Anda di halaman 1dari 67

BAB I PENDAHULUAN

Karya sastra baik yang berbentuk puisi maupun cerita fiksi merupakan salah satu aspek penting yang perlu diajarkan kepada para siswa agar mampu menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta

meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Materi pembelajaran sastra di sekolah mempunyai pengaruh yang besar bagi kehidupan siswa, sebab dapat meningkatkan kepekaan siswa terhadap fakta yang ada di masyarakat, menghaluskan perasaan siswa, serta membentuk kepribadian dan budi pekerti luhur. Pembelajaran sastra di sekolah-sekolah formal sejauh ini dapat dikatakan mengecewakan. Berbagai lontaran kekecewaan itu dari tahun ke tahun tak pernah henti-hentinya. Kekecewaan terhadap pembelajaran sastra itu dilontarkan oleh berbagai pihak, antara lain, Sarjono (2000); Sayuti (2000); Kuswinarto (2001); Sarumpaet (2004); Alwasilah (2004); Herfanda (2005). Membelajarkan sastra adalah merupakan hasil kreativitas membelajarkan karya seni yang Tidak tepat kiranya, jika

pengarang.

membelajarkan sastra hanya memberikan fakta atau informasi tentang judul cerita, nama pengarang, nama tokoh, tempat kejadian maupun sinopsis cerita. Siswa hendaknya diajak menikmati keindahan karya sastra, menghargai pikiran dan karya cipta pengarang. Karya sastra harus diajarkan secara apresiatif. Membelajarkan karya sastra harus bersifat problematis serta memungkinkan siswa mengalami keterlibatan psikologis dengan pengarangnya. Dengan cara demikian, karya sastra itu bermakna di dalam diri siswa dan membangkitkan kreativitasnya.

Dalam kenyataan, bimbingan apresiasi yang menyangkut keseluruhan teks jarang diberikan oleh guru. Guru seringkali hanya menyuruh siswa untuk melakukan serangkaian kegiatan, misalnya membacakan puisi, membaca ringkasan cerita, menghafalkan nama-nama pelaku cerita, judul, pengarang, dan tema yang semua itu menjurus kepada hafalan tanpa makna. Seorang siswa mungkin akan hafal seluruh nama pelaku novel Burung-burung Manyar

karya Mangunwijaya, tetapi bila ditanyakan bagaimana kesannya terhadap watak Larasati (tokoh cerita dalam novel tersebut), mungkin jawabnya akan ngawur saja. Hal itu disebabkan mereka memang tidak pernah membaca seluruh cerita serta jarang mendapatkan bimbingan ke arah itu. Sering pula siswa tahu tema dari beberapa puisi maupun novel, tetapi pengetahuan itu jarang didapat melalui hasil penemuan sendiri, melainkan berasal dari pemberitahuan guru atau dari hasil membaca ringkasan karya sastra. Dengan perkataan lain, unsur menghafal memegang peranan yang sangat penting, sedangkan unsur partisipasi aktif siswa untuk menghayati sendiri masih sangat minim

(Sarumpaet, 2002). Apabila situasi yang demikian itu masih terus berlangsung, dapatlah diramalkan bahwa tujuan pembelajaran sastra yang ingin dicapai hanya akan merupakan tujuan di atas kertas saja. Pembelajaran sastra hendaknya berangkat dari karya sastra itu

sendiri dan bukan teori sastra. Siswa diberi keleluasaan berkenalan dan berkelana sebanyak mungkin dengan karya sastra. Siswa diberi kesempatan menghayati secara personal akan karya sastra itu. Mereka juga harus sampai pada kesimpulan tentang nilai keindahan yang terkandung dalam suatu karya sastra. Perspektif pengarang dan diri siswa sebagai wakil pembaca dapat diberikan. Karena penghayatan karya sastra harus mendalam, maka pembelajaran sastra lebih bersifat personal. Setiap siswa diberi kesempatan untuk

membaca secara cermat keindahan karya sastra dan kemudian mendiskusikan

di depan kelas tentang keindahan karya sastra itu. Siswa diberi kesempatan untuk menikmati karya sastra dalam waktu yang cukup. Dalam rangka ikut membenahi pembelajaran sastra, penelitian ini menyajikan pembenahan yang menyangkut pendekatan pemahaman terhadap karya sastra baik yang berbentuk puisi maupun cerita fiksi. Upaya tersebut dilakukan dengan cara mengeksperimenkan tiga macam pendekatan

pembelajaran sastra, yaitu pendekatan semiotik, pendekatan resepsi sastra, dan pendekatan struktural. Pendekatan pemahaman terhadap karya sastra dalam interaksi belajarmengajar banyak ragamnya. Oleh sebab itu, guru perlu memilih pendekatan pembelajaran yang paling efektif guna mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dalam memilih strategi pembelajaran yang efektif untuk mencapai tujuan, perlu diingat beberapa prinsip di antaranya pemilihan pengalaman belajar. Strategi mengajar yang dipilih haruslah mengalami tingkah memungkinkan siswa

laku yang dirumuskan dalam tujuan, memberikan

kepuasan kepada siswa untuk mengalaminya, serta ada dalam batas-batas kemampuan siswa untuk mengerjakannya. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut di bawah ini. a. Apakah ada perbedaan pengaruh pembelajaran sastra dengan menggunakan pendekatan semiotik, pendekatan resepsi sastra, maupun pendekatan struktural terhadap kemampuan siswa dalam memahami makna karya sastra baik yang berbentuk puisi maupun cerita fiksi? Perlu diketahui bahwa ketiga pendekatan tersebut kesemuanya mengarah kepada upaya memberikan pemahaman pengalaman baru, yaitu pengalaman sastra kepada para siswa.

b.

Pendekatan

pembelajaran

manakah

yang

paling

efektif

untuk

meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami makna karya sastra baik yang berbentuk puisi maupun cerita fiksi?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tugas seorang guru sastra bukanlah sekedar mengisi keranjang kosong dengan berbagai informasi. Peranan guru sastra lebih mirip peran seorang bidan yang tugasnya membantu kelahiran ide-ide dan konsep baru. Sehubungan dengan itu, seorang guru sastra seharusnya tidak terlampau banyak menceritakan setiap keping sastra, mendiktekan catatan, singkatan, tokoh-tokoh suatu cerita, dan sebagainya. Guru sastra jangan mengenalkan karya sastra kepada siswanya sepotong-sepotong akan tetapi secara

menyeluruh. Ia hendaknya berusaha memungkinkan siswa mendapatkan apa itu; berusaha memberikan saran dan dorongan bila diperlukan. Kedalaman makna karya sastra itu harus benar-benar dapat dikaji siswa lebih dari mengkaji fisik karya sastra itu. Dalam mengajarkan sastra, guru tidak perlu berurusan dengan

produksi hal-hal yang bersifat mekanis (misalnya hafalan-hafalan dan aktivitas yang bersifat otomatis yang tidak berguna bagi siswa). Yang perlu dikerjakan guru adalah memikirkan bagian-bagian khusus yang dapat

diperkenalkan kepada siswa sebagai sesuatu pengalaman baru. A. Arah Pembelajaran Sastra Pembelajaran Bahasa Indonesia yang di dalamnya terdapat

pembelajaran sastra sesuai dengan salah satu prinsip dalam pengembangan kompetensi ditekankan bahwa pembelajaran harus berpusat pada siswa sebagai pembangun pengetahuan. Pembelajaran sastra hendaknya dapat memandirikan siswa untuk belajar, berkolaborasi, membantu teman, mengadakan pengamatan,

dan penilaian diri untuk suatu refleksi guna mendorong siswa membangun pengetahuannya sendiri. Dengan demikian pengetahuan baru akan diperoleh melalui pengalaman langsung secara lebih efektif. Hal tersebut sinergis dengan hakikat karya sastra itu sendiri. Karya sastra sebagai sebuah karya imajinatif menampilkan berbagai masalah manusia dan kemanusiaan, masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama berdasarkan pengalaman dan pengamatan pengarang terhadap kehidupan. Karya sastra menawarkan modelmodel kehidupan sebagaimana yang diidealkan pengarang. Dengan kata lain model kehidupan dunia sastra adalah cerminan model kehidupan dunia faktual lengkap dengan kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Itulah sebabnya, siswa perlu mengapresiasi karya sastra, bukan menghafal karya sastra. Pada dasarnya apresiasi berarti suatu pertimbangan mengenai arti penting atau nilai sesuatu. Dalam penerapannya apresiasi sering diartikan sebagai penghargaan atau penilaian terhadap benda-benda baik abstrak maupun konkrit yang memiliki nilai luhur. Apresiasi adalah gejala ranah afektif yang pada umumnya ditujukan pada karya-karya seni budaya seperti seni sastra, seni musik, seni lukis, drama, dan sebagainya. Tingkat apresiasi seorang siswa terhadap nilai sebuah karya seni (seni sastra) sangat bergantung pada tingkat pengalaman belajarnya. Dari

pengalaman belajar itulah timbul tingkah laku afektif. Tingkah laku afektif itu menyangkut keanekaragaman perasaan seperti: takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was, dan sebagainya. Tingkah laku seperti itu tidak terlepas dari pengaruh pengalaman belajarnya. Seorang siswa, misalnya, dapat dianggap sukses secara efektif dalam belajar sastra apabila ia telah menyenangi, memahami, menghayati, serta

menikmati karya sastra yang dibacanya, seterusnya menjadikannya sebagai

sistem nilai diri. Kemudian pada gilirannya siswa tersebut menjadikan sistem nilai itu sebagai penuntun hidup, baik di kala suka maupun duka (Syah, 2000). Standar kompetensi kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2006) lebih menekankan pada penggunaan strategi pemecahan masalah. Dalam hal tersebut siswa benar-benar harus aktif. Siswa harus bersedia memberikan sumbangan pikirannya dan mengembangkan

keterampilannya untuk berkomunikasi dalam kelompoknya maupun dalam kelas. Siswa berfungsi sebagai tutor, jika sedang menerangkan suatu wawasan kepada siswa lain, maupun sebagai yang ditutori, jika ia tidak dapat memahami sesuatu dan perlu meminta penjelasan kepada temannya. Dengan demikian mereka dituntut menjadi siswa yang aktif menyampaikan gagasan, mempelajari materi pelajaran di luar jam pelajaran, mempelajari keterampilan memecahkan masalah, dan dapat menerima pengalaman belajar dalam bentuk baru. Peranan guru dalam pembelajarannya adalah sebagai perencana proses, konsultan, fasilitator, dan pengontrol kualitas. Selaku perencana proses, guru menyusun dan merancang pembelajaran. Di samping menyusun satuan acara pembelajaran, guru perlu menyusun masalah berdasar materi yang telah dipilihnya, menyusun bahan ajar yang dapat dipelajari sendiri oleh para siswa, dan menyiapkan lembar balikan untuk setiap langkah dalam setiap masalah. Pembuatan rencana kegiatan ini membutuhkan pemikiran kreatif dan waktu untuk mengkoordinasikan dan mengurutkan masalah dan tugas-tugas sehingga masalah beserta pemecahannya cukup bermakna dan balikan yang diperoleh cukup berguna bagi siswa untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Ini berarti bahwa pembelajaran dapat berbentuk diskusi. Dengan deiskusi keterlibatan siswa dengan karya sastra makin sempurna. Calfee (1994) menegaskan bahwa peranan teknik diskusi sangat menunjang keterlibatan dan interaksi siswa dengan bahan yang didiskusikannya.

Dalam pembelajaran sastra harus disadari bahwa pusatnya terletak pada karya sastranya. Siswa harus melihat karya sastra itu bukan dari perspektif para ahli, pengarang, atau guru, melainkan dari perspektifnya sendiri. Siswa tidak mungkin memandang wacana atau dunia lainnya melalui mata orang lain. Karena karya sastra tidak berkaitan dengan sains dan data yang dapat digeneralisasikan, melainkan dengan manusia yang harus menghadapi dunianya, maka pantaslah jika setiap pribadi siswa senantiasa terkait dengan perpektifnya, dengan hubungannya yang unik dengan dunia yang dihadapinya (Sukristanto, 2005). Lebih lanjut Sukristanto mengatakan bahwa keunikan pribadi siswa harus dihargai, diterima, dan dihormati. Siswa tidak dapat dipandang hanya sebagai pewadah informasi yang pasif. Siswa hendaknya dipandang sebagai penemu dan pencipta ilmunya sendiri. Siswa, bagaimanapun usia dan kemampuannya haruslah menghayati dan melakukan proses konstruksi sendiri yang tidak mungkin dilakukan orang lain untuknya. Pembelajaran sastra harus direncanakan untuk melibatkan siswa dalam proses menampilkan kebermaknaan. Siswa tidak boleh hanya dijejali dengan akumulasi informasi tentang segala-galanya, melinkan diajak untuk

memperolehnya secara mandiri. Keterlibatan mental mandiri itulah yang dituntut oleh KBK. Pembelajaran sastra hendaknya dilaksanakan bersamaan dengan pembelajaran membaca dan menulis. Hal tersebut didasari oleh kenyataan bahwa apresiasi sastra hanya dapat terbina dan dikembangkan dengan asumsi bahwa karya sastra keberadaannya ditandai oleh terjadinya hubungan langsung antara pembaca dengan karya sastra yang dibacanya. Pembaca menuangkan makna intelektual dan emosionalnya ke dalam pola lambang-lambang verbal dan lambang-lambang itu menyalurkan pikiran, perasaan, dan pengalaman imajinatifnya.

