Anda di halaman 1dari 13

TEORI KAJIAN TRANSFORMASI SASTRA

Disusun dan Disajikan untuk memenuhi Tugas mata kuliah Teori Sastra yang di ampu oleh
bapak Ja’far Lantowa, S.Pd., M.A

Oleh

Kelompok 8

Firnawati Ginoga (311419041)

Tri utami Lestari Said (311420076)

Mardini Dg Parebbo(311420075)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga kami bisa meneyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Esensi
Bahasa Indonesia Ditinjau Dari Filsafat Analitik, Sintesis, Dan Hermmeneutiak”.

Tak ada gading yang tak retak karenanya kami sebagai tim penulis menyadari dalam
penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baik dari sisi materi maupun
penulisannya. Kami dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima berbagai
masukan maupun saran yang bersifat membangun yang diharapkan berguna bagi seluruh
pembaca.

Gorontalo, November 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................
1.3 Tujuan Masalah…………………………………………………………………….....

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi teori transformasi sastra.................................................................................
2.2 Perkembangan transformasi sastra…………………………………………….

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................
3.2 Saran...............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Karya sastra sudah mulai berkembang dan kesusastraan tidak hanya terpacu pada teks
sebuah karya sastra memunculkan kembali karya sastra berbentuk lain namun bisa
dikembangkan menjadi sebuah karya seni lain, misalnya dari sebuah cerpen
ditransformasikan menjadi sebuah drama, novel ditransformasikan menjadi sebuah film,
puisi ditransformasikan menjadi sebuah musikalisasi puisi dan lain-lain. Salah satunya
yang kini sangat diminati oleh masyarakat adalah novel yang ditransformasikan menjadi
sebuah film. Fenomena tersebut kini menjadi trenddi kancah perfilman Indonesia.

Fenomena mengenai novel yang difilmkan kini semakin meningkat di kalangan


masyarakat. Hal ini menimbulkan rasa penasaran pembaca, apakah novel yang difilmkan
akan sama dengan isi novelnya atau tidak. Fenomena ini terjadi karena kesuksesan sebuah
novel yang berhasil diminati oleh masyarakat luas dan biasanya mengalami cetakan ulang
hingga berkali-kali sehingga membuat produser film tertarik untuk melayarputihkan
novel tersebut dengan berbagai tujuan, yaitu merealisasikan imajinasi pembaca hingga
ingin mengulang kesuksesan dari novel tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


2.1 Pengertian transformasi sastra
2.2 Perkembangan transformasi sastra

1.3 Tujuan

3.1 Untuk mengetahui definisi dari transformasi sastra

3.2 Untuk mengetahui perkembangan transformasi sastra


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 pengertian transformasi sastra

Menurut Nurgiyantoro (2010:18), transformasi adalah perubahan, yaitu


perubahan terhadap suatu hal atau keadaan. Jika suatu hal atau keadaan yang berubah
itu adalah budaya, budaya itulah yang mengalami perubahan.

Istanti, (2010:243) menambahkan bahwasanya pergeseran nuansa atau budaya


itu pada hakikatnya merupakan bentuk transformasi yang mengikuti zaman dan
pemikiran penyalinnya. Di samping itu, penyalin juga mengintegrasikan antara “teks
induk yang disalinnya dengan situasi dan nuansa zaman agar hail salinannya diterima
oleh pembaca pada masa sekarang.

Prinsip ini menyatakan bahwa penciptaan setiap teks tidak pada situasi kosong,
melainkan berdasarkan teks-teks terdahulu (Teeuw, 1988: 145). Jadi, tidak ada
sebuah teks pun yang benar-benar mandiri. Penciptaan kembali teks dalam bentuk
yang berbeda bahasa, jenis, dan fungsinya merupakan gejala terjadinya transformasi
teks.

