Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Belakangan ini sastra dianggap kurang penting dan kurang berperan dalam
masyarakat Indonesia hari ini. Hal ini terjadi karena masyarakat kita saat ini sedang
mengarah ke masyarakat industri sehingga konsep-konsep yang berkaitan dengan
sains, teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap lebih penting dan mendesak untuk
digapai. Ulasan ini diharapkan dapat menggugah kembali kesadaran kita untuk
menempatkan pengajaran sastra Indonesia pada tempat yang layak dan sejajar dengan
mata ajar lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sastra ?
2. Apa saja fungsi sastra ?
3. Apa saja ragam sastra ?
4. Apa saja problematika sastra ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu sastra
2. Untuk mengetahui fungsi sastra
3. Untuk mengetahui ragam sastra
4. Untuk mengetahui problematika sastra
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sastra
Kesusastraan berasal dari susastra + ke – an yang berarti su + sastra, su berarti
indah atau baik sedangkan sastra berarti lukisan atau karangan. Jadi susastra berarti
karangan atau lukisan yang baik dan indah. Kesusastraan berarti segala tulisan atau
karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang
indah.

B. Fungsi Sastra
a. Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan
bagi penikmat atau pembacanya.
b. Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya
karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung di dalamnya.
c. Fungsi estetis, yaitu sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat atau
pembacanya karena sifat keindahannya.
d. Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu memberikan pengetahuan kepada
pembaca/penikmatnya sehingga tahu moral baik dan buruk, karena sastra yang
baik selalu mengandung moral yang tinggi.
e. Fungsi religius, yaitu sastra mampu menghasilkan karya-karya yang
mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para penikmat/pembaca
sastra.

C. Ragam Sastra
Ragam Sastra Dilihat dari bentuknya, sastra terdiri atas 4 bentuk, yaitu: a) Prosa,
bentuk sastra yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang tidak terikat
oleh aturan-aturan seperti dalam puisi. b) Puisi, bentuk sastra yang diuraikan dengan
menggunakan habasa yang singkat dan padat serta indah. Untuk puisi lama, selalu
terikat oleh kaidah atau aturan tertentu, yaitu :
1) Jumlah baris tiap-tiap baitnya,
2) Jumlah suku kata atau kata dalam tiap-tiap kalimat atau barisnya,
3) Irama, dan Persamaan bunyi kata.
4) Prosa liris, bentuk sastra yang disajikan seperti bentuk puisi namun
menggunakan bahasa yang bebas terurai seperti pada prosa.
5) Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang
bebas dan panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau monolog.
Drama ada dua pengertian, yaitu drama dalam bentuk naskah dan drama yang
dipentaskan. Dilihat dari isinya, sastra terdiri atas 4 macam, yaitu :
a. Epik, karangan yang melukiskan sesuatu secara obyektif tanpa
mengikutkan pikiran dan perasaan pribadi pengarang.
b. Lirik, karangan yang berisi curahan perasaan pengarang secara
subyektif.
c. Didaktif, karya sastra yang isinya mendidik penikmat/pembaca tentang
masalah moral, tatakrama, masalah agama, dll.
d. Dramatik, karya sastra yang isinya melukiskan sesuatu kejadian(baik
atau buruk) denan pelukisan yang berlebih-lebihan.

