Disusun oleh :
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
Namun, dalam proses pembelajaranya, jika guru bahasa memiliki
kompetensi sastra yang memadai, jelas tidak ada masalah. Mereka bisa mengajak
siswa didiknya untuk bisa menikmati sastra dan estetikanya. Melalui sastra, siswa
bisa belajar banyak tentang persoalan hidup dan kehidupan, memperoleh “gizi”
batin yang mampu mencerahkan hati nurani, sehingga sanggup menghadapi
kompleks dan rumitnya persoalan kehidupan secara arif dan dewasa. Namun,
secara jujur mesti diakui, tidak semua guru bahasa memiliki kompetensi sastra
yang memadai. Minat dan kecintaan guru bahasa terhadap sastra masih menjadi
tanda tanya. Tidak berlebihan jika pengajaran sastra di sekolah cenderung
monoton, kaku, bahkan membosankan. Jika kondisi semacam itu terus berlanjut
bukan mustahil peserta didik akan mengidap “rabun” sastra berkepanjangan.
Dari paparan di atas kita bisa menggaris bawahi, sastra adalah suatu ilmu
yang dapat mengubah kehidupan manusia, karena dengan mengajarkan sastra, kita
dapat membentuk suatu karakter yang dapat membimbing siswa dalam mejalani
kehidupan agar lebih dewasa dan bijak.
3
pun khususnya bahasa Sunda, pembelajaran sastra sangat penting untuk dibahas
karena dapat mengenal kesusastraan dan dapat menelaah sebuah karya dalam
proses pembelajaran.
BAB II
4
MENCARI OBJEKTIFAN, SASTRA DAN PENDIDIKAN MORAL, ISI
BENTUK DAN REFERENSI, BAGAIMANA KITA DIGERAKAN OLEH
SASTRA DAN PELEMAHAN MAKNA
5
Smith menjelaskan perbedaan yang memiliki keterkaitan ini bisa muncul
dari cara berfikir formal sesesorang yang menekankan pemisahan sastra dan
“kehidupan” nyata. Sebab adanya penilaian objektif secara ilmiah dalam
pembacaan sastra tersebut. Karena menurut Smith pembaca yang baik adalah
pembaca yang penuh perhatian terhadap apa yang ada di dalam tulisan yang
dibacanya. Sejalan dengan Catherine Belsey (1988: 36) yang menjelaskan
pembaca mempunyai peran arbitrer dalam menilai sastra, bisa mengkaji secara
struktur atau dengan cara yang lain. Smith menambahkan, makna yang ingin
disampaikan pengarang dalam sebuah sastar tergantung apa yang ditafsirkan oleh
pembaca tersebut. Karena setiap pembaca mempunyai sudut pandang yang
beragam. Namun hal itu harus dibekali dengan pengetahuan pembaca dalam
menilai suatu karya.
Singkatnya, pembaca mempunyai keleluasaan dalam mentafsirkan sastra
dengan rujukan apaun, namun dalam pelaksanaanya tidak ada yang benar-benar
sesuai dalam mentafsirkanya. Tapi, ada pula sastra yang berhasil meningkatkan
pembaca pada nilai dan refleksi moral tertentu.
6
(1999) yang berpendapat bahwa pembelajaran hidup seorang tokoh dalam sebuah
karya sastra (prosa) adalah hikmah bagi pembacanya.
Dalam subbab ini Smith juga mencontohkan sebuah karya sastra Novel
“Nothanger Abbey” karya Jane Austen, dimana tokoh-tokohnya belajar untuk
jujur dalam menilai seseorang. Smith menegaskan bahwa dalam membaca sastra,
semua aspek yang ada didalam sastra memiliki nilai yang bisa dipetik dan
dijadikan contoh dalam kehidupan. Hal ini diperkuat dengan anggapan F. R.
Leavis (1983 : 18) yang mengatakan bahwa yang disebut nilai dalam sastra itu
benar-benar ada. Leavis pun menambahkan kajian yang sering dilakukan oleh
kritikus sastra sebenarnya adalah kajian terhadap nilai-nilai hidup.
