PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1
2. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami membatasi permasalahan, yang bertujuan agar
pengkajiannya lebih terarah dan tepat sasaran. Adapun rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut :
1. Apa itu hakikat ?
2. Apa itu periodisasi sastra ?
3. Bagaimana pembagian periodisasi sastra
3. Tujuan Masalah
Tujuan masalah makalah ini adalah :
a. Untuk mengetahui hakikat itu apa
b. Untuk mengetahui periodisasi sastra itu apa
c. Dapat memahami pembagian periodisasi sastra
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sastra dalam bahasa Indonesia berarti bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang
dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari), karya tulis yang jika
dibandingkan dengan tulisan lain memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti
keaslian, keartristikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya, drama, epic, dan
lirik.
Jadi dapat disimpulkan kalau hakikat sastra dapat diartikan sebagai segala
yang berada pada suatu dasar sebuah konstruksi pemikiran manusia untuk
menentukan gaya bahasa untuk dipakai di kitab – kitab atau karya tulis yang bisa
menghasilkan suatu keunggulan.
1. Sifat sastra
Sastra juga mendukung pikiran, sedangkan bahasa emosional tidak
dimiliki oleh sastra. Bahasa ilmiah bersifat arbitrary atau juga dapat dipilih
secara kebetulan, tanpa aturan tertentu, jadi dapat digantikan oleh tanda
lain yang sama artinya. Tanda juga bersifat maya, tidak menarik perhatian
pada dirinya sendiri, tapi menunjuk langsung pada yang diacunya.
2. Fungsi sastra
Sastra sendiri memiliki berbagai nilai – nilai fungsi yang dapat
diambil:
A. Fungsi Rekreatif
3
Sastra dapat memberi hiburan menyenangkan bagi penikmat atau
pembaca.
B. Fungsi Didaktif
Sastra mampu mengarah atau mendidik pembaca karena nilai
kebenaran kebaikan yang terkandung didalamnya
C. Fungsi Estetis
Sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat dan pembacanya
sebab sifat keindahannya.
D. Fungsi Moralitas
Sastra mampu memberikan pengetahuan pada pembaca dan
peminatnya, sehingga tau moral yang baik dan buruk, oleh karena itu
sastra yang baik selalu mengandung moral yang tinggi.
E. Fungsi Relegius
Sastra juga menghasilkan karya yang mengandung ajaran agama yang
bisa diteladani penikmat atau pembaca sastra.
4
2. Untuk memperkaya rohani. Beberapa karya sasatra terdapat suatu kiasan
yang mengandung makna yang sangat dalam. Para pembaca dibuat ikut
serta untuk mencari suatu arti yang dikandung dipermukaan ceritanya
sehingga pembaca akan menemukan kekayaan rohani yang terselip
diantara sajak-sajak sastra.
3. Untuk menjadi manusia yang berbudaya. Dengan membaca karya sastra,
secara tidak langsung pembaca akan dituntun menyelami ragam cara dan
budaya yang disebarkan oleh pengarang. Disebut manusia yang berbudaya
jikakalau telah memiliki sikap cepat dan tanggap dalam segala hal yang
luhur dan indah didunia ini.
Untuk belajar mengungkapkan sesuatu yang baik. Sastra penuh dengan kata-
kata yang baik juga indah. Hal ini secara tidak langsung membuat para pembaca
dilatih menggungkapkan ucapan dengan gaya bahasa yang indah dan menarik
untuk keperluan tertentu.
5
kumpulan puisi Ballada Orang-Orang Tercinta (W.S. Rendra) dan kumpulan puisi
Priangan Si Jelita (Ramadhan K.H.).
6
berdasarkan perbedaan norma-norma umum dalam sastra sebagai
pengaruh situasi tiap-tiap zaman. Dalam buku yang ditulis Zuber
Usman berjudul Kesusastraan Baru Indonesia (1956) dinyatakan
periodisasi sastra Indonesia sebagai berikut Zaman Balai Pustaka
(1908) Zaman Pujangga Baru (1933) Zaman Jepang (1942) Zaman
Angkatan 45 (1945) Zuber Usman menggunakan kriteria ekstrinsik
dalam membuat periodisasinya karena nama Balai Pustaka, Pujangga
Baru, Jepang, dan Angkatan 45 adalah nama-nama di luar sastra.
