Anda di halaman 1dari 9

LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Vol.7, No.

2, Juli 2017 e-ISSN 2549-2594

KAJIAN KODE BAHASA, SASTRA DAN BUDAYA DALAM


KUMPULAN CERPEN PILIHAN KOMPAS 2013 SEBAGAI
PEMILIHAN BAHAN AJAR PROSA FIKSI PADA
MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA,
SASTRA INDONESIA DAN DAERAH FKIP UNPAS
BANDUNG

Setiawan
Dosen PBSID FKIP Universitas Pasundan
Email: setiawan@unpas.ac.id

Abstrak

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik cerpen Kompas 2013 melalui
pendeskripsian hasil analisis sistem kode dan pemananfaatan sebagai bahan ajar. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif-analitis, artinya setiap data yang diperoleh dianalisis. Data
kualitatif diperoleh dari hasil analisis terhadap karya sastra sesuai menurut teori telaah sastra.
Berdasarkan hasil analisis terhadap kode bahasa, empat cerpen pilihan kompas mempunyai
karakteristik kode bahasa yang berbeda satu sama lainnya. Kode sastra, tergambarkan pada ragam
gaya bahasa yang dibuat pengarang. Kode budaya dalam empat cerpen ini memiliki unsur-unsur
budaya seperti sistem kepercayaan, sistem kemasyarakat dan sistem mata pencaharian hidup.
Nilai-nilai dalam empat cerpen terdiri atas nilai moral, nilai sosial dan nilai agama/religius. Data
kuantitatifnya dilihat dari aspek hasil analisis mahasiswa dengan nilai tertinggi 90 dan nilai
terendah 50. Selanjutnya, berdasarkan analisis kode bahasa, kode sastra dan kode budaya terhadap
cerpen dan pedoman kriteria pemilihan bahan ajar, serta pemikiran dosen mata kuliah, maka
cerpen pilihan kompas 2013, dapat diandalkan sebagai materi atau bahan ajar karena mengandung
nilai-nilai berdasarkan hasil analisis.

Kata Kunci:Kode Bahasa, Kode Sastra, Kode Budaya, dan Bahan Ajar.

Abstract

This research is intended to know the characteristics of short stories Kompas 2013 through the
descriptions of code analysis and utilization of the results as teaching materials. This research
uses descriptive-analytical method, meaning that every data obtained is analyzed. Qualitative data
obtained from the analysis of literary works according to the theory of literature review. Based on
the results of the analysis of the language code, four short stories of compass choices have the
characteristics of different language codes with each other. Literary code, depicted on the variety
of styles made by the author. Cultural codes in these four short stories have cultural elements such
as belief systems, community systems and living livelihood systems. Values in four short stories
consist of moral values, social values and religious /religious values. Quantitative data seen from
the aspect of student analysis results with the highest score of 90 and the lowest score 50.
Furthermore, based on the analysis of language code, literary code and cultural code on the short
story and the criteria of the selection of teaching materials, as well as the thought of lecturers,
Reliable as a material or teaching material because it contains values based on the results of the
analysis.

Keywords:Language Code, Literature Code, Culture Code, and Course Matter.

103
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Vol.7, No.2, Juli 2017 e-ISSN 2549-2594