Karya sastra menurut Leavis bukan hanya menjadi bahan bacaan semata,
tapi juga perlu dikaji untuk memperkaya sudut pandang sesorang dalam melihat
kehidupan. Karena jika kita banyak mengkaji tentang sastra, kita bisa memahami
berbagai macam sudut pandang dari pengarang yang berbeda serta dapat melihat
nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai sudut pandang tersebut.
Leavis juga menambahkan, jika sastra dapat membantu seseorang melihat
hal-hal lain yang bersifat naratif, baik secara vebal ataupun non verbal.
Contohnya; sikap terhadap lirik lagu, iklan, pidato politik dan program TV.
Dengan begitu sastra berlaku dalam memperkaya wawasan dan sudut pandang
moralitas kita dalam menjali hidup.
7
keterlibatan kosep yang sangat besar dan tidak dapat diambil pada ide yang
diambil hanya dari ringkasannya.
Smith mencontohkan karya C. P. Cavalis yang menulis bait
“Ketika kamu merencanakan perjalananmu ke Ithica
Berdoalah bahwa perjalanmu akan lama”
Di dalamnya Cavalis menyinggung bahwa pengembaraan Odysssey yang panjang
itu dianggap bukan hanya sebagai perjalanan hidup sang tokoh, tapi juga
mencerminkan hidup manusia secara umum.
Di sisi lain bentuk dan isi dapat diilustrasikan dengan melihat hal dimana
teks dapat merujuk pada kejadian tertentu. Keterkaitan bentuk dan makna oleh
Smith dicontohkan pada puisi karya Wilferd Owen yang berjudul “Anthem for
Doomed Youth”.
“Apa lonceng berbunyi untuk yang mati sebagai sapi
Hanyalah kemarahan pistol yang dahsyat
Hanyalah hembusan senapan tegak yang begitu kencang
Kamari kecil bersuarakan doa tergesa-gesa”
Dalam puisi itu pistol yang disebutkan merujuk pada pistol dan senapan tentara
realis sejarah. Puisi ini tidak hanya puitis (secara bentuk) tapi juga
menggambarkan suasana perang dunia I disekitar Belgia. Puisi ini tidak hanya
sekedar menggambarkan seadanya, tapi bisa “menghidupkan” bayangan akan
kengerian perang.
Dari situ dapat dilihat fungsi sastra (puisi) adalah menunjukan bahwa
tanda tidak selalu mengambarkan seadanya, tapi penting pula untuk mengerti
bahwa bayangan atau persepsi tidak selalu sama dengan apa yang dilihat.
Kontradiksi penting, karena tanpa kontradiksi hubungan antar tanda dan objek
menjadi kabur.
Smith mencontokan sebuah karya Edward Lear yang menunjukan
ketidakmungkinan bentuk dan isi bisa terpisah.
8
Untuk topinya seribu dan dua kaki melebar
Dengan pita dan bibon di setiap sisi
Dan lonceng, dan tombol, dan antena, dan tali
Sehingga tak seorangpun melihat wajahnya
Dari akal licik Quangle Quee”
Smith menyebutkan bahwa itu merupakan suatu karya “puisi tidak masuk akal”
yang memberikan kesaksian kesulitan yang kita punya dalam melihat rasa dan
makna. Rasa atau makna tidak selalu didapat dari pengembaraan realitas yang
sebagaimana adanya. Sastra itu rumit, Bahkan sebuah puisi yang tampak luar
tidak memiliki makna sekalipun, sebenarnya merupakan representasi jalinan yang
banyak hal; pemikiran, perenungan, tautan atau rujukan pada banyak hal yang
rumit dan berlipat menyangkut kemanuasiaan.
9
Dalam subbab ini Smith menjelaskan hal-hal yang melemahkan makna
dalam sastra. Ada dua kecendrungan dalam kajian sastra ini:
1) Menjadikan makna teks yang multi tafsir
2) Menjadikan pembaca sebagai orientasi penciptaan karya, membiarkan
pembaca untuk mentafsirkan sebuah karya secara aktif.