Nama-nama badan penerbit Balai Pustaka, gerakan kebudayaan atau
nama majalah kebudayaan Pujangga Baru, penjajahan Jepang, dan
generasi pejuang kemerdekaan Angkatan 45 dianggap Zuber Usman
telah mempengaruhi perkembangan karya sastra. Dalam tulisan
Rachmat Djoko Pradopo di harian Berita Buana berjudul “Masalah
Angkatan dan Penulisan Sejarah Sastra Indonesia” (tanggal 2, 9, 16,
23, 30 September dan 7 Oktober 1986) dinyatakan “gambaran
sesungguhnya periode-periode sejarah sastra Indonesia tertumpang
tindih” sebagai berikut Periode Balai Pustaka: 1920—1940 Periode
Pujangga Baru: 1930—1945 Periode Angkatan 45: 1940—1955
Periode Angkatan 1950: 1950—1970 Periode Angkatan 1970: 1970—
sekarang (1986) Rachmat Djoko Pradopo memberikan ciri-ciri tiap-
tiap periode berdasarkan kriteria instrinsik. Istilah yang digunakan
Pradopo untuk menandai periode itu adalah (a) ciri-ciri struktur
estetik, dan (b) cirri-ciri ekstra estetik. Menurut Prof. Drs. Sarwadi
(1994), periodisasi merupakan masalah yang banyak menarik
perhatian orang, tidak hanya para penelaah sastra saja, tetapi juga para
sastrawan. Menurutnya, masalah periodisasi itu tidak begitu penting
buat para sastrawan. Ada beberapa pengarang yang tidak mau
dimasukkan ke dalam salah satu angkatan karena dipandang akan
membatasi dan mempersempit kebebasan daya kreativitasnya.
Walaupun demikian periodisasi sejarah sastra Indonesia Modern itu
perlu, terutama bagi para penelaah sastra dan bagi dunia pendidikan
dan pengajaran. Dengan periodisasi itu kita akan dapat dengan mudah
7
mengetahui tahap-tahap perkembangan sastra Indonesia dengan corak
dan aliran.
8
Jenis karya sastra yang dihasilkan pada periode ini sebagian besar
adalah roman. Selain itu, ada juga jenis sastra berbentuk puisi yang
berupa syair dan pantun. Puisi berupa syair dan pantun tersebut
umumnya disisipkan dalam roman untuk memberi nasihat kepada
pembaca.
Periode Angkatan Pujangga Baru (1930)
Pada periode Pujangga Baru jenis sastra yang dihasilkan sebagian
besar puisi. Selain itu, karya sastra berjenis cerita pendek dan drama
sudah mulai ditulis.
Periode Angkatan 45
Pada periode angkatan 45 ini berkembang jenis-jenis sastra: puisi,
cerpen, novel, dan drama.
Periode Angkatan 50-an (1950)
Sebenernya ciri-ciri karya sastra Angkatan 45 dan Angkatan 50
sukar dibedakan. Angkatan 45 diteruskan oleh Angkatan 50.
Periode/Angkatan 66’-70’
Dalam periode ini mulai berkembang sastra pop dan novel pop
Sastrawan Angkatan Reformasi
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan
Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan
Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang Sastrawan Angkatan
Reformasi.Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya
karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel yang bertema sosial politik,
khususnya seputar Reformasi. Di rubrik sastra Harian Republika,
misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa
atau sajak sajak reformasi.
Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi
puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial politik. Sastrawan
Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang
terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru.
Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak
9
melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra puisi, cerpen, dan novel
pada saat itu.
Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial
politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda dan
Acep Zamzam Noer, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak
sosial politik mereka.
10
Zaman ini melahirkan karya sastra berupa mantra, syair, pantun,
hikayat, dongeng, dan bentuk yang lain. Karya sastra pada kesusastraan
lama masih berkisar pada cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut
(lisan). Hasil karya sastranya berupa dongeng, mantra, dan hikayat. Cerita
pada masa ini bersifat istana sentries (mengisahkan kehidupan raja-raja).