Melalui kontak langsung dengan karya sastra berarti siswa melakukan aktivitas yang dinamis. Ini tidak kalah kreatifnya dengan kegiatan menulis puisi maupun fiksi (cerpen), misalnya. Ketika siswa membaca karya sastra, mereka saling bersentuhan. Karya sastra itu memberikan makna-makna, gagasangagasan, dan emosi-emosi pada pembacanya, sedangkan pembaca (siswa) membawa/memperoleh makna-makna, gagasan-gagasan, dan emosi-emosi itu secara mandiri sesuai dengan pangalaman batinnya masing-masing. Proses pembelajaran sastra ini menjelma menjadi upaya membantu pribadi pembaca, yaitu siswa meningkatkan kemampuannya agar terlibat dengan buku karya sastra lebih sukses lagi. Proses membaca yang dimaksud hendaknya membaca secara menyeluruh yang meliputi ketrampilan membaca, proses merespon, menganalisis dan mengkritisi serta pengetahuan sastra. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dalam membimbing siswanya membaca, yaitu buku atau karya sastra yang dibaca adalah karyakarya yang memiliki butir-butir kontak dengan siswa. Jangan dengan alasan bahwa karya sastra yang dibaca adalah karya sastra puncak. Di samping itu tegaskan pula tujuan membaca. Apakah untuk belajar, untuk kesenangan, untuk melepaskan diri dari himpitan, atau untuk mencari pemecahan masalah. Dengan cara seperti itu siswa dapat berbagi respon, menulis buku harian, mengubahubah karya sastra yang dibacanya dengan bahasanya sendiri, menerapkan nilainilai sastra yang dihayatinya. Jelasnya, proses pembelajaran menjadikan perhatian siswa penuh kesadaran, bukan hanya sekedar latihan di ruang kelas. Standar kompetensi kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia memandang bahwa sastra merupakan ranah pengembangan apresiasi. Ini berarti bahwa guru harus memberi otonomi pada siswa untuk menghormati kemandirian dan keunikannya, menghargai pengalaman mereka betapa pun terbatasnya. Guru menawarkan karya sastra dengan mengundang siswa untuk menjabarkan visinya sendiri. Siswa harus diberi kebebasan untuk melahirkan

reaksinya sendiri, diberi kesempatan untuk membentuk kristalisasi rasa personalnya terhadap karya sastra yang dihadapinya. Guru harus menemukan butir-butir persamaan di antara pendapat-pendapat siswanya. Dalam hal ini harus diingat bahwa makna sastra harus ditentukan oleh siswa. Guru dan siswa lain dapat membantu, tetapi tidak boleh membuatkan makna untuk siswa yang bersangkutan. Untuk itu guru perlu memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menggiring siswa menemukan makna personal tersebut. Hal itu senada dengan temuan Ash (1994) bahwa pembelajaran sastra yang baik adalah pembelajaran yang terpusat pada respon siswa terhadap wacana sastra yang dibacanya. Fajar (2000) dan Silberman (2002) mengajukan tahapan strategi pembelajaran, aktif, yaitu: a. invitasi, meliputi mengamati hal yang menarik di sekitar, dan mengajukan pertanyaan b. eksplorasi, meliputi sumbang saran alternatif yang sesuai dengan informasi yang dicari c. pengajuan penjelasan dan solusi, meliputi menyampaikan gagasan, menyusun model, membuat penjelasan baru, membuat solusi, memadukan solusi dengan teori dan pengalaman d. menentukan langkah, meliputi membuat keputusan, menggunakan

pengetahuan dan keterampilan berbagi informasi dan gagasan, mengajukan pertanyaan lanjutan.

B. Pendekatan dalam Pembelajaran Sastra Untuk menunjang kesuksesan pembelajaran sastra seperti di atas diperlukan bahan ajar yang mampu membuka butir-butir kebermaknaan bagi pembacanya, yaitu para siswa. Karya sastra yang dijadikan bahan ajar hendaklah karya sastra yang telah dipersiapkan sesuai dengan tingkat kematangan psikologi siswa, sesuai dengan dunia siswa (Semi, 2002).

10

Agar guru tidak terjebak dengan karya sastra sebagai bahan ajar yang kurang baik perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini: a. karya sastra yang dipilih harus memenuhi standar sastra b. membantu siswa lebih mendewasakan diri melalui kontak langsung dengan masalah-masalah kemanusiaan c. memiliki dasar humanistik d. mampu menyampaikan kebenaran e. membantu memerangi nilai-nilai yang menyebabkan timbulnya sikap apatis, ilusi, dan menarik diri. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses internal yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal tersebut adalah seluruh mental yang meliputi ranah-ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Guru membelajarkan siswa dengan harapan bahwa siswa belajar. Dengan belajar, kemampuan siswa meningkat. Ranah-ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa semakin meningkat. Jika siswa mengetahui bahwa pembelajaran sastra di kelas merupakan tempat penyampaian nilai-nilai, sikap-sikap, dan interpretasi-interpretasi belaka, maka mereka tidak akan menyukainya. Tetapi jika, pembelajaran di kelas menjadi tempat siswa secara bebas dapat menguji gagasan-gagasannya, membentuk kembali visi mereka tentang dunia pikir mereka, maka hasrat untuk melakukan eksplorasi dan pemikiran lebih lanjut akan terus berkembang. Karena sastra ditulis untuk pembaca, maka pengalaman sastra itu tidak mungkin menggunakan perantara. Pengalaman itu merupakan proses kontak langsung antara pembaca dengan karya sastra tersebut. Pengalaman sastraitu terwujud dalam bentuk sintesis dari apa yang diketahui dan dirasakan oleh pembaca dengan yang ditawarkan oleh karya sastra itu sendiri. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa tujuan pembelajaran sastra adalah memberikan kesempatan pada siswa untuk memperoleh pengalaman

11

sastra. Pengalaman sastra merupakan kekuatan penting dalam proses penumbuhan sikap kritis dan pribadi yang bebas emosi. Pengalaman sastra itu hanya bisa diperoleh jika siswa dapat menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra yang dibacanya. Pembelajaran yang demikian itulah yang memberi keleluasaan siswa untuk dapat menggunakan konsep dan ketrampilannya di dalam dan di luar kelas serta di lingkungan kehidupan sehari-hari secara cerdas dan kreatif. Oleh karena itu, pembelajaran karya sastra yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra, sangatlah tepat jika guru dapat menerapkan pendekatan semiotik, pendekatan resepsi sastra, maupun pendekatan struktural dalam pembelajarannya ataupun pendekatan-pendekatan liannya. Bagi guru diharapkan dapat secara kreatif menciptakan,

mengembangkan, dan mendayagunakan imajinasinya untuk memilih model atau strategi pembelajaran, bahan ajar maupun media pembelajaran yang sesuai dengan situasi dan kondisi belajar siswa.

1. Pembelajaran Pemahaman Karya Sastra dengan Pendekatan Semiotik Pendekatan semiotik merupakan pendekatan yang bertolak dari pandangan bahwa semua yang terdapat dalam karya sastra merupakan lambanglambang atau kode-kode yang mempunyai arti/makna tertentu. Arti/makna itu berkaitan dengan sistem yang dianut. Oleh karena itu pengetahuan tentang kehidupan masyarakat tidak dapat diabaikan dalam menganalisis karya sastra dengan pendekatan semiotik ini (Djojosuroto, 2005). Semiotik mempelajari hubungan antara penanda dan petanda. Hubungan antara tanda dengan acuannya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu ikon, indeks, dan arbitrer. Jadi, semiotik mempelajari segala sesuatu yang berbentuk simbol, hal-hal yang tidak dapat diterangkan secara ilmiah.

12

Dalam proses pembelajaran siswa dituntut untuk dapat mengungkap ikon dan indeks sekaligus menghubungkannya dengan kehidupan masyarakat. Untuk itu siswa harus dapat membaca secara langsung karya sastranya selanjutnya memahaminya dengan pendekatan kebahasaan, berempati untuk mendapatkan pengalaman indraan agar menemukan relevansi dengan

kehidupan. Dengan langkah tersebut siswa akan mendapatkan nilai kenikmatan dan pada akhirnya dapat mengaktualisasikannya.

2. Pembelajaran Pemahaman Karya Sastra dengan Pendekatan Resepsi sastra Resepsi sastra merupakan disiplin ilmu sastra yang mengkaji masalah penerimaan pembaca terhadap suatu karya sastra. Sebuah karya sastra menjadi konkrit melalui proses penerimaan pembacanya, sehingga meninggalkan kesan pada pembacanya dengan proses imajinasi. Imajinasi pada pembaca dimungkinkan karena adanya keakraban dengan karya sastra. Melalui kesan pembaca dapat menyatakan penerimaan terhadap suatu karya sastra. Pernyataan penerimaan dapat berupa sebuah komentar atau pembicaraan atas karya sastra tersebut. Kesan yang dimilki pembaca biasanya diikuti latar belakang persamaan perpektif antara pengarang dan pembacanya. Pendekatan resepsi sastra melibatkan sejumlah unsur, yaitu

(1) pembaca, (2) horizon penerimaan dan konkretisasi, (3) interpretasi, dan (4) evaluasi (Ratna, 2004). Pembaca eksplisit adalah pembaca yang dituju oleh karya sastra, baik yang disebutkan secara langsung maupun tidak dalam teks sastra. Horizon penerimaan adalah suatu horizon yang berkaitan dengan aspekaspek sastra, estetika, hakikat sastra sebagai karya yang multi makna, dan berbagai aspek individual pembaca. Konkretisasi adalah sikap estetik pembaca yang merupakan upaya pengobjektifan karya berdasarkan horizon

13

penerimaannya dari sejumlah kemungkinan makna yang ada dalam teks sastra yang dibacanya. Interprestasi adalah upaya pembaca untuk mengungkap makna teks sastra. Sedangkan evaluasi adalah pemberian nilai pada karya sastra dengan criteria tertentu. Dalam pembelajaran sastra, pendekatan resepsi sastra dilakukan dengan penekanan pada aktivitas pembaca (siswa) untuk dapat mendiskripsikan bagaimana seorang pengarang menyikapi suatu keadaan seperti yang tercermin dalam karya sastranya.

3. Pembelajaran Pemahaman Karya Sastra dengan Pendekatan Struktural Pendekatan struktural berusaha meneliti karya sastra dari segi struktur dengan melihat komponen-komponen yang membangunnya dan hubungan antar komponen tersebut (Ratna, 2004). Setelah mendapatkan kesatuan dan keutuhan teks, kemudian dicari hubungannya dengan aspek sosio-budaya yang melatarbelakanginya. Melalui penghubungan itulah diharapkan makna karya sastra dapat dikonkritkan. Dalam menafsirkan karya sastra harus memperhatikan karya sastra sebagai totalitas yang bermakna. Dalam karya sastra terdapat kepaduan total yaitu unsure-unsur karya sastra yang membangun teks itu mengandung arti hanya jika mampu memberikan lukisan lengkap dan padu tentang makna keseluruhan karya tersebut. Karya sastra sebagai kegiatan cultural tidak dapat dipahami di luar totalitas kehidupan dalam masyarakat yang telah melahirkan karya tersebut. Karya sastra tidak dapat ditafsirkan maknanya secara sahih jika dicerikan dari pengarangnya dan hubungan sosio histories yang tertilah di dalamnya. Itulah sebabnya di dalam pembelajaran sastra dengan pendekatan structural, harus ditempuh melalui langkah sebagai berikut.

14

a.

Memahami struktur karya sastra secara umum. Ini bersrti bahwa siswa harus membaca karya sastra secara langsung. Siswa harus membaca bait demi bait untuk sebuah puisi, atau bagian/episode demi bagian/episode jika yang dibaca prosa fiksi.

b.