I. PENDAHULUAN penafsiran yang berusaha untuk menyu-


Ilmu sastra saat ini menjadi ilmu sun kembali arti historik. Ketiga, pena-
yang mulai diminati, walaupun tetap be- fsiran hermeneutik baru yang terutama
lum dapat dikategorikan menjadi salah diwakili oleh Gadamer berusaha mem-
satu bidang ilmu yang menarik bagi pe- perpadukan masa silam dan masa kini.
serta didik. Kondisi seperti ini bisa kita Keempat, tafsiran-tafsiran yang dengan
lihat dari berbagai sisi pendapat yang sadar disusun dengan bertitik tolak pada
berkembang di tingkat mahasiswa. Ada pandangannya sendiri mengenai sastra.
yang memandang sastra hanya dalam Kelima, tafsiran-tafsiran yang bertitik
ujaran orang lain, dan ada juga yang pada suatu problematik tertentu. Ke-
memahami dengan cara meneliti lang- enam, tafsiran-tafsiran yang tidak lang-
sung beroleh pengalaman. Maka, untuk sung berusaha agar secara memadai
memperoleh ilmu sastra secara utuh kita sebuah teks diartikan, melainkan hanya
harus mampu menyesuaikan dengan tu- ingin menunjukkan kemungkinan-ke-
juan sastra seperti yang diungkapkan mungkinan yang tercantum dalam teks,
Rusyana (1982:6) bahwa sastra harus sehingga pembaca sendiri dapat menaf-
mempunyai tujuan beroleh pengalaman sirkan.
dan pengetahuan tentang sastra. Pada perguruan tinggi khususnya
Beroleh pengalaman dan penge- program studi Pendidikan Bahasa, Sas-
tahuan dalam sastra tidak bisa dilakukan tra Indonesia setidaknya ada pembe-
sebagian saja, tetapi tujuan ini mempu- lajaran prosa fiksi yang mencakup no-
nyai tahapan-tahapan atau proses untuk vel, cerpen, hikayat dan karya fiksi lain-
mendapatkan pengalaman dan pengeta- nya. Di antara jenis prosa fiksi tersebut,
huan ini perlu dimiliki oleh setiap orang maka minat baca mahasiswa sebagian
dengan melakukan apresiasi dan kajian besar pada cerpen. Dari minat mahasis-
teori agar tujuan pembelajaran sastra da- wa nampaknya cerpen bisa dijadikan
pat tercapai. karya sastra yang disenangi oleh para
Pendapat lain yang menguatkan mahasiswa karena dengan alasan teks-
tentang tujuan sastra yang baik yaitu ba- nya yang tidak panjang dan bisa dibaca
gi siapapun yang mengapresiasinya, ka- sekali duduk dengan tidak memerlukan
rena ketika mengapresiasi sastra akan waktu yang panjang.
melibatkan tiga aspek sebagaimana di- Pada saat ini masih banyak ke-
ungkapkan Squire dan Taba seperti yang sulitan yang ditemukan pembaca dalam
dikutip Aminuddin (2013:34) yaitu (1) memahami cerpen. Hal itu disebabkan
aspek kognitif, (2) aspek emotif dan (3) beragamnya sistem kode yang diguna-
aspek evaluatif. Tujuan-tujuan tersebut kan dalam karya sastra tersebut. Di sisi
akan sangat bermanfaat bagi pembaca lain, banyak cerpen yang tidak sesuai
sastra atau peserta didik, apabila peserta secara budaya dengan kondisi budaya
didik mampu mempunyai variasi atau masyarakat kita. Hal ini bisa disebabkan
pendekatan dalam menginterpretasi sas- latar belakang pengarang, keadaan pe-
tra dengan baik. ngarang dan budaya pengarang. Menu-
Ada enam cara atau jenis inter- rut Teeuw (1984:83) memahami kon-
prestasi yang biasa digunakan dalam vensi budaya dalam karya sastra sering
upaya membantu memahami teks karya bersamaan dalam konvensi bahasa da-
sastra tulis seperti yang dikemukakan lam karya sastra sehingga sulit untuk
Luxemburg (1986:63) Pertama, penaf- dipisahkan di antara keduanya, sehingga
siran yang bertitik tolak dari pendapat, untuk memahami karya sastra perlu ki-
bahwa teks sendiri sudah jelas. Kedua, ranya peserta didik atau siapapun

104
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Vol.7, No.2, Juli 2017 e-ISSN 2549-2594

