Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN CHAPTER 27

PEMBELAJARAN SASTRA OLEH RICHARD SMITH

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Landasan Pedagogik

Disusun oleh :

Ginanjar Pamungkas 1502673


Mardian Chindra Ramadhan 1502943

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN BUDAYA SUNDA


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di dalam sejarah kehidupan manusia, sastra tidak bisa lepas dari
perkembangan hidup manusia itu sendiri. Sastra ikut berkembang sesuai
perkembangan jaman yang dilaluinya. Seiring dengan peradaban yang terus
bergerak menuju proses perkembangan, sastra menjadi semakin penting untuk
disosialisasikan melalui institusi pendidikan. Sebab dengan meengajarkan sastra
kita dapat membetuk sebuah karakter yang teriilhami dari sastra itu sendiri. Ajip
Rosidi (2009: 10) menjelaskan bahwa karya sastra memiliki peranan yang cukup
besar dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang. Dengan demikian jika
dibekali apresiasi sastra yang memadai, para keluaran pendidikan diharapkan
mampu bersaing pada era global dengan sikap arif, matang, dan dewasa.

Namun, jika dilihat dari segi pembelajaran di sekolah, pengajaran sastra


tidak diajarkan secara intensif kepada siswa karena berbagai macam persoalan.
Entah karena kurikulum, sulitnya menentukan bahan ajar, atau minimnya minat
siswa. Dalam hal ini guru menjadi soratan utama dalam proses pembelajaranya.
Yang menjadi persoalan ketika guru bahasa menyajikan pembelajaran yang
muatan sastra di dalamnya. Apakah sanggup para guru bahasa memikul peran
ganda; sebagai guru bahasa dan sekaligus guru sastra? dalam Hal ini penting
dikemukakan, sebab selama ini memang tidak ada spesifikasi dalam penyajian
materi bahasa dan sastra. Oemarjati dalam Jalalluadin (2003: 37) mengatakan
pengajaran sastra tidak dapat dipisahkan dari pengajaran bahasa. Namun,
pengajaran sastra tidaklah disamakan dengan pengajaran bahasa. Perbedaan hakiki
anatara keduanya terletak pada tujuan akhir. Dengan demikian dalam mengajarkan
sastra pada proses pembelajaran di kelas, guru bahasa dengan sendirinya harus
menjadi guru sastra.

2
Namun, dalam proses pembelajaranya, jika guru bahasa memiliki
kompetensi sastra yang memadai, jelas tidak ada masalah. Mereka bisa mengajak
siswa didiknya untuk bisa menikmati sastra dan estetikanya. Melalui sastra, siswa
bisa belajar banyak tentang persoalan hidup dan kehidupan, memperoleh “gizi”
batin yang mampu mencerahkan hati nurani, sehingga sanggup menghadapi
kompleks dan rumitnya persoalan kehidupan secara arif dan dewasa. Namun,
secara jujur mesti diakui, tidak semua guru bahasa memiliki kompetensi sastra
yang memadai. Minat dan kecintaan guru bahasa terhadap sastra masih menjadi
tanda tanya. Tidak berlebihan jika pengajaran sastra di sekolah cenderung
monoton, kaku, bahkan membosankan. Jika kondisi semacam itu terus berlanjut
bukan mustahil peserta didik akan mengidap “rabun” sastra berkepanjangan.

Dari paparan di atas kita bisa menggaris bawahi, sastra adalah suatu ilmu
yang dapat mengubah kehidupan manusia, karena dengan mengajarkan sastra, kita
dapat membentuk suatu karakter yang dapat membimbing siswa dalam mejalani
kehidupan agar lebih dewasa dan bijak.

1.2 Dasar Pemikiran


Dalam sastra terdapat banyak nilai yang dapat ditelaah hinngga dapat
memberikan hasil yang positif pada pembacanya. Maka dari itu sastra harus
diberikan dalam proses pembelajaran. Karena dalam menelaah sebuah karya
sastra, siswa dapat dibimbing dalam menilainya, sehingga siswa juga dapat
memiliki sudut pandang yang baik dalam menilai sebuah sastra yang merupakan
gambaran dalam menjalani kehidupannya.
Dalam pembelajarannya, pelajaran sastra harus hidup, dimulai dengan apa
yang nyata di sekitar lingkungan tempat mereka belajar. Karena dalam merubah
sebuah karakter, sastra harus bisa menselaraskan dengan perkembangan yang ada.
Sejalan dengan itu, pada chapter 27, Ricard Smith membahas tentang
mengajarkan sastra pada proses pembelajaran, bagaimana menilai suatu karya
sastra dan meneliti apa saja yang terkandung dalam sastra.
Pembahasan dalam chapter 27, kiranya sangat penting untuk didiskusikan.
Pada awal tulisan telah disinggung tentang seberapa pentingnya sastra dalam
pembelajaran. Tidak dapat dipungkir, pada materi pembelajaaran bahasa daerah

3
pun khususnya bahasa Sunda, pembelajaran sastra sangat penting untuk dibahas
karena dapat mengenal kesusastraan dan dapat menelaah sebuah karya dalam
proses pembelajaran.

1.3 Ruang Lingkup


Dalam laporan BAB ini dibahas beberapa poin tentang mengajar sastra.
Adapun pembahasan yang pertama berkaitan dengan latar belakang dan dasar
pemikiran mengajar sastra. Poin selajutnya meliputi;
- Mencari keobjektifan
- Sastra dan pendidikan moral
- Isi, bentuk dan referensi
- Bagaimana kita digerakan oleh sastra
- Pelemahan makna
BAB terakhir membahas secara keseluruhan tentang mengajar sastra
menurut Richard Smith dan beberapa ahli lainya. Selain itu, BAB terakhir akan
menyimpulkan pembahasan dan implikasi.