Variasi dalam sejumlah wujud teks, seperti pada teks-teks Arab dan Parsi di
Melayu, memperlihatkan adanya pergeseran nuansa. Tentu saja, pergeseran nuansa
demikian tidak tanpa fungsi. Pergeseran nuansa itu pada hakikatnya merupakan
bentuk transformasi yang mengikuti zaman dan pemikiran penyairya. Di samping itu,
penyair juga mengintegrasikan antara “teks induk” yang disalinnya dengan situasi
dan nuansa zaman agar hasil salinannya diterima oleh pembaca pada masa itu.
Variasi teks yang ada terdapat berbagai tradisi, baik pada tradisi di Indonesia
maupun pada tradisi di luar Indonesia dapat memunculkan pertanyaan, apa makna
perbedaan-perbedaan itu? Jelaslah bahwa ada suatu mekanisme lain di balik
perubahan-perubahan itu. Dalam kesastraan tradisional ada ukuran tersendiri yang
berlaku. Suatu teks biasanya muncul dalam bermacam macam variasi (sebagai hasil
transformasi) tanpa perubahan dalam inti cerita. Teks Amir Hamzah misalnya kita
kenal dalam berpuluh variasi. Selama kurun waktu beratus-ratus tahun teks Amir
Hamzah tersebar ke beberapa daerah di Indonesia. Dengan perantaraan beberapa
bahasa, teks Ainir Hamzah dicipta ulang dalam transformasi yang setiap kali lain
dengan yang sebelumnya, tetapi juga tidak berbeda.

Jelaslah bahwa dalam transformasi ini pengarang mempunyai peran kunci


karena transmisi dan satu bahasa ke bahasa atau dari bentuk ke bentuk yang lain
harus disertai dengan adaptasi dan integrasi dalam budaya yang bersangkutan. Dialah
yang mengenal publiknya dan untuk publik itulah Ia menulis dan mengarang. Apabila
masyarakatnya berubah, dia pun akan menggubah karyanya sesuai dengan apa yang
dapat diterima oleh mereka. Dalam usaha melestarikan milik budaya dan bentuk
sastra, penulis adalah kuncinya. Penyalin menjadi jembalan antara pengarang masa
lalu dengan pembaca masa kini. Deinikian pula dengan pengungkapan kembali dalam
bentuk baru terjadilah suatu pelestarian alami, (Istanti, 2010: 248).

2.2 Transformasi Sastra

Sejarah sastra Indonesia bisa dipetakan dalam dua gelombang. Gelombang Pertama adalah
era sastra Indonesia yang belum mengenal Theory of Creative Writing (TCW), Teori Menulis
Kreatif. Era kedua, adalah Gelombang Sastra Indonesia setelah mengenal Theory of Creative
Writing (TCW) atau Teori Menulis Kreatif.

a. Sastra Gelombang Pertama, yang belum mengenal Teori Menulis Kreatif, ibarat hutan
liar, yang tumbuh sendiri, tanpa perencanaan, tanpa campur tangan manusia, tanpa
proses budidaya.

Mereka, para penulis di Gelombang Pertama, hanya mengandalkan bakat alam sebagai
andalan utamanya. Kalau ada sedikit bekal tambahan, itu adalah hasil pergaulan kaum cerdik
pandai dengan sastrawan dan literaur asing yang sudah lebih dahulu maju. Maka bisa
dimengerti, bila kemudian sastra kita tertinggal di belakang sastra lain seperti India yang
punya Tagore, Jepang yang punya Kawabata dan Kenzaburo Oe, dan China yang punya Gao
Xinjian. Sastra kita juga jauh tertinggal dibanding negara-negara Amerika Latin yang punya
Gabriel Garcia Marquez, Mario Vargas Llosa, Isabel Allende, Carlos Fuentes, dll.

a. Sastra Indonesia Gelombang Kedua, di mana TCW mulai dikenal baru berlangsung
sekitar lima atau enam tahun. Istilah Creative Writing mulai dikenal dan ramai jadi
bahan pembicaraan. Kemudian timbul beberapa lembaga pendidikan (semacam
kurusus) untuk mmasyarakatkan teori Creative Writing. Namun umumnya lembaga-
lembaga itu berusia pendek.

Kemudian Yayasan Rayakultura mencoba mencari jalan lain. Tidak mengutamakan pendirian
sekolah atau lembaga kursus, tetapi berupaya memasuki sekolah-sekolah dari kota ke kota,
dari daerah satu ke daerah lain. Bentuk yang dipilih untuk menyampaikan Teori Menulis
Kreatif adalah loka karya (workshop). Selain memberikan pembekalan seputar Creative
Writing, juga disediakan ajang buat mereka berlatih berekspresi menerapkan hasil
pembelajarannya. Untuk mereka dibuka forum Lomba Menulis Cerita Remaja (LMCR).

