Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MAKALAH

APRESIASI SASTRA
OLEH :NON NORMA MONIGIR

DISUSUN OLEH : FIRGI JERMIA TOAR (2205168)


MARSYELITHA MATHEOS (2210)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MANADO
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Rahmat-Nya dan
usaha yang penulis lakukan, makalah tentang APRESIASI SASTRA sebagai MK
pengembangan kepribadian dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini disusun sebagai tugas kelompok dengan dosen pengampuh Non norma monigir
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk penyempurnaan makalah ini.
Penulis mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang baik dalam makalah ini, Penulis
berharap dengan membuat makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.

Tomohon, 29 September 2023


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
B.Rumusan masalah
C.Tujuan
BAB II
A .Sastra sebagai sarana dialogis
B. Sastra sebagai fakta sosial
C. Sastra sebagai bentuk hegemoni
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
A.LATAR BELAKANG

B.RUMUSAN MASALAH

Apa pengertian Sastra Sebagai sarana biologis

Apa pengertian sastra sebagai fakta sosial

Apa Pengertian sastra sebagai bentuk hegemoni


C.TUJUAN

Untuk mengetahui Apa pengertian Sastra Sebagai sarana biologis?

Untuk mengetahui Apa Pengertian sastra sebagai fakta sosil?

Untuk mengetahui Apa Pengertian Sastra sebagai bentuk hegemoni?


BAB II

A. Pengertian Sastra sebagai sarana biologis

Dialogic atau dialogis dicirikan atau dibentuk oleh sifat dialog yang interaktif dan responsif,
bukan oleh pikiran tunggal atau monolog. Istilah ini penting dalam tulisan ahli teori Rusia,
Mikhail Bakhtin, yang bukunya Problems of Dostoevsky’s Poetics (1929) mengontraskan
dialogis atau interaksi polifonik dari berbagai suara karakter dalam novel Dostoevsky dengan
subordinasi karakter ‘monologis’ pada sudut pandang tunggal.
- Pertemuan Sastra Dialogis
Pertemuan sastra dialogis adalah kegiatan budaya dan pendidikan yang berasal dari Spanyol
dan lahir di Sekolah Dewasa di Barcelona ("La Verneda-San Martí") pada tahun 80-an.
Sejak saat itu, pertemuan sastra menyebar dengan cepat ke pusat-pusat dan organisasi-
organisasi lain, yang diadakan di sekolah-sekolah Bayi, Dasar dan Menengah tetapi juga di
asosiasi orang tua (PTA), pusat-pusat masyarakat, perpustakaan dan ruang rekreasi lainnya.
Meskipun pertemuan sastra merupakan salah satu pertunjukan pendidikan yang sukses dan
diselenggarakan di sekolah-sekolah yang tergabung dalam jaringan Komunitas Belajar, semua
sekolah dan organisasi dapat memperoleh manfaat darinya. Mari kita lihat caranya.

- Apa itu Pertemuan Sastra Dialogis?


Pertemuan sastra yang dialogis adalah salah satu tindakan sukses di sekolah inklusif yang
dikembangkan dalam Komunitas Pembelajaran. Mereka melibatkan proses pembacaan dan
interpretasi teks secara kolektif dan dialogis dalam konteks di mana semua peserta diundang
untuk memberikan argumen berdasarkan kriteria validitas dan bukan pada klaim kekuasaan
(CONFAPEA).
Pertemuan sastra dialogis didasarkan pada pendekatan pembelajaran dialogis yang memuat
prinsip-prinsip (Aubert, Flecha, García, Flecha, & Racionero 2008):
- Dialog egaliter: kontribusi yang berbeda dipertimbangkan dan diterima berdasarkan
validitas argumen dan bukan berdasarkan kekuasaan hierarkis.
a. Kecerdasan budaya: semua orang mempunyai pengetahuan, kemampuan dan
pengalaman yang diperoleh sepanjang hidup yang memungkinkan mereka menafsirkan
dan mengevaluasi karya sastra yang sedang dibahas. Dialog egaliter memungkinkan
kita menghargai kecerdasan budaya setiap orang, melalui penghormatan terhadap
keberagaman pendapat.
b. Transformasi: pembelajaran berfokus pada perubahan pribadi dan sosial dari sudut
pandang positif manusia. Para peserta mengubah konsep dirinya serta hubungannya
dengan orang-orang disekitarnya.
Dimensi instrumental: apa yang dipelajari harus bermanfaat untuk mengakses budaya dan
menumbuhkan otonomi dan pelatihan mandiri.
Penciptaan makna: mendorong pembelajaran bermakna dalam interaksi dengan orang lain.
c. Solidaritas: pertemuan sastra yang dialogis terbuka untuk semua orang tanpa
memandang latar belakang ekonomi atau budaya. Hubungan yang setara adalah
hubungan yang menghasilkan hubungan yang lebih mendukung yang menyiratkan rasa
hormat, kepercayaan, dan solidaritas.
d. Kesetaraan perbedaan: pertemuan sastra yang dialogis menghormati hak setiap orang
untuk berbeda. Kita semua berbeda dan ini membuat kita setara.
Dalam temu sastra dialogis bukan dimaksudkan untuk menemukan dan menganalisis apa yang
dimaksud pengarang dalam teksnya, melainkan mendorong terjadinya dialog dan refleksi dari
berbagai penafsiran yang mungkin timbul dari pembacaan suatu karya sastra klasik dunia.

