Anda di halaman 1dari 18

I.

Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil imajinasi pengarang tentang kehidupan dalam masyarakat dengan berbagai masalahnya yang di dalamnya terdapat kehidupan seperti halnya percintaan, keluarga, perselingkuhan, dan sebagainya. Karya sastra juga dapat dijadikan panutan, pemerkaya pandangan kehidupan, memberikan informasi dan hiburan bagi pembacanya (Noor, 2007: 11). Karya sastra merupakan hasil kreatifitas seorang pengarang yang mempunyai nilai estetika, dalam hal ini kemungkinan dapat memberikan pengaruh terhadap cara berpikir mengenai berbagai aspek kehidupan. Sebagai bentuk seni, karya sastra bersumber dari kehidupan sehari-hari dipadukan dengan imajinasi pengarang itu sendiri. Melalui karya sastra pembaca dapat belajar merasakan dan menghayati beragam permasalahan kehidupan yang ditawarkan pengarang. Sastra adalah pengejawantahan kehidupan sebagai hasil pengamatan sastrawan atas kehidupan sekitarnya. Dengan demikian kehidupan dalam sastra adalah kehidupan buatan atau rekaan seorang pengarang yang biasanya mengisahkan kehidupan manusia dengan segala permasalahannya dan dengan apa yang melingkupinya (Suharianto, 1982: 11). Karya sastra adalah pengungkapan hidup atau kehidupan yang dipadu dengan imajinasi dan kreasi seorang pengarang serta dukungan, pengalaman dan pengamatannya atas kehidupan tersebut (Suharianto, 1982: 14). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa melalui karya sastra, kita dapat belajar banyak tentang hakikat hidup dan kehidupan. Disamping itu, karya sastra juga merupakan cermin yang sesuai dengan zamannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa karya sastra yang baik adalah karya sastra yang berhasil melukiskan dan mencerminkan kehidupan beserta zamannya. Karya sastra pada dasarnya adalah cerminan kehidupan manusia sebagai hasil pengamatan sastrawan atas kehidupan di sekitarnya. Karya sastra di pandang sebagai cerminan kehidupan manusia karena pada dasarnya keberadaan sastra sering kali bermula

dari permasalahan yang muncul dalam kehidupan manusia. Sebuah karya sastra meskipun bahanya di ambil dari dunia nyata, tetapi sudah diolah oleh pengarang melalui imajinasinya sehingga tidak dapat diharapkan realitas karya sastra sama dengan realitas dunia nyata. Sebab, realitas dalam karya sastra sudah di tambah sesuatu oleh pengarang, sehingga kebenaran dalam karya sastra ialah kebenaran yang dianggap ideal oleh pengarangnya (Noor, 2005: 11-12). Karya sastra bersifat fiksi. Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan kehidupan. Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan (Nurgiyantoro, 2010: 3). Sebuah karya sastra mengungkapkan tentang masalah manusia dan kemanusiaan, baik tentang makna hidup dan maupun tentang makna kehidupan manusia. Sastra juga terkadang melukiskan penderitaan manusia, perjuangan, kefeminismean perempuan, cinta dan kasih sayang yang dialami manusia. Sastra juga mengajak orang untuk saling mengasihi. Nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri digali dari kehidupan manusia yang begitu kompleks. Karya sastra dapat memberikan nilai moral karena di dalamnya terkandung nilai yang dapat dijadikan pijakan bagi manusia. Dengan perkataan lain sastra mengajak, membimbing, dan mengarahkan manusia untuk bijaksana dalam menghadapi kehidupan. Sebuah karya satra mengungkapkan tentang masalah manusia dan kemanusiaan, baik tentang makna hidup dan kehidupan dan juga penderitaan-penderitaan manusia, perjuangan, cinta, kasih, sayang dan segala yang dialami manusia. Karya sastra mengajak orang untuk berkopemtensi, menyadarkan dan membebaskan diri dari pikiran yang keliru. Salah satu wujud karya sastra adalah novel. Dalam novel di bahas dan dikupas secara matang tentang kehidupan manusia yang penuh dengan romantika, sifat dan watak manusia yang bermacam-macam serta situasi dan keadaan yang terjadi pada masa tertentu. Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra mengangkat berbagai permasalahan dalam hidup dan kehidupan manusia. Permasalahan yang begitu kompleks sering menggugah