BAB II

4
MENCARI OBJEKTIFAN, SASTRA DAN PENDIDIKAN MORAL, ISI
BENTUK DAN REFERENSI, BAGAIMANA KITA DIGERAKAN OLEH
SASTRA DAN PELEMAHAN MAKNA

2.1. Mencari Objektifan


Chapter ke dua puluh tujuh dalam buku Companion to the Phyloshopy of
Education, Richard Smith membahas tentang mengajar sastra. Pada bab
pembahaan ini Richard Smith memberi angapan dalam mencari seuatu penilaian
terhadap sastra. Ada dua kecendrungan apresiasi (kritik) dalam pendekatannya
berdasarkan latar belakang sejarah sastra pada abad 17. Yaitu;
1) Bentuk, yang terfokus terhadap struktur luar bahasa; disebut juga
“protokol” atau lazim dikenal sebagai formalisme
2) Makna atau isi (di teks ini disebut sebagai “Mnemonic Irrelevancies”
terjemahan Indonesia: pengingat terhadap sesuatu yang bisa jadi tidak ada
hubungannya dengan sesuatu tersebut).
Dalam Practical Criticism Smith menjelaskan yang disebut “protokol”
adalah beragam puisi pendek atau ringkasan dari sebuah puisi. Kebanyakan
pembaca hanya membaca sebagian kecil dari puisi yang dibacanya. Jadi, dalam
hal ini Richard Smith beranggapan bahwa pembaca puisi sering salah arti dalam
memaknai puisi yang dibacanya. Smith menambahkan hal ini sejalan dengan yang
dikatakan oleh Hans George Gadamer (1985 : 353) bahwa pembaca tidak akan
pernah persis mendakti maksud pengarang.
Ada dua jenis pembaca yang sering salah dalam mengartikan bacaanya.
Pertama, pembaca yang sering menunjukan respon tidak tepat pada puisi yang ada
didepanya, namun pada puisi yang sebelumnya sudah ada di dalam pikiranya.
Kedua, pembaca yang disebut “ketidak relevan ingatan” pembaca yang
imajinasinya tidak sesuai dengan makna yang terkandung dalam puisi tersebut.
Sebagai contoh, ketika diberikan puisi yang menggambarkan letak matahari di
atas laut, yang tergambar dalam imajinasi pembaca adalah tempat yang indah bisa
dijadikan tempat untuk berlibur. Pesan yang ingin disampaikan pengarang tidak
sejalan dengan apa yang ditangkap oleh pembaca.

5
Smith menjelaskan perbedaan yang memiliki keterkaitan ini bisa muncul
dari cara berfikir formal sesesorang yang menekankan pemisahan sastra dan
“kehidupan” nyata. Sebab adanya penilaian objektif secara ilmiah dalam
pembacaan sastra tersebut. Karena menurut Smith pembaca yang baik adalah
pembaca yang penuh perhatian terhadap apa yang ada di dalam tulisan yang
dibacanya. Sejalan dengan Catherine Belsey (1988: 36) yang menjelaskan
pembaca mempunyai peran arbitrer dalam menilai sastra, bisa mengkaji secara
struktur atau dengan cara yang lain. Smith menambahkan, makna yang ingin
disampaikan pengarang dalam sebuah sastar tergantung apa yang ditafsirkan oleh
pembaca tersebut. Karena setiap pembaca mempunyai sudut pandang yang
beragam. Namun hal itu harus dibekali dengan pengetahuan pembaca dalam
menilai suatu karya.
Singkatnya, pembaca mempunyai keleluasaan dalam mentafsirkan sastra
dengan rujukan apaun, namun dalam pelaksanaanya tidak ada yang benar-benar
sesuai dalam mentafsirkanya. Tapi, ada pula sastra yang berhasil meningkatkan
pembaca pada nilai dan refleksi moral tertentu.

2.2. Sastra dan Pendidikan Moral


Sastra dalam pemaknaanya dapat ditafsirkan menjadi beberapa hal,
tergantung sudut pandang orang yang menilai karya sastrta tersebut. Jika ditelaah
secara objektif sebuah karya sastra dapat memberikan pengaruh terhadap orang
yang mendalaminya. Pesan, perasaan dan maksud yang ingin disampaikan
pengarang dapat mengerakan hati pembaca untuk bisa merasakan apa yang
menjadi tujuan pengarang dalam membuat karya sastra tesebut.
Dalam sastra, pengarang tidak hanya memberikan sebuah karya fiksi
semata. Tapi dalam hal tersebut terdapat nilai ataupun pesan yang diingin
disampaikan pengarang. Baik berupa pepatah untuk pembaca, atau pun gambaran
yang dituangkan pengarang dalam sebuah karya untuk menjadi sebuah contoh
dalam menjalani kehidupan. Baik itu bersifat imajinatif atau pun kisah nyata dari
pengarang sendiri. Dalam subbab ini Smith memaparkan pemikiran Duke Maskell