Memahami pengarang dan latar belakang proses penciptaan. Dalam hal ini memahami latar belakang pandangan dan kehidupan pengarang, kata-kata yang digunakan atau ungkapan-uangkapan khusus yang digunakan, aliran atau fisafat pengarang pada saat karya sastra itu diciptakan.

c.

Menelaah unsur-unsur karya sastra. Struktur fisik dan struktur batin ditelaah unsur-unsurnya. Kedua struktur itu harus memiliki keterpaduan dan mendukung totalitas makna karya sastra itu.

d.

Sintesis dan interpretasi. Setelah menelaah secara mendalam struktur karya sastra hingga ke unsur-unsurnya kemudian pembaca (siswa)

mensintesiskan telaah teks. Sintesis itu berupa jawaban atas pertanyaanpertanyaan: apakah amanat yang hendak disampaikan, mengapa pengarang menggunakan bahasa seperti itu, apakah arti karya itu bagi kehidupannya, bagaimana sikapnya terhadap apa yang dikemukakan pengarang, dan bagaimana proses pengarang menciptakan karya sastra tersebut.

C. Hipotesis Penelitian Ho : tidak ada perbedaan pengaruh pembelajaran sastra dengan pendekatan resepsi sastra, pendekatan struktural maupun pendekatan semiotik yang signifikan terhadap kemampuan memahami karya sastra. Ho :

A1 = A2

= A3

Ha : ada perbedaan pengaruh pembelajaran sastra dengan pendekatan resepsi sastra, pendekatan struktural maupun pendekatan semiotik

15

yang signifikan terhadap kemampuan memahami karya sastra. Ha :

A1 A2

A3

16

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

A. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk: 1. mengetahui kemampuan siswa dalam memahami karya sastra baik yang berbentuk puisi maupun prosa fiksi setelah dilakukan pembelajaran yang menggunakan pendekatan resepsi sastra 2. mengetahui kemampuan siswa dalam memahami karya sastra baik yang berbentuk puisi maupun prosa fiksi setelah dilakukan pembelajaran yang menggunakan pendekatan semiotik 3. mengetahui kemampuan siswa dalam memahami karya sastra baik yang berbentuk puisi maupun prosa fiksi setelah dilakukan pembelajaran yang menggunakan pendekatan struktural 4. menentukan pendekatan pembelajaran sastra manakah di antara pendekatan resepsi sastra, pendekatan semiotik, maupun pendekatan struktural yang paling efektif dalam meningkatkan kemampuan siswa memahami karya sastra berbentuk puisi maupun prosa fiksi.

B. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kontribusi teoritis dan praktis bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang pendidikan, yaitu pengembangan berbagai alternatif pembelajaran sastra. 1. Secara teoritis diketahui bahwa pembelajaran sastra yang mendasarkan pada pendekatan resepsi sastra, pendekatan semiotik, maupun pendekatan struktural memberi keleluasaan kepada siswa untuk dapat menggunakan konsep dan ketrampilannya di dalam menjelajahi karya sastra secara cerdas,

17

kreatif dan bertanggung jawab. Pengetahuan dalam karya sastra harus diperoleh secara personal dalam perasaan; tidak dapat ditransfer dari seseorang (guru) kepada yang lain (siswa) seperti mengisi air dalam gelas. 2. Secara praktis dengan diketahuinya hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi guru untuk dapat menggunakan pendekatan pembelajaran sastra yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada di sekitarnya. Karya sastra akan dapat dipahami, dihayati, dan dinikmati oleh siswa jika ia dapat berimajinasi atas karya sastra yang dibacanya. Oleh karena itu, sangatlah tepat jika guru dapat menerapkan pendekatanpendekatan pembelajaran tersebut (pendekatan resepsi sastra, pendekatan semiotik, maupun pendekatan struktural) dalam pembelajarannya. Melalui model-model pembelajaran tersebut akan terjadi kontak langsung antara siswa dengan karya sastra. Adanya kontak langsung dengan karya sastra berarti siswa melakukan aktivitas yang dinamis. Karya sastra itu memberikan makna-makna, gagasan-gagasan, dan emosi-emosi pada pembacanya, sedangkan pembaca (siswa) membawa/memperoleh maknamakna, gagasan-gagasan, dan emosi-emosi itu secara mandiri sesuai dengan pangalaman batinnya masing-masing.

18

BAB IV METODE PENELITIAN

1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMA Muhammadiyah Purwokerto pada semester genap tahun 2007.

2. Sampel penelitian Sampel penelitian ini adalah siswa kelas II IPS4 SMA Muhammadiyah Purwokerto. Jumlah sampel uji coba adalah 23 orang siswa (daftar sampel selengkapnya terdapat pada Lampiran 1. Alasan pemilihan siswa kelas II IPS4 SMA tersebut adalah karena berdasarkan penjelasan guru mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia belum pernah menerapkan model pembelajaran sastra dengan menggunakan pendekatan resepsi sastra, pendekatan semiotik, maupun pendekatan struktural.

3.

Definisi operasional variabel penelitian Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel, masing-masing didefinisikan

sebagai berikut: a. Yang dimaksud dengan pembelajaran sastra dengan pendekatan resepsi sastra, yaitu pembelajaran sastra yang: menekankan pada aktifitas siswa (pembaca), dan mendeskripsikan bagaimana pengarang menyikapi suatu keadaan. Pembelajaran ini bertujuan agar siswa mampu mengapresiasi karya sastra yang berbentuk puisi dan prosa fiksi. Wujud hasil pembelajaran tersebut diperoleh dari pengukuran kemampuan siswa dalam mengapresiasi sastra setelah pembelajaran selesai. b. Yang dimaksud dengan pembelajaran sastra dengan pendekatan semiotik, yaitu pembelajaran sastra yang berusaha mempelajari hubungan penanda

19

dan petanda dalam karya sastra tersebut. Pembelajaran ini bertujuan agar siswa mampu mengapresiasi karya sastra yang berbentuk puisi dan prosa fiksi. Wujud hasil pembelajaran tersebut diperoleh dari pengukuran kemampuan siswa dalam mengapresiasi sastra setelah pembelajaran selesai. c. Yang dimaksud dengan pembelajaran sastra dengan pendekatan struktural, yaitu pembelajaran sastra yang berusaha menganalisis karya sastra dengan langkah-langkah: memahami struktur karya sastra secara umum,

memahami sastrawan dan latar belakang proses penciptaannya, menelaah unsur-unsur karya sastra, mensintesis dan menginterpretasi karya sastra tyersebut. Pembelajaran ini bertujuan agar siswa mampu mengapresiasi karya sastra yang berbentuk puisi dan prosa fiksi. Wujud hasil pembelajaran tersebut diperoleh dari pengukuran kemampuan siswa dalam mengapresiasi sastra setelah pembelajaran selesai.

4. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimen yang bersifat perbandingan. Eksperiman ini mencakup tiga macam pendekatan pembelajaran sastra, yaitu pendekatan resepsi sastra, pendekatan semiotik, dan pendekatan struktural. Penelitian ini bersifat perbandingan dalam arti membandingkan keefektifan ketiga pendekatan pembelajaran sastra dengan maksud untuk mengatahui pendekatan pembelajaran sastra yang paling efektif dilihat dari segi kenaikan kemampuan siswa dalam memahami karya sastra.

5. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan model desain Randomized Blok Design atau Desain A x S (Keppel, 1973 dan Sudjana 1991). Kerangka desain penelitian ini adalah sebagai berikut:

20

A1

A2

A3

S1 S2 S3 . . . Sa

Keterangan: A1 A2 A3 S1 Sa : : : : perlakuan dengan pendekatan resepsi sastra perlakuan dengan pendekatan semiotik perlakuan dengan pendekatan struktural subjek ke-1 sampai dengan subjek ke-a

6. Cara Pemberian Perlakuan Dalam membelajarkan sastra kepada siswa yang dipilih sebagai sampel hanya digunakan tiga macam pendekatan pembelajaran sastra, yaitu pendekatan resepsi sastra, pendekatan struktural, dan pendekatan semiotik. Ketiga pendekatan tersebut dipakai secara berurutan, masing-masing dalam waktu tiga minggu. Pada akhir tiap pemakaian satu macam pendekatan, siswa dites untuk menjajagi kemampuannya dalam memahami karya sastra. Dengan demikian, dari seluruh eksperimen terkumpul tiga macam skor tes. Urutan penggunaan pendekatan tersebut adalah sebagai berikut: pendekatan resepsi sastra, pendekatan struktural, dan diakhiri dengan pendekatan semiotik.

21

7. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan instrumen tes. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan tiga buah tes. masing-masing tes terdiri dari 10 butir pertanyaan objektif dan 2 butir pertanyaan esai. Tiap-tiap butir tes objektif diberi skor 1, sedangkan tiap butir tes esai diberi skor 5. Dengan demikian, jika siswa menjawab benar seluruh butir, maka mereka mendapat skor 20. Dengan kata lain skor ideal terendah 0 sedangkan skor tertinggi 20. Atas dasar penyekoran tersebut dapat diketahui bahwa rerata ideal = (0 + 30) = 15. Simpangan baku ideal 1/6 (30 - 0) = 5.

8. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes apresiasi sastra yang disusun dan dikembangkan oleh peneliti berdasarkan kategori Moody (Moody. 1979) yang didesain secara khusus untuk tes kesastraan. Sebelum digunakan instrumen diujicobakan lebih dahulu. Uji coba

dimaksudkan untuk menguji kadar validitas dan reliabilitas serta tingkat kesulitan dan daya beda butir soal. Validitas tes ditentukan melalui validitas isi. Validitas isi didasarkan pada analisis rasional terhadap isi tes . Tes yang telah disusun berdasarkan kisikisi didiskusikan dengan beberapa orang teman yang berkompeten untuk itu. Hasil diskusi dipakai untuk memperbaiki butir-butir yang belum memenuhi syarat. Setalah diadakan perbaikan tes diujicobakan terhadap 20 siswa yang tidak termasuk dalam sample penelitian. Kelayakan tes diuji melalui analisis butir. Analisis butir meliputi analisis tingkat kesukaran dan daya beda. Sebagai criteria, suatu butir tes dikatakan baik apabila memiliki taraf kesukaran sedang, yaitu bila proporsi menjawab benar berkriteria di antara 0,30 sampai dengan 0,70. daya beda butir

22

diukur dari kesesuaian butir dengan keseluruhan tes dalam membedakan antara siswa berkemampuan tinggi dengan siswa berkemampuan rendah. Criteria yang digunakan didasarkan pada batas minimal koefisien point biserial (rpbis) yaitu sebesar 0,30. Hasil analisis butir menunjukkan bahwa ketiga tes yang digunakan telah memenuhi persyaratan/kriteria yang ditentukan di atas. Uji reliabilitas tes bentuk pilihan ganda digunakan teknik KR-21, sedangkan tes bentuk esai digunakan metode antar penilai atau interrater, yaitu dilakukan oleh peneliti pertama dan peneliti kedua. Tes dikatakan reliabel jika memiliki koefisien ketepercayaan/reliabilitas minimal 0,50. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa ketiga tes apresiasi sastra tersebut memiliki koefisien ketepercayaan/reliabilitas masing-masing sebesar 0,86; 0,97; dan 0,98.

9. Teknik Analisis Data Sebelum data penelitian dianalisis terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas data dan uji homogenitas varian. Setelah dilakukan uji asumsi selanjutnya data penelitian yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji beda keseluruhan (menggunakan anava) dan uji lanjut (menggunakan Scheffe test).