Harus dipahami bahwa teks adalah bangunan terbuka; terbuka bagi
pemahaman yang membuatnya lebih kaya dan berwarna. Dalam chapter ini Smith
mengambil teori dari Jacques Derrida sebagai “Dissemination”. Yaitu makna teks
akan selalu berbeda, makna tunggal itu tidak pernah ada. Derrida pun
menambahkan (1981: 26) “Perbedaan itu ada di mana-mana, jejaknya bisa
ditentukan dimana saja”.
Smith menagaskan bahwa makna itu pasti luas, makna akan berkembang
seiring berjalannya waktu. Makna itu adalah sebuah fungsi bahasa yang tiada
akhirnya. Derrida pun menegaskan dalam pembacaan makna harus lebih kritis
terhadap pesan-pesanya agar tidak salah dalam penafsirannya.
BAB III
10
PEMBAHASAN, KESIMPULAN, IMPLIKASI
3.1 Pembahasan
Pada BAB sebelumnya telah dibahas tentang ilmu dan materi dalam sastra
menurut Richard Smith. Namun dalam chapter tersebut tidak dijelaskan tekhnis
yang rinci tentang bagaimana mengajarkan sastra. Tapi secara garis besar, Ricard
Smith menjelaskan dalam mengajarkan sastra yang menjadi kunci utamanya
terdapat pada guru yang selaku subjek yang menjalankan proses pembelajaran.
Guru harus dibekali pengetahuan yang memadai tentang keilmuan sastra sebelum
mengajarkanya. Sebab dalam mengajarkan sastra terdapat berbagai nilai yang
dapat merubah sudut pandang atau karakter kepada orang yang diajarkanya.
Untuk itu dalam mengajarkan sastra pun tidak hanya mengetahui tentang sebuah
karya dan pengarangnya saja. Tapi harus secara menyeluruh kepada aspek-aspek
yang ada di dalamnya.
Dalam pembahasan BAB III ini lebih difokuskan pada pembahasan
tentang perbandingan teori dan keilmuan tentang sastra yang ada. Pembahasan ini
akan sedikit membantu untuk kebutuhan dalam mengajarkan sastra di dalam
proses pembelajaran.
11
bisa saja tiap pembaca memiliki penilaian yang subjektif terhadapa suatu karya.
Teeuw juga menambahkan kemungkinan jika karya seseorang akan dianggap
tidak bernilai oleh beberapa orang, tapi akan sangat bernilai segelintir orang
lainya. Sebagai contoh karya sastra Kakawin Jawa hanya bisa dianggap bernilai
oleh kalang masyarakat keraton Jawa. Sedangkan di kalangan santri, teks sastra
berupa Serat Rengganis, Serat Yusup, dll. jauh lebih tinggi penilaiannya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan berbedanya sudut pandang dari
tiap pembaca. Salah satu diantaranya adalah faktor sosial dari seorang pembaca.
Faruk (2013: 22) mengatakan bahwa kenyataan sosial ditempatkan pada diri
individu, baik dalam bentuk perilakunya maupun dalam pemikiranya. Dia
menjelaskan bahwa faktor sosial bisa merubah sudut pandang seseorang dalam
menilai suatu karya sastra, baik dari pengarang, karya maupun pembacanya.
Darmono (1979: 58) menambahkan sastra itu berkaitan dengan sejumlah faktor
sosial untuk asal-usul bentuk dan isinya.
Jadi dapat disimpulkan, semua penilaian sastra tergantung pada sudut
pandang orang yang membacanya. Hal ini sejalan dengan Culler melalui Pradopo
dalam Isnendes (2010: 36) yang mengatakan:
“Pada akhirnya semua makna akan dipasrahkan kepada pembaca. Dan
Pembaca diberi kebebasan dalam menilai karya yang ada”
12
berisi sebuah nasehat, berisi sebuah curahan hati, atau pun berisi tentang sebuah
kritikan.
