Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PSIKOLINGUISTIK

“DWIBAHASA”

Dosen Pengampu : Dr. Nur Azmi, M.Pd

Oleh Kelompok 3 :
Afnela Fitria (18129091)
Ainun Rahma (18129098)
Febrina Aulia Putri (18129256)
Ilhamda Ramazoni (18129182)
Indah Eva Yuliani (18129116)
Sania Aprimil Yusis (18129308)
Sri Wahyuni (18129083)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nyalah kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
“DWIBAHASA”Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang
diberikan dalam mata kuliah Psikoliguitsik di Universitas Negeri Padang.
Dalam penyusunan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan,
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan
yang dimiliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak lain sangat
diharapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Padang, 28 April 2021

Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................5
A. Latar Belakang..............................................................................................................5
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................5
C. Tujuan............................................................................................................................6
BAB II.......................................................................................................................................7
1. Pengertian dwibahasa...................................................................................................7
2. Masa Perkembangan dwibahasa.................................................................................7
3. Faktor-faktor timbulnya kemampuan dwibahasa....................................................8
4. Proses Pemerolehan Bilingualisme..............................................................................8
5. Dwibahasawan dan Derajatnya...................................................................................9
BAB III....................................................................................................................................11
A. Kesimpulan..................................................................................................................11
B. Saran.............................................................................................................................11
DAFTAR RUJUKAN.............................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bahasa adalah suatu sistem lambang bunyi yang arbiter yang dipergunakan
oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.
Manusia dalam berkomunikasi menggunakan bahasa. Dengan bahasa soerang
individu dapat berinteraksi dan bertukar pikiran dengan individu lainnya sehingga
dapat terjalin komunikasi yang baik. Bahasa merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia, karena dengan berbahasa seseorang dapat
menyampaikan maksud dan tujuan kepada orang lain. dengan kata lain, bahasa
merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia dalam upaya berinteraksi
dengan individu lainnya.
Seorang individu atau masyarakat dalam setiap negara pasti memiliki bahasa
nasional. Di Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai bahasa daerah.
Suatu masyarakat akan mengenal dan menguasai bahasa yang pertama mereka kenal
yaitu bahasa ibu atau B1, di samping bahasa ibu  masyarakat pun menguasai bahasa
nasional yaitu bahasa Indonesia atau disebut B2. Untuk dapat menggunakan dua
bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu.
Oleh karena itu, bila berbicara mengenai penggunaan dua bahasa akan
berkaitan dengan dwibahasa yang menjelaskan mengenai kemampuan dalam
menggunakan dua bahasa, serta orang yang mampu menggunakan dua bahasa dalam
setiap individu atau masayarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu dwibahasa ?
2. Bagaimana masa perkembangan dwibahasa ?
3. Apa saja faktor timbulnya dwibahasa ?
4. Bagaimana cara memperoleh dwibahasa ?
5. Bagaimana derajat dwibahasa ?

C. Tujuan
1. Mengetaahui apa itu dwibahasa
2. Mengetahui masa perkembangan dwibahasa
3. Mengetahui faktor timbulnya dwibahasa
4. Mengetahui cara memperoleh dwibahasa
5. Mengetahui derajat dwibahasa
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian dwibahasa
Dwibahasa adalah penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau oleh suatu
masyarakat (Kridalaksana, 1993: 43), sedangkan dwibahasawan adalah orang atau
masyarakat yang mampu atau dapat memakai dua bahasa atau lebih dari dua bahasa. Tingkat
kemampuan dwibahasa seseorang tidak harus sempurna, akan tetapi cukup pada tingkat
minimal atau paling tidak mampu memproduksi atau memahami suatu kalimat dalam dua
bahasa.
Istilah bilingualisme atau kedwibahasaan menurut Nababan, Sri Utari Subyakto (1992)
digunakan untuk dua konsep. Pertama, dwibahasa mengacu pada kemampuan
mempergunakan dua bahasa. Kedua, mengacu pada kebiasaan mempergunakan dua bahasa.
Haugen melihat kemampuan seseorang dapat dikatakan sebagai dwibahasawan jika
seseorang mampu memproduksi kalimat lengkap yang mengandung makna dari bahasa
kedua (Edwards, 1995). Jadi dapat disimpulkan dwibahasa merupakan kemampuan
seseorang dalam menggunakan dua bahasa, dengan tingkat kemampuan dwibahasa
seseorang yang tidak harus sempurna, atau kemampuan memahami suatu kalimat dalam dua
bahasa

