Anda di halaman 1dari 23

PERIODISASI SASTRA INDONESIA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Bahasa dan Sastra Indonesia

Dosen Pengampu:
Hidar Amaruddin, M.Pd.

Disusun Oleh :

1. Imam Majid 212221109


2. Fina Rosyida 212221112
3. Nimas Ayuningtyas Dwi Mangesti 212221116

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA YOGYAKARTA
2022
PRAKATA

Bismillahirahmanirrahim
Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat serta
hidayah Nya sehingga tim penulis dapat menyelesaikan tugas makalah tentang
Periodisasi Sastra Indonesia, dengan baik. Sholawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw beserta keluarga, sahabat, dan para
pengikutnya.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang sudah
berkontribusi terhadap pengerjaan makalah ini. Tentunya makalah ini tidak akan
terselesaikan jika tidak ada dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penulis, kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam
penyampaian, tatanan bahasa, dan penyusunan sehingga makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis memohon kritikan dan saran dari
pembaca untuk makalah ini.

Yogyakarta, 10 Oktober 2022

Tim Penulis.

i
DAFTAR ISI

PRAKATA.................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB 1.........................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan masalah........................................................................................2
1.3 Tujuan..........................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................3
2.1 Pengertian Periodisasi Sastra.......................................................................3
2.2 Perbedaan Periodisasi Sastra dan Angkatan Sastra.....................................4
2.3 Pembagian Periodisasi Sastra dan Contohnya.............................................5
2.4 Masalah Periodisasi Sastra........................................................................17
BAB III....................................................................................................................18
PENUTUP...............................................................................................................18
3.1 Simpulan....................................................................................................18
3.2 Saran..........................................................................................................18
Daftar Pustaka........................................................................................................19

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehadiran kasusastraan Indonesia tidak dapat lepas dari adanya sejarah
yang melahirkan dan membesarkannya. Dalam periodisasi sastra pun tidak
lepas dari adanya sejarah sastra, hal ini sejalan dengan pendapat Luxemburg
(dalam Erowati & Ahmad 2011) yang menjelaskan bahwa sejarah sastra
adalah suatu ilmu yang membahas mengenai periode-periode kesusastraan,
aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang dan reaksi pembaca. Adapun
fungsi sejarah sastra ini adalah sebagai alat bagi sastrawan atau orang lain
untuk mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra. Mulai dari karya-
karya sastra hingga para tokoh sastra dari masa ke masa.
Dengan timbulnya kebutuhan ini, guna memudahkan para sastrawan untuk
mempelajari sejarah sastra dari masa kemasa serta memudahkan dalam
pengembangan sastra, maka diadakan pembabakan sastra. Para sastrawan
dapat melihat sifat-sifat, atau ciri-ciri di setiap periode atau masa angkatan.
Dengan demikian mereka akan selalu menciptakan karya sastra baru yang
menyimpang dari ciri-ciri sastra yang telah ada sebelumnya, baik dalam
ekspresi seni, konsep seni, struktur estetiknya, maupun dalam bidang
masalahnya, pandangan hidup, filsafat, pemikiran dan perasaannya (Erowati
dan Ahmad, 2011). Berkenaan dengan pembabakan sastra Indonesia ini Ajib
Rosidi lebih memilih periode dibandingkan dengan angkatan. Hal ini
dikarenakan dalam periode mungkin saja terdapat bebebrapa angkatan.
Pembabakan dalam
periodisasi sastra dilihat berdasarkan bentuk, angkatan, dan tahapan.
Dari sini dapat dikatakan bahwa periodisasi adalah pembabakan sejarah
perkembanagan kesusastraan menurut kriteria yang ditentukan oleh sudut
pandang peneliti. Seperti dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia, bahwa kriteria
atau dasar penggolongan periodisasi sastra dapat berupa pada masa penerbitan
karya sastra, pertimbangan intrinsik karya sastra, atau berdasarkan pada
perbedaan norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi zaman.

1
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa pengertian periodisasi sastra Indonesia ?
2. Bagaimana perbedaaan antara periodisasi dan angkatan sastra ?
3. Bagaimana pembagian periodisasi sastra dan contohnya?
4. Bagaimana masalah periodisasi sastra?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian periodisasi sastra Indonesia.
2. Untuk mengetahui perbedaan antara periodisasi dan angkatan.
3. Untuk mengetahui pembagian periodisasi sastra.
4. Untuk mengetahui contoh-contoh periodisasi sastra.

