dilakukan oleh Sapir dan Whorf, yang pertimbangan dalam mendisain pembelajaran
kemudian terkenal dengan hipotesis Sapir- sastra. Seorang guru (sastra), dengan demikian
Whorf, yaitu bahwa bahasa menentukan harus menguasai disiplin-disiplin ilmu yang
pikiran. relevan dengan masalah pembelajaran sastra.
Jelaslah bahwa perkembangan kognitif Sebagai misal, guru harus mengetahui
atau daya nalar siswa dapat ditumbuh- psikologi terutama yang berkaitan dengan
kembangkan melalui pembelajaran sastra. karakteristik perkembangan usia anak, teori
Persoalannya adalah model atau disain belajar, teori kepribadian, psikologi sosial,
pembelajaran sastra yang bagaimana yang maupun psikoanalisis dari Sigmund Freud.
dapat mengantarkan siswa untuk Tujuannya agar dalam merumuskan dan
mengembangkan daya nalarnya? Apakah memilih materi tepat dengan kebutuhan
pembelajaran sastra selama ini sudah perkembangan anak.
merepresentasikan tujuan pengembangan daya Selain permasalahan disiplin ilmu
nalar siswa yang dimaksud? Pertanyaan- yang terkait dengan pembelajaran sastra,
pertanyaan seperti inilah yang hendaknya selalu masalah tujuan dan bahan pembelajaran sastra,
direfleksikan oleh guru (bahasa dan sastra) atau dan metode pembelajaranjuga menjadi bagian
pihak-pihak yang terkait dan concern dengan penting dalam pembelajaran sastra. Dalam
pendidikan (pengajaran) sastra. pembelajaran apa pun, tujuan harus diketahui
secara jelas dan operasional, sebab bagaimana
Pembelajaran Sastra mencapai tujuan jika tidak diketahui secara
Pembelajaran sastra pada umumnya jelas dan terperinci. Menurut Pinontoan 5, tujuan
akan berhadapan dengan dua kemungkinan akan merupakan isi dan strategi pengajaran,
yaitu pembelajaranteori sastra --termasuk serta bentuk evaluasi yang akan dijalankan.
sejarah sastra--, dan pembelajaranapresiasi Lebih lanjut dikatakan, jika tujuan
sastra. Tampaknya kedua hal itu penting, hanya pembelajaran tidak jelas atau tidak terarah,
saja pada tingkat sekolah tekanannya harus maka besar kemungkinan pelaksanaan
pada apresiasi. Jika teori-teori termasuk pada pembelajaran juga akan tidak jelas atau tidak
kawasan kognitif, maka apresiasi terarah.
menitikberatkan pada kawasan afektif (sesuai Demikian pula metode mengajar,
dengan taksonomi Bloom). menjadi penentu keberhasilan pembelajaran
Untuk menguraikan pembelajaran sastra. Kegagalan pembelajaran sastra di
sastra, menurut Waluyo4, kita berhadapan sekolah selama ini salah satunya disebabkan
dengan berbagai disiplin ilmu, yaitu di oleh metode yang digunakan. Misalnya, guru
antaranya: 1) Sastra; 2) Ilmu Jiwa (Psikologi); lebih banyak berorientasi pada metode klasik
3) Metode Pembelajaran Sastra; 4) Tujuan dan yang justru tidak meransang minat dan memacu
Evaluasi; dan 5) Aspek Kurikulum. Selain itu, kreativitas siswa dalam bernalar. Masalah
disiplin ilmu yang juga relevan dalam tujuan dan bahan pengajaran, metode
menangani masalah-masalah pembelajaran pembelajaran sastra akan dibahas secara khusus
sastra yaitu kebudayaan, ilmu-ilmu sosial, berikut ini.
filsafat, semiotika, dan linguistik. Disiplin-
disiplin ilmu tersebut harus menjadi
5
Aaltje Tallei-Pinontoan, (Peny.),
4
Herman J. Waluyo 2002, Drama, Antologi Pengajaran Sastra (Manado: Program
Teori, dan Pengajarannya (Yogyakarta: Pascasarjana UNIVERSITAS NEGERI
Hanindita Graha Widya, 2002), h.153. MANADO), h. 1.