2. Masa Perkembangan dwibahasa


Pemerolehan tambahan bahasa yang terjadi sebelum adolesen disebut bilingualisme
cepat (early bilingualism). Apabila bahasa pertama diperoleh sebelum atau sekitar usia
sebelas dan bahasa yang yang lainnya sesudah periode ini disebut bilingualisme lambat (late
bilingualism). Ada yang menyebut masingmasing kedwibahsaan di atas sebagai bilingualisme
konsekutif untuk bilingualisme cepat dan bilingualisme suksesif untuk bilingualisme lambat.
Sudah umum diterima bahwa bilingualisme cepat mempunyai banyak keuntungan daripada
bilingualisme lambat dilihat dari kemampuan berbahasa di dalam kedua bahasa yang
bersangkutan (Kamaruddin, 1989: 33). Berdasarkan cara pemerolehannya Reynolds (1991:
155) bilingualisme dibedakan atas dua macam. Pertama, pemerolehan dua bahasa secara
serempak pada usia dini dan dalam konteks alamiah (balance bilingualism). Kedua,
pemerolehan bahasa kedua setelah bahasa pertama ketika dewasa dan setelah memasuki
pendidikan formal (unbalance bilingualism). Hal senada juga dikemukakan oleh Hastuti
(1989: 20) yang membagi bilingualisme dalam dua kategori berdasarkan cara terjadinya.
Pertama, bilingualisme alamiah (natural bilingualism) atau bilingualisme utama (primary
bilingualism) yaitu proses bilingualisme timbul dalam lingkungan alamiah, spontan, dan tidak
terorganisasi. Kedua, bilingualisme bantuan atau bilingualisme buatan atau bilingualisme
sekunder (sekundary bilingualism) yaiitu bilingualisme sengaja diatur dan diajarkan secara
teratur dan formal.

3. Faktor-faktor timbulnya kemampuan dwibahasa


Nababan (1992) mengungkapkan lima faktor timbulnya kemampuan dwibahasa di
Indonesia.
a. Bahasa-bahasa daerah mempunyai tempat yang wajar di samping pembinaan dan
pengembangan bahasa dan kebudayaan Indonesia.
b. Perkawinan antar suku
c. Perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah yang lain yang disebabkan
urbanisasi, transmigrasi, mutasi karyawan atau pegawai.
d. Interaksi antar suku, yakni dalam perdagangan, sosialisasi dan urusan kantor atau
sekolah.

