Putu Wijaya
ABSTRAK
Penelitian ini mendeskripsikan kritik pengarang terhadap kondisi
pendidikan.Sumber data dari penelitian ini adalah cerpen Guru
karya Putu Wijaya. Untuk menganalisis permasalahan pendidikan
ini, pendekatan sosiologi sastra digunakan. Hasil analisis cerpen
ini adalah pengarang mengkritik pengertian guru yang mengalami
penyempitan baik dalam pengertian maupun dalam praktiknya
yang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu globalisasi dan krisis
kepercayaan terhadap pemerintah.
Kata kunci: guru, sosiologi karya, kritik
ABSTRACT
This research describes the author critics toward indonesian
education. The source of the data is from Putu Wijayas short story
entitled Guru. To analyze it, sociology of literature approach is
used. The result is that the author criticized the narrowed meaning
of guru/ teacher in definition or practically because of the influence
of globalization and crisis of trust toward the government.
A. PENDAHULUAN
Karya Sastra merupakan suatu refleksi dari realitas. Suatu karya baik puisi,
novel, cerpen, maupun film merupakan hasil dari refleksi pengarangnya terhadap
realitas sosial di sekitarnya yang tentu saja dipengaruhi oleh kondisi dan aktivitas
material (Marx in Tanner, 2003:40). Oleh karena itu, karya sastra dapat dilihat
sebagai suatu respon dan interpretasi terhadap kondisi sosial.
Sebagai suatu dokumen sosial, karya sastra mengangkat isu-isu dan masalahmasalah yang ada dalam masyarakat. Salah satu masalah masyarakat yang diangkat
dalam karya sastra adalah masalah pendidikan. Dalam cerpen Guru, Putu Wijaya
salah satu sastrawan yang terkenal di Indonesia, mengangkat isu pendidikan terutama
tentang citra guru dan pendidikan di Indonesia. Dalam cerpen ini, banyak sekali
remeh atau masyarakat sendiri yang telah berubah sehingga pandangan mereka turut
berubah seiring dengan perubahan zaman.
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, permasalahan yang akan
dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Pandangan
sempit
terhadap
guru
dan
faktor-faktor
sosial
yang
B. METODE
1. Metode Penelitian
Pendekatan sosiologi sastra digunakan dalam penelitian ini dengan alasan karena
karya sastra berhubungan erat dengan pengarang, latar belakangnya, dan kondisi
sosial pada saat karya tersebut ditulis.
Dalam pendekatan sosiologi sastra peneliti menelaah karya sastra dengan
mempertimbangkan
segi-segi
sosial
kemasyarakatan
(Sumardjo,
1984:53).
karya
sastra
digunakan.
Tujuan
pokoknya
adalah
untuk
mengungkapkan apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi
tujuannya.
Tujuan dari penciptaan suatu karya ini dapat diketahui dengan analisis
terhadap struktur cerita pendek Guru dan kemudian dilanjutkan dengan mengaitkan
struktur tersebut dengan kondisi sosial yang menimbulkan/ menginspirasi penciptaan
karya tersebut.
Analisis terhadap struktur karya dianggap penting karena karya sastra tidak
lepas dari konvensi tertentu. Melalui sarana-sarana sastra seperti tema, sudut
pandang, plot, karakter dan sebagainya pengarang menanmkan makna yang ingin
disampaikannya.
Selanjutnya, makna karya sastra tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial.
Oleh karena itu, setelah menganalisis unsur formal dari karya, peneliti melanjutkan
kepada analisis terhadap situasi sosial yang melahirkan karya tersebut.
.
2. Sumber Data dan Langkah Kerja
Penelitian ini menggunakan dua sumber utama, yaitu sumber primer dan sumber
sekunder. Sumber primer merupakan objek yang dianalisis yang terdiri dari objek
material danobjek formal. Objek formal merupakan permasalahan yang dibahas
dalam penelitian ini yaitu pandangan sempit tentang pendidikan, sedangkan objek
material adalah cerpen Guru karya Putu Wijaya.
Sumber sekunder adalah sumber yang mendukung penelitian yaitu sumber-sumber
kepustakaan tentang objek yang diteliti. Jadi, penelitian ini merupakan penelitian
studi pustaka. Untuk melakukan penelitian studi pustaka ini, langkah kerja yang
diambil yaitu adalah membaca, mencatat, dan mengkaji referensi-referensi yang
berhubungan dengan objek penelitian.
C. PEMBAHASAN
Dalam cerpen Guru, Putu Wijaya menyajikan perbedaan pandangan tetang
pendidikan lewat karakter-karakternya. Karakter-karakter ini adalah bapak, Ibu dan
anak laki-laki semata wayang mereka yang bernama Tansu. Perbedaan pandangan
tersebut terekspresikan dalam debat antara Tansu dan ibu-bapaknya tentang cita-cita
Tansu yang ingin menjadi seorang guru.Ibu bapak Tansu melarang keras bercita-cita
sebagai guru sedangkan Tansu bersikeras untuk menjadi guru.