(baca:pembaca) memahami kode baha- proses evaluasi sastra dapat dilakukan


sa, kode sastra dan kode budaya dalam dengan beberapa cara, di antaranya: (1)
karya sastra. analisis terhadap struktur dan kode teks-
Penganalisisan tersebut bertolak tual; (2) ana-lisis terhadap horizon hara-
dari asumsi yang dikemukakan Aminud- pan pembaca; (3) analisis terhadap
din (1995:55) pertama, karya sastra hubungan timbal balik antara 1 dan 2.
merupakan gejala komunikasi yang ber- Nampaknya sangat penting kajian ini
kaitan dengan pengarang, wujud karya dilakukan agar karya sastra yang di-
sastra sebagai sistem tanda, dan pem- ajarkan mampu menambahkan wacana
baca. Kedua, karya sastra merupakan positif bagi peserta didik dan umumnya
salah satu bentuk penggunaan sistem bagi bangsa. Langkah itu perlu ditempuh
lambang (system of sign) yang memiliki dengan suatu analisis dan penelitian.
struktur dalam tata tingkat tertentu. Keti-
ga, karya sastra merupakan fakta yang II. KAJIAN TEORETIS
harus direkonstruksi pembaca sejalan Kode
dengan dunia pengalaman dan penge- Menurut Luxemburg (1986:92)
tahuan yang dimilikinya. bahwa yang disebut dengan kode adalah
Landasan di atas, pada penelitian tanda-tanda yang merupakan sebuah
ini peneliti mencoba menggunakan kaji- sistem. Hal ini diperkuat dengan apa
an semiotik sebagai suatu pendekatan yang dikatakan Seger (1978:9) bahwa
ilmiah dalam memahami karya sastra kode merupakan sistem tanda mana pun
dari aspek kode bahasa, kode sastra dan yang dengan persetujuan sebelumnya
kode budaya sebagai usaha untuk pem- antara sumber dan sasaran yang digu-
bacaan suatu tanda dan lambang yang nakan untuk menggambarkan dan mem-
diberikan pengarang kepada pembaca. bawakan situasi.
Karena menurut Seger (1978:18) perta- Dua pernyataan ini menjelaskan
nyaan pertama yang harus dihadapi bahwa setiap tanda dalam cerita yang
pembaca dalam situasi pembacaan yang berfungsi untuk menggambarkan situasi
sebenarnya, bukan dengan cara manakah penceritaan khususnya yang mendukung
teks tersebut harus ’dibongkar’, tetapi dalam tema penceritaan adalah sebuah
dalam bahasa atau kode yang mana bentuk kode yang membangun cerita
suatu teks ’disusun’. tersebut.
Menurut Barthes (2007:223) yang Di sisi lain ada dua arti untuk me-
menguatkan pendapat Seger di atas bah- mahami istilah kode sebagaimana yang
wa problema yang dihadapi bukan yang diungkapkan Berger (2010:205) yaitu,
berhubungan dengan usaha mengintros- pertama, kode menunjukkan bentuk
peksikan memeriksa motif-motif yang status yang sistematis, aturan-aturan dan
ada pada si narator bukan pula mengins- sebagainya, seperti kode Napoleon, kode
trospeksi efek-efek yang dilakukan oleh Hamurabi. Kedua, arti kode menyangkut
narasi atas pembaca. Tetapi problema- suatu ide yang rahasia, seperangkat ben-
nya adalah tentang bagaimana mendes- tuk, huruf atau simbol yang menga-
kripsikan sistem kode yang dilewati- burkan arti, tetapi yang dapat dipecah-
ditaati si narator dan si pembaca se- kan bila Anda mengetahui pokok
hingga bisa menjadi signifie-signifie di penyusunan dari kode tersebut.
sepanjang cerita itu sendiri. Dari pendapat di atas dapat diam-
Langkah ini sebagai tahapan eva- bil pemahaman bahwa yang disebut
luasi karya sastra sebagaimana diung- dengan kode adalah sekumpulan tanda-
kapkan Seger (1978:88) bahwa analisis tanda dalam sebuah teks ataupun kon-

105
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Vol.7, No.2, Juli 2017 e-ISSN 2549-2594