2
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Periodisasi Sastra
Periodisasi berasal dari kata periode. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) periode bermakna sebagai kurun waktu atau lingkaran waktu
(masa).
Pengertian periodisasi sastra menurut para ahli, yaitu sebagai berikut.
a. Pandopo
Pandopo, menyatakan bahwa periodisasi sastra merupakan sebuah
bagian waktu yang dikuasai oleh suatu sistem norma-norma sastra,
standar-standar, dan konvensi-konvensi sastra yang kemunculannya,
penyebarannya, keberagamannya, integrasi, dan kelengkapannya dapat
dirunut.
b. Kosasih
Kosasih, menyatakan bahwa penggolongan-penggolongan atau
pembabakan zaman-zaman perkembangan sastra itulah yang kemudian
disebut dengan periodisasi sastra, yakni pembabakan waktu tentang
perkembangan sastra yang ditandai dengan ciri-ciri tertentu.
Sastra berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Shaastra, yang bermakna “teks
yang mengandung intruksi” atau “pedoman”. Adapun pengertian sastra adalah
hasil kegiatan kreatif manusia yang dituangkan dalam media bahasa, baik
lisan maupum tulisan (Sugiantomas, 2020).
Periodisasi sastra menurut Ensiklopedia Sastra Indonesia, adalah kesatuan
waktu dalam perkembangan sastra yang dikuasai oleh suatu sistem norma
yang tertentu atau kesatuan waktu yang memiliki sifat dan cara pengucapan
yang khas dan berbeda dengan masa sebelumnya. Periodisasi dapat dikatakan
juga sebagai pembabakan sejarah perkembangan kesusastraan dengan
kriteria- kriteria tertentu. Tujuan dari periodisasi sastra yaitu untuk
memudahkan perkembangan sejarah sastra, selain itu periodisasi sastra
menjadi penting untuk menciptakan karya baru bagi para sastrawan.
Pakar sastra yang telah membuat periodisasi sejarah sastra Indonesia ini,
antara lain, adalah H.B Jassin, Buyung Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakri

3
Siregar, Ajip Rosidi, Zuben Usman dan Rachmad Djoko Pradopo. Pada

4
umumnya periodisasi mereka menunjukkan persamaan dalam garis besarnya.
Namun ada beberapa perbedaan kecil diantaranya batas waktu di setiap
periode dan penekanan ciri-ciri yang ada pada setiap zaman.

2.2 Perbedaan Periodisasi Sastra dan Angkatan Sastra


Istilah Angkatan dan Periodisasi masih menjadi hal yang diperdebatkan.
Angkatan dan Periodisasi merupakan dua istilah yang berbeda yang masih
sering di sama artikan. Ajib Rosidi (1960: 19), berpendapat bahwa persoalan
angkatan dibagi menjadi dua. Pertama adalah mereka yang menafsirkan
masalah angkatan ini secara subjektif dari kedudukannya sebagai pengarang (
approach pengarang ) dan yang kedua adalah mereka yang melihatnya secara
objektif berdasarkan karya-karya sastra yang nyata.
Wallek (dalam Pradopo, 1995: 2) berpendapat bahwa Angkatan adalah
sekumpulan sastrawan yang hidup dalam satu kurun masa atau menempati
periodisasi tertentu. Sastrawan tadi setidaknya memiliki gagasan, ide,
semangat yang sama atau mirip. Sedangkan Periodisasi adalah sebuah bagian
waktu yang dikuasai oleh sesuatu sistem norma – norma sastra, standar -
standar dan konvensi – konvensi sastra yang kemunculannya, penyebarannya,
keberagaman, integrasi, dan kelenyapannya dapat dirunut, pendapat Wallek
(dalam Pradopo, 1995: 2 ).
Suwardi (2004: 21), mengemukakan bahwa periode adalah sekedar
kesatuan waktu dalam perkembangan sastra yang dikuasai oleh suatu sistem
norma tertentu atau kesatuan waktu yang memiliki sifat dan cara pegucapan
yang khas yang berbeda dari masa sebelumnya. Sedangkan Angkatan adalah
sekelompok pengarang yang memiliki kesamaan konsepsi atau kesamaan ide
yang hendak dilaksanakan dan diperjuangkan.
Sehingga dapat dilihat bahwa periodisasi mencakup setiap angkatan, karya
sastra, dan segala kejadian yang terjadi dalam kurun waktu. Sehingga
periodisasi dapat diartikan hanyalah pembagian atau babakan waktu
berdasarkan periode tertentu. Jadi angkatan dengan periodisasi adalah hal yang
berbeda. Dengan adanya periodisasi diharapkan mampu memudahkan

5
sistematika penulisan sejarah berdasarkan urutan waktu. Dapat memahami
suatu peristiwa sejarah yang merupakan penghubung dari fakta-fakta sejarah.

