaji
melambangkan harapan kemajuan pertanian dibidang tanaman
buah-buahan.
Gambir, sirih, dan tembakau atau dapat diganti dengan
rokok melambangkan persaudaraan atau gotongroyong.
Gambir, sirih, dan tembakau atau masyarakat Gedompol biasa
menyebutnya nginang, biasa dilakukan ibu-ibu sambil
bersantai dengan keluarga maupun tetangga. Sedangkan rokok,
meski bukan sebagai kebutuhan pokok, namun keberadaannya
wajib ada di setiap kegiatan yang berhubungan dengan orang
lain.
Bahan pangan pokok masyarakat Pacitan yaitu beras.
Sedangkan ketela pohon sebagai bahan pangan tambahan.
Keberadaan gabah pada sesaji melambangkan keberhasilan di
bidang pertanian pangan. Masyarakat desa Gedompol Pacitan
merasa tenang jika memiliki persediaan gabah yang banyak di
rumahnya. Gabah ini juga dapat berarti kesejahteraan.
Kwali dan kendi. Kwali merupakan alat masak bagi
masyarakat desa Gedompol, sedangkan Kendi adalah tempat
air minum. Kwali dan Kendi yang masih baru melambangkan
perubahan perekonomian atau kesejahteraan. Penanggap
setelah menanggap wayang Beber Pacitan ini diharapkan

317 – Panji Pahlawan Nusantara


kebutuhan hidupnya menjadi terpenuhi, perekonomiannya
menjadi lancar.
Warna putih diyakini melambangkan kesucian. Kain
putih pada sesaji dalam pertunjukan wayang Beber, merupakan
lambang kesucian jiwa. Setelah selesai menanggap wayang
Beber, diharapkan penanggap hatinya menjadi putih suci.
Jiwanya menjadi tenang dan tenteram.
Seekor ayam hidup melambangkan keberhasilan
peternakan. Faktor yang dapat dianggap sejahtera bagi
masyarakat desa Gedompol yaitu jika berhasil dalam pertanian
dan peternakan.

D. Penutup
Wayang beber Pacitan merupakan pepunden bagi
masyarakat desa Gedompol Kabupaten Pacitan. Karena
dianggap sebagai barang yang dikeramatkan, maka wayang ini
akan terus dipertunjukkan karena dianggap membawa berkah.
Hal ini merupakan salah satu penyebab wayang Beber Pacitan
tidak ditinggalkan masyarakat penikmatnya.
Di sisi lain, tidak semua orang dapat menjadi dalang
wayang Beber. Sebab, Wayang Beber Pacitan diwariskan
secara turun temurun, yaitu diturunkan kepada keturunan laki-
laki. Artinya, jika dalang tidak memiliki anak laki-laki, maka
ia harus menurunkannya kepada anak laki-laki dari saudara
laki-laki atau menunggu cucu laki-laki. Selain itu, terdapat
keyakinan bahwa dalam satu periode hanya terdapat satu

318 – Panji Pahlawan Nusantara


dalang. Ini tentunya menjadi kelemahan yang dapat
menjadikan wayang ini punah karena tidak memiliki dalang.
Usaha pelestarian telah dilakukan oleh pemerintah
daerah, misalnya pembuatan duplikat, pementasan, maupun
pameran. Namun, usaha tersebut belumlah cukup, jika
masyarakat belum merasa mencintai karena bisa menikmati
ceritanya. Oleh karena itu, tugas yang harus segera dirumuskan
yaitu bagaimana cara agar masyarakat bisa mencintai wayang
seperti dalam Kakawin Arjuna Wiwaha Bait 59 atau dalam
Babad Tanah Jawa karya Meinsma.

SUMBER PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2003. 2003. Mistik Kejawen; Sinkretisme,
Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Jogjakarta:
Narasai
2005. Tradisi Lisan Jawa. Yogyakarta: Narasi
Guridno, Pandam. 1988. Unsur-Unsur Pertunjukan Wayang Purwa.
Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan. Pengantar Study
Sastra Lisan. Surabaya: HISKI
Hazeu, G.A.J. 1979. Wayang Lan Gegepokanipun Ing Tanah Jawi. Jakarta:
Gramedia Pustaka
Kern, R.A. 1909. De Wajang Beber Van Patjitan. Alih Bahasa Bagyo
Suharyono (1997). Surakarta: Tidak diterbitkan
Purbatjaraka. 1968. Carita Panji dalam Perbandingan. Jakarta: Gunung
Agung
Rochimdakas. 1994. Perjalanan Wayang Beber (makalah). Surabaya : Tidak
diterbitkan

319 – Panji Pahlawan Nusantara


Para Penulis Makalah dan Artikel

1. Prof. Dr. Henricus Supriyanto, M.Hum. Guru


besar emiritus Universitas Negeri Surabaya, sekarang Guru
Besar Universitas PGRI Adi Buana, Surabaya.