4. Proses Pemerolehan Bilingualisme


a. Pemerolehan Bilingualisme Simultan
Penemuan yang didasarkan pada kajian terhadap anak bilingual PrancisInggris yang
dipimpin oleh Swain (dalam Kamaruddin 1989: 163) menyimpulkan bahwa
pemerolehan dua bahasa secara simultan tidaklah berbeda secara signifikan dengan
pemerolehan satu bahasa, selagi dalam kedua peristiwa itu anak tersebut memulai
dengan seperangkat kaidah tunggal di dalam memberikan repons terhadap lingkungan
bahasanya. Anak-anak itu mempelajari dua bahasa seolaholah hanya belajar satu
bahasa. Pendekatan ini dapat dilihat pada terjadinya pencampuran (mixing) kosa kata
pada tahap awal. Kata-kata disimpan tanpa membedakan bahasa yang muncul di
dalam urutan yang sama pada anak bilingual dengan temannya yang monolingual.
Analisis interaksi kode yang dilakukan oleh Nygren-Junken (dalam Kamaruddin,
1989: 163) menunjukkan bahwa anak mengikuti tiga tahap perkembangan selama
periode pembedaan bahasa, yaitu: 1. Language cooperation period, anak menggunakan
bahan dari kedua bahasa dalam bentuk komplementer (saling melengkapi) karena
kebanyakan bahan tersedia hanya pada satu bahasa. 2. Linguistic interference phase,
anak memperoleh kata-kata dari kedua bahasa untuk bahan, tindakan, dan fungsi yang
sama, tetapi sewaktu-waktu dapat menghasilkan tuturan yang bercampur (mixed). 3.
Code separation stage, anak itu memisahkan kedua sistem bahasa dengan
pencampuran yang minimal.
b. Pemerolehan Kedwibahsawaan Sekunsial
Menjadi bilingual setelah berusia tiga tahun atau ketika berusia prasekolah sering
dilengkapi dengan interaksi terhadap penutur asli bahasa itu yang ada di dalam
masyarakat sekitarnya (baik anak maupun orang dewasa) atau di sekolah (guru atau
teman sekelas). Anak pada kelompok usia ini sudah mempunyai ketrampilan
berbahasa yang dasar serta kemampuan komunikatif di dalam bahasa pertama, maka
persoalan yang menyangkut hakikat dan tingkat interferensi B1 dan proses
pemerolehan B2 telah menarik perhatian para ahli.
c. Pengaruh Bilingualisme terhadap Individu
Kaitannya pengaruh bilingualisme terhadap individu, Purwo (1990: 132)
mengemukakan bahwa anak belajar bahasa tidak lepas dari konteksnya. Jika
berhadapan dengan masyarakat A maka ia akan mengucapkan bahasa A, dan jika
berhadapan dengan masyarakat B maka ia akan mengucapkan bahasa B. Hal ini
diperkuat oleh Dardjowidjojo (1997: 37) yang menyatakan bahwa anak bilingual
justru terbantu dengan kebilingualannya itu, bukan saja dalam hal bahasa tetapi juga
dalam hal lain seperti yang ditunjukan Lambert dalam penelitiannya di Kanada
5. Dwibahasawan dan Derajatnya
Pada penutur dwibahasa, kemampuan menggunakan dua bahasa dibedakan atas
kedwibahasaan seimbang dan kedwibahasaan takseimbang. Dalam kedwibahasaan seimbang,
penutur dapat mengekspresikan pikirannya dalam bahasa verbal berperangkat linguistik
setara baik dari aspek linguistik mikro (pelafalan, pembentukan kata, pembentukan kalimat
dan pemaknaan) maupun aspek linguistik makro (sosiolinguistik dan pragmatik). Penutur
dalam kategori itu biasanya memperoleh bahasa pertama dari keluarga dan lingkungan
sekitarnya, sementara bahasa kedua diperoleh di sekolah dan pergaulan lebih luas. Penutur
dwibahasa takseimbang memiliki kemampuan menggunakan salah satu bahasa secara lebih
kuat. Hal itu terjadi karena kesempatan mereka menggunakan satu bahasa lebih kerap alih-
alih bahasa lain. Misalnya, dalam penguasaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah, bahasa
yang disebutkan terakhir ini hanya digunakan sekali-sekali saja ketika berkomunikasi dengan
keluarga luas (kakek-nenek dari pihak ibu dan/atau kakek-nenek dari pihak ayah), sementara