2.3 Pembagian Periodisasi Sastra dan Contohnya

2.3.1 Periode Awal (1800-1900-an awal)


Pada periode ini karya banyak dibuat tema roman dengan alur lurus,
Bahasa yang digunakan ialah Bahasa sehari-hari, didaktis, digresi serta
kata-kata romantis. Banyak perumpamaan klise serta peribahasa dalam tata
Bahasa yang digunakan.
A. Satra Melayu Tionghoa
Sastra Melayu Tionghoa muncul serta berkembang sebelum
muncul Sastra Indonesia Modern pada abad 19 akhir. Nio Joe Lan
(dalam Erowati dan Ahmad, 2011) menyebut dengan Sastra Indonesia
Tionghoa.. Menurut Jakob Sumardjo Khasanah Sastra Dunia (1985),
jenis sastra ini diawali dengan terjemahan. Sastra ini muncul dengan
bentuk buku berhalaman tebal dengan penerbitan dilakukan secara
berjilid.
Pada masa itu Lie Kim Hok memunculkan karya seperti kapten
flamberge, kawanan bangsat, pembalasan baccarat, rocambole binasa.
Pramoedya Ananta Toer mengatakan masa berkembangnya Sastra
Melayu Tionghoa sebagai masa peralihan dari kesusastraan lama
menuju kesusastraan baru. Pada masa itu dengan adanya pengaruh
politik maka Sastra Melayu Tionghoa tidak dihitung dalam khazanah
Sastra Indonesia. Hal itu mempunyai salah satu alasan karena sastra
dengan Bahasa Melayu yang rendah.
Sementara karya sastra Balai Pustaka menggunakan Bahasa
Melayu tinggi yang dianggap sebagai bagian kebudayaan bangsa.
Karya Sastra Melayu Tionghoa menceritakan masa puncak Pax
Nederlandica (masa keemasan penjajahan Belanda) serta beberapa
masa awal kemerdekaan. Ciri karya sastra pada periode ini adalah
menggunakan bahasa melayu, cerita seputar istana sentris, pengarang
anonim (tidak disebutkan

6
namanya), terikat dengan aturan dan adat istiadat. Dengan contoh-
contoh karya sastra sebagai berikut Kisah Pelayaran ke Pulau
Kalimantan, Kisah Pelayaran ke Makassar, Cerita Siti Aisyah oleh
H.F.R Kommer (Indo), Warna Sari Melayu oleh Kat S.J, Syair Java
Bank Dirampok dan masih banyak lagi.

B. Bacaan Liar
Berkembangnya Kesusastraan Indonesia diawali dengan
memproduksi bacaan kaum pergerakan atau bangsa kolonial
menyebutnya Bacaan Liar. Kaum pergerakan menilai produksi bacaan,
bacaan berguna untuk menyatukan dan menggerakkan kaum kromo,
kaum buruh dan kaum tani tak bertanah. Produksi bacaan dapat
berbentuk surat kabar, novel, buku, syair sampai teks lagu (Erowati
dan Ahmad, 2011).

Bacaan sebagai alat bertukar pesan antar orang maupun organsasi


pergerakan kepada kaum kromo. Oleh spektrum revolusioner dan
radikal dari kaum pergerakan, bacaan diisi pesan tentang jaman yang
telah berubah dan penindasan kekuasaan kolonialisme. Tujuan dari
pesan-pesan tersebut adalah agar dapat mengajak rakyat kaum kromo
melawan penjajah. Pada saat pemberangusan organisasi - organisasi
radikal oleh pemerintah kolonial, maka bacaan liar juga ikut
diberangus. Berbagai Lembaga di luluh lantakkan, akan tetapi praktik
dan gagasan pergerakan yang telah ada pada tahun 1920-an tetap
hidup walaupun bentuk dan isi mengalami perubahan.

Dapat dilihat dari tetap hidupnya serikat buruh meskipun dengan


intensitas dan kegarangan yang sama maupun gerakan-gerakan
radikal lainnya yang tumbuh pada tahun 1930-an. Sudah tentu bentuk
bacaan pun mengalami perubahan. Contoh karya sastra pada periode
ini sebagai berikut Mata Gelap oleh Marco Kartodikromo, Cerita Nyai
Ratna oleh Tirto, dan lainnya.

7
C. Sastra Koran
Perkembangan Kesusastraan Indonesia tidak dapat lepas dari
peranan koran atau surat kabar. Surat kabar mulai menunjukkan
perannya dalam menopang kehidupan sastra dengan banyak
melahirkan penulis-penulis novel dari kalangan wartawan. Ini bahkan
dapat dilacak sejak terbitnya surat kabar pertama yang menggunakan
bahasa Melayu dengan tulisan latin, yakni Surat Kabar Bahasa
Melaijoe tahun 1856 dan beberapa surat kabar lain sesudah itu yang
memunculkan penulis- penulis Tionghoa (Erowati dan Ahmad, 2011).
Penulis-penulis ini kemudian melahirkan sastra Melayu Tionghoa,
baik berupa karya asli, saduran maupun terjemahan. Di dalam rentang
panjang sejarah sastra Indonesia (Melayu), evolusi sastra koran dapat
dilacak sejak masa pra-sastra Indonesia modern. Awal abad 20-an
diketahui surat kabar Medan Prijaji dari Bandung yang memuat cerita-
cerita bersambung berbentuk roman.