pengarang untuk memunculkannya, kemudian menyajikan pula berbagai alternatif sebagai solusinya. Novel diciptakan pengarang berdasarkan cerita yang ada dalam kehidupan. Cerita tersebut disesuaikan dengan tokoh-tokoh yang ada dalamnya. Di dalam ceritanya sering ditemukan kemiripan dengan kehidupan nyata. Ada beberapa cerita yang sesuai dengan kehidupan nyata. Cerita seperti ini sangat menarik dan menimbulkan rasa ingin tahu. Hal inilah yang terkandang membuat orang berminat untuk membacanya. Apa yang terkandung di dalam novel merupakan gambaran kehidupan. gambaran kehidupan ini dapat dilihat dari tokohnya dengan berbagai macam sifat, dan karakternya yang mirip dengan manusia yang ada dalam masyarakat. Semua unsur yang ada dalam cerita rekaan termasuk tokoknya berupa cerita rekaan semata-mata. Namun ada kalanya mempunyai kemiripan dengan individu tertentu dalam kehidupan ini. Bisa juga memiliki sifat-sifat, tingkah laku, kepribadian yang sama dalam lingkungan dan kehidupan nyata. Untuk mendapatkan gambaran dari tokohnya dalam novel, pembaca dapat membaca dan memahami wujud manusia yang kehidupannya diceritakn oleh pengarangnya. Melalui tokoh dan penokohan kita dapat mengetahui dengan jelas cerita dalam novel tersebut. Dalam sebuah novel tentu saja mempunyai sebuah unsur-unsur yang membangun karya sastratersebut termasuk unsur intrinsik. Dan unsur-unsur inilah nantinya yang akan diajarkan dalam sebuah pembelajaran sastra Indonesia di SMP. Pembelajaran adalah suatu upaya yang disengaja dan direncanakan sedemikian rupa oleh guru sehingga memungkinkan terciptanya suasana dan aktivitas belajar yang kondusif bagi para siswanya (Jamaluddin, 2003:9). Melalui pembelajaran sastra di sekolah maka siswa dapat menghargai karya orang laindan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Karena itulah permasalahan dalam pengajaran Bahasa Indonesia perlu diadakan langkah-langkah penggunaan metode atau pendekatan pembelajaran Bahasa Indonesia yang tepat. Dengan demikian, guru diwajibkan mampu memilih materi pelajaran, metode atau pendekatan yang dapat membantu peserta didik untuk mencapai keberhasilan.

Siswa kelas VII SMP N 3 Jekulo mengalami kesulitan didalam menemukan unsureunsur intrinsik dikarenakan penggunaan model pembelajaran yang kurang sesuai. Hal ini yang menyebabakan pembelajaran kurang efektif, sehingga akan mempengaruhi hasil belajar siswa. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pembelajaran guru dapat menyampaikan materi dengan strategi yang bervariasi, dan yang melibatkan siswa secara aktif. Hal ini bertujuan agar siswa mempunyai jiwa kemandirian dalam belajar dan menumbuhkan daya kreatifitas sehingga mampu membuat inovasi-inovasi. Model pembelajaran ini yang disebut dengan strategi pembelajaran aktif. Peneliti akan menggunakan salah satu dari model pembelajaran aktif, yaitu menggunakan model pembelajaran TGT, karena strategi pembelajaran ini belum pernah dipakai di SMP 3 jekulo. Dengan penggunaan strategi pembelajaran snow balling diharapkan siswa mampu meningkatkan nilai hasil belajar dengan kenaikan yang signifikan. Pembelajaran dengan menggunakan strategi Snow Balling merupakan suatu pembelajaran yang mengajak siswa untuk belajar secara aktif. Ketika siswa belajar dengan aktif, berarti mereka yang mendominasi aktifitas pembelajaran. Siswa diajak untuk turut serta dalam semua proses pembelajaran, tidak hanya mental tapi juga melibatkan fisik. Dengan cara ini siswa akan merasakan suasana yang lebih menyenangkan sehingga hasil belajar dapat dimaksimalkan. Ketika siswa pasif hanya menerima dari guru, ada kecenderungan untuk melupakan apa yang telah diberikan. Jika siswa diajak berdiskusi secara bertingkat, maka otak mereka akan bekerja lebih baik sehingga proses belajarpun dapat terjadi dengan baik yang dapat meningkatkan kemampuan pemahaman siswa pada nilai-nilai moral dalam cerpen Separuh Matahari Untuk Sahabat karya Andhika Rahmadian. Nilai-nilai moral cocok diajarkan di SMA karena siswa SMA sudah cukup dewasa untuk memahami dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tujuan agar siswa mempunyai jiwa dan sikap yang bermoral baik. Cerpen Separuh Matahari Untuk Sahabat karya Andhika ini mengkaji nilai-nilai moral didalamnya, berisi ajaran moral baik dan buruk. Nilai moral tersebut dapat dijadikan contoh bagi siswa untuk dapat berperilaku dan bermoral baik dalam kehidupan. Pembelajaran yang diambil dalam penelitian ini yaitu pada standar kompetensi berbicara, membahas cerpen melalui kegiatan diskusi, dan kompetensi dasarnya, menemukan nilai-nilai cerpen melalui kegiatan diskusi. Namun pada penelitian ini mengkhususkan pada

