Anda di halaman 1dari 37

CRITICAL JOURNAL REVIEW

PERKEMBANGAN SEJARAH DAN ISU-ISU TERKINI DALAM SASTRA


BANDINGAN
Dipa Nugraha, 2021. P-ISSN 2615-725X E-ISSN 2615-8655

PEREMPUAN DAN SASTRA DALAM SEJARAH SASTRA INDONESIA TAHUN


1998-SEKARANG
Retno Endah Pratiwi, 2021. P-ISSN 1978-6646

TEORI SASTRA TERBARU TRANSDISIPLINER


Suwardi Endraswara, 2022. ISSN: 2746-7708 (Cetak) 2827-9689 (Online)

NAMA : YANTI MELINA AMBARITA


NIM : 2233111078
KELAS : REG-F
MATA KULIAH : TEORI SEJARAH SASTRA
DOSEN PENGAMPU : PROF. HJ. DR. ROSMAWATY M. Pd

PRODI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas berkat dan rahmat-
Nya, penulis diberikan kesempatan untuk menyelesaikan Critical journal review ini dengan
tepat waktu. Pembuatan Critical Journal Review ini di bertujuan untuk memenuhi
penyelesaian tugas pada mata kuliah Teori Sejarah Sastra. Tugas ini di buat oleh penulis dengan
berbagai kendala, apakah itu datang dari penulis sendiri atau itu berasal dari luar. Tetapi dengan
bantuan Yang Maha Kuasa, akhirnya tugas ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan tugas ini masih jauh dalam
kesempurnaan dan tentunya masih banyak kekurangan, untuk itu sangat mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun guna sempurnanya tugas-tugas selanjutnya. Penulis
berharap semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca.

Medan, Oktober 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

3
BAB 1
PENDAHULUAN

A. RASIONALISASI PENTINGNYA CJR

Disaat kita membutuhkan sebuah referensi, tentu saja jurnal sebagai sumber bacaan kita
selain buku dalam mempelajari mata kuliah keterampilan bahasa reseptif. Sebelum
memuat materi yang terdapat dalam jurnal, sebaiknya kita terlebih dahulu mengkritisi
jurnal tersebut agar kita mengetahui jurnal mana yang lebih relevan untuk dijadikan
sumber bacaan. Selain itu, kita juga harus mengetahui tentang kelebihan dan kekurangan
dari ketiga jurnal yang di analisis, hal ini dilakukan untuk menjadi peningkatan
kemampuan menyimak melalui metode, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
mahasiswa di dalam menilai sebuah jurnal. Di dalam makalah ini juga tidak ada maksud
untuk menyudutkan beberapa pihak tertentu. Pada laporan ini di sertakan keunggulan dan
kekurangan dari jurnal tersebut. Dengan demikian, diharapkan tidak ada pihak-pihak
yang tersinggung atas penyajian makalah ini, karena makalah ini dibuat dari sudut opini
pembaca

B. TUJUAN PENULISAN CJR

1. Untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Keterampilan Bahasa Reseptif.


2. Meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam meringkas, menganalisis.
3. Meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam membandingkan serta memberi
kritik pada jurnal.

C. MANFAAT CJR

a. Sebagai rujukan bagaimana untuk menyempurnakan sebuah jurnal.


b. Membantu pembaca menemukan sumber bacaan yang baik dan relevan
c. Membuat Penulis (Saya) lebih terampil dalam mengkritisi jurnal
d. Untuk menambah pengetahuan tentang membaca dan menulis sebuah jurnal yang
baik Untuk memperluas wawasan

4
D. IDENTITAS JURNAL

e. Jurnal Utama

Judul : Perkembangan sejarah dan isu-isu terkini dalam sastra bandingan


Nama jurnal : Diglosa; Jurnal kajian bahasa, sastra, dan pengajarannya
Penulis : Dipa Nugraha
ISSN : P-ISSN 2615-725X E-ISSN 2615-8655
Tahun : 2021
Vol&No : 4 dan 2
Halaman : 163- 176

f. Jurnal Pembanding 1

Judul : Perempuan dan Sastra dalam sejarah sastra Indonesia 1998-Sekarang


Nama jurnal : Jurnal Linguistik Sastra Berdimensi Cultural Studies
Penulis : Retno Endah Pratiwi
ISSN : P-ISSN 1978-6646
Tahun : 2021
Vol&No : 10 dan 2
Halaman : 56-63

g. Jurnal Pembanding 2

Judul : Teori Sastra terbaru Transdisipliner


Nama jurnal : Enggang; Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, Seni, dan Budaya
Penulis : Suwardi Endraswara
ISSN : ISSN: 2746-7708 (Cetak) 2827-9689 (Online)
Tahun : 2021
Vol&No :2
Halaman : 122-144

5
A. JURNAL UTAMA
 ABSTRAK
PERMASALAHAN Bagaimana perkembangan sejarah dan isu-isu terkini dalam sastra
bandingan?
TUJUAN PENELITIAN Jurnal ini bertujuan untuk membahas perkembangan sejarah dan isu-isu
terkini sastra bandingan.
METODE PENELITIAN Jurnal ini menggunakan metode pencarian data dunia maya dalam rangka
mengumpulkan rujukan-rujukan dari sumber otoritatif pilihan yang dapat
menghasilkan suatu tulisan sintesis mengenai sejarah dan isu-isu terkini
dalam sastra bandingan.
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa perluasan lingkup kajian di dalam
sastra bandingan diwarnai dengan wacana dekonstruksi dan rekonstruksi
sastra dunia, dialog dan pertemuan antara Barat dan Timur, serta isu yang
terkait dengan era digital. Dari isu tentang sastra dunia dan pertemuan
Barat dan Timur, mazhab Cina menemukan jalan lahirnya sedangkan
kehadiran era digital membuat sastra bandingan merambah pada ranah
baru pada istilah yang memayungi beberapa isu mengenai penggunaan
media yang berbeda, yaitu intermedialitas.

KATA KUNCI Sastra bandingan, sastra dunia, mazhab Cina, era digital, intermedialitas.

KESIMPULAN ANALISIS ABSTRAK :

Jurnal ini membahas mengenai perkembangan sejarah dan isu-isu terkni di dalam sastra
bandingan, yang di kembangkan dengan menggunakan metode pencarian data dunia maya dalam
rangka mengumpulkan rujukan dari sumber otoritatif pilihan yang dapat menghasilkan suatu
tulisan sintesis mengenai sejarah dan isu-isu terkini dalam sastra bandingan. Kemudian, jurnal ini
menjadikan kata Sastra Bandingan, Sastra dunia, Mazhab Cina, Era digital, dan intermedialitas
sebagai kata kunci yang nantinya akan di kembangkan. Sehingga, hasil penelitian pada jurnal ini
menunjukkan bahwa perluasan lingkup kajian di dalam sastra bandingan diwarnai dengan
wacana dekonstruksi dan rekonstruksi sastra dunia, dialog dan pertemuan antara Barat dan
Timur, serta isu yang terkait dengan era digital. Dari isu tentang sastra dunia dan pertemuan
Barat dan Timur, mazhab Cina menemukan jalan lahirnya sedangkan kehadiran era digital
membuat sastra bandingan merambah pada ranah baru pada istilah yang memayungi beberapa
isu mengenai penggunaan media yang berbeda, yaitu intermedialitas.

 PENDAHULUAN

Saat globalisasi membuat dunia semakin tanpa batas serta kebutuhan


ANALISIS memahami bangsa dan kebudayaan lain di dalam membangun interaksi dan
komunikasi lintas budaya kian menguat, sastra bandingan menjadi penting di
dalam membantu mengenal dan memahami kebudayaan bangsa lain (Hart,

6
2006, p. 20) dalam suasana multikulturalisme dan mengemukanya perlawanan
terhadap homogenisasi kultural dari dominasi kebudayaan tertentu dalam
kajian sastra dan budaya (Bernheimer, 1995; Saussy, 2006; Zamora, 2004).
Sastra bandingan atau comparative literature adalah ilmu yang mengkaji karya
sastra dan segala jenis ekspresi atau produk budaya yang melintasi batas
linguistik dan atau latar belakang budaya. Menimbang peran dan manfaat
sastra bandingan, tidaklah aneh jika kemudian membuatnya menjadi mata
kuliah wajib dengan nama Sastra Bandingan (atau Ilmu Perbandingan Sastra)
di beberapa program studi yang mengajarkan bahasa dan sastra di Indonesia.
Terdapat setidaknya enam buku berbahasa Indonesia yang lazim digunakan
sebagai rujukan dalam pengajaran mata kuliah Sastra Bandingan di Indonesia.
Bukubuku tersebut adalah Teori Kesusastraan (1993)yang merupakan
terjemah dari buku karya René Wellek dan Austin Warren dengan judul Theory
of Literature, buku karya Andries Teeuw yang berjudul Sastra dan Ilmu
Sastra: Pengantar Teori Sastra(1984) pada bagian X-XI, dua buku karya
Endraswara Metodologi Penelitian Sastra(2013) dan Metodologi Penelitian
Sastra Bandingan (2011), serta dua buku karya Sapardi Djoko Damono yang
berjudul Pegangan Penelitian Sastra Bandingan (2005) dan Sastra Bandingan
(2009). Dari buku-buku berbahasa Indonesia yang terkait dengan sastra
bandingan ini, belum ada pembahasan berkenaan dengan perkembangan
terbaru di dalam sastra bandingan yang menghadirkan eksistensi mazhab Cina
dan isu-isu baru di dalam sastra bandingan. Kontribusi yang diharapkan dari
artikel ini adalah mengisi gap yang ada di dalam literatur pembelajaran sastra
bandingan yang terdapati di beberapa buku yang telah terbit di Indonesia serta
memberikan rujukan tambahan bagi pembelajaran dan praktik sastra
bandingan.

 ANALISIS METODE PENELITIAN


TUJUAN PENELITIAN Penelitian dalam jurnal ini ditujukan untuk
memberikan informasi terkait perkembangan
karya sastra Indonesia yang ditulis oleh kaum
perempuan sejak 1998 hingga saat ini.

DESAIN PENELITIAN Desain penelitian pada jurnal ini adalah, adanya


perumusan masalah, berupa pertanyaan yang akan
di jawab peneliti. Kemudian, melakukan
penelusuran literatur. Seperti buku, dan jurnal.
Kemudian, menganalisis hasil penelitian ke
dalam bentuk laporan.
TEKNIK PENGUMPULAN DATA Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pengamatan
(observasi) dan dokumentasi.
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik
TEKNIK ANALISIS DATA deskriptif dan isi (content analysis). Teknik ini
sangat sejalan dengan penelitian ini karena dalam
penelitian ini banyak berisi kutipan-kutipan data

7
untuk memberi gambaran sastra Indonesia
mutakhir karya wanita pengarang. Adapun teknik
isi (content analysis) digunakan untuk mendalami
setiap isi dalam sastra Indonesia yang menjadi
objek pendukung dalam penelitian ini. data-data
tersebut dianalisis dengan menggunakan tiga
prosedur, yaitu: Identifikasi, Membandingkan, dan
Aplikasi.

 ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN


RUMUSAN MASALAH Bagaimana sejarah awal sastra bandingan? Apa yang di bandingkan
dalam sejarah sastra? Kemudian, Dinamika Perkembangan Sastra
Bandingan itu seperti apa? Lalu, jelaskan lebih lanjut mengenai Kelahiran
Mazhab Cina, serta Apakah Sastra Bandingan memiliki wilayah baru?
PENYELESAIAN 1. Sejarah Awal Sastra Bandingan
BERDASARKAN TEORI
Kerja perbandingan karya sastra pertama kali dapat ditarik jauh mundur pada
Palladis Tamia: Wits Treasury(1598) karya Francis Meres. Meres, seorang
pengkaji sastra dari Inggris, membandingkan perbandingan wacana di dalam
sajak-sajak karya penyair Inggris dengan sajak-sajak dari para penyair Yunani,
Latin, dan Italia (Şahin, 2015, p. 6). Namun sastra bandingan sebagai sebuah
disiplin akademis menurut Weisstein (1984, p. 169) dianggap baru mulai
berkembang dari Perancis melalui terbitnyajurnal Revue de Littérature
Comparéepada tahun 1921di bawah asuhan Fernand Baldensperger atau
terbitnya karya Paul Van Tieghem yang berjudul La Littérature Comparée
pada tahun 1931. Pendapat lain diajukan Franco (2018, pp. 66–67) yang
menyebut bahwa perjalanan sastra bandingan dapat dikatakan dimulai dari
François Noël and Guislain de Laplace yang menerbitkan Cours de Littérature
Comparéepada tahun 1804. Kemudian ada nama Abel-François Villemain
yang di tahun 1820an memberikan seri kuliah mengenai perbandingan sastra
dan materi kuliahnya ini diterbitkan pada tahun 1828, 1829, dan 1830 yang
membahas sastra abad ke-18 dan pembandingan karyasastra di abad
pertengahan yang berasal dari Perancis, Italia, Spanyol, dan Inggris.