6
(1999) yang berpendapat bahwa pembelajaran hidup seorang tokoh dalam sebuah
karya sastra (prosa) adalah hikmah bagi pembacanya.
Dalam subbab ini Smith juga mencontohkan sebuah karya sastra Novel
“Nothanger Abbey” karya Jane Austen, dimana tokoh-tokohnya belajar untuk
jujur dalam menilai seseorang. Smith menegaskan bahwa dalam membaca sastra,
semua aspek yang ada didalam sastra memiliki nilai yang bisa dipetik dan
dijadikan contoh dalam kehidupan. Hal ini diperkuat dengan anggapan F. R.
Leavis (1983 : 18) yang mengatakan bahwa yang disebut nilai dalam sastra itu
benar-benar ada. Leavis pun menambahkan kajian yang sering dilakukan oleh
kritikus sastra sebenarnya adalah kajian terhadap nilai-nilai hidup.
Karya sastra menurut Leavis bukan hanya menjadi bahan bacaan semata,
tapi juga perlu dikaji untuk memperkaya sudut pandang sesorang dalam melihat
kehidupan. Karena jika kita banyak mengkaji tentang sastra, kita bisa memahami
berbagai macam sudut pandang dari pengarang yang berbeda serta dapat melihat
nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai sudut pandang tersebut.
Leavis juga menambahkan, jika sastra dapat membantu seseorang melihat
hal-hal lain yang bersifat naratif, baik secara vebal ataupun non verbal.
Contohnya; sikap terhadap lirik lagu, iklan, pidato politik dan program TV.
Dengan begitu sastra berlaku dalam memperkaya wawasan dan sudut pandang
moralitas kita dalam menjali hidup.

2.3. Isi, Bentuk dan Referensi


Bentuk dalam sastra tidak akan lepas dari apa yang ada di dalamnya. Isi
dalam karya sastra tersebut berkaitan dengan bentuk yang ditampilkannya. Dalam
subbab ini, Smith mengatakan bahwa dalam sastra bentuk dan isi tidak bisa
dipisahkan. Smith langsung mencontohkan sebuah karya sastra (drama) Hamlet
karangan Shakespeare tidak pernah bisa disadur kedalam bentuk ekspresi lain
karena versi asli lebih tepat menggambarkan bagaimana ceritanya terjalin.
Karya sastra adalah jalinan konsep yang luas, ia tidak bisa direduksi
menjadi sistem nilai yang kaku atau terlalu sempit. Sastra seringkali kali merujuk
kepada konteks yang lebih luas. Karya sastra sendiri bertindak dalam hal

7
keterlibatan kosep yang sangat besar dan tidak dapat diambil pada ide yang
diambil hanya dari ringkasannya.
Smith mencontohkan karya C. P. Cavalis yang menulis bait
“Ketika kamu merencanakan perjalananmu ke Ithica
Berdoalah bahwa perjalanmu akan lama”
Di dalamnya Cavalis menyinggung bahwa pengembaraan Odysssey yang panjang
itu dianggap bukan hanya sebagai perjalanan hidup sang tokoh, tapi juga
mencerminkan hidup manusia secara umum.
Di sisi lain bentuk dan isi dapat diilustrasikan dengan melihat hal dimana
teks dapat merujuk pada kejadian tertentu. Keterkaitan bentuk dan makna oleh
Smith dicontohkan pada puisi karya Wilferd Owen yang berjudul “Anthem for
Doomed Youth”.
“Apa lonceng berbunyi untuk yang mati sebagai sapi
Hanyalah kemarahan pistol yang dahsyat
Hanyalah hembusan senapan tegak yang begitu kencang
Kamari kecil bersuarakan doa tergesa-gesa”

Dalam puisi itu pistol yang disebutkan merujuk pada pistol dan senapan tentara
realis sejarah. Puisi ini tidak hanya puitis (secara bentuk) tapi juga
menggambarkan suasana perang dunia I disekitar Belgia. Puisi ini tidak hanya
sekedar menggambarkan seadanya, tapi bisa “menghidupkan” bayangan akan
kengerian perang.
Dari situ dapat dilihat fungsi sastra (puisi) adalah menunjukan bahwa
tanda tidak selalu mengambarkan seadanya, tapi penting pula untuk mengerti
bahwa bayangan atau persepsi tidak selalu sama dengan apa yang dilihat.
Kontradiksi penting, karena tanpa kontradiksi hubungan antar tanda dan objek
menjadi kabur.
Smith mencontokan sebuah karya Edward Lear yang menunjukan
ketidakmungkinan bentuk dan isi bisa terpisah.

“Di ujung pucuk pohon Krumpeti


Akal licik Quangle duduk,
Namun wajahnya kamu tidal bisa dilihat
Lantaran Topi berang

8
Untuk topinya seribu dan dua kaki melebar
Dengan pita dan bibon di setiap sisi
Dan lonceng, dan tombol, dan antena, dan tali
Sehingga tak seorangpun melihat wajahnya
Dari akal licik Quangle Quee”
Smith menyebutkan bahwa itu merupakan suatu karya “puisi tidak masuk akal”
yang memberikan kesaksian kesulitan yang kita punya dalam melihat rasa dan
makna. Rasa atau makna tidak selalu didapat dari pengembaraan realitas yang
sebagaimana adanya. Sastra itu rumit, Bahkan sebuah puisi yang tampak luar
tidak memiliki makna sekalipun, sebenarnya merupakan representasi jalinan yang
banyak hal; pemikiran, perenungan, tautan atau rujukan pada banyak hal yang
rumit dan berlipat menyangkut kemanuasiaan.