nilai-nilai moral. Tujuan pembelajarannya yaitu, siswa dapat menemukan nilai-nilai dalam cerpen, dapat membandingkan nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen dengan kehidupan sehari-hari, dan dapat mendiskusikan nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti termotivasi untuk meneliti cerpen Separuh Matahari Untuk Sahabat karya Andhika dengan menggunakan strategi pembelajaran Snow Balling di SMA 1 Bae Kudus pada kelas X.

II. Rumusan Masalah Masalah yang dibahas pada peneletian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah keefektifan model team game tournamen dalam pembelajaran pada siswa kelas VII SMP 3 Jekulo ? 2. Bagaimanakah pembelajaran menemukan Unsur intrinsik novel pada siswa kelas VII SMP 3 Jekulo?

III. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, tujuan yang hendak dicapai adalah : 1. Mendeskripsikan keefektifan model team game tournamen dalam

pembelajaran pada siswa kelas VII SMP 3 Jekulo ? 2. Mendeskripsikan pembelajaran menemukan Unsur intrinsik novel pada siswa kelas VII SMP 3 Jekulo?

IV. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada pengaruh positif yang signifikan antara Keefektifan Model team game tournamen (TGT) dalam pembelajaran Menemukan Unsur Intrinsik Novel pada Siswa Kelas VII SMP 3 Jekulo Tahun Ajaran 2011/2012

V.

Metode Penelitian

A. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu penelitian yang menggunakan angka-angka atau sebagai data variabel penelitian untuk menarik simpulan (Sudjana, 1987:3). Metode yang digunakan dalam penelitan adalah metode ex post facto. Ex post facto artinya sebuah fakta. Dalam penelitian ini peneliti tidak perlu melakukan manipulasi atau perlakuan variabel bebas , sebab manipulasi telah terjadi oleh orang lain sebelum penelitian dilakukan (Sudjana, 1995 : 54). Dalam penelitian ini metode ex post facto digunakan untuk melihat dan mengkaji pengaruh penerapan model pembelajaran TGT terhadap Keefektifan dalam pembelajaran Menemukan Unsur Intrinsik Novel pada Siswa Kelas VII SMP 3 Jekulo Tahun Ajaran 2011/2012

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen, maksudnya yaitu penelitian yang dikembangkan bersama-sama antara peneliti dan variabel-variabel yang

dimanipulasikan dan dapat segera digunakan untuk menentukan kebijakan dan pembangunan.

B. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah kemampuan siswa kelas VII SMP N 3 jekulo tahun ajaran 2011/2012 dalam mempelajari unsure intrinsic novel

C. Variabel Penelitian Variabael penelitian ini meliputi dua variabel yaiti variabel kemampuan memahami unsure intrinsic novel dan variabel model team game tournament (TGT) Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. 1) Variabel Bebas (x) Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran team game tournament (TGT). 2) Variabel Terikat (y)

Variabel terikat daam penelitian ini adalah kemampuan memahami unsure intrinsic novel pada siswa kelas VII SMP N 3 jekulo tahun ajaran 2011/2012.

D. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian ini, diperlukan sumbersumber data yang dapat diperc aya kebenarannya dan teknik yang sesuai. Untuk itu digunakan metode observasi yaitu kegiatan pemuatan perhatian dengan menggunakan seluruh alat indera, yang dilakukan dengan pemberian tes (Arikunto, 2002:133). Metode ini digunakan untuk mengamati secara langsung keadaan SMP 3 Jekulo dan mengamati para siswa yang menjadi sampel dari penelitian ini. Pengumpulan data dimaksudkan untuk memperoleh data yang akan digunakan sebagai alat ukur terhadap variabel. Pengukuran dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menjaring data variabel kemampuan memahami unsure intrinsic novel , dilakukan

dengan pemberian penjelasan mengenai unsure intrinsik dalam novel tersebut dan menggunakan model pembelajaranTGT.

E. Instrumen Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian yaitu berupa tes dan instrument nontes. Peneliti menggunakan instrument tes untuk mengetahui kemampuan siswa dalam memahami unsure intrinsic novel yang dibaca. Instrument nontes meliputi lembar observasi, lembar jurnal, lembar wawancara, dan dokumentasi foto yang digunakan untuk mengetahui perubahan perilaku belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran memahami unsure intrinsic novel dengan menggunakan model TGT.

F. Teknik Analisis Data Teknik penelitian tindakan kelas ini menggunakan teknik kuantitatif dan teknik kualitatif. Berikut uraian teknik kuantitatif dan teknik kualitatif. 1) Teknik kuantitatif

Teknik kuantitatif digunakan untuk menganalis data kuantitatif. Data ini diperoleh dari hasil tes objektif kemampuan siswa kelas VI SMP N 3 Jekulodalam memahami unsure intrinsic novel dengan memggunankan model model TGT pada siklus I dan siklus II. Adapun persentase nilai kemampuan siswa dalam memahami unsure intrinsic noveldapat dirumuskan sebagai berikut. P = sk X 100 R Keterangan : P SK R : skor kumulatif : Responden : Presentase

Bedasarkan hasil perhitungan tersebut peneliti membandingkan hasil tes yang diperoleh siswa pada siklus I dengan siklus II. Hasil ini akan memberi gambaran mengenai persentase peningkakatan dalam pembelajaran menemukan unsur intrinsik novel khususnya unsur alur, tokoh dan penokohan, serta latar melalui model TGT. 2) Teknik Kualitatif Teknik Kualitatif digunakan untuk menganalisis data kualitatif. Data ini diperoleh dari nontes yang meliputi data observasi, data wawancara, data jurnal maupun dokumentasi foto. Data-data tersebut kemudian dianalisis, diklarifikasikan dan diuraikan untuk memberikan gambaran mengenai berubahan perilaku siswa sebelum mengikuti pembelajaran menemukan unsur intrinsik novel dengan menggunakan model TGT dan setelah mengikuti pembelajaran tersebut. Sama halnya dengan analisis data kuantitatif data kualitatif pada siklus I dan siklus II jua dibandingkan untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang dicapai. VI. Landasan Teori 1. Pengertian Novel

Pengarang menciptakan karya sastra untuk dinikmati oleh pembaca dengan harapan agar pembaca dapat menangkap gagasan yang disajikan pengarang, atau dengan kata lain, agar pembaca dapat menangkap maknanya. Dapat disimpulkan bahwa salah satu objek ilmu sastra adalah sebual novel (Noor, 2007: 28). Novel adalah cerkan yang panjang, yang mengetengahkan tokoh-tokoh dan menampakkan serangkaian peristiwa dan latar (setting) secara terstruktur. Disebut cerita rekaaan karena memang direka oleh pengarang berdasarkan kenyataan yang diimajinasikan (Noor, 2007: 26). 2. Unsur-Unsur Novel Untuk menangkap makna karya sastra, pembaca harus berbekal pengetahuan bahwa setiap karya sastra itu terdiri atas unsur-unsur yang membentuknya secara utuh. Unsur-unsur itulah yang dinamakan unsure intrinsic(Noor, 2007: 29). Setiap karya sastra megandung unsur-unsur intrinsik, yaitu unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Misalnya dalam cerita rekaan berupa tema, amanat, alur (plot), tokoh, latar (setting), dan pusat penceritaan (point of view) (Noor, 2007: 29). Saad melalui Harjito (2006: 2), mengungkapkan bahwa unsur intrinsik ialah faktor yang membangun cerita rekaan dari dalam, dari diriya sendiri. Faktor intrinsik meliputi tokoh, alur, latar dan pusat pengisahan. Termasuk unsur intrinsik adalah tema. Berikut akan dijelaskan tentang unsur-unsur intrinsik.