Nama lain yang dianggap sebagai peneroka sastra bandingan adalah


JeanJacques Ampère. Pada tahun 1830 Jean-Jacques Ampère memberikan
presentasi di Athénée de Marseille mengenai perbandingan sejarah seni dan
sastra antarbangsa. Di dalam presentasinya, ia menyinggung adanya dua
cabang di dalam studi sastra: teori sastra dan sejarah sastra. Di dalam sejarah
sastra, metodologi yang diterapkan adalah melalui perbandingan dan filiasi. Di
dalam perbandingan, metode yang dipakai adalah fokus pada pararelisme dan
kontras sedangkan pada filiasi akan didapati keterkaitan karya sastra
berdasarkan pada kapan satu karya lahir mendahului karya lainnya di dalam
perbandingan (Boldor, 2003, pp. 29–30; Claudon, 2018; D’haen, 2013, pp. 51–
52; Domínguez, Saussy, & Villanueva, 2014). Pembicaraan sastra bandingan

8
oleh akademisi-akademisi Perancis dianggap sebagai tonggak kelahiran sastra
bandingan sebagai sebuah disiplin di dunia akademik sehingga tidaklah
mengherankan jika kemudian Perancis disebut sebagai negeri awal mula sastra
bandingan. Di Inggris, sastra bandingan hadir ketika Matthew Arnold
memperkenalkan istilah comparative literaturesdalam bentuk jamak pada
tahun 1857 di dalam sebuah ceramah yang ia berikan di Universitas Oxford
saat inaugurasi dirinya sebagai profesor di bidang sajak sebagai terjemah dari
istilah littérature comparéeatau histoire comparativeberkat pengaruh
akademisi Perancis. Di dalam ceramah ini, ia menyatakan bahwa “no single
event, no single literature is adequately comprehended except in relation to
other events, to other literatures(tidak ada sebuah kejadian, tidak ada sebuah
karya sastra yang cukup dipahami kecuali dengan keterkaitannya atas
kejadiankejadian lainnya, terhadap karya-karya sastra lainnya).” Istilah
comparative literature bahkan tercatat sudah ia pergunakan jauh sebelumnya
seperti tercantum di dalam sebuah surat yang tidak dipublikasikan yang ditulis
pada tahun 1848 sebagai terjemah dari istilah histoire comparative(Brown,
2013, p. 68; Jay, 2014; Şahin, 2015, p. 6).

Menurut Anderson (1971), nilai penting mulai diperkenalkan istilah


comparative literatureoleh Matthew Arnold bukan hanya karena disiplin ini
menyeberang dari Eropa daratan ke tanah Inggris atau bagaimana istilah
Perancis kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh seorang
penulis Inggris namun terletak pada kerja pembandingan yang mengarah
kepada kontras. Masih di dalam konsep Arnold, saat bicara tentang karya-
karya sastra Yunani dan Kristen di abad pertengahan seharusnya bukan dalam
lingkup yang saling terisolasi antara satudengan lainnya sebab karya-karya
yang ada tidak akan dapat dipahami dengan baik tanpa saling
membandingkannya. Ia menyaran kepada praktik yang lebih spesifik lagi
bahwa kerja sastra bandingan adalah membandingkan karya-karya klasik
dengan karya yang tercipta di masa kini dan lahir di tanah Inggris untuk
memahami bagaimana perspektif bangsa lain dibandingkan dengan bangsa
Inggris.

Di dalam proses pembandingan, Arnold menyatakan adanya kerja yang


mencakup aktivitas pembandingan, pembedaan, penolakan, dan pemilihan
preferensi. Arnold dapat dikatakan memiliki kontribusi terhadap
perkembangan disiplin ilmu sastra bandingan dan lebih mempopulerkan sastra
bandingan meskipun ia bukan seorang peneroka.Sastra bandingan memiliki
latar belakang pada tradisi kritik romantik di dalam perdebatan mengenai
universalitas konsep keindahan, bentuk-bentuk seni, dan pertautannya dengan
beraneka rupa peradaban yang ada (lih. Franco, 2018, pp. 65–66), munculnya
persaingan masalah keunggulan antarbangsa bersamaan dengan kelahiran
pembicaraan mengenai negara bangsa di Eropa di awal abad ke-19 saat, dan
kelahiran nasionalisme dengan pernik yang terkait dengan konstruk sejarah
sastra yang terikat pada kebangsaan (Beecroft, 2013, pp. 2–3). Arnold
memotret bagaimana suasana persaingan keunggulan antarbangsa Eropa saat
itu dengan pernyataan semisal: “kritikus di Inggris harus mengetahui sastra di
luar Inggris dan harus memadankan diri dengan standar Eropa” (Boldor, 2003,

9
pp.33–34) atau “untuk mengetahui bagaimana bangsa lain [di Eropa] berpijak,
sehingga kita juga tahu bagaimana diri kita berpijak [dalam masalah
kesusastraan]” (Anderson, 1971, p. 290). Oleh sebab itulah, konsep sastra
dunia atau world literaturejuga seharusnya dilihat dalam konteks suasana di
Eropa di masa itu (Beecroft, 2013). Waktu itu batasbatas negara bangsa
modern di Eropa mulai menjadi perhatian serius dan pembagian karya sastra
berdasarkan negara bangsa menjadi bagian yang seharusnya tidak terpisahkan
di dalam konstruk wacananya.

Dalam situasi persaingan antarnegara dalam masalah sastra inilah, sastra


bandingan saat itu menjadi ajang “pengunjukan bakat nasional sembari
menempatkan beberapa pengarang dari negara lain sebagai sastrawan yang
berada pada tingkat di bawahnya” dan bukan sekadar sebagai kajian pemetaan
sastra nasional sebagai bagian dari sastra dunia (Lefevere, 1995, p. 2). Praktik
ini berlaku dalam konteks persaingan sastra di Eropa Barat. Namun ketika
kemudian sastra bandingan merambah pada karya sastra dari luar EropaBarat,
sastra bandingan mau tidak mau berhadapan dengan tradisi linguistik dan
poetika yang sangat jauh berbeda sehingga membuat sastra bandingan tidak
bisa menghindar dari kajian penerjemahan. Situasi makin mendekatkan sastra
bandingan kepada kajian penerjemahan manakala pada awal abad kedua puluh,
secara terpisah dan berlatar belakang tradisi sastra yang berbeda, Walter
Benjamin dan Ezra Pound menyatakan bahwa praktik penerjemahan karya
sastra ke dalam bahasa lain memberikan kehidupan yang baru kepada sebuah
karya sastra selain dapat membantu perkembangan atau memberikan pengaruh
terhadap bahasa, sastra, dan budaya suatu bangsa.

Pandangan ini kemudian turut memberikan status baru kepada penerjemah


sebab penerjemahlah yang memberikan nyawa baru kepada karya yang ia
terjemahkan serta menjadi penentu model nyawa yang seperti apa bakal
diberikan kepada terjemahan yang akan ia ciptakan dengan pertimbangan-
pertimbangan semisal target pembaca dan kesesuaian dengan konteks zaman
(Lefevere, 1995, pp. 6–7). Dari sinilah kemudian kajian penerjemahan tidak
berkutat hanya pada masalah presisi terjemahan dan perbedaan yang ada di
antara terjemahan-terjemahan atas sebuah teks. Kajian penerjemahan kembali
menemukan situasi baru di hadapan sastra bandingan pada tahun 70an dan
80an dengan perkembangan teori resepsi sastra yang menekankan pada
keberterimaan sebuah karya oleh pembaca dan dekonstruksi yang menekankan
pada destinasi teks. Berdasarkan konsep resepsi sastra, keberterimaan dan citra
sebuah karya pada karya terjemahan terletak di tangan penerjemah.
Penerjemah menjadi figur penting, bahkan bisa dikatakan lebih penting,
daripada pencipta asli sebuah karya. Di dalam pandangangerakan
dekonstruksi, karya terjemahan juga mendapatkan sandarannya. Karya
terjemahan adalah justru karya yang sampai di hadapan pembacanya meskipun
sebenarnya adalah transformasi dari yang original sedangkan karya original
tidak pernah menemukan destinasinya (Lefevere, 1995, pp. 8–9). Berdasarkan
dinamika yang ada atas sastra bandingan seperti baru saja dipaparkan,
penerjemahan kemudian mulai menjadi salah satu wilayah kajian dalam sastra
bandingan. Masuknya penerjemahan sebagai wilayah yang juga digarap di

10
dalam sastra bandingan diyakini oleh Bermann (2009) sebagai sebuah
keniscayaan ketika interaksi dan pemahaman antarkebudayaan di era
globalisasi menjadi kian menguat. Di dalam artikelnya terkait dengan sastra
bandingan dan kajian penerjemahan, Bermann (2009, pp. 438–442)
menunjukkan bahwa kajian penerjemahan di dalam sastra bandingan dapat
dilihat sebagai manifestasi dari tiga hal, yaitu: 1. Terjemahan sebagai sebuah
teks yang kompleks sebab melibatkan tidak hanya pemindahan dari satu
bahasa ke bahasa lainnya tetapi juga kompleksitas lintas disiplin yang mungkin
terlibat di dalam proses penerjemahan dan diskursus yang terlibat di dalam
prosesnya dari teks original, 2. Penerjemahan sebagai sebuah proses yang tidak
pernah selesai sebab bagaimanapun juga tidak pernah ada terjemahan yang
sempurna. Di dalamnya selalu melibatkan ekspansi dan transformasi kata-kata
dan makna dari teks original sehingga melahirkan multiplisitas teks, 3. Kajian
penerjemahan dan sastra bandingan sebagai dua displin ilmu yang berbeda
dapat saling berkolaborasi di dalam penggarapan isu-isu yang terkait dengan
penerjemahan di dalam sastra bandingan.

2. Apa yang Dibandingkan dalam Sastra Bandingan?

Gaither (1961, p. 154) berpendapat bahwa secara umum terdapat tiga


pendekatan di dalam sastra bandingan, yaitu kajian keterkaitan antara bentuk
dan isi, kajian pengaruh, dan kajian sintesis karya. Sementara itu, Brown
(2013) mencatat beberapa perbedaan pendapat tentang sastra bandingan mulai
dari perbedaan tentang karya sastra yang seperti apa dan dari mana yang harus
dibandingkan (kanon dan klasik Eropa dengan karya Eropa lainnya, kanon
Eropa dengan karya di luar Eropa, atau lebih luas dari itu) hingga batas
lingkup sastra bandingan yang seharusnya berkutat pada karya sastra saja atau
bisa meluas kepada hasil kebudayaan lainnya. Brown (2013) lantas membuat
beberapa catatan penting terkait dengan sastra bandingan di antaranya sebagai
berikut. Pertama, sastra bandingan adalah keniscayaan menunjukkan
persamaan dan perbedaan. Kedua, proses dan hasil dari pembandingan selalu
problematik karena tujuan membandingkan tentu dilakukan dalam rangka
mencari perbedaan dan persamaan sehingga luaran yang muncul tentu
perbedaan dan persamaan. Pernyataan di dalam simpulan terkait dengan
persamaan dan perbedaan antarkarya sebenarnya jatuh kepada ranah retorika.
Ketiga, sastra bandingan memperhatikan isu yang terkait dengan
keterbandingan. Sastra bandingan, meskipun bisa sajamembandingkan karya-
karya apa saja, tetap mempraktikkan pembandingan karya yang memang
pantas dan dianggap memiliki kadar keterkaitan tertentu untuk dibandingkan.
Keempat, dalam mengambil karyakarya sebagai objek sastra bandingan, harus
dipertimbangkan bagaimana karyakarya yang menjadi objek kajian mampu
menghasilkan percakapan satu sama lain dalam satu topik atau lebih yang
bernilai di dalam menyingkap karya-karya yang dibandingkan dan atau relevan
dengan topik pembicaraan.

Pada kajian folklor (folklore studies), kajian sastra bandingan dapat merujuk
kepada struktur cerita (grammar of narrative) dan fungsi naratif (narrative
functions) yang diperkenalkan oleh Vladimir Propp melalui bukunya yang

11
terbit pertama kali pada tahun 1928, Morphology of the Folktale(1968). Di
dalam kajian folklor Proppian, folklore dibandingkan struktur ceritanya dan
pola perkembangan ceritanya melalui fungsi aksi dari karakter yang ada di
dalamnya. Praktik sastra bandingan dalam kajian folklor lainnya adalah
dengan metode geografis-historis (Honko, 1986). Di dalam metode ini,
seorang komparatis folklor akan membaca dan membandingkan cerita yang
ada untuk melihat interpolasi antarcerita dan bagaimana ketergantungan
antarcerita dapat menyingkap keterkaitan dengan dugaan bentuk dan dari
wilayah mana cerita kemungkinan berasal. Dalam konteks yang lebih luas,
kajian folklor dapat dipergunakan untuk memetakan kemungkinan kekerabatan
budaya, distribusi struktur simbol dan makna, identifikasi pengaruh
lingkungan dan ekologi terhadap variasi yang muncul, serta hirarki pengaruh
satu kebudayaan kepada kebudayaan yang lain.

3. Dinamika dalam Perkembangan Sastra Bandingan

Pada tahun 1958, René Wellekmengkritik sastra bandingan karena belum juga
menghasilkan metodologi yang jelas di dalam praktiknya. Dengan ketiadaan
metodologi spesifik, sastra bandingan menjadi sebuah studi yang mengait-
kaitkan fragmen-fragmen yang tidak berkaitan di dalam jejaring keterkaitan
yang bisa dengan mudah dipecah dari keutuhan makna. Sastra bandingan
mazhab Perancis selama ini dianggap René Wellek hanya mengakumulasikan
sejumlah pararelisme, persamaan, dan terkadang identitas di dalam karya
sastra yang dibandingkan namun tidak pernah bisa menjelaskan makna dari
keterkaitan ini kecuali kemungkinan adanya fakta bahwa penulis terkemudian
membaca tulisan penulis sebelumnya. Ia mengkritisi bahwa kajian sastra
seharusnya bukan hanya pengakumulasian sumber dan pengaruh di dalam
sebuah karya namun tentang bagaimana bahan-bahan mentah dari sumber
yang tersedia diasimilasikan ke dalam struktur yang baru. Belum lagi masalah
yang timbul di dalam memahami keutuhan sebuah karya sastra yang hadir atas
dirinya sendiri dengan segala maknanya kemudian dipecah menjadi
pembicaraan tentang sumber dan pengaruh (Wellek, 2009, p. 164). Ia
menggugat studi sastra bandingan dalam tradisi Eropa yang berorientasi pada
kebanggaan nasional dan psikologi suatu bangsa melalui praktik
pembandingan karya sastrauntuk melacak sumber dan pengaruh sementara
melupakan nilai kesusastraan sebuah karya sebagai bentuk dari kesatuan
makna yang memiliki dunia dengan situasi khasnya, karakter dan kejadian di
dalamnya (Wellek, 2009, pp. 170–171). Gugatan Wellek ini yang menyindir
sastra bandingan sebagai kajian sumber dan pengaruh di dalam pemetaan
nasionalisme kultural di dalam tradisi Perancis kemudian kepada lahirnya
mazhab Amerika yang menekankan pada humanisme universal. Selain René
Wellek, nama lain yang terkenal dari mazhab ini adalah Henry H. H. Remak.

