Anda di halaman 1dari 98

LAPORAN

HASIL BACAAN BUKU SEJARAH INDONESIA DAN BUKU MENYISIR


BEBERAPA CATATAN SASTRA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Dari Mata Kuliah Sejarah Satsra


Dosen Pembimbing: Bapak Andri Noviandi, M.Pd.

Oleh :

KELAS 1C

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN
UNIVERSITAS GALUH
Jl. R.E Martadinata No. 150 Mekarjaya, Baregbeg,
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat 46213
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Alloh SWT yang telah memberikan rahmat
beserta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Solawat dan salam
semoga tersampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah begitu
banyak mengajarkan kebijakan kepada kita semua.

Makalah ini dibuat bertujuan untuk BOOK REPORT atau sebagai informasi
pengkajian isi dari buku tersebut yaitu Buku yang berjudul “Sejarah Sastra” dan “Menyisir
beberapa sejarah sastra Indonesia”

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan , maka dari
itu penulis menerima kritik dan saran yang membangun makalah ini menjadi lebih baik untuk
kedepannya. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalam nya kepada semua
pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.

Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan
inspirasi kepada pembaca.

Ciamis,

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................

DAFTAR ISI .................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................

1.1 Latar Belakang........................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................

1.3 Tujuan .....................................................................................................................

BAB II RANGKUMAN HASIL BACAAN................................................................

2.1 Rangkuman Buku I.................................................................................................

2.1 Rangkuman Buku II...............................................................................................

BAB III PEMBAHASAN.............................................................................................

3.1 Pembahasan Materi Buku I...................................................................................

3.2 Pembahasan Materi Buku II..................................................................................

BAB IV PENUTUP.......................................................................................................

4.1 Simpulan .................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra merupakan karya tulisan indah (belle letters) yang mencatatkan sesuatu dalam
bentuk bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjang pendekan, diputar balikan
di jadikan ganjil atau pengubahan estetis lainnya melalui alat bahasa. Kamus Besar Bahasa
Indonesia menyebutkan bahwa sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi
pada masa lampau.

Sejarah sastra adalah ilmu yang memperlihatkan perkembangan karya sastra dari waktu
ke waktu, para penulis memilih karyakarya yang menonjol, karya-karya puncak dalam suatu
kurun waktu, ciri-ciri dari setiap kurun waktu perkembangannya, peristiwa-peristiwa yang
terjadi di seputar masalah sastra.

Sejarah sastra dapat digunakan untuk penelitian sastra secara khusus dan budaya
secara umum Mengetahui garis besar pertumbuhan dan perkembangannya, Memberikan
gambaran tentang perkembangan karya sastra suatu bangsa, Mengetahui persoalan-persoalan
yang timbul dalam kesusastraan selama ini, Menjadi bahan penulisan atau latar sebuah karya
sastra. Dapat melihat jelas dan menghayati karya-karya pengarang sebelumnya baik sifat-sifat
maupun coraknya sehingga dapat menciptakan karya sastra baru dengan melanjutkan atau
menyimpangi konvensi-konvensi karya sebelumnya.

Penulisan sejarah sastra Indonesia dalam buku sejarah sastra ini membagi periode sebagai
berikut:

a. Periode 1850 - 1933

b. Periode 1933 - 1942

c. Periode 1942 - 1945

d. Periode 1945 - 1961

e. Periode 1961 - 1971

f. Periode 1971 - 1998

g. Periode 1998 - Sekarang


1.2 Rumusan Masalah
 Jelaskan dan beberapa catatan sejarah sastra
 Mengetahui mengenai sejarah sastra Indonesia
BAB II
RANGKUMAN HASIL BACAAN

2.1 RANGKUMAN BUKU SEJARAH SASTRA INDONESIA


BAB 1
HAKIKAT SEJARAH SASTRA

A. Pengertian Sejarah Sastra


Sastra merupakan karya tulisan indah (belle letters) yang mencatatkan sesuatu dalam bentuk
bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjang pendekan, diputar balikan di
jadikan ganjil atau pengubahan estetis lainnya melalui alat bahasa (Eagleton, 2010, hlm. 4)

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa sejarah adalah kejadian dan peristiwa
yang benar-benar terjadi pada masa lampau.

Zulfanur Z.F dan Sayuti Kurnia, Sejarah Sastra ialah ilmu yang mempelajari perkembangan
sejarah suatu bangsa daerah, kebudayaan, jenis karya sastra, dan lain-lain.

Sejarah sastra adalah ilmu yang memperlihatkan perkembangan karya sastra dari waktu ke
waktu, para penulis memilih karyakarya yang menonjol, karya-karya puncak dalam suatu
kurun waktu, ciri-ciri dari setiap kurun waktu perkembangannya, peristiwa-peristiwa yang
terjadi di seputar masalah sastra.

B. Fungsi Sejarah Sastra

Sejarah sastra dapat digunakan untuk penelitian sastra secara khusus dan budaya
secara umum Mengetahui garis besar pertumbuhan dan perkembangannya, Memberikan
gambaran tentang perkembangan karya sastra suatu bangsa, Mengetahui persoalan-persoalan
yang timbul dalam kesusastraan selama ini, Menjadi bahan penulisan atau latar sebuah karya
sastra. Dapat melihat jelas dan menghayati karya-karya pengarang sebelumnya baik sifat-sifat
maupun coraknya sehingga dapat menciptakan karya sastra baru dengan melanjutkan atau
menyimpangi konvensi-konvensi karya sebelumnya.

C. Kedudukan dan Cakupan Sejarah Sastra

Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra. Di dalamnya tercakup teori sastra, sejarah
sastra, dan kritik sastra. Teori sastra tidak dapat dilepaskan dari sejarah sastra dan kritik sastra
demikian pula sebaiknya.

Untuk dapat melihat karya sastra yang menonjol dan merupakan karya-karya puncak
kurun waktu tertentu sejarah sastra perlu melibatkan kritik sastra. Sedangkan ciri-ciri dan
sifat karya sastra pada suatu waktu dapat diketahui melalui teori sastra.
Dengan demikian sejarah sastra sangat penting untuk kritik sastra, kalau kritik hendak
bergerak lebih jauh dari sekadar pernyataan suka dan tidak suka.

D. Pandangan-pandangan dalam Penulisan Sejarah Sastra

Yudiono K.S merujuk artikel Sapardi Djoko Damono “Beberapa Catatan tentang
Penulisan Sejarah Sastra” (tahun 2000), bahwa penulisan sejarah sastra Indonesia dapat
didasarkan pada perkembangan stilistik, tematik, ketokohan, atau konteks sosial.

E. Problematika Penulisan Sejarah Sastra

Penulisan sejarah sastra sangatlah rumit dan komplek. Hal itu disebabkan karena batasan atau
pengertian sastra Indonesia sangat kabur. Kesulitan lainnya ialah walaupun usia sastra
Indonesia berlumlah sepanjang sastra negara lain tetapi objek karyanya sangat berlimpah.
Penelitian Ersnt Ulrich Kratz mencatat 27.078 judul karya sastra dalam majalah berbahasa
Indonesia yang terbit tahun 1922 -1982 (dalam Bibliografi Karya Sastra Indonesia yang terbit
di koran dan majalah). Pamusuk Eneste mencatat dalam Bibliografi Sastra Indonesia terdapat
466 judul buku novel, 348 judul kumpulan cerpen, 315 judul buku drama, dan 810 judul buku
puisi.

Kesulitan lainya ialah objek sastra selain karya sastra yang berupa jenis-jenis (genre) sastra :
puisi, prosa dan drama juga meliputi objek-objek lain yang sangat luas meliputi pengarang,
penerbit, pembaca, pengajaran, apresiasi, esai, dan penelitian.

BAB 2

2.1. Pengertian sastra Indonesia

Jika membicarakan pengertian sastra Indonesia maka tidak akan ada habisnya karena
perbedaan tiap pendapat dalam mengartikan sastra, maka untuk kepraktisan pembelajaran
dapat disimpulkan bahwa Sastra Indonesia ialah sastra berbahasa Indonesia yang sudah
berkembang abad ke-20 sebagaimana tampak penerbitan pers (surat kabar dan majalah) dan
buku, baik dari usaha swasta maupun pemerintah kolonial.

2.2 Beberapa Pendapat Kelahiran Sastra Indonesia

A. Umar Junus

- sastra ada sesudah bahasa ada. “ Sastra X baru ada setelah bahasa X ada, yang berarti bahwa
sastra Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada,” (Umar Junus - lahirnya Kesuastraan
Indonesia Modern dalam karangannya majalah Medan Ilmu Pengetahuan (1960)). Dan
karena bahasa Indonesia baru ada tahun 1928 (dengan adanya Sumpah Pemuda), maka Umar
Junus pun berpendapat bahwa “Sastra Indonesia baru ada sejak 28 Oktober 1928”.

B. Ajip Rosidi

Ajip memang mengakui bahwa sastra tidak mungkin ada tanpa bahasa. Akan tetapi,
sebelum sebuah bahasa diakui secara resmi, tentulah bahasa itu sudah ada sebelumnyua dan
sudah pula dipergunakan orang. Oleh sebab itu, Ajip tidak setuju diresmikannya suatu bahasa
dijadikan patokan lahirnya sebuah sastra (dalam hal ini sastra Indonesia). Di pihak lain, Ajip
berpendapat bahwa kesadaran kebangsaanlah seharusnya dijadikan patokan. Berdasarkan
kebangsaan ini, menetapkan bahwa lahirnya Keusasraan Indonesia Modern adalah tahun
1920/1921 atau 1922. (Pendapat Ajip Rosidi mengenai lahirnya Kesusastraan Indonesia dapat
kita baca dalam bukunya “Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir” yang dimuat dalam
bukunya Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir (1985)) “Pabila buku Azab dan Sengsara
dan Siti Nurbaya dianggap bersesuaian dengan sifat nasional, (hal yang patut kita mengerti
mengingat yang menerbitkannya pun adalah Balai Pustaka, organ pemerintah kolonial),
tidaklah demikian halnya dengan sajak-sajak buah tangan para penyair yang saya sebut tadi.
Sifatnya tegas berbeda dengan dengan umumnya hasil sastra Melayu, baik isi maupun
bentuknya. Puisi lirik bertemakan tanah air dan bangsa yang sedang dijajah adalah hal yang
tidak biasa kita jumpai dalam khazanah kesusastraan Melayu” ( Ajip Rosidi, Kapankah
Kesusasraan Indonesia Lahir, (Jakarta : Haji Masagung, 1988) hal. 6 )

Ajip memilih tahun 1922 karena pada tahun itu terbit kumpulan sajak Muhammad Yamin
yang berjudul Tanah Air. Kumpulan sajak ini pun, menurut Ajip, mencerminkan
corak/semangat kebangsaan, yaitu tidak ada/tampak pada pengarang-pengarang sebelumnya.

C. A. Teeuw

Teuuw pun berpendapat bahwa kesusastraan Indonesia Modern lahir sekitar tahun
1920. Alasan Teeuw adalah : “Pada ketika itulah para pemuda Indonesia untuk pertama kali
mulai menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berberda dengan perasaan dan ide
yang pada dasarnya berbedea daripada perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat
setempat yang tradisional dan mulai demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada
pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang
lebih tua, baik lisan maupun tulisan." (A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia 1, (Ende : Nusa
Indah, 1980) hal. 15)
“Pada tahun-tahun itulah untuk pertama kali para pemuda menulis puisi baru
Indonesia. Oleh karena itu mereka dilarang memasuki bidang politik, maka mereka mencoba
mencari jalan keluar yang berbentuk sastra bai pemikiran serta perasaan, emosi serta cita-cita
baru yang telah mengalir dalam diri mereka. (Teeuw mengenai lahirnya Kesusastraan
Indonesia Modern dalam bukunya Sastra Baru Indonesia 1 (1980) Ibid. hal. 18).

D. Slamet Mulyana

Beliau melihat dari sudut lahirnya sebuah negara Indonesia adalah sebuah negara di
antara banyak negara di dunia. Bangasa Indonesia merdeka tahun 1945. Pada masa itu
lahirlah negara baru di muka bumi ini yang bebas dari penjahan Belanda, yaitu negara
Republik Indonesia. Secara resmi pula bahasa Indonesia digunakan/diakui sebagai bahasa
nasional, bahkan dikukuhkan dalam UUD 45 sebagai undang-undang dasar negara. Karena
itu Kesusastraan Indonesia baru ada pada masa kemerdekaan setelah mempunyai bahasa yang
resmi sebagai bahasa negara.

E. Sarjana Belanda

Hooykass dan Drewes, dua peneliti Belanda menganggap bahwa Sastra Indonesia
merupakan kelanjutan dari Sastra Melayu (Meleise Literatur).Perubahan “Het Maleis”
menjadi “de bahasa Indonesia” hanyalah perubahan nama termasuknya sastranya. Dengan
demikian Kesusastraan Indonesia sudah mulai sejak Kesuastraan Melayu. Karena itu
pengarang Melayu seperti Hamzah Fansuri, Radja Ali Haji, Abdullah bin Abdul Kadir
Munsyi, Nurrudin Ar-Raniri, beserta karya Sastra Melayu seperti Hang Tuah, Sejarah Melayu
Bustanussalatina, Tajussalatina, dan lain-lain adalah bagian dari Kesusastraan Indonesia.

F. Pendapat Lain

Beranggapan bahwa lahirnya kesusastraan Indonesia Modern adalah tahun 1920.


Alasannya : karena pada waktu itu novel Merari Siregar yang berjudul Azab dan
Sengsara.Lepas dari apakah isi novel ini bersifat nasional atau tidak, yang jelas inilah karya
penulis Indonesia yang pertama kali terbit di Indonesia dalam bahasa Indonesia. Selain tokoh
dan setting di Indonesia bentuknya sudah berbeda dengan karya sastra lama sebelumnya.
Dengan kata lain bentuk sudah “modern” dan tidak “lama” lagi, tidak lagi seperti kisah-kisah
seputar istana, legenda atau bentuk-bentuk sastra lama lainnya. Wajarlah kalau masa itu
dijadikan masa lahirnya Kesusastraan Indonesia Modern.
2.3 Beberapa Pendapat Periodesasi Sastra

Menurut Rene Welek pembabakan ialah bagian waktu yang dikuasai oleh sistem norma-
norma sastra, dan konvensi-konvensi sastra, yang munculnya, meluasnya, keberbagaian,
integrasi, dan lenyapnya dapat dirunut. Tujuan periode sastra adalah untuk memudahkan
pengembangan sejarah sastra, selain itu periode sastra menjadi penting untuk penciptaan
karya sastra baru oleh sastrawan. Berkenaan dengan pembabakan dalam perkembangan
Kesuastraan Indonesia, Ajip Rosidi lebih memiliki Periode dibandikan angkatan. Penggunaan
"angkatan" dalam kesusastraan Indonesia telah menimbulkan kekacuan.

Periode sastra Indonesia terlihat dapat berdasarkan

1) bentuk,

2) angkatan,

3) Tahapan.

Mengingat ciri dari sebuah angkatan adalah adanya kesamaan semangat dan kejiwaan
pada sekelompok sastrawan yang memiliki rentang usia tertentu pada satu kurun waktu,
pembabakan berdasarkan periode terhitung yang dapat diterima obyektivitasnya karena
pemilihan dilakukan berdasarkan kurun waktu sehingga apapun yang terjadi pada kuru
tersebut dapat didentifikasi dan diklasifikasi untuk menjadi bagian dari periode tersebut.

Penulisan sejarah sastra Indonesia dalam buku sejarah sastra ini membagi periode sebagai
berikut:

a. Periode 1850 - 1933

b. Periode 1933 - 1942

c. Periode 1942 - 1945

d. Periode 1945 - 1961

e. Periode 1961 - 1971

f. Periode 1971 - 1998

g. Periode 1998 - Sekarang


2.4 Karakteristik Periode Sastra Indonesia

a. Periode 1850 - 1933 •

Karya sastra yang banyak ditulis adalah roman yang beralur lurus, gaya bahasanya
mempergunakan perumpamaan klise dan peribahasa-peribahasa, tapi menggunakan bahasa
percakapan sehari-hari, banyak digresi, bercorak romantis, dan didaktis. Roman-roman
mempersoalkan adat terutama masalah kawin paksa, permaduan, pertentangan kaum tua yang
mempertahankan adat dengan kaum muda yang menginginkan kemajuan sesuni paham
kehidupan modern, berlatar daerah, dan kehidupannya.

b. Periode 1933 - 1942

Karya sastra yang banyak ditulis adalah puisi, selain drama, cerpen, roman yang
beraliran romantik, puisi jenis baru dan soneta. Puisi-puisi tersebut menggunakan kata-kata
nan indah, bahasa perbandingan, gaya sajaknya diafan dan polos, rima merupakan sarana
kepuitisan. Prosa yang ditulis menggunakan watak bulat, teknik perwatakan tidak analisis
langsung, alurnya erat karena tak ada digresi, mempersoalkan kehidupan masyarakat kota
seperti emansipasi, pemilihan pekerjaan, diwarnai idealisme, dan cita-cita kengasaan, serta
bersifat didaktis.

c. Periode 1942 - 1945 •

Periode ini ditandai dengan banyaknya karya propaganda dan sarat dengan politik
Jepang. U/ntuk mempengaruhi rakyat Indonesia membantu Jepang dalam perang Asia Raya,
pemerintah melalui Balai Pustaka (Keimen Bunka Shidosho) menerbitkan karya-karya baik
novel, puisi, dan cerpen yang kebaikan dan keunggulan Jepang.

d. periode 1945 - 1961

Puisi, cerpen, novel, dan drama berkembang pesat dengan mengetengahkan masalah
kemanusiaan umum atau humanisme universal, hak-hak asasi manusia (karena dampak
perang), dengan gaya realitas bahkan sinis ironis, disamping mengekpresikan kehidupan
batin/kejiwaan, dengan mengenakan filsafat ekstensialisme. Padakarya sastra puisi
menggunakan puisi bebas, dengan gaya ekpresionisme, simbolik, realis, gaya sajaknya
presmatis, dengan kata-kata yang ambigu dan simbolik, dengan bahasa kiasan seperti
metafora, juga ironi dan sinisme.
e. Periode 1961 - 1971

Periode in meneruskan gaya periode sebelumnya terutaama struktur estetisnya,


mempersoalkan masalah kemasyarakatan yang bar dalam suasana kemerdekaan, dengan
berorientasi pada bahan-bahan sastra dari kebuyaan Indonesia sendiri, karena dampak parta-
parta cork sastranya bermacam-macam, ada beride keislaman (Lesbumi,) Ide kenasionalisan
(Lesbumi), ide rakyat (Lekra), dan ada yang bebas mengabdi kemanusiaan.

f. periode 1971 - 1998

Dalam karya puisi memunculkan 4 jenis gaya puisi yaitu mantera, puisi imajisme,
puisi lugu, dan puisi lirik. Masalah yang diangkat dalam puisi mempersoalkan masalah sosial,
kemiskinan, pengangguran, jurang kaya dan miskin, menggunakan cerita-cerita dan
kepercayaan rakyat dalam balada. Prosanya umumnya menggambarkan kehidupan sehari-hari
yang kental dengan warna daerah dan pedesaan.

g. Periode 1998 - Sekarang

Periode in ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel,
yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Proses reformasi politik yang
dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra -• puisi,
cerpen, dan novel - pada sat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema
sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam
Noer, dan Hartono Benny Hidayat dengan media online: duniasastra(dot)com -nya, juga ikut
meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.

BAB 3

SASTRA INDONESIA PERIODE 1850 – 1933

A. Sastra Melayu Tionghoa Di Indonesia

sastra Melayu-Cina tumbuh dan berkembang sebelum muncul sastra Indonesia modern
akhir abad ke-19. Pada kurun awal perkembangannya, terbit karya - karya terjemahan sastra
Cina dan Eropa yang dikerjakan oleh Lie Kim Hok, antara lain : Kapten Flamberge setebal
560 halaman, Kawanan Bangsat setebal 800 halaman, Pembalasan Baccarat setebal 960
halaman, Rocambole Binasa, dan Genevieve de Vadans setebal 1.250 halaman. Demikian
tebalnya buku-buku itu lantaran diterbitkan secara serial. Ada yang sampai empat puluh jilid.
Setelah masa itu, barulah berkembang karya Melayu Cina asli sampai akhir tahun 1942.
Secara kuantitatif, menurut perhitungan Claudine Salmon, selama kurun waktu hampir 100
tahun (1870-1960) kesusastraan Melayu-Tionghoa ada 806 penulis dengan 3.005 buah karya.

Bandingkan catatan A. Teeuw, selama hampir 50 tahun (1918-1967), kesusastraan


modern Indonesia asli hanya ada 175 penulis dengan sekitar 400 buah karya. Kalau dihitung
sampai tahun 1979, sebanyak 284 penulis dan 770 buah karya. Setelah merdeka, Pramoedya
Ananta Toer berulang kali menyebut masa perkembangan kesastraan Melayu Tionghoa
sebagai masa asimilasi, masa transisi dari kesusastraan lama ke kesusastraan baru. Tahun
1971, C.W. Watson menyebutnya pendahulu kesusastraan Indonesia modern. Tahun 1977,
John B. Kwee menulis disertasi di Universitas Auckland tentang apa yang disebutnya
Kesastraan Melayu Tionghoa (Chinese Malay Literature). Karena pengaruh kebijakan politik,
Sastra Melayu Tionghoa pada masa dahulu tidak diperhitungkan dalam khazanah Sastra
Indonesia. Salah satu alasannya ialah bahwa karya sastra ini menggunakan bahasa Melayu
pasar yang dianggap rendah, sementara karya sastra Balai Pustaka menggunakan Bahasa
Melayu tinggi yang dianggap sebagai bagian kebudayaan bangsa.

Argumentasi di atas terbantah ketika Literature in Malay by the Chinese of Indonesia, a


Provisial Annotated Bibliography (Paris:1981), terbit. Katalog karya sastra peranakan yang
ditulis oleh Claudine Salmon ini memuat 806 penulis dengan 3005 karya yang terdiri dari
drama asli, syair asli, terjemahan karya penulis Barat, terjemahan ceritacerita Tiongkok,
novel dan cerita pendek asli. Claudine memang bukan orang pertama yang menulis tentang
kesastraan Melayu-Tionghoa. Sebelumnya ada Nio Joe Lan yang di tahun 1930 pernah
menganjurkan agar karya Sastra Melayu-Tionghoa dikaji dari bidang sejarah, kesusastraan
dan psikologi. A Teeuw bahkan menyatakan, bahwa buku Claudine telah memberi landasan
kuat bagi kritik sastra yang sangat diperlukan untuk lebih memajukan penelitian sastra
Indonesia modern. Dalam penelitian Claudine, ditemukan bahwa Oey Se karya Thio Tjin
Boen dan Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang adalah dua prosa asli pertama Kesastraan
Melayu-Tionghoa yang terbit di tahun 1903. Dalam buku itu Claudine diperlihatkan bahwa
pers Melayu-Tionghoa dan para penulis peranakan Tionghoa memainkan peranan besar
dalam menyebarluaskan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Indonesia sejak tahun 1890-
an.

Karya sastra para peranakan Tionghoa berlatar masa 1870- 1960. Karya Sastra Melayu
Tionghoa menggambarkan dinamika yang terjadi semasa puncak Pax Nederlandica (masa
keemasan penjajahan Belanda) dan beberapa dekade awal kemerdekaan Indonesia. Ada pula
Novel Drama di Boven Digoel karya Kwee Tek Hoay yang berani menyentuh masalah hakiki
dan kontradiksi pokok masyarakat jajahan pada kurun 1920-an dan secara terbuka
mengaspirasikan semangat ke-Indonesiaan. Setting novel ini dianggap luar biasa karena
mengangkat peristiwa sejarah Pemberontakan November 1926 yang tidak berani disentuh
para pengarang Balai Pustaka. Hubungan interaksi sosial dalam masyarakat juga terbaca
jelas. Seperti karya-karya Thio Tjin Boen yang mempunyai ciri khas penggambaran
masyarakat peranakan Tionghoa dalam interaksi dengan etnis lain, seperti Jawa, Sunda, Arab
dan sebagainya. Gambaran sejarah lain juga terungkap jelas dalam kisah-kisah tentang
perkembangan organisasi Tiong Hoa Hwe Koan (THHK), potret perempuan di zaman
kolonial, organisasi perempuan yang sulit berkembang, dan emansipasi kaum perempuan
melawan kungkungan tradisi untuk meraih cita-citanya. Sebaliknya literatur golongan
Tionghoa peranakan dimulai oleh Liem Kim Hok yang memulai karirenya dengan menulis
Siti Akbari, yang menceritakan penyebaran agama Hindu di Hindia. Tulisan-tulisan orang
Indo maupun Tionghoa peranakan yang digambarkan secara singkat di atas, masih
menampakkan wataknya asimilatif atau pembauran. Penerbit Tionghoa-Peranakan tidak
menetapkan harga berdasarkan satu buku cerita, tapi berdasarkan bab. Harga produksi
bacaannya bermacam-macam f.0,75, f. 0,80, dan f.1--walaupun ada juga yang memasang
harga f. 0,50, f. 1,25 atau bahkan lebih, f. 2,50. Harga cerita bersambung _Sam Kok_, f.0,50
per jilid. Untuk mengkonsumsi cerita ini orang harus mengeluarkan uang 65 x f.0,50 =
f.32,50. Demikian pula, cerita See Joe yang terdiri dari 24 jilid dan dijual f.0,80 untuk setiap
jilidnya, sehingga para pembacanya harus membayar f.19,20; cerita bersambung "Gak Hui"
tarifnya f.1,- untuk satu jilidnya, sehingga orang harus membayar f.22,- untuk membaca
seluruh cerita. Teknik berdagang seperti itu kemudian ditiru oleh para pemimpin pergerakan,
misalnya Marco yang menjual Mata Gelap (terdiri dari tiga jilid) setiap jilidnya f.0,15,- atau
Kommunisme serie I dan II masing-masing perjilid f.0,25,-.

B. Bacaan Liar

Perkembangan Kesusastraan Indonesia pada periode awal ditandai dengan produksi


bacaan kaum pergerakan yang sering disebut oleh negara colonial sebagai "Bacaan Liar. Bagi
mereka, bacaan merupakan alat penyampai pesan dari orang-orang atau organisasi-organisasi
pergerakan kepada kaum kromo. Bacaan-bacaan yang ditulis oleh orang bumiputra sendiri
mulai muncul pada awal abad ke-20. "Melayu Pasar" adalah bahasa para pedagang dan kaum
buruh yang tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah dengan pengajaran bahasa Melayu
yang baik. Kurun 1920-1926 merupakan masa membanjirnya "bacaan liar," saat terbukanya
celah-celah yang relatif "demokratis" bagi pentas pergerakan. Misalnya, pada Kongres IV
tahun 1924 di Batavia, PKI mendirikan Kommissi Batjaan Hoofdbestuur PKI. Komisi ini
berhasil menerbitkan dan menyebarluaskan tulisan-tulisan serta terjemahan-terjemahan
"literatuur socialisme"--istilah ini dipahami oleh orang-orang pergerakan sebagai
bacaanbacaan guna menentang terbitan dan penyebarluasan bacaan-bacaan kaum bermodal.
Semaoen adalah orang yang pertama kali memperkenalkan pengertian "literatuur
socialistisch." Dengan kata lain, di atas pentas politik pergerakan, "literatuur socialisme"
merupakan "hati dan otak" dari gerakan massa. Dengan produksi bacaan tersebut, rakyat
jajahan diperkenalkan dan diajak masuk ke dalam pikiran-pikiran baru yang modern, dan
karena itulah "literatur socilisme" harus ditulis dengan bahasa yang dipahami oleh kaum
kromo.

Tulisan lain yang dapat ditemui adalah karya Moesso, Djalan Baroe, yang terbit tahun
1948, yang mencoba mengembalikan gerakan politik seperti tahun 1920-an--di mana
aspirasinya sangat demokratis. Pemahaman "bacaan liar" akan komprehensif, apabila kita
baca karya-karya pemimpin pergerakan, seperti Raden Darsono yang melakukan perang
suara (perang pena) dengan Abdoel Moeis. Serangan Darsono terhadap Abdoel Moeis
berjudul "Moeis telah mendjadi Boedak Setan Oeang." Orang yang pertama kali merintis
perlunya bacaan bagi rakyat Hindia yang tidak terdidik adalah Tirtoadhisoerjo. Ia
memulainya dengan menerbitkan artikel "Boycott" di surat kabar Medan Priyayi. Gaya
penulisan bacaan politik yang dipelopori oleh Tirto kemudian diikuti oleh para pemimpin
pergerakan, umpamanya Mas Marco Kartodikromo dan Tjipto Mangoenkoesoemo, yang
sama-sama perintis jurnalis dan sama-sama kukuh memegang prinsip pergerakan, sekalipun
keduanya berbeda dalam memandang pergerakan. Marco Kartodikromo adalah orang yang
paling produktif dalam menghasilkan "bacaan liar", dan akan menjadi salah satu fokus
penulisan ini. Mata Gelap melukiskan halhal modern yang terjadi di tanah Jawa (terutama
Semarang dan Bandung) dengan dengan gamblang bahwa orang sudah keranjingan membaca
surat - kabar, senang hidup bebas, dan berliburan. Syair Sama Rasa dan Sama Rata,
merupakan kumpulan syair yang mengkritik negara kolonial dan sekaligus menggambarkan
kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat kolonial. Mata Gelap, Marco menunjukkan
kejadian-kejadian yang melukiskan betapa kompleksnya pengaruh pemikiran Barat dalam
masyarakat tanah Jawa di bawah kapitalisme pada awal abad ke-20. Soebriga yang bekerja
sebagai seorang klerk di sebuah perusahaan. Setting cerita mengambil tempat di Semarang
dan Surabaya, yang kala itu merupakan pusat kantor-kantor dagang dan industri beberapa
negeri metropolis, dan juga di tempat peristirahatan di sekitar daerah Parahiangan. Karangan
ini ditujukan kepada perusahaan surat kabar Tjhoen Tjhioe yang terbit di Surabaya.
Akibatnya suratkabar Tjhoen Tjhioe bereaksi dan terjadi perselisihan yang hebat antara jurnal
Doenia Bergerak yang di pimpin Marco dengan suratkabar Tjhoen Tjhioe. Tulisan kemudian
mendapat balasan yang cukup tegas pula dari Mas Marco. Rupa-rupanya perdebatan ini tidak
kunjung selesai, sebab baik dari pihak Marco dengan Mata Gelap-nya langsung mengarahkan
serangan terhadap pengusahapengusaha Tionghoa yang berperan sebagai lintah darat yang
terus-menerus mencekik petani bumiputra. Dan justru inilah yang merupakan hal pokok dari
keberangan pihak Tjhoen Tjhioe. Mata Gelap dijual dengan harga f. Mata Gelap terjual
hampir mencapai 500 eksemplar. Gubernur Jenderal Daendels menerima berita bahwa
Nederland menjadi bagian dari Prancis. Prancis di Hindia dilakukan setelah Daendels
menerima persetujuan dari Raad van Daendels yang benaknya penuh adegan-adegan perang,
mengerahkan pribumi membangun infrastruktur dan bangunan-bangunan perang untuk
menghadapi serbuan Inggris, musuh utama Prancis yang dengan nafsu kolonialnya sangat
mengincar tanah Hindia yang kaya. Serbuan armada Inggris ternyata tidak terjadi selama
Daendels berkuasa di Hindia. Pada awalnya negara kolonial tidak begitu keras menghalangi
produksi bacaan liar, dalam pengertian tidak dilakukan pelarangan tehadap produksi bacaan
liar. Hal ini berkaitan dengan politik etis kolonial Belanda di Hindia yang mau
«membimbing» rakyat jajahan memasuki dunia modern. Marco yang begitu membenci
kolonialisme, terutama perkebunan gula. Domeinverklaring untuk kepentingan modal pabrik
gula. Produk "bacaan liar" lebih diradikalkan terutama akibat pengaruh Revolusi Russia
1917, kemenangan ini diekspos oleh Sneevliet dengan karangannya yang berjudul Zegepraal .
Tulisan ini bercerita tentang keberhasilan revolusi Bolshevik yang gaungnya akan membawa
pengaruh besar di Hindia Belanda. Kelaparan dan Pertoendjoekan Koeasa Semaoen ke dalam
bahasa Melayu. " Hal penting yang diajarkan oleh Sneevliet adalah sebuah sikap bahwa
"soldadoe mesti brani mati, tetapi misti brani mati djoega boeat keperloeannja sendiri dan
keperloeannja kaoem dan bangsanja, orang ketjil. Dari pemaparan di atas Sneevliet secara
langsung mulai mempengaruhi bagaimana bacaan dapat menjadi instrumen politik untuk
kesadaran kolektif masyarakat kolonial. Sastra Koran Perkembangan Kesusastraan Indonesia
tidak dapat lepas dari peranan koran atau surat kabar. Surat kabar mulai menunjukkan
peranannya dalam menopang kehidupan sastra dengan banyak melahirkan penulis-penulis
novel dari kalangan wartawan. Melaijoe tahun 1856 dan beberapa surat kabar lain sesudah itu
yang memunculkan penulis - penulis Tionghoa.
3. Sastra Koran

Perkembangan Kesusastraan Indonesia tidak dapat lepas dari peranan koran atau surat
kabar. Surat kabar mulai menunjukkan peranannya dalam menopang kehidupan sastra dengan
banyak melahirkan penulis-penulis novel dari kalangan wartawan. Ini bahkan dapat dilacak
sejak terbitnya surat kabar pertama yang menggunakan bahasa Melayu dengan tulisan latin,
yakni Surat Kabar Bahasa Melaijoe tahun 1856 dan beberapa surat kabar lain sesudah itu
yang memunculkan penulis-penulis Tionghoa. Penulis-penulis ini kemudian melahirkan
sastra Melayu- Tionghoa, baik berupa karya asli, saduran maupun terjemahan. Dengan surat
kabar dan barang cetakan lainnya kaoem kromo dapat dibentuk kesadaran kolektif untuk
membayangkan masa depan yang mereka hadapi. SI Semarang menerbitkan Sinar Hindia
yang peredarannya mencapai hingga 30.000 eksemplar. Bagaimanapun, mereka juga
memerlukan pemasukan untuk mempertahankan produksi dengan menerima pemasangan
reklame dari berbagai perusahaan, baik produksi yang dihasilkan di Hindia maupun produk
luar negeri. Sedangkan pengawasan penerbitan koran ini dilakukan oleh Secretarie Hooge
Regeering, sedangkan bahan-bahan dan dana untuk menerbitkan surat kabar ini diberikan
cuma-cuma oleh Bataviaasch Genootschaap. Surat-surat kabar komersial kepunyaan orang
Eropa yang berbahasa Belanda hingga 1870 bermunculan dengan memuat berita-berita lokal
serta berita-berita dari Eropa. Peran penting berkaitan dengan perkembangan sastra surat
kabar dilakukan tiga jurnalis yakni, F.H. Dua orang pertama dari golongan peranakan Eropa
dan yang terakhir kelahiran Menado. Ketiga orang ini yang mendorong dan mengarahkan
penulisan-penulisan ceritera asli dengan latar belakang sejarah Indonesia. Melayu pasar dan
karya-karya mereka dapat diterima baik di kalangan Indo maupun Tionghoa peranakan.
Ceritera ini merupakan sebuah rekonstruksi imajinatif dari legenda Surapati yang dibumbui
dengan mengacu pada keris suci dan djampe - djampe dan alur cerita penuh dengan intrik dan
romantika dalam keluarga kerajaan. Gubermen Kata dan Apa jang Gubermen Bikin dimuat di
MP tahun 1910 dan OlehOleh dari Tempat Pemboeangan yang pertamakali disiarkan di
harian Perniagaan, kemudian diumumkan kembali di MP tahun 1910. Merdeka pada tahun
1924 untuk menggantikan organ sebelumnya, jurnal Pemimpin yang terbit sejak tahun 1921.
Membanjirnya barang-barang cetakan ini sejak tahun 1910-an hingga 1920-an, terjadi setelah
dikeluarkannya undangundang pers yang baru pada tahun 1906 yang menetapkan sensor
represif sebagai pengganti sensor preventif. Tetapi undang-undang pers yang baru ini lebih
jauh dapat diterjemahkan menjadi pen-sensoran diri oleh pemimpin redaksi yang khawatir
bacaannya bisa dilarang atau dibredel oleh negara kolonial. Dalam perspektif ini, barang
cetakan maupun surat kabar semata-mata adalah sebuah «bentuk ekstrem» dari buku, buku
yang dijual dalam skala massal, meskipun popularitasnya hanya berlangsung sebentar.
Pertumbuhan dan peredaran surat kabar di Hindia pada tahun 1910-1920-an jauh ketinggalan
dibandingkan dengan di Eropa, karena lambatnya perkembangan industri percetakan. Hal ini
tentu berkaitan dengan ketidak-matangan tumbuhnya kapitalisme di Hindia. Meskipun
demikian, surat kabar buku merupakan hal yang modern di Hindia Belanda, sebab barang-
barang cetakan tersebut menciptakan upacara massal yang luar biasa, yang melibatkan
sejumlah besar orang. Image «bacaan liar» yang diproduksi oleh kaum pergerakan ini
diungkapkan Rinkes karena kekhawatiran negara kolonial terhadap surat kabar dan bacaan
lainnya. Rinkes menyatakan surat kabar harian maupun mingguan isinya seringkali
provokatif--menyerang pemerintah kolonial, mengejek aturan-aturan pemerintah dan
menyerang pejabat pemerintah--maka bacaan-bacaan tersebut dianggap telah melanggar
kekuasaan kolonial dan menggangu ketertiban. Rinkes ini merupakan hasil perdebatannya
dengan Marco pada tahun 1914 tentang hasil-hasil kerja Mindere Welvaart Commissie, yang
dianggap Marco sebagai usaha mempertahankan mitos politik etis.

