Anda di halaman 1dari 84

CRITICAL BOOK REPORT

DISUSUN OLEH:
NAMA : WINRI AGNES SIHOTANG
NPM : 2110049

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan berkat-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah CBR ini tepat waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas pada
mata kuliah Sejarah Satra. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah
wawsan bagi pembaca tentang cara belajar.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Renita Br Saragih, S.P,
M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Sastra. Tugas yang telah diberikan ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan
makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Medan, 13 Oktober 2021

Winri Agnes Sihotang


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………….
DARTAR ISI…………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………….
A. Latar Belakang Critical Book Report………………………………...................

B. Tujuan Critical Book Report………………………………………....................

C. Mamfaat Critical Book Report………………………………………………….

BAB II ISI BUKU………………………………………………………………………


A. Identitas Buku………………………………………………………………………

B. Isi Ringkasan Buku…………………………………………………………………

BAB III PEMBAHASAN……………………………………………………………….


A. Kelebihan Buku…………………………………………………………………….

B. Kelemahan Buku……………………………………………………………………

BAB IV PENUTUP……………………………………………………………………….
A. Simpulan……………………………………………………………………………

B. Saran…………………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG CRITICAL BOOK REPORT


Critical Book Report (CBR) adalah pengkajian atau menguji kemampuan dalam
meringkas dan menganalisis sebuah buku yang dianalisis dengan buku yang lain, mengenal
dan memberi nilai serta mengkritik sebuah karya yang dianalisis. Critical Book Report ini
membahas tentang Sejarah Sastra. Buku adalah salah satu kebutuhan yang saat ini terbilang
mutlak sebgai pegangan seorang mahasiswa dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Dalam
Critical Book Repot ini berisi laporan hasil review dua referensi buku yang berbeda. Buku yang
pertama berjudul Sejarah sastra Indonesia karya dari Rosida Erowati, M. Hum bersama Ahmad
Bahtiar, M.Hum dan buku yang kedua berjudul Perkembangan Sejarah Sastra Indonesia karya
dari Rismawati, M.Pd.

B. TUJUAN CRITICAL BOOK REPORT


Beberapa tujuan dari penulisan Critical Book Report ini, untuk mendeskripsikan mengenai
materi dalam evaluasi pembelajaran dari dua referensi buku yang berbeda, serta guna
memperoleh kesimpulan, yakni buku manakah yang lebih relvan sebagai acuan mahasiswa
dalam mempelajari mata kuliah Sejarah Sastra.

C. MANFAAT CRITICAL BOOK REPORT


Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Sastra, mamfaat yang dapat di ambil dari
Critical Book Report ini adalah diperolehnya informasi-informasi yang tersedia serta
memberikan pemahaman bagi mahasiswa mengenai sistematika pembuatan Critical Book
Report.
BAB II
ISI BUKU

A. IDENTITAS BUKU

1. Buku Pertama
Judul Buku : Sejarah Sastra Indonesia
Nama Penulis : Rosida Erowati, M.Hum dan Ahmad Bahtiar, M.Hum
Terbit : November 2011
Penerbit : Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jumlah Halaman : 97 Halaman
ISBN : 978-602-8606-98-1

2. Buku Pembanding
Judul Buku : Perkembangan Sejarah Sastra Indonesia
Nama Penulis : Rismawati, M.Pd
Terbit : Januari 2017
Penerbit : Bina Karya Akademika Banda Aceh
Jumlah Halaman : 193 Halaman
ISBN : 978-602-72028-6-3
B. ISI/ RINGKASAN BUKU UTAMA BUKU PEMBANDING

1. Buku Utama
Sejarah Sastra Indonesia

BAB I
HAKIKAT SEJARAH SASTRA

1.1 Pengertian Sejarah Sastra


Apakah sebenarnya sejarah itu? Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa
sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Itu
sebabnya menyajikan sejarah merupakan upaya untuk menyampaikan apa yang terjadi di
masa lampau. Pergantian generasi yang terjadi terus menerus menjadikan upaya
menyajikan sejarah menjadi aktivitas yang sangat menarik dan penuh kepentingan. Jika
sejarah merepresentasikan realitas, bisa jadi apa yang kita pahami tentang sautu peristiwa
berbeda dari versi umum yang dirilis oleh pemerintah, atau versi resmi. Kenyataan
menunjukkan bahwa semakin banyak pelaku sejarah, semakin bervariasi pula versi yang
muncul.

Berdasarkan hal-hal tersebut, berikut beberapa pengertian sejarah sastra. Luxemburg,


dalam Pengantar Ilmu Sastra menjelaskan bahwa sejarah sastra ialah ilmu yang membahas
periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang dan reaksi
pembaca. Sedangkan menurut Zulfanur Z.F. dan Sayuti Kurnia, Sejarah Sastra ialah ilmu
yang mempelajari perkembangan sejarah suatu bangsa daerah, kebudayaan, jenis karya
sastra, dan lain-lain.

Dengan demikian, kita perlu memahami sifat assl sejarah, yaitu fleksibel,
menyesuiakan dengan kepentingan para pemiliknya. Ini berarti, 6ancer6 satu versi tunggal
terhadap sejarah. Yang mengapung hadir ke permukaan pembaca dan pendengar adalah
versi pemilik peristiwa tersebut.
1.2 Fungsi Sejarah Sastra
Siapa pun yang ingin berminat untuk mempelajari sastr sebuah bangsa secara sungguh-
sungguh sebaiknya memahami benar sejarah sastra tersebut atau sekurang-kurangnya
mengetahui garis besar pertumbuhan dan perkembangannya. Sejarah sastra tidak hanya
memberikan gambaran tentang perkembangan karya satra suatu bangsa, tetapi
perkembangan sastra daerah atau sastra local dan perkembangan sastra lainnya sebagai
bentuk budaya bangsa.

Persoalan sastra yang erat kaitanya dengan perubahan zaman dan gejolak sosial politik
yang secara teoretis dipercaya besar pengaruhnya terhadap warna kehidupan sastra. Karena
pada dasarnya peristiwa-peristiwa kesustraan selalu ada kaitannya dengan peristiwa sosial
politik yang terjadi pada suatu bangsa.

Melalui sejarah sastra para pengarang dapat melihat jelas dan menghayati karya-karya
pengarang sebelumnya baik sifat-sifat maupun coraknya sehingga dapat menciptakan karya
sastra baru dengan melanjutkan atau menyimpangi konvensi-konvensi karya sebelumnya.

1.3 Kedudukan dan Cakupan Sejarah Sastra


Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra. Ilmu sastra adalah ilmu yang mem pelajari
tentang sastra dengan berbagai permasalahannya. Di dalamnya tercakup teori sastra, sejarah
sastra, dan kritik sastra. Ketiga bagian ilmu sastra tersebut saling berkaitan.
Teori sastra tidak dapat dilepaskan dari sejarah sastra dan kritik sastra demikian pula
sebaiknya. Sejarah sastra adalah ilmu yang memperlihatkan perkembangan karya sastra
dari waktu ke waktu, para penulis memilih karyakarya yang menonjol, karya-karya puncak
dalam suatu kurun waktu, ciri-ciri dari setiap kurun waktu perkembangannya, peristiwa-
peristiwa yang terjadi di seputar masalah sastra. Untuk dapat melihat karya sastra yang
menonjol dan merupakan karya-karya puncak kurun waktu tertentu sejarah sastra perlu
melibatkan kritik sastra. Sedangkan ciri-ciri dan sifat karya sastra pada suatu waktu dapat
diketahui melalui teori sastra.

Dengan demikian sejarah sastra sangat penting untuk kritik sastra, kalau kritik hendak
bergerak lebih jauh dari sekadar pernyataan suka dan tidak suka.
Seorang kritikus yang peduli pada hubungan sejarah akan meleset penilaiaiannya.
Ia tidak akan tahu apakah karya itu asli atau tiruan. Dan karena buta sejarah, ia cenderung
salah dalam pehamanannya atas karya sastra. Kritikus yang tidak dibekali pengetahuan
sejarah yang cukup cendrung membuat tebakan yang sembrono, atau berpuas diri dengan
pengalamannya membaca atau bertualang di antara mahakarya. Pengarang-pengarang yang
karyanya diterbitkan Balai Pustaka dan muncul pada Majalah Pujangga Baru umumnya
bercorak romantisme. Minerva Mutiara dkk. Studi Kasus Majalah Panji Poestaka,
Poejangga Baru, dan Moestika Romans oleh Atisah dkk, Antologi cerpen periode Awal
oleh Erlis Nur Mujingsih dkk. Rendah oleh Jacob Sumardjo, dan Novel-novel Indonesia
Tradisi Balai Pustaka 1920-1942 oleh Faruk. Kepengarangan Chairil Anwar dan
sebagainya. Atau juga dapat mencakup sejarah pembelajaran sastra di sekolah.

1.4 Pandangan-pandangan dalam Penulis Sejarah Sastra


Sejarah sastra dapat ditulis berdasarkan beebagai perspektif. Yudiono K.S merujuk
artikel Sapardi Djoko Damono “Beberapa Catatan tentang Penulisan Sejarah Sastra”
(Tahun 2000). Sebuah kajian sastra misalnya dapat berangkat dari persoalan proses kreatif,
atau persoalan distribusi, atau proses publikasi seatu karya, bahkan tanggapan pembaca
terhadap kerya tersebut. Bagaimanapun menuliskan sejarah sastra dari perspektif
pengajaran sastra akan menunjukkan bahwa sastra merupakan bidang ilmu yang terus
berkembang, mengikuti perkembengan mutakhir dalam bidang tersebut.

Menuliskan sejarah sastra berdasrkan karya-karya yang muncul di koran dan majalah
sejarah kesustraan yang bermunculan sejak lahirnya media ini di zaman colonial juga dapat
menjadi tantangan lain bagi para pemerhati sastra, baik akademisi maupun no akademisi.

9.3 Problematika Penulisan Sejarah Sastra


Penulisan Sejarah Sastra dengan demikian memiliki aspek yang beragam sehingga
jika ditulis hanya berdasrkan satu perspektif akan menunjukkan betapa kurangnya
gambaran yang dapat kita peroleh dari penulisan semacam itu. Penulisan sejarah sastra
sangatlah rumit dan komplek. Hal itu disebabkan karena 8ancer8 atau pengertian sastra
Indonesia sangat kabur. Banyak pendapat dari berbagai pakar beserta 8ancer88-
argumennya yang menjelaskan awal dari sastra Indonesia. Perbedaan tersebut juga dalam
mememandang setiap peristiwa atau persoalan yang kaitannya dengan kehidupan sastra.
Kesulitan lainnya ialah walaupun usia sastra Indonesia belumlah sepanjang sastra negara
lain tetapi objek karya sangat berlimpah. Kratz mencatat 27.078 judul karya sastra dalam
majalah berbahasa Indonesia yang terbit tahun 1922 -1982 . Pamusuk Eneste mencatat
dalam Bibliografi Sastra Indonesia terdapat 466 judul buku novel, 348 judul kumpulan
cerpen, 315 judul buku drama, dan 810 judul buku puisi.

Azab dan Sengsara sampai 1986 telah dihasilkan 1.335 karya sastra yang berupa
kumpulan cerpen, kumpulan puisi, roman, atau novel, drama, terjemahan sastra asing dan
kritik serta esai sastra. Hampir setengah dari jumlah sastra kita menulis puisi, selanjutnya
cerita pendek, novel, esai, drama dan sisanya penerjemah serta kritik sastra.
Perkembangan jenis-jenis sastra itu sendiri di Indonesia mengalami perkembangan sendiri-
sendiri. Sementara perkembangan cerpen semarak pada tahun 1950-an walaupun pada
pertumbuhan sastra Indonesia cerpen sudah mulai muncul di berbagai media massa.

BAB II
KELAHIRAN DAN PERIODE SASTRA INDONESIA

2.1 Pengertian Sastra Indonesia


Membicarakan sejarah Sastra Indonesia tentunya harus dipahami dahulu konsep
pengertian sastra Indonesia. Oleh karena itu, perlu berbagai kesepakatan 9ancer99i tentang
pengertian tersebut. Dengan demikian penulisan Sejarah Kesusastraan Indonesia pada buku
ini tidak dimulai oleh penerbitan-penerbitan Balai Pustaka tetapi ditarik mundur ke tahun
1850-an sejak hadirnya karya-karya para aktivis pergerakan nasional yang dikenal dengan
bacaan liar dan penulis para Tionghoa yang dikenal Sastra Indonesia Tionghoa atau sastra
Melayu Tionghoa.

2.2 Beberapa Pendapat Kelahiran Sastra Indonesia

a. Umar Junus
Umar Junus membicarakan lahirnya Kesuastraan Indonesia Modern dalam
karangannya yang dimuat dalam majalah Medan Ilmu Pengetahuan . “Sastra X baru ada
setelah 9ancer X ada, yang berarti bahwa sastra Indonesia baru ada setelah Bahasa
Indonesia ada” katanya. Umar Junus berpendapat bahwa “Sastra Indonesia baru ada sejak
28 Oktober 1928”.

Adapun karya yang terbit sebelum tahun 1928 – yang lazim digolongkan pada
karya sastra Angkatan ’20 atau 10ancer1010 Balai Pustaka menurut Umar karya-karya
itu “bertentangan sekali dengan sifat nasional yang melekat pada nama Indonesia itu”.

Umar Junus membagi sastra Indonesia dengan :

a. Pra Pujangga Barua tau Pra Angkatan 33 (1928 – 1933)


b. Pujangga Baru atangtan 33 (1933 – 1945)
c. Angktan 45 dan seterusnya

b. Ajip Rosidi
Pendapat Ajip Rosidi mengenai lahirnya Kesusastraan Indonesia dapat kita
Baca dalam bukunya “Kapankah Kesustraan Indonesia Lahir” yang dimuat dalam
Bukunya. Ajib memang mengakui bahwa sastre tidak mungkin ada tanpa Bahasa.
Akan tetapi, sebelum sebuah Bahasa diakui secara resmi, tentulah Bahasa itu sudah
Ada sebelumnya dan sudah pula dipergunakan orang.
Sengsara dan Siti Nurbaya dianggap bersesuaian dengan sifat nasional, tidaklah
demikian halnya dengan sjak-sajak buah tangan para penyair yang saya sebut tadi.
Sifatnya tegas berbeda dengan umumnya hasil sastr Melayu, baik isi maupun
bentuknya.
Puisi lirik bertemakan tanah air dan bangsa yang sedang dijajah adalah hal yang tidak
Tidak bias akita jumpai dalam khazanah kesusastraan Melayu, demikian Ajip. Dan
Ajib memilih tahub 1922 karena pada tahun itu terbit kumpulan sajak Muhammad
Yamin yang berjudul Tanah Air. Kumpulan sajak ini pun, menurut Ajib,
Mencerminkan corak/semangat kebangsaan, yaitu tidak ada/tampak pada pengarang-
Pengarang sebelumnya.
c. A. Teeuw
Pendapat Teeuw mengenai lahirnya Kesustraan Indonesia Modern dapat kita baca
dalam bukunya Sastra Baru Indesia 1 (1980). Agak dekat dengan tahun yang diajukan
Ajip Rosidi, Teuuw pun berpendapat bahwa kesustraan Indonesia Modern lahir sekitar
tahun 1920. Alasan Teeuw adalah : “Pada 10ancer itulah para pemuda Indonesia untuk
pertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berberda dengan
perasaan dan ide yang pada dasarnya berbedea daripada perasaan dan ide yang terdapat
dalam masyarakat setempat yang tradisional dan mulai demikian dalam bentuk-bentuk
sastra yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan
sastra lainnya yang lebih tua, baik lisan maupun tulisan”.

Berdasarkan pemikiran tersebut, Teeuw menyatakan lahirnya kesusastraan Indonesia


pada tahun 20-an, yaitu pada saat lahirnya puisi-puisi kebangsaan dan bentuk 11ancer yang
digunakan pengarang.

d. Slamet Mulyana

Slamet Mulyana melihat kelahiran Kesusatraan Indonesia dari sudut lain. Bangsa
Indonesia merdeka tahun 1945. Secara resmi pula 11ancer Indonesia digunakan/diakui
sebagai 11ancer nasional, bahkan dikukuhkan dalam UUD 45 sebagai undang-undang
dasar negara.

e. Sarjana Belanda

Hooykass dan Drewes, dua peneliti Belanda menganggap bahwa Sastra Indonesia
merupakan kelanjutan dari Sastra Melayu . Perubahan “Het Maleis” menjadi “de
11ancer Indonesia” hanyalah perubahan nama termasuknya sastranya. Dengan
demikian Kesusastraan Indonesia sudah mulai sejak Kesuastraan Melayu.

Alasannya : karena pada waktu itu novel Merari Siregar yang berjudul Azab
dan sengsara. Lepas dari apakah isi novel ini bersifat nasional atau tidak, yang jelas inilah
karya penulis Indonesia yang pertama kali terbit di Indonesia dalam 11ancer
Indonesia. Selain tokoh dan setting di Indonesia bentuknya sudah berbeda dengan
karya sastra lama sebelumnya. Dengan kata lain bentuk sudah “modern” dan tidak
“lama” lagi, tidak lagi seperti kisah-kisah seputar istana, legenda atau bentukbentuk sastra
lama lainnya. Wajarlah kalau masa itu dijadikan masa lahirnya
Kesusastraan Indonesia Modern.

2.3 Beberapa Pendapat Periodesasi Sastra


Periode berdasarkan adanya norma-norma umum dalam sastra sebagai pengaruh
situasi masing-masing zaman13. Periode sastra Indonesia terlihat dapat berdasarkan 1)
bentuk, 2) 11ancer1111, 3) tahapan. Pembabakan dalam sejarah sastra yang berdasarkan
bentuk akan terlihat rancu 12ancer kita sodorkan pertumbuhan pantun kilat yang menjamur
di ibu kota Jakarta sebagai salah satu bentuk komunikasi sehari-hari dalam 12ancer ‘gaul’.
Lahirnya suatu karya sastra dari tangan seorang sastrawan akan diperhitungkan sebagai
bagian dari momentum peristiwa yang lebih besar.

Untuk memudahkan penulisan sejarah sastra dalam buku ini juga membagi
perkembangan sastra Indonesia sejak kelahiran sampai perkembangan terkini berdasarkan
pembabakan waktu atau periode-periose sastra secara diakronis dengan
mempertimbangkan ciri-ciri khusus setiap periode baik 12ancer1212i maupun ekstrinsik.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut dirasakan akan makin jelas corak sastranya dan
makin tegas adanya atau eksistensi periode sastra tersebut.

Berdasarkah hal-hal tersebut, maka penulisan sejarah sastra Indonesia dalam buku sejarah
sastra ini membagi periode sebagai berikut:

a. Periode 1850 – 1933


b. Periode 1933 – 1942
c. Periode 1942 – 1945
c. Periode 1945 – 1961
d. Periode 1961 – 1971
e. Periode 1971 – 1998
d. Periode 1998 – Sekarang

2.4 Karakteristik Periode Sastra Indonesia


a. Periode 1850 – 1933
Karya sastra yang banyak ditulis adalah roman yang beralur lurus, gaya bahasanya
mempergunakan perumpamaan klise dan peribahasa-peribahasa, tapi menggunakan
12ancer percakapan sehari-hari, banyak digresi, bercorak 12ancer1212, dan didaktis.
Roman-roman mempersoalkan adat terutama masalah kawin paksa, permaduan,
pertentangan kaum tua yang mempertahankan adat dengan kaum muda yang menginginkan
kemajuan sesuai paham kehidupan modern, berlatar daerah, dan kehidupannya. Termasuk
dalam periode ini antara lain sastrawan Marah Rusli (Siti Nurbaya), Abas St Pamuncak
(Pertemuan), Nur Sutan Iskandar (Katak Hendak Jadi Lembu, Karena Mentua, Salah Pilih,
Hulubalang Raja), Abdul Muis (Salah Asuhan), Hamka (Tenggelamnya Kapal van der
wijck), Panji Tisna (Sukreni Gadis Bali), Selasih (Kehilangan Mestika).
b. Periode 1933 – 1942
Karya sastra yang banyak ditulis adalah puisi, selain drama, cerpen, roman yang
beraliran 13ancer1313, puisi jenis baru dan 13ancer. Puisi-puisi tersebut menggunakan
kata-kata nan indah, 13ancer perbandingan, gaya sajaknya diafan dan polos, rima
merupakan sarana kepuitisan. Prosa yang ditulis menggunakan watak bulat, 13ancer
perwatakan tidak analisis langsung, alurnya erat karena 13ancer13 digresi, mempersoalkan
kehidupan masyarakat kota seperti emansipasi, pemilihan pekerjaan, diwarnai idealisme,
dan cita-cita kengasaan, serta bersifat didaktis. Pengarang yang termasuk periode ini adalah
Amir Hamzah (Nyanyian Sunyi, Buah Rindu), Sutan Takdir Alisyahbana (Layar
Terkembang dan Tebaran Mega), J.E. Tatenteng (Rindu Dendam), Armyn Pane
(Belenggu), Sanusi Pane (Sandiyakalaning Majapahit dan Madah Kelana), Mohammad
Yamin (Indonesia Tumpah Darahku).
c. Periode 1942 – 1945
Periode ini ditandai dengan banyaknya karya propaganda dan sarat dengan politik
Jepang. Untuk mempengaruhi rakyat Indonesia membantu Jepang dalam perang Asia Raya,
pemerintah melalui Balai Pustaka menerbitkan karya-karya baik novel, puisi, dan cerpen
yang kebaikan dan keunggulan Jepang. Iskandar berjudul Cinta Tanah Air dan cerita
pendek “Putri Pahlawan Baroe”.
d. Periode 1945 – 1961
Puisi, cerpen, novel, dan drama berkembang pesat dengan mengetengahkan masalah
kemanusiaan umum atau humanisme universal, hak-hak asasi manusia (karena dampak
perang), dengan gaya realitas bahkan sinis ironis, disamping mengekpresikan kehidupan
batin/kejiwaan, dengan mengenakan filsafat ekstensialisme. Pada karya sastra puisi
menggunakan puisi bebas, dengan gaya ekpresionisme, simbolik, realis, gaya sajaknya
presmatis, dengan kata-kata yang ambigu dan simbolik, dengan 13ancer kiasan seperti
metafora, juga ironi dan sinisme. Sastrawan-sastrawan yang berkiprah dalam periode ini
adalah Chairil Anwar (Deru Campur Debu, Kerikil Tajam yang Terempas dan yang Putus).
Charil bersama Asrul Sani dan Rivai Apin menulis Tiga Menguak Takdir. Sastrawan
lainnya ialah Idrus (Dari Ave Maria Jalan Lain ke Roma), Achdiat K. Miharja (Atheis),
Sitor Situmorang (Surat Kertas Hijau dan Dalam Sajak), Pramudya Ananta Toer (Keluarga
Gerilya, Perburuan, dan Mereka yang dilumpuhkan), Moctar Lubis (Jalan Tak Ada Ujung,
Tak Ada Esok, dan Si Jamal).

e. Periode 1961 – 1971


Periode ini meneruskan gaya periode sebelumnya terutaama struktur estetisnya,
mempersoalkan masalah kemasyarakatan yang baru dalam suasana kemerdekaan, dengan
berorientasi pada bahan-bahan sastra dari kebuyaan Indonesia sendiri, karena dampak
parta-parta corak sastranya bermacam-macam, ada beride keislaman (Lesbumi,) Ide
kenasionalisan (Lesbumi), ide rakyat (Lekra), dan ada yang bebas mengabdi kemanusiaan.
Banyak ditulis cerpen yang dimuat di berbagai media massa. Tidak muncul novel-novel
besar. Sastrawan-sastrawan yang muncul pada periode ini W.S. Rendra (Blues untuk
Bonie, Balada Orang-orang Tercinta), Toto Sudarto Bachtiar (Suara), Nugroho Noto
Susanto (Hujan Kepagian dan Tiga Kota), Ramadhan K.H. (Priangan si Jelita),
Trisnoyuwono (Lelaki dan Mesiu), Toha Mochtar (Pulang), B. Sularto (Dombadomba
Revolusi), dan Subagyo Sastrowardoyo (Simphoni).

f. Periode 1971 – 1998


Peride selain maraknya karya-karya 14ancer14 juga banyaknya bentuk
eksperimentasi sastra dalam sastra. Dalam karya puisi memunculkan 4 jenis gaya puisi
yaitu mantera, puisi imajisme, puisi lugu, dan puisi lirik. Masalah yang diangkat dalam
puisi mempersoalkan masalah sosial, kemiskinan, pengangguran, jurang kaya dan miskin,
menggunakan cerita-cerita dan kepercayaan rakyat dalam balada. Prosanya umumnya
menggambarkan kehidupan sehari-hari yang kental dengan warna daerah dan pedesaan.
Tokoh-tokoh penting sastrawan periode ini adalah Umar Kayam (Priyayi, Sri Sumarah,
Bawuk), Gunawan Mohamamd (Asramaradana), Taufiq Ismail (Tirani), Bur Rasuanto
(Mereka Telah Bangkit), Sapardi Djoko Damono (Dukamu Abadi), Abdul Hadi WM
(Meditasi), Sutardji Calzoum Bachri (O, Amuk, Kapak), Linus Suryadi (Pengakuan
Pariyem), Iwan Simatupang (Merahnya Merah, Ziarah, dan Kering), J.B. Mangun Wijaya
(Burung-burung Manyar), Budi Darma (Olenka), N.H. Dini (Pada Sebuah Kapal dan Dua
Dunia).

g. Periode 1998 – sekarang


Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik
sajaksajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan
penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosialpolitik. Penulis
dan karya periode ini antara lain, Ayu Utami (Saman dan Larung), Seno Gumira Ajidarma
(Atas Nama Malam, Sepotong Senja untuk Pacarku, dan Biola Tak Berdawai), Dewi
Lestari (Supernova 1 : Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh, Supernova 2.1 : Akar, dan
Supernova 2.2 : Petir), Raudal Tanjung Banua (Pulau Cinta di Peta Buta, Ziarah bagi yang
Hidup, Parang Tak Berulu, dan Gugusan Mata Ibu), Habiburahman El Shirazy (Ayat-ayat
Cinta, Di atas Sajadah Cinta, Ketika Cinta Berbuah Surga, Pudarnya Pesona Cleopatra,
Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2, dan Dalam Mihrab Cinta), Andrea Hirata (Laskah Pelangi,
Sang Pemimpi, Maryamah Karpov, dan Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas).