Zaman Peralihan
11
Pada masa ini bahasa Melayu Riau dipandang sebagai bahasa
Melayu standar yang yang lebih baik dari dialek-dialek Melayu lain seperti
Betawi, Jawa, atau Sumatera. Oleh karena itu, para lulusan sekolah asal
Minangkabau, yang diperkirakan lebih mampu mempelajari bahasa
Melayu Riau, dipilih sebagai dewan redaksi. Beberapa diantaranya adalah
Armjin Pene dan Alisjahbana. Angkatan Balai Poestaka baru
mengeluarkan novel pertamanya yang berjudul Azab dan Sengsara karya
Merari Siregar pada tahun 1920-an. Novel yang mengangkat fenomena
kawin paksa pada masa itu menjadi tren baru bagi dunia sastra. Novel-
novel lain dengan tema serupa pun mulai bermunculan. Adapun ciri-ciri
karya sastra pada masa Balai Poestaka, yaitu
1. Gaya Bahasa : Ungkapan klise pepatah/pribahasa.
2. Alur : Alur Lurus.
3. Tokoh : Plot karakter ( digambarkan langsung oleh narator ).
4. Pusat Pengisahan : Terletak pada orang ketiga dan orang pertama.
5. Terdapat digresi : Penyelipan/sisipan yang tidak terlalu penting,
yang dapat menganggu kelancaran teks.
6. Corak : Romantis sentimental.
7. Sifat : Didaktis (pendidikan)
8. Latar belakang sosial : Pertentangan paham antara kaum muda
dengan kaum tua.
9. Peristiwa yang diceritakan saesuai dengan realitas kehidupan
masyarakat.
10. Puisinya berbentuk syair dan pantun.
11. Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan
kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan,
dll.
12. Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan.
Ciri umum angkatan ini adalah tema berkisari tentang konflik adat
antara kaum tua dengan kaum muda, kasih tak sampai, dan kawin paksa,
bahan ceritanya dari Minangkabau, bahasa yang dipakai adalah bahasa
Melayu, bercorak aliran romantik sentimental.
12
Tokohnya adalah Marah Rusli (roman Siti Nurbaya), Merari Siregar
(roman Azab dan Sengsara), Nur Sutan Iskandar (novel Apa dayaku Karena
Aku Seorang Perempuan), Hamka (roman Di Bawah Lindungan Ka’bah),
Tulis Sutan Sati (novel Sengsara Membawa Nikmat), Hamidah (novel
Kehilangan Mestika), Abdul Muis (roman Salah Asuhan), M Kasim
(kumpulan cerpen Teman Duduk)
Pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sultan Takdir
Alisjahbana mendirikan sebuah majalah yang diberi nama Poejangga
Baroe. Majalah Poedjangga Baroe menjadi wadah khususnya bagi seniman
atau pujangga yang ingin mewujudkan keahlian dalam berseni. Poedjangga
Baroe merujuk pada nama sebuah institusi literer yang berorientasi ke aneka
kegiatan yang dilakukan para penulis pemula. Majalah ini diharapkan
berperan sebagai sarana untuk mengoordinasi para penulis yang hasil
karyanya tidak bisa diterbitkan Balai Poestaka (Purwoko, 2004: 154).
Selain mempublikasikan karya sastra, majalah ini juga merintis
sebuah rubrik untuk memuat esai kebudayaan yang diilhami oleh
Alisjahbana dan Armijn Pane. Kelahiran majalahPoedjangga Baroe menjadi
titik tolak kebangkitan kesusastraan Indonesia. S.T. Alisjahbana, dalam
artikel Menudju Masjarakat dan Kebudajaan Baru, menjelaskan bahwa
sastra Indonesia sebelum abad 20 dan sesudahnya memiliki perbedaan yang
didasari pada semangat keindonesiaan dan keinginan yang besar akan
perubahan.
Adapun karakteristik karya sastra pada masa itu terlihat melalui
roman-romannya yangsangat produktif dan diterima secara luas oleh
masyarakat. Pengarang yang paling produktif yaitu Hamka dan Alisjahbana.