1. Tujuan dan Bahan Pembelajaran Sastra dari suatu komunitas masyarakat. Karya-karya
Rusyana6 membedakan tujuan sastra dengan demikian mengandung nilai-nilai
pembelajaran sastra yakni tujuan pembelajaran kehidupan dan kemanusiaan. Persoalannya
sastra untuk kepentingan ilmu sastra dan tujuan bagaimana merumuskan tujuan pembelajaran
pembelajaran sastra untuk kepentingan sastra secara lebih operasional sehingga nilai-
pendidikan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa nilai yang terkandung dalam karya sastra dapat
untuk kepentingan ilmu pengetahuan (ilmu diapresiasi oleh siswa secara kreatif. Untuk itu
sastra), tujuan pembelajaran sastra lebih dibutuhkan rumusan tujuan pembelajaran sastra
diorientasikan pada pengetahuan tentang teori yang lebih terbuka, yang lebih memungkinkan
sastra, sejarah sastra, sosiologi sastra dan kritik siswa menggunakan daya nalarnya secara
sastra. Sedangkan untuk kepentingan bebas.
pendidikan, tujuan pembelajaran sastra Kejelasan rumusan tujuan pembe-
merupakan bagian dari tujuan pendidikan pada lajaran sastra dengan demikian sangat penting,
umumnya yakni mengantarkan anak didik karena tujuan yang dirumuskan itu akan
untuk memahami dunia fisik dan dunia dijadikan pedoman bagi pemilihan bahan yang
sosialnya, dan untuk memahami dan sesuai. Pemilihan bahan pembelajaran harus,
mengapresiasi nilai-nilai dalam hubungannya termasuk bahan yang akan diteskan, harus
dengan kedudukannya sebagai makhluk ciptaan menopang tercapainya tujuan pembelajaran
Tuhan7. secara maksimal, yaitu membimbing dan
Jadi, dalam perspektif pendidikan, meningkatkan kemampuan mengapresiasi
tujuan pembelajaran sastra lebih diarahkan sastra siswa.
pada kemampuan siswa mengapresiasi nilai- Untuk merumuskan tujuan pem-
nilai luhur yang terkandung dalam sastra. belajaran sastra sebagaimana disebutkan di
Menurut Nurgiyantoro8, tujuan pembelajaran atas, kita berhadapan dengan berbagai tokoh
sastra secara umum ditekankan, atau demi pembelajaran yang telah memberikan macam-
terwujudnya, kemampuan siswa untuk macam tujuan pembelajaran yang berbeda-
mengapresiasi sastra secara memadai. beda. Salah satu tokoh yang sangat populer
Sedangkan, Semi9 secara khusus menyebutkan yaitu Benjamin S. Bloom. Bloom memberikan
bahwa tujuan pembelajaran sastra di sekolah sebuah konsep rumusan tujuan pembelajaran
menengah (SMA/MA/SMK) adalah untuk secara lebih rinci dan contoh nyata kerja
mencapai kemampuan apresiasi kreatif. Karya operasional yang berguna untuk menyusun
sastra adalah miniatur kehidupan yang digali tujuan (objective) pembelajaran sastra dalam
dalam spektrum kebudayaan yang mengakar tiga domain, yaitu: domain kognitif, afektif dan
psikomotor. Ketiga domain tujuan mengajar
6 menurut Bloom10 adalah sebagai berikut :
Yus Rusyana, Bahasa dan Sastra
a. Domain kognitif, yang meliputi
dalam Gamitan Pendidikan (Bandung: CV.
aspek: 1) Pengetahuan; 2) Pemahaman;
Diponegoro, 1984), h. 313.
7 3) penerapan; 4) Analisis; 5) sintesis; dan
ibid.
8 6) evaluasi.