Selang beberapa dekade kemudian, kritik terhadap sastra bandingan muncul


kembali saat Susan Bassnett melalui bukunya Comparative Literature: A
Critical Introduction(1993) menyatakan bahwa sastra bandingan sebagai
disiplin ilmu dalam kadar tertentu dapat dikatakan sudah mati (Wang, 2010, p.
28). Meskipun demikian, Bassnett (1993, p. 47) juga menyatakan bahwa sastra

12
bandingan tidak benar-benar mati sebab sebenarnya iatelah muncul dalam
bentuk lain, yaitu pembandingan dan penilaian ulang model kultural Barat
dengan model kultural lain, berubah melalui metodologi baru menjadi kajian
gender dan budaya, pengkajian transfer interkultural melalui aktivitas
penerjemahan. Di dalam tulisannya terkemudian, Bassnett (2007) membahas
adanya perkembangan dalam pendekatansastra bandingan selain pengaruh
penerjemahan terhadap pembacaan yakni kajian pengaruh (influence) yang
melibatkan pencarian akan afinitas (kemiripan) dan intertekstualitas
(keterkaitan antarteks). Sementara itu di dalam buku berjudul Comparative
Literature: Theory, Method, Application (1998), Tötösy de Zepetnek
menyoroti perkembangan sastra bandingan. Ia (1998, pp. 15–19) menyatakan
bahwa sastra bandingan mulai bergeser kepada kajian budaya. Ini memiliki
implikasi pada sastra bandingan sebagai kajian sastra. Peletakan kajian sastra
ke dalam konteks kajian budaya telah menyebabkan kajian karya dalam
konteks kajian nilai kesastraan menjadi terpinggirkan sebab akhirnya faktor
budaya yang kerap menjadi fokus di dalam sastra bandingan.

Di balik deras kritik atas belum jelasnya teori dan metodologi sastra bandingan
untuk dapat disebut sebagai sebuah disiplin tersendiri di dalam kajian sastra,
Edmond (2016) justru tidak terlalu mempermasalahkannya. Menurutnya kerja
pembandingan bukanlah sebuah metode atau bahkan sebuah teknik akademik
melainkan sebuah strategi pewacanaan (discursive strategy) di dalam
merangkul dan memikirkan kembali keterkaitan antardisiplin. Sastra
bandingan tidak seharusnya meributkan diri pada aturan kebakuan di dalam
dirinya namun justru pada bagaimana sastra bandingan memiliki pengaruh
pada hubungan antardisiplin, menghasilkan temuan-temuan yang berpotensi
mengejutkan di dalam melihat manusia dan dunia. Dinamika dalam sejarah
perkembangan sastra bandingan selain melahirkan mazhab baru—seperti
terjadi dengan kelahiran mazhab Amerika Serikat yang membedakan diri
dengan mazhab Perancis dan kemudian disusul dengan munculnya mazhab
Cina pada akhir tahun 1970-an yang berkembang sebagai respons atas
Erosentrisme atas dua mazhab terkemuka sebelumnya di dalam sastra
bandingan (Lin & Huang, 2015)—kemudian juga melahirkan perluasan
lingkup sastra bandingan. Di dalam pendekatan sastra bandingan puritan, kerja
pembandingan terletak pada hubungan (connection) dan pengaruh (influence)
yang termanifestasikan dari kontak antara karya sastra satu dengan karya
lainnya. Kritik dari Wellek, Bassnett, dan Tötösy de Zepetnek melahirkan
pendekatan reformis. Pendekatan reformis mengerjakan sastra bandingan
dalam kaitan antara karya sastra dengan area lain yang terkait dengan wilayah
pengetahuan dan penciptaan seperti seni, filsafat, sejarah, ilmu sosial, agama,
dan segala bentuk ekspresi manusia (Blanariu, 2015, pp. 130–131).

Pembicaraan tentang keterbandingan antarkarya yang dijadikan objek kajian


juga menjadi pembicaraan di dalam dinamika sastra bandingan. Pendapat yang
menganggap tidak perlu adanya kontak langsung antarkarya objek kajian
dalam sastra bandingan mengajukan argumen bahwa persamaan yang ada dari
temuan dari karya yang dibandingkan malah menunjukkan adanya eksistensi
pengalaman manusia yang sifatnya universal di dalam pengungkapan

13
meskipun diekspresikan melalui tradisi karya dan latar budaya yang berbeda.
Sementara itu, pendapat yang lain justru menekankan perlunya kontak
langsung sebagai latar dari kerja pembandingan karya di dalam sastra
bandingan. Adapun akademisi Cina yang melibatkan diri dalam pembicaraan
sastra bandingan, bukan dalam rangka mengunyah-unyah sesuatu yang
sebelumnya sudah ada di dalam mazhab Perancis dan Amerika. Tersebutlah
misal nama Shunqing Cao yang memberikan pemetaan yang lebih jelas antara
mazhab yang sudah ada dengan mazhab Cina. Bidang kajian di dalam sastra
bandingan menurut Shunqing Cao (2007, pp. 39–41) dapat terjadi dalam
cakupan: (1) kajian lintas negara, (2) kajian lintas bahasa, (3) kajian lintas
disiplin, dan (4) kajian lintas peradaban.

Perkembangan baru di dalam sastra bandingan ini menurut Cao adalah sesuatu
yang wajar di dalam disiplin sastra bandingan. Akademisi Perancis sebagai
peletak dasar disiplin sastra bandingan memulai dari konteks saat isu tentang
lintasbangsa dan negara hadir di dalam pembicaraan tentang pengaruh dan
keterkaitan karya-karya sastra di Eropa. Kajian lintas disiplin menjadi ciri khas
mazhab Amerika. Mazhab Amerika memperluas kajian di dalam sastra
bandingan dari pembandingan antarkarya sastra kepada pembandingan karya
sastra dengan segala bentuk ekspresi manusia atau bersifat lintas disiplin serta
mengaitkan pengaruh sebuah karya sastra terhadap ekspresi manusia di negara
lain di seluruh dunia. Sementara itu, akademisi Cina mengembangkan sastra
bandingan kepada kajian lintas peradaban disebabkan adanya kesadaran
konteks yang berubah di dalam dialog antara Barat dan Timur saat meletakkan
dan membangun ulang konsep sastra dunia (world literature) yang sebelumnya
berporos pada tradisi Erosentris. Di dalam masalah variasi atas sastra
bandingan, Cao (2007, pp. 47–49) juga menjelaskan 49) juga menjelaskan ada
empat variasi di dalam lingkup kerja sastra bandingan, yaitu: (1) variasi pada
level linguistik, (2) variasi pada imagologie atau kajian mengenai citra suatu
bangsa/negara, (3) kajian variasi kesusastraan dan variasi tesktual yang dapat
meliputi themeatologi, genealogi, similaritas dan afinitas, dan (4) kajian variasi
budaya atau sistem dan pola kultural. Yang masuk di dalam area kajian ini
adalah fenomena penyaringan budaya (cultural filtering). Penyaringan budaya
adalah proses dialog dan komunikasi kesusastraan saat penerima akan
menyaring pesan-pesan kesusastraan dari sumber melalui pemilahan,
penolakan, penciptaan ulang sesuai dengan konteks tradisi dan budaya
miliknya.

Apa yang dipaparkan oleh Cao melengkapi orientasi pembicaraan di dalam


pendefinisian istilah sastra bandingan oleh Wellek dan Tötösy de Zepetnek.
Wellek (1970 [1942]) memberikan paparan mengenai lingkup kerja sastra
bandingan lebih kepada perbedaan pemaknaan akan istilah sastra bandingan. Ia
menyebut bahwa istilah sastra bandingan bisa masuk ke dalam tiga bahasan.
Pertama, kajian sastra oral yang dapat meliputi hal-hal seperti tema, pola,
bentuk cerita folklor, migrasinya, masalah narator dan audiencedaricerita
folklor, transmisi dan latar sosialnya yang mungkin berkaitan dengan bentuk
tulisnya. Kedua, kajian keterkaitan antara satu karya sastra dengan satu karya
atau karya-karya lainnya. Di dalam kajian ini, yang menjadi bahasan misalnya
adalah masalah pengaruh sebuah karya asing terhadap karya di suatu negara

14
atau bangsa, penerjemahan, faktor-faktor yang menyebabkan suatu karya bisa
masuk dan diterima di negara lain, konsep mengenai suatu hal yang dipegang
oleh seorang pengarang asing di suatu periode waktu dibandingkan dengan
pengarang di suatu negara di periode waktu yang sama atau berbeda. Ketiga,
kajian atas sebuah karya sastra dengan segenap totalitasnya yang dibandingkan
dengan sastra dunia (world literature).

4. Gairah Baru dalam Sastra Bandingan: Kelahiran Mazhab Cina

Saat kelesuan mendera kajian sastra bandingan di Barat, dunia Timur


meramaikan disiplin sastra bandingan dengan kehadiran mazhab Cina.
Kelahiran mazhab Cina di dalam sastra bandingan menggoyang sastra
bandingan dari pengaruh Erosentris. Fusco (2006) melihat kehadiran mazhab
Cina di dalam panggung sastra bandingan merupakan hal yang menarik dan
pantas dieksporasi dalam usaha Cina masuk di dalam panggung sastra dunia,
mendislokasi Erosentrisme, memindahkan teori Barat ke dalam konteks
kecinaan, dan menjadi bagian dari langkah akademisi Cina di dalam perebutan
panggung pusat sastra dan kebudayaan dunia. Lin & Huang (2015) melihat
kehadiran mahzab Cina di dalam sastra bandingan dengan sedikit berbeda.
Mereka (2015, p. 6) tidak berbicara tentang perebutan panggung dan
menekankan bahwa kajian sastra dunia di dalam kerja sastra bandingan tidak
lain adalah perkara membandingkan sebuah karya dari sebuah budaya yang
terproyeksikan oleh liyan di budaya lain. Oleh sebab itu, munculnya sastra
bandingan mazhab Cina merupakan penerimaan terhadap keanekaragaman
kultural dan pengakuan akan adanya berbagai variasi dialog dan pertukaran di
dalam membandingkan dan mengontraskan antara sastra Timur dengan sastra
Barat yang justru diperlukan di dalam disiplin sastra bandingan untuk mencari
perspektif liyan tidak hanya dalam konteks lintas budaya tetapi juga lintas
peradaban.

Hadirnya mazhab Cina dengan tokoh-tokoh seperti Tianhong Gu, Huihua


Chen, Kanghua Lu, dan Jingyao Sun justru bakal membuat sastra bandingan
tetap eksis dan terus berkembang (Cao, 2007; Lin & Huang, 2015; Wang,
2010). Wang (2010, pp. 31–32) berargumen bahwa derasnya laju globalisasi
serta pengaruh transnasionalisme dan kosmopolitanisme seharusnya secara
natural menjadikan sastra bandingan sebagai sebuah disiplin mulai dan tidak
bisa menghindari perluasan cakupan istilah sastra dunia (world literature)
sebagai sumber bandingan yang sebelumnya berisikan hanya karya sastra
besar dari tradisi sastra Barat. Sastra bandingan harus melintasi batas Barat
dengan Timur, bukan hanya karya klasik atau kanon Eropa, melintasi batasan
dari istilah sastra dunia yang menggunakan Eropa sebagai pusat bandingan
karya sastra, melintasi batas antara sastra dengan subjek relevan lainnya,
bahkan di dalam konteks berkembangnya mazhab Cina di dalam sastra
bandingan juga kerja banding lintas batas sastra Cina dengan sastra dari negara
Asia lain atau wilayah lainnya. Lebih lanjut, Jay (2014) melihat adanya
ketidakmungkinan untuk menahan perkembangan sastra bandingan kepada
praktik sastra bandingan yang bersifat lintas disiplin dan perjalanan teori dari
Barat ke Timur [seperti di dalam kelahiran mazhab Cina]. Malah sejatinya ia
percaya bahwa hal itu adalah sebuah kebutuhan demi perkembangan sebuah

15
disiplin ilmu. Sastra bandingan harus beroperasi di dalam ruang-ruang lintas
disiplin dan menjelajah ruang-ruang antarlokasi, identitas, dan kebangsaan
sebagaimana terdapati di dalam kajian-kajian lainnya.

5. Wilayah Baru dalam Sastra Bandingan

Tötösy de Zepetnek di dalam bukunya yang berjudul Comparative Literature:


Theory, Method,Application(1998) serta dua artikelnya yang berjudul
“FromComparative Literature Today toward Comparative Cultural Studies”
(1999) dan “About the Situation of the Discipline of Comparative Literature
and Neighboring Fields in the Humanities Today” (2017) menggabungkan
aspek-aspek di dalam sastra bandingan dengan kajian budaya menjadi suatu
pendekatan yang ia beri nama kajian budaya bandingan (comparative cultural
studies). Di dalam kajian budaya bandingan, sastra bandingan yang selama ini
sudah berlangsung tidak dihilangkan hanya diperluas sebagaimana mazhab
Amerika yang mengenal kajian lintas disiplin dengan menggunakan
metodologi ke-intradisiplin-an (analisis dan riset lintas disiplin dalam lingkup
ilmu humaniora), ke-multidisiplin-an (analisis dan riset lintas disiplin dengan
menggunakan sesuatu dari luar ilmu humaniora oleh seorang peneliti), dan
kepluridisiplin-an (analisis dan riset yang dilakukan melalui kerja tim dari
disiplin ilmu yang berbeda) yang juga merambah pada kajian penerjemahan
sebagaimanaarah Bassnett, kajian interart (lintas seni), intermedialitas (kajian
mengenai penyajian karya dan keterkaitan antarkarya melalui media yang
berbeda), dan digitalitas. Pembicaraan sastra bandingan yang mulai
menyinggung kajian intermedialitas juga dilakukan oleh Blanariu (2015).
Kajian intermedialitas (Wolf, 2011, p. 2) dilandasi atas kenyataan bahwa
media mempengaruhi bagaimana sebuah isi karya dapat dibayangkan untuk
diciptakan, bagaimana bakal disajikan, dan bagaimana penikmat karya
mempunyai pengalaman yang berbeda. Istilah intermedialitas ini menjadi
payung bagi beberapa istilah di dalam kajian karya yang terkait dengan
penggunaan, perluasan, dan adaptasi atau penyajian ulang melalui bermacam
media seperti multimodalitas, transmedialitas, dan remediasi (Baetens &
Sánchez-Mesa, 2015; Blanariu, 2015; Rajewsky, 2005).