Di masa pendudukan Belanda, banyak warga Indonesia yang tidak bisa
melawan Belanda dengan cara adu fisik secara langsung. Tapi beberapa warga
Indonesia berani melawan Belanda dengan cara yang lebih intelektual. Salah
satunya dengan membuat karya. Baik itu dalam bentuk retorika seperti yang
dilakuka Soekarno dan Soetomo, mendirikan sebuah perkumpulan atau pun
membuat karya dalam bentuk sastra.
Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” merupakan salah satu contoh karya
sastra yang di dalamnya berisi pesan agar wanita Indonesia lebih berani
menunjukan jati dirinya, agar tidak hanya dipandang sebelah mata dalam
menjalankan kehidupannya. Buku tersebut menjadi inspirasi banyak wanita dalam
memperjuangkan emansipasi wanita.
Selain berisi tentang sebuah pesan atau nasehat. Beberapa pengarang di
Indonesia membuat suatu karya yang menceritakan keadaan lingkungan dan
sosialnya. Pramoedya Ananta Toer dengan karya “Bumi Manusia” menceritakan
tentang sikap diskriminasi bangsa Belanda terhadap orang pribumi. Tapi dalam
cerita itu sosok Minke selaku orang pribumi menunjukan dirinya bisa berprestasi
dan memperlihatkan kepada bangsa Belanda bahwa orang pribumi pun bisa
berprestasi dan tidak dipandang sebelah mata.
Begitu juga dalam dunia sastra Sunda. Dalam ceritanya ada yang
berdasarkan referensi keaadaan sosial pada masa itu. Novel berjudul “Puputon”
karya Aam Amelia. Novel ini bisa dikatakan merupakan “curahan hati”
pengarangnya karena dalam cerita tersebut sangat menyuarakan suara perempuan
pada jaman saat itu, dimana perempuan dianggap kaum lemah dalam segala hal,
hingga dalam urusan cinta pun seorang perempuan boleh dimadu. Novel yang
menceritakan kisah cinta segitiga antara Ismet, Astri dan Mamay memliki peranan
dalam menyampaikan isi hati pengarangna.
Adapun juga beberapa karya sastra yang berupa dongeng rakyat. Di
dalamnya mengandung pesan dan nilai yang sangat tinggi. Sebagai contoh
dongeng Malin Kundang yang mengajarkan kita agar tidak menjadi anak yang
13
durhaka pada orang tuanya. Serta ada juga dongeng tentang Tangkuban Parahu.
Cerita tentang anak yang ingin menikahi ibunya, sampai semua usaha tidak dapat
melakukan keinginannya.
Untuk semua nilai dan makna yang terdapat pada sebuah karya sastra,
semuanya kembali pada tafsiran dan sudut pandang orang yang membaca karya
tersebut. Apakah tafsiran makna mereka sama dengan yang lainya.
14
dalam mengatur semua tatanan hidup, termasuk perjodohan. Gambaran keadaan
tradisi tersebut mencerminkan bahawa lingkungan sangat berpengaruh dalam
membuat sastra. Ada juga sebuah buku berjudul “Catatan Seorang Demonstran”,
meskipun buku itu hanya tentang catatan harian seorang Soe Hok Gie saja, tapi di
dalamnya merupakan catatan tentang keadaan sosial jaman Orde baru. Baik dari
sudut pandang politik, pendidikan, sosial dan agama. Begitupun dalam sastra
Sunda.
Ada beberapa novel yang tercipta atas referensi keaadan sosial pada jaman
dulu. Seperti novel karya Moh. Sanoesi yang berjudul “Siti Rayati”. Dalam novel
itu menceritakan Siti Rayati yang merupakan anak dari hasil hubungan gelap
Patimah dan pemilik perkebunan teh tuan Steenhart. Novel yang menjelaskan
bagaimana perlakuan bangsa belanda terhadap kaum pribumi yang dianggap
lemah. Dalam novel itu diceritakan perjuangan Patimah bertahan hidup dan ingin
bertemu kembali dengan anaknya serta tentang Siti Rayati yang berusaha
mencapai cita-citanya tanpa mengandalkan jabatan ayah angkatnya.