teks yang perlu dipahami dengan me- kegiatan membaca-dan-memahami-teks-


nguasai pokok-pokok kode itu dan se- sastra.
gala bentuk lambang, huruf, kata atau Kristeva seperti yang dikutip oleh
tanda tersendiri. Dalam menganalisis Zaimar (2014:97) menegaskan bahwa
karya sastra dengan sistem kode yang kode sastra pada hakikatnya tidak
menjadi alat pembedahnya, maka pem- terbatas pada satu bahasa saja, kode itu
baca tidak bisa lepas dari ketiga sistem dapat melampaui berbagai bahasa se-
kode penting yaitu kode bahasa, kode hingga menjadi tak terbatas.
sastra dan kode budaya. Dalam sastra sebenarnya bisa
terjadi pemakaian kode yang sama
Kode Bahasa antara pengarang dan pembaca. Bukan
Menurut Luxemburg (1986:92) hanya ada kode sastra secara khusus
bahwa kode bahasa itu dicantumkan tetapi ada Istilah lain yang dipakai
dalam kamus-kamus dan tata bahasa. dalam teori Amanat Roland Barthes se-
Pendapat lain menguatkan perihal lang- perti kode aksian yang merupakan prin-
kah untuk memahami kode bahasa yang sip bahwa di dalam tuangan bahasa
dijelaskan Teeuw (1991:19) bahwa kode secara tulis perbuatan-perbuatan itu ha-
bahasa bisa dipahami ketika kita me- rus disusun secara linear. Berikutnya
maknai bahasa sehari-hari yang tidak Kode proaretik atau kode tindakan-
dimilikinya: urutan kata, pemakaian /lakuan dianggapnya sebagai perlengka-
morfem bahasa, irama, dan seterusnya. pan utama teks yang dibaca orang;
Penjelasan kode bahasa tersebut antara lain, semua teks yang bersifat
menjadi landasan teori dalam upaya naratif.
menganalisis kode bahasa pada aspek Ada yang perlu diperhatikan pem-
bahasa yang sulit/asing dipahami pem- baca manakala akan membahas atau ber-
baca dan untuk memudahkannya, maka hadapan dengan karya sastra yaitu ra-
kata tersebut diklasifikasikan dalam ben- gam atau aspek kode sastra seperti yang
tuk jenis kata seperti kata benda, kata diungkapkan Teeuw (1983:17) sebagai
kerja, kata sifat kata bilangan dan jenis berikut.
kata lainnya. 1) Perlu saya ulang bahwa kode sastra
Pengkajian ini menguatkan pe- tidak lepas dari kode bahasa. Bahasa
mahaman bahwa kajian kode bahasa dengan segala sesuatunya adalah
menjadi sangat penting dalam mema- sesuatu yang diberikan, yang tidak
hami teks-teks sastra secara konteks dapat dihindari, tetapi yang harus
kebahasaan dan sebagai media utama dimanfaatkan sebaik mungkin.
dalam karya sastra. 2) Tetapi walaupun pada prinsipnya
setiap pengarang sastra setuju
Kode Sastra bahwa bahasa sehari-sehari harus
Menurut Miller seperti yang diku- dihilangkan kelunturannya, biasanya
tip oleh Seger (1978:18) kode sastra mereka lebih cenderung mengang-
dapat dirumuskan sebagai suatu sistem gap bahasa sebagai kawan daripada
tanda-tanda verbal yang dipergunakan lawan. Bentuknya yang spesifik ti-
untuk menggambarkan atau menyampai- dak dihiraukan oleh pemakai dan
kan informasi. Teeuw mengungkapkan pendengarnya, asal cocok dengan
(1991:14), sesungguhnya kode sastra itu maksudnya, asal sesuai dengan kode
tidak mudah dibedakan dengan kode bu- bahasa dan tidak menimbulkan salah
daya, meskipun begitu, pada prinsipnya paham, dan sering sekali dalam
keduanya tetap harus dibedakan dalam pengutaraan bahasa sehari-hari ter-

106
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Vol.7, No.2, Juli 2017 e-ISSN 2549-2594