Walaupun tidak menyinggung langsung perluasan sastra bandingan menjadi


kajian budaya bandingan ala Tötösy de Zepetnek, Lu (2017) menganggap
perluasan sastra bandingan kepada kajian budaya justru akan menghilangkan
identitas dari sastra bandingan. Ia mengusulkan perlunya sastra bandingan
membuka dirinya di dalam pendefinisian sastra dunia (world literature) dan
menghilangkan monolog. Lu tidaklah sendirian di dalam mengkritik sempitnya
sastra bandingan jikalau istilah ini hanya merujuk pada sastra kanon
yangberpijak awalnya pada paradigma Erosentris (bahkan kepada karya sastra
dari Timur yang dianggap bagian dari sastra dunia juga dikanonkan menurut
perspektif Erosentris) dan mensubordinasi karya sastra ke dalam ruang. Saussy
(2011), misalnya, juga mempermasalahkan penggunaan istilah sastra dunia
serta bagaimana konsep universalitas sastra diterapkan di dalam sastra
bandingan. Sastra bandingan harus menerima sebuah model kesusastraan yang
menerima adanya dunia-dunia (worlds) di dalam kemajemukan pengalaman,
proyeksi, referensi, dan kerangka rujukan kesusastraan umat manusia.

16
 ANALIS SIMPULAN

Sastra bandingan yang pada mulanya lahir untuk mengkaji sastra kanon dari Inggris, Jerman,
Perancis, Italia, dan Spanyol dalam konteks akar tradisi sastra Eropa, pengaruhnya terhadap
sastra satu sama lain, dan pengaruhnya terhadap sastra bangsa-bangsa lainnya di Eropa, di dalam
perkembangan selanjutnya mengalami penyegaran pada penghujung tahun 1970an dengan
munculnya mazhab Cina. Mazhab ini hadir dengan paradigma baru yang berusaha mendislokasi
pusat sastra bandingan dari Eropa kepada kesejajaran akan penerimaan dan pengakuan variasi-
variasi di dalam menempatkan keliyanan dalam dialog antara Barat dan Timur. Sementara itu,
dunia digital telah mempengaruhi dan merombak batas-batas tradisional yang berkenaan dengan
sastra, kepengarangan, konstruk baru akan identitas dan budaya, media dan pengalaman baru di
dalam mengekspresikan dan meresepsi karya sastra dan produk budaya lainnya (Romero López,
2009; Ty, 2018). Era digital menghadirkan perspektif kosmopolitanisme dan ruang interaksi
sosial yang berbeda dibandingkan dengan sebelumnya yang mempengaruhi ruang lingkup sastra
bandingan (Boruszko, 2013), budaya transmedia, dan redefinisi lintas budaya dalam era
konvergensi budaya di lingkungan digital (Baetens & Sánchez-Mesa, 2015). Dalam keadaan
inilah kemudian kajian intermedialitas menjadi ranah baru yang ramai dikaji di dalam sastra
bandingan. Melihat dinamika sastra bandingan dengan isu-isu terkininya, sastra bandingan masih
jauh dari mati dan justru terlihat akan terus berkembang.

JURNAL PEMBANDING 1
 ABSTRAK
PERMASALAHAN Bagaimana perkembangan sastra yang dibawa oleh para perempuan sebagai
salah satu penerus dari berjalannya proses kesusastraan Indonesia .

TUJUAN PENELITIAN Penelitian dalam jurnal ini ditujukan untuk memberikan informasi terkait
perkembangan karya sastra Indonesia yang ditulis oleh kaum perempuan sejak
1998 hingga saat ini.

METODE PENELITIAN Penelitian dalam jurnal ini menggunakan metode deksriptif analisis. Dengan
teknik menilik dan mencari dari berbagai sumber dan karya terkait penulis-
penulis perempuan tersebut.

HASIL PENELITIAN Perkembangan pesat terjadi dalam bentuk karya-karya sastra yang lahir oleh
adanya penulis-penulis wanita yang bermunculan dipelopori oleh Ayu Utami
sebagai pijakan awal pertumbuhan penulis-penulis wanita lainnya. Kontribusi
yang turut diberikan oleh para perempuan ini, menjadi penentu bagaimana
perkembangan sastra yang dibawa oleh para perempuan ini sebagai salah satu
penerus dari berjalannya proses kesusastraan Indonesia. Kemudian, terjadi
perubahan-perubahan gaya penulisan dalam hal pemenuhan selera pasar dan
pola tulisan murni yang saat ini mengikuti arus perkembangan zaman yang
tidak melulu menggunakan pola dan karakter tulisan senada, namun lahir hal-
hal baru dari penulis lain yang bermunculan.

17
KATA KUNCI Sastra, perempuan, karya

KESIMPULAN ANALISIS ABSTRAK


Jurnal ini membahas mengenai bagaimana perkembangan sastra yang dibawa oleh para perempuan
sebagai salah satu penerus dari berjalannya proses kesusastraan Indonesia. Penelitian pada jurnal ini,
ditujukan untuk memberikan informasi terkait perkembangan karya sastra Indonesia yang ditulis oleh
kaum perempuan sejak 1998 hingga saat ini. Dalam menyelesaikan penelitian di dalam jurnal ini, penulis
menggunakan metode deksriptif analisis, yaitu dengan teknik menilik dan mencari dari berbagai sumber
dan karya terkait penulis-penulis perempuan tersebut. Sehingga, hasil penelitian pada jurnal ini terjadinya
Perkembangan pesat dalam bentuk karya-karya sastra yang lahir, oleh adanya penulis-penulis wanita yang
bermunculan. Dipelopori oleh Ayu Utami sebagai pijakan awal pertumbuhan penulis-penulis wanita
lainnya. Kontribusi yang turut diberikan oleh para perempuan ini, menjadi penentu bagaimana
perkembangan sastra yang dibawa oleh para perempuan ini sebagai salah satu penerus dari berjalannya
proses kesusastraan Indonesia. Kemudian, terjadi perubahan-perubahan gaya penulisan dalam hal
pemenuhan selera pasar dan pola tulisan murni yang saat ini mengikuti arus perkembangan zaman yang
tidak melulu menggunakan pola dan karakter tulisan senada, namun lahir hal-hal baru dari penulis lain
yang bermunculan. Kata kunci yang di cantumkan juga, sudah dapat menceritakan topik apa saja yang
penting di bahas dalam bagian isi jurnal.

 ANALISIS PENDAHULUAN

PARAGRAF 1 Perkembangan sastra Indonesia yang pesat dan progresif menarik


perhatian para ilmuwan, pemerhati dan peneliti sastra Indonesia. Dalam
membicarakan perkembangan ini tentu saja kita harus berangkat dan
mengenali sejarah maupun perkembangan yang terjadi di dalam sastra
tersebut, khususnya yang terdapat di Indonesia sendiri. Dalam sastra,
kita menemukan bagaimana perempuan mendominasi lingkungan dunia
sastra yang fenomenal yang sebelumnya didominasi oleh para penulis
laki-laki. Kemunculan Ayu Utami sebagai pemenang sayembara yang
diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta menjadi api yang menyulut
semangat wanita lainnya untuk turut terjun ke dalam dunia sastra dan
menciptakan karyakarya hebat lainnya sesuai imajinasi dan pengetahuan
yang dimiliki oleh masing-masingnya. Latar belakang sosial yang
berbeda memunculkan berbagai ragam karya sastra lahir dari penulis-
penulis wanita lainnya yang mengikuti pergerakan dan jejak yang
dipelopori oleh Ayu Utami sebagai awal mula pembuka jalan bagi para
penulis wanita ini untuk diakui keberadaannya. Menilik berkembangnya
zaman dengan pesat, tentunya karya-karya dan pola penulisan juga
berkembang mengikuti pola dan tuntutan zaman yang berkembang.
Perkembangan ini juga dilihat pada apa yang terjadi dengan penulis
wanita hari ini yang cenderung laris karyanya di pasaran. Kecendrungan
ini lahir di dalam sejarah sastra sejak dimulainya masa jaya Ayu Utami
hingga lajur perkembangan pengaruh ini hingga hari ini dengan penulis
modern saat ini.

PARAGRAF 2 Peranan dan kontribusi yang diberikan oleh perempuan menjadi penting

18
sebagai pelengkap dalam sejarah sastra Indonesia untuk dapat
melakukan perbandingan antara karya yang dihasilkan oleh para
perempuan dengan karya-karya legenda sebelumnya yang diciptakan
oleh para pengarang laki-laki. Tidakkah para penulis perempuan ini juga
dapat melegenda sebagaimana mestinya dalam menciptakan karya sastra
yang serupa mengangkat tema dan permasalahan sosial masyarakat dari
sudut pandangnya sebagai perempuan dan dari sisi feminisme yang
dibawanya? Dalam hal ini peranan perempuan dilihat dari segi
produktivitasnya dalam menciptakan karya sastra dan pola-pola karya
sastra yang berubah hari ini dibanding dengan karya sastra yang lahir
sejak 1998 tersebut.

PARAGRAF 3 Melihat perkembangan Sastra Indonesia melalui sisi perempuan sebagai


tonggak penggerak ini menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Lalu
bagaimana perkembangan kesusastraan dalam lingkup perempuan yang
berada pada periode terakhir kesusastraan ini dan pengarang yang hadir
dalam era modern ini? Pembahasan tentang perempuan dalam sastra
selalu menjadi bahasan yang seringkali menjadi bahan perbincangan.
Bagaimana sesungguhnya peranan yang mereka berikan untuk
berkontribusi dalam perkembangan kesusastraan, khususnya pada
periode 1998 hingga saat ini yang terdapat di Indonesia? Pada periode
terakhir ini perkembangan kesusastraan di Indonesia modern ini
ditandai dengan banyak bermunculan penulis-penulis dari kalangan
perempuan yang karyanya tidak hanya mendapatkan banyak pujian
melainkan juga dapat bersaing dalam dunia pendistribusiannya yang
banyak diminati pembaca. Permasalahan mulai dari hal-hal seksual yang
berdampingan dengan agama dan Islami.

 ANALISIS METODE PENELITIAN

JENIS PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode deskriptif
analisis. Menurut Sugiyono, metode analisis deskriptif adalah stalistik yang
digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau
menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa
bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi.
Dalam penelitian ini metode deskriptif analisis digunakan untuk menjelaskan
tentang perkembangan yang dialami pola kepenulisan yang dibuat oleh para
perempuan mulai dari tahun 1998 sejak munculnya penulis Ayu Utami hingga
sampai pada masa kini melihat perkembangan dari bentuk pola dan jenis
tulisan yang dihasilkan oleh para penulis perempuan ini.
DESAIN PENELITIAN Desain penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan suatu keadaan atau
fenomena-fenomena yang terjadi dalam menganalisis perkembangan
perempuan dan sastra dalam sejarah sastra Indonesia.
TEKNIK PENGUMPULAN Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses
DATA
analisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang
telah terkumpul sebagaimana adanya, kemudian di jadikan menjadi sebuah
laporan.

19
TEKNIK ANALISIS DATA Teknik isi (content analysis) digunakan untuk mendalami setiap isi dalam
sastra Indonesia yang menjadi objek pendukung dalam penelitian ini. Data-
data tersebut dianalisis dengan menggunakan tiga prosedur, yaitu: Identifikasi,
membandingkan, dan aplikasi.

 ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN


RUMUSAN MASALAH Jelaskan perkembangan perempuan dalam sastra Indonesia [1998 – Sekarang],
serta penjelasan mengenai sastra dan selera pasar saat ini.

PENYELESAIAN PERKEMBANGAN PEREMPUAN DALAM SASTRA INDONESIA:


BERDASARKAN TEORI [1998 – SEKARANG]

Ditinjau dari sisi feminisme, sejak tahun 2000 begitu banyak fenomena
menarik yang terjadi pada pengarang perempuan Indonesia. Ayu Utami
menerbitkan novel Saman pada 1998. Novel ini mendapat begitu banyak
pujian, yang mana novel ini memiliki banyak pelajaran di dalamnya terutama
bagi para kaum dewasa dan juga bersifat jujur dalam penulisan dan argumen di
dalamnya. Novel ini menyentuh iman pembacanya. Akan tetapi, lahirnya karya
ini tidak terlepas dari berbagai kontroversi. Terlepas dari kontroversi yang
terjadi, Korrie Layun Rampan mencetuskan lahirnya angkatan 2000 dengan
menempatkan Ayu Utami sebagai tokoh muda yang memperbaharui warna
dunia kesusastraan Indonesia. Perempuan hadir dalam roman yang ada pada
1998. Misalnya, Ayu Utami mempublikasi karya yang penuh dengan deskripsi
panjang dalam sejarah kepenulisan kaum wanita. Sudut pandang yang
dibawakan oleh wanita dengan segala penghayatan perasaan membuat karya
yang tercipta penuh dengan cerita deskriptif dari setiap komponen laku dan
alur yang terjadi di dalam kisah kehidupan tokoh wanita dalam karya tersebut.