23

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Data Kemampuan siswa dalam memahami karya sastra baik yang berbentuk puisi maupun prosa fiksi disajikan menjadi tiga kelompok. Pertama, yaitu kemampuan siswa dalam memahami karya sastra setelah diajar dengan menggunakan pendekatan resepsi sastra. Kedua, kemampuan siswa setelah diajar dengan menggunakan pendekatan semiotik. Ketiga, kemampuan siswa setelah diajar dengan pendekatan struktural. Data induk penelitian

selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Penentuan skor yang diperoleh siswa berkategori baik, sedang maupun kurang, digunakan perbandingan skor yang diperoleh dengan skor ideal. Penentuan skor ideal didasarkan pada penghitungan bahwa masingmasing kategori memiliki jarak dua simpangan baku (Arikunto, 1993). Berdasarkan rerata ideal dan simpangan baku ideal seperti tersebut pada bab IV dapatlah disusun tabel kategori skor ideal sebagai berikut ini. No. 1. 2. 3. Tabel 1. Kategori Skor Ideal Skor ideal 0 -10 11 20 21 - 30 Ketegori Kurang Sedang baik

a. Kemampuan Siswa Dalam Memahami Karya Sastra Setelah Diajar Dengan Pendekatan Resepsi Sastra Data penelitian ini menunjukkan bahwa skor terendah yang diperoleh siswa adalah 19, sedangkan skor tertinggi yaitu 27. Adapun rerata skornya adalah 22,44. Dengan demikian, secara keseluruhan deskripsi data tentang

24

kemampuan siswa dalam memahami karya sastra setelah diajar dengan pendekatan resepsi sastra adalah sebagai berikut: 4 (17,39%) siswa berkategori sedang dan 19 (82,61%) siswa berkategori baik.

b. Kemampuan

Siswa

Dalam Memahami

Cerita

Rekaan

Setelah

Diajar Dengan Pendekatan Struktural Data kemampuan siswa dalam memahami karya sastra setelah diajar dengan menggunakan pendekatan sruktural menunjukkan hasil sebagai berikut ini. Skor terendah, yaitu 16 dan skor tertinggi 24, sedangkan rerata skornya adalah 20. Setelah dikonsultasikan dengan kategori skor ideal, ternyata data kemampuan memahami karya sastra setelah diajar dengan pendekatan

struktural menunjukkan bahwa 12 (52,17%) siswa berkategori sedang dan 11 (47,83%) siswa berkategori baik.

c. Kemampuan

Siswa

Dalam Memahami

Cerita

Rekaan

Setelah

Diajar Dengan pendekatan Semiotik Berdasarkan data yang terkumpul menunjukkan bahwa skor terendah yang dicapai siswa adalah 19 sedangkan skor tertinggi adalah 27, dengan rerata skor 23,65. Jika dibandingkan dengan kategori skor ideal, data kemampuan siswa dalam memahami karya sastra setelah diajar dengan pendekatan semiotik menunjukkan bahwa hanya 2 (8,7%) siswa yang

berkategori sedang dan 21 (91,30%) siswa lainnya berkategori baik.

B. Pengujian Persyaratan Analisis Uji persyaratan analisis ini meliputi uji normalitas data dan uji homogenitas.

25

1. Uji Normalitas Data Uji normalitas data dilakukan dengan menggunakan teknik uji kemencengan kurva atau skewness (Arikunto, 1989:390). Sebuah kurva distribusi data dikatakan normal apabila hasil perhitungan dengan rumus Koefisien Pearson terletak antara (-1) sampai dengan (+1). Berdasarkan data yang ada diperoleh hasil sebagai berikut. a. Pendekatan Resepsi Sastra Km = (22,44 - 24) / 2,45 = - 0,63 b. Pendekatan Struktural Km = (20 - 21) / 2,61 c. Pendekatan Semiotik Km = (23,65 - 24) / 2,08 = - 0,16 = - 0,38

Hasil

perhitungan dengan rumus tersebut

menunjukkan

bahwa

masing-masing data penelitian ini berdistribusi normal.

2. Uji Homogenitas Pengujian homogenitas data menggunakan teknik Fmax. Adapun perhitungan selengkapnya adalah sebagai berikut. Fmax = varian maksimum / varian minimum = 6,8 / 4,33 = 1,57 0,05 F (k), (n-1) 0,05 F 3, 19 = 3,13 Fhitung (1,57 < Ftabel (3,13) tidak signifikan, ini berarti varian sampel homogen.

26

C. Uji Beda Keseluruhan Uji beda keseluruhan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah ketiga perlakukan yang diterapkan dalam penelitian ini ada perbedaan pengaruh di antara ketiganya. Untuk menguji perbedaan pengaruh tersebut digunakan teknik analisis varians. Berdasarkan hasil penghitungan, dapat disusun ringkasan anava sebagai berikut: Tabel 2. Ringkasan Hasil Anava Sumber variasi Treatment (A) Subjek (S) Tr x Sub. (AS) Total df 2 19 38 59 SS 138,27 148,26 155,40 441,93 MS 69,14 7,80 4,09 F 16,90

0,05 F 2, 38 = 3,25 Fhitung (16,9) > Ftabel (3,25) signifikan

Jadi, Ho ditolak sedangkan Ha diterima, ini berarti ada perbedaan pengaruh di antara ketiga perlakukan itu.

D. Uji Lanjut Hasil uji beda keseluruhan di atas menunjukkan bahwa ketiga perlakukan yang digunakan dalam penelitian ini terdapat perbedaan pengaruh. Oleh karena itu, perlu menggunakan Scheffe test. dilanjutkan pengujiannnya (uji lanjut) dengan

27

Perhitungan selengkapnya dapat dilihat di bawah ini. Beda kritik = a - 1 ; 0,05 F (a-1),(N-a)

= 2 ; 0,05 F 2 , 57 = (2) (3,16) = 6,32 = 2,51

Rasio Tampak: A1 - A2: A1 - A3: A2 - A3: 22,44 20 = 2,44 tidak signifikan tidak signifikan

22,44 - 23,65 = 1,2 20 - 23,65

= 3,65 signifikan

Tabel 3. Perbedaan Hasil Uji Lanjut A1 (22,44) A1 A2 A3 A2 (20) 2,44 A3 (23,65) 1,2 3,65

Dari tabel perbedaan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut di bawah ini. 1. Perlakuan A1 tidak mempunyai pengaruh yang berbeda dengan A2 2. Perlakuan A1 tidak mempunyai pengaruh yang berbeda dengan A3 3. Perlakuan A2 mempunyai pengaruh yang berbeda dengan A3. Oleh karena rerata A3 (23,65) lebih besar daripada rerata A2 (20), berarti perlakuan A3 (Pendekatan Semiotik) yang paling efektif.

28

E. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis data di atas menunjukkan bahwa pendekatan semiotik merupakan pendekatan pembelajaran sastra yang paling efektif dalam meningkatkan kemampuan siswa memahami karya sastra, jika dibandingkan dengan penggunaan pendekatan resepsi sastra maupun pendekatan struktural. Hasil tersebut diduga disebabkan oleh model pembelajaran sastra dengan pendekatan semiotik memberi kebebasan kepada siswa untuk menafsirkan makna karya sastra yang dibacanya sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya masing-masing. Ini berarti penafsiran makna antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya tidak akan sama. Dengan demikian, tidak akan ada penafsiran yang salah selama penafsiran itu didasarkan pada teks sastra yang dibacanya. Siswa tidak direpotkan menganalisis unsur-unsur karya sastra yang dibacanya seperti: tema, alur, penokohan, latar, bahasa dan teknik bercerita (untuk cerita fiksi) dan, larik, bait, diksi, bahsa kias, pencitraan, persajakan, tema nada, suasana, amanat dan subject matter (untuk puisi). Dalam pembelajaran sastra dengan menggunakan pendekatan semiotik, siswa menjadi tidak sia-sia melakukan interpretasi terhadap makna karya sastra yang dibacanya. Hal itu terjadi karena dalam pendekatan semiotik proses pembelajaran dilakukan dengan melalui lima sistem kode, yaitu (1) kode tekateki, (2) kode konotatif, (3) kode simbolis, (4) kode aksian, dan (5) kode budaya. Dalam kode teka-teki (kode hermeneutik) berkisar pada harapan siswa untuk mendapatkan nilai kebenaran terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam karya sastra.dalam cerita fiksi, ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa berteka-teki dan penyelesaiannya dalam cerita. Kode ini membangkitkan hasrat dan kemauan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang dikandung sebuah karya sastra. Subuah puisi misalnya,

29

memerlukan interpretasi terhadap ambiguitas (makna ganda), perlambangan, kata-kata arkais, mitos dan lambang-lambang abstrak (transendental). Kode konotatif ternyata banyak menawarkan sisi lain dalam sastra. Siswa dapat menyusun tema disaat membaca karya sastra. Konotasi kata atau frasa tertentu dalam teks oleh siswa dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Kumpulan konotasi tersebut akan mengantarkan siswa kepada tema cerita yang bersangkutan. Kode simbolis adalah dunia lambang atau dunia personifikasi manusia dalam menghayati arti hidup dan kehidupan. Kode aksian mengandung prinsip bahwa perbuatan-perbuatan yang dituangkan dengan bahasa harus disusun secara linier. Hal ini memudahkan siswa dalam menjelaskan kembali peristiwa dalam cerita fiksi yang dibacanya karena tidak harus kronologis. Kode budaya merupakan acuan teks kepada benda-benda sudah diketahui siswa dalam masyarakat. Pada dasarnya sebuah karya sastra merupakan perlambang atau kodekode yang mencerminkan kehidupan masyarakatnya. Dengan memahami lambang-lambang atau kode-kode yang memiliki makna tertentu dalam sebuah karya sastra, siswa mendapatkan cerminan masyarakat yang dilambangkan. Dilihat dari waktu yang tersedia untuk pengajaran sastra yang sangat terbatas, maka cara semacam itu merupakan alternatif utama yang diambil guru. Jika kegiatan tersebut diikuti dengan memberikan pancingan ke arah pencarian gagasan-gagasan yang harus ditemukan oleh siswa dengan cara mengungkap lambang-lambang yang ada dalam teks sastra yang dibacanya, maka model pengajaran sastra seperti itu dapat teruskan dan dikembangkan. Penerapan pendekatanm semiotik, umumnya dilandasi oleh pemikiran bahwa sebelum siswa berhadapan langsung dengan karya sastra, ia perlu dibekali terlebih dahulu dengan teori sastra. Dalam hal ini, pengenalan kode-

30

kode yang perlu diungkap dari karya sastra tersebut. Kegiatan penganalan dapat dilakukan dengan menyajikan kutipan-kutipan yang mengandung unsurunsur yang dimaksudkan. Meskipun penggunaan pendekatan resepsi sastra

dan pendekatan struktural dalam penelitian ini menunjukkan hasil kurang efektif jika dibandingkan dengan penggunaaan pendekatan semiotik, bukan berarti kedua pendekatan tersebut tidak baik. Tiap-tiap pendekatan dalam pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan. Uji coba penggunaan pendekatan resepsi sastra dalam penelitian ini kurang efektif diduga karena siswa belum terbiasa memahami karya sastra secara global atau menyeluruh. Melalui pendekatan ini siswa harus dapat melalukan komentar atas karya yang dibacanya sebagai suatu pernyataan penerimaan atas karya tersebut. Pendekatan resepsi ini memerlukan kapasitas penguasaan bahasa yang memadai dan pengatahuan umum yang dimilikinya haruslah luas, agar siswa dapat menghubungkannya dengan karya sastra yang akan diberi makna. Itulah sebabnya, penggunaaan pendekatan resepsi sastra dalam penelitian ini menunjukkan hasil kurang efektif. Tidak berbeda dengan penggunaan pendekatan resepsi sastra,

penggunaan pendekatan struktural dalam penelitian ini menunjukkan hasil kurang efektif. Pembelajaran sastra dengan menggunakan pendekatan

struktural dalam penelitian ini menduduki urutan kedua setelah pendekatan semiotik. Hasil tersebut diduga disebabkan oleh model pengajaran sastra di sekolah-sekolah, baik mulai dari sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas cenderung berkiblat pada buku pegangan guru dan murid. Jika diperhatikan dengan saksasama, bahwa buku-buku pegangan tersebut, baik yang dikeluarkan oleh Depdiknas maupun oleh masyarakat (pihak swasta) materi sastra disajikan dengan cara analisis. Dalam hal itu, materi sastra diurai melalui pemahaman unsur-unsur pembangun karya sastra yang meliputi

31

tema, alur, penokohan, latar, bahasa dan teknik bercerita. Akibatnya siswa mengalami kesulitan ketika diminta untuk mengungkap makna karya satra yang dibacanya. Mereka memang terampil menyebutkan unsur-unsur karya tersebut tetapi mengalami kesulitan ketika akan mengngkap makna karya sastra itu. Dari ketiga pendekatan pembelajaran sastra yang dieksperimenkan untuk mengajarkan cerita fiksi dan puisi di SMA, yaitu pendekatan resepsi sastra, pendekatan struktural dan pendekatan semiotik, ternyata pendekatan semiotiklah yang paling efektif dalam pencapaian pemahaman siswa terhadap kedua bentuk karya sastra tersebut. . Pendekatan semiotik memiliki kelebihan, jika dibandingkan dengan pendekatan struktural maupun pendekatan resepsi sastra. Kelebihan yang dimiliki adalah faktor dukungan pengetahuan dan pengalaman siswa.