B. Pengertian sastra sebagai Fakta sosial

Dalam wacana studi sastra, sosiologi sastra sering kali didefinisikan sebagai salah satu
pendekatan dalam kajian sastra yang memahami dan menilai
karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial) (Damono, 1979:1).
Sesuai dengan namanya, sebenarnya sosiologi sastra memahami karya sastra melalui
perpaduan ilmu sastra dengan ilmu sosiologi (interdisipliner).
Sosiologi sastra adalah pendekatan sastra berupa studi objektif dan ilmiah tentang manusia
dalam masyarakat, studi lembaga-lembaga, dan proses-proses sosial.
[1] Sosiologi sastra menurut istilah yakni cabang sosiologi yang memanfaatkan metode dan
teknik sosial yang diterapkan dalam sastra.
[2] Sosiologi sastra berkembang dari pendekatan strukturalisme yang dianggap mengabaikan
relevansi masyarakat sebagai asal-usul dari suatu karya sastra.
[3] Fungsi-fungsi sastra harus sama dengan aspek kebudayaan lain, yang mana dalam
sosiologi sastra berkaitan erat dengan hubungan antara kehidupan sosial masyarakat.
Pemahaman terhadap karya sastra ini mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan,
makna yang terkandung, dan hubungan latar belakang masyarakat dengan karya sastra
tersebut. Secara sederhana, sosiologi sastra menghubungkan dialektik antara sastra dan
masyarakat.
Sosiologi sastra, yang memahami fenomena sastra dalam hubungannya dengan aspek sosial,
merupakan pendekatan atau cara membaca dan memahami sastra yang bersifat interdisipliner.
Oleh karena itu, sebelum menjelaskan hakikat sosiologi sastra, seorang ilmuwan sastra seperti
Swingewood dalam The Sociology of Literature (1972) terlebih dulu
menjelaskan batasan sosiologi sebagai sebuah ilmu,
batasan sastra, baru kemudian menguraikan perbedaan dan persamaan antara sosiologi
dengan sastra. Swingewood (1972) menguraikan bahwa sosiologi merupakan studi yang ilmiah
dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan
proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana
masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan
hidup. Apa yang diuraikan oleh Swingewood tersebut
tidak jauh berbeda dengan definisi mengenai sosiologi yang dikemukakan oleh Soerjono
Sukanto (1970),bahwa sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi
kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola
umum kehidupan masyarakat. Demikian juga yang
dikemukakan oleh Pitirim Sorokin (Soerjono Sukanto,1969:24), sosiologi adalah ilmu yang
mempelajarihubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya
gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah ilmu
yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala
nonsosial,dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis
gejala-gejala sosial lain.
Baik sosiologi maupun sastra memiliki objek kajian yang sama, yaitu manusia dalam
masyarakat, memahami hubungan-hubungan antarmanusia dan
proses yang timbul dari hubungan-hubungan tersebut di dalam masyarakat. Bedanya, kalau
sosiologi melakukan telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat, telaah tentang
lembaga dan proses sosial, mencari tahu bagaimana masyarakat
dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada; maka sastra
menyusup, menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia
menghayati masyarakat dengan perasaannya, melakukan telaah secara subjektif dan personal
(Damono,1979). Swingewood (1972) memandang adanya dua corak penyelidikan sosiologi
yang mengunakan data sastra. Yang pertama, penyelidikan yang bermula dari lingkungan
sosial untuk masuk kepada hubungan sastra dengan faktor di luar sastra yang terbayang
dalam karya sastra. Oleh Swingewood, cara seperti ini disebut sociology of literature (sosiologi
sastra). Penyelidikan ini melihat faktor-faktor sosial yang
menghasilkan karya sastra pada masa dan masyarakat tertentu. Kedua, penyelidikan yang
menghubungkan struktur karya sastra kepada genre dan masyarakat tertentu. Cara kedua ini
dinamakan literary of sociology (sosiologi sastra). Dalam paradigma studi sastra, sosiologi
sastra, terutama sosiologi karya sastra, dianggap sebagai perkembangan dari pendekatan
mimetik, yang dikemukakan Plato, yang memahami karya sastra
dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Pandangan tersebut
dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat terlepas dari realitas
sosial yang terjadi dalam masyarakat. Seperti yang pernah dikemukakan oleh Sapardi Djoko
Damono (1979), salah seorang ilmuwan yang mengembangkan pendekatan
sosiologi sastra di Indonesia, bahwa karya sastra tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi selalu
ada hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman
terhadap karya sastra pun harus selalu menempatkannya dalam bingkai
yang tak terpisahkan dengan berbagai variabel tersebut: pengarang sebagai anggota
masyarakat, kondisi sosial budaya, politik, ekonomi yang ikut berperan dalam melahirkan karya
sastra, serta pembaca yang akan membaca, menikmati, serta memanfaatkan karya sastra
tersebut.