BAB III
SASTRA INDONESIA PERIODE 1850 – 1933
Dalam bab yang telah disajikan sebelumnya terlihat bahwa pada umumnya ada
perbedaan yang mendasari suatu pembabakan. Indonesia dalam buku ini didorong ke tahun
yang lebih awal, yaitu 1850. Dalam hal ini, awal tersebut diacu dengan dasar munculnya
teknologi baru dalam penyebarluasan gagasan, yaitu mesin cetak. Permasalahan teknologi
ini sama sekali tidak diperhitungkan dalam periodesasi sejarah sastra Indonesia
sebelumnya.
Munculnya teknologi baru akan selalu berdampak pada berbagai perubahan sosial di dalam
masyarakat.

3.1 Sastra Melayu Tionghoa


Di Indonesia sastra Melayu-Cina tumbuh dan berkembang sebelum muncul sastra
Indonesia modern akhir abad ke-19. Pada kurun awal perkembangannya, terbit karya-karya
terjemahan sastra 50 halaman. Demikian tebalnya buku-buku itu lantaran diterbitkan secara
serial. Ada yang sampai empat puluh jilid. Setelah masa itu, barulah berkembang karya
Melayu Cina asli sampai akhir tahun 1942. Jauh sebelum terbit roman-roman Balai Pustaka
di Indonesia telah tumbuh dan berkembang sastra Melayu-Tionghoa. Kesusastraan
Melayu-Tionghoa sudah ada sejak 1870, sedangkan kesusastraan Indonesia modern baru
muncul belakangan. Secara kuantitatif, menurut perhitungan Claudine Salmon, selama
kurun waktu hampir 100 tahun kesusastraan Melayu-Tionghoa ada 806 penulis dengan
3.005 buah karya.

Melayu tinggi yang dianggap sebagai bagian kebudayaan bangsa.


Claudine memang bukan orang pertama yang menulis tentang kesastraan.
Sebelumnya ada Nio Joe Lan yang di tahun 1930 pernah menganjurkan agar karya Sastra
Melayu-Tionghoa dikaji dari bidang sejarah, kesusastraan dan psikologi. Namun demikian
melalui karya Claudine-lah, mampu dibuktikan secara ilmiah, bahwa genre kesastraan ini
sebetulnya adalah bagian tak terpisah dalam sastra Indonesia.

Karya sastra para peranakan Tionghoa berlatar masa 1870-1960. Sastra Melayu
Tionghoa menggambarkan dinamika yang terjadi semasa puncak Pax Nederlandica dan
beberapa 16ancer awal kemerdekaan Indonesia. Dari 16ancer1616i bisa merasakan
bagaimana hidup di zaman itu dan bagaimana hubungan sosial yang terjadi di masyarakat
pada masa kisah tersebut ditulis. Pemberontakan November 1926 yang tidak berani
disentuh para pengarang Balai Pustaka. Hubungan interaksi sosial dalam masyarakat juga
terbaca jelas. Seperti karya-karya Thio Tjin Boen yang mempunyai ciri khas penggambaran
masyarakat peranakan Tionghoa dalam interaksi dengan etnis lain, seperti Jawa, Sunda,
Arab dan sebagainya.

Ia bahkan menyatakan konflik antara masyarakat totok yang menyebut dirinya


singke’ dengan golongan peranakan, karena adanya sifat, kebiasaan dan pola pikir yang
berbeda. Sebaliknya literatur golongan Tionghoa peranakan dimulai oleh Liem Kim Hok
yang memulai karirenya dengan menulis Siti Akbari, yang menceritakan penyebaran
agama Hindu di Hindia. Dalam sejarah pers di Hindia ia pernah 16ancer1616 aturan
16ancer «Melayu Betawi» yang terbit tahun 1891. Kemudian disusul oleh Nio Joe Lan
yang menyadur Hikayat Sultan Ibrahim, yang mengisahkan penyebaran agama Islam di
Hindia. Karya yang lebih maju dari golongan Tionghoa peranakan ditulis oleh Liem Koen
Hian dengan judul Ni HoeKong Kapitein Tionghoa di Betawi dalem Tahoen 1740 terbit
tahun 1912.

3.2 Bacaan Liar


Perkembangan Kesusastraan Indonesia pada periode awal ditandai dengan produksi
bacaan kaum pergerakan yang sering disebut oleh negara kolonial sebagai “Bacaan Liar”.
Produksi bacaan dapat berbentuk surat kabar, novel, buku, syair sampai teks lagu. Oleh
spektrum revolusioner dan radikal dari kaum pergerakan, bacaan diisi pesan tentang jaman
yang telah berubah dan penindasan kekuasaan kolonialisme.

Semaoen adalah orang yang pertama kali memperkenalkan pengertian «literatuur


socialistisch. Dengan kata lain, di atas pentas politik pergerakan, «literatuur socialisme»
merupakan “hati dan otak” dari 16ancer16 massa. Dengan produksi bacaan tersebut, rakyat
jajahan diperkenalkan dan diajak masuk ke dalam pikiran-pikiran baru yang modern, dan
karena itulah “literatur socilisme” harus ditulis dengan 16ancer yang dipahami oleh kaum
kromo. 1920-an tetap hidup walau dengan bentuk dan isi yang berbeda. Hal ini, misalnya,
dapat dilihat dari tetap hidupnya serikat buruh–sekalipun tidak dengan intensitas dan
kegarangan yang sama–maupun 17ancer17-gerakan radikal lainnya yang tumbuh pada
tahun 1930-an.

Syair Sama Rasa Sama Rata terbit di suratkabar Pantjaran Warta tahun 1917.
Kemudian Babad Tanah Djawi yang dimuat di jurnal Hidoep tahun 1924-1925. Mata Gelap
melukiskan hal-hal modern yang terjadi di tanah Jawa dengan dengan 17ancer1717 bahwa
orang sudah keranjingan membaca surat-kabar, senang hidup bebas, dan berliburan. Tetapi
di pihak lain Marco melukiskan bahwa kebudayaan Eropa yang bersinggungan dengan
kebudayaan bumiputra menimbulkan persoalan demoralisasi dan dekadensi. Apa yang
menjadi perdebatan dan bagaimana pengaruh perdebatan itu bagi para pembaca bumiputra
juga akan menjadi 17ance penelitian. Dalam karya lainnya, Student Hidjo, yang
menceritakan perjalanan Hidjo, seorang pelajar HBS yang melanjutkan sekolah ke Negeri
Belanda.

3.3 Sastra Koran


Syair Sama Rasa Sama Rata terbit di suratkabr pantjaran warta tahun 1917. Kemudian
Babad Tanah Djawi yang dimuat di jurnal Hidoep tahun 1924 – 1925. Mata Gelap
Melukiskan hal-hal modern yang terjadi di tanah jawa dengan gambling bahwa orang
sudah keranjinan membaca surat-kabar, senang hidup bebas, dan berliburan. Tetapi di
pihak lain Marco melukiskan bahwa kebudayaan Eropa yang bersinggungan dengan
kebudayaan bumi putra menimbulkan persoalan demoralisasi dan dekadensi.
Apa yang menjadi perdebatan dan bagaimana pengaruh perdebatan itu bagi para pembaca

Bumi putra juga akan menjadi focus penelitian. Dalam karya lainnya, Student Hidjo, yang
menceritakan perjalanan Hidjo, seorang pelajar HBS yang melanjutkan sekolah ke Negeri
Belanda. Rinkes menyatakan surat kabar harian maupun mingguan isinya sering kali
provokatif menyerang pemerintah kolonial, mengejek aturan-aturan pemerintah menyerang
pejabat pemerintah maka bacaan-bacaan tersebut dianggap telah melanggar kekuasaan
kolonial dan mengganggu ketertiban. Lebih jauh pernyataan Rinkes ini merupakan hasil
perdebatannya dengan Marco pada tahun 1914 tentang hasil-hasil kerja Minder Welvaart
Commissie, yang dianggap Marco sebagai usaha mempertahankan Mitos politik etis. Dari
uraian di atas, sudah terlihat bahwa koran atau surat kabar, dan media massa cetak pada
umumnya, memiliki peran yang cukup sentral dalam sejarah perkembangan sastra di
Nusantara. Di Indonesia, media massa cetak sejak koran sampai majalah bahkan cukup
memanjakan karya satra. Hampir semua media massa cetak yang terbit di Indonesia
menyediakan ruang khusus untuk karya sastra.

3.4 Dari Max Havelaar ke Politik Etis


Perkembangan kesusastraan Indonesia tidak dapat dipisahkan dari masyarakat
Indonesia dalam perkembangan kesadaran sosial dan politik bangsa Indonesia pada awal
abad ke-20. Salah satu karya penting berbicara kesadaran politik ialah Max Havelaar, of
de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij (Max Havelaar, atau Lelang
Kopi Perusahaan Dagang Belanda) ditulis oleh Multatuli (artinya “aku banyak
menderita”), nama 18ancer Eduard Douwes Dekker, orang Belanda yang humanis dan
menaruh simpati besar terhadap penderitaan rakyat Indonesia, khususnya Jawa. Ditulis
dalam waktu sebulan disebuah kamar loteng di Brussel diterbitkan tahun 1860.

Buku ini bercerita tentang kesewenangan Bupati Lebak dan begundalnya”. Cerita ini
diterjemahkan oleh HB Jasin (yang kemudian diundang ke Belanda selama setahun dan
mendapat penghargaan Martinus Nijhoff).15 Mantan Asisten Residen Lebak dipecat
karena melaporkan penindasan Bupati Lebak. Ia hidup berpidah-pindah karena hidupnya
yang boros (pernah ditolak orang tua gadis walau sempat berpindah agama dari Protestan
menjadi Katolik). Ia hidup dalam kemiskinan dan terlunta-lunta hingga kemudian
bertekad menyampaikan segala penderitaan rakyat terjajah kepada pemerintah Belanda.

Buku ini juga menjadi bacaan wajib dan karya dunia. Berkat buku ini pemerintah Belanda
mengubah sistem tanam paksa menjadi Politik Etis. Politik etis adalah suatu
kebijaksanaan penting yang dicanangkan tahun 1901. Politik ini merupakan hasil dari
perubahan dalam parlemen di Belanda, yaitu kemenangan koalisi partai-partai 18ancer18
di Belanda, yang terdiri dari Partai Katolik, Partai Perkumpulan Kristen dan Partai Anti
Revolusioner. Dengan kemenangan koalisi ini, berdasarkan kepercayaan moral, mereka
merasa perlu memperbaiki kondisi hidup di Hindia melalui 18ancer1818it, irigasi dan
transmigrasi.
3.5 Balai Pustaka
Perkembangan Kesuastraan Indonesia Mondern tidak bisa dipisahkan dari keberadaan
Balai Pustaka. Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat atau Commissie voor de
Inlandsche School en Volksectuur yang didirikan pada tahun 1908. Komisi ini dimaksudkan
untuk memerangi “bacaan liar” yang banyak beredar pada awal abad ke-20. Secara sepihak
Belanda menyebutnya sebagai Saudagar kitab yang kurang suci hatinya, penerbit tidak
bertanggung jawab, agitator dan bacaan liar. Rinkes sebelumnya telah aktif sebagai pegawai
19ancer di Kantoor voor Inlandsche Zaken. Zaken merupakan institusi yang berusaha
mendominasi dan mensubordinasi proses organisasi sosial dan mengontrol perkembangan
masyarakat Hindia Indlandsche Zaken untuk meneliti 19ancer-bahasa masyarakat kolonial.
Dari penelitian ini mereka kemudian menetapkan tata 19ancer daerah sesuai dengan
pengetahuan mereka. Pengetahuan seorang ilmuwan bagaimanapun tidak pernah netral, dan
dalam konteks kolonial, pengetahuan para ilmuwan ini harus ditempatkan dalam konteks
kolonialisme. Belanda komisi tersebut menjadi kantor bacaan rakyat atau Balai Pustaka
dengan empat bagian di dalamnya : Bagian Redaksi, Bagian Administrasi, Bagian
Perputakaan, dan Bagian Pers Mengingat didirikan bertujuan melegitiminasi kekuasan
Belanda di Indonesia, Balai Pustaka menerapkan sejumlah syarat-syarat bagi naskah-naskah
yang akan diteritibkan. Berkenaan dengan kebijakan tersebut, hampir semua novel Balai
Pustaka senantiasa memunculkan tokoh mesias atau dewa penolong yang merupakan tokoh
Belanda.

Azab dan Sengsara , tokoh Baginda Diatas, kepala kampung yang terkenal dermawan,
tiba-tiba bertindak tidak adil dengan memutuskan hubungan cinta anaknya, Aminudin dan
Mariamin. Maringgi yang busuk dalam segala hal, mendadak menjadi kepala pemberontak
yang menentang perpajakan. Ia kemudian mati di tangan Samsul Bahri yang sudah menjadi
kaki tangan Belanda. Besse adalah perempuan Indo-Belanda yang kemudian mati karena
penyakit kelamin.

Melihat hal tersebut wajarlah Bakri Siregar melihat berdirinya Balai Pustaka penuh
dengan warna dan nuasa politik, Balai Pustaka bekerja sebagai badan pelaksana politik etis
pemerintah jajahan, pemumpuk amtenarisme, atau pegawaisme yang patuh dan
melaksanakan peranan pengimbangan lektur 19ancer1919ita19 dan nasionalistik. Pendapat
Bakri Siregar dipertegas oleh pandangan Jacob Sumarjo yang menyatakan bahwa sastra Balai
Pustaka tidak muncul dari masyarakat Indonesia secara bebas dan spontan, tetapi
dimunculkan dan diatur oleh pemerintah jajahan Belanda sehingga penuh dengan syarat-
syarat yang terkait dengan maksudmaksud tertentu.17 Dengan demikian,dapat dikatakan
bahwa sastra Balai Pustaka bukanlah ekspresi bangasa yang murni.

Sekalipun didirikan mulai tahun 1908, serta kemudian diperluas pada tahun
1971, pekerjaan Balai Pustaka sebenarnya barulah produktif sesudah tahun 1920-an
Buku-buku 20ancer20 yang terbit meliputi 20ancer2020i, pertanian, perternakan, budi pekeri,
sejarah, adat dan lain-lain. Majalah yang diterbitkan. Balai Pustaka adalah Sri Pustaka yang
kemudian bernama Panji Pustaka berbahasa Alamanak yang yang diterbitkan Balai Putaka
adalah Volksalmanak, Almanak Tani, dan Almanak Guru.

Pada tahun 1930-an Balai Pustaka menjadi penerbit besar karena didukung oleh
kekuasaan pemerintah sehingga mampu menyebar luaskan produksinya ke seluruh
Nusantara. Umumnya karangan mereka kecenderungan semangat pemberontakan pada
kultur-etnis yang sedang menghadapi akulturasi sehingga menimbulkan berbagai problem
eksistensi. Di antara beberapa pengarang tersebut Nur Sutan Iskandar, pengarang yang juga
pernah bekerja sebagai korektor, redaktur, dan terakhir sebagai redaktur kepala Balai Pustaka
sampai 20ancer20, adalah pengarang paling produktif dengan menghasilkan beberapa karya
baik berupa novel, kumpulan cerpen maupun cerita anak-anak. Apabila dilihat daerah asal
kelahiran para pengarang, dapatlah dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada
20ancer2020 ini adalah novel Kesuastraan Indonesia yang besar jasanya bagi pengarang
Indonesia.
BAB IV
SASTRA INDONESIA PERIODE 1933 – 1942
Majalah yang didirikan oleh Sutan Takdir Alisyahbana ini senantiasa melahirkan banyak
21ancer21 tentang berbagai pemikiran terutama kebudayaan. Berbagai 21ancer21 itu
sendiri akhirnya berhenti dengan kedatangan Jepang yang menghentikan majalah Pujangga
Baru.

4.1 Pujangga Baru


Ada beberapa majalah yang sudah terbit sebelum Pujangga Baru, yaitu majalah Sri
Po estaka, Panji Poestaka, Jong Java, dan Timboel. Sehabis perang Takdir pernah
menerbitkan dan memimpin majalah Pembina Bahasa Indonesia . Setelah menerbitkan
beberapa majalah, Mei 1933 Sutan Takdir Alisyahabana menerbitkan Majalah Pujangga
Baru. Tujuan pendiriannya adalah untuk menubuhkan kesuastraan baru yang sesuai
semangat zamannya dan mempersatukan para sastrawan dalam satu wadah karena
sebelumnya boleh dikatakan cerai berai dengan menulis di berbagai majalah. Berdirinya
majalah Pujangga Baru merupakan bukti kebutuhan masyarakat pada zaman itu akan suatu
media publikasi yang menampung dan membahas tentang sastra dan kebudayaan. Kolf
milik A. Dahleer, seorang Belanda. Kemudian Sutan Takdir Alisyahbana menerbitkan
sendiri. Janganlah dibayangkan majalah tersebut seperti majalah sastra Horison yang
dewasa ini tercetak bagus dan tersebar luas.

Banyak terobosan yang dikeluarkan Pujangga Baru misalnya masalah penggunaan


21ancer yang ditawarkan STA yang mengesampingkan 21ancer Melayu 39. Sejarah Sastra
Indonesia yang kemudian digantikan dengan perpaduan 21ancer daerah masing-masing
pengarang dan 21ancer asing. Hal itulah yang dikritik oleh kaum bangsawan Melayu dan
para guru yang setia pada kepada pemerintah kolonial Belanda termasuk beberapa tokoh
21ancer pun seperti H. Agus Salim, Sutan Moh. Zain dan S.M. Latif. Mereka beranggapan
21ancer dalam majalah itu merusak 21ancer Melayu. Pujangga Baru terbit sebagai reaksi
atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan
pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme
dan kesadaran bangsa. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik, dan
elitis Belanda.
Dalam bidang kesusastraan, kedua majalah itu memang punya kontribusi penting
dalam melahirkan sejumlah penulis; juga dalam menampung karya-karya sastrawan muda.
Meskipun demikian, dengan peranan yang telah dimainkan kedua majalah itu, tidak pula
berarti menafikan peranan Pujangga Baru dalam memajukan kesusastraan kita. Masyarakat
cenderung mengangkat persoalan umum dengan titik berat agama Islam. Dengan
demikian, kedua majalah itu tidak secara signifikan mengangkat kebudayaan sebagai isu
sentral. Demikianlah, bagaimanapun juga, dalam masalah-masalah kebudayaan dan pemi-
kiran, Pujangga Baru tetap menempati kedudukan yang khas. Dalam hal inilah peranan
Sutan Takdir Alisjahbana tidak dapat diabaikan.

Sejumlah artikel yang terdapat di dalamnya juga mencerminkan misi tersebut. “Kami
tidak menyebut hasil jiwa kami syair dan pantun, tapi sajak dan puisi”. Dalam setahun
penerbitannya, Pujangga Baru tampak masih menekankan pada soal-soal kesusastraan.
Alisjahbana yang begitu bersemangat mengangkat soal itu, seperti tampak dalam
artikelnya, “Menghadapi Kebu-dayaan Baru” . Sementara itu, tulisan Muhammad Yamin,
“Perguruan Tinggi Indonesia” memperlihatkan pandangan Yamin yang jauh ke depan
bahwa syarat mendirikan kebudayaan baru untuk kesempurnaan kemajuan bangsa
Indonesia, pendirian 22ancer2222i tinggi merupakan suatu kemestian. Inilah artikel
pertama yang menyinggung pentingnya 22ancer2222i tinggi bagi bangsa Indonesia agar
“segera akan terbentanglah fadjar kebangoenan Indonesia dikaki langit Asia Baroe jang
mempengaroehi sedjarah seloeroeh doenia”.

Beberapa pengarang yang aktif menulis melalui Pujangga Baru yang karyakarya
muncul pada tahun 30-an dan awal tahun 40-an di antaranya Sutan Takdir Alisyahbana
Tak Putus dirundung Malang (1929), Dian yang Tak Kunjung Padam, (1932), Tebaran
Mega (1935), Layar Terkembang (1937), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940), Puisi
Lama (1941), Puisi Baru (1946), Pelangi (1946), Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (1969),
Grotta Azzura (1970 dan 1971), Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan
(1977), Lagu Pemacu Ombak (1978), Amir Hamzah Sebagai Penyair dan Uraian Sajak
Nyanyi Sunyi (1978), Kalah dan Menang (1978). Karyanya yang lain : Tata Bahasa Baru
Bahasa Indonesia (1936), Pembimbing ke Filsafat (1946), Dari Perjuangan dan
Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957), The Indonesian Langguage and literature (1962),
Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966), Values as Integrating Forces
in Personality, Society and Culture (1974), The Failure of Modern Linguistik. Adapun
terjemahannya ialah : Nelayan di Laut Utara (Karya Piere Lotti) dan Nikudan Korban
Manusia (Karya Tadayosih Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrotomo, 1944).
Salah satu karya STA yang penting adalah novel Layar Terkembang. Novel yang dianggap
mencerminkan cita-cita STA ini diterbitkan Balai Pustaka untuk 41 | Sejarah Sastra
Indonesia pertama kalinya tahun 1936, dan tahun 1984 mengalami cetak ulang untuk
kelima belas kalinya. Pada tahun 1963 novel ini terbit di Kuala Lumpur dengan edisi
23ancer Melayu.

Pengarang lain yang muncul pada periode ini ialah Amir Hamzah yang oleh H.B.
Jassin dijuluki “Raja Penyair Pejangga Baru”. Karya-karya pengarang yang merupakan
salah satu pendiri majalah Pujangga Baru ialah Nyanyian Sunyi (1937), Buah Rindu (1941)
dan Sastra Melayu dan Raja-rajanya (1942), dan Esai dan Prosa (1982). Sedangkan
terjemahannya ialah Bhagawad Gita (1933) dan Setanggi Timur (1939). Kisah 23ancer23
kehidupan penyair yang menurut Ajip Rosidi seakan-akan menjadi tokoh roman adat yang
dihasilkan oleh para pengarang dari Sumatera pada tahun 1920 – an dan 1930 20 ini
diceritakan dalam novel Amir Hamzah Pangeran dari Seberang yang ditulis N.H. Dini.