bahasa Indonesia digunakan pada ranah yang lebih luas dengan kekerapan tinggi.
Derajat dwibahasawan, menutur Bee Chin dan Wigglesworth (2007: 5—9), tidak hanya
dibedakan atas dwibahasawan seimbang (balanced bilinguals) dan dwibahasawan
takseimbang (dominant bilinguals), tetapi juga dwibahasawan pasif atau dwibahasawan
tersembunyi (passive or recessive bilinguals) dan semibahasawan atau dwibahasawan
terbatas (semilinguals or limited bilinguals). Dwibahasawan pasif pada awalnya mampu
menggunakan dua bahasa, tetapi secara bertahap kehilangan kemampuan menggunakan salah
satunya karena dia lebih sering berhadapan dengan penutur bahasa yang dominan. Misalnya,
seorang anak Indonesia berusia 6 tahun diajak beremigrasi ke Australia, setelah 10 tahun
berada di sana, dia dapat saja kehilangan kemampuan berbahasa Indonesia yang dikuasai
sebelumnya. Hal itu dapat terjadi karena dia harus berbicara dalam bahasa Inggris dalam
semua ranah. Ketika anak itu diajak berbicara dalam bahasa Indonesia, dia dapat memahami
maksudnya, tetapi tidak mampu menjawab dalam bahasa Indonesia, melainkan dalam bahasa
Inggris. Situasi yang serupa dapat terjadi pada anak usia 6 tahun yang pada awalnya
menguasai bahasa daerah, tetapi kemampuan bahasa daerahnya hilang setelah diajak menetap
di Jakarta atau kota-kota besar lainnya, yang secara dominan menggunakan bahasa Indonesia.
Ketika dia sekali-sekali pulang ke daerahnya pada usia remaja dan diajak berbahasa daerah
oleh kakek atau neneknya, anak itu dapat memahami maksudnya, tetapi tidak mampu
menjawabnya dalam bahasa daerah, melainkan dalam bahasa Indonesia.
Dwibahasawan terbatas atau semibahasawan berkemampuan terbatas dalam
menggunakan dua bahasa yang dikuasai. Hansegard (dalam Bee Chin dan Wigglesworth,
2007: 8—9) menyebutkan enam macam keterbatasan: jumlah kosakata (size of vocabulary),
ketepatan bahasa (correctness of language), kelancaran (automatism), daya cipta bahasa
(neologization), penguasaan fungsi-fungsi bahasa (misalnya, emotif dan kognitif), makna dan
daya khayal (meanings and imagery). Menurutnya, anak yang memiliki keenam keterbatasan
tersebut cenderung berkemampuan terbatas pula dalam dunia akademik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dwibahasa atau bilingual memiliki arti mampu atau biasa memakai dua
bahasa. Dwibahasawan merupakan orang yang dapat berbicara dalam dua bahasa,
seperti bahasa nasional dan bahasa asing, bahasa daerah dan bahasa nasional.
Terdapat beberapa jenis dwibahasawan yaitu (1) dwibahasawan terpadu, (2)
dwibahsawan koordinatif, dan (3) dwibahasawan tambahan. Sedangkan untuk
kedwibahasaan disimpulkan dari definisi para ahli adalah penggunaan dua bahasa atau
lebih oleh seorang penutur atau masyarakat yang pemakainnya dilakukan secara
bergantian.
B. Saran
Penulis menyadari makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan
kritik yang membangun saya harapkan demi perbaikan makalah ini dan semoga
makalah ini dapat menjadi khazanah pengetahuan khususnya bagi penulis dan juga
kita semua.
DAFTAR RUJUKAN

Bee Chin, Ng and Wigglesworth, G. 20007. Bilingualism: an advanced resource book.


London and Nw York: Routledge.

Dardjowidjojo, Soenjono. 1997. Echa: Perkembangan Bahasa Anak Indonesia: Dua Belas –
Dua Puluh Empat Bulan. Yogyakarta: Kanisius.

Kamaruddin. 1989. Kedwibahasaan dan Pendidikan Kedwibahasaan. Jakarta: Proyek


Pengemabangan LPTK.

Nababan, dkk. 1992. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Reynold, Allan G. 1991. Bilingualism, Multiculturalism, and Second Language Learning.


New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Anda mungkin juga menyukai