D. Masalah Pembelajaran Sastra


Secara umum ada delapan faktor yang didefinisikan sebagai momok gagalnya
pembelajaran sastra di sekolah-sekolah , antara lain :
1. Mitos-Mitos Negatif Di Seputar Dunia Sastra
Mitos-mitos negatif itu antara lain :
a. Ada yang beranggapan bahwa sastra merupakan dunia para pengkhayal ulung,
potret kehidupan para “pekerja” seni, yang seolah-olah dipandang sebagai
orang yang kekurangan pekerjaan.
b. Kehidupan para seniman identik dengan kehidupan yang tidak wajar, bebas,
kasar, anarkis, suka mengkritik, berpikiran aneh, berbaju kumal, berambut
gondrong, dan sikap eksentrik lainnya.
c. Dalam hal keilmuan, sastra dipandang hanya menjadi urusan para pakar,
kritikus, atau seniman sastra.
d. Menjadi ahli sastra bukanlah profesi yang menguntungkan secara materiil
karena kenyataan memang menunjukan, tidak banyak orang yamg kaya
lataranmenjadi ahli seniman sastra.
2. Dunia Sastra Yang Selalu Terpencil
Pengertian “terpencil” dalam konteks ini tidak hanya mengandaikan lemahnya
kegairahan masyarakat untuk membaca dan mendekati cipta sastra, tetapi juga
mengindikasikan sikap dan kometmen pemerintah yang cenderung apatis terhadap
tumbuh berkembangnya sastra Indonesia – kenyataan seperti ini juga berlaku untuk
segala masalah seni budaya pada umumnya. Oleh karena itu, bukanlah suatu
kebetulan jika kondisi pembelajaran sastra disekolah-sekolah kita selama ini juga
cenderung asal jalan dan kenyataannya memang seperti jalan di tempat.
3. Teori Sastra Versus Kebebasan Kreatif Seniman
Dalam dunia sastra, adanya konsep licentia poetica seakan telah dipahami sebagai
suatu “doktrin” bagi para seniman sastra terutama penyair dalam kebebasan kreatif
cipta sastra mereka sehingga ada kecenderungan untuk melanggar batas-batas
konvensional, baik konvensi bahasa maupun kovensi sastra.Dengan modal dokrin
tersebut, para sastrawan selalu menuntut sifat-sifat kebaruan dan orsinalitas dalam
karya-karya mereka. Kondisi semacam itulah yang sangat berpengaruh terhadap
pembelajaran sastra di sekolah, terutama jika meyentuh wilayah teoretisnya (aspek
kognitif). Akibat selanjutnya, para guru menjadi ragu ketika menjelaskan suatu
defenisi, batasan, atau ciri-ciri sastra dan genre sastra tertentu.
Keraguan guru kemudian bersambut pada kebingungan siswa, bahkan mungkin
bisa menyurutkan kepercayaan mereka terhadap wawasan keilmuan dan kompetensi
sang guru . Jadi, hal ini pun merupakan salah satu problem dalam pengajaran sastra.
4. Kesalahan Konsep Dalam Pembelajaran Sastra
Kesalahan konsep dalam pembelajaran sastra ini terjadi aspek afektif kemampuan
seseorang bukan karena mengandalkan kemampuan intuitif, imajinatif, dan daya
kreatif. Ini terjadi karena guru cenderung mengutamakan pembelajaran sastra dengan
meteri-meteri yang bersifat teoritis, hanya menuntut hapalan sejarah sastra serta
tokoh-tokoh sastra sastrawan dan karyanya saja.Pembelajaran sastra pada akhirnya
derupa dengan pembelajaran geografi, fisika, dan yang lainnya yang menuntut
kemampuan kognitif daripada kemampuan afektif siswa.
5. Keterbatasan Alokasi Waktu Pembelajaran
Proporsi alokasi waktu untuk bidang pembelajaran sastra dinilai tidak seimbang
dengan jatah waktu untuk bidang pembelajaran bahasa. Karena pembelajaran sastra
sangat luas kajiannya tidak cukup hanya satu atau dua pertemuan dalam satu minggu
waktunya pun dibagi lagi dengan pembelajaran bahasa.
Keefisian waktu inilah yang membuat pelajaran sastra tidak berkembang luas,
hanya inti-intinya saja yang dibicarakan sehingga siswa tidak paham untuk membuat
sebuah karya sastra.
6. Pola Pembelajaran Dan Sistem Evaluasi
Mulai kurikulum 1975-1984-1994 jika ditelusuri setiap kurikulum hanya
mengacu pada bidang pembelajaran bahasa. Baik pendekatan struktural, pragmatik,
maupun komunikatif hanya berorentasi pada teori-teori lingustik, sedangkan untuk
bidang pembelajaran sastra tampaknya kurang tersentuh oleh tim perekayasa
kurikulum.
Materi pembelajaran sastra masih dominan diisi dengan teori dan sejarah sastra
sehingga sistem evaluasi sastra pun lebih banyak menuntut kemampuan ingatan siswa
tentangperiodisasi sejarah sastra, nama-nama tokoh sastrawan terkemuka dalam setiap
periode atau angkatan, judul-judul buku yang mereka tulis, serta masalah prinsip-
prinsip karya sastra. Soal-soal ujian pun cenderung bersifat teoretis, belum mengarah
pada peningkatan apreseasi sastra. Jika kondisi ini tetap bertahan,sampai kurikulum-
kurikulum yang lebih baru tak akan banyak membawa perubahan yang berarti bagi
pembelajaran sastra di sekolah-sekolah.
7. Minimnya Jumlah Buku Pelajaran
Dalam konteks ini, persoalan utamayang sering dihadapi oleh guru maupun siswa
dalampembelajaran sastra pada umumnya berhubungan dengan pelajaran, baik teks
wajibmaupun pelengkap terutama sekolah yang terletak dipedesaan yang sulit untuk
menemukan toko buku, perpustakaan umum, maupun mesin fotokopi. Sehingga guru
tidak mampu memberikan pengajaran sastra secara apresiatif.
8. Profesionalitas Guru Terhadap Pembelajaran Sastra
Secara umum, dapat dikatakan bahwa minat dan motivasi rata-rata guru di
Indonesia masih sangat kurang terhadap dunia sastra dan pembelajarannya. Oleh
karena itu, tidak mengherankanalokasi waktu pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia lebih dominan digunakan untuk bidang pembelajaran bahasa saja.
Kendatipun dalam Kurikulum 199,misalnya, telah disarankan agar pembelajaran
bahasa dan sastra dapat berjalan secara proporsional, tetapi pada kenyataannya masih
banyak guru tidakmengindahkan rambu-rambu tersebut. Masalahnya akan kembali
meyangkut sikap, minat, dan motivasi guru itu sendiri terhadap bidang pembelajaran
sastra.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Problematik pembelajaran sastra meliputi : (1) Mitos-mitos negatif tentang