2. Lidya Kieven, Ph.D. Peneliti dari Cologne,


Jerman. Desertasinya tentang Panji dan Rakyat, Pemakai Tekes
pada relief Candi Jajago dan Jandi Penataran di Blitar.

3. Prof. Dr. Abdul Rahman Kaeh, guru besar


Universitas Malaya. Beliau memperoleh gelar Doktor di
Universitas Negeri Malang (dulu IKIP Malang).

4. Prof. Dr. Setya Yuwono Sudikan, MA. Guru


besar Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) – Universitas Negeri
Surabaya (Unesa).

320 – Panji Pahlawan Nusantara


5. Soenarto Timoer, Seniman dan Budayawan
Surabaya (telah almarhum).

6. Prof. Dr. Ayu Sutarto, M. Hum, guru besar


Universitas Negeri Jember. Beliau mengajar di berbagai Pasca
Sarjana di Provinsi Jawa Timur.

7. Dr. Sunu Catur Budiyono, M. Hum. Dosen


Universitas PGRI Adi Buana Surabaya.

8. Dr. Lilik Wahyuni, M.Pd, Dosen Universitas


Budi Utomo Malang.

9. Drs. M. Dwi Cahyono, M.Hum, Dosen


Universitas Negeri Malang.

10. Dr. Anung Tedjowirawan, Dosen Fakultas Ilmu


Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

11. Drs. Arif Mustofa, M.Pd, Dosen STKIP PGRI


Pacitan.

321 – Panji Pahlawan Nusantara


DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Kata Sambutan Drs. Dwi Cahyono

Kata Sambutan Ketua Dewan Kesenian Jawa Timur

Himpunan Makalah dan Artikel

1. Hubungan Sajarah dan Susastra,

oleh Henri Supriyanto 1

2. Pemakaian Tekes, Raden Panji dan Rakyat

Pada Relief Candi Jago dan Candi Penataran,

oleh Lidya Kieven 27

3. Cerita Panji, Sumber Kajian yang Masih


menarik,

oleh Abdul Rahman Kaeh 49

4. Kearifan Budaya Lokal dalam Cerita Panji,

oleh Setya Yuwana Sudikan 99

322 – Panji Pahlawan Nusantara


5. Hikayat Panji, Analisis Cerita Rakyat,

oleh S. Timoer 137

6. Harga Perempuan dalam Cerita

Andhe-Andhe Lumut dan Dewi Sri Tanjung,

oleh Ayu Sutarto 173

7. Cerita Panji, Sebuah Strategi Kebudayaan

oleh Sunu Catur 195

8. Kontruksi Habitus Jender dalam Wacana Cerita

“Andhe-andhe Lumut”, oleh Lilik Wahyuni


213

9. Sendra Tari Topeng Berlakon “Panji, Masa


Majapahit” oleh Dwi Cahyono 235

10. Unsur-unsur Autochton dalam Cerita

Panji Kudanarawangsa karya R. Ngabai Ranggawarsita,


oleh Anung Tedjawirawan 287

11. Panji, dalam Wayang Beber Pacitan,

oleh Arif Mustofa 327

323 – Panji Pahlawan Nusantara


KATA PENGANTAR

Kami mengucapkan Puji syukur kehadirat Tuhan Yang


Maha Kuasa atas terbitnya buku himpunan makalah dan artikel
ini, dengan judul Panji Pahlawan Nusantara. Makalah yang
dimaksudkan berasal dari Seminar Internasional, pada hari
Minggu, 23 Mei 2010, bertajuk “Seminar Internasional Budaya
Panji”, sub titel Rekonstruksi Budaya Panji. Penyelenggara
seminar adalah Panitia Malang Kembali Festival Tempoe
Doeloe. Pemakalah yang hadir ada dua belas orang, tetapi
makalah yang terhimpun di Panitia Seminar hanya sembilan
makalah. Selebihnya ada yang terkirim melalui email, tetapi
gagal untuk diakses. Ada pula makalah yang belum sempat
diserahkan oleh pemakalah ke pihak Panitia.

Sehubungan dengan kenyataan tersebut, pihak Editor


memohon maaf ke pihak pemakalah yang ternyata makalahnya
tidak dipublikasikan di dalam buku ini. Di samping itu
dijumpai artikel perihal Panji, yakni yang berjudul “Hikayat
Panji, Analisis Cerita Rakyat”, karya budayawan Soenarto
Timoer (almarhum). Artikel kedua berjudul “Cerita Panji,
Sumber Kajian yang Masih Menarik”, karya Abdul Rahman
Kaeh, guru besar Universiti Malaya.

Sembilan karya tulis yang lain adalah makalah yang


diserahkan ke pihak Panitia Seminar Internasional Budaya
Panji, di Malang. Editor mengucapkan terima kasih kepada

324 – Panji Pahlawan Nusantara


semua pihak yang mendukung dan membantu penerbitan buku
ini.