A. Tema Menurut Roberts, melalui Harjito (2006: 3), tema adalah ide pokok dalam suatu komposisi yang menjadikan komposisi tadi suatu kesatuan yang utuh. Sedangkan meurut Kennedy, melalui Harjito (2006: 3), tema adalah ide keseluruhan dari sebuah cerita. Untuk menentuan tema cerita Saad mengajukan tiga cara (Saad, melalui Harjito, 2006: 3).

1. Persoalan yang paling menonjol. 2. Persoalan yang paling banyak menimbulkan konflik. 3. Persoalan yang paling banyak membutuhkan waktu penceritaan. Ketiga cara tersebut digunakan bersamaan apabila terjadi keragu-raguan. Cara Saad tersebut memaksa kita mesti mendata semua persoalan yang ada di dalam cerita. Dipandang dari segi kualitas persoalan, itulah cara pertama. Dipandang dari segi kuantitas, itulah cara kedua dan ketiga (Saad, melalui Harjito, 2006: 3). Tema sering disebut juga dasar cerita, yakni pokok permasalahan yang mendominasi suatu karya sastra. Ia terasa dan mewarnai karya sastra tersebut dari halaman pertama hingga halaman terakhir. Hakikatnya tema adalah permasalahan yang merupakan titik tolak pengarang dalam menyusun cerita atau karya sastra tersebut, sekaligus merupakan permasalahan yang ingin dipecahkan pengarang dengan karyanya itu (Suharianto, 1982: 28). Tema suatu karya sastra dapat tersurat dan dapat pula tersirat. Disebut tersurat apabila tema tersebut dengan jelas dinyatakan oleh pengarangnya. Disebut tersirat apabila tidak secara tegas dinyatakan, tetapi terasa dalam keseluruhan cerita yang dibuat pengarang (Suharianto, 1982: 28). Menurut jenisnya, tema dapat dibedakan atas dua macam, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor ialah tema pokok, yakni permasalahan yang paling dominan menjiwai suatu karya sastra. Sedangkan tema minor yang sering juga disebut tema bawahan ialah permasalahan yang merupakan cabang dari tema mayor. Wujudnya dapat berupa akibat lebih lanjut yang ditimbulkan oleh tema mayor (Suharianto,1982: 28). Tema dapat disampaikan secara eksplisit dan implisit (Saad, melalui Harjito, 2006: 4). B. Tokoh dan Penokohan 1. Tokoh Tokoh ialah pelaku rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan di pelbagai peristiwa. Tokoh biasaya berwujud manusia (Harjito, 2006: 4). Berdasarkan fungsinya atau penting tidaknya kehadiran tokoh dalam cerita, dibedakan:

1.Tokoh sentral/ utama, meliputi protagonis dan antagonis. 2.Tokoh bawahan, mencakup tokoh andalan dan tokoh tambahan. Tokoh utama merupakan tokoh yang memegang peran pimpinan dalam sebuah cerita. Protagonist merupakan tokoh yang baik dan biasanya menarik simpati pembaca. Antagonis merupakan penetang utama/ tokoh lawan. Menurut Grimes, tokoh bawahan adalah tokoh yang kurang begitu pentingkedudukannya dalam cerita, tapi kehadirannya diperlukan untuk menunjang dan mendukung tokoh utama. Tokoh andalan adalah tokoh yang dekat dengan tokoh utama. Tokoh tambahan ialah tokoh yang tidak memegang peranan sama sekali di dalam sebuah cerita. Tokoh tambahan merupakan bagian dari tokoh bawahan. Dengan begitu, tokoh tambahan merupakan tokoh bawahannyabawahan (Sudjiman, melalui Harjito, 2006: 5). Untuk menentukan tokoh utama ada empat cara (Saad, melalui Harjito, 2006: 6) 1. Tokoh yang paling banyak berhubungan dengan tema. 2. Tokoh yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain. 3. Tokoh yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan. 4. Tokoh utama dapat juga dilihat dari judul cerita. Berdasarkan karakternya terdapat (Harjito, 2006: 6) : 1. Tokoh datar/ pipih. 2. Tokoh kompleks/ bulat. Tokoh datar/ pipih yaitu tokoh yang wataknya tetap, tidak ada perubahan. Tokoh datar maksudnya kalau buruk ia hanya memiliki keburukan saja. Ini dapat dikatakan tokoh yang hitam putih. Tokoh kompleks/ bulat yaitu tokoh yang berwatak lengkap yaitu memiliki sisi baik dan sisi buruk. 2. Penokohan Cara menampilkan tokoh biasanya disebut penokohan (Harjito, 2006: 6). Penokohan atau perwatakan ialah pelukisan mengenai tokoh cerita, baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berupa: pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat-istiadatnya dan sebagainya (Suharianto, 1982: 31).