D. Balai Pustaka
Perkembangan Kesusastraan Indonesia Modern tidak bisa
dipisahkan dari keberadaan Balai Pustaka. Angkatan Balai Pustaka
adalah nama kelompok sastrawan dan karya-karyanya berdasarkan ciri-
cirinya didominasi Bahasa kemelayuan, adanya potret sosial yang
menjunjung tinggi tradisi, serta bebas dari unsur politik. Pada awalnya
Balai Pustaka adalah Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan
Bacaan Rakyat yang didirikan pada tahun 1908.
Komisi ini dimaksudkan untuk memerangi “Bacaan Liar” yang
banyak beredar pada awal abad ke-20. Balai Pustaka memerangi
pengaruh nasionalisme dan sosiolisme yang mulai tumbuh subur di
kalangan pemuda pelajar. Pemerintah kolonial dengan itu menyediakan
bacaan ringan untuk lulusan sekolah rendah. Balai Pustaka
memberikan pertimbangan kepada negara kolonial tentang pemilihan
naskah bacaan

8
bagi perpustakaan sekolah dan masyarakat kolonial umumnya.
Tugasnya adalah memajukan moral dan budaya serta meningkatkan
apresiasi sastra. Hampir semua novel Balai Pustaka memunculkan
tokoh mesias atau dewa penolong yaitu tokoh dari Belanda. Sementara
tokoh maupun pemimpin lokal seperti kepala desa, pemuka agama,
atau haji digambarkan kejam, tidak adil, dan tukang menikah (Erowati
dan Ahmad, 2011).
Ciri-ciri karya Angkatan Balai Pustaka adalah Berbicara tentang
pertentangan adat istiadat dan kawin paksa, gaya penceritaan mendayu-
dayu, masih menggunkan bahasa klise seperti peribahasa dan pepatah-
pepatah, karya Balai pustaka diharuskan didaktis serta netral agama
dan politik. Contoh karya Angkatan Balai Pustaka adalah Roman Siti
Nurbaya oleh Marah Rusli, Kumpulan Puisi Tanah Air oleh
Muhammad Yamin, Roman Salah Asuhan oleh Abdul Mus, dan masih
banyak lagi.

E. Pujangga Baru
Angkatan Pujangga Baru bertekad bahwa Bahasa dan kesusastraan
Indonesia harus lebih maju, dengan adanya ciri Indonesia yang lebih
merdeka, dinamis, serta intelektual. Angkatan ini banyak dipengaruhi
Angkatan 1880-an. Dengan sifat romantis dan idealisme, dengan arti
bahwa kesusastraan diwujudkan sebuah kreativitas sarat keindahan dan
idealisme. Berdirinya majalah Pujangga Baru sebagai bukti kebutuhan
masyarakat akan media yang menampung sastra dan kebudayaan.
Pujangga Baru terbit sebagai solusi banyaknya sensor yang dilakukan
oleh Balai Pustaka terhadap karya-karya sastrawan apalagi yang
menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran bangsa (Mujianto dan
Amir, 2014).
Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik, dan
elitis. Ciri dari Pujangga Baru adalah menampilkan nasionalisme
Indonesia, menonjolkan kebangkitan kaum muda, puisi – puisi
berbentuk soneta. Sedangkan contoh karyanya adalah Armijn Pane
dengan karyanya roman Belenggu, Hamka dengan romannya

9
Tenggelamnya Kapal Vander Wijck, Saadah Alim dengan karyanya
terjemahan novel Angin Timur Dan Angin Barat karya Pearl S. Buck,
1941.
2.3.2 Periode 1942 – 1945
Angkatan ini dikaitkan dengan revolusi fisik, karena ada hubungan
erat antara sastra dengan nilai patriotisme. Angkatan ini bersatu dengan
lika-liku perjuangan mencapai kemerdekaan, mempertahankan, dan
melestarikannya. Pada masa ini sastra mengekspresikan revolusi
dengan tidak adanya irama lamban, penggunaan kata serba muluk
mendayu- dayu, serta cita yang direnda indah melambung rasa.
Penggunaan kata seefektif mungkin, singkat, padat, tepat, bernada
jelas, mementingkan isi, realitas, dengan tidak meninggalkan nilai-nilai
sublim serta estetikanya.
Angkatan 45 juga dikenal dengan Angkatan sesudah perang,
Angkatan Chairil Anwar, generasi gelanggang dan lain-lain. Istilah –
istilah itu memiliki suatu landasan. Seperti Angkatan sesudah perang
karena dibuat saat sudah merdeka, Angkatan Chairil Anwar karena
sosok Chairil Anwar merupakan sastrawan yang terdepan pada masa
itu, sedangkan untuk penyebutan generasi gelanggang dilandasi adanya
gelanggang seniman merdeka di mana para pengarang, penyair,
wartawan serta pelukis berkumpul. Kesenimanan mereka berkonsep
pada humanisme universal, di mana sesuai dengan suatu deklarasi yang
terkenal dengan nama surat kepercayaan gelanggang yang diumumkan
dalam rumah kebudayaan majalah siasat pada 23 Oktober 1950
(Mujianto dan Amir, 2014).
Ciri dari Angkatan ini adalah membahas tentang kesengsaraan
nasib di tengah penjajahan Jepang yang sangat menindas,
berkembangnya sastra simbolik, menampilkan ungkapan yang singkat-
padat-bernas dan kesederhanaan baru dengan kalimat pendek nan
lugas. Contoh karya- karya angkatan ini adalah Chairil Anwar dengan
karyanya antologi puisi Deru Campur Debu, Kerikil Tajam, Dan yang
Terempas dan Yang Putus. Idrus dengan cerpennya Dari Ave Maria ke
jalan Lain ke Roma,

10
Kisah Sebuah Celana Pendek. Asrul Asni dengan karyanya cerpen Beri
Aku Rumah, Bola Lampu, Sahabat Saya Cordiaz, Musium dan lain-
lainnya.