Himpunan makalah ini diterbitkan pada tahun 2012,


berkaitan dengan tema kegiatan Dewan Kesenian se Jawa
Timur, yang bertajuk “Tahun Budaya Panji”.

Buku ini dapat diterbitkan atas uluran tangan


penyandang dana yakni Pengurus Dewan Kesenian Jawa Timur
(Pengurus DKJT). Setelah terbit, buku ini disosialisasikan
khususannya ke masyarakat seniman dan budayawan se Jawa
Timur, dan selanjutnya disebarluaskan ke hadapan masyarakat
majemuk se Indonesia.

Tim editor memilih judul lama yakni “Panji Pahlawan


Nusantara”. Judul lama yang dimaksudkan mengacu ke karya
desertasi W.H. Rassers, yang berjudul Panji, The Culture Hero.
A Structural Study of Religion in Java. Leiden, 1982.
Koninklijk Institut voor Taal, Land en Volkenkunde, Leiden,
the Netherlands. Karya ilmiah lain yang dijadikan acuan adalah
Panji, Citra Pahlawan Nusantara, 1982. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Tim peneliti terdiri atas Siti
Baroroh Baried, Sulastin Sutrisno, Achadiati Ikram, I Gusti
Ngurah Bagus, J. Padmopoespito, Kun Zachratus Istanti. Tim
editor mengucapkan terima kasih ke Bapak, Ibu tersebut.

Editor memohon saran dan kritik dari semua pihak.


Dengan diterbitkannya himpunan makalah dan artikel ini,

325 – Panji Pahlawan Nusantara


semoga semakin memperkaya wawasan kita terhadap Sastra
Panji yang berjaya pada zaman Majapahit, menjadi arus balik
budaya dari Selatan ke Utara, tersebar di wilayah Asia
Tenggara.

Editor

Henri Supriyanto

PANJI PAHLAWAN NUSANTARA

Himpunan Makalah

Seminar Internasional Budaya Panji

326 – Panji Pahlawan Nusantara


Malang Kembali Festival Tempo Doeloe, 2010
Rekonstruksi Budaya Panji

Editor

Henri Supriyanto

Terbit dalam rangka:

TAHUN BUDAYA PANJI

327 – Panji Pahlawan Nusantara


Penerbit

BAYUMEDIA PUBLISHING

bekerjasama dengan

DEWAN KESENIAN JAWA TIMUR

Malang, 2012

PANJI PAHLAWAN NUSANTARA

Desain Isi : Lucia

Desain Sampul : Lucia & Ida

328 – Panji Pahlawan Nusantara


Cetakan Pertama Malang 2012

Jalan Bukit Barisan No. 23, Malang

Telp. / Fax : (0341) 568323

E-mail : Bayumedia@telkom.net

Gambar Sampul Depan : Topeng Panji.

Gambar sampul belakang : Klana Sewandana Topeng


Malangan

Katalog Dalam Terbitan

Panji Pahlawan Nusantara

Editor : Supriyanto, Henri

Isi : ……… halaman; 15 x 22 cm

ISBN : …………………………………

329 – Panji Pahlawan Nusantara


Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak
Cipta

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak


melakukan perbuatan sebagai dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 49 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-
masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
5.000.000.000 (lima milliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan,


memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu
Ciptaan atau barang pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).

330 – Panji Pahlawan Nusantara


331 – Panji Pahlawan Nusantara
Daftar Isi
1. Pengantar
…………………… i
2. Daftar Isi
…………………… v
3. Salam Panji
…………………… 1
4. Apa itu Panji?
…………………… 7
5. Dari Cerita Panji menjadi Budaya Panji
………. 15
6. Bukan Cerita Biasa
…………………… 27
7. Penyebaran Cerita Panji
…………………… 41
8. Berbagai Versi Cerita Panji
…………………… 49
9. Dongeng Panji dan Penafsirannya .
…………… 63
10. Sastra Panji
…………………… 81
11. Cerita Panji dalam Seni Pertunjukan
………… 99

332 – Panji Pahlawan Nusantara


12. Seni Rupa Panji
………………… 119
13. Cerita Panji dan Sejarah
………………… 129
14. Panji Sang Arjuna ..
………………… 155
15. Cerita Panji di Relief Candi .
………………… 163
16. Lingkungan Hidup dan Budaya Panji ...
………… 187
17. Ekonomi Kreatif Budaya Panji ..
………… 197
18. Cerita Panji, Mahabarata dan
Ramayana ..……… 205
19. Memory of the World
…………………… 211
20. Catatan Penutup
…………………………… 217
21. Daftar Pustaka
…………………………… 221
22. Biodata Penulis
………………….. 224

333 – Panji Pahlawan Nusantara


334 – Panji Pahlawan Nusantara

Anda mungkin juga menyukai