3.4. Bagaimana Kita Digerakan oleh Sastra


Sebuah karya sastra dapat mempengaruhi hati dan karakter orang yang
membacanya. Dalam karya sastra di dalamnya berisi berbagai cerita yang
dituliskan pengarang, secara tidak langsung pembaca pun dapat merasakan
pengalaman yang ada dalam cerita tersebut.
Smith mencontohkan sebuah novel karya Vergil yang isinya menceritakan
kehidupan keluarga yang mengalami berbagai macam masalah hingga terjadi
kehancuran dalam keluarganya. Orang yang membaca karya tersebut dapat
terbawa merasakan kehidupan dan perasaan yang sama dengan tokoh yang ada
dalam cerita.
Sebuah karya sastra dapat merubah perasaan kita dengan catatan karya
tersebut dirangkai dengan kata yang bisa menyentuh hati pembacanya. Ini hanya
bisa ditentukan oleh kemampuan pengarang dalam mengolah kata yang
dipakainya. Hati kita tergerak oleh sastra karena kekuatan kata dan makna yang
menyertai konteksnya dan secara psikologis dapat menyentuh perasaan
pembacanya.

3.5. Pelemahan Makna

9
Dalam subbab ini Smith menjelaskan hal-hal yang melemahkan makna
dalam sastra. Ada dua kecendrungan dalam kajian sastra ini:
1) Menjadikan makna teks yang multi tafsir
2) Menjadikan pembaca sebagai orientasi penciptaan karya, membiarkan
pembaca untuk mentafsirkan sebuah karya secara aktif.
Harus dipahami bahwa teks adalah bangunan terbuka; terbuka bagi
pemahaman yang membuatnya lebih kaya dan berwarna. Dalam chapter ini Smith
mengambil teori dari Jacques Derrida sebagai “Dissemination”. Yaitu makna teks
akan selalu berbeda, makna tunggal itu tidak pernah ada. Derrida pun
menambahkan (1981: 26) “Perbedaan itu ada di mana-mana, jejaknya bisa
ditentukan dimana saja”.
Smith menagaskan bahwa makna itu pasti luas, makna akan berkembang
seiring berjalannya waktu. Makna itu adalah sebuah fungsi bahasa yang tiada
akhirnya. Derrida pun menegaskan dalam pembacaan makna harus lebih kritis
terhadap pesan-pesanya agar tidak salah dalam penafsirannya.

BAB III

10
PEMBAHASAN, KESIMPULAN, IMPLIKASI

3.1 Pembahasan
Pada BAB sebelumnya telah dibahas tentang ilmu dan materi dalam sastra
menurut Richard Smith. Namun dalam chapter tersebut tidak dijelaskan tekhnis
yang rinci tentang bagaimana mengajarkan sastra. Tapi secara garis besar, Ricard
Smith menjelaskan dalam mengajarkan sastra yang menjadi kunci utamanya
terdapat pada guru yang selaku subjek yang menjalankan proses pembelajaran.
Guru harus dibekali pengetahuan yang memadai tentang keilmuan sastra sebelum
mengajarkanya. Sebab dalam mengajarkan sastra terdapat berbagai nilai yang
dapat merubah sudut pandang atau karakter kepada orang yang diajarkanya.
Untuk itu dalam mengajarkan sastra pun tidak hanya mengetahui tentang sebuah
karya dan pengarangnya saja. Tapi harus secara menyeluruh kepada aspek-aspek
yang ada di dalamnya.
Dalam pembahasan BAB III ini lebih difokuskan pada pembahasan
tentang perbandingan teori dan keilmuan tentang sastra yang ada. Pembahasan ini
akan sedikit membantu untuk kebutuhan dalam mengajarkan sastra di dalam
proses pembelajaran.

3.1.1 Penilaian Terhadap Sastra


Dalam pembelajaran sastra, tentunya kita harus menilai sebuah satra untuk
menelaah secara mendalam arti dari sastranya. Menilai sebuah karya sastra
tentunya harus memahami tentang karya sastra itu sendiri. Hal ini dapat
membantu melihat sudut pandang kita terhadap sastra yang kita telaah. Pada
pembahasan BAB sebelumnya Smith menerangkan bahwa dalam menilai suatu
karya sastra tergantung pada orang yang menlaah karya sastra tersebut. Namun
dalam menyimpulkan makna, penilaian itu harus didasari dengan rujukan ilmu
yang tepat dalam pelaksanaanya. Hal itu dilakukan agar menjadi sebuah penilaian
objektif yang mempunyai dasar dalam menilai karya tersebut.
Dalam hali ini Teeuw (2013: 284) menjelaskan penilaian suatu karya
sebagian besar terdapat pada kaitan antara karya sastra dan pembacanya. Karena

11
bisa saja tiap pembaca memiliki penilaian yang subjektif terhadapa suatu karya.
Teeuw juga menambahkan kemungkinan jika karya seseorang akan dianggap
tidak bernilai oleh beberapa orang, tapi akan sangat bernilai segelintir orang
lainya. Sebagai contoh karya sastra Kakawin Jawa hanya bisa dianggap bernilai
oleh kalang masyarakat keraton Jawa. Sedangkan di kalangan santri, teks sastra
berupa Serat Rengganis, Serat Yusup, dll. jauh lebih tinggi penilaiannya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan berbedanya sudut pandang dari
tiap pembaca. Salah satu diantaranya adalah faktor sosial dari seorang pembaca.
Faruk (2013: 22) mengatakan bahwa kenyataan sosial ditempatkan pada diri
individu, baik dalam bentuk perilakunya maupun dalam pemikiranya. Dia
menjelaskan bahwa faktor sosial bisa merubah sudut pandang seseorang dalam
menilai suatu karya sastra, baik dari pengarang, karya maupun pembacanya.
Darmono (1979: 58) menambahkan sastra itu berkaitan dengan sejumlah faktor
sosial untuk asal-usul bentuk dan isinya.
Jadi dapat disimpulkan, semua penilaian sastra tergantung pada sudut
pandang orang yang membacanya. Hal ini sejalan dengan Culler melalui Pradopo
dalam Isnendes (2010: 36) yang mengatakan:
“Pada akhirnya semua makna akan dipasrahkan kepada pembaca. Dan
Pembaca diberi kebebasan dalam menilai karya yang ada”

Intinya, dalam menilai sastra tidak hanya memperhatikan karya dan


pengarangnya saja, tapi faktor pembaca juga sangat mempengaruhi penilaian yang
objektif terhadap sebuah karya sastra.