Seiring berjalannya waktu, ide penulisan dan karya sastra saat ini berubah
dalam segi pola dan tipografi penulisannya serta mengikuti selera pasar yang
diminati para konsumen saat ini. Penulis-penulis modern saat ini tidak lagi
terpaku pada deskripsi karya sastra panjang, rapat, dan monoton dalam
pembacaannya. Penulis saat ini memodifikasi bentuk karya sastra dengan
visual yang digandengkan dengan karya tulis di dalamnya, membangun
kutipan-kutipan pendek yang menggugah perasaan pembaca dalam sekali baca
sehingga hal-hal tersebut menjadi sesuatu yang membekas di hati pembaca
yang merasa bahwa apa yang tertulis adalah sebuah cerminan dari apa yang
sedang ia alami dalam hidupnya. Hal ini tentu berhubungan dengan selera
pasar yang sedang naik daun dan digandrungi saat ini. Secara literal dapat
dipaparkan, citra perempuan dalam karya-karya sastra Indonesia dapat
diklasifikasi menjadi empat bagian. Pertama, adanya keinginan untuk
merombak sistem hubungan laki-laki dan perempuan agar menjadi harmonis
dan bebas dalam menentukan pilihan termasuk dalam perihal menciptakan
sebuah karya. Kedua, adanya upaya untuk memprotes ketidakadilan gender
serta menuntut kebebasan dalam melakukan aktivitas di sektor publik. Ketiga,
usaha untuk menggugat ketidakadilan gender dalam budaya lokal, dalam hal
ini Jawa yang menganut patriarki yang kental. Dan terakhir adalah keinginan
untuk memperdengarkan suara perempuan yang mendekonstruksi dan
merekonstruksi nilai tradisi dunia perempuan.

20
Citra dan perkembangan perempuan dalam dunia kesusastraan adalah untuk
melihat citra yang berdiri pada masa sebelumnya dan membangun semangat
dan iklim baru dari pola tersebut. Citra yang dibangun oleh Ayu Utami sebagai
penulis perempuan dengan menciptakan karya yang berani menentang
stereotip-stereotip yang selama ini beredar di dalam masyarakat menciptakan
model dan pola pikir baru dalam perkembangan penulis perempuan, hingga
pada akhirnya bermunculan penulis-penulis perempuan lainnya. Citra Ayu
Utami yang sebelumnya telah dipercaya dapat memprakarsai munculnya
sejumlah penulis wanita lainnya untuk hadir dan memenuhi dunia sastra
dengan warna baru dan pola-pola unik yang lainnya. Kemenangan Ayu Utami
dalam Sayembara Mengarang Roman yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta
pada tahun 1998, menjadi titik balik bagi para perempuan dan pandangan yang
diarahkan kepada mereka. Perempuan dan sastra menjadi hal yang mencolok
dan menarik untuk dikaji, apabila dilihat dari sesuatu yang mereka hasilkan
serta keikutsertaannya
dalam membangun sebuah persepsi baru tentang esensi mereka di dunia
kepenulisan dan sastra. Khususnya apa yang terjadi pada era 1998, era di mana
para perempuan menjadi pusat perhatian yang mengubah pandangan dunia
sastra bahwa tidak hanya laki-laki yang dapat menghasilkan karya sastra yang
berkualitas di Indonesia.

Para perempuan yang tadinya dianggap hanya menjadi penikmat karya,


kemudian dapat menciptakan karya yang luar biasa dan menggemparkan dunia
sastra saat itu. Pasalnya menilik dari jejak sejarah generasi sastra Indonesia,
pengarang di Indonesia didominasi oleh pengarang laki-laki yang terkenal,
seperti Y.B. Mangunwijaya, Budi Darma, Sapardi Djoko Damono, Pramudya
Ananta Toer, dan lain sebagainya. Hal ini tentu menjadi pemantik semangat
perempuan lainnya untuk terus berkarya dan menorehkan nama mereka di
dalam jejak sejarah kesusastraan di Indonesia. Menurut Erowati dan Bahtiar
(2011: 86), periode terakhir dalam perkembangan kesusastran Indonesia
modern ini ditandai dengan kemunculan pengarang-pengarang perempuan
yang karyanya tidak hanya banyak dipuji dari pengamat sastra tetapi
diapresiasi oleh masyarakat dengan banyaknnya buku yang terjual. Tema-tema
yang mengekplorasi masalah seks bersanding dengan tema-tema Islami yang
ditulis pengarang Islam yang bernaung dibawah Forum Lingkar Pena (FLP)
sebuah komunitas penulis yang tidak hanya tersebar di kota-kota di Indonesia
tetapi memiliki cabang di luar negeri. Menurut Wiyatmi (2020: 3), situasi
mulai berubah pada tahun 2000-an. Diawali dengan kemunculan Ayu Utami
sebagai juara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta Saman (1998), yang
disusul dengan Larung (2003), Bilangan Fu (2008), dan karya-karya lainnya
yang menyusul kemudian. Pintu yang dibuka Ayu Utami disambut baik
dengan masuknya para penulis perempuan dalam penulisan sastra Indonesia,
antara lain Dee (Dewi Lestari), Nova Riyanti Yusuf, Jenar Mahesa Ayu, Eliza
V. Handayani, Helinatiens, Abidah El Khalieqy, Ratih Kumala, Dewi Sartika,
Oka Rusmini, Fira Basuki, Naning Pranoto, Maya Wulan, sampai Nukila
Amal, Okky Madasari, Ni Made Purnama Sari, dan seterusnya. Dari nama-
nama tersebut ada yang makin kreatif dalam berkarya, tetapi juga ada yang
mengalami jeda dengan berbagai penyebab.

Melihat bagaimana perempuan menulis sejak zaman Ayu Utami hingga hari

21
ini, terdapat perbedaan dalam selera pasar yang digandrungi hari ini. Melihat
bagaimana gejolak yang timbul ketika Ayu Utami mulai memunculkan diri ke
dalam dunia sastra, banyaknya perempuan yang muncul dengan berbagai
macam bentuk tulisan dan genre membawa perubahan dan berbagai macam
bentuk tulisan yang dikembangkan penulis perempuan hingga saat ini. Dari
generasi ini muncul juga penulis-penulis yang khusus menghadirkan tema-
tema Islami, misalnya dua bersaudara Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia.
Karya mereka jugadiapresiasi oleh masyarakat dengan banyaknya jumlah buku
yang terjual. Ketika Mas Gagah Pergi, kumpulan cerpen perdana Helvy Tiana,
pertama terbit pada 1997 dengan oplah 5.000 eksemplar terjual dalam sebulan
(Erowati dan Bahtiar (2011: 86).

Sastra dan Selera Pasar Saat Ini

Pada era pasca 1998 ini, munculnya penulis-penulis baru tidak lagi sebagai
ajang untuk menunjukkan apa yang tersirat sebagai sebuah penyampai pesan
belaka, namun juga untuk memenuhi selera pasar yang digandrungi saat ini.
Karya sastra populer mendominasi lapak lapak buku sastra hari ini. Novel atau
karya fiksi populer remaja menjadi destinasi yang ramai dikunjungi pembeli
daripada buku resep memasak dan buku sastra kanon lainnya yang telah lebih
dulu mendapatkan pengakuan pada kualitasnya. Namun, karya-karya yang
bergenre novel atau karya sejenis ini tidak lagi dapat ditampik dengan erba-
serbi bentuk karya yang hari ini mewarnai dunia kesusastraan di era modern
ini. Selera pasar menjadi hal yang penting untuk dilihat, demi dikenal dan
larisnya karya penulis-penulis tersebut di kalangan pembaca saat ini.

Mengikuti perkembangan zaman yang semakin modern dari hari ke hari,


bentuk karya sastra yang dihasilkan juga semakin beragam dan berwarna.
Karya sastra tidak lagi melulu didominasi soal paragraf-paragraf panjang yang
menjemukan dan membutuhkan waktu lama untuk membacanya. Karya sastra
saat ini juga hadir dengan kemasan dan bungkusan baru. Memasuki tahun
sekitar tahun 2018, karya sastra hadir dengan gaya baru dengan kutipan kata
singkat, puisi-puisi modern penggugah hati yang hadir di pasaran besar saat ini
dan juga digandrungi oleh para kaum muda hingga menengah hingga saat ini
seperti buku Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini yang ditulis oleh Marchella P,
buku Untuk Dibanting, buku Untuk Disayang oleh Rintik Sedu. Pengarang-
pengarang perempuan yang hadir sebagai masa pembaharuan dan penerus dari
yang terdahulu dengan warna dan citarasa baru dalam sastra. Hal ini menjadi
bukti bahwa peranan perempuan dalam dunia sastra hingga hari ini masih
cukup eksis dan konsisten. Saat ini memasuki era di mana novel-novel fiksi
remaja cukup diminati oleh kalangan pembaca. Menurut survei yang
didapatkan bahwa buku-buku atau novel remaja ini menjadi yang cukup laris
di pasaran dan menjadi best seller. Beberapa novel tersebut pun telah banyak
diangkat menjadi film layar lebar dan dijadikan drama serial televisi saat ini.
Begitu banyak karya-karya yang dihasilkan oleh para penulis perempuan
dalam hal ini karya-karya yang telah diangkat menjadi film atau karya digital
lainnya. Tulisan-tulisan yang
menyabet gelar penjualan terbaik di toko buku di Indonesia hari ini didominasi
oleh novel novel atau tulisan yang diciptakan oleh para perempuan dan telah
memiliki jutaan pengikut di akun sosial media masing-masing.

22
 ANALISIS SIMPULAN
Sastra dan perkembangannya tidak hanya terbentuk dari satu elemen saja sebagai pembangunnya. Sebagai
pencipta, bukan hanya laki-laki yang dapat menghasilkan karya berkualitas dan bermutu di hadapan para
penikmat. Kehadiran Ayu Utami pada 1998 membuktikan bahwa perempuan juga merupakan pendiri dari
struktur besar kesusastraan Indonesia yang hingga saat ini terus mengalami regenerasi dan menciptakan
penulis-penulis perempuan lainnya yang tidak kalah dalam menciptakan karya-karya baru yang membuat
dunia kesuesastraan Indonesia semakin beragam. Para penulis perempuan lainnya yang hadir dengan
membawa beragam bentuk tulisan, mulai dari motivasi, pendidikan, keagamaan, dan percintaan dengan
pembawaan dan karakter yang tumbuh dari masing-masing kontemplasi dan pembentukan karakter yang
berbeda untuk menghasilkan karya yang disebarluaskan dan dibaca oleh banyak pembaca. Pergerakan
yang dimulai oleh Ayu Utami ini menjadi inspirator bagi munculnya penulis wanita lainnya yang
bergerak dalam bidang kesusastraan. Indonesia memiliki banyak penulis wanita yang bergerak aktif
menciptakan berbagai karya sastra dari genre-genre yang berbeda mulai dari genre religi, roman, dan
pendidikan, serta masalah rumah tangga, sosial, dan percintaan. Dewi Lestari yang hadir dengan
keberaniannya sama dengan Ayu Utami, Helvy Tiana Rosa dengan genre religinya dan masih banyak lagi
penulis saat ini yang muncul dengan tulisan-tulisan roman remaja yang kembali digandrungi.

C.JURNAL PEMBANDING KE 2
 ABSTRAK

PERMASALAHAN Analisis teori sastra terbaru yang bisa dijadikan dasar kajian dalam
menganalisis karya sastra.
TUJUAN PENELITIAN Mengulas/Meneliti teori sastra terbaru perspektif Transdisipliner yang bisa
dijadikan dasar kajian dalam menganalisis karya sastra. Teori sastra terbaru ini
meliputi: (a) Teori Matematika Sastra, (b) Teori Fisiologi Sastra, (c) Teori
Fisika Sastra, dan (d) Teori Imunologi Sastra.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan adalah library research atau riset kepustakaan dengan
memanfaatkan penelusuran pustaka. Riset kepustakaan tidak sekadar membaca
literatur atau membaca buku-buku yang dibutuhkan untuk bahan penulisan
artikel. Metode pengumpulan data kepustakaan dilakukan dengan membaca
dan mencatat serta mengolah bahan penelitian yang sudah didapat .
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian Teori Sastra Terbaru Perspektif Transdisipliner menunjukan:
(a) Teori Matematika Sastra dengan memanfaatkan simbol matematika,
ternyata bisa menggugah agar hubungan keluarga semakin bagus. (b)Teori
Fisiologi Sastra merupakan perspektif pemahaman transdisipliner sastra yang
membahas tentang ekspresi tubuh. Konon, manusia itu mirip binatang, yang
sering tergiur pada ekspresi tubuh. (c) Teori Fisika Sastra, Alam itu
menyuguhkan fisika. Alam itu guru fisika bagi pengarang. Pengarang sering
menyuntikkan pesan melalui sebuah puisi. Puisi itu mencoba merangkai
getaran fisika sastra. (d) Teori Imunologi Sastra adalah teori yang muncul
ketika virus covid-19 merebak, sehingga terpikir daya imun. Imun berarti
ketangguhan atau kekebalan. Imunologi adalah ilmu tentang kekebalan tubuh.
Sastra itu mirip tubuh, membutuhkan imun.
KATA KUNCI Teori sastra terbaru, perspektif, dan transdisipliner

23
SIMPULAN ANALISIS ABSTRAK:

Jurnal ini mengulas mengenai teori sastra terbaru yang bisa dijadikan dasar kajian dalam menganalisis
karya sastra. Teori sastra terbaru ini meliputi: (a) Teori Matematika Sastra, (b) Teori Fisiologi Sastra, (c)
Teori Fisika Sastra, dan (d) Teori Imunologi Sastra. Metode yang digunakan adalah library research atau
riset kepustakaan dengan memanfaatkan penelusuran pustaka. Riset kepustakaan tidak sekadar membaca
literatur atau membaca buku-buku yang dibutuhkan untuk bahan penulisan artikel. Metode pengumpulan
data kepustakaan dilakukan dengan membaca, mencatat, mengkaji, dan mengolah bahan penelitian yang
sudah didapat. Hasil penelitian Teori Sastra Terbaru Perspektif Transdisipliner menunjukan: (a) Teori
Matematika Sastra dengan memanfaatkan simbol matematika, ternyata bisa menggugah agar hubungan
keluarga semakin bagus. (b)Teori Fisiologi Sastra merupakan perspektif pemahaman transdisipliner sastra
yang membahas tentang ekspresi tubuh. Konon, manusia itu mirip binatang, yang sering tergiur pada
ekspresi tubuh. (c) Teori Fisika Sastra, Alam itu menyuguhkan fisika. Alam itu guru fisika bagi
pengarang. Pengarang sering menyuntikkan pesan melalui sebuah puisi. Puisi itu mencoba merangkai
getaran fisika sastra. (d) Teori Imunologi Sastra adalah teori yang muncul ketika virus covid-19 merebak,
sehingga terpikir daya imun. Imun berarti ketangguhan atau kekebalan. Imunologi adalah ilmu tentang
kekebalan tubuh. Sastra itu mirip tubuh, membutuhkan imun. Selain itu, jurnal ini di sertakan dengan tiga
kata kunci, yang nantinya akan di jelaskan kembali di bagian hasil dan pembahasan.