2.3.3 Periode 1950-1960-an


A. Angkatan 50 atau Generasi Kisah
Penyebutan generasi kisah dikarenakan penciptaan cerita pendek
yang sangat subur. Ajip Rosidi (1950) menyebutnya dengan Angkatan
sastra terbaru. Generasi kisah menggambarkan kecamuk, pergolakan,
serta kehidupan sosial politik keras yang terjadi di sebuah republik
baru. Pada Angkatan ini muncul cerita pendek dan sajak yang terasa
menggembirakan lebih banyak dari novel maupun roman.
Menggambarkan kehidupan masyarakat yang masih berjuang berbenah
di awal kemerdekaan. Dimasa ini lah trend cerpen sastra Indonesia.
Mulai tumbuh sarasehan-sarasehan sastra terutama di lingkungan
kampus.
Sejalan dengan kondisi kehidupan masyarakat dan politik,
Sastrawan Angkatan 45 menyadari bahwa sastra yang mereka tujukan
untuk menyatukan mereka terperangkap dalam ideologi komunis. Pada
tahun 1953 muncul generasi baru yang disebut Angkatan terbaru. Pada
masa ini tidak ada sebuah perkembangan baru. Pokok ceritanya hanya
keadaan sehari-hari dengan mutu yang tidak terlalu tinggi. Hal ini
disebabkan keadaan politik yang berakibat terisolasinya kesusastraan
sehingga pengaruh dari luar tidak dapat masuk sama sekali. Pada 1950
berdiri LEKRA atau Lembaga Kebudayaan Rakyat, yaitu oraganisasi
dibawah naungan PKI. Pada awalnya kegiatan LEKRA hanya menjadi
Lembaga kebudayaan biasa tidak sebagai penyambung lidah partai.
Namun setelah Januari 1959 LEKRA menjadi alat pertumbuhan
pengaruh PKI dalam dunia politik. Dari awal satu-satunya ideologi
yang dianut LEKRA adalah ideologi Marxisme (Mujianto dan Amir,
2014).

11
Contoh karya dari generasi kisah adalah Ajip Rosidi dengan
karyanya cerpen dan novelet Tahun – tahun Kematian, Di Tengah
Keluarga, Pertemuan Kembali, Candra Kirana, Lutung Kasarung,
Perjalanan Penganten, Muchtar Lubis dengan karyanya novel Jalan
Tak Ada Ujung, Tak Ada Esok, Senja Di Jakarta, A.A. Navis dengan
karyanya kumpulan cerpen dan novel Robohnya Surau Kami, Hujan
Panas, Kemarau, Gerhana.

B. Angkatan 1966 atau Manifes Kebudayaan


Sekitar tahun 1966 lahirlah sebuah generasi kesusastraan baru.
Penamaan Angkatan 66 dikarenakan peristiwa politik kebangkitan
generasi muda yang dipelopori KAMI-KAPPI dalam menumbangkan
orde lama. Angkatan 66 kebanyakan adalah aktivis eksponen orde
baru, kelompok yang sangat militan terhadap Pancasila dan UUD 1945
untuk meruntuhkan kediktatoran serta meruntuhkan komunisme.
Kesusastraan pada Angkatan 66 sangat erat antara sastra dan
perjuangan politik (Mujianto dan Amir, 2014).
Menurut Pradopo (1968) kurang kuat. Kebangkitan sastra pada
1966 tidak landasi oleh filsafat serta budaya kuat. Namun hanya
berlandaskan dengan filsafat politik. Manifes kebudayaan merumuskan
bahwa kebudayaan yang ada dalam kesusastraan merupakan
perjuangan menyempurnakan kondisi hidup manusia.
Manifes Kebudayaan adalah kubu sastra yang menjunjung tinggi
kebebasan kreatif dan menciptakan keluhuran kemanusiaan secara
universal, dengan maksud memberi tandingan LEKRA yang giat
menciptakan propaganda politik (Mujianto dan Amir, 2014).
Pendukung Manifes Kebudayaan berikhtiar dengan sungguh dan jujur
sebagai perjuangan mengembangkan serta mempertahankan martabat
bangsa ditengah masyarakat dunia dengan Pancasila sebagai falsafah
hidup dan kebudayaan. Saat LEKRA dan PKI hilang dari dunia politik
kebudayaan, para sastrawan yang pada 1964 menghilang, kembali
menulis karya-karya sastra. Pengarang mulai tumbuh berkembang
dengan surat-surat kabar menyediakan ruang kebudayaan. Ajip Rosidi
(1950) mengemukakan adanya Angkatan terbaru, hal ini ditentang oleh