3.1.2 Nilai dan Makna


Seperi yang dijelaskan di BAB sebelumnya, satra tidak hanya tentang
sebuah cerita hayalan yang dibuat oleh pengarang saja. Dalam sastra terdapat
pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembacanya.
Karya yang dicontohkan oleh Smith adalah tentang sebuah novel
“Nothanger Abbey” karya Jane Austen. Isinya menyimpan nilai pepatah agar yang
membaca karya tersebut mencontoh tokoh yang ada dalam ceritanya untuk
belajar jujur dalam menilai seseorang.
Tidak berbeda dengan sastra yang ada di Indonesia. Beberapa karya sastra
di dalamnya terdapat banyak pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca. Makna yang terkandung dalam sebuah karya itu beragam. Ada yang

12
berisi sebuah nasehat, berisi sebuah curahan hati, atau pun berisi tentang sebuah
kritikan.
Di masa pendudukan Belanda, banyak warga Indonesia yang tidak bisa
melawan Belanda dengan cara adu fisik secara langsung. Tapi beberapa warga
Indonesia berani melawan Belanda dengan cara yang lebih intelektual. Salah
satunya dengan membuat karya. Baik itu dalam bentuk retorika seperti yang
dilakuka Soekarno dan Soetomo, mendirikan sebuah perkumpulan atau pun
membuat karya dalam bentuk sastra.
Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” merupakan salah satu contoh karya
sastra yang di dalamnya berisi pesan agar wanita Indonesia lebih berani
menunjukan jati dirinya, agar tidak hanya dipandang sebelah mata dalam
menjalankan kehidupannya. Buku tersebut menjadi inspirasi banyak wanita dalam
memperjuangkan emansipasi wanita.
Selain berisi tentang sebuah pesan atau nasehat. Beberapa pengarang di
Indonesia membuat suatu karya yang menceritakan keadaan lingkungan dan
sosialnya. Pramoedya Ananta Toer dengan karya “Bumi Manusia” menceritakan
tentang sikap diskriminasi bangsa Belanda terhadap orang pribumi. Tapi dalam
cerita itu sosok Minke selaku orang pribumi menunjukan dirinya bisa berprestasi
dan memperlihatkan kepada bangsa Belanda bahwa orang pribumi pun bisa
berprestasi dan tidak dipandang sebelah mata.

Begitu juga dalam dunia sastra Sunda. Dalam ceritanya ada yang
berdasarkan referensi keaadaan sosial pada masa itu. Novel berjudul “Puputon”
karya Aam Amelia. Novel ini bisa dikatakan merupakan “curahan hati”
pengarangnya karena dalam cerita tersebut sangat menyuarakan suara perempuan
pada jaman saat itu, dimana perempuan dianggap kaum lemah dalam segala hal,
hingga dalam urusan cinta pun seorang perempuan boleh dimadu. Novel yang
menceritakan kisah cinta segitiga antara Ismet, Astri dan Mamay memliki peranan
dalam menyampaikan isi hati pengarangna.
Adapun juga beberapa karya sastra yang berupa dongeng rakyat. Di
dalamnya mengandung pesan dan nilai yang sangat tinggi. Sebagai contoh
dongeng Malin Kundang yang mengajarkan kita agar tidak menjadi anak yang

13
durhaka pada orang tuanya. Serta ada juga dongeng tentang Tangkuban Parahu.
Cerita tentang anak yang ingin menikahi ibunya, sampai semua usaha tidak dapat
melakukan keinginannya.
Untuk semua nilai dan makna yang terdapat pada sebuah karya sastra,
semuanya kembali pada tafsiran dan sudut pandang orang yang membaca karya
tersebut. Apakah tafsiran makna mereka sama dengan yang lainya.

3.1.3 Isi dan sumber


Sebuah sastra bukan suatu karya abstrak yang bisa berkembang begitu
saja. Karya sastra butuh sarana dalam mengekspresikannya. Baik itu secara lisan
maupun secara tulisan. Dalam mengekspresikannya, sebuah sastra tidak hanya
akan berbentuk tulisan atau teks. Dari sebuah tulisan itu dapat bertransformasi
menjadi berbagai media, baik itu menjadi sebuah lagu atau menjadi sebuah
pertunjukan yang hebat dalam mengekspresikannya.
Dalam pembahasan chapter 27 ini Smith tidak menjelaskan berbagai
macam isi dan bentuk tentang sebuah karya sastra. Tapi di chpater tersebut Smith
menjelaskan bahwa semua unsur sastra tidak dapat dipisahkan. Karena karya
tersebut mempunyai keterkaitan satu sama lainnya.
Sebuah puisi yang dicontohkan Smith tentang keadaan perang dunia 1 di
Belgia menegaskan bahwa dalam membangun sebuah sastra semuanya memiliki
keterkaitan, baik dari bentuk, isi dan referensinya. Dalam puisi itu Owen sebagai
pengarang menggambarkan suasana perang yang terjadi pada jaman tersebut. Hal
ini sejalan dengan yang dikatakan Damono (1979) dalam Isnendes (2010: 23)
yang mengatakan bahwa sastra memberikan gambaran kehidupaan. Sedangkan
kehidupan itu merupakan cerminan sosial.
Teori ini menunjukan bahwa referensi sebuah sastra dapat dipengaruh oleh
situasi dan kondisi lingkungannya. Bila puisi itu dirubah bentuk dan isinya, maka
makna dan nilai yang terkandung dalam puisi itu pun akan berupa.
Beberapa contoh karya sastra di Indonesia pun demikian. Karya seorang
pengarang akan mempunyai keterkaitan antara isi, bentuk dan referensinya. Novel
berjudu “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Buya Hamka
memperlihatkan bahwa lingkungan memepengaruhi seorang pengarang dalam
membuat karyanya. Dalam buku itu menggambarkan keaadan adat tanah Minang