Seperti diketahui, yang ingin diungkapkan pengarang melalui karyanya ialah manusia dan kehidupannya. Karena itu penokohan merupakan unsur cerita yang tidak dapat ditiadakan. Melalui penokohan itulah cerita menjadi lebih nyata dalam anganangan pembaca. Dan melalui penokohan itu pulalah kita sebagai pembacanya dapat dengan jelas menangkap wujud manusia yang perikehidupannya sedang diceritakan pengarang (Suharianto, 1982: 31). Penokohan secara umum ada dua cara yaitu analitik dan dramatik. Disebut analitik kalau pengarang menyebut watak dan perangai sang tokoh secara langsung apa adanya atau secara tersurat. Disebut cara dramatik manakala pembaca mesti menyimpulkan sendiri bagaimana sifat sang tokoh. Pembaca mesti menyimpulkan sendiri karena pengarang yang menyebutkan secara tersirat mengenai perangai sang tokoh. Apabila pengarang menguraikan bagaimana tokoh x berjalan dengan dagu yang mendongak, tiap kali berbicara dengan orang lain dengan pandangan mata nan sinis, suaranya tiap kali bertemu dengan orang lain siapa saja seolah-olah menghadapi bawahan. Cara demikian dinamakan dramatik. Pengertian dramatik tidak harus berupa percakapan langsung, namun juga bisa berwujud lukisan (Harjito, 2006: 6). C. Alur Alur ialah peralihan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain (Luxemburg, melalui Harjito, 2006: 8). Menurut Suharianto (1982: 28) istilah lain untuk alur ialah plot, yakni cara pengarang menjalin kejadian-kejadian secara beruntun dengan memperhatikan hukum sebab akibat sehingga merupakan kesatuan yang padu, bulat dan utuh. Plot suatu cerita biasanya terdiri atas 5 bagian (Suharianto, 1982: 28), yaitu: 1. Pemaparan atau pendahuluan, yakni bagian cerita tempat pengarang mulai melukiskan suatu keadaan yang merupakan awal cerita. Menurut Harjito (2006: 8), awal cerita ialah ketika tokoh-tokoh diperkenalkan. 2. Penggawatan, yakni bagian yang melukiskan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita mulai bergerak. Mulai bagian ini secara bertahap terasakan adanya konflik dalam cerita tersebut. Konflik itu dapat terjadi antar tokoh, antara tokoh dengan masyarakat sekitarnya atau antar tokoh dengan hati nuraninya sendiri.

3. Penanjakan, yakni bagian cerita yang melukiskan konflik-konflik seperti disebutkan diatas mulai memuncak. Menurut Harjito (2006: 8), jika tikaian makin memuncak disebut sebagai rumitan. 4. Puncak atau klimaks, yakni bagian yang melukiskan peristiwa mencapai puncaknya. Bagian ini dapat berupa bertemunya dua tokoh yang sebelumnya saling mencari, atau dapat pula berupa terjadinya perkelahian antara dua tokoh yang sebelumnya digambarkan saling mengancam. Menurut Harjito (2006: 8), puncak cerita terjadi ketika ketaksesuaian antar tokoh mencapai titik maksimal. 5. Peleraian, yakni bagian cerita tempat pengarang memberikan pemecahan dari semua peristiwa yang telah terjadi dalam cerita atau bagian-bagian sebelumnya. 6. Menurut Harjito (2006: 8), terdapat akhir cerita yakni cerita terjadi ketika sebuah cerita berakhir, ketika konflik antar tokoh tadi dianggap selesai oleh sang pengarang.