Beberapa karya sastra di atas merupakan contoh bahwa sebuah lingkungan
dapat menjadi sebuah refernsi yang kuat dalam membuat sebuah karya sastra.
Bahkan bisa saja karena saking kuatnya referensi dari lingkungan itu membuat
suatu karya tidak dapat dirubah bentuk ataupun isinya.
Kita ambil contoh jika cerita novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”
disadur ke dalam sebuah karya sastra Sunda, maka ada beberapa nilai yang dalam
cerita tersebut bisa saja hilang. Salah satunya nilai adat, karena jika dibandingkan
antara adat tradisi Sunda dan Minang sangat berbeda. Dalam novel
“Tenggelamnya Kapal Van Der Wick” menceritakan besarnya pengaruh adat
Minang dalam mengatur pola hidup masyarakatnya, terutama dalam hal jodoh.
Untuk itu jika disadur kepada karya sastra Sunda bisa saja tidak cocok dalam
penerapanya. Karena berbedanya latar belakang sosial dalam isi ceritanya.
Penejelasan diatas menunjukan jika dalam sebuah sastra baik itu bentuk,
isi dan referensi sangatlah berkaitan erat. Mesikipun salah satunya dapat dirubah,
tapi nilai yang terkandung didalamnya tidak akan sama. Ini menunjukan bahwa
15
setiap karya sastra menunjukan ciri khasnya masing-masing yang tidak begitu saja
dapat dirubah.
16
Bühler menambahkan, dalam menggunakan bahasa sebagai alat untuk
menyampaikan pesan, bahasa mempunya tiga fungsi yaitu; 1) Simpton atau gejala
dalam hubunganya dengan orang yang memakai tanda itu (pengirim pesan).
Untuk mengirim pesan tersebut tanda disebut Audsruck, ekspresi; 2) Sinyal dalam
hubunganya dengan penerima atau tanda pesan. Terhadap penerima itu tanda
berfungsi Appell, himbauan, apel; 3) Simbol dalam hubungannya dengan hal yang
ditandai atau diungkapkan. Terhadap hal tersebut tanda mempunya fungsi
Darstellung, referensi.
Bühler juga menegaskan dalam menyampaikan pesan ketiga fungi tersebut
harus berkaitan. Tapi dari ketiga fungsi itu tidak selalu sama fungsinya dalam
situasi komunikasi, karena penguatan fungsi itu tergantung pada konteks yang
dihadapinya. Biasanya dalam menyampaikan pesan fungsi Darstellung lebih
dominan, itu terungkap dalam apa yang kita sebut arti unsur bahasa. Tetapi dalam
situasi tertentu mungkin ekspresilah yang menjadi dominan, misal; jika
mengambarkan seseorang yang terjatuh mungkin akan menucapkan; “aduh!”.
Sedangkan fungsi apel bisa jadi dominan ketika menggambarkan sesorang sedang
memanggil nama temannya: “Dul! Kemari”.
Singkatnya dalam penejelasan di atas, jika kata-kata yang digunakan
pengarang terkesan biasa saja maka orang yang membacanya pun akan terkesan
acuh. Begitu pula sebaliknya, jika pengarang menggunakan kata-kata yang tepat
dan indah, mungkin dapat merubah pengetahuan, sudut pandang bahkan karakter
dan sifat orang yang membacanya. Dengan kata lain, kemampuan seorang
pengarang mengolah kata dalam karya sastra sangat berpengaruh terhadap sikap
pembacanya, karena itu bisa menjadi referensi pembaca dalam menilai sastra
tersebut.