Burhan Nurgiyantoro, Penilaian b. Domain Afektif, yang meliputi aspek:
dalam PembelajaranBahasa dan Sastra. 1) menerima; 2) Responding (menjawab,
(Yogyakarta: BPFE, 2001), h. 321. mereaksi); 3) menaruh penghargaan
9
M. Atar Semi, Rancangan (valuing); 4) mengorganisasikan sistem
PembelajaranBahasa dan Sastra Indonesia.
10
(Bandung: Angkasa, 1993) h.153. Nurgiyantoro, op. cit., h. 325
oleh guru di kelas. Atau mengacu pada dihasilkan kesimpulan tentang struktur, seperti:
pendapat Mackey11, metode adalah keseluruhan tema, plot, setting, tokoh, perwatakan, point of
peristiwa mengajar dan belajar yang meliputi view, dan sebagainya. Kalau bahan itu berupa
hal-hal, yakni: a) Seleksi; b) Grasi; c) drama (naskah) guru dapat memberi tugas
Presentasi; d) Repetisi; dan 5) Evaluasi Belajar. menyiapkan adegan pendek kurang lebih lima
menit, kemudian secara bergiliran
a. Seleksi mementaskannnya di depan kelas. Kegiatan ini
Seleksi materi ditentukan oleh tujuan dapat dilanjutkan dengan kegiatan pementasan
pengajaran, untuk melatih keterampilan mana, sebuah lakon, yang dapat dilakukan tiga bulan
konsep, informasi, perspektif, apresiasi. Hal ini sekali, dalam waktu yang tersendiri. Dapat pula
memerlukan seleksi materi, dalam hal jenis, siswa diberi tugas menonton pertunjukan drama
panjang, mutu, dan tingkat kesulitan. Secara kemudian dibahas bersama. Dapat juga
umum, pemilihan (selection) materi, harus mendiskusikan pementasan drama di TV, di
mempertimbangkan aspek bahasa (language), mana semua siswa diberi tugas untuk
tingkat perkembangan psikologi (psychology) menonton.
anak, dan latar belakang (background) sosial Dalam presentasi, guru juga dapat
budaya siswa yang bersangkutan12. Ketiga memberikan penjelasan, ceramah, tetapi lebih
aspek ini harus dipertimbangkan dalam banyak memberikan tugas kepada siswa untuk
menentukan bahan pembelajaran sastra. membaca puisi atau prosa, berdiskusi, menulis,
mendengarkan dan menonton pementasan
b. Gradasi (Urutan Pentahapan) drama. Tergantung dari bahan yang dipilih
Prinsip penting dalam pembelajaran apakah prosa, puisi, atau drama.
sastra sebagaimana dikemukakan Moody
adalah masalah pentahapan. Bahan yang d. Repetisi
disajikan kepada siswa harus sesuai dengan Materi yang sudah diberikan harus
kemampuan siswa pada suatu tahapan diulangi dalam bentuk ulasan guru atau tanya
pembelajarantertentu. Urutan pentahapan harus jawab, dapat pula berwujud resensi terhadap
direncankan. Biasanya dari yang mudah ke karya sastra yang sudah dibaca, dilihat (drama),
yang sulit, dari yang sederhana ke yang rumit atau ditulis. Dalam hal repetisi atau
(kompleks atau sophisticated), dari yang umum pengulangan ini guru harus secara sistematis
ke yang khusus. membuat rencana untuk seluruh siswa, baik
yang berminat maupun yang tidak, agar
c. Presentasi (Teknik Penyampaian) semuanya dapat menguasai materi dalam tahap
Presentasi adalah unsur yang turut penguasaan yang tidak terlalu jauh bedanya.
menentukan keberhasilan pembelajaran sastra. Jadi, dalam pengulangan, guru dapat
Teknik penyampaian bahan (materi) dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
berupa hal-hal sebagai berikut: mendiskusikan berkaitan dengan bahan yang telah diajarkan.
materi (teks sastra), baik berupa prosa (novel, Pengulangan bertujuan untuk mengukuhkan
cerpen), puisi, atau drama. Dari diskusi itu akan pemahaman siswa terhadap materi-materi yang
ada.