32

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Hasil penelitian ini membuktikan hal-hal sebagai berikut: 1. Ada perbedaan pengaruh antara pembelajaran sastra dengan menggunakan pendekatan resepsi sastra, pendekatan struktural, dan pendekatan

semiotik terhadap kemampuan siswa dalam memahami makna karya sastra. 2. Pembelajaran sastra dengan menggunakan pendekatan semiotik merupakan pembelajaran yang paling efektif untuk memahami makna karya saatra.

B. Saran Berdasarkan hasil eksperimen berikut ini disampaikan dua buah rekomendasi kepada sekolah-sekolah untuk perbaikan pembelajaran sastra, terutama yang berkaitan dengan penggunaan pendekatan dalam

pembelajarannya 1. Dalam membelajarkan materi cerita fiksi (cerpen maupun novel) dan materi puisi sebaiknya guru bahasa dan sastra Indonesia menggunakan pendekatan semiotik. Namun demikian, hendaknya guru bahasa dan sastra Indonesia perlu menyempurnakannya melalui pengalaman dan praktek di lapangan. Hal itu dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. 2. Pendekatan semiotik tersebut hendaknya dipakai sedemikian rupa hingga memungkinkan siswa menggunakan daya kemampuannya sendiri untuk memahami makna karya sastra yang dibacanya. Oleh karena itu, dalam menerapkan pendekatan semiotik guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk membaca karya sastra secara keseluruhan, kemudian

33

menafsirkannya berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya masingmasing. Dalam hal ini guru jangan memaksakan pendapatnyalah yang paling benar.

34

DAFTAR PUSTAKA

Ash, Barbara Hoetker. 1994. Narrrative of experience: Respons-Centered teaching and teacher reflection. Journal of Reading 38:3 November. International Reading Association. Alwasilah, Chaedar. 2004. Pendidikan Sastra Mencemaskan. Dalam Pikiran Rakyat. Kamis 14 Oktober. Calfee, Robert C. 1994. Authentic discussion of texts in middle grade shooling: An analytic-narrative approach. Journal of Reading 37:7 April. International Reading Association. Depdiknas. 2002. Kurikulum dan Hasil Belajar Rumpun Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas Djojosuroto, Kinayati. 2005. Puisi Pendekatan dan Pembelajaran. Bandung: Nuansa. Fajar, Arnie. 2002. Portofolio dalam Pelajaran IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya. Kuswinarto. 2001. Dan Sastrawan pun Tak lagi Percaya kepada Guru Sastra. Dalam Asep S. Sambodja, dkk. (Ed.). Cyber Graffiti Kumpulan Esai (hlm. 223-230). Bandung: Yayasan Multimedia Sastra dan Angkasa. Moody, H.L.B. 1979. The teaching of literature. London: Longman Goup Ltd. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sayuti, S.A. 2000. Menuju Pendidikan dan Pembelajaran Sastra yang Memerdekakan: Catatan Pengantar. Dalam Sudiro Satoto dan Zainuddin Fananie (Ed.). Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan (hlm. 57-65). Surakarta: University Muhammadiyah Press HISKI Komisariat Surakarta.

35

Sarjono, A.R. 2000. Beberapa Upaya menggairahkan Pembelajaran Sastra. Dalam Agus R. Sarjono. Sastra dalam Empat Orba (hlm. 207-231). Yogyakarta: Bentang. Sarumpaet, Riris K. Toha. 2002. Sastra Masuk Sekolah. Magelang: Indonesia Tera. ------------. 2004. Berdayakan Pengajaran Sastra. Dalam Kompas. Senin, 30 Agustus. Semi, Atar. 2002. Buku Pendukung Pengajaran Sastra. Dalam Riris K. Toha Sarumpaet (Ed.) Sastra Masuk Sekolah (hlm. 134-144). Magelang: Indonesia Tera. Silberman, Melvin L. 2002. Active Learning: 1001 Strategi Pembelajaran Aktif. Terjemahan Sarjuli dkk. Yogyakarta: Yappendis. Sukristanto 2005. Penerapan Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sastra. Dalam Pranowo, dkk. (Ed.) Bahasa, Sastra dan Pengajarannya (hlm. 229-241). Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.

36

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Sampel Penelitian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Nama Berlianta M.S. Sheyllavy Gusti S.R. Dwi Restiti Dedy Kurniawan Danes Gian Guteng Imansyah Nike Aditya P.W. Ridha Adam S. Ratna Puspita A. Rolis Setyowati Eka Purwati Rina A. Nur Sukmawati Riza Indah Putri Atiqoh Aminatul Mega Yuniarti Giling Ulesi Saka Andika Yuswanda Mujib Nur R Ubi Amar Lisa Yogi Nugraha Jenis Kelamin Perempuan Perempuan Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki

37

Lampiran 2. Data Induk Penelitian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Data Pendekatan Resepsi Sastra 17 19 20 21 23 24 18 20 20 19 21 21 24 24 21 18 16 19 16 19 22 16 22 Data Pendekatan Struktural 19 24 25 20 20 21 19 24 22 23 22 21 25 22 24 24 22 20 25 24 23 27 21 Data Pendekatan Semiotik 23 24 24 24 23 24 21 22 26 23 25 24 24 27 19 26 20 22 25 24 27 24 23

38

Lampiran 3. Instrumen Penelitian 1. Tes Pemahaman Makna Karya Sastra dengan Pendekatan Resepsi Sastra

TES PEMAHAMAN MAKNA KARYA SASTRA BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA Nama Sekolah : SMA Muhammadiyah Purwokerto Kelas : XI Waktu : 60 menit -------------------------------------------------------------

I. Berilah tanda silang pada huruf A, B, C, atau D untuk jawaban yang Anda pilih! PEREMPUAN-PEREMPUAN PERKASA Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari manakah mereka Ke setasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa sebelum peluit kereta api terjaga sebelum hari bermula dalam pesta kerja. Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, ke manakah mereka Di atas roda-roda baja mereka berkendara Mereka berlomba dengan surya menuju ke gerbang kota merebut hidup di pasar-pasar kota. Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa (Hartoyo Andangjaya)

39

1. Untuk menyebut perempuan perkasa dalam puisi di atas, penyair menggunakan pengimajian berupa ungkapan .... a. mereka datang dari bukit-bukit desa b. perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta c. mereka berlomba dengan surya menuju ke gerbang kota d. akar-akar yang melata dari tanah perbukitan 2. Yang dimaksud dengan merebut hidup (baris ke-10) puisi di atas, yaitu .... a. mempertaruhkan hidup c. mencari hidup b. melawan hidup d. mencari kebahagiaan 3. Mereka berlomba dengan surya menuju ke gerbang kota (baris 9) dalam puisi di atas merupakan lambang yang mengandung makna bahwa mereka (perempuan-perempuan itu) .... a. rajin dan ulet dalam bekerja b. berjuang cukup berat c. tabah menghadapi berbagai rintangan d. senang berlomba di kota 4. Untuk mengkonkretkan asal perempuan-perempuan tersebut dalam puisi di atas, penyair menciptakan pengimajian dengan .... a. ke setasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa b. akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota c. mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota d. mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa 5. Yang dilambangkan penyair dengan akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota (baris 13) dalam puisi di atas, ialah perempuanperempuan itu .... a. memang asli orang desa b. yang menghidupi orang kota c. penopang kehidupan masyarakat di desa-desa d. berasal dari desa menuju ke kota 6. Suasana jiwa yang dilukiskan dalam puisi di atas adalah perasaan .... a. keyakinan c. keberanian b keperkasaan d. Ketegasan 7. Puisi di atas memiliki tema . a. Penderitaan c. kemanusiaan b. Kemiskinan d. ironi kehidupan

40

8. Perasaan yang terkandung dalam puisi di atas adalah .... a. keharuan c. kepasrahan b. kegem,biraan d. kedukaan 9. ditinjau dari kandungan isi dan bahasa yang dipergunakan pengarang puisi di atas bercorak .... a. personal, impresif, diafan b. personal, impresif, prismatis c. personal, impresif, hermetis d. impersonal, diafan, prismatis 10. Makna puisi di atas secara keseluruhan adalah .... a. Kekecewaan c. kegagalan b. Keteguhan d. kepasrahan

II. Bacalah cerpen berjudul Mudik karya Putu Wijaya berikut ini kemudian jawablah pertanyaan-pertanyaannya! 1. Nilai kehidupan yang dapat saya simpulkan dari cerpen tersebut adalah ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... .............................................................................................................. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... 2. Menurut pemahaman saya, cerita itu mengemukakan pokok persoalan yang berhubungan dengan masalah ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... ..............................................................................................................

41

2. Tes Pemahaman Makna Karya Sastra dengan Pendekatan Struktural TES PEMAHAMAN MAKNA KARYA SASTRA BERDASARKAN PENDEKATAN STRUKTURAL Nama Sekolah : SMA Muhammadiyah Purwokerto Kelas : XI Waktu : 60 menit -------------------------------------------------------------

I. Berilah tanda silang pada huruf A, B, C, atau D untuk jawaban yang Anda pilih!

LALAT dengan lalat, terbang dari nanah ke nanah dari ngilu ke ngilu dari resah sampai ke barah aku terbang, sama lalat arwah (kini dia mati, kena tempeleng) dari timbangan ke lain timbangan dati titian ke lain titian - bahkan lalat masuk surga, kata lalat yang di surga, - apabila kalau mati kena tempeleng mereka bilang (Sutardji Calzoum Bachri)

42

Pertanyaan: 1. Puisi di atas memeiliki tema .... a. ketuhanan c. kemanusiaan b. keadilan sosial d. ketidak adilan 2. Puisi di atas termasuk puisi.... a. konvensional c. kontemporer b. konkret d. mbeling 3. Suasana yang tercermin dalam puisi di atas .... a. kebingungan c. kesedihan b. ketakwaan d. kebencian 4. Siapakah yang berbicara dalam puisi di atas? a. pengarang c. orang lain b. seseorang d. aku lirik 5. Kalimat kini dia mati kena tempeleng dalam bait kedua bermakna .... a. kaum yang tewas karena kecelakaan b. kesengsaraan rakyat kecil c. rakyat tersingkir yang mati karena penindasan d. kaum tertindas karena tak berdaya 6. Puisi di atas memiliki nada .... a. menasehati c. menggurui b. menghimbau d. menyadarkan 7. Kepada siapakah dia berbicara? a. kepada diri sendiri b. kepada orang yang kejam 8. Puisi di atas beraliran .... a. eksistensialis b. surealis

c. kepada orang lain d. kepada siapa saja

c. simbolis d. naturalis

9. Puisi di atas termasuk puisi kontemplatif karena .... a. berdaya renung c. berdaya lambang b. berdaya kias d. berdaya nalar

43

10. Puisi di atas mengandung amanat .... a. kasihanilah sesamamu b. jangan menganggap rendah seseorang walaupun ia seorang rakyat kecil c. semua manusia sama di hadapan Tuhan d. sesama manusia saling menghargai/menghormati

II.

Bacalah cerpen berjudul Kejetit karya Putu Wijaya berikut ini kemudian jawablah pertanyaan-pertanyaannya!

1. Cerpen tersebut menarik bagi saya karena memiliki kelebihan sebagai berikut ................................................................................................................................ ................................................................................................................................ ................................................................................................................................ ................................................................................................................................ ................................................................................................................................ ................................................................................................................................ ................................................................................................................................ ................................................................................................................................ .......................................................................... 2. Makna kehidupan yang dapat saya petik setelah membaca cerpen tersebut adalah ................................................................................................................................ ................................................................................................................................ ................................................................................................................................ ................................................................................................................................ ................................................................................................................................ ................................................................................................................................ ................................................................................................................................ ................................................................................................................................ ..........................................................................