C. Sastra sebaga bentuk hegemoni


Sastra sebagai bentuk hegomoni
Hegemoni dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam jaringan, adalah
kepemimpinan, dominasi, kekuasaan, di suatu negara atas negara lain
Hegemoni berasal dari akar kata bahasa Yunani hegeisthai (to lead atau shidouken) yang
artinya memimpin, kepemimpinan, ataupun kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain.
Dengan demikian, secara leksikografis hegemoni mempunyai arti ‘kepemimpinan’. Namun,
dalam kehidupan sehari-hari istilah hegemoni dikaitkan dengan dominasi.
Istilah hegemoni sendiri sering dikacaukan dengan istilah ideologi karena terdapat unsur
kepemimpinan dan persetujuan dari kelompok yang dihegemoni. Hal ini sangat berbeda, karena
dalam hegemoni yang mempunyai struktur lebih kompleks dapat terkandung ideologi, namun
belum tentu sebaliknya (Ratna, 2010:175). Hegemoni juga banyak dipakai oleh para ahli
sosiologi untuk menggambarkan suatu usaha mempertahankan kekuasaan. Artinya, bagaimana
kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk
menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok berkuasa.

Hegemoni dikembangkan oleh seorang filsuf Marxis Italia Antonio Gramsci (1891-1937).
Konsep tersebut dikembangkan atas dasar dekonstruksinya terhadap konsep-konsep Marxis
Ortodoks. Menurut Chantal Mouffe istilah hegemoni mulai digunakan pada tahun 1926 dalam
tulisannya yang berjudul “Notes on The Sourthen Question”. Berbeda halnya dengan pendapat
Roger Simon karena istilah hegemoni telah digunakan Plekhanov dan para pengikut Marxis
pada umumnya sekitar tahun 1880-an (Ratna, 2010:176).
Kepemimpinan merupakan sebuah hegemoni seperti yang dikemukakan oleh Gramsci.
Hegemoni itu didefinisikan sebagai sesuatu yang kompleks, yang sekaligus bersifat ekonomik
dan elit-politis. Dalam hegemoni perlu diperhatikan kecenderungan dan interes-interes suatu
kelompok tempat hegemoni tersebut dijalankan. Terdapat pengorbanan tertentu yang dilakukan
secara kompromi oleh kelompok dalam berbagai hal, baik dalam aktivitas ekonomi maupun elit-
politis (Faruk, 2010:142).

Hegemoni Gramscian populer pada dekade 1970-an hingga 1980-an dengan memberikan
perhatian pada proses pemaknaan yang didominasi oleh praktik otoritatif. Dalam analisis
Gramscian, ideologi dipahami sebagai ide yang mendukung kelompok sosial tertentu. Benet
membandingkan konsep kebudayaan menurut Foucault dan Gramsci. Pusat perhatian Foucoult
pada pemerintahan birokrasi, sedangkan Gramsci pusat perhatiannya adalah ideologi. Bagi
Foucoult kekuasaan tidak mempunyai asal usul dan tidak bersifat tunggal, sedangkan
kekuasaan (hegemoni) menurut Gramsci mengalir ke bawah mengarah pada perjuangan kaum
tertindas untuk menentang sumber kekuasaan tunggal (Ratna, 2010:179).
Istilah hegemoni sendiri sering dikacaukan dengan istilah ideologi karena terdapat unsur
kepemimpinan dan persetujuan dari kelompok yang dihegemoni. Hal ini sangat berbeda, karena
dalam hegemoni yang mempunyai struktur lebih kompleks dapat terkandung ideologi, namun
belum tentu sebaliknya (Ratna, 2010:175). Hegemoni juga banyak dipakai oleh para ahli
sosiologi untuk menggambarkan suatu usaha mempertahankan kekuasaan. Artinya, bagaimana
kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk
menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok berkuasa.
Hegemoni dikembangkan oleh seorang filsuf Marxis Italia Antonio Gramsci (1891-1937).
Konsep tersebut dikembangkan atas dasar dekonstruksinya terhadap konsep-konsep Marxis
Ortodoks. Menurut Chantal Mouffe istilah hegemoni mulai digunakan pada tahun 1926 dalam
tulisannya yang berjudul “Notes on The Sourthen Question”. Berbeda halnya dengan pendapar
Roger Simon karena istilah hegemoni telah digunakan Plekhanov dan para pengikut Marxis
pada umumnya sekitar tahun 1880-an (Ratna, 2010:176).