dapat yang berlebih-lebihan, yang bagian dalam penceritaan suatu karya


redundan. Ada dua prinsip universal sastra. Kode budaya ini bisa dipahami,
utama yang berfungsi dalam kode manakala kita sudah mengetahui teori
bahasa sastra ini: prinsip ekuivalensi tentang budaya atau kebudayaan dari
atau kesepadanan; dan prinsip devi- unsur-unsur dan nilai-nilainya.
asi atau penyimpangan. Berger (2010:205) mengatakan
3) Tetapi sistem konvensi sastra tidak bahwa kode budaya (cultur code) meru-
hanya ditentukan oleh kemungkin- pakan struktur rahasia yang membentuk
an, kelonggaran dan pembatasan perilaku kita… atau setidaknya mempe-
yang diberikan oleh sistem bahasa ngaruhi kita. Kode budaya adalah pema-
itu sendiri. haman terhadap latar kehidupan, kon-
4) …karya sastra merupakan dunia teks, dan sistem sosial budaya. Semen-
yang otonom, yang tidak terikat ke- tara Barthes seperti yang dikutip Santosa
pada dunia nyata, kecuali melalui (1993:33) menjelaskan bahwa kode bu-
makna unsur bahasa yang dipakai di daya atau acuan merupakan peranan
dalamnya. metalingual. Latar sosial budaya yang
5) …bahwa dunia rekaan yang wajib terdapat dalam sebuah cerita rekaan
saya bangun berdasarkan data baha- memungkinkan adanya suatu kesinam-
sa karya sastra itu mempunyai rele- bungan dari budaya seluruhnya.
vansi dan signifikasi. Kode gnomic atau kode cultural
6) …dengan kata lain, sebuah karya merupakan acuan teks ke benda-benda
sastra harus merupakan sebuah ke- yang sudah diketahui dan dikodifikasi
seluruhan yang mempunyai sebuah oleh budaya. Kode ini merupakan pera-
struktur yang konsisten dan koheren, nan metalingual. Hal ini terlihat faalnya
di mana setiap bagian merupakan bila yang terjadi dalam susastra itu dihu-
unsur-unsur esensial dan menempati bungkan dengan realitas budaya. Karena
tempat yang layak dan wajib. cerita rekaan memungkinkan adanya
suatu kesinambungan dari budaya sebe-
Ragam atau aspek kode sastra lumnya.
tersebut menjadi landasan kuat bahwa Menurut Chapman dalam Berger
pengkajian sastra tidak cukup dengan (2010:26), kelahiran karya sastra dipra-
pengkajian kode bahasa tetapi memer- kondisikan oleh kehidupan sosial buda-
lukan pengetahuan dan pemahaman ya pengarangnya. Karena itu, sikap dan
yang lebih tentang sistem konvensi sas- pandangan pengarang dalam karyanya
tra yang didasarkan pada aturan konven- mencerminkan kehidupan sosial budaya
sional teori dan sejarah sastra. masyarakatnya.
Dalam penelitian ini penulis men- Kaitan budaya dan sastra memang
coba akan menjabarkan ragam kode sas- dua sisi yang tidak bisa dipisahkan da-
tra dengan membatasi pada ranah bahasa lam hal ini. Ratna (2010:415) menge-
sastra atau gaya bahasa yang digunakan mukakan bahwa yang memaknai sastra
sebagai bentuk penyimpangan atau bisa itu hanya masyarakatlah. Sejalan dengan
disebut dengan deviasi. pernyataan tersebut Teeuw (1984:83)
bahwa untuk memahami suatu roman
Kode Budaya kita harus memahami konvensi sosio-
Tahapan ketiga dalam analisis budaya setempat.
karya sastra dalam upaya mengkaji me- Alasan yang sama diungkapkan
ngapresiasi karya sastra adalah dengan Pradopo (2001:55-56), menyatakan bah-
memahami kode budaya yang menjadi wa karya sastra sebagai tanda terikat

107
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Vol.7, No.2, Juli 2017 e-ISSN 2549-2594