dunia sastra, (2) dunia sastra yang selalu terpencil, (3) teori sastra versus kebebasan
kreatif seniman, (4) kesalahan konsep dalam pembelajaran sastra , (5) keterbatasan
alokasi waktu pembelajaran, (6) pola pembelajarandan sistem evalusinya, (7)
minimnya jumlah buku pelajaran, (8) profesionalitas guru terhadap pembelajaran
sastra.Secara khusus problematik pembelajaran sastra misalnya problematik
pengajaran sastra di Kalimantan Selatan. Sebagian besar guru bahasa dan sastra di
sekolah juga sangat kurang memperkenalkan sastrawan Kalimantan Selatan kepada
siswa. Oleh karena itu, wajar jika sebagian besar siswa tidak mengenal sastrawan
Kalimantan Selatan. Padahal, biodata dan karya sastrawan Kalimantan Selatan
merupakan pengetahuan sastra yang harus dimiliki siswa di tiap jenjang pendidikan di
sekolah. Seharusnya, guru bahasa dan sastra tidak hanya memperkenalkan sastrawan
dari Pulau Jawa, Sumatera, atau dari pulau lainnya kepada siswa.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.google.com/amp/s/maulana1234blog.wordpress.com/2016/12/02/makalah-
sastra/amp/

https://www.google.com/amp/s/jelajahduniabahasa.wordpress.com/2012/10/11/problematika-
pengajaran-sastra-di-lembaga-pendidikan-formal/amp/

http://pakarnotos2.blogspot.com/2015/07/problematika-pembelajaran-sastra.html?m=1

https://www.google.com/amp/s/windanovitasarii.wordpress.com/2015/01/01/makalah-teori-
sastra/amp/

Anda mungkin juga menyukai