Lebih tegas lagi, disebut alur tertutup jika pengarang menyebutkan secara tersurat bagaimana penyelesaian cerita. Disebut alur terbuka jika pengarang tidak menyebut secara tersurat, artinya pengarang hanya menyebut secara tersirat saja, bagaimana akhir dari cerita (Harjito, 2006: 9). Menurut urutan waktu (Prihatmi, melalui Harjito, 2006: 9) dibedakan: 1. Alur Lurus yaitu merupakan alur yang kronologis, maksudnya waktunya urut. Menurut Suharianto (1982: 29), suatu cerita disebut beralur lurus, apabila cerita tersebut disusun mulai kejadian awal diteruskan dengan kejadian-kejadian berikutnya dan berakhir pada pemecahan-pemecahan masalah 2. Alur tak lurus, mencakup sorot balik dan gerak balik. Gerak balik (backtracking) yaitu pelukisan peristiwa-peristiwa secara mundur seolah-olah peristiwa bergerak kebelakang. Karena peristiwa yang dikisahkan cukup panjang, hal itu memotong kelangsungan jalan cerita. Disebut sorot balik (flashback) jika cerita menoleh sebentar ke masa lalu yang berupa ingatan, kenangan, mimpi, lamunan, atau penceritaan kembali oleh tokoh. Istilah pembayangan (foreshadowing) yaitu pencerita memberikan pembayangan sesuatu yang akan terjadi tetapi menunda penjelasan seluruhnya.

Di samping itu ada pula cerita yang menggunakan kedua alur tersebut secara bergantian, maksudnya sebagian ceritanya menggunakan alur lurus dan sebagian lagi menggunakan alur sorot balik. Tetapi keduanya dijalin dalam kesatuan yang padu sehingga tidak menimbulkan kesan adanya dua buah cerita atau peristiwa yang terpisah baik waktu maupun tempat kejadiannya (Suharianto, 1982: 29). Menurut kualitasnya, alur dibedakan menjadi rapat dan renggang/ degresi. Disebut rapat jika terjadi percabangan cerita. Dari segi kuantitas/ jumlah, dibedakan alur tunggal dan alur ganda. Alur tunggal jika jumlah alur hanya satu. Alur ganda jika jumlah alur lebih dari satu. Alur rapat berkaitan dengan alur tunggal. Alur renggang berkaitan dengan alur ganda (Harjito, 2006: 10) Sementara itu menurut Suharianto (1982: 30), suatu cerita, cerpen atau novel dikatakan beralur rapat apabila dalam cerita tersebut hanya terdapat alur atau perkembangan cerita yang hanya terpusat pada suatu tokoh. Tetapi apabila dalam cerita yang berkisar pada tokoh utama ada pula perkembangan cerita tokoh-tokoh lain, maka alur demikian disebut alur renggang. D. Latar Latar adalah segala petunjuk, keterangan, acuan yang berkait dengan waktu, ruang, suasana terjadinya peristiwa (Harjito, 2006: 10). Sudjiman (melalui Harjito, 2006: 11), membedakannya menjadi latar sosial dan latar material. Latar sosial ialah gambaran keadaan masyarakat, adat-istiadat, cara hidup, termasuk bahasa. Latar material adalah wujud suatu tempat secara fisik, misalnya bangunan atau nama daerah. Perlu dibedakan antara waktu cerita dan waktu penceritaan. Waktu cerita berhubungan dengan latar, kapan terjadinya suatu peristiwa dalam cerita. Waktu penceritaan berkaitan dengan waktu/ halaman yang dibutuhkan pengarang dalam menceritakan sesuatu (Harjito, 2006: 11). Pelataran adalah cara menampilkan latar. Jika pelukisan latar sesuai dengan kondisi psikologis tokoh, dinamakan latar serasi. Jika pelukisan latar tidak sesuai dengan kondisi psikologis tokoh dinamakan latar kontras (Sudjiman, melalui Harjito, 2006: 11).