Pengarang lain yang juga pendiri majalah Pujangga Baru ialah Sanusi Pane yang
banyak menulis drama seperti Airlangga (1928), Eenzame Garoedavlucht (drama
berbahasa Belanda, 1929) Kertajaya (1932), Sandyakala ning Majapahit (1933), Manusia
Jiwa (1940). Sedangkan kumpulan puisinya adalah Pancaran Cinta (1927), Puspa Mega
(1927), dan Madah Kelana (1931). Karya lainnya ialah Sejarah Indonesia (1942),
Indonesia Sepanjang Masa (1952), dan Gamelan Jiwa (1960). Umumnya drama-drama
yang ditulis berlatar pada sejarah bangsa Indonesia dan merupakan bentuk closet drama,
drama yang sekadar untuk dibaca bukan di pentaskan karena lebih banyak percakapan
dibanding petunjuk gerak atau laku.

Pengarang lainnya ialah J.E Tatenteng dengan karangannya Rindu Dendam (1934),
M, R. Dayoh dengan karangannya Peperangan Orang Minahasa dengan Orang Spanyol
(1931), Pahlawan Minahasa (1935), Syair untuk ASIB (1935), Putera Budinan (1941),
Ratna Rakyat (1951), Koobangan (1953), dan Mamanua (1969). Rifa’i Ali dengan
karangannya Kata Hati (1941) dan Tuhan Ada (1968). OR Mandank dengan karyanya
Narumalina (1932), Pantun Orang Muda (1939), Sebab Aku Tediam…(1939), Sutomo
Djauhar Arifin yang menulis Andang Teruna (1941), dan A. Hasmy yang menulis novel :
Bermandi Cahaya Bulan (1938), Suara Azan dan Gereja (1940), Dibawah Naungan Pohon
Kemuning (1940), Tanah Merah (1980), Dewi Fajar (1943) sedangkan puisinya ialah
Kisah Seorang Pengembaran (1936), Dewan Sajak (1940), Rindu Bahagia (1960) dan
sebuah otobiografi Semangat Merdeka (1985).

Pengarang perempuan yang muncul pada periode ini adalah Hamidah yang
merupakan nama lain Fatimah Hasan Delais yang menulis novel Kehilangan Mestika
(1935) dan Selasih alias Sariamin atau Seluguri yang menulis novel Kalau Tak Untung
(1933), Pengaruh Keadaan (1937), dan Rangkaian Sastra (1952) dan Panca Juara (1981).
Periode ini juga memunculkan pengarang yang juga ulama besar yaitu Haji Abdul Malik Karim
Amrullah) yang biasa dikenal Hamka. Sebelum menjadi ulama 44 | Sejarah Sastra Indonesia ia
adalah murid H.O.S. Tjokroaminoto dan pernah mendapat Doctor Honoris Causa dari Universitas
Al Azhar, Kairo (Mesir).

Karya Hamka yang dianggap penting ialah Di Bawah Lindungan Kabah (1938).
Novel dianggap lebih kuat dan bernas dalam napas keislaman dibandingkan karya
pertamanya Dijemput mamaknya (1930). Di Bawah Lindungan Kabah mengisahkan cinta
yang tak sampai antara dua orang yang terhalang oleh adat. Yang membedakan dengan
novel-novel yang membicarakan adat ialah pengarangnya membawa pelakunya dibawa ke
Mekah dan meninggal di saat mengelilingi Kabah. Novel lainya ialah Tenggelamnya Kapal
van der Wijck (1939), mengisahkan cinta yang tak sampai dihalangi oleh adat
Minangkabau yang terkenal kukuh itu pula. Dalam novel ini diceritakan tentang Zainuddin
seorang anak dari perkawinan campuran Minang Makasar tak berhasil mempersunting
gadis idamannya karena Zainuddin tidak sebagai manusia penuh. Zainuddin kemudian
menjadi pengarang terkenal dan dalam sebuah kecelakaan kapal, gadis dicintainya
meninggal.

4.2 Polemik Kebudayaan

Sumbangan Pujangga baru terhadap pemikiran kebudayaan Indonesia adalah diberikannya


kesempatan pada sastrawan dan budayawan untuk menyalurkan pendapatnya sehingga
menjadi 24ancer24 yang hebat dan meluas. Dalam Kata Pengantarnya disebutkan bahwa
24ancer24 itu terjadi dalam tiga tahap. Pertama, terjadi dalam Pujangga Baru Bintang
Timur dan Suara Umum antara Alisjahbana, Sanusi Pane dan Poerbatjaraka. Kedua, dalam
Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli, dan Wasita antara Alisjahbana, Dr. Sutomo,
Tjindarbumi, Dr. M. Amir, Adinegoro, dan Ki Hadjar Dewantara. Pujangga Baru memasuki
tahun keempat . Dan 24ancer24, sedikitnya lima artikel Alisjahbana melanjutkan
gagasannya mengenai “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru”. Dalam Nomor
Peringatan Pujangga Baru , orientasi ke kebudayaan Barat dikatakan tidaklah dalam arti
sempit, melainkan “dalam arti yang seluas-luasnya”. Dengan begitu, pemahaman
kebudayaan Barat itu juga ditempatkan sebagai kebudayaan internasional. Dan sikap
25ancer2525i dipertahankannya secara konsisten sampai Pujangga Baru menghentikan
penerbitannya.

BAB 5

SASTRA INDONESIA PERIODE 1942 – 1945

Periode singkat ini tidak banyak karya sastra lahir yang penting. Beberapa pengarang yang
masih menulis pada periode lebih banyak menulis karya-karya untuk kepentingan Jepang
sebagai bagian dari propaganda Jepang. Semua bentuk kesenian menjadi alat
propaganda21 baik itu puisi, novel dan drama.

5.1 Masa Pendudukan Jepang

Kebijakan Jepang dalam bidang politik ialah dengan membubarkan semua organisasi
politik kemudian mendirikan badan baru yang diberi nama Pusat. Setelah Putera
dibubarkan karena tidak mendapat dukungan masyarakat Jepang mendirikan Jawa
Hokokai . Mobilisasi massa lain yang dilakukuan Jepang ialah dengan membentuk korps
pemuda yang bersifat militer seperti Seineidan untuk pemuda berusia 14. Indonesia yang
sebelumnya tergabung dalam serdadu kolonial Belanda. Zaman Jepang yang diucapkan
secara Jawa, «jaman meleset», adalah zaman kejatuhan ekonomi secara dunia. Baru pada
tahun 1943, beberapa perusahaan besar digiatkan 25ancer25 oleh Jepang dengan
mengganti nama-nama secara Jepang pula tetapi hal itu tak menolong keadaan yang kian
parah. Di mana-mana merajalela pengangguran yang mengancam 25ancer25 kemiskinan.
Artinnya kepengarang tidak selalu berkaitan dengan keadaan ekonomi, sosial, dan politik
yang mapan. Mungkin hasil sastra pada masa pendudukan Jepang tidak bermutu tinggi
menurut ukuran zaman sekarang karena ada pandangan-pandangan akan nilai yang
berbeda. Jepang menuntut hasil kesusastraan yang mendorong cita-cita peperangan dan
menunjang kepentingan pemerintah. Karya sastra yang mendukung Jepang jelas akan
memperoleh kesempatan publikasi, sebaliknya yang nadanya menolak pasti akan
disingkirkan
5.2 Sastra Propaganda

Pada bulan Agustus 1942 Pemerintah Jepang mendirikan sebuah badan bertugas mengurus
kegiatan propaganda Jepang yang diberi nama Sendenbu. Lembaga ini berusaha
membangun citra pemerintah Jepang melalui berbagai cara termasuk mempropagandakan
kebijaksanaaan pemerintah Jepang. Lembaga ini kemudian mendirikan Barisan
Propaganda yang anggotanya terdiri budayawan, wartawan, dan seniman. Kegiatan lainnya
yang dilaksanakan Barisan Propganda ini adalah mendirikan Surat Kabar Indonesia Raya
yang berisi pesan pemerintah, berita perang, dan iklan kebuayaan. Beberapa cerpen
bersambung sempat dimuat dalam Indonesia Raya yaitu “Kartinah”, “Noesa Penida” karya
Andjar Asmara dan Rukmini karya E.S.N.

Selain cerpen juga ditulis novel yang berisikan propaganda yaitu Palawidja
karangan Karim Halim. Jepang. Novel yang berlatar tempat di kota Rengasdengklok,
sebuah kota kecil di sebelah timur Jakarta, mengisahkan percintaan antara laki-laki
pribumi, Soemardi, dan perempuan Tionghoa, Soei Nio. Lalu, 26ancer ada kesempatan
menjadi tentara, Soemardi mendaftarkan diri menjadi tentara Pembela Tanah Air. Selain
novel Palawija, Karim Halim pernah menyadur tonil karangan Henrik. Kehadiran Jepang
membawa angin segar bagi putra-putri Indonesia yang telah sekian lama dijajah Belanda.
Hal itu menumbuhkan motivasi tersendiri bagi anak negeri seperti Amiruddin, untuk maju
ke garis depan pertempuran membela tanah air dengan menjadi anggota PETA, walaupun
dia harus meninggalkan ibu, adiknya, beserta Astiah yang baru dinikahinya. Gambaran
yang ditampilkan pada kedua novel tersebut tidak utuh dan tidak menampilkan keadaan
yang sebenarnya.

Kondisi sosial dan politik di Indonesia yang ditampilkan dalam novel Palawija dan
Cinta Tanah Air bertolak belakang dengan kondisi yang sebenarnya. Indonesia pada kedua
novel tersebut digambarkan tidak mengalami penderitaan akibat kedatangan tentara Jepang
dan segala sesuatu yang buruk pada waktu itu adalah akibat adanya penjajahan Belanda.
Dalam kedua novel tersebut segala yang berkaitan dengan Jepang berarti baik, sebaliknya
segala yang berkaitan dengan Barat, Belanda, dan Sekutu berarti buruk.
BAB VI

SASTRA INDONESIA PERIODE 1945 – 1961

Selepas Indonesia merdeka banyak perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang
termasuk budaya. Perubahan tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba pada saat setelah
proklamasi. Selama masa pendudukan Jepang sudah terjadi tandatanda perubahan yang
diperlihatkan beberapa sastrawan tetapi tidak segera muncul ke permukaan karena tertekan
oleh kekuasaan Jepang. Di antara penerbitan tersebut yang paling menonjol adalah siasat
dengan lampiran kebudayaannya “Gelanggang”. Siasat adalah mingguan yang diterbitkan
oleh Soedjatmoko dan Rosihan Anwar. Berbagai penyelewengan menyebabkan timbulnya
berbagai krisis, krisis ahlak, krisis ekonomi dan berbagai krisis yang lainnnya. Hal tersebut
diperparah dengan pertikaian-pertikaian antar golongan yang juga melibatkan sastrawan
yang berbeda aliran dan pandangannya.

6.1 Gelanggang Seniman Merdeka

Nama Chairil Anwar mulai dikenal di kalangan seniman pada tahun 1943. Ia dikenal
sebagai penyair muda yang memperkenalkan gagasan baru dalam puisi. Karena sifatnya
yang invidual dan bercorak ke Barat, ia banyak mengejek senimanseniman di kantor pusat
kebudayaan pada zaman Jepang. Chairil Anwar lahir di Medan (Sumatera Utara) 26 Juli
1922, ). Sejak kecil ia sudah menampakkan diri sebagai siswa yang cerdas dan berbakat
menulis serta menguasai tiga 27ahasa asing yaitu Belanda, Inggris, dan Jerman secara aktif.
Dan kelak, penguasaanya terhadap tiga 27ahasa asing itulah yang mengantarkan Chairil
pada karya-karya sastrawan dunia sebagai referensi yang berhasil disadur dan
diterjemahkan. Keberhasilannya menyadur dan menerjemahkan karya puisi atau cerpen
Andre Gide, Jhon Steinbeck, Rainer Maria Rilke, Ernest Hemingway, WH 54 | Sejarah
Sastra Indonesia Auden, Conrad Aiken, John Cornford, Hsu Chih-Mo, Archibal Macleish,
Willem Elsschot, H. Marsman, Edgar du Perron, J. Slauerhoff, dan lain-lain telah
menyudutkan Chairil sebagai plagiator, penyadur, atau penerima pengaruh berat dari
karya-karya itu.
Surat Kepercayaan Gelanggang

Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami
teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian
rakyat bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana duniadunia baru yang sehat dan
dapat dilahirkan.

Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang,
rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depanm tapi lebih
banyak oleh apa yang kami utarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami. Kami
tidak akan memberikan suatu kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami
berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil
kebudayaan lama sampai berkilat untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu
penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan
berbagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara-suara yang dilontarkan 28ancer28
dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menantang segala usaha-usaha yang mempersempit
dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.

Revolusi bagi kami adalah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai 28ance yang
harus dihancurkan. Demikianlah kami berpendapat bahwa revolusi di tanah air kami
sendiri belum selesai.

Dalam penemuan kami terhadap keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-


orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.

Jakarta, 18 Februari 1950

6.2 Lembaga Kebudayaan Rakyat


Lembaga Kebudayaan Rakyat atau dikenal dengan Lekra didirikan atas inisiatif
D.N. Aidit, Nyoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta pada tanggal 17 Agustus 1950, enam bulan
setelah diumumkan “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang berpandangan humanisme
Universal. Sekretaris Jendral pertama (1950-1959) adalah A.S. Dharta Lekra memiliki
beberapa seksi, yaitu seksi : sastra, seni rupa, seni suara, seni drama, film, filsafat, dan
Olahraga. Pada mukadimah kelahiran, tegas-tegas disebutkan menganut paham
Realialisme Sosial atau paham “seni untuk rakyat”. Lengkapnya, Mukadimah itu berbunyi:
Lembaga Kebudayaan Rakyat
Mukadimah
Menyadari, bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan dan bahwa
pembangunan kebudayaan Indonesia baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat, maka pada hari
17 Agustus 1950 didirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat Lekra. Pendirian ini terjadi
di tengah-tengah proses perkembangan kebudayaan yang sebagai hasil keseluruhan daya upaya
manusia secara sadar untuk memenuhi, setinggi-tingginya kebutuhan hidup lahir dan batin,
senantiasa maju dengan tiada putus-putusnya. Revolusi Agustus 1945 membuktikan, bahwa
pahlawan di dalam peristiwa bersejarah ini, seperti halnya di dalam seluruh sejarah
29ancer2929ita, tiada lain adalah rakyat, Rakyat Indonesia dewasa ini adalah semua golongan
di dalam masyarakat yang menentang penjajahan.
Revolusi Agustus adalah usaha pembebasan diri rakyat Indonesia dari penjajahan dan
peperangan, penjajahan serta penidasan 29ancer. Hanya jika panggilan sejarah Revolusi
Agustus terlaksana, jika tercipta kemerdekaan dan perdamaian serta demokrasi, kebudayan
rakyat bisa berkembang bebas. Keyakinan tentang kebenaran ini menyebabkan Lekra bekerja
membantu pergulatan untuk kemerdekaan tanah air dan untuk perdamaian di antara bangsa-
bangsa, di mana terdapat kebebasan bagi perkembangan kepribadian berjuta-juta rakyat.
Lekra bekerja khusus di lapangan kebudayaan, dan untuk masa ini terutama di lapangan
kesenian dan ilmu. Lekra menghimpun tenaga dan kegiatan seniman seniman, sarjana-sarjana
pekerja-pekerja kebudayaan lainnya. Lekra membatah pendapat bahwa kesenian dan ilmu bisa
terlepas dari masyarakat. Lekra mengajak pekerja-pekerja kebudayaan untuk dengan sadar
mengabdikan daya cipta, bakart serta keahlian mereka guna kemajuan Indonesian,
kemerdekaan Indonesia, pembaruan Indonesia.
Zaman kita dilahirkan oleh sejarah yang besar, dan sejarah 29ancer2929ita telah
melahirkan putra-putra yang baik, di lapangan kesusastraan, seni bentuk, 29ance, maupun di
lapangan-lapangan kesenian lain dan ilmu. Kita wajib bangga bahwa kita terdiri dari suku-suki
yang masing-masingnya mempunyai kebudayaan yang bernilai. Keragaman 29ancer2929ita ini
menyediakan kemungkinan yang tiada terbatas untuk penciptaan yang sekaya-kayanya serta
seindah-indahnya.
Lekra tidak hanya menyambut setiap sesuatu yang baru; Lekra memberikan bantuan
yang aktif untuk memenangkan setiap yang baru maju. Lekra membatu aktif perombakan sisai-
sisa “kebudayaan” penjajahan yang mewariskan kebodohan, rasa rendah serta watak lemah
pada 29ancer2929ita. Lekra menerima dengan kritis peninggalan-peninggalan nenek moyanag
kita, mempelajari saksama segala-gala segi peninggalan-peninggalan itu, seperti halnya
mempelajari dengan saksama pula hasil-hasil ciptaan klasik maupun baru dari maupun bangsa
lain yang mana pun, dengan dengan ini berusaha meneruskan secara kreatif tradisi agung dari
sejarah dan 29ancer2929ita, menuju penciptaaan kebudayaan yang nasional dan ilmiah, Lekra
menganjurkan kepada anggota-anggotanya dan pekerjaa kebudayaan di luar Lekra, untuk
secara dalam mempelajari kenyataan, mempelajari kebenaran yang hakiki dari kehidupan, dan
untuk bersikap setia kepada kenyataan dan kebenaran. Lekra menganjur untuk mempelajari
dan memahami pertentangan pertengangan yang berlaku di dalam masyarakat maupun di
dalam hati manusia, mempelajari dan memahami gerak perkembangannya serta hari depannya.
Lekra menganjurkan pemahaman yang tepat yang maju, dan menganjurkan hal itu, baik
tunk cara kerja di lapangan ilmu, maupun untuk penciptaan di lapangan kesenian. Di lapangan
kesenian Lekra mendorong inisiatif, mendorong kebenaran dan selama ia mengusahan
keindahan 29ancer2929 yang setinggi-tingginya.
Singkatnya, dengan menolak sifat anti-kemanusian dan anti-sosial dari kebudayaan
bukan-rakyat, dengan menolak perkosaan terhadap kebenaran dan terhadap nilai-nilai
keindahan, Lekra bekerja untuk membantu pembentukan manusia baru yang memiliki segala
kemampuan untk memajukan dirinya dalam perkembangan kepribadian yang bersegi banyak
dan harmonis.
Di dalam kegiatan Lektra menggunakan cara saling bantu, saling kritik dan diskusi-
diskusi persaudaraan di bahwa secara tegas berpihak pada rakyat dan mengabdi kepada rakyat,
adalah satu-satunya jalan bagi seniman-seniman, sarjana-sarjana maupun pekerja-pekerjaan
kebudayaan lainnya untuk mencapai hasil yang tahan uji dan tahan waktu. Lekra mengulurkan
tangan kepada organisasi-organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan apa pun,
untuk bekerja sama dalam pengabdian ini.
Disahkan dalam Kongres Nasional Pertama
Lembaga Kebudayaan Rakyat
Di Solo, tanggal 22 – 28 Januari 1959
6. 3 Krisis Sastra
Pada bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan sebuah 30ancer3030i tentang
Amsterdam diselenggarakan 30ancer3030i tentang kesusastraan Indonesia antara lain
berbicara dalam 30ancer3030i itu Asrul Sani, Sultan Takdir Ali Sjahbana, Prof. Dr. Werthim
dan lain-lain. Indonesia, tetapi persoalan tentang krisis baru menjadi bahan pembicaraan yang
ramai 30ancer terbit majalah konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. Nomor pertama
majalah ini memuat essay Soejatmako berjudul “Mengapa konfrontasi” dalam karangan ini
secara tandas dikatakan oleh penulisnya bahwa sastra penulisnya sedang mengalami krisis.
Dalam tulisan berjudul «Situasi 1954» yang ditujukan kepada sahabatnya
“Mite”. Menurut Nugroho asal timbulnya mite itu ialah pasimisme yang berjangkit dari
kalangan orang-orang tertentu pada masa sesudah kedaulatan.
Kecuali itu Nogroho pun melihat kemungkinan bahwa golongan “Old
Crack” 30ancer3030 1945 pada sekitar tahun 1945 mengalami masa 30ancer3030i, pada masa
sesudah tahun 1950 mengalami kemunduran.

6. 4 Majalah Kisah
Salah satu 30ancer30 yang mengemukakan adanya “Krisis Sastra” adalah karena
sedikitnya jumlah buku yang terbit. Hal ini disebabkan karena kesulitan yang dialami oleh
beberapa penerbitan. Perubahan status yang berkalikali, pergantian pimpinan yang tidak
mengusai bidangnya, adalah permasalahan yang dihadapi Balai Pustaka pada waktu selain
kekurangan keuangan. Karena keterbatasan ruang maka majalah hanya memuat sajak, cerpen,
dan karangan-karangan lain yang tidak begitu 30ancer30. Keadaan itulah yang menyebabkan
lahirnya istilah “sastra majalah”. Istilah ini dikenalkan oleh Nugroho Notosusanto dalam
tulisannya “Situasi 1954” yang dimuat majalah Kompas yang dipimpimnya. Diantara berbagai
majalah yang muncul pada waktu itu ialah majalah Kisah. Majalah ini menjadi penting karena
merupakan majalah sastra yang mengutamakan cerpen. Semangatnya adalah memberikan
bacaan yang baik kepada masyarakat sehingga pengarang pun terdorong untuk mencipta
karangan-karangan yang bermutu dengan penuh tanggung jawab sehingga majalah ini menjadi
tolok ukur kepengarangan seseorang.
Sedangkan penyair yang berkembang dalam majalah ini antara lain Subagio
Sastrowardoyo dengan kumpulan puisinya Simphoni . Sudarto Bahtiar dengan kumpulan
puisinya Suara dan Etsa . Rendra setelah memperdalam pengetahuan mengenai drama di
American Academi of Dramatical Arts, AS , ia banyak memberikan perhatian kepada drama
dengan mendirikan Bengkel Teater di. Panembahan Reso dan menerjemahkan Oidipus Sang
Raja , Oidipus di Rendra yang banyak menulis drama pada saat itu ialah Motinggo Busye
dengan karyanya Malam Jahanam, Badai Sampai Sore , Njonja dan Njonja , dan Malam
Pengantin di Bukit Kera. Setelah berhenti beberapa tahun beberapa pengarang mencoba
menghidupkan lagi majalah Kisah dengan nama baru yaitu, Sastra pada Mei 1961. Sedangkan
penyair yang sering muncul karya-karyanya di majalaah ini adalah Isma Sawitri, Goenawan
Muhamad, M. Saribi AFN, Popy Hutagalung, Budiman Hartojo, Arifin C. Noer, Sapardi Djojo
Damono dan lain-lain. Sedangkan yang mengisi kritik dan esai Arief Budiman, D.A.

BAB 7
SASTRA INDONESIA PERIODE 1961 – 1971
Bagian ini menjelaskan periode yang penuh pergolakan dengan banyaknya pertentangan
para sastrawan yang mewakili kepentingan dan golongannya masing-masing. Hal ini dapat
terbaca dengan jelas dalam 31ancer31 antara sastrawan Lembaga Kebudayaan. Manifes
Kebudayaan yang mengusung nilai-nilai Humanisme Pemerintah Soeharto tidak menyurut
konflik para tokohnya.