 PENDAHULUAN

ANALISIS Sastra semakin pesat perkembangannya, pencipta sastra dan peneliti sastra juga
wajib meningkatkan kualitasnya baik dari segi pemahaman teori maupun proses
penciptaan sastra yang makin berkualitas. Tulisan ini akan membahas isu-isu
terbaru yang terkait dengan “Teori Sastra Terbaru Perspektif Transdisipliner”
yang bisa dijadikan dasar kajian dalam menganalisis karya sastra. Teori Sastra
Terbaru Perspektif Transdisipliner ini meliputi: (a) Teori Matematika Sastra, (b)
Teori Fisiologi Sastra, (c) Teori Fisika Sastra, dan (d) Teori Imunologi Sastra .

 ANALISIS METODE PENELITIAN

JENIS PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode Riset
kepustakaan. Penelitian kepustakaan atau yang juga dikenal dengan sebutan
studi pustaka, review literatur, atau literature review adalah jenis penelitian
yang dilakukan dengan mengumpulkan dan menganalisis data dari berbagai
sumber pustaka, seperti buku, artikel, jurnal, dan laporan penelitian. Data yang
dikumpulkan kemudian dianalisis untuk menjawab pertanyaan penelitian atau
untuk mencapai tujuan penelitian.
DESAIN PENELITIAN Desain penelitian pada jurnal ini adalah, adanya perumusan masalah, berupa
pertanyaan yang akan di jawab peneliti. Kemudian, melakukan penelusuran
literatur. Seperti buku, dan jurnal. Kemudian, menganalisis hasil penelitian ke
dalam bentuk laporan.
TEKNIK PENGUMPULAN Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses
DATA
analisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang
telah terkumpul sebagaimana adanya, kemudian di jadikan menjadi sebuah
laporan.
TEKNIK ANALISIS DATA Teknik isi (content analysis) digunakan untuk mendalami setiap teori sastra
terbaru transdisipliner. Data-data tersebut dianalisis dengan menggunakan tiga
prosedur, yaitu: Identifikasi, membandingkan, dan aplikasi.

24
 ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

RUMUSAN MASALAH Pembahasan lebih lanjut Teori Sastra Terbaru Perspektif Transdisipliner yang
meliputi: (a) Teori Matematika Sastra, (b) Teori Fisiologi Sastra, (c) Teori
Fisika Sastra, dan (d) Teori Imunologi Sastra
PENYELESAIAN Teori Matematika Sastra: Sastra dan matematika seolah-olah sulit
BERDASARKAN dipertemukan. Keduanya memiliki ruang yang berlainan. Keduanya berbeda
TEORI wilayah garap. Namun, esensinya bisa saling menunjang satu sama lain.
Matematika memiliki kebenaran mutlak atau eksakta. Sementara sastra itu
memiliki kebenaran relative. Aharoni (2014:1) menyatakan bahwa puisi itu
sering menyentuh matematika. Matematika itu juga indah seperti puisi.
Bahkan Growney (1994:21) menyatakan: “I find that students are pleased to
learn that mathematics can be found in literature and poetry as well as in the
sciences and finance and other traditional “applications.” Esensinya,
matematika itu sering bisa ditemukan dalam sastra. Jadi, berdasarkan pendapat
ini berarti matematika dan sastra itu bisa dipertemukan. Menurut hemat saya,
pertemuan keduanya bisa memunculkan perspektif teori kajian sastra yang
disebut matematika sastra. Menurut wawasan matematika sastra, ada puisi
yang bertujuan untuk kecerdasan pembaca. Puisi yang dilagukan, biasanya
menciptakan suasana semakin riang, disertai permainan matematika, dan
sambil tepuk tangan. Puisi dapat pula dijadikan acuan belajar matematika
sambil riang gembira. Bagi pemerhati etnomatematika, tentu saja hal ini sangat
penting agar pembaca mampu belajar matematika sambil berolah sastra.

Teori Fisiologi Sastra: Teori fisiologi sastra termasuk masih langka


terdengar. Teori ini juga baru pertama kali saya perkenalkan melalui forum
ilmiah. Semula, saya berpikir jauh, ketika berhadapan dengan sastra tentang
tubuh, ternyata membutuhkan teori kajian sebagai sebuah perspektif. Istilah
fisiologi saya temukan dalam bidang sastra melalui gagasan Nietzsche
(L˝orincz, 2020:79). Sungguh gagasan baru tentang fisiologi sastra ini. Intinya,
bahwa manusia itu sering mudah ingat terhadap fenomena tubuh. Ilmu tentang
tubuh itu disebut fisologi. Maka fisiologi sastra berarti perspektif pemahaman
transdisipliner sastra yang membahas tentang ekspresi tubuh. Konon, manusia
itu mirip binatang, yang sering tergiur pada ekspresi tubuh.

Istilah fisiologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu physis dan logos
yang berarti alam dan cerita. Metode ilmiah yang digunakan dalam fisiologi
bertujuan untuk mempelajari fungsi fisika dan kimia dari biomolekul, sel,
jaringan, organ, sistem organ, dan organisme secara keseluruhan. Istilah
“fisiologi” dipinjam dari bahasa Belanda, physiologie, yang dibentuk dari dua
kata Yunani Kuno: φύσις, physis, berarti “asal-usul” atau “hakikat” dan λογία,
logia, yang berarti “kajian”. Istilah “faal” diambil dari bahasa Arab, berarti
“pertanda”, “fungsi”, “kerja”. Atas dasar itu, maka fisiologi sastra bisa
diartikan sebagai ilmu sastra yang menceritakan tubuh, memfungsikan tubuh
sebagai cetusan estetis, dan teks-teks yang menggunakan tubuh sebagai
pijakan berkarya.

25
Menurut hemat saya, teori fisiologi sastra itu bisa berkembang dan bercabang-
cabang. Gejala tubuh manusia dalam sastra dapat berkembang luas: Pertama,
seksofisiologi sastra. Artinya, seksualitas dalam teks sastra yang
mengedepankan aspek fisik atau tubuh belaka. Asfar (2015:24-25) ketika
membahas cerpen berjudul Jangan Main-Main Dengan Kelaminmu,
memandang bahwa cerpen tersebut ada pintalan gaya feminism. Gaya itu
seolah-olah menjadikan tubuh perempuan sebagai objek fisiologi laki-laki.
Menurut teori fisiologi, memang tubuh wanita itu penuh keindahan. Oleh
sebab itu, kutipan cerpen berikut ini seakan-akan memberikan serpihan
seksualitas tingkat tinggi. Cinta di mulai dari mata turun ke perut dan dari
perut turun ke hati. Aneh, dari perut kok turun ke hati? Mungkin dari perut
turun ke bawah perut tapi mereka tidak tega mengatakannya walaupun tega
anaknya mempraktekkannya (Djenar Maesa Ayu, 2004: 29).

Teori fisiologi memberi keleluasaan pada sastrawan untuk melakukan


eksplorasi. Fenomena serupa memunculkan seksofisiologi sastra. Artinya
gejala seksualyang didorong oleh motivasi fisik atau tubuh semata. Kedua,
falosentrisme fisiologi sastra. Artinya fenomena seksualitas dalam sastra, yang
melukiskan bahwa perempuan lebih aktif dibanding laki-laki. Bandel (2010:3)
telah membeberkan realitas fisiofalosentrisme sastra. Menurut dia, metafora
bunga karnivora dapat dipahami (dan tampaknya dimaksudkan) sebagai
gugatan terhadap stereotipe kepasrahan perempuan. Perempuan yang sering
diibaratkan bunga yang madunya diisap kumbang, yaitu sebagai pihak yang
pasif, di sini disulap menjadi pihak yang aktif sebagai bunga penghisap “cairan
dari makhluk yang terjebak dalam rongga di balik kelopak-kelopaknya yang
hangat”. Tapi di sisi lain, di sini pun sekali lagi ejakulasi laki-laki menjadi
pusat segala kenikmatan: “Otot-ototnya yang kuat […] akan memeras binatang
yang masuk, dalam gerakan berulang-ulang, hingga bunga ini memperoleh
cairan yang ia hauskan. Nitrogen pada nepenthes. Sperma pada vagina.”
Vagina yang haus akan sperma – itukah representasi seks versi perempuan,
versi yang tidak falosentris? Dilihat dari segi biologis, representasi tersebut
bisa dikatakan tidak sesuai dengan anatomi tubuh dan fungsi seksual
perempuan. Dalam merasakan kenikmatan seksual dan mencapai orgasme
ketika berhubungan seks, bagi seorang perempuan semprotan sperma ke dalam
vagina jelas tidak terlalu berpengaruh, atau mungkin bahkan bisa dikatakan
tidak berarti sama sekali.

Ketiga, libidinal fisiologi sastra. Artinya sebuah dorongan seksualitas yang


tergerak karena tubuh. Tubuh bisa memancing libido seseorang. Sebaliknya,
tubuh yang kendor, keriput, dan tak berenergi sering meniadakan libido.
Realitas ini sering menarik sastrawan berolah imajinatif seksual tubuh. Lalu
ada pengalihan libido, ke boneka, penyanyi, penyiar, bintang film dll. Hal ini
telah dilukiskan oleh Apriansyah (2017:8) bahwa perubahan fisik yang dialami
sang istri; dagu berlipat dua, dada melorot, perut lembek, paha menyerupai
bantal kapuk tua, kondisi demikian membuat tokoh suami kehilangan gairah
untuk bercinta dengan sang istri. Orientasi libidinal tokoh utama dialihkan
kepada boneka Barbie lantaran boneka tersebut tampak menggairahkan dan
mampu membangkitkan impuls-impuls seksual dalam pikiran tokoh utama.

26
Pernyataan ini memuat pesan bahwa libido fisiologi sastra, mampu
menjelaskan pentingnya tubuh. Libido manusia akan meningkat manakala
menyaksikan tubuh yang sintal, molek, menawan, dan sejenisnya.

Keempat, biofisiologi sastra. Artinya, dorongan seksualitas dalam teks sastra,


manakala karya tersebut melukiskan tubuh biologis yang tampan, mulus,
molek, menawan, sintal, dan sejenisnya. Tubuh menjadi fenomena yang
menggiurkan. Tubuh memang memiliki daya pikat tersendiri. Di mata
sastrawan, tubuh menjadi komoditi estetis yang pantas disambut gembira.
Gambaran kemolekan tubuh, memiliki daya rangsang yang mampu menggoda
pembaca. Oleh karena itu, sastra tubuh senantiasa muncul pada setiap karya
sastra. Sastra tubuh ini dapat dipahami menggunakan perspektif teoretik
biologi sastra. Tubuh itu bagian yang paling memikat. Oleh sebab itu,
gambaran biologis itu juga sering disebut biologi sastra. Menurut hemat saya,
biofiksi, biopuisi, dan sejenisnya akan mengolah tubuh sebagai pijakan
berkarya.

Biologi sastra atau fisiologi sastra adalah perspektif memahami teks sastra
yang berkaitan dengan tubuh. Tentu saja, yang paling penting adalah
memahami makna di balik ekspresi tubuh. Eksplorasi tubuh oleh sastrawan
tentu saja memiliki alasan mendasar. Rosida (2016:1) pernah menyatakan
bahwa pembicaraan tentang tubuh, menyeret tubuh individual sebagai
keragawian atau tubuh sosial. Tubuh sering dibentuk sedemikian rupa
mewakili gambaran kecantikan. Bagian-bagian tubuh sebagai bahan empuk
(objek), untuk dijadikan sebagai penggambaran, dianggap mampu mewakili
estetika. Di era postmodern, banyak penulis yang mengeksplorasi “tubuh”
dalam karya sastranya. Tubuh memang memegang peranan penting, bernilai
seni dalam dunia pos modern. Bagaimana jika karya sastra menyangkut
dengan organ intim, seperti alat kelamin? Semiotisasi tubuh dalam sastra
menyeret gaya bahasa yang vulgar. Merujuk pada seks, bersifat impulsif,
irasional dan penuh gairah. Inilah yang selalu dinilai melampaui batas norma
dan budaya. Sebab, hal ini masih dianggap tabu dalam lingkaran masyarakat,
penyandang budaya timur. Sebagian kritikus sastra mengesahkan adanya
karya-karya yang mengangkat tubuh, bertemakan seks. Bahkan mengesplorasi
“alat kelamin”, dinilai sebagai karya sastra tingkat ekspresifitas tinggi, indah,
berani dan mengusung ide feminis. Banyak pembaca yang malah
meminggirkan karya sastra tersebut dari bacaannya Terlepas dari itu, diksi
yang disajikan belum dapat diterima oleh masyarakat umum.