44

3. Tes Pemahaman Makna Karya Sastra dengan Pendekatan Semiotik

TES PEMAHAMAN MAKNA KARYA SASTRA BERDASARKAN PENDEKATAN SEMIOTIK Nama Sekolah : SMA Muhammadiyah Purwokerto Kelas : XI Waktu : 60 menit -------------------------------------------------------------

I. Berilah tanda silang pada huruf A, B, C, atau D untuk jawaban yang Anda pilih! MEMIKUL KERANDA Tikaman keris maut begitu dalam tiada suara tiada mengucur darah cuma pekik lantang memecah bumi satu-satu pun tiada mendengar menyahut segala menuli dan membisu Kini kau di bahuku ringan sekali kuantarkan pulang, pelabuhan berlayar ke pulau jauh tiada kelasi kemudi sepi sendiri dan aku juga kakanda, sampai waktu seperti kau ke laut kembali (D. Zauhiddie)

Pertanyaan: 1. Berdasarkan gambaran pada bait pertama di atas, kematian dirasakan sebagai .... a. keadaan yang sunyi sepi c. petir yang memecah bumi b. misteri yang mencekam d. keadaan yang mengharukan

45

2. Pada bait kedua digambarkan bahwa kematian merupakan .... a. kepergian ke tempat baru c. kembali ke tempay asal b. naik klendaraan tanpa sopir d. pergi ke pelabuhan yang diantar orang lain 3. Latar cerita yang menonjol dalam puisi di atas adalah gambaran tentang .... a. tempat b. waktu c. suasana d. ruang 4. Nada/suasana yang dituangkan dalam puisi di atas diliputi oleh perasaan .... a. sendu b. sedih c. putus asa d. pasrah 5. Dalam puisi di atas penyair berposisi sebagai .... a. penutur cerita c. pelaku cerita b. pelapor cerita yang serba tahu d. pelaku utama 6. Pokok persoalan yang dipaparkan pada puisi di atas adalah peristiwa kematian .... a. pasti terjadi pada semua orang b. sangat mendadak datangnya c. merupakan misteri yang mencekam d. sebenarnya kembali di tempat awal 7. Tema yang terdapat pada puisi di atas berhubungan dengan .... a. kepercayaan b. adat c. kematian d. Agama 8. Nilai kehidupan yang dapat dipetik dari puisi di atas yaitu .... a. bersiap-siaplah menghadapi kematian, sebab kalau sampai waktu peristiwa itu pasti kita alami b. kalau ada orang mati antarkan ke kuburan c. jangan mati sebelum mempunyai bekal yang cukup d. yang dibawa oleh seseorang yang mati hanyalah kebaikannya sewaktu di dunia 9. Kepada siapakah dia (lirik) berbicara? a. kepada diri sendiri c. kepada orang lain b. kepada pembaca d. kepada pemerintah 10. Akhir dari puisi di atas adalah .... a. Kesedihan c. kekecewaan b. Kegagalan d. kegembiraan

46

II.

Bacalah cerpen berjudul Jasa-jasa Buat Sanwirya karya Ahmad Tohari berikut ini kemudian jawablah pertanyaan-pertanyaannya!

1. Menarikkah cerpen tersebut? Berilah penjelasan apa yang menyebabkan Anda tertarik atau tidak tertarik terhadap cerpen tersebut .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .................................................................................................. 2. Makna kehidupan yang dapat saya ambil setelah membaca cerpen tersebut adalah .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... ......................................................

47

Lampiran 4. Personalia Tenaga Peneliti a. Ketua Peneliti 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Nama lengkap dan gelar NIP Tempat dan tanggal lahir Jenis Kelamin Pangkat, golongan Jabatan Alamat kantor Nomor telepon 8. Alamat rumah Nomor telepon / Hp 9. Riwayat Pendidikan Asal Perguruan Tinggi IKIP Negeri Semarang IKIP Negeri Jakarta : : : : : : : : : : : Drs. H. Sukristanto, M.Pd. 131407007 Kudus, 6 September 1957 Laki-laki Penata Tk I / IIId Lektor Jl. Raya Dukuhwaluh Purwokerto 0281-636751 / Fax 0281-637239 Jl. Kalpataru I / 63 Purwosari Purwokerto 0281-634640 / 0812 272 2277

Tahun selesai 1982 1995

Bidang Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

Gelar Drs. M.Pd.

10. Pengalaman Penelitian yang Relevan. No. 1. Tahun 2001 Judul Pemanfaatan Surat Kabar dan Majalah Sebagai Sumber Belajar Menulis Karya Ilmiah di SMK Negeri I Banyumas Studi Komparatif antara Sekolah Rintisan MBS dengan Non-MBS di Kabupaten Banyumas Peningkatan Profesionalisme Guru SD di Kabupaten Banyumas Melalui Lesson Study Ket. Ketua

2. 3.

2005 2007

Anggota Ketua

48

b. Anggota Peneliti 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Nama lengkap dan gelar NIP/NIK Tempat dan tanggal lahir Jenis Kelamin Pangkat, golongan Jabatan Alamat kantor Nomor telepon 8. Alamat rumah Nomor telepon / Hp 9. Riwayat Pendidikan Asal Perguruan Tinggi IKIP Negeri Semarang : : : : : : : : : : : Dra. Hj. Sri Utorowati. 2160059 Demak, 14 November 1957 Wanita Penata Muda Tk. I / III B Asisten Ahli Jl. Raya Dukuhwaluh Purwokerto 0281-636751 / Fax 0281-637239 Jl. Kalpataru I / 63 Purwosari Purwokerto 0281-634640 / 081391496863

Tahun Selesai 1982

Bidang Ilmu

Gelar

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Dra.

11. Pengalaman Penelitian yang Relevan. No. 1. Tahun 2001 Judul Pemanfaatan Surat Kabar dan Majalah Sebagai Sumber Belajar Menulis Karya Ilmiah di SMK Negeri I Banyumas Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Serat Wulang Reh Karya Paku Buwana IV: Suatu Kajian Sosiologis Ket. Anggota

2.

2007

Ketua

49

ARTIKEL ILMIAH

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SASTRA


Oleh: Drs. H. Sukristanto, M.Pd. dan Dra. Hj. Sri Utorowati

1. Pendahuluan Puisi dan cerita fiksi sebagai salah satu bentuk sastra sering

menimbulkan masalah dalam mengajarkannya. Masalah itu muncul karena puisi memiliki bahasa yang padat, penuh pengimajian dan pelambangan sedangkan cerita fiksi yang meliputi jenis cerita pendek dan novel, pada umumnya panjang, sehingga sukar untuk digarap secara keseluruhan pada waktu tatap muka. Karya sastra harus diajarkan secara apresiatif. Di samping itu, menurut Waluyo (dalam Wahyudi, 1990) mengajarkan karya sastra harus bersifat problematis serta memungkinkan siswa mengalami keterlibatan

psikologis dengan pengarangnya. Dengan cara demikian, karya sastra itu bermakna di dalam diri siswa dan membangkitkan kreativitas siswa. Dalam pembelajaran sastra, khususnya puisi dan cerita fiksi, pemahaman siswa terhadap kedua jenis karya sastra tersebut merupakan langkah pertama yang ingin dicapai. Pearson dan Johnson (1978:24) mengatakan bahwa pemahaman merupakan jembatan antara yang baru dan yang telah diketahui. Bila pemahaman sudah dikuasai, kegemaran dan penghargaan terhadap karya sastra akan mulai muncul. Dalam rangka ikut membenahi pembelajaran karya sastra sebagai bagian dari pembelajaran bahasa Indonesia, penelitian ini menyajikan pembenahan yang menyangkut pembelajaran dengan berberapa pendekatan sastra. Upaya tersebut dilakukan dengan cara mengeksperimenkan tiga

50

macam pendekatan pembalajaran sastra, yaitu pendekatan resepsi sastra, pendekatan structural, dan pendekatan semiotik. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut: a. Apakah ada perbedaan pengaruh pembelajaran sastra dengan

menggunakan

pendekatan resepsi sastra, pendekatan structural, dan

pendekatan semiotik. terhadap kemampuan siswa dalam memahami makna karya sastra? b. Pendekatan pembelajaran manakah manakah yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami makna karya sastra? Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi para guru bahasa dan sastra Indonesia: a. untuk meningkatkan kemampuan merencanakan pengajaran sastra secara lebih efisien, b. untuk menetapkan strategi mengajar sastra khususnya prosa fiksi yang efektif dan sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada.

2. Kajian Teori dan Hipotesis Tugas seorang guru sastra bukanlah sekedar mengisi keranjang kosong dengan berbagai informasi. Peranan guru sastra lebih mirip peran seorang bidan yang tugasnya membantu kelahiran ide-ide dan konsep baru. Sehubungan dengan itu, seorang guru sastra seharusnya tidak terlampau banyak menceritakan setiap keping sastra, mendiktekan catatan, singkatan, tokoh-tokoh suatu cerita, dan sebagainya. Guru sastra jangan mengenalkan karya sastra kepada siswanya sepotong-sepotong akan tetapi secara

menyeluruh. Ia hendaknya berusaha memungkinkan siswa mendapatkan apa itu; berusaha memberikan saran dan dorongan bila diperlukan. Kedalaman

51

makna karya sastra itu harus benar-benar dapat dikaji siswa lebih dari mengkaji fisik karya sastra itu. Dalam mengajarkan sastra, guru tidak perlu berurusan dengan

produksi hal-hal yang bersifat mekanis (misalnya hafalan-hafalan dan aktivitas yang bersifat otomatis yang tidak berguna bagi siswa). Yang perlu dikerjakan guru adalah memikirkan bagian-bagian khusus yang dapat

diperkenalkan kepada siswa sebagai sesuatu pengalaman baru. A. Arah Pembelajaran Sastra Pembelajaran Bahasa Indonesia yang di dalamnya terdapat

pembelajaran sastra sesuai dengan salah satu prinsip dalam pengembangan kompetensi ditekankan bahwa pembelajaran harus berpusat pada siswa sebagai pembangun pengetahuan. Pembelajaran sastra hendaknya dapat memandirikan siswa untuk belajar, berkolaborasi, membantu teman, mengadakan pengamatan, dan penilaian diri untuk suatu refleksi guna mendorong siswa membangun pengetahuannya sendiri. Dengan demikian pengetahuan baru akan diperoleh melalui pengalaman langsung secara lebih efektif. Hal tersebut sinergis dengan hakikat karya sastra itu sendiri. Karya sastra sebagai sebuah karya imajinatif menampilkan berbagai masalah manusia dan kemanusiaan, masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama berdasarkan pengalaman dan pengamatan pengarang terhadap kehidupan. Karya sastra menawarkan modelmodel kehidupan sebagaimana yang diidealkan pengarang. Dengan kata lain model kehidupan dunia sastra adalah cerminan model kehidupan dunia faktual lengkap dengan kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Itulah sebabnya, siswa perlu mengapresiasi karya sastra, bukan menghafal karya sastra. Pada dasarnya apresiasi berarti suatu pertimbangan

52

mengenai arti penting atau nilai sesuatu. Dalam penerapannya apresiasi sering diartikan sebagai penghargaan atau penilaian terhadap benda-benda baik abstrak maupun konkrit yang memiliki nilai luhur. Apresiasi adalah gejala ranah afektif yang pada umumnya ditujukan pada karya-karya seni budaya seperti seni sastra, seni musik, seni lukis, drama, dan sebagainya. Standar kompetensi kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2006) lebih menekankan pada penggunaan strategi pemecahan masalah. Dalam hal tersebut siswa benar-benar harus aktif. Siswa harus bersedia memberikan sumbangan pikirannya dan mengembangkan

keterampilannya untuk berkomunikasi dalam kelompoknya maupun dalam kelas. Siswa berfungsi sebagai tutor, jika sedang menerangkan suatu wawasan kepada siswa lain, maupun sebagai yang ditutori, jika ia tidak dapat memahami sesuatu dan perlu meminta penjelasan kepada temannya. Dengan demikian mereka dituntut menjadi siswa yang aktif menyampaikan gagasan, mempelajari materi pelajaran di luar jam pelajaran, mempelajari keterampilan memecahkan masalah, dan dapat menerima pengalaman belajar dalam bentuk baru. Peranan guru dalam pembelajarannya adalah sebagai perencana proses, konsultan, fasilitator, dan pengontrol kualitas. Selaku perencana proses, guru menyusun dan merancang pembelajaran. Di samping menyusun satuan acara pembelajaran, guru perlu menyusun masalah berdasar materi yang telah dipilihnya, menyusun bahan ajar yang dapat dipelajari sendiri oleh para siswa, dan menyiapkan lembar balikan untuk setiap langkah dalam setiap masalah. Pembuatan rencana kegiatan ini membutuhkan pemikiran kreatif dan waktu untuk mengkoordinasikan dan mengurutkan masalah dan tugas-tugas sehingga masalah beserta pemecahannya cukup bermakna dan balikan yang diperoleh cukup berguna bagi siswa untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Ini berarti bahwa pembelajaran dapat berbentuk diskusi. Dengan deiskusi keterlibatan siswa dengan karya sastra makin sempurna. Calfee (1994)