12
Jassin (1967) yang menilai lebih tepat disebut dengan Angkatan 66.
Namun Arief Budiman dan Goenawan Muhammad berpendapat bahwa
lebih tepat disebut Angkatan Manifes Kebudayaan, dibandingkan
Angkatan 66 Jassin (1967) yang masih berbau politik.
Ciri – ciri Angkatan 66 adalah menegakkan keadilan dan
Kebenaran bangsa Indonesia, menentang komunisme dan kediktatoran,
mengikis Lekra dan PKI, berobsesi menjadi Pancasila sejati. Contoh
karya Angkatan 66 adalah Taufiq Ismail dengan Karyanya kumpulan
sanjak Tirani dan Benteng, Karangan Bunga, Sebuah Jaket Berlumur
Darah, Sajak Ladang Jagung, Beri Daku Sumba, Sapardi Djoko
Darmono dengan Karyanya puisi Duka-Mu Abadi, Akwarium, Mata
Pisau, Perahu Kertas, Hujan Bulan Juni, Mohammad Diponegoro
dengan karyanya drama Surat pada Gubernur, Iblis, cerpen Kisah
Seorang Prajurit, esai Percik-percik Pemikiran Iqbal, Hariyadi
Sulaiman Hartowardoyo dengan karyanya roman Rang Buangan,
Perjanjian Dengan Maut.

2.3.4 Periode 1970 – 1980-an


Pada periode ini banyak berkembang inovasi kesusastraan
dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumya. Menurut Ajip
Rosidi (1969), “ ciri khas yang menandai kehidupan sastra setelah
gagalnya coup d’ etat Gestapu ialah munculnya kebebasan pengarang
untuk melakukan eksperimen-ekperimen (hampir) tanpa batas’’.
Muncul Sastra eksperimentasi karena anak muda banyak yang
berminat menulis karya sastra, tetapi media yang tersedia hanya satu
yaitu Horison. Sehingga banyak karya seni yang tidak bisa ditampung.
Sedangkan Horison hanya memunculkan karya dari pengarang yang
sudah mapan. Persaingan serta perjuangan untuk muncul itu
melahirkan puisi mbeling yang dikenal dengan “Puisi Lugu”, “Puisi
“Awam”, “Puisi Pop”, “Puisi Setengah Mateng”, “Puisi Jengki” dan
sebagainya (Erowati dan Ahmad, 2011). Begitu juga dengan
munculnya berbagai majalah untuk memuat puisi-puisi tersebut sepeti
majalah Aktuil, Stop, Top, dan Yunior. Periode ini memiliki
karakteristik sebagai berikut.

13
1. Menampilkan berbagai inovasi soal ide.
2. Mengetengahkan berbagai bentuk inovasi dalam Teknik ungkap.
3. Memberikan penghayatan lebih intens soal sosial hukum, agama,
filsafat dan sebagainya.
A. Sastra Populer
Majalah dan surat kabar tidak bisa dipisahkan dalam perkembangan
kesusastraan Indonesia. Media massa dalam perkembangan
kesusatraan mengambil peranan penting sebagai penyebar karya-karya
sastra yang ditulis oleh sastrawan. Pada masa ini Kembali muncul
media massa yang dulu dibungkam orde lama seperti Indonesia Raya
dan Merdeka. Serta munculnya beberapa media massa baru seperti
Kompas, Berita Yudha, Suara Karya, Surabaya Post dan sebagainya
(Erowati dan Ahmad, 2011).

Hampir semua penerbitan menyediakan rubrik sastra dan budaya setiap


minggunya dengan berisi sajak, cerpen, kritik, dan cerita bersambung.
Karya yang ditampilkan rata-rata berisi sesuai dengan kesukaan
masyarakat atau populer. Ceritanya banyak mengangkat peristiwa
aktual yang terjadi pada waktu itu dengan disajikan secara ringan. Hal
itu menyebabkan karya seperti novel popular banyak disukai
masyarakat. Kehadiran novel populer di Indonesia sudah ada sejak
awal perkembangan kesusastraan Indonesia (Erowati dan Ahmad,
2011).
Kehadiran novel terbitan swasta yang diproduksi komunitas
Tionghoa dan Kaum Pergerakan kemudian pemerintah kolonial
mendirikan Balai Pustaka merupakan awal kehadiran novel populer di
Indonesia. Pada pertengahan tahun 1930-an dan terus berlanjut sampai
1950-an, bermunculan novel yang sederhana dan dijual secara murah.
Pada tahun 1970-an novel berkembang pesat dengan faktor sosial,
politik, dan ekonomi merupakan pendukung yang penting. Pada masa
itu banyak bermunculan media massa maupun penerbitan, serta
bermunculannya majalah-majalah wanita seperti Femina, Kartini,
Sarinah, dan Dewi yang menghadirkan kolom cerpen. Contoh karya
sastra yang muncul pada periode ini antara lain Wajah-wajah Cinta
oleh La Rose, Sang Nyonya oleh Titik W.S, Cinta tak Pernah Dusta
14
oleh Mira W, dan masih banyak lagi.