14
dalam mengatur semua tatanan hidup, termasuk perjodohan. Gambaran keadaan
tradisi tersebut mencerminkan bahawa lingkungan sangat berpengaruh dalam
membuat sastra. Ada juga sebuah buku berjudul “Catatan Seorang Demonstran”,
meskipun buku itu hanya tentang catatan harian seorang Soe Hok Gie saja, tapi di
dalamnya merupakan catatan tentang keadaan sosial jaman Orde baru. Baik dari
sudut pandang politik, pendidikan, sosial dan agama. Begitupun dalam sastra
Sunda.
Ada beberapa novel yang tercipta atas referensi keaadan sosial pada jaman
dulu. Seperti novel karya Moh. Sanoesi yang berjudul “Siti Rayati”. Dalam novel
itu menceritakan Siti Rayati yang merupakan anak dari hasil hubungan gelap
Patimah dan pemilik perkebunan teh tuan Steenhart. Novel yang menjelaskan
bagaimana perlakuan bangsa belanda terhadap kaum pribumi yang dianggap
lemah. Dalam novel itu diceritakan perjuangan Patimah bertahan hidup dan ingin
bertemu kembali dengan anaknya serta tentang Siti Rayati yang berusaha
mencapai cita-citanya tanpa mengandalkan jabatan ayah angkatnya.
Beberapa karya sastra di atas merupakan contoh bahwa sebuah lingkungan
dapat menjadi sebuah refernsi yang kuat dalam membuat sebuah karya sastra.
Bahkan bisa saja karena saking kuatnya referensi dari lingkungan itu membuat
suatu karya tidak dapat dirubah bentuk ataupun isinya.
Kita ambil contoh jika cerita novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”
disadur ke dalam sebuah karya sastra Sunda, maka ada beberapa nilai yang dalam
cerita tersebut bisa saja hilang. Salah satunya nilai adat, karena jika dibandingkan
antara adat tradisi Sunda dan Minang sangat berbeda. Dalam novel
“Tenggelamnya Kapal Van Der Wick” menceritakan besarnya pengaruh adat
Minang dalam mengatur pola hidup masyarakatnya, terutama dalam hal jodoh.
Untuk itu jika disadur kepada karya sastra Sunda bisa saja tidak cocok dalam
penerapanya. Karena berbedanya latar belakang sosial dalam isi ceritanya.
Penejelasan diatas menunjukan jika dalam sebuah sastra baik itu bentuk,
isi dan referensi sangatlah berkaitan erat. Mesikipun salah satunya dapat dirubah,
tapi nilai yang terkandung didalamnya tidak akan sama. Ini menunjukan bahwa

15
setiap karya sastra menunjukan ciri khasnya masing-masing yang tidak begitu saja
dapat dirubah.

3.1.4 Kekuatan dan kelemahan sastra


Seperti yang dikatakan pada bab sebelumnya, dalam sebuah karya sastra
tidak hanya terdapat tulis yang berisi khayalan saja, tapi di dalam sastra
terkandung nilai-nilai yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya.
Nilai yang tersebut dapat mengubah orang yang mempelajarinya. Baik itu berupa
sudut pandang, ilmu, ataupun kepribadian dan karakter seseorang.
Dalam merubah seseorang sastra pasti mempunyai suatu kekuatan yang
ada di dalamnya. Baik itu dari faktor cerita, bentuk bahkan pengarangnya. Begitu
juga sebaliknya. Dalam sastra ada beberapa hal yang dapat melemahkan makna
dalam sastra tersebut. Berikut akan dibahas tentang apa yang menjadi kekuatan
dan kelemahan dalam sastra.

3.1.4.1 Kekuatan sastra


Sebuah sastra bisa diperhitungkan bobotnya jika sastra tersebut memiliki
nilai yang terkandung di dalamnya. Pembentukan nilai tersebut akan terlihat
dalam karya si pengarang. Kemampuan menulis dari pengarang sangatlah
diperlukan dalam membuat sastra. Karena sastra bukan hanya tentang imajinasi
pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan, tapi kemampuan pengarang
dalam mengolah kata sangat memenentukan nilai sastra tersebut.
Dalam chaper 27 Smith mencontohkan karya Vergil yang dalam ceritanya
menceritakan kisah keluarga yang hancur sehingga dapat mengerakan hati
pembacanya. Pemilihan kata yang digunakan oleh Vergil membuat pembaca
seaakan terbawa suasana dalam kisah yang diceritakan novel tersebut.
Pemilihan kata dan bahasa yang digunakan pengarang sangatlah
menentukan imajinasi yang akan tergambar oleh pembacanya. Oleh karena itu
kemampuan pengarang dalam memilih bahasa sangat berpengaruh terhadap nilai
karangannya. Hal itu sejalan dengan Bühler dalam Teeuw (2013: 40) mengatakan
dalam menggunakan bahasa seseorang dapat menyampaikan seseuatu yang luar
biasa. Bahasa yang digunakan itu merupakan tanda yang dipakai pengarang dalam
menyampaikan pesan melalui tulisannya.