53

menegaskan bahwa peranan teknik diskusi sangat menunjang keterlibatan dan interaksi siswa dengan bahan yang didiskusikannya. Dalam pembelajaran sastra harus disadari bahwa pusatnya terletak pada karya sastranya. Siswa harus melihat karya sastra itu bukan dari perspektif para ahli, pengarang, atau guru, melainkan dari perspektifnya sendiri. Siswa tidak mungkin memandang wacana atau dunia lainnya melalui mata orang lain. Karena karya sastra tidak berkaitan dengan sains dan data yang dapat digeneralisasikan, melainkan dengan manusia yang harus menghadapi dunianya, maka pantaslah jika setiap pribadi siswa senantiasa terkait dengan perpektifnya, dengan hubungannya yang unik dengan dunia yang dihadapinya (Sukristanto, 2005). Lebih lanjut Sukristanto mengatakan bahwa keunikan pribadi siswa harus dihargai, diterima, dan dihormati. Siswa tidak dapat dipandang hanya sebagai pewadah informasi yang pasif. Siswa hendaknya dipandang sebagai penemu dan pencipta ilmunya sendiri. Siswa, bagaimanapun usia dan kemampuannya haruslah menghayati dan melakukan proses konstruksi sendiri yang tidak mungkin dilakukan orang lain untuknya. Pembelajaran sastra harus direncanakan untuk melibatkan siswa dalam proses menampilkan kebermaknaan. Siswa tidak boleh hanya dijejali dengan akumulasi informasi tentang segala-galanya, melinkan diajak untuk

memperolehnya secara mandiri. Keterlibatan mental mandiri itulah yang dituntut oleh KBK. Pembelajaran sastra hendaknya dilaksanakan bersamaan dengan pembelajaran membaca dan menulis. Hal tersebut didasari oleh kenyataan bahwa apresiasi sastra hanya dapat terbina dan dikembangkan dengan asumsi bahwa karya sastra keberadaannya ditandai oleh terjadinya hubungan langsung antara pembaca dengan karya sastra yang dibacanya. Pembaca menuangkan makna intelektual dan emosionalnya ke dalam pola lambang-lambang verbal

54

dan lambang-lambang itu menyalurkan pikiran, perasaan, dan pengalaman imajinatifnya. Melalui kontak langsung dengan karya sastra berarti siswa melakukan aktivitas yang dinamis. Ini tidak kalah kreatifnya dengan kegiatan menulis puisi maupun fiksi (cerpen), misalnya. Ketika siswa membaca karya sastra, mereka saling bersentuhan. Karya sastra itu memberikan makna-makna, gagasangagasan, dan emosi-emosi pada pembacanya, sedangkan pembaca (siswa) membawa/memperoleh makna-makna, gagasan-gagasan, dan emosi-emosi itu secara mandiri sesuai dengan pangalaman batinnya masing-masing. Proses pembelajaran sastra ini menjelma menjadi upaya membantu pribadi pembaca, yaitu siswa meningkatkan kemampuannya agar terlibat dengan buku karya sastra lebih sukses lagi. Proses membaca yang dimaksud hendaknya membaca secara menyeluruh yang meliputi ketrampilan membaca, proses merespon, menganalisis dan mengkritisi serta pengetahuan sastra. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dalam membimbing siswanya membaca, yaitu buku atau karya sastra yang dibaca adalah karyakarya yang memiliki butir-butir kontak dengan siswa. Jangan dengan alasan bahwa karya sastra yang dibaca adalah karya sastra puncak. Di samping itu tegaskan pula tujuan membaca. Apakah untuk belajar, untuk kesenangan, untuk melepaskan diri dari himpitan, atau untuk mencari pemecahan masalah. Dengan cara seperti itu siswa dapat berbagi respon, menulis buku harian, mengubahubah karya sastra yang dibacanya dengan bahasanya sendiri, menerapkan nilainilai sastra yang dihayatinya. Jelasnya, proses pembelajaran menjadikan perhatian siswa penuh kesadaran, bukan hanya sekedar latihan di ruang kelas.

B. Pendekatan dalam Pembelajaran Sastra Untuk menunjang kesuksesan pembelajaran sastra seperti di atas diperlukan bahan ajar yang mampu membuka butir-butir kebermaknaan bagi

55

pembacanya, yaitu para siswa. Karya sastra yang dijadikan bahan ajar hendaklah karya sastra yang telah dipersiapkan sesuai dengan tingkat kematangan psikologi siswa, sesuai dengan dunia siswa (Semi, 2002). Agar guru tidak terjebak dengan karya sastra sebagai bahan ajar yang kurang baik perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini: f. karya sastra yang dipilih harus memenuhi standar sastra g. membantu siswa lebih mendewasakan diri melalui kontak langsung dengan masalah-masalah kemanusiaan h. memiliki dasar humanistik i. j. mampu menyampaikan kebenaran membantu memerangi nilai-nilai yang menyebabkan timbulnya sikap apatis, ilusi, dan menarik diri. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses internal yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal tersebut adalah seluruh mental yang meliputi ranah-ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Guru membelajarkan siswa dengan harapan bahwa siswa belajar. Dengan belajar, kemampuan siswa meningkat. Ranah-ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa semakin meningkat. Jika siswa mengetahui bahwa pembelajaran sastra di kelas merupakan tempat penyampaian nilai-nilai, sikap-sikap, dan interpretasi-interpretasi belaka, maka mereka tidak akan menyukainya. Tetapi jika, pembelajaran di kelas menjadi tempat siswa secara bebas dapat menguji gagasan-gagasannya, membentuk kembali visi mereka tentang dunia pikir mereka, maka hasrat untuk melakukan eksplorasi dan pemikiran lebih lanjut akan terus berkembang. Karena sastra ditulis untuk pembaca, maka pengalaman sastra itu tidak mungkin menggunakan perantara. Pengalaman itu merupakan proses kontak langsung antara pembaca dengan karya sastra tersebut. Pengalaman sastraitu

56

terwujud dalam bentuk sintesis dari apa yang diketahui dan dirasakan oleh pembaca dengan yang ditawarkan oleh karya sastra itu sendiri. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa tujuan pembelajaran sastra adalah memberikan kesempatan pada siswa untuk memperoleh pengalaman sastra. Pengalaman sastra merupakan kekuatan penting dalam proses penumbuhan sikap kritis dan pribadi yang bebas emosi. Pengalaman sastra itu hanya bisa diperoleh jika siswa dapat menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra yang dibacanya. Pembelajaran yang demikian itulah yang memberi keleluasaan siswa untuk dapat menggunakan konsep dan ketrampilannya di dalam dan di luar kelas serta di lingkungan kehidupan sehari-hari secara cerdas dan kreatif. Oleh karena itu, pembelajaran karya sastra yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra, sangatlah tepat jika guru dapat menerapkan pendekatan semiotik, pendekatan resepsi sastra, maupun pendekatan struktural dalam pembelajarannya ataupun pendekatan-pendekatan liannya. Bagi guru diharapkan dapat secara kreatif menciptakan,

mengembangkan, dan mendayagunakan imajinasinya untuk memilih model atau strategi pembelajaran, bahan ajar maupun media pembelajaran yang sesuai dengan situasi dan kondisi belajar siswa.

1. Pembelajaran Pemahaman Karya Sastra dengan Pendekatan Semiotik Pendekatan semiotik merupakan pendekatan yang bertolak dari pandangan bahwa semua yang terdapat dalam karya sastra merupakan lambanglambang atau kode-kode yang mempunyai arti/makna tertentu. Arti/makna itu berkaitan dengan sistem yang dianut. Oleh karena itu pengetahuan tentang kehidupan masyarakat tidak dapat diabaikan dalam menganalisis karya sastra dengan pendekatan semiotik ini (Djojosuroto, 2005).

57

Semiotik mempelajari hubungan antara penanda dan petanda. Hubungan antara tanda dengan acuannya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu ikon, indeks, dan arbitrer. Jadi, semiotik mempelajari segala sesuatu yang berbentuk simbol, hal-hal yang tidak dapat diterangkan secara ilmiah. Dalam proses pembelajaran siswa dituntut untuk dapat mengungkap ikon dan indeks sekaligus menghubungkannya dengan kehidupan masyarakat. Untuk itu siswa harus dapat membaca secara langsung karya sastranya selanjutnya memahaminya dengan pendekatan kebahasaan, berempati untuk mendapatkan pengalaman indraan agar menemukan relevansi dengan

kehidupan. Dengan langkah tersebut siswa akan mendapatkan nilai kenikmatan dan pada akhirnya dapat mengaktualisasikannya.

2. Pembelajaran Pemahaman Karya Sastra dengan Pendekatan Resepsi sastra Resepsi sastra merupakan disiplin ilmu sastra yang mengkaji masalah penerimaan pembaca terhadap suatu karya sastra. Sebuah karya sastra menjadi konkrit melalui proses penerimaan pembacanya, sehingga meninggalkan kesan pada pembacanya dengan proses imajinasi. Imajinasi pada pembaca dimungkinkan karena adanya keakraban dengan karya sastra. Melalui kesan pembaca dapat menyatakan penerimaan terhadap suatu karya sastra. Pernyataan penerimaan dapat berupa sebuah komentar atau pembicaraan atas karya sastra tersebut. Kesan yang dimilki pembaca biasanya diikuti latar belakang persamaan perpektif antara pengarang dan pembacanya. Pendekatan resepsi sastra melibatkan sejumlah unsur, yaitu

(1) pembaca, (2) horizon penerimaan dan konkretisasi, (3) interpretasi, dan (4) evaluasi (Ratna, 2004). Pembaca eksplisit adalah pembaca yang dituju oleh karya sastra, baik yang disebutkan secara langsung maupun tidak dalam teks sastra.

58

Horizon penerimaan adalah suatu horizon yang berkaitan dengan aspekaspek sastra, estetika, hakikat sastra sebagai karya yang multi makna, dan berbagai aspek individual pembaca. Konkretisasi adalah sikap estetik pembaca yang merupakan upaya pengobjektifan karya berdasarkan horizon

penerimaannya dari sejumlah kemungkinan makna yang ada dalam teks sastra yang dibacanya. Interprestasi adalah upaya pembaca untuk mengungkap makna teks sastra. Sedangkan evaluasi adalah pemberian nilai pada karya sastra dengan criteria tertentu. Dalam pembelajaran sastra, pendekatan resepsi sastra dilakukan dengan penekanan pada aktivitas pembaca (siswa) untuk dapat mendiskripsikan bagaimana seorang pengarang menyikapi suatu keadaan seperti yang tercermin dalam karya sastranya.

3. Pembelajaran Pemahaman Karya Sastra dengan Pendekatan Struktural Pendekatan struktural berusaha meneliti karya sastra dari segi struktur dengan melihat komponen-komponen yang membangunnya dan hubungan antar komponen tersebut (Ratna, 2004). Setelah mendapatkan kesatuan dan keutuhan teks, kemudian dicari hubungannya dengan aspek sosio-budaya yang melatarbelakanginya. Melalui penghubungan itulah diharapkan makna karya sastra dapat dikonkritkan. Dalam menafsirkan karya sastra harus memperhatikan karya sastra sebagai totalitas yang bermakna. Dalam karya sastra terdapat kepaduan total yaitu unsure-unsur karya sastra yang membangun teks itu mengandung arti hanya jika mampu memberikan lukisan lengkap dan padu tentang makna keseluruhan karya tersebut. Karya sastra sebagai kegiatan cultural tidak dapat dipahami di luar totalitas kehidupan dalam masyarakat yang telah melahirkan karya tersebut. Karya sastra tidak dapat ditafsirkan maknanya secara sahih jika

59

dicerikan dari pengarangnya dan hubungan sosio histories yang tertilah di dalamnya. Itulah sebabnya di dalam pembelajaran sastra dengan pendekatan structural, harus ditempuh melalui langkah sebagai berikut. e. Memahami struktur karya sastra secara umum. Ini bersrti bahwa siswa harus membaca karya sastra secara langsung. Siswa harus membaca bait demi bait untuk sebuah puisi, atau bagian/episode demi bagian/episode jika yang dibaca prosa fiksi. f. Memahami pengarang dan latar belakang proses penciptaan. Dalam hal ini memahami latar belakang pandangan dan kehidupan pengarang, kata-kata yang digunakan atau ungkapan-uangkapan khusus yang digunakan, aliran atau fisafat pengarang pada saat karya sastra itu diciptakan. g. Menelaah unsur-unsur karya sastra. Struktur fisik dan struktur batin ditelaah unsur-unsurnya. Kedua struktur itu harus memiliki keterpaduan dan mendukung totalitas makna karya sastra itu. h. Sintesis dan interpretasi. Setelah menelaah secara mendalam struktur karya sastra hingga ke unsur-unsurnya kemudian pembaca (siswa)

mensintesiskan telaah teks. Sintesis itu berupa jawaban atas pertanyaanpertanyaan: apakah amanat yang hendak disampaikan, mengapa pengarang menggunakan bahasa seperti itu, apakah arti karya itu bagi kehidupannya, bagaimana sikapnya terhadap apa yang dikemukakan pengarang, dan bagaimana proses pengarang menciptakan karya sastra tersebut.