17
sulitnya pembaca menarik inti dari sastra tersebut. Sastra memang bisa menjadi
suatu karya yang sangat luas maknanya. Tapi, peluasan makna ini jangan sampai
mengahalangi nilai yang ada di dalamnya. Sejalan dengan Derrida (1974) dalam
Isnendes (2010:37) yang menyebutkan bahwa dalam membaca sastra memang
bisa ditafsirkan lebih dari satu makna, tapi makna itu harus tetap ada berdasar
kepada penanda yang ada dalam sastra tersebut supaya makna atau nilai dari
sastra tersebut tidak menjadi samar. Kedua, menjadikan pembaca sebagai orientasi
penciptaan karya dan membiarkan pembaca untuk mentafsirkan sebuah karya
secara aktif. Smith menjelaskan bahwa penilaian yang sepenuhnya diserahkan
kepada pembaca akan menyamarkan nilai yang ada di dalam sastranya. Tapi
pendapat tersebut dibantah oleh Teeuw (2013: 280) yang menjelaskan bahwa
setiap kemampuan pembaca itu berbeda. Teeuw menegaskan bahwa pemahaman
suatu makna sangatlah kompleks, jadi semua itu tergantung sudut pandang orang
yang menilainya. Jadi sangatlah tidak adil jika penilaian pembaca harus
disamakan dalam satu sudut pandang.
18
STANDAR KOMPETENSI KOPETENSI DASAR
6.1.1 Menyimak nasihat
6.1 Mampu menyimak untuk
memahami dan menanggapi
6.1.2 Menyimak dongeng
nasihat, berita radio/ televisi,
dan dongeng.
6.1.3 Menyimak berita radio/ TV
19
Sunda pernah menuliskan kritikan terhadap minat menulis dikalangan guru bahasa
Sunda. Hadi mengatakan, meskipun karya sastra Sunda tetap bermunculan, tapi
sebagian besar karya tersebut tidak lahir dari seorang guru. Hadi menambahkan
jika seorang guru kurang berkompetensi dalam hal menulis sastra, bagaimana
guru tersebut dapat mengajarkanya secara optimal.
Dari pendapat Hadi AKS di atas kita dapat menyimpulkan bahwa
meskipun ada beberapa hal yang menjadi pengahambat dalam mengajarkan sastra
dalam pembelajaran bahasa Sunda, guru sebagai ujung tombak dalam proses
pembelajaran, harus memiliki kemampuan dan kreatifitas yang lebih dalam
mengajarkan Sastra. Hal ini bertujuan agar nilai yang terkandung dalam sastra
dapat diterima oleh siswa dan dapat melarapkannya dalam kehidupanya sehari-
hari.
3.2 Simpulan
Dalam mengajarkan sastra tidak dapat disamakan dengan mengajarkan
ilmu bahasa, oleh karena itu dalam pelakasaaanya seorang guru harus memiliki
pengetahuan tentang bahasa dan sastra yang sama baiknya. Chapter 27 ini
memeberikan pengetahuan tentang bagaimana seorang guru menyikapi sebuah
sastra sebelum mengajarkanya dalam proses pembelajaran. Sebuah karya sastra
memiliki berbagai macam nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai tersebut dapat
mengubah sudut pandang, pengetahuan atau bahkan karakter orang yang
mempelajarinya. Oleh karena itu dalam mengajarkan sastra harus lebih mendalam
lagi, agar siswa yang diajarkannya tidak hanya mengenal sastra dari luarnya saja,
tapi dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam sastra tersebut sebagai
cerminan dalam menjalani hidup kedepanya.
3.3 Implikasi
Dari materi yang dibahas dapat membuahkan implikasi untuk bidang
penelitian. Materi yang dibahas dapat dijadikan tema-tema dalam penelitian
tentang sastra, serta diharapkan dapat lebih membantu kalangan akademisi dalam
meperoleh gambaran dan referensi dalam melaksanakan proses pembelajaran. Bila
20
pembahasan mengajarkan sastra dikaitkan dengan disiplin ilmu Pendidikan bahasa
dan budaya Sunda akan menghasilkan beberapa tema penelitian di bawah ini.
1. Naskah “Sanghyang Siksa Kandang Karesian” dalam pembanguan
karakter bangsa.
2. Kajiaan sosiologi sastra dalam mengajarkan puisi di SMA.
GLOSARIUM
PUISI: Seni tertulis yang digunakan untuk kualitas estetikanya untuk tambahan
atau arti semantiknya.
REDUKSI: Pemotongan
SADUR: Hasil mengubah; ubahan bebas dari cerita lain tanpa merusak garis
besar cerita
21
Daftar Pustaka
22