pada konvensi masyarakatnya, karena adalah sebuah cerita yang dibaca dalam
merupakan cermin realitas budaya ma- sekali duduk, kira-kira berkisar antara
syarakat yang menjadi modelnya. setengah sampai dua jam. Pendapat Poe
Seorang semiolog asal Prancis lebih menitik beratkan cerpen dalam hal
yaitu Roland Barthes berpendapat bah- waktu pembacaan karena dilihat dari
wa ada jenis-jenis kode yang paling segi berapa lamanya seseorang dalam
penting yaitu kode sosial, kode estetik membaca sebuah cerpen. Bentuk cerpen
dan kode logis. ini masuk dalam karangan prosa fiksi.
Ketiga kode tersebut cenderung Isi dari cerpen ini sama halnya dengan
berubah-ubah (dinamis) berbeda dengan novel. Hanya saja cerpen memiliki plot
kode ilmiah yang cenderung statis. Ha- yang tunggal tidak ada penyimpangan-
kikatnya ketiga kode tersebut ialah pe- penyimpangan dalam alur penceritaan
nemuan manusia dan bagian dari produk seperti halnya novel.
kultur (budaya). Beberapa pendapat tersebut kira-
Beberapa persamaan dan perbeda- nya dapat diambil kesimpulan bahwa
an pada pendapat tersebut bahwa karya yang disebut dengan cerpen adalah
sastra memang tidak bisa terlepas de- karya sastra naratif yang bersifat fiksi
ngan pengarang sebagai bagian dari dengan plot tunggal dan bisa dibaca
pencipta, penikmat dan penjaga budaya. sekali duduk, sehingga sepanjang-
Maka penganalisisan kode budaya harus panjangnya cerpen tidak akan melebihi
dikembalikan kepada unsur dan sistem novel.
budaya setempat sesuai dengan yang
diceritakan pengarangnya. Bahan Ajar
Majid (2009:173) berpendapat
Cerpen bahwa yang disebut dengan bahan ajar
Secara etimologis bahwa ‘cerpen’ adalah segala bentuk bahan yang digu-
suatu akronim dari cerita pendek yang nakan untuk membantu guru/instruktur
diambil dari istilah bahasa Inggris yaitu dalam melaksanakan kegiatan belajar
short story atau diterjemahkan ke dalam mengajar.
bahasa Indonesia tepatnya menggunakan Pendapat lain telah diungkapkan
istilah cerita pendek atau cerpen. Bebe- Iskandarwassid (2011:171) bahwa bahan
rapa pendapat di bawah ini akan men- ajar merupakan seperangkat informasi
jelaskan bahwa pendefinisian cerita yang harus diserap peserta didik melalui
pendek sudah lama dikenal di kalangan pembelajaran yang menyenangkan.
ahli sastra di berbagai negara. Dapat ditarik kesimpulan bahwa
Menurut Sedgwick seperti yang yang disebut dengan bahan ajar adalah
dikutip Tarigan (2011:179) bahwa cer- segala bentuk yang disusun untuk mem-
pen adalah penyajian suatu keadaan bantu pengajar dalam menyampaikan
tersendiri atau suatu kelompok keadaan informasi atau kegiatan pembelajaran
yang memberikan kesan yang tunggal kepada siswa.
pada jiwa pembaca. Dikatakan tunggal
karena titik permasalahan yang dibe- III. METODE PENELITIAN
rikan dalam sebuah cerpen tidak banyak Secara terminologis, metode pene-
penyimpangan atau digresi penceritaan, litian dapat didefinisikan sebagai cara
sehingga pembaca bisa secara langsung ilmiah untuk mendapatkan data yang
memahami maksud dari suatu cerpen. valid dengan tujuan dapat ditemukan,
Pendapat Poe seperti yang dikutip dikembangkan, dan dibuktikan, suatu
oleh Nurgiyantoro (2010:10) cerpen pengetahuan tertentu sehingga pada

108
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Vol.7, No.2, Juli 2017 e-ISSN 2549-2594

gilirannya dapat digunakan untuk me- bahasa berjumlah 12 kata yang termasuk
mahami, memecahkan, dan mengantisi- jenis bahasa nomina seperti kata sipulut,
pasi masalah dalam bidang pendidikan penakik, balam, serambi, hantaran, ken-
(Sugiyono, 2010:6). duri, semang, tarikh. Kode bahasa verba
Jenis penelitian yang digunakan seperti kata diperam, mendedahkan,
adalah penelitian kualitatif. Penelitian membelot. Kode bahasa ajektif yaitu
kualitatif yang berpendapat bahwa meto- kata mencong. Kata ini diklasifikasikan
de penelitian kualitatif berlandaskan seperti berikut: Kode bahasa
pada filsafat postpositivisme, digunakan nomina/ben-da 8 kata, kode bahasa
untuk meneliti pada kondisi obyek yang verba/kerja 3 kata dan kode bahasa
alamiah. ajektif/sifat 1 kata.
Peneliti menggunakan metode Kode bahasa yang digunakan
deskriptif. Penelitian ini bersifat men- dalam cerpen kedua yaitu cerpen Ulat
deskripsikan, memaparkan dan menga- Bulu & Syekh Daun Jati ada yang meng-
nalisis data. Data yang diperoleh yaitu gunakan kode bahasa daerah sebagai
dari analisis kode bahasa, sastra dan tanda penguasaan penulisnya dalam pen-
budaya pada cerpen. ceritaan seperti kata ora sare pada para-
Oleh karena itu penelitian ini ber- graf 10. Cerpen kedua memiliki jumlah
sifat deskriptif, maka dalam meng- kosa kata yang menjadi kode bahasa
analisis dan mengolah data penulis ber- berjumlah 10 kata yaitu kode bahasa
sandarkan pada suatu teori agar dapat nomina seperti kata pageblug, belarak,
menganalisis. Penulis bertindak sebagai kisanak, perigi. Kode bahasa verba se-
peran utama dalam penelitian ini. perti, berkerugetan, menebahkan, berge-
Metode yang digunakan dalam mertak, kelebat. Kode bahasa ajektif
penelitian ini adalah metode deskriptif yaitu kata lempung. Kata-kata ini dikla-
analitik. Metode penelitian ini diguna- sifikasikan seperti berikut: Kode bahasa
kan untuk menganalisis sistem kode nomina/benda 4 kata, kode bahasa ver-
yang terdapat dalam cerpen pilihan ba/kerja 4 kata dan kode bahasa ajek-
Kompas 2013. Sumber data yang sesuai tif/sifat 1 kata.
dengan masalah penelitian yaitu empat Kode Bahasa cerpen ketiga yaitu
teks cerpen pilihan Kompas 2013. Sum- cerpen Kota Tanpa Kata dan Air Mata
ber data yang akan diuraikan sebagai ditandai dengan adanya kata dari ber-
karya sastra berjenis cerpen pilihan bagai bahasa yang digunakan sebagai
Kompas 2013 sebagai representatif dari tanda oleh penulis untuk mendukung ide
karya sastra berbentuk prosa fiksi dari penceritaan yang ingin disampaikan se-
genre sastra Indonesia baru yang banyak perti kata hexagon dan Paving Block.
dibaca khalayak banyak. Pada cerpen ketiga memiliki jumlah
kosa kata yang menjadi kode bahasa
IV. HASIL DAN PEMABAHASAN berjumlah 13 kata yaitu kode bahasa
Kode Bahasa nomina seperti kata kepul, peron, gelak,
Berdasarkan kajian/analisis yang peluh, porselin, komoditas, ufuk. Kode
telah dilakukan, maka diperoleh data bahasa verba seperti menyeruak, memi-
bahwa kode Bahasa yang terdapat pada ntal, menyengapku. Kode bahasa ajektif
empat cerpen adalah sebagai berikut: seperti kata getas, parau dan riuh. Kata-
cerpen pertama yaitu cerpen Lelaki Ragi kata ini diklasifikasikan seperti berikut:
dan Perempuan Santan masih dipenga- kode bahasa nomina/benda 7 kata, kode
ruhi oleh bahasa minang dan melayu. bahasa verba/kerja 3 kata dan kode
Jumlah kosa kata yang menjadi kode bahasa ajektif/sifat 3 kata. Jumlah ini