7.1 Manifestasi Kebudayaan


Perubahan pemerintahan dari demokrasi liberal ke demokrasi terpimpin tidak menjadikan
kondisi politik Indonesia makin membaik. Kepribdian Indonesia yang kemudian dikenal
Manipol-Usdek memperbesar pengaruh PKI. Hal itu tentunya menguntungkan organisasi yang
bernaung dibawahnya seperti Lekra. Situasi tersebut membuat Lekra bersikap agresif terhadap
lawan-lawan politiknya. Alisyahbana yang politiks menjadi anggota partai yang dibubarkan
dan Hamka menjadi sasarannya.
Lekra juga melancarkan kampanye menghabisi penerbit-penerbit 31ancer3131ita yang
dianggap berseberangan. Korbannya antara lain penerbit yang mengedarkan terjemahan Dr.
Zhivago karya pengarang Rusia, Boris Pasternak, dan sejumlah penerbit buku Islam. Ulama
besar ini tak Cuma dilucuti dalam tulisan, tapi juga dilecehkan lewat karikatur yang sangat
vulgar. Bukunya Tenggelamnya Kapal van der Wijck yang punya persamaanpersamaan
menyolok dengan Madjulin Luthfi Almanfaluthi dijadikan 31ancer31 kuat untuk
menghacurkan 31ancer31. Sastrawan penentang PKI ini 31ancer3131 tahun menatap sel
penjara, di lokasi yang berbeda-beda. Indonesia Raya yang dipimpinnya pun dibredel dengan
semena-mena oleh pemerintah pada masa itu. Paus sastra Indonesia Hans Bague Jassin turut
“kebagian jatah”. Salah satu tudingan Pram yang dimuat di korannya adalah “bukubuku Jassin
diterbitkan alat pemerintah federal”. Karya Jassin antara lain. Chairil Anwar pun diserang oleh
Klara Akustia, Sekretaris Jendral Lekra” Kecuali “Kenanglah Kami”, yang isinya maupun
bentuknya benar-benar bernafaskan semangat 45”. Seperti halnya Klara Akustia, Bakri Siregar
pun mengecilkan peran Chairil “ Pada matinya memang badan Chairil remuk, tetapi justru
tidak ber-Tuhan, meskiun dia dikubur secara Islam sekalipun”. Hal itu menyebabkan banyak
pengarang yang akhirnya menggabungkan diri dengan Lekra agar selamat. Ismail dan Asrul
Sani dan beberapa partai lain seperti Partai Kristen , Partai Syarikat Islam Indonesia , dan lain-
lain.
Manifes Kebudayaan

Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah
Manifes Kebudayaan yang menyatakan bahwa pendirian, cita-cita, dan Politik Kebudayaan
Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup
manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di antara sektor kebudayaan
yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasioanal, kami berusaha menciptakan dengan
kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan
mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat
bangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963

7.2 Majalah Horison


Buku-buku sastra jarang terbit. Majalah kebudayaan terutama sastra, tempat pengarang
menyebarkan hasil karyanya juga tidak terbit . Angin segar mulai bertiup 32ancer32 dengan
terbitnya majalah sastra Horison pada Majalah ini terbit pada 1 Mei 1966.
Mooctar Lubis menulis konsep dan sikap majalah Horison yang dicantum dalam Edisi nomor
1 tahun I, Juli 1966 yang berbunyi:
Kata Perkenalan
Bersama ini kami perkenalkan kepada Saudara pembaca yang 32ancer32 majalah kami
Horison, sebuah majalah sastra yang memuat cerita-cerita pendek, sajak-sajak, esei dan kritik,
yang kami harap akan cukup bermutu untuk seterusnya dapat memikat perhatian dan kasih
32ancer Saudara pada majalah ini.
Majalah Horison kami lancarkan ke tengah masyarakat kita di tengah-tengah suasana
kebangkitan baru semangat untuk memperjuangkan 32ancer32 semua nilainilai demokratis dan
kemerdekaan-kemerdekaan manusia, martabat manusia Indonesia. Sesuai dengan 32ancer32,
Horison, kaki langit, maka kami mengajak Saudara-saudara supaya ktia selala menengok dan
mencari 32ancer32-horison baru, dalam arti supaya kita dengan sadar menghapus batas-batas
pemikiran, penelahaan, kemungkinan-kemungkinan daya kreatif kita di semua bidang
penghidupan 32ancer3232ita.
Marilah kita meninggalkan ruang-ruang sempit yang selama ini mengungkung jiwa dan
pikiran kita, marilah kita melepaskan diri kita dari belenggu dan perangkap semboyan-
semboyan yang bersifat chauvinis dan xenophobia. Marilah kita membuka hati kita, membuka
pikiran kita pada semua yang baik yang diciptakan oleh umat manusia di muka bumi ini.
Kami ingin melihat terpeliharanya dan bertambah suburnya ciri masyarakat
32ancer3232ita yang sejak dulu terdapat di negeri kita ; dan kami ingin melihat terjaminnya
ciri ini, di mana terjamin kebebasan perkembangan bakat-bakat dan pribadi golongan-golongan
rakyat kita dan perorangan di tanah kita di dalam bidang-bidang pemikiran, kerohanian, ilmu,
dan kesusastraan, 33ance, teater, seni lukis, seni tari, olah raga, juga hiburan-hiburan. Kami
ingin melihat semua ini didorong berkembang sebaik mungkin, agar di dalam taman
penghidupan bagnsa kita dapat tumbuh seribu bunga yang molek-molek.
Kita menolak usaha-usaha untuk membina di negeri kita satu kekuasaan yang
monolitik, yang hendak mencap seluruh 33ancer3333ita dalam satu warna yang dibolehkan
oleh piak resmi saja, yang hendak membuat seluruh rakyat kita jadi beo, yang hendak
memutuskan apa yang baik untuk rakyat tanpa persetujuan rakyat kita.
Dalam perjuangan untuk membina tradisi-tradisi demokratis, penghormatan pada
pemerintah berdasarkan hukum, pemuliaan hak-hak manusia dan membina masyaakat yang
adil dan 33ancer, majalah Horison memilih bidang sastra sebagai arena perjuagnannya.
Karena kami yakin, bahwa bidang ini memegang kedudukan kunci yang tak kalah
pentingnya dengan bidang-bidang penghidupan 33ancer3333ita yang lain. Majalah Horison
kami harapkan akan dapat mendorong ke giatan-kegiatan kreatif dan pemikiran-pemikiran
yang penuh kebebasan dan nilai-nilai kontruktif.
Horison juga mengembangkan kesadaran yang teguh, bahwa dunia dan umat manusia
adalah satu. Dan kita mesti mengembangkan hubungan antara bangsabangsa dan perseorangan
di dunia ini sebanyak mungkin daan 33anc mungkin, agar dapat diciptakan kerja sama,
pengertian dan saling-menghargai yang bertambah-tambah besar dalam segala bidang
penghidupan manusia untuk mencapai persaudaraan dan perdamaian, serta kebahagiaan
seluruh Umat Manusia.
…..........................................

7. 3 Heboh Sastra
Lama menjadi bulan-bulanan Lekra dan akhirnya terpaksa berhenti pada bulan Jassin,
Muhlil Lubis, dan Hamsad Rangkuti. Pemuatan cerpen «Langit Makin Mendung» karya
Kipandjikusmin pada edisi. Tidak lama setelah terbitnya cerpen tersebut timbullah protes
sekelompok masyarakat Islam di Sumatera Utara yang menganggap cerpen tersebut menghina
Tuhan dan merusak akidah umat Islam dengan 33ancer33 di dalammnya terdapat personifikasi
Tuhan dan Nabi Muhammad. Cerpen tersebut mengisahkan perjalanan Nabi Muhamamd yang
ingin melihat dari dekat kehidupan mutakhir di dunia yang semakin sibuk dengan kemaksitan
dan intrin-intik politik. Muhammad ke bumi dengan kuda sembrani yang dikawal Malaikat
Jibril. Adapun kisah selanjutnya adalah sketsa perkembangan politik di Indonesia yang
semrawut dengan tokoh Pemimpin Besar Revolusi yang sibuk dengan intrik-intrik politik.

Kipandjikusmin sendiri adalah 33ancer yang nama sebenarnnya hanya diketahui oleh
redaksi majalah Sastra. Dengan kata lain mestinya kipandjikusminlah yang
mempertanggungjawabkan di pengadilan. Jassin, tidak mau membuka identitas
Kipandjikusmin yang sebenarnya, maka H.B. Jassinlah yang harus berhadapan dengan
pengadilan. Hal ini disebabkan karena peristiwa ini baru kali ini sebuah karya sastra
diperkarakan dan yang diajukan adalah tokoh penting dalam sastra Indonesia yakni H.B. Sastra
Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin Jassin di pengadilan selain
artikel-artikel yang membela H.B. Jassin yang ditulis Wiratmo Soekito, S. Tasrif, Bus
Rasuanto, A.A.
BAB VIII
SASTRA INDONESIA PERIODE 1971 – 1998
Adanya pembaharuan dalam berbagai genre yang muncul menandai periode ini. Setelah
melewati masa-masa yang penuh konflik, Kesusastraan Indonesia menampaki tahap
pematangan dengan munculnya bentuk-bentuk sastra yang jauh meninggalkan konvensi.
Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa akibat tidak ada tuntutan mengikuti garis tertentu
sehingga hal ini memberikan kebebasan sastrawan untuk berekspresi 31. Sedangkan menurut
Ajip Rosidi, “ ciri khas yang menandai kehidupan sastra setelah gagalnya coup d’ etat Gestapu
ialah munculnya kebebasan pengarang untuk melakukan eksperimen-ekperimen (hampir)
tanpa batas”32.

8.1 Sastra Populer


Semarang terbit Suara Merdeka dan Angkatan Bersenjata di Malang terbit Suara. Hal-hal
itulah yang menyebabkan karya-karya ancer temasuk novel ancer banyak disukai masyarakat.
Kehadiran novel-novel ancer di Indonesia sudah ada sejak awal perkembangan kesusastraan
Indonesia. Kehadiran novel-novel terbitan swasta baik yang diproduksi komunitas Tionghoa
Peranakan dan Kaum Pergerakan yang kemudian pemerintah kolonial mendirikan Balai
Pustaka merupakan awal kehadiran novel-novel ancer di Indonesia. Pada pertengahan tahun
1930-an dan terus berlanjut sampai dasawarsa 1950-an, bermunculan novel-novel yang
dikemas dalam format sederhana dengan kualitas cetakan yang murah.

Pada tahun 1950-an ancer dicetak ulang novel-novel terbitan Medan sebelum
kemerdekaan dan serial silat Cina. Perkembangan selanjutnya pada tahun 1960-an berupa
penerbitan cerita-cerita detektif yang berpusat di Surabaya dan diterbitkan cerita detektif
terjemahan, novel saduran, dan serial western.

8.2 Sastra Eksprerimentasi


Bentuk eksperimentasi karya sastra di Indonesia di awali lahirnya puisi mbeling.
Kemudian, puisi-puisi yang dimuat dalam ruagan tersebut di namai juga puisi mbeling.
Penganjur utama puisi Mbeling adalah Remi Silado, pengarang yang nama aslinya adalah Jopi
Tamboyong yang merupakan pengasuh rubrik puisi di majalah Aktuil Bandung dan redaktur
utama rubrik “Puisi Mbeling” di majalah tersebut . Ia menulis kritik, puisi, cerpen, novel ,
drama, kolom, esai, sajak, musikologi, dramaturgi, ancer, dan teologi. Remy terkenal karena
sikap beraninya menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang
dipimpinnya. Dalam karya fiksinya, sastrawan ini sering mengenalkan kata-kata Indonesia lama
yang sudah jarang dipakai. Hal ini membuat karya sastranya unik dan istimewa, selain kualitas
tulisannya yang tidak diragukan lagi. Penulisan novelnya didukung dengan riset yang tidak
tanggung-tanggung. Pengarang yang masih menulis karyanya dengan mesin ketik ini juga
banyak melahirkan karya berlatar budaya di luar budayanya.
8.3 Pengadilan Puisi
Horison maupun kemapanan pengarang-pengarang senior adalah pengadilan
Puisi. Acara yang diadakan di Bandung, 8 September 1974, untuk mengadili puisi mutakhir.
Ide mengadakan Pengadilan Puisi ini berawal dari Darmanto Jt pada 1970. Indonesia.
Menurutnya Pengadilan Puisi perlu diadakan untuk mensahkan hak hidup puisi di Sajak-sajak
kotor dan menghina agama, tentu akan menyebabkan penyair ditutut. Indonesia, “tidak sehat,
tidak jelas, dan brensek”.
Setelah menolak tuntutan Jaksa serta berembuk dengan mengindahkan Kitab Undang-undang
Hukum Puisi, mempertimbangkan Hukum Adat, Majelis Hakim memutuskan sebagai berikut
:
a. Para kritikus sastra tetap diizinkan untuk menulis dan mengembangkan
kegiatan serta meneruskan eksistensinya, dengan catatan harus segera
mengikuti kursus penaikan mutu dalam Sekolah Kritikus Sastra yang akan
segera didirikan.
b. Para redaktur Horison tetap diizinkan tetap memegang jabatan mereka,
selama mereka tidak merasa malu. Bila dikehendaki sendiri mereka boleh
mengundurkan diri.
c. Para penyair mapan masih diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu
juga para penyair epigon dan inkarnatif, boleh menulis terus dengan
kaharusan segera masuk ke dalam Panti Asuhan atau Rumah Perawatan
Epigon.
d. Majalah Sastra Horison tidak perlu dicabut SIC dan SIT-nya, hanya di
belakang nama lama harus diembel-embel kata “baru”, sehingga menjadi
Horison baru. Masyarakat luas tetap mendapat izin membaca sastra dan
membaca puisi.

8.4 Sastra Akademik/Fakultas Sastra


Fakultas Sastra UI yang berada Rawamangun yang sempat mempopuler istilah
Yogyakarta dan Fakultas Sastra Univesitas Padjajaran di Jalan Dipati Ukur, Bandung. Setelah
itu muncul bebarapa buku yang awalnya skripsi sarjana mahasiswa dan beberapa penelitian
yang berasal fakultas seperti yang disebut di atas. Kartamiharja dan Bentuk Lakon dalam Sastra
Indonesia. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kuliatas pada pengajar yang juga adalah
sarjana sastra maka dibentuklah Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia . Organisasi ini
juga bertujuan menjalin komunikasi para sarjana kesusastraan dan mengembangkan Ilmu
Sastra di Indonesia. Kegiatan HISKI yang diselenggarakan secara rutin adalah Pertemuan
Ilmiah Nasional .
BAB IX
SASTRA INDONESIA PERIODE 1998 – SEKARANG
Periode terakhir dalam perkembangan Kesusastran Indonesia modern ini ditandai
kemunculan pengarang-pengarang perempuan yang karyanya tidak hanya banyak dipuji dari
pengamat sastra tetapi diapresiasi oleh masyarakat dengan banyaknnya buku yang terjual. Tema-
tema yang mengekplorasi masalah seks bersanding dengan tema-tema Islami yang ditulis
pengarang Islam yang bernaung dibawah Forum Lingkar Pena sebuah komunitas penulis yang
tidak hanya tersebar di kota-kota di Indonesia tetapi memiliki cabang di luar negeri. Hal itulah
yang menyebabkan lahirnya Sastracyber di Indonesia. Munculnya sastracyber tidak menyingkir
sastra-sastra yang muncul pada media konvensional seperti majalah dan koran. Karya sastra
yang senantiasa hadir dalam rubrik di koran atau majalah adalah cerpen. Keberadaan cerpen
pada masa-masa awal sastra Indonesia tidak terlacak bahkan cenderung diabaikan oleh penulis
sejarah sastra Indonesia.

9.1 Perempuan Pengarang Kontemporer


Periode ini dicirikan dengan bermunculan para penulis muda banyak yang bebas
mengeksplorasi 36ancer dan tak terkungkung menabukan seks. Kumpulan cerita pendek yang
memuat 11 cerpen ditulis Djenar pada 2001-2002. Sedangkan novel pertamanya adalah
Nayla yang mengangkat secara ringan berbagai persoalan penyimpangan seks. Kemudian
kumpulan cerpen Jangan Main-main dengan Kelaminmu yang juga mengangkat persoalan
seks. Pengarang lainnya ialah Ayu Utami dengan novel Saman yang meraih penghargaaan
Dewan Kesenian Jakarta 1997 dan dicetak ulang 22 kali. Novel ini merupakan novel
Indonesia perta yang memanfaatkan sains untuk kepentingan fiksi. Begitu juga pemaparan
sejumlah teori, baik yang diberi keterangan dalam catatan kaki, maupun yang diintegrasikan
dalam deskripsi dan dialog antartokoh.
Kemudian Muncullah Rieke Diyah Pitaloka dengan kumpulan puisinya, Renungan
Kloset yang peluncurannya edisi pertamanya dilaksanakan di Pusat Pengarang perempuan
yang penting pada periode ini adalah Oka Rusmini. Oka melalui novel Tarian Bumi dan
Kenanga menggugat tradisi adat, budaya, dan agama yang selalu memojokan posisi
perempuan. Bumi, tokoh utama Ida Ayu Telaga Pidada, perempuan bangsawan yang karena
menikah dengan seorang Wayan, lelaki dari kasta yang lebih rendah, kerap dituding sebagai
biang kesialan keluarga. Telaga akhirnya iklas menanggalkan kasta kebangsawanannya dan
memilih menjadi perempuan sudra yang utuh. Karena adiknya, kawin dengan Bhuana, lelaki
yang justru memperkosanya. Di sana, ciata terpaksa tunduk pada norma agama, citra kasta
Brahmana, dan sejumlah aturan yang justru memasung kebebasan perempuan. Belum
problem menyangkut perselingkuhan yang harus disembunyikan rapai semata-mata demi
menjaga kasta. Selain kedua novel tersebut Oka juga menggugat tradisi Bali yang dianggap
merugikan perempuan dalam kumpulan cerpen Sagra .
Kumpulan cerpen ini memang ancer jelas menggambarkan “pemberontakan” dan
“penggugatan” perempuan Bali yang dilakukan atau diwakili oleh tokoh-tokoh dalam
kumpulan cerpen tersebut. Selain itu sistem stratifikasi sosial yang berwujud dalam bentuk
kebangsawanan dan kasta-kasta tersebut dikritisi sedemikian rupa melalui alur cerita yang
menarik. Dari generasi ini muncul juga penulis-penulis yang khusus menghadirkan tema-
tema Islami, misalnya dua bersaudara Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia. Karya mereka juga
diapresiasi oleh masyarakat dengan banyaknya jumlah buku yang terjual. Forum Lingkar
Pena maupun penerbit lain yang berbentuk novel, kumpulan cerpen maupun tulisan-tulisan
tuntunan. Novelnya Derai Sunyi mendapat penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara
sedangkan kumpulan cerpennya Cinta tak Pernah Menari meraih Pena Penulis lainnya yang
mengusung tema Islami adalah Abidah el khalieqi dengan novel Geni Jora . Dalam novelnya
itu melakukan gutatan terhadap hal memojokkan perempua dengan mengaitkan tradisi Jawa
dan pesantren.

9.2 Sastra Cyber


Sedangkan invidu-individu dan karyanya yang dapat ditemui di internet ialah
Sitomurang, dan Pramodya Ananta Toer dialamat www.geocities.com. Sedangkan situs-
situs berbahasa Inggris yang memuat sastrawan Indonesia diantaranya ialah Diskusi-diskusi
sastra yang dilakukan para sastrawan dan penikmat sastra biasa dilakukan di milis seperti
milis-milis sastra yang lain. Kedua buku tersebut tidak hanya merangkum karya penyair
cyber tetapi juga memberikan kepada masyarakat tentang cyber sastra.

9.3 Banjir Cerpen


Cerpen-cerpen yang dimuat dalam koran atau majalah mendahului kahadiran penerbitan
novel, puisi dan drama. Namun, cerpen yang memanfaatkan media massa tersebut dikaburkan
oleh para penulis sejarah sastra dengan lebih menonjolkan peranan penerbitan yang dalam ini
adalah Balai Pustaka. Sejarah cerpen sendiri berasal dari sketsa, fragmen, esai-esai yang
mengangkat kehidupan sehari-hari, cerita ringan dan lucu, cerita bersambung atau kisah ancer
percintaan yang diambil dari suatu peristiwa yang pernah menjadi berita ancer, semua disebut
cerita. Setiap periode Kesuastraan Indonesia tak pernah sepi dari kehadiran cerpen-cerpen
yang dimuat di surat kabar.
Pada saat tidak muncul novel-novel penting pada saat pendudukan Jepang atau pada
sekitar tahun 1950-an, cerpen tetap muncul di surat kabar dengan produksi yang melimpah.
Kehidupan pers yang terkesan serbabebas serbaboleh ikut mendorong terjadinya
perkembangan itu. Satu hal yang memungkinkan cepatnya perkembangan cerpen karena
dipengaruhi oleh sikap revolusionis, kepekaan masyarakat Indonesia untuk sebuah perubahan
yang cepat dan signifikan, sehingga menuntut kehadiran sebuah bentuk karya sastra yang
bersifat santai, cepat saji, dan mudah dipahami oleh seluruh pembaca dan kecendrungan itu
mengarah pada cerpen. Kini, cerpenis dipandang sebagai profesi yang tak lebih rendah dari
novelis atau penyair.
Cerpenis tak diperlakukan sebagai orang yang sedang belajar menulis novel. Di sana,
rubrik cerpen mendapat tempat yang khas. Begitupun Diknas, Pusat Bahasa atau ancer lain
yang juga melakukan kegiatan serupa. Kegiatan ini mengangkat kedudukan cerpen dalam
posisi yang istimewa. Kemudian terbitnya Jurnal Cerpen yang diasuh Joni Ariadinata, dkk.
Maroeli Simbolon, Satmoko Keseluruhan antologi itu menunujukkan kekuatan narasi yang
ancer mengalir dan kedalaman tema yang diangkatnya.
2. Buku Pendamping

Perkembangan Sejarah Sastra Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berbagai pengetahuan tersimpan dalam sastra. Sastra memiliki pengaruh yang luar biasa
terhadap kehidupan. Mempelajari sastra akan sangat bermanfaat untuk menambah
pengetahuan, khususnya mengenai kesusastraan di Indonesia. Sejarah sastra merupakan
cabang ilmu yang mempelajari seluk beluk sastra (asal mula dan kejadian) sastra sejak zaman
dahulu. Sejarah sastra membahas perkembangan sastra sejak zaman dahulu hingga sekarang
dan pengaruh-pengaruh yang timbul di dalamya. Buku ini berusaha membicarakan sejarah
sastra Indonesia secara utuh, dengan latar keacehan, dengan tujuan supaya perkembangan
sastra Indonesia terlihat secara menyeluruh namun juga dapat menyentuh lokalitas.
Pembahasan sejarah sastra dalam buku ajar ini difokuskan pada periodisasi sastra mulai dari
zaman purba hingga saat ini dengan contoh-contoh karya sastra yang terdekat, yang populer,
dan yang relevan.
Tujuan
Setelah mempelajari buku ajar ini, mahasiswa diharapkan dapat lebih mudah memahami
dan menguasai kompetensi yang berkaitan dengan periodisasi sastra, peristiwa-peristiwa
penting, dan contoh – contoh karyanya pada zamannya masing-masing. Namun, secara khusus
tujuan buku ajar ini diharapkan dapat menjadi pegangan mahasiswa guna memahami
serangkaian satuan ajar.
BAB II
PENGERTIAN SASTRA DAN PERIODISASI SASTRA

Pengertian Sastra
Menurut Depdiknas (2008), arti kata sastra adalah "karya tulis yang jika dibandingkan
dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan,
keindahan dalam isi dan ungkapannya". Menurut Esten (1978) sastra adalah pengungkapan
dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia. Beberapa ahli turut
memberi pengertian mengenai sastra, seperti Atar Semi mendefinisikan sastra sebagai suatu
bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya
dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya; Ahmad Badrun mendefinisikan kesusastran
sebagai kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis symbol – symbol lain sebagai
alat dan bersifat imajinatif; Yacob Sumardjo dan Zaini KM mendefinisikan sastra sebagai
ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan, semangat,
keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona bahasa.
Sastra bukanlah sekedar kata-kata yang indah, melainkan suatu kecakapan dalam
menggunakan bahasa yang berbentuk dan bernilai. Sebab, bahasa merupakan media sastra.
Melalui bahasa, sastra dapat ditentukan bernilai atau tidak. Bahasa sastra mengungkapkan
pengalaman dan realitas kehidupan, mengungkapkan hayalan dan estetik yang kemudian
menjadikan bernilai atau tidak sebuah karya sastra. Sastra dapat memberikan kesenangan atau
kenikmatan kepada pembacanya, serta dapat memberi motivasi. Kenikmatan, kesenangan itu,
dan motivasi itu dalam sastra muncul dalam bentuk keteganganketegangan (suspense).
Selanjutnya (Todorov, 1985:61) mengatakan bahwa sejarah sastra adalah ilmu yang
memperlihatkan perkembangan karya sastra dari waktu ke waktu. Sejarah sastra bagian dari
ilmu sastra, yaitu ilmu yang mempelajari tentang sastra dengan berbagai permasalahannya.