16
Bühler menambahkan, dalam menggunakan bahasa sebagai alat untuk
menyampaikan pesan, bahasa mempunya tiga fungsi yaitu; 1) Simpton atau gejala
dalam hubunganya dengan orang yang memakai tanda itu (pengirim pesan).
Untuk mengirim pesan tersebut tanda disebut Audsruck, ekspresi; 2) Sinyal dalam
hubunganya dengan penerima atau tanda pesan. Terhadap penerima itu tanda
berfungsi Appell, himbauan, apel; 3) Simbol dalam hubungannya dengan hal yang
ditandai atau diungkapkan. Terhadap hal tersebut tanda mempunya fungsi
Darstellung, referensi.
Bühler juga menegaskan dalam menyampaikan pesan ketiga fungi tersebut
harus berkaitan. Tapi dari ketiga fungsi itu tidak selalu sama fungsinya dalam
situasi komunikasi, karena penguatan fungsi itu tergantung pada konteks yang
dihadapinya. Biasanya dalam menyampaikan pesan fungsi Darstellung lebih
dominan, itu terungkap dalam apa yang kita sebut arti unsur bahasa. Tetapi dalam
situasi tertentu mungkin ekspresilah yang menjadi dominan, misal; jika
mengambarkan seseorang yang terjatuh mungkin akan menucapkan; “aduh!”.
Sedangkan fungsi apel bisa jadi dominan ketika menggambarkan sesorang sedang
memanggil nama temannya: “Dul! Kemari”.
Singkatnya dalam penejelasan di atas, jika kata-kata yang digunakan
pengarang terkesan biasa saja maka orang yang membacanya pun akan terkesan
acuh. Begitu pula sebaliknya, jika pengarang menggunakan kata-kata yang tepat
dan indah, mungkin dapat merubah pengetahuan, sudut pandang bahkan karakter
dan sifat orang yang membacanya. Dengan kata lain, kemampuan seorang
pengarang mengolah kata dalam karya sastra sangat berpengaruh terhadap sikap
pembacanya, karena itu bisa menjadi referensi pembaca dalam menilai sastra
tersebut.

3.1.4.2 Kelemahan sastra


Dalam menciptakan sebuah karya sastra memang tidak dibatasi dengan
syarat-syarat di dalamnya. Tapi bukan berarti dalam membuat sastra menjadi asal-
asalan. Karena ada beberapa hal yang dapat melemahkan nilai yang ada dalam
sastra tersebut.
Dalam pembahasannya Smith menyebutkan bahwa ada dua hal yang dapat
melemahkan nilai sastra. Pertama, membuat makna yang multi tafsir. Ini berakibat

17
sulitnya pembaca menarik inti dari sastra tersebut. Sastra memang bisa menjadi
suatu karya yang sangat luas maknanya. Tapi, peluasan makna ini jangan sampai
mengahalangi nilai yang ada di dalamnya. Sejalan dengan Derrida (1974) dalam
Isnendes (2010:37) yang menyebutkan bahwa dalam membaca sastra memang
bisa ditafsirkan lebih dari satu makna, tapi makna itu harus tetap ada berdasar
kepada penanda yang ada dalam sastra tersebut supaya makna atau nilai dari
sastra tersebut tidak menjadi samar. Kedua, menjadikan pembaca sebagai orientasi
penciptaan karya dan membiarkan pembaca untuk mentafsirkan sebuah karya
secara aktif. Smith menjelaskan bahwa penilaian yang sepenuhnya diserahkan
kepada pembaca akan menyamarkan nilai yang ada di dalam sastranya. Tapi
pendapat tersebut dibantah oleh Teeuw (2013: 280) yang menjelaskan bahwa
setiap kemampuan pembaca itu berbeda. Teeuw menegaskan bahwa pemahaman
suatu makna sangatlah kompleks, jadi semua itu tergantung sudut pandang orang
yang menilainya. Jadi sangatlah tidak adil jika penilaian pembaca harus
disamakan dalam satu sudut pandang.

3.1.5 Kondisi Pembelajaran Sastra dalam Proses Pembelajaran Bahasa


Sunda
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Pembelajarkan sastra tidak
akan lepas dari pembelajaran bahasa. Tapi keduanya tidak dapat disamakan karena
memiliki tujuan yang berbeda. Begitupun dalam mengajarkan sastra dalam
pembelajaran bahasa Sunda. Meskipun dalam kurikulum diajarkan beberapa
materi tentang sastra Sunda, tapi itu tidak bisa menjadi indikator bahwa siswa
mendapatkan ilmu yang memadai dalam sastra.
Beberapa hal menjadi penghambat dalam mengajarkan sastra pada
pembelajaran bahasa Sunda. Baik itu dari kurikulum, sekolah, siswa atau pada
guru mata pelajarannya. Kita ambil contoh materi bahasa Sunda yang diajarkan di
tingkat kelas 6 SD

Daftar SK KD Bahasa Sunda Kelas 6

18
STANDAR KOMPETENSI KOPETENSI DASAR
6.1.1 Menyimak nasihat
6.1 Mampu menyimak untuk
memahami dan menanggapi
6.1.2 Menyimak dongeng
nasihat, berita radio/ televisi,
dan dongeng.
6.1.3 Menyimak berita radio/ TV

6.2 Mampu berbicara untuk 6.2.1 Menceritakan hasil pengamatan


mengungkapkan pikiran,
perasaan, dan keinginan dalam 6.2.2 Berpidato (biantara)
menceritakan hasil pengamatan,
membahas buku, mengeritik, 6.2.3 Membahas isi buku
berpidato, berdiskusi, dan
memerankan drama. 6.2.4 Berdiskusi (sawala)
6.3 Mampu membaca untuk
memahami dan menanggapi 6.3.1 Membaca intensif
bacaan melalui kegiatan membaca
sekilas (skimming), membaca cepat, 6.3.2 Membaca sekilas
dan membaca intensif.