11
Waluyo, op. cit., h.171. e. Evaluasi Pembelajaran
12
H.L.B. Moody, The Teaching of Untuk evaluasi pembelajaran sastra
Literature (London: Longman, 1971), h. 15. pada umumnya dapat mengacu pada pendapat
Moody, yang menyatakan bahwa evaluasi metode-metode logis dan rasional untuk
pembelajaranharus meliputi pertanyaan- memecahkan masalah-masalah di luar
pertanyaan tentang: Informasi, Konsep, jangkauan matematika. Menurut Moody
Perspektif, dan Apresiasi. (1971), proses berfikir logis --yang adalah
Tes informasi merupakan tingkat tes bagian dari penalaran-- banyak ditentukan oleh
yang paling rendah, oleh karena itu butir soal hal-hal seperti ketepatan pengertian, ketepatan
dapat lebih banyak. Misalnya dinyatakan siapa interpretasi kebahasaan, klasifikasi dan
tokoh, latar atau tempat kejadian di mana, siapa pengelompokan data. Dijelaskannya, bahwa
pengarangnya, dan sebagainya. Tes konsep pembelajaran sastra akan sangat membantu
tingkatannya lebih tinggi, karena siswa harus para siswa melakukan latihan dalam
telah memahami penarapan dan pemahaman memecahkan masalah-masalah berfikir logis
terhadap sesuatu. Misalnya, siapa pelaku itu, karena pembelajaran sastra juga meliputi
utama, di mana terletak klimaks cerita, siapa kecakapan-kecakapan pilihan seperti dugaan,
tokoh antagonis, watak tokohnya, dan kebiasaan, tradisi, dorongan, dan sebagainya.
sebagainya. Pertanyaan yang menyangkut tes Tentu saja, siswa di sekolah menengah
perspektif lebih mendalam lagi, misalnya latar (SMA/MA/SMK) tidak dapat langsung
belakang penciptaan sebuah karya, aliran diharapkan mempertanggung-jawabkan
filsafat, bagaimana hubungan dengan kejadian pemecahan masalah yang meliputi seluruh
sosial yang sesungguhnya. Sedangkan, tes proses pemikiran sebagaimana disebutkan oleh
apresiasi merupakan tes yang paling tinggi Moody. Akan tetapi, sejak awal para guru
tingkatannya, yaitu sudah menyangkut sastra hendaknya melatih mereka memahami
penghayatan secara mendalam terhadap sebuah fakta-fakta, membedakan mana yang pasti dan
karya. Tes ini biasanya berupa tes esai, dan mana yang dugaan, memberikan bukti tentang
disarankan agar waktunya tidak disamakan suatu pendapat, serta mengenal metode
dengan tes lainnya. argumentasi yang betul dan yang sesat dan
sebagainya.
Pengembangan Daya Nalar Siswa Piaget menyatakan, bahwa remaja
Pembinaan kecakapan berfikir atau tingkat SMA/MA/SMK yang berusia sekitar
daya nalar selama ini sering dianggap hanya 16-19 tahun, berada dalam tingkat
dapat dilakukan dalam bidang-bidang tertentu perkembangan yang disebut tahap operasi
seperti matematika atau fisika. Singkatnya, formal, suatu tahap perkembangan kognitif
pengembangan daya nalar dianggap bukan (daya nalar) di mana struktur kognitif anak
bagian garapan pembelajaran sastra. Pendapat mencapai tingkat perkembangan paling besar
seperti ini tentulah sangat keliru, sebab dan anak menjadi cakap untuk mengaplikasikan
pengembangan daya nalar termasuk di logikanya pada semua persoalan. Dan
antaranya adalah proses interpretasi, yang perkembangan kognitif ini akan mencapai
adalah bagian dari aktivitas pembelajaran tingkat yang sempurna, bila ditunjang oleh
sastra. Jadi, walaupun benar bahwa pelajaran semua perkembangan kognitif lain, seperti
matematika itu menuntut proses berfikir tepat, kematangan (maturation), pengalaman fisik
logis serta terkendali, tapi hendaknya juga (physical experience), interaksi sosial, dan
disadari bahwa bukan matematika saja yang kemajuan secara menyeluruh dan berimbang.