Gaya bahasa menjurus kearah yang vulgar, erotis. Seperti pada “Wajah
Sebuah Vagina” karya Naning Pranoto, tentang ketidak adilan dan kekerasan
terhadap perempuan, “Saman” karya Ayu Utami menggambarkan tentang cinta
dan seks, namun tidak melepaskan diri dari penggambaran politik dan agama
yang dilakoni oleh setiap tokohnya. “Jangan Main-Main dengan Kelaminmu”
karya Djenar Maesa Ayu, dengan jelas dan lugas memaparkan kebebasan
tubuh dan diri perempuan. Noor (2005:19) menyatakan bahwa teori sastra itu
bagian dari ilmu sastra. Belajar dari pernyataan ini, maka teori fisiologi sastra
pun membutuhkan ilmu. Fisiologi sastra sebagai ilmu kajian atau penelitian

27
sastra memang masih langka dibahas. Jarang sekali para pengkaji sastra yang
menyebut istilah fisiologi sastra. Pada setiap perhelatan sastra, memang telah
sering muncul, pembahasan ihwal fisik manusia (tubuh), namun keilmuan
yang dipakai memahami biasanya menggunakan feminisme sastra.
Pemahaman semacam ini sah-sah saja, sebab realitas yang muncul memang
perempuan secara fisik atau biologis menjadi objek seksual laki-laki. Namun,
realitas sastra sering juga melebihi hal tersebut. Realitas sastra tidak hanya
membahas fisik perempuan, melainkan juga laki-laki.

Teori Fisika Sastra: Teori fisika sastra hampir belum pernah diperbincangkan
oleh ilmuwan sastra mana pun. Hal itu terjadi, karena ada asumsi bahwa sastra
dan fisika sepertinya dua wilayah yang sulit dipertemukan. Luxemburg dkk
(1989:6) seorang ilmuwan sastra menyatakan bahwa sastra itu sering
mengungkapkan sesuatu yang tak terungkap kan. Hal ini sering terjadi ketika
sastrawan bermain simbol fisika, mengamati segelas air atau kopi panas,
jadilah karya sastra. Cermin, juga sering menjadi metafor karya sastra tentang
metafisik. Hal-hal fisik sering menginspirasi sastrawan. Ketika sastrawan
mengamati batu, jadilah sastra. Sastrawan itu kadang-kadang berlaku sebagai
fisikawan imajinatif.

Fisikawan dan sastrawan tentu berbeda memandang sebuah cermin. Cermin


jelas benda fisik. Cermin mampu membayangkan apa saja. Pujangga berbeda
lagi ketika melukiskan cermin. Jadi barang yang satu ini, memang misterius.
Bahkan di dalam sastra mistik, bila orang akan menemukan dzat Tuhan bisa
memandang sebuah cermin. Penyair Sapardi Djoko Damono pun, juga
memandang cermin. Tentu saja naluri fisikawan bisa bercampur dengan
wawasan penyair. Sastra itu wilayah ilmu humaniora. Fisika itu wilayah ilmu
eksakta. Keduanya memiliki wilyah disiplin yang berbeda. Sampai detik ini
memang belum ada yang menautkan keduanya. Oleh karena itu jika ada yang
mencoba menarik benang-benang merah sastra dan fisika mungkin akan
‘dihadiahi’ dengan cibiran, terutama oleh para senior sastra yang sering anti
perubahan. Terlebih lagi para senior sastra mudah terbakar oleh bujuk rayu,
pengaduan para yunior, tentu pesoalan fisika dan sastra itu seolah-olah bumi
dan langit. Sastra dan fisika dianggap beda lefel. Menuang sisa kopi. Proses
fisika semacam itu, jadilah puisi gastronomi, yaitu puisi yang berkisah tentang
makanan. Maka dalam fisika sastra, boleh mengkaji larutan benda itu dalam
kaitannya dengan simbol kehidupan. Atas dasar hal itu, berarti keterkaitan
antara fisika dan sastra itu memang tak bisa terelakkan.

Teeuw (1983:9) pernah menyebutkan kalau puisi Chairil Anwar berjudul


Kawanku dan Aku telah larut. Larut yang dimaksud adalah tentu permainan
kata penyair. Konteks larut itu jelas meminjam istilah fisika. Penyair sadar atau
tidak sering memanfaatkan teori fisika untuk melukiskan realitas. Pelarutan
realitas ini menunjukkan bahwa sastra dan fisika memang bisa dipertautkan.
Maka kalau saya membaca pengakuan Mora (2016:1) tentang menyastrakan
fisika, justru banyak yang tercengang. Mora menuturkan seperti seorang
cerpenis, melanjutkan profil saya, jika pemirsa belum bosan, saya beritahukan
bahwa saya kuliah jurusan pendidikan Fisika tetapi lucunya saya menyukai

28
sastra. Kata lucu saya kutip dari pengakuan siswa-siswa saya ketika akhirnya
saya menjadi guru fisika. Sastra saya pelajari secara otodidak bersama teman
saya sejak tahun 2012. Saya tidak akan menjabarkan apa itu sastra menurut
siapa atau buku-buku apa. Bagi saya intinya sastra adalah cara terbaik untuk
menyampaikan makna.

Pernyataan Mora sangat meyakinkan bahwa istilah fisika sastra itu mungkin.
Gabungan sastra dan fisika, disebut transdisipliner, sebab telah mengaitkan dua
wilayah keilmuan yang berbeda. Ada perpindahan disiplin yang dipadukan,
sehingga memunculkan teori sastra terbaru yang disebut fisika sastra. Teori
fisika sastra lebih tepat disebut sebagai sebuah perspektif pemahaman dan
sekaligus pengembangan teori sastra. Teori fisika sastra merupakan sebuah
integrasi dua wilayah keilmuan yang berbeda wilayah garap. Namun
realitasnya kedua wilayah itu saling bisa isi-mengisi.

Menurut Mora (2016:2), “melihat bohlam di kamar, melintas di pikiran,


bohlam bisa menyala sebab di dalamnya ada filamen tipis yang terbuat dari
bahan yang namanya ‘wolfram.’ Saat diberi beda potensial, elektron-elektron
mulai mengalir. Filamen di dalam bohlam didesain sedemikian rupa sehingga
hambatannya besar, dan karenanya elektron-elektron yang melewati filamen
saling bertumbukan. Tumbukan ini membuat temperatur kawat menjadi
sedemikian tinggi dan tampak di mata kita bersinar. Andai elektron-elektron
itu bisa bicara, mangkinkah mereka akan protes pada manusia? Sebab
membuat jalannya dengan hambatan yang besar, begitu sempit dan berliku-
liku dengan sengaja. Dan saat mereka saling bertabrakan dalam filamen
wolfram itu, oleh karenanya suhu di sana cukup untuk membuatnya
terpanggang, manusia menikmati makanannya dengan lahap, tertawa-tawa
bersama keluarga serta kerabatnya, juga membaca majalah, buku dan
sebagainya.”

Pernyataan seorang fisikawan, ternyata sangat menarik. Getaran sastra yang


memanfaatkan estetika, tampak pada kata-kata indah. Kalau Teeuw (1983:2)
menyebut tergantung pada kata. Kata-kata andaikata electron itu bisa bicara,
ini sebuah gugatan estetis. Sastra saya pikir juga sering merambah pada
gugatan itu. Hanya saja, sastra sering kurang menambah pada seni-sendi fisika,
sampai hal-hal yang lembut, rumit, dan kecil. Menurut hemat saya, lampu,
buku, meja, kursi, batu, dan sebagainya adalah benda-benda fisika. Benda-
benda tersebut bukankah sering memantik para pengarang, sebagai rangsangan
simbolik. Bukankah berolah sastra itu merupakan seni menyatakan fisika,
menghidupkan hal-hal fisik, hingga memiliki ruh estetis.

Gagasan Mora, seorang fisikawan bilang, tingkat kemalasan (inertia)


berbanding lurus dengan massa suatu benda. Jika kamu mager alias malas
gerak mungkin kamu kebanyakan makan. Juga ketika sedang galau, maka
secara refleks saya menuliskan ini. Karena kata Einstein kelajuan akan
membuat waktu memendek, maka aku akan berlari saja agar menunggumu
tidak terasa selama itu. Sungguh gagasan itu amat menarik. Manakala
pengarang mampu menyublimkan suasana fisik, diramu secara imajinatif,

29
jadilah perkawinan hangat antara sastra dan fisika, sehingga lahir ilmu baru
fisika sastra.

Pengarang yang memiliki naluri fisikawan, saya kira mampu melukiskan


realitas fisik yang memukau. Yang dimaksud fisik, bukan sekedar barang.
Bukan pula sekedar mengamati benda mati, melainkan sampai pada peristiwa
fisika. Pengarang perlu memasuki wilayah fisika, yang mampu menghayati
sebuah perubahan fisika sebagai ekspresi humaniora. Perubahan fisika adalah
perubahan materi yang tidak disertai dengan pembentukan zat yang jenisnya
baru. Contoh perubahan fisika, pencampuran gula ke dalam air membentuk
larutan gula. Begitu juga larutan kopi dengan gula. Secara fisik gula berubah
dari bentuk padat menjadi bentuk yang terlarut dalam air, tetapi sifat-sifat gula
masih tampak dalam larutan itu, misalnya rasa manis masih ada, baik dalam
wujud padat maupun dalam bentuk terlarut dalam air. Perubahan ini tidak
mengubah baik sifat maupun struktur air. Perubahan yang terjadi hanya
fisiknya saja, dari cair menjadi padat (es), atau dari cair menjadi gas. Manakala
pengarang cerdas menangkap perubahan fisika, sebagai cermin perubahan
kultural serta humaniora tentu luar biasa.

Fisika dan sastra sesungguhnya memiliki kesamaan pandang, untuk


mengomunikasikan alam semesta. Wellek dan Warren (1989:3) mengakui
bahwa sastra itu sebuah kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Dari pernyataan
ini Amal (2016:552) juga menegaskan bahwa fisika itu juga membutuhkan
krativitas. Benda-benda fisika, perlu dikomunikasikan agar manusia mampu
memanfaatkannya. Ini sebuah gerak pulang ke sejarah, ketika seni dan sains
pernah suatu ketika berangkat dari tanah yang sama. Menapak tilas, kita bisa
melihat deretan situasi paralel antara gerakan dalam seni dan revolusi
dalam sains. Misalnya, pencahayaan interior domestik Vermeer dan
cahaya prisma Newton, Pointilisme Seurat dan kuanta cahaya,
Impresionisme Cezanne dan relativitas koordinat dalam ruang, lintas
temporal dalam yang spasial ala Kubisme dan relativitas ruang-waktu, Escher
dan geometri fraktal Mandelbrot dalam teori khaos daftarnya panjang. Yang
menarik adalah, revolusi dalam seni pada daftar di atas mendahului sains
satu dekade sebelumnya bahkan lebih. Semua seniman dan ilmuwan ini
berangkat dari pemikiran semesta yang luang, di dalamnya berlimpah dengan
banyak peluang bagi gagasan yang berbeda dan tak biasa. Mereka
bereksperimen dengan medium, bermain-main dengan teknik,
mempertanyakan segala ujung, batas, dan asumsi-asumsi yang terberi dan
dipercaya selama ini, sembari terus mengasah pengetahuan dan
keterampilan secara progresif. Seniman atau ilmuwan, keduanya kerja
kreatif yang berbicara tentang hal yang sama dalam bahasa yang berbeda.
Sains dan seni keduanya memetakan teritori yang sama, sebuah pandangan
atas dunia.

Saya ingin menarik sebuah situasi paralel lain dari kedua bidang ini, yaitu
fisika dan sastra. Keduanya bukan sebuah korespondensi linier, namun
pemetaan yang lebih mirip jejaringan. Di sini fisika elementer menjadi
menarik, dalam kait-mengaitnya dengan luang, peluang, bahasa dan sastra.

30
Simpul pertama: partikel-partikel sub-atomik menghidupi ruang luang dalam
arti sesungguhnya (bayangkanlah inti atom sebagai sebulir padi di dalam
stadion bola, atau elektron yang serupa lalat-lalat dalam katedral), meski
secara ontologis mereka bukan realitas fisik, namun semata
‘kecenderungan’ untuk ada. Kedua, peristiwa sub-atomik hanya bisa
terukur dan teramalkan lewat statistik distribusi peluang, tampilannya
tergantung pada konteks pengamatan dan memaksa pengamat untuk tak lagi
sekadar menonton namun mesti terlibat aktif. Semesta ini meminta untuk
dialami, peristiwa dan tampilannya psikedelik dan ilusif, hanya
menyisakan jejak dan getar membingungkan sementara dengan gesit
mereka telah menghambur pergi, terus, terus, entah ke mana. Ketiga,
masalahnya bagaimana membahasakan sesuatu yang serupa hantu ini. Sastra,
pertama dan terakhir, niscaya berurusan dengan bahasa dan merupakan proses
panjang berbahasa. Sastra dan fisika memang dua hal yang berbeda, nmun
dapat bersinergi. Sastra seing membidik hal-hal fisika, termasuk benda-benda,
sebagai simbol ekspesi. Sastra sering memanfaatkan realitas benda alam
semesta untuk mengurai fenomena apa saja. Itulah sebabnya fisika sastra
memang telah saatnya mendapat perhatian. Fisika sastra, adalah perspektif
memahami karya sastra yang memanfaatkan hal-hal fisik sebagai simbol.
Fisika sastra, merupakan upaya menyastrakan fisika dan sebaliknya sekaligus
memfisikakan sastra.