4. Dari Max Havelaar ke Politik Etis Perkembangan Kesusastraan Indonesia tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat Indonesia dalam perkembangan kesadaran sosial dan politik
bangsa Indonesia pada awal abad ke-20. Hal itu diperkuat oleh pendapat Bakrie Siregar :
―Dengan demikian, sastra Indonesia Indonesia modern dengan lahirnya kesadaranan
nasional tersebut, yang tercermin dalam hasil sastrawan-sastrawan dalam tingkatan dan tarap
yang berbeda—sesuai dengan masa dan lingkungannya sebagai ternyata dalam kritik sosial
dan cita-cita politik yang dikemukakannya, serta alat bahasa yang digunakannya. Berkat buku
ini pemerintah Belanda mengubah sistem tanam paksa menjadi Politik Etis‖. Politik etis
adalah suatu kebijaksanaan penting yang dicanangkan tahun 1901. Namun semua kebijaksaan
politik ini, senantiasa dijalankan untuk kepentingan negeri induk. Politik Etis dapat dikatakan
demi kepentingan komoditas, dalam pengertian pendidikan sebagai salah satu elemen politik
etis tidak diterapkan untuk seluruh lapisan masyarakat di seluruh Hindia-- pendidikan di
Hindia dilelang mahal. Politik Etis ini merupakan momen dalam suatu critical period ketika
rakyat Hindia memasuki dunia modern dan pemerintah berusaha memajukan rakyat
bumiputra dan sekaligus menjinakkannya. Karena kekuasaan kolonial di Hindia tidak mau
mendatangkan pengajar-pengajar dari Eropa yang bayarannya sangat tinggi. Kweekschool
yang bayarannya murah. Alasan kedua yang lebih penting karena sampai saat itu
perkembangan modal tidak menuntut tenaga kerja bumiputra yang berpendidikan tinggi
karena relatif masih bisa diatasi oleh orang Belanda sendiri, Untuk pendidikan mereka lebih
suka memakai tenaga pengajar pribumi lulusan. Keadaan semacam ini yang menyebabkan
para pemuda bumiputra menolak masuk Kweeksschool. Secara politik negara kolonial juga
membatasi pengetahuan Eropa yang harus diajarkan di sekolah-sekolah, terutama setelah Dr.
Snouck Hugronje menemukan formulasinya dengan menerapkan gagasan asosiasi. Kemajuan
ini sangat ditopang oleh pendidikan Eropa, dan hanya pribumi yang dapat menghayati ilmu
pengetahuan Eropa dapat ikut berpartisipasi dalam «pembangunan» koloni.

5. Balai Pustaka

Perkembangan Kesuastraan Indonesia Mondern tidak bisa dipisahkan dari keberadaan


Balai Pustaka. Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat atau Commissie voor de
Inlandsche School en Volksectuur yang didirikan pada tahun 1908. Komisi ini dimaksudkan
untuk memerangi «bacaan liar» yang banyak beredar pada awal abad ke-20. Secara sepihak
Belanda menyebutnya sebagai Saudagar kitab yang kurang suci hatinya, penerbit tidak
bertanggung jawab, agitator dan bacaan liar. Pengurusnya terdiri dari enam orang dan
diketuai oleh yang diketuai oleh Dr. G.A.J Hazeu ini, Advizeur voor Inlandshe Zaken. Rinkes
sebelumnya telah aktif sebagai pegawai bahasa di Kantoor voor Inlandsche Zaken. Belanda.
Zaken merupakan institusi yang berusaha mendominasi dan mensubordinasi proses
organisasi sosial dan mengontrol perkembangan masyarakat Hindia Indlandsche Zaken untuk
meneliti bahasa-bahasa masyarakat kolonial. Dari penelitian ini mereka kemudian
menetapkan tata bahasa daerah sesuai dengan pengetahuan mereka. Pengetahuan seorang
ilmuwan bagaimanapun tidak pernah netral, dan dalam konteks kolonial, pengetahuan para
ilmuwan ini harus ditempatkan dalam konteks kolonialisme. Belanda komisi tersebut menjadi
kantor bacaan rakyat atau Balai Pustaka dengan empat bagian di dalammnya : Bagian
Redaksi, Bagian Administrasi, Bagian Perputakaan, dan Bagian Pers. Mengingat didirikan
bertujuan melegitiminasi kekuasan Belanda di Indonesia, Balai Pustaka menerapkan sejumlah
syarat-syarat bagi naskah-naskah yang akan diteritibkan. Berkenaan dengan kebijakan
tersebut, hampir semua novel Balai Pustaka senantiasa memunculkan tokoh mesias atau dewa
penolong yang merupakan tokoh Belanda. Azab dan Sengsara , tokoh Baginda Diatas, kepala
kampung yang terkenal dermawan, tiba-tiba bertindak tidak adil dengan memutuskan
hubungan cinta anaknya, Aminudin dan Mariamin. Maringgi yang busuk dalam segala hal,
mendadak menjadi kepala pemberontak yang menentang perpajakan. Ia kemudian mati di
tangan Samsul Bahri yang sudah menjadi kaki tangan Belanda. Lebih Jelas dalam dalam
Salah Asuhan karya Abdul Muis. Konon dalam naskah aslinya yang dikarang penulis, Corrie
du. Besse adalah perempuan Indo-Belanda yang kemudian mati karena penyakit kelamin.
Perubahan tersebut dilakukan agar tidak merendahkan derajat orang Belanda. Termasuk
roman sejarah Hulubangan Raja (1934) karya Nur Sutan Iskandar yang bersumber disertasiH.
Kroeskamp yang mengangkat peristiwa tahun 1665 – 1668 di Sumatera Barat. Melihat hal
tersebut wajarlah Bakri Siregar melihat berdirinya Balai Pustaka penuh dengan warna dan
nuasa politik, Balai Pustaka bekerja sebagai badan pelaksana politik etis pemerintah jajahan,
pemumpuk amtenarisme, atau pegawaisme yang patuh dan melaksanakan peranan
pengimbangan lektur antikolonial dan nasionalistik. Yang dimaksud dengan sastra Balai
Pustaka adalah hasil mengemukakan konsepsi politik etis pemerintah jajahan, pemupuk
amtenarisme dan pegawaime yang patuh.

16 Pendapat Bakri Siregar dipertegas oleh pandangan Jacob Sumarjo yang


menyatakan bahwa sastra Balai Pustaka tidak muncul dari masyarakat Indonesia secara bebas
dan spontan, tetapi dimunculkan dan diatur oleh pemerintah jajahan Belanda sehingga penuh
dengan syaratsyarat yang terkait dengan maksud- maksud tertentu. 17 Dengan
demikian,dapat dikatakan bahwa sastra Balai Pustaka bukanlah ekspresi bangasa yang murni.
Adanya kepentingan politik kolonial Belanda dalam pendirian Balai Pustaka, Sutan Takdir
Alisjahbana yang juga pernah menjadi redaktur penerbit itu menyatakan : ― Balai Pustaka
didirikan untuk memberi bacaan kepada orang-orang yang pandai membaca, yang tamat
sekolah rendah dan yang lain-lain, disamping untuk memberikan bacaan yang membimbing
mereka supaya jangan terlampau tertarik kepada aliran-aliran sosialisme atau nasionalisme
yang lambat laun toh agak menentang pihan Belanda‖. Terlepas dari tanggapan di atas,
banyak hal yang telah dilakukan Balai Pustaka. Pada awalnya lembaga ini hanya menerbitkan
bacaaan sastra daerah, kemudian menerjemahkan, atau menyadur cerita klasik Eropa, dan
akhirnya menerbitkan karangan-karangan baru. Sekalipun didirikan mulai tahun 1908, serta
kemudian diperluas pada tahun 1917, pekerjaan Balai Pustaka sebenarnya barulah produktif
sesudah tahun 1920- an. Pada zaman itu Balai Pustaka menghasilkan bermacam, buku,
majalah dan alamnak. Buku-buku populer yang terbit meliputi kesehatan, pertanian,
perternakan, budi pekeri, sejarah, adat dan lain-lain. Majalah yang diterbitkan Balai Pustaka
adalah Sri Pustaka yang kemudian bernama Panji Pustaka berbahasa Melayu (1923),
Kejawen berbahasa Jawa (1926), dan Parahiangan berbahasa Sunda (1929). Tiras penerbitan
Panji Pustaka pernah mencapai 7.000 eksemplar, Kejawen 5.000 eksemplar, dan Parahiangan
2.500. Alamanak yang yang diterbitkan Balai Putaka adalah Volksalmanak, Almanak Tani,
dan Almanak Guru.
BAB 4

Sastra Indonesia Periode 1933 – 1942

4.1 Pujangga Baru

Ada beberapa majalah yang sudah terbit sebelum Pujangga Baru, yaitu majalah Sri
Po estaka (1919-1942), Panji Poestaka (1919-1942), Jong Java (19201926), dan Timboel
(1930-1933). Tahun 1930 terbit Majalah Timboel (19301933) mula-mula dalam bahasa
Belanda kemudian pada tahun 1932 terbit juga edisi bahasa Indonesia dengan Sutan Takdir
Alisyahbana sebagai direktur. Sehabis perang Takdir pernah menerbitkan dan memimpin
majalah Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952). Setelah menerbitkan beberapa majalah,
Mei 1933 Sutan Takdir Alisyahabana menerbitkan Majalah Pujangga Baru.

Berdirinya majalah Pujangga Baru merupakan bukti kebutuhan masyarakat pada


zaman itu akan suatu media publikasi yang menampung dan membahas tentang sastra dan
kebudayaan. Awalnya majalah tersebut di cetak oleh percetakan Kolf milik A. Dahleer,
seorang Belanda. Kemudian Sutan Takdir Alisyahbana menerbitkan sendiri. Majalah ini
beroplah 500 eksemplar dengan penyebaran terbatas ke kalangan guru dan mereka yang
dianggap memiliki perhatian terhadap masalah kebudayaan dan kesusastraan. Meskipun
pembaca Majalah itu tidak banyak, tapi pengaruhnya besar sekali. Banyak ahli yang
menyumbangkan tulisan, di antaranya Prof. Husein Djajadiningrat, Maria Ulfah Santoso,
Amir Sjarifuddin, Mr. Sumanang, dan Poerwadarminta.

Dalam edisi pertama Pujangga Baru, dinyatakan bahwa majalah yang dikelola Armijn
Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisjahbana itu, untuk sementara terbit dua bulan
sekali. Kemudian adanya tawaran untuk berlangganan “agar dapatlah kami mengira-ngira
djoemlah lembar ‘Poedjangga Baroe’ jang akan ditjetak” menunjukkan bahwa majalah itu
terbit tanpa persiapan dana yang memadai. Penyebarannya, terutama Pedoman Masyarakat,
juga lebih luas, tidak hanya di kota-kota besar di Nusantara, tetapi juga di Semenanjung
Melayu, Mesir, dan Belanda.

Dalam bidang kesusastraan, kedua majalah itu memang punya kontribusi penting
dalam melahirkan sejumlah penulis; juga dalam menampung karya-karya sastrawan muda.
Meskipun demikian, dengan peranan yang telah dimainkan kedua majalah itu, tidak pula
berarti menafikan peranan Pujangga Baru dalam memajukan kesusastraan kita. Sementara itu,
Pedoman Masyarakat cenderung mengangkat persoalan umum (sosial, politik, budaya)
dengan titik berat agama Islam. Dengan demikian, kedua majalah itu tidak secara signifikan
mengangkat kebudayaan sebagai isu sentral. Dalam hal inilah, Pujangga Baru secara cerdas
berhasil menggiring dari persoalan kesusastraan ke persoalan kebudayaan yang kemudian
menjadi problem bangsa yang waktu itu disadari perlu segera dirumuskan. Demikianlah,
bagaimanapun juga, dalam masalah-masalah kebudayaan dan pemi-kiran, Pujangga Baru
tetap menempati kedudukan yang khas. Dalam hal inilah peranan Sutan Takdir Alisjahbana
tidak dapat diabaikan.

Kata pujangga sendiri dijelaskan Armijn Pane dalam artikelnya yang dimuat Suara
Umum, 3 Mei 1933: “Kami tidak menyebut diri kami penyair, tapi pujangga. Juga bukan
bujangga. Kami tidak menyebut hasil jiwa kami syair dan pantun, tapi sajak dan puisi.”
Dalam setahun penerbitannya, Pujangga Baru tampak masih menekankan pada soal-soal
kesusastraan. Titik berat perhatian Pujangga Baru mulai bergeser dari kesusastraan ke
kebuda-yaan terjadi saat majalah itu memasuki tahun ketiga (Juli 1935). Dinyatakan dalam
subjudulnya, “Pembawa semangat baroe dalam kesoesasteraan, seni, keboedajaan, dan soal
masjarakat oemoem.” Pernyataan ini kemudian ditegaskan kembali dalam pengantar Redaksi
edisi itu: “…dengan memadjoekan oesaha kesoesasteraan jang creatief, madjallah ini akan
menjinari soal keboedajaan dan masjarakat dengan lampoe pentjari soesoen-an masjarakat
persatoean jang akan datang.”

Beberapa pengarang yang aktif menulis melalui Pujangga Baru yang karyakarya
muncul pada tahun 30-an dan awal tahun 40-an di antaranya Sutan Takdir Alisyahbana Tak
Putus dirundung Malang (1929), Dian yang Tak Kunjung Padam, (1932), Tebaran Mega
(1935), Layar Terkembang (1937), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940), Puisi Lama
(1941), dan sebagainya. Adapun terjemahannya ialah : Nelayan di Laut Utara (Karya Piere
Lotti) dan Nikudan Korban Manusia (Karya Tadayosih Sakurai; terjemahan bersama
Soebadio Sastrotomo, 1944). Salah satu karya STA yang penting adalah novel Layar
Terkembang. Novel yang dianggap mencerminkan cita-cita STA ini diterbitkan Balai
Pustaka.

Salah satu karya STA yang penting adalah novel Layar Terkembang. Novel yang
dianggap mencerminkan cita-cita STA ini diterbitkan Balai Pustaka untuk pertama kalinya
tahun 1936, dan tahun 1984 mengalami cetak ulang untuk kelima belas kalinya. Pada tahun
1963 novel ini terbit di Kuala Lumpur dengan edisi bahasa Melayu.
Layar Terkembang menceritakan seorang Tokoh yang bernama Tuti. Seorang gadis
yang berpendirian teguh, aktivis pergerakan dan persamaan wanita Serta aktif dalam berbagai
kegiatan organisasi wanita. Ia ketua organisasi wanita Putri Sedar cabang Jakarta. Beberapa
pengamat sastra melihat sikap dan pemikiran Tuti sebagai sikap Takdir Alisyahbana
khusunya usaha mengangkat harkat wanita Indonesia

Pengarang lain yang muncul pada periode ini ialah Amir Hamzah yang oleh H.B.
Jassin dijuluki “Raja Penyair Pejangga Baru”. Karya-karya pengarang yang merupakan salah
satu pendiri majalah Pujangga Baru ialah Nyanyian Sunyi (1937), Buah Rindu (1941) dan
Sastra Melayu dan Raja-rajanya (1942), dan Esai dan Prosa

(1982). Sedangkan terjemahannya ialah Bhagawad Gita (1933) dan Setanggi


Timur(1939). Kisah tragedi kehidupan penyair yang menurut Ajip Rosidi seakan-akan
menjadi tokoh roman adat yang dihasilkan oleh para pengarang dari Sumatera pada tahun
1920 – an dan 1930 20 ini diceritakan dalam novel Amir Hamzah Pangeran dari Seberang
yang ditulis N.H. Dini.

Amir Hamzah dikenal sebagai penyair religius, hal ini tampak pada puisi dibawah ini,

Padamu Jua
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

Melambai pulang perlahan

Sabar, setia selalu

Satu kekasihku

Aku manusia

Rindu rasa
Rindu rupa

Dimana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu

Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar

Sayang berulang padamu jua

Engkau pelik menarik ingin

Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri

Lalu waktu---bukan giliranku

Mati hari--- bukan kawanku

Puisi ini dibuka oleh pernyataan penyair yang ingin kembali ke Tuhannya setelah
segala cintanya hilang Terbang. Pertemuan manusia dan Tuhan pada hari Alastu seperti
dinyatakan dalam Al Quran (7: 172), “Alastu bi rabbikum? Qalu bala syahidna.” (“Bukankah
Aku Tuhanmu? Ya, aku bersaksi!”) tertanam jauh di lubuk kalbu setiap manusia. Pertemuan
tersebut senantiasa dirindukan oleh setiap manusia, “Pulang kembali aku padamu/seperti
dahulu”.
Pengarang lain yang juga pendiri majalah Pujangga Baru ialah Sanusi Pane yang
banyak menulis drama seperti Airlangga (1928), Eenzame Garoedavlucht (drama berbahasa
Belanda, 1929) Kertajaya (1932), Sandyakala ning Majapahit(1933), Manusia Jiwa (1940).
Sedangkan kumpulan puisinya adalah Pancaran Cinta (1927), Puspa Mega (1927), dan
Madah Kelana (1931). Karya lainnya ialah Sejarah Indonesia (1942), Indonesia Sepanjang
Masa (1952), dan Gamelan Jiwa(1960). Umumnya drama-drama yang ditulis berlatar pada
sejarah bangsa Indonesia dan merupakan bentuk closet drama, drama yang sekadar untuk
dibaca bukan di pentaskan karena lebih banyak percakapan dibanding petunjuk gerak atau
laku.

Pengarang lainnya ialah J.E Tatenteng dengan karangannya Rindu Dendam(1934), M,


R. Dayoh dengan karangannya Peperangan Orang Minahasa dengan Orang Spanyol (1931),
Pahlawan Minahasa (1935), Syair untuk ASIB (1935), Putera Budinan (1941), Ratna Rakyat
(1951), Koobangan (1953), dan Mamanua(1969). Rifa’i Ali dengan karangannya Kata Hati
(1941) dan Tuhan Ada (1968). OR Mandank dengan karyanya Narumalina (1932), Pantun
Orang Muda (1939), Sebab Aku Tediam...(1939), Sutomo Djauhar Arifin yang menulis
Andang Teruna (1941), dan A. Hasmy yang menulis novel : Bermandi Cahaya Bulan (1938),
Suara Azan dan Gereja (1940), Dibawah Naungan Pohon Kemuning (1940), Tanah Merah
(1980), Dewi Fajar (1943) sedangkan puisinya ialah Kisah Seorang Pengembaran (1936),
Dewan Sajak (1940), Rindu Bahagia (1960) dan sebuah otobiografi Semangat Merdeka
(1985).Pengarang perempuan yang muncul pada periode ini adalah Hamidah yang
merupakan nama lain Fatimah Hasan Delais yang menulis novel Kehilangan Mestika (1935)
dan Selasih alias Sariamin atau Seluguri yang menulis novel Kalau Tak Untung (1933),
Pengaruh Keadaan (1937), dan Rangkaian Sastra (1952) dan Panca Juara (1981).

Karya Hamka yang dianggap penting ialah Di Bawah Lindungan Kabah (1938). Di
Bawah Lindungan Kabah mengisahkan cinta yang tak sampai antara dua orang yang
terhalang oleh adat. Yang membedakan dengan novel-novel yang membicarakan adat ialah
pengarangnya membawa pelakunya dibawa ke Mekah dan meninggal di saat mengelilingi
Kabah.

Novel lainya ialah Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939), mengisahkan cinta
yang tak sampai dihalangi oleh adat Minangkabau yang terkenal kukuh itu pula. Dalam novel
ini diceritakan tentang Zainuddin seorang anak dari perkawinan campuran Minang Makasar
tak berhasil mempersunting gadis idamannya karena Zainuddin tidak sebagai manusia penuh.
Zainuddin kemudian menjadi pengarang terkenal dan dalam sebuah kecelakaan kapal, gadis
dicintainya meninggal.

Novel ini sempat heboh karena sebuah artikel di Harian Bintang Timur, harian yang
biasa memuat karya-karya seniman Lekra, tanggal 7 September 1962 yang ditulis Abdullah
SP. Tulisan tersebut mengungkapkan bahwa karya Hamka tersebut sangat mirip dengan karya
pujangga Mesir Al-Manfaluthi. Kesamaan tersebut dalam jalan pikiran, gaya bahasanya,
perasaannya, filsafatnya dan lainlain. Hamka dianggap mentah-mentah menjiplak karya
pengarang Mesir dengan hanya mengganti tokoh dan tempat yang sesuai dengan warna
setempat.

Menghadapi tuduhan tentang plagiat yang dihadapi Hamka, H.B. Jassin menyatakan
bahwa karya Hamka tersebut bukan plagiat atau jiplakan. “Menjiplak” berarti
menerjemahkan tanpa menyebut sumbernya, sedangkan novel Tenggelamnya Kapal van der
Wijck tersebut masih ada pemikiran, penghayatan, dan pengalaman Hamka. Novel tersebut
bukan jiplakan, bukan pula saduran karena terlalu banyak perlainan peristiwa yang bersumber
pada pengalaman dan pengetahuan pengarang. Pendapat H.B. Jassin didukung oleh
pengarang dan pakar sastra lainnya seperti A. Rahim Mufti yang diungkap dalam Suluh
Indonesia, 3 Oktober 1963 dan Zuber Usman, pengamat sastra dari Fakultas Sastra Unas
Jakarta dalam harian yang sama

Kalangan akademik yang menanggapi konflik tersebut adalah dosen-dosen Fakultas


Sastra UI dengan menerjemahkan karya Al Manfaluthi dalam bahasa Arab ke dalam bahasa
Indonesia sehingga terbitlah terjemahan berjudul Magdalena dengan pengantar H.B. Jassin
yang kembali melakukan pembelaan terhadap Hamka. Demikian beberapa peranan yang telah
diperlihatkan Pujangga Baru yang dengan tiras terbatas dan dana pas-pas dapat memberikan
pengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaan terutama kesusastraan Indonesia secara
konsinten sampai akhirnya berhenti terbit pada Februari 1942 karena kedatangan Jepang ke
Indonesia. Penguasa Jepang melarang Pujangga Baru karena dianggap kebarat-baratan dan
progesif.

4.2 Polemik Kebudayaan

Sumbangan Pujangga baru terhadap pemikiran kebudayaan Indonesia adalah


diberikannya kesempatan pada sastrawan dan budayawan untuk menyalurkan pendapatnya
sehingga menjadi polemik yang hebat dan meluas. Dalam perjalanannya, golongan Pujangga
Baru berpolemik dengan kaum tua dalam berbagai hal termasuk diantaranya masalah bahasa
dan sastra, kebudayaan, pendidikan, dan pandangan hidup bermasyarakat.

Dalam edisi kedua (Agustus) tahun itu, munculah artikel Alisjahbana “Menuju
Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang kemudian mengundang reaksi banyak pihak.
Artikel ini pula yang belakangan menjadi titik pangkal terjadinya polemik kebudayaan yang p
melebar dari Pujangga Baru lewat Poerbatjaraka (3/III/ September 1935) sampai ke media
massa lain, seperti Suara Umum (Surabaya), Bintang Timur (Ja-karta), Pewarta Deli (Medan)
dan Wasita (Yogyakarta).

Di antara kritik atas artikel itu, Alisjahbana melanjutkan gagasannya dan sekalian
melakukan kritik balik atas berbagai sanggahan yang dialamatkan kepadanya. Serangkaian
perbalahan itulah yang kemudian dikumpulkan Achdiat Karta Mihardja dan kemudian
menerbitkannya dalam buku Polemik Kebudayaan (1948). Dalam Kata Pengantarnya
disebutkan bahwa polemik itu terjadi dalam tiga tahap. Pertama, terjadi dalam Pujangga Baru
Bintang Timur dan Suara Umum (Agustus–September 1935) antara Alisjahbana, Sanusi Pane
dan Poerbatjaraka. Kedua, dalam Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli, dan Wasita
(Oktober 1935–April 1936) antara Alisjahbana, Dr. Sutomo, Tjindarbumi, Dr. M. Amir,
Adinegoro, dan Ki Hadjar Dewantara. Ketiga, terjadi dalam Pujangga Baru dan Pewarta Deli
(Juni 1939) antara Alisjahbana dan Dr. M. Amir.

Secara ringkas, perdebatan itu berkisar pada gagasan Alisjahbana yang begitu
mengagungkan dan memberi penghargaan tinggi pada kebudayaan Barat, sebaliknya ia tidak
memberi tempat pada kebudayaan Indonesia di masa lalu. Terlepas dari soal setuju atau tidak
setuju pada gagasan itu, Alisjahbana yang memicu terjadinya pemikiran akan pentingnya
merumuskan kebudayaan Indonesia. Alisjahbana menegaskan bahwa hanya dengan jalan
mereguk ilmu dan roh Barat sepuas-puasnyalah kita dapat mengimbangi Barat. Ia berhadapan
dengan Dr. Soetomo dan Ki Hajar Dewantara dan lain-lain yang hendak mempertahankan
tradisionalisme yang dianggap kepribadian bangsa. Sanusi Pane yang juga turut serta dalam
polemik-polemik itu akhirnya menyatakan bahwa baginya Manusia (Indonesia) baru haruslah
merupakan campuran antara Faust (yang dianggap mewakili roh kepribadian Barat) dengan
Arjuna (sebagai wakil roh kepribadian Timur). Sikap ini dinyatakan dalam dramanya
Manusia Baru (1940). Sebelumnya Sanusi Pane dikenal sebagai seorang yang sangat
mempertahankan Timur dalam menghadapi S. Takdir
Titik berat pada persoalan kebudayaan dan sosial, makin tampak dalam usia Pujangga
Baru memasuki tahun keempat (Juli 1936). Subjudulnya juga diganti menjadi: “pembimbing
semangat baroe jang dinamis oentoek membentuk keboedajaan baroe, ke-boedajaan
persatoean Indonesia.” Dalam pengantarnya, juga dinyatakan adanya pergeseran perhatian:
“Dari madjallah jang teroetama mementingkan kesoesasteraan perla-han-lahan Poedjangga
Baroe mendjedjakkan kakinja dilapangan keboedajaan bangsa kita keboedajaan persatoean
Indonesia.” Dan kembali, sedikitnya lima artikel Alisjahbana melanjutkan gagasannya
mengenai “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru.” Dalam Nomor Peringatan Pujangga
Baru (1933–1938), orientasi ke kebudayaan Barat dikatakan tidaklah dalam arti sempit,
melainkan “dalam arti yang seluas-luasnya.” Dengan begitu, pemahaman kebudayaan Barat
itu juga ditempatkan sebagai kebudayaan internasional

BAB 5

SASTRA INDONESIA PERIODE 1942 – 1945

Periode singkat ini tidak banyak karya sastra lahir yang penting,walaupun singkat
karya-karya sastra yang hadir berbeda dengan periode sebelum dan sesudahnya,beberpa
pengamat sastra berpendapat bahwa periode ini membawa pengaruh besar terhadap
perkembangan kesustraan Indonesia dan merupakan masa-masa pematangan ke periode
selanjutnya.

Masa Penduduk Jepang

Pada awal Maret 1942,Jepang mendarat di Pulau Jawa.Setelah itu mulailah pemerintahan
Jepang Indonesia.Jepang datang ke Indonesia dengan cara yang simpatik seolah-olah
membebaskan dari penjajahan Belanda.Gerakan 3 A menjadi semboyan kedatangan jepang
diterima dengan baik karena di anggap akan membebaskan Indonesia dari cengkraman
Belanda.

Keberhasilan Jepang mengusir Belanda dengan cepat meninggalkan kesan yang mendalam
bagi penduduk Indonesia. Kedatangan Jepang bedampak bagi pergerakan nasional yang
sempat tertekan akibat politik Belanda.

Setelah Belanda terusir dari Indonesia,Jepang membuat kebijakan-kebijakan untuk


menghapus pengaruh-pengaruh Barat di kalangan masyarakat dan memobilisasi rakyat demi
kemenangan Jepang.

Kebijakan Jepang dalam bidang politik ialah dengan membuburkan semua organisasi politik
kemudian mendirikan bdan baru yang diberi nama Pusat Tenaga Rakyat dan Putera
dibubarkanlah Putera karena tidak dapat dukungan masyarakat Jepang mendirikan Jawa
Hakokai(Persatuan Kebangkitan Jawa).
Untuk tujuan mobilisasi Jepang membentuk serdadu ekonomi yang di sebut
Rumusha.Yang tergabung dalam rumusha adalah petani yang direkrut secara
paksa,diperlakukan kejam untuk kepentingan Jepang. Mobilisasi masa lain yang dilakukan
Jepang ialah dengan membentuk koprs pemuda yang bersifat militer seperti Sainendan untuk
pemuda berusia 14-25 tahun.

Zaman Jepang yang diucapkan Jawa”jaman meleset”adalah jaman kejatuhan ekonomi


secara dunia.Baru pada tahun 1943,beberapa perusahaan besar digiatkan kembali oleh Jepang
dengan mengganti nama-nama secara Jepang pula tetapi hal itu tidak menolong keadaan yang
kian parah. Beras tak gampang diperoleh,walaupun kehidupan masyarakat sulit pada masa
itu,ternyata semangat dan kreatifitas pengarang tidak menghilang,pengarang tumbuh
berkembang dalam keadaan apapun.

Situasi dunia kesusastraan zaman penduduk Jepang memiliki ciri khas,baik dari segi
isi masalahnya maupun jenis penulisan karya sastranya.Kesusastraan yang menddorong cita-
cita peperangan dan menunjang kepentingan pemerintah.

Penngarang-pengarang yang muncul pada saat itu adalah Rosihan Anwar ,Chairil
Anwar,B.H.Lubis,Nursyamsu,Anas Ma’aruf,Maria Amin,Bung Usman,El Hakim,Bakhir
Siregar,M.S.Ashar,Amal Hazah dan Kotot Sukardi.

Lembaga yang besar pengaruhnya terhadap kesusastraan pada masa itu ialah Keimin
Bunka Shidosho atau Kantor Pusat Kebudayaan yang didirikan oleh Pemerintahan
pendudukan Jepang untuk memobilisasi potensi seniman budayawan sebagai pendukung
kepentingan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.

Di antara mereka tampilah Armyn Pane, Nur Sutan Iskandar, Karim Halim, Usmar
Ismail, dan lain-lain. Namun, tidak lama kemudian sadarlah mereka bahwa janji-janji manis
Jepang itu hanyalah tipuan belaka. Sementara itu banyak seniman yang tidak terpikat pada
lembaga itu seperti Chairil Anwar, Idrus, dan Amal Hamzah. Di sisi lain ada juga seniman
yang bersikap kompromistis dengan menulis karya sastra simbolik Maria Amin, H.B. Jassin
mengumpulkan karya zaman pendudukan Jepang yang tersebar di berbagai surat kabar dan
media lannya dalam Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1969) dan Gema Tanah Air 1
(1992).

Karya-karya yang dimuat dalam buku Kesusastraan Indonesia di masa Jepang


mestinya karya yang muncul antara tahun 1942-1945 atau tepatnya karya yang terbit sejak 8
Maret 1942, saat Jepang masuk ke Indonesia sampai 17 Agustus 1945, saat Indonesia
merdeka. Kenyataannya Jassin tidak melakukan itu. Sejumlah karya yang dimuat selepas
merdeka dimuat pula dalam buku itu. Sedangkan karya yang harusnya masuk zaman Jepang
dimasukkan dalam buku Gema Tanah Air.

5.2 Sastra Propaganda

Pada bulan Agustus 1942 Pemerintah Jepang mendirikan sebuah badan bertugas
mengurus kegiatan propaganda Jepang yang diberi nama Sendenbu. Lembaga ini kemudian
mendirikan Barisan Propaganda yang anggotanya terdiri budayawan, wartawan, dan seniman.
Kegiatan yang dilaksanakan Barisan Propganda ini adalah mendirikan Surat Kabar
Indonesia Raya yang berisi pesan pemerintah, berita perang, dan iklan kebuayaan. Surat
kabar yang hanya berisi empat halaman ini terbit setiap hari kecuali hari libur dan minggu.

Masalah yang mendapat sorotoan yang cukup penting majalah ialah masalah
kebudayaan terutama kesusastraan.Sanusi Pane, salah satu redaktur Asia Raya, menulis
artikel berjudul “Koebudajaan Asia Raya” yang mengawali penerbitan harian tersebut dan
artikel berjudul, “Ilmoe Semangat”. Kedua tulisan ini dianggap sesuai dengan semangat
Jepang dalam kesusastran.