menuntut proses berpikir demikian. Perkembangan kognitif ini akan menjadi
Dewasa ini baik di negara berkembang landasan perkembangan kognitif yang lebih
maupun di negara maju banyak diterapkan meningkat, yang oleh Cowan disebut
Nalar dan bahasa (sastra) merupakan karya sastra. Lemahnya pembelajaran sastra di
dua hal yang tak mungkin dipisahkan. sekolah sebagaimana juga dikeluhkan kalangan
Penalaran tak mungkin tanpa menggunakan sastrawan dapat dilacak dari beberapa segi.
bahasa, sebaliknya bahasa muncul (digunakan) Pertama, komitmen pemerintah terlihat kurang
dalam bentuk-bentuk yang sangat logis atau serius. Seperti terlihat pada kurikulum Bahasa
sesuai dengan nalar. Oleh karena itu, sangatlah dan Sastra Indonesia, porsi pembelajaran sastra
penting segi penalaran ditanamkan dalam sangat minim dibanding pembelajaranbahasa.
pembelajaran bahasa dan sastra. Penekanan Secara terminologis, penamaan mata
pada penalaran harus ditampakkan secara jelas pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia --bukan
dalam caracara penyajian yang sangat terarah sebaliknya, Sastra dan Bahasa Indonesia--
dan terfokus, melalui suatu lingkaran proses cukup menjelaskan hal di atas. Bisa jadi hal itu
bergaul dengan sastra yaitu penikmatan memang sekadar istilah, tetapi sesungguhnya
(apresiasi) terhadap karya sastra. Siswa diajak membawa implikasi luas bagi pembelajaran
berdiskusi mengenai berbagai aspek karya sastra. Lebih-lebih di sekolah menengah
sastra, dari unsur-unsur intrinsik sampai unsur- kejuruan (SMK), sastra telah lama menjadi
unsur ekstrinsik karya sastra. anak tiri. Ibarat orang memanjat batang pohon,
Kaitannya dengan penikmatan atau sastra merupakan dahan yang patah.
apresiasi sastra siswa dilibatkan dalam berbagai Kedua, secara teknis guru-guru bahasa
proses, antara lain: 1) persepsi, 2) ingatan, 3) umumnya, tidak otomatis, juga mampu menjadi
pertimbangan, 4) refleksi, dan 5) wawasan. guru sastra. Bila pembelajaran sastra
Kelima proses ini merupakan aktivitas memerlukan bakat, maka sedikit saja yang
penalaran. Di sinilah relevansi pembelajaran memenuhi kualifikasi guru sastra. Akibatnya,
sastra hubungannya dengan pengembangan pembelajaranapresiasi sastra, akan cenderung
daya nalar. bersifat teknis-teoritis, dan dengan demikian
Dengan demikian dapat disimpulkan menjadi kegiatan menghafal. Misalnya, sebuah
bahwa masalah pengembangan daya nalar novel itu bertema A, berplot B, berlatar C dan
merupakan salah satu tujuan pembelajaran seterusnya.
sastra di sekolah. Dan, untuk mencapai tujuan Lebih ironis lagi, novel yang sering
tersebut diperlukan beberapa usaha berupa dibicarakan itu belum pernah dibaca, karena
perubahan paradigma pembelajaran sastra, baik memang tidak tersedia di perpustakaan,
secara teoritis-konseptual, maupun dari segi sehingga kebenaran dalam menafsirkan karya
teknis implementasinya di lapangan (kelas) sastra bersifat tunggal. Guru hanya sekadar
seperti: metode, strategi, materi, langkah- menyampaikan keterangan dari “buku
langkah penyajian, kegiatan guru dan siswa, pegangan”, sedangkan siswa sekadar menerima
media pembelajaran, evaluasi, dan lebih informasi, tanpa reserve. Singkatnya, kegiatan
penting lagi tentang perumusan tujuan apresiasi sastra tereduksi oleh kepentingan
pengajaran. praktis belaka, yaitu demi dan untuk menjawab
soal ujian-ujian akhir.