Periodisasi Sastra Indonesia


Periodisasi sastra adalah penggolongan sastra berdasarkan pembabakan waktu dari awal
kemunculan sampai dengan perkembangannya. Selain berdasarkan tahun kemunculan,
periodisasi sastra juga dapat dilihat berdasarkan ciri-ciri sastra yang dikaitkan dengan situasi
sosial, serta pandangan dan pemikiran pengarang terhadap masalah yang dijadikan objek karya
kreatifnya.
1) H.B. Jassin, menggolongkan periodisasi sastra Indonesia sebagai berikut.
1) Periode sastra Melayu Lama
2) Periode sastra Indonesia Modern, terdiri atas empat angkatan, yaitu:
a. Angkatan Balai Pustaka
b. Angkatan Pujangga Baru
c. Angkatan 45
d. Angkatan 66
2) Usman Effendy, menggolongkan periodisasi sastra Indonesia sebagai berikut:
1) Kesusastraan Lama
2) Kesusastraan Baru
3) Kesusastraan Modern
3) Sabaruddin Ahmad, menggolongkan periodisasi sastra Indonesia sebagai berikut.
1) Kesusasteraan Lama (Dinamisme, Hinduisme, Islamisme)
2) Kesusasteraan Baru (Masa Abdullah bin Abdulkadir Munsyi,
Masa Balai Pustaka, Masa Pujangga Baru, Masa Angkatan ’45)
4) Ajip Rosidi, menggolongkan periodisasi sastra Indonesia sebagai berikut.
1) Masa Kelahiran atau Masa Kejadian (Awal abad XX–1945)
a. Periode awal abad XX–1933
b. Periode 1933–1942
c. Periode 1942–1945
2) Masa Perkembangan (sejak 1945–kini)
a. Periode 1945–1953
b. Periode 1953–1960
c. Periode 1960–kini
5) Nugroho Notosusanto, menggolongkan periodisasi sastra Indonesia sebagai berikut.
1) Kesusastraan Melayu Lama
2) Kesusastraan Indonesia Modern
a. Zaman Kebangkitan: Periode 1920, 1933, 1942, 1945
b. Zaman Perkembangan: Periode 1945, 1950 sampai sekarang
6) Simomangkir Simanjuntak, menggolongkan periodisasi sastra Indonesia sebagai
berikut.
1) Kesusastraan masa lama/ purba : sebelum datangnya pengaruh
hindu
2) Kesusastraan masa Hindu/ Arab : mulai adanya pengaruh
hindu sampai dengan kedatangan agama Islam
3) Kesusastraan Masa Islam
4) Kesusastraan Masa Baru
a. Kesusastraan Masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi
b. Masa Balai Pustaka
c. Masa Pujangga Baru
d. Kesusastraan Masa Mutakhir : 1942 hingga sekarang.

BAB III
SASTRA ZAMAN KLASIK
Sastra zaman klasik atau biasa juga disebut sebagai sastra melayu lama adalah sastra
Indonesia yang non-pengaruh Barat. Dalam perkembangannya, sastra dalam ketiga zaman
tersebut di isi oleh genre sastra yang memiliki karakteristik yang khas.
1. Pengaruh Animisme – Dinamismes
Dalam sejarah perkembangan kesusastraa Indonesia, zaman animisme dan dinamisme
adalah zaman tertua. Pengaruh Animisme-Dinamisme terlihat pada jenis sastra berikut.
o Mantra
o Cerita Rakyat
• Legenda
• mite
• Sage
• Fabel
• Cerita Lucu/pelipur lara
1.1 Mantra
Satu-satunya jenis puisi yang berkembang pada zaman animismdinamisme adalah mantra.
Berkekuatan gaib atau biasa juga disebut dengan jampi-jampi, tapi pada umumnya mantra tidak
sama persis dengan ilmu nujum atau sihir,. Dalam masyarakat Aceh secara umum mantra ini
disebut dengan Neurajah.
Berdasarkan ilmu sastra mantra ini bagian dari puisi lama yang paling tua usianya.
Biasanya digolongkan ke dalam sastra lisan, karena memang mantra sudah ada sejak zaman
animisme-dinamisme jauh sebelum dikenal budaya tulis menulis. Sehingga mantra hanya
berkembang sebagai sastra lisan yang turun temurun dari satu generasi kegenerasi yang
berikutnya. Berdasarkan pada konsep yang telah dikembangkan, Junus menyatakan adanya
perbedaan antara puisi dan mantra, meskipun pada dasarnya mantra adalah jenis puisi lama.
ada kecenderungan dari kata-katanya atau ada hubungan dan terasa sebagai permainan bunyi
belaka. Penggunaan mantra ditujukan untuk mendapatkan efek tertentu. Mantra dapat berupa
kata dan suara tertentu yang dianggap memiliki kesaktian. Pengucapan kata yang diiringi
dengan bunyi tertentu terkadang tidak memiliki makna tetapi sangat erat kaitannya dan
memberi pengaruh yang kuat pada munculnya kekuatan gaib karena mantra merupakan kunci
utama dalam dunia gaib .
Jenis – Jenis Mantra
Waluyo dalam Yusuf, et al. (2001:13) menyebutkan beberapa jenis mantra yang diinginkan
dan berdasarkan kegunaannya dalam masyarakat, adalah sebagai berikut:
1) mantra permohonan kepada dewa dan Tuhan;
2) mantra penunduk roh halus;
3) mantra penunduk manusia;
4) mantra penunduk binatang;
5) mantra penunduk tumbuhan; dan
6) mantra penunduk gejala alam
Menurut Soejionoe, et al. dalam Yusuf, et al. (2001:14) mantra dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1) Mantra yang ditujukan kepada Tuhan, roh, dan mahkluk halus dengan tujuan mendapat
sesuatu antara lain:
a. keselamatan;
b. kekayaan;
c. kesembuhan;
d. kekebalan;
e. keterampilan;
2) Mantra yang ditujukan pada magis dengan tujuan mendapat sesuatu, antara lain:
a. kewaskitan;
b. daya tarik;
c. kesaktian; dan
d. kekuatan fisik
Bentuk dan Struktur Mantra
berdasarkan hasil penelitian “Struktur dan Fungsi Mantra Bahasa Aceh” (Yusuf, at al.2001:15),
bentuk dan struktur mantra ialah struktur fisik mantra. Yang termasuk dalam bentuk itu, antara
lain:
1) pola kalimat atau konstruksi kalimat
2) diksi atau pilihan kata dalam mantra
3) majas atau simbolisme yang terdapat dalam mantra;
4) irama (rima, ritma, dan metrum); dan
5) bunyi atau suara tertentu yang menyertai mantra kebanyakan tidak
memiliki makna tersendiri.
Contoh Mantra
• Mantra Pengasih

sekam buruk sekam melayang


tetapi melayang-layang
ate porak kupesejuk
mata ilang kupereduk
sejuk seperti waeh
sejuk seperti timah
berkat Lailahaillah
Artinya:
Sekam busuk sekam melayang
Ditampi melayang-layang
Hati panas ku dinginkan
Mata merah (marah-melotot) kusayukan
Dingin seperti air
Dingin seperti timah
Berkat lailahaillallah

1. 2 Cerita Rakyat
Prosa yang berkembang pada zaman animisme-dinamisme adalah bentuk cerita rakyat.
Banyak ahli yang mencoba mendefinisikan dan mengungkapkan pengertian cerita rakyat, di
antaranya Arifin menyatakan bahwa cerita rakyat adalah hasil sastra yang saling bersesuaian
dengan berbagai hal seperti ilmu gaib, agama, perhubungan antara suku. Tokoh-tokoh cerita
atau peristiwaperistiwa yang diungkapkan dianggap pernah terjadi di masa lalu atau merupakan
suatu kreasi atau hasil rekaman semata yang terdorong oleh keinginan untuk menyampaikan
pesan atau amanat tertentu, atau merupakan suatu upaya anggota masyarakat untuk memberi
atau mendapatkan hiburan atau sebagai pelipur lara. Indonesia, Foklor berasal dari bahasa
Inggris, yaitu “folklore”, terdiri dari dua kata, yaitu kata “folk” yang berarti kolektif dan “lore”
yang berarti tradisi. Folklore artinya sekelompok orang yang memiliki ciriciri pengenal fisik,
sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya ciri-ciri
pengenal itu, yaitu terwujud kulit yang sama, rambut yang sama, bahasa yang sama, serta
agama yang sama pula.
“Folklor adalah sebagian suatu kebudayaan kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun
temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik
dalam bentuk lisan maupun dalam contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau pembantu
pengingat.”
Berdasarkan pengertian-pengertian cerita rakyat (folklor) di atas, dapat disimpulkan
bahwa cerita rakyat adalah salah satu karya sastra lama yang diwariskan secara lisan yang berisi
peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi atau hanya imajinasi dan merupakan gambaran
masyarakat pemiliknya. Cerita rakyat terdapat di semua suku di Indonesia. Isinya tidak hanya
mengungkapkan hal-hal yang bersifat permukaan, tetapi juga sendi-sendi kehidupan secara
lebih mendalam.
1.2.1 Legenda
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap pernah terjadi di masa yang belum
terlalu lampau, tokohnya manusia yang sering mempunyai sifat-sifat luar biasa dan dibantu
oleh makhluk-makhluk ajaib. Legenda berasal dari bahasa Latin, yaitu «legere», berarti cerita
prosa rakyat yang dianggap oleh yang mempunyai cerita sebagai sesuatu yang benar-benar
terjadi. Oleh sebab itu, legenda sering kali dianggap sebagai sejarah kolektif . Menurut
Hooykaas legenda adalah dongeng tentang hal-hal yang berdasarkan sejarah yang mengandung
sesuatu hal yang ajaib atau kejadian yang menandakan kesaktian.
Danandjaja menyebutkan bahwa legenda biasanya bersifat migratoris, yakni dapat
berpindah-pindah, sehingga dikenal luas di daerah-daerah berbeda. Selain itu, legenda sering
sekali tersebar dalam bentuk pengelompokan yang disebut siklus, yaitu sekelompok cerita yang
berkisar pada suatu tokoh atau suatu kejadian tertentu. Misalnya, cerita Malin Kundang
merupakan sebuah cerita yang berasal dari Sumatera Barat. Menurut Alan Dundes ada
kemungkinan besar bahwa jumlah legenda di setiap kebudayaan jauh lebih banyak daripada
mite atau dongeng. Hal ini disebabkan jika mite hanya mempunyai jumlah tipe dasar yang
terbatas, seperti penciptaan dunia dan asal mula terjadinya kematian, namun legenda
mempunyai jumlah tipe dasar yang tidak terbatas terutama legenda setempat. Legenda
cenderung akan berubah-ubah dari setiap zaman. Setiap zaman akan mengembangkan legenda-
legenda baru atau paling tidak merupakan varian dari legenda lama yang didokumentasikan.
Mengenai penggolongan legenda, sampai saat ini belum ada pendapat para ahli yang
menyatakan secara pasti. Jan Harold Brunvand (dalam Danandjaja) menggolongkan legenda
ke dalam empat kelompok sebagai berikut.
(1) Legenda keagamaan: yang termasuk dalam golongan ini antara lain legenda orang-orang
suci (dipercaya oleh kaum Nasrani) seperti dikisahkan dalam gereja Katolik Roma.
Didalamnya juga termasuk legenda orang-orang saleh, misalnya cerita para wali (penyebar
agama dalam kaum Muslim);
(2) Legenda alam gaib: legenda semacam ini biasanya berbentuk kisah yang dialami seseorang.
Fungsi legenda ini biasanya untuk meneguhkan kebenaran ‘takhayul’ atau kepercayaan rakyat.
Dalam legenda ini juga termasuk mengenai tempat-tempat gaib;
(3) Legenda perseorangan: cerita mengenai tokoh tertentu yang dianggap oleh empunya cerita
benar-benar terjadi. Misalnya legenda tokoh Panji di Jawa;
(4) Legenda setempat: berhubungan dengan nama suatu tempat, kejadian suatu tempat.
1.2.2 Mite
Menurut Bascom, seperti dikutip Danandjaja, mite adalah cerita prosa rakyat yang oleh
pemilik cerita dianggap benar-benar terjadi di masa lampau di dunia lain, suci, dengan
tokohnya para dewa atau makhluk setengah dewa. Mite biasanya berkaitan dengan sesuatu
yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam tatanan masyarakat.
Mite menurut Depdikbud adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman
dahulu yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia dan bangsa itu
sendiri yang mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib. Karena
dorongan naluri yang amat kuat, pikiran manusia itu ingin mencari sesuatu yang dianggap lebih
kongkret daripada kenyataan duniawi. Namun, dalam usaha menemukan yang lebih nyata dan
lebih kekal itu, seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu cenderung membayangkan
sesuatu dengan dunia angannya sendiri. Bagaimana dengan masyarakat Hindu? Mereka
mempercayai kisah tersebut secara dalam dan mendarah daging. Setiap pemeluk Hindu percaya
sekali akan realitas kisah tersebut. Mungkin mereka berpandangan sama pula terhadap
masyarakat Islam sewaktu diceritakannya kisah perjalanan.
Berikut ini disampaikan beberapa fungsi dari mite.
(1) Untuk mengetahui kisah-kisah pada zaman dahulu.
(2) Sebagai penghibur.
(3) Untuk mengetahui sejarah
(4) Untuk melestarikan cerita lama.
(5) Sebagai bahan ajar dalam dunia pendidikan.
(6) Menakut-nakuti masyarakat agar tidak bertindak semena-mena.
Contoh Mite
Putri Menangis
Di Aceh Selatan, di kecamatan Kuta Fajar, ada sebuah gunung yang disebut dengan gunung
Terbangan. Konon katanya, disebut nama gunung Terbangan karena gunung itu diterbangkan ke
sana oleh seorang raja yang telah memenangkan pertaruhan. Di puncak gunung Terbangan
dipercaya ada seorang putri yang selalu menangis. Ia menangis setiap waktu subuh. Putri yang
menangis tersebut dipercaya sebagai seorang putri kahyangan yang turun ke bumi. Sesampainya di
bumi, putri tersebut asyik bermain-main hingga ia lupa waktu, ia lupa pulang kekahyangan hingga
tertutuplah pintu langit. Putri tersebut menangis sejadi-jadinya, hingga terdengar oleh seorang
pemuda. Pemuda tersebut kemudian membawanya pulang dan menjadikan putri tersebut sebagai
istrinya. Sudah lama mereka menikah, tetapi mereka tidak mempunyai anak. Suatu ketika sang
suami yang berprofesi sebagai nelayan pergi ke laut, seperti biasanya istrinya menunggu sang suami
pulang di puncak gunung. Setelah lama ditunggu, suaminya tak kunjung datang. Dia terus menunggu
tapi tidak ada tanda-tanda sang suami pulang. Dia menunggu sambil menangis dan terus menangis.
Hingga saat ini masyarakat setempat mempercayai masih mendengar suara tangisan tersebut di
waktu-waktu tertentu.
1.2.3 Sage
Menurut Dick Hartoko dan B. Ada yang menceritakan tentang roh-roh halus, mengenai
ahli-ahli sihir, mengenai setan-setan atau mengenai tokoh-tokoh historis.Dalam sastra
Indonesia, sage dikenal sebagai cerita lama yang berhubungan dengan sejarah, yang
menceritakan keberanian, kepahlawanan, kesaktian dan keajaiban seseorang.
Ciri-ciri sage adalah terkandung nilai-nilai pendidikan, ajaran moral atau ajaran agama,
kesejarahan, kepahlawanan, adat istiadat.
Selain ciri tersebut, sage juga mempunyai fungsi sebagai berikut.
(1) Pewarisan nilai-nilai moral;
(2) Pewarisan nilai budaya;
(3) Pewarisan nilai sejarah;
(4) Sebagai media pengajaran dan Pendidikan,
(5) Sebagai hiburan;
(6) Alat kontrol sosial.
Contoh Sage : Inen Mayak Tri

1.2.4 Fabel
Fabel yang umumnya berupa cerita rakyat dengan pesan-pesan moral di dalamnya, konon
dianggap oleh sejarawan Yunani Herodotus sebagai hasil temuan seorang budak Yunani yang
bernama Aesop pada abad ke-6 SM . Akan tetapi ada pula yang memberikan definisi lain terkait
istilah Fabel. Cerita fabel yang populer di Indonesia misalnya Kisah Si Kancil.
Mamfaat Fabel bagi Anak
1. Cerita mengajak ke alam fantasi.
2. Cerita sebagai lambang ketulusan dan kasih saying.
3. Cerita membuat imajinasi anak melayang-layang membayangkan alur, tokoh dan kisah
cerita tersebut.
4. Setelah anak merasakan kasih sayang, ketulusan dan perhatian dari
orang tua dan didukung kerilekskan otak.
5. Cerita alternatif pengobatan tanpa obat. Cerita membawa suasana yang menyenangkan
sehingga menjadi satu hiburan pelipur lara.
6. Cerita sebagai pengantar tidur anak;
7. Cerita mengandung vitamin H (hiburan) bagi anak
Contoh Fabel : Bubrang Deungon Peulandok
1.2.5 Cerita Pelipur Lara
Cerita pelipur lara adalah sejenis sastra rakyat yang pada mulanya berbentuk sastra lisan.
Awang Sulung Merah Muda, Hikayat Anggun Cik Tunggal dan lain lainnya. Cerita pelipur lara
biasanya berisi cerita tentang petualangan dan peperangan seorang ksatria yang selalu berakhir
dengan kebahagiaan pada tokoh yang membela kebenaran dan kehancuran pada tokoh yang
yang jahat. Pada mulanya cerita peripurlara ini hanya diperuntukkan untuk kalangan istana,
terutama untuk hiburan puteri-puteri raja. Namun dengan seiring waktu dan perkembangan
kesusastraan, akhirnya cerita-cerita peripurlara dapat dinikmati oleh setiap kalangan.
Ciri-ciri cerita peripur lara adalah sebagai berikut:
(1) menceritakan tentang kegagahan dan kehebatan seorang kesatria
tampan yang ingin menikahi putri cantik jelita;
(2) bersifat perintang waktu;
(3) biasanya cerita berisi istana-istana yang indah,
(namun seiring dengan perkembangannya cerita peripurlara juga semakin beragam)
Adapun tujuan cerita peripur lara, yaitu sebagai berikut:
(1) menghibur hati yang lara dan duka;
(2) bagi si pencerita untuk mencari nafkah dan mempererat silaturahmi.
Contoh cerita pelipur lara : Banta Perdan
2. Pengaruh Hindu – Budha
Berbeda dengan zaman Animisme-dinamisme. Selain itu, pada zaman ini, selain prosa
dan puisi masyarakat sudah mengenal sastra drama, yaitu dalam bentuk pertunjukan wayang.
Tokoh yang mempengaruhi sastra pada zaman Hindu-Budha ini adalah Valmiki (penulis cerita
Ramayana sekitar 400 tahun sebelum masehi, dan Yogiswara (yang menggubah cerita
Ramayana ke dalam bahasa melayu pada abad ke-11 hingga 13 M).
Berikut ini beberapa jenis sastra yang berkembang mendapat pengaruh Hindu – Budha :
2.1 Cerita Pewayangan
Prosa yang kelahirannya mendapat pengaruh pada zaman Hindubudha ini adalah prosa
dalam bentuk cerita rakyat hampir sama dengan zaman animism-dinamisme. Kitab dijadikan
sebagai kumpulan cerita berupa sejarah, legenda, mite, dan kadang bercampur sekaligus. Hal
ini disebabkan oleh cerita-cerita tersebut dijadikan sebagai media penyebaran agama Hindu
dan Budha. Dalam zaman ini jenis cerita yang sangat populer adalah cerita panji. Cerita panji
adalah sebuah kumpulan cerita yang berasal dari Jawa periode klasik, tepatnya dari era
Kerajaan Kediri. Cerita ini mempunyai banyak versi, dan telah menyebar di beberapa tempat
di Nusantara . Cerita-cerita panji menjadi naskah utama yang ditampilkan dalam pewayangan.
Wayang tersebut terdiri dari bermacam-macam bahan pula.
1. Wayang Purwa
Pada umumnya lakon yang dibawakan dalam Wayang Purwa diambil dari Ramayana dan
Mahabarata.
2. Wayang Madya
Wayang Madya merupakan ciptaan Mangkunegara IV Surakarta. Cerita wayang yang
dipergelarkan melanjutkan cerita wayang Purwa, yaitu dari Yudayono sampai Jayalengkara.
3. Wayang Kulit
Boneka wayang ini wujudnya pipih, walaupun tidak setipis kulit dan dibuat dari kayu. Lengan
atau tangannya dibuat dari kulit sapi ataukerbau. Jenis wayang ini untuk menceritakan tanah
Jawa, khususnya kerajaan Majapahit dan Pajajaran.
4. Wayang Beber
Wayang beber merupakan gambar wayang yang dilukiskan pada kain putih. Wayang Beber
biasanya terdiri dari 4 gulung yang berisikan 16 adegan.
5. Wayang Gedog
Wayang Gedog diciptakan oleh Sunan Giri. Wayang Gedog ini mirip dengan bentuk wayang
purwa, tetapi tidak menggunakan gelung pada tokoh-tokoh rajanya.
6. Wayang Golek
Boneka kebanyakan berpakaian jubah tanpa digerakkan secara bebas dan terbuat dari kayu
yang bentuknya bulat seperti lazimnya boneka. Cerita wayang jenis ini bersumber pada serat
Menak yang berisikan cerita Arab. Tetapi ada beberapa daerah yang menggunakan cerita yang
biasa digunakan dengan jenis wayang Purwa, yaitu Ramayana dan Mahabarata.
2.2 Gurindam
Menurut KBBI, gurindam ialah sajak dua baris yang mengandung petuah atau nasihat.
Gurindam adalah puisi lama yang berasal dari Tamil.
Ciri-ciri Gurindam:
(1) Tiap-tiap suku terdiri atas dua baris;
(2) Banyak setiap suku kata pada tiap-tiap baris tidak tetap, (biasanya 10-12 suku kata);
(3) Sajaknya a-a. Gurindam yang baik bersajak penuh, tetapi ada juga yang bersajak paruh;
(4) Baris kedua adalah akibat atau balasan yang tersebut dalam baris pertama;
(5) Gurindam berisi nasihat.
Contoh :
Kurang pikir kurang siasat
Tentu dirimu akan tersesat
Barang siapa tinggalkan sembahyang
Bagai rumah tiada bertiang
Jika suami tiada berhati lurus
Istri pun kelak menjadi kurus
Cahari olehmu akan sahabat
Yang boleh dijadikan obat
2.3 Seloka
Kata seloka bersal dari bahasa Sansekerta cloak, yaitu suatu bentuk puisi Hindu yang terdapat
dalam kitab-kitab kesusastraan India, seperti Ramayana dan Mahabrata.
ciri-ciri seloka adalah debagai berikut.
(1) Tiap-tiap bait terdiri atas 2 baris;
(2) Tiap-tiap baris terdiri atas 16 suku kata dan merupakan 2 potongan kalimat,
jadi dalam setiap baris ada 2 x 8 suku kata;
(3) Biasanya berisi pelajaran atau petuah berhikmat;
(4) Isi bait yang satu dengan berikutnya saling berhubungan;
(5) Tiada terikat oleh sajak akhir.
Contoh :
• Seloka dua bait
• Seloka jenaka/lucu
• Seloka Pendidikan