Dari perdebatan tersebut, muncul dua diskursus antagonistik antara Ibu dan
bapak dan Tansu, anak mereka. Di satu sisi, ibu dan bapak Tansu memandang guru
sebagai profesi yang tidak remeh dan tidak layak untuk dijadikan sebagai cita-cita,
sedangkan di sisi lain, Tansu memandang bahwa guru merupakan cita-cita yang
mulia.Pandangan Bapak-ibu Tansu tersebut dapat mewakili pandangan masyarakat
pada umumnya.
guru sekolah dasar yang mengajarkan membaca dan menulis."Gila, masak kamu mau
jadi g-u-r-u?"
Guru juga merupakan profesi yang tidak pupolis apalagi di era globalisasi. Di
era globalisasi, ekonomi dan teknologi menjadi dua kata kunci dalam kesuksesan
hidup yang tentu saja kembali kepada uang. Di bidang ekonomi, kehidupan diisi oleh
pesaingan-persaingan ketat yang tidak hanya melibatkan persaingan lokal dalam satu
negara tetapi juga persaingan global dengan negara-negara lain. Bagi ayah Taksu,
dengan tren globalisasi tersebut, tentu saja guru tidak lagi populer sebagaimana
spanduk di jalan kumuh di desa.
Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa.
Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh
globalisasi, alias persaingan bebas.
Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua
guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal
meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti?
Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang
lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu
kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"
Profesi sebagai guru tidak dapat menjamin kelangsungan hidup
Pandangan ibu Tansu ini merupakan suatu bentuk kemajuan dalam berfikir.
Dengan kata lain, ibu Tansu merupakan lambang dari golongan yang terdidik yang
seiring perjalanan waktu mengalami perubahan-perubahan paradigma dan cara
berfikir. Demikian juga Bapak Tansu, dia pada awalnya memandang guru sebagai
sosok yang harus dihormati dengan segala ilmunya bukan dari harta yang
dimilikinya. Namun sering waktu paradigma tersebut berubah. Ia memandang guru
tidak dari ilmunya melainkan dari uangnya. Tidak heran kritik Ibu Tansu terhadap
kesadaran palsu tersebut kembali kepada penanda utama awal yaitu uang, materi. Ibu
Tansu sama seperti ayah Tansu yang menilai sesuatu baik atau buruknya dari sedikit
atau banyaknya materi/ uang yang dihasilkan.
"Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamusendiri
bilang apa gunanya puji-pujian, yang penting adalahsesuatu
yang konkret. Yang konkret itu adalah duit, Taksu.
Jangan
kamu
takut
dituduh
materialistis.
Siapa
dengan Guru dengan huruf G besar. Melalui karakter Tansu, karya ini mengkritik
pandangan sempit tentang guru.
Pandangan luas Tansu ini dapat dilihat dari pandangannya bahwa guru
bukanlah suatu profesi yang berhubungan dengan gaji, tempat (pada ruang kelas,
siswa dan sekolah formal) dan waktu tertentu (jam pelajaran, semesteran). Guru
merupakan suatu tugas profetik yang lebih menyebarkan nilai daripada mendapatkan
uang.
Ia menjadi salah seorang pengusaha besar yang mengimpor barangbarang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan
segar ke berbagai wilayah mancanegara.
"Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga
bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan
guru bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos
kerja," ucap promotor ketika Taksu mendapat gelar doktor honoris
causa dari sebuah pergurauan tinggi bergengsi.
Jadi, berbeda dengan ayah dan ibunya, Tansu tidak menempatkan profesi dan
uang sebagai penanda utama, tetapi nilai, inspirasi yang ditanamkan kepada
muridnya. Dengan penanda utama ini, guru tidak selalu berhubungan dengan profesi,
uang, ruang, dan waktu akan tetapi dedikasi, pengabdian dan keabadian.
Pengertian yang luas tersebut mengembalikan guru ke definisi awalnya
sebagai pengajar spiritual. Kata guru pada awalnya mempunyai makna pengajara
spiritual pada agama hindu. Jadi, guru tidak hanya berurusan transfar pengetahuan
saja, tetapi juga nilai.
D. SIMPULAN
Perubahan memang tidak bisa dielakkan. Masyarakat masa kini dipengaruhi oleh
faktor-faktor sosial tertentu. Dalam cerpen Guru, Pandangan terhadap guru
dipengaruhi globalisasi dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Pada masa
globalisasi, dimana ekonomi menjadi raja, individualisme dan materialisme membuat
pandangan terhadap baik buruknya sesuatu diukur dari berapa besar sesuatu itu dapat
menghasilkan uang dan dapat membuat kehidupan material yang layak. Guru sebagai
suatu profesi memang tidak menjanjikan untuk menghasilkan uang sehingga guru
dianggap profesi yang rendahan. Pemerintah juga disalahkan karena pemerintah
hanya memberikan mimpi-mimpi tanpa bukti yang nyata. Guru yang dipuji-puji
dalam lagu, semboyan-semboyan mulia hanya akal-akalan pemerintah. Akan tetapi di
tengah pesimisme ini masih ada pandangan optimis tentang guru yang asalnya
merupakan suatu tugas profetik yang tidak terbatas pada profesi, waktu dan tempat.
DAFTAR PUSTAKA