6.4.1 Melengkapi karangan


6.4 Mampu menulis untuk
mengungkapkan pikiran, 6.4.2 Menulis pidato (biatara)
perasaan dan keinginan dalam
mengisi formulir, melengkapi 6.4.3 Menuliskan kejadian (peristiwa)
karangan, menulis kejadian,
riwayat hirup, dan pidato 6.4.4 Mengisi formulir
(biantara).
6.4.5 Menulis riwayat hidup

Dari tabel di atas dapat dilihat bahawa dalam kurikulum pembelajaran


bahasa Sunda tidak secara khusus mengajarkan sastra. Materi kebahasaan lebih
dominan dalam proses pembelajaran. Tujuan terampil dalam berbahasa menjadi
latar belakang mengapa aspek kebahasaan lebih dominan dalam proses
pembelajarannya. Untuk penyampaian materi tentang sastra kembali kepada
kreatifitas guru dalam mengajarkanya.
Jika melihat beberapa kompetensi guru bahasa Sunda yang ada di
Bandung. Tidak semua guru mempunyai pengetahuan yang lebih dalam
mengajarkan sastra. Hadi AKS yang merupakan seorang guru dan juga sastrawan

19
Sunda pernah menuliskan kritikan terhadap minat menulis dikalangan guru bahasa
Sunda. Hadi mengatakan, meskipun karya sastra Sunda tetap bermunculan, tapi
sebagian besar karya tersebut tidak lahir dari seorang guru. Hadi menambahkan
jika seorang guru kurang berkompetensi dalam hal menulis sastra, bagaimana
guru tersebut dapat mengajarkanya secara optimal.
Dari pendapat Hadi AKS di atas kita dapat menyimpulkan bahwa
meskipun ada beberapa hal yang menjadi pengahambat dalam mengajarkan sastra
dalam pembelajaran bahasa Sunda, guru sebagai ujung tombak dalam proses
pembelajaran, harus memiliki kemampuan dan kreatifitas yang lebih dalam
mengajarkan Sastra. Hal ini bertujuan agar nilai yang terkandung dalam sastra
dapat diterima oleh siswa dan dapat melarapkannya dalam kehidupanya sehari-
hari.

3.2 Simpulan
Dalam mengajarkan sastra tidak dapat disamakan dengan mengajarkan
ilmu bahasa, oleh karena itu dalam pelakasaaanya seorang guru harus memiliki
pengetahuan tentang bahasa dan sastra yang sama baiknya. Chapter 27 ini
memeberikan pengetahuan tentang bagaimana seorang guru menyikapi sebuah
sastra sebelum mengajarkanya dalam proses pembelajaran. Sebuah karya sastra
memiliki berbagai macam nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai tersebut dapat
mengubah sudut pandang, pengetahuan atau bahkan karakter orang yang
mempelajarinya. Oleh karena itu dalam mengajarkan sastra harus lebih mendalam
lagi, agar siswa yang diajarkannya tidak hanya mengenal sastra dari luarnya saja,
tapi dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam sastra tersebut sebagai
cerminan dalam menjalani hidup kedepanya.

3.3 Implikasi
Dari materi yang dibahas dapat membuahkan implikasi untuk bidang
penelitian. Materi yang dibahas dapat dijadikan tema-tema dalam penelitian
tentang sastra, serta diharapkan dapat lebih membantu kalangan akademisi dalam
meperoleh gambaran dan referensi dalam melaksanakan proses pembelajaran. Bila

20
pembahasan mengajarkan sastra dikaitkan dengan disiplin ilmu Pendidikan bahasa
dan budaya Sunda akan menghasilkan beberapa tema penelitian di bawah ini.
1. Naskah “Sanghyang Siksa Kandang Karesian” dalam pembanguan
karakter bangsa.
2. Kajiaan sosiologi sastra dalam mengajarkan puisi di SMA.

GLOSARIUM

KARYA: Pekerjaan, hasil atau pembuatan sesuatu yang diciptakan

PUISI: Seni tertulis yang digunakan untuk kualitas estetikanya untuk tambahan
atau arti semantiknya.

NOVEL: Karangan prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita


kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan
sifat dan watak perilaku

REDUKSI: Pemotongan

SADUR: Hasil mengubah; ubahan bebas dari cerita lain tanpa merusak garis
besar cerita

SASTRA : Bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai di kitab-kitab (bukan


bahasa sehari-hari)

21
Daftar Pustaka

Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.


Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Faruk 2013. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hutomo, Suripan Sadi. 2013. Mutiara yang Terlupakan. Surabaya: Himpunan


Sarjana Kesusastraan Indonesia.

Isnendes, Retty. 2010. Kajian Sastra. Bandung: Daluang

Jamalludin 2003. Problematika Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta:


Adicita Karya Nusa

Rosidi, Ajip 2009. Ngalanglang Kasusastraan Sunda. Bandung: Kiblat

Teeuw, A.2013. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya

22

Anda mungkin juga menyukai