Hamka, dalam Mengarang Roman, mengatakan Roman adalah bentuk
modern dari hikayat. Roman memperhalus bahasa yang sebelumnya sangat
karut marut menyerupai kalimat Tionghoa sehingga secara tidak langsung
roman-roman yang ada mampu memicu minat baca masyarakat yang
awalnya tidak gemar membaca.
13
Berdasarkan isi cerita, tema-tema yang ada memperlihatkan
kecenderungan para pengarang yang membuat tokoh-tokoh dalam ceritanya
berakhir pada kematian. Pengaruh Barat yang sangat kental pada
perkembangan sastra Indonesia dalam periode Pujangga Baru menghasilkan
beberapa perbedaan pandangan dalam kalangan sastrawan pada saat
itu.Sebagai contoh, novel pertama yang diterbitkan majalah
ini, Belenggu, pernah ditolak oleh Balai Pustaka karena dianggap
mengandung isu tentang nasionalisme dan perkawinan yang retak. Dengan
alasan didaktis, kedua isu budaya tersebut dianggap tidak cocok dengan
kebijakan pemerintah kolonial.
Cirinya adalah :
1) Bahasa yang dipakai adalah bahasa indonesia modern,
2) Temanya tidak hanya tentang adat atau kawin paksa, tetapi mencakup
masalah yang kompleks, seperti emansipasi wanita, kehidupan kaum
intelek, dan sebagainya,
3) Bentuk puisinya adalah puisi bebas, mementingkan keindahan bahasa,
dan mulai digemari bentuk baru yang disebut soneta, yaitu puisi dari italia
yang terdiri dari 14 baris,
4) Pengaruh barat terasa sekali, terutama dari angkatan ’80 belanda,
5) Aliran yang dianut adalah romantik idealisme, dan
6) Setting yang menonjol adalah masyarakat penjajahan.
Tokohnya adalah STA Syhabana (novel Layar Terkembang, roman
Dian Tak Kunjung Padam), Amir Hamzah (kumpulan puisi Nyanyi Sunyi,
Buah Rindu, Setanggi Timur), Armin Pane (novel Belenggu), Sanusi Pane
(drama Manusia Baru), M. Yamin (drama Ken Arok dan Ken Dedes),
Rustam Efendi (drama Bebasari), Y.E. Tatengkeng (kumpulan puisi Rindu
Dendam), Hamka (roman Tenggelamnya Kapa nVan Der Wijck).
c) Angkatan ’45
14
bahasa Indonesia yang berjiwa. Bukan lagi bahasa buku, melainkan bahasa
percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra (Rosidi, 1965: 91).
Dengan munculnya kenyataan itu, maka banyaklah orang yang berpendapat
bahwa suatu angkatan kesusateraan baru telah lahir. Angkatan ini memiliki
beberapa sebutan, yaitu Angkatan ’45, Angkatan Kemerdekaan, Angkatan
Chairil Anwar, Angkatan Perang, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan
Sesudah Pujangga Baru, Angkatan Pembebasan, dan Generasi Gelanggang.
Angkatan ’45 adalah angkatan yang muncul setelah berakhirnya
Angkatan Pujangga Baru. Angkatan ini terbentuk karena Angkatan
Pujangga Baru dianggap gagal menjalankan gagasannya. Pujangga Baru
yang semula memiliki gagasan baratisasi sastra Indonesia, nyatanya
hanya mentok pada belandanisasi. Dengan kata lain, tokoh-tokoh atau
karya-karya seni dan sastra yang diambil sebagai acuan dan sumber
inspirasi hanya berasal dari negeri Belanda saja, bukan dari penjuru Barat.
Untuk meluruskan persepsi tersebut, muncullah Angkatan ’45 sebagai
gantinya.