3. Pengaruh Islam
Perkembangan agama Islam yang pesat di Nusantara sebenarnya berhubungan dengan
perkembangan Islam di dunia. Melalui Perdagangan oleh bangsa Gujarat, Islam berkembang
jauh sampai ke wilayah Nusantara. Masuknya agama Islam ke Nusantara membaw perubahan
dalam sastra.
Sastra-sastra yang mendapat pengaruh Islam tersebut diantaranya adalah.
3.1 Hikayat
Nusantara mengenal hikayat sebagai prosa lama yang menceritakan kehidupan raja-raja
yang gagah perkasa, yang diam di dalam istana yang indah permai, bertahtakan ratna mutu
manikam dengan putri cantik jelita, yang tak dapat dipandang nyata. Bentuk puisi yang dipakai
untuk menggubah hikayat disebut sanjak. Hikayat Aceh diciptakan dalam bentuk puisi sanjak,
genre puisi yang paling akrab dan paling luas pemakaiannya. Misalnya, zaman dahulu hikayat
ditulis dengan huruf Arab-Melayu dalam bahasa Aceh, saat ini cendrung ditulis dengan abjad
yang biasa bahkan bahasanya bukan hanya bahasa Aceh.
Jenis – jenis Hikayat
Berdasarkan kandungan isinya, hikayat dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
1) Hikayat agama, yaitu hikayat yang berisi berbagai ajaran agama Islam, baik hukum, akhlak,
tasawuf, filsafat dan sebagainya.
2) Hikayat sejarah, yaitu hikayat yang berisi sejarah masa lampau, baik sejarah Islam maupun
sejarah lainnya, seperti Hikayat Hasan Husen.
3) Hikayat safari, yaitu Hikayat yang menceritakan kisah perjalanan, seperti Hikayat Malem
Dagang.
4) Hikayat peristiwa, yaitu Hikayat yang menceritakan suatu peristiwa atau kejadian, seperti
Hikayat Prang Kompeuni.
5) Hikayat jihad. Yang dimaksud dengan hikayat jihad, yaitu hikayat yang kandungannya berisi
semangat jihad untuk melawan musuh, seperti Hikayat Prang Sabil
6) Hikayat cerita (novel), yaitu hikayat yang berisi cerita percintaan atau roman, baik roman
fiksi atau roman sejarah. Hikayat jenis ini banyak sekali, seperti Hikayat Banta Beransah
Penyampaian Hikayat
Hikayat selalu disampaikan secara lisan dengan cara melagukannya di depan khalayak
penikmat. Seseorang yang melagukan hikayat disebut troubadour. Jenis hikayat yang digemari
khalayak penikmat umumnya adalah jenis romansa petualangan dan jenis epos asli. Kedua jenis
hikayat tersebut dibawakan dalam acara-acara biasa, seperti acara sunatan, pesta perkawinan,
atau pesta rakyat sehabis panen. Hikayat terkadang dibawakan juga dengan cara membaca
naskah.
Contoh :
• Hikyat Cut Diwa Akah
• Malem Dagang

3.2 Pantun
Pantun merupakan salah satu bentuk puisi lama yang sampai sekarang masih digemari oleh
masyarakat Indonesia. Pantun adalah puisi empat baris perbait. Tiap-tiap bait sudah
mengandung curahan hati yang lengkap. Namun bila sebuah pantun tersebut memiliki beberapa
bait, maka antara bait yang satu dengan bait yang lain tidak harus berhubungan isinya.
Ciri – ciri Pantun
Pantun memiliki ciri-ciri, antara lain:
• mempunyai bait dan isi;
• setiap bait terdiri atas baris-baris;
• jumlah suku kata dalam tiap baris antara delapan sampai dua belas;
• setiap bait terdiri atas dua bagian, yaitu sampiran dan isi;
• bersajak ab-ab
Fungsi Pantun
• Pantun berfungsi sebagai kata dan kemampuan menjaga alur
berfikir.
• Melatih seseorang berfikir tentang makna kata sebelum berujar.
• Melatih orang berpikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki
kaitan dengan kata lain.
Jenis – jenis Pantun
1. Pantun Anak – anak
2. Pantun Anak Muda
3. Pantung Orang Tua
4. Pantun Jenaka
5. Pantun Kiasan

3.3 Syair
Syair merupakan puisi atau karangan dalam sastra melayu lama, dengan bentuk terikat
yang mementingkan irama sajak. Syair berasal dari bahasa Arab, yaitu syu’ur, yang berarti
perasaan. Syair bukanlah kumpulan kata yang asal saja dan tidak memiliki makna. Lebih lanjut,
Teeuw berpendapat bahwa syair pada awal kemunculannya masih berarti puisi secara umum
dan bukan ragam tertentu.
Dalam kitab ini tidak ditemukan satu pun puisi yang mirip dengan struktur syair. Syair
sebagai jenis puisi yang berbaris empat dan bersajak a-a-a-a baru ada setelah Hamzah Fansuri
menghasilkan puisinya. Berdasarkan data yang dikemukankan di atas, Teeuw menyimpulkan
bahwa Hamzah Fansuri adalah pencipta syair Melayu yang pertama.
Ciri – ciri Syair
Syair merupakan puisi lama. Bedanya dengan pantun ialah keempat baris dalam syair
merupakan satu bahagian daripada sebuah puisi yang lebih panjang. Syair juga tidak
mempunyai unsur-unsur sindiran di dalamnya tetapi melukiskan hal seperti cerita, nasihat,
uraian-uraian ilmu dan aturan-aturan agama. Tiap bait syair terdiri dari empat baris dan berpola
sajak a-a-a-a. Dalam perkembangannya syair difungsikan sebagai media penyebaran agama
Islam, selain itu syair juga berfungsi sebagai hiburan.
Jenis – jenis Syair
Menurut isinya, syair dapat dibagi kepada lima golongan, yaitu:
1. Syair Panji
Syair panji sebagian besar adalah olahan dari bentuk prosanya, misalnya Syair Panji Semirang
adalah olahan dari Hikayat Panji Semirang, Syair Agreni adalah saduran dari Panji Angreni.
Sering kali hanya isinya saja yang diambil dan bukan judulnya.
2. Syair Romantis
Syair Romantis adalah jenis syair yang paling digemari. Harun Mat Piah pernah mengkaji 150
buah syair untuk disertasinya di Universitas Kebanggaan Malaysia (1989) dan mendapati
bahwa 70 buah (47 persen ) adalah syair romantis. Ini tidak mengherankan, karena sebagian
besar syair romantis menguraikan tema yang biasa terdapat di dalam cerita rakyat, pelipur lara,
dan hikayat.
3. Syair Kiasan
Syair kiasan atau simbolik adalah syair yang mengisahkan percintaan antara ikan, burung,
binga atau buah-buahan. Hans Overback menamai syair jenis ini sebagai syair binatang dan
bunga-bungaan (Malay animals and flowers shaers, 1934).
4. Syair Sejarah
Syair sejarah adalah syair yang berdasarkan peristiwa. Di antara peristiwa sejarah yang paling
penting ialah perperangan, dan karena itu, syair perang juga merupakan syair sejarah yang
paling banyak dihasilkan.
5. Syair Agama
Syair agama adalah golongan syair yang paling penting. Di atas telah dijelaskan bahwa
Hamzah Fansurillah orang pertama menulis puisi dalam bentuk syair yang kemudian diikuti
oleh penyair-penyair lainnya di Aceh, seperti Abdul Jamal, Hasan Fansuri, dan beberapa
penyair yang tidak bernama.
Tokoh – tokoh dalam syair
• Hamzah Fansuri
• Nuruddin Ar-Raniri
• Abdur Rauf Singkel (1615 – 1693)

3.4 Peribahasa
Pada dasarnya peribahasa merupakan kalimat atau perkataan yang tetap susunannya dan
mengandung makna khias.
Berikut ini adalah beberapa contoh peribahasa dengan artinya:
Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung.
Artinya: jika kita pergi ke tempat lain kita harus menyesuaikan, menghormati dan toleransi
dengan budaya setempat.
Tiada rotan akar pun jadi.
Artinya: tidak ada yang bagus pun yang jelek juga tidak apa-apa.
Jenis Peribahasa
1. Pepatah, jenis peribahasa yang berisi nasihat atau ajaran dari orang tua-tua.
2. Pemeo, jenis peribahasa yang biasanya digunakan untuk semboyan
3. Ungkapan, gabungan kata yang maknanya sudah menyatu dan tidak ditafsirkan dengan
makna unsur yang membentuknya.

3.5 Nazam
Nazam merupakan sebuah puisi klasik Melayu pengaruh Arab. Kebanyakan lagu nazam
bertemakan keagamaan seperti memuji kebesaran Allah, menceritakan surga dan neraka, amal
ibadat, nabi, malaikat, dan kadangkala berbentuk nasihat. Kumpulan yang mendendangkan
nazam ini biasanya terdiri daripada 5 hingga 8 orang.
Contoh :
• Nazam Mukadimah
• Poh Beurakah

3.6 Masnawi, Ruba’I, dan Khit’ah


Masnawi
Masnawi ataupun sebutan lainnya masnu’i, dan masnawi merupakan bentuk puisi yang berasal
dari Persia dan di bawa ke alam Melayu. Sebagai puisi yang bersumberkan puisi Arab-Parsi,
masnawi tidak popular dikalangan masyarakat Melayu, dan oleh karena itu genre ini tidak
berkembang. Masnawi bertemakan puji pada kehandalan, ketokohan, dan ketenaran seseorang
tokoh.
Ciri-ciri Masnawi adalah sebagai berikut:
• puisi lama yang terdiri dari dua baris sebait;
• skema persajakannya berpasangan aa-bb-cc dan seterusnya);
• berisi puji-pujian untuk pahlawan atau tentang perbuatan yang penting-penting
• ikatan yang terdiri atas sepuluh baris, baris suku karangan duadua;
• dan bersuku kata 10, 12, sampai 14.
Contoh : Umar
Khit’ah
Khit’ah adalah jenis puisi Melayu lama yang berasal dari Arab-Parsi.
Adapun ciri-ciri khit’ah yaitu sebagai berikut:
• ikatannya terdiri atas lima baris;
• pada umumnya bersajak patah;
• dan berisi tentang ajaran hidup;
• lebih mirip syair, sajak kurang beraturan dan kalimatnya Panjang-panjang
Contoh : Jikalau kulihat dalam tanah ikhwal sekalian insan
Tiada kudapat bedakan antara rakyat dan sultan
fana juga sekalian yang ada, dengarkan yang Allah berfirman,
kullaman’alaiha fanin, yaitu barang siapa yang ada diatas bumi itu
lenyap
Ruba’i
Ruba’i adalah jenis puisi melayu lama yang berasal dari sastra ArabParsi. Setiap baitnya terdiri
atas empat larik dan berskema rima a-ab-a dan berisi tentang nasihat pujian-pujian dan kasih
saying.
ciri-ciri ruba’i yaitu sebagai berikut:
• ikatan yang terdiri dari empat baris;
• setiap baris bersuku kata 11 sampai 15;
• pada umumnya bersajak patah tetapi ada juga sajak yang sama;
• dan berisi ajaran hidup nasihat pujian, nasihat dan bersifat mistis.
Contoh : Subhanahu’ Allah apa hal segala manusia
Yang tubuhnya dalam tanah jadi duli yang sia
Tanah itu kujadikan tubuhnya kemudian
Yang ada dahulu padanya terlalu mulia

BAB IV
KESUSASTRAAN ZAMAN MODREN
Sastra zaman modern adalah sastra yang mendapat pengaruh Barat. Kesusastraan zaman
modern ini disebut juga sebagai kesusastraan Baru, kesusastraan yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat baru Indonesia.
Periodisasi Kesusastraan baru diklasifikasikan oleh beberapa tokoh, diantaranya adalah HB.
Jasin mencakup kesusastraan pada angkatan:
1. Angkatan ’20-an (Balai Pustaka)
Angkatan Balai Pustaka atau biasa juga dikenal sebagai zaman Siti Nurbaya, Sarwadi
mengatakan bahwa nama Balai Pustaka merujuk pada dua pengertian, yaitu sebagai nama
penerbit, sebagai suatu nama angkatan dalam sastra Indonesia. Balai Pustaka itu sendiri. Balai
Pustaka, dan Balai Pustaka kemudian berkembang dengan pesat pada tahun 1920.
Adapun hal-hal yang diusahakan oleh Balai Pustaka adalah sebagai berikut.
1. Membukukan cerita-cerita rakyat atau dongeng-dongeng yang tersebar di kalangan rakyat.
Jika tidak dibukukan, lama-kelamaan akan hilang.
2. Menerjemahkan sastra Eropa yang bermutu dipandang dari segi sastra. Dengan demikian
kita juga dapat berkenalan dengan kesusastraan asing.
3. Menerbitkan karangan-karang asli yang ditulis oleh bangsa Indonesia, seperti Azab dan
Sengsara, Siti Nurbaya, dll.
4. Menerbitkan buku-buku bacaan sehat bagi rakyat Indonesia, juga buku-buku yang dapat
menambah pengetahuan dan kecerdasan rakyat. Misalnya, buku-buku yang berisi petunjuk
bagaimana menjaga kesehatan, cara bercocok tanam, beternak, dan sebagainya.
5. Menerbitkan majalah dalam bahasa daerah, Panji Pustaka (Bahasa Melayu), Kejawen
(bahasa Jawa), dan Parahyangan (Bahasa Sunda)
Riwayat sastra Indonesia modern seolah-olah berpangkal pada Balai Pustaka. Sebagaimana
disebutkan oleh, IskandarWasid, dkk bahwa terlepas dari tuduhan Balai Pustaka melakukan
sensor yang sangat ketat, sebagai alat pemerintah, tidak dapat dipungkiri bahwa hal itu pula
yang kemudian menjadi ukuran gengsi sastra Indonesia. Bahasa yang dipelihara Balai Pustaka,
juga dianggap sebagai bahasa golongan yang paling tinggi budayanya. Mencitrakan
sekumpulan orang terhormat, terpelajar, dan paling berjasa dalam membangun sastra, bahasa,
dan kebudayaan Indonesia. Mereka yang berkarya di luar itu, masuk kategori bacaan liar,
roman picisan, bahasa pasar, tak berbudaya, dan dianggap marjinal. Atas dasar kenyataan itulah
beberapa ahli sastra berpendapat bahwa sastra modern Indonesia bermula dari Balai Pustaka.
Pengarang dan karya sastra yang populer pada Angkatan Balai Pustaka adalah Marah Rusli
dengan karyanya roman Siti Nurbaya.
1.1 Prosa Angkatan Balai Pustaka (’20-an)
Jenis sastra periode ini terutama adalah roman, ada juga cerita pendek, tetapi sedikit. Roman
pada angkatan balai pustaka ini dipengaruhi oleh sastra terjemahan. Sedikit sekali roman yang
benar-benar produk sastrawan Indonesia.
Ciri – ciri Roman
Ciri roman angkatan ’20-an ini terbagi pada dua ciri, yaitu ciri struktur estetik dan ciri ekstra
estetik. Untuk memahami lebih lanjut dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini:
1. Ciri – ciri struktur estetik
a. Gaya bahasanya mempergunakan perumpamaan klise, pepatah-pepatah dan peribahasa,
namun mempergunakan bahasa percakapan sehari-hari berbeda dengan bahasa hikayat
sastra lama.
b. Alur roman sebagian besar alur lurus, ada juga yang mempergunakan alur sorot balik
tetapi sedikit misalnya Azab dan Sengsara.
c. Teknik penokohan dan perwatakannya banyak dipergunakan analisa langsung (direct
author analysis) dan deskripsi fisik, yaitu tokoh-tokohnya berwatak datar (flat
character).
d. Pusat pengisahannya pada umumnya mempergunakan metode orang ketiga yang
bersifat romantik-ironik, lebih-lebih roman awal, pelaku-pelaku cerita diperlakukan
seperti boneka. Ada juga pusat pengisahan dengan metode orang pertama.
e. Banyak digresi, yaitu banyak sisipan-sisipan peristiwa yang tidak langsung
berhubungan dengan inti cerita, seperti uraian adat, dongeng-dongeng, syair, dan
pantun nasihat.
f. Bersifat didaktis, sifat ini berpengaruh sekali pada gaya pencitraan dan struktur
penceritaaannya, semuanya ditunjukkan kepada pembaca untuk memberi nasehat.
g. Bercorak romantis, melarikan diri dari masalah kehidupan sehari-hari yang menekan

2. Ciri – ciri ekstra estetik


a. Bermasalah adat, terutama masalah adat kawin paksa, permaduan, dan sebagainya.
b. Pertentangan paham antara kaum tua dengan kaum muda. Kaum tua mempertahankan adat
lama sedangkan kaum muda menghendaki kemajuan menurut paham kehidupan modern.
c. Latar cerita pada umumnya latar daerah, pedesaan, dan kehidupan daerah.
d. Cerita bermain di zaman sekarang, bukan di tempat dan zaman antah berantah.
e. Cita-cita kebangsaan belum dipermasalahkan, masalah masih bersifat kedaerahan.
Sastrawan – sastrawan Angkatan Balai Pustaka
Sarwadi (2004:33-34) menyebutkah bahwa ada tiga orang tokoh penting dalam angkatan balai
Pustaka, Yaitu:
1. Nur Sutan Iskandar
Merupakan pengarang yang paling produktif dalam angkatan Balai Pustaka. Mula-mula ia
sebagai korektor, kemudian sebagai redaktur, dan akhirnya sebagai kepala redaktur pada
lembaga tersebut. Berikut beberapa karangannya, antara lain:
a. Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (roman; BP, 1923).
b. Korban Karena Percintaan (roman; BP, 1924).
c. Salah Pilih (roman; BP, 1928).

2. Abdul Muis
Abdul muis terkenal karena roman yang berjudul Salah Asuhan, yang terbit tahun 1928.
3. Marah Rusli
Marah rusli merupakan penulis Siti Nurbaya yang telah menjadi ikon angkatan Balai Pustaka.

1.2 Puisi Angkatan Balai Pustaka (’20-an)


Puisi angkatan ‘20-an masih mendapat pengaruh dari puisi melayu lama. Puisi angkatan ‘20-
an ini mempunyai ciri tersendiri adalah sebagai berikut:
1. Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal
pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dll.
2. Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan
3. Gaya bahasanya masih menggunakan perumpamaan yang klise, pepatah, peribahasa, tapi
menggunakan bahasa percakapan seharihari lain dengan bahasa hikayat sastra lama.
4. Puisinya berupa syair dan pantun.
5. Isi karya sastranya bersifat didaktis.
6. Alirannya bercorak romantik.
Contoh : Mengeluh karya: Rustam Effendi

1.3 Drama Angakatan ’20-an


Sejarah perkembangan drama pada periode Balai Pustaka di Indonesia masih sangat terbatas
karena disensor oleh Belanda. Sehingga drama yang berkembang masih seputar drama
tradisional. Dalam periode ini perkembangan drama di sebut sebagai Periode Melayu-Rendah
penulis lakonnya didominasi oleh pengarang drama Belanda peranakan. Bebasari karya
Rustam Efendi. Bebasari merupakan drama bersajak yangditerbitkan pada tahun 1920. Di
samping itu, Bebasari merupakan drama satiretentang tidak enaknya dijajah Belanda.
Pembalasannya karya Saadah Alim merupakan drama pembelaan terhadap adat dan reaksi
terhadap sikap kebarat-baratan.

2. Angkatan ’30-an (Pujangga Baru)


Sarwadi menyebutkan bahwa pada angkatan Pujangga Baru, kesusasteraan Indonesia
banyak dipengaruhi oleh karya sastra dalam bahasa Belanda, baik dalam bentuk puisi maupun
dalam bentuk prosa. Bagi pemuda-pemuda yang berminat pada bidang ini, segera tampak
bahwa sastrawan asing itu lebih bebas dalam mencurahkan perasaannya. Mereka
membandingkan bentuk puisi yang ada di Indonesia dan memahami di mana letak
kelemahannya. Begitu juga di bidang prosa, pemuda itu melihat bahwa yang diceritakan
bukanlah persoalan kawin paksa dan adat, melainkan banyak soal lain yang ditemui dalam
kehidupan sehari-hari. Banyak pemuda Indonesia yang tertarik pada kebebasan bentuk dan isi
kesusaataraan Barat ini dan ingin menerapkannya dalam seni sastra Indonesia. Begitupun
dengan para satrawan yang tidak ketinggalan untuk berjuang mempersatukan bangsa dengan
mengadakan pembaruan di bidang kesusastraan. Indonesia, namun pada tahun 1949 diterbitkan
kembali sampai 1953.
2.1 Pengertian Angkatan Pujangga Baru

Angkatan Pujangga Baru adalah segolongan sastrawan yang tersebar di tanah air yang
bersama-sama menerbitkan majalah sendiri yang bernama Pujangga Baru. Tokoh-tokoh yang
berperan membentuk majalah Pujangga Baru adalah Sutan Takdir Alisjahbana, Armyn Pane,
dan Amir Hamzah. Sehingga mereka bertiga menandatangani sebuah pernyataan yang isinya
mengajak para pejuang muda untuk bersatu memajukan bahasa dan seni sastra yang sesuai
dengan cita-cita pemuda masa itu.

2.2 Konsep Angkatan Pujangga Baru


Angkatan Pujangga Baru memiliki dua konsep pembaharuan, yaitu:
(1) Konsep pembaharuan yang berorientasi ke Barat (dipelopori oleh Sultan Takdir
Alisyahbana).
(2) Konsep pembaharuan yang berorientasi ke Timur (dipelopori oleh Sanusi Pane)
Konsep pembaharuan yang berorientasi ke Barat, memandang masyarakat Indonesia yang
statis harus diubah menjadi dinamis karena pengaruh perkembangan materialisme,
intelektualisme, egoisme, dan induvidualisme Barat Pandangannya tentang seni menegakkan
bahwa seni untuk masyarakat. Tugas seniman ikut serta dalam pembangunan masyarakat yang
berbangsa dan bernegara. Jadi, kebudayaan itu tetap harus bersendikan pada kebudayaan lama.
Pandangan tentang seni menegaskan semboyan seni untuk seni. Hasil ciptaan seniman tidak
dapat dinilai dari luar dan tidak mempunyai tendens.
2.3 Sifat – sifat Kesusastraan Angkatan Pujangga Baru
Secara umum Kesusastraan Angkatan Pujangga Baru memiliki sifatsifat sebagai berikut:
(1) Persoalan adat yang bersifat kedaerahan diganti dengan persoalan yang lebih umum bersifat
nasional.
(2) Bentuk dan isi karangan tumbuh dan berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
(3) Tiap-tiap karangan masih jelas menggambarkan pribadi pengarangnya yang tidak suka pada
peraturan-peraturan lama yang mengikat.
(4) Pada beberapa pengarangnya jelas sekali tampak pengaruh Barat, yaitu pengaruh pengarang
Belanda yang dinegarinya bernama Angkatan ‘80.