C. Hipotesis Penelitian Ho : tidak ada perbedaan pengaruh pembelajaran sastra dengan pendekatan resepsi sastra, pendekatan struktural maupun pendekatan semiotik yang signifikan terhadap kemampuan memahami karya sastra.

60

Ho :

A1 = A2

= A3

Ha : ada perbedaan pengaruh pembelajaran sastra dengan pendekatan resepsi sastra, pendekatan struktural maupun pendekatan semiotik yang signifikan terhadap kemampuan memahami karya sastra. Ha :

A1 A2

A3

3. Metodologi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMA Muhammadiyah Purwokerto pada semester genap tahun 2007.

a. Sampel penelitian Sampel penelitian ini adalah siswa kelas II IPS4 SMA Muhammadiyah Purwokerto. Jumlah sampel uji coba adalah 23 orang siswa. b. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimen yang bersifat perbandingan. Eksperiman ini mencakup tiga macam pendekatan pembelajaran sastra, yaitu pendekatan resepsi sastra, pendekatan semiotik, dan pendekatan struktural. Penelitian ini bersifat perbandingan dalam arti membandingkan keefektifan ketiga pendekatan pembelajaran sastra dengan maksud untuk mengatahui pendekatan pembelajaran sastra yang paling efektif dilihat dari segi kenaikan kemampuan siswa dalam memahami karya sastra. c. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan model desain Randomized Blok Design atau Desain A x S (Keppel, 1973 dan Sudjana 1991). d. Cara Pemberian Perlakuan Dalam membelajarkan sastra kepada siswa yang dipilih sebagai sampel hanya digunakan tiga macam pendekatan pembelajaran sastra, yaitu pendekatan resepsi sastra, pendekatan struktural, dan pendekatan semiotik. Ketiga

61

pendekatan tersebut dipakai secara berurutan, masing-masing dalam waktu tiga minggu. Pada akhir tiap pemakaian satu macam pendekatan, siswa dites untuk menjajagi kemampuannya dalam memahami karya sastra. Dengan demikian, dari seluruh eksperimen terkumpul tiga macam skor tes. Urutan penggunaan pendekatan tersebut adalah sebagai berikut: pendekatan resepsi sastra, pendekatan struktural, dan diakhiri dengan pendekatan semiotik. e. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan instrumen tes. f. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes apresiasi sastra yang disusun dan dikembangkan oleh peneliti berdasarkan kategori Moody (Moody. 1979) yang didesain secara khusus untuk tes kesastraan. Sebelum digunakan instrumen diujicobakan lebih dahulu. Uji coba

dimaksudkan untuk menguji kadar validitas dan reliabilitas serta tingkat kesulitan dan daya beda butir soal. g. Teknik Analisis Data Sebelum data penelitian dianalisis terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas data dan uji homogenitas varian. Setelah dilakukan uji asumsi selanjutnya data penelitian yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji beda keseluruhan (menggunakan anava) dan uji lanjut (menggunakan Scheffe test).

4. Hasil Penelitian a. Pengujian Persyaratan Analisis Pengujian persyaratan analisis ini meliputi uji normalitas data dan uji homogenitasnya. Uji normalitas data dilakukan dengan menggunakan teknik uji kemencengan kurva atau skewness (Arikunto, 1989:390). Sebuah kurva

62

distribusi data dikatakan normal apabila hasil perhitungan dengan rumus Koefisien Pearson terletak antara (-1) sampai dengan (+1). Hasil perhitungan dengan rumus tersebut menunjukkan bahwa masing-masing data penelitian ini berdistribusi normal. Pengujian homogenitas data menggunakan teknik Fmax. Hasil pengujian menunjukkan bahwa varian sampel homogen. b. Uji Beda Keseluruhan Uji beda keseluruhan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah ketiga perlakukan yang diterapkan dalam penelitian ini ada perbedaan pengaruh di antara ketiganya. Untuk menguji perbedaan pengaruh tersebut digunakan teknik analisis varians. Hasil uji beda menunjukan bahwa ada perbedaan pengaruh di antara ketiga perlakukan itu. c. Uji Lanjut Hasil uji beda keseluruhan di atas menunjukkan bahwa ketiga perlakukan yang digunakan dalam penelitian ini terdapat perbedaan pengaruh. Oleh karena itu, perlu menggunakan Scheffe test. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa 1). Perlakuan A1 tidak mempunyai pengaruh yang berbeda dengan A2 2). Perlakuan A1 tidak mempunyai pengaruh yang berbeda dengan A3 3). Perlakuan A2 mempunyai pengaruh yang berbeda dengan A3. Oleh karena rerata A3 (23,65) lebih besar daripada rerata A2 (20), berarti perlakuan A3 (Pendekatan Semiotik) yang paling efektif. d. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis data di atas menunjukkan bahwa pendekatan semiotik merupakan pendekatan pembelajaran sastra yang paling efektif dalam dilanjutkan pengujiannnya (uji lanjut) dengan

63

meningkatkan kemampuan siswa memahami karya sastra, jika dibandingkan dengan penggunaan pendekatan resepsi sastra maupun pendekatan struktural. Hasil tersebut diduga disebabkan oleh model pembelajaran sastra dengan pendekatan semiotik memberi kebebasan kepada siswa untuk menafsirkan makna karya sastra yang dibacanya sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya masing-masing. Ini berarti penafsiran makna antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya tidak akan sama. Dengan demikian, tidak akan ada penafsiran yang salah selama penafsiran itu didasarkan pada teks sastra yang dibacanya. Siswa tidak direpotkan menganalisis unsur-unsur karya sastra yang dibacanya seperti: tema, alur, penokohan, latar, bahasa dan teknik bercerita (untuk cerita fiksi) dan, larik, bait, diksi, bahsa kias, pencitraan, persajakan, tema nada, suasana, amanat dan subject matter (untuk puisi). Pada dasarnya sebuah karya sastra merupakan perlambang atau kodekode yang mencerminkan kehidupan masyarakatnya. Dengan memahami lambang-lambang atau kode-kode yang memiliki makna tertentu dalam sebuah karya sastra, siswa mendapatkan cerminan masyarakat yang dilambangkan. Dilihat dari waktu yang tersedia untuk pengajaran sastra yang sangat terbatas, maka cara semacam itu merupakan alternatif utama yang diambil guru. Jika kegiatan tersebut diikuti dengan memberikan pancingan ke arah pencarian gagasan-gagasan yang harus ditemukan oleh siswa dengan cara mengungkap lambang-lambang yang ada dalam teks sastra yang dibacanya, maka model pengajaran sastra seperti itu dapat teruskan dan dikembangkan. Penerapan pendekatan semiotik, umumnya dilandasi oleh pemikiran bahwa sebelum siswa berhadapan langsung dengan karya sastra, ia perlu dibekali terlebih dahulu dengan teori sastra. Dalam hal ini, pengenalan kodekode yang perlu diungkap dari karya sastra tersebut. Kegiatan penganalan dapat dilakukan dengan menyajikan kutipan-kutipan yang mengandung unsurunsur yang dimaksudkan. Meskipun penggunaan pendekatan resepsi sastra

64

dan pendekatan struktural dalam penelitian ini menunjukkan hasil kurang efektif jika dibandingkan dengan penggunaaan pendekatan semiotik, bukan berarti kedua pendekatan tersebut tidak baik. Tiap-tiap pendekatan dalam pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan. Uji coba penggunaan pendekatan resepsi sastra dalam penelitian ini kurang efektif diduga karena siswa belum terbiasa memahami karya sastra secara global atau menyeluruh. Melalui pendekatan ini siswa harus dapat melalukan komentar atas karya yang dibacanya sebagai suatu pernyataan penerimaan atas karya tersebut. Pendekatan resepsi ini memerlukan kapasitas penguasaan bahasa yang memadai dan pengatahuan umum yang dimilikinya haruslah luas, agar siswa dapat menghubungkannya dengan karya sastra yang akan diberi makna. Itulah sebabnya, penggunaaan pendekatan resepsi sastra dalam penelitian ini menunjukkan hasil kurang efektif. Tidak berbeda dengan penggunaan pendekatan resepsi sastra,

penggunaan pendekatan struktural dalam penelitian ini menunjukkan hasil kurang efektif. Pembelajaran sastra dengan menggunakan pendekatan

struktural dalam penelitian ini menduduki urutan kedua setelah pendekatan semiotik. Hasil tersebut diduga disebabkan oleh model pengajaran sastra di sekolah-sekolah, baik mulai dari sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas cenderung berkiblat pada buku pegangan guru dan murid. Jika diperhatikan dengan saksasama, bahwa buku-buku pegangan tersebut, baik yang dikeluarkan oleh Depdiknas maupun oleh masyarakat (pihak swasta) materi sastra disajikan dengan cara analisis. Dalam hal itu, materi sastra diurai melalui pemahaman unsur-unsur pembangun karya sastra yang meliputi tema, alur, penokohan, latar, bahasa dan teknik bercerita. Akibatnya siswa mengalami kesulitan ketika diminta untuk mengungkap makna karya satra yang

65

dibacanya. Mereka memang terampil menyebutkan unsur-unsur karya tersebut tetapi mengalami kesulitan ketika akan mengngkap makna karya sastra itu. 5. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan pengaruh di antara ketiga pendekatan yang digunakan untuk mengajarkan karya sastra terhadap kemampuan siswa dalam memahami makna karya sastra (p < 0,05). Setelah dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Scheffe Test, penelitian ini

menunjukkan hasil bahwa mengajar karya sastra yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami maknanya, yaitu

pembelajaran dengan pendekatan semiotik (X = 23,65). Pendekatan struktural menempati urutan kedua (X = 22,44) dan pendekatan resepsi sastra

menempati urutan ketiga (X = 20).

DAFTAR PUSTAKA

Ash, Barbara Hoetker. 1994. Narrrative of experience: Respons-Centered teaching and teacher reflection. Journal of Reading 38:3 November. International Reading Association. Alwasilah, Chaedar. 2004. Pendidikan Sastra Mencemaskan. Dalam Pikiran Rakyat. Kamis 14 Oktober. Calfee, Robert C. 1994. Authentic discussion of texts in middle grade shooling: An analytic-narrative approach. Journal of Reading 37:7 April. International Reading Association. Depdiknas. 2002. Kurikulum dan Hasil Belajar Rumpun Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas Djojosuroto, Kinayati. 2005. Puisi Pendekatan dan Pembelajaran. Bandung: Nuansa.

66

Fajar, Arnie. 2002. Portofolio dalam Pelajaran IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya. Kuswinarto. 2001. Dan Sastrawan pun Tak lagi Percaya kepada Guru Sastra. Dalam Asep S. Sambodja, dkk. (Ed.). Cyber Graffiti Kumpulan Esai (hlm. 223-230). Bandung: Yayasan Multimedia Sastra dan Angkasa. Moody, H.L.B. 1979. The teaching of literature. London: Longman Goup Ltd. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sayuti, S.A. 2000. Menuju Pendidikan dan Pembelajaran Sastra yang Memerdekakan: Catatan Pengantar. Dalam Sudiro Satoto dan Zainuddin Fananie (Ed.). Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan (hlm. 57-65). Surakarta: University Muhammadiyah Press HISKI Komisariat Surakarta. Sarjono, A.R. 2000. Beberapa Upaya menggairahkan Pembelajaran Sastra. Dalam Agus R. Sarjono. Sastra dalam Empat Orba (hlm. 207-231). Yogyakarta: Bentang. Sarumpaet, Riris K. Toha. 2002. Sastra Masuk Sekolah. Magelang: Indonesia Tera. ------------. 2004. Berdayakan Pengajaran Sastra. Dalam Kompas. Senin, 30 Agustus. Semi, Atar. 2002. Buku Pendukung Pengajaran Sastra. Dalam Riris K. Toha Sarumpaet (Ed.) Sastra Masuk Sekolah (hlm. 134-144). Magelang: Indonesia Tera. Silberman, Melvin L. 2002. Active Learning: 1001 Strategi Pembelajaran Aktif. Terjemahan Sarjuli dkk. Yogyakarta: Yappendis. Sukristanto 2005. Penerapan Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sastra. Dalam Pranowo, dkk. (Ed.) Bahasa, Sastra dan Pengajarannya (hlm. 229-241). Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.

67

Anda mungkin juga menyukai