Keberadaan angkatan ini erat hubungannya dengan Surat Kepercayaan
Gelanggang. Konsep humanisme universal menjadi acuan Perkumpulan
Gelanggang karena mereka merasa karya-karya yang dibuat oleh Angkatan
Pujangga Baru kurang realistis pada masa itu. Angkatan Pujangga Baru
yang beraliran romatis dinilai terlalu utopis dan hanya mementingkan
estetika. Berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ’45 beraliran
ekspresionisme-realistik. Karya-karya yang dihasilkan bergaya ekspresif,
menggambarkan identitas si seniman dan juga realistis. Dalam hal ini,
realistis berarti fungsional atau berguna untuk masyarakat. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Angkatan ’45 menganut pendapat seni
untuk masyarakat, sementara Pujangga Baru menganut pendapat seni untuk
seni.
Tema yang banyak diangkat dalam karya-karya seni Angkatan ’45
adalah tema tentang perjuangan kemerdekaan. Dari karya-karya bertemakan
perjuangan itulah amanat yang menyatakan bahwa perjuangan mencapai
kemerdekaan tak hanya dapat dilakukan melalui politik atau angkat senjata,
15
tetapi perjuangan juga dapat dilakukan melalui karya-karya seni.Angkatan
’45 mulai melemah ketika sang pelopor, Chairil Anwar, meninggal dunia.
Selain itu, Asrul Sani, yang juga merupakan salah satu pelopor mulai
menyibukkan diri membuat skenario film. Kehilangan akan kedua orang
tersebut membuat Angkatan ’45 seolah kehilangan kemudinya. Akhirnya,
masa Angkatan ’45 berakhir dan digantikan dengan Angkatan’50.
Angkatan ’45 memiliki gaya yang berbeda dengan Angkatan Pujangga
Baru. Gaya ini dipengaruhi oleh kondisi politik masing-masing angkatan.
Angkatan Pujangga Baru memiliki gaya romantis-idealis karena pada saat
itu perjuangan kemerdekaan belum sekeras yang dialami Angkatan ’45.
Sementara Angkatan ’45 yang terbentuk pada saat gencarnya perjuangan
kemerdekaan memilih gaya ekspresionisme-realistik agar dapat berguna dan
diterima oleh masyarakat. Pada akhirnya, semua angkatan yang ada
sepantasnya menyadari fungsi sosial mereka. Setiap angkatan harus
memikirkan letak kebermanfaatan mereka bagi masyarakat karena mereka
hidup dan tumbuh di dalam masyarakat.
Ciri umumnya adalah bentuk prosa maupun puisinya lebih bebas,
prosanya bercorak realisme, puisinya bercorak ekspresionisme, tema dan
setting yang menonjol adalah revolusi, lebih mementingkan isi daripada
keindahan bahasa, dan jarang menghasilkan roman seperti angkatan
sebelumnya.
d) Angkatan 1950
16
Sejak tahun 1953 , Balai Pustaka yang sejak dulu bertindak sebagai penerbit
utama buku-buku sastra, kedudukannya sudah tidak menentu (Rosidi, 1965:
137). Sejak saat itu aktivitas sastra hanya dalam majalah-majalah,
seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, Poedjangga
Baroe, dll.
Karena sifat majalah, maka karangan-karangan yang mendapat tempat
terutama yang berupa sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang tidak
begitu panjang. Sesuai dengan yang dibutuhkan oleh majalah-majalah, maka
tak anehlah kalau para pengarangpun lantas hanya mengarang cerpen, sajak,
dan karangan lain yang pendek-pendek (Rosidi, 1965: 138). Hal itulah yang
memunculkan istilah “sastra majalah” pada masa itu. Berikut
pendapat Soeprijadi Tomodihardjo, dalam artikelnya “Sumber-Sumber
Kegiatan”1
1. Kesusastraan sedang memasuki masa krisis, masalah kualitas dan
kuantitas.
2. Ekspansi ideologi ke dalam dunia seni mengakibatkan banyak orang
meninggalkan nilai-nilai seni yang wajar, dan ideologi politik kian
menguat.
3. Seni dan politik adalah pencampuradukan yang lahir dari kondisi masa itu.
4. Pada masa itu pula telah lahir organisasi-organisasi kegiatan kesenian yang
mengarahkan kegiatanya pada seni sastra dan seni drama.