2.4 Pembaharuan yang terjadi dalam kesusastraan Indonesia pada masa Angkatan
Pujangga Baru
1. Pembaharuan Puisi
Angkatan Pujangga Baru ini merasa tidak puas dengan bentukbentuk puisi Indonesia, karena
menurut pandangan mereka puisi lama Indonesia kurang mampu untuk menampilkan perasan
pengarang semurni-murninya, dan terlalu terikat oleh syarat-syarat tertentu. Oleh karena itu,
mereka mencoba menciptakan bentuk-bentuk baru yang berpedoman pada bentuk puisi Barat
(Belanda). Di samping Rustam Effendi, Moh. Yamin juga terkenal sebagai peloper dalam
pembaharuan puisi lama.
Satu persatu mulailah muncul nama-nama puisi yang belum pernah terdengar dalam puisi lama
selama ini, yaitu sebagai berikut ini :
1. Distikon atau sajak dua seuntai
2. Tersina atau sajak 3 seuntai
3. Kwatren atau sajak 4 seuntai
4. Kwin atau sajak 5 seuntai
5. Sekstet atau sajak 6 seuntai
6. Septima atau sajak 7 seuntai
7. Stanza atau sajak 8 seuntai
8. Sajak bebas
9. Sonnet atau sonata

2. Pembaharuan Prosa
Pembaharuan prosa pada angkatan Pujangga Baru lebih pada bentuk bahasa dan tema
penceritaanya. Ciri–cirinya antaralain:
1) bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia modern,
2) temanya tidak hanya tentang adat atau kawin paksa, tetapi mencakup masalah yang
kompleks, seperti emansipasi wanita, kehidupan kaum intelek, dan sebagainya
3) setting yang menonjol adalah masyarakat penjajahan

3. Pembaharuan Drama
Perkembangan drama di Indonesia pada masa Pujangga Baru merupakan kelahiran drama tulis
Indonesia. Dalam periode drama Pujangga Baru lahirlah Bebasari karya Roestam Effendi
sebagai lakon simbolis yang pertama kali ditulis oleh pengarang Indonesia. Naskah ini sempat
dilarang oleh pemerintah Belanda ketika ingin dipentaskan oleh siswa MULO Padang dan para
mahasiswa kedokteran di Batavia (Jakarta). PelarangaPada periode ini disebut juga periode
zaman Jepang. Periode Drama Zaman Jepang setiap pementasan drama harus disertai naskah
lengkap untuk disensor terlebih dulu sebelum dipentaskan. Dengan adanya sensor ini, di satu
pihak dapat menghambat kreativitas, tetapi di pihak lain justru memacu munculnya naskah
drama.n itu disebabkan karena karya ini dianggap sindiran terhadap pemerintah Hindia-
Belanda.
2.5 Meredupnya Angkatan Pujangga Baru
Dengan kedatangan tentara Jepang pada tahun 1943 menyebabkan terhentinya penerbitan
majalah Pujangga Baru. Mungkin karena telah disensor oleh tentara Jepang dan kesusastraan
Pujangga Baru terlalu kebarat-baratan. Dalam waktu yang enam tahun itu nyatalah bahwa telah
banyak yang berubah, demikian banyaknya sehingga Pujangga Baru hanya tinggal namanya
saja, dan jiwanya sudah pula ketinggalan zaman.
2.6 Sastrawan Angkatan Pujangga Baru dan Karyanya
Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :
1. Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
2. Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir
Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
Berikut ini merupakan tokoh-tokoh angkatan pujangga baru dan karya-karyanya yang populer
1. Sultan Takdir Alisyahbana
Biasa disingkat STA, lahir di Natal tanggal 11 Februari 1908. Menempuh pendidikan di HIS,
HKS Bandung, dan belajar di Hoofdacte, tidak lulus. Pernah juga belajar di Sekolah Tinggi
Kehakiman dan mendapat gelar Meester . banyak menulis dalam surat kabar dan majalah.
a. Tak Putus Dirundung Malang (roman, 1929)
b. Anak Perawan di Sarang Penyamun (roman, 1932)
c. Diam yang Tak Kunjung Padam (roman, 1932)
d. Tebaran Mega (kumpulan puisi, 1935)
e. Layar Terkembang (roman, 1936)
f. Nelayan di Lautan Utara (terjemahan)
g. Nyanyian Hidup (terjemahan)

2. Sasuni Pane
Sanusi Pane lahir di Muara Sipongi pada tanggal 14 November 1905. Menempuh pendidkan
di MULO, Kweekscoolh, Gunung Sari, HIK, Bandung. Harian Rakyat di Jakarta.
a. Pancaran Cinta (prosa berirama, 1926)
b. Puspa Mega (kumpulan sajak, 1927)
c. Airlangga (drama berbahasa Belanda, 1938)
d. Eenzame Garoedavlulucht (sandiwara berbahasa Belanda, 1929)
e. Dammar Woelan (gita pahlawan bahasa Belanda, 1929)
f. Madah Kelana (kumpulan sajak, 1931)
g. Kertajaya (drama, 1912)

3. Amir Hamzah
Dia merupakan tokoh sastrawan yang mendapat julukan Raja Penyair Pujangga Baru. Lahir di
Binjai tanggal 29 Februari 1911 dan anak dari bendahara Paduka Raja . Ia bergelar Pangeran
Indera Putra.
a. Buah Rindu (kumpula sajak, 1941)
b. Nyanyian Sunyi (kumpula sajak, 1941)
c. Setanggi Timur (kumpulan sajak, 1939)
d. Bagawat Gita (prosa terjemahan)

4. Armyn Pane
Lahir di Muara Sipongi 18 Agustus 1908. Pernah sekolah dokter di STOVIA Jakarta, pindah
ke sekolah dokter Nias Surabaya.
a. Habis Gelap Terbitlah Terang (terjemahan surat R.A Kartini, 1938)
b. Jiwa Berjiwa (kumpulan sajak, 1939)
c. Belenggu (roman, 1940)
d. Kisah Antara Manusia (kumpulan cerpen, 1953)

5. J. E. Tatengkeng
Lahir di Kolongon 19 Oktober 1907.Christelyke HKS di Sala. Kemudian tahun 1947 menjadi
kepala Normaal School dan SMP di Tahuna. Menjabat sebagai Menteri Muda Pengajaran ,
menjadi perdana Menteri NIT.
a. Rindu Dendam (kumpulan puisi, 1934)
b. Pembangunan, Zenith, Siasat, Indonesia (puisi di majalah – majalah)

6. Aoh Kartahadimaja
Lahir di Bandung tanggal 15 September 1911.
a. Pecahan Ratna dan Di Bawah Kaki Kebersamaan (dua seri prosa lirik dalam kumpulan
cerpen)
b. Lak Bok (drama)
c. Manusia dan Tanahnya (kumpulan cerpen, 1952)

7. Abdul Hadi (Asmara Hadi)


Lahir di Talo tanggal 18 September 1914. Hadi, H.R Hadi Ratna.
a. Dalam Lingkungan Kawat Berduri (roman 1941)
b. Sajak – sajak dalam majalah Panji Pustaka dan Pujangga Baru.
3. Angkatan ‘45
3.1 Sejarah
Setelah sepuluh tahun masa kejayaan itu karya penyairpenyair Angkatan ‘45 mulai sulit
ditemukan, kecuali Mochtar Lubis dan Sitor Situmorang yang selepas tahun 1953 masih
mempublikasikan terus sajak-sajaknya. Hambatan politis seperti itu, bukanlah barang baru bagi
sastrawan. Sastrawan yang bergabung dalam angkatan Balai Pustaka, juga mengalami hal
serupa. Seleksi dan sensor yang sangat ketat itu sangat merugikan sastrawan, sebab karya-karya
itu harus mendukung pemerintah kolonial untuk melanggengkan kekuasaan Belanda. Zaman
Pujangga Baru berbeda lagi, mereka tidak memiliki identitas yang khas Indonesia. Justru
banyak sastrawan yang berkiblat ke Barat, melecehkan adat ketimuran. Mereka menjadi agen
kebudayaan Barat, di samping ada juga yang bertahan dengan kebudayaan tradisi Timur. Dua
kubu itu memiliki kekuatan yang seimbang. Akhirnya muncul polemik kebudayaan di tahun
1933-1935 yang kini sering menjadi acuan dalam mencari identitas kebudayaan nasional.
Kejadian yang teramat penting, detik-detik proklamasi 17 Agustus 1945 berpengaruh sekali
atas semua kegiatan kebudayaan, termasuk kesusastraan.
Suasana jiwa dan penciptaan yang sebelum itu amat terkekang, akhirnya mendapat
kebebasan senyata-nyatanya. Para sastrawan Indonesia waktu itu merasakan sekali
kemerdekaan dan tanggung jawab untuk mengisi kemerdekaan dengan karya yang betul-betul
mencerminkan manusia merdeka, bebas berkreativitas. Seni sastra Angkatan ‘45 memiliki
konsep seni yang diberi judul. Konsep itu tak ubahnya seperti naskah proklamasi, yang
berbunyi, «Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami
teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian
rakyat bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana duniadunia baru yang sehat dapat
dilahirkan». Memperhatikan konsep seni seperti itu, tampaknya para sastrawan dan budayawan
mempunyai era tersendiri yang tidak ingin dipengaruhi pihak lain. Mereka yang bernaung di
bawah payung Angkatan ‘45 ini ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani.

3.2 Tokoh dan Karya Terbaik


Pelopor Angkatan ‘45
Chairil Anwar yang dikenal sebagai «Si Binatang Jalang» adalah pelopor Angkatan ‘45 yang
menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid, dan
kuat. Masa-masa kehadirannya merupakan masa-masa yang subur dan menarik dilihat dari
berbagai segi. Secara sosial, saat itu merupakan masa revolusioner, yakni sebuah masa
peralihan dari situasi sebagai bangsa terjajah menuju gairah kemerdekaan dari sebuah bangsa
yang muda. Atheis yang monumental.

Chairil Anwar adalah legenda sastra yang hidup dalam batin masyarakat Indonesia. Namun
siapa sangka, penyair yang mempelopori pembebasan bahasa Indonesia dari tatanan lama ini
juga seorang pengembara batin yang menghabiskan usianya hanya untuk puisi. Dia adalah
seorang penggila buku yang urakan, selalu kekurangan uang, tidak punya pekerjaan tetap, suka
keluyuran, jorok, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan. Namun, dia juga contoh
yang baik tentang totalitas berkesenian dalam dunia sastra Indonesia.
Bukan secara kebetulan agaknya jika sajaksajak Chairil memiliki nuansa individualistis yang
kental. Masih menurut Agus, nama Chairil mungkin tidak akan begitu popular jika dia hanya
menciptakan sajak yang berjenis sastra kamar. Sajak-sajak yang kontemplatif dan personal.
Betapapun tingginya mutu sajak Derai-derai Cemara, Senja di Pelabuhan Kecil, atau Yang
Terampas dan Yang Putus secara kesusasteraan, namun sajak-sajak demikian sama sekali tidak
memiliki peluang untuk diapresiasikan secara massal.

1. Perkembangan Puisi
Ciri-ciri puisi periode ini adalah sebagai berikut:
a. Puisinya adalah puisi bebas yang tidak terikat oleh pembagian
bait, baris, dan persajakan.
b. Gaya atau aliran yang banyak dianut oleh aliran ekpresionisme.
c. Diksinya mengemukakan pengalaman batin yang mendalam dan
mengungkapkan intensitas arti.
d. Kosa katanya adalah bahasa sehari-hari.
e. Gaya bahasa yang metafora dan simbolik banyak mempergunakan
kata-kata, frasa, dan kalimat bermakna ganda yang menyebabkan
tafsiran ganda bagi pembaca.
f. Gaya sajaknya prismatis, hubungan baeris dan kalimat-kalimatnya
bersifat implisit.
g. Gaya pernyataan pikiran berkembang dan hal ini terus berkembang dan menjadi sloganis.
h. Gaya ironi dan sinisme banyak kita jumpai dalam puisi-puisi periode ini.

2. Perkembangan Prosa
Pada angkatan ’45 ciri umum prosa adalah sebagai berikut:
(1) bentuk prosa lebih bebas,
(2) prosanya bercorak realisme,
(3) tema dan setting yang menonjol adalah revolusi,
(4) lebih mementingkan isi daripada keindahan bahasa, dan
(5) jarang menghasilkan roman seperti angkatan sebelumnya.
3. Perkembangan Drama
Pada Periode 45 ini terutama sesudah kemerdekaan naskah-naskah drama yang dihasilkan
sudah lebih baik dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sudah meninggalkan gaya
Pujangga Baru. Pada saat itu penulis drama yang produktif dan berkualitas baik adalah Utuy
Tatang Sontani, Motinggo Boesye dan Rendra.

4. Angkatan ‘66
4.1 Sejarah Lahirnya Angkatan ‘66
Pada tahun 1966, di Indonesia terjadi peristiwa yang sangat penting. Peristiwa yang melahirkan
Angkatan ‘66. Angkatan ‘66 ini melakukan pendobrakan terhadap keboborokan yang
disebabkan oleh penyelewengan negara besar-besaran, penyelewengan yang membawa
kehancuran total.
Di angkatan ini kita menyaksikan ledakan pemberontakan dari penyair-penyair, pengarang dan
cendikiawan yang telah lama dijajah jiwanya dengan slogan-slogan yang tidak sesuai dengan
hati nurani.
Sebenarnya protes-protes terhadap penyelewengan dan penyalahgunaan sudah ada jauh
sebelumnya. Protes-protes itu kita dengar dari Idrus, Pramoedeya Ananta Toer, Mochtar Lubis
dan lain-lain. Sekian banyak sajak yang menyuarakan isi hati dan nurani rakyat tidak digubris
oleh pemerintah. Rakyat kelaparan dan pemerintah menyampaikan pidato dengan semua janji
yan tak pernah terpenuhi. Hingga terjadilah aksi G30S yang membuka kedok ketidakwajaran
Partai Komunis Indonesia.
Gestapu telah mengaku di depan Mahkamah Militer Luar Biasa, PKI tidak dibubarkan
sebagaimana partai-partai yang disangka terlibat pemberontakan. Rakyat yang menuntut
diminta tenang. Masyarakat bergolak, keadaan ekonomi bertambah parah, inflasi makin
menjadijadi.

4.2 Puisi Angkatan ‘66


Kehidupan sosial masyarakat Indonesia pada masa ini ditandai dengan adanya berbagai
demonstrasi mahasiswa menentang kepemimpinan Orde Lama. Salah seorang penyair terkenal
pada periode ini adalah
Taufiq Ismail. Adapun ciri-ciri puisi periode ini adalah sebagai berikut:
a. Isi dianggap lebih penting daripada bentuk dan bahasanya bebas.
b. Kebanyakan bertema perlawanan melawan tirani dan kekejaman (Orde Lama). Dipengaruhi
pujangga dunia, tetapi tetap berusaha mempertahankan jati diri bangsa.
c. Beraliran idealisme.
4.3 Prosa Angkatan ‘66
Ciri-ciri prosa pada periode ini adalah:
1) tema yang menonjol adalah protes sosial dan politik,
2) isi lebih luas dan umum
3) standar budaya lebih umum dan lebih modern
4) Idealisme
5) Kalimat-kalimat yang digunakan pada cerita tidak meliuk-liuk seperti pujangga baru, tetapi
tidak pendek seperti angkatan ’45 (singkatnya bahasanya bebas)

4.4 Drama Angkatan ‘66


Pada Periode Mutakhir peran TIM dan DKJ menjadi sangat menonjol. Pada umumnya tidak
memiliki cerita, antiplot, nonlinear, tokoh-tokohnya tidak jelas identitasnya, dan bersifat
nontematis. Riantiarno.

5. Angkatan ’70 – an
Kertas kerja ini kemudian dimuat dalam Majalah Budaya Jaya dan dalam Satyagraha Hoerip
Semua Masalah Sastra .Menurut Dami, Angkatan ‘70 dimulai dengan novel-novel Iwan
Misalnya, prosa dalam bentuk cerpen, pengarang sudah berani membuat cerpen dengan
panjang 1-2 kalimat saja sehingga terlihat seperti bentuk sajak. Dalam bidang drama mereka
mulia menulis dan mempertunjukkan drama yang absurd atau tidak masuk akal. Sedangkan
dalam bidang puisi mulai ada puisi kontemporer atau puisi selindro. Para sastrawan tidak
mengabaikan sesuatu yang bersifat tradisional bahkan berusahan untuk menjadikannya sebagai
titik tolak dalam menghsilkan karya sastra modern.

5.1 Peristiwa – peristiwa Penting


Iskandarwasid, dkk. (1997-1998:150-179) menyebutkan bahwa pada periode ini tercatat
beberapa peristiwa penting, antara lain seperti berikut ini.
(1) Pada tahun 1970, H. B. Jassin diadili. Majalah yang dipimpinnya dituduh memuat cerita
pendek yang menghina agama Islam.
(2) Tahun 1973, Sutardji Calzoum Bachri mengumumkan kredo puisinya. Masih pada tahun
ini muncul istilah Aliran Rawamangun dan M. S. Hutagalung.
(3) Pada bulan September tahun 1974 diselenggarakan pengadilan di Bandung. Masih pada
bulan September diselenggarakan “Jawaban Atas Pengadilan Puisi” yang dilangsungkan di
Jakarta.
(4) Pada tahun 1975 diselenggarakan “Diskusi Besar Cerita Pendek Indonesia” di Bandung.
(5) Tahun 1977 muncul istilah Angkatan ‘70, dilontarkan oleh Dami N. Toda.
(6) Tahun 1980 novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer
dilarang oleh pemerintah. Demikian pula untuk novel-novel lainnya (1985, 1987, 1988).
(7) Pada bulan Agustus tahun 1982 diadakan seminar “Peranan Sastra dalam Perubahan
Masyarakat” yang diselenggarakan di Jakarta.
(8) Pada tahun 1984 muncul masalah sastra kontekstual, serta jadi topik diskusi.

5.2 Sastrawan Angkatan ’70 – an


1. Putu Wijaya
Pernah menjadi anggota Bengkel Teater pada tahun 1967, Teater Kecil pada tahun 1967,
kemudian mendirikan dan memimpin Teater Mandiri di Jakarta. Ia juga pernah tinggal dengan
masyarakat komunal di Ittoen, Jepang pada tahun 1973. City, Amerika Serikat , mengikuti
Festival Teater sedunia di Nancy, Prancis , dan Festival Horisonte III di Berlin Barat pada tahun
1985. Novelnya Telegram dianggap menampilkan corak baru dalam penulisan novel Indonesia
tahun ‘70-an.
2. Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bachri lahir pada tanggal 24 Juni 1941 di Rengat, Riau. Kesenian Jakarta
pada tahun 1976-1977, untuk kumpulan puisinya Kumpulan-kumpulan puisi ini pada tahun
1981 diterbitkan dalam satu buku berjudul O Amuk Kapa.
3. Arifin C. Noer
Arifin C. Noer adalah anak kedua Mohammad Adnan. SD di Taman Siswa, Cirebon, SMP
Muhammadiyah, Cirebon, lalu SMA Negeri Cirebon tetapi tidak tamat, kemudian pindah ke
SMA Jurnalistik, Solo.
4. Danarto
Danarto lahir pada tanggal 27 Juni 1940 di Mojowetan, Sragen Jawa Lulusan ASRI Yogya
tahun 1961 ini pernah aktif di Sanggar Bambu, Jakarta. Universitas Iowa, Iowa City, Amerika
Serikat, dan pada tahun 1983 ia menghadiri Festival Penyair Internasional di Rotterdam,
Belanda. Cerpennya Rintik, memenangkan hadiah Horison tahun 1968. Buku Utama
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1987.
5. Iwan Simatupang
Iwan Simatupang lahir di Sibolga, Sumatra Utara pada tanggal 18 November 1928, meninggal
di Jakarta tanggal 4 Agustus 1970.
6. Budi Darma
Novel Olenka , memenangkan hadiah pertama Sayembara Mengarang Roman DKJ tahun 1983.
Tahun 1984 ia memenangkan hadiah sastra ASEAN.
7. Taufiq Ismail
Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935 dari pasangan A.Ia
menghabiskan masa SD di Solo, Semarang, dan Yogyakarta, SMP di Bukittinggi, dan SMA di
Pekalongan. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin
memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya.
8. Emha Ainun Najib
Lahir pada tanggal 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur.Masa Kini, Yogya , kemudian
memimpin Teater Dinasti, Yogya. Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda , dan
Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman.
9. Umar Kayam
Umar Kayam (lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932–meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002
pada umur 69 tahun) adalah seorangsosiolog, novelis, cerpenis, dan budayawan juga seorang
guru besar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1988-1997-pensiun).
Karya-karyanya seperti: Bauk, Seribu Kunang-kunang di Manhattan, Musim Gugur Kembali
di Connecticut, Mangan Ora Mangan Ngumpul, dan masih banyak yang lain. Umar Kayam
memperoleh Hadiah Sastra Asean pada tahun 1987.
10. Kuntowijoyo
Karyanya antara lain di Atas Bukit. Novel ini bertemakan kegelisahan batin akibat batin
kondisi sosial. Ia mengajak pembaca untuk merenungkan kehidupan ini. Kuntowijoyo banyak
mengguanakan kata-kata mutiara sebagai pengungkap renungan hidup.

5.3 Jenis Karya Sastra Angkatan ’70 – an


1. Puisi
Istilah kontemporer ini menunjukan pada waktu bukan pada model puisi tertentu, karena pada
masa kontemporer ini banyak model puisi yang konvensional.
Ada pun ciri-ciri periode ini adalah:
a. Protes yang dikemukakan tidak seperti dalam periode ’66 yang ditunjukan kepada orde lama
dan kemunafikan, tetapi tentang kepincang-pincangan masyarakat pada awal industrialisasi.
b. Kesadaran bahwa aspek manusia merupakan subjek dan bukan objek dalam pembangunan
c. Banyak mengungkapkan kehidupan batin religius dan cenderung mistik.
d. Cerita dan pelukisan bersifat alogoris dan fable.
e. Hak-hak asasi manusia di perjuangkan, kebebasan, persamaan,pemerataan.dan terhindar dari
pencemaran teknologi modern.
f. Kritik juga dikemukakan bagi para penyeleweng.
2. Prosa dan Drama
Pada angkatan inilah mulai lahir karya-karya yang lebih beragam dan melawan arus biasa.
Sutardji Calzoum Bachtiar dianggap menjadi pelopor angkatan ini.
Nama-nama yang berpengaruh pada masa ini antara lain:
1. Noorca Mahendra, Sutardji Calzoum Bachtiar
2. Iwan simatupang
3. Nh. Dini
4. Sapardi Djoko Damono
5. Umar Kayam
6. Danarto
7. Putu wijaya
8. Abdul Hadi W.M

6. Angkatan ’80 – an
6.1 Kelahiran Angkatan ’80 – an
Kelahiran sastra Angkatan ‘80-an diwarnai dengan aturan-aturan yang ketat dan dipengaruhi
oleh kegiatan politik. Angkatan ‘80-an lahir pada masa pemerintahan Soeharto era Orde Baru.
Soeharto pada masa itu masih menduduki suatu jabatan di militer dan sebagai presiden
Republik Indonesia, sehingga pemerintahannya sangat kokoh dengan perlindungan dari
militer. Era Orde Baru mempunyai ciri yaitu semua keputusan berporos pada presiden dan hak
bersuara sangat dibatasi. Tema roman percintaan dan kisah kehidupan ini pun didasari oleh
kemajuan ekonomi dan hidup yang indah bagi masyarakat karena pada masa itu perekonomian
di Indonesia sangat makmur sebelum krisis moneter pertengahan tahun 1997.
Kelahiran periode ‘80-an bersifat mendobrak keberadaan yang dilahirkan dari konsepsi
individual yang mengacu pada satu wawasan kelompok. Setelah melewati ujian bertahun-
tahun, kata bukanlah alat pengantar pengertian, tetapi adalah pengertian itu sendiri. Periode
‘80-an ini merupakan sastra yang dinamik yang bergerak bersama masyarakat Indonesia untuk
menuju kehidupannya yang baru dengan wawasan konstitusional. Kesusastraan itu adalah alat
untuk mencurahkan makna agar dapat ditumpahkan pada manusia secara utuh dan makna itu
hendaknya disalurkan agar mengalami proses mengembang dan mengempis masuk ke dalam
kehidupan serta mengembangkan halhal yang sebelumnya belum terpikirkan oleh manusia.
Periode ‘80-an lahir dari konsepsi improvisasi dalam penggarapan karya sastra menuju hasil
dan bobot maksimal serta baru dari konsep yang menentang pada satu kehidupan.
6.2 Latar Belakang Munculnya Angkatan ’80 – an
Sastra ‘80-an berada di tengah lingkungan yang masyarakatnya mengalami depolitisasi yang
nyaris total. Aktivitas-aktivitas politik mahasiswa ditertibkan dan mahasiswa sepenuhnya
dijadikan organ kampus yang dilepaskan dari segala macam aktivitas politik. Majalah sastra
hanya ada Horison dan Basis. Karya sastra yang lahir pada tahun ‘80-an dipengaruhi proses
depolitisasi tersebut.
Oleh karena itu, sastra yang muncul pun jadi tidak sesuai dengan realitas sosial politik serta
tidak menunjukkan kegelisahan dan kesakitan kolektif masyarakat pada masa itu. Jargonjargon
politik yang hiruk-pikuk dan menakutkan telah berlalu. Mereka digantikan oleh jargon-jargon
modisme yang meriah, kerlap-kerlip, dan tidak terasa menakutkan. Ditambah lagi, terdapat
ancaman pembredelan-pembredelan terhadap karya sastra dan faktor-faktor keamanan lainnya.