B. Sastra Eksperimentasi
Periode ini diawali dengan lahirnya Puisi Mbeling. Bentuk
eksperimentasi karya sastra di Indonesia di awali lahirnya Puisi
Mbeling dengan tujuan untuk menggugah nilai-nilai yang bokek, nilai
seni kaum tua yang terlalu bertele-tele dengan segala teorinya (Erowati
dan Ahmad, 2011). Pada masa ini banyak muncul karya-karya dalam
bentuk cerpen, dengan majalah Horison mengambil peranan penting
dalam sektor publikasi. Karya yang ditampilkan dalam majalah
Horison mengarah dalam 3 hal, yaitu:
1. Upaya menemukan bentuk “gaya (ber)-bahasa”. Dimana “gaya
bahasa” menjadi sentrum penceritaan, hingga kemudian
membentuk setiap anasir cerita.
2. Upaya menemukan bentuk teknik penceritaan, menyangkut
penokohan dan struktur cerita, dimana efek dramatik cerita
dihasilkan melalui teknik penceritaan ini.
3. Upaya mengeksplorasi bentuk “ Tipografi Penceritaan ”,
dimana elemen visual dari huruf, tanda baca sangat
berpengaruh terhadap struktur penulisan cerita, dan bagaimana
cerita itu “ ditampilkan secara visual”.
Contoh karya-karya sastra pada masa ini antara lain Seribu Kunang-
kunang di Manhattan karya Umar Kayam, Sukri Membawa Pisau Belati
oleh Hamsad Rangkuti, Belajar Menghargai Hak asasi Kawan oleh Remy
Sylado dan masih banyak lagi.

15
2.3.5 Periode 1990-2000-an
Pada periode ini banyak tema yang mengambil masalah seks
bersanding dengan tema-tema Islami. Dengan banyak mengeksplorasi
bahasa dan memunculkan masalah seks (Erowati dan Ahmad, 2011).
Karya-karyanya sangat berani menampilkan nuansa erotic, hal sensual dan
bahkan seksual. Banyak yang mengusung ideologi kebebasan Wanita.
Ciri-ciri Angkatan ini adalah mengandung revolusi tipografi atau
tata wajah yang bebas aturan dan cenderung ke puisi konkret, pilihan kata
yang diambl dan bahasa sehari-hari yang disebut bahasa “
kerakyatjelataan”, penciptaan interaksi masal dan hal-hal yang bersifat
individual, puisi-puisi profetik (keagamaan/religius) dengan
kecenderungan menciptakan penggembaraan yang lebih konkret melalui
alam, rumput atau daun-daun.
Selaras dengan bentuk tipografi baru yang banyak diciptakan puisi
dengan corak bait atau nirbait (tidak menggunakan sistem pembuatan bait-
bait). Dengan contoh karya-karyanya adalah Trilogi Jendela oleh Fira
Basuki, Tarian Bumi oleh Rusmini, Ketika Mas Gagah Pergi oleh Helvy
Tiana, dan masih banyak lagi.

2.3.6 Periode Masa Kini


Perkembangan teknologi yang pesat membuat internet menjadi
media ekspresi tanpa batasan sensor sehingga membuatkan ruang bagi
penulis yang tidak tertampung oleh media tulis seperti koran, majalah, dan
penerbitan. Internet itu yang menyebabkan lahirnya Sastra cyber atau
sastra dunia maya di Indonesia. Sastra cyber tidak menyingkir sastra-sastra
yang muncul pada media konvensional seperti majalah dan koran. Dapat
dipahami bahwa Sastra cyber akan mengalami sebuah metamorfosis
sebagai akibat berkembangnya jejaring sosial di tanah air.
Media penerbitan seperti koran dan majalah tetap berkembang
menjadi ruang bagi kehidupan sastra Indonesia. Dengan karya sastra yang
senantiasa hadir dalam rubrik di koran atau majalah adalah cerpen. Para
penulis memanfaatkan apa yang ada di teknologi seperti mailing list
(milis),

16
situs, forum diskusi, dan lain sebagainya yang menyediakan tanpa sensor
sekecil pun. Dengan berkembangnya dunia internet banyak orang-orang
yang berlomba-lomba membuat karya untuk dipajang di dalam media
online (Erowati dan Ahmad, 2011)
Berikut merupakan contoh karya sastra masa kini, karangan Tulus
Wijanarko yang diposting 24 April 2001 di millis penyair
@yahoogroups.com. dan puisi cyber karya James Falah Udin.

Menyapa Narcissus
 Oleh Tulus Wijanarko

Kulayakang sepotong papirus ke kamarmu


Sebelum kita terlanjur menata kenangan yang bakal pucat
Adakah papan nama diujung jalanmu, atau mungkin ke Alengka
atau Kesia-siaan lebih berarti bagimu?