Realitas Pembelajaran Sastra di Sekolah Ketiga, ada kesenjangan antara karya
Pembelajaran sastra di sekolah selama sastra dan daya pemahaman siswa, bahkan juga
ini, termasuk di SMA/MA/SMK, tampaknya guru nonsastrawan. Karya-karya puisi-- seperti
memang masih sangat lemah. Hal ini dapat ciptaan Danarto, Budi Darma, Sutardji C.
dilihat dari rendahnya minat baca dan Bachri termasuk jenis karya sastra yang sulit
lemahnya kemampuan siswa mengapresiasi dipahami. Karya-karya mereka ibarat menara
gading, tampak indah di kejauhan, tetapi sulit Pada kata pengantar yang ditulis oleh
didekati. Kalau kegiatan apresiasi sastra Pamusuk Eneste (1983) ia memberi contoh
menuntut pemahaman siswa dan guru, menarik betapa sulit menafsir sebuah puisi.
sementara sastrawan tetap menjaga jarak, baik Puisi Sitor Situmorang yang terdiri dari judul
terhadap karyanya maupun masyarakat dan sebaris kalimat //Malam Lebaran/Bulan di
pembacanya, maka hal menjadi fakta dari atas Kuburan// ternyata mampu mengacuh para
arogansi sastrawan. sastrawan sekaliber Subagio Sastrowardojo.
Keempat, implikasi lebih jauh dari Bila kita setuju dengan E.D. Girsch Jr.
kondisi di atas, siswa cenderung mejauhi karya- (1979), yang menyebutkan, bahwa penafsiran
karya sastra, apalagi terhadap karya sastra yang yang paling tepat tidak dapat bersumber dari
dianggap “aneh’. Tak heran bila siswa lebih orang lain, kecuali kehendak (intention)
menyukai sastra popular, meminjam istilah pengarang itu sendiri, maka terasa adil
Jakob Sumardjo (1984)-- seperti karya Mira W, keharusan itu dilakukan oleh sastrawan. Oleh
Ashadi Siregar, bahkan karya Fredy S., karena itu acara safari yang bertajuk
misalnya. “Sastrawan Bicara Siswa Bertanya” 16 perlu
Akibat dari kondisi pembelajaran diperluas medan garapannya. Ini merupkan
sastra sebagaimana diuraikan di atas, prasyarat agar siswa dapat menikmati sastra
mengakibatkan siswa kurang terlibat dalam dengan membaca karya-karya sastra, dan bukan
proses berpikir (bernalar) secara bebas. menghafal sinopsis, sebagaimana realitas
Artinya, siswa tidak dilibatkan secara aktif sekarang ini di SMA.
dalam menggunakan daya nalarnya. Kedua, kalaupun pemerintah tak
Sedangkan, pembelajaran sastra pada dasarnya hendak mengubah komitmen dengan
harus lebih melibatkan siswa secara aktif dalam menyeimbangkan proporsi kurikulum bahasa
proses-proses berpikir logis. Langkah yang dan sastra, guru dapat mengubah tekanan dan
dapat ditempuh, agar siswa dapat secara orientasi pengajarannya. Bila pembelajaran
terbuka terlibat dalam proses pembelajaran, sastra bertujuan mengasah daya estetik dan
yang memungkinkan daya nalar mereka daya nalar siswa, maka guru cukup berperan
berkembang melalui sarana sastra adalah sebagai “penjaga gerbang bahasa” (control
melalui penerapan suatu strategi language), dengan strategi sebagai berikut: 1)
pembelajarandengan prosedur-prosedur yang berikan kebebasan pada siswa untuk
sistematis dan konsisten. menangkap, memahami, dan mengekspresikan
nilai keindahan di sekitarnya dalam bentuk
Alternatif Pemecahan Masalah Pembelajaran karangan; 2) guru menyediakan “jalan masuk”
Sastra bagi siswa guna menangkap keindahan itu,
Berangkat dari permasalahan pem- sambil membetulkan kesalahan-kesalahan
belajaran sastra di SMA/SMK dan teori-teori bahasa yang dilakukan siswa.