5. Hal ini mengindikasikan seni mendapat perhatian.
6. Kesusastraan berhubungan erat dengan adanya tempat berkegiatan, Jakarta
di angggap sebagai pusatnya. Anggapan ini diluruskan, Jakarta hanya
sebagai pusat produksi dan publikasi
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa angkatan 1950
merupakan angkatan yang sepi oleh karya karena sastra Indonesia yang ada
dianggap sudah tidak lagi memiliki identitas, kesusasteraan mengalami
krisis baik kualitas maupun kuantitas karena lahirnya pesimisme dan
penggunaan seni ke ranah politik yang tidak dibarengi dengan tanggung
jawab.
e) Angkatan ’66
17
Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa sejak awal pertumbuhannya
sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada
politik (Rosidi, 1965: 177). Pada masa ini sastra sangat dipengaruhi oleh
lembaga kebudayaan seperti Lekra dan Manikebu. Pada tahun 1961
Lekra,organ PKI yang memperjuangkan komunisme, dinyatakan
sebagaiorganisasi kebudayaan yang memperjuangkan slogan “politik adalah
panglima”.
Sementara Menifes Kebudayaan merupakan sebuah konsep atau
pemikiran di bidang kebudayaan dan merupakan sebuah reaksi terhadap
teror budaya yang pada waktu itu dilancarkan oleh orang-orang
Lekra. Manifes kebudayaan di tuduh anti-Manipol dan kontra Revolusioner
sehingga harus dihapuskan dari muka bumi Indonesia. Pelarangan Manifes
Kebudayaan diikuti tindakan politis yang makin memojokkan orang-orang
Manifes Kebudayaan, yaitu pelarangan buku karya pengarang-pengarang
yang berada di barisan. Adapun buku-buku yang pernah dilarang, antara
lain Pramudya Ananta Toer, Percikan Revolusi, Keluarga Gerirya, Bukan
pasar Malam ,Panggil Aku Kartini Saja , Korupsi dll; Utuy T.
Sontani,Suling, Bunga Rumah makan,Orang-orang Sial, Si
Kabayan dll; Bakri Siregar, Ceramah Sastra, Jejak Langkah , Sejarah
Kesusastraan Indonesia Modern.
Menurut H. B. Jassin, ciri-ciri karya pada masa ini adalah sebagai
berikut
1. Mempunyai konsepsi Pancasila
2. Menggemakan protes sosial dan politik
3. Membawa kesadaran nurani manusia
4. Mempunyai kesadaran akan moral dan agama
Ciri umumnya adalah tema yang menonjol adalah protes sosial dan
politik, menggunakan kalimat-kalimat panjang mendekati bentuk prosa.
18
Kapal), A.A. Navis (novel Kemarau), Toha Mohtar (novel Pulang),
Mangunwijaya (novel Burung-burung Manyar), Iwan Simatupang (novel
Ziarah), Mochtar Lubis (novel Harimau-Harimau), Mariannge Katoppo
(novel Raumannen).
19
sastrawannya. Pada tahun 1970-an, sastra memiliki karakter yang keluar
dari paten normatif. Pada tahun 1980-an hingga awal 1990-an, sastra
memiliki karakter yang diimbangi dengan arus budaya populer. Pada tahun
2000-an hingga saat ini, sastra kembali memiliki keragaman kahzanah dari
yang populer, kritik, reflektif, dan masuk ke ranah erotika dan absurditas3.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hakikat sastra dapat diartikan sebagai segala yang berada pada suatu dasar
sebuah konstruksi pemikiran manusia untuk menentukan gaya bahasa untuk
dipakai di kitab – kitab atau karya tulis yang bisa menghasilkan suatu keunggulan.
Periode sastra dibagi dalam beberapa periode yaitu pujangga lama, sastra
melayu lama, periode balai pustaka, periode angkatan pujangga baru, periode
angkatan 45, angkatan 50-an, angkatan 66-70, angkatan reformasi, angkatan 2000-
an.
B. Saran
Kami pun menyadari makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh
sebab itu kami menyarankan kepada para pembaca untuk tetap terus menggali
20
sumber-sumber yang menunjang terhadap pembahasan makalah ini untuk
perbaikan yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Pamusuk Eneste. 2001. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku
Kompas.
21