Beberapa cerpen bersambung sempat dimuat dalam Indonesia Raya yaitu “Kartinah”,
“Noesa Penida” karya Andjar Asmara dan Rukmini karya E.S.N. Juga Andjar Asmara
menulis artikel tentang hubungan sastra dengan propaganda Jepang yaitu “Toedjoean dan
Kewajiban Sandiwara dalam Zaman Baroe”. Cerpen-cerpen lain banyak dimuat pada harian
Djawa Baroe dan Pandji Pustaka.

Selain cerpen juga ditulis novel yang berisikan propaganda yaitu Palawidja karangan
Karim Halim. Karim Halim dalam cerita Palawija mencoba mengenalkan pembauran
masyarakat antara pribumi dan Tionghoa pada zaman Pendudukan Jepang. Selain novel
Palawija, Karim Halim pernah menyadur tonil karangan Henrik Ibsen berjudul de Kleine
Eylof menjadi Djeritan Hidoep Baroe. Ia menulis cerpen propanda, salah satu cerita
pendeknyanya berjudul “Aroes Mengalir”. Cerita pendek itu dimuat dalam harian Djwaba
Baroe, no. 14-15 Juli 2603 (tahun Jepang) halaman 27-31.Novel lainnya ialah Anak Tanah
Air karya Nur Sutan Iskandar. Selain masalah percintaan novel Cinta Tanah Air
menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa permulaan kedatangan bangsa Jepang.
Kedua novel tersebut menurut Ajip Rosidi adalah roman propaganda yang tak bernilai sastra.

Media lain yang digunakan untuk propaganda ialah Sandiwara dan Film. "Noesa
Penida" adalah cerita bersambung di Koran Asia Raya karangan Andjar Asmara yang
kemudian dipentaskan oleh Sandiwara Bintang Soerabaya. Cerita tersebut kemudian
difilmkan dengan judul yang sama. Kelompok sandiwara lainnya ialah Persafi Nippon Eiga
Sya yang mementaskan "Mekar Baoenja Madjapahit", kelompok Perserikatan Sandiwara
Djaya yang mementaskan "Musim Bunga di Asia". Iklan dan dan ulasan pementasan
kelompok-kelompok tersebut selalu dimuat harian Indonesia Raya. Kelompok sandiwara baru
seperti Maya yang didirikan Usmar Ismail, Dr. Ab Hanifah, dan Rosihan Anwar. Kemudian
pada masa itu lahir sandiwara profesional Cahaya Timur pimpinan Andjar Asmara, dan
Bintang Surabaya pimpinan Nyoo Cheong Seng. Sedangkan kelompok sandirawa yang
berdiri sejak zaman Belanda seperti Dardanela dan Bolero masih terus mementaskan
beberapa naskah dengan bintang-bingtang baru.

Untuk memperbanyak karya proganda, Jepang mengadakan sayembara penulisan


cerita baik cerpen maupun naskah sandiwara yang bekerja sama dengan berbagai harian
seperti Jawa Baru. Jassin dikenal dengan karya propaganda25. Terhadap kebijakan Jepang
menghendaki karya-karya untuk tujuan propganda banyak pengarang yang kebearatan.
Usmar Ismail yang mulanya sangat percaya janji dan slogan-slogan buatan Jepang, kemudian
merasa curiga juga.
Sedangkan Chairil Anwar, dan Amal Hamzah dan beberapa orang kawannya lagi
sejak semula menaruh curiga kepada Jepang, mengejek para seniman yang berkumpul di
Kantor Pusat Kebudayaan. Amal Hamzah menulis sebuah sandiwara berjudul "Tuan Amin"
yang merupakan sindirian kepada Armyn Pane yang pada waktu itu bersememangat
menyokong Jepang dan menulis sandiwara-sandiwara pesanan Jepang

BAB 6

SASTRA INDONESIA PERIODE 1945 – 1961

Selepas Indonesia merdeka banyak perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang
termasuk budaya. Perubahan tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba pada saat setelah
proklamasi. Selama masa pendudukan Jepang sudah terjadi tanda-tanda perubahan yang
diperlihatkan beberapa sastrawan tetapi tidak segera muncul ke permukaan karena tertekan
oleh kekuasaan Jepang.

Proklamasi Kemerdekaan menciptakan suasana jiwa dan penciptaaan bebas dan


merdeka yang sebelumnya terkekang. Berkat kebebasan tersebut berbagai pemikiran dan
penciptaan karya sastra kembali marak. Hal ditandai dengan muncul berbagai penerbitan
seperti Panca Raya, Panji Masyarakat, Genta, Basis,Pembangunan, Siasat, Nusantra, Gema
Suasana, Mimbar, Pujangga Baru, dan Seniman. Di antara penerbitan tersebut yang paling
menonjol adalah siasat dengan lampiran kebudayaannya “Gelanggang”. Siasat adalah
mingguan yang diterbitkan oleh Soedjatmoko dan Rosihan Anwar.

Lewat Gelanggang itu para seniman yang dimotori Chairil Anwar, Asrul sani,dan
Idrus berkumpul dan merealisasikan kemerdekaan dan mengisinya dengan menciptakan
karya-karya penting sehingga melahirkan sebuah generasi baru yang berbeda dengan
pujangga baru dan generasi sebelumnya. Mereka membentuk perkumupulan kebudayaan
yang bernama Gelanggang Seniman Merdeka dan mengklaim sebagai Generasi Gelanggang.

Namun, ternyata mengisi kemerdekaan tidaklah semudah yang diangankan. Berbagai


penyelewengan menyebabkan timbulnya berbagai krisis, krisis ahlak, krisis ekonomi dan
berbagai krisis yang lainnnya. Hal tersebut diperparah dengan pertikaian-pertikaian antar
golongan yang juga melibatkan sastrawan yang berbeda aliran dan pandangannya. Maka,
periode ini lahirlah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang mendukung realisme sosial
yang berbeda dengan Generasi Gelanggang yang mendukung Humanisme Universal.

Berbagai pertikaian itulah yang akhirnya membuat para sastrawan tidak lagi menulis karya-
karya penting yang diterbitkan menjadi sebuah sehingga beberapa pemerhatkani sastra
menganggap kondisi waktu itu sebagai “krisis sastra”. Beberapa karya muncul lebih banyak
di berbagai majalah yang memunculkan isitilah “sastra majalah”.

6.1 Gelanggang Seniman Merdeka


Nama Chairil Anwar mulai dikenal di kalangan seniman pada tahun 1943. Ia dikenal
sebagai penyair muda yang memperkenalkan gagasan baru dalam puisi. Karena sifatnya yang
invidual dan bercorak ke Barat, ia banyak mengejek seniman-seniman di kantor pusat
kebudayaan pada zaman Jepang.

Chairil Anwar lahir di Medan (Sumatera Utara) 26 Juli 1922, ). Sejak kecil ia sudah
menampakkan diri sebagai siswa yang cerdas dan berbakat menulis serta menguasai tiga
bahasa asing yaitu Belanda, Inggris, dan Jerman secara aktif. Dan kelak, penguasaanya
terhadap tiga bahasa asing itulah yang mengantarkan Chairil pada karya-karya sastrawan
dunia sebagai referensi yang berhasil disadur dan diterjemahkan. Keberhasilannya menyadur
dan menerjemahkan karya puisi atau cerpen Andre Gide, Jhon Steinbeck, Rainer Maria Rilke,
Ernest Hemingway, WH

Auden, Conrad Aiken, John Cornford, Hsu Chih-Mo, Archibal Macleish, Willem
Elsschot, H. Marsman, Edgar du Perron, J. Slauerhoff, dan lain-lain telah menyudutkan
Chairil sebagai plagiator, penyadur, atau penerima pengaruh berat dari karya-karya itu.

Tiga kumpulan puisi Chairil, yaitu Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan
Yang Terampas Putus (1949), atau Tiga Menguak Takdir (1950) — kumpulan puisi bertiga
dengan Asrul Sani dan Rivai Apin — merupakan sejumlah puisi yang selama bertahun-tahun
hidup dan memompakan antusiasme dalam sejarah sastra Indonesia, sekaligus referensi, yang
telah memasuki lubuk teks dunia pendidikan dan bidang kajian penelitian sastra. Chairil juga
menjadi bagian tersendiri dalam kajian atau penelitian mengenai sastra yang ditulis
sastrawan. Dia telah mampu mengilhami kita untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan
estetika dalam bahasa Indonesia yang penuh tenaga.

Puisi pertama yang ditulisnya berjudul “Nisan” yang dibuat saat ia usia dua puluh dua
tahun.Puisi ini dibuat saat Chairil menghadapi kematian neneknya. Menurut Arief Budiman,
Chairil kematian yang datang mendekat melalui neneknya ini membuat dia melihat tidak
berdayanya manusia menghadapi sang maut. Hal itu membuat Chairil melihat kehidupan
dalam warna yang lain. Kematian tampaknya harus dihadapi sebagai seorang individu yang
sendirian.

Kepenyairan Chairil ditutup dengan puisi “Derai-derai Cemara”. Puisi ini merupakan
semacam kesimpulan yang diutarakan dengan sikap yang sudah mengendap, yang
sepenuhnya menerima proses perubahan dalam diri manusia yang memisahkannya dari
gejolak masa lampau. Chairil sempat bekerja menjadi redaksi majalah Gema Suasana (1948).
Ia hanya bertahan selama tiga bulan di sana (Januari—Maret ), kemudian ke luar dan bekerja
di mingguan Berita Siasat. Di sana ia menjadi anggota redaksi ruang kebudayaan Gelanggang
bersama Ida Nasoetion, Asrul Sani dan Rivai Apin. Dia salah seorang pemikir yang memberi
kontribusi pada lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang.Selepas merdeka ia banyak
mengumumkan puisi-puisi yang menurut Ajip Rosidi memberikan sesuatu yang baru dan
bernilai tinggi. Sajak-sajaknya tidak seperti sajak Amir Hamzah, penyair yang berasal dari
generasi sebelumnya yang dikenal “Raja Penyair Pujangga”.Akan tetapi berbicara kebaruan
ini pula yang membuat Chairil ditentang dan ditolak kehadirannya oleh beberapa pihak
termasuk Sutan Takdir Alisjahbana. Ia menulis bahwa pada dasarnya tidak terdapat
perbedaan angkatan-angkatan sebelum dan sesudah perang. Dengan kata lain, STA tidak
mengakui adanya perbedaan antara Angkatan Pujangga Baru dan angkatan dikemudian hari
dikenal sebagai Angkatan 45. Pendapat ini didukung oleh Sanusi Pane yang mengatakan
bahwa Angkatan 45 hanyalah lanjutan belaka dari apa yang sudah dirintis oleh Angktan
Pujangga Baru.Namun, setelah mengumumkan karya-karyanya segera Charil mendapatkan
pengikut, penafsir, pembela dan penyokong. Dalam bidang penulisan puisi munculpara
penyair seperti Asrul Sani, Rivai Apin, Dodong Djiwapradja, S. Rukiah, Waluyati, Harjadi S.
Hartowardoyo, Muh. Ali dan lain-lain. Dalam bidang penulisan prosa, Idrus memperkenalkan
gaya menyoal baru yang segera pula mendapat pengikut yang luas.

Pertengahan 1942 atas usaha Chairil Anwar bertemulah sejumlah seniman antara lain
Asrul Sani, Baharudin, Basuki Resobowo, Henk Ngantung, Rivai Avin, M. Akbar Djuhana,
Mochtar Apin, dan M. Balfas, untuk merealisasikan pendirian perkumpulan kebudayaan
(kunstrkring) Gelanggang Seniman Merdeka. Pada 19 November 1946, lahirlah preambul
Gelanggang. Perkumpulan ini kemudian mengklaim diri sebagai Generasi Gelanggang dan
memiliki rubrik “Gelanggang” di majalah Siasat yang dipimpin Rosihan Anwar. Dalam
preambul Anggaran dasarnya itu, dinyatakan bahwa Generasi Gelanggang lahir dari
pergolakan roh dan pikiran yang mencipta manusia Indonesia yang hidup.

Preambul tersebut dipertegas dengan terbit antologi puisi yang diterbitkan oleh Chairil
Anwar, Rivai Avin, dan Asrul Sani yang berjudul Tiga Menguak Takdir(1949). Kumpulan
puisi tersebut menolak konsep Sutan Takdir Alijahbana yang cenderung menatap Barat
secara membabi buta.

Melihat kenyataan-kenyatan tersebut banyak orang menganggap telah lahir angkatan


Baru. Rosihan Anwar dalam majalah Siasat edisi 9 Januari 1949 mengenalkan isitilah
angkatan 45 kepada generasi gelanggang tersebut. Nama-nama lain yang ditawarkan berbagai
pihak adalah Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Charil Anwar, Angkatan Sesudah Perang,
Angkatan Pembebasan, dan Generasi Gelanggang. Konsep kepengaranganan mereka di
rumuskan dalam surat terbuka yang diberi nama Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG)
disusun oleh Asrul Sani 18 Februari 1950, setahun setelah kematian Chairil Anwar.

Konsepsi tersebut baru dimuat publikasinya di Majalah Siasat, 23 Oktober 1950.


Publikasi yang muncul setelah sembilan bulan dari tanggal yang terdapat pada konsepsi
tersebut dapat dianggap pemunculan tersebut sebagai reaksi dari publikasi Mukadiman
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada tanggal 17 Agustus 1950. Menurut Maman
Mahayana29 ada beberapa alasan munculnya reaksi tersebut. Selain karena perbedaan
ideologi atau pandangannya terhadap kesenian, Gelanggang Seniman Merdeka dengan
Humanisem Universal sedangkan Lekra berpandangan Realisme Sosial. Reaksi tersebut
muncul karena perkembangan Lekra yang sangat luas, terlebih dengan bergabungnya Basuki
Resobowo, Henk Ngantung, dan Rivai Avin yang semuanya termasuk pendiri Gelanggang
Seniman Merdeka. Alasan terakhir ialah pernyataan Lekra yang menyatakan bahwa “rakyat
adalah satu-satunya pencipta kebudayaan”. Hal ini seolah-olah sengaja hendak menafikan
keberadaan Generasi Gelanggang yang terkesan elitis.

6.2 Lembaga Kebudayaan Rakyat


Lembaga Kebudayaan Rakyat atau dikenal dengan Lekra didirikan atas inisiatif D.N.
Aidit, Nyoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta pada tanggal 17 Agustus1950, enam bulan setelah
diumumkan “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang berpandangan humanisme Universal.
Sekretaris Jendral pertama (1950-1959) adalah A.S. Dharta Lekra memiliki beberapa seksi,
yaitu seksi : sastra, seni rupa, seni suara, seni drama, film, filsafat, dan Olahraga. Pada
mukadimah kelahiran, tegas-tegas disebutkan menganut paham Realialisme Sosial atau
paham “seni untuk rakyat”. Lengkapnya, Mukadimah itu berbunyi :

Lembaga Kebudayaan RakyatMukadimah

Menyadari, bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan dan bahwa


pembangunan kebudayaan Indonesia baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat, maka pada hari
17 Agustus 1950 didirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat Lekra. Pendirian ini
terjadi di tengah-tengah proses perkembangan kebudayaan yang sebagai hasil keseluruhan
daya upaya manusia secara sadar untuk memenuhi, setinggi-tingginya kebutuhan hidup lahir
dan batin, senantiasa maju dengan tiada putus-putusnya.Revolusi Agustus 1945
membuktikan, bahwa pahlawan di dalam peristiwa bersejarah ini, seperti halnya di dalam
seluruh sejarah bangsa kita, tiada lain adalah rakyat, Rakyat Indonesia dewasa ini adalah
semua golongan di dalam masyarakat yang menentang penjajahan. Revolusi Agustus adalah
usaha pembebasan diri rakyat Indonesia dari penjajahan dan peperangan, penjajahan serta
penidasan feodal. Hanya jika panggilan sejarah Revolusi Agustus terlaksana, jika tercipta
kemerdekaan dan perdamaian serta demokrasi, kebudayan rakyat bisa berkembang bebas.
Keyakinan tentang kebenaran ini menyebabkan Lekra bekerja membantu pergulatan untuk
kemerdekaan tanah air dan untuk perdamaian di antara bangsa-bangsa, di mana terdapat
kebebasan bagi perkembangan kepribadian berjuta-juta rakyat.Lekra bekerja khusus di
lapangan kebudayaan, dan untuk masa ini terutama di lapangan kesenian dan ilmu. Lekra
menghimpun tenaga dan kegiatan seniman-seniman, sarjana-sarjana pekerja-pekerja
kebudayaan lainnya. Lekra membatah pendapat bahwa kesenian dan ilmu bisa terlepas dari
masyarakat. Lekra mengajak pekerja-pekerja kebudayaan untuk dengan sadar mengabdikan
daya cipta, bakart serta keahlian mereka guna kemajuan Indonesian, kemerdekaan Indonesia,
pembaruan Indonesia.

Zaman kita dilahirkan oleh sejarah yang besar, dan sejarah bangsa kita telah melahirkan
putra-putra yang baik, di lapangan kesusastraan, seni bentuk, musik, maupun di lapangan-
lapangan kesenian lain dan ilmu. Kita wajib bangga bahwa kita terdiri dari suku-suki yang
masing-masingnya mempunyai kebudayaan yang bernilai. Keragaman bangsa kita ini
menyediakan kemungkinan yang tiada terbatas untuk penciptaan yang sekaya-kayanya serta
seindah-indahnya.Lekra tidak hanya menyambut setiap sesuatu yang baru; Lekra memberikan
bantuan yang aktif untuk memenangkan setiap yang baru maju. Lekra membatu aktif
perombakan sisai-sisa “kebudayaan” penjajahan yang mewariskan kebodohan, rasa rendah
serta watak lemah pada bangsa kita. Lekra menerima dengan kritis peninggalan-peninggalan
nenek moyanag kita, mempelajari saksama segala-gala segi peninggalan-peninggalan itu,
seperti halnya mempelajari dengan saksama pula hasil-hasil ciptaan klasik maupun baru dari
maupun bangsa lain yang mana pun, dengan dengan ini berusaha meneruskan secara kreatif
tradisi agung dari sejarah dan bangsa kita, menuju penciptaaan kebudayaan yang nasional dan
ilmiah, Lekra menganjurkan kepada anggota-anggotanya dan pekerjaa kebudayaan di luar
Lekra, untuk secara dalam mempelajari kenyataan, mempelajari kebenaran yang hakiki dari
kehidupan, dan untuk bersikap setia kepada kenyataan dan kebenaran.Lekra menganjur untuk
mempelajari dan memahami pertentangan-pertengangan yang berlaku di dalam masyarakat
maupun di dalam hati manusia, mempelajari dan memahami gerak perkembangannya serta
hari depannya. Lekra menganjurkan pemahaman yang tepat yang maju, dan menganjurkan
hal itu, baik tunk cara kerja di lapangan ilmu, maupun untuk penciptaan di lapangan
kesenian. Di lapangan kesenian Lekra mendorong inisiatif, mendorong kebenaran dan selama
ia mengusahan keindahan artistik yang setinggi-tingginya.Singkatnya, dengan menolak sifat
anti-kemanusian dan anti-sosial dari kebudayaan bukan-rakyat, dengan menolak perkosaan
terhadap kebenaran dan terhadap nilai-nilai keindahan, Lekra bekerja untuk membantu
pembentukan manusia baru yang memiliki segala kemampuan untk memajukan dirinya
dalam perkembangan kepribadian yang bersegi banyak dan harmonis.Di dalam kegiatan
Lektra menggunakan cara saling bantu, saling kritik dan diskusi-diskusi persaudaraan di
bahwa secara tegas berpihak pada rakyat dan mengabdi kepada rakyat, adalah satu-satunya
jalan bagi seniman-seniman, sarjana-sarjana maupun pekerja-pekerjaan kebudayaan lainnya
untuk mencapai hasil yang tahan uji dan tahan waktu. Lekra mengulurkan tangan kepada
organisasi-organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan apa pun, untuk bekerja
sama dalam pengabdian ini.Disahkan dalam Kongres Nasional PertamaLembaga Kebudayaan
RakyatDi Solo, tanggal 22—28 Januari 1959Paham itu disampaikan melalui juru bicara
mereka seperti Bakri Siregar, Buyung Saleh (sekarang IS Puradisastra), A.S. Dharta juga
memakai nama samaran lain seperti Jogaswara dan Klara Akustia, nama sebenarnya Rodji).
Pada tahun 1961 Lekra menyatakan sebagai organisasi kebudayaan yang memperjuangkan
slogan “politik adalah panglima”. Dalam waktu singkat Lekra diikuti oleh Hank Ngantung,
Joebar Ajoeb, Herman Arjuno, dan lain-lain.Dengan demikian pandangan atau paham
marxisme-lenisnisme mulai menyelusupi sastra Indonesia. Bakri Siregar pernah menulis pada
tahun 1964: bahwa seniman yang tergabung dalam Lekra tegas-tegas berpihak kepada rakyat
dan menganut paham seni untuk rakyat serta menolak aliran seni untuk seni. Ide, pikiran,
serta karya-karya Maxim Gorki, bapak realisme sosialis di Uni Sovyet dan Lu Shun, Pelopor
Sastra Tiongkok modern dan revolusioner, serta tokoh-tokoh revolusioner dunia lainnya
memberikan bahan dan merupakan pegangan, serta menerima pula metode realisme sosialis
dengan pegangan: politik adalah panglima, serta mengabdi kepada rakyat pekerja.Tokoh lain,
Klara Akustia, menyatakan bahwa sastrawan yang membicarakan masalah peroarang
(individualisme), yang tak ada sangkut pautnya dengan masalah manusia banyak, tidak punya
kepada kemajuan bangsa, harus disingkirkan. Bagi Lekra, sastra hanya dipandang sebagai
alat, sedangkan ilhamnya sudah disediakan oleh ideologi. Pengahayatan dan pengalaman
pribadi sastrawan harus dibendung selama tidak ada sangkut pautnya dengan revolusi
sosialis. Dan pada kesempatan lain, yakni dalam Konggres Kebudayaan Indonesiat tahun
1951, ia mengatakan, “ Perkembangan kesusatraan adalah sejarah pertarungan dua kekuatan
yang bertentangan kepentingannya di lapangan kesuastraan, antara kekuatan yang
mempertahankan kekolotan dan keuatan yang mengusahakan kemajuan.”Dalam pandangan
Lekra penganut aliran realisme sosialis, kebudayaan bukan saja tak dapat dipisahkan dari
politik, melainkan kebudayaan merupakan bagian dari politik. Dengan demikian sastra juga
merupakan bagian dari politik. Pandangan ini menempatkan sastra hanya sebagai alat politik.
Sastra harus menerapkan paham Marxisme- Lenimisme, termasuk di dalamya teori dan kritik
sasra.Paham realisme sosialis ini memamng pernah diterapkan dalam beberapa karya sastra
Indonesia, malahan dia ntar yang berbau anti Muslim, seperti dalam karya Utuy Tatan
Sontani Si Kampeng dan dalam karya Pramudya Ananta Toer : Si Manis Bergigi Emas, yang
menggambarkan para kyai dan haji sebagai tokoh penghisap rakyat.Ilham karya sastra
mereka terutama sekali digali dari hasil kunjungan ke negara sosialis. Peristiwa yang
menyangkut buruh dan tani, yang kemudian ditarik pada tema pertentangan kelas,
didramatisasikan sedemikian rupa sehingga gambaran buruh dan tani yang mereka tokohkan
adalah personifiasi gagasan ideal kelompok mereka, gagasan partai.Nada propaganda dan
sanjungan terhadap prinsip Realisme Sosialis tercermin dalam puisi-puisi Nyoto, D.N. Aidit,
H.R. Bandaharo, Rivai Avin, Agam Wispi, Sobron Aidit, A.S. Dharta, Sitor Situmorang, F.L.
Risakotta, Klara Akustia, Chalik Hamid, Mawie Ananto Jonie, S. Anantagua dan lain-lain.

6.3 Krisis Sastra

Pada bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan sebuah simposium tentang


“Kesulitan-Kesulitan Zaman Peralihan Sekarang” dalam simposium itu dilontarkan istilah
“Krisis Akhlak”, “Krisis Ekonomi” dan berbagai krisis lainnya. Tahun 1953 di Amsterdam
diselenggarakan simposium tentang kesusastraan Indonesia antara lain berbicara dalam
simposium itu Asrul Sani, Sultan Takdir Ali Sjahbana, Prof. Dr. Werthim dan lain-lain.

Soejatmoko mengatakan bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis karena


yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar sekitar psikologisme persorangan
semata-mata” roman-roman besar tak ada ditulis.

Dalam tulisan berjudul “Situasi 1954” yang ditujukan kepada sahabatnya Ramadhan
K.H, Nugroho Notosusanto mencoba mencari latar belakang timbulnya penamaan “Impasse
sastra Indonesia” yang bagi dia tidak lebih hanya sebuah “Mite” (dagangan belaka). Menurut
Nugroho asal timbulnya mite itu ialah pasimisme yang berjangkit dari kalangan orang-orang
tertentu pada masa sesudah kedaulatan.

Sitor Sitomurang dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Krisis” H.B Jassin dalam
majalah Mimbar Indonesia mengemukakan pendapatnya bahwa yang ada bukanlah krisis
sastra melainkan krisis menilai ukuran sastra.

6.4 Majalah Kisah

Salah satu alasan yang mengemukakan adanya “Krisis Sastra” adalah karena sedikitnya
jumlah buku yang terbit. Hal ini disebabkan karena kesulitan yang dialami oleh beberapa
penerbitan. Tidak hanya penerbitan yang sudah lama, seperti Balai Pustata tetapi juga
penerbitan-penerbitan lain diantaranya Pustaka Rakyat, Pembangunan, Tintamas dan lain-
lainnya. Perubahan status yang berkali-kali, pergantian pimpinan yang tidak mengusai
bidangnya, adalah permasalahan yang dihadapi Balai Pustaka pada waktu selain kekurangan
keuangan.
Diantara berbagai majalah yang muncul pada waktu itu ialah majalah Kisah. Majalah
ini menjadi penting karena merupakan majalah sastra yang mengutamakan cerpen. Majalah
ini diterbitkan oleh Soedjati S.A. dengan redaksi M. Balfas, Idrus, dan H.B. Jassin. Majalah
ini memuat para pengarang muda, pembahasan cerita pendek, sajak, esai, dan lain-lain. Sejak
1955, majalah ini menambah rubrik khusus bernama “Persada” untuk sajak dan esai dengan
redaksi khusus Ramadhan K.H. dan Nugroho Notosusanto.

Majalah ini bertahan mulai mulai Juli 1953 hingga Maret 1957. Penyebab berhentinya
karena majalah ini tidak dapat bersaing secara komersial dengan [11.25, 22/3/2022] cibew_:
singkat telah melahirkan banyak pengarang penting diantaranya Nugroho Notosusanto yang
menerbitkan tiga kumpulan cerpen Hujan Kepagian (1958),Kisah Tiga Kota (1959), dan Rasa
Sayange (1963). Pengarang lainnya ialah AA Navis yang melahirkan kumpulan Cerpen
Robohnya Surau Kami (1956), Hujan Panas (1964), Bianglala (1964) dan satu buah novel
yaitu Kemarau (1967). Selain itu muncul juga pengarang Trisnojuwono dengan karyanya
kumpulan cerpen Di Medan Perang (1961) dan sejumlah novel yang berjudul Pagar Kawat
Berduri(1962), Bulan Madu (1962) dan Biarkanlah Tjahaja Matahari Membersihkan
Dulu(1966), Iwan Simatupang dengan novel-novelnya berjudul Ziarah, Kering, dan
Merahnya Merah (1968) dan Toha Mohtar dengan karya-karya seperti Novel Pulang (1958),
Daerah Tak Bertuan (1963), Karena Kau (1968) dan Kabut rendah (1968).

Sedangkan penyair yang berkembang dalam majalah ini antara lain Subagio
Sastrowardoyo dengan kumpulan puisinya Simphoni (1957). Selain itu menulis kumpulan
cerpen Kejantanan di Sumbing (1965). Penyair lainnya ialah Toto Sudarto Bahtiar dengan
kumpulan puisinya Suara (1956) dan Etsa (1958). Penyair lainnya ialah W.S. Rendra dengan
kumpulan sajaknya : 4 Kumpulan Sajak (1961), Blues untuk Bonie (1971), Sajak-sajak
Sepatu Tua (1971), dan Potret Pembangun dalam Puisi (1980). W.S. Rendra setelah
memperdalam pengetahuan mengenai drama di American Academi of Dramatical Arts, AS
(1964-1967), ia banyak memberikan perhatian kepada drama dengan mendirikan Bengkel
Teater di Yogyakarta dan menulis Tentang Bermain Drama (1976), naskah drama
Panembahan Reso (1988) dan menerjemahkan Oidipus Sang Raja (1976), Oidipus di Kolonus
(1976), dan Informan (1988). Selain W.S. Rendra yang banyak menulis drama pada saat itu
ialah Motinggo Busye dengan karyanya Malam Jahanam(1958), Badai Sampai Sore (1962),
Njonja dan Njonja (1963), dan Malam Pengantindi Bukit Kera (1963).

Setelah berhenti beberapa tahun beberapa pengarang mencoba menghidupkan lagi


majalah Kisah dengan nama baru yaitu, Sastra pada Mei 1961. Bertindak sebagak Ketua
RedaksiH.B. Jassin dibantu oleh D.S. Moelyanto dan M.Balfas sebagai anggota redaksi.
Seperti hal majalah Kisah, Sastra juga lebih banyak memuat cerpen dibandingkan puisi,
kritik, dan esai. Beberapa penulis cerpen yang mengisi majalah ini ialah B. Soelarto, Bur
Rasuanto, A. Bastari Asmin, Satyagraha Hoerip Soeprobo, Kamal Hamzah, Ras Siregar, Sori
Siregar, Gerson Poyk, B. Jass dan lain-lain. Sedangkan penyair yang sering muncul karya-
karyanya di majalaah ini adalah Isma Sawitri, Goenawan Muhamad, M. Saribi AFN, Popy
Hutagalung, Budiman Hartojo, Arifin C. Noer, Sapardi Djojo Damono dan lain-lain.
Sedangkan yang mengisi kritik dan esai Arief Budiman, D.A. Peransi, Boen Oemarjati, M.S.
Hutagalung, Virga Gelam, Salim Said dan beberapa orang lainnya.
Namun, karena situasi politik yang tidak menguntungkan akhir pada Maret 1964
majalah tersebut menghentikan penerbitannya.

BAB 8

SASTRA INDONESIA PERIODE 1971-1998

Adanya pembaharuan dalam berbagai genre yang muncul menandai periode ini. Setelah
melewati masa-masa yang penuh konflik, Kesusastraan Indonesia menampaki tahap
pematangan dengan munculnya bentuk-bentuk sastra yang jauh meninggalkan konvensi.
Selain munculnya majalah yang memuat puisi-puisi mbeling, semarak pula periode ini
dengan majalah-majalah khusus wanita yang itu mengentalkan tradisi sastra populer di
Indonesia. Jenis sastra ini yang sebenarnya sudah hadir pada awal-awal kesusastraan
Indonesia dengan istilah roman picisan, roman yang harganya sepicis dua picis.
A. Sastra Populer
Karya-karya yang tampil di beberapa media massa karena menggunakan media publik
maka isinya disesuaikan dengan selera publik atau populer. Maka, karya-karyanya pun
disebut karya populer. Istilah populer mencakup karya-karya penerbitan yang diproduksi
secara massal dan cepat. Karena diproduksi secara massal itulah mengapa harganya murah.
Sebagian besar ceritanya mengangkat peristiwa aktual yang terjadi pada waktu itu yang
disajikan secara secara ringan. Hal-hal itulah yang menyebabkan karya-karya populer
temasuk novel populer banyak disukai masyarakat.
Kehadiran novel-novel populer di Indonesia sudah ada sejak awal perkembangan
kesusastraan Indonesia. Kehadiran novel-novel terbitan swasta baik yang diproduksi
komunitas Tionghoa Peranakan dan Kaum Pergerakan yang kemudian pemerintah kolonial
mendirikan Balai Pustaka merupakan awal kehadiran novel-novel populer di Indonesia. Pada
pertengahan tahun 1930-an dan terus berlanjut sampai dasawarsa 1950-an, bermunculan
novel-novel yang dikemas dalam format sederhana dengan kualitas cetakan yang murah.
Pada tahun 1950-an kembali dicetak ulang novel-novel terbitan Medan sebelum kemerdekaan
dan serial silat Cina. Perkembangan selanjutnya pada tahun 1960-an berupa penerbitan cerita-
cerita detektif yang berpusat di Surabaya dan diterbitkan cerita detektif terjemahan, novel
saduran, dan serial western.
Perkembangan pesat terjadi pada tahun 1970-an maka faktor sosial, politik, dan ekonomi
merupakan pendukung yang penting. Pada masa itu faktorfaktor tersebut mulai stabil
sehingga bermunculan industri-industri baik media masa maupun penerbitan. Pada masa itu
pula menjamurnya majalah-majalah wanita seperti seperti : Femina, Kartini, Sarinah, dan
Dewi yang juga menghadirkan kolom cerpen.
Sementara itu, berkembang juga sejumlah penerbitan baru seperti Gramedia, Cypress,
Gaya Favorit Press, Kartini Grup dan lain-lain. Penerbitan-penerbitan tersebut gencar
memproduksi novel-novel oplah atau tiras yang terbilang fantastik. Kalau novel sastra
“serius” diproduksi dengan tiras sekitar 3.000 eksemplar novel populer dapat terbit dengan
tiras 2-3 kali lipat.
B. Sastra Eksperimentasi
Bentuk eksperimentasi karya sastra di Indonesia di awali lahirnya puisi mbeling. Pada
mulanya adalah nama ruangan puisi dalam majalah aktuail terbitan Bandung (1972-1978).
Penganjur utama puisi Mbeling adalah Remi Silado, pengarang yang nama aslinya adalah
Jopi Tamboyong yang merupakan pengasuh rubrik puisi di majalah Aktuil. Nama sebenarnya
adalah Yapi Panda Abdiel Tambayong atau Japi Tambajong. Remy juga dikenal sebagai
seorang munsyi, ahli di bidang bahasa. Dalam karya fiksinya, sastrawan ini sering
mengenalkan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai. Selain menulis banyak
novel, ia juga dikenal pandai melukis, bermain drama dan film. Salah satu ciri khas puisi
mbeling ialah adanya unsur kelakar dan humor. Dalam kehidupan ini dua unsur ini
merupakan unsur penting untuk menciptakan suasana yang akrab dan santai.
Eksperimentasi dalam jenis karya sastra lain seperti cerpen terasa pada di kurun 70an.
Inilah kurun dimana gairah untuk melakukan “eksperimenasi” terasa menyala-nyala.
Kehadiran majalah Horison, menjadi signifikan di sini. “Eksperimentasi” para penulis yang
banyak dipublikasikan lewat Horison itu mengarah pada tiga hal. Pertama, pada upaya
menemukan bentuk “gaya (ber)-bahasa”. Dimana “gaya bahasa” menjadi sentrum
penceritaanaan, hingga bahasa-lah yang kemudian membentuk setiap anasir cerita. Kedua,
upaya untuk menemukan bentuk-bentuk tekhnik penceritaan, menyangkut penokohan dan
struktur/alur cerita,dimana efek-efek dramatik cerita. Ketiga, pada upaya untuk
mengeksplorasi bentuk-bentuk “tifografi penceritaan”, dimana elemen-lelem visual dari
huruf, tanda baca sangat mempengaruhi struktur penulisan cerita, dan bagaimana cerita itu
“ditampilkan secara visual”, hingga cerita bisa saja memakai elemen rupa sebagai bagian
strukturnya.
C. Pengadilan Puisi
Ide mengadakan Pengadilan Puisi ini berawal dari Darmanto Jt pada 1970. Menurutnya
Pengadilan Puisi perlu diadakan untuk mensahkan hak hidup puisi di Indonesia. Ini sangat
penting, sebab dengan dengan demikian penyair-penyair sudah tidak lagi dikejar-kejar
pertanyaan tuntutan : relevankah kehadiran puisi di Indonesia? Alasan lainya untuk
mencegah terjadinya kerusahan-kerusuhan di dalam masyarakat, akiat adanya hal-hal yang
tak perlu di puisikan—sebab efeknya terhadap masyarakat.Terakhir, pengadilan ini berhak
menjatuhkan hukumam pada penyair-penyair yang suka mengacau; tentu saja hukuman
mental, sebab puisi terkena hukuman ini. Sajak-sajak kotor dan menghina agama, tentu akan
menyebabkan penyair ditutut.
Dalam Pengadilan puisi itu, jaksa mendakwaan bahwa kehidupan puisi Indonesia, “tidak
sehat, tidak jelas, dan brensek”. Berdasakan tuntutan Jaksa pada Pengadilan Puisi secara
keseluruhan Pengadilan Puisi merupakan pemberontakan terhadap perpuisian Indonesia, dan
secara khususnya pemberontakan terhadap kritikus sastra Indonesia yaitu H.B. Jassin dan
M.S. Hutagalung yang dianggap tidak mampu mengikuti perkembangan puisi Indonesia
mutakhir, terhadap penyair yang mapan seperti Subagio Sastrowardoyo, W.S. Rendra, dan
Goenawan Mohamad karena dianggap menghambat perkembangan puisi Indonesia yang
wajar dan terhadap majalah sastra yaitu Horison. Majalah Horison menurut mereka dianggap
tidak menampung aspirasi orang banyak (umum), melainkan telah berubah menjadi “keluarga
majalah” atau “majalah klik”. Setelah menolak tuntutan Jaksa serta berembuk dengan
mengindahkan Kitab
Undang-undang Hukum Puisi, mempertimbangkan Hukum Adat, Majelis Hakim
memutuskan sebagai berikut :
a. Para kritikus sastra tetap diizinkan untuk menulis dan mengembangkan
kegiatan serta meneruskan eksistensinya, dengan catatan harus segera mengikuti
kursus penaikan mutu dalam Sekolah Kritikus Sastra yang akan segera didirikan
b. Para redaktur Horison tetap diizinkan tetap memegang jabatan mereka,
selama mereka tidak merasa malu. Bila dikehendaki sendiri mereka boleh mengundurkan
diri.
c. Para penyair mapan masih diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu juga para
penyair epigon dan inkarnatif, boleh menulis terus dengan kaharusan segera masuk ke dalam
Panti Asuhan atau Rumah Perawatan Epigon.
d. Majalah Sastra Horison tidak perlu dicabut SIC dan SIT-nya, hanya di belakang nama
lama harus diembel-embel kata “baru”, sehingga menjadi Horison baru. Masyarakat luas
tetap mendapat izin membaca sastra dan membaca puisi.

D. Sastra Akademik/Fakultas Sastra


Sejarah perkembangan kesuastraan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kegiatan kritik
sastra. Kegiatan penelaahan karya sastra di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran para
kritikus yang berasal dari kalangan akademik yang hasil kajian dikenal sebagai kritik
akademik. Banyak sumbangan yang diberikan kalangan akademik dalam perkembangan
kesusastraan Indonesia. Telaah mereka terhadap karya sastra Indonesia memberikan
sumbangan yang besar pada berbagai permasalahan kesusastraan di Indonesia. Kalangan
akademik atau kritikus akademik di hasilkan oleh fakultas-fakultas sastra yang pada awal
dekade 1970 masih belum populer. Saat itu hanya ada Fakultas Sastra UI yang berada
Rawamangun yang sempat mempopuler istilah Aliran Rawangun dengan tokohnya M. Saleh
Saad, Lukman Ali, S. Effendi, M.S. Hutagalung. Kemudian Fakultas Sasra UGM yang
terletak di Bulaksumur,Yogyakarta dan Fakultas Sastra Univesitas Padjajaran di Jalan Dipati
Ukur, Bandung.
Perlu dicatat Pokok dan Tokoh karya A. Teeuw dan Kesusastraan Indonesia Modern
dalam Kritik dan Esai karya H. B. Jassin mengawali tradisi kriktik akademik Indonesia.
Setelah itu muncul bebarapa buku yang awalnya skripsi sarjana mahasiswa dan beberapa
penelitian yang berasal fakultas seperti yang disebut di atas.Yang berasal Universitas
Indonesia misalnya J.NU Nasution : Sitor Situmorang Sebagai Penyair dan Penulis Cerita
Pendek dan Pujangga Sanusi Pane, M. S. Hutagalung menulis Jalan Tak Ujung, Muktar
Lubis, dan Tanggapan Dunia Asrul Sani. Sedangkan karya Boen Oemarjati menulis Roman
Atheis Achdiat Kartamiharja dan Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Dari Universitas
Gajah Mada melahirkan Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern.
Sedangkan yang berasal dari Univertas Pajadajaran adalah Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia
(1969) yang disusun oleh Ajip Rosidi, dosen mata kuliah Sejarah Sastra di kampus tersebut.
Setelah itu muncul fakultas-fakultas sastra yang lain seperti Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Fakultas Sastra dan Budaya Universitas
Diponegora (Undip) Semarang, Fakultas Sastra Udayana (Unud) Denpasar, Fakultas Sastra
Universitas Jember, dan Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado.
Namun, perkembangan fakultas sastra di berbagai universitas di Indonesia sangat lamban
dibandikan fakultas-fakultas lainnya. Hal tersebut disebabkan selain minimnya fasiltas
gedung, buku-buku literatur, tenaga pengajar dan minat mahasiswa juga karena perhatian
pemerintah yang kurang terhadap masalah-masalah kebudayaan khususnya sastra.
Beberapa upaya dilakukan untuk meningkat kualitas Sumber Daya Manusia
terutama dosen-dosen dengan kursus, pelatihan, penataran, penerbitan, dan sebagainya.
Penataran yang dilaksanakan diantaranya ialah Penataran Metode Pengajaran Sastra di
Fakultas Sastra Indonesia pada Februari 1976 yang diikuti dosen-dosen dari USU, Unpad,
Undip, dan Unsrat. Kemudian penataran yang dilaksanakan Pusat Bahasa dan ILDEP di
Tugu, Bogor pada September – November 1978. Para penatarnya diantaranya A. Teeuw
(Belanda, S.O. Robson (Australia), dan Boen S. Oemarjati (Indonesia).
Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kuliatas pada pengajar yang juga adalah
sarjana sastra maka dibentuklah Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI).
Organisasi ini juga bertujuan menjalin komunikasi para sarjana kesusastraan dan
mengembangkan Ilmu Sastra di Indonesia. HISKI digagas pada suatu penataran di Tugu,
Bogor pada November 1984. Kemudian dirumuskan anggaran dasarnya pada 3 Februari 1987
oleh Sapardi Djoko Damono, Zulfa Hanum, Ali Imron, M. Nurdin Matry, Muhadi, Prayitno,
Liberty P. Sihombing, Budya Pradipta, dan Mukhsin Ahmad. Terpilih sebagai Ketua Umum
Pertama adalah Sapardi Djoko Damono. Kegiatan HISKI yang diselenggarakan secara rutin
adalah Pertemuan Ilmiah Nasional (Pilnas). Pilnas pertama dilaksanakan di Jakarta Februari
1987. Selanjutnya Pilnas dilaksanakan tiap tahun di bebarapa kota secara bergirilaran.

BAB 9

SASTRA INDONESIA PERIODE 1998 – SEKARANG

Perkembangan teknologi yang pesat menjadikan internet sebagai media ekspresi tanpa
batas tanpa sensor sehingga menjadi ruang bagi penulis-penulis yang tidak tertampung oleh
media tulis seperti koran, majalah, dan penerbitan. Hal itulah yang menyebabkan lahirnya
Sastracyber di Indonesia.Munculnya sastracyber tidak menyingkir sastra-sastra yang muncul
pada media konvensional seperti majalah dan koran. Media penerbitan seperti koran dan
majalah dalam perkembangan kesusastraan telah lama memberi ruang bagi kehidupan sastra
Indonesia. Karya sastra yang senantiasa hadir dalam rubrik di koran atau majalah adalah
cerpen.

9.1 Perempuan Pengarang Kontemporer Periode ini dicirikan dengan bermunculan para
penulis muda banyak yang bebas mengeksplorasi bahasa dan tak terkungkung menabukan
seks. Pengarang wanita tersebut salah satunya Djenar Mahesa Ayu. dengan karyanya Mereka
Bilang, Saya Monyet. Kumpulan cerita pendek (cerpen) yang memuat 11 cerpen ditulis
Djenar pada 2001-2002.Pengarang perempuan yang penting pada periode ini adalah Oka
Rusmini. Oka melalui novel Tarian Bumi (2000) dan Kenanga (2003) menggugat tradisi adat,
budaya, dan agama yang selalu memojokan posisi perempuan. Dalam Tarian Bumi, tokoh
utama Ida Ayu Telaga Pidada, perempuan bangsawan yang karena menikah dengan seorang
Wayan, lelaki dari kasta yang lebih rendah, kerap dituding sebagai biang kesialan keluarga.
Telaga akhirnya iklas menanggalkan kasta kebangsawanannya dan memilih menjadi
perempuan sudra yang utuh.Dari generasi ini muncul juga penulis-penulis yang khusus
menghadirkan tema-tema Islami, misalnya dua bersaudara Helvy Tiana Rosa dan Asma
Nadia. Karya mereka juga diapresiasi oleh masyarakat dengan banyaknya jumlah buku yang
terjual. Ketika Mas Gagah Pergi, kumpulan cerpen perdana Helvy Tiana, pertama terbit pada
1997 dengan oplah 5.000 eksemplar terjual dalam sebulan. Ketika Mas Gagah Pergi, ternyata
banyak memperoleh respons dari para pembacanya. Sebagian di antara pembaca mengaku
termotivasi untuk memakai kerudung atau jilbab setelah membaca buku fiksi tersebut.
Mereka terpengaruh oleh perilaku tokoh dalam cerita fiksi. Terakhir, Lelaki Kabut dan
Boneka (2002), cetakan pertama 10.000 eksemplar sudah terjual kini memasuki cetakan
kedua. Helvy telah membukukan sekitar 15. karyanya, sebagian besar kumpulan cerpen. Satu
novelnya, Mc Allister, diterbitkan Moslem Press, London, Inggris, 1996.Selain pengarang-
pengarang tesebut masih ada pengarang-pengarang wanita lainnya seperti Maya Wulan
(Membaca Perempuanku, 2002), Intan Paramadhita (Sihir Perempuan, 2005), Nukila Amal
(Laluba, 2005), Weka Gunawan (Merpati di Trafalgar Square, 2004), Labibah Zain (Addicted
to Weblog: Kisah Perempuan Maya, 2005), Ucu Agustin (Kanakar, 2005), Evi Idawati
(Malam Perkawinan, 2005). Mereka berpeluang mengikuti jejak seniornya, Nh Dini, Titis
Basino, Leila S. Chudori, Ratna Indrswari Ibrahim atau Abidah el-Khalieqy.

9.2 Sastra Cyber

Sebelum munculnya sastra cyber, dunia sastra Indonesia sendiri telah memiliki
beberapa kekhasan yang terkait dengan keberadaan teknologi media. Antara lain sastra
majalah, sastra koran, dan sebagainya. Ketika biaya publikasi semakin mahal,begitu juga
dengan keberadaan sastra koran/majalah dirasa telah membangun hegemoninya sendiri,
internet pun datang. Penggunaan istilah sastra cyber sendiri menyatakan jenis medium yang
dipakai: medium cyber, persis sama halnya dengan istilah sastra koran, sastra majalah, sastra
buku, sastra fotokopian/stensilan, sastra radio, sastra dinding, dan sebagainya. Jadi, semua
tulisan sastra yang dipublikasikan melalui medium cyberdisebut sastra cyber. Dengan
berkembangnya dunia internet berlomba-lomba tidak hanya individu baik yang sudah
ternama maupun yang belum memuat karyanya ke dalam beberapa situs, blog atau milis
sastra.Situs sastra yang menjadi awal sastra cyber di Indonesia adalah Cybersastra.com. Situs
yang dikelola oleh Masyarakat Sastra Internet (MSI) dengan redaktur Nanang Suryadi dan
kawan-kawan, mengawali Cybersastra di Indonesia. Karena masalah teknis situs ini pindah
ke domain lain dan menjadi Cybersastra.net. Setelah itu lembaga-lembaga terutama yang
bergerak dalam bidang kesenian seperti Yayasan Lontar dengan www.lontar.org. Yayasan
lain yang memiliki situs seperti itu ialah Yayasan Taraju, KSI, Akubaca, Aksara, dan Aikon.
Diskusi-diskusi sastra yang dilakukan para sastrawan dan penikmat sastra biasa dilakukan di
milis seperti penyair@e.groups.com, puisikita@e.groups.com , gedong-puisi@e.groups.com
dan milis-milis sastra yang lain. Berikut adalah puisi-puisi yang bisa kita lewat milismilis
tersebut,

Menyapa Narcissus Kulayakang sepotong papirus ke kamarmu Sebelum kita terlanjur


menata kenangan yang bakal pucat Adakah papan nama diujung jalanmu, atau mungkin ke
Alengka

Atau kesia-siaan lebih bearti bagimu? Kulayangkan sepotong papirus ke hatimu, Dan kau
boleh menutup pintu. Puisi di atas adalah karangan Tulus Wijanarko yang diposting 24 April
2001 di milis penyair@yahoogroups.com. Di bawah ini adalah puisi cyber karya James
Falahudin,

Kapal dan Samudera

Bukannya aku tak lagi suka berada dalam pelukanmu

Bisik sang kapal pada samudera

Tapi dirimu tiada berbatas

Sementara aku tidaklah abadi

Yayasan Multimedia Sastra (YMS) yang diketuai Medy Loekito pengarang

antologi tunggal : “In Solitude”, dan “Jakarta, Senja Hari” dan beberapa antologi

bersama pengarang lain menerbitkan kumpulan puisi cyber, Grafiti Gratitue dan

kumpulan esai tentang sastra Cyber Graffiti. Kedua buku tersebut tidak hanya

merangkum karya penyair cyber tetapi juga memberikan kepada masyarakat

tentang cyber sastra.


9.3 Banjir Cerpen

Jika kita melihat lebih saksama awal Kesusastraan Indonesia tidak bisa lepas kehadiran
cerpen di koran atau majalah. Cerpen-cerpen yang dimuat dalam koran atau majalah
mendahului kahadiran penerbitan novel, puisi dan drama. Sejarah cerpen sendiri berasal dari
sketsa, fragmen, esai-esai yang mengangkat kehidupan sehari-hari, cerita ringan dan lucu,
cerita bersambung (feulleton) atau kisah tragedi percintaan yang diambil dari suatu peristiwa
yang pernah menjadi berita aktual, semua disebut cerita. Baru memasuki dasawarsa pertama
abad ke-20, cerita-cerita pendek itu di beri label cerita pendek (Maman Mahayana, 9 Jawaban
Sastra : Sebuah Orientasi Kritik (Jakarta : Bening, 2005) hal.411).

Dibandingkan puisi, novel, dan drama, cerpen Indonesia pada paroh pertama pasca
reformasi mengalami booming. Cerpen telah sampai pada jatidirinya. Ia tak lagi sebagai
selingan di hari Minggu. Kini, cerpenis dipandang sebagai profesi yang tak lebih rendah dari
novelis atau penyair. Cerpenis tak diperlakukan sebagai orang yang sedang belajar menulis
novel. Kondisi ini dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut seperti kesemarakan media
massa –suratkabar dan majalah—telah membuka ruang yang makin luas bagi para cerpenis
untuk mengirimkan karyanya. Di sana, rubrik cerpen mendapat tempat yang khas. Cerpen
ditempatkan sama pentingnya dengan rubrik lain.

Faktor lainnya adalah adanya kegiatan lomba menulis cerpen, memungkinkan cerpen tak
hanya berada di hari Minggu, tetapi juga pada event atau peristiwa tertentu. Sejak 1992,
harian Kompas memulai tradisi baru dengan memilih cerpen terbaik dan memberi
penghargaan khusus untuk penulisnya. Kegiatan ini mengangkat kedudukan cerpen dalam
posisi yang istimewa.

Meskipun posisi cerpen berada dalam keadaan yang begitu semarak dan memperoleh
tempat istimewa, dalam hal regenerasi boleh dikatakan belum cukup signifikan. Masalahnya,
secara substansial sejumlah cerpenis muda yang muncul belakangan, harus diakui, belum
menunjukkan usahanya mengusung sebuah gerakan estetik yang kemudian menjadi sebuah
mainstream. Arus besar cerpen Indonesia pascareformasi masih tetap didominasi nama-nama
lama yang memang telah menjadi ikon cerpen Indonesia kontemporer. Cerpen Indonesia
mutakhir masih tetap tak dapat menenggelamkan sejumlah nama yang muncul justru sebelum
terjadi reformasi, seperti Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Kuntowijoyo, Danarto, dan sederet
panjang nama lain yang tergolong pemain lama. Mereka masih tetap menjadi bagian penting
dalam peta cerpen Indonesia pascareformasi.
Martin Aleida misalnya, mengangkat tema korban politik bagi mereka yang terlibat PKI.
Tetapi Martin termasuk pemain lama. Setidaknya ia sudah matang sebelum terjadi reformasi.
Maka, ketika terbit Leontin Dewangga (2003), kita terkejut bukan karena ia sebagai
pendatang baru, melainkan pada hasratnya mengangkat tema yang tak mungkin muncul pada
zaman Orde Baru. Dari sudut itu, ia telah memperkaya tema cerpen Indonesia.

Pendatang baru yang cukup menjanjikan muncul atas nama Eka Kurniawan. Karya
pertamanya, antologi cerpen Corat-Coret di Toilet (2000) mula hadir kurang meyakinkan.
Tetapi ketika novelnya Cantik itu Luka (2002) terbit yang ternyata mengundang kontroversi,
namanya mulai diperhitungkan.

Sejumlah nama cerpenis lain yang kelak menjadi sastrawan penting Indonesia, dapat
disebutkan beberapa di antaranya: Teguh Winarsho (Bidadari BersayapBelati, 2002), Hudan
Hidayat (Orang Sakit, 2001; Keluarga Gila, 2003) Maroeli Simbolon (Bara Negeri Dongeng,
2002; Cinta Tai Kucing, 2003), Satmoko Budi Santoso (Jangan Membunuh di Hari Sabtu,
2003), Mustofa W Hasyim (Api Meliuk di Atas Batu Apung, 2004), Kurnia Effendi (Senapan
Cinta, 2004; Bercinta di Bawah Bulan, 2004), Moh. Wan Anwar (Sepasang Maut, 2004),
Yusrizal KW (Kembali ke Pangkal Jalan, 2004), Isbedy Stiawan (Perempuan Sunyi, 2004;
Dawai Kembali Berdenting, 2004), Triyanto Triwikromo (Anak-Anak Mengasah Pisau,
2003), Damhuri Muhammad (Laras, Tubuhku bukan Milikku, 2005). Keseluruhan antologi
itu menunujukkan kekuatan narasi yang lancar mengalir dan kedalaman tema yang
diangkatnya. Dalam lima tahun ke depan, mereka akan ikut menentukan perkembangan sastra
Indonesia.

2.1 RANGKUMAN BUKU MENYISIR SEJARAH SASTRA INDONESIA

Bab I

SEJARAH PERKEMBANGAN KARYA SASTRA ANAK ROALD DAHL

A. Karya Sastra

Karin Oberstein (dalam Hunt, 1999: 15) yang menulis bahwa sastra anak adalah : suatu
kategori buku yang keberadaannyasepenuhnya tergantung kepada hubungannya dengan
pembaca tertentu: anak-anak, buku-buku yang baik untuk anak-anak, dan khususnya baik
bagi nilai-nilai emosi dan moral.
Sastra anak adalah buku atau karya yang tercipta karena keterkaitan dan hubungannya
dengan pembacanya yaitu anak – anak, dan buku tersebut baik untuk anak – anak dari segi
emosional dan nilai moralnya. Alasan menulis sejarah perkembangan karya sastra Dahl
adalah karena Dahl, di klaim sebagai “Pendongeng No 1 di Dunia”2 , banyak menulis karya
sastra , Diantaranya :
1. Cerita Awal Roald Dahl Dan Pesawat Tempurnya
Dahl yang merupakan seorang pilot di Britain’s Royal Air Force (RAF) mendapat
inspirasi untuk menciptakan karya pertamanya. Dahl mendapatkan inspirasi cerita tersebut
ketika pesawat yang dikendarainya mengalami kecelakaan dan juga dari mitos yang beredar
di RAF ketika ia menghabiskan waktunya sebagai pilot, ketika pesawatnya rusak datanglah
ide di pikirannya dengan menghadirkan sosok makhluk kecil yang bertanggung jawab atas
kerusakan pesawat RAF. Ia memberikan nama makhluk kecil tersebut sebagai Gremlin, nama
tersebut juga menjadi judul dari cerita nya yang pertama yaitu The Gremlins (1942). Cerita
ini diklaim sebagai karya pertama Dahl yang diperuntukkan untuk anak – anak.
Adapun genre dari buku ini adalah fantasi. Setelah menerbitkan karya sastra anak
pertamanya, Dahl tetap menulis karya lainnya. Pada tahun 1946 – 1960 genre karya tulis
Dahl berubah menjadi cerita yang diperuntukkan untuk orang dewasa. Dahl banyak membuat
cerita pendek dewasa.
Adapun cerita pendek Dahl yang terbit adalah “Over to You: Ten stories of Flyers and
Flying” (1946), “Sometime Never: A fable for Supermen” (1948), “Someone Like You”
(1953), “Kiss Kiss” (1960).
2. Dari Cerita Orang Dewasa ke Cerita Anak-anak
Karir Dahl mengalami transformasi dari penulis cerita dewasa menjadi cerita anak
seperti yang diucapkan Sturrock :
“ (Mengenai fiksi dewasa Dahl, kegelapan sering tersandung dengan hal-hal yang kurang
menyenangkan. Adalah kekecewaan dalam karir Dahl yang membuat dia beralih ke penulisan
untuk anak-anak).

Transformasi tersebut disebabkan karena cerita pendek Dahl banyak mendapatkan


kritik dari berbagai kalangan. Hal ini mengakibatkan Dahl merubah genre karya sastranya
menjadi cerita anak karena Dahl merasa gagal. Setelah mendapatkan banyak kritik dari para
pembaca maupun kritikus sastra akhirnya di pertengahan umur 40 tahun, ia pun memutuskan
untuk mengubah cerita dewasanya menjadi genre fantasi untuk anak.

Berikut Cerita Anak yang dibuat Dahl :


1) Novel anak Dahl yang berjudul James and The Giant Peach ( Terbit tahun 1961).
Buku ini bercerita tentang seorang anak yang bernama James melakukan perjalanan
ke USA dengan buah peach raksasa ditemani oleh para serangga ajaib yang bisa berbicara.
Pada saat perjalanan James mengalami petualangan yang luar biasa. Dahl terinspirasi
membuat cerita ini dari kisah yang ia sampaikan kepada anak – anaknya sebelum tidur. Dari
cerita sebelum tidur itulah ia mulai mengembangkan dan mengumpulkan ide sehingga
terbitlah buku tersebut.

Pada awal terbitnya, buku ini dilarang di beberapa negara karena adanya isu rasisme,
ketidak senonohan dan sindiran seksual seperti yang diungkapkan oleh Hephzibah Anderson
di dalam artikelnya (James and the Giant Peach dihujat karena konten rasis, kejorokan dan
sindiran seksualnya) (Derby, 2016). Meskipun banyak kritik buku ini sangat disukai oleh
orang dewasa maupun anak – anak. Butuh waktu tujuh tahun bagi Dahl untuk dapat
menerbitkan buku ini. Setelah terbitnya James and the Giant Peach, novel anak Dahl ini pun
disambut baik oleh para pembaca dan menjadi cerita anak yang sangat populer.

2) Charlie and the Chocolate Factory ( 1964)


Setelah meraih kesuksesannya, pada tahun 1962 Putri Dahl yang bernama Olivia meninggal
sehingga membuat Dahl berhenti menulis selama dua tahun dan akhirnya pada tahun 1964
Dahl pun bangkit dan ia pun menulis buku ketiganya

Buku ini bercerita tentang seorang anak miskin yang mendapatkan tiket untuk pergi
ke pabrik coklat yang dimiliki oleh Willy Wonka. Karena kebaikan hati si anak kecil tersebut
ia pun diwarisi oleh Wonka pabrik tersebut. Yang menarik dari buku ini yaitu Dahl
terinspirasi membuat cerita ini berdasarkan pengalamannya dahulu waktu ia masih sekolah
ketika Cadbury selalu memberikan mereka coklat, Selain itu sosok Tuan Wonka terinspirasi
dari tukang pos yang ia kenal.

3) Magic Finger, ( terbit tahun1966)


Buku ini tentang seorang anak perempuan yang mendapatkan kekuatan sehingga jarinya
pun bisa melakukan sihir. Ia menghukum keluarga Gregg yang selalu memburu angsa. Genre
dari buku ini adalah Fantasi. Buku ini menyimpan pesan kepada pembaca untuk selalu
menjaga lingkungan di sekitarnya.

4) Fantastic Mr Fox ( yang terbit pada tahun 1970.)


Buku ini tentang seekor rubah yang cerdik berusaha mengalahkan tiga petani yang kikir.
Dengan kecerdikannya Tuan Fox pun berhasil menjebak ketiga petani itu hingga mereka
masuk ke dalam galian tanah yang dalam. Cerita ini terinspirasi dari pohon yang berusia lima
ratus tahun yang ia lihat, seperti yang Dahl ucapkan, : (Guratan gelap pohon Yew yang
berusia lebih dari 500 tahun telah menginspirasi Mr. Fox datang membayangi aku). Adapun
genre dari buku ini adalah fantasi dan juga petualangan.

5) 1972 Charlie and the Great Glass Elevator ( Terbit tahun 1972)
Buku ini merupakan sambungan dari cerita Charlie and the chocolate Factory yang mana
Charlie melakukan petualangan ke luar angkasa menggunakan lift kaca. Genre buku ini
adalah fiksi dan adventure. Perkembangan sastra anak Dahl pun terus berlanjut dengan genre
fantasi.

6) Danny the Champion of the World. ( Terbit Tahun 1975)


Buku ini tentang petualangan Danny bersama ayahnya ke dalam hutan. Tuan Hazell
menemukan obat yang diberinya nama ‘Sleeping Beauty’ yang akan diberikan kepada burung
pegar yang tujuannya untuk menggagalkan kontes menembak yang diselenggarakan oleh
Tuan Hazell. Buku ini merupakan buku yang tercipta karena adanya sebuah karavan di rumah
Dahl. Karavan inilah menjadi ide dari pembuatan cerita ini. Dahl pun bahkan memasukkan
karavan yang ada di rumah tersebut ke dalam buku ini. Adapun pesan dari buku ini adalah
untuk menghentikan pemburuan binatang yang dilindungi.

Setelah kesuksesan buku Danny the Champion of the World pada tahun 1978, Dahl
menerbitkan fabel yang berjudul The Enormous Crocodile. Ini merupakan fabel kedua yang
diterbitkan oleh Dahl. Adapun ceritanya yaitu tentang Buaya pemangsa manusia yang diberi
pelajaran oleh para binatang di hutan dengan menggagalkan rencananya dalam menipu anak
kecil. Pada akhirnya buaya pun mati karena dilempar oleh seekor gajah. Buku selanjutnya
yang terbit adalah The Twits, yang terbit pada tahun 1980.

3. Dari Fantasy ke Dark Fantasy


GENRE DARK FANTASY

a. Buku yang berjudul George’s Marvellous Medicine. ( Terbit tahun 1981)


Dark fantasy dalam buku ini dikategorikan sebagai yang teringan karena di dalam cerita
ini sangat sedikit unsur horornya. Bagian horor atau dark dalam cerita ini terdapat sedikit di
bagian akhir cerita yaitu ketika George menghilangkan neneknya dengan obat yang
dibuatnya.
b. The BFG.
Buku ini berkisah tentang seorang anak kecil yang bernama Shopie yang diculik oleh
seorang raksasa yang baik dan membawanya ke negeri raksasa. Di sana Sophie dan BFG pun
melawan para raksasa jahat. Buku ini bisa dikategorikan sebagai Dark Fantasy menengah.
Pada buku ini sudah muncul tokoh horor seperti raksasa yang bisa membuat anak – anak
yang membacanya menjadi takut. Selain itu tokoh raksasa di sini juga digambarkan sebagai
pemangsa anak. Buku ini masih mengandung humor dan juga adanya sosok raksasa yang
baiksehingga mengurangi rasa takut bagi para anak yang membacanya. Buku ini Dahl
ciptakan untuk anaknya yang telah meninggal.
c. The Witches. ( terbit tahun 1983 )
Buku Dahl yang ini dikategorikan sebagai ‘the most horror book for children’ (buku
paling menakutkan bagi anak-anak). Buku ini bisa dikelompokkan sebagai Dark fantasy
dengan kehororan yang sangat tinggi dimana Dahl memunculkan tokoh yang sangat
mengerikan yaitu penyihir yang ia gambarkan dengan muka yang sangat mengerikan. Selain
itu, para penyihir ini juga digambarkan sangat ingin membunuh dan membasmi anak kecil.
Hal ini membuat anak kecil menjadi takut untuk membacanya seperti yang diucapkan oleh
Julia Briggs di dalam bukunya “ (Roald Dahl dalam survei yang dilakukan Martin Cole, lebih
dari tiga kali anak-anak menyebut Dahl sebagai penulis favorit mereka sebagai penulis paling
favorit atau seri paling favorit dari ‘hal yang mengerikan’).

Kalimat ini membuktikan bahwa buku The Witches mengubah pandangan anak – anak
terhadap Dahl yang menjadikan ia sebagai penulis horor terpopuler. Karya ini terinspirasi
dari cerita neneknya tentang mitologi Norwegia yang percaya adanya penyihir.
Setelah munculnya dark fantasy pada tahun 1985, Dahl kembali ke genre semulanya yaitu
Fantasy.

GENRE FANTASY

 Berjudul The Giraffe and the Pelly and Me (terbit pada tahun 1985. )

Buku ini bercerita tentang seorang anak yang melakukan pekerjaan bersama jerapah dan
burung pelikan untuk menyelamatkan toko permen kesukaannya.

 Buku terkenal Dahl yang berjudul Matilda. (terbit tahun 1988) Berkisah tentang
seorang anak kecil yang bernama Matilda yang mana ia berjuang melawan kepala
sekolahnya yang sangat jahat.
 Pada tahun 1990 terbitlah novel Esio Trot. Novel ini sangat berbeda dari Novel anak
Dahl sebelumnya ini merupakan karya sastra anak Dahl yang mana ber-genre romance
karena buku ini berkisah tentang seorang pria bernama Mr. Hoppy yang menyukai
tetangganya, Nyonya Silver, untuk mendapatkan hatinya ia pun mencoba untuk membuat
kura – kura kesayangan wanita tersebut dengan memberikan mantra yang lucu bagi anak –
anak. Inilah satu – satunya karya anak Dahl yang ber-genre romance. Publikasi karya –
karya anak Dahl tidak berhenti bahkan setelah ia meninggal pun tetap diterbitkan.
 Adapun dua novel yang terbit setelah ia meninggal adalah The Vicar of Nibbleswicke
dan The Minpin yang diterbitkan pada tahun 1991.
Bab II

Perkembangan Pendidikan Karakter Di Jepang: Zaman Edo - Zaman Showa Oleh


Aminah Hasibuan

Pada zaman Edo (1633-1867), Mikiso (dalam Suherman, 2004: 203) mengatakan
bahwa Samurai Toyotomi Hideyoshi membagi kelas sosial menjadi empat yaitu: kelas militer
atau samurai (bushi), petani (noomin), pekerja atau pengrajin (shokko), dan kaum pedagang
(shoonin). Kelas militer atau samurai mempunyai kode etik yang selalu mengingat kematian
dan semangat yang disebut dengan bushido. Bushido berasal dari kata “bu” yang artinya
beladiri, “shi” artinya samurai (orang) dan “do” artinya jalan. Secara sederhana bushido
berarti jalan terhormat yang harus ditempuh seorang samurai dalam pengabdiannya. Bushido
tidak hanya berupa aturan dan tatacara berperang serta mengalahkan musuh, tetapi memiliki
makna yang mendalam tentang perilaku yang dihayati untuk kesempurnaan dan kehormatan
seorang samurai (prajurit). terjadi pemberontakan di bidang militer, ekonomi, dan politik.
Karena telah terjadinya pemberontakan dimana-mana, akhirmya kaisar diganti sehingga
zaman pun berganti dengan zaman Meiji (Pencerahan). Suherman (2004) menjelaskan bahwa
pada zaman Meiji (1868-1912) kelas samurai telah dihilangkan dan Jepang mulai membuka
diri sehingga Jepang mulai belajar modernisasi Barat dalam berbagai bidang. Langkah tegas
Kaisar Meiji yang berhubungan dengan Barat yaitu memproklamirkan Ikrar Piagam
(Gokajonogoseimon) pada tanggal 13 maret 1868. Untuk menjadi negara maju, Jepang
mengutamakan pendidikan kepada rakyatnya terutama pendidikan karakter. Dari sekolah
dasar, mereka memperoleh pendidikan karakter yang kemudian mereka terapkan dalam
kehidupan sehari-hari (Rafiek, 2011). Dari kedua karya sastra di atas, terlihat bahwa
pendidikan karakter dalam The Swordless Samurai karya Kitami Masao pada zaman Edo
yaitu pada masa adanya kelas-kelas dalam masyarakat dengan kelas tertinggi kelas militer
atau samurai yang menerapkan semangat bushido sebagai karakter Jepang. Semangat bushido
yang ada pada dirinya merupakan awal pendidikan karakter Jepang yaitu, pengabdian,
penghargaan, kerja keras, dan tindakan tegas. Selanjutnya, pada karya sastra yang terjadi
setelah Perang Dunia II, yaitu pada zaman Showa dalam novel Totto-Chan karya Tetsuko
Kuroyanagi adanya perkembangan pendidikan karakter yang tidak hanya diajarkan di
lingkungan sekolah tetapi juga di lingkungan masyarakat dan keluarga. Pada novel Totto-
Chan, Tetsuko Kuroyanagi mengajarkan kejujuran, kemandirian, kesederhanaan, sikap saling
menghormati, sikap bertanggung-jawab, kepedulian, sikap pantang menyerah, dan kerja
keras. Inilah yang menjadi pendidikan karakter di Jepang hingga sekarang dan digunakan
dalam keseharian mereka sehingga Jepang menjadi negara maju dengan pendidikan karakter
unggul.

Representasi Pendidikan Karakter Jepang

The Swordless Samurai karya Kitami Masao dengan latar zaman Edo, menceritakan
kisah seorang Toyotomi Hideyoshi yang bekerja keras pantang menyerah hingga akhirnya
bisa menjadi seorang samurai 22 sejati yang dapat mempersatukan seluruh Jepang di bawah
kekuasaannya. Terlihat pada kutipan berikut: “Namaku Toyotomi Hideyoshi, dan sekarang
aku adalah pemegang kedaulatan tertinggi di seluruh Jepang, anak petani pertama yang bisa
naik ke tampuk kekuasaan mutlak. Aku adalah satu-satunya penguasa feodal dari sekitar dua
ratus penguasa pada masa itu yang mencapai posisi ini akibat kerja keras dan bukan melalui
silsilah. Aku berangkat dari kemiskinan untuk memimpin sebuah bangsa besar dan
memegang komando ratusan ribu kesatria samurai.” (Masao, 2009: 4) Toyotomi Hideyoshi
berhasil mempersatukan Jepang dengan melaksanakan semangat bushido, yaitu pengabdian,
penghargaan, kerja keras, dan tindakan tegas.

Selain novel, film juga dijadikan ajang untuk menanamkan watak pendidikan bagi
bangsa Jepang. Film “Shichinin no samurai (Seven Samurai)” (1954) karya Akira Kurosawa
dengan latar era Sengoku tahun 1587, misalnya, menceritakan semangat bushido. Film
tersebut menceritakan sebuah desa yang penduduknya adalah petani, desa tersebut sering
terjadi perampasan hasil pertanian yang dilakukan oleh sekelompok bandit terdiri dari empat
puluh orang. Ketujuh samurai tersebut dengan ajaran bushido mendidik serta melatih para
petani agar bisa bertarung melawan para bandit. Pemerintahan Sengoku-Jidai menganut
sistem pembedaan kelas yang dikenal dengan Shinokosho yang terdiri dari kelas bushi
(Samurai), nomin (petani), kosakunin (pengrajin), shonin (pedagang) serta kelas yang
terendah yaitu eta atau hinin (kaum budak). Dalam film Seven Samurai ditemukan
pendidikan karakter, yaitu: tanggung jawab, keberanian, kejujuran, disiplin, dan kepedulian.
Karya sastra ini juga mengajarkan semangat bushido sebagai karakter masyarakat Jepang.

Suherman (2004) menjelaskan bahwa setelah Jepang melewati masa ke-Shogun-an,


Tokugawa selama hampir 264 tahun dari tahun 1633-1867, pemikiran Jepang juga mulai
berubah. Jepang telah menghapuskan sistem kelas, maka kelas samurai pun ikut terhapus
tetapi semangat bushido sebagai karakter Jepang masih tertanam pada diri masyarakat
Jepang. Setelah zaman Edo berakhir digantikan dengan zaman Meiji. Pada zaman Meiji dan
zaman Taisho perkembangan karya sastra dalam pendidikan karakter tidak terlalu terlihat,
masih terlihat semangat bushido dalam karya-karya sastra pengarang di Jepang. Di zaman
Showa karya sastra yang menceritakan pendidikan karakter mulai terlihat perkembangannya.
Pada zaman ini modernisasi Barat berkembang hingga pelosok desa dalam berbagai bidang,
termasuk bidang pendidikan. Pendidikan karakter pada zaman Showa terlihat pada novel
Nijuushi No Hitomi karya Sakae Tsuboi dengan latar tahun 1928. Novel ini menceritakan ibu
guru Oishi yang mengajar di desa terpencil dengan dua belas anak didik yang memiliki
berbagai macam karakter, yaitu: kemandirian, kerja keras, disiplin, dan tanggung jawab. Ibu
guru Oishi mengajarkan untuk peduli lingkungan karena pada saat itu desa mengalami
bencana yang dahsyat mengakibatkan rumah-rumah hancur, terlihat pada kutipan

berikut:

Pada jam pelajaran ketiga, ibu memutuskan tidak memberikan pelajaran musik sebagaimana
biasanya, dia hendak mengajak murid-muridnya berkeliling untuk menanyakan kabar
keluarga-keluarga yang

ke musibah. dia rumah Mishiguchi paling dekat dengan sekolah, dan menyatakan simpatinya
pada keluarga anak itu mendapat Pertama-tama, mampir Misako yang (Tsuboi, 2016: 45). Ibu
guru Oishi mengajari anak didiknya untuk peduli pada sekitar, saling tolong menolong, dan
bersahabat.

Dalam novel Totto Chan karya Tetsuko Kuroyanagi dengan latar tahun 1937 juga
mengajarkan pendidikan karakter. Dalam novel Totto-Chan terdapat pendidikan karakter,
yaitu: jujur, kemandirian, saling menghormati, tanggung jawab, kepedulian, pantang
menyerah, dan kerja keras. Dalam novel Totto-Chan terdapat pendidikan karakter, yaitu:
jujur, kemandirian, saling menghormati, tanggung jawab, kepedulian, pantang menyerah, dan
kerja keras. Berikut beberapa kutipan menggambarkan pendidikan karakter Totto-Chan:

Saling menghormati

Karena tak ada cacat di tubuhnya, tentu saja dia takkan keberatan ditanya seperti itu.
Tapi Takahashi telah berhenti tumbuh dan anak itu tau. Itu sebabnya kepala sekolah telah
merancang semua kegiatan hari olahraga secara khusus agar Tabahashi bisa berpartisipasi
dengan baik. (Kuroyanagi, 2017: 175)

Jujur

Ketika dia berkata Totto-chan boleh menceritakan apa saja yang ingin diceritakannya.
Totto-chan senang dan langsung bicara penuh semangat. Ceritanya kacau dan urutannya tidak
karuan, tapi semua dikatakannya apa adanya. (Kuroyanagi, 2017: 25)

Kemandiriaan
Mama punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Dia sibuk mengisi kotak
bekal dengan sesuatu dari laut dan sesuatu dari pegunungan. Sambil memberikan sarapan
kepada Totto-chan. Mama juga memasukkan karcis abnemen kereta Totto-chan ke dompet
plastik yang akan dikalungkan di leher Totto-chan dengan tali agar tidak hilang. (Kuroyanagi,
2017: 31)

Kepedulian

Tangan dan kaki Yasuaki sangat lemah. Tampaknya dia tak bisa naik ke anak tangga pertama
tanpa bantuan. Totto-chan cepat- cepat turun lalu mendorong Yasuaki dari bawah.
(Kuroyanagi, 2017: 83)

Dari beberapa kutipan di atas, Totto-Chan mendapatkan pendidikan karakter dari lingkungan
sekitar masyarakat, keluarga, dan sekolah yang membentuknya menjadi karakter yang baik.

Bab III

PERKEMBANGAN ECOCRITICISM BERDASARKAN REVOLUSI INDUSTRI

A. Pendahuluan

Munculnya Ecocriticism diawali dari hasil penelitian terhadap British Romanticism pada
awal 1990, dan analisis American Nature di Amerika Serikat pada tahun 1970-an dan 1980-
an yang mengungkapkan isu ekologi dan krisis lingkungan. Dalam buku Future of
Environmental Criticism, Buell (2005, p. 2) menulis: “ If environmental criticism is still an
emergent discourse it is one with very ancient roots. In one form or another, the “idea of
nature” has been a dominant or at least residual concern for literary scholars and intellectual
historians ever since these field came into being”. (Jika kritik lingkungan masih menjadi
wacana yang muncul, maka itu adalah kritik dengan akar yang sangat kuno. Dalam satu
bentuk atau yang lain, "gagasan tentang alam" telah menjadi perhatian dominan atau
setidaknya residu bagi para sarjana sastra dan sejarawan intelektual sejak bidang ini muncul).
Puisi-puisi romantis adalah ekspresi dari kehidupan manusia sebagai hasil dari pemisahan
manusia terhadap alam (Peek & Coyle, 1984). Romanticism adalah pergerakan artistik,
literatur, musik, dan intelektual. Pada abad ke-18 sebagai reaksi dari Revolusi Industri,
pergerakan ini menciptakan rasionalisasi terhadap alam. Bate (1991) mengatakan bahwa
romanticism adalah ‗The first ecologist‘ yang melawan ‗the ideology of
capital‘.Karakteristik dari pergerakan ini yaitu kebebasan berekspresi dalam karya seni.
B. Perkembangan Ekokritik Kritik sastra membangun hubungan antara budaya
dan alam.

Dalam The Ecocriticism Reader (1996), Glotfelty dan Fromm mengungkapkan tiga fase
ekokritik. Fase pertama yaitu gambaran dari alam, fase ini memperlihatkan karya sastra yang
menampilkan bagaimana alam diperlakukan oleh manusia. Fase kedua menciptakan usaha
untuk mengelaborasi karya sastra yang mengandung kesadaran terhadap alam agar
memperlakukan alam lebih bijaksana. Fase ketiga yaitu membuat pemahaman yang
mendalam terhadap ekologi, yangmelakukan kritik radikal terhadap anthropocentricism
dalam studi sastra. Dari tiga fase tersebut dapat dipahami bahwa penggambaran alam di
dalam puisi secara tidak langsung telah membangkitkan kesadaran manusia terhadap
perlakuan budaya terhadap alam. Glotfelty mengatakan bahwa kritik mengubah sudut
pandang manusia terhadap alam yang menjadikan kesatuan antara manusia dan alam. Puisi
romantik membangun hubungan antara manusia dengan alam. (Dunia ini terlalu banyak
bersama kita; cepat atau lambat, Mendapat dan menghabiskan, kita memboroskan kekuatan
kita; Sedikit yang kita lihat di Alam milik kita; Kita sudah menyerahkan hati kita, anugerah
yang kotor).

Kutipan di atas mengungkapkan bahwa manusia sudah mulai lupa dengan peran alam
dalam kehidupan. Perlakuan manusia secara perlahan membawa alam pada proses
kehancuran karena selalu dieksploitasi. At length [towards] the [Cottage Ireturned] Fondly,
and traced with milder interest That secret spirit of humanityWhich, ‘mid the calm oblivious
Tendencies Of nature, ‘mid her plants, her weeds, and flowers, And silent overgrowings, still
survived. (Wordsworth, 2006, p. 1367, lines 501-506) (Jauh [ke arah] [Pondok aku kembali]
Dengan senang hati, dan ditelusuri dengan keinginan tipis Itulah roh rahasia kemanusiaan
Yang mana, di tengah-tengah tendensi yang tenang dan tidak disadari Dari alam, 'ditengah
tanaman, gulma, dan bunganya, Dan tumbuh diam, masih hidup). Kutipan di atas
mengungkapkan bahwa kehidupan manusia berasal dari alam tempat mereka tinggal. Jika
alam bertahan, maka manusia juga dapat bertahan. Pada zaman ini manusia lebih fokus
terhadap kemajuan industri dengan ditemukan peralatan industri yang lebih canggih. Tetapi,
manusia lupa dengan efek dari kemajuan industri tersebut, yaitu membawa alam pada tahap
kehancuran. Pada revolusi industri 2.0 yang terjadi pada awal abad ke-20 ekokritik semakin
naik ke permukaan. Teori-teori ekokritik sudah muncul di tahun 1990-an sebagai bentuk
kritik terhadap perlakuan manusia terhadap alam yang sudah tidak terkontrol. Dengan
semakin majunya teknologi di zaman ini yang ditandai dengan hadirnya peralatan-peralatan
dan senjata canggih yang diproduksi secara masal mempermudah manusia untuk melakukan
eksploitasi terhadap alam. Pada zaman ini kapitalis sudah mendominasi setiap sendi
kehidupan dan budaya. Hal ini terlihat dalam puisi ―For a coming extinction‖ (1967) oleh
William Stanley Merwin: Gray whale Now that we are sending you to The End That great
god Tell him That we who follow you invented forgiveness And forgive nothing (Stanza 1)
(Paus abu-abu Sekarang kami mengirim nya ke tempat terakhir Dewa besar itu Katakan
padanya Bahwa kami yang mengikuti Anda menemukan pengampunan Dan tidak memberi
maaf apa pun). Kutipan diatas mengungkapkan bahwa gray whale adalah objek yang selalu
diburu. Manusia memburu mereka secara masal karena mereka merupakan target yang
mudah untuk di buru. Bahkan hal ini sangat populer pada tahun 1967.

Menurut Megan E. Marrero dan Stuart Thornton dalam National Geographic (2011) gray
whale adalah binatang yang mempunyai ukuran tubuh yang besar yang menggiurkan para
pemburu. Mereka tidak memperdulikan keberlangsungan hidup binatang tersebut, bahkan
tetap diburu walaupun sedang hamil karena lebih mudah menangkapnya. Terjadinya banyak
kelangkaan sumber daya alam di awal abad ke-19 memunculkan berbagai kritik terhadap
budaya. Pada periode ini manusia sudah seperti penguasa dari kehidupan. Hal ini yang
melahirkan ecocriticism yaitu kritik yang mengembalikan peran alam sebagai pusat dari
kehidupan bahkan manusia merupakan bagian dari alam, bukan menguasai alam. Ekokritik
juga didukung dengan adanya isu pemanasan global, perubahan iklim, dan penipisan lapisan
ozon. Pesatnya perkembangan industri pada periode ini mengakibatkan kerusakan bagian
vital dari bumi. Ekokritik berperan dalam menanggulangi berbagai masalah dan isu
kehancuran bumi. Pada revolusi industri 3.0 manusia tidak lagimempunyai peran terpenting.
Revolusi ini ditandai dengan munculnya mesin yang dapat berpikir secara otomatis yaitu
komputer dan robot. Pada masa ini eksploitasi terhadap alam semakin meningkat drastis, hal
ini terjadi karena komputer dan robot mampu menciptakan hasil produksi lebih cepat
daripada cara manual. Pada masa ini ecocriticism sudah mulai muncul ke permukaan. Puisi –
puisi pada zaman ini mengkritik kinerja mesin yang tidak ada berhentinya dalam
mengeksploitasi alam. Seperti dalam puisi ―How Great the Garden When They Thrive‖
(HGWTT) oleh Camille T. Dungy (2017):

Yellow as zucchini flowers “and, in their season, as legion, school buses brake and
collect, brake and collect, at standard intervals along the country’s subdiving roads.
(HGWTT: stanza 5-6)” (Kuning seperti bunga zucchini dan, di musimnya, sebagai legiun,
bus sekolah berhenti dan memuat, berhenti dan memuat, sesuai jadwal di sepanjang jalan
desa).

Puisi tersebut mengungkapkan bahwa eksploitasi alam dilakukan tanpa henti karena
sudah didukung oleh mesin yang sudah distandarkan dan mampu melakukan pekerjaan tanpa
perlu istirahat seperti manusia. Di zaman ini manusia hanya menjadi operator dalam
melakukan berbagai hal dari satu tempat saja. Dengan kata lain, manusia mempunyai kontrol
terhadap banyak hal hanya dari satu tempat saja tanpa perlu berpindah-pindah. Isu ini juga
dibahas dalam puisi ―Characteristic of Life‖ (COL) oleh Camille T. Dungy (2017): Di
zaman ini manusia hanya menjadi operator dalam melakukan berbagai hal dari satu tempat
saja. Dengan kata lain, manusia mempunyai kontrol terhadap banyak hal hanya dari satu
tempat saja tanpa perlu berpindah-pindah. Isu ini juga dibahas dalam puisi ―Characteristic
of Life‖ (COL) oleh Camille T. Dungy (2017):

“You with the candle burning and only one chair at your table must understand such
wordless desire. To say it is mindless is missing the point. (COL: Line 21-25)”. (Engkau
dengan lilin membakar dan hanya satu kursi di meja mu yang harus mengerti keinginan tanpa
kata seperti itu. Mengatakan itu tidak ada artinya sama sekali tidak penting). Kutipan di atas
mengungkapkan bahwa tidak butuh banyak orang dalam mengambil suatu keputusan.
Dengan kata lain hanya sedikit yang berada di puncak tertinggi yang menjadikan posisi
manusia lebih mudah untuk mengendalikan alam. Pada perkembangan selanjutnya, yaitu
pada Revolusi Industri 4.0 mungkin nantinya akan muncul berbagai karya sastra yang
mengkritik zaman ini. Ecocriticism akan tetap berperan dalam menjaga

Bab IV

Iskandar Zulkarnain Dalam Tambo Alam Minangkabau

LatarBelakang

Sejarah merupakan fondasi dari suatu peradaban untuk berangkat kepada masa kini.
Sejarah yang tersimpan rapi dalam naskah-naskah kuno, dan karya sastra lama mulai banyak
dijadikan dasar penelitian pada saat ini. Bagi masyarakat masa kini karya-karya masa lampau
sudah mulai dipandang dan dilirik karena di dalam karya-karya tersebut terdapat berbagai
cerita, asal-usul, pandangan hidup, kearifan lokal sebagai karya yang bermanfaat.

Salah satu bentuk karya masa lampau yang masih berpengaruh dan prakteknya masih
dilakukan saat ini adalah Tambo. Tambo diyakini sebagai sumber sejarah peninggalan orang-
orang tua zaman dahulu. Walaupun di dalam catatan dan penulisan sejarah sangat menuntut
penanggalan dari sebuah peristiwa, serta dimana kejadian, bagaimana terjadinya, bila
masanya, siapa pelakunya yang menjadikan penulisan sejarah otentik. Sementara Tambo
tidak mengutamakan penanggalan akan tetapi lebih mengutamakan peristiwa,karena
pernahterjadi.

Dalam Tambo Minangkabau dikisahkan bahwa Iskandar Zulkarnain adalah keturunan


Raja Minangkabau. Diceritakan bahwa Iskandar Zulkarnain adalah anak Nabi Adam yang
bungsu. Tuhan memerintahkan kepada Malaikat untuk mengambil seorang bidadari dari
surga untuk istrinya. Dari perkawinan itulah lahir tiga orang putranya yaitu Sutan Maharaja
Alif yang menjadi raja di Benua Rum, Sultan Maharaja Dipang yang menjadi raja di Benua
Cina. Dan yang bungsu Sultan MaharajaDiraja yang menjadi raja di Pulau Perca yang
pemerintahannya di Pagaruyung (Tambo Alam Minangkabau) Berdasarkan hasil penelitian
Djamaris (1991) bahwa Tambo yang telah dicetak terdiri dari lima jenis. Dengan pengarang
dan isi yang berbeda, namun esensi dari isinya tetap sama.

Dalam kesusastraan Indonesia lama, Iskandar Zulkarnain merupakan tokoh historis


dan legendaris yang sudah terkenal di dunia, terutama di Asia dan Eropa. Secara historis
Iskandar Zulkarnain hidup dari tahun 3556-323 sebelum masehi (Steinberg dalam Djamaris,
1990). Ia menjadi Raja Macedonia pada tahun 336-323 S.M. Kisahnya sebagai Raja
Macedonia ini telah disusun oleh Harold Lamb dalam sebuah buku berjudul Alexander of
Macedon(Djamaris,1990).

Berdasarkan hasil penelitian Djamaris (1991) bahwa Tambo yang telah dicetak terdiri
dari lima jenis. Dengan pengarang dan isi yang berbeda, namun esensi dari isinya tetap sama.

Pembahasan

Dalam masyarakat Minangkabau, Iskandar Zulkarnain merupakan tokoh idaman.


Iskandar yang biasa disebut bersama-sama gelarnya Zulkarnain, dipandang sebagai tokoh
agung nan perkasa, pemberani, berjiwa besar,dan cendikiawan. Dialah tokoh istimewa yang
diakui telah menurunkan raja-raja Melayu terutama Minangkabau.Sampai saat ini gema
kebesarannya masih saja terdengar dalam citra sebagai tokoh nenek moyang yang
dibanggakan.Menurut Rangkuti dalam Chamamah (1991), Iskandar Zulkarnain merupakan
penyebar agama Islam yang dijadikan teladan. Bahkan namanya juga tercantum dalam kitab
suci umat Islam tersebut.
Eksistensi Iskandar Zulkarnain dalam kehidupan masyarakat Minangkabau sangat
terasa sekali. Hal ini dapat dilihat dari teks-teks yang membahas tentang Zulkarnain

1. Datuak Sangguno dirajo tahun 1919 berjudul Tjurai Paparan Adat Lembaga
Alam Minangkabau.
2. Diterbitkan kembali oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan
Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Jakarta.
3. Mustiko Adat Alam Minangkabau yang juga ditulis oleh Dirajo. Diterbitkan
pada tahun 1953 oleh
4. Penerbit Balai Pustaka.
5. Batuah dan Madjoindo menerbitkan buku yang berjudul Tambo Minangkabau
pada tahun 1956.
6. Datuak Batuah Sango pada tahun 1959 berjudul Tambo Alam Minangkabau
cetakan IV. Diterbitkanoleh Limbago Payakumbuh.
7. Basa pada tahun 1966 juga menerbitkan Tambo berjudul Tambo dan Silislah
Adat Alam Minangkabau.

Dari kelima Tambo Alam Minangkabau tersebut semuanya terdapat cerita tentang
Iskandar Zulkarnain.Dilihat dari aspek fungsi tematik sejarah Iskandar Zulkarnain
memberikan bukti genealogis, seperti penceritaan sejarah menjadi sumber inspirasi dan
menjadi kebanggaan bagi keturunan selanjutnya.

Berens (2010) mengatakan bahwa dewa pertama Yunani Kuno yaitu Uranus dan Ge.
Begitu juga dengan sejarah di bagian Timur yang paling terkenal yaitu sejarah tentang asal-
usul bangsa Jepang. Bangsa Jepang berasal dari dewa Izanami dan Izanagi (Kaskus).

Roland Barthes (2006) mengatakan bahwa segala sesuatu dapat menjadi mitos,
asalkan disampaikan lewat sebuah wacana (discourse) dan mitos merupakan sesuatu sistim
komunikasi. Mitos adalah sebuah tipe pembicaraan (a type of speech), dan mitos merupakan
suatu bentuk (a form).

Dengan demikian, segala hal dapat menjadi mitos bila dituturkan, dikatakan, dan
digunakan secara sosial. Barthes menunjukkan bahwa manusia melambangkan cerita sejarah,
yang dimitoskan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena yang tidak tampak
sehingga sejarah itu mengandung pesan, walaupun pesan tersebut adakalanya sulit diterima
akal, karena pada mulanya berawal dari cerita legenda-legenda itu terbentuk secara tidak
rasional.

Yunani Kuno dan Jepang, dalam sejarah Minangkabau, Genealogi raja-raja


Minangkabau dihubungkan dengan silsilah Iskandar Zulkarnain. Bagi masyarakat
Minangkabau, menurut Chamamah (1991), Iskandar Zulkarnain digambarkan 51 sebagai
tokoh Raja Islam. Berens (2000) mengatakan bahwa bangsa barat dengan Yunani Kuno nya
menganggap bahwa mereka berasal dari keturunan Dewa Uranus (Langit) dan Dewa Gea
(Bumi). Sementara itu bangsa Jepang merupakan keturunan Dewa Izanami dan Dewa Izanagi
(kaskus.co.id)

Mereka berbangga dengan asal-usul nenek moyang mereka. Tetapi terdapat perbedaan
yang mendasar dalam sejarah asal-usul nenek moyang orang Minangkabau, dimana
perbedaan latar belakang dan pandangan hidup berupa agama sangat mempengaruhi. Suatu
kejadian yang bersifat kemanusiaan dipilih dan ditentukan menjadi isi cerita sejarah apabila
kejadian itu menggambarkan perjuangan manusia kearah kehidupan yang lebih sempurna.
Selain itu, juga jika kejadian, peristiwa, riwayat hidup seorang manusia itu merupakan bagian
penting dari perjuangan suatu Negara, kota, daerah, desa, atau lingkungan kehidupan
kenegaraan (Ali, 2005).

Berdasarkan analisis terhadap Tambo sejarah Iskandar Zulkarnain, dapat ditarik


kesimpulan bahwa Iskandar Zulkarnain merupakan tokoh yang menyejarah. Selain
menyejarah Iskandar Zulkarnain merupakan asal-usul nenek moyang. Dapat ditarik
kesimpulan bahwasanya cerita sejarah yang terdapat dalam karya sastra baik lisan maupun
tulisan berfungsi untuk mengagungkan dan memuliakan bangsa mereka sendiri. Mereka
berasal dari keturunan terhormat yang akan menentukan posisi di hadapan masyarakat
lainnya

Bab V

NOVEL MAX HAVELLEAR : MEMBUNUH KOLONIALISME

A. Kolonialisme dan Tanam Paksa

Pada abad ke-18 Belanda memasuki Indonesia dengan tiga tujuan,yaitu :


menguasai kekayaan alam Indonesia,memperluas wilayah jajahan,dan
menyebarkan agama Nasrani.Ketiga tujuan ini diberi istilah gold,glory,dan
gospel.Hal ini sesuai dengan tulisan Hutauruk (2020:23) yang menyebutkan
bahwa tujuan bangsa Barat mendatangi Nusantara,salah satu diantaranya
adalah adanya ambisi untuk melaksanakan semboyan 3-G,yaitu gold (mencari
emas atau kekayaan),glory(mencari keharuman nama,kekayaan dan
kekuasaan),dan gospel (menunaikan tugas suci menyebarkan Agama Nasrani).

Belanda juga menggencarkan upaya yang dikenal dengan istilah divide


and rule.Menurut Suryanegara(2014:79) divide an rule adalah taktik pecah
belah untuk dikuasai untuk meretakan hubungan baik antara penganut agama
Hindu,Budha dengan Islam.

Tahun 1830 Gubernur Jendral Johannes van den Boshc mewajibkan desa
menyisihkan sebagian tanah sebesar 20% untuk ditanami komoditas
ekspor,khususnya tanaman tebu,kopi,teh dan tarum(nila) hasil tersebut di
jual kepada Kolonial Belanda.

Penduduk desa harus bekerja dengan cara tanam paksa,sistem tanam paksa
merupakan cara paling kejam yang dilakukan oleh Belanda kepada rakya
pribumi khususnya di daerah Lebak Banten,tidak heran pada tahun 1835-1940
masa keemasan bagi Kolonial Hindia Belanda (Sukardi,2014).

Robert van Niel dalam Anne Both (1998:188) menjelaskan bahwa sistem
tanam paksa telah menghancurkan desa-desa di Jawa,karena telah memaksa
mengubah hak kepemilikan tanah desa menjadi milik bersama dan dengan
demikian merusak hak-hak perorangan yang lebih dulu atas tanah.

Teori inovulasi pertanian Clifford Geertzyang menjelaskan proses


kemiskinan struktural di Jawa tampak relevansinya.Pertambahan penduduk
Jawa,berkurangnnya lahan pertanian dan peluasan perkebunan Eropa menjadi
penyebab kemiskinan di Jawa(Kurniawan2014:171).

Dibalik kejamnya sistem tanam paksa yang dirasakan petani,namun


terdapat efek positifnya yaitu lahirnya sistem administrasi pemrintah yang
lebih baik,tanam paksa memperkenalkan teknologi baru,terutama dalam
pengenalan bibit-bibit tanaman perdagangan seperti tebu,indigo,dan tembakau
berserta cara tanamnya.

Kerja paksa yang pada akhirnya melahirkan kerja rodi terpaksa dilakukan
oleh penduduk pribumi tanpa diberi upah yang layak sehingga membuat
kehidupan penduduk semakin sengsara,para penduduk pribumi dijadikan sebagai
budak yang akan melakukan berbagai pekerjaan untuk kepentingan Kolonial.

Melihat kondisi tersebut munculah berbagai penolakan,yang dilakukan


Belanda yang telah mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.Penolakan
tersebut berasal dari:

 Golongan Pengusaha
Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha,bahwa tanam paksa
tidak sesuai dengan ekonomi liberal.
 Isaac Dignus Fransen van der Putte
Menteri Urusan Tanah Jajahan diturunkan jabatannya karena
dikatakan sebagai penentang sistem tanam paksa
(Breman, 2014:3)
 Eduard Douwes Dekker
Eduard Douwes Dekker adalah seorang pejabat Belanda yang pernah
menjadi Asisten Residen Lebak (Banten). Multatuli merupakan nama
pena dari Eduard Douwes Dekker. Multatuli (1860) dalam bukunya
yang berjudul Max Havelaar, menuliskan tentang penderitaan
masyarakat Lebak, Banten Selatan. Multatuli menganggap bahwa
Nusantara merupakan jamrud khatulistiwa yang indah.

Eduard Douwes Dekker dikenal sebagai pihak yang menentang tanam paksa
yang dilakukan penjajah Belanda di Indonesia. Penolakan terhadap tanam
paksa disuarakan oleh Eduard Douwes Dekker dalam novel Max Havelaar dengan
tema cerita tentang tanam paksa. Eduard Douwes Dekker menulis novel
tersebut dengan mencantumkan nama pena Multatuli.

A. Eduard Douwes Dekker dengan Nama Pena Multatuli

Nama Multatuli diambil dari bahasa Latin yang berarti “banyak yang
sudah aku derita”. Penulis yang memiliki nama asli Eduard Douwes Dekker
terinspirasi membuat novel Max Havelaar. Eduard Douwes Dekker lahir di
Amsterdam pada 2 Maret 1820 dari seorang ayah yang merupakan kapten kapal
besarnjuga merupakan keluarga berpendidikan.

Pada tahun 1839 Eduard Douwes Dekker tiba di Batavia. Selama di dalam
kapal milik ayahnya, dia bekerja sebagai kelasi yang belum memiliki
pengalaman. Tidak berapa lama, Eduard Douwes Dekker bekerja menjadi seorang
pegawai negeri (ambtenaar) di Kantor Pengawasan Keuangan Batavia. Tiga
tahun kemudian, Eduard dikirim ke Kota Natal yang sangat terpencil sebagai
seorang kontroler.

Dalam perjalanan karirnya, Eduard Douwes Dekker mendapatkan tugas baru


di Lebak, Banten. Eduard mendapati kondisi masyarakat pribumi yang
dijadikan sebagai buruh paksa untuk memenuhi kehidupan Bupati Lebak yang
hidupnya berfoya-foya.

Melihat kejahatan yang dilakukan oleh Bupati Lebak dan keluarganya


terhadap kaum pribumi, Eduard mengirimkan surat kepada atasan residennya
dengan penuh emosi. Akhirnya, Eduard Douwes Dekker mengundurkan diri dari
pekerjaannya karena bentrok dengan atasannya.

B. Novel Max Havelaar Karya Multatuli


Pada tahun 1875, Eduard Douwes Dekker membuat sebuah karya berjudul Max
Havelaar dengan nama samaran “Multatuli”. Karya-karya Multatuli telah
menjadi motivasi bagi para Sastrawan Indonesia. Akhirnya tumbuhlah semangat
kebangsaan untuk menentang kebiadaban Belanda dengan lahirnya
pemberontakan-pemberontakan.

Karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar of de Koffiveilingen der


Nederlandsche Handel maatschappy menggambarkan tentang seorang tokoh utama
yang bersikap idealis dan sangat menentang kekuasaan feodalisme yang selalu
menyiksa rakyat jelata.

C. Sinopsis Novel Multatuli dengan Judul Max Havelaar

Menceritakan seorang tokoh yang sangat kumuh dan selalu memakai


syal ,dia bernama Sjaalman. Dia sanagt suka membuat tulisan – tulisan yang
bertemakan kopi .

Dari novel Max Havelaar karya Multatuli ini, menimbulkan gejolak di


dalam dan di luar negeri Belanda . Banyak petinggi Belanda yang menganggap
bahwa karya sastra yang ditulis oleh Multatuli merupakan rekayasa dengan
isi cerita yang dilebih-lebihkan. Namun, Multatuli tetap bertahan dengan
fakta-fakta sejarah yang dijadikannya sebagai tema cerita di dalam novel
tersebut.

Namun di Indonesia Novel Max Havelaar karya Multatuli dianggap sebagai


bagian dari perisai dalam mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia. Hal
ini dingkapkan oleh beberapa sastrawan dalam berbagai tulisan. Yang salah
satunya : Sastrowardoyo (1983, hlm. 44) menuliskan bahwa buku ini telah
membuka perhatian masyarakat Belanda tentang kecurangan dan tindakan
pemerintah Belanda yang mendatangkan kesengsaraan sehingga pada tahun 1870
sistem cultuurstelsel (tanam paksa) yang telah ada sejak tahun 1830
dihapuskan.

Bab VI

Sejarah Konflik GAM di Aceh Pada Novel Tanah Surga

Keterlibatan HDC pertama kali di Indonesia mulai pada Januari 2000 ketika Presiden
Abdurrahman Wahid meminta HDC untuk memfasilitasi dialog kemanusiaan guna
menyelesaikan konflik Aceh (Susan, 2009: 143). Permintaan ini kemudian ditanggapi positif
oleh HDC. Aksi pertama yang di lakukan HDC adalah membawa RI-GAM secara bersama-
sama ke meja perundingan yang kemudian disusul dengan serangkaian dialog yang dihadiri
kedua belah pihak. Berbagai dialog telah membawa kedua belah pihak menandatangani
sebuah akhir kesepakatan penghentian permusuhan (Cessation of Hostilities Agreement)
(CoHA) pada Desember 2002 (Kontras, 2006: 109).
Akan tetapi pada Mei 2003, perundingan benar- benar menemukan jalan buntu.
Pembicaraan tidak dilanjutkan lagi. Ini disebabkan karena mereka tidak pernah berhasil
menemukan titik kompromi mengenai isu fundamental mengenai keberadaan Aceh tetap
bagian integral dari NKRI atau menjadi merdeka. Para pemimpin Indonesia selalu
mengedepankan menjaga integritas wilayah dan sebaliknya, mencegah disintegrasi.
Sedangkan pemimpin GAM bersikukuh mengenai hak untuk kemerdekaan diri, ini yang
menjadikan proses damai gagal. Rasa saling percaya yang telah terbangun melalui dialog
interaktif kemudian mulai menyusut. Tiap hari bertambah orang Aceh yang hilang atau
meninggal dan di kalangan tentara kita dan masyarakat sipil juga jatuh korban. Akhirnya
pada tahap inilah, maka CoHA menjadi diabaikan dan resolusi konflik yang dimediasi oleh
HDC terhenti, pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri (Novri, 2007: 144). Seperti yang
telah di jelaskan sebelumnya antara GAM dan Indonesia telah terjadi kontak senjata yang
menimbulkan kekerasan. Dalam bidang ilmu politik konflik yang berwujud kekerasan disebut
konflik separatis (Suryadi, 2007). Dengan demikian konflik antara GAM dan Indonesia
adalah konflik antar kelompok yang disebut konflik separatis. Adapun separatis seperti di
definisikan oleh Walter S. Jones, adalah gerakan yang ingin dan menuntut pemisahan secara
formal antara wilayah, dengan tujuan membentuk negara yang terpisah (Jones, 1993).

GAM adalah gerakan yang ingin memisahkan Aceh dari wilayah Indonesia. Hal ini
tergambar pada novel Tanah Surga Merah karya Arafat Nur yang membahas tentang Konflik
yang terjadi di Aceh sebagai berikut:

1. Politik Pilkada

Pilkada langsung yang digelar di propinsi ujung barat Pulau Sumatera ini adalah
pertama kalinya di Indonesia. Pilkada digelar serentak dengan pemilihan bupati/walikota di
hampir seluruh daerah. Dengan kata lain, Aceh adalah contoh ketika pemilihan gubernur,
walikota dan bupati dipilih secara bersamaan, sehingga adalah wajar jika kemudian tensi
politik yang terjadi di Aceh menjadi sangat tinggi. Pertarungan perebutan 20 kursi kepala
daerah di Aceh pada 11 Desember 2006 lalu menunjukkan bagaimana kiprah pertama GAM
dalam perpolitikan Indonesia pasca Perjanjian Helsinki. Dari 20 jabatan, GAM berhasil
mendapatkan 9 posisi kepala daerah yakni 1 posisi gubernur dan 8 kursi bupati/walikota
Keinginan untuk duduk dalam kursi eksekutif terlihat sejak awal tahun 2006. Mantan juru
bicara GAM Bakhtiar Abdullah mengatakan, “Kami ingin merebut peluang itu (pilkada)
untuk membangun demokrasi yang lebih bersih di Aceh (Didik, 2006:16). Seperti terlihat
pada kutipan berikut: Orang-orang Partai Merah, selain menduduki hampir semua jabatan
penting di pemerintahan daerah, mereka juga ada dimana-mana. Biasanya masalah yang
kerap mereka bincangkan hanyalah seputar proyek, jabatan, dan perempuan. Sifat kekanak-
kanakan mereka tak pernah berkurang. Inilah yang terjadi bila orang-orang rakus dan bodoh
menjadi pengguasa negeri. (Nur, 2016: 13). Namun, negeriku ini sudah dirusak tangan-
tangan penjajah dan pemimpin bodoh sehingga bagaimanapun juga petani bekerja keras,
mereka tak akan pernah bisa hidup makmur. Para pengendali kekuasaan terus mengusik
rakyat, membuat rusuh demi siasat dan intrik politik, tak ada suatu upaya pun yang dilakukan
pemerintah demi kemakmuran rakyat, semuanya demi kepentingan mereka. (Nur, 2016: 69).
Bagaimanapun juga Partai Merah sangat berkuasa saat ini dengan pengikut dan
pendukungnya dari kota sampai ke pelosok. Partai terkaya, dan orang- orangnya menduduki
jabatan penting di pemerintahan; apa yang bisa dilakukan partai lain? Mereka menguasai dan
mengendalikan kekuasaan begitu besar, tanpa memberikan ruang sedikit pun bagi partai lain
untuk bergerak. (Nur, 2016: 70). Banyaknya pejabat yang dahulunya merupakan mantan
Anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan saat ini menjadi anggota partai lokal di Aceh
seakan lupa diri setelah diberikan kekuasaan. Arafat menyindir mereka yang lupa diri setelah
diberikan bangku dan kekuasaan oleh pemerintah Indonesia untuk memimpin Aceh menjadi
daerah yang lebih baik. Mereka yang dahulu berjuang untuk kemerdekaan, saat ini mereka
berbuat ulah. Karena sifat mereka yang kurang baik menyebabkan rakyat Aceh menderita.
Partai Merah ini menjadi partai yang berkuasa di Aceh. Sebagai partai terkaya yang memiliki
pengikut dan pendukung yang banyak, partai ini membuat partai politik lokal lainnya tidak
mempunyai kesempatan untuk memimpin Aceh dan mendapatkan kekuasaan.

2. Segi Ekonomi

Selain bidang politik, perubahan yang terjadi dalam tubuh GAM adalah pada bidang
ekonomi. Keinginan GAM untuk memperkuat sektor ekonomi adalah dampak dari adanya
program DDR (Disarmament/Decommissioning, Demobilization and Reintegration) sebagai
salah satu output dari Kesepakatan Helsinki. Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh
melalui program reintegrasi pascakonflik Aceh seperti berikut. Pertama memberikan bantuan
jaminan hidup kepada eks- anggota GAM agar dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari
selama periode transisi dan mendapatkan pekerjaan tetap. Kedua Memberikan bantuan
pemberdayaan ekonomi dan modal usaha bagi eks-anggota GAM agar dapat hidup mandiri
secara berkelanjutan ditengah-tengah masyarakat. Ketiga memberikan bantuan perbaikan
rumah kepada eks-anggota GAM untuk mendapatkan rum ah yang layak dan
penyelesaiannya dapat dilakukan secara bergotong-royong dengan anggota masyarakat.
Keempat memberikan bantuan kepada pembela tanah air dan masyarakat lainnya berupa
modal usaha serta perbaikan rumah guna menghindari Kecemburuan dan meningkatkan rasa
saling percaya dan toleransi dalam masyarakat; dan Kelima Bantuan Diyat (santunan) bagi
masyarakat korban konflik yang berhak (Ibid, 2004: 04).

3. Dinamika Internal

Adanya perubahan pola “perjuangan” dari bentuk perlawananan bersenjata menjadi


sebuah gerakan politik membawa dampak yang cukup besar di internal GAM. Pimpinan
GAM membentuk Majelis Nasional sebagai badan yang berwenang untuk mengurusi politik
dan Komite Peralihan Aceh (KPA) untuk memantau proses demobilisasi dan reintegrasi
mantan kombatan. Pendirian Majelis Nasional adalah sebagai lembaga yang menyatukan
seluruh sumberdaya politik dan ekonomi GAM.

BabVII

KONSTRUKSI UKURAN TUBUH IDEAL DALAM SASTRA REMAJA AMERIKA


OLEH RESTY MAULIDINA SEPTIANI
Munculnya istilah sastra (fiksi) remaja (Young-Adult Fiction/Novel) berawal dari
penolakan beberapa karyasastra dalam ranah sastra dewasa karena terlalu kekanak- kanakan
atau terlalu dewasa dalam ranah sastra anak. Sebagai contoh, karya The Chocolate War yang
tidak dapat diklasifikasikan sebagai karya sastra dewasa karena karya ini membahas tindakan
pembully-an remaja sehingga lebih menarik minat pembaca remaja. Karya sastra ini pun
menjadi salah satu karya kanon ber-genre sastra remaja. ...the Chocolate war, for example,
was never intended for young adult audience, but was rejected as an adult novel and has since
become one of the most acclaimed ya books of all time. (Coats, p.322). (... Perang Coklat,
misalnya, tidak ditujukan bagi pembaca dewasa muda, tapi tidak dikategorikan sebagai novel
dewasa dan kemudian menjadi salah satu buku yang paling ditunggu sepanjang masa).

Tak hanya mendefinisikan sastra remaja dari pembacanya, Nilsen & Donelsen (2009),
memberikan definisi lebih detail bahwa pembaca remaja yang dimaksud memiliki rentang
umur 12-18 tahun yang membaca untuk kesenangan atau tugas sekolah.

By young adult literature, we mean anything that readers between the approximate
ages of twelve and eighteen choose to read either for leisure reading or to fill school
assignments (p.1-2). (Yang dimaksud sastra dewasa adalah segala sesuatu yang dipilih
pembaca yang berusia antara 12 dan 18 tahun untuk dibaca diwaktu senggang atau sebagai
tugas sekolah) The Educational Resources Information Clearinghouse (ERIC) mendefinisikan
remaja yang dimaksud berada pada rentang umur 18-22 tahun. Sedangkan The National
Assessment of Educational Progress (NAEP) mendefinisikan remaja yang dimaksud berada
pada rentang umur 21-25 tahun (dalam Nilsen & Donelsen, 2009, p.3). Sastra remaja dapat
didefinisikan sebagai karya sastra yang dibaca oleh remaja rentang umur 12-25 tahun, bukan
karya sastrayang ditulis oleh remaja. Segala karya sastra yang membahas persoalan remaja
sehingga menarik pembaca remaja, baik yang ditulis oleh penulis remaja maupun dewasa,
dapat dikategorikan sebagai sastra remaja. Penulis yang tidak remaja lagi menggunakan
ingatan, observasi, dan pandangan bawah alam sadar mereka terhadap dunia remaja dalam
membentuk tokoh remaja. Hence, adult writers use combination of memory, observation, and
belief to convey their sense of the world as it appears to an adolescent consciousness, as well
as to create characters who are believeably adolescent in their approach to that world (Coats,
p.323).” (Oleh karena itu, penulis dewasa menggunakan kombinasi dari ingatan, observasi
dan keyakinan untuk mengungkap dunia apa adanya akan kesadaran remaja dan menciptakan
karakter yang dewasa dalam mendekati dunia itu) Beberapa penulis “penggebrak” genre
sastra remaja awal diantaranya J. D. Salinger melalui novelnya The Cather in the Rye (1951),
Madeleine L’Engle melalui novelnya A Wrinkle in Time (1963), S. E. Hinton melalui
novelnya The Outsiders (1967), Zindel melalui novelnyaThe Pigman (1968), M. E. Kerr
melalui novelnya Dinky Hocker Shoots Smack (1972), dan Robert Cormier melalui novelnya
The Chocolate War (1974). Semua karya sastra tersebut dikategorikan sebagai karya sastra
dewasa pada masanya sampai genre sastra remaja mulai diperkenalkan. Semakin banyak
remaja yang mengincar sastra remaja, makin banyak pula penerbit yang tertarik memasarkan
genre ini sehingga sampai saat ini karya sastra berlabel genre sastra remaja makin
berkembang terutama tema yang diangkat. Sejak tahun 1960-an, penulis sastra remaja telah
mengangkat isu-isu sosial di kalangan remaja seperti kelainan pola makan ataupun konstruksi
sosial ukuran tubuh ideal/non-ideal. Dalam tulisannya Disturbing the

Trites (2007) memaparkan bahwa sastra remaja mengandung politik institusi tertentu atau
konstruksi sosial, “We can investigate power and repression in adolescent literature by
analyzing textual discourses about institutional politics and social construction” (Kita bisa
mempelajari kekuasaan dan represi dalam sastra remaja dengan menganalisa wacana tulis
tentang politik institusional dan konstruksi sosial). (p. 54) Konstruksi Sosial Ukuran Tubuh
Sastra remaja di Amerika membentuk konstruksi sosial ukuran tubuh besar sebagai suatu
ketidakidealan yang berdampak negatif melalui tokoh utama remajanya dan permasalahan
sosial sebagai dampak negatif akan ketidakidealan tersebut.

1. Ukuran Tubuh Besar sebagai Suatu yang Tidak Ideal yang Berdampak Negatif

Sejumlah sumber mencatat bahwa sastra remaja Amerika sejak tahun 1960-an
menunjukkan pembangunan konstruksi sosial bahwa ukuran tubuh besar merupakan suatu
yang tidak ideal atau tidak normal. Ketidakidealan ini berawal dari penggunaan kata fat
(gemuk), overweight (terlalu gemuk), obese (sangat gemuk) atau plus-size (ukuran besar)
yang dibangun seolah-olah sebagai suatu hal tidak normal dan sangat negatif. Tokoh-tokoh
utama remaja wanita digambarkan sebagai individu yang bertubuh besar berkonotasi suatu
tidak ideal dan negatif.

Pada tahun 1967, Vian Smith melalui karyanya Come Down the Mountain
menggambarkan tokoh remaja wanitanya memiliki ukuran tubuh besar. Ukuran tubuh
besarnya ini dianggap tidak lumrah sehingga ia diolok-olok oleh orang di sekitarnya karena
perbedaan ukuran tubuh ini dianggap tidak ideal. Tidak jauh berbeda, novel Dinky Hocker
Shoots Smack karya M. E. Kerr (1972) menggambarkan tokoh Susan (Dinky) sebagai tokoh
remaja bertubuh besar yang merasa ukuran tubuh besar sebagaisesuatu yang tak ideal dan
mulai menurunkan berat badan karena seorang pria yang disukainya. Awalnya Kerr
menggambarkan Susan sebagai tokoh wanita utama yang memiliki berat 165 “Dinky was five
foot four and weighed around 165” (Dinky tingginya 5,4 kaki dan beratnya sekitar 165) (p.3).
Akan tetapi, penggambaran ukuran tubuh Susan selanjutnya berkonotasi negatif dan tidak
ideal.

2. Ukuran Tubuh Besar sebagai Permasalahan Sosial

yang Berdampak Representasi Ketidakidealan Tubuh Permasalahan-permasalahan


sosial yang dihadapitokoh remaja pada karya sastra remaja Amerika digambarkan sebagai
dampak negatif dari ukuran tubuh yang tidak ideal dari tokoh protagonis remaja tersebut.

Seperti yang tergambar dalam novel Come Down the Mountain (1967), tokoh Brenda diolok-
olok oleh orang di sekitarnya karena dianggap tidak ideal. Ukuran tubuh berbeda ini
digambarkan secara negatif yang mengakibatkan tokoh harus menghadapi olokan terhadap
kontruksi sosial yang telah terbentuk. ketidakidealan ukuran tubuhnya yang menjadi besar
karena suatu penyakit.penolakan tokoh Willowdean untuk menjadi peserta kontes kecantikan
karena ketidakidealan ukuran tubuhnya. Ia juga dikucilkan dan tidak dihargai ibunya.

Bab VIII

Penggambaran Penderitaan Yang Terjadi Saat Perang Dunia Kedua Dalam Novel-
Novel Sastra Amerika Kontemporer Oleh Ridho Pratama Satria
Novel-novel yang menceritakan perang dunia kedua sebagai bahan ceritanya rata-rata
merupakan novel-novel dari contemporary literature atau sastra kontemporer. Sastra
kontemporer, menurut Harrison dan Spiropoulou (2015) “memiliki hubungan antara realita,
fiksi,danbsejarah” (2). Betul saja demikian, jika dilihat dari tema perang dunia kedua yang
diceritakan di dalam novel-novel sastra kontemporer seperti The Thin Red Line, Catch-22
dan Slaughterhouse-Five, penulis novel-novel tersebut tidak hanya menceritakan tentang
kajian sejarahnya namun juga keadaan yang terjadi sebetulnya saat perang dunia kedua
berlangsung.

Hanya saja, tidak semua realitas sejarah yang bisa diceritakan dalam sebuah novel. Penulis
melihat kecendrungan yang paling terlihat dari novel-novel sastra Amerika kontemporer
menggambarkan penderitaan yang terjadi selama perang dunia kedua. Penderitaan yang
digambarkan merupakan realitas yang memang betul-betul terjadi, namun dalam kajian
sejarah tidak begitu dijelaskan karena akan memakan tempat. Lewat novel-novel sastra
Amerika kontemporer, terlihat jelas sekali adanya penggambaran realitas tentang penderitaan
ini.
Secara khusus, penderitaan yang digambarkan didalam sastra Amerika kontemporer dapat
dibagi menjadi dua hal dalam kurun waktu yang berbeda pula. Pertama,penggambaran
penderitaan yang terjadi pada tentara-tentara yang berperang selama perang dunia
berlangsung terutama penderitaan yang dialami tentara-tentara Amerika. Penggambaran
penderitaan ini cendrung digambarkan pada novel-novel yang terbit dua puluh tahun setelah
perang dunia usai, yaitu antara 1960 sampai 1970. Kedua, penderitaan yang terjadi pada
korban-korban perang duniakedua di belahan dunia lain. Penggambaran penderitaan ini
digambarkan pada novel-novel yang terbit sepuluh tahun terakhir, yaitu antara 2009 sampai
2019.

Bab IX

Perubahan Nama Masyarakat Minangkabau dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van


Der Wijck karya Hamka

Masyarakat Minangkabau yang muncul dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der
Wicjk karya Hamka yang terbit pada tahun 1938 oleh PT Bulan Bintang. Minangkabau
adalah satu-satunya suku di Sumatra Barat yang menganut system matrilinial/matriakat,
dimana harta pusaka di Minangkabau dibagi berdasarkan hukum adat dan hukum Islam atau
hukum fara’id. Menurut hukum ini, harta pusaka tinggi atau “Tiang Agung Minangkabau”
tidak boleh dijual tidak boleh digadaikan (Hamka, 1985).

Matrilineal sudah menjadi ciri dari suku Minangkabau. Selain itu banyak sifat yang
akan menjelaskan Minangkabau seperti bahasa, masakan, dan nama. Banyak sekali yang bisa
menjadi tanda pengenal orang Minangkabau namun yang terbawa terus kemana ia pergi
adalah bahasa, masakan dan namanya.

Perubahan Nama Tokoh Dalam Karya-Karya Hamka

Nama adalah sebuah identitas atau sebuah sifat penjelas dari seseorang ibaratkan
sebuah zat yang dijelaskan oleh sifat. Nama adalah sebuah identitas atau ciri, baik individual,
komunal atau sebuah kebudayaan yang melekat pada suatu kelompuk atau etnis. Namun
seiring berjalannya waktu, nama-nama di Minangkabau berubah dengan beberapa alasan
yang kuat yang bisa merubahnya seperti masuknya ajaran Islam ke Minangkabau seperti
tergambar dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck pemberontakan revolusioner
republik Indonesia atau yang dikenal PRRI oleh masyarakat. Sejarah tersebut tercatat oleh
beberapa sumber sejarah, termasuk karya sastra Karya sastra yang mempresentasikan
masyarakat, menurut sebagian kalangan, juga bisa digunakan sebagai referensi dalam
mencatat perubahan nama semacam ini. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya
Hamka, misalnya, juga menggambarkan perubahan nama-nama di Minangkabau, khususnya
pada saat Agama Islam berkembang denga Roman ini, termasuk perubahan namah
perempuan di Minangkabau. Berikut bagaimana perubahan perempuan di Minangkabau
sebelum dan sesudah terjadinya perubahan.

“Hayati adalah nama baru yang belum bisa dipakai orangt selama ini. Nama gadis-
gadis Minangkabau tempo dahulu hanyalah si Cinta Bulih, Sabai nan Aluih, Talipuk Layur,
dan lain-lain. Tetapi Hayati adalah bayangan dari perubahan baru yang melingakari alam
Minangkabau yang kukuh dengan adatnya. (Hamka, 1984)

Hamka menggambarkan adanya perubahan nama perempuan di Minangkabau.


Melalui tokoh Hayati dalam kisah ini, Hamka menjelaskan bahwa pada masa itu Hayati
adalah nama yang baru bagi perempuan Minangkabau dan diharapkan menjadi cahaya baru
pada perempuan Minangkabau. Nama-nama yang digunakan Hamka dalam ceritanya
memperlihatkan fase perubahan penamaan pada masyarakat Minangkabau, yang berbeda
sekali dengan penamaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sebelumnya. Gusti Asnan,
dalam sebuah wawancara dengan Lentera Timur mengatakan bahwa “dalam ensiklopedia
Nederlandsch-Indie dituliskan nama-nama Minang yang sebenarnta itu adalah dari nama-
nama alam dan benda yang ada di dalamnya seperti Pauh, Manggih, Karuntung.” Penjelasan
Gusti Asnan mengenai nama-nama Minangkabau tersebut menjadi pembanding dengan
nama-nama yang dimunculkan oleh Hamka dalam novelnya, jelas memang nama-nama
Minangkabau telah berubah setelah masuknya Islam pesatnya di Sumatra Barat. Perubahan
nama-nama di Minangkabau sudah ada dalam novelnya, jelas memang nama-nama
Minangkabau telah berubah setelah masuknya Islam.

Hamka memberikan nama tokoh di dalam novelnya dengan nama-nama Islami, karena latar
belakang keilmuannya dan keberadaanya sebagai seorang buya di Minangkabau, yang
menjadi panutan bagi masyarakat. Pemberian nama-nama Islami dalam novel-novelnya
bukan hany a sekedar untuk menamai tokohnya, bisa juga dibaca sebagai simbol baru yang
ingin disampaikan atau petunjuk dari sebuah ide atau gagasan pikirannya. Contohnya, nama
Zainuddin berasal dari bahasa arab yang artinya adalah perhiasan agama, Hayati artinya
adalah kehidupan, Azuz artinya adalah yang berkuasa, Muluk artinya adalah kerajaan. Nama-
nama tersebut adalah nama-nama tokoh dalam novel Hamka yaitu Tenggelamnya Kapal Van
Der Wicjk.
Apa tujuan Hamka dibalik pemberian nama-nama yang dimunculkan novel-novelnya?
Apa alasan Hamka dalam pemberian nama tesebut? Mengapa hal itu terjadi dan perubahan
penamaan di Minangkabau terjadi? Inilah sejumlah pertanyaan yang perlu kita jawab.
Melalui nama-nama yang dimunculkan oleh Hamka dalam novelnya terlihatnya revolusi
penamaan di Minangkabau. Apa alasan Hamka memberi nama tokoh tersebut sedangkan
nama tersebut belum begitu dikenal oleh masyarakat Minangkabau pada saat itu? Lika-liku
yang terjadi dalam penamaan tokoh dalam novel-novel Hamka tentu menyimpan sejuta cerita
yang belum mendapatkan perhatian oleh para peneliti sedangkan sebuah nama memiliki
makna yang sangat besar dan berpengaruh. Nama adalah identitas yang harus dipertahankan.
Namun perubahan nama-nama sepanjang perjalanan waktu, tentu memiliki alasan tertentu.
Sebuah nama bisa mewakili sebuah individu, kaum atau masyarakat bahkan sebuah etnis dan
kebudayaan suatu bangsa. Dalam buku Hamka yang berjudul Adat Minangkabau.
Menghadapi Revolusi (1946), Hamka berbicara tentang nama perempuan Minangkabau yang
telah beralih kepada nama-nama Islami.

Masyarakat Minangkabau tersusun atas dasar keibuan, yang menjadi puncak di dalam
rumah ialah nenek yang perempuan. Rumah di Ranah, Alang Lawas dan Terandam hampir
semua nama tertulis nama perempuan, Aminah, Khadijah, Rukayah dan lain-lain. (Hamka,
1946). Pemberian nama-nama yang identik dengan Islam menunjukkan bahwa perkembangan
agama Islam di Minangkabau memberikan pengarug besar kepada masyarakat.

Perubahan nama-nama masyarakat di Minangkabau selanjutnya juga tidak bisa


dilepaskan dari gerakan perlawanan pemerintahan pusat masyarakat Sumatera Barat atau
yang dikenal dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958-
1963. Banyaknya nama-nama masyarakat Minangkabau yang berubah pasca-Pemerintah
Revolusioner Repunlik Indonesia (PRRI).

Setelah PRRI, sebagian anggita masyarakat Minangkabau yang merasa kalah merubah nama,
termasuk merka yang dulu bekerja mandiri dan kemudian memilih menjadi pegawai. Mereka
melakukan perubahan nama karena ketika memakai nama yang identik dengan Minangkabau
mereka tidak diterima oleh pemerintah dan mendapatkan perlakuan yang berbeda oleh
pemerintah pusat.

Perubahan nama-nama masyarakat di Minangkabau dilakukan mempertahankan hidup


dari tekanan politik pusat. Cara lain untuk mempertahankan hidup mereka adalah hidup
merantau karena mereka malu di kampungdan merasa sebagai orang yang paling kalah.
Karena hidup dirantau seperti Pulau Jawa, mereka mulai menyesuaikan diri dengan budaya di
rantau atau berkamuflase, dengan hidup di rantau mereka melahirkan budaya Minangkabau
yang diaspora.

Sebuah nama bisa mewakili sebuah individu, kaum atau masyarakat bahkan sebuah
etnis dan kebudayaan suatu bangsa. Dalam buku Hamka yang berjudul Adat Minangkabau
Menghadapi Revolusi (1946), Hamka berbicara tentang nama perempuan Minangkabau yang
telah beralih kepada nama-nama Islami.

Masyarakat Minangkabau tersusun atas dasar keibuan, yang menjadi puncak di dalam
rumah ialah nenek yang perempuan. Rumah di Ranah, Alang Lawas dan Terandam hampir
semua tertulis nama perempuan, Aminah, Khadijah, Rukayah dan lain-lain. (Hamka, 1946)

Pemberian nama-nama yang identik dengan Islam menunjukkan bahwa perkembangan


agama Islam di Minangkabau memberikan pengaruh besar kepada masyarakat. Perubahan
nama-nama masyarakat di Minangkabau dilakukan mempertahankan hidup dari tekanan
politik pusat.

Cara lain untuk mempertahankan hidup mereka adalah pergi merantau karena mereka malu di
kampung dan merasa sebagai orang yang kalah. Karena hidup di rantau seperti Pulau jawa,
mereka mulai menyesuaikan diri dengan budaya di rantau atau berkamuflase, dengan hidup
di rantau mereka melahirkan budaya Minangkabau yang diaspora.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pembahasan Buku 1
A. Pengertian Sejarah Sastra

Sejarah merupakan topik yang kerap kali kurang populer di kalangan mahasiswa.
Mendengar kata sejarah menjadi momok karena mengandung gagasan bahwa mempelajari
topik tersebut berarti harus menghafal atau mendengar ceramah tentang berbagai peristiwa di
masa lalu. Pemahaman semacam ini perlu diperhatikan oleh para pengajar sejarah agar mata
kuliahnya tidak jatuh menjadi peristiwa menghafal bagi mahasiswa (Erowati dan Bahtiar,
2011: 6).

Sejarah sastra, dengan demikian, merupakan pengetahuan yang mencakup uraian


deskriptif tentang fungsi sastra dalam masyarakat, riwayat para sastrawan, riwayat
pendidikan sastra, sejarah munculnya genre-genre sastra, kritik, perbandingan gaya, dan
perkembangan kesusastraan. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 7).

Fungsi Sejarah Sastra

Melalui sejarah sastra para pengarang dapat melihat jelas dan menghayati karya-karya
pengarang sebelumnya baik sifat-sifat maupun coraknya sehingga dapat menciptakan karya
sastra baru dengan melanjutkan atau menyimpangi konvensi-konvensi karya sebelumnya. Hal
itu sesuai kata A. Teeuw, “bahwa karya sastra selalu merupakan ketegangan antara konvensi
dan pembaharunya”. Pengarang dapat merespon atau menanggapi karya sebelumnya dengan
menciptakan karya-karya yang disesuaikan dengan konteks zaman atau periodenya. (Erowati
dan Bahtiar, 2011: 7).

Kedudukan dan Cakupan Sejarah Sastra

Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra. Ilmu sastra adalah ilmu yang mempelajari tentang
sastra dengan berbagai permasalahannya. Di dalamnya tercakup teori sastra, sejarah sastra,
dan kritik sastra. Ketiga bagian ilmu sastra tersebut saling berkaitan. Teori sastra tidak dapat
dilepaskan dari sejarah sastra dan kritik sastra demikian pula sebaiknya. Sejarah sastra adalah
ilmu yang memperlihatkan perkembangan karya sastra dari waktu ke waktu, para penulis
memilih karyakarya yang menonjol, karya-karya puncak dalam suatu kurun waktu, ciri-ciri
dari setiap kurun waktu perkembangannya, peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar
masalah sastra. Untuk dapat melihat karya sastra yang menonjol dan merupakan karya-karya
puncak kurun waktu tertentu sejarah sastra perlu melibatkan kritik sastra. Sedangkan ciri-ciri
dan sifat karya sastra pada suatu waktu dapat diketahui melalui teori sastra. (Erowati dan
Bahtiar, 2011: 7).

Sejarah sastra suatu daerah mencakup berbagai sastra yang hadir di nusantara seperti
sastra Sunda, Jawa, Bali, Aceh, Lombok, dan Bugis. Sejarah sastra daerah apabila dikaitkan
dengan kebudayaan nasional merupakan unsur kebudayaan yang memperkuat dan
memperkaya kebudayaaan nasional. Ciri yang muncul pada sastra daerah adalah penggunaan
bahasa daerah. Beberapa pengarang Indonesia seperti Ajip Rosidi selain menulis dalam
bahasa Indonesia beberapa karanganya terutama pada awal kepenulisannnya juga
menggunakan bahasa daerahnya, bahasa Sunda. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 8).

Sedangkan cakupan sejarah sastra lainnya ialah sejarah sastra jenis karya sastra meliputi
sejarah perkembangan puisi, novel, drama, esai dan lain-lain. Beberapa penulisan tentang
sejarah sastra berdasarkan jenis karya sastra diantaranya Perkembangan Novel-novel
Indonesia oleh Umar Junus (1974)¸ Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern oleh
Umar Junus (1984), Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia oleh Jacob
Sumardjo (1997), Analisis Struktur Novel Indonesia Modern 1930 – 1939 (1998) oleh Putri
Minerva Mutiara dkk., Analis Struktur Cerita Pendek dalam Majalah 1930 – 1934: Studi
Kasus Majalah Panji Poestaka, Poejangga Baru, dan Moestika Romans (1999) oleh Atisah
dkk, Antologi cerpen periode Awal (2000) oleh Erlis Nur Mujingsih dkk., Antologi Puisi
Indonesia periode Awal (2000) oleh Suyono Suyatno, Cerpencerpen Pujangga Baru (2006)
oleh Maria Josephine Mantik, Kesuastraan Melayu Rendah (2004) oleh Jacob Sumardjo, dan
Novel-novel Indonesia Tradisi Balai Pustaka 1920-1942 (2002) oleh Faruk. (Erowati dan
Bahtiar, 2011: 8).

Pandangan-pandangan dalam Penulisan Sejarah Sastra

Sejarah sastra dapat ditulis berdasarkan berbagai perspektif. Yudiono K.S merujuk artikel
Sapardi Djoko Damono “Beberapa Catatan tentang Penulisan Sejarah Sastra” (tahun 2000),
bahwa penulisan sejarah sastra Indonesia dapat didasarkan pada perkembangan stilistik,
tematik, ketokohan, atau konteks sosial, yang semuanya merupakan sarana menempatkan
sastra sedemikian rupa sehingga memiliki makna bagi masyarakatnya, terkait dengan
berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakatnya. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 9).

Menuliskan sejarah sastra berdasarkan karya-karya yang muncul di koran dan majalah
kesusastraan yang bermunculan sejak lahirnya media ini di zaman kolonial juga dapat
menjadi tantangan lain bagi para pemerhati sastra, baik akademisi maupun non akademisi.
(Erowati dan Bahtiar, 2011: 9).

Problematika Penulisan Sejarah Sastra

Penulisan sejarah sastra sangatlah rumit dan komplek. Hal itu disebabkan karena
batasan atau pengertian sastra Indonesia sangat kabur. Banyak pendapat dari berbagai pakar
beserta argumen-argumennya yang menjelaskan awal dari sastra Indonesia. Hal itu
menyebabkan titik tolak awal perkembangan kesuastraan Indonesia pun berberda pula.
Perbedaan tersebut juga dalam mememandang setiap peristiwa atau persoalan yang kaitannya
dengan kehidupan sastra. Akibatnya sebuah peristiwa dalam pandangan seorang penulis
dianggap penting sehingga harus dimasukkan dalam sejarah kesusastraaan Indonesia. Tetapi
penulis lain dapat beranggapan berbeda sehingga peristiwa tersebut tidak perlu menjadi
catatan dalam Perkembangan Kesusastraan Indonesia. Beberapa peristiwa berkenaan dengan
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan beberapa pengaranngya tidak pernah dibicarakan
ataupun kalau dibicarakan hanya mendapat porsi yang kecil oleh para penulis dan pemerhati
sejarah sastra Indonesia. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 10).

Kesulitan lainnya ialah walaupun usia sastra Indonesia belumlah sepanjang sastra
negara lain tetapi objek karya sangat berlimpah. Penelitian Ersnt Ulrich Kratz mencatat
27.078 judul karya sastra dalam majalah berbahasa Indonesia yang terbit tahun 1922 -1982
(dalam Bibliografi Karya Sastra Indonesia yang terbit di koran dan majalah). Pamusuk Eneste
mencatat dalam Bibliografi Sastra Indonesia terdapat 466 judul buku novel, 348 judul
kumpulan cerpen, 315 judul buku drama, dan 810 judul buku puisi. (Erowati dan Bahtiar,
2011: 10).
Sedangkan A. Teeuw mencatat, selama hampir 50 tahun (1918-1967), Kesusastraan
modern Indonesia asli hanya ada 175 penulis dengan sekitar 400 buah karya. Kalau dihitung
sampai tahun 1979, sebanyak 284 penulis dan 770 buah karya. Hal di atas belum termasuk
karya yang tersebar di koran, majalah, lebih-lebih yang terbit pada masa silam. (Erowati dan
Bahtiar, 2011: 10).

Jakob Sumardjo memberikan gambaran bahwa sejak Merari Siregar menulis Azab
dan Sengsara (1919) sampai 1986 telah dihasilkan 1.335 karya sastra yang berupa kumpulan
cerpen, kumpulan puisi, roman, atau novel, drama, terjemahan sastra asing dan kritik serta
esai sastra. Tercatat juga 237 nama sastrawan yang penting (1970-an). Hampir setengah dari
jumlah sastra kita menulis puisi (49,3%), selanjutnya cerita pendek (47,6%), novel (36%),
esai (23, 2%), drama (18,9%) dan sisanya penerjemah serta kritik sastra. (Erowati dan
Bahtiar, 2011: 10).

Kesulitan lainya ialah objek sastra selain karya sastra yang berupa jenis-jenis (genre)
sastra : puisi, prosa dan drama juga meliputi objek-objek lain yang sangat luas meliputi
pengarang, penerbit, pembaca, pengajaran, apresiasi, esai, dan penelitian. (Erowati dan
Bahtiar, 2011: 10).

Pengertian sastra Indonesia

Beberapa Pendapat Kelahiran Sastra Indonesia

A. Umar Junus

sastra ada sesudah bahasa ada. “ Sastra X baru ada setelah bahasa X ada, yang berarti
bahwa sastra Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada,” (Umar Junus - lahirnya
Kesuastraan Indonesia Modern dalam karangannya majalah Medan Ilmu Pengetahuan
(1960)). Dan karena bahasa Indonesia baru ada tahun 1928 (dengan adanya Sumpah
Pemuda), maka Umar Junus pun berpendapat bahwa “Sastra Indonesia baru ada sejak 28
Oktober 1928”. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 11).

B. Ajip Rosidi

Ajip memang mengakui bahwa sastra tidak mungkin ada tanpa bahasa. Akan tetapi,
sebelum sebuah bahasa diakui secara resmi, tentulah bahasa itu sudah ada sebelumnyua dan
sudah pula dipergunakan orang. Oleh sebab itu, Ajip tidak setuju diresmikannya suatu bahasa
dijadikan patokan lahirnya sebuah sastra (dalam hal ini sastra Indonesia). Di pihak lain, Ajip
berpendapat bahwa kesadaran kebangsaanlah seharusnya dijadikan patokan. Berdasarkan
kebangsaan ini, menetapkan bahwa lahirnya Keusasraan Indonesia Modern adalah tahun
1920/1921 atau 1922. (Pendapat Ajip Rosidi mengenai lahirnya Kesusastraan Indonesia dapat
kita baca dalam bukunya “Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir” yang dimuat dalam
bukunya Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir (1985)).“Pabila buku Azab dan Sengsara
dan Siti Nurbaya dianggap bersesuaian dengan sifat nasional, (hal yang patut kita mengerti
mengingat yang menerbitkannya pun adalah Balai Pustaka, organ pemerintah kolonial),
tidaklah demikian halnya dengan sajak-sajak buah tangan para penyair yang saya sebut tadi.
Sifatnya tegas berbeda dengan dengan umumnya hasil sastra Melayu, baik isi maupun
bentuknya. Puisi lirik bertemakan tanah air dan bangsa yang sedang dijajah adalah hal yang
tidak biasa kita jumpai dalam khazanah kesusastraan Melayu” ( Ajip Rosidi, Kapankah
Kesusasraan Indonesia Lahir).(jakarta: Aji Masagang,1988)hal 6), (Erowati dan Bahtiar,
2011: 12).

Ajip memilih tahun 1922 karena pada tahun itu terbit kumpulan sajak Muhammad
Yamin yang berjudul Tanah Air. Kumpulan sajak ini pun, menurut Ajip, mencerminkan
corak/semangat kebangsaan, yaitu tidak ada/tampak pada pengarang-pengarang sebelumnya.
(Erowati dan Bahtiar, 2011: 12). ).(jakarta: Aji Masagang,1988)hal 6), (Erowati dan Bahtiar,
2011: 12).

C. A. Teeuw

Teuuw pun berpendapat bahwa kesusastraan Indonesia Modern lahir sekitar tahun
1920. Alasan Teeuw adalah :

“Pada ketika itulah para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan
perasaan dan ide yang pada dasarnya berberda dengan perasaan dan ide yang pada dasarnya
berbedea daripada perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat yang
tradisional dan mulai demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya
menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua, baik
lisan maupun tulisan." (A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia 1, (Ende : Nusa Indah, 1980) hal.
15) (Erowati dan Bahtiar, 2011: 13).

Alasan lainnya menurut Teeuw adalah:

“Pada tahun-tahun itulah untuk pertama kali para pemuda menulis puisi baru Indonesia.
Oleh karena itu mereka dilarang memasuki bidang politik, maka mereka mencoba mencari
jalan keluar yang berbentuk sastra baik pemikiran serta perasaan, emosi serta cita-cita baru
yang telah mengalir dalam diri mereka. (Teeuw mengenai lahirnya Kesusastraan Indonesia
Modern dalam bukunya Sastra Baru Indonesia 1 (1980) Ibid. hal. 18). (Erowati dan Bahtiar,
2011: 13).

D. Slamet Mulyana

Beliau melihat dari sudut lahirnya sebuah negara Indonesia adalah sebuah negara di
antara banyak negara di dunia. Bangasa Indonesia merdeka tahun 1945. Pada masa itu
lahirlah negara baru di muka bumi ini yang bebas dari penjahan Belanda, yaitu negara
Republik Indonesia. Secara resmi pula bahasa Indonesia digunakan/diakui sebagai bahasa
nasional, bahkan dikukuhkan dalam UUD 45 sebagai undang-undang dasar negara. Karena
itu Kesusastraan Indonesia baru ada pada masa kemerdekaan setelah mempunyai bahasa yang
resmi sebagai bahasa negara.(Ende :Nusa Inda, 1980)hal 15. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 13).

E. Sarjana Belanda

Hooykass dan Drewes, dua peneliti Belanda menganggap bahwa Sastra Indonesia
merupakan kelanjutan dari Sastra Melayu (Meleise Literatur). Perubahan “Het Maleis”
menjadi “de bahasa Indonesia” hanyalah perubahan nama termasuknya sastranya. Dengan
demikian Kesusastraan Indonesia sudah mulai sejak Kesuastraan Melayu. Karena itu
pengarang Melayu seperti Hamzah Fansuri, Radja Ali Haji, Abdullah bin Abdul Kadir
Munsyi, Nurrudin Ar-Raniri, beserta karya Sastra Melayu seperti Hang Tuah, Sejarah Melayu
Bustanussalatina, Tajussalatina, dan lain-lain adalah bagian dari Kesusastraan Indonesia.
(Ende :Nusa Inda, 1980)hal 15. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 13).

F. Pendapat Lain

Beranggapan bahwa lahirnya kesusastraan Indonesia Modern adalah tahun 1920.


Alasannya : karena pada waktu itu novel Merari Siregar yang berjudul Azab dan Sengsara.
Lepas dari apakah isi novel ini bersifat nasional atau tidak, yang jelas inilah karya penulis
Indonesia yang pertama kali terbit di Indonesia dalam bahasa Indonesia. Selain tokoh dan
setting di Indonesia bentuknya sudah berbeda dengan karya sastra lama sebelumnya. Dengan
kata lain bentuk sudah “modern” dan tidak “lama” lagi, tidak lagi seperti kisah-kisah seputar
istana, legenda atau bentuk-bentuk sastra lama lainnya. Wajarlah kalau masa itu dijadikan
masa lahirnya Kesusastraan Indonesia Modern. (Ende :Nusa Inda, 1980)hal 15. (Erowati dan
Bahtiar, 2011: 13)

Sastra Melayu Tionghoa

Di Indonesia sastra Melayu-Cina tumbuh dan berkembang sebelum muncul sastra


Indonesia modern akhir abad ke-19. Pada kurun awal perkembangannya, terbit karya - karya
terjemahan sastra Cina dan Eropa yang dikerjakan oleh Lie Kim Hok, antara lain : Kapten
Flamberge setebal 560 halaman, Kawanan Bangsat setebal 800 halaman, Pembalasan
Baccarat setebal 960 halaman, Rocambole Binasa, dan Genevieve de Vadans setebal 1.250
halaman. Demikian tebalnya buku-buku itu lantaran diterbitkan secara serial. Ada yang
sampai empat puluh jilid. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 19).

Setelah masa itu, barulah berkembang karya Melayu Cina asli sampai akhir tahun
1942. Secara kuantitatif, menurut perhitungan Claudine Salmon, selama kurun waktu hampir
100 tahun (1870-1960) kesusastraan Melayu-Tionghoa ada 806 penulis dengan 3.005 buah
karya. Bandingkan catatan A. Teeuw, selama hampir 50 tahun (1918-1967), kesusastraan
modern Indonesia asli hanya ada 175 penulis dengan sekitar 400 buah karya. Kalau dihitung
sampai tahun 1979, sebanyak 284 penulis dan 770 buah karya. Setelah merdeka, Pramoedya
Ananta Toer berulang kali menyebut masa perkembangan kesastraan Melayu Tionghoa
sebagai masa asimilasi, masa transisi dari kesusastraan lama ke kesusastraan baru. Tahun
1971, C.W. Watson menyebutnya pendahulu kesusastraan Indonesia modern. Tahun 1977,
John B. Kwee menulis disertasi di Universitas Auckland tentang apa yang disebutnya.
(Erowati dan Bahtiar, 2011: 19).

Bacaan Liar
Perkembangan Kesusastraan Indonesia pada periode awal ditandai dengan produksi
bacaan kaum pergerakan yang sering disebut oleh negara colonial sebagai "Bacaan Liar. Bagi
mereka, bacaan merupakan alat penyampai pesan dari orang-orang atau organisasi-organisasi
pergerakan kepada kaum kromo. Bacaan-bacaan yang ditulis oleh orang bumiputra sendiri
mulai muncul pada awal abad ke-20. "Melayu Pasar" adalah bahasa para pedagang dan kaum
buruh yang tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah dengan pengajaran bahasa Melayu
yang baik.(Erowati dan Bahtiar, 2011: 21).

Kurun 1920-1926 merupakan masa membanjirnya "bacaan liar," saat terbukanya


celah-celah yang relatif "demokratis" bagi pentas pergerakan. Misalnya, pada Kongres IV
tahun 1924 di Batavia, PKI mendirikan Kommissi Batjaan Hoofdbestuur PKI. Komisi ini
berhasil menerbitkan dan menyebarluaskan tulisan-tulisan serta terjemahan-terjemahan
"literatuur socialisme"--istilah ini dipahami oleh orang-orang pergerakan sebagai
bacaanbacaan guna menentang terbitan dan penyebarluasan bacaan-bacaan kaum bermodal.
Semaoen adalah orang yang pertama kali memperkenalkan pengertian "literatuur
socialistisch." Dengan kata lain, di atas pentas politik pergerakan, "literatuur socialisme"
merupakan "hati dan otak" dari gerakan massa. Dengan produksi bacaan tersebut, rakyat
jajahan diperkenalkan dan diajak masuk ke dalam pikiran-pikiran baru yang modern, dan
karena itulah "literatur socilisme" harus ditulis dengan bahasa yang dipahami oleh kaum
kromo. Tulisan lain yang dapat ditemui adalah karya Moesso, Djalan Baroe, yang terbit tahun
1948, yang mencoba mengembalikan gerakan politik seperti tahun 1920-an--di mana
aspirasinya sangat demokratis. Pemahaman "bacaan liar" akan komprehensif, apabila kita
baca karya-karya pemimpin pergerakan, seperti Raden Darsono yang melakukan perang
suara (perang pena) dengan Abdoel Moeis. Serangan Darsono terhadap Abdoel Moeis
berjudul "Moeis telah mendjadi Boedak Setan Oeang." Orang yang pertama kali merintis
perlunya bacaan bagi rakyat Hindia yang tidak terdidik adalah Tirtoadhisoerjo. Ia
memulainya dengan menerbitkan artikel "Boycott" di surat kabar Medan Priyayi. Gaya
penulisan bacaan politik yang dipelopori oleh Tirto kemudian diikuti oleh para pemimpin
pergerakan, umpamanya Mas Marco Kartodikromo dan Tjipto Mangoenkoesoemo, yang
sama-sama perintis jurnalis dan sama-sama kukuh memegang prinsip pergerakan, sekalipun
keduanya berbeda dalam memandang pergerakan. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 23).

Sastra Koran

Perkembangan Kesusastraan Indonesia tidak dapat lepas dari peranan koran atau surat
kabar. Surat kabar mulai menunjukkan peranannya dalam menopang kehidupan sastra dengan
banyak melahirkan penulis-penulis novel dari kalangan wartawan. Ini bahkan dapat dilacak
sejak terbitnya surat kabar pertama yang menggunakan bahasa Melayu dengan tulisan latin,
yakni Surat Kabar Bahasa Melaijoe tahun 1856 dan beberapa surat kabar lain sesudah itu
yang memunculkan penulis-penulis Tionghoa. Penulis-penulis ini kemudian melahirkan
sastra Melayu- Tionghoa, baik berupa karya asli, saduran maupun terjemahan. Dengan surat
kabar dan barang cetakan lainnya kaoem kromo dapat dibentuk kesadaran kolektif untuk
membayangkan masa depan yang mereka hadapi. SI Semarang menerbitkan Sinar Hindia
yang peredarannya mencapai hingga 30.000 eksemplar. Bagaimanapun, mereka juga
memerlukan pemasukan untuk mempertahankan produksi dengan menerima pemasangan
reklame dari berbagai perusahaan, baik produksi yang dihasilkan di Hindia maupun produk
luar negeri. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 28).

Dari Max Havelaar ke Politik Etis

Perkembangan Kesusastraan Indonesia tidak dapat dipisahkan dari masyarakat


Indonesia dalam perkembangan kesadaran sosial dan politik bangsa Indonesia pada awal
abad ke-20. Hal itu diperkuat oleh pendapat Bakrie Siregar : ―Dengan demikian, sastra
Indonesia Indonesia modern dengan lahirnya kesadaranan nasional tersebut, yang tercermin
dalam hasil sastrawan-sastrawan dalam tingkatan dan tarap yang berbeda—sesuai dengan
masa dan lingkungannya sebagai ternyata dalam kritik sosial dan cita-cita politik yang
dikemukakannya, serta alat bahasa yang digunakannya. Berkat buku ini pemerintah Belanda
mengubah sistem tanam paksa menjadi Politik Etis. Politik etis adalah suatu kebijaksanaan
penting yang dicanangkan tahun 1901. Namun semua kebijaksaan politik ini, senantiasa
dijalankan untuk kepentingan negeri induk. Politik Etis dapat dikatakan demi kepentingan
komoditas, dalam pengertian pendidikan sebagai salah satu elemen politik etis tidak
diterapkan untuk seluruh lapisan masyarakat di seluruh Hindia-- pendidikan di Hindia
dilelang mahal. Politik Etis ini merupakan momen dalam suatu critical period ketika rakyat
Hindia memasuki dunia modern dan pemerintah berusaha memajukan rakyat bumiputra dan
sekaligus menjinakkannya. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 32).

Balai Pustaka

Perkembangan Kesuastraan Indonesia Mondern tidak bisa dipisahkan dari keberadaan


Balai Pustaka. Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat atau Commissie voor de
Inlandsche School en Volksectuur yang didirikan pada tahun 1908. Komisi ini dimaksudkan
untuk memerangi «bacaan liar» yang banyak beredar pada awal abad ke-20. Secara sepihak
Belanda menyebutnya sebagai Saudagar kitab yang kurang suci hatinya, penerbit tidak
bertanggung jawab, agitator dan bacaan liar. Pengurusnya terdiri dari enam orang dan
diketuai oleh yang diketuai oleh Dr. G.A.J Hazeu ini, Advizeur voor Inlandshe Zaken. Rinkes
sebelumnya telah aktif sebagai pegawai bahasa di Kantoor voor Inlandsche Zaken. Belanda.
Zaken merupakan institusi yang berusaha mendominasi dan mensubordinasi proses
organisasi sosial dan mengontrol perkembangan masyarakat Hindia Indlandsche Zaken untuk
meneliti bahasa-bahasa masyarakat kolonial. Dari penelitian ini mereka kemudian
menetapkan tata bahasa daerah sesuai dengan pengetahuan mereka. Pengetahuan seorang
ilmuwan bagaimanapun tidak pernah netral, dan dalam konteks kolonial, pengetahuan para
ilmuwan ini harus ditempatkan dalam konteks kolonialisme. Belanda komisi tersebut menjadi
kantor bacaan rakyat atau Balai Pustaka dengan empat bagian di dalammnya : Bagian
Redaksi, Bagian Administrasi, Bagian Perputakaan, dan Bagian Pers. Mengingat didirikan
bertujuan melegitiminasi kekuasan Belanda di Indonesia, Balai Pustaka menerapkan sejumlah
syarat-syarat bagi naskah-naskah yang akan diteritibkan. Berkenaan dengan kebijakan
tersebut, hampir semua novel Balai Pustaka senantiasa memunculkan tokoh mesias atau dewa
penolong yang merupakan tokoh Belanda. Azab dan Sengsara , tokoh Baginda Diatas, kepala
kampung yang terkenal dermawan, tiba-tiba bertindak tidak adil dengan memutuskan
hubungan cinta anaknya, Aminudin dan Mariamin. Maringgi yang busuk dalam segala hal,
mendadak menjadi kepala pemberontak yang menentang perpajakan. Ia kemudian mati di
tangan Samsul Bahri yang sudah menjadi kaki tangan Belanda. Lebih Jelas dalam dalam
Salah Asuhan karya Abdul Muis. Konon dalam naskah aslinya yang dikarang penulis, Corrie
du. Besse adalah perempuan Indo-Belanda yang kemudian mati karena penyakit kelamin.
Perubahan tersebut dilakukan agar tidak merendahkan derajat orang Belanda. Termasuk
roman sejarah Hulubangan Raja (1934) karya Nur Sutan Iskandar yang bersumber disertasiH.
Kroeskamp yang mengangkat peristiwa tahun 1665 – 1668 di Sumatera Barat. (Erowati dan
Bahtiar, 2011: 33).

Pujangga Baru

Berdirinya majalah Pujangga Baru merupakan bukti kebutuhan masyarakat pada


zaman itu akan suatu media publikasi yang menampung dan membahas tentang sastra dan
kebudayaan. Meskipun pembaca Majalah itu tidak banyak, tapi pengaruhnya besar sekali.
Banyak ahli yang menyumbangkan tulisan, di antaranya Prof. Husein Djajadiningrat, Maria
Ulfah Santoso, Amir Sjarifuddin, Mr. Sumanang, dan Poerwadarminta. Sementara itu,
Pedoman Masyarakat cenderung mengangkat persoalan umum (sosial, politik, budaya)
dengan titik berat agama Islam. Dalam perjalanannya, golongan Pujangga Baru berpolemik
dengan kaum tua dalam berbagai hal termasuk diantaranya masalah bahasa dan sastra,
kebudayaan, pendidikan, dan pandangan hidup bermasyarakat. Dalam edisi kedua (Agustus)
tahun itu, munculah artikel Alisjahbana “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang
kemudian mengundang reaksi banyak pihak. Secara ringkas, perdebatan itu berkisar pada
gagasan Alisjahbana yang begitu mengagungkan dan memberi penghargaan tinggi pada
kebudayaan Barat, sebaliknya ia tidak memberi tempat pada kebudayaan Indonesia di masa
lalu. Titik berat pada persoalan kebudayaan dan sosial, makin tampak dalam usia Pujangga
Baru memasuki tahun keempat (Juli 1936). (Erowati dan Bahtiar, 2011: 38).

Periode ini sangatlah singkat tidak banyak karya sastra yang


lahir,tetapi periode ini membawa pengaruh besar terhadap perkembangan
kesustraan Indonesia.

1. Masa Penduduk Jepang


Awal Maret 1942,Jepang mendarat di Jawa.Mulailah pemerintahan Jepang
seolah olah untuk membebaskan Indonesia dari Belanda munculah gerakan 3A
yang menjadi semboyan.Keberhasilan dan kedatangan Jepang untuk Indonesia
meninggalkan kesan dan paling parah ialah tertekan akibat politik Belanda.
Terusirlah Belanda ,Jepang membuat kebijakan,kebijakan tersebut ialah
membubarkan semua organisasi politik dan menggantinya dengan mendirikan
Jawa Hakokai(Pesatuan Kebangkitan Jawa). (Erowati dan Bahtiar, 2011: 47).
Jepang mempunyai tujuan mobilisasi ialah Romusha,yang memperkerjai
petani secara paksa dan diperlakukan kejam untuk kepentingan Jepang
sendiri,membentuk koprs pemuda yang bersifat militer seperti
Sainendan.Tahun 1943,jaman kejatuhan ekonomi perusahan pun oleh Jepang
diganti nama-namanya pula,kehidupan manusia pun pada jaman itu sangat sulit
namun para pengarang jaman itu terus semangat dan berkreatif dalam dunia
kesustraan pengarang pun tumbuh dan berkembang dan patut di catat penting
dalam perjalanan kesusastraan Indonesia. Pada buku Sejarah Sastra Indonesia
karangan Rosida Erowati, M.Hum dan Ahmad Bahtiar, M.Hum menjelaskan bahwa
terdapat lembaga yang berpegaruh besar terhadap kesusastraan ialah Keimin
Bunka Shidosho atau Kantor Pusat Kebudayaan yang didirikan oleh
Pemerintahan pendudukan Jepang untuk memobilisasi potensi seniman budayawan
sebagai pendukung kepentingan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Namun
banyak yang tidak terpikat pada lembaga itu seperti Chairil Anwar, Idrus,
dan Amal Hamzah karena mereka sadar bahwa janji-janji manis itu hanya
tipuan belaka. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 48).

H.B. Jassin mengumpulkan karya zaman pendudukan Jepang yang terdapat di


berbagai surat kabar dalam Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1969) dan
Gema Tanah Air 1 (1992). Karya-karya yang dimuat dalam buku Kesusastraan
Indonesia di masa Jepang mestinya karya yang muncul antara tahun 1942-1945
atau tepatnya karya yang terbit sejak 8 Maret 1942, saat Jepang masuk ke
Indonesia sampai 17 Agustus 1945, saat Indonesia merdeka. Namun Jassin
tidak melakukan hal itu, karena kenyataannya isi yang dimuat dalam buku
tersebut tidak sesuai. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 48).

Sastra Propaganda

Pemerintah Jepang mendirikan sebuah badan bertugas mengurus kegiatan


propaganda Jepang yang diberi nama Sendenbu pada bulan Agustus 1942.
Kemudian mendirikan Barisan Propaganda yang anggotanya terdiri budayawan,
wartawan, dan seniman. Kegiatan yang dilaksanakan Barisan Propganda ini
adalah mendirikan Surat Kabar Indonesia Raya yang berisi empat halaman
yang isinya pesan pemerintah, berita perang, dan iklan kebuayaan. Tulisan
yang dianggap sesuai dengan semangat Jepang dalam kesusastran yaitu artikel
berjudul “Koebudajaan Asia Raya” dan artikel berjudul “Ilmoe Semangat”
karya Sanusi Pane.

Beberapa cerpen bersambung sempat dimuat dalam Indonesia Raya yaitu


“Kartinah”, “Noesa Penida” karya Andjar Asmara dan Rukmini karya E.S.N.
Juga Andjar Asmara menulis artikel tentang hubungan sastra dengan
propaganda Jepang yaitu “Toedjoean dan Kewajiban Sandiwara dalam Zaman
Baroe”. Karim Halim mengarang novel yang berisikan propaganda yaitu
Palawidja dan novel lainnya ialah Anak Tanah Air karya Nur Sutan Iskandar.
Selain novel Palawija, Karim Halim pernah menyadur tonil karangan Henrik
Ibsen berjudul de Kleine Eylof menjadi Djeritan HiSastra yang berpropaganda
adalah sastra yang dikerjakan dengan sadar untuk mengabdi pada kepentingan
tertentu, entah itu kepentingan individu (sastrawan itu sendiri atau orang
lain) atau kepentingan kolektif. Media lain yang digunakan untuk propaganda
ialah Sandiwara dan Film. Untuk memeperbanyak propaganda, Jepang mengadakan
sayembara penulisan cerita baik cerpen maupun naskah sandiwara yang bekerja
sama dengan berbagai harian seperti Jawa Baru dengan meyediakan hadiah
sebesar Rp 50,00. Setelah itu banyak berbagai karya sastra baik puisi,
cerpen, atau pementasan dengan tujuan propaganda oleh H.B. Jassin dikenal
sebagai karya propaganda25 dan dengan beberapa sastrawan memiliki sikap
pentingnya kejujuran dan keiklasan dalam berkarya.doep Baroe. (Erowati dan
Bahtiar, 2011: 49).

Gelanggang Seniman Merdeka

Gelanggang Seniman Merdeka merupakan sebuah perkumpulan seniman yang berdiri di


Jakarta pada tahun 1946. Perkumpulan itu berdiri atas prakarsa tiga serangkai tokoh
Angkatan '45, Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Kata gelanggang yang dipakai
pada awal nama perkumpulan ini berasal dari nama ruang budaya majalah mingguan Siasat,
"Gelanggang". Ketiga tokoh ini memang pengasuh ruang "Gelanggang" tersebut.
"Gelanggang" ini jugalah yang digunakan sebagai ruang gerak para seniman perkumpulan itu
untuk mencetuskan gagasan, ide, dan cita-cita mereka. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 53).

Pada tanggal 19 November 1946 lahirlah preambul Gelanggang. Isinya seolah-olah


menyuarakan era baru dengan menolak semangat Pujangga Baru dan menggantikannya
dengan kesadaran membangun kebudayaan Indonesia atas usaha dan kemampuan sendiri
dengan tidak melupakan peninggalan kekayaan kultural nenek moyang. Puncak kreativitas
mereka ialah diproklamasikannya "Surat Kepercayaan Gelanggang", satupernyataan sikap
yang dijadikan dasar pegangan bagi anggota perkumpulan ini yang konsep awalnya berasal
dari Asrul Sani. Isi lengkap surat pernyataan ini ialah sebagai berikut:

"Surat Kepercayaan Gelanggang"

Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan
dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi
kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dan dapat
dilahirkan. Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang,
rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depanm tapi lebih
banyak oleh apa yang kami utarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami. Kami
tidak akan memberikan suatu kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami
berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil
kebudayaan lama sampai berkilat untuk dibanggakan,tetapi kami memikirkan suatu
penghidupan kebudayaan baru yang sehat.Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan
berbagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara-suara yang dilontarkan kembali dalam
bentuk suara sendiri. Kami akan menantang segala usaha-usaha yang mempersempit dan
menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai. Revolusi bagi kami adalah
penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikianlah kami
berpendapat bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.

Dalam penemuan kami terhadap keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang


yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.

Konsepsi tersebut baru dimuat publikasinya di Majalah Siasat, 23 Oktober 1950. Publikasi
yang muncul setelah sembilan bulan dari tanggal yang terdapat pada konsepsi tersebut
dapat dianggap pemunculan tersebut sebagai reaksi dari publikasi Mukadiman Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada tanggal 17 Agustus 1950. Menurut Maman Mahayana29
ada beberapa alasan munculnya reaksi tersebut. Selain karena perbedaan ideologi atau
pandangannya terhadap kesenian, Gelanggang Seniman Merdeka dengan Humanisem
Universal sedangkan Lekra berpandangan Realisme Sosial. Reaksi tersebut muncul karena
perkembangan Lekra yang sangat luas, terlebih dengan bergabungnya Basuki Resobowo,
Henk Ngantung, dan Rivai Avin yang semuanya termasuk pendiri Gelanggang Seniman
Merdeka. Alasan terakhir ialah pernyataan Lekra yang menyatakan bahwa “rakyat adalah
satu-satunya pencipta kebudayaan”. Hal ini seolah-olah sengaja hendak menafikan
keberadaan Generasi Gelanggang yang terkesan elitis. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 56).

SASTRA INDONESIA PERIODE 1961-1971

Bagian ini menjelaskan periode yang penuh pergolakan dengan banyaknya


pertentangan para sastrawan yang mewakili kepentingan dan golongannya masing-masing. Di
masa pemerintahan Soekarno, perbedaan ideologi yang demikian tajam—nasionalisme,
agama, komunisme—juga berdampak langsung terhadap perkembangan sastra Indonesia,
yakni dengan merasuknya ideologi dalam diri sastrawan maupun dalam karya sastra yang
dihasilkan. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 64).

Manifestasi Kebudayaa

Perubahan pemerintahan dari demokrasi liberal ke demokrasi terpimpin tidak


menjadikan kondisi politik Indonesia makin membaik. Situasi tersebut membuat Lekra
bersikap agresif terhadap lawan-lawan politiknya. Lekra juga melancarkan kampanye
menghabisi penerbit-penerbit independen yang dianggap berseberangan. Setelah Manifes
Kebudayaan dimumkan melalui media massa, pendukung Manifes Kebudayaan muncul di
pelbagai kota. Beberapa dukungan muncul berupa pernyataan masyarakat kebudayaan di
Palembang seperti Badan Pembina Teater Nasional Indonesia, Lembaga Seni Sastra
Palembang. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 64).

Majalah Horison

Kehidupan politik selama tahun 1964, 1965, dan awal tahun 1966 berpengaruh
terhadap kehidupan kesusastraan. Kesusastraan Indonesia kurang menggembirakan . Buku-
buku sastra jarang terbit. Majalah ini merupakan kekuatan baru atau baru dalam kesusastraan
Indonesia. Kreativitas para seniman dan sastrawan yang selama ini terbungkan mendapat
penyaluran dalam majalah ini. Perjalanan selama sepuluh Horison dicatat oleh Jakob
Sumardjo dalam artikel di Kompas 9 Maret 1976. Selama satu dekade tersebut Horison telah
banyak menghasilkan karya-karya yang dianggap penting sehingga majalah ini dipakai tolok
ukur sastrawan Indonesia walaupun tidak mewakili keseluruhan coraknya. Dengan sisipan
Kakilangit itu Horison yang hanya dicetak 3.000 eksemplar, pada tahun 1997 telah melekit
tirasnya menjadi 12.5000 yang sebagian besar memang ditujukan ke sekolah dan pesantren.
(Erowati dan Bahtiar, 2011: 68).

Heboh Sastra

Majalah Sastra sudah terbit pada tahun 1960-an, namun pada zaman Orde
Lama menjadi bulan-bulanan Lekra dan akhirnya terpaksa berhenti pada bulan Maret 1964.
Setelah dibubarkannya Lekra pada November 1967 diterbitkan lagi dengan redaksi Tidak
lama setelah terbitnya cerpen tersebut timbullah protes sekelompok masyarakat Islam di
Sumatera Utara yang menganggap cerpen tersebut menghina Tuhan dan merusak akidah
umat Islam dengan alasan di dalammnya terdapat personifikasi Tuhan dan Nabi Muhammad.
Akibatnya Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melarang beredarnya Sastra edisi Agustus 1968
dan kantor majalah Sastra di Jakarta didemonstrasi sekelompok orang. Cerpen tersebut
mengisahkan perjalanan Nabi Muhamamd yang ingin melihat dari dekat kehidupan mutakhir
di dunia yang semakin sibuk dengan kemaksitan dan intrin-intik politik. Peristiwa yang
dikenal dengan “Heboh Sastra” dimuat dalam buku Pledoi Sastra Kontroversi Cerpen Langit
Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin (2004) Karya Muhidin M. Dahlan dan Mujib
Hermani. Buku tersebut berisi cerpen “Langit Makin Mendung” secara lengkap, (Erowati dan
Bahtiar, 2011: 71).

SASTRA INDONESIA PERIODE 1978-1998

Sastra Populer

Peranan majalah dan surat kabar dalam Kesusastraan Indonesia sangat menonjol. Setelah
terbitnya kembali koran-koran yang dibreidel atau pembatasan pada masa orde lama seperti
Indonesia Raya yang dipimpin Mochtar Lubis dan Merdeka dengan pimpinan B.M Diah
beberapa koran baru mulai terbit di beberapa kota di Indonesia. Hampir semua penerbitan itu
menyediakan rubrik sastra dan budaya setiap minggunya berisi sajak, cerpen, kritik, dan
cerita bersambung. Pada pertengahan tahun 1930-1950 telah bermunculan novel-novel yang
dikemas dalam format yang sederhana dengan kualitas cetak yang murah. Pada tahun 1950
dicetak ulang kembali novel-novel terbitan medan sebelum kemerdekaan dan serial silat
Cina. Perkembangan selanjutnya pada tahun 1960 berupa penerbitan cerita-cerita detektif
yang berpusat di Surabaya dan diterbitkan pula cerita detektif terjemahan, novel saduran, dan
serial western.

Kemudian perkembangan pesat terjadi pada tahun 1970-an maka faktor ekonomi,
sosial, politik menjadi pendukung yang penting dalam perkembangan sastra pada angkatan
ini. Karena pada masa itu factor-faktor tersebut mulai stabil sehingga bermunculan industri-
industri baik media masa maupun penerbitan. Pada masa itu pula menjamurnya majalah-
majalah wanita seperti seperti : Femina, Kartini, Sarinah, dan Dewi yang juga menghadirkan
kolom cerpen. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 73).

Pada masa itu perempuan Indinesia telah memiliki kelas tersendiri dan semakin
banyak yang terpelajar sehingga majalah-majalah yang berkelas dengan salinan cetakan
mencapai ribuan eksemplar. Media-media tersebut banyak melahirkan pengarang perempuan.
Para pengarang tersebut diantaranya La Rose (Wajah-wajah Cinta), Titik W.S. (Sang
Nyonya), Mira W (Cinta tak Pernah Dusta) Ike Supomo (Kabut Sutra Ungu), Maria Sardjono
(Pilihan Terakhir) dan sebagainya. Sementara itu, berkembang juga sejumlah penerbitan baru
seperti Gramedia, Cypress, Gaya Favorit Press, Kartini Grup dan lain-lain. Penerbitan-
penerbitan tersebut gencar memproduksi novel-novel oplah atau tiras yang terbilang
fantastik. Kalau novel sastra “serius” diproduksi dengan tiras sekitar 3.000 eksemplar novel
populer dapat terbit dengan tiras 2-3 kali lipat. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 74).

SASTRA INDONESIA PERIODE 1998 – SEKARANG

Perkembangan teknologi yang pesat menjadikan internet sebagai media ekspresi tanpa
batas tanpa sensor sehingga menjadi ruang bagi penulis-penulis yang tidak tertampung oleh
media tulis seperti koran, majalah, dan penerbitan. Hal itulah yang menyebabkan lahirnya
Sastracyber di Indonesia.Munculnya sastracyber tidak menyingkir sastra-sastra yang muncul
pada media konvensional seperti majalah dan koran. Media penerbitan seperti koran dan
majalah dalam perkembangan kesusastraan telah lama memberi ruang bagi kehidupan sastra
Indonesia. Karya sastra yang senantiasa hadir dalam rubrik di koran atau majalah adalah
cerpen. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 86).

Sastra Cyber

Sebelum munculnya sastra cyber, dunia sastra Indonesia sendiri telah memiliki
beberapa kekhasan yang terkait dengan keberadaan teknologi media. Antara lain sastra
majalah, sastra koran, dan sebagainya. Ketika biaya publikasi semakin mahal,begitu juga
dengan keberadaan sastra koran/majalah dirasa telah membangun hegemoninya sendiri,
internet pun datang. Penggunaan istilah sastra cyber sendiri menyatakan jenis medium yang
dipakai: medium cyber, persis sama halnya dengan istilah sastra koran, sastra majalah, sastra
buku, sastra fotokopian/stensilan, sastra radio, sastra dinding, dan sebagainya. Jadi, semua
tulisan sastra yang dipublikasikan melalui medium cyberdisebut sastra cyber. Dengan
berkembangnya dunia internet berlomba-lomba tidak hanya individu baik yang sudah
ternama maupun yang belum memuat karyanya ke dalam beberapa situs, blog atau milis
sastra.Situs sastra yang menjadi awal sastra cyber di Indonesia adalah Cybersastra.com. Situs
yang dikelola oleh Masyarakat Sastra Internet (MSI) dengan redaktur Nanang Suryadi dan
kawan-kawan, mengawali Cybersastra di Indonesia. Karena masalah teknis situs ini pindah
ke domain lain dan menjadi Cybersastra.net. Setelah itu lembaga-lembaga terutama yang
bergerak dalam bidang kesenian seperti Yayasan Lontar dengan www.lontar.org. Yayasan
lain yang memiliki situs seperti itu ialah Yayasan Taraju, KSI, Akubaca, Aksara, dan Aikon.
Diskusi-diskusi sastra yang dilakukan para sastrawan dan penikmat sastra biasa dilakukan di
milis seperti penyair@e.groups.com, puisikita@e.groups.com , gedong-puisi@e.groups.com
dan milis-milis sastra yang lain. Berikut adalah puisi-puisi yang bisa kita lewat milismilis
tersebut, Menyapa Narcissus Kulayakang sepotong papirus ke kamarmu Sebelum kita
terlanjur menata kenangan yang bakal pucat Adakah papan nama diujung jalanmu, atau
mungkin ke Alengka Atau kesia-siaan lebih bearti bagimu? Kulayangkan sepotong papirus ke
hatimu,Dan kau boleh menutup pintu. . (Erowati dan Bahtiar, 2011: 88).

Sejumlah nama cerpenis lain yang kelak menjadi sastrawan penting Indonesia, dapat
disebutkan beberapa di antaranya: Teguh Winarsho (Bidadari BersayapBelati, 2002), Hudan
Hidayat (Orang Sakit, 2001; Keluarga Gila, 2003) Maroeli Simbolon (Bara Negeri Dongeng,
2002; Cinta Tai Kucing, 2003), Satmoko Budi Santoso (Jangan Membunuh di Hari Sabtu,
2003), Mustofa W Hasyim (Api Meliuk di Atas Batu Apung, 2004), Kurnia Effendi (Senapan
Cinta, 2004; Bercinta di Bawah Bulan, 2004), Moh. Wan Anwar (Sepasang Maut, 2004),
Yusrizal KW (Kembali ke Pangkal Jalan, 2004), Isbedy Stiawan (Perempuan Sunyi, 2004;
Dawai Kembali Berdenting, 2004), Triyanto Triwikromo (Anak-Anak Mengasah Pisau,
2003), Damhuri Muhammad (Laras, Tubuhku bukan Milikku, 2005). Keseluruhan antologi
itu menunujukkan kekuatan narasi yang lancar mengalir dan kedalaman tema yang
diangkatnya. Dalam lima tahun ke depan, mereka akan ikut menentukan perkembangan sastra
Indonesia. (Erowati dan Bahtiar, 2011: 92).
PEMBAHASAN BUKU 2

MENYISIR BEBERAPA CATATAN SEJARAH SASTRA

( Chief Editor FERDINAL)

BAB 1

Sejarah Perkembangan Karya Sastra Anak Roald Dahl

Oleh Alfa Gebi Timora

Selama 48 tahun karir menulisnya Dahl mengalami banyak kesulitan dan perjuangan
yang sulit untuk mendapatkan gelar sebagai No 1Storyteller in the World. Hal ini diawali
dengan ide yang muncul dari pesawatnya hingga terjadinya transformasi dari cerita dewasa
menjadi anak – anak. Dalam penciptaan karya sastra anak ini Dahl pun mendapatkan ide
cerita dari orang –orang terdekatnya. Genre dari karya Dahl adalah romance untuk cerita
pendek, sedangkan untuk novel, genre yang mendominasi adalah fantasy, Dark fantasy yang
mengandung humor sehingga orang dewasa pun lupa akan adanya isu yang berbahaya di
dalam cerita dan petualangan yang bisa membuat anak kecil terbuai di dalam cerita. Semasa
hidupnya Dahl telah menciptakan tujuh belas karya sastra anak.( Ferdinal:2020:15)

Bab 2

Perkembangan Pendidikan Karakter Di Jepang: Zaman Edo - Zaman Showa

Oleh Aminah Hasibuan

Berdasarkan karya sastra Jepang pada zaman Edo,yaitu The Swordless Samurai karya
Kitami Masao,Tokaido Inn: Mimpi Samurai, Pencurian Rubi, dan Siasat Kabuki karya
Dorothy dan Thomas Hoobler, dan film Seven Samurai karya Akira Aurosawa terlihat bahwa
masyarakat Jepang diajarkan semangat bushido sebagai awal karakter Jepang oleh samurai
sehingga menjadikan masyarakat Jepang memiliki karakter kerja keras, berani,bertanggung
jawab , disiplin, tegas, dan setia.

Setelah berakhirnya zaman Edo, karya sastra di Jepang pada zaman Meiji dan zaman
Taisho masih menceritakan semangat bushido sebagai karakter Jepang.Karya sastra pada
awal zaman Showa, yaitu novel Nijuushi No Hitomi karya Sakae Tsuboi, memperlihatkan
bahwa pendidikan karakter diajarkan di sekolah oleh guru.Pendidikan karakter pada novel ini
yaitu: kemandirian,kerja keras, disiplin, tanggung jawab, peduli lingkungan,saling tolong
menolong, dan bersahabat yang diajarkan ibuguru Oishi kepada dua belas anak didiknya.
Masih zaman Showa pada karya sastra dalam novel Totto-Chan karya Tetsuko Kuroyanagi
menceritakan bahwa pendidikan karakter tidak hanya diajarkan di sekolah, tetapi
dimasyarakat dan di lingkungan keluarga juga bisa diajarkan pendidikan karakter. Disinilah
peran guru, orangtua, dan masyarakat membentuk karakter anak yang baik dalam
kesehariannya dan ditanamkan sampai mereka tua.

Dari karya sastra diatas, terlihat perkembangan pendidikan karakter melalui karya
sastra dari zaman Edo sampai zaman Showa, yang awalnya diajarkan samurai dengan
semangat bushido sebagai karakter awal orang Jepang hingga guru, orangtua dan masyarakat
pun ikut andil dalam membentuk pendidikan karakter pada anak di Jepang.
( Ferdinal:2020:32)

BAB 3

Perkembangan Ecocriticism Berdasarkan Revolusi Industri

Oleh Fando Anata Aldo


Puisi-puisi romantis adalah ekspresi dari kehidupan manusia sebagai hasil dari
pemisahan manusia terhadap alam (Peek & Coyle, 1984). Bate (1991) mengatakan bahwa
romanticism adalah ‗The first ecologist‘ yang melawan ‗the ideology of
capital‘.Karakteristik dari pergerakan ini yaitu kebebasan berekspresi dalam karya seni.
Kritik sastra membangun hubungan antara budaya dan alam. Dalam The Ecocriticism Reader
(1996), Glotfelty dan Fromm mengungkapkan tiga fase ekokritik. Fase pertama yaitu
gambaran dari alam, fase ini memperlihatkan karya sastra yang menampilkan bagaimana
alam diperlakukan oleh manusia.

Teori-teori ekokritik sudah muncul di tahun 1990-an sebagai bentuk kritik terhadap
perlakuan manusia terhadap alam yang sudah tidak terkontrol. Pada zaman ini kapitalis sudah
mendominasi setiap sendi kehidupan dan budaya. Hal ini terlihat dalam puisi ―For a coming
extinction‖ (1967) oleh William Stanley Merwin. Menurut Megan E. Marrero dan Stuart
Thornton dalam National Geographic (2011) gray whale adalah binatang yang mempunyai
ukuran tubuh yang besar yang menggiurkan para pemburu. Mereka tidak memperdulikan
keberlangsungan hidup binatang tersebut, Terjadinya banyak kelangkaan sumber daya alam
di awal abad ke-19 memunculkan berbagai kritik terhadap budaya. Terjadinya banyak
kelangkaan sumber daya alam di awal abad ke-19 memunculkan berbagai kritik terhadap
budaya. Pada periode ini manusia sudah seperti penguasa dari kehidupan. Hal ini yang
melahirkan ecocriticism yaitu kritik yang mengembalikan peran alam sebagai pusat dari
kehidupan bahkan manusia merupakan bagian dari alam, bukan menguasai alam.

Pada revolusi industri 3.0 manusia tidak lagimempunyai peran terpenting. Pada masa
ini eksploitasi terhadap alam semakin meningkat drastis, hal ini terjadi karena komputer dan
robot mampu menciptakan hasil produksi lebih cepat daripada cara manual. Pada masa ini
ecocriticism sudah mulai muncul ke permukaan. Puisi – puisi pada zaman ini mengkritik
kinerja mesin yang tidak ada berhentinya dalam mengeksploitasi alam. Seperti dalam puisi
―How Great the Garden When They Thrive‖ (HGWTT) oleh Camille T. Dungy (2017):
Yellow as zucchini flowers. Puisi tersebut mengungkapkan bahwa eksploitasi alam dilakukan
tanpa henti karena sudah didukung oleh mesin yang sudah distandarkan dan mampu
melakukan pekerjaan tanpa perlu istirahat seperti manusia. manusia mempunyai kontrol
terhadap banyak hal hanya dari satu tempat saja tanpa perlu berpindah-pindah. Isu ini juga
dibahas dalam puisi ―Characteristic of Life‖ (COL) oleh Camille T. Dungy (2017): Di
zaman ini manusia hanya menjadi operator dalam melakukan berbagai hal dari satu tempat
saja. Dengan kata lain, manusia mempunyai kontrol terhadap banyak hal hanya dari satu
tempat saja tanpa perlu berpindah-pindah. Isu ini juga dibahas dalam puisi ―Characteristic
of Life‖ (COL) oleh Camille T. Dungy (2017): Pada Revolusi Industri 4.0 mungkin nantinya
akan muncul berbagai karya sastra yang mengkritik zaman ini. Ecocriticism akan tetap
berperan dalam menjaga stabilitas alam akibat ulah manusia.( Ferdinal:2020:43)

BAB 4
Iskandar Zulkarnain Dalam Tambo Alam Minangkabau

Oleh Hendro

Sejarah merupakan fondasi dari suatu peradaban untuk berangkat kepada masa kini.
Salah satu bentuk karya masa lampau yang masih berpengaruh dan prakteknya masih
dilakukan saat ini adalah Tambo. Tambo diyakini sebagai sumber sejarah peninggalan orang-
orang tua zaman dahulu. Sementara Tambo tidak mengutamakan penanggalan akan tetapi
lebih mengutamakan peristiwa, karena pernah terjadi. Dalam kesusastraan Indonesia lama,
Iskandar Zulkarnain merupakan tokoh historis dan legendaris yang sudah terkenal di dunia,
terutama di Asia dan Eropa.

Dalam kesusastraan Indonesia lama, Iskandar Zulkarnain merupakan tokoh historis


dan legendaris yang sudah terkenal di dunia, terutama di Asia dan Eropa. Hal ini dapat dilihat
dari teks-teks yang membahas tentang Zulkarnain diantaranya, Datuak Sangguno dirajo tahun
1919 berjudul Tjurai Paparan Adat Lembaga Alam Minangkabau, Diterbitkan kembali oleh
Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta, Mustiko Adat Alam Minangkabau yang juga ditulis oleh Dirajo.
Diterbitkan pada tahun 1953 oleh Penerbit Balai Pustaka, dll.

Dari beberapa Tambo Alam Minangkabau tersebut semuanya terdapat cerita tentang
Iskandar Zulkarnain. Berdasarkan analisis terhadap Tambo sejarah Iskandar Zulkarnain,
dapat ditarik kesimpulan bahwa Iskandar Zulkarnain merupakan tokoh yang menyejarah.
Selain menyejarah Iskandar Zulkarnain merupakan asal-usul nenek moyang. Dapat ditarik
kesimpulan bahwasanya cerita sejarah yang terdapat dalam karya sastra baik lisan maupun
tulisan berfungsi untuk mengagungkan dan memuliakan bangsa mereka sendiri. Mereka
berasal dari keturunan terhormat yang akan menentukan posisi di hadapan masyarakat
lainnya

Dalam masyarakat Minangkabau, Iskandar Zulkarnain merupakan tokoh idaman.


Iskandar yang biasa disebut bersama-sama gelarnya Zulkarnain, dipandang sebagai tokoh
agung nan perkasa, pemberani, berjiwa besar,dan cendikiawan. Dialah tokoh istimewa yang
diakui telah menurunkan raja-raja Melayu terutama Minangkabau.Sampai saat ini gema
kebesarannya masih saja terdengar dalam citra sebagai tokoh nenek moyang yang
dibanggakan.Menurut Rangkuti dalam Chamamah (1991), Iskandar Zulkarnain merupakan
penyebar agama Islam yang dijadikan teladan. Bahkan namanya juga tercantum dalam kitab
suci umat Islam tersebut.

Eksistensi Iskandar Zulkarnain dalam kehidupan masyarakat Minangkabau sangat


terasa sekali. Hal ini dapat dilihat dari teks-teks yang membahas tentang Zulkarnain Datuak
Sangguno dirajo tahun 1919 berjudul Tjurai Paparan Adat Lembaga Alam Minangkabau.

Diterbitkan kembali oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Jakarta.Mustiko Adat Alam Minangkabau yang
juga ditulis oleh Dirajo. Diterbitkan pada tahun 1953 oleh Penerbit Balai Pustaka. Batuah dan
Madjoindo menerbitkan buku yang berjudul Tambo Minangkabau pada tahun 1956.Datuak
Batuah Sango pada tahun 1959 berjudul Tambo Alam Minangkabau cetakan IV.
Diterbitkanoleh Limbago Payakumbuh.

Basa pada tahun 1966 juga menerbitkan Tambo berjudul Tambo dan Silislah Adat
Alam Minangkabau.

Dari kelima Tambo Alam Minangkabau tersebut semuanya terdapat cerita tentang
Iskandar Zulkarnain.Dilihat dari aspek fungsi tematik sejarah Iskandar Zulkarnain
memberikan bukti genealogis, seperti penceritaan sejarah menjadi sumber inspirasi dan
menjadi kebanggaan bagi keturunan selanjutnya.

Berens (2010) mengatakan bahwa dewa pertama Yunani Kuno yaitu Uranus dan Ge.
Begitu juga dengan sejarah di bagian Timur yang paling terkenal yaitu sejarah tentang asal-
usul bangsa Jepang. Bangsa Jepang berasal dari dewa Izanami dan Izanagi (Kaskus).

Roland Barthes (2006) mengatakan bahwa segala sesuatu dapat menjadi mitos,
asalkan disampaikan lewat sebuah wacana (discourse) dan mitos merupakan sesuatu sistim
komunikasi. Mitos adalah sebuah tipe pembicaraan (a type of speech), dan mitos merupakan
suatu bentuk (a form).

Dengan demikian, segala hal dapat menjadi mitos bila dituturkan, dikatakan, dan
digunakan secara sosial. Barthes menunjukkan bahwa manusia melambangkan cerita sejarah,
yang dimitoskan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena yang tidak tampak
sehingga sejarah itu mengandung pesan, walaupun pesan tersebut adakalanya sulit diterima
akal, karena pada mulanya berawal dari cerita legenda-legenda itu terbentuk secara tidak
rasional.

Yunani Kuno dan Jepang, dalam sejarah Minangkabau, Genealogi raja-raja


Minangkabau dihubungkan dengan silsilah Iskandar Zulkarnain. Bagi masyarakat
Minangkabau, menurut Chamamah (1991), Iskandar Zulkarnain digambarkan 51 sebagai
tokoh Raja Islam. Berens (2000) mengatakan bahwa bangsa barat dengan Yunani Kuno nya
menganggap bahwa mereka berasal dari keturunan Dewa Uranus (Langit) dan Dewa Gea
(Bumi). Sementara itu bangsa Jepang merupakan keturunan Dewa Izanami dan Dewa Izanagi
(kaskus.co.id)

Mereka berbangga dengan asal-usul nenek moyang mereka. Tetapi terdapat perbedaan
yang mendasar dalam sejarah asal-usul nenek moyang orang Minangkabau, dimana
perbedaan latar belakang dan pandangan hidup berupa agama sangat mempengaruhi. Suatu
kejadian yang bersifat kemanusiaan dipilih dan ditentukan menjadi isi cerita sejarah apabila
kejadian itu menggambarkan perjuangan manusia kearah kehidupan yang lebih sempurna.
Selain itu, juga jika kejadian, peristiwa, riwayat hidup seorang manusia itu merupakan bagian
penting dari perjuangan suatu Negara, kota, daerah, desa, atau lingkungan kehidupan
kenegaraan (Ali, 2005).

Berdasarkan analisis terhadap Tambo sejarah Iskandar Zulkarnain, dapat ditarik


kesimpulan bahwa Iskandar Zulkarnain merupakan tokoh yang menyejarah. Selain
menyejarah Iskandar Zulkarnain merupakan asal-usul nenek moyang. Dapat ditarik
kesimpulan bahwasanya cerita sejarah yang terdapat dalam karya sastra baik lisan maupun
tulisan berfungsi untuk mengagungkan dan memuliakan bangsa mereka sendiri. Mereka
berasal dari keturunan terhormat yang akan menentukan posisi di hadapan masyarakat
lainnya.( Ferdinal:2020:51)

BAB 5

Novel Max Havelaar: Membinasakan Kolonialisme

Oleh Listi Mora Rangkuti

A.Kolonialisme dan Tanam Paksa

Abad ke-18 Belanda memasuki Indonesia dengan tiga tujuan yaitu gold,glory,dan
gospel belanda juga mengencarkan upaya divide and rule.Kemudian tahun 1830 Jendral
Johannes van den Bosch mewajibkan desa menyisihkan tanah 20% untuk bertanam dan
hasilnya di jual kekolonial Belanda.

Penduduk desa bekerja dengan cara tanam paksa cara ini kejam untuk kalangan
pribumi didaerah Lebak Banten yang membuat para Kolonial Belanda pada tahun 1835-1940
masa keemasan.

Robert van Niel dalam Anne Both (1998:188) pun menjelaskan bahwa sistem tanam
paksa telah menghancurkan desa-desa di Jawa dan Teori inovulasi pertanian Clifford
Geertzyang menjelaskan proses kemiskinan struktural di Jawa tampak
relevansinya.Pertambahan penduduk Jawa,berkurangnnya lahan pertanian dan peluasan
perkebunan Eropa menjadi penyebab kemiskinan di Jawa(Kurniawan2014:171).

Namun dibalik kejamnya Bangsa Kolonial Belanda ada efek posistifnya bagi pribumi
yaitu lahirnya sistem administrasi pemrintah yang lebih baik,tanam paksa memperkenalkan
teknologi baru,terutama dalam pengenalan bibit-bibit tanaman perdagangan seperti
tebu,indigo,dan tembakau berserta cara tanamnya.

Dan lahirlah kerja rodi kehidupan semakin sengsara,pribumi di jadikan budak Oleh
Kolonial Belanda. Melihat kondisi tersebut munculah penolakan di antaranya adalah :

Golongan Pengusaha

Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha,bahwa tanam paksa tidak sesuai


dengan ekonomi liberal.

Isaac Dignus Fransen van der Putte

Menteri Urusan Tanah Jajahan diturunkan jabatannya karena dianggap menentang


sistem tanam paksa (Breman, 2014:3)
Eduard Douwes Dekker

Eduard Douwes Dekker adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten
Residen Lebak (Banten) dengan nama pena Multatuli. Dalam bukunya yang berjudul Max
Havelaar, menuliskan tentang penderitaan masyarakat Lebak, Banten Selatan.

Eduard Douwes Dekker dikenal sebagai pihak yang menentang tanam paksa yang
dilakukan penjajah Belanda di Indonesia.Dan disuarakan dalam novel tema tanam paksa
dengan nama pena Multitatuli.

A.Eduard Douwes Dekker dengan Nama Pena Multatuli

Nama Multatuli diambil dari bahasa Latin yang berarti “banyak yang sudah aku
derita”. Eduard Douwes Dekker lahir di Amsterdam pada 2 Maret 1820 dari seorang ayah
kapten kapal besar juga keluarga berpendidikan.

Pada tahun 1839 Eduard Douwes Dekker tiba di Batavia. Bekerja sebagai kelasi di
kapal ayahnya. Kemudian bekerja sebagai pegawai negeri (ambtenaar) di Kantor Pengawasan
Keuangan Batavia. Tiga tahun kemudian bekerja sebagai seorang kontroler.

Eduard Douwes Dekker mendapatkan tugas baru di Lebak, Banten. Eduard mendapati
kondisi masyarakat pribumi yang dijadikan sebagai buruh paksa untuk memenuhi kehidupan
Bupati Lebak yang hidupnya berfoya-foya. Eduard mengirimkan surat kepada atasan
residennya dengan penuh emosi. Akhirnya, Eduard Douwes Dekker mengundurkan diri dari
pekerjaannya karena bentrok dengan atasannya.

B.Novel Max Havelaar Karya Multatuli

Pada tahun 1875, membuat sebuah karya berjudul Max Havelaar dengan nama
samaran “Multatuli”. Karya tersebut menjadi motivasi bagi sastrawan Indonesia sehingga
menumbuhkan semangat kebangsaan.

Karya Multatuli berjudul Max Havelaar of de Koffiveilingen der Nederlandsche


Handel maatschappy menggambarkan tseorang tokoh utama yang bersikap idealis dan sangat
menentang kekuasaan feodalisme yang selalu menyiksa rakyat jelata.

C.Sinopsis Novel Multatuli dengan Judul Max Havelaar

Karya fenomenal yang berjudul Max Havelaar berisi tentang kisah seorang tokoh
yang sangat kumuh dan selalu memakai syal, dia disebut dengan Sjaalman. Pada suatu
kesempatan, Sjaalman bertemu dengan teman lamanya bernama Batavus Droogstoppel
seorang Makelar Kopi yang kaya raya di Amsterdam ( ferdinal : 2020 ) .

Batavus mengetahui bahwa Sjaalman memiliki banyak sekali tulisan yang bertema
tentang kopi. Pada beberapa naskah tentang kopi tersebut, Batavus menemukan cerita tentang
“kekejaman” yang dialami oleh sebuah bangsa karena penerapan sistem tanam paksa yang
dilakukan oleh Tentara Belanda. Masyarakat pribumi yang menjadi wilayah jajahan tersebut
hidup dengan penuh penindasan, kelaparan, kesengsaraan, dan kemiskinan. Banyak petinggi
Belanda yang menganggap bahwa karya sastra yang ditulis oleh Multatuli tersebut
merupakan rekayasa dengan isi cerita yang dilebih-lebihkan.

Multatuli tetap bertahan dengan fakta-fakta sejarah yang dijadikannya sebagai tema
cerita di dalam novel Max Havelaar. Multatuli sangat menentang kekejaman yang dilakukan
oleh bangsanya sendiri terhadap kaum pribumi. Oleh karena itu, Multatuli siap menghadapi
bangsanya sendiri yang tidak menerima karyanya tersebut. Ternyata, kebijakan-kebijakan
yang sudah disepakati bersama disalahgunakan oleh Belanda. ( Ferdinal:2020:67)

Irigasi yang dibangun hanya menguntungkan perkebunan- perkebunan milik Belanda.


Para kaum bangsawan yang bersekolah tersebut dijadikan sebagai pegawai-pegawai di
perkantoran milik Belanda. Sejarah dari berbagai bangsa banyak memberikan contoh bahwa
jika penguasa membuat masyarakat kacau dengan kebijakan yang dibuatnya, itu pertanda
bahwa lambat laun sang penguasa akan tersingkir dengan pemberontakan- pemberontakan
masyarakat. Selanjutnya Pramoedya Ananta Toer menuliskan bahwa dirinya yang
menganggap Multatuli sebagai bapak spirit kebangkitan nasionalisme, menilai novel Max
Havelaar sebagai novel yang memperlihatkan sisi kemanusiaannya (Ubaidillah: 2016).

BAB 6

Sejarah Konflik GAM di Aceh Pada Novel Tanah Surga Merah Karya Arafat
Nur

Oleh Resti Suci R

Sejarah memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Sejarah tidak hanya
membaca dan mempelajari masa silam, tetapi lebih daripada itu juga mempelajari sejarah
adalah tentang belajar mengambil hikmah dari setiap peristiwa pada masa lampau. Hal-hal
positif yang terjadi pada masa lampau dapat kita ambil manfaatnya diterapkan pada saat
sekarang dan pada masa yang akan datang. Sedangkan hal-hal yang bersifat negatif yang
terjadi pada masa lampau, dapat dijadikan sebagai pelajaran agar tidak terulang lagi pada saat
sekarang dan pada masa yang akan datang. Keinginan GAM untuk merdeka dari Indonesia
merupakan rasa kekecewaan yang mendalam atas hal yang di lakukan pemerintah Indonesia.
Karena pada saat itu, Soeharto menerapkan pembangunan yang berpondasi pada
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik, yang mengakibatkan adanya perubahan di dalam
sistem tatanan politik dan ekonomi di wilayah Aceh. Kekayaan alam Aceh yang melimpah
dieksploitasi demi kemajuan ekonomi Indonesia, sehingga mengakibatkan adanya
ketidakmerataan pembangunan antara pusat dan daerah. Inilah yang menjadi alasan lahirnya
separatis dari sekelompok masyarakat Aceh yang menamakan dirinya GAM di bawah
kepemimpinan Hasan di Tiro pada 1977 (Pane, 2001). Tidak lama setelah “deklarasi
kemerdekaan” tersebut, kekuatan bersenjata GAM mulai menyerang pasukan pemerintah
Indonesia. Serangan tersebut dibalas dengan operasi penumpasan pemberontakan oleh
pemerintah Indonesia. Pada 1983, kekuatan GAM sudah dikalahkan dilapangan oleh
pemerintah Indonesia dan Hasan di Tiro sebagai pemimpin GAM melarikan diri ke Swedia.
Namun pada dekade 1980-an, kekuatan GAM menguat kembali, merasionalisasi status
politiknya dan memperkuat sayap militernya untuk menjaga stabilitas nasional, pemerintah
Indonesia merespon sikap pemberontakan tersebut dengan melakukan operasi militer skala
besar. Maka dari itu pemerintah Indonesia mengambil langkah tegas dengan cara menerapkan
status Daerah Operasi

Militer (DOM) di Aceh dalam rangka menumpas GAM. Namun pemberlakuan status
DOM belum juga berhasil menumpas GAM. Masalah ini terus menerus berlarut membuat
terganggunya stabilitas nasional Indonesia. Segala upaya yang di lakukan pemerintah
Indonesia selalu gagal menumpas GAM. Kegagalan pemerintah dalam mengatasi konflik
separatis GAM telah mendorong negara-negara lain seperti, Swedia dan Tanah Surga Merah
Karya Arafat Nur menggambarkan dinamika politik internal dan eksternal yang dihadapi
GAM dalam proses perubahan ini adalah suatu bentuk pembelajaran dalam sebuah kerangka
besar yang bernama demokrasi. GAM sedang memasuki masa transisi dari organisasi yang
sentralistis dan komando menjadi sebuah organisasi yang mencoba menerapkan kaidah
demokrasi yang tentu saja membawa segala macam konsekuensi. Sebelum kesepakatan
Helsinki, keputusan organisatoris diambil secara terpusat sehingga ketika kran demokrasi
dibuka dan ketidaksiapan perangkat serta kalangan personel menyikapi adanya perubahan
lingkungan yang drastis menyebabkan adanya “guncangan” dalam internal GAM. Secara
sederhana, apa yang dilakukan GAM dalam sektor ekonomi memiliki kemajuan yang
signifikan dibandingkan saat sebelum penandatangan MoU Helsinki. Dalam keadaan damai
saat ini, beberapa kelompok anggota GAM dapat mendirikan usaha secara bebas tanpa takut
di bawah tekanan pihak TNI ataupun Polri seperti saat masa Darurat Militer. Hal itu partai
GAM berpengaruh terjadinya peristiwa konflik yang ada di Aceh sampai sekarang ini.
( Ferdinal:2020:83)

BAB 7

KONSTRUKSI UKURAN TUBUH IDEAL DALAM SASTRA REMAJA


AMERIKA

OLEH RESTY MAULIDINA SEPTIANI

Munculnya istilah sastra (fiksi) remaja (Young-Adult Fiction/Novel) berawal dari


penolakan beberapa karyasastra dalam ranah sastra dewasa karena terlalu kekanak- kanakan
atau terlalu dewasa dalam ranah sastra anak. Sebagai contoh, karya The Chocolate War yang
tidak dapat diklasifikasikan sebagai karya sastra dewasa karena karya ini membahas tindakan
pembully-an remaja sehingga lebih menarik minat pembaca remaja.

Sastra remaja dapat didefinisikan sebagai karya sastra yang dibaca oleh remaja
rentang umur 12-25 tahun, bukan karya sastra yang ditulis oleh remaja. Segala karya sastra
yang membahas persoalan remaja sehingga menarik pembaca remaja, baik yang ditulis oleh
penulis remaja

maupun dewasa, dapat dikategorikan sebagai sastra remaja. Sastra remaja di Amerika
mengandung pembentukan konstruksi sosial ukuran tubuh besar sebagai suatu ketidakidealan
yang berdampak negatif melalui tokoh utama remajanya dan permasalahan sosial sebagai
dampak negatif akan ketidakidealan tersebut. Sejak tahun 1960-an, penulis sastra remaja
telah mengangkat isu-isu sosial di kalangan remaja seperti kelainan pola makan ataupun

konstruksi sosial ukuran tubuh ideal/non-ideal.

1. Ukuran Tubuh Besar sebagai Suatu yang Tidak Ideal yang Berdampak Negatif

Sejumlah sumber mencatat bahwa sastra remaja Amerika sejak tahun 1960-an
menunjukkan pembangunan konstruksi sosial bahwa ukuran tubuh besar merupakan suatu
yang tidak ideal atau tidak normal. Ketidakidealan ini berawal dari penggunaan kata fat
(gemuk), overweight (terlalu gemuk), obese (sangat gemuk) atau plus-size (ukuran besar)
yang dibangun seolah-olah sebagai suatu hal tidak normal dan sangat negatif. Tokoh-tokoh
utama remaja wanita digambarkan sebagai individu yang bertubuh besar berkonotasi suatu
tidak ideal dan negatif.

Ukuran Tubuh Besar sebagai Permasalahan Sosial

yang Berdampak Representasi Ketidakidealan Tubuh Permasalahan-permasalahan


sosial yang dihadapitokoh remaja pada karya sastra remaja Amerika digambarkan sebagai
dampak negatif dari ukuran tubuh yang tidak ideal dari tokoh protagonis remaja tersebut.
( Ferdinal:2020:92)

BAB 8

Penggambaran Penderitaan Yang Terjadi Saat Perang

Dunia Kedua Dalam Novel-Novel Sastra Amerika Kontemporer

Oleh Ridho Pratama Satria


Penggambaran penderitaan yang terjadi saat perang dunia kedua dalam novel-novel
sastra Amerika kontemporer yang terbit pada 1960 sampai 1970.

Dalam novel-novel sastra Amerika kontemporer yang terbit pada kurun waktu ini,
penggambaran penderitaan berpusat pada penderitaan tentara-tentara yang berperang selama
perang dunia kedua berlangsung terutama penderitaan yang dialami tentara-tentara Amerika
(Blaskiewicz, 2011). Dalam penggambarannya, penderitaan tentara-tentara Amerika yang
paling kentara adalah beban mental yang mereka alami. Ini terjadi karena mereka
mengemban beban mental yang sangat berat yang mengharuskan mereka untuk mengalahkan
musuh sedangkan persiapan yang mereka miliki minim, mereka juga harus menyaksikan
begitu banyak adegan-adegan mengerikan selama berada di medan perang.

Novel Kurt Vonnegut yang berjudul Slaughterhouse-Five (1969) juga turut


menggambarkan bagaimana seorang tentara Amerika bernama Billy Pilgrim mengalami
trauma berat karena saat sedang bertempur dalam perang dunia kedua, ia tertangkap dan
menjadi tahanan perang. Penderitaan ini berupa nervous breakdown yang masih ia alami
walau ia sudah dibebaskan dan dipulangkan ke Amerika. Seperti Bead, ia pun berusaha
mengakhiri penderitaan itu. Dalam artikelnya yang berjudul So it goes: A Postmodernist
reading of Kurt Vonnegut’s Slaughterhouse-Five (2014), Fatma berpendapat setelah Billy
bebas, cerita yang ada menggambarkan bagaimana Billy berusaha untuk melakukan pelarian
dari ingatan dan trauma yang ia derita saat masih menjadi tahan perang.

2.2. Penggambaran penderitaan yang terjadi saat perang dunia kedua dalam novel-
novel sastra Amerika kontemporer yang terbit pada 2009 sampai 2019.

Dalam novel yang terbit dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, penulis melihat
adanya kecendrungan penggambaran penderitaan yang dialami korban perang dunia di
belahan dunia, terutama di negara-negera Eropa seperti Inggris, Jerman, dan Prancis.
Penggambaran penderitaan yang dialami korban-korban perang diwakilkan oleh para tokoh-
tokoh yang ada dalam novel. Berbagai macam bentuk penderitaan dialami oleh mereka saat
perang dunia terjadi, terutama tokoh-tokoh perempuan, mereka diperlakukan sangat buruk
terutama saat Jerman menginvasi ke negara-negara di Eropa.

Salah satu novel yang menggambarkan penderitaan para korban di luar Amerika
adalah All The Light We Cannot See yang ditulis oleh Anthony Doerr dan terbit pada tahun
2014. Dalam novel ini, Doerr mengambarkan bagaimana penderitaan korban perang dunia
kedua terjadi di daerah Etienne, Prancis. Salah satu tokoh yang terdapat di dalam cerita,
Marie-Laure LeBlanc, digambarkan sebagai korban peperangan dan harus mencari
perlindungan dengan cara pergi dari Etienne untuk mengungsi mencari perlindungan karena
Jerman mulai bergerak dan menginvasi Perancis.

Novel lain yang berjudul The Nightingale yang ditulis oleh Kristin Hannah dan
terbit pada tahun 2015 juga menggunakan Prancis sebagai latar tempat ceritanya. Dalam
jurnal artikel yang dituliskan Rafti (2018) dijelaskan bagaimana perempuan-perempuan di
Prancis yang menjadi korban perang mendapat berbagai macam perlakuan buruk selama
invasi Jerman berlangsung (243).( Ferdinal:2020:105)

BAB 9

Perubahan Nama Masyarakat Minangkabau dalam

Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka

Oleh Syafri Maiboy

Sebuah nama bisa mewakili sebuah individu, kaum atau masyarakat bahkan sebuah
etnis dan kebudayaan suatu bangsa. Dalam buku Hamka yang berjudul Adat Minangkabau
Menghadapi Revolusi (1946), Hamka berbicara tentang nama perempuan Minangkabau yang
telah beralih kepada nama-nama Islami.

Masyarakat Minangkabau tersusun atas dasar keibuan, yang menjadi puncak di dalam
rumah ialah nenek yang perempuan. Rumah di Ranah, Alang Lawas dan Terandam hampir
semua tertulis nama perempuan, Aminah, Khadijah, Rukayah dan lain-lain. (Hamka, 1946)

Pemberian nama-nama yang identik dengan Islam menunjukkan bahwa


perkembangan agama Islam di Minangkabau memberikan pengaruh besar kepada
masyarakat. Perubahan nama-nama masyarakat di Minangkabau dilakukan mempertahankan
hidup dari tekanan politik pusat.

Cara lain untuk mempertahankan hidup mereka adalah pergi merantau karena mereka
malu di kampung dan merasa sebagai orang yang kalah. Karena hidup di rantau seperti Pulau
jawa, mereka mulai menyesuaikan diri dengan budaya di rantau atau berkamuflase, dengan
hidup di rantau mereka melahirkan budaya Minangkabau yang diaspora.( Ferdinal:2020:115)

BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan
Dari beberapa materi di atas dapat kita simpulkan bahwa kesusastraan memilik
pengertian yang sangat luas dan sulit untuk menentulan pengertian yang sebenarnya, tetapi
dari hal tersebut kesusastraanpun memilik batasan tertentu dalam memberi pengertian. Selain
dari pengertian terdapat juga jenis-jenis , contoh contoh bentuk sastra dari periode periode
lama hingga saat ini. Terdapat juga beberapa contoh tokoh pencipta karya sastra yang bisa
kita pelajari dan kita teladani untuk menciptakan suatu karya.

4.2 Saran

Dengan mengetahui dan memahami sejarah dan asal usul sastra akan menambah wawasan
kita terhadap suatu sastra,,maka dari itu selain dengan membaca saja untuk memahami suatu
buku kita juga bisa membuat laporan baca agar lebih mampu memahami kembali apa yang
telah kita baca.

DAFTAR PUSTAKA

Asnan. 2003. Pemerintahan Sumatera Barat Dari Voc

Hingga Reformasi. Yogyakarta: Citra Pustaka.

Budiman, Arif. 2012. Kala Orang Minang Berganti Nama.

Lentera Timur.com.

Hamka. 1946. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi.

Jakarta: Firma Tekad.

_____. 1984. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Jakarta:

PT Bulan Bintang.
_____. 1985. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta:

Pusataka Panjimas.

_____. 2014. Buya Hamka Berbicara Tentang Perempuan

Jakarta: Gema Insani.

R.Z. Lerissa, 1997. PRRI-Permesta: Strategi Membangun

Indonesia Tanpa Komunis. Jakarta: Grafit

Anda mungkin juga menyukai