Jika digambarkan pagi bersinar sangat cerah sementara sang tokoh dalam keadaan murung, hal ini merupakan latar kontras. Jika dilukiskan sebuah malam yang pekat gelap ditingkahi hujan yang lebat dan sang tokoh dalam keadaan duka yang dalam, hal ini merupakan latar serasi (Harjito, 2006: 11). Suatu cerita hakikatnya tidak lain ialah lukisan peristiwa atau kejadian yang menimpa atau dilakukan oleh satu atau beberapa orang tokoh pada waktu tertentu di suatu tempat. Karena manusia atau tokoh cerita itu tidak pernah dapat lepas dari ruang dan waktu, maka tidak mungkin ada cerita tanpa latar atau setting. Kegunaan latar atau setting dalam cerita, biasanya bukan hanya sekedar sebagai petunjuk kapan dan dimana cerita itu terjadi, melainkan juga sebagai tempat pengambilan nilai-nilai yang ingin diungkapkan pengarang melalui ceritanya tersebut (Suharianto, 1982: 33). E. Pusat Pengisahan Pusat pengisahan adalah bagaimana pengarang menyampaikan ceritanya kepada pembaca. Menurut Sudjiman (melalui Harjito, 2006: 11) antara sudut pandang (point of view) dan pusat pengisahan berbeda. Sudut pandang bermula dari sudut pencerita dengan kisahannya. Pusat pengisahan bermula dari tokoh mana yang disoroti. Point of view (Harjito, 2006: 11): 1. Sudut pandang fisik, yaitu bagaimana pengarang memposisikan diri, dalam pendekatan materi cerita dari sisi waktu dan ruang. 2. Sudut pandang mental, bagaimana pengarang memposisikan dalam sisi perasaan dan sikap. 3. Sudut pandang pribadi, bagaimana pilihan pengarang atas cara orang I, II, atau III. Penggunaan kata ganti para tokoh, yaitu 1.Akuan, mencakup serba tahu. 2.Diaan, mencakup serba tahu dan terbatas. Dalam akuan, pengarang menggunakan kata ganti aku/ saya, kata ganti orang pertama. Dalam diaan, pengarang mempergunakan kata ganti orang ketiga (ia, dia). Pada serba tahu pencerita seolah-olah merupakan sosok yang tahu akan segalanya. Bahkan, sampai ke hal-hal yang akan/ belum terjadi termasuk isi hati

yang paling dalam dari setiap tokoh dalam cerita. Dalam terbatas, pencerita lebih objektif dan impersonal (Harjito, 2006: 12). Menurut Suharianto (1982: 36), telah disebutkan bahwa suatu cerita hakikatnya ialah lukisan mengenai peri kehidupan manusia yang ditampilkan melalui tokoh-tokoh tertentu. Untuk menampilkan cerita mengenai peri kehidupan tokoh tersebut, pengarang akan menentukan siapa orangnya dan akan berkedudukan sebagai apa pengarang dalam cerita tersebut. Siapa yang bercerita itulah yang disebut pusat pengisahan atau yang dalam bahasa Inggris biasa dikenal dengan istilah point of view. Ada beberapa jenis pusat pengisahan (Suharianto, 1982: 36),yaitu: a. Pengarang sebagai pelaku utama cerita. Dalam cerita dengan jenis pusat pengisahan ini, tokoh akan menyebutkan dirinya sebagai aku. Jadi seakan-akan cerita tersebut merupakan kisah atau pengalaman diri pengarang. b. Pengarang ikut main tetapi bukan sebagai pelaku utama. Dengan kata lain sebenarnya cerita tersebut merupakan kisah orang lain tetapi pengarang terlibat didalamnya. c. Pengarang serba hadir. Dalam cerita dengan pusat pengisahan jenis ini, pengarang tidak berperan apa-apa. Pelaku utama cerita tersebut orang lain, dapat dia atau kadang-kadang disebut namanya, tetapi pangarang serba tahu apa yang akan dilakukan atau bahkan apa yang ada dalam pikiran pelaku cerita. d. Pengarang peninjau. Pusat pengisahan jenis ini hampir sama dengan jenis pengarang serba hadir. Bedanya pada cerita dengan pusat pengisahan jenis ini, pengarang seakan-akan tidak tahu apa yang akan dilakukan pelaku cerita atau apa yang ada dalam pikirannya. Pengarang sepenuhya hanya mengatakan atau menceritakan apa yang dilihatnya.

DARTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Widyatama. Harjito. 2006. Melek Sastra. Semarang : Gramedia. Noor, Redyanto. 2007. Pengantar Pengkajian Sastra. Cet. Ke-4. Semarang : Fasindo. Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode Dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Sugihastuti. 2007. Gender & Inferioritas Perempuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Sugihastuti. 2009. Rona Bahasa dan Sastra Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Suharianto. 1982. Dasar-Dasar Teori Sastra. Surakarta : Widya Duta.

Anda mungkin juga menyukai