Kulayangkan sepotong papirus ke hatimu, dan kau boleh menutup


pintu hatimu

Kapal dan Samudra


 Oleh James Falah Udin

Bukannya aku tak lagi suka berasap dalam pelukanmu


Bisik sang kapal pada Samudra
Tapi dirimu tiada berbatas
Sementara aku tidaklah abadi

Contoh-contoh karya Sastra cyber lain seperti karya Hamid Jabbar yang
dimuat dalam Pikiran Rakyat dengan karya puisi Dua Warna, Paco-paco,
Wajah Kita, dan Rencong Gajah.

17
2.4 Masalah Periodisasi Sastra
Menurut Nachrowi (2020), penyebab terjadinya masalah dalam
periodisasi sastra Indonesia, yaitu sebagai berikut.

1. Tidak adanya kesamaan istilah yang dipergunakan. Istilah-istilah yang


biasa dipakai misalnya angkatan, periode, dan generasi.
2. Tidak adanya kesamaan pengertian terhadap istilah-istilah tersebut.
Tentang apa yang disebut angkatan banyak perbedaan pendapat.
3. Tidak adanya kesamaan nama yang dipergunakan untuk menyebut suatu
angkatan atau periode. Ada yang memakai angka tahun, nama badan
penerbit seperti Balai Pustaka, nama majalah seperti Pujangga Baru, nama
buku, dan sebagainya.
4. Tidak adanya kesamaan sistem yang dipergunakan. Ada yang menunjuk
satu angka tahun, misalnya angkatan 20, dan ada pula yang menunjuk
jangka waktu dari dua angka tahun, misal periode tahun’20 hingga tahun
’30.

18
BAB III

PENUTUP
3.1 Simpulan
Kehadiran kesusastraan Indonesia tidak lepas dari adanya sejarah
yang melahirkan dan membesarkannya. Guna memudahkan para sastrawan
dalam mempelajari sejarah sastra dari awal masa ke masa serta
memudahkan dalam pengembangan sastra, maka diadakan pembabakan
sastra. Pembabakan sastra ini di sebut dengan periodisasi sastra. Dengan
dilihat berdasarkan sifat-sifat, ciri-ciri, karya sastra pada setiap periode
atau masa angkatan.

Periodisasi dan angkatan adalah sesuatu yang berbeda, dimana


dalam periodisai mencakup setiap angkatan, karya sastra, dan segala
kejadian yang terjadi dalam batasan kurun waktu. Sedangkan Angkatan
adalah sekumpulan sastrawan yang hidup dalam satu kurun masa atau
menempati periodisasi tertentu. Adapun permasalahan dalam periodisasi
sastra Indonesia yaitu, tidak adanya kesamaan istilah dalam pembabakan
sastra seperti periodisasi, angkatan dan generasi. Serta ketidaksamaan
sistem dalam penulisan periode ada yang hanya menuliskan dalam periode
satu tahun, ada juga yang menuliskan menunjukkan jangka waktu antara 2
angkatan tahun.

3.2 Saran
1. Perlu dilakukannya lagi penelitian dan pendalaman agar materi mengenai
sejarah kesusastraan Indonesia lebih luas serta lengkap.

2. Sebagai generasi muda kita harus mengetahui periode-periode


kesusastraan Indonesia meliputi tokoh, karakteristik, serta karya-karya
sastrawan terdahulu. Dengan mengetahui periode-periode sastra kita dapat
melanjutkan perjuangan dalam bidang kesusastraan.

19
Daftar Pustaka

Erowati, Rosida. Ahmad Bahtiar. 2011. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta:


Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Harjito. 2007. Potret Sastra Indonesia. Semarang: Semarang Press.

Periode. 2016. Pada KBBI Daring. Di ambil pada 10 Oktober 2022, dari
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/periode.

Periodisasi. 2016. Pada Ensiklopedia Sastra Indonesia Daring. Di ambil pada 25


Oktober 2022, dari
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/pencarian/periodisasi.

Mujiyanto, Yant. Amir Fuady. 2014. Kitab Sejarah Sastra Indonesia: Prosa Dan
Puisi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Nachrowi, Muyassarah. 2020, 7 September. Sejarah, Studi, dan Periodisasi Sastra


[Video]. YouTube . https://youtu.be/Dx0HxiwmU2g.

Pradopo, Rachmad Djoko. 1990. Sejarah Puisi Indonesia Modern Sebuah


Ikhtisar. Makalah Seminar Nasional Sejarah Sastra Indonesia. 1990 Oleh
Undip 5-6 Oktober 1990.

Rosidi, Ajib. 1969. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Bina Cipta.

Sugiantomas, Aan. 2020. Langkah Awal Menuju Apresiasi Sastra Indonesia.


Cirebon: CV RinMedia.

Suwardi. 2004. Sejarah Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

20

Anda mungkin juga menyukai