6.3 Karakteristik Sastr Angkatan ’80 – an


Setiap angkatan sastra mempunyai karakteristik masing-masing yang membedakan dengan
angkatan lain. Berikut adalah karakteristik sastra angkatan 1980-an:
(1) puisi yang dihasilkan bercorak spiritual religius, seperti karya yang berjudul Kubakar
Cintaku karya Emha Ainun Najib;
(2) sajak cenderung mengangkat tema tentang ketuhanan dan mistikisme;
(3) sastrawan menggunakan konsep improvisasi;
(4) karya sastra yang dihasilkan mengangkat masalah konsep kehidupan sosial masyarakat
yang memuat kritik sosial, politik, dan budaya;
(5) menuntut hak asasi manusia, seperti kebebasan;
(6) bahasa yang digunakan realistis, bahasa yang ada di masyarakat dan romantis;
(7) terdapat konsepsi pembebasan kata dari pengertian aslinya;
(8) mulai menguat pengaruh dari budaya barat, dimana tokoh utama biasanya mempunyai
konflik dengan pemikiran timur;
(9) didominansi oleh roman percintaan;
(10) novel yang dihasilkan mendapat pengaruh kuat dari budaya barat yang tokoh utamanya
mempunyai konflik dengan pemikiran timur dan mengalahkan tokoh antagonisnya.

6.4 Tokoh – tokoh Angkatan ’80 – an


Sastra Angkatan ‘80-an tidak mempunyai informasi yang jelas tentang siapa pelopornya.
Namun, pada angkatan ini banyak sastrawan yang berperan penting dalam perkembangannya,
di antaranya adalah
1. Hilman Hariwijaya
Hilman Hariwijaya yang lahir di Jakarta, 25 Agustus 1964. Namanya dikenal sejak menulis
cerita pendek yang diberi judul Lupus di majalahHai pada bulanDesember 1986, yang
kemudian dibukukan menjadi sebuah novel.
2. Marga T.
Nama aslinya adalah Marga Tjoa dengan nama lengkap Magaretha Harjamulia, Tjia Liang
Tjoe. Pendidikan terakhir adalah Kedokteran di Universitas Trisakti. Sedangkan bukunya yang
pertama berjudul Rumahku Adalah Istanaku, yaitu cerita anak-anak yang diterbitkan pada
tahun 1969.
3. Nh. Dini
Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan
perasaannya sendiri. Sekalipun sejak kecil kebiasaan bercerita sudah ditanamkan, sebagaimana
yang dilakukan ibunya kepadanya, ternyata Dini tidak ingin jadi tukang cerita.
4. Mira Widjaja
Bicara tentang novel populer tanah air, tentunya nama Mira W tak bisa begitu saja dilupakan.
Ia dikenal sebagai penulis yang produktif menghasilkan novel-novel bertema cinta nan
romantis. Pengarang bernama asli Mira Widjaja ini menjelma menjadi satu di antara legenda
novel terpopuler di Indonesia.
5. Ahmadun Yosi Herfanda
Ahmadun Yosi Herfanda yang juga ditulis Ahmadun Y. Indonesia dan jurnalis yang banyak
menulis esei sastra dan sajak sufistik. Namun, penyair Indonesia dari generasi 1980-an ini juga
banyak menulis sajak-sajak sosial-religius.

6.5 Kualitas Sastra Angkatan ’80 – an


Setiap angkatan karya sastra pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, seperti padaa Angkatan
‘80-an.
(1) Kelebihan karya sastra Angkatan ‘80-an:
1. Memiliki wawasan estetik yang luas;
2. Bertema tentang roman percintaan dan kisah kehidupan ini pun didasari oleh kemajuan
ekonomi dan hidup yang indah bagi masyarakat sehingga memberi kesan kebahagiaan bagi
pembacanya;
3. Menekankan pada pemikiran dan cara penyampaian dalam karya sastra;
4. Periode ‘80-an ini merupakan sastra yang dinamik yang bergerak bersama masyarakat
Indonesia untuk menuju kehidupannya yang baru dengan wawasan konstitusional;
5. Para sastrawan mengikuti perkembangan jaman yang dituntut adanya keberanian dan
kreativitas untuk berkarya;
6. Periode ‘80-an ini karya sastra film juga berkembang pesat dan;
7. Karya sastra era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop.

(2) Kekurangan karya sastra angkatan ‘80-an:


1) Karya sastra Angkatan ‘80-an diwarnai dengan aturan-aturan yang ketat dan dipengaruhi
oleh kegiatan politik.
2) Karya sastra yang lahir pada tahun ‘80-an dipengaruhi proses depolitisas.
3) Sastra yang muncul jadi tidak sesuai dengan realitas sosial politik serta tidak menunjukkan
kegelisahan dan kesakitan kolektif masyarakat pada masa itu.

7. Angkatan ’90 – an (Angkatan Reformasi)


Harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa
atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi
puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik. Di samping menampilkan sanjak-
sanjak peduli bangsa (istilah yang diusung rubrik budaya Republika) dan karya-karya reformasi
yang anti penindasan, gandrung keadilan, berbahasa kebenaran (sesuai Sumpah Rakyat 1998),
muncul pula fenomena kesetaraan gender yang mengarah ke woman libs sebagaimana
tercermin dalam karya-karya Ayu Utami dari Komunitas Sastra/Teater Utan Kayu, Jenar
Mahesa Ayu, Dewi Lestari. Pada era yang bersamaan berkibar bendera Forum Lingkar Pena
(FLP) dengan tokohnya HTR (Helvy Tiana Rosa) yang berobsesi mengusung Sastra
Pencerahan, Menulis Bisa Bikin Kaya (kaya ruhani, kaya pikiran, kaya wawasan, dan
semacamnya).
Sastra Mutakhir (dekade ’90-an-Angkatan 2000) dengan tokohnya antara lain:
(1) Emha Ainun Najib dengan kumpulan puisinya Sesobek Buku Harian Indonesia; dan drama
Lautan Jilbab;
(2) Seno Gumira Ajidarma dengan kumpulan cerpennya Iblis Tidak Pernah Mati;
(3) Ayu Utami dengan novelnya Saman dan Larung;
(4) Jenar Mahesa Ayu dengan kumpulan cerpennya Mereka Bilang Saya Monyet;
(5) N. Riantiarno dengan dramanya Opera Kecoa dan Republik Bagong;
(6) Yanusa Nugraha dengan kumpulan cerpennya Segulung Cerita Tua;
(7) Afrizal Malna dengan kumpulan puisinya Abad yang Berlari;
(8) Ahmadun Y. Herfanda dengan kumpulan puisinya Sembahyang Rumputan;
(9) D. Zawawi Imron dengan kumpulan puisinya Bantalku Ombak,Selimutku Angin;
(10) K.H. Ahmad Mustofa Bisri dengan kumpulan puisinya OhoiPuisi-puisi Balsem dan
Gandrung.
8. Angkatan 2000 sampai Sekarang
8.1 Penulis dan Karya Sastra Angkatan 2000
(1) Ayu Utami
• Saman (1998)
• Larung (2001)
(2) Seno Gumira Ajidarma
• Atas Nama Malam
• Sepotong Senja untuk Pacarku
• Biola Tak Berdawai
(3) Dewi Lestari
• Supernova 1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001)
• Supernova 2.1: Akar (2002)
• Supernova 2.2: Petir (2004)
(4) Raudal Tanjung Banua
• Pulau Cinta di Peta Buta (2003)
• Ziarah bagi yang Hidup (2004)
• Parang Tak Berulu (2005)
• Gugusan Mata Ibu (2005)
(5) Habiburrahman El Shirazy
• Ayat-ayat Cinta (2004)
• Diatas Sajadah Cinta (2004)
• Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
• Pudarnya Pesona Cleopatra (2005)
• Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
• Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
• Dalam Mihrab Cinta (2007)
(6) Andrea Hirata
• Laskar Pelangi (2005)
• Sang Pemimpi (2006)
• Edensor (2007)
• Maryamah Karpov (2008)
• Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas (2010)
(7) Ahmad Fuadi
• Negeri 5 Menara (2009)
• Ranah 3 Warna (2011)
(8) Tosa
• Lukisan Jiwa (puisi) (2009)
• Melan Conis (2009)

8.2 Peistiwa Besar yang Terjadi pada Angkatan 2000


Berikut adalah momen penting yang terjadi sepanjang periode ini:
(1) 2000: Korrie Layun Rampan mengumumkan adanya sastrawan Angkatan 2000, H.B. Jassin
meninggal dunia di Jakarta. Buku Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul terbit.
(2) 2001: Mulai 2001, penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) diberikan kepada
sastrawan yang menghasilkan karya sastra terbaik. Mereka yang pernah mendapatkan
penghargaan ini antara lain Goenawan Mohamad, Remy Sylado, Hamsad Rangkuti, Seno
Gumira Ajidarma, Linda Christanty, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Gus tf., Acep
Zamzam Noor.
(3) 2002: Majalah Horison menerbitkan buku Horison Sastra
Indonesia yang terdiri dari empat kitab, yakni kitab puisi, cerpen,
novel, dan drama. Dalam buku ini, Hamzah Fansuri yang hidup
di abad ke-17 dimasukkan sebagai sastrawan Indonesia yang
pertama.
(4) Terbitnya Jurnal Cerpen (2002) oleh Joni Ariadinata,dkk.
(5) Kongres cerpen yang dilaksanakan secara berkala 2 tahun sekali.
(6) Cyber sastra.
(7) Lomba Sayembata Menulis Novel, Dewan Kesenian Jakarta (2003).
(8) 2003: Sapardi Djoko Damono dan Ignas Kleden mendapat penghargaan Ahmad Bakrie
Award karena jasanya di bidang kesusastraan dan pemikiran. Sastrawan dan intelektual yang
menerima penghargaan yang sama pada tahun-tahun berikutnya adalah Goenawan Mohamad,
Nurcholish Madjid, Budi Darma, Sartono Kartodirdjo. Frans Magnis Soeseno yang seharusnya
mendapatkan penghargaan tersebut menolak karena keterkaitan perusahaan Bakrie dengan
bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
(9) 2004: Pemilihan presiden secara langsung yang dilakukan pertama kali di Indonesia.
Soesilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, mengalahkan Megawati. Di dunia
sastra, para sastrawan muda mendeklarasikan lahirnya generasi sastrawan cyber. Sastra di
internet merupakan terobosan baru bagi para sastrawan untuk berekspresi dan
mempublikasikan karyanya secara bebas. Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El
Shirazy terbit. Yayasan Lontar mendokumentasikan biografi sastrawan Indonesia, di antaranya
Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono,
Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Oka Sukanta, dan lain-lain. Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM)
Munir dibunuh. Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan karya Ignas Kleden terbit.
(10) 2005: Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata terbit. Novel ini dan novel Ayat-ayat
Cinta menjadi novel paling laris (best seller) dalam sejarah penerbitan novel di Indonesia.
Kedua novel ini juga ditransformasi ke film.
(11) Festival Seni Surabaya (2005)
(12) 2006: Yayasan Lontar menerbitkan Antologi Drama Indonesia: 1895-2000. Penerbitan
buku ini menunjukkan bahwa sejarah sastra Indonesia bukan dimulai pada 1920, melainkan
pada 1895. Anton Kurnia menerbitkan Ensiklopedi Sastra Dunia.
(13) 2007: Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma terbit. Buku kumpulan puisi
Otobiografi karya Saut Situmorang terbit. Saut adalah salah satu sastrawan yang menggerakkan
sastra cyber, sastrawan Ode Kampung, dan majalah Boemipoetra.
(14) 2008: Buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang dicetak ulang dan buku-buku korban
tragedi 1965 yang ingin meluruskan sejarah marak di toko-toko buku, dan menjadi buku laris.
Misalnya, Suara Perempuan Korban Tragedi ‘65 karya Ita F. Nadia.

8.3 Ciri – ciri Karya Sastra Angkatan 2000


(1) Tema sosial-politik, romantik, masih mewarnai tema karya sastra;
(2) Pilihan kata diambil dari bahasa sehari-hari yang disebut bahasa kerakyatjelataan;
(3) Revolusi tipografi atau tata wajah yang bebas aturan dan cenderung ke puisi konkret;
(4) Penggunaan estetika baru yang disebut antromofisme (gaya bahasa berupa penggantian
tokoh manusia sebagai “aku lirik” dengan benda-benda);
(5) Karya-karyanya profetik (keagamaan/religius) dengan kecenderungan menciptakan
penggambaran yang lebih konkret melalui alam;
(6) Kritik sosial juga muncul lebih keras;
(7) Banyak muncul kaum perempuan;
(8) Disebut angkatan modern;
(9) Karya sastra lebih marak lagi, termasuk adanya sastra koran,
contohnya dalam H.U. Pikiran Rakyat;
(10) Adanya sastra bertema gender, perkelaminan, seks, feminisme;
(11) Banyak muncul karya populer atau gampang dicerna, dipahami
pembaca;
(12) Muncul cyber sastra di Internet.

8.4 Kekurangan dan Kelebihan Sastra Angkatan 2000


(1) Kelebihan karya sastra tahun 2000:
a. pencerminan sebagai karya reformis dimana terjadi revolusi dalam bentuk;
b. penggunaan tema yang beragam;
c. kekuatan narasi yang lancar dan mengalir;
d. banyaknya muncul karya sastra pembangun jiwa;
e. kejadian menarik yang inspiratif banyak digunakan pengarang dalam menuliskan karyanya.
(2) Kekurangan karya sastra tahun 2000
a. Banyak munculnya sastra perkelaminan yang cenderung merusak moral bangsa;
b. Adanya lapisan sastrawan muda dengan ekspresinya yang menggebu-gebu berkarta secara
terbuka, bebas dan tidak terlalu memperhatikan nilai moral yang berkembang di masyarakat;
c. Beberapa sastrwan cenderung sekuler dan feminis dalam menuliskan karyanya.

8.5 Jenis Sastra yang Berkembang dalam Angkatan 2000


1. Sastra Wangi
2. Sastra Cyber
8.6 Idiologi Feminisme dalam Sastra Angkatan 2000
Apabila dibandingkan dengan angkatan 1970, maka apa yang dilakukan oleh pengarang
perempuan angkatan 2000 telah mengalami lompatan yang cukup jauh. Meskipun masih
menyuarakan isu-isu ketertindasan perempuan, dalam Angkatan 2000 umumnya pesan
ideologi feminisme yang disampaikan tidak sampai menceramahi dan terkesan memarahi
pembaca. Terkadang hanya isyarat tubuh dan tanpa banyak kata seorang tokoh perempuan
dapat dengan mudahnya mengalahkan laki-laki dari berbagai bidang tidak terkecuali dalam
hubungan seksual seperti yang berkembang pada karya sastra sekarang yakni di tahun 2000-
an. Di masa sekarang, khususnya setelah terjadi reformasi pada media 1998, karya-karya
pengarang perempuan juga lebih berani dan terbuka dalam bersikap.
BAB V
ZAMAN PERALIHAN
1. Pengertian
Sastra zaman peralihan adalah sastra yang lahir dari pertemuan sastra yang berunsur Hindu
dengan sastra yang berunsur Islam di dalamnya. Contoh karya-karya sastra yang masuk dalam
masa ini adalah ; Hikayat Puspa raja, Hikayat Parung Punting, Hikayat Lang-lang Buana, dsb.
Pengaruh Hindu di alam Melayu telah ada sejak abad I sesudah
Masehi, tidak hilang begitu saja dengan kedatangan Islam pada kurun abad ke-13 M. Pengaruh
Hindu yang telah berkembang tersebut, sulit kiranya untuk dihilangkan perannya dari
peradaban dan kesusastraan Melayu. Abad XV dianggap sebagai abad penutup pengaruh Hindu
di kepulauan Melayu.Para ahli sejarah sependapat bahwa hubungan orang-orang India dengan
alam Melayu telah terjalin sejak lebih kurang 1.000 tahun yang lalu melalui hubungan dagang.
Sastra pengaruh Islam adalah karya sastra yang isinya tentang ajaran agama Islam yang harus
dilakukan oleh penganut agama Islam. Contoh karya : Hikayat Nur Muhammad, Hikayat Bulan
Berbelah, Hikayat Iskandar Zulkarnaen dsb.
2. Ciri – ciri Kesusastraan Zaman Peralihan
(1) Hikayat masa peralihan mempunyai motif-motif cerita India.
Motif-motif tersebut adalah sebagai berikut.
a. Tokoh peristiwa
Tokoh-tokoh peristiwa biasanya seorang dewi, bidadari, yang turun ke dunia untuk menjadi
anak raja.
b. Kelahiran tokoh
Kelahiran tokoh utama biasanya lahir secara ajaib, disertai gejala alam luar biasa, lahir bersama
senjata sakti. Tuah Anak raja biasanya membawa tuah yang menjadikan negeri makmur, aman
sentosa. Petualangan setelah mengalami masa damai bersama orang tuanya, tokoh utama
biasanya melakukan petualangan yang luar biasa dan memperoleh hikmat-hikmat.
(2) Muncul unsur-unsur perpaduan zaman Hindu-Budha, dan Islam.
Dalam hikayat peralihan, unsur-unsur Islam dimunculkan. Unsurunsur tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Penyebutan nama Tuhan. Nama Tuhan mula-mula disebut dengan nama Hindu seperti
Dewata Mulia Raya lalu menjadi nama Islam seperti Raja Syah Alam atau Allah Subhana wa
Ta’ala.
b. Penggantian judul. Dalam hal judul, sastra peralihan sering memiliki dua judul, yakni judul
yang terpengaruh Hindu dan judul yang terpengaruh Islam
c. Dimunculkan percakapan mengenai agama Islam oleh tokoh tertentu, misalnya:
• Inderajaya bertanya jawab tentang agama Islam dengan istrinya,
• Lukman Hakim muncul menerangkan perbedaan antara sembahyang dan salat, arti syariat,
tarikat, hakikat, dan makrifat.
(3) Ceritanya masih ada unsur masa lampau tapi sudah ditulis siapa nama pengarangnya,
berbeda dengan karya sastra sebelumnya yang belum dicantumkan nama pengarangnya.

3. Tokoh – tokoh Zaman Peralihan


1. Abdullah bin Abdulkadie Munsyi
Abdullah bin Abdulkadir Munsyi seorang sastrawan Melayu Britania. Dia bekerja sebagai guru
bahasa . Dia pernah bekerja untuk Thomas Stamford Raffles sebagai juru tulis, menerjemahkan
Injil serta teks agama Kristen lainnya untuk Mekkah, kemungkinan karena penyakit kolera,
pada saat hendak menjalankan ibadah haji. Karya Abdullah di bidang sastra menjadi tanda
pergeseran dari sastra Melayu tradisional menuju sastra melayu modern. Hal tersebut dapat
dilihat dari karya syairnya yang penulisannya mulai meninggalkan tradisi pelisanan.
2. Tun Muhammad/Tun Seri Lanang tahun 1612
Sulalatu’l-Salatin merupakan karya dalam Bahasa Melayu. Karya tulis ini memiliki sekurang-
kurangnya 29 versi atau manuskrip yang tersebar di antara lain di Inggris , Belanda , Indonesia
dan 1 di Rusia .
3. Raja Ali Haji
Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad atau cukup dengan nama penanya Raja Ali Haji adalah
ulama, sejarawan, dan pujangga abad 19 keturunan Bugis dan Melayu. Bahasa Melayu standar
itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa
nasional, bahasa Indonesia. Kesultanan Lingga-Riau dan juga merupakan bangsawan Bugis.
Raja Ali Haji juga patut diangkat jasanya dalam penulisan sejarah Melayu. Meskipun sebagian
pihak berpendapat Tuhfat dikarang terlebih dahulu oleh ayahnya yang juga sastrawan, Raja
Ahmad. Raji Ali Haji hanya meneruskan apa yang telah dimulai ayahnya. Dalam bidang
ketatanegaraan dan hukum, Raja Ali Haji pun menulis Mukaddimah fi Intizam .
BAB III
PEMBAHASAN

A. KELEBIHAN BUKU

1. Buku Utama

• Dari segi cover buku sudah bagus dan menarik perhatian pembaca
• Jenis dan ukuran tulisan sudah pas rata kanan dan kiri buku ini sangat rapi dan Halaman
buku nya 97 halaman tidak bertele – tele.
• Bahasanya sudah menggunakan Bahasa Indonesia yang baik.
• Pembahasan dalam buku ini sudah bagus bagi pembaca yang ingin mengetahui tentang
sejarah sastra terlebih periode – periode nya.
• Buku ini sangat banyak memasukkan pendapat – pendapat tokoh tertentu dan kutipan
dari buku terkenal sehingga semakin memperjelas kebenaran isi buku. Terdapat di hal
6 – 7.

2. Buku Pembanding

• Dari cover bukunya sangat bagus dan menarik karna ada unsur estetiknya
• Identitas bukunya sudah lengkap.
• Penulis menyertakan fakta dan data setiap bab nya.
• Disetiap akhir bab buku selalu ada soal yang diberikan untuk menguji pemahaman
pembaca serta setiap bab selalu ada rangkuman yang membuat si pembaca mendapat
inti sari dari buku.
• Didalam buku ini banyak catatan kaki sehingga Ketika membaca bagian tertentu dari
materi yang ada di dalam buku, maka pembaca dapat mengetahui sumber yang lebih
jelas.
• Di akhir buku terdapat Glosarium yang dapat membuat pembaca mengerti arti – arti
kata.
B. KELEMAHAN BUKU

1. Buku Utama

• Dalam buku ini tidak ada mencantumkan gambar sehingga bisa membuat pembaca
cepat bosan.
• Sering di jumpa penulisan yang kurang benar, penggunaan spasi dan tanda baca yang
salah.
• Buku ini tidak di lengkapi dengan rangkuman tiap babnya sehingga pembaca agak sulit
mendapat inti sari dari tiap babnya.
• Buku ini juga tidak dilengkapi dengan soal – soal evaluasi yang dapat menguji
kemampuan pembaca.

2. Buku Pembanding

• Buku ini terlalu banyak memuat contoh karya sehingga buku ini semakin tebal dan
pencetakannya pun lebih mahal
• Buku ini terlalu bertele – tele karena terlalu focus pada momen – momen tertentu yang
dinilai tidak terlalu penting untuk di paparkan.
• Buku ini menjelaskan buku nya tidak ringkas sehingga pemborosan terhadap tebal
buku.
• Buku ini secara keseluruhan berisi dengan teks sihingga mudah membuat bosan
pembanya.
BAB IV
PENUTUP

A. SIMPULAN
Kedua Buku teori dan Sejarah saatra ini, sangat bermamfaat dan cocok bagi seseorang
yang ingin mempelajari bagaimana perkembangan sejarah sastra. Meskipun kedua buku ini
memiliki petbedaan serta kelebihan dan kekurangan yang terdapat di dalamnya tetapi pada
dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu membahas tentang sejarah sastra Indonesia.

B. SARAN
1. Sebaiknya penulis menggunakan Bahasa yang mudah dipahami.
2. Akan lebih mudah dipahami jika terdapat penjelasan lebih rinci mengenai hal terkait.
3. Ketika menulis sebuah buku, sebaiknya meminimalisisr penggunaan kata yang
bertele – tele dan memeriksa Kembali buku agar tidak terdapat kesalahan penulis.
LAMPIRAN
1. Buku Utama
2. Buku Pembanding

Anda mungkin juga menyukai