1. Pengertian novel

Secara umum, prosa terbagi menjadi dua jenis, yakni prosa nonsastra dan prosa sastra.
Karangan yang termasuk prosa nonsastra adalah karangan-karangan yang biasa disebut
sebagai karya ilmiah, seperti laporan penelitian, makalah, dan artikel. Adapun prosa sastra
terbagi menjadi dua jenis, yakni prosa fiksi dan prosa nonfiksi. Prosa fiksi meliputi dongeng,
cerpen, dan novel, sedangkan prosa nonfiksi meliputi biografi, autobiografi, dan esai.

Menurut E. Kosasih (2008: 54) Novel berasal dari bahasa Italia, yaitu novella yang berarti
„sebuah barang baru yang kecil‟. Dalam perkembangannya, novel diartikan sebagai sebuah
karya sastra dalam bentuk prosa. Novel adalah karya imajmatif yang mengisahkan sisi utuh
problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh. Kisah novel berawal dan
kemunculan persoalan yang dialarni oleh tokoh hingga tahap penyelesaiannya.

2. Unsur-unsur dalam Naskah drama

a). Unsur Intrinsik


Menurut Nurgiyantoro (1998: 3) bahwasanya Unsur mstrinsik adalah unsur-unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang
(secara langsung) turut serta membangun cerita. Unsur - unsur intrinsik yang peneliti
cantumkan sebagai kajian yaitu:

•Alur
E. Kosasih, (2008:58) menjelaskan dalam bukunya Apresiasi Sastrra Indonesia,
bahwasanya alur merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh
hubungan sebab-akibat. Pola pengembangan cerita naskah atau novel tidaklah
seragam. Jalan cerita suatu novel kadang-kadang berbelit-belit dan penuh kejutan,
tapi kadang-kadang sederhana. Hanya saja, bagaimanapun sederhananya alur suatu
novel, tidak akan sesederhana jalan cerita dalam naskah. Secara umum jalan cerita
terbentuk atas bagian-bagian berikut ini.
(a) Pengenalan situasi cerita (exposition) Dalam bagian ini, pengarang memperkenalkan para
tokoh serta menata adegan dan hubungan antartokoh.
(b) Pengungkapan peristiwa (complication) Dalam bagian ini disajikan peristiwa awal yang
menimbulkan berbagai masalah, pertentangan, ataupun kesukaran kesukaran bagi para
tokohnya.
(c) Menuju pada adanya konflik (rising action) Terjadi peningkatan perhatian kegembiraan,
kehebohan, ataupun keterlibatan berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya
kesukaran tokoh.
d) Puncak konflik (turning point) Bagian ini disebut pula sebagai klimaks. Inilah bagian
cerita yang paling besar dan mendebarkan. Pada bagian ini pula ditentukannya perubahan
nasib beberapa toko
e) Penyelesaian (ending) Sebagai akhir cerita, bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-nasib
yang dialami oleh tokoh setelah mengalami peristiwa puncak. Namun, ada pula novel yang
penyelesaian akhir ceritanya diserahkan kepada imajinasi pembaca. Jadi, akhir cerita
dibiarkan menggantung, tanpa ada penyelesaian.
Plot atau alur, seperti dikatakan forster (dalani Nurgiyantoro 1998: 12)
merupakan sesuatu yang lebih tinggi dan kompleks daripada cerita. Plot mengandung
unsur misteri di samping untuk memahaminya dan juga mengembangkan, menuntut
adanya unsur intelegensi.
• Penokohan
Penokohan merupakan salah satu unsur intrinsik karya sastra, di samping tema,
alur, latar, sudut pandang, dan amanat. Penokohan adalah cara pengarang dalam
menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Untuk
menggarnbarkan karakter tokoh, pengarang dapat menggunakan teknik penggamba
ran langsung oleh pengarang.
Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, watak, perwatakan dan
karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh, seperti yang ditafsirkan oleh
pembaca lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan
karakterisasi-karakterisasi sering disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan
menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam
sebuah cerita.
Tokoh cerita (character), menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro 1998:18),
adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan yang dilakukan dengan tindakan.
Lain daripada itu Nurgiyantoro (1998:18) menyatakan bahwasanya kewajaran
fiksi adalah suatu karya kreatif, maka bagaimana pengarang mewujudkan dan
mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak lepas dan kebebasan kreativitasnya,
dan perlu diketahui tokoh cerita menempati posisi yang strategis sebagai pembawa
pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.
3.Naskah dan Drama
Kata drama berasal dan bahasa Yunam “draomai” yang berarti berbuat, belaku,
bertindak, atau bereaksi dan sebagaiya (Harymawan, 1988:1). Adapun istilah lain
drama berasal dan kata drame, sebuah kata yang berasal dan bahasa Perancis yang
diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid yaitu drama bermaksud untuk menjelaskan
lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Jadi, pengertian drama
adalah jenis sastra berupa lakon yang ditulis dengan dialog-dialog yang
memperhatikan unsur-unsur dengan gerak atau perbuatan yang akan dipentaskan di
atas panggung.
Menurut E. Kosasth (2008: 51) dalam drama, bahasa harus dioptimalkan
dengan sebaik-baiknya, tidak hanya berkenaan dengan kata-kata itu sendiri,
melainkan juga intonasi dan tempo kalimat, pelafalan, volume suara, tekanan, serta
aspek-aspek kebahasaan lam agar pesan dapat tersampaikan secara sempuma. Drama
merupakan bentuk sastra yang digemari oleh masyarakat luas. Hampir setiap
kelompok masyarakat di berbagai pelosok dunia sejak dulu akrab dengan bentuk
sastra ini sebagaimana tampak pada istilah-istilah “kedramaan” yang melekat erat
dengan budaya setempat.
Menulis teks drama menurut Hamalik (2001:57) adalah mendefinisikan
pembelajaran sebagai suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur
manusiawi, material, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Teks drama sebagai salah satu genre sastra dibangun
oleh struktur fisik (kebahasaan) dan struktur batin (semantik, makna).
Langkah-langkah menulis teks drama dimulai dan merumuskan tema atau
gagasan, mendeskripsikan penokohan atau memberi nama tokoh, membuat garis
besar isi cerita, rnengembangkan garis besar isi cerita ke dalam dialog-dialog,
membuat petunjuk pementasan yang biasanya ditulis dalam tanda kurung maupun
dapat ditulis dengan huruf miring atau huruf kapital semua, dan memberi judul pada
teks drama yang sudah ditulis.
Suyatna (dalam Tommy 1999:59) menyimpulkan bahwa pada umumnya seni
drama sangat erat dengan kejujuran manusia bersikap menghadapi alam dan
lingkungannya, masyarakat/adat istiadat, ideologi atau pikiran-pikiran yang
merongrongnya. Sekalipun sifatnya karya bersama, suatu penampilan sangatlah
mempribadi, karena itu lebih bersifat melambangkan manusia pada umumya, dan perlu
diketahui teater itu manusia, tentang manusia oleh manusia. Karena itu biarlah
kemanusian yang bicara lewat teknik teknik pengucpaan panggung.
Membicarakan naskah sangat penting artinya bagi drama/teater bagaikan
“jantung” untuk sebuah pementasan. Hal ini didukung oleh Suyatna (dalam F. Awuy
1999: 71) dalam kondisi normal, sebuah lakon yang dipentaskan bersumber dari
penulis lakon. Ia adalah pencipta sesungguhnya, sementara yang lainnya, pimpinan
produksi, sutradara, bagian atristik dan para aktor adalah seniman penafsir. Sebagai
seorang seniman, penulis lakon menuangkan ide-ide ceritanya menurut dorongan
artistiknya, dengan berbagai kecendrungan bentuk dan gaya. Mungkin ia akan
melahirkan naskah-naskah konvensional dengan segala tertib teknisnya, tetapi
mungkin pula ia melahirkan naskah-naskah eksperimental dengan sosok bentuk yang
lebih bebas.
Langkah Transformasi Novel kedalam Teks Drama
Teks drama ditulis untuk tujuan dipentaskan di atas panggung dalam
pertunjukan teater. Oleh karena itu, drama berbentuk dialog, yang nantinya
disampaikan aktor di atas panggung. Tetapi bukan berarti drama hanya semata mata
untuk sebuah pementasan. Drama juga memiliki tujuan untuk dibaca, sebagaimana
puisi, cerpen, novel, dan roman.
Menurut Suhariyadi (2014:81) Hakikat drama adalah konflik. Konflik tentang
seorang tokoh yang mengalami problematika hidup. Perjalanan hidup seorang
manusia yang mengalami himpitan dan tekanan sehingga menuntutnya untuk menyelesaikan
problema tersebut. Himpitan dan tekanan itulah menimbulkan konflik,
baik fisik maupun psikologis, yang dialami tokoh. Pada tataran inilah drama dan
cerpen memiliki kesamaan.
Adapun yang perlu diperhatikan dalam proses pembuatan naskah drama sebagai
berikut:
1. Dasar Penulisan Naskah Drama
Sebagaimana novel, naskah drama ditulis berdasarkan ide penulisan atau tema.
Tema merupakan pokok pikiran dalam sebuah keseluruhan wacana. Dalam sastra,
tema merupakan makna yang dikandung dalam sebuah cerita. Sebagaimana
dijelaskan pada bagian terdahulu, ide atau tema penulisan berbentuk sebuah premis;
kalimat pernyataan yang mengandung problema. Problema tersebut berupa intrik
kehidupan yang dijalankan tokoh. Pada akhirnya, problema itu menimbulkan konflik.
Tema dalam novel Si Jarnm dan Si Johan adalah “Keluarga yang tidak harmonis dan
kekerasan yang dialami Si Jamin dan Si johan oleh Ibu tirinya Inem”.
b.Penyusunan dan Pengolahan (Treatment)
Pengolahan (Treatment) adalah sebuah kerangka penulisan yang nantmya akan
di-kembangkan menjadi sebuah naskah drama. Treatment untuk penulisan naskah
drama berbeda dengan cerpen, novel, atau roman.
2. Komponen dalam Teks Drama