Teori Imunologi Sastra: Imunologi sastra adalah perspektif teori sastra


terbaru. Perspektif ini baru muncul ketika virus covid-19 merebak, sehingga
terpikir daya imun. Imun berarti ketangguhan atau kekebalan. Imunologi
adalah ilmu tentang kekebalan tubuh. Sastra itu mirip tubuh, membutuhkan
imun. Maksudnya antara sastra dan tubuh itu berkembang, tumbuh, dan
berproses. Imunologi sastra berarti ilmu tentang kekebalan sastra. Imunologi
saya pinjam dari ilmu kedokteran atau kesehatan. Ilmu ini ternyata cocok
untuk menjaga imunitas sastra. Manakala sastra itu memiliki imun, akan tegar
ketika ada virus datang. Sastra itu ibarat makhluk, juga sering termakan virus.
Itulah sebabnya daya imunitas diperlukan bagi ketegaran, kenyamanan, dan
kesegaran sastra. Karya sastra akan tangguh apabila system imun lancar.
Menurut Suardana (2007:1) sistem imun merupakan sistem yang sangat
kompleks dengan berbagai peran ganda dalam usaha menjaga keseimbangan
tubuh. Seperti halnya system indokrin, sistem imun yang bertugas mengatur
keseimbangan, menggunakan komponennya yang beredar di seluruh tubuh,
supaya dapat mencapai sasaran yang jauh dari pusat. Atas dasar gagasan itu,
ternyata sastra pun membutuhkan imun yang tersistem. Tubuh sastra yang
kurang imun, akan mudah rapuh. Teeuw (1988:31) menegaskan bahwa pada
zaman kolonial belanda sastra menaburkan ideology, agama, dan politik.
Gejala semacam ini tentu saja bisa menjadi virus sastra. Pembatasan gerak
sastra, akan menyebabkan tubuh sastra rentan. Hal senada juga disampaikan
oleh Taum (2015:1) bahwa sastra dan politik dari sisi historiografi tidak pernah
berjalan berdampingan secara damai dan harmonis. Harmoni sastra itu penting,
agar tidak memunculkan memori yang negative. Harmoni sastra akan ditandai
oleh imun yang kuat, sehingga hubungan mesra antara pihakpihak terkait dapat
tercapai. Jika hal itu terlaksana maka akan tercapai happy literature, artinya

31
sastra yang membahagiakan.

Seberapa jauh sastra mampu membahagiakan dapat dipahami menggunakan


perspektif imunologi sastra. Imunologi sastra adalah perspektif pemahaman
sastra, yang membahas aspek kekebalan. Sastra itu seperti organ hidup
manusia. Sastra itu juga seperti biologi yang senantiasa berproses. Dalam
proses tersebut seringkali ada gangguan beragam virus. Virus-virus sastra,
setahu saya ada yang berasal dari dalam tubuh sastra, yang saya sebut vitus
internal. Ada juga virus eksternal, yang berasal dari luar tubuh sastra. Baik
virus internal maupun eksternal, apabila tidak dicegah, diobati, dan diberi
penangkal akan membahayakan eksistensi sastra itu sendiri.

Untuk itu imunitas sastra harus ditata, agar tetap sehat. Imunitas adalah
kekebalan, yang dipelajari dalam imunologi. Sastra membutuhkan imunitas.
Terlebih lagi ketika suasana pandemi yang semakin menggejala. Imunologi
berakar dari kata imunitas yang berarti kekebalan tubuh (Endraswara, 2020:
xv). Untuk menjaga imunitas sastra, bisa belajar dari ruh ilmu burung. Ilmu
burung memuat tiga hal, yaitu: (1) burung itu tahan serta mampu
menyesuaikan suhu apa pun, (2) burung memiliki kicauan yang menyenangkan
sehingga manusia terpesona, dan (3) burung memiliki mitos-mitos luar biasa,
serta bisa diajak bermain. Ketiga hal ini mampu melahirkan kekebalan
manusia setelah diserang corona bertubi-tubi. Imunologi juga berarti ilmu yang
mempelajari kemampuan tubuh untuk melawan atau mempertahankan diri dari
serangan patogen atau organisme yang menyebabkan penyakit.

Sastra, di era wabah corona ini membutuhkan kekebalan. Ilmu burung,


memberikan kekebalan berarti ketahanan sastra akan diraih. Ketahanan itu
suasana ketangguhan. Dengan meminjam ilmu kesehatan, maka sastra, telah
diupayakan untuk mencapai imunitas kultural. Belajar pada burung, selain
tangguh jelas inspiratif. Daya imunitas ketika corona merebak, memang
semakin rentan. Oleh sebab itu, imunologi sastra perlu trik khusus. Imunologi
dikembangkan oleh para peneliti untuk membuat model pencegahan melalui
pendekatan sistem imun, baik seluler maupun humoral. Upaya ini bisa ditiru
oleh pemerhati sastra. Benturan corona, akan tersingkir apabila imunitas kuat.
Fungsi-fungsi imunitas sastra akan berjalan lancer, manakala insan yang
berolah sastra tidak saling ‘sikut-sikutan’, artinya saling menjegal satu sama
lain. Namun, perlu diingat bahwa insan sastra itu sedikit banyak juga memiliki
sifat iri dengki, sehingga kalau ada yang tidak dijadikan pembicara seminar
sastra saja ada yang langsung kebakaran jenggot.

Pengendalian diri insan sastra itu akan meningkatkan imunitas. Sebaliknya,


jika para insan sastra itu tidak akur, saling mencubit, saling mengkritik yang
tidak sedap, tentu akan mengganggu fungsi-fungsi imun di tubuh sastra. Maka,
menurut Suardana (2007:2) untuk melaksanakan fungsi imunitas, di dalam
tubuh terdapat suatu sistem yang disebut dengan sistem limforetikuler. Sistem
ini merupakan jaringan atau kumpulan sel yang letaknya tersebar diseluruh
tubuh, misalnya didalam sumsum tulang, kelenjar limfe, limfa, timus, system
saluran napas, saluran cerna dan beberapa organ lainnya. Jaringan ini terdiri

32
atas bermacam-macam sel yang dapat menunjukkan respons terhadap suatu
rangsangan sesuai dengan sifat dan fungsinya masing-masing. Belajar dari
jaringan-jaringan tubuh itu, saya kira sastra pun perlu penguatan jaringan.
Salah satu penguatan jaringan yang perlu dikembangkan yaitu komunikasi
sastra. Dari perspektif imunologi sastra, jaringan itu penting, akan tersistem
komunikasi yang lancar. Oleh karena setiap insan sastra sering memiliki
tuntutan yang berbeda-beda, terutama tuntutan pribadi, maka perlu dikelola
secara profesional. Imunologi sastra sangat diperlukan untuk survival sastra.
Sastra sering kali tergoyang oleh suasana politik, terperdaya oleh segelintir
orang, dan sering terkoyak-koyak oleh orang yang memiliki kepentingan
pribadi

 ANALISIS KESIMPULAN

Hasil penelitian terkait teori sastra terbaru menunjukkan hal sebagai berikut.
1.Teori Matematika Sastra Pemanfaatan simbol matematika, ternyata bisa menggugah agar hubungan
keluarga semakin bagus. Matematika sastra itu bisa lebih luas dari sekadar sastra matematika. Puisi
matematika boleh melukiskan apa saja tentang hidup. Termasuk lukisan perjalanan hidup atau dikenal
dengan sebutan sangkan paraning dumadi. Matematika ternyata sangat lentur dan fungsional, apa saja
boleh dilukiskan menggunakan simbol matematika.
2.Teori Fisiologi Sastra, Ilmu tentang tubuh itu disebut fisiologi. Maka fisiologi sastra berarti perspektif
pemahaman transdisipliner sastra yang membahas tentang ekspresi tubuh. Konon, manusia itu mirip
binatang, yang sering tergiur pada ekspresi tubuh.
3.Teori Fisika Sastra,
Alam itu menyuguhkan fisika. Alam itu guru fisika bagi pengarang. Pengarang sering menyuntikkan
pesan melalui sebuah puisi. Puisi itu mencoba merangkai getaran fisika sastra. itulah hakikat kehidupan
alam semesta.

4.Teori Imunologi Sastra.


Imunologi sastra adalah perspektif teori sastra terbaru. Perspektif ini baru muncul ketika virus
covid-19 merebak, sehingga terpikir daya imun. Imun berarti ketangguhan atau kekebalan.
Imunologi adalah ilmu tentang kekebalan tubuh. Sastra itu mirip tubuh, membutuhkan imun.
Maksudnya antara sastra dan tubuh itu berkembang, tumbuh, dan berproses. Imunologi sastra
berarti ilmu tentang kekebalan sastra. Imunologi saya pinjam dari ilmu kedokteran atau
kesehatan. Ilmu ini ternyata cocok untuk menjaga imunitas sastra.

33
BAB III
PEMBAHASAN

A. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN JURNAL UTAMA

KEUNGGULAN Jurnal ini membahas perkembangan sejarah dan isu-isu terkini sastra
bandingan dengan sangat rinci. Apalagi, saat penulis merangkum
keseluruhan isi jurnal pada abstrak dengan jelas, berikut dengan kata
kunci. Bagian pendahuluan yang dipaparkan sudah baik sebab
menjelaskan latar belakang yang terkait dengan judul artikel. Tinjauan/
kajian pustaka yang disajikan pun sudah lengkap dan juga jelas sebab
memadukan berbagai lektur yang terkait dengan judul artikel sehingga
pembaca mudah dalam menemukan dan memahami informasi terkait
dengan judul artikel. Jurnal ini juga di tulis dengan ISSN, sehingga dapat
di pertanggung jawab kan.
KELEMAHAN Terdapat beberapa kata asing yang tidak di jelaskan secara rinci.
Pembaca harus mencari pengertian kata asing tersebut di internet.
Kemudian, jurnal ini condong lebih menjelaskan perkembangan sejarah
sastra dunia, dari pada sastra indonesia.

B. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN JURNAL PEMBANDING 1

KEUNGGULAN Jurnal ini menjelaskan dengan jelas dan sangat konkret mengenai
bagaimana perkembangan sastra yang dibawa oleh para perempuan
sebagai salah satu penerus dari berjalannya proses kesusastraan
Indonesia. Penelitian pada jurnal ini, ditujukan untuk memberikan
informasi terkait perkembangan karya sastra Indonesia yang ditulis oleh
kaum perempuan sejak 1998 hingga saat ini. Dalam menyelesaikan
penelitian di dalam jurnal ini, penulis menggunakan metode deksriptif
analisis, yaitu dengan teknik menilik dan mencari dari berbagai sumber
dan karya terkait penulis-penulis perempuan tersebut. Sehingga, hasil
penelitian pada jurnal ini terjadinya Perkembangan pesat dalam bentuk
karya-karya sastra yang lahir, oleh adanya penulis-penulis wanita yang
bermunculan. Dipelopori oleh Ayu Utami sebagai pijakan awal
pertumbuhan penulis-penulis wanita lainnya. Kontribusi yang turut

34
diberikan oleh para perempuan ini, menjadi penentu bagaimana
perkembangan sastra yang dibawa oleh para perempuan ini sebagai salah
satu penerus dari berjalannya proses kesusastraan Indonesia. Kemudian,
terjadi perubahan-perubahan gaya penulisan dalam hal pemenuhan selera
pasar dan pola tulisan murni yang saat ini mengikuti arus perkembangan
zaman yang tidak melulu menggunakan pola dan karakter tulisan senada,
namun lahir hal-hal baru dari penulis lain yang bermunculan. Kata kunci
yang di cantumkan juga, sudah dapat menceritakan topik apa saja yang
penting di bahas dalam bagian isi jurnal.
Selain itu, jika di tinjau dari tata letak ataupun layout, jurnal ini tergolong
sudah sangat rapi. Identitas jurnal juga sudah lengkap.
KELEMAHAN Tidak ada abstrak dalam bahasa inggris di dalam jurnal. Kemudian,
beberapa kata tidak di awali dengan huruf kapital. Namun, di luar dari hal
tersebut, jurnal ini sudah tergolong sangat bagus. Bahasa yang di gunakan
mudah di pahami oleh pembaca.

C. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN JURNAL PEMBANDING 2

KEUNGGULAN Di lihat dari aspek tata letak, identitas jurnal tertata rapi. Penulisan antar
paragraf rapi dan terlihat jelas perbedaan setiap pembahasannya. Margin
kanan kiri, atas dan bawah serasi dan terstruktur. Isi jurnal tersusun
dengan runtun. Pembaca dapat memahami materi yang terdapat pada
jurnal dengan baik. Di lihat berdasarkan isi, setiap struktur
pembahasannya mulai dari abstrak sampai kesimpulan di tulis dengan
jelas dan berkaitan satu sama lain. Tujuan penelitian sesuai dengan judul
yang di bahas. Metode penelitian di bahas dan di jelaskan dengan bagus
dan jelas. Hasil dan pembahasan pada jurnal ini di jelaskan dengan rinci,
di tambah dengan contoh-contoh puisi, potongan dialog cerpen, yang
menarik pembaca. Jurnal ini juga di tulis dengan ISSN, sehingga dapat di
pertanggung jawab kan.
KELEMAHAN Bahasa yang di gunakan dalam jurnal cenderung bertele-tele sehingga
terjadi pemborosan kalimat. Selain itu, jurnal ini menggunakan bahasa
yang jarang di dengar, apalagi saat membahas sesuatu kata yang bersifat
Vulgar.

35
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Ketiga jurnal ini memang memiliki keunggulan serta kekurangan. Namun, meski begitu ketiga
jurnal ini memiliki kualitas yang cukup baik untuk digunakan sebagai referensi belajar atau
penelitian terutama untuk mata kuliah Teori sejarah sastra. Dapat kita lihat dari segi isi jurnal
pertama, kedua dan ketiga menjelaskan materi dengan cukup bagus, detail, kompleks dan cukup
lengkap serta banyaknya pendapat para ahli yang mendukung penelitian di dalam ketiga jurnal.
Meskipun ketiga jurnal memiliki perbedaan, tetapi ketiganya memberikan informasi yang
berguna untuk menambah pengetahuan para pembaca.

B. SARAN

Dalam penulisan makalah Critical Journal Review ini, penulis menyadari bahwa penyusunan
makalah tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan senantiasa membantu penulis dalam upaya evaluasi. Penulis berharap, bahwa
dibalik ketidaksempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini ditemukan sesuatu yang
bermanfaat bagi pembaca.

36
DAFTAR PUSTAKA

Perempuan dan satra dalam sejarah sastra Indonesia . Pratiwi Retno Endah Padang ,Universitas
Andalas ,2021,Vols. 10, 2.(1978-6646).

Perkembangan sejarah dan isu-isu terkini dalam sastra bandingan . NUgrahaDipaSurakarta ,


Universitas Muhammadiyah Surakarta ,2021,Vols. 4, 2.(2615-725X).

Teori Sastra Terbaru Transdisipliner . Endraswara Suwardi Yogyakarta,Universitas Negeri


Yogyakarta 2021,Vols. 2,2.(2746-7708).

37

Anda mungkin juga menyukai