109
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Vol.7, No.2, Juli 2017 e-ISSN 2549-2594

lebih banyak dari pada cerpen yang Mata mengandung 9 kode sastra seperti
lainnya. kode sastra simile, metafora, personify-
Kode bahasa cerpen keempat kasi, hiperbola, ellipsis, asindenton,
ditandai dengan penggunaan bahasa defersonifikasi, oksimoron dan erotesis.
Indonesia dengan kosa kata yang jarang Cerpen keempat yaitu cerpen Pada Jam
digunakan seperti beludak, tube-tube 3 Dini Hari mengandung 8 kode sastra
dan terhuyung-huyung. Cerpen keempat seperti kode sastra tautology, perumpa-
lebih sedikit daripada cerpen ketiga. maan, alusi, katabasis, erotesis, hiper-
Namun masih lebih banyak daripada bola, sinekdoke dan personifikasi.
cerpen kesatu dan kedua. Pada cerpen
keempat yaitu cerpen Pada Jam 3 Dini Kode Budaya
Hari memiliki jumlah kosa kata yang Kode Budaya yang terdapat dalam
menjadi kode bahasa berjumlah 11 kata, empat cerpen tergambarkan dalam wuj-
yaitu kode bahasa nomina seperti kata ud kode budaya unsur-unsur budaya
gazebo, sulur-sulur, beludak, antah seperti kode kepercayaan, kode kema-
berantah, kefanaan, kontur, tube-tube. syarakatan dan kode ekonomi. Nilai-
Kode bahasa verba seperti kata ter- nilai budaya adalah seperti nilai moral,
huyung-huyung. Kode bahasa ajektif se- nilai sosial dan nilai agama.
perti kata kalut dan sephia. Kode bahasa Berdasarkan pertimbangan anali-
numeralia seperti kata seantero. Kata- sis kode bahasa, kode sastra dan kode
kata ini diklasifikasikan seperti berikut: budaya, keempat cerpen Kompas 2013
kata nomina/benda 7 kata, kata ver- layak dijadikan bahan ajar pada mata
ba/kerja 1 kata, kata ajektif/sifat 2 kata kuliah Apresiasi dan kajian Prosa Fiksi
dan kode bahasa numerelia/bilangan 1 Indonesia.
kata.
Bahan Ajar
Kode Sastra Jenis bahan ajar yang digunakan
Kode sastra yang terdapat dalam dalam pembelajaran menganalisis kode
dalam empat cerpen tersebut bisa terli- bahasa, kode sastra dan kode budaya
hat pada penggunaan gaya bahasa peru- cerpen pilihan Kompas 2013 ialah
langan, perbandingan, pertautan, dan lembar kerja mahasiswa. Lembar kerja
pertentangan. Formulasi yang dibuat mahasiswa tersebut disusun berdasarkan
masing-masing pengarang mempunyai tahap-tahap perumusan tujuan instruk-
persamaan dan perbedaan pada cerpen sional, analisis intruksional, merumus-
yang ditulisnya. kan capaian pembelajaran dan indikator
Cerpen pertama yaitu cerpen capaian pembelajaran, menyusun Renca-
Lelaki Ragi dan Perempuan Santan, na Pembelajaran Semester (RPS). Lem-
pengarang menggunakan kode sastra bar Kerja Mahasiswa (LKM).
seperti kode sastra defersonifikasi,
sinekdoke, erotesis, metafora, ellipsis, V. SIMPULAN
personifikasi, anabasis, prolepsis, simi- Berkenaan dengan analisis yang te-
le, dan oksimoron. Cerpen kedua yaitu lah diperoleh di atas, dalam hal ini
cerpen Ulat Bulu & Syekh Daun Jati disimpulkan bahwa keempat cerpen ya-
menggunakan kode sastra berjumlah 9 itu cerpen cerpen Lelaki Ragi dan
kode sastra seperti mesodilopsis, sinek- Perempuan Santan, Ulat Bulu & Syekh
doke, erotesis, personifikasi, alusi, epi- Daun Jati, Kota Tanpa Kata dan Air
tet, alegori dan innuendo. Cerpen ketiga Mata, dan Pada Jam 3 Dini Hari mem-
yaitu cerpen Kota Tanpa Kata dan Air punyai penggunaan kode bahasa yang