Kepemimpinan merupakan sebuah hegemoni seperti yang dikemukakan oleh Gramsci.


Hegemoni itu didefinisikan sebagai sesuatu yang kompleks, yang sekaligus bersifat ekonomik
dan elit-politis. Dalam hegemoni perlu diperhatikan kecenderungan dan interes-interes suatu
kelompok tempat hegemoni tersebut dijalankan. Terdapat pengorbanan tertentu yang dilakukan
secara kompromi oleh kelompok dalam berbagai hal, baik dalam aktivitas ekonomi maupun elit-
politis (Faruk, 2010:142).
Hegemoni Gramscian populer pada dekade 1970-an hingga 1980-an dengan memberikan
perhatian pada proses pemaknaan yang didominasi oleh praktik otoritatif. Dalam analisis
Gramscian, ideologi dipahami sebagai ide yang mendukung kelompok sosial tertentu. Benet
membandingkan konsep kebudayaan menurut Foucault dan Gramsci. Pusat perhatian Foucoult
pada pemerintahan birokrasi, sedangkan Gramsci pusat perhatiannya adalah ideologi. Bagi
Foucoult kekuasaan tidak mempunyai asal usul dan tidak bersifat tunggal, sedangkan
kekuasaan (hegemoni) menurut Gramsci mengalir ke bawah mengarah pada perjuangan kaum
tertindas untuk menentang sumber kekuasaan tunggal (Ratna, 2010:179).
Bagi Gramsci, sejarah adalah suatu proses konflik dan kompromi yang di dalamnya terdapat
kelas fundamental yang nanti akan muncul sekaligus sebagai dominan dan direktif dalam batas-
batas ekonomik, bahkan hingga dalam batas- batas moral dan intelektual. Hegemoni yang
mendefinisikan sifat kompleks dari hubungan antara rakyat dengan kelompok-kelompok
pemimpin masyarakat dalam suatu hubungan yang tidak hanya politis dalam pengertian sempit,
tetapi juga mengenai gagasan-gagasan atau kesadaran. Tekanan inilah yang menandakan
orisinalitas konsep hegemoni. Apabila marxisme ortodoks memberikan tekanan secara
berlebihan pada pentingnya dasar ekonomi masyarakat, berbeda dengan gagasan liberal
Gramsci yang berpegang pada penyatuan kedua aspek tersebut. Salah satu cara yang terdapat
di dalamnya yaitu “pemimpin” dan “yang dipimpin” disatukan melalui “kepercayaan-kepercayaan
populer” (Faruk, 2012:143-144).
KESIMPULAN
Dialogic atau dialogis dicirikan atau dibentuk oleh sifat dialog yang interaktif dan
responsif, bukan oleh pikiran tunggal atau monolog. Istilah ini penting dalam tulisan ahli teori
Rusia, Mikhail Bakhtin, yang bukunya Problems of Dostoevsky’s Poetics (1929) mengontraskan
dialogis atau interaksi polifonik dari berbagai suara karakter dalam novel Dostoevsky dengan
subordinasi karakter ‘monologis’ pada sudut pandang tunggal.
Sosiologi sastra sering kali didefinisikan sebagai salah satu pendekatan dalam kajian
sastra yang memahami dan menilai. Karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan
Hegemoni dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam jaringan, adalah
kepemimpinan, dominasi, kekuasaan, di suatu negara atas negara lain
Hegemoni berasal dari akar kata bahasa Yunani hegeisthai (to lead atau shidouken)
yang artinya memimpin, kepemimpinan, ataupun kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang
lain. Dengan demikian, secara leksikografis hegemoni mempunyai arti ‘kepemimpinan’.

Saran

Dalam era globalisasi diperlukan adanya suatu pola pendidikan yang mengarah pada
pembentukan karakter agar terciptanya manusia yang berkepribadian serta berkarakter. Jadilah
warga Negara Indonesia yang baik. Taat pada hukum dan norma-norma yang berlaku, taat
pada pancasila dan taat pada undan-undang dasar 1945.
DAFTAR PUSTAKA

https://123dok.com/article/selintas-konsep-dialogis-bakhtin-studi-sastra-konsep-
penerapannya.z3lp5m9z

https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-teori-hegemoni-dalam-ilmu-sastra/8714

Anda mungkin juga menyukai