yang telah diuraikan, maka upaya perbaikan Ketiga, perlu perubahan paradigma
nasib pembelajaran sastra setidaknya pembelajaran sastra di sekolah, yaitu
memerlukan beberapa strategi. Pertama, pembelajaran sastra yang mencerdaskan, yang
sastrawan harus mendekati massa pembacanya. membuka peluang baik pengembangan
Tujuannya, untuk membuka diri agar proses kreativitas penalaran siswa. Misalnya,
kreatif sastrawan dapat ditangkap oleh penerapan multitafsir terhadap karya sastra,
apresian.
16
Surat Kabar Harian Kompas, Edisi 3
April 2002.
bukan monotafsir. Sebab dengan menerapkan pendekatan apresiasi, yang disesuaikan dengan
multitafsir maka kreativitas berpikir siswa tingkat perkembangan dan kebutuhan belajar
dalam mengapresiasi sastra akan semakin siswa.
berkembang.
Keempat, dalam bentuknya yang lebih Daftar Pustaka
konkret perlu perbaikan strategi belajar Eneste, Pamusuk. 1987. H.B. Jassin: Paus
mengajar sastra, mulai dari pemilihan materi, Sastra Indonesia. Jakarta: Djambatan.
cara pentahapan, cara penyajian, dan cara
pengulangan bahan pengajaran. Tentang hal ini Hirsch Jr, E.D. 1979. Validity in Interpretation.
akan dibahas tersendiri melalui sebuah contoh New Haven dan London: Yale
penerapan pemecahan masalah pembelajaran University Press.
sastra dalam rangka pengembangan daya nalar
Moody, H.L.B. 1971. The Teaching of
melalui suatu strategi belajar mengajar.
Literature. London: Longman
Penutup Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam
Pembelajaran sastra dapat menjadi PembelajaranBahasa dan Sastra.
sarana pengembangan daya nalar siswa. Dalam Yogyakarta: BPFE
rangka menumbuhkembangkan daya nalar dan
Pinontoan, Aaltje Tallei (Penyunting). 2002.
kreativitas berpikir siswa, penekanan
Antologi Pembelajaran sastra. Bahan
pembelajaran sastra di sekolah harus dapat
Perkuliahan pada Mata Kuliah
menumbuhkan, melatih, dan meningkatkan
Pembelajaran sastra PPs S-2 UNIMA.
kemampuan apresiasi keratif secara langsung,
dalam arti langsung memperlakukan karya
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam
sastra. Karenanya, pembelajaranyang bersifat
Gamitan Pendidikan. Bandung: CV.
tak langsung, umumnya bersifat teoritis dan
Diponegoro
historis, hanya merupakan alat bantu untuk
menunjang kemampuan apresiasi kreatif secara
Semi, M. Atar. 1993. Rancangan
langsung.
PembelajaranBahasa dan Sastra
Pemilihan bahan (materi) dan
Indonesia. Bandung: Angkasa.
pemberian tugas hendaknya dilakukan dengan
mempertimbangkan perkembangan kejiwaan
Sumardjo, Jakob. 1995. Sastra dan Massa.
dan kognitif siswa. Sedangkan penilaian hasil
Bandung: ITB
belajar kesastraan hendaknya tak hanya
mencakup ranah kognitif saja, melainkan juga
Tarigan, H.G. 1995. Dasar- dasar Psikosastra.
afektif dan psikomotoris. Atau dalam evaluasi,
Bandung: Angkasa.
tes harus mencakup aspek informasi, konsep,
perspektif, dan apresiasi, sebagaimana
Waluyo, Heman J. 2002. Drama, Teori, dan
dikemukakan Moody.
Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita
Dalam pembelajaran sastra, guru
Graha Widya.
hendaknya sudah merencanakan persiapan
dengan matang bahan atau materi serta
prosedur-prosedur apa yang akan ditempuh
dalam pengajaran. Dan, dalam pengajaran,
pendekatan yang digunakan haruslah