110
LITERASI, Jurnal Ilmiah Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Vol.7, No.2, Juli 2017 e-ISSN 2549-2594

beragam dengan campuran bahasa Indo- Segers, Rien T. 2000. Evaluasi teks
nesia baku dan bahasa daerah, kode sastra. Yogyakarta: Adicita.
sastra yang beragam dari berbagai jenis Sugiono. 2010. Metode penelitian
gaya bahasa yang dijadikan sebagai ciri pendidikan pendekatan kuanti-
kode sastra yang digunakan masing- tatif, kualitatif, dan R & D. Ban-
masing pengarang dan adanya kode dung: Alfabeta.
budaya yang variatif dengan mengang- Tarigan, Henry Guntur. 2011. Prinsip-
kat kode budaya lokal sebagai warna prinsip dasar sastra. Bandung:
penceritaan dalam cerpennya masing- Angkasa.
masing. Teeuw, Andreas. 1983. Membaca dan
menilai sastra. Jakarta: PT. Gra-
DAFTAR PUSTAKA media.
Aminuddin. 2013. Pengantar apresiasi Teeuw, Andreas. 1984. Sastera dan ilmu
karya sastra. Bandung: Sinar Ba- sastera. Bandung: Pustaka Jaya.
ru Algesindo.
Barthes, Roland. 2007. Petualangan
semiologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Berger, Arthur Asa. 2010. Pengantar
semiotika tanda-tanda kebuda-
yaan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Iskandarwassid, 2011. Strategi pembe-
lajaran bahasa. Bandung: Rosda
Karya.
Luxemburg, Jan Van dkk. 1986. Pe-
ngantar ilmu sastra. Jakarta: PT.
Gramedia.
Majid, Abdul. 2009. Perencanaan pem-
belajaran. Bandung: Rosda Kar-
ya.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori
pengkajian fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Pradopo. Rachmat Djoko. 2011. Bebe-
rapa teori sastra, metode kritik
dan penerapannya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman K. 2010. Sastra dan
cultural studies representasi fiksi
dan fakta. Yogyakarta: Pustaka
pelajar
Rusyana, Yus. 1982. Metode pengaja-
ran sastra. Bandung: Gunung La-
rang.
Santosa, Puji. 1993. Ancangan semi-
otika dan pengkajian susastra.
Bandung: Angkasa.

111

Anda mungkin juga menyukai