Ada beberapa komponen yang segera dapat ditemukan ketika membuat teks
naskah drama, sebagaimana berikut:
a. Judul
Menurut Riantiarno (dalam Suhaniyadi, 2014:100) mengatakan bahwa judul
sebaiknya mudah diingat, menggoda rasa ingin tahu, gambaran lengkap dan per-
masalahan utama (tematik), atau ekspresi yang mewujud dalam sebuah metafora.
Komponen judul ditulis di bagian atas dalam teks drama. Lazim ditulis di tengah
dengan huruf besar dan tebal, dan diikuti nama penulis. Perhatikan contoh berikut.
Contoh:
LAKON
SI JAMIN DAN SI JOHAN
Karya MERARI SIREGAR
Saduran CHAEDAR ARIFIN
b. Notasi atau Deskripsi
Komponen notasi atau deskripsi awal ditulis di bawah judul, biasanya
ditulis dengan huruf besar semua, namun tidak selalu seperti itu. Perhatikan contoh
dibawah ini.
“DISEBUAH PERUMAHAN PADAT PENDUDUK, RUMAH SEMi PERMANEN
DENGAN MEJA KURSI KAYU YANG REOT DI DEPANNYA, SESEKALI
LAMPU MERAH (LEMAH) DAN BIRU (TERANG) MENYOROT KE ARAH
SISI KANAN MENANDAI HAWA PANAS BERTUKAR MENJADI AGAK
SEJUK”.
c. Dialog
Cerita atau peristiwa yang diungkapkan dapat dipahami melalui apa yang
didialogkan tokoh-tokohnya. Dapat dikatakan drama adalah naskah dial.

BAB III

PENUTUP

3.1 kesimpulan
Transformasi sastra Indonesia mungkin tidak akan berjalan mulus dan lancar. Seperti biasa,
setiap perubahan pasti akan menghadapi resistensi. Banyak pihak yang menentang masuknya
Teori Menulis Kreatif. Mereka mengira, menulis itu tidak memerlukan pengetahuan atau
teori sebagai pendudungnya. Tetapi transformasi telah dimulai. Tidak mungkin surut.
Menoleh kepada negara-negara maju, kaum pengarang yang namanya sudah dan sedang
mendunia, adalah mereka sastrawan yang menguasai Theory Creative Writing. Sesuai hukum
sejarah, penulis lama akan memasuki masa senjanya, penulis baru akan terbit bersama fajar
transformasi sastra Indonesia. 

3.2 Saran
Mungkin dari penusis ada banyak kesalahan atau bayak kata-kata yang salah boleh memberikan kritik
dan saran kepada kami terimakasih.

Daftar Pustaka
https://www.google.com/amp/s/rayakultura.net/transformasi-sastra-indonesia/amp/
eprints.umm.ac.id › ...PDF
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Transformasi Menurut Nurgiyantoro